133
RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELI DI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA KABUPATEN GOWA Variety of Languages in Interaction in the Central Market Buy Sell Sungguminasa Gowa TESIS ANDI RAHMANIA NIM: 04.06.645.2011 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014

RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELI Variety of …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELIDI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA

KABUPATEN GOWA

Variety of Languages in Interaction in the Central MarketBuy Sell Sungguminasa Gowa

TESIS

ANDI RAHMANIANIM: 04.06.645.2011

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

RAGAM BAHASA PADA INTERAKSI JUAL BELIDI PASAR SENTRAL SUNGGUMINASA

KABUPATEN GOWA

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi

Pendidikan Bahasa Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

ANDI RAHMANIANIM: 04.06.645.2011

kepada

PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2014

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di PasarSentral Sungguminasa Kabupaten Gowa

Nama Mahasiswa : Andi RahmaniaNIM : 04.06.645.2011Program Studi : Pendidikan BahasaKekhususan : Bahasa dan Sastra Indonesia

MenyetujuiKomisi Pembimbing,

Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum.Ketua Sekretaris

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur Program PascasarjanaPendidikan Bahasa Universitas Muhammadiyah Makassar,dan Sastra Indonesia,

Dr. Abd, Rahman Rahim, M. Hum. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M. Pd.NBM 866922 NBM 988463

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSARPROGRAM PASCASARJANA

Jl. Sultan Alauddin No. 259 Telp. 0411866972 Fax 0411-865588Makassar 90221

SURAT KETERANGAN PERBAIKAN TESIS

Berdasarkan Hasil Ujian tesis Program Magister:

Nama : Andi RahmaniahNo.Pokok : 04.06.645.2011Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaJudul Tesis : Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di Pasar

Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa

oleh Tim Penguji, harus dilakukan perbaikan. Perbaikan tersebut dilakukan

dan telah disetujui oleh Tim Penguji.

No Nama Tim Penguji Jabatan DisetujuiTanggal

TandaTangan

1. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. Ketua

2. Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. Sekretaris

3. Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M.,M.Pd. Anggota

4. Dr. Abd, Rahman Rahim, M. Hum. Anggota

Kata Pengantar

Syukur alhamdulillah, penulis ucapkan ke hadirat Allah subhanahu wa

taala berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini. Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan akademik

untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi

Pendidikan Bahasa, Kekhususan Pendidikan Bahasa Indonesia Program

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penyusunan tesis ini banyak mendapat bantuan dalam bentuk

bimbingan, petunjuk, saran, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada

semua pihak yang telah membantu penulis. Pertama-tama, penulis

mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Tadjuddin Maknum, S.U.

pembimbing I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. pembimbing II yang

telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis

dalam penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas

Muhammadiyah Makassar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Makassar beserta staf, yang telah memberikan bantuan dan

kemudahan kepada penulis, baik pada waktu mengikuti perkuliahan,

penelitian, maupun pada saat penulisan tesis. Ucapan terima kasih pula

kepada seluruh dosen dan Ketua Prodi. Kekhususan Bahasa Indonesia yang

telah membekali penulis berbagai pengetahuan selama perkuliahan sampai

pada hasil penelitian ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

kepada yang tercinta suami tercinta dan anakda yang tersayang, serta

seluruh keluarga yang senantiasa setia mendoakan penulis agar dapat

meraih kesuksesan.

Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat terhadap

pengembangan bahasa Indonesia, khususnya ragam berbahasa. Semoga

bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak mendapatkan pahala dari

Allah Swt.

Makassar, Juni 2014

Penulis,

ABSTRAK

Andi Rahmaniah, 2014. Ragam Bahasa pada Interaksi Jual Beli di PasarSentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. Tesis. Dibimbing oleh TadjuddinMaknun sebagai Pembimbing I dan Andi Sukri Syamsuri sebagaiPembimbing II.

Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan (1) Wujud ragambahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. (2) Polainteraksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa KabupatenGowa. (3) Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksijual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian iniadalah tuturan yang diperoleh dari peristiwa tutur antara penjual dan pembelidi Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa. Bahasa merupakan objekpenelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi subjekdalam penelitian ini. Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli, yangterjadi dalam transaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa KabupatenGowa yang dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2013. Metode yangdigunakan dalam mengumpulkan data yaitu metode observasi, simak, rekam,dan catat. Analisis data dilakukan dengan menganut alur analisis data modelalir yang mencakup empat langkah kegiatan, yakni (1) pengumpulan data, (2)reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penyimpulan/verifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Wujud ragam bahasa jualbeli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas (a) Penjualdan pembeli menggunakan bahasa Makassar; (b) Penjual dan pembelimenggunakan bahasa Indonesia dialek Makassar; (c) Penjual dan pembelimenggunakan bahasa Bugis; (d) Penjual menggunakan bahasa Indonesiadialek Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialekJakarta; (e) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialekJakarta; (f) Penjual menggunakan bahasa Makassar dan pembelimenggunakan bahasa Indonesia; (g) Penjual menggunakan bahasaMakassar alih bahasa Indonesia dan pembeli menggunakan bahasaIndonesia; (h) Penjual menggunakan bahasa Makassar alih bahasa Bugisdan pembeli menggunakan bahasa Bugis; (i) Penjual dan pembelimenggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar atau bahasa Bugisdan bahasa Indonesia. (2) Pola interaksi pada interaksi jual beli di PasarSentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas (a) tujuan transaksi; (b)hubungan penjual dengan pembeli bersifat personal: (c) tawar-menawar; (d)penjual di dalam interaksinya mengembangkan persuasi verbal; (e) pembelidalam interaksi mengembangkan persuasi verbal. (3) Tingkat tutur penjualdan pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral SungguminasaKabupaten Gowa terdiri atas tingkat tinggi, sedang, dan madya.

ABSTRACT

Andi Rahmaniah, 2014. Variety of Languages in Interaction in the Central MarketBuy Sell Sungguminasa Gowa. Thesis. Guided by Tadjuddin Maknun as Supervisor Iand Andi Sukri Syamsuri as Supervisor II.

The purpose of this study is to describe (1) The form of buying and selling avariety of language in the Central Market Sungguminasa Gowa. (2) The pattern ofinteraction in the buying and selling interaction in Central Market SungguminasaGowa. (3) The level of speech used in the interaction of buyers and sellers in the saleof Central Market Sungguminasa Gowa.

This study used a qualitative approach. The data of this study were obtainedfrom the speech said events between sellers and buyers in the Central MarketSungguminasa Gowa. Language is an object of research and the use of language(sellers and buyers) to subjects in this study. Sources of data in the form of speechsellers and buyers, which occurs in the sale and purchase transactions in the CentralMarket Sungguminasa Gowa conducted from May to July 2013. Methods used incollecting the data is the method of observation, see, record, and record. Data analysiswas performed by following the flow of data analysis models that include a four-stepflow of activities, namely (1) data collection, (2) data reduction, (3) presentation ofdata, and (4) conclusion / verification.

The results showed that (1) The form of buying and selling a variety oflanguage in the Central Market Sungguminasa Gowa consisting of (a) the seller andthe buyer to use the native language; (b) Sellers and buyers using IndonesianMakassar dialect; (c) The seller and the buyer uses the Bugis language; (d) The selleruses dialect Makassar Indonesian and Indonesian buyers using Jakarta dialect; (e)Sellers and buyers using Jakarta Indonesian dialect; (f) The seller and the buyer to usethe native language using Indonesian; (g) The seller uses the native language thanIndonesian and Indonesian buyers use; (h) Seller uses language interpreter BugisMakassar and Bugis buyers use; (i) The seller and buyer using mixed language codeof the language or languages of Bugis and Makassar Indonesian. (2) The pattern ofinteraction in the buying and selling interaction in Central Market SungguminasaGowa consisting of (a) the purpose of the transaction; (b) the buyer seller relationshipis personal: (c) a bargain; (d) the seller interaction in the developing verbalpersuasion; (e) a buyer in the interaction develop verbal persuasion. (3) The level ofsaid sellers and buyers on the buying and selling interaction in Central MarketSungguminasa Gowa consists of high-level, medium, and intermediate.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 9

A. Kajian Pustaka 9

1. Sosiolinguistik 9

2. Masyarakat Bahasa 14

3. Bahasa 15

4. Komunikasi 24

5. Interaksi dan Situasi Kebahasaan 26

6. Peristiwa Tutur 33

7. Tingkat Tutur 35

8. Register 38

B. Kerangka Pikir 39

BAB III METODE PENELITIAN 42

A. Variabel dan Variabel Penelitian 42

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 44

C. Definisi Istilah 44

D. Data dan Sumber Data 44

E. Metode Pengumpulan Data 45

F. Teknik Analisis Data 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 49

A. Hasil Penelitian 49

B. Pembahasan Hasil Penelitian 80

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 86

A. Simpulan 86

B. Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 89

LAMPIRAN 92

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap kelompok sosial manusia yang ada dalam suatu masyarakat

selalu melakukan proses interaksi sosial, yaitu suatu interaksi antaranggota

kelompok dalam masyarakat, baik yang bersifat verbal maupun yang bersifat

nonverbal. Proses interaksi sosial yang bersifat verbal menggunakan bahasa

sebagai medium sentralnya. Bentuk-bentuk proses interaksi sosial, seperti

musyawarah, bertegur sapa, negosiasi, diskusi, berkhotbah, dan bercerita

merupakan aktivitas sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium

verbal utamanya, sedangkan proses interaksi sosial, seperti kerja bakti,

pertandingan sepak bola, menari, cara duduk merupakan aktivitas sosial

yang mempunyai medium nonverbal sebagai sentralnya (Santoso, 2003:23).

Interaksi antarmasyarakat dalam berbagai konteks tersebut

menempatkan bahasa sebagai medium yang esensial. Bahasa juga menjadi

faktor pembeda yang utama antara manusia dengan makhluk lainnya. Melalui

bahasa, manusia dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya, baik

secara lisan maupun tertulis kepada orang lain.

Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi satu dengan

yang lain sepanjang hidupnya. Manusia yang hidup senantiasa

1

2

membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Agar manusia

dapat berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain dengan sempurna

(efektif), diperlukan bahasa sebagai alat komunikasi. Tanpa bahasa,

komunikasi yang efektif tidak akan tercipta karena hanya bahasa yang

mampu menyampaikan sesuatu yang dirasakan dan diinginkan seseorang

kepada orang lain dengan jelas.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Keraf (1984: 32) yang

menyatakan bahwa dengan adanya bahasa, maka semua yang berada di

alam sekitar mendapat tanggapan dalam pikiran manusia dan diungkapkan

kembali sebagai bahan komunikasi. Bahasa memungkinkan setiap orang

untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Di

samping itu, bahasa dapat menjadi alat untuk mengekspresikan diri dalam

mempengaruhi tingkah laku orang lain. Menurut Trudgill (1987: 2), fungsi

utama bahasa sebagai alat komunikasi adalah alat untuk menyatakan diri

dan wahana untuk memeliharan hubungan dengan orang lain.

Dewasa ini, sangat sedikit orang yang hanya menguasai satu bahasa

(monolingual). Kedwibahasaan merupakan fenomena yang paling umum

pada masyarakat dewasa ini. Penggunaan dua bahasa dalam berkomunikasi

terjadi dalam semua ranah atau domain, termasuk ranah jual beli di pasar.

Fenomena penggunaan dua bahasa atau lebih dalam ranah jual beli jelas

bukan sesuatu yang janggal. Penggunaan bahasa harus sesuai dengan

3

keadaan (situasi) pada ucapan, tujuan, dan suasana yang ada (Hymes-

SPEAKING) (Hymes, 1972).

Manusia dalam kehidupan berkomunikasi dan berinteraksi sebagai

bentuk dari aktivitas sosial. Salah satu alat yang digunakan untuk

berkomunikasi, baik antarindividu maupun kelompok adalah bahasa. Chaer

(2003: 32) mendefinisikan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer

yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama,

berkomunikasi dan mengidentifikasi diri, dan sebuah bahasa diperoleh ketika

masih anak-anak hingga dewasa. Di daerah Kabupaten Gowa, bahasa

komunikasinya sangat variatif. Sebagian ada yang menggunakan bahasa

Indonesia, bahasa Makassar, kadang bahasa Bugis, dan bahasa Jawa. Hal

tersebut disebabkan oleh keadaan geografisnya, yaitu letaknya yang

berdekatan dengan Kota Makassar dan penduduk yang bermukim di daerah

ini berasal dari berbagai daerah. Di daerah ini, bisa dikategorikan masyarakat

bahasa atau masyarakat tutur, karena sedikitnya telah menguasai tiga

bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa Makassar, dan

berbahasa Jawa, terutama orang Jawa yang sudah lama tinggal dan

bermukim di wilayah Sungguminasa.

Ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam kajian

sosiolinguistik, karena sosiolinguistik mengkaji tentang ciri-ciri khas variasi

bahasa, dan bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam sebuah

masyarakat tertentu. Sebagai alat komunikasi, bahasa memiliki kaidah-

4

kaidah. Penggunaan bahasa yang tentu sudah disepakati oleh masyarakat

pemakai bahasa itu sendiri, sehingga dapat terjadi komunikasi yang efektif

antara pengguna bahasa, karena masyarakat pengguna bahasa tersebut

sudah mengetahui arti dan maksud tentang bahasa yang digunakan.

Menurut Rahardi (2001: 13) sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan

memperhitungkan hubungan bahasa dengan masyarakat khususnya

masyarakat penutur bahasa.

Salah satu perwujudan ragam dan variasi bahasa dapat dijumpai

dalam keramaian dan interaksi sosial seperti di pasar. Pasar merupakan

tempat penjual dan pembeli bertemu, barang dan jasa tersedia untuk dijual

dan akan terjadi pemindahan hak milik (Suharsono, 2003: 50). Pertemuan

penjual dan pembeli memungkinkan tejadinya interaksi sosial. Dalam

interaksi hampir tidak mungkin tanpa melibatkan bahasa meskipun dalam

batas-batas tertaentu dimungkinkan manusia berintraksi tanpa menggunakan

bahasa, akan tetapi kesempurnaan interaksi itu hanya dapat dijamin melalui

bahasa.

Dalam proses komunikasi di pasar, interaksi dapat bermacam-macam

bentuknya, misalnya bekerja, bermain-main, bersenda gurau dan salah

satunya adalah tawar-menawar dalam jual beli antara penjual dan pembeli.

Proses inilah yang memicu situasi kebahasaan dengan berbagai jenis dan

bentuknya.

5

Dalam interaksi sosial di pasar seperti tawar-menawar di dalamnya

tentu melibatkan bahasa. Dengan demikian, tawar-menawar termasuk salah

satu peristiwa tutur (speech event). Sebagai salah satu peristiwa tutur, wujud

pemakaian bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti situasi dan

peristiwa, peserta tutur, tujuan berbicara, norma-norma interaksi dan

sebagainya (Suharsono, 2003: 1). Kegiatan tawar menawar yang dipengaruhi

faktor tersebut, sudah tentu akan mengakibatkan pemakaian bahasa yang

beragam. Misalnya, dari segi penutur yaitu penjual dan pembeli yang berasal

dari berbagai latar belakang, geografis dan status sosial yang berbeda, maka

tuturan yang muncul akan berbeda pula.

Perlu ditekankan bahwa keragaman bahasa itu disebabkan karena

adanya para penutur yang tidak heterogen, tetapi dalam wacana jual beli

terutama jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa, juga disebabkan adanya

hubungan keintiman antara penjual dan pembeli. Tuturan antara penjual dan

pembeli yang sudah kenal dan akrab karena seringnya pembeli berbelanja di

tempat tersebut. Akan berbeda dengan bentuk tuturan antara penjual dengan

pembeli baru yang belum kenal sama sekali. Pada dasarnya, ragam bahasa

yang digunakan dalam jual beli mempunyai makna tertentu. Tawar menawar

akan menghasilkan ragam bahasa yang berbeda. Oleh sebab itu, penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian ragam bahasa bagi penutur di Pasar

Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

6

Pengamatan sepintas di Pasar Sentral Sungguminasa menunjukkan

bahwa dwibahasawan seringkali menggunakan bahasa-bahasa yang

dikuasainya secara bergantian, bergantung pada keadaan pertuturan.

Pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian disebabkan oleh faktor-

faktor tertentu lazim dinamakan alih kode (code switching). Variasi atau

ragam bahasa tersebut terjadi akibat faktor sosial dan tujuan komunikasi.

Misalnya, pembeli yang awalnya menggunakan bahasa Indonesia saat

mengawali percakapan dengan penjual, lalu beralih ke bahasa Makassar. Hal

ini disebabkan oleh keinginan pembeli untuk mengakrabkan diri dengan

penjual dengan harapan dan dispensasi harga yang ditawarkan.

Penelitian tentang variasi bahasa dalam situasi jual beli masih kurang

dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian Pomiati (2001) dengan judul

penelitian “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Daging Sapi di Pasar Pagi

Pemalang, Cilacap dengan Kajian Sosiolinguistik”. Penelitian lain yakni Sidiq

(2004) yang mengkaji tentang alih kode dan campur kode dalam khotbah

Jumat di Kabupaten Selayar. Penelitian Nuraeni (2010) dengan judul ”Alih

Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa pada Ranah Keagamaan

(Analisis Pemakaian Bahasa Majelis Taklim) di Kabupaten Gowa”. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa banyak peristiwa alih kode dan campur kode

dalam khotbah Jumat tersebut (dari bahasa Indonesia ke bahasa Selayar,

dan ke bahasa Arab). Hal ini dipengaruhi oleh faktor situasi penutur (jamaah),

ingin menghibur, gengsi, dan menekankan maksud (isi) khotbah yang

7

disampaikan. Kurangnya penelitian ragam bahasa dalam situasi jual beli

memotivasi penulis mengkaji masalah yang relevan dengan judul ”Ragam

Bahasa Indonesia pada Interaksi Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa

Kabupaten Gowa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral

Sungguminasa Kabupaten Gowa?

2. Bagaimana pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral

Sungguminasa Kabupaten Gowa?

3. Bagaimana tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada

interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten

Gowa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan:

1. Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa

Kabupaten Gowa.

8

2. Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral

Sungguminasa Kabupaten Gowa.

3. Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi

jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan

untuk perkembangan linguistik pada umumnya dan kajian sosiolinguistik

pada khususnya. Selain itu, penelitian ini dapat menambah perbendaharaan

peristilahan dalam ragam jual beli. Selain itu, hasil penelitian ini dapat

bermanfaat untuk mengetahui situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli

bagi masyarakat di Sungguminasa.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis maupun

pembaca untuk dapat menggunakan bahasa sebagai cara untuk

menghormati seseorang yang diajak berbicara di pasar dalam komunikasi

jual beli. Hasil penelitian ini dapat pula dijadikan referensi peneliti selanjutnya

yang relevan dengan penelitian ini.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan

linguistik, dua bidang ilmu empiris yang memunyai kaitan sangat erat. Untuk

memahami sosiolinguistik, terlebih dahulu dibicarakan yang dimaksud

dengan sosiologi dan linguistik. Sosiologi telah banyak batasan yang telah

dibahas oleh para sosiolog yang sangat bervariasi, tetapi intinya adalah

bahwa sosiologi itu adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia

di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang

ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana

masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Mempelajari gejala sosial

dan segala masalah sosial dalam satu masyarakat, akan diketahui cara-cara

manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, cara mereka

bersosialisasi, dan menempatkan diri dalam tempatnya masing-masing di

dalam masyarakat.

Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang

ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian,

secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu

9

10

antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan

bahasa itu di dalam masyarakat.

Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial

serta variabel linguistik yang dipergunakan dalam suatu kelompok, sambil

berusaha mengorelasikan variabel tersebut dengan unit-unit demografik

tradisional pada ilmu-ilmu sosial, seperti: umur, jenis kelamin, kelas sosial

ekonomi, pengelompokan regional, status, dan lain-lain. Bahkan, pada akhir-

akhir ini juga diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi-

fungsi sosial dalam interaksi intrakelompok, untuk tingkatan mikronya, serta

korelasi antara pemilihan bahasa dan fungsi sosial dalam skala besar untuk

tingkat makronya (Ibrahim, 1995: 9).

Sosiolinguistik bukan sekadar mengacu kepada pemakaian data

kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut

kehidupan sosial. Sebaliknya, sosiolinguistik juga mengacu kepada data

kemasyarakatan dan dianalisis ke dalam linguistik. Misalnya orang bisa

melihat adanya dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa,

kemudian mengaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis kelamin

sehingga bisa disimpulkan, misalnya, ragam A didukung oleh wanita dan

ragam B didukung oleh pria dalam masyarakat itu. Sebaliknya, orang bisa

memulai dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi

wanita dan pria, kemudian dianalisis bahasa atau tutur yang biasa dipakai

wanita dan tutur yang biasa dipakai pria (Sumarsono dan Partana, 2004:49).

11

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati

sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, tetapi dilihat

atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat

manusia. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai cabang linguistik yang

mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan

perilaku sosial. Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa,

fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini

selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu

masyarakat tutur (Fishman, 1972: 10).

Variasi atau ragam bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi

sosiolinguistik sehingga Kridalaksana (2001: 10) mendefinisikan

sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan

saling pengaruh antara variasi bahasa dan perilaku sosial. Ia mengutip

pendapat Fishman yang mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang

mempelajari ciri dan fungsi variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasa

dengan ciri dan fungsi itu dalam suatu masyarakat bahasa.

Sosiolinguistik merupakan kajian bahasa dalam kritik sosial

pemakaiannya. Tujuannya untuk menunjukkan kesepakatan-kesepakatan

atau kaidah-kaidah penggunaan bahasa (yang disepakati oleh masyarakat),

dikaitkan dengan aspek-aspek sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu.

Hudson (1987: 10) mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian

tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat dan sosiologi bahasa

12

merupakan kajian mengenai masyarakat dalam hubungannya dengan

bahasa. Selanjutnya, ia mengatakan sosiolinguistik adalah kajian atau

pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa. Nababan (1984:

10) mengatakan sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa

sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.

Pateda (1992: 11) mengemukakan tentang sosiolinguistik tanpa

menambah definisi yang telah dikemukakan para ahli sebelumnya, bahwa

dengan sosiolinguistik dapat terpanggil untuk mempelajari dan

menyelesailcan konflik bahasa dan perencanaan bahasa di daerah tertentu,

dengan mengemukakan komponen-komponen sosiolinguistik sebagai suatu

cabang linguistik, kita (orang) mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa

dalam konteks sosial dan budaya.

Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of

California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi

dalam penelitian sosiolinguistik. Ketujuh dimensi yang merupakan masalah

dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dan penutur, (2) identitas

sosial dan pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan

sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dan

dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan

perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan

(7) penerapan praktis dan penelitian sosiolinguistik (Dittmar, 1976: 11).

Ketujuh dimensi ini hanya tiga aspek yang berkaitan dengan kajian penelitian

13

ini, yaitu (1) identitas sosial dan penutur, (2) identitas sosial dan pendengar

yang terlibat dalam proses komunikasi, dan (3) lingkungan sosial tempat

peristiwa tutur terjadi.

Identitas sosial dan penutur antara lain dapat diketahui dengan

pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya

dengan lawan tuturnya. Identitas penutur dapat berupa anggota keluarga

(ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib,

atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang

yang dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi

pilihan kode dalam bertutur.

Identitas sosial dan pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur.

Identitas pendengar itu pun dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, adik,

kakak, paman, dan sebagainya), teman karib, guru, murid, tetangga, orang

yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para pendengar

juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur.

Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur tejadi dapat berupa ruang

keluarga di dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak

bola, di ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa

tutur terjadi dapat pula mempengaruhi pilihan kode dan gaya dalam bertutur.

Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan suara

yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras,

malah di ruang yang bising dengan suara mesin-mesin kita harus berbicara

14

dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh

lawan bicara kita.

Sehubungan dengan konsep konteks situasi, Hymes dalam artikelnya

yang berjudul Model of Interaction of Language and Social Life (1972)

membahas komponen tutur (speech component). Komponen tutur ini

dianggap sebagai konteks sosial yang banyak mempengaruhi wujud wacana

yang dituturkan oleh seseorang dalam suatu adegan tutur atau peristiwa tutur

(speech event).

Berdasarkan uraian tersebut, disimpulkan bahwa sosiolinguistik

sebenarnya tidak memperhatikan “aturan permainan” dalam bahasa (tata

bahasa), tetapi yang diperhatikan bagaimana pemakaian bahasa sehingga

dapat menjalankan fungsinya semaksimal mungkin. Sebelum lahir

sosiolinguistik, orang lebih banyak memperhatikan struktur. Setelah timbul

konflik-konflik bahasa karena fungsinya, maka orang mencari jalan dan

lahirlah sosiolinguistik. Dengan uraian ini, jelaslah bahwa sosiolinguistik lahir

karena ingin menempatkan bahasa sesuai dengan fungsinya. Fungsi utama

bahasa yakni sebagai alat komunikasi. Kalau demikian, sosiolinguistik

banyak bersangkut-paut dengan bahasa sebagai alat komunikasi.

2. Masyarakat Bahasa

Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan yang disebut

masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan

15

bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang

sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Fishman (dalam Chaer

dan Agustina, 2004: 36) masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang

anggota-anggotanya setidaknya mengenal satu variasi bahasa serta norma-

norma yang sesuai dengan penggunaannya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Sungguminasa

merupakan masyarakat bahasa atau masyarakat tutur, karena sedikitnya

telah mengusai tiga bahasa (multilingual) yaitu bahasa Indonesia, bahasa

Makassar, dan bahasa Bugis beserta norma-normanya. Pemakaian ketiga

bahasa tersebut juga mempunyai peran dan fungsinya masing-masing.

3. Bahasa

a. Pengertian Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakaan manusia bisa

juga dikategorikan sebagai alat penghubung manusi dalam berkomunikasi

dan berinteraksi denagan lawan bicara. Bagian-bagian yang terdapat dalam

bahasa yaitu yang meliputi: pengertian bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa,

dan ragam bahasa.

Menurut Kridalaksana (2007: 1) bahasa adalah sistem lambang bunyi

yang abriter yang dipergunakan dalam masyarakat untuk bekerja sama,

berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa dipergunakan manusia

dalam segala aktivitas kehidupan. Dengan damikian, bahasa merupakan hal

16

yang paling hakiki dalam kehidupan manusia. Recing Koen (dalam Aslinda

dan Safyahya, 2007: 5) menyatakan, bahwa hakekat bahasa bersifat

mengerti, individual, kooperatif dan sebagai alat komunikasi.

Berdasarkan beberapa pandangan mengenai bahasa tersebut maka

dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan interaksi sosial di

dalam suatu masarakat yang berwujud lambang bunyi atau simbol yang

bersifat abriter, konvsional dan bermakna yang dapat membentuk identitas

pemakainya serta mengembangkan budaya suatu masyarakat tertentu.

b. Fungsi Bahasa

Menurut Soeparno (2002: 5) fungsi umum bahasa adalah sebagai alat

komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau saling

hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana

yang dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan

memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada

masyarakat tanpa bahasa dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat.

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 14) fungsi bahasa secara

tradisional kalau ditanyakan apakah bahasa itu, akan di jawab bahasa adalah

alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,dalam arti, alt untuk

menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan.

17

Dari pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulaan bahwa

bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan berinteraksi yang dilakukan

manusia pada umumnya.

c. Ragam Bahasa

1) Pengertian Ragam Bahasa

Sebagai langue, sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem

yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, faktor penutur

bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan

kumpulan manusia yang homogen. Oleh karena itu, wujud bahasa yang

konkret disebut parole, menjadi tidak seragam. Dengan demikian, bahasa

menjadi bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan

hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, melainkan juga

karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam.

Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman

bahasa itu. Keragaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut

digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang

sangat luas. Misalnya, bahasa Indonesia yang wilayah penyebarannya dari

Sabang sampai Marauke.

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang

berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan

pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium

18

pembicara. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam

yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan

terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di

dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat

dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.

Chaer dan Agustina (2004: 73) menyatakan bahwa berbicara

mengenai variasi bahasa yang berkenaan dengan penutur dan

penggunaanya secara konkret. Begitulah dalam pembicaraan variasi bahasa

itu berkenaan dengan idiolek, dialek, soiolek, kronolek, fungsiolek, ragam,

dan register. Pembicaran tentang variasi bahasa itu tidak lengkap bila tidak

disertai dengan pembicaraan tentang jenis bahasa yang juga melihat secara

sosiolinguistik. Hanya bedanya dalam pembicaraan jenis ini bukan hanya

berurusan dengan suatu bahasa, serta variasinya, juga berusaha dengan

sejumlah bahasa baik yang dimiliki repertoir suatu masarakat tutur maupun

yang dimiliki dan digunakaan oleh sejumlah masarakat tutur.

Chaer dan Agustina (2004: 61) mengemukakan variasi atau ragam

bahasa merupakan bahasan pokok dalam studi sosiolinguistik. Sedangkan

variasi itu adanya bentuk yang lebih dari satu. Sumarsono dan Partana

(2004: 31) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang

digunakan dalam situasi, keadaan atau untuk keperluan tertentu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variasi atau ragam

bahasa merupakan bagian dari kajian sosiolinguistik sebagai perwujudan

19

interaksi masyarakat bahasa yang pemakaiannya disesuaikan berdasarkan

fungsi, situasi dan perasaan sosial pemakaian bahasa itu sendiri.

2) Jenis Ragam Bahasa

Bahasa dapat dipandang secara diakronis dan sinkronis. Secara

diakronis, dapat dibedakan tahapan-tahapan bahasa yang berbeda-beda dari

waktu ke waktu. Secara sinkronis, variasi-vriasi bahasa dapat dibedakan

menurut pemakaian bahasa dan pemakai bahasa. Dari segi pemakai bahasa

dialek regional (geografis), terdiri atas (1) dialek sosial, (2) dialek khusus dan,

(3) idiolek. Dari segi pemakaian bahasa, variasi-variasi bahasa disebut ragam

bahasa, yang dapat dibagi menurut bidang pembicaraan, cara berbicara, dan

hubungan di antara pembicara (Kridalaksana, 2007: 93).

Chaer dan Agustina (2004: 62) membagi variasi bahasa dari berbagai

segi yaitu:

a) Variasi Bahasa dari Segi Keformalan (Situasi)

Berdasarkan tingkat keformalan (situasi) dapat dibagi atas:

(1) Ragam baku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang

digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi.

Ragam resmi atau formal. Ragam bahasa yang digunakan dalam

situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Ragam ini pada

dasarnya sama dengan ragam bahasa baku atau standar.

20

(2) Ragam usaha atau ragam konsultatif. Wujud ragam usaha ini berada

di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.

(3) Ragam akrab atau ragam intim, adalah variasi bahasa yang biasanya

digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah akrab. Ragam

ini ditandai dengan pengunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-

pendek, dan artikulasi yang sering kali tidak jelas.

(4) Ragam santai atau ragam kasual. adalah variasi bahasa yang

digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang- bincang

dengan keluarga atau teman akrab.

b) Variasi Bahasa dari Segi Sarana

Berdasarkan segi sarana dibagi menjadi dua tingkatan yaitu:

(1) Ragam lisan, menyampaikan informasi secara lisan dapat dibantu

dengan nada suara, gerak-gerik tangan dan sejumlah gejala fisik

lainya.

(2) Ragam tulisan, dalam berbahasa tulis lebih menaruh perhatian

agar kalimat-kalimat yang disusun bisa dipahami pembaca.

c) Variasi Bahasa dari Segi Penutur (Pemakai)

Berdasarkan penutur berarti, siapa yang menggunakan bahasa itu,

apa jenis kelaminnya dan kapan bahasa digunakan. variasi dari segi penutur

ada variasi yang disebut:

(1) Idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan.

21

(2) Dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang

jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau

area tertentu.

(3) Sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan

dengan status, golongan dan kelas sosial pada penuturnya.

(4) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang

digunakan oleh kelompok sosial pada zaman tertentu.

d) Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian

Variasi dari segi pemakaian atau penggunaanya berarti bahasa untuk

itu digunakan untuk apa, bidang apa, apa jalur dan alatnya dan bagaimana

situasi keformalannya. Variasi bahasa menurut penggunaannya

pemakaiannya fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register. Variasi

bahasa berdasarkan bidang pemakain menyangkut bahasa itu digunakan

untuk keperluan atau bidang apa, sehingga muncullah beberapa ragam

bahasa, seperti: (1) variasi bahasa atau ragam bahasa sastra, (2) ragam

bahasa jurnalistik, (3) ragam bahasa militer, (4) ragam bahasa ilmiah, (5)

ragam bahasa niaga atau perdagangan (ragam jual beli).

Menurut Soeparno (2002: 71-78) ragam bahasa atau variasi bahasa,

dapat dibedakan atas:

(1) Variasi kronologis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh keurutan

waktu atau masa (kronolek).

22

(2) Variasi geografis yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor

geografis atau regional(varia regional).

(3) Variasi sosial yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor

perbedaan sosiologis (sosiolek).

(4) Variasi fungsioal yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor

perbedaan fungsi pemakaian bahasa (fungsiolek).

(5) Variasi gaya yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor

perbedaan gaya bahasa (style).

(6) Variasi kultural yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor

perbedaan budaya masyarakatnya.

(7) Individual yaitu variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor perbedaan

perorangan (idiolek).

Dengan demikian variasi bahasa sangat ditentukan oleh faktor waktu,

faktor tempat, faktor sosiokultural, faktor situasi dan faktor medium

pengungkapan. Faktor waktu menimbulkan perbedaan bahasa dari masa ke

masa. Variasi regional membedakan bahasa yang dipakai di satu tempat

dengan yang ada di tempat lain atau disebut dialek sosial. Variasi situasional

timbul karena pemakai bahasa memilih ciri-ciri bahasa tertentu dalam situasi

tertentu sehingga timbul adanya ragam bahasa formal dan informal. Faktor

medium pengungkapan membedakan bahasa lisan dan bahasa tulis. Ragam

bahasa juga dibagi menurut situasi, sarana, pemakai dan pemakaian.

Sedangkan ragam menurut situasi dibedakan atas formal dan informal.

23

Sedangakan menurut saran ragam bahasa dibedakan atas tulisan dan lisan.

Menurut pemakaian ragam bahasa dibedakan atas empat (4) macam yaitu

idiolek, dialek, sosiolek dan kronolek. Sedangkan menurut pemakaian ragam

bahasa dibedakan atas ragam jual beli, ragam sastra, ragam jurnalistik,

ragam hukum dan ragam ilmiah sedangkan sosiolek dibedakaan atas

pendidikan, pekerjaan, usia dan jenis kelamin.

3) Ciri-Ciri Ragam Bahasa Jual Beli

a) Wujud Tuturan Penjual dan Pembeli

Menurut Kridalaksana (2007: 248) bahwa tuturan dapat diartikan

wacana yang menonjolkan rangkaian peristiwa dalam serentetan waktu

tertentu, bersama dengan partisipan dan keadaan tertentu. Sedangkan

wujud, diartikan sebagai bentuk. Wujud tuturan penjual dan pembeli diartikan

bentuk ujaran penjual dan pembeli.

b) Pola Interaksi Penjual dan Pembeli

Suharsono (2003: 5-7) menyatakan bahwa faktor-faktor yang bersifat

sosial, misalnya yang berhubungan dengan diferensiasi kerja, tujuan

interaksi, dan hubungan peranan di antara penjual dan pembeli,

mempengaruhi pola interaksi jual beli, yang pada akhirnya mempengaruhi

pula wujud dan bentuk tuturan. Mengenai model interaksi antara penjual dan

24

pembeli dapat diihat dari lima segi, yaitu: (a) sifat organisasi, (b) tujuan

interaksi, (c) sifat hubungan, (d) harga.

Model interaksi antara penjual dan pembeli memiliki ciri-ciri berikut: (a)

Memberi peluang pertukaran kata bersifat goal oriented, tetapi juga untuk

mengembangkan hubungan interpersonal, (b) Hubungan bersifat

interpersonal, tidak temporer, (c) Tawar menawar merupakan bagian tidak

terpisahkan dalam interaksi penjual dan pembeli. (d) Masing-masing pelaku

dalam interaksi mengembangkan persuasi verbal.

4. Komunikasi

a. Pengertian Komunikasi

Menurut Uchjana dan Effendi (2007: 9) istilah komunikasi atau dalam

bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan

bersumber dari kata kommunis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya

adalah sama kata. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya

dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung

selama ada kesamaan makna apa yang sedang dipercakapkan. Kesamaan

bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan

kesamaan makna. Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di

atas sifatnya dasar, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus

mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat.

25

Chaer dan Agustina (2004: 17) mengutip dari webster menyebutkan

komunikasi adalah proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem

simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Pengertian komunikasi itu

paling tidak melibatkan dua orang atau lebih, dan proses pemindahan

pesannya dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara komunikasi yang

dilakukan oleh seseorang.

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 17) dalam setiap komunikasi

harus ada komponen pokok, yaitu:

1) Partisipan, yaitu pihak yang berkomunikasi, pengirim dan penerima

informasi yang dikomunikasikan. Pihak yang terlibat dalam proses

komunikasi tentunya ada dua orang atau ada dua kelompok orang,

yaitu pertama yang mengirim (sender) informasi, dan kedua yang

menerima (receiver) informasi.

2) Informasi yang dikomunikasikan. Informasi yang dikomunikasikan

tentunya berupa suatu ide, gagasan, keterangan, atau pesan.

3) Alamat yang digunakan dalam komunikasi. Alat yang digunakan

dapat berupa simbol atau lambang seperti bahasa.

Dengan demikian proses komunikasi akan berjalan dengan lancar dan

bahasa sebagai media komunikasi apa bila dalam interaksi ditandai adanya

umpan balik dari penerima pesan (receiver) atau lawan tutur kepada pengirim

pesan (sender) atau penutur dan komunikasi menurut jenisnya dibagi

menjadi dua macam yaitu verbal dan nonverbal.

