Upload
gresiakristi
View
251
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hhh
Citation preview
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penglihatan merupakan indera yang penting bagi manusia. Jika ketajaman penglihatan
menurun, maka penglihatan menjadi kabur. Penurunan ketajaman penglihatan khususnya pada
anak-anak merupakan masalah kesehatan yang penting. Berdasarkan data dari WHO pada tahun
2004 prevalensi kelainan refraksi pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%).1,2
Menurut WHO tahun 2009 bila prevalensi defisiensi vitamin A (<20 μg/dl) lebih dari 15%
termasuk masalah kesehatan masyarakat.3 Dari data tersebut ditemukan bahwa kelainan yang
timbul akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi. Menurut penelitian yang dilakukan Seema S
(2010) terhadap anak SD di Rural Haryana, India, terdapat 22% siswa yang mengalami
penurunan ketajaman penglihatan.4 Penelitian oleh Rahi JS terhadap 1328 anak sekolah di India
pada tahun 2005 terdapat 245 anak (18,6%) yang mengalami gangguan ketajaman penglihatan
hingga kebutaan karena kekurangan vitamin A.5 Kurangnya vitamin A akan menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan melalui gangguan pada kornea (media refraksi) ataupun
sensitivitas saraf (retina). Penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi dapat ringan hingga
berat bahkan kebutaan. Menurut Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa
di Indonesia proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8%.6
Hasil penelitian oleh Lely et al (2014) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
ketajaman penglihatan pada pelajar SD Katolik Santa Theresia 2 di Manado didapatkan faktor
screen time (> 2 jam/hari) menunjukkan persentase sebanyak 80% dengan p = 0,025. Faktor
jarak membaca menunjukkan persentase 72,9% yaitu jarak membaca <30 cm dengan p = 0,011.7
Sedangkan penelitian yang dilakukan Fachrian D et al (2009) pada pelajar SD “X” di Jatinegara
Jakarta Timur, didapatkan prevalensi kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6)
didapatkan sebesar 51,9% dan didapatkan sebesar 58,9% berjenis kelamin perempuan.
Ditemukan juga bahwa dari seluruh responden yang mengalami kelainan tajam penglihatan
didapatkan 68,4% responden memiliki status gizi normal – lebih. Namun tidak ditemukan
adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan status gizi dengan gangguan
ketajaman penglihatan.8
1
Saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan penurunan ketajaman penglihatan
dengan pola makan yang mengandung vitamin A di Jakarta Barat. Selain pola makan yang
mengandung vitamin A, faktor-faktor lain seperti pengetahuan, sikap dan perilaku anak,
penghasilan orangtua, jenis kelamin, lama dan jarak membaca, pemberian suplemen vitamin A,
dan status gizi juga perlu dikaji pengaruhnya terhadap penurunan ketajaman penglihatan. Oleh
karena itu dilakukan penelitian awal yang memperlihatkan hubungan penurunan ketajaman
penglihatan dengan pola makan yang mengandung vitamin A dan faktor-faktor lainnya di salah
satu SMPN di wilayah kerja puskesmas kelurahan Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk,
Jakarta Barat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Data WHO pada tahun 2004 menunjukkan prevalensi kelainan refraksi di seluruh
dunia pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%).
2. Menurut WHO tahun 2010 bila prevalensi defisiensi vitamin A di seluruh dunia (<20
μg/dl) lebih dari 15% termasuk masalah kesehatan masyarakat.
3. Menurut Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa di Indonesia
proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8% dan
0,9% mengalami kebutaan.
4. Prevalensi kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6) pada tahun 2009 di
Jatinegara Jakarta Timur didapatkan sebesar 51,9% dan didapatkan sebesar 58,9%
berjenis kelamin perempuan.
5. Belum pernah ada penelitian mengenai hubungan antara penurunan ketajaman
penglihatan dengan pola makanan yang mengandung vitamin A di Jakarta.
1.3. Hipotesis
Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung vitamin A dapat menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan.
2
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan penurunan ketajaman penglihatan dengan pola
makanan yang mengandung vitamin A dan faktor-faktor lainnya pada siswa/i SMPN 271
di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat
periode 27 – 31 Juli 2015.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi penurunan ketajaman penglihatan pada siswa/i
SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk,
Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.
2. Diketahuinya sebaran pola makanan yang mengandung vitamin A dalam 1 bulan
terakhir pada siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan,
kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.
3. Diketahuinya sebaran pengetahuan, sikap dan perilaku anak, penghasilan orangtua,
jenis kelamin, lama dan jarak membaca, pemberian suplemen vitamin A dan status
gizi pada siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan,
kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.
4. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku anak, penghasilan
orangtua, jenis kelamin, lama dan jarak membaca, pemberian suplemen vitamin A
dan status gizi dengan penurunan ketajaman penglihatan pada siswa/i SMPN 271 di
wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat,
periode 27 – 31 Juli 2015.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat bagi Peneliti
1. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian.
2. Menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh saat kuliah dan
membandingkannya dengan keadaan yang sebenarnya dalam masyarakat.
3
3. Mengembangkan daya nalar, minat, dan semangat, serta pengalaman penelitian.
4. Memberikan keterampilan bagi mahasiswa/i kedokteran untuk memberikan sebagian
ilmunya berupa penyuluhan mengenai pola makan yang mengandung vitamin A yang
baik bagi kesehatan mata.
1.5.2. Manfaat bagi Perguruan Tinggi
1. Mengamalkan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau tugas
perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian bagi masyarakat.
2. Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang
kesehatan.
3. Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antara mahasiswa/i dan staf pengajar.
1.5.3. Manfaat bagi Pihak Masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pola makan yang mengandung
vitamin A dan faktor-faktor lainnya yang baik untuk kesehatan mata sehingga dapat
mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap pola makan sehat sehari –
harinya.
2. Sebagai sumber informasi bagi siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas
Sukabumi Selatan periode 27 – 31 Juli 2015 untuk memperbaiki pola makannya dan
meningkatkan derajat kesehatan.
1.6. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas
Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.
4
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Vitamin A
2.1.1.1 Definisi Vitamin A
Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak atau minyak. Vitamin A
stabil terhadap panas, asam dan alkali tetapi sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak
pada suhu tinggi. Vitamin A merupakan komponen penting dari retina (selaput jala), maka fungsi
utama adalah untuk penglihatan. Disamping itu vitamin A juga membantu pertumbuhan,
mempunyai peranan penting dalam jaringan epitel termasuk mensuplai selaput lendir pada
bagian mata, sistem kekebalan tubuh, serta termasuk sebagai anti oksidan untuk tubuh.9,10
Pada anak sekolah ditemukan masalah defisiensi vitamin A. Menurut Wiryatmaji B,
kadar serum vitamin A <20 μg/dl pada anak sekolah sebesar 24%. Menurut WHO bila prevalensi
defisiensi vitamin A (<20 μg/dl) lebih dari 15% termasuk masalah kesehatan masyarakat.1
2.1.1.2 Sumber Vitamin A
Pada dasarnya sumber vitamin A dilihat berdasarkan sumber asalnya. Dua jenis vitamin
A berdasarkan sumbernya adalah sebagai berikut:9
a. Retinol
Retinol adalah jenis vitamin A yang didapatkan dari hewan. Bentuk vitamin ini dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh dan tidak mengalami pengolahan di dalam
tubuh.
b. Karotenoid
Karotenoid adalah salah satu bentuk pro vitamin A yang diolah menjadi retinol oleh
tubuh. Sumber makanan yang memiliki karotenoid adalah sayuran, buah-buahan dan
beberapa tanaman umbi.
5
Kandungan vitamin A serta beta karoten yang masuk kedalam tubuh dapat dipengaruhi
oleh proses pengolahan makanan. Pemasakan yang berlebihan maupun pengeringan mampu
mengurangi kandungan karoten di dalam sayur-sayuran. Vitamin A meskipun relatif stabil, dapat
rusak bila mengalami proses oksidasi sehingga dalam menilai asupan antioksidan, perlu
diperhatikan proses pengolahan makanan yang dilakukan.10
2.1.1.3 Patofisiologi
Dalam gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak bila cadangan vitamin A dalam hati
dan organ-organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A dalam serum mencapai garis
bawah yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik mata. Deplesi vitamin A dalam
tubuh merupakan proses yang memakan waktu lama. Diawali dengan habisnya persediaan
vitamin A di dalam hati, menurunnya kadar vitamin A plasma (kelainan biokimia), kemudian
terjadi disfungsi sel batang pada retina (kelainan fungsional) dan akhirnya timbul perubahan
jaringan epitel (kelainan anatomis). Penurunan vitamin A pada serum tidak menggambarkan
defisiensi vitamin A dini karena deplesi telah terjadi jauh sebelumnya.11 Pada anak-anak yang
mengalami tumbuh kembang, jika konsumsi makanan yang mengandung vitamin A tidak
memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan, maka xeroftalmia akan terlihat dalam
beberapa minggu.12 Risiko kekurangan vitamin A meningkat pada pasien yang mengalami
gangguan penyerapan lemak, fibrosis kistik, penyakit Celiac (Sprue), kurangnya enzim pankreas,
Inflammatory Bowel Disease (IBD), kolestasis dan yang telah dilakukan operasi “small-bowel
bypass”. Risiko juga meningkat pada vegetarian, pengungsian, imigrans, alkoholism, balita dan
anak – anak yang belum masuk sekolah yang berada di bawah garis kemiskinan. Pasien – pasien
ini seharusnya dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin A.13-15
Vitamin A merupakan “body regulators” dan berhubungan erat dengan proses-proses
metabolisme. Secara umum fungsi tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu:11
- Yang berhubungan dengan penglihatan
- Yang tidak berhubungan dengan penglihatan
Fungsi yang berhubungan dengan penglihatan di jelaskan melalui mekanisme Rods
(batang) yang ada di retina yang sensitif terhadap cahaya dengan intensitas yang rendah,
6
sedangkan Cones (kerucut) untuk cahaya dengan intensitas yang tinggi dan untuk menangkap
cahaya berwarna. Pigmen yang sensitif terhadap cahaya dari Rods disebut sebagai Rhodopsin.11
Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konkus) dan sel batang (sel
basilus). Retina adalah kelompok prostetik pigmen fotosensitif dalam batang maupun kerucut,
perbedaan utama antara pigmen penglihatan dalam batang (rhodopsin) dan dalam kerucut
(iodopsin) adalah protein alami yang terikat pada retina. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan
normal pada cahaya remang. Di dalam mata, retinol (bentuk vitamin A yang terdapat di dalam
darah) dioksidasi menjadi retinal. Retinal kemudian mengikat protein opsin dan membentuk
rhodopsin (suatu pigmen penglihatan). Rhodopsin merupakan zat yang menerima rangsangan
cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang indra
penglihatan. Beta karoten efektif dalam memperbaiki fotosensivitas pada penderita dengan
protoporfiria erithopoetik.11
Mata membutuhkan waktu beradaptasi dan dapat melihat dari ruangan dengan cahaya
terang ke ruangan dengan cahaya remang-remang. Bila seseorang berpindah dari tempat terang
ke tempat gelap, akan terjadi regenerasi rhodopsin secara maksilmal. Rhodopsin sangat penting
dalam penglihatan di tempat gelap. Kecepatan mata untuk beradaptasi, berhubungan langsung
dengan vitamin A yang tersedia di dalam darah untuk membentuk rhodopsin. Apabila kurang
vitamin A, rhodopsin tidak terbentuk dan akan menyebabkan timbulnya tanda pertama
kekurangan vitamin A yaitu rabun senja.11
Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan kelainan pada sel-sel epitel pada selaput
lendir mata. Kelainan tersebut karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar
tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata yang
disebut xerosis konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut bercak bitot
(Bitot Spot) yaitu suatu bercak putih, berbentuk segi tiga di bagian temporal dan diliputi bahan
seperti busa.11
Defisiensi lebih lanjut menyebabkan xerosis kornea, yaitu kornea menjadi kering dan
kehilangan kejernihannya karena terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Pada
stadium yang lanjut, kornea menjadi lebih keruh, berbentuk infiltrat, berlaku pelepasan sel-sel
epitel kornea, yang berakibat pada pelunakan dan pecahnya kornea. Mata juga dapat terkena
infeksi. Tahap terakhir deri gejala mata yang terinfeksi adalah keratomalasia (kornea melunak
dan dapat pecah) sehingga menyebabkan kebutaan total.11
7
2.1.1.4 Akibat Kekurangan Vitamin A
Vitamin A menjadi satu-satunya vitamin yang bisa membentuk kesehatan mata. Akibat
kekurangan vitamin A paling sering menimbulkan masalah pada kesehatan mata. Kekurangan
vitamin A dapat menimbulkan beberapa gangguan kesehatan di bawah ini.4,9,11
1. Rabun senja (nyctalopia). Rabun senja adalah salah satu gejala umum yang paling sering
ditemukan pada orang yang kekurangan vitamin A. Gejala ini dapat diobati dengan banyak
mengkonsumsi vitamin A yang berasal dari hewan (retinol).
2. Frinoderma, pembentukan epitel kulit tangan dan kaki terganggu sehingga kulit tangan
tampak bersisik. Terjadi hiperkeratosis folikular karena adanya tumpukan keratin yang
mengelilingi folikel rambut.
