Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DRAFT LAPORAN
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI
TENTANG
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Disiapkan oleh:
Tim Pendamping DPRD Kabupaten Boyolali
DEWAN PERWAKILAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI
2018
i
KATA PENGANTAR
Rasa syukur ke hadlirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, kami
ucapkan atas selesainya penulisan Naskah Akademik untuk Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan
(IMB)). Penyusunan Naskah Akademik sebagai bagian dari aktivitas
perancangan peraturan perundang-undangan telah diwajibkan secara yuridis
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Naskah Akademik ini berisi kajian secara holistik dan futuristik
terhadap materi muatan yang akan dinormakan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali tentang IMB baik dari aspek filosofis, sosiologis, maupun
yuridis. Dengan demikian, maka Naskah Akademik merupakan bahan awal
yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan
materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang IMB. Bersama
Naskah Akademik ini dilampirkan Rancangan Peraturan Kabupaten Boyolali
tentang IMB sebagai bagian yang tidak terpisahkan.
Guna penyusunan Naskah Akademik ini telah dilakukan penelitian
pendahuluan yang ditujukan untuk mengumpulkan data-data yang
diperlukan, baik data primer maupun data sekunder. Sehubungan dengan itu,
pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu memperkaya data dan informasi baik secara langsung
maupun tidak langsung bagi penyusunan Naskah Akademik ini.
Akhirnya, semoga Naskah Akademik ini dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dan bahan dasar, sehingga dapat memudahkan
pembahasan Peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang IMB
oleh Pejabat yang berwenang.
Semarang, 2018
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................... i
Daftar Isi ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik .................... 2
D. Metode Penelitian dan Penyusunan Naskah Akademik ...................... 3
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS .......................... 1
A. Kajian Teoretis .................................................................................. 1
B. Kajian Terhadap Asas dan Prinsip Hukum yang Terkait Dengan
Penyusunan Norma Peraturan Daerah Tentang IMB. ......................... 12
C. Kajian Terhadap Praktek Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada Serta
Peran Serta Masyarakat .................................................................... 16
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT ......................................................................................... 1
Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait Dengan
IMB .................................................................................................... .. 1
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 1
4.1 Landasan Filosofis ........................................................................... 1
4.2 Landasan Sosiologis ........................................................................ 3
4.3 Landasan Yuridis ........................................................................... 5
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG IMB ... ........ 1
5.1 Jangkauan dan Arah Pengaturan ..................................................... 1
5.2 Ruang Lingkup ............................................................................... 2
BAB VI PENUTUP ........................................................................... 1
I-1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan pembangunan sebagai akibat dari peningkatan
realisasi investasi di Kabupaten Boyolali, perlu diimbangi dengan upaya
pengaturan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan. Pengaturan
dan pengendalian dilakukan dengan tujuan agar terjadi kesesuaian
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan terkendalinya pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan fungsi sehingga perencanaan tata ruang
bisa berlangsung optimal. Selain itu, pengaturan dan pengendalian
bertujuan untuk mewujudkan bangunan yang fungsional, andal,
seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.
Untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan, menjamin
keandalan teknis bangunan serta terwujudnya kepastian hukum dalam
penyelenggaraan bangunan, maka setiap pendirian bangunan harus
berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pemerintah Daerah
Kabupaten Boyolali selama ini sudah memiliki dasar hukum dalam
pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan yaitu Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali Nomor 6 tahun 2013 tentang Izin Mendirikan
Bangunan. Dengan diberlakukannya. Pemerintah Nomor 18 Tahun
2016 tentang Perangkat Daerah, maka Pemerintah Kabupaten Boyolali
telah menyusun Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 16 Tahun
2016 tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah, serta untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dunia usaha akan pelayanan publik
yang prima, maka dipandang perlu untuk menyusun Peraturan Daerah
Baru mengenai Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Boyolali.
Peraturan Daerah yang baru ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
pelaksanaan pemberian izin untuk melakukan pengaturan dan
pengendalian pelaksanaan pembangunan.