26

b. Jenis Komunikasi

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 20) membagi jenis komunikasi

menjadi dua macam:

1) Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal atau komunikasi bahasa adalah komunikasi yang

menggunakan bahasa sebagai alatnya. Bahasa yang digunakan dalam

komunikasi ini tentunya harus berupa kode yang sama-sama dipahami oleh

pihak penutur dan pihak pendengar yaitu yang berupa bahasa tulis dan

bahasa lisan.

2) Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan alat,

seperti bunyi peluit, cahaya (lampu, api), isyarat bendera (semaphore).

5. Interaksi dan Situasi Kebahasaan

Interaksi merupakan bagian dari fungsi bahasa. Di sebuah

masyarakat, lingkungan pendidikan bahkan di Pasar sekalipun manusia

sering melakukan interaksi. Dengan adanya interaksi bahasa tersebut berarti

manusia melakukan sebuah kontak sosial dan komunikasi.

Menurut Suharsono (2003: 64) bentuk umum proses sosial adalah

interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan antara orang-orang,

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang

perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi

27

sosial dimulai pada saat itu, mereka saling menegur, berjabat tangan, saling

bicara atau bahkan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu,

adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. kontak sosial dapat bersifat

positif atau negatif yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama,

kontak sosial yang bersifat negatif pada suatu pertentangan atau bahkan

sama sekali tidak menghasilkan interaksi sosial.

Apabila seorang pedagang menawarkan barang dagangannya kepada

calon pembeli serta diterima dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya

jual beli, maka kontak tersebut bersifat positif. Lain halnya, apabila pembeli

tampak bersungut-sungut sewaktu ditawarkan barang dagangan maka,

kemungkinan besar tidak akan terjadi jual beli. Dalam hal ini terjadi kontak

negatif yang menyebabkan tidak berlangsungnya interaksi sosial. Dalam

interaksi mencakup tiga hal, yaitu diglosia, alih kode, dan campur kode.

a. Diglosia

Di dalam masyarakat bahasa khususnya di daerah Sungguminasa

bahasanya sangat bervaiatif. Sebagian daerah tertentu ada yang

menggunakan bahasa Makassar sebagian daerah lain ada yang

menggunakan bahasa Bugis bahkan ada pula yang menggunakan bahasa

Indonesia.

Menurut Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 92) bahwa

keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa

28

yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu

disebut diglosia. Ferguson juga membagi pengertian diglosia menjadi tiga

yaitu:

1) Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana

selain terdapat sejumlah dialek utama (lebih tepat, ragam-ragam utama)

dari satu bahasa terdapat ragam lain.

2) Dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa dialek biasa, dan bisa

berupa sebuah dialek standar atau sebuah standar regional.

3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri: Sudah

sangat terkodifikasi. Gramatikalnya lebih komplek. Merupakan wahana

kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati. Dipelajari melalui

pendidikan formal. Digunakan dalam bahasa tulis dan bahasa lisan

formal. Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk

percakapan sehari-hari.

Kriteria diglosia yang sangat penting menurut Ferguson (dalam Chaer

dan Agustina, 2004: 93) adalah bahwa dalam masyarakat diglosis terdapat

dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi dan yang

kedua disebut dialek rendah.

Dengan demikian bahwa masyarakat Sungguminasa khususnya para

penjual pembeli merupakan masyarakat bahasa (masyarakat tutur) yang

memiliki variasi bahasa dan ini bisa mengakibatkan timbulnya bahasa

29

campuran (campur kode) dan peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa

lain atau biasa disebut alih kode.

b. Alih Kode

Menurut Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 106) alih kode adalah

gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi yang

disebabkan oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar dan

sengaja dengan sebab tertentu.

Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) menyatakan bahwa

alih kode adalah apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari

suatu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Fasold (dalam Chaer dan

Leoni, 2004: 115) berpendapat bahwa alih kode adalah apabila suatu klausa

jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya

disusun menurut struktur gramatikal bahasa lain.

Variasi bahasa lain yang dapat dijumpai dalam pergaulan masyarakat

adalah peralihan kode yang digunakan untuk menyesuaikan diri penutur

dengan peran. Di samping penyesuaian peran yang dihadapi oleh penutur,

alih kode juga dapat di sebabkan oleh dorongan batin penutur, misalnya

karena adanya perasaan kecewa, ketidakpuasan dan tanggapan terhadap

sesuatu yang sedang dialami dan dilihat pada saat itu.

Istilah bahasa kadang-kadang digunakan dalam makna yang sama

dengan istilah kode, namun mengandung arti yang lebih umum dan biasanya

30

berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi

oleh anggota masyarakat bahasa (Thaha, 1985:4). Alih kode tidak terjadi

secara kebetulan, tetapi berhubungan erat dengan berbaga situasi tertentu,

misalnya perubahan dalam situasi penuturan, perubahan kehendak atau

suasana hati penutur secara tiba-tiba atau karena faktor kompetensi

berbahasa dan berbagai faktor kebahasaan lainnya (Thaha, 1985:5).

Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang

lain. Jadi, apabila seorang penutur menggunakan kode A (misalnya dalam

bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misanya

bahasa Makassar), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti ini

disebut alih kode (code switching).

Dalam alih kode, penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh

setiap bahasa mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya

dan (berkategori) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi

yang relevan dengan perubahan konteks. Syamsuddin dkk., (1997:121)

mengatakan bahwa alih kode merupakan salah satu aspek analisis

percakapan yang lengkap di dalam pembahasan wacana dialog dan alih

kode erat pula hubungannya dengan sistem bertutur, peristiwa tutur, tindak

tutur, variasi bahasa, dan ragam bahasa tutur. Bahkan, erat sekali

hubungannya dengan rasa berbahasa dan tatakrama berbicara dalam

percakapan pada semua tingkatan atau status pemakai bahasa.

31

Kridalaksana (2001: 7) mengemukakan bahwa alih kode adalah

penggunaan-variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau

keadaan lain. Penyesuaian diri yang dimaksud adalah dalam bentuk

penyesuaian bahasa dalam tindak tutur dari penutur kepada lawan tuturnya

apabila ada istilah yang dapat dipahami oleh lawan tuturnya.

Alih kode dapat pula terjadi karena beralihnya persoalan ke persoalan

yang lain yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Hal ini sejalan dengan

pendapat Pateda (1992: 85) bahwa alih kode adalah peralihan kode. Seperti

yang dikemukakan oleh Appel, yaitu siapa yang berbicara dan mendengar,

pokok pembicaraannya, konteks verbal, bagaimana bahasa dihasilkan, dan

bekas pembicaraan (Pateda, 1987: 36).

c. Campur Kode

Di dalam bahasa Indonesia sering ditemui suatu keadaan ketika

seseorang mencampur dua atau lebih bahasa dalam satu tindak berbahasa.

Apabila diperhatikan hubungan antara kemampuan dalam dua bahasa

tersebut pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang,

kemampuan dan tindak laku dalam kedua bahasa tersebut adalah berpisah

dan bekerja secara sendiri-sendiri yang dapat menyebabkan terjadinya

campur kode. Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia, campur kode adalah

(1) interferensi, (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke dalam

bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di

32

dalamnya pemakaian kata, frasa, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya

(Depdikbud, 2005: 168).

Nababan (1984: 32) menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa

yang lain ialah bagaimana orang mencampur dua atau lebih bahasa ragam

bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada

sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa.

Dalam kondisi demikian, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang

dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.

Kridalaksana (2001: 35) mendefinisikan campur kode sebagai

penguraian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk

mempertegas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya

pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Hal ini sejalan

dengan pendapat Hymes bahwa campur kode ini bukan hanya terjadi antar

bahasa, melainkan dapat pula terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya

dalam suatu bahasa (Chaer dan Agustina, 2004: 142).

Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling

memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara

konsisten dan apabila dalam satu tuturan terjadi pencampuran atau

kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama

(Suwito, 1983: 77). Apabila dalam suatu tuturan terjadi pencampuran atau

kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang

sama, maka peristiwa itu disebut campur kode (Suwito, 1983: 76).

33

Peristiwa campur kode lazim terjadi di dalam masyarakat yang

dwibahasa ataupun yang multibahasa. Keduanya memiliki persamaan yang

besar sehingga seringkali susah dibedakan. Persamaaanya ialah

digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua variasi dari sebuah bahasa

dalam satu masyarakat tutur, rasional, alih gaya atau alih register

berhadapan dengan lawan tutur.

Menurut Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) campur

kode adalah apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun

frase-frase yang digunakan terdiri dari kalusa dan frase campuran (hybrid

clauses, hybrid prases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi

mendukung fungsi sendiri-sendiri. Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004:

115) menyatakan bahwa campur kode adalah apabila seseorang

menggunakan satu kata atau frasa dari suatu bahasa.

6. Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atu berlangsungnya interaksi linguistik

dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melebihi dua pihak, yaitu penutur

dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam waktu, tempat dan

situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang

dan pembeli di Pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa

sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur (Chaer dan

Agustina, 2004: 47).

34

Percakapan yang tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi),

tanpa tujuan ditentukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-

cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti tidak disebut

sebagai peristiwa tutur apabila memenuhi delapan komponen tutur, yang

dihuruf-huruf pertanyaan dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING,

Delhemes dalam (Chaer dan Leoni, 2004: 48) komponen itu adalah:

S = Setting and scene

P = Partisipant

E = End: purpuse and goal

A = Act sequncs

K = Key: tenor sepirit of act

I = Instrumentalistis

N = Norm of interaction and interpretation

G = Genres

Dari beberapa pendapat pakar tersebut dapat ditarik sebuah

kesimpulaan bahwa komunikasi merupakaan proses pertukaraan informasi

antar individu yang berupa simbol, tanda gerak, atau tingkah laku yang

umum. Kemudiam jenis komunikasi di bagi menjadi dua bagian yaitu verbal

dan nonverbal. Komunikasi yang dilakukan manusia pada umumnya ialah

komunikasi verbal, sebuah komunikasi yang dilakukan oleh manusia yang

menggunakaan bahasa lisan yang berupa kata atau kalimat yang terjadi pada

peristiwa tutur itu dipengaruhi oleh tempat dan waktu, pihak yang

35

berkomunikasi, nada tutur, sarana tutur, jenis tutur. Di daerah Sungguminasa

tidak menutup kemungkinan akan terjadi interaksi, karena daerahnya yang

dekat dengan perbatasan maka akan menimbulkan variasi bahasa, dari

variasi bahasa itu akan timbul campur kode dan alih kode sebagai alat

komunikasinya, itu dikarenakan agar komunikasi yang dilakukan bisa berjalan

dengan lancar. Berkomunikasi dan berinteraksi tidak akan terlepas pada

peristiwa tutur.

7. Tingkat Tutur

a. Pengertian Tingkat Tutur

Tingkat tutur atau disebut dengan istilah undha usuk, Chaer dan

Agustina (2004: 40) menyebutkan bahwa variasi bahasa yang

penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial. Dijelaskan adanya

tingkat-tingkat bahasa ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur

tersebut untuk mengetahui terlebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya

terhadap lawan bicaranya.

Rahardi (2001: 52-53) menyebutkan bahwa tingkat tutur dapat dikatakan

sistem kode dalam masyarakat tutur. Kode dalam jenis ini faktor penentunya

adalah relasi antara si penutur dengan mitra tutur.

b) Faktor yang Memengaruhi Tingkat Tutur

Mengenai berbagai faktor yang menyebabkan adanya bentuk tingkat

tutur, Rahardi (2001: 53) membagi ke dalam beberapa faktor, yakni dihormati

36

atau tidak dihomati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi,

status sosialnya, kekuatan dan pengaruh politisnya, alur kekerabatan, usia,

jenis kelamin, dan kondisi psikisnya.

Tingkat sosial para penutur sangat menentukan dalam menentukan

variasi tingkat tutur. Terdapat anggota masyarakat tertentu yang sangat perlu

dihormati, tetapi ada juga golongan masyarakat yang tidak perlu

mendapatkan penghormatan khusus.

Untuk mengetahui keterkaitan tersebut, Kuntjaraningrat dalam Chaer

dan Agustina (2004: 39-40) membagi masyarakat terkecuali masyarakat di

Sungguminasa atas empat tingkat, yaitu (a) masyarakat biasa, (b) golongan

pedagang, (c) golongan pejabat, (d) golongan orang kaya. Penggolongan di

atas jelas adanya perbedaan tingkat dalam masyarakat tutur bahasa

Makassar, berdasarkan tingkat-tingkat sosialnya. Lebih jelasnya bahwa pihak

yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih

tinggi, yaitu krama, dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan

tingkat bahasa yang lebih rendah.

c) Bentuk-Bentuk Tingkat Tutur

Sehubungan dengan tingkat tutur, bentuk tingkat tutur bahasa terbagi

atas dua, yaitu tingkat tinggi dan tingkat rendah. Di antara tingkat tinngi dan

rendah masih terbagi menjadi beberapa tingkat. Uhlenbeck (dalam Chaer

37

dan Agustina, 2004: 40) membagi tingkat variasi bahasa menjadi tiga, yakni:

tinggi, madya, rendah.

1) Tingkat Tinggi

Tingkat tutur ini memiliki rasa yang tidak berjarak antara penutur dan

mitra tutur. Hubungan antar keduanya tidak dibatasi oleh rasa segan. Bentuk

ini sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak memperhatikan

kedudukan dan usia (Purwadi dkk., 2005: 22).

2) Tingkat Tutur Madya

Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di

antara tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kadar kesopanan tigkat tutur madya

tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja. Dengan

kata lain, tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan setengah

tidak sopan.

3) Tingkat Tutur Rendah

Tingkat tutur rendah adalah tingkat yang memancarkan arti penuh

sopan santun antara sang penutur dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat

tutur ini menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai

rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan

disebabkan karena relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik

(akrab).

38

8. Register

Variasi bahasa berdasarkan fungsi lazim disebut register. Dalam

pembicaraan tentang register ini biasanya dikaitkan dengan masalah dialek.

Kalau dialek berkenaan dengan bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana,

dan kapan, maka register berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan

untuk kegiatan apa (Chaer dan Agustina, 2004: 69).

Register merupakan konsep semantik yang dapat didefinisikan

sebagai suatu susunan makna yang berhubungan secara khusus dengan

susunan situasi tertentu dari medan, pelibat dan sarana (Halliday dan Hasan,

1994: 53. Kemudian dijabarkan bahwa regiser dapat didefinisikan sebagai

ragam bahasa yang digunakan pada saat itu, tergantung pada apa yang

sudah dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register itu mencerminkan tingkat

sosial dalam arti proses yang merupakan macam-macam kegiatan sosial

yang biasanya melibatkan orang (Halliday dan Hasan, 1994: 56).

Halliday dan Hasan (1994: 57) juga menyebutkan register itu beragam,

di satu sisi, terdapat register yang berorientasi pada kegiatan, yang di

dalamnya banyak kegiatan dan sedikit percakapan, yaitu yang kadang-

kadang disebut bahasa tindakan dan terdapat pula register yang berorientasi

pada bicara, yang kebanyakan isinya bersifat kebahasaan dan tidak banyak

hal lain yang terjadi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa register

adalah jenis ragam bahasa berdasarkan fungsinya yang pemakaiannya

39

ditentukan oleh sifat dan bidang kegiatan pada saat itu, tergantung peran

sosial masyarakat pemakai bahasa. Register akan terus berkembang sesuai

jenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat melalui kontak bahasa baik

komunikasi maupun berinteraksi satu sama lain.

Ciri ragam bahasa jual beli yaitu yang berupa, wujud tuturan pola/

bentuk interaksi tingkat tutur dan register.

B. Kerangka Pikir

Wacana jual beli adalah suatu bentuk interaksi yaitu antara penjual

dengan pembeli yang bersifat informal. Interaksi tersebut tidak terlepas dari

pemakaian bahasa dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal dengan

tujuan untuk menyampaikan pesan dari setiap penutur.

Kerangka pikir penelitian digambarkan dari yang menjadi patokan dan

teori dalam penelitian ini sehingga menunjukkan sistem matriks yang

disesuaikan dengan penelitian kenyataan yang terdapat di daerah penelitian.

Urut-urutan kerangka pikir ini sebagai berikut: bahwa masyarakat bahassa

mengunakan bahasa, dan bahasa di bagi menjadi empat aspek yaitu,

pengertian bahasa, fungsi bahasa, jenis bahasa, ragam bahasa. Kemudian

fungsi bahasa, dibagi menjadi dua aspek yaitu sebagai alat komunikasi dan

berinteraksi. Kemudian wujud dari komunikasi yaitu berupa verbal dan

nonverbal. Dari interaksi itu akan timbul diglosia (variasi bahasa) dan dari

variasi bahasa akan mengakibatkan timbulnya alih kode dan campur kode.

40

Komunikasi verbal yaitu berupa tulis dan lisan sedangkan nonverbal

berupa cahaya dan bunyi. Komunikasi verbal atau komunikasi yang dilakukan

secara lisan yaitu berupa kata, kalimat,dan peristiwa tutur, (SPEAKING).

Jenis bahasa dalam penelitian dini yaitu berupa bahasa Makassar, Bugis,

Jawa, dan bahasa Indonesia. Kemudian ragam bahasa dibagi menjadi empat

faktor yaitu faktor situasi, sarana, pemakai, dan pemakaian. Dari faktor situasi

bahasa yang digunakaan, formal, dan informal, dari faktor sarana, bahasa

tulis dan bahasa lisan, dari faktor pemakai yaitu, idiolek, dialek, sosiolek, dan

kronolek. Ragam bahasa dari faktor pemakaian di pisahkan atas, ragam jual

beli, ragam sastera, ragam jurnallistik, ragam hukum, dan ragam ilmiah.

Ragam bahasa menurut pemakai pada sosiolek yaitu dipengaruhi oleh faktor

pendidikan, pekerjaan, dan usia. Kemudian yang mencakup kedalam ciri-ciri

ragam bahasa jual beli yaitu berupa, wujud bahasa/tuturan penjual dan

pembeli, pola/bentuk interaksi, dan tingkat tutur. Untuk lebih jelasnya,

kerangka pikir yang menjadi dasar penelitian dapat dilihat pada bagan berikut

ini.

41

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir

Interaksi Jual Beli di PasarSentral Sungguminasa

Pembeli sebagaiPenyampai dan

Penerima Informasi

Penjual sebagaiPenyampai dan

Penerima Informasi

Ragam (Variasi)Bahasa

BahasaBugis/Makassar (B-1)

Bahasa Indonesia(B-2)

Bahasa Jawa(B-2)

Ragam Bahasa Penjual dan Pembeli pada InteraksiJual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa

Kabupaten Gowa

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Variabel Penelitian Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian

deskriptif maksudnya adalah membuat gambaran, lukisan secara sistematis,

faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat dan hubungan fenomena yang

diteliti (Sudaryanto, 1993: 8).