3. Perdarahan pada selaput usus, ginjal dan paru – paru
4. Terhentinya proses pertumbuhan
5. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan secara langsung terhadap mata seperti
kekeringan pada kornea, penglihatan kabur dan infeksi pada kornea. Area abnormal dari
proliferasi sel skuamosa dan keratinisasi konjungtiva (bercak Bitot) dapat dilihat pada anak
muda dengan kekurangan vitamin A. Akibat paling parah dari kekurangan vitamin A adalah
muncul kerusakan pada bagian retina yang sulit untuk diobati sehingga biasanya
menyebabkan kebutaan. Vitamin A memegang peranan penting dalam fototransduksi. Sel
kerucut bertanggung jawab dalam penyerapan cahaya dan penglihatan warna pada cahaya
yang cukup / terang. Sedangkan sel batang pada retina, all-trans-retinol dikonversi menjadi
11-cis-retinol, dimana keduanya bergabung dengan membran yang mengikat protein yang
disebut opsin untuk menjadi rhodopsin. Menurut suatu penelitian di India oleh JS Rahi pada
tahun 2005 didapatkan sebanyak 245 dari 1318 (18,6%) anak yang mengalami gangguan
penglihatan hingga kebutaan akibat kekurangan vitamin A.4
6. Jika tubuh tidak cukup mendapatkan vitamin A, maka tubuh tidak mempunyai sistem
kekebalan terutama yang berkaitan dengan pernafasan seperti asma dan penyakit saluran
pernafasan.
7. Tanda – tanda lain kekurangan vitamin A adalah berlebihnya deposisi periosteal karena
kurangnya aktivitas osteoklast, anemia, keratinisasi membran mukosa, dan gangguan sistem
imun humoral dan sel. Terdapat banyak mekanisme biologi dimana kekurangan vitamin A
dapat menyebabkan anemia. Mekanisme tersebut dibagi menjadi 3 kategori, yaitu
8
memodulasi eritropoiesis (sel progenitor eritrosit), memodulasi kekebalan tubuh terhadap
penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia, dan memodulasi metabolisme zat besi.
Ada tumpang tindih antara mekanisme – mekanisme ini, dimana metabolisme besi dan
eritropoiesis juga dimodulasi oleh infeksi.
Jadi, manfaat vitamin A ternyata sangat penting untuk kesehatan, baik untuk kesehatan
mata, kulit, kelenjar, maupun kesehatan badan. Sekalipun pada waktu lahir bayi memiliki
simpanan vitamin A, ASI tetap menjadi sumber yang penting dari vitamin A dan karoten. Hati,
telur dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat dalam
beta-karoten serta karotenoid lainnya. Vitamin A adalah salah satu zat gizi esensial yang tidak
bisa diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. Untuk memperolehnya harus di ambil dari sumber
diluar tubuh terutama dari sumber alam, seperti bahan sereal, umbi, biji-bijian, sayuran, buah-
buahan, hewani dan bahan-bahan olahan lainnya.10
2.1.1.5 Kebutuhan Vitamin A
Vitamin A atau aseroftol mempunyai fungsi-fungsi penting di dalam tubuh yaitu:16,17,18
a. Pertumbuhan sel-sel epitel
b. Proses oksidasi dalam tubuh
c. Mengatur rangsang sinar pada saraf mata
Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di
negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya (hanya cukup
memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di negara berkembang pada bulan-bulan
pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh
sebab itu sangatlah penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A.17,19
Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI akan beresiko lebih tinggi terkena
xeropthalmia dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka
waktu tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan
hasil yang berbeda-beda.17,19
9
Tabel 2.1. Kebutuhan vitamin A menurut umur18
Kategori
Umur
Vitamin A: Recommended Daily
Allowance (RDA) dalam
mikrogram (mcg) dari Retinol
Activity Equivalents (RAE)
Vitamin A: Upper Limit (UL)
dalam mikrogram (mcg) dari
Retinol Activity Equivalent
(RAE)
Bayi
0-6 bulan
7-12 bulan
400 mcg/hari atau 1320 IU/hari
500 mcg/hari atau 1650 IU/hari
600 mcg/hari atau 2000 IU/hari
600 mcg/hari atau 2000 IU/hari
Anak – anak
1-3 tahun
4-8 tahun
300 mcg/hari atau 1000 IU/hari
400 mcg/hari atau 1320 IU/hari
600 mcg/hari atau 2000 IU/hari
900 mcg/hari atau 3000 IU/hari
Laki – laki
9-13 tahun
14-18 tahun
19 – 70 tahun
600 mcg/hari atau 2000 IU/hari
900 mcg/hari atau 3000 IU/hari
900 mcg/hari atau 3000 IU/hari
1700 mcg/hari atau 5610 IU/hari
2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari
3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari
Perempuan
9-13 tahun
14-18 tahun
19-70 tahun
600 mcg/hari atau 2000 IU/hari
700 mcg/hari atau 2320 IU/hari
700 mcg/hari atau 2320 IU/hari
1700 mcg/hari atau 5610 IU/hari
2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari
3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari
Wanita hamil
< 19 tahun
19-50 tahun
750 mcg/hari atau 2500 IU/hari
770 mcg/hari atau 2565 IU/hari
2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari
3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari
Laktasi
< 19 tahun
19-50 tahun
1200 mcg/hari atau 4000 IU/hari
1300 mcg/hari atau 4300 IU/hari
2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari
3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari
Nb: Tidak ada batas asupan atas untuk vitamin A dari beta-karoten.
Anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah
melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak
tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA.17,19
10
Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena
pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan
produksi ASI.17,19
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari
bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi
kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih
bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.9,11
a. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna
biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
b. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI (warna
merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A dosis
200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang cukup
melalui ASI.
2.1.3.6 Makanan yang Mengandung Vitamin A
Makanan yang mengandung vitamin A dari hewan biasanya disebut dengan retinol. Ada
banyak jenis daging atau produk olahan dari hewan yang mengandung vitamin A. Vitamin A
dari buah dan sayur dikenal dengan sebuatan karotenoid, ada banyak sayuran dan buah buahan
yang mengandung vitamin A.20
Tabel 2.2. Daftar bahan makanan yang mengandung vitamin A20
No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total
1 Nasi 0 0 0
2 Jagung Kuning 0 0 225
3 Nasi Ketan Putih 0 0 0
4 Nasi Tim 0 0 0
5 Bihun 0 0 0
6 Biskuit 0 0 0
No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total
11
7 Mi 0 0 0
8 Mi Ayam 39,4 0 166
9 Tepung Terigu 0 0 0
10 Bakwan 0 0 0
11 Lapis Legit 41 0 1032
12 Martabak 0 0 0
13 Nasi Rames 96 0 3140
14 Roti Putih 0 0 0
15 Spaghetti 42 0 940
16 Kentang 0 0 0
17 Singkong 0 0 0
18 Ubi 0 0 4427
19 Keripik Kentang 0 15 0
20 Keripik Singkong 0 0 0
21 Kerupuk MiKuning 0 0 333
22 Kerupuk Udang 0 0 0
23 Kacang Hijau 0 0 120
24 Kacang Kedelai 0 0 31
25 Kacang Tanah 0 0 0
26 Kelapa 0 0 0
27 Emping 0 0 0
28 Tahu 0 0 0
29 Tempe 0 0 0
30 Bayam 0 0 2293
31 Caisim 0 0 4188
32 Kacang Panjang 0 125,2 0
33 Daun Sawi 0 0 6460
34 Daun Singkong 0 0 7052
35 Jamur 0 0 0
36 Kangkung 0 0 5542
No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total
37 Timun 0 0 314
12
38 Labu 0 0 70
39 Nangka Muda 0 0 25
40 Tauge 0 0 20
41 Terong 0 0 30
42 Tomat 0 0 600
43 Wortel 0 0 7125
44 Capcai 44,5 0 1640
45 Gado – Gado 3 0 5929
46 Ketoprak 3 0 435
47 Sayur Asem 14 0 2075
48 Semur Jengkol 0 0 81
49 Alpukat 0 0 180
50 Apel 0 0 90
51 Belimbing 0 0 170
52 Dukuh 0 0 0
53 Durian 0 0 175
54 Jeruk 0 0 190
55 Jambu 0 0 0
56 Kedondong 0 0 0
57 Lemon 0 0 0
58 Mangga 0 316 0
59 Nanas 0 0 90
60 Pisang 0 0 79
61 Pepaya 0 0 365
62 Salak 0 0 0
63 Ayam 245 0 0
64 Bebek 273 0 0
65 Daging Kambing 0 0 0
66 Daging Sapi 9 0 0
No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total
67 Ayam Kentucky 36 0 50
68 Babi 0 0 0
13
69 Beef Burger 218 0 7540
70 Usus Ayam 0 0 0
71 Cumi – Cumi 0 0 0
72 Ikan 45 0 0
73 Pempek Tenggiri 0 0 0
74 Telur Ayam 203 0 125
75 Susu Sapi 39 0 0
76 Usus Sapi 518 0 0
77 Keju 227 0 0
78 Es Krim 158 0 0
79 Coklat 0 0 30
80 Yoghurt 22 0 0
81 Margarine 606 0 0
82 Mentega 1000 0 0
83 Minyak ikan 24242 0 0
84 Minyak kacang tanah 0 0 0
85 Minyak kelapa 0 0 0
86 Minyak kelapa sawit 0 18181 0
87 Minyak wijen 0 0 0
88 Minyak zaitun 0 0 0
89 Kopi 0 0 0
90 Markisa squash 0 23 75
91 Sirup 0 0 0
92 Teh hijau / Teh melati 0 8400 0
93 Bawang merah / putih 0 0 0
94 Cabai hijau 0 0 260
95 Cabai merah 0 0 470
96 Cabai rawit 0 0 11050
No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total
97 Kecap 0 0 0
98 Saos tomat 0 0 570
99 Daun bawang 0 218,4 0
14
100 Kecap 0 0 0
101 Telur puyuh 95 80 0
102 Ikan teri 13 0 28
103 Hati 13303 0 0
104 Sosis daging 0 0 0
105 Udang 18 0 0
Pada tahun 1988, menurut WHO/FAO, sejumlah provitamin A dalam diet memiliki
aktivitas vitamin A yang sama dengan 1 mcg retinol adalah 6 mcg ß-karoten atau 12 mcg
provitamin A karotenoid lainnya. Efisiensi konversi ini disebut sebagai bioefficacy. Sehingga
2 mcg ß-karoten dalam minyak atau 12 mcg ß-karoten dalam makanan memiliki aktifitas vitamin
A yang sama dengan 1 mcg retinol. US Institute of Medicine (IOM) dengan faktor konversi baru,
mengusulkan agar 12 mg ß-karoten dalam diet memiliki aktifitas vitamin A yang sama sebagai
1 mcg retinol. Namun dengan menggunakan tingkat konversi baru IOM, populasi di negara-
negara berkembang tidak bisa mencapai kecukupan. Beberapa studi di Indonesia dan Vietnam
menemukan bahwa sebanyak 21 mcg ß-karoten dalam diet campuran (dengan rasio
sayuran untuk buah 4:1) aktivitas vitamin A yang sama sebagai 1 mcg retinol. Oleh karena itu,
mengendalikan kekurangan vitamin A di negara-negara berkembang tidak hanya membutuhkan
sebuah suplemen vitamin tetapi juga pendekatan berbasis pangan, termasuk fortifikasi makanan
dan pengenalan strain tanaman baru dengan peningkatan aktifitas vitamin A.13,17
2.1.3.7 Penatalaksanaan
Tanda-tanda khas pada mata karena kekurangan vitamin A dimulai dari rabun senja (XN)
dimana penglihatan penderita akan menurun pada senja hari bahkan tidak dapat melihat di
lingkungan yang kurang cahaya. Pada tahap ini penglihatan akan membaik dalam waktu 2-4 hari
dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila dibiarkan dapat berkembang menjadi
xerosis konjungtiva (X1A). Selaput lendir atau bagian putih bola mata tampak kering, berkeriput,
dan berubah warna menjadi kecoklatan dengan permukaan terlihat kasar dan kusam. Xerosis
konjungtiva akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam
waktu 2 minggu dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila tidak ditangani akan
tampak bercak putih seperti busa sabun atau keju yang disebut bercak Bitot (X1B) terutama di
15
daerah celah mata sisi luar. Pada keadaan berat akan tampak kekeringan pada seluruh permukaan
konjungtiva atau bagian putih mata, serta konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan
berkerut-kerut. Bila tidak segera diberi vitamin A, dapat terjadi kebutaan dalam waktu yang
sangat cepat. Tetapi dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar dan dengan pengobatan
yang benar bercak bitot akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang
dalam 2 minggu.9,17
Tahap selanjutnya bila tidak ditangani akan terjadi xerosis kornea (X2) dimana
kekeringan akan berlanjut sampai kornea atau bagian hitam mata. Kornea tampak suram dan
kering dan permukaannya tampak kasar. Keadaan umum anak biasanya buruk dan mengalami
gizi buruk, menderita penyakit campak, ISPA, diare. Pemberian kapsul vitamin A dan
pengobatan akan menyebabkan keadaan kornea membaik setelah 2-5 hari dan kelainan mata
sembuh setelah 2-3 minggu. Bila tahap ini berlanjut terus dan tidak segera diobati akan terjadi
keratomalasia (X3A) atau kornea melunak seperti bubur dan ulserasi kornea (X3B) atau
perlukaan. Selain itu keadaan umum penderita sangat buruk. Pada tahap ini kornea dapat pecah.