I-2
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu disusun Rancangan
Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan melalui
pembuatan Naskah Akademik sebagai dasar dalam perumusan
Rancangan Peraturan Daerah.
1.2. Identifikasi Permasalahan
Naskah akademik ini akan menganalisis 4 (empat) permasalahan
yang terkait dengan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di
Kabupaten Boyolali. Empat permasalahan tersebut antara lain:
a. Permasalahan apa yang dihadapi dalam perizinan bangunan di
Kabupaten Boyolali serta bagaimana permasalahan tersebut dapat
diatasi?
b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan
negara dalam penyelesaian masalah tersebut?
c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tersebut?
d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Tujuan penyusunan Naskah Akademik Raperda tentang Izin
Mendirikan Bangunan Kabupaten Boyolali, sebagai berikut
a. Mengidentifikasi permasalahan dan potensi dalam Izin
Mendirikan Bangunan di Kabupaten Boyolali;
b. Menyusun sinkronisasi dan harmonisasi hukum dengan dokumen
perencanaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
c. Menyusun Naskah Akademik serta rancangan Perda tentang
Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Boyolali.
I-3
1.4. Metode
a. Teknik Pengumpulan Data
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan di Kabupaten Boyolali dipergunakan metode
penelitian yuridis normatif, terutama dengan dukungan data
sekunder baik dari PD maupun BPS. Sedangkan terkait dengan
peraturan perundangan dan kebijakan pembangunan daerah
menjadi pedoman bagi arah dan tujuan dalam penyusunan Raperda.
Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan
Bangunan di Kabupaten Boyolali dilengkapi dengan hasil penelitian
serta karya ilmiah lainnya yang memuat norma-norma hukum dan
kajian ilmiah yang terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan di
Kabupaten Boyolali. Sementara data primer diperoleh dari
wawancara mendalam dengan nara sumber terpilih dan para
pemangku kepentingan pembangunan yang memiliki perhatian dalam
penyusunan ini. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan
adalah sebagai berikut :
1) FGD (Focus Group Discussion)
Metode ini dipergunakan untuk mendapatkan tanggapan dan
sumbangan pemikiran dari pemangku kepentingan pembangunan
daerah Kabupaten Boyolali, berdasarkan hasil FGD maka akan
diperoleh informasi tentang kondisi yang telah dilakukan dalam
penyusunan Raperda Izin Mendirikan Bangunan.
2) Dokumentasi
Dokumentasi dipergunakan untuk mengumpulkan data
sekunder dari PD pengampu urusan di Kabupaten Boyolali, baik
data terkait Izin Mendirikan Bangunan serta data statistik lainnya
yang relavan dalam penyusunan naskah akademik ini. Kegiatan
penelusuran studi pustaka yang akan terutama kajian
I-4
harmonisasi peraturan hukum terkait dan langkah kebijakan
yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Kajian harmonisasi peraturan perundang-undangan baik nasional,
daerah maupun hasil-hasil penelitian, hasil pengkajian dan
referensi terkait lainnya.
b. Metode Analisis Data
1) Identifikasi Permasalahan
Identifikasi permasalahan dalam proses penyusunan Naskah
Akademis dilaksanakan dengan eksplorasi atau pemetaan
permasalahan terkait. Metode identifikasi permasalahan yang
dipergunakan dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Izin Mendirikan Bangunan adalah Metode Rules (aturan),
Opportunity (kesempatan), Capacity (kemampuan),
Communication (komunikasi), Interset (kepentingan), Capacity
(kemampuan), dan Ideology (ideologi) atau disingkat ROCCIPI.
Metode tersebut dipergunakan untuk menggali dan
mengidentifikasi permasalahan terkait dengan pengaturan tentang
Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Permasalahan yang akan dikaji dalam Rancangan Peraturan
Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan, melalui penelusuran
atas :
1) Rule (PeraturanPerundang-undangan),
2) Opportunity (Peluang),
3) Capacity (Kapasitas),
4) Communication (Komunikasi),
5) Interest (Kepentingan),
6) Process (Proses), dan
7) Ideology (Ideologi) yang terkait dengan pentingnya suatu
peraturan perundangan disusun.