Penelitian ini termasuk penelitian sosiolinguistik yang didesain secara

deskriptif kualitatif. Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2000) menjelaskan

bahwa penelitian dengan desain kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan

terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan

orang-orang tersebut dalam bahasa dan dalam peristilahannya. Selain itu,

Bogdan dan Taylor (1975) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata

tertulis atau lisan dan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu

peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut

perspektif peneliti sendiri (Usman dan Akbar, 2000). Hasan (1990)

42

43

mengungkapkan bahwa ciri penelitian kualitatif adalah sumber data yang

berupa natural setting. Data dikumpulkan secara langsung dari lingkungan

nyata (natural setting) dalam situasi sebagaimana adanya yang dilakukan

oleh subjek dalam kegiatan sehari-hari.

Ciri-ciri terpenting penelitian kualitatif adalah: (1) memberikan

perhatian utama pada makna dan pesan sesuai dengan hakikat objek, (2)

lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil penelitian sehingga makna

selalu berubah, (3) tidak ada jarak antara peneliti dengan objek penelitian,

peneliti sebagai instrumen utama sehingga terjadi interaksi langsung di

antaranya, dan (4) penelitian bersifat alamiah karena terjadi dalam konteks

budaya masing-masing.

Di dalam penelitian bahasa, metode penelitian deskriptif cenderung

digunakan dalam penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini dikatakan sebagai

pencarian data dengan interpretasi yang tepat, terutama dalam

mengumpulkan data, serta menggambarkan data secara ilmiah. Penelitian

kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial termasuk fenomena

kebahasaan yang telah diteliti.

2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah wujud, pola, tingkat, dan register bahasa

penjual dan pembeli dalam interaksi jual beli pada Pasar Sentral

Sungguminasa Kabupaten Gowa.

44

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat pengambilaan data ini yaitu di Pasar Sentral Sungguminasa,

Kabupaten Gowa. Pasar ini tergolong pasar besar dan beroprasai setiap hari

sehingga berpeluang terjadinya situasi kebahasaana yang beragam.

Penelitian ini direncanakan berlangsung mulai bulan Maret sampai dengan

Mei 2013.

C. Definisi Istilah

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ragam

bahasa, pola tuturan, dan tingkat tuturan.

Ragam bahasa merupakan varian dari bahasa yang digunakan oleh

penjual dna pembeli dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa.

Pola tuturan adalah suatu model, situasi (konteks), sifat, dan tujuan

komunikasi seperti sifat organisasi, tujuan interaksi, sifat hubungan, dan

harga. Tingkat tuturan yang dimaksud adalah suatu tataran bahasa yang

dikomunikasikan antara penjual maupun pembeli yang disebabkan oleh

strata sosial.

D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data dalam penelitian ini berbentuk tuturan yang diperoleh dari

peristiwa tutur antara penjual dan pembeli dalam peristiwa komunikasi jual

45

beli (tawar menawar) di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang

sungguh-sungguh terdapat dalam masyarakat bahasa. Bahasa merupakan

objek penelitian dan pemakaian bahasa (penjual dan pembeli) menjadi

subjek dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

Sumber data berupa tuturan penjual dan pembeli, yang terjadi dalam

transaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa yang

dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2013.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu metode

observasi, simak, rekam, dan catat. Teknik tersebut dilakukan untuk

menyediakan data selengkap-lengkapnya. Observasi dilakukan dengan

mengamati proses interaksi jual beli bahasa yang digunakan. Hal ini

dilakukan untuk menyediakan data. Penyediaan data merupakan upaya

peneliti menyediakan data secukupnya. Data di sini dimengerti sebagai

fenomena lingual khusus yang mengandung dan berkaitan langsung dengan

masalah yang dimaksud.

Dalam tahap penyediaan data, sekurang-kurangnya melalui tiga

tahapan kegiatan, yaitu: 1) mengumpulkan yang ditandai dengan pencatatan,

2) pemilihan dan pemilah-milah dengan membuang yang tidak perlu, 3)

46

pendataan menurut tipe atau jenis terhadap apa yang telah dicatat, dipilih

dan dipilah-pilahkan itu (Sudaryanto, 1993: 11)

Pada tahap penyediaan data digunakan metode simak, yaitu cara

yang digunakaan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak

penggunaan bahasa, dengan menggunakan teknik sadap sebagai teknik

dasarnya. Sebagai teknik lanjutannya menggunakan teknik Simak Bebas

Libat Cakap (SBLC ) bahwa peneliti terlibat dalam dialog, konversasi atau

timbal wicara. Jadi, ikut serta dalam proses pembicaraan orang yang saling

berbicara dan menggunakan teknik rekam memakai head phone (HP)

sebagai alatnya. Kemudian semua rekaman yang telah diperoleh ditrankripsi

secara fonemis diteruskan dengan klasifikasi data sebagai langkah akhir

tahap penyediaan data.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menganut alur analisis data model

alir. Miles dan Huberman (1992: 15-20) mengemukakan bahwa teknik

analisis data model alir memiliki dua ciri yang menonjol, yakni (1) model

analisis data dan (2) analisis data selama dan setelah pengumpulan data.

Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup empat

langkah kegiatan, yakni (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian

data, dan (4) penyimpulan/verifikasi. Analisis data dapat dilakukan selama

pengumpulan data dan setelah pengumpulan data berakhir. Analisis data

47

pada saat pengumpulan data diperlukan untuk menyeleksi data yang

berhubungan dengan rumusan permasalahan. Sementara itu, analisis data

setelah pengumpulan data mengacu pada kerangka kerja kualitatif yaitu

pengumpulan data catatan lapangan dan rekaman.

Langkah-langkah analisis data dijelaskan sebagai berikut.

1. Peneliti melakukan observasi dan perekaman tuturan penjual dan pembeli

pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

Observasi dan perekaman menghasilkan data kasar. Data kasar

selanjutnya diamati dan dipahami secara hermeneutik berdasarkan

masalah penelitian, yakni ragam bahasa Indonesia penjual dan pembeli

pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa.

2. Peneliti mencermati dan memahami secara hermeneutik seluruh sumber

data dan data penelitian tentang ragam bahasa penjual dan pembeli pada

interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa,

kemudian peneliti menandai dengan kode tertentu. Langkah ini

menghasilkan transkrip data.

3. Peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikasi seluruh data sesuai dengan

butir masalah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai proses sajian data.

4. Peneliti menafsirkan data teridentifikasi dan terklasifikasi dalam usaha

menentukan kesatuan, kepaduan, dan hubungan antardata sehingga

48

diperoleh makna yang utuh. Hal tersebut dimaksudkan sebagai proses

sajian data dan penarikan kesimpulan.

Langkah tersebut oleh Glasser (dalam Biklen dan Bogdan, 1982)

disebut the constant comparative method, yang meliputi langkah (a)

pengumpulan data, (b) menemukan unsur peristiwa atau sesuatu yang

berulang terjadi dalam kategori tertentu, (c) mengumpulkan data dan

memberi banyak contoh kategori yang dijadikan fokus untuk melihat berbagai

variasi dimensi kategori, (d) menguraikan secara tertulis kategori yang diteliti

untuk mendeskripsikan dan memahami semua aspek yang terdapat dalam

data yang terkumpul sambil terus mencai hal-hal baru yang berkaitan dengan

permaslahan, (e) mengolah data sesuai dengan tujuan, dan (f) melakukan

pengodean dan uraian tertulis dengan memusatkan analisis pada kategori

inti.

Langkah analisis data yang telah diuraikan di atas, diharapkan

diperoleh kesimpulan akhir, yaitu wujud ragam bahasa Indonesia penjual dan

pembeli pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten

Gowa.

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Wujud Ragam Bahasa Jual Beli di Pasar Sentral Sungguminasa

Kabupaten Gowa

a. Penjual dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa Makassar

Dominasi penggunaan bahasa Makassar sebagai wujud ragam

bahasa yang dimaksud adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang intens

digunakan dalam interaksi jual beli. Dominasi penggunaan bahasa akibat

penutur merupakan penutur asli yang bersangkutan. Perhatikan data berikut

ini!

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjual ikan

Penjual : Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.(…baru datang)

Pembeli : Berapa ini, Daeng (sambil menunjuk kumpulanikan bolu)

Penjual : Limassabbu na tiga ekor, Karaeng. (limaribu….)

Pembeli I : Empat ribumo na tiga nah? (Empat ribu saja, tigaekor nah?)

Penjual : Tanre antu nissawala, Bu. (tidak dapat untung, Bu)Pembeli II : Appaq assitanggahmo na tallu (empat setengah

saja, tiga)Penjual : Ki allemi, eh kita juga ambil makiq sama ini Ibu.

(silahkan dimbil ......)

49

50

Pembeli : Anjomo deh, ka tenamo naganna doeqka. (itusaja, sudah tidak cukup uang)

Penjual : Punna eroqkiq teamakiq jukuq bolu, ini saja yangkecil, Bu. (kalau mau, tidak usah ikanbandeng............)

Pembeli : Patoa-toinna anne, nitawari jukuq na nasareangkijukuq maraengaiignga. (kurang ajarnya ini,ditawari ikannya diberikan yang lain )

Penjual : Tena ni patoa-toi anjo, Bu, ditunjukkanki yangcocok na doeqtaq (tidak kurang ajar itu, Buuangnya)

Pembeli : Tena lalo nalabbusuq jukuqnu, Daeng. (mudahhantidak habis ikanmu)

Penjual : Jangankiq marah, Bu. (ketika pembeli itu sudahjauh)

Berdasarkan konteks tuturan tersebut, tampak dominasi penggunaan

bahasa Makassar dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa,

Kabupaten Gowa. Penjulan dan pembeli rata-rata menggunakan bahasa

Makassar. Sesuai dengan data tersebut, bahasa Makassar dijadikan sebagai

sarana komunikasi bagi penual dan pembeli dalam menjalankan aktivitas juali

belinya.

Dominasi penggunaan bahasa Makassar tersebut merupakan

perwujudan dari pemertahanan bahasa Makassar bagi penjual yang terus

menggunakan bahasa Makassar dalam merespon pembeli. Upaya penjual

menggunakan Makassar menjadi pemicu bagi pembeli untuk beralih bahasa

dari bahasa Indonesia ke bahasa Makassar.

Peristiwa tutur:

Lokasi/setting : Penjual Pecah-Belah Situasi : Santai (pasar) TopikPembicaraan : Pengembalian barang

51

Penjual : Kenapa dikembalikan?Pembeli I : Kemarin waktu saya ambil ini pantenta retakki, tidakku

perhatikan.Penjual : Anggapa memang tena niparessai. (mengapa tidak

diperiksa)Pembeli I : Jadi, tidak bisa ditukar? untuk apa dibeli kalau pecah

begini.Penjual : Jangan marah, Bu! kulleji nisambei mingka kitambai,

eroqjaki? (... dapat digantikan tapi menambah, Ibu mau?)Pembeli II : Biar begitu ditambahji? Biasanya ditukar.Penjual : Bisa rugi saya Bu. Pabalu ka antu tena tonjana

poterangngi. Kalau pecah, ya pecah.Pembeli II : Oh begitu, jari annambai siapa. (...jari menambah berapa?)

Penjual: Ya, berapa yang pecah, anjo reppeka nitambai,satu piring seribu rupiah.

Pembeli I : Teamakiq, bajikangngangi nierang motereq (tidak usahlebih baik dibawa pulang)

Penjual : Ya, sudah, erammi ammotereq. (Ya sudah, bawa sajapulang)

Penggunaan bahasa Makassar tampak mendominasi dalam interaksi

jual beli sesuai dengan data tersebut. Penjual dan pembeli rata-rata

menggunakan bahasa Makassar dalam proses jual beli, walaupun pada

awalnya penjual dan pembeli menggunakan bahasa Makassar. Akan tetapi,

penjual telah memahami bahwa pembeli saat itu merupakan penutur bahasa

Makassar sehingga membuka dan memulai percakapan selanjutnya dengan

bahadsa Makassar. Variasi bahasa yang demikian adalah situasi kebhasaan

yang lazim terjadi di pasar Sungguminasa yang masyarakatnya adalah rata

penutur bahasa Makassar sehingga peluang komunikasi bahasa Makassar

yang terbuka.

52

Pada peristiwa tutur tersebut, diketahui pula bahwa penjual dan

pembeli menggunakan tingkat tutur yang santai disebabkan oleh penjual dan

pembeli umurnya sebaya atau seumuran, penjual dan pembeli sudah saling

mengenal sehinga peristiwa tutur kelihatan akrab dan bahasa yang

digunakan, mengunakan bahasa Makassar yang santai dan sedikit humoris.

b. Penjual dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa IndonesiaDialek Makassar

Dominasi penggunaan bahasa Indonesia sebagai wujud ragam

bahasa yang dimaksud adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang intens

digunakan dalam interaksi jual beli. Dominasi penggunaan bahasa akibat

penutur merupakan penutur asli yang bersangkutan serta tidak dapat beralih

bahasa sesuai dengan konteks dan aktivitas saat itu. Perhatikan data berikut

ini!

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan: Pembelian barang campuran

Pembeli : Berapa sabunta satu bungkusPenjual : Dua ribu asokanya, lamoroji.Pembeli : Tidak kurangmi itu?Penjual : Kalau banyak taambil, kukurangiji. (... .Saya berikan

murah)Pembeli : Maukaq ambil enam bungkus. Mau jakiq?Penjual : Mau banyaki?Pembeli : Tidak, untuk persiapan satu bulanPenjual : Eeh, begini kurangmo dua ribu rupiah.Pembeli : Bungkuskan makaq nah?Penjual : Ada kantong plastiktaq?Pembeli : Tidak ada kasi maka, satu kantongta.Penjual : Tiga ratus ini, Bu, tarik saja.

53

Konteks interaksi penjual dan pembeli sesuai dengan data tersebut

adalah pembelian dan tawar menawar barang campuran, seperti sabun dan

sebagainya. Dalam proses jual beli tersebut, penjual dan pembeli dominan

menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat interaksinya. Penggunaan

bahasa Indonesia secara menyeluruh dalam proses jual beli antara penjual

dan pembeli disebabkan oleh pembeli saat itu yang bertahan pada

penggunaan bahasa Indonesia. Sebenarnya, varian bahasa memungkinkan

terjadi saat interaksi tersebut ketika penjual mencoba menggunakan bahasa

Makassar sebgaai bahasa sehari-hari dalam proses jual beli dengan

membuka percakapan sebagai peralihan bahasa, yaitu menggunakan kata

lamoroji “murah”. Namun, pembeli tetap merespons dengan bahasa

Indonesia terhadap informasi penjual tentang kemurahan barang yang dijual.

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan: Pembelian alat-alat kosmetik

Penjual : Cari apaki mbak?Pembeli : Mau lihat-lihat dulu.Penjual : oh, iya silakan dicoba, adaji testernyaPembeli : Da bedakta yang produksi WardahPenjual : Oh, kita ndak jual Wardah, yang ada rata-rata merek

Pondsji

Pada peristiwa tutur tersebut, pejual mengguakan bahasa Indonesia

dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia itu disebabkan karena pejual

mengimbagi pembeli yang berasal dari luar kota dan bahasa yang digunakan

pembelipun menggunakan bahasa Indonesia sehingga penjual mengimbangi

54

kode yang digunakan pembeli. Dari faktor ekonomi penjual termasuk

golongan fundamental (golongan bawah) sedangkan pembeli golongan

segmental golongan (atas), yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dan

gengsi menggunakan bahasa daerah, apalagi pembeli seorang gadis

perempuan yang tentunya selalu berupaya untuk mempertahankan sebagai

statusnya sebagai gadis masa kini dan modern.

c. Penjual dan Pembeli Dominan Menggunakan Bahasa Bugis

Dominasi penggunaan bahasa Bugis sebagai wujud ragam bahasa

yang dimaksud adalah suatu bentuk penggunaan bahasa yang intens

digunakan dalam interaksi jual beli oleh penjual dan pembeli sampai

terwujudnya interaksi jual beli. Dominasi penggunaan bahasa akibat penutur

merupakan penutur asli yang saat itu sedang digunakan, termasuk pembeli

yang beretahan pada penggunaan bahasa Bugis. Perhatikan data berikut ini!

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan sembako

Penjual : Ibu, mie aga yang kisappa, maiki yolo!Pembeli : Iya sappaka mie goring, degage di sebelah.Penjual : Mie goreng aga?Pembeli : Engka mie goreng Jawa?Penjual : Cappuqni stoknyaPembeli : Mie goreng lainnge?Penjual : engka mua sari mie, gaga 100, sop mie, soto, tarea ki

eloki? siaga dos, Puang?Pembeli : Siaga seqdi dos sop mie.Penjual : Delapan belas, mau ki siaga dos.Pembeli : Tiga dosna.Penjual : kikasiq ki tujuh belas.

55

Pembeli : Kasiqmakaq tiga dosPenjual : lyeq

Berdasarkan konteks tuturan tersebut, tampak dominasi penggunaan

bahasa Bugis dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa,

Kabupaten Gowa. Penjulan dan pembeli rata-rata menggunakan bahasa

Bugis. Sesuai dengan data tersebut, bahasa Bugis dijadikan sebagai sarana

komunikasi bagi penual dan pembeli dalam menjalankan aktivitas juali

belinya.

Dominasi penggunaan bahasa Bugis tersebut merupakan perwujudan

dari pemertahanan bahasa Bugis bagi penjual yang memulai bahasa Bugis

dalam merayu pembeli karena sudah mengetahui bahwa pembeli merupakan

penutur bahasa Bugis. Hal ini diketahui berdasarkan hasil simakan pembeli

yang telah menggunakan bahasa Bugis saat bertanya pada penjual di

sebelahnya.

d. Penjual Menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Makassar danPembeli Menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Jakarta

Proses penggunaan bahasa Indonesia yang berbeda dialek pada

penjual dan pembeli terjadi akibat kedua peserta komunikan tersebut sangat

berbeda latar belakang sosial dan budaya. Hal tampak pada proses interaksi

jual beli berikut ini.

56

Peristiwa Tutur:

Topik pembicaraan: Pembelian Sayuran

Pembeli : “Mas ada yang terong belanda mas”Penjual : “Iye?”Pembeli : “Ada terong belanda enggak?”Penjual : “Ini adaji bu, mauki berapa kilo”Pembeli : “Yang ini harganya berapa mas”Penjual : “Yang itu tiga ribuji satu kilo”Pembeli : “Eh mahal juga ya, apa sekarang lagi mahal

ya mas sayuran?”Penjual : “Tidak mahal itu bu, terong belada memang

begitu harganya dari dulu”

Pada peristiwa tutur tersebut, pejual mengguakan bahasa Indonesia

dialek Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek

Jakarta. Hal itu disebabkan karena penjual tidak mampu mengimbagi pembeli

yang berasal dari luar kota dan bahasa yang digunakan pembeli pun

menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta sehingga penjual tidak

mampu mengimbangi kode yang digunakan pembeli.

e. Penjual dan Pembeli Menggunakan Bahasa Indonesia Dialek Jakarta

Proses penggunaan bahasa Indonesia dialek Jakarta pada penjual

dan pembeli terjadi akibat kedua peserta komunikan tersebut menguasai

logat dan dialek Jakarta dan walaupun berbeda latar belakang sosial dan

budaya. Hal tampak pada proses interaksi jual beli berikut ini.