Kebutaan yang terjadi bila sudah mencapai tahap ini tidak bisa disembuhkan. Selanjutnya akan
terjadi jaringan parut pada kornea yang disebut xeropthalmia scars (XS) sehingga kornea mata
tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengempis.9,17
2.1.2 Penurunan Ketajaman Penglihatan
2.1.2.1 Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana bayangan tegas
tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak
pada satu titik yang tajam. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di
belakang retina dan tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan
terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang
sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga pada
mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia
dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan
astigmat. Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas
kornea, cairan mata, lensa, benda kaca dan panjangnya bola mata.21
16
2.1.2.2 Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata. Gangguan
penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang
mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata
yang memberikan keluhan mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan
dengan kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan
menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk
besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan
kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tertentu.22
Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan
membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk kartu. Pasiennya dinyatakan
dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat
melihat huruf pada jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam
penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15 atau 20/20 kaki). Tajam
penglihatan maksimum berada di daerah fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan
umum, kontras, berbagai uji warna, waktu papar dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam
penglihatan mata.22
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata. Setiap
mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian
kiri lalu mencatatnya. Dengan gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata
hanya dapat membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit. Satu huruf hanya dapat
dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima menit dan setiap bagian dipisahkan dengan
sudut satu menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat
karena sudut yang dibentuk harus tetap lima menit.22
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima atau enam meter.
Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada
pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen
yang setiap hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris
tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 60 meter; dan pada baris
tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada
17
baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut lima menit pada jarak enam meter, sehingga
huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas.22
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan
melihat seseorang, seperti:22
- Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak enam meter,
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter.
- Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti
tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
- Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti
tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
- Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam meter
yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
- Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji
hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
- Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak
tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya
dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
- Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih
buruk daripada 1/60 sedangkan pada orang normal dapat melihat.
2.1.2.3 Faktor – faktor Lain yang Mempengaruhi Ketajaman Penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti usia,
kesehatan mata dan tubuh dan latar belakang pasien. Ketajaman penglihatan cenderung menurun
sesuai dengan meningkatnya usia seseorang. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang
mempengaruhi ketajaman penglihatan seseorang.23 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Siregar et al mengenai perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi pada
siswa/i di SD dan SMP RK Budi Mulia Pematang Siantar didapatkan sebanyak 73 siswa dari 95
siswa yang mengalami kelainan refraksi dan yang lebih mendominasi adalah pada jenis kelamin
perempuan (58,9%). Namun hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan mengenai perbedaan jenis kelamin tersebut.24 Dari penelitian yang dilakukan di
Sumatra, Indonesia, didapat bahwa penyebab tertinggi terjadinya low vision atau visual
18
impairment adalah katarak, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, amblyopia, Age-related
Macular Degeneration, Macular Hole, Optic Atrophy dan trauma.25 Kelainan refraksi merupakan
suatu kelainan mata yang herediter.26 Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan refraksi:
2.1.2.3.1 Genetika (Herediter)
Penelitian genetika menunjukkan bahwa miopia ringan dan sedang biasanya bersifat
poligenik, sedangkan miopia berat bersifat monogenik. Penelitian pada pasangan kembar
monozigot menunjukkan bahwa jika salah satu dari pasangan kembar ini menderita miopia,
terdapat risiko sebesar 74% pada pasangannya untuk menderita miopia juga dengan perbedaan
kekuatan lensa di bawah 0,5 D. Salah satu faktor yang dapat berhubungan dengan ketajaman
penglihatan adalah faktor genetika orangtua dan menggunakan kacamata. Suatu penelitian oleh
Lely et all di sekolah dasar katolik santa Theresia 2 manado didapatkan sebanyak 39 dari 70
siswa (48,8%) yang menunjukkan penurunan visus memiliki orangtua yang menggunakan
kacamata. Menurut penelitian Abimanyu JK pada tahun 2010 pada anak sekolah dasar di
kabupaten Tanggamus didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara genetika dengan
adanya kejadian penurunan ketajaman penglihatan (p < 0,05) pada siswa – siswi tersebut.7,27
2.1.2.3.2 Jarak Menonton
Selain genetika yang menyebabkan panjangnya sumbu bola mata, faktor kebiasaan juga
mempengaruhi hal tersebut. Salah satunya adalah kebiasaan membaca dekat, menonton yang
terlalu dekat, dan kurangnya pencahayaan dalam jangka waktu yang lama dan sering. Beberapa
dugaan teori mengatakan bahwa seringnya membaca ataupun menonton yang dekat dapat
memaksa mata menggunakan ototnya secara berlebih untuk membuat mata konvergen, sehingga
otot mata lama kelamaan akan hipertrofi dan membuat aksis bola mata menjadi cenderung
panjang. Sedangkan lamanya akomodasi akan memaksa otot siliaris berkontraksi untuk
mencembungkan lensa mata. Bila hal ini terus menerus terjadi dalam jangka waktu yang lama,
seiring terjadinya kekakuan lensa karena degeneratif, maka lensa akan menjadi lebih cembung
dan pembiasaan yang terjadi lebih kuat untuk seterusnya.28,29
Selain itu, radiasi sinar biru dari televisi juga mempengaruhi kesehatan mata melalui
retina. Pancaran sinar dari layar televisi merupakan salah satu sumber sinar biru, selain pancaran
19
sinar matahari, lampu neon, dan komputer. Sinar yang memiliki panjang gelombang cahaya 400-
500 nm pada spektrum sinar yang masih dapat diterima mata bisa menyebabkan kerusakan dan
menimbulkan luka fotokimia pada retina mata anak. Menurut Sitorus RS, jika hal ini terus
berkelanjutan bisa menyebabkan makula degeneratif yang terjadi pada anak saat dewasa. Dalam
jangka waktu pendek, dampak sinar biru dapat mengganggu kerja retina sehingga menghambat
proses pembelajaran melalui mata.28
Sinar biru merupakan sinar proses pembelajaran melalui mata yang bersifat paling
merusak dan dapat mencapai retina. Bayi dilahirkan dengan lensa yang relatif jernih atau bening
yang secara bertahap dan alami berubah menjadi kuning sejalan dengan usia. Risiko terbesar
kerusakan akibat sinar biru yaitu sekitar 70- 80 persen sinar biru dapat mencapai retina pada usia
0-2 tahun dan 60-70 persen pada usia 2 hingga 10 tahun. Adapun sinar biru yang mencapai retina
pada usia 60 hingga 90 tahun hanya mencapai 20 persen.28
Orang tua biasanya hanya menghimbau anak – anak untuk tidak menonton TV dekat-
dekat tanpa menjelaskan secara detil sedekat atau sejauh apa anak seharusnya menonton TV.
Hasil penelitian Abimanyu JK (2010) pada anak sekolah dasar di kabupaten Tanggamus
memperkuat perkiraan teori ini, dimana hasilnya adalah jarak menonton mempunyai OR 3,333
(CI 95%: 1,944 – 5,713) dan p < 0,05.30
Ternyata untuk menghitung jarak aman menonton TV, ada rumus yang berlaku secara
internasional untuk menghitung jarak aman menontonnya agar tidak berefek buruk terhadap
mata.30
Ukuran layar televisi adalah jarak diagonal layar dari ujung layar kiri atas ke ujung layar
kanan bawah. Berikut ini jarak aman menonton TV berdasarkan rumus tersebut dan hanya
terpaut dari ukuran layar televisi yang popular di Indonesia: 14 inchi = 1,78 meter (1 inchi adalah
0,0254 meter).30
17 inchi = 0,4318 meter
20 inchi = 0,508 meter
21 inchi = 0,5334 meter
29 inchi = 0,7366 meter
20
Rumus jarak aman nonton TV = Ukuran layar televisi (inchi) x 5
32 inchi = 0,8128 meter
50 inchi = 1,27 meter
2.1.2.3.3 Lama Melihat Layar, Intensitas Cahaya dan Pencahayaan
Penerangan ruang kerja yang kurang dapat mengakibatkan kelelahan mata, akan tetapi
penerangan yang terlalu kuat dapat menyebabkan kesilauan. Menurut Grandjen menyatakan
bahwa penerangan yang didesain tidak baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan
penglihatan selama kerja.31 Berdasarkan hasil penelitian oleh Lely et al mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan ketajaman penglihatan pada pelajar SD Katolik Santa Theresia 2 di
Manado didapatkan faktor screen time (>2 jam/hari) menunjukkan persentasi sebanyak 80%.
Faktor posisi membaca menunjukkan persentase 65,7% yaitu posisi duduk tidak tegak. Faktor
jarak membaca menunjukkan persentase 72,9% yaitu jarak membaca <30 cm.27
Pengaruh dari penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan:27
a. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja.
b. Kelelahan mental.
c. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala disekitar mata,
d. Kerusakan indra mata.
Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan
performance kerja, termasuk:27
a. Kehilangan produktifitas
b. Kualitas kerjanya rendah
c. Banyak terjadi kesalahan
d. Kecelakaan kerja meningkat
Meskipun sudah banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pemakaian komputer, namun
belum banyak yang menyadari banyak pemakaian komputer dalam waktu lama dan terus
menerus serta dengan jumlah penerangan yang kurang.32
Penggunaan komputer dengan kondisi penerangan yang kurang dan dalam waktu lama
beresiko terkena mata lelah atau astenopia. Data organisasi kesehatan sedunia (WHO)
menunjukkan angka kejadian berkisar 40-90%. Astenopia adalah gejala yang diakibatkan oleh
21
upaya berlebihan dari sistem penglihatan yang berada dalma kondisi kurang sempurna untuk
memperoleh ketajaman penglihatan. Penglihatan terasa buram, ganda, kemampuan melihat
warna menurun. Gejala diikuti sakit kepala, bahu, punggung dan pinggang vertigo serta
kembung.32
Menurut Jeffery Anshell, optometris di California yang dikutip oleh Iis Faizah Hanum,
menyatakan karakteristik layar/monitor komputer (VDT) dan kebutuhan bekerja dengan
menggunakan komputer, dapat memicu timbulnya masalah mata dan penglihatan. Apabila kedua
mata fokus pada satu titik dalam jangka waktu lama, lensa mata akan mengalami stuck at the
focal point yang akan menimbulkan keluhan kelelahan mata.32
Berbagai gejala yang timbul pada pekerja komputer yang bekerja dengan penerangan
yang kurang selain diakibatkan karena sedikit cahaya yang masuk ke bola mata, juga karena
mata seorang pekerja komputer berkedip lebih sedikit dibandingkan normal. Berkurangnya
kedipan, menyebabkan mata menjadi kering dan terasa terbakar.32
Computer Vision syndrom (CVS) dapat diakibatkan karena berkurangnya aliran air mata
atau disebabkan oleh terlalu besarnya refleksi maupun silau monitor. Saat kita menatap
komputer, maka kedipan mata berkurang sebesar 2/3 kali dibandingkan kondisi normal, yang
mengakibatkan mata menjadi kering, teriritasi, tegang, dan lelah. Jarak melihat layar komputer
yang ideal adalah sekitar 50-100 cm. Penerangan lingkungan dan penerangan dari komputer
yang tidak tepat juga akan mengakibatkan ketegangan dan kelelahan pada mata. CVS dapat
muncul dengan segera setelah pemakaian komputer dalam jangka waktu dalam atau lebih dari 4
jam, namun ada yang muncul setelah beberapa hari kemudian.32
Kelelahan mata dapat menjadi jika mata berfokus pada objek berjarak dekat dalam waktu
yang lama, karena otot-otot mata harus bekerja lebih keras untuk melihat objek berjarak sangat
dekat, terutama jika disertai dengan penerangan yang terlalu redup atau terlalu menyilaukan. Jika
seseorang bekerja melihat objek bercahaya diatas dasar berwarna pada jarak dekat terus-menerus
dalam jangka waktu tertentu, maka harus berakomodasi dalam jangka waktu yang panjang.