Pada hakekatnya, ROCCIPI merupakan instrumen yang dapat
memudahkan legislator atau perancang peraturan perundang-
undangan untuk memahami fakta-fakta yang relevan, baik yang
I-5
bersifat yuridis maupun non yuridis. Selanjutnya, fakta dimaksud
diperlukan untuk mengkaji apakah Rancangan Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibuat nantinya, dapat
dilaksanakan dan ditegakkan.
2) Analisis Penyusunan Peraturan Perundangan
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan yang baik
dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dan
kecacatan dalam pembentukan norma. Asas-asas pembentukan
peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van der
Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi
dalam dua kelompok yaitu:
1) Asas-asas formil:
a) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling),
yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa
dibuat;
b) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan
perundagundagan yang berwenang; peraturan
perundangundangan tersebut dapat dibatalkan
(vernietegbaar) atau batal demi hukum (vanrechtswege
nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak
berwenang;
c) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het
noodzakelijkheidsbeginsel);
d) Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel
van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan
bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk
nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena
I-6
telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
e) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).
2) Asas-asas materiil:
a) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke terminologie en duidelijke systematiek);
b) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
d) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
(het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, mengingatkan kepada pembentuk undang-undang
agar selalu memperhatikan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik dan asas materi muatan. Dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang baik, yang meliputi:
1) Asas kejelasan tujuan yaitu bahwa setiap Pembentukan
peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
2) Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat
yang tidak berwenang.
3) Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
I-7
undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
4) Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
5) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan dibuat Karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam engatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6) Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7) Asas keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang akan
disusun juga harus mencerminkan asas:
1) Asas pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi memberikan pelindungan
untuk menciptakan ketentraman masyarakat;
2) Asas kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
I-8
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional;
3) Asas kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) Asas kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
5) Asas kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
6) Asas bhinneka tunggal ika, bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah
serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
7) Asas keadilan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara;
8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
9) Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian;
I-9
10) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara;
11) Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana,
dan asas praduga tak bersalah;
b) dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi
pembentuk peraturan perundang-undangan dan penentu
kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri penentu kebijakan
yang akan membentuk peraturan perundang-undangan yang
biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam
setiap langkah yang ditempuh. Di luar asas-asas di atas, dalam
ilmu hukum atau ilmu perundang-undangan, diakui adanya
beberapa teori atau asas-asas yang selalu mengikuti dan
mengawali pembentukan peraturan perundang-undangan dan
secara umum teori dan asas-asas terserbut dijadikan acuan dalam
pembentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada
beberapa teori yang perlu dipahami yakni teori jenjang norma.
Hans Nawiasky, salah satu murid Hans Kelsen, mengembangkan
teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam kaitannya dengan
suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine
Rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans
Kelsen, suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan
berjenjang yakni norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan
I-10
bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya
sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma
dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa
selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga
berkelompok-kelompok. Nawiasky mengelompokkan menjadi 4
kelompok besar yakni :
1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);
2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
3. Formell Gezetz (undang-undang formal);
4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan
aturan otonom).
Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata
susunan norma hukum di setiap negara, walaupun istilahnya dan
jumlah norma yang berbeda dalam setiap kelompoknya.