57

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan: Pembelian daging kambing

Penjual : “Mas kambing mas?”Pembeli : “Oh iya mau lihat-lihat dulu”Penjual : “Silahkan pak”Pembeli : “Yang ini berapa pak?”Penjual : “Yang itu mahal mas itu kan kambing PE,

harganya beda dengan kambing yang lainitu tanduknya panjang, bulunya bagus lagi”

Pembeli : “Berapa mas?”Penjual : “Dua mas?”Pembeli : “Dua … kurangi ya?”Penjual : “Boleh, minta berapa ?”Pembeli : “lima belas ya”Penjual : “Belum sampe kalau segitu” dah sembilan

belas ya?”Pembeli : “Ya, gimana ya…dah delapan belas aja

gimana ?”Penjual : “Ya udah lah silahkan”

Pada peristiwa tutur tersbeut, penjual mengguakan bahasa Indonesia

dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia itu disebabkan karena pembeli

mengimbagi pembeli yang setatus sosialnya lebih tinggi dibandingkan

penual dan bahasa yang di gunakan penjual menggunakan bahasa Indonesi

sehingga pembeli mengimbangi kode yang digunakan penjual yang dilihat

dari latar belakanya penjual berasal dari Jakarta.

58

f. Penjual Dominan Menggunakan Bahasa Makassar dan PembeliDominan Menggunakan Bahasa Indonesia

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan:

Penjual : Ibu, juku beru, juku beruPembeli : Lihat duluPenjual : Iye, cini-cinikirong nampa riballiPembeli : Ikan maironya berapa yang satu tempat iniPenjual : Ehhh, lammoroji njo, sappulo sabbujiPembeli : lima belas dua tempat yaPenjual : Ki allemi

Penjual menggunakan bahasa Makassar dan pembeli menggunakan

Indonesia. Hal itu dikarenakan oleh latar belakangnya yang berbeda. Penjual

berbahasa Makassar, sedangkan pembeli latar belakangya berbahasa

Indonesia. Akan tetapi, walupun keduanya menggunakan dialek masing-

masing, komunikasi tetap berjalan karena kebanyakan masyarakat di Gowa

merupakan masyarakat multibahasa walupun tidak bisa mengungkapkan

dialek bahasa Makassar, tetapi mereka mengetahui maksud yang dituturkan

oleh lawan tutur.

g. Penjual Menggunakan Bahasa Makassar Alih Bahasa Indonesia danPembeli Dominan Menggunakan Bahasa Indonesia

Penggunaan bahasa Makassar Alih bahasa Indonesia bagi penjual

dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia adalah suatu proses

59

interaksi antara penjual dan pembeli yang salah satu di antaranya (pembeli)

tidak menguasai bahasa penjual, yakni bahasa Makassar.

Peristiwa Tutur: Penujalan Ikan

Penjual : Ibu, juku-juku, lammoro kibalukangPembeli 1 : Oh iya pak, ini yang kakap minta berapa?Penjual : Oh itu, itu dua belas saja satu ekor buPembeli 2 : Bisa kurang ya, saya juga ambilPenjual : Ya, bisa ibu nawar berapa?, ambil berapa

ekor?Pembeli 1 : Dua puluh ribu dua ekor nah, tapi kasih

yang besar itu!Pembeli 2 : Iya, bisa itu nahPenjual : Iya sinimi

Pada konteks komunikasi tersebut, penjual menggunakan mengunakan

bahasa Makassar dan pembeli 1 dan 2 menggunakan bahasa Indonesia.

Pejual pada awalnya mengunakan bahasa Makassar dan beralih ke bahasa

Indonesia yang disebabkan untuk mengimbangi pembeli 1 dan 2 yang

menggunakan bahasa Indonesia. Di sini penjual sebagai orang yang

menguasai lebih dari 1 bahasa (multi bahasa) karena penjual dilihat dari letak

geografisnya yang berada di daerah Bugis Makassar sehingga dia

menguasai lebih dari dua bahasa. Pembeli 1 menggunakan bahasa

Indonesia karaena latar belakangnya berasal dari masarakat kalangan atas

yang kemungkinan bahasa Indonesia adalah bahasa pertama sehingga

dalam berkomunikasi pun menggunakan bahasa Indonesia.

Pada peristiwa tutur tersebut, penjual mengalami perubahan bahasa

(alih kode) dari bahasa Makassar berubah ke bahasa Indonesia dan

60

peralihan bahasa itu disebabkan oleh tujuan tutur, yakni melancarkan proses

komunikasi jual beli.

h. Penjual Menggunakan Bahasa Makassar Alih Bahasa Bugis danPembeli Menggunakan Bahasa Bugis

Penggunaan bahasa Makassar Alih bahasa Indonesia bagi penjual

dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia adalah suatu proses

interaksi antara penjual dan pembeli yang salah satu di antaranya (pembeli)

tidak menguasai bahasa penjual, yakni bahasa Makassar.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan kain/sarung

Penjual : Antamaki bu!Pembeli : Engka, sarung sutrataq?Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru,Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua

puluh lima ribu.Pembeli : Masoli laddePenjual : Tawarini gare, siaga elota?Pembeli : Siratuna, meloqki?Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki

limabe las ribu.Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.

Pada konteks komunikasi tersebut, penjual menggunakan mengunakan

bahasa Makassar dan pembeli 1 menggunakan bahasa Bugis. Penjual pada

awalnya mengunakan bahasa Makassar dan beralih ke bahasa Bugis yang

61

disebabkan untuk mengimbangi pembeli yang menggunakan bahasa Bugis.

Di sini penjual sebagai orang yang menguasai lebih dari 1 bahasa (multi

bahasa) karena penjual dilihat dari letak geografisnya yang berada di daerah

Bugis Makassar sehingga dia menguasai lebih dari dua bahasa. Pembeli

menggunakan bahasa Bugis karaena latar belakangnya berasal dari

masarakat kalangan Bugis yang kemungkinan bahasa Bugis adalah bahasa

pertama sehingga dalam berkomunikasi pun menggunakan bahasa

Indonesia. Selain itu, pembeli yang kurang mahir berbahasa Makassar

sehingga tetap bertahan dan memicu penjual untuk menggunakan bahasa

Bugis.

Pada peristiwa tutur tersebut, penjual menggunakan bahasa Makassar

alih bahasa Bugis, pembeli menggunakan bahasa Bugis. Penjual

menggunakan bahasa Makassar alih bahasa Bugis itu dikarenakan faktor

latra belakang yang berbeda, penjual latar belakangnya berbahasa Makassar

sedangkan pembeli latar belakangnya berbahasa Bugis. Di sini penjual

mengalami perubahan dialek dari bahasa Bugis ke bahasa Makassar itu

dikarenakan penjual ingin mengimbamgi dialek yang digunakan pembeli

agar komunkasi berjala dengan lancar.

62

i. Penjual dan Pembeli Menggunakan Bahasa Campur Kode BahasaMakassar atau Bahasa Bugis dan Bahasa Indonesia

Campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling

memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain secara

konsisten dan apabila dalam satu tuturan terjadi pencampuran atau

kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda dalam satu klausa yang sama.

Apabila dalam suatu tuturan terjadi pencampuran atau kombinasi antara

variasi-variasi yang berbeda dalam suatu klausa yang sama, maka peristiwa

itu disebut campur kode.

Peristiwa campur kode lazim terjadi di dalam masyarakat yang

dwibahasa ataupun yang multibahasa. Keduanya memiliki persamaan yang

besar sehingga seringkali susah dibedakan. Persamaaanya ialah

digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua variasi dari sebuah bahasa

dalam satu masyarakat tutur, rasional, alih gaya atau alih register

berhadapan dengan lawan tutur.

Peristiwa campur kode bahasa Makassar dan Bahasa Indonesia

dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa

tampak berikut ini.

Peristiwa Tutur:

Topik pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)

63

Penjual : Seribu,Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)Pembeli : Segar ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan ulat.

(segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali dimakanulat?)

Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus limapuluh satu ikat)

Pembeli : Enam saja.Penjual : Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat medalnya)

Konteks tuturan tersebut menggambarkan wujud campur kode antara

bahasa Indonesia dan bahasa daerah Bugis. Campur kode tampak pada

penjual yang menggunakan dua bahasa secara silih berganti, yaitu pertama-

tama menggunakan bahasa Indonesia, lalu menggunakan bahasa Bugis, dan

kembali menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tampak pada salah satu

tuturan penjual ”Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.

Peristiwa campur kode yang dilakukan oleh penjual dipengaruhi oleh

kebiasaan, latar belakang budaya yang menguasai bahasa Bugis, serta

pembeli yang merupakan langganan dan diketahui penutur bahasa Bugis.

Situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli seperti tampak pada data

tersebut merupakan suatu peristiwa yang fenomenal yang sering terjadi di

pasar Sungguminasa. Sebab, warga yang ada dan sering berbelanja adalah

warga yang berasal dari banyak budaya, termasuk Bugis dan Makassar.

64

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan : Tawar-menawar

Pembeli I : Boleh dicoba dulu? (Sambil mengambil buahlangsat).

penjual : Dua ribu sekilo.Pembeli : Seqre sitanggah nah? (Satu setengah nah)Penjual : Ibu mau juga? Tena antu nakacci (ketika melihat

calon pembeli yang lain) Ibu mau juga? Tidakkecut itu.

Pembeli II : Ya, satu kilo mo nah?Penjual : Coba makiq roloq, Bu (Silahkan dicoba dulu).Penjual I : Satu setengah nah?Penjual : Tenamo katte nakurang. (Sudah tidak kurang)

Berdasarkan konteks tuturan tersebut tampak peristiwa campur kode

oleh penjual dalam merespons pembeli. Campur kode yang dilakukan

sebagai bentuk variasi dan situasi kebahasaan dalam interaksi jual belai

adalah campu kode bahasa Makassar dan bahasa Indonesia. Campur kode

tampak pada penjual yang menggunakan dua bahasa secara silih berganti,

yaitu pertama-tama menggunakan bahasa Indonesia, lalu menggunakan

bahasa Makassar, dan kembali menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini

tampak pada salah satu tuturan penjual ” Ibu mau juga? Tena antu nakacci

(ketika melihat calon pembeli yang lain) Ibu mau juga? Tidak kecut itu.

Peristiwa campur kode yang dilakukan oleh penjual dipengaruhi oleh

kebiasaan, latar belakang budaya yang menguasai bahasa Makassar, serta

pembeli yang merupakan langganan dan diketahui penutur bahasa

Makassar. Situasi kebahasaan dalam interaksi jual beli seperti tampak pada

data tersebut merupakan suatu peristiwa yang fenomenal yang sering terjadi

65

di pasar Sungguminasa. Sebab, warga yang ada dan sering berbelanja

adalah warga yang berasal dari banyak budaya, termasuk suku Makassar.

2. Pola Interaksi

Pola tuturan yang dimaksud adalah suatu model, situasi (konteks), sifat,

dan tujuan komunikasi seperti sifat organisasi, tujuan interaksi, sifat

hubungan, dan harga. Pola tuturan yang digunakan dalam interaksi jual beli

di pasar Sungguminasa tampak pada uraian berikut ini.

a. Tujuan Transaksi

Tujuan transaksi yang dimaksud tidak terlepas pada transaksi ekonomi

semata tetapi bersifat goal orientid dan juga untuk mengembangkan

interpersonal. Dalam interaksi jual beli di pasar Sungguminasa, selain

bertujuan untuk menjual barang dan memperoleh keuntungan bagi penjual

dan bagi pembeli agar dapat memininimalkan nilai harga suatu barang. Juga

interaksi tersebut untuk mengembangkan hubungan interpersonal di antara

penjual dan pembeli seperti pada tuturan berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan kain

Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaqPembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini)Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga

simetereq?Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ?Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.

66

Penjual : Dua puluh lima ribu.Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-

nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempohargana. (memanggil pembeli yang lain)

Pembeli : Kurang sedikit, Puang.Penjual : Alani.

Tuturan di atas yang bertujuan untuk mengembangkan relasi yang

bersifat sosial serta komunikasinya lebih intim dan akrab. Dengan demikian,

ciri-ciri ragam bahasa dalam komunikasi jual beli di Pasar Sungguminasa,

Kabupaten Gowa, dilihat dari pola interaksi penjual dan pembeli, selain pada

tuturan transaksi ekonomi semata juga untuk mengembangkan hubungan

interpersonal dalam arti untuk mengembangkan relasi bersifat sosial dengan

cara menunjukan keakraban pembeli. Ketika datang pembeli, baik yang

belum dikenal atau sudah dikenal oleh penjual, biasanya penjual berusaha

menjalin dan memelihara hubungan sosial dengan memperlihatkan perasaan

bersahabat, solidaritas sosial, sopan santun dengan harapan bahwa suatu

saat akan kembali lagi untuk membeli barang di tempat tersebut karena telah

terjalin hubungan yang baik.

Kesantunan penjual terhadap pembeli sesuai dengan data interaksi

tersebut tampak pada penggunaan sapaan puang sebagai bentuk ungkapan

penghargaan kepada masyarakat yang memiliki strata sosial yang tinggi.

Walaupun penjual belum mengetahui persis status sosial pembeli, akan

tetapi penjual berusaha untuk meninggikan dan mengangkat stata sosial

pembeli agar merasa dihargai, dihormati yang akan berimbas pada

67

kenyamanan pembeli. Pada akhirnya, tujuan penjual tercapai dengan

kesenangan pembeli membeli barang dagangannya.

Adapun tujuan interaksi berikutnya adalah sifat keakraban yang terus

diupayakan dan dipertahankan oleh penjual. Hal ini tampak pada sapaan

penjual terhadap pembeli melalui tuturan “Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat

aja, nggak nengok-nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello

masempo hargana. (memanggil pembeli yang lain)”. Ungkapan tersebut

merupakan bentuk sapaan penjual kepada pembeli yang merupakan

langganan. Akan tetapi, pada saat itu sang langganan (pembeli) tidak

singgah di tempat penjual sehingga penjual menyapa dengan nada santai

dan akrab.

b. Hubungan Penjual dengan Pembeli Bersifat Personal

Hubungan penjual dan pembeli bersifat personal, artinya penjual dan

pembeli sudah saling mengenal, memahami, dan mengetahui latar belakang

sosial sehingga menggunakan bahasa yang akrab dengan model

percampuran bahasa Makassar, bahasa Bugis, dan bahasa Indonesia. Hal ini

dapat dicermati dalam tuturan berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan:

Penjual : Mau belanja Cewek! Murah-murah, model baru dan enakdi pakai. Eloki, kudung, celana kain, baju panjang? Ada disini.

Pembeli 1 : Eloqka kudung, bunga-bunga.

68

Penjual : Oh itu? ada ini banyak bunganya, dan murahPembeli I : Berapa murahnya?Penjual : Sappulo sabbu. Cariki di tempat lain deqgaga Cewek.Pembeli II : Tujuh ribu saja nah?Penjual : Hargana mi katte, tapi saya kurangi delapan ribumi.Pembeli I : Bungkuskanka yang ini! mauka juga yang itu baju

panjangna.Penjual : Itu tuju puluh lima ribu,Pembeli I : Enam puluh saja nah? saya ambil dua pasang.Penjual : Enam puluh tujuh saja, ambil harga tengahnya di, supaya

samaki untung. Idiq eloq warna aga? banyak ji variasina.Penjual : Tabe kiperiksa baranna, cocokni warnanya, ukurannya,

periksa baek-baeki, makasih banyak ya bu.

Pada tuturan di atas penjual dan pembeli bertujuan untuk memelihara

hubungan sosial antarpenjual dan pembeli. Dengan demikian, ciri-ciri ragam

bahasa dalam komunikasi jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa

dilihat dari pola interaksi antara penjual dan pembeli memelihara hubungan

sosial yang bersifat positif yang mengarah ke suatu kerjasama yang

bertujuan melakukan pendekatan-pendekatan seperti menawarkan jenis

barang, memberi kebebasan untuk memilih barang, menanyakan barang

yang mau dibelinya sudah mencakup atau belum.

c. Tawar Menawar

Tawar menawar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam

transaksi penjual dan pembeli. Faktor tawar-menawar membentuk pola

ragam bahasa dalam interaksi jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten

Gowa. Perhatikan data berikut ini!

69

Peristiwa Tutur:

Topik pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)Penjual : Seribu,Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)Pembeli : Segar ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan ulat.

(segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali dimakanulat?)

Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus limapuluh satu ikat)

Pembeli : Enam saja.Penjual : Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat medalnya)

Ragam bahasa berupa campur kode bahasa Makassar atau bahasa

Bugis dan bahasa Indonesia sesuai dengan data tersebut terjadi dalam

proses tawar menawar. Tawar menawar harga barang terjadi setelah pembeli

memilih dan menentukan barang yang hendak dibelinya. Karena harga yang

ditawarkan penjual dianggap terlalu mahal seperti pada peristiwa tutur.

Dengan demikian, ciri-ciri ragam bahasa dalam komunikasi jual beli antara

penjual dan pembeli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa dilihat dari

pola interaksi penjual dan pembeli adalah tawar menawar harga barang

setelah pembeli menentukan barang yang hendak dibelinya. Terjadi tawar

menawar karena penjual menginginkan dagangannya terjual dengan harga

tinggi, sedangkan pembeli menghendaki membeli barang dengan harga

murah.

70

d. Penjual di dalam Interaksinya Mengembangkan Persuasi Verbal

Bentuk persuasi verbal dalam tawar menawar dalam interaksi jual beli

di Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa yang dikembangkan oleh penjual,

seperti terdapat dalam peristiwa tutur berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjual ikan

Penjual : Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.(…baru datang)

Pembeli : Berapa ini, Daeng (sambil menunjuk kumpulanikan bolu)

Penjual : Limassabbu na tiga ekor, Karaeng. (limaribu….)

Pembeli I : Empat ribumo na tiga nah? (Empat ribu saja, tigaekor nah?)

Penjual : Tanre antu nissawala, Bu. (tidak dapat untung, Bu)Pembeli II : Appaq assitanggahmo na tallu (empat setengah

saja, tiga)Penjual : Ki allemi, eh kita juga ambil makiq sama ini Ibu.

(silahkan dimbil ......)Pembeli : Anjomo deh, ka tenamo naganna doeqka. (itu

saja, sudah tidak cukup uang)Penjual : Punna eroqkiq teamakiq jukuq bolu, ini saja yang

kecil, Bu. (kalau mau, tidak usah ikanbandeng............)

Pembeli : Patoa-toinna anne, nitawari jukuq na nasareangkijukuq maraengaiignga. (kurang ajarnya ini,ditawari ikannya diberikan yang lain )

Penjual : Tena ni patoa-toi anjo, Bu, ditunjukkanki yangcocok na doeqtaq (tidak kurang ajar itu, Buuangnya)

Pembeli : Tena lalo nalabbusuq jukuqnu, Daeng. (mudahhantidak habis ikanmu)

Penjual : Jangankiq marah, Bu. (ketika pembeli itu sudahjauh)

71

Berdasarkan konteks tuturan tersebut, tampak dominasi penggunaan

bahasa Makassar dalam interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa,

Kabupaten Gowa. Penjulan dan pembeli rata-rata menggunakan bahasa

Makassar. Sesuai dengan data tersebut, bahasa Makassar dijadikan sebagai

sarana komunikasi bagi penjual dan pembeli dalam menjalankan aktivitas

juali belinya.