Kelelahan mata dapat menyebabkan daya akomodasi mata menurun. Lama melihat layar yang
ideal adalah maksimal selama 30 menit kemudian diselingi dengan mengistirahatkan mata dari
menatap layar.32
22
Sinar biru pada layar berperan dalam kerusakan retina yang mengakibatkan penurunan
ketajaman penglihatan. Maka bila seseorang menatap terlalu lama terhadap layar komputer,
televisi, ataupun sejenisnya dapat merusak mata.32
Pada saat membaca sebaiknya dilakukan di tempat yang terang dan gunakan
lampu dengan cahaya yang berwarna putih.34 Menurut penelitian yang dilakukan Seema S
et al terhadap anak SD di Rural Haryana, terdapat 24 dari 109 siswa yang mengalami penurunan
ketajaman penglihatan (22%). Penurunan ketajaman penglihatan memiliki hubungan yang
bermakna dengan menonton TV dalam keadaan pencahayaan yang gelap (p<0,01). Dr. Anand
Shroff dalam satu artikelnya berpendapat bahwa menonton TV dalam ruangan dengan
pencahayaan yang cukup, atau bahkan pencahayaan ringan akan lebih baik untuk penglihatan
mata.1
Jumlah sumber cahaya yang tersedia juga mempengaruhi kepekaan mata terhadap warna
tertentu. Tingkat luminansi yang diukur dengan luxmeter juga akan mempengaruhi kemampuan
mata melihat objek gambar dan pada usia tua diperlukan intensitas penerangan lebih besar untuk
melihat objek gambar. Semakin besar luminansi dari sebuah objek, rincian objek yang dapat
dilihat oleh mata juga akan semakin bertambah. Iluminasi atau intensitas penerangan adalah flux
cahaya yang jatuh pada suatu bidang atau permukaan, sehingga suatu intensitas penerangan
adalah lumen/m2 atau lux (lx).1
2.1.2.3.4 Jarak Membaca
Saat ini sangat kurang perhatian mengenai gangguan penglihatan khususnya pada anak
sekolah, padahal lingkungan belajar yang tidak baik menjadi salah satu pemicu terjadinya
penurunan ketajaman penglihatan pada anak, seperti membaca tulisan di papan tulis dengan jarak
yang terlalu jauh tanpa didukung oleh pencahayaan kelas yang memadai, anak membaca buku
dengan jarak yang terlalu dekat, dan sarana prasarana sekolah yang tidak ergonomis saat proses
belajar mengajar.27
Faktor lingkungan yang paling banyak berperan pada miopia adalah adanya aktivitas
pekerjaan dekat yang terus menerus. Penelitian yang dilakukan oleh Saw dkk dalam Fachrian
dkk, menggambarkan hubungan antara nearwork atau aktivitas melihat dekat dengan miopia
pada anak di singapura. Nearwork merupakan pengaruh lingkungan yang kuat terhadap
perkembangan pertambahan miopia. Seiring kemajuan teknologi dan telekomunikasi seperti
23
televise, komputer, video game, dan lain-lain secara langsung maupun tidak langsung akan
meningkatkan aktivitas melihat dekat terutama pada anak-anak di daerah perkotaan. Jarak
membaca yang dianjurkan ideal adalah 30 cm, karena jarak antara cahaya yang masuk pada
permukaan kornea ke retina sekitar 33 mm. Dengan sudut 40-70 derajat dari permukaan meja.27
Pengujian statistik mencari hubungan antara jarak membaca dengan ketajaman
penglihatan menunjukkan nilai p=0,011 (p<0,05) sehingga ada hubungan antara jarak membaca
dengan ketajaman penglihatan pada pelajar Sekolah Dasar Katolik 02 Kota Manado yang
didukung oleh penelitian dari Wati (2008) yang menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga
ada hubungan yang bermakna antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan. Hal ini
disebabkan karena jarak membaca yang dilakukan siswa-siswi Sekolah Dasar Katolik Santa
Theresia 02 Kota Manado terlalu dekat dan didukung oleh proses pembelajaran yang terlalu
dipaksakan sehingga ketajaman penglihatan siswa-siswi menjadi tidak normal.27
2.1.2.3.5 Lama Membaca
Sebaiknya tidak membaca selama 1 jam secara terus menerus. Selingi dengan istirahat
berupa melemparkan pandangan ke arah yang jauh, atau memejamkan mata sehingga otot mata
rileks. Saat beristirahat setelah membaca, disarankan mengalihkan penglihatan ke objek alami
yang hijau atau biru seperti tanaman atau langit. Ini akan mengembalikan fungsi warna pada
mata menjadi normal kembali setelah menatap bacaan.1 Penelitian Fachrian D et al pada pelajar
SD “X” di Jatinegara Jakarta Timur menemukan bahwa 55,7% responden dengan penurunan
ketajaman penglihatan memiliki aktivitas melihat dekat dan lama dengan peningkatan risiko
kelainan tajam penglihatan sebesar empat kali lipat (OR 3,0; 95% CI 1,2 – 7,4).8
2.1.2.3.6 Posisi Tubuh Saat Membaca
Posisi membaca sambil berbaring memang menyenangkan dan sedikit lebih rileks,
namun posisi ini sangat tidak baik meskipun terasa nyaman dan santai. namun apalah gunanya
serasa santai namun efek yang di tibulkan sangat besar terhadap kesehatan mata kita salah satu
resikonya mata akan menjadi minus atau slinder. sebenarnya hal besar yang membuat mata kita
menjadi beresiko minus atau slinder bukanlah pada posisi tidurnya tetapi melainkan arah
lampunya atau cahaya lampunya yang tidak merata diterima oleh retina mata kita.1
24
Untuk menghindari akan efek negatif yang di timbulkan oleh posisi berbaring saat
membaca, sebaiknya kita perlu mengetahui bagaimana posisi membaca yang baik. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan saat membaca, yaitu sebaiknya duduklah pada saat membaca. Bahan
bacaan berada 60 derajat dari posisi horizontal dan posisi mata pada saat membaca mata melihat
lurus kebawah (bukan lurus kedepan) dengan jarak yang ideal 15-25 cm, namun jarak ini
bukanlah patokan buat kita, carilah jarak yang menurut Anda yang enak dan tidak menyebabkan
kelelahan pada mata anda namun jaraknya tidak kurang dari jarak ideal.1 Menurut penelitian
Abimanyu JK (2010) pada anak sekolah dasar di Kabupaten Tanggamus, ditemukan persentase
65, 7 % anak – anak membaca dengan posisi duduk tidak tegak (p=0,114).
2.1.2.3.7 Suplemen Vitamin A
Vitamin A pada suplemen dalam bentuk utuh karotenoid, dengan 40-60% karotenoid
akan diserap langsung oleh saluran pencernaan. Penggunaan suplemen vitamin A berperan
sebagai antioksidan dan meningkatkan imun tubuh, mencegah pilek, influenza dan infeksi.
Vitamin A dalam dosis besar juga bisa menjadi racun, namun peristiwa ini jarang terjadi karena
beta karoten diubah menajdi vitamin A di hati dan tidak bisa menjadi overdosis.28 Menurut
penelitian yang dilakukan Ossa pada pengemudi bus malam, terdapat perbedaan yang bermakna
antara ketajaman penglihatan sebelum dan sesudah pemberian suplemen vitamin A (p = 0,011).
2.1.2.3.8 Status Gizi
Anak sekolah merupakan sumber daya manusia (SDM) di masa depan sebagai generasi
penerus bangsa yang potensinya dan kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Untuk
mempersiapkan SDM yang tangguh, sehat dan produktif perlu perhatian sedini mungkin. Untuk
mewujudkan harapan seperti itu masih banyak kendala yang harus diatasi. Beberapa hasil
penelitian mengungkapkan sebagian anak sekolah masih mengalami berbagai gangguan gizi.
Hasil RISKESDAS gizi anak sekolah (6-I4 tahun) secara nasional dengan kategori kurus dan
sangat kurus menurut indeks IMT menurut umur pada laki-laki sebesar 13,3% dan perempuan
10,9%. Data Riskesdas (2010) Jawa Tengah menunjukkan status gizi remaja umur 16-18 tahun
menurut kategori TB/U yang memiliki tubuh pendek sebesar 23,9 % dan yang memiliki status
gizi normal sebesar 70,3%. Status gizi remaja Jawa Tengah yang dihitung dengan rumus IMT
25
didapatkan remaja yang memiliki tubuh kurus sebesar 6,7%, normal 91,0% dan gemuk 0,7%.
Status gizi berdasarkan indeks IMT rnenurut umur menggambarkan kekurangan gizi pada saat
ini. Gangguan gizi selain makro (energi dan protein), dapat juga disebabkan kurang zat gizi
mikro (zat besi,vitamin A dan seng)atau kombinasi dari ketiganya. Saat ini status gizi secara
antropometri lebih dikaitkan dengan asupan zat gizi makro (karbohidrat, kalori, protein dan
lemak). Padahal peranan zat gizi makro tidak akan optimal tanpa kehadiran zat gizi mikro. Rata-
rata konsumsi orang dewasa yang dianjurkan sebesar 2100 kalori per hari merupakan patokan
global dengan asumsi di dalamnya tersedia zat gizi mikro yang memadai. Pada kenyataannya
masih ditemukan kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi dan vitamin A di masyarakat.
Berdasarkan survey pendahuluan dilakukan peneliti pada 13 Januari 2014 di SMP
Muhammadiyah 1 Kartasura memiliki status gizi siswa-siswi SMP Muhammadiyah 1 Kartasura
50% status gizi kurang dan 18,7% status gizi overweight.35 Data Riskesdas (2010), secara umum
persentase anak remaja di Indonesia yang memiliki tubuh pendek hampir mencapai 30%, anak
yang kurus mencapai 8,9% dan anak yang kegemukan mencapai 1,4%.28
Ada cara sederhana untuk mengecek apakah status gizi sudah cukup baik atau belum,
yaitu dengan menggunakan metode Body Mass Index (BMI).34
BMI=berat badan(dalam kg)
kuadrat tinggi badan(dalam m)
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi
orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan atau kelebihan berat badan.
2.1.2.3.9 Status Ekonomi
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh ekonomi,
salah satunya pekerjaan. Pekerjaan disini memang tidak secara langsung mempengaruhi status
gizi, tetapi pekerjaan ini dihubungkan dengan pendapatan dalam keluarga yang pada akhirnya
akan mempengaruhi perubahan gaya hidup, dalam hal ini terutama perubahan pada komsumsi
yang menentukan status gizi anak. Sebagai contoh, orang kelas menengah ke bawah atau orang
miskin di desa tidak sanggup membeli makanan yang bergizi tinggi terus menerus. Misalnya,
keluarga yang tidak mampu membeli daging setiap hari untuk anak – anaknya, dan yang dapat
26
diberikan setiap hari hanyalah nasi dengan lauk pauk yang sedikit seperti ikan asin, maka asupan
gizinya mungkin tidak mencukup kebutuhan sehari – harinya. Pendapatan akan membatasi
seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang mahal harganya.34,35
2.1.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Pola Makan yang Mengandung Vitamin
A
Definisi pengetahuan secara luas yaitu hasil penginderaan seseorang melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba tehadap suatu objek tertentu. Selain itu, pengetahuan
dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan bertahan lebih lama dibanding tidak didasari dengan pengetahuan.36
Tentunya sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatdmodjo di atas maka
semakin baik pengetahuan gizi anak maka diharapkan akan semakin baik pula perilaku makan
yang dimiliki oleh anak tersebut. Anak yang memiliki pengetahuan yang baik maka akan
memiliki kesadaran tinggi untuk selalu memilih makanan yang mengandung banyak vitamin.
Bukan hanya didasari oleh tradisi keluarga, tetapi lebih dari itu mereka memang benar-benar
mengetahui dan memahami manfaat vitamin bagi tubuh mereka. Oleh karena itu, hal ini
mencerminkan bahwa sangat penting memberikan pengetahuan gizi pada anak-anak sejak dini.37
Husaini (1995) mengemukakanbahwa kurang pengetahuan tentang gizi, masa bodoh dan
curiga terhadap makanan tertentu dapat menimbulkan kurang gizi walaupun bahan makanan
cukup tersedia. Berbeda bila ia mempunyai pengetahuan yang cukup, maka seseorang dapat
berubah sikap dan perilakunya.38
Sikap menurut Sunaryo (2004) adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa
respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu. Jadi, sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu
perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap objek.39
Sikap mengenai gizi terbentuk dari pengetahuan tentang gizi yang dimiliki. Pengetahuan
gizi yang baik otomatis akan membuat sikap seseorang terhadap gizi menjadi baik pula.
Kecenderungan anak yang memiliki pengetahuan gizi baik akan memilih untuk mengkonsumsi
makanan yang mengandung banyak gizi.
27
Pekerjaan orangtua
Pendapatankeluarga
Gaya hidup anak
Pola makan anak
Vitamin A
Sel Batang
RetinolHewaniDimetabolisme
Sel Kerucut
Rhodopsin Iodopsin
Perilaku anak
Sikap anak
Pengetahuan anak
Seorang ahli psikologi, Skinner (1983), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Masa anak merupakan masa
ketika seseorang sudah mulai dapat belajar untuk mengembangkan pola-pola dan perilaku yang
telah dibentuk oleh orangtua. Demikian juga dengan perilaku makan. Demikian juga dengan
perilaku makan, pada masa anak usia sekolah, anak mulai mengembangkan perilaku makannya
sendiri karena adanya pengaruh dari luar rumah. Salah satu masalah yang sering terjadi pada
masa anak-anak dan berkaitan dengan perilaku makan adalah kekurangan gizi. Anak yang
dibiasakan oleh orangtua atau sangat senang makan makanan yang tidak bergizi dan tidak
banyak mengandung vitamin dapat menjadikan anak mengalami kekurangan gizi.40
2.2 Kerangka Teori
28
Pola makan yang mengandung vitamin A
Penurunan ketajaman penglihatan
Lama layar
Lama membaca Status gizi
Jenis Kelamin
2.3 Kerangka Konsep
29
3.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi observasional dengan rancangan analitik dan pendekatan
cross sectional mengenai hubungan antara pola makan yang mengandung vitamin A dengan
penurunan ketajaman penglihatan pada siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi
Selatan periode 24 - 31 Juli 2015.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 - 31 Juli 2015 di SMPN 271, Kelurahan
Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
3.3 Populasi
Populasi target adalah semua siswa/i SMPN 271 di Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta. Populasi terjangkau
adalah semua siswa/i SMPN 271 yang pada tanggal 24 - 31 Juli 2015 berada di sekolah di
kelurahan Sukabumi Selatan.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi
Semua siswa/i SMPN 271 yang pada tanggal 24 - 31 Juli 2015 berada di sekolah di
kelurahan Sukabumi Selatan.
3.4.2 Kriteria eksklusi
3.4.2.1 Semua siswa/i SMPN 271 yang pada tanggal 24 – 31 juli 2015 tidak hadir di tempat
penelitian dilakukan.