Di Indonesia, norma fundamental negara adalah Pancasila
dan norma ini harus dijadikan bintang pemandu bagi perancang
dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga
setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
II-1
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
2.1. Kajian Teoritis
a. Konsep Negara Hukum
Istilah negara hukum seringkali dipertukarkan dengan istilah
rule of law ataupun rechtsstaat. Pemakaian kedua istilah tersebut secara
bergantian untuk menggantikan istilah negara hukum terkesan
mengaburkan dua konsep yang berasal dari latar belakang berbeda. Rule
of law berangkat dari tradisi common law atau Anglo Saxon sedangkan
rechtsstaat merupakan konsep dari tradisi civil law atau Eropa
Kontinental. Berdasarkan latar belakang dan dari sistem hukum yang
melatarbelakanginya tentu saja akan memunculkan perbedaan. Namun
dalam perkembangannya perbedaan tersebut tidak dipermasalahkan lagi
karena kedua konsep tersebut mengarah pada pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.1
Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX
meskipun pemikiran itu sudah muncul sebelum abad tersebut. Istilah
rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert
Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the Study of the
Law of the Constitution”. Namun satu abad sebelum A.V.Dicey
sebenarnya di Amerika Serikat telah muncul istilah yang memiliki
makna yang serupa dengan rule of law yaitu: “government of laws, not of
men”. Intinya adalah negara akan menjauhkan diri dari pemerintahan
absolut (tanpa pembatasan kekuasaan). Istilah “a government of laws
and not of men” pertama kali dikenalkan John Adams di tahun 1774
dalam artikelnya di Boston Gazette. Prinsip ini juga yang dipakai hakim
1 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi
tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Surabaya: Peradaban, 2007, hlm. 67.
II-2
John Marshall dalam mengadili perkara Marbury v Madison yang
akhirnya melahirkan konsep judicial review.2
Konsep rule of law yang dipopulerkan oleh A.V.Dicey terdiri dari
tiga aspek. Pertama, supremasi absolut atau superioritas dari regular
law untuk menentang pengaruh dan meniadakan kesewenang-
wenangan, hak prerogatif, serta kekuasaan diskresi yang luas dari
pemerintah. Kedua, persamaan di hadapan hukum atau penundukan
secara sama dari semua golongan kepada hukum umum dari negara
yang dilaksanakan oleh peradilan umum. Artinya, tidak ada orang yang
berada di atas hukum sehingga baik pejabat maupun warga negara
biasa wajib mentaati hukum yang sama. Implikasinya adalah tidak
adanya peradilan administrasi. Ketiga, konstitusi adalah hasil dari the
ordinary law of the land. Hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi
merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan
ditegaskan oleh peradilan. Dengan demikian konstitusi dalam rule of law
adalah konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak asasi manusia.3
Konsep rule of law yang dipopulerkan oleh A.V.Dicey kemudian
berkembang lebih jauh. International Commission of Jurists di tahun
1959 (deklarasinya dikenal sebagai Deklarasi Delhi) merumuskan ciri-
ciri yang seharusnya ada dalam rule of law. Ciri-ciri tersebut yaitu:4
a. keberadaan pemerintahan yang representatif;
b. penghargaan terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan
Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia di Tahun 1950;
c. tiadanya hukum pidana yang berlaku surut;
2 Brian Z. Tamanaha, “Rule of Law in The United States”, dalam Asian Discourses of
Rule of Law, ed.Randall Peerenboom, London: RoutledgeCurzon, 2004, hlm. 58.
3 A.V.Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Pengantar Studi
Hukum Konstitusi, diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia, 2007, hlm. 264.
Lihat juga Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi
tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Op.cit, hlm. 75.
4 Alex Carroll, Constitutional and Administrative Law, Harlow: Pearson Education
Limited, 2007, hlm. 46.
II-3
d. adanya hak untuk mengajukan gugatan terhadap negara;
e. adanya hak atas pengadilan yang adil termasuk di antaranya adalah
pemberlakuan praduga tak bersalah, bantuan hukum, dan hak atas
upaya hukum banding;
f. peradilan yang mandiri;
g. adanya pengawasan atas peraturan perundang-undangan yang
berfungsi sebagai pelaksana undang-undang.
A.W. Bradley dan K.D. Ewing mengemukakan tiga aspek rule of
law yang menjadikan rule of law lebih layak dipilih ketimbang negara