Peristiwa tutur di atas memiliki arti yaitu bertujuan untuk

mempertahankan harga barang dan agar pembeli terpengaruh untuk

membeli barang yang ditawarkan. Dengan demikian, ciri-ciri ragam bahasa

dalam komunikasi jual beli di pasar Sungguminasa, dengan pola interaksi

penjual dan pembeli adalah penjual mengembangkan persuasi verbal yang

bertujuan untuk mempertahankan harga barang dengan cara menonjolkan

kuwalitas barang dan untuk mempengaruhi pembeli supaya mau membeli

barang yang ditawarkan dengan cara membujuk.

Wujud persuasi penjual dengan ragam bahasa Indonesia dan

Makassar tampak pada tuturan “Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.

(…baru datang)”. Ada dua ragam bahasa yang digunakan oleh penjual untuk

memengaruhi pembeli, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Makassar. Pada

awalnya, penjual menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, kurang

berhasil maka beralih ke bahasa Makassar dengan penanda persuasi berru

battu karaeng. Tujuannya adalah lebih dekat dan santai dengan pembeli.

Melalui gaya dan variasi bahasa Makassar berru battu dan karaeng

72

menyimpang banyak harapan, yakni pembeli senantiasa membeli barang

yang ditawarkan oleh penjual.

e. Pembeli dalam interaksi mengembangkan Persuasi verbal

Bentuk persuasi verbal yang dikembangkan oleh pihak pembeli

bertujuan untuk menurunkan harga barang yang dijual oleh penjual. Konteks

tuturan seperti terdapat dalam peristiwa tutur berikut ini.

Peristiwa Tutur:

Topik Pembicaraan: Pembelian barang campuran

Pembeli : Berapa sabunta satu bungkusPenjual : Dua ribu asokanya, lamoroji.Pembeli : Tidak kurangmi itu?Penjual : Kalau banyak taambil, kukurangiji. (... .Saya berikan

murah)Pembeli : Maukaq ambil enam bungkus. Mau jakiq?Penjual : Mau banyaki?Pembeli : Tidak, untuk persiapan satu bulanPenjual : Eeh, begini kurangmo dua ribu rupiah.Pembeli : Bungkuskan makaq nah?Penjual : Ada kantong plastiktaq?Pembeli : Tidak ada kasi maka, satu kantongta.Penjual : Tiga ratus ini, Bu, tarik saja.

Data tersebut menunjukkan ragam bahasa dalam komunikasi jual beli

di Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa. Berdasarkan pola interaksi

penjual dan pembeli adalah pembeli mengembangkan bentuk persuasi verbal

yang bertujuan untuk menurunkan harga barang dengan cara menonjolkan

dan memaparkan frekuensi belanjaan. Pembeli berupaya mengembangkan

persuasi verbal melalui bentuk tuturan “Maukaq ambil enam bungkus”.

Persuasi verbal ini muncul ketika pembeli telah menawar barang yang

73

dimaksud. Akan tetapi, penjual kurang merespon dan menerima penawaran

pembeli. Penolakan penjual ditampik oleh pembeli dengan mengungkapkan

bahwa akan membeli banyak. Persuasi ini berhasil memengaruhi penjual,

sehingga interaksi jual beli dengan prinsip tawar menawar berhasil dilakukan.

Wujud persuasi verbal pembeli tampak pula pada konteks tuturan

berikut ini.

Peristiwa Tutur:

Topik pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)Penjual : Seribu,Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)Pembeli : Segar ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan ulat.

(segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali dimakanulat?)

Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus limapuluh satu ikat)

Pembeli : Enam saja.Penjual : Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat medalnya)

Bentuk persuasi verbal tampak pada tuturan “Maukaq ambil banyak”.

Hal ini dipicu oleh ketidainginan penjual menjual barangnya dengan harga

seribu seperti yang ditawarkan oleh pembeli. Akan tetapi, dengan penyataan

pembeli yang ingin membeli secara partai atau banyak, maka penjual pun

menjual barangnya dengan partai. Peristiwa ini merupakan ragam bahasa

dalam komunikasi jual beli di Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa.

74

Berdasarkan pola interaksi penjual dan pembeli adalah pembeli

mengembangkan bentuk persuasi verbal yang bertujuan untuk menurunkan

harga barang dengan cara menonjolkan dan memaparkan frekuensi

belanjaan. Pembeli berupaya mengembangkan persuasi verbal melalui

bentuk tuturan “Maukaq ambil enam bungkus”. Persuasi verbal ini muncul

ketika pembeli telah menawar barang yang dimaksud. Akan tetapi, penjual

kurang merespon dan menerima penawaran pembeli. Penolakan penjual

ditampik oleh pembeli dengan mengungkapkan bahwa akan membeli

banyak. Persuasi ini berhasil memengaruhi penjual, sehingga interaksi jual

beli dengan prinsip tawar menawar berhasil dilakukan.

3. Tingkat Tutur yang Digunakan Para Penjual dan Pembeli di Pasar

Sungguminasa, Kabupaten Gowa

a. Tuturan Tingkat Tinggi

Tingkat tutur ini memiliki rasa yang tidak berjarak antara penutur dan

mitra tutur. Hubungan antara keduanya tidak dibatasi oleh rasa segan.

Bentuk ini sering muncul antara percakapan teman sejawat, tidak

memperhatikan kedudukan dan usia. Ragam bahasa dalam interaksi jual beli

di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa yang merupakan tuturan tingkat

tinggi tampak pada data berikut ini.

75

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan kain

Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaqPembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini)Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga

simetereq?Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ?Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.Penjual : Dua puluh lima ribu.Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-

nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempohargana. (memanggil pembeli yang lain)

Pembeli : Kurang sedikit, Puang.Penjual : Alani.

Konteks tuturan tersebut menggambarkan tuturan tingkat tinggi bagi

penjual terutama pada tuturan “Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak

nengok-nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello masempo hargana.

(memanggil pembeli yang lain)”. Hal ini dinyatakan dengan model tuturan

penjual terhadap pembeli. Penjual tampak mengenal dan bersahabat dengan

pembeli sehingga bertutur dan menyapa pembeli dengan nada santai,

bersahabat, tidak segan. Pembeli saat itu adalah langganan sehingga

tampak tidak ada jarak strata antara penjual dan pembeli. Fenomena tingkat

tuturan ini tidak mengutamakan kesantunan berbahasa.

Cermati pula data berikut ini yang menggambarkan tuturan tingkat

tinggi.

76

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan : Membeli barang sembako

Pembeli : Ada beras InsyinyurtaqPenjual : Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa

tidak pesan memangki kemarin na lewatji di sini kuliat,kalau mau ki ini mo saja, bagusji juga, eh saya di rumahmakan beras kepalaji, anak-anak pada suka.

Pembeli : Kalau minyak goreng bimolitaq ada?Penjual : Ada Bu, maukiq yang berapa kilo?Pembeli : Yang dua kilo, tapi bukan yang pakai botol nah, yang

kuambil dulu pake botol jeleki kemasannya?Penjual : Adaji.Pembeli : Bungkuskanka juga piksin Siangan kecap ABCtaq.Penjual : yang berapayya Bu?Pembeli : Yang biasayyaji, piksin yang kecil-kecil, ABC botol.Penjual : Anne Bu barangtaq. (Ini Bu, barangnya)Pembeli : Berapa semua? Pakaikan kantong besar!Penjual : Tidak ada kantongnya Bu? Langngalle ki kantong?Pembeli : Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua

barang belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba dilihatmau semua jatuh barang belanjaanku)

Penjual : Yang kecil atau besar?

Data tersebut menggambarkan tuturan tingkat tinggi bagi penjual dan

pembeli. Tuturan penjual yang menggambarkan tuturan tingkat tinggi tampak

pada “Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa tidak pesan

memangki kemarin na lewatji di sini kuliat, kalau mau ki ini mo saja, bagusji

juga, eh saya di rumah makan beras kepalaji, anak-anak pada suka”.

Mencermati tuturan ini, penjual tampak santai berbicara kepada pembelinya

yang merupakan langganan, sudah dikenal sehingga tidak ada jarak strata

yang tampak dalam berkomunikasi. Demikian halnya dengan kesantunan

yang kurang diutamakan dalam berinteraksi jual beli.

77

Adapun tuturan pembeli yang merupakan tuturan dengan tingkat tinggi

yakni “Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua barang

belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba dilihat mau semua jatuh barang

belanjaanku)”. Konteks ini merupakan tuturan santai, bercanda, dan tanpa

memperhatikan status keduanya, karena memang penjual dan pembeli

sudah terbiasa bercanda dan sudah akrab. Tuturan ini merupakan tuturan

yang sering diucapkan oleh pembeli kepada penjual yang merupakan

langganan tempat belanjanya.

b. Tingkat Tutur Madya

Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah yang berada di

antara tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kadar kesopanan tigkat tutur madya

tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah atau sedang-sedang saja. Dengan

kata lain, tingkat tutur madya memiliki ciri-ciri setengah sopan dan setengah

tidak sopan. Hal tersebut tampak pada data interaksi jual beli yang terjadi di

pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa seperti berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan : Penjualan Pakaian

Pembeli : Berapa, Bu dasternya ?Penjual : Lima puluh setengahPembeli : Tena naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang)Penjual : Kulleji kurang siqdi. (Bisa kurang sedikit)Pembeli : Kurang siqdi berapa ? (. .sedikit...)Penjual : Kurang lima ribuji. (Ya kurang lima ribu untuk saudara)Penjual : Singgah, Bu! Kain aga disappaq (Singgah dulu, Bu! Kain

apa dicari)

78

Pembeli : Kain beludru, motif bunga-bunga.Penjual : Pilihmi warnana! Meaga ladde motifna. (Silakan dipilih

warnanya! Banyak sekali motif'nya)Pembeli : Siaga allinna. (Berapa harganya)Penjual : Mau berapa meter?Pembeli : Maaf Bu, tidak jadi.

Situasi pembicaraan antara penjual dan pembeli seperti tampak pada

data tersebut menggambarkan tingkat tutur madya atau sedang. Hal ini

dinyatakan sebab, penjual dan pembeli kurang memperhatikan tataran nilai

kesopansantunan. Konten tuturan penjual dan pembeli merupakan tuturan

yang wajar diungkapkan, tidak mengurangi nilai rasa dan tidak menambah

nilai rasa bagi peserta komunikan.

Peluang terjadinya situasi tutur yang santun pada data tersebut

sebenarnya sangat terbuka lebar. Penjual dan pembeli memungkinkan

bertutur dengan tingkat santun yang rendah dari model tuturan madya “Tena

naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang) menjadi tuturan tingkat rendah “tabe,

tena naqkulle kurang? (Maaf, tidak bisa kurang). Melalui kata tabe akan

menambah nilai kesantunan.

c. Tingkat Tutur Rendah

Tingkat tutur rendah adalah tingkat yang memancarkan arti penuh

sopan santun antara sang penutur dengan mitra tutur. Penggunaan tingkat

tutur ini menandakan adanya perasaan segan di antara penutur. Sebagai

rasa hormat atau kedua penutur saling menghormati kemungkinan

79

disebabkan karena relasi antara penutur dan mitra tutur belum terjalin baik

(akrab). Hal tersebut tampak pada data berikut ini.

Peristiwa tutur:

Topik Pembicaraan: Penjualan kain/sarung

Penjual : Antamaki bu!Pembeli : Engka, sarung sutrataq?Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru,Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua

puluh lima ribu.Pembeli : Masoli laddePenjual : Tawarini gare, siaga elota?Pembeli : Siratuna, meloqki?Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki

limabe las ribu.Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.

Konteks tuturan tersebut menggambarkan tingkat tutur rendah sebab

tuturan tersebut rata-rata memancarkan penuh sopan santun antara penjual

dan pembeli. Penggunaan tingkat tutur rendah tersebut menandakan adanya

perasaan segan, terutama penjual yang juga memiliki tujuan persuasif

kepada pembeli. Penanda tuturan rendah dengan konten kesantunan

tampak pada kata antamaki, sarung sutrata, iye, elota, meloki. Kata-kata

yang dungkapkan oleh penjual dan pembeli memiliki kadar kesantunan yang

tinggi dengan tuturan rendah. Kata antamaki ‘kita masuk” dan meloki “kita

mau” memiliki partikel –ki (partikel bahasa Bugis Makassar) merupakan

pengganti partikel ko yang memiliki kesantunan yang kurang. Adapun partikel

80

–ta pada kata sutrata dan elota juga memiliki kesantunan yang tinggi.

Terakhir adalah ungkapan penerimaan iye “iya” merupakan tuturan santun

yang digantikan oleh penerimaan iyo “iya”.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan penyajian data ditemukan ragam bahasa dalam interaksi

jual beli di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa. Dalam peristiwa tutur

penjual dan pembeli dalam berinteraksi di pasar Sungguminasa

menggunakan bahasa Indonesia, Makassar, dan Bugis karena penutur rata-

rata berasal dari latar belakang yang sama sehingga dalam berinteraksi

menggunakaan bahasa bahasa Indonesia, Makassar, dan Bugis secara

bergantian.

Fenomena tersebut merupakan bentuk variasi bahasa dalam wujud alih

kode dengan berbagai situasi kebahasaan oleh penjual dan pembeli. Menurut

Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 106) alih kode adalah gejala

peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi yang disebabkan

oleh datangnya orang ketiga dan dilakukan dengan sadar dan sengaja

dengan sebab tertentu.

Mengacu pada uraian tersebut, maka ragam bahasa yang tampak

adalah penjual dan pembeli dominan menggunakan bahasa Indonesia.

Dalam periistiwa tutur atara penjual dan pembeli menggunakaan bahasa

Indonesia itu dikarenakan latar belakang yang sama dan letak geografis yang

81

sama yaitu berasal dari daerah Gowa yang keduanya menguasai bahasa

Makassar. Ada juga pembeli yang mengunakan bahasa Indonesia itu

dikarenakan latar belakangnya yang berbeda yaitu berasal dari Kota

Makassar sehingga menggunakaan bahasa Indonesia. Situasi ini diimbangi

oleh penjual yang juga berusaha menggunakan bahasa Indonesia.

Tampak pula bahwa penjual menggunakan bahasa Indonesia alih

bahasa Makassar. Pada peristiwa tutur tersebut menggunakaan bahasa

campuran kode, Indonesia dan Makassar yang disebabkan oleh latar

belakang penjual dan pembeli berbeda dan dialek yang digunakan pun

berbeda. Pada peristiwa tutur ini keduanya mengalami peralihan dialek itu

dikarenakaan bahasa yang digunakaan berbeda. Tetapi komunikasinya tetap

berjalan karena masarakat menguasai dialek lebih dari dua (multylingul).

Dalam interaksi jual beli, tampak pula penjual dan pembeli dominan

menggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar dan bahasa Bugis.

Pada peristiwa tutur ini, keduanya mengalami peralihan dan mencampurkan

bahasa dalam komunikasi. Hal tersebut disebabkan oleh bahasa yang

digunakaan berbeda dan latar belakang si penutur berbeda sehingga dalam

berkomunikasi menggunakan bahasa campuran. Tetapi komunikasinya tetap

berjalan karena masarakat yang berbelanja di pasar Sungguminasa

menguasai dialek lebih dari dua multylingul yakni Makassar dan Bugis.

Ragam bahasa yang ditemukan pula adalah penjual dan pembeli

menggunakan bahasa campur kode bahasa Makassar dan bahasa

82

Indonesia. Dengan demikian, wujud tingkat tutur penjual dan pembeli di

Pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa memiliki tuturan yang beragam,

disesuikan dengan lawan tutur (mitra tutur).

Pola terjadinya ragam bahasa yang di pasar Sungguminasa

Kabupaten Gowa memiliki beberapa proses. Dalam hal ini, setiap tuturan

penjual dan pembeli sebagai wujud variasi bahasa memiliki proses dan

alasan terjadinya variasi bahasa itu. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar

belakang penjual dan pembeli, tujuan interaksi. Hal ini sejalan dengan teori

yang dinyatakan oleh Suharsono (2003: 5-7) bahwa pola interaksi jual beli di

pasar dapat bersifat sosial, misalnya yang berhubungan dengan diferensiasi

kerja, tujuan interaksi, dan hubungan peranan di antara penjual dan pembeli,

mempengaruhi pola interaksi jual beli, yang pada akhirnya mempengaruhi

pula wujud dan bentuk tuturan. Demikian halnya mengenai model interaksi

antara penjual dan pembeli dapat diihat dari lima segi, yaitu: (a) sifat

organisasi, (b) tujuan interaksi, (c) sifat hubungan, (d) harga.

Pola ragam bahasa terjadi karena penjual dan pembeli memiliki tujuan

transaksi ekonom berupa goal orientid dengan tujuan mengembangkan

interpersonal. Di sini dapat diartikan bahwa penjual dan pembeli melakukan

tawar menawar barang agar dapat meminimalkan barang yang di jual dan

barang yang di beli. Penjual ingin memperoleh keuntungan (laba) begitu pula

pembeli ingin memperoleh harga yang murah, dan juga dapat di artikan untuk

83

mengembangkan relasi bersifat sosial dengan cara menunjukan keakraban

pembeli.

Pola ragam bahasa penjual dan pembeli di pasar Sungguminasa

Kabupaten Gowa adalah adanya hubungan penjual dengan pembeli yang

bersifat personal. Di sini dapat di artikan bahwa interaksi antara penjual dan

pembeli memelihara hubungan sosial yang bersifat positif yang mengarah

kesuatu kerjasasama yang tujuanya melakukan pendekatan-pendekatan

seperti menawarkan jenis barang, memberi kebebasan untuk memilih

barang, menayakan barang yang mau dibelinya sudah mencakup atau

belum.

Pola tawar menawar merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan

dalam transaksi penjual dan pembeli. Di sini dapat diartikan bahwa terjadi

tawar menawar karena penjual menginginkan daganganya terjual dengan

harga tinggi, sedangkan pembeli menghendaki membeli barang dengan

harga murah.

Situasi kebahasaan di pasar Sungguminasa Kabupaten Gowa juga

dipengaruhi oleh penjual dalam interaksi mengembangkan persuasi verbal.

Hal ini dapat diartikan bahwa untuk mempertahankan harga barang dengan

cara menonjolkan kualitas barang dan untuk memengaruhi pembeli supaya

mau membeli barang yang ditawarkan dengan cara membujuk.

Pola ragam bahasa dengan pembeli dalam interaksi mengembangkan

persuasi verbal diartikan pula bahwa pembeli mengembangkan bentuk

84

persuasi verbal yang bertujuan untuk menurunkan harga barang dengan cara

menonjolkan kekurangan barang dan membandingkan harga barang di

tempat tersebut dengan di tempat lain.