3.4.2.2 Semua siswa/i SMPN 271 yang mempunyai riwayat penyakit Glaukoma, Katarak,
Ablasio Retina, Diabetes Mellitus tipe 1, Penyakit hati, malabsorbsi lemak, fibrosis
kistik, penyakit Celiac (Sprue), Pancreatic Enzyme Deficiency, Inflammatory Bowel
Disease (IBD), kolestasis, dan telah menjalani operasi small bowel bypass.
3.4.2.3 Semua siswa/i SMPN 271 yang tidak bersedia dan tidak dapat mengikuti penelitian.
31
3.5 Besar Sampel
Melalui rumus dibawah ini, didapatkan besar sampel penelitian sebagai berikut :
n1=(Zα )2 pq
L2
n2 = n1 + (10%. n1)
n1 = jumlah sampel minimal
n2 = jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen subjek penelitian
yangmungkin drop out)
zα = nilai konversi pada tabel kurva normal, dengan nilai α = 5% didapatkan zα pada kurva
normal = 1,96
p = Proporsi variabel yang ingin diteliti, yaitu siswa/i SMPN 271 yang mengalami
penurunan ketajaman penglihatan karena kekurangan vitamin A. Suatu penelitian yang
dilakukan di Pematang Siantat menyatakan terdapat 58,9% anak – anak yang
mengalami penurunan ketajaman penglihatan. Kami akan mengambil proporsi variabel
yang telah ada dari suatu penelitian, yaitu 58,9%. Maka p = 58,9% = 0,589
q = 100% - p = 100% - 58,9 % = 41,1% = 0,411
L = Derajat kesalahan yang masih diterima adalah 10%
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan angka :
n1 = (1,96)2× 0,589 ×0,411
(0,1)2
n1 = 92,99
untuk menjaga adanya kemungkinan subjek penelitian yang drop out, maka dihitung :
n2 = 92,99 + (10% x 92,99)
n2 = 102,289 dibulatkan menjadi 103 subjek penelitian
Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 103 orang
3.6 Teknik Pengambilan Sampel
32
Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik cluster sampling. Para
siswa/i yang telah terpilih disebarkan quesioner untuk pengisian kuesioner.
3.7 Cara Kerja
Mengumpulkan data mengenai SMP – SMP yang berada di wilayah kerja Sukabumi
Selatan. Didapatkan 1 SMP di daerah Sukabumi Selatan Kebon Jeruk, Kemudian di
pilihlah SMPN 271.
Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.
Membuat kuesioner sebagai instrumen pengukuran data
Melakukan uji coba kuesioner di SMPN 82, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan
Grogol Petamburan.
Melakukan koreksi kuesioner.
Menghubungi pihak Fakultas Kedokteran UKRIDA untuk surat permohonan izin
melakukan penelitian di SMPN 271, kecamatan Kebon Jeruk, kelurahan Sukabumi
Selatan.
Membawa surat permohonan dari FK UKRIDA kepada kantor kecamatan bagian
pendidikan dasar untuk pembuatan surat permohonan izin penelitian dari bagian suku
dinas pendidikan kecamatan Kebon Jeruk kepada kepala sekolah SMPN 271.
Mengantar surat ke sub bagian TU sekolah SMPN 271 untuk merencanakan kegiatan
pengambilan data penelitian sebanyak 2 hari.
Menentukan jumlah sampel minimal 103 siswa/i dari total siswa/i SMPN 271 tingkat 8
dan tingkat 9 yang berjumlah 576 orang. Tingkat 7 seluruhnya tereksklusi karena tidak
dapat diganggu, mereka sedang menjalani kegiatan Masa Orientasi Peserta Didik Baru
(MOPDB). Pemilihan sampel menggunakan metode cluster sampling. Berikut adalah
detilnya :
Jumlah total siswa/i SMPN 271 tingkat 8 dan tingkat 9: 576 orang. Tingkat 8 memiliki 8
kelas, setiap kelas memiliki 36 siswa/i. Tingkat 9 memiliki 8 kelas, setiap kelas memiliki
36 siswa/i. Teknik pemilihan 2 kelas pada setiap angkatan menggunakan cluster sampling
dimana akan dipilih 2 kelas untuk tingkat 8 dan 2 kelas untuk tingkat 9.
Jumlah siswa/i 2 kelas dari tingkat 8 SMPN 271: 2 x 36 = 72 orang
Jumlah siswa/i 2 kelas dari tingkat 9 SMPN 271: 2 x 36 = 72 orang
Total adalah 72 x 2 = 144 sampel
33
Namun terdapat 19 siswa/i yang masuk ke kriteria eksklusi sehingga sampel yang didapat
sebanyak 125 orang.
Melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa
kuesioner, stadiometer, penggaris dan snellen chart di SMPN 271, Kelurahan Sukabumi
Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.
Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program SPSS.
Penulisan laporan penelitian.
Pelaporan penelitian.
3.8 Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan dengan memakai bantuan kuesioner, pengukuran manual jarak
membaca dan melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan ketajaman visus di
SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta
Barat, Provinsi DKI Jakarta periode 24 - 31 Juli 2015.
3.9 Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependent) dan variabel bebas
(independent).
- Variabel Dependent: Gangguan ketajaman penglihatan
- Variabel Independent: Pola konsumsi makanan yang mengandung vitamin A,
pengetahuan, sikap, perilaku tentang vitamin A dan makanan yang mengandung vitamin
A, tablet vitamin A, jarak membaca, lama membaca, lama melihat layar dan status gizi.
3.10 Manajemen dan Analisis Data
Terhadap data-data yang sudah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa proses
editing, verifikasi dan koding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan
program SPSS. Data yang didapat akan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabuler.
34
Terhadap data yang telah diolah dilakukan analisis dengan cara uji statistik menggunakan
uji chi square yang sesuai. Kemudian data diinterpretasikan secara deskriptif korelatif antar
variabel-variabel yang telah ditentukan.
3.11 Definisi Operasional
3.11.1 Murid SMP
Murid SMP adalah setiap laki-laki atau perempuan yang sedang menjalani jenjang
pendidikan dasar formal di Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) atau
yang sederajat.
3.11.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah suatu karakteristik yang membedakan individu sesuai dengan peran
reproduktif.
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Nominal
Hasil ukur : Laki-laki, Perempuan
3.11.3 Status Ekonomi
Status ekonomi adalah suatu keadaan yang dimiliki seorang ayah dan ibu dalam keluarga
untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dapat dinilai dari
pendapatan ayah dan pendapatan ibu.
Terbagi atas:
< Rp 2.700.000,00
≥ Rp 2.700.000,00
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Ordinal
Hasil ukur : < Rp 2.700.000,00, ≥ Rp 2.700.000,00
Koding
Kode 0: < Rp 2.700.000,00
Kode 1: ≥ Rp 2.700.000,00
35
3.11.4 Pengetahuan
Pengetahuan adalah pemahaman tentang pentingnya fungsi vitamin A bagi tubuh dan
dampak yang terjadi jika tubuh kekurangan vitamin A.
Didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 7 pertanyaan, maka jumlah total nilai
maksimal adalah 35 dan total nilai minimal adalah 7. Maka interval adalah 35 – 7 = 28.
Dengan teknik skoring sebagai berikut :
Pengetahuan kurang : (60% x 28) + 7 = 23,8. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori
kurang bila skor < 24.
Pengetahuan cukup : Data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang bila skor 24 - 29.
Pengetahuan baik : (80% x 28) + 7 = 29,4. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori baik
bila skor > 29.
Terbagi atas :
Kurang : < 24
Cukup : 24 - 29
Baik : >29
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Ordinal
Hasil ukur : Kurang, Cukup, Baik
Koding
Kode 0 : Kurang
Kode 1 : Cukup
Kode 2 : Baik
3.11.5 Sikap
Sikap adalah tanggapan responden terhadap pentingnya fungsi vitamin A bagi tubuh dan
dampak yang terjadi jika tubuh kekurangan vitamin A dalam bentuk persetujuan.
Didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 7 pertanyaan, maka jumlah total nilai
maksimal adalah 35 dan total nilai minimal adalah 7. Maka interval adalah 35 – 7 = 28.
Dengan teknik skoring sebagai berikut :
36
Sikap kurang : (60% x 28) + 7 = 23,8. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang
bila skor < 24.
Sikap cukup : Data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang bila skor 24 - 29.
Sikap baik : (80% x 28) + 7 = 29,4. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori baik bila
skor > 29.
Terbagi atas:
Kurang : < 24
Cukup : 24 – 29
Baik : > 29
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Ordinal
Hasil ukur : Kurang, Cukup, Baik
Koding
Kode 0 : Kurang
Kode 1 : Cukup
Kode 2 : Baik
3.11.6 Perilaku
Perilaku adalah suatu respon yang didapat dari lingkungan dan menjadi kebiasaan, dalam
hal ini tentang perilaku makan makanan yang mengandung vitamin A.
Didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 5 pertanyaan, maka jumlah total nilai
maksimal adalah 25 dan total nilai minimal adalah 5. Maka interval adalah 25 – 5 = 20.
Dengan teknik skoring sebagai berikut :
Perilaku kurang : (60% x 20) + 5 = 17. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang
bila skor < 17.
Perilaku cukup baik: Data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang bila skor 17 - 21
Perilaku baik : (80% x 20) +5 = 21. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori baik bila
skor > 21.
Terbagi atas:
Kurang : skor <17
Cukup : skor 17 – 21
37
Baik : skor >21
Alat ukur : Kuesioner
Skala : Ordinal
Hasil ukur : Kurang, Cukup, Baik
Koding
Kode 0: Kurang
Kode 1: Cukup
Kode 2: Baik
3.11.7 Suplemen Vitamin A
Suplemen vitamin A adalah suatu suplemen tambahan yang mengandung vitamin A
yang berfungsi dalam sistem penglihatan, fungsi pembentukan kekebalan dan fungsi reproduksi.
Dihitung dalam satuan IU dengan kadar maksimal 10.000 IU/hari.
Terbagi atas:
Tidak : Responden tidak mengkonsumsi suplemen yang mengandung vitamin A
Kurang : Responden mengkonsumsi suplemen vitamin A dengan kadar < 700 IU/hari
Cukup : responden mengkonsumsi suplemen vitamin A dengan kadar 700 IU/hari
sampai dengan 2799 UI/hari
Lebih : Responden yang mengkonsumsi suplemen vitamin A ≥ 2800 IU/hari
Alat ukur : Kuesioner
Skala pengukuran : Ordinal
Hasil pengukuran : Tidak mengkonsumsi, kurang, cukup, lebih
Koding
Kode 0 : Tidak
Kode 1 : Kurang
Kode 2 : cukup
Kode 3 : lebih
3.11.8 Lama Melihat Layar Komputer
38
Lama melihat layar komputer adalah seberapa lama seseorang dapat melihat layar
komputer tanpa mengistirahatkan matanya seperti melihat ketempat lain > 5 menit dan hanya
terpaku kepada layar komputer, yang dinilai dalam hitungan menit.
Terbagi atas:
Tidak baik : > 30 menit
Baik : ≤ 30 menit
Alat ukur : Kuesioner
Skala pengukuran : Ordinal
Hasil pengukuran : > 30 menit, ≤ 30 menit
Koding
Kode 0: > 30 menit
Kode 1: ≤ 30 menit
3.11.9 Jarak Membaca
Jarak membaca adalah jarak yang biasa digunakan seseorang untuk membaca buku yang
dinilai dalam sentimeter (cm).
Terbagi atas:
Tidak baik : < 30 cm
Baik : ≥ 30 cm
Alat ukur : Penggaris
Skala pengukuran : Ordinal
Hasil pengukuran : < 30 cm, ≥ 30 cm
Koding:
Kode 0 : < 30 cm
Kode 1 : ≥ 30 cm
3.11.10 Lama Membaca
Lama membaca adalah waktu yang dibutuhkan oleh seseorang dalam membaca media
cetak secara terus menerus tanpa ada istirahat > 5 menit yang dinilai dalam hitungan menit.
Terbagi atas: :-Tidak baik : > 30 menit
- Baik : ≤ 30 menit
39
Alat ukur : Kuesioner
Skala pengukuran : Ordinal
Hasil pengukuran : > 30 menit, ≤ 30 menit
Koding
Kode 0: > 30 menit
Kode 1: ≤ 30 menit
3.11.11 Status Gizi
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dinilai
dengan perhitungan berat badan dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.
Terbagi atas:
Kurang : IMT <18,5
Normal : IMT 18,5 – 22,9
Lebih : IMT > 23
Alat ukur : Stadiometer
Skala pengukuran : Ordinal
Hasil pengukuran : Kurang, Normal, Lebih
Koding:
Kode 0: Kurang
Kode 1: Normal
Kode 2: Lebih
3.11.12 Gangguan Ketajaman Penglihatan
Gangguan ketajaman penglihatan adalah suatu ketidakmampuan masing - masing mata
untuk mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak
yang telah distandarisasi serta ukuran dari simbol yang bervariasi.