Pada tingkat tutur penjual dan pembeli di pasar Sungguminasa

Kabupaten Gowa. Ragam bahasa yang terjadi di pasar Sungguminasa

Kabupaten Gowa memiliki tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini, setiap tuturan

penjual dan pembeli sebagai wujud variasi bahasa memiliki konten dan

muatan nilai kesantunan yang variatif. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar

belakang penjual dan pembeli serta hubungan di antara keduanya.Tingkat

tutur penjual dan pembeli diklasifikasikan sebagai berikut.

Penjual menggunakan tingkat tutur tinggi. Hal ini diartikan bahwa

penjual dalam berkomunikasi menggunakan tingkat tutur tinggi bertujuan

agar pembeli merasa dihormati sehingga mau membeli barang yang

ditawarkan atau menarik simpatik pembeli, sedangkan pembeli

menggunakaan tingkat tutur tinggi karena pembeli menghormati penjual yang

sudah bersikap sopan dalam melayani. Penjual dan pembeli pun

menggunakan tuturan tingkat tinggi karena faktor keakraban, mereka sudah

saling mengenal satu sama lain tidak hanya itu pembeli menggunakan

bahasa Bugis Makassar tinggi dikarenakan usia penjual setara dengan

pembeli dan dari faktor bahasa daerah yang digunakn sama itu juga bisa

mengakibatkan mereka akrab dan saling menghormati.

85

Penjual dan pembeli dominan menggunakaan bahasa tingkat madya.

Di sini dapat diartikan bahwa penjual dalam melayani pembeli menggunakan

tingkat tutur karena disebabkan ingin menunjukan kesopanan kepada

pembeli dan umur penjual lebih muda dari pada pembeli, pembeli

menggunakan tingkat tutur madya karena umur pembeli lebih tua dari

penjual.

Pada tingkat rendah, penjual dan pembeli mempunyai rasa segan

karena keduanya belum saling mengenal atau belum akrab sehingga

keduanya menggunakan bahasa Makassar halus dalam berinteraksi dan juga

disebabkan faktor umur yang masih sebaya.

86

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penyajian data dan pembahasan, dikemukakan simpulan

penelitian ini sebagai berikut:

1. Wujud ragam bahasa jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten

Gowa terdiri atas (a) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa

Makassar; (b) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia dialek

Makassar; (c) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa Bugis; (d)

Penjual menggunakan bahasa Indonesia dialek Makassar dan pembeli

menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta; (e) Penjual dan pembeli

menggunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta; (f) Penjual menggunakan

bahasa Makassar dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia; (g)

Penjual menggunakan bahasa makassar alih bahasa Indonesia dan

pembeli menggunakan bahasa Indonesia; (h) Penjual menggunakan

bahasa makassar alih bahasa Bugis dan pembeli menggunakan bahasa

Bugis; (i) Penjual dan pembeli menggunakan bahasa campur kode

bahasa Makassar atau bahasa Bugis dan bahasa Indonesia. Dari semua

ragam bahasa yang digunakan antara penjual dan pembeli, terdapat

penggunaan bahasa yang umum digunakan oleh penjual, yaitu penjual

86

87

mempromosikan barang dengan menggunakan kata lammoroji ‘sangat

murah’, menggunakan kata sambalu ‘langganan’, serta penjual

mempertahankan penggunaan klitik –ki kepada pembeli dengan tujuan

menarik minat dan menghargai pembeli.

2. Pola interaksi pada interaksi jual beli di Pasar Sentral Sungguminasa

Kabupaten Gowa terdiri atas (a) tujuan transaksi; (b) hubungan penjual

dengan pembeli bersifat personal: (c) tawar-menawar; (d) penjual di

dalam interaksinya mengembangkan persuasi verbal; (e) pembeli dalam

interaksi mengembangkan persuasi verbal.

3. Tingkat tutur yang digunakan penjual dan pembeli pada interaksi jual beli

di Pasar Sentral Sungguminasa Kabupaten Gowa terdiri atas tingkat

tinggi, sedang, dan madya.

B. Saran

Sesuai dengan simpulan penelitian diajukan saran sebagai berikut:

1. Penggunaan ragam bahasa di pasar Sungguminasa hendaknya diteliti

pada tataran sosial yang memengaruhi ragam bahasadalam interaksi jual

beli.

2. Penjual hendaknya mempertahankan penggunaan tingkat tutur dalam

interaksi jual beli sebagai salah satu bentuk pemertahanan variasi bahasa

dan sekaligus upaya mengembangkan tingkat kesantunan berbahasa

dalam interaksi jual beli.

88

3. Untuk penelitian-penelitian selajutnya diharapkan mampu

mengembangkan lebih lengkap lagi tentang bentuk - bentuk kebahasaan,

tidak hanya ciri ragam bahasa, tetapi juga mampu mengembangkan

tentang kata, kalimat, frasa, dan klausa yang ditemukan dalam suatu

tuturan.

89

DAFTAR PUSTAKA

Aslinda dan Leni Safyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: RefikaAditama.

Bogdan, R.C. & S. Taylor. 1975. Introduction Qualitative Research Methods.New York: Jhon Wiley& Sons.

Biklen, S. K. and Bogdan, R. C. 1982. Qualitative Research for Education, anIntroduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Chaer, Abdul. 2003. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2004. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: BalaiPustaka.

Dittmar, N. 1976. Sosiolinguistics: A Critical Survey of Theory andApplication. London: Edward Arnold Ltd.

Fishman, J. A. 1972. The Sociology of Language. Rawly Massachusset:Newbury House Publisher.

Halliday dan Hasan Ruqoiya. 1994. Bahasa, Konteks, Teks, dan Aspek-aspek dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

Hasan, M. Z. 1990. Karakterisitk Penelitian Kualitatif: PengembanganPenelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang:Yayasan Asah Asih Asuh.

Hudson, R. A. 1987. Sociolinguistics. London: Cambridge University Press.

Hymes, Dell. 1972. “Model of Interaction of Language and Social Life” inGumpers and Hymes (Ed.). Directions in Sociolinguistics. New York:Holt, Rinhart and Winston, Inc.

89

90

Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan, danProblem. Surabaya: Usaha Nasional.

Keraf, Gorys. 1984. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 2007. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores:Nusa Indah.

Miles, M. B. & Huberman, A. M. 1992. Qualitative Data Analysis.Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi R, 1992. Jakarta: UniversitasIndonesia.

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RemajaRosdakarya.

Nababan, P.W. J. 1984. Peralihan Pola Perolehan dan Penggunaan BahasaIndonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Nuraeni. 2010. ”Alih Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa padaRanah Keagamaan (Analisis Pemakaian Bahasa Majelis Taklim) diKabupaten Gowa”. Tesis. Makassar: PPs UNM.

Pateda, Mansoer. 1987. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Pateda, Mansoer.1992. Sosiolinguistik. Bandung Angkasa.

Pomiati, Septiaji. 2001. “Ragam Bahasa Transaksi Jual Beli Daging Sapi diPasar Pagi Pemalang Kajian Sosiolinguistik“. Skripsi. Purwokerto:Universitas Muhamadiyah Purwokerto.

Purwadi, dkk. 2005. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial: Pandangan terhadap Bahasa.Surabaya: Pustaka Eureke dan JP Press.

Sidiq, Subhan. 2004. ”Alih Kode dan Campur Kode dalam Khotbah Jumat diKabupaten Selayar”. Skripsi. Makassar: FBS UNM.

91

Soeparno .2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:Duta Wacana University Press.

Suharsono. 2003. Register Tawar-menawar pada Warung Penjajah Buah-buahan Yogyakarta: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia(PIBSI) XXV.

Sumarsono dan Paini Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Suwito. 1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problem. Surakarta: UniversitasSebelas Maret.

Syamsuddin, A.R. dkk., 1997. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori danProblematika. Jakarta: Renary Offset.

Thaha, Zainuddin. 1985. ”Satu Wacana Dua Bahasa: Faktor-faktorSosiolinguistik Alih Kode Bahasa lndonesia.” Disertasi. UjungPandang: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Trudgill, Peter. 1987. Sociolinguistics: An Introduction to Language andSociety. New Zealand: Penguins Books.

Uchjana, Onong dan Effendi. 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Usman, H. dan P. S. Akbar. 2000. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: BumiAksara.

92

Lampiran Data

Percakapan 1

Lokasi/setting : Penjual sayur

Situasi : Santai (pasar)

Topik Pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Ini Bu, murahnya.

Pembeli : Banyak rusaknya ini.

Penjual : Biasaji anjo Bu, tenaja nanggapa, dipilih saja yang bagus.

Pembeli : Satu ikat berapa? (sambil mengakat kacang panjang)

Penjual : Seribu.

Pembeli : Kurang nah. Maukaq ambil banyak.

Penjual : lyeq niaq kantong taq? (ada kantongnya?)

Penjual : Ada ini. Maukiq juga? (Bertanya pada pembeli yang lain)

Pembeli : Segarji ini kacang taq? Kenapa banyak sekali namakan

ulat.

Penjual : Masih segarkatte, Bu?

Pembeli :Tujuh sitanggahmo nah sisikkoq?. (Tujuh setengah saja

satu ikat)

Penjual : Tena nagappai modalaqna. {tidak dapat modalnya)

93

Percakapan 2

Lokasi/setting : Penjual buah

Situasi :

Topik Pembicaraan : Tawar-menawar

Pembeli I : Boleh dicoba dulu? (Sambil mengambil buah langsat).

penjual : Dua ribu sekilo.

Pembeli : Seqre sitanggah nah? (Satu setengah nah)

Penjual : Ibu mau juga? Tena antu nakacci (ketika melihat calon

pembeli yang lain) Ibu mau juga? Tidak kecut itu.

Pembeli II : Ya, satu kilo mo nah?

Penjual : Coba makiq roloq, Bu (Silahkan dicoba dulu).

Penjual I : Satu setengah nah?

Penjual : Tenamo katte nakurang. (Sudah tidak kurang)

94

Percakapan 3

Lokasi/setting : Penjual Pakaian

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Penjual : Sepuluh ribu, sepuluh ribu ….(memperlihatkan pakaian

anak pada pembeli)

Pembeli 1 : Kajjjalaq kamma? Ktirang-kurangngi mi. (mahal sekali,

kurangi)

Penjual : Harga pas katte. –

Pembeli I : Lima nah?

Penjual : Ambil banyak, ada korting.

Pembeli III : Kenapa kaqjalaq sekali?(....mahal...)

Penjual : Halus anjo Bu. Kainnya tidak seperti yang lain Perk hati-

hati Bu, pilih kain karena banyak palsunya, anne

assisalai. (....itu Bu,.,.. ini berbeda)

Pembeli IV : Biasayya, duapuluh. (biasanya,......)

Penjual : Merek yang lain barangkali? teayi anne Bu. ada yang

lebih murah lagi, Tapi hampir samacapnya., kalau man

kiallemi. (......bukan yang ini Bu...,.....ambil saja).

Pembeli III : Anneji deh. (ini saja deli)

Penjual : Siapa nassana, Bu? (berapa yang betulnya, Buk

Pembeli III : laji anjo (itu saja) Penjual: Tidak kurang Bu.

95

Percakapan 4

Lokasi/setting : Penjual ikan

Situasi :

Topik Pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Marikiq, ini inurahna jukuq katombo a. (…….ikan

katoinbo )

Pembeli I : Sikura yang itu (sambil menunjuk ikan mairo)

(Berapa..........)

Penjual : Murah ji itu Bu. Lima sabbu na sigompo. ( Lima ribu

satu rumpuk)

Pembeli I : Rua nah, (Dua nah)

Penjual : Mau berapa tumpuk? Kiallemi anjo tallu sisabbu. (Man

berapa bagian? Ambil saja yang itu tiga ribu)

Pembeli II : Rua sitanggah. (Dua setengah)

Pembeli III : Kenapa kaqjalaq s6kali?(....mahal...)

Penjual : Halus anjo Bu. Kainnya tidak seperti yang lain Perk hati-

hati Bu, pilih kain karena banyak palsunya, anne

assisalai. (....itu Bu,.,.. ini berbeda).

Pembeli IV : Biasayya, duapuluh. (biasanya,......)

Penjual : Merek yang lain barangkali? teayi anne Bu. ada yang

lebih murah lagi, Tapi hampir samacapnya., kalau man

kiailemi. (......bukan yang ini Bu...,.....ambi saja).

96

Pembeli III : Anneji deh. (ini saja deli) Penjual: Siapa nassana, Bu?

(berapa yang betulnya, Bu?J Pembeli III: laji anjo (itu

saja)

Penjual : Tidak kurang Bu.

97

Percakapan 5

Lokasi/setting : Penjual Sembako

Situasi

Topik Pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Mauki apa, Bu?

Pembeli : Berapa sekilo gulanya?

Penjual : Lima satu, Bu.

Pembeli : Naikmikah hargana?

Penjual : lyeq Bu, kaqjalaki nenne, ini gula dari luar bu.

Pembeli : Saya kira empat setengah.

Penjual : Tena katte Bu, sekarang naik sekali harganya.

Pembeli : Tarigu siangang mantega taqsiapa seqre kilo?

Penjual : Terigu tiga, mentega lima

Pembeli : Kisare a, taq sikiloi. (beri saya masing-masing satu kilo)

Penjual : Apa lagi, Bu? Pembeli: Itu saja.

98

Percakapan 6Lokasi/setting : Penjual pakaian

Situasi :

Topik Pembicaraan: Tawar-menawar

Pembeli : Berapa Bu dasternya

Penjual : Lima belas setengah

Pembeli : Tena na kurang?

Penjual : Kulleji kurang siqdi. ( Bisa saja kurang sedikit)

Pembeli : Kurang siqdi berapa? (Kurang sedikit berapa?)

Penjual : Limaratus.

Pembeli : Sedikit sekali? Anjo a? ( Sedikit sekali? Yang itu?).

(menunjuk yang lain)

Penjual : Sepuluh (maksudnya sepuluh ribu)

Pembeli : Sampulo? Nggapa nassisala harganya.

Penjual : Memang, itu baguski coraknya sedangkan anne kurang

tiqgalaq makiq.

Pembeli : Tidak tujuh ribu?

Penjual : Delapan, ki ambil mi yang ini, Puang, paling kurang itu.

Kalau jelek kainnya kembalikan.

Pembeli : Saya man dua lembar.

Penjual : Tujuh setengah nah?

Pembeli : lya, ki ambilmi, man makaq pulang, sudah malam.

99

Percakapan 7Lokasi/sefring : Penjual kain

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Penjual : Singgah dulu Bu, ciniq makiq jaiji katte barangna.

(Lihatlah) dulu banyak kok barangnya)

Pembeli : Siapa hargana anne? (Berapa harganya yang ini)

Penjual : Murah sekali Cevvek biar can di mana pasti di sini

paling murah, nampa sanna gaqgana cini sai.

palampulollmia, kain

bagus iti. ( barn sangal bagtis silalikan dilihat)

Pembeli : Bisa dilihat yang itu? Warna incrah jambu.

Penjual : Oh ini ya gaqga tonji anne Cewek, man yang ini?

Pembeli : Kalau murah kasiqkaq tiga meter.

Penjual : Kialle mi dua puluh satu meter.

Pembeli : Kamanne Bu, ki kasikaq lima puluhan tiga meter nah?

Penjual : Tambah makiq lima ribu, kasiq, supaya ada sedikit

untungna.

Pembeli : Iya deh, ukurangma! (ya deh, tolong ukurkan saya)

Penjual : Warna anneji? Apalagi? (Wama ini saja? Apalagi?)

Pembeli : Anne mo roloq, nanti pi lagi.

100

Percakapan 8

Lokasi/setting : Penjual pecah-belah

Situasi

Topik Pembicaraan :

Penjual : Silahkan pilih mana suka. Jai ji.

Pembeli : Ada piring plastik?

Penjual : Ada, yang begini ta can? Lima ribu katte.

Pembeli : Empatmo nah, langngalle a limambatu. (empat saja,

nah? Saya mau ambil lima buah)

Penjual : Kialle mi, Bu! Cari saja bagian situ warna yang distika.

(Silakan diambil, Buk)

Pembeli : Ini saja. Penjual: Eh... ambil sai ini piring na Ibu,

bungkuskan (perintah pada pelayan). Teatongko salloi.

(jangan terlalu lama)

Pembeli : Yang besar kantongna. Penjual: Itu yang besar, berikan

sama ibu.

Pembeli : Terima kasih, nah? Salla pisse nakumae.

Penjual : lyeq

Pembeli : Maekiq.

101

Percakapan 9Lokasi/setting : Penjual campuran /serabako

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Pembeli : Berapa sabunta satu bungkus

Penjual : Dua ribu asokanya.

Pembeli : Tidak kurangmi itu?

Penjual : Kalau banyak taambil, kukurangiji. (... .Saya berikan

murah)

Pembeli : Maukaq ambil enam bungkus. Mau jakiq?

Penjual : Mau banyaki?

Pembeli : Tidak, untuk persiapan stu bulan

Penjual : Eeh, begini kurangmo dua ribu rupiah.

Pembeli : Bungkuskan makaq nah?

Penjual : Ada kantong plastiktaq?

Pembeli : Tidak ada kasi maka, satu kantongta.

Penjual : Tiga ratus ini, Bu, tarik saja.

102

Percakapan 10Lokasi/setting : Penjual sayur

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Penjual : Bu, ada bayam, kangkung, bunga kol, murah

katte, lammoro sikali Bu. (................murah sekali)

Pembeli : Tassiapa bayamlaq, Daeng9 (Bcrapa bayamnya )

Penjual : Sisabbu satu ikat. ( Seribu........)

Pembeli I : Satu setengah na rua, Daeng. ( ...... dua)

Pembeli II : Nakke pole, punna eroqki. ( Saya juga, kalau

mau)

Penjual : Kialle mi eromammotereq, kalaqbusangnami

katte ( silahkan diambil saya sudah mau pulang,

sudah penghabisannya ini.)

103

Percakapan 11

Lokasi/setting

Situasi :

Topik Pembicaraan : Penjual ikan

Penjual : Daeng segar, segar, beru battu, Karaeng.(…baru datang)

Pembeli : Berapa ini, Daeng (sambil menunjuk kumpulanikan bolu)

Penjual : Limassabbu na tiga ekor, Karaeng. (limaribu….)

Pembeli I : Empat ribumo na tiga nah? (Empat ribu saja, tigaekor nah?)

Penjual : Tanre antu nissawala, Bu. (tidak dapat untung, Bu)Pembeli II : Appaq assitanggahmo na tallu (empat setengah

saja, tiga)Penjual : Ki allemi, eh kita juga ambil makiq sama ini Ibu.

(silahkan dimbil ......)Pembeli : Anjomo deh, ka tenamo naganna doeqka. (itu

saja, sudah tidak cukup uang)Penjual : Punna eroqkiq teamakiq jukuq bolu, ini saja yang

kecil, Bu. (kalau mau, tidak usah ikanbandeng............)

Pembeli : Patoa-toinna anne, nitawari jukuq na nasareangkijukuq maraengaiignga. (kurang ajarnya ini,ditawari ikannya diberikan yang lain )

Penjual : Tena ni patoa-toi anjo, Bu, ditunjukkanki yangcocok na doeqtaq (tidak kurang ajar itu, Buuangnya)

Pembeli : Tena lalo nalabbusuq jukuqnu, Daeng. (mudahhantidak habis ikanmu)

Penjual : Jangankiq marah, Bu. (ketika pembeli itu sudahjauh)

104

Percakapan 12Lokasi./setting : Penjual Kain

Sutiasi

Topik Pembicaraan :

Penjual : Kain apa kiqcari, Cewek?