Terbagi atas:
< 20/20 : Bila salah satu atau kedua mata memiliki hasil pengukuran visus < 20/20
≥ 20/20 : Bila kedua mata memiliki hasil pengukuran visus ≥ 20/20
Alat ukur : Snellen Chart
Skala : Ordinal
Hasil ukur : < 20/20, ≥ 20/20
40
Koding
Kode 0: < 20/20
Kode 1: ≥ 20/20
3.11.13 Pola Konsumsi Makanan yang Mengandung Vitamin A
Pola konsumsi makanan yang mengandung vitamin A adalah suatu cara atau usaha dalam
pengaturan jumlah dan jenis makanan yang mengandung senyawa prabentuk vitamin A (retinol)
dan provitamin A (beta karoten dan karotenoid lainnya), dimana asupan vitamin A per harinya
akan dirata – ratakan menjadi satu nilai. Diukur dalam 1 minggu untuk mewakili angka asupan
vitamin A dalam makanan perhari.
Terbagi atas:
Kurang: Laki-laki : <900 µgr/hari atau <3000 IU/hari
Perempuan : <700 µgr/hari atau <2320 IU/hari
Cukup: Laki-laki : 900-2799 µgr/hari atau 3000-9239 IU/hari
Perempuan : 700-2799 µgr/hari atau 2320-9239 IU/hari
Lebih : ≥2800 µgr/ atau 9240 IU/hari
Alat ukur : Food Frequency Questioner (FFQ) selama 1 minggu dan tabel
Recommended Daily Allowance (RDA) Vitamin A
Skala : Ordinal
Hasil ukur : Kurang, Cukup, Lebih
Koding
Kode 0: Kurang
Kode 1: Cukup
Kode 2: Lebih
3.12 Etika Penelitian
Responden yang telah mengisi kuesioner dan dilakukan pengukuran tinggi badan, berat
badan, jarak membaca serta ketajaman penglihatan pada penelitian ini dijamin kerahasiaannya
terhadap data-data yang didapat.
41
Bab IV
Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh pola makanan yang
mengandung vitamin A dan faktor-faktor lainnya terhadap penurunan ketajaman penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli
– 31 Juli 2015. Maka diperoleh hasil dari pengumpulan data pada 125 sampel penelitian.
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pola Makanan yang Mengandung Vitamin A di SMPN 271
Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli –
31 Juli 2015
Pola Makanan Yang
mengandung Vitamin A
Frekuensi Persentase (%)
Kurang 112 89.6
Cukup 10 8.0
Lebih 3 2.4
Total 125 100.00
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin, Status Ekonomi, Pengetahuan, Sikap,
Perilaku, Suplemen Vitamin A, Lama Membaca, dan Status Gizi di SMPN 271 Kelurahan
Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)
JENIS KELAMIN
Laki-laki 46 36,8
Perempuan 79 63,2
STATUS EKONOMI
< Rp 2.700.000,00 83 66,4
≥ Rp 2.700.000,00 42 33,6
42
VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)
PENGETAHUAN
Kurang 9 7,2
Cukup 80 64
Baik 36 28,8
SIKAP
Kurang 75 60
Cukup 48 38,4
Baik 2 1,6
PERILAKU
Kurang 92 73,6
Cukup 32 25,6
Baik 1 0,8
SUPLEMEN VITAMIN A
Tidak Mengonsumsi 100 80,0
Kurang 15 12,4
Cukup 5 4,0
Lebih 5 4,0
LAMA MELIHAT LAYAR
Tidak baik (> 30 menit) 74 59,2
Baik (≤ 30 menit) 40,8 51,0
LAMA MEMBACA
Tidak baik (> 30 menit) 48 38,4
Baik (≤ 30 menit) 77 61,6
43
VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)
JARAK MEMBACA
Tidak baik (< 30 menit) 58 46,4
Baik (≥30 menit) 67 53,6
STATUS GIZI
Kurang 52 41,6
Normal 50 40,0
Lebih 23 18,4
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan Siswa/i di SMPN 271 Kelurahan
Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)
VISUS
< 20/20 105 84,0
≥20/20 20 16,0
Tabel 4.4 Hubungan Antara Pola Makanan yang Mengandung Vitamin A dengan
Penurunan Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Pola Makanan
yang mengandung
Vit A
Kurang 95 17 112
- - -Cukup 8 2 10
Lebih 2 1 3
Total 105 20 125
df: 2
44
H0: Tidak ada hubungan antara pola makanan yang mengandung vitamin A dengan penurunan
ketajaman penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk,
Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Terdapat 3 sel dengan nilai expected cells kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan
kategori cukup dan lebih menjadi kategori cukup. Setelah dilakukan penggabungan kategori
melalui uji Fisher didapatkan nilai p=0,436 (p > 0,05) sehingga H0 diterima.
Tabel 4.5 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode
24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Jenis kelamin
Laki-laki 33 13 46
Uji X2 0.009 DitolakPerempuan 72 7 79
Total 105 20 125
df: 1
H0: Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN
271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31
Juli 2015
Tabel 4.6 Hubungan Antara Status Ekonomi dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode
24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Status Ekonomi
< Rp 2.700.000,00 66 17 83
Uji X2 0.096 Diterima≥ Rp 2.700.000,00 39 3 42
Total 105 20 125
df: 1
45
H0: Tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan penurunan ketajaman penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli
– 31 Juli 2015
Tabel 4.7 Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode
24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Pengetahua
n
Kurang 8 1 9
Uji X2 0.813 DiterimaCukup 66 14 80
Baik 31 5 36
Total 105 20 125
df: 2
H0: Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN
271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31
Juli 2015
Tabel 4.8 Hubungan Antara Sikap dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di SMPN
271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli
– 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Sikap
Kurang 64 11 75
- - -Cukup 40 8 48
Baik 1 1 2
Total 105 20 125
46
df: 2
H0: Tidak ada hubungan antara sikap dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN 271
Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli
2015
Terdapat 2 sel dengan nilai expected cells kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan
kategori cukup dan lebih menjadi kategori cukup. Setelah dilakukan penggabungan kategori
melalui uji Chi-square didapatkan nilai p=0,803 (p > 0,05) sehingga H0 diterima.
Tabel 4.9 Hubungan Antara Perilaku dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode
24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Perilaku
Kurang 79 13 92
- - -Cukup 26 6 32
Baik 0 1 1
Total 105 25 125
df: 2
H0: Tidak ada hubungan antara perilaku dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN 271
Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli
2015
Terdapat sel bernilai nol pada kategori baik sehingga dilakukan penggabungan kategori cukup
dan baik menjadi kategori baik. Setelah dilakukan penggabungan kategori melalui uji statistik
Chi-square didapatkan nilai p=0,500 (p > 0,05) sehingga H0 diterima.
47
Tabel 4.10 Hubungan Antara Pemberian Suplemen Vitamin A dengan Penurunan
Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon
Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Suplemen vit A
Tidak mengonsumsi 86 14 100
- - -
Kurang 13 2 15
Cukup 3 2 5
Lebih 3 2 5
Total 105 20 125
df: 1
H0: Tidak ada hubungan antara pola pemberian suplemen vitamin A dengan penurunan
ketajaman penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk,
Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Terdapat 5 sel dengan nilai expected cells kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan
kategori cukup dan lebih menjadi kategori cukup. Setelah dilakukan penggabungan kategori
masih terdapat 2 sel dengan nilai expected kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan
kategori kurang dan cukup menjadi kategori mengonsumsi suplemen melalui uji Fisher
didapatkan p=0,232 (p>0,05) sehingga H0 diterima.
48
Tabel 4.11 Hubungan Antara Lama Menatap Layar Komputer dengan Penurunan
Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon
Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Lama Melihat
Layar
Tidak baik (> 30
menit)
61 13 74
Uji X2 0.743 Diterima
Baik (≤ 30 menit) 44 7 51
Total 105 20 125
df: 1
H0: Tidak ada hubungan antara lama menatap layar komputer di SMPN 271 Kelurahan
Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Tabel 4.12 Hubungan Antara Jarak Membaca dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan
di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Jarak Membaca
Dekat (<30 cm) 47 11 58
Uji X2 0.551 DiterimaCukup (≥ 30 cm) 58 9 67
Total 105 20 125
df: 1
H0: Tidak ada hubungan antara jarak membaca dengan penurunan ketajaman penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli
– 31 Juli 2015
49
Tabel 4.13 Hubungan Antara Lama Membaca Terus-menerus tanpa Berhenti dengan
Penurunan Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Lama Membaca
Tidak baik (> 30
menit)
41 7 48
Uji X2 0.928 Diterima
Baik (≤ 30 menit) 64 13 77
Total 105 20 125
df: 1
H0: Tidak ada hubungan antara lama membaca terus-menerus dengan penurunan ketajaman
penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Periode 24 Juli – 31 Juli 2015
Tabel 4.14 Hubungan Antara Status Gizi dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di
SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode
24 Juli – 31 Juli 2015
Variabel Visus
<20/20 >=20/20
Total Uji Nilai p H0
Status Gizi
Kurang 43 9 52
Uji X2 0.225 DiterimaNormal 40 10 50
Lebih 22 1 23
Total 93 32 125
df: 2
H0: Tidak ada hubungan antara status gizi dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN
271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31
Juli 2015
50
Bab V
Pembahasan
5.1 Sebaran Penurunan Ketajaman Penglihatan pada Siswa/i SMPN 271, Kelurahan
Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI
Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Pada tabel 4.3, didapati distribusi penurunan ketajaman penglihatan (visus) kurang dari
20/20 dengan jumlah subjek 105 orang dengan persentase 84,0%. Diikuti visus 20/20 atau lebih
sebanyak 20 orang dengan persentase 16%.
Pada penelitian Fachrian D et al pada pelajar SD “X” di Jatinegara Jakarta Timur,
didapatkan prevalensi visus kurang dari 6/6 atau 20/20 sebesar 51,9%. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian kami dimana terdapat 84,0% yang memiliki visus kurang dari 20/20. Namun
pada penelitian Pettiss dan Gianini, terdapat data studi internasional yang menunjukkan bahwa
hanya sekitar 25% anak – anak usia sekolah memiliki suatu bentuk defisiensi penglihatan.
Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan geografis, genetik, gaya hidup, budaya,
sosial, dan ekonomi.
5.2 Analisis Univariat Jenis Kelamin, Status Ekonomi, Pengetahuan, Sikap, Perilaku,
Suplemen Vitamin A, Lama Melihat Layar dan Membaca Buku, Jarak Membaca Buku,
Status Gizi, dan Asupan Vitamin A Siswa/i SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli
sampai 31 Juli 2015
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada jenis kelamin perempuan dengan
jumlah subjek 79 orang dengan persentase 63,2%. Diikuti jenis kelamin laki-laki sebanyak 46
orang dengan persentase 36,8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Siregar et al,
dimana didapatkan perempuan mengalami penurunan ketajaman penglihatan yang lebih banyak
(58,9%) daripada laki – laki.
51
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada pendapatan kurang dari Rp
2.700.000,00 dengan jumlah subjek 83 orang dengan persentase 66,4%. Diikuti pendapatan lebih
dari Rp 2.700.000,00 sebanyak 42 orang dengan persentase 33,6%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada tingkat pengetahuan cukup dengan
jumlah subjek 80 orang dengan persentase 64,0%. Diikuti tingkat pengetahuan baik sebanyak 36
orang dengan persentase 28,8% dan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 9 orang dengan
persentase 7,2%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada sikap yang kurang dengan jumlah
subjek 75 orang dengan persentase 60,0%. Diikuti sikap yang cukup sebanyak 48 orang dengan
persentase 38,4% dan sikap baik sebanyak 2 orang dengan persentase 1,6%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada perilaku yang kurang dengan jumlah
subjek 92 orang dengan persentase 73,6%. Diikuti perilaku yang cukup sebanyak 33 orang
dengan persentase 25,6% dan perilaku yang baik sebanyak 1 orang dengan persentase 0,8%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada yang tidak mengkonsumsi suplemen
vitamin A dengan jumlah subjek 100 orang dengan persentase 80%. Diikuti yang mengkonsumsi
suplemen vitamin A kategori kurang sebanyak 15 orang dengan persentase 12,4%, lalu
mengkonsumsi suplemen vitamin A kategori cukup sebanyak 5 orang dengan persentase 4%, dan
mengkonsumsi suplemen vitamin A kategori lebih sebanyak 5 orang dengan persentase 4%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada yang melihat layar selama lebih dari 30
menit dengan jumlah subjek 74 orang dengan persentase 59,2%. Diikuti yang menatap layar
selama 30 menit atau kurang sebanyak 51 orang dengan persentase 40,8%.
Pada tabel 4.2, berdasarkan tabel jarak membaca buku, didapati distribusi terbanyak pada
yang membaca buku dengan jarak 30 cm atau lebih dengan jumlah subjek 67 orang dengan
persentase 53,6%. Diikuti yang membaca buku dengan jarak kurang dari 30 cm sebanyak 58
orang dengan persentase 46,4%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada yang membaca buku selama 30 menit
atau kurang dengan jumlah subjek 77 orang dengan persentase 61,6%. Diikuti yang membaca
buku selama lebih dari 30 menit sebanyak 48 orang dengan persentase 38,4%.
Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada status gizi kurang dengan jumlah subjek
52 orang dengan persentase 41,6%. Diikuti status gizi normal sebanyak 50 orang dengan
persentase 40.0% dan status gizi lebih sebanyak 23 orang dengan persentase 18,4%.
52
Pada tabel 4.1, didapati distribusi terbanyak pada asupan vitamin A kurang dengan
jumlah subjek 112 orang dengan persentase 89,6%. Diikuti asupan vitamin A cukup sebanyak 10
orang dengan persentase 80% dan asupan vitamin A yang lebih sebanyak 3 orang dengan
persentase 2,4%.
5.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN
271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara jenis kelamin terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi Square
dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,009, karena p < 0,05 maka Ho ditolak. Artinya,
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ketajaman penglihatan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Siregar et al pada siswa/i di SD
dan SMP RK Budi Mulia Pematang Siantar yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan mengenai perbedaan jenis kelamin pada penurunan ketajaman penglihatan. Hal ini
mungkin terjadi karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi penurunan ketajaman
penglihatan seperti genetik, gaya hidup, sosial, budaya, dan ekonomi. Tidak didapatkan teori
yang menyatakan hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan ketajaman penglihatan, oleh
karena itu hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor lainnya.
5.4 Hubungan Antara Status Ekonomi dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN
271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara status ekonomi terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square
dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,096, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status ekonomi dengan ketajaman penglihatan.
Hal ini dapat terjadi karena tidak hanya status ekonomi saja yang mempengaruhi
penurunan ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh multifaktorial ini. Walaupun status
ekonomi dapat mempengaruhi konsumsi daging, uang jajan anak, desain rumah (termasuk
jumlah lampu, televisi, komputer, dan meja belajar), konsumsi suplemen, ataupun sebagai
53
pencerminan pendidikan orangtua yang dapat mempengaruhi pola makan dan gaya hidup anak,
namun mungkin saja rumah orangtua bukanlah satu – satunya tempat anak untuk menjalani
hidupnya. Adanya saudara dan tetangga dapat juga mempengaruhi gaya hidup anak. Sebenarnya
status ekonomi sebaiknya menggunakan pendapatan per kapita sebagai indikator kemakmuran,
namun kami mendapat keterbatasan dalam mengetahui jumlah penghasilan yang tepat dari siswa
SMP tersebut. Beberapa siswa tidak diberitahu persis berapa jumlahnya, sehingga hanya
mengetahui di bawah UMR atau lebih dari UMR.
5.5 Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan Siswa/i
SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta
Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara pengetahuan terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square
didapatkan p = 0,813, karena p >0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara pengetahuan dengan ketajaman penglihatan.
Belum didapatkan data penelitian hubungan antara pengetahuan dengan ketajaman
penglihatan. Namun terdapat hasil penelitian Permatasari NIY pada anak TK di Surakarta, yang
menyatakan adanya hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan praktek pemilihan
multivitamin (p = 0,007). Hubungan ini didapatkan dengan pengambilan data langsung kepada
pengetahuan ibu, bukan pengetahuan anak, dimana pengetahuan ibu diharapkan yang akan
mempengaruhi pola makan anak, gaya hidup anak, lingkungan rumah, dan konsumsi suplemen
vitamin A. Pengetahuan anak tidak berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan
karena sebaik apapun pengetahuan anak tersebut, gaya hidupnya, pola makannya, dan
lingkungannya tetaplah mengikuti aturan dari orangtuanya.
54
5.6 Hubungan Antara Sikap dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN 271,
Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara sikap terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square dengan
Continuity Correction didapatkan p = 0,803, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan ketajaman penglihatan.
Penelitian Somahia T et al menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap
orangtua terhadap kelainan refraksi pada anak dengan nilai p = 0,003. Hal ini berbeda dengan
penelitian kami dimana sikap yang dinilai adalah sikap anak tersebut sehingga tidak ditemukan
adanya hubungan yang bermakna. Gaya hidup, pola makan, dan lingkungan dimana seorang
anak tumbuh sangat dipengaruhi oleh orangtuanya. Sayangnya, pada penelitian ini tidak
memungkinkan untuk mendapatkan data mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku orangtua.
5.7 Hubungan Antara Perilaku dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN 271,
Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara perilaku terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square dengan
Continuity Correction didapatkan p = 0,500, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku dengan ketajaman penglihatan.
Penelitian Somahia T et al menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
perilaku orangtua terhadap kelainan refraksi pada anak dengan nilai p = 0,003. Sama dengan
pembahasan bagian sikap di atas, hal ini berbeda dengan penelitian kami dimana perilaku yang
dinilai adalah perilaku anak tersebut sehingga tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna.
Gaya hidup, pola makan, dan lingkungan dimana seorang anak tumbuh sangat dipengaruhi oleh
orangtuanya.
55
5.8 Hubungan Antara Konsumsi Suplemen Vitamin A dengan Ketajaman Penglihatan
Siswa/i SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya
Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara konsumsi suplemen vitamin A terhadap ketajaman penglihatan melalui
Uji Fisher didapatkan p = 0,232, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara konsumsi suplemen vitamin A dengan ketajaman penglihatan.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ossa pada pengemudi bus
malam yang menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara ketajaman penglihatan
sebelum dan sesudah pemberian suplemen vitamin A (p = 0,011). Dari penelitian Ossa tersebut
tampak pengaruh dari pemberian suplemen vitamin A terhadap ketajaman penglihatan mata. Hal
ini dapat dikarenakan vitamin A dalam bentuk aktifnya yaitu retinol akan bekerja membantu sel
batang (menjadi bentuk rhodopsin) pada suasana malam, maka pengaruh kerja dari pemberian
vitamin A akan nampak, sedangkan pada penelitian kami terhadap anak SMP dilakukan pada
siang hari. Selain itu ketajaman penglihatan sangat dipengaruhi berbagai faktor lainnya selain
kadar vitamin A dalam darah.
5.9 Hubungan Antara Lama Melihat Layar Komputer dengan Ketajaman Penglihatan
Siswa/i SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya
Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara lama melihat layar terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-
Square dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,743, karena p > 0,05 maka Ho diterima.
Artinya, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama melihat layar dengan ketajaman
penglihatan.
Lama melihat layar secara terus menerus idealnya dilakukan dengan waktu 30 menit atau
kurang. Menatap layar lebih dari 30 menit secara terus menerus akan menyebabkan
berkurangnya aliran air mata atau disebabkan oleh terlalu besarnya refleksi maupun silau
monitor. Pada penelitian ini kebanyakan siswa/I SMPN 271 mempunyai kebiasaan menatap layar
lebih dari 30 menit. Akan tetapi dalam uji statistik tidak ditemukan adanya hubungan antara lama
menatap layar dengan penurunan ketajaman penglihatan. Hal ini disebabkan menatap layar lebih
56
dari 30 menit membuat mata lelah dan tidak mengakibatkan perubahan aksis bola mata atau
kelengkungan kornea yang menyebabkan gangguan ketajaman penglihatan.
5.10 Hubungan Antara Jarak Membaca dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN
271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara jarak membaca terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square
dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,551, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya,
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Lely et al (2004) mengenai
hubungan antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan pada pelajar Sekolah Dasar
Katolik 02 Kota Manado menunjukkan nilai p=0,011 (p<0,05) sehingga ada hubungan bermakna
antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan. Hal ini berbanding terbalik dengan
penelitian ini dimana nilai p=0,195 (p > 0,05). Membaca dekat akan membuat otot mata bekerja
lebih keras untuk mengkonvergen kedua mata sehingga dapat berakibat perubahan aksis mata.
Pada penelitian ini kebanyakan siswa/I SMPN 271 tidak mempunyai kebiasaan membaca dekat.
Hal ini tidak berarti siswa/I SMPN 271 bebas dari gangguan penglihatan karena faktor-faktor
lain dapat juga mempengaruhi ketajaman mata sehingga membuat jarak membaca dengan
ketajaman penglihatan tidak ada hubungan kemaknaan.
5.11 Hubungan Antara Lama Membaca dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN
271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara lama membaca terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square
dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,903, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya,
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama membaca dengan ketajaman penglihatan.
Lama membaca seharusnya tidak dilakukan lebih dari 30 menit secara terus menerus.
Membaca secara terus menerus selama lebih dari 30 menit akan membuat mata menjadi lelah.
Pada penelitian ini kebanyakan siswa/I SMPN 271 mempunyai kebiasaan lama membaca 30
57
menit atau kurang secara terus menerus. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang baik karena
dapat mencegah astenopia atau kelelahan mata. Hasil dari pengolahan data pada penelitian ini
menunjukkan tidak ada hubungan antara lama membaca dengan penurunan ketajaman
penglihatan. Hal ini dapat disebabkan karena lama membaca hanya menyebabkan astenopia dan
hanya menyebabkan gangguan penglihatan sementara yang menghilang dengan mengistirahatkan
mata.
5.12 Hubungan Antara Status Gizi dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN 271,
Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,
Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara status gizi terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square
didapatkan p = 0,225, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya,tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan ketajaman penglihatan.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa kebanyakan siswa/I SMPN 271 mempunyai status
gizi yang kurang. Status gizi ini ditentukan oleh besarnya IMT masing-masing siswa/i. IMT yang
kurang menunjukkan bahwa asupan gizi siswa/I yang kurang. Gangguan gizi selain makro
(energi dan protein), dapat juga disebabkan kurang zat gizi mikro (zat besi,vitamin A dan seng)
atau kombinasi dari ketiganya. Saat ini status gizi secara antropometri lebih dikaitkan dengan
asupan zat gizi makro (karbohidrat, kalori, protein dan lemak). Pada penelitian ini didapatkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan ketajaman penglihatan. Hal ini
dapat disebabkan karena gangguan gizi yang terjadi hanya sekitar asupan gizi makro
(karbohidrat, kalori, protein dan lemak) yang tidak ada hubungannya dengan ketajaman
penglihatan.
58
5.13 Hubungan Antara Asupan Vitamin A dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i
SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta
Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015
Hubungan antara asupan vitamin A terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Fisher
didapatkan p = 0,436, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara asupan vitamin A dengan ketajaman penglihatan.
Asupan vitamin A yang dibutuhkan tubuh diukur berdasarkan jumlah retinol yang masuk
ke dalam tubuh. Asupan retinol berdasarkan umur 14-18 tahun berkisar antara 900 mcg – 2800
mcg retinol untuk laki-laki dan 700 mcg – 2800 mcg untuk perempuan. Asupan vitamin A
didapatkan dari makanan yang kita makan sehari-hari. Tidak semua jenis makanan mengandung
vitamin A yang tinggi sehingga pengaturan pola makan yang sesuai akan menentukan jumlah
asupan vitamin A dalam tubuh. Pola makan itu sendiri dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan
perilaku seseorang terhadap vitamin A. Asupan vitamin A yang kurang akan menyebabkan
berbagai efek dalam tubuh yang salah satunya adalah gangguan penglihatan. Pada penelitian ini
ditemukan kebanyak dari siswa/I SMPN 271 mempunyai asupan vitamin A yang kurang. Akan
tetapi setelah di uji statistik ditemukan tidak ada hubungan antara asupan vitamin A dengan
ketajaman penglihatan (p=0,164). Penelitian ini berbanding terbalik dari penelitian oleh Rahi JS,
dkk terhadap 1328 anak sekolah di India pada tahun 2005, terdapat 245 anak (18,6%) yang
mengalami gangguan ketajaman penglihatan hingga kebutaan karena kekurangan vitamin A. Hal
ini dapat disebabkan karena faktor recall asupan makanan yang dibuat hanya seminggu.
Setidaknya recall harus dilakukan selama sebulan penuh. Akan tetapi karena keterbatasan waktu
penelitian dan tidak mungkinnya mengingat kembali asupan makanan apa saja yang dimakan
sebulan sebelumnya maka kami memilih waktu 1 minggu untuk recall makanan yang telah
dimakan. Sulitnya untuk mengetahui secara persis mengenai takaran makanan yang sangat
bervariasi juga menurunkan tingkat ketelitian perhitungan vitamin A. Selain itu, efek kekurangan
vitamin A hingga menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan membutuhkan perjalanan
yang lama. Efek awal yang ditemukan berupa sulitnya adaptasi dalam tempat gelap dan
bukannya gangguan ketajaman penglihatan.
59
Bab VI
Kesimpulan dan Saran
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai pengaruh pola makan yang mengandung vitamin A dan
faktor – faktor lainnya terhadap penurunan ketajaman penglihatan, di SMPN 271, Kelurahan
Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 24 – 31 Juli 2015, dapat
diambil kesimpulan:
Dari total 125 siswa/i SMPN 271, didapatkan yang terbanyak adalah jenis kelamin
perempuan sebanyak 79 orang (63,2%), pola makan yang kurang mengandung vitamin A
sebanyak 112 orang (89,6%), status ekonomi kurang dari UMR sebanyak 83 orang (66,4%),
memiliki pengetahuan cukup baik sebanyak 80 orang (64%), memiliki sikap kurang baik
sebanyak 75 orang (60%), memiliki perilaku kurang baik sebanyak 92 orang (73,6%), tidak
mengkonsumsi suplemen vitamin A sebanyak 100 orang (80%), menatap layar lebih dari 30
menit sebanyak 74 orang (59,2%), membaca dengan jarak yang sesuai 67 orang (53,6%),
membaca 30 menit atau kurang sebanyak 77 orang (61,6%), memiliki gizi kurang sebanyak
52 orang (41,6%).
Tidak terdapat hubungan antara pola makan yang mengandung vitamin A terhadap
penurunan ketajaman penglihatan.
Terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap penurunan ketajaman penglihatan.
Tidak terdapat hubungan antara status ekonomi, pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa/i,
suplemen vitamin A, lama menatap layar, jarak membaca, lama membaca, dan status gizi
terhadap penurunan ketajaman penglihatan.
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, salah satu faktor yang bermakna
adalah jenis kelamin, dimana jenis kelamin merupakan faktor yang tak dapat diintervensi.