Pembeli : Kain Beludru, vvarna sikolaq, ada? (...coklat..9)

Penjual : Man' masuk dulu, ciniq-ciniqmakiq, vvarna sikolaq

tekammayya? Jai rupanna katte. (...... .....lihat-lihat saja,

coklat yang bagannana9 banyak coraknya)

Pembeli : Anne, sikolaq kamanneyya? Berapa satu meternya?

(Coklal yang begin i, b era pa satu meter0) Penjual:

Sikura metereq kikeroki9 (Berapa meter yang dimaui)

Pembeli : Tallu mo deh, man ji di bikin rok pesta, tapi berapa

penneternya. (tiga saja,.........)

Penjual : Dua puluh lima ribu.

Penjual : Singgah dulu, Bu, ciniqmakiq jaiji katte barangna, murah

harganya. (memanggil pembeli yang lain). (...... .....lihat

dulu, banyak barangnya,......)

Pembeli III : Ki kurangngi saimi siqdi. (Tolong dikurangi sedikit)

Penjual : Bisa saja tapi kurang dua ribu.

Pembeli III : lya deh, ki kasiqma tiga meter

105

Penjual : Cocok mi anne warnana yang kimaui? kalau maukiq yang

lain atau kukasiqki dua warna, supaya kulleki sisambeang

ngangtaq. (mi warna yang dunginkan ? jika mau lain atau

saya berikan warna dua warna, supaya bisa saling ganti

dengan teman).

Pembeli : Janganmi, ka maukaq pakai seragam, kalau ada acara.

Penjual: Singgah dulu! Lihat-lihat baju gaqga. (......

.....bagus)

Pembeli I : Baju terusan ada Bu? eroka seqre. (........? saya man satu)

Penjual : Ada, kiciniqmi roloq warnana. (...., silahkan dilihat dulu

warnanya.)

Pembeli II : Apa kibeli, Pinduka lamanya baru ketemu, bagaimana

kabar di kampung (bertanya pada pembeli I)

Penjual : Baru ketemu, Bu? di mana kampung? Pembeli I: Malakaji,

lewat Jeneponto.

106

Percakapan 13

Lokasi/setting

Situasi :

Topik Pembicaraan : Penjual pecah-belah

Pembeli : Ada hiasan keramiktaq?

Penjual : Ada, ini cantiknya baru datang, lanunoroqji anjo harganna,

tidak sama yang ini. (sambi) inemperlihatkan barang yang

lain). ( ................... murah harganya) 'embeli: Angngapa

naqkuUe berbeda, Puang? kuare assingkammaji.

(mengapa bisa beda. Puang?, saya kira sama saja )

Penjual : Antu ki tiqgalaka ca'di lampa tipisiki kacanna, kalau yang

ini tebaJ dan berat, ki bandingkan mi, assila i toh? ( itu

yang dipegang kecil baru tipis kacanya, silakan

dibandingkan, berbeda toll?) mbeli. Berapa paeng

harganya yang tipis?

Penjual : Dua beias satu lusin, tapi kalau ambil banyak nikurangngiki

ruassabbu nbeli: Kalau yang kipegaiig itu berapa? ijuai :

Oh ini, lima belas ribu satu lusan, beda tallu sabbuji.

Eroqki anne atau anru ki tiqgalaka.

Pembeli : Anne ino deii, bagusk; kulihat warnanya. jual: Berapa man

di ambil, Buc) beli. Dua lusin mo deli, ual: Bungkuskan

107

anne keramikna, Ibu! Kibayar di Sana Bu. (menunjuk

kasir).

108

Percakapan 14

Lokasi/Setting : Penjual Sembako

Situasi

Topik Pembicaraan :

Pembeli : Ada beras Insyinyurtaq

Penjual : Beras Kepalaji ada, beras Insyinyurnya habis tadi, kenapa

tidak pesan memangki kemarin na lewatji di sini kuliat,

kalau mau ki ini mo saja, bagusji juga, eh saya di rumah

makan beras kepalaji, anak-anak pada suka.

Pembeli : Kalau minyak goreng bimolitaq ada?

Penjual : Ada Bu, maukiq yang berapa kilo?

Pembeli : Yang dua kilo, tapi bukan yang pakai botol nah, yang

kuambil dulu pake botol jeleki kemasannya?

Penjual : Adaji.

Pembeli : Bungkuskanka juga piksin Siangan kecap ABCtaq.

Penjual : yang berapayya Bu?

Pembeli : Yang biasayyaji, piksin yang kecil-kecil, ABC botol.

Penjual : Anne Bu barangtaq. (Ini Bu, barangnya)

Pembeli : Berapa semua? Pakaikan kantong besar!

Penjual : Tidak ada kantongnya Bu? Langngalle ki kantong?

109

Pembeli : Ih dede, ini sudah penuhmi, ciniq sai mau jatuh semua

barang belanjaanku, kalau robeki gantikanga. (Coba

dilihat mau semua jatuh barang belanjaanku)

Penjual : Yang kecil atau besar?

110

Percakapan 15

Lokasi/setting : Penjual Pecah-Belah Situasi : Santai (pasar) Topik

Pembicaraan : Pengembalian barang

Penjual : Kenapa dikembalikan?

Pembeli I : Kemarin waktu saya ambil ini pantenta retakki, tidakku

perhatikan.

Penjual : Anggapa memang tena niparessai. (mengapa tidak

diperiksa)

Pembeli I : Jadi, tidak bisa ditukar? untuk apa dibeli kalau pecah

begini.

Penjual : Jangan marah, Bu! kulleji nisambei mingka kitambai,

eroqjaki? (... dapat digantikan tapi menambah, Ibu mau?)

Pembeli II : Biar begitu ditambahji? Biasanya ditukar.

Penjual : Bisa rugi saya Bu. Pabalu ka antu tena tonjana

poterangngi. Kalau pecah, ya pecah.

Pembeli II : Oh begitu, jari annambai siapa. (...jari menambah berapa?)

Penjual: Ya, berapa yang pecah, anjo reppeka nitambai,

satu piring seribu rupiah.

Pembeli I : Teamakiq, bajikangngangi nierang motereq (tidak usah

lebih baik dibawa pulang)

Penjual : Ya, sudah, erammi ammotereq. (Ya sudah, bawa saja

pulang)

111

Percakapan 16

Lokasi/setting : Penjual Pakaian

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Pembeli : Berapa, Bu dasternya ?

Penjual : Lima puluh setengah

Pembeli : Tena naqkulle kurang? (Tidak bisa kurang)

Penjual : Kulleji kurang siqdi. (Bisa kurang sedikit)

Pembeli : Kurang siqdi berapa ? (. .sedikit...)

Penjual : Kurang lima ribuji. (Ya kurang lima ribu untuk saudara)

Penjual : Singgah, Bu! Kain aga disappaq (Singgah dulu, Bu! Kain

apa dicari)

Pembeli : Kain beludru, motif bunga-bunga.

Penjual : Pilihmi warnana! Meaga ladde motifna. (Silakan dipilih

warnanya! Banyak sekali motif'nya)

Pembeli : Siaga allinna. (Berapa harganya)

Penjual : Mau berapa meter?

Pembeli : Maaf Bu, tidak jadi.

Penjual : Singgah dulu, Puang! lihat-lihat baju mabbalo.

(.....,..bagus)

Pembeli : Engka, baju terusantaq, Puang? (ada baju terusannya )

Penjual : Ada, ita-itai oloq modeleqna (..., lihat-lihat dulu modelnya)

112

Pembeli II : Berapa hargana yang ini? (sambil memperlihatkan daster

pada penjual) (berapa harganya yang ini)

Penjual : Mau itu Bu? Sempo ladde hargana, asli solo, Bu. (Mau

yang itu Buk Murah sekali harganya, asli Solo, Bu)

Pembeli : Sepuluh saja nah? Saya ambil dua pasang.

Penjual : Cari kain apa, Bu?

Pembeli I : Engka, sarung sutra taq? (Ada, sarung suteranya?)

Penjual : Engka, kuitai oloq, lihat-lihat makiq dulu barang yang lain.

(Ada, saya lihatkan dulu, silakan lihat-lihat barang yang

lain), (hadir calon pembeli lain) Tamaqki, Puang !, Barang

aga tasappaq? (silakan masuk, barang apa dicari)

Pembeli II : Ada baju bodo taq?

Penjual I : Mau ambil berapa lembar, Bu?

Pembeli II : Bisa saya lihat warnanya.

Penjual II : Meaga warna, Bu, engka warna cella cocok sikali dipakai

pergi bawa pengantin. (banyak...... ada warna merah,

cocok sekali dipakai pergi bawa mengantar pengantin)

Pembeli II : Siaga hargana, Puang? (berapa harganya,)

Penjual II : Tiga puluh lima.

Pembeli : Kurang nah?

Penjual : Ambil berapa pasang.

Pembeli II : Tiga lembar.

113

Penjual : Ambil makiq tiga puluh.

Pembeli I : Ini sama dengan yang ini?

Penjual III : Ya. Sama.

Pembeli : Tena nakurang, Pak? (sudah tidak kurang, Pak)

Penjual : Sikura lanu alle, sallona abboya na kain kamanneji naballi.

(berapa yang mau diambil, lamanya mencari, baru kain

begini saja yang diainbil)

Pembeli II : Dua puluh lima saja Penjual: Belum boleh.

Pembeli : Angngapaiq Dua tujuh tidak mau? (Mengapa?....)

Penjual : Siapa lani balli. (Berapa yang mau diambil)

Pembeli : Dua

Penjual : lyeq ki allemi kalabussanna mi anne. (Ya, ambil saja,

sudah penghabisan)

Pembeli IV : Pak, kalau bisa ini satu, itu satu sepuluh ribu. (Baju anak-

anak)

Penjual : Tidak bisa. Tambah makiq dua ribu.

Pembeli : Angngapa na kaqjala kamma, Pak, ajine bodoji. (Mengapa

mahal sekali, Pak sedang yang pendek)

Penjual : Tena nammotere modalaqna. (Tidak kembali modalnya)

114

Percakapan 17

Lokasi/setting : Penjual sayur

Situasi : Santai (pasar)

Topik pembicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Ini Bu, murahnya . Pembeli :Banyak rusaknya ini.

Penjual : Biasa itu Bu, deqna magaga, dipilih saja yang bagus.

Pembeli : Satu ikat berapa? (Sambil mengangkat kacang panjang)

Penjual : Seribu,

Pembeli : Kurang nah? Maukaq ambil banyak.

Penjual : lyeq engka kantongtaq? (Ada kantongnya? )

Penjual : Ada, ini. Mauki juga? (bertanya pada pembeli yang lain)

Pembeli : Segar i ini kacangtaq? Kenapa banyak sekali namakan

ulat. (segarkah ini kacang?, mengapa banyak sekali

dimakan ulat?)

Penjual :Masih segar Bu? pitu ratu polu sisio. (... tujuh ratus lima

puluh satu ikat)

Pembeli : Enam saja. Penjual: Deqna runtui modalaqna. (tidak dapat

medalnya)

115

Percakapan 18Lokasi/setting : Penjual buah

Situasi :

Topik Pembicaraan : Tawar-menawar

Pembeli I : Boleh dicoba dulu? (sambil mengambil buah langsat).

penjual : Dua ribu sekilo.

Pembeli II : Satu setengah, nah?

Penjual : Ibu mau juga? tena makacci (ketika melihat calon pembeli

yang lain) (....tidak kecut)

Pembeli I : Ya, satu kilo mo nah?

Penjual : Cobai joloq, Bu (Coba dulu).

Penjual II : Satu setengah saja, nah?

Penjual : Deqna kurang maqkumettoe hargana. (tidak kuran, itu

sudah harganya)

116

Percakapan 19Lokasi/setting : Penjual Pakaian

Situasi :

Topik Pernbicaraan : Tawar-menawar

Penjual : Sepuluh ribu, sepuluh ribu ....... (memperlihatkan pakaian

anak pada pembeli)

Pembeli I : Masoli sannaq? kurang-kurang sedikit kasiqna .

Penjual : Harga pas idiq.

Pembeli 1 : Enam nah?

Peirual : Pitu selengah ambil banyak, ada korlmg.

Pembeli I : Saya ambil lima pasang.

Penjual : Tujuh sitengahpi kasiqna.

Pembeli 1 : Anneng, kalau maukiq saya ambil sckarang.

Penjua] : Eeehh.... Ibu kitambah sedikit.

Pembeli I : Saya tainbah lima ratus rupiah.

Penjual : Bungkuskan ini bajunya Ibu (sambil menyuruh pe'ayan

yang lain)

Pembeli II : Engka baju bodotaq?

Penjual : Mauki can baju bodo warna cella, tidak susah itu Bu, di sini

banyak waraanya

Pembeli II : Siaga hargana?

Penjual : Masempo ladde, empat puluh, eloqki? (Murah sekali....,

Ibu mau ?)

Pembeli : Magana masoli ladde? deqgaga eloq ammalli nakko

masoli.

117

Percakapan 20Lokasi/serting : Penjual kain/sarung

Situasi

Topik Pembicaraan :

Penjual : Cari kain apa, Bu?

Pembeli I : Engka, sarung sutrataq?

Penjual : Engka, kuitai oloq, lihat-lihat makiq dulu baraiig yang lain,

(hadir calon pembeli lain) Tama Puang!, banyak yang

barn.

Pembeli II : Siaga seddi lipaqtaq, (berapa satu sarungnya)

Penjual : Ini sarungnya Bu, tidak luntur enak dipakai.

Pembeli : Warna cella na mabalo Puang, itaiki Joloq?

Penjual : lyeq cocok sekali dipakai pergi pesta. itu hargana seratus

dua puluh lima ribu.

Pembeli : Masoli ladde .

Penjual : Tawar makiq, berapa?

Pembeli : Seratus saja, eloqki?

Pembeli : Itu murah sekali, Bu?

Penjual : Asli ini bu jadi mahal, idiq ambil saja seratus sepuluh,

dikurangi ki lima belas ribu.

Pembeli : Ajaq nah, kalau tidak maukiq.

Penjual : Maukiq sarung bagus, baru tidak mau mahal, susah itu.

118

Percakapan 21

Lokasi/setting : Penjual Pecah-belah

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Penjual : Apa ki cari, Buq

Pembeli : Engka piring duralexe, Puang?

Penjual : Cappuni, yang lain saja bu .

Pembeli : Nasional?

Penjual : Deqgaga barang tamaq

Pembeli : Merek apa yang ada Puang0

Penjual : Milinium dan Monalisa

Pembeli : Siaga ellinna satu lusin Milinumlaq

Penjual : Tujuh belas, meloqki?

Pembeli : Tiga belas saja, nah?

Penjual : Lima belas, kitambah sedikit.

Pembeli : Empat belas.

Penjual : Ki ambilmi, Bu ! Apa lagi Bi:?, tidak mauki gelas, sendok?

119

Percakapan 22

Lokasi/setting :

Penjual Sembako :

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Penjual : Mie apa yang ki cari, Bu?

Pembeli : Mie goreng.

Penjual : Mie goreng aga?

Pembeli : Engka mie goreng Jawa?

Penjual : Cappuqni stoknya

Pembeli : Mie goreng yang lain?

Penjual : Ada sari mie, gaga 100, sop mie, soto, tarea ki keroki?

siaga dos, Puang?

Pembeli : Siaga seqdi dos sop mie.

Penjual : Delapan belas, mau ki berapa dos.

Pembeli : Tiga dos.

Penjual : Saya kasiq ki tujuh belas.

Pembeli : Kasiqmakaq tiga dos

Penjual : lyeq

120

Percakapan 23

Lokasi/setting

Situasi

Topik Pembicaraan

Penjual kain/sarung

Tawar-menawar

Penjual : Antamaki mai!

Pembeli : Engka, sarung sutrataq?

Penjual : Engka, kuitai oloq! Banyak yang baru,

Pembeli : Siaga seddi lipaqtaq.

Penjual : Magello iya lipagna, de nalunturu.

Pembeli : Engka warna mabalo Puang, kiitai oloq?

Penjual : lye, cocok ladde dipake pi pesta. Hargana seratus dua

puluh lima ribu.

Pembeli : Masoli ladde

Penjual : Tawarini gare, siaga elota?

Pembeli : Siratuna, meloqki?

Penjual : Aslina iye ibu, idiq ambil saja seratus sepuluh, dikurangi ki

limabe las ribu.

Pembeli : Ajaq nah, kalau teaki.

121

Percakapan 24

Lokasi/setting : Penjual Pakaian

Situasi :

Topik Pembicaraan :

Penjual : Mau belanja Cewek! Murah-murah, model baru dan enak

di pakai. Eloki, kudung, celana kain, baju panjang? Ada di

sini.

Pembeli 1 : Eloqka kudung, bunga-bunga.

Penjual : Oh itu? ada ini banyak bunganya, dan murah

Pembeli I : Berapa murahnya?

Penjual : Sappulo sabbu. Cariki di tempat lain deqgaga Cewek.

Pembeli II : Tujuh ribu saja nah?

Penjual : Hargana mi katte, tapi saya kurangi delapan ribumi.

Pembeli I : Bungkuskanka yang ini! mauka juga yang itu baju

panjangna.

Penjual : Itu tuju puluh lima ribu,

Pembeli I : Enam puluh saja nah? saya ambil dua pasang.

Penjual : Enam puluh tujuh saja, ambil harga tengahnya di, supaya

samaki untung. Idiq eloq warna aga? banyak ji variasina.

Penjual : Tabe kiperiksa baranna, cocokni warnanya, ukurannya,

periksa baek-baeki, makasih banyak ya bu.

122

Percakapan 25

Lokasi/setting : Penjual Kain

Situasi

Topik Pembicaraan:

Penjual : Singgah dulu Puang, itai oloq mega barang tamaq

Pembeli : Siaga allinna iarehe? (berapa harganya yang ini)

Penjual : Murah Cewek hari ini diobral. Eloqki kain aga?

Pembeli : Bisa dilihat yang itu, warna merah jambu. Siaga

simetereq?

Penjual : Oh ini ya? Magello iye, mau yang mi ?

Pembeli : Kalau murah saya mau ambil tiga meter.

Penjual : Dua puluh lima ribu.

Penjual : Eeh ....singgah bu, kok lewat-lewat aja, nggak nengok-

nengok sambaluku. Kitai oloq barangna, magello

masempo hargana. (memanggil pembeli yang lain)

Pembeli : Kurang sedikit, Puang.

Penjual : Alani.

123

Percakapan 26

Lokasi/setting : Kosmetik

Topik Pembicaraan: Pembelian alat-alat kosmetik

Penjual : Cari apaki mbak?

Pembeli : Mau lihat-lihat dulu.

Penjual : oh, iya silakan dicoba, adaji testernya

Pembeli : Da bedakta yang produksi Wardah

Penjual : Oh, kita ndak jual Wardah, yang ada rata-rata merek

Pondsji