Namun pada sebaran distribusi diketahui bahwa kebanyakan siswa/i SMPN 271 memiliki status
gizi yang kurang. Kami menyarankan pihak sekolah untuk mengadakan kantin yang menjual
60
makanan dengan kecukupan gizi yang baik dan sekolah untuk bekerjasama mengadakan
penyuluhan dan program perbaikan gizi.
Kami juga menyarankan untuk dilakukan penelitian berdesain kohort karena pada
penelitian berdesain kros seksional ini, terdapat masalah dalam hal recall makanan selama 1
minggu dimana memerlukan daya ingat yang dapat menimbulkan ketidaktepatan. Kepatuhan
untuk mengisi food frequency quesioner juga sulit untuk didapatkan, sehingga kami
menyarankan untuk menggunakan imbalan setelah pengisian kuesioner. Kami juga mengalami
kesulitan dalam menghitung kadar vitamin A dalam setiap makanan karena kurangnya
standarisasi takaran pengukuran makanan yang sangat bervariasi.
61
Daftar Pustaka
1. Gianini, R.J., Masi, E., Coelho, E.C., Oréfice, F.R., dan Moraes, R.A., 2004. Prevalence of
Low Visual Acuity in Public School’s Students from Brazil. Rev Saúde Pública 38(2).
2. Resnikof S. 2004 Nov. Global data on visual impairment in the year 2002. Bulletin of the
World Health Organization. 82(11).
3. Yuniar R, Fitrah E. Jurnal penelitian: Hubungan zat gizi mikro dengan status gizi pada anak
remaja SLTP. PGM 2010, 33(1): 14-22. Diunduh: Selasa, 28 Juli 2015.
4. Seema S, Minakshi K, Manish G. Effect of television watching on vision of school children
in Rural Haryana. The internet journal of preventive medicine. 2010; 2(1).
5. Rahi JS, Sripathi S, Gilbert CE. Childhood blindness due to vitamin A deficiency in India:
regional variations. Arch Dis Child (2005) 72: 330-33.
6. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatahan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008: 80.
7. Lely IP, Woodford BSJ, Ricky CS. 2014. Faktor – faktor yang berhubungan dengan
ketajaman penglihatan pada pelajar sekolah dasar katolik Santa Theresia 2 kota Manado.
Manado: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi.
8. Fachrian D, Rahay AB, Naseh AJ, Rerung NET, Pramesti M, Sari EA, et al. Prevalensi
kelainan tajam penglihatan pada pelajar SD “X” Jatinegara Jakarta Timur. Jakarta: FK UPN.
2009.
9. 100 makanan yang mengandung vitamin A super tinggi. 3 Maret 2015. Diunduh dari
http://halosehat.com/gizi-nutrisi/panduan-gizi/100-makanan-yang-mengandung-vitamin-a-
super-tinggi. 9 Juli 2015.
10. Mutia N, Hartini N, Hakim M. Kurang asupan vitamin A, C, E dan beta karoten
meningkatkan kejadian preeklampsia di RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta: Gizi Indon (2010)
33(2): 136-42.
11. Adawiyah R. All about KVA. 11 Juni 2012. Diunduh dari
http://www.kompasiana.com/rabiatuladawiah/all-about-kva-kurang-vitamin-
a_551110aea33311c539ba954f. 10 Juli 2015.
12. Almatsier S. Dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004: 247-56.
62
13. Al-Saleh I, El-Doush I, Billedo G. Age and gender-related reference values for serum dl-
alpha-tocopherol and all-trans-retinol levels in Saudi population. Int J Vitam Nutr Res. 2007
Sep. 77(5):326-35.
14. Ansstas G. Vitamin A deficiency. 11 Juni 2014. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/126004-clinical#showall. 29 Juli 2015.
15. Semba RD, Bloem MW. The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology and
pathogenesis. European Journal of Clinical Nutrition (2002) 56, 271-281.
16. Kemenkes RI. Pedoman gizi seimbang. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2014: 2-3.
17. Brun PJ. Effects of vitamin A deficiency on retinoid and energy metabolism in liver and
white adipose tissue. USA: University of Connecticut, 2008: 1-37.
18. Departemen Kesehatan RI. Deteksi dan tatalaksana kasus xeroftamia: pedoman bagi tenaga
kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 2003: 20-38.
19. McLaren DS, Kraemer K. Manual on vitamin A deficiency disorder (VADD). World Rev
Nutr Diet. Basel, Karger. 2012, 103(1): 148-65.
20. Mahmud MK, Zulfianto NA. Tabel komposisi pangan indonesia. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2008: 1-45.
21. Saw S, et al. Causes of low vision and blindness in rural indonesia. Br J Ophthalmol (2005)
87 : 1075-78.
22. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2012: 98-105.
23. Tarigan R. 2012. Kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang
Medan. Skripsi. Medan: Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.
24. Yani DA. Kelainan refraksi dan kacamata. Surabaya: Surabaya Eye Clinic (2008) 17: 68-72.
25. Siregar, Votranica N. 2012. Perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi
pada siswa/i di SD dan SMP RK Budi Mulia Pematang Siantar. Skripsi. Medan: Fakultas
Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.
26. Gregory S, Luis C, Jayne W. Growth and developtment of the eye. Pediatric ophtalmology
and strabismus. Singapura: American Academy Ophtalmology, 2009: 128-32.
27. Hayes, Gerry, et all. Physiology of the eye. 2000. Diunduh dari: www.iknow.net. 9 Juli
2015.
28. Smith BT, Belani S, Ho AC. Ultraviolet and near-blue light effects on the eye. Int
Ophthalmol Clin. 2005 Winter;45(1):107-15.
63
29. Pendit BU. Vaughan & Asbury: oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2010.h.395.
30. Abimanyu JK. Faktor yang berhubungan dengan kelainan refraksi myopia pada anak
sekolah dasar di Kabupaten Tanggamus tahun 2009/2010. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada; 2013.
31. Nurmaya R. Skripsi: hubungan intensitas penerangan dan lama paparan cahaya layar
monitor dengan kelelahan mata pekerja komputer di kelurahan X. Diunduh: selasa, 28 juli
2015.
32. Bahaya membaca sambil tiduran. 2 Maret. Diunduh dari
https://26nuril9a.wordpress.com/2013/03/02/bahaya-membaca-sambil-tiduran/. 29 Juli 2015.
33. Riordan EP, Whitcher JP. Oftalmologi umum Vaughan & Asbury. Edisi ke-17. Jakarta:
EGC, 2009: 28-32.
34. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta: EGC, 2004: 78.
35. Hardani R. Pola makan sehat. Diunduh dari
http://kharisma.de/files/home/makalah_rika.pdf. 7 Juli 2015.
36. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
37. Irina M, Kodrat P, Murwanto B. Perilaku sarapan pagi anak sekolah dasar. Jurnal Kesehatan,
Volume V, Nomor 1, April 2014, hlm 90-97.
38. Husaini, MA. 1997. Peranan Gizi dan Pola Asuh Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang
Anak. Puslitbang Gizi, Bogor.
39. Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
40. Skinner. 1983. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
64
Lampiran
Gambaran konsumsi makanan pada siswa SMPN 271
Formulir metode recall 7 hari
No. Responden: _______________
Nama: Umur: Jenis kelamin: P/L
...., ... Juli 2015
Waktu
Maka
n
Nama Masakan
Bahan Makanan
JenisBanyaknya
URT Gr
Pagi
Siang
Malam
65
Kuesioner Penelitian
Hubungan Antara Pola Makan yang Mengandung Vitamin A dan
Faktor – faktor Lainnya Terhadap Penurunan Ketajaman Penglihatan
pada Anak SMPN 271 di Kelurahan Sukabumi Selatan
Jakarta Barat Juli 2015
Tanggal pengisian kuesioner: No. Kuesioner:
Semua data yang tercantum di bawah ini akan DIRAHASIAKAN !!!
I. Data Umum
Nama :_________________________
Umur :_________________________
Alamat :_________________________
Jenis kelamin : P/L (*coret yang tidak perlu)
Pendidikan (beri tanda pada salah satu pilihan di bawah ini)
SMP 2
SMP 3
Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!
I. Status Ekonomi
Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!
1. Penghasilan rata – rata per bulan:
a. < Rp 2.700.000,00
b. ≥ Rp 2.700.000,00
II. Pengetahuan Vitamin A
Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!
1. Apakah manfaat dari mengkonsumsi sayuran dan buah?
a. Sebagai sumber tenaga, pembangun, dan pengatur (3)
b. Untuk menjaga kesehatan (5)
66
c. Dapat mengenyangkan perut (1)
2. Apakah zat gizi yang terkandung dalam sayuran dan buah?
a. Karbohidrat dan vitamin (3)
b. Vitamin, mineral, dan serat (5)
c. Lemak (1)
3. Apakah manfaat/kegunaan vitamin, mineral, dan serat yang terkandung dalam
sayuran dan buah?
a. Sebagai zat pembangun dan pelindung (5)
b. Mencegah terjadinya penyakit (3)
c. Mengenyangkan perut (1)
4. Apa manfaat dari vitamin A?
a. Kesehatan mata, pertumbuhan jaringan tubuh, kekebalan tubuh (5)
b. Kekebalan tubuh, anti kanker, mengenyangkan perut (3)
c. Memperbaiki rabun jauh (1)
5. Manakah makanan di bawah yang mengandung vitamin A?
a. Tomat, bayam, wortel, daging, ikan (5)
b. Kangkung, daun bawang, jeruk, daging (1)
c. Wortel, nanas, tauge, ikan (3)
6. Apakah gejala awal kekurangan vitamin A?
a. Sakit mata (1)
b. Mata kering (3)
c. Rabun senja / rabun ayam (5)
7. Apakah akibat paling membahayakan yang ditimbulkan dari kurang vitamin A?
a. Kebutaan (5)
b. Rabun senja (3)
c. Buta warna (1)
67
III. Sikap
Berilah tanda centang pada salah satu pilihan pada salah satu kolom dari setiap
pernyataan di bawah ini!
No. Pernyataan Sikap 1 2 3 4 5
1 Saya mengkonsumsi sayur dan buah setiap hari
untuk menjaga kesehatan tubuh
2 Saya cenderung hanya makan daging saja setiap
harinya untuk memenuhi kebutuhan vitamin A
3 Saya lebih memilih memakan telur rebus
daripada telur dadar untuk dimakan
4 Jika dirumah disediakan jus wortel dan sirup
maka saya akan memilih minum jus wortel
5 Saya akan menambahkan sate hati ayam pada
bubur ayam yang saya makan
6 Daripada makan mie ayam saya lebih memilih
makan gado-gado
7 Saya mengkonsumsi makanan mengandung
vitamin A untuk mencegah kebutaan
Ket: 1=Sangat tidak setuju; 2=Tidak setuju; 3=Cukup setuju; 4=Setuju; 5=Sangat Setuju
1 = skor 1, 2 = skor 2, 3 = skor 3, 4 = skor 4, 5 = skor 5
IV. Perilaku
Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!
1. Seberapa sering Anda mengkonsumsi sayuran?a. Setiap hari (5)b. 3-4 hari sekali (3) c. Seminggu sekali (1)
2. Apa sayuran yang Anda makan?a. Jamur kuping, jamur shitake, jamur kancing (1)b. Bayam, kangkung, wortel (5)c. Sawi, kembang kol, tauge (3)
68
3. Seberapa sering Anda mengkonsumsi buah?a. Setiap hari (5)b. 3-4 hari sekali (3) c. Seminggu sekali (1)
4. Seberapa sering Anda mengkonsumsi daging?a. Setiap hari (5)b. 3-4 hari sekali (3)c. Seminggu sekali (1)
5. Apa jenis masakan yang anda makan?a. Sayur ditumis (3)b. Sayur digoreng (1)c. Sayur lalapan (5)
V. Faktor – faktor Lain yang MempengaruhiBerilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!
A. Suplemen Vitamin A1. Berapa kadar tablet/kapsul/sirup suplemen vitamin A yang Anda konsumsi setiap
hari?a. Tidak pernah mengkonsumsi (0)b. < 700 mcg (1)c. 700 mcg – 2799 mcg (2)d. > 2800 mcg (3)
B. Lama membaca1. Berapa lama Anda biasanya mengerjakan PR atau belajar tanpa mengistirahatkan
mata?a. ≤ 30 menitb. > 30 menit
Terima Kasih Atas Kerjasamanya!!
Selamat Belajar!!
69
Lampiran Hasil SPSS
Hasil SPSS Hubungan Antara Penurunan Ketajaman Penglihatan dengan Pola Makanan yang
Mengandung Vitamin A dan Faktor-faktor Lainnya di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan,
Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015.
Analisis Univariat Ketajaman Penglihatan
Analisis Univariat Asupan Vitamin A
Analisis Univariat Jenis Kelamin
70
Analisis Univariat Status Ekonomi
Analisis Univariat Pengetahuan
Analisis Univariat Sikap
Analisis Univariat Perilaku
71
Analisis Univariat Pemberian Suplemen Vitamin A
Analisis Univariat Jarak Membaca
Analisis Univariat Lama Membaca
Analisis Univariat Status Gizi
72
Hubungan Status Ekonomi dengan Ketajaman Penglihatan
Hubungan Pengetahuan dengan Ketajaman Penglihatan
75
Hubungan Jarak Membaca dengan Ketajaman Penglihatan
Hubungan Lama Membaca dengan Ketajaman Penglihatan
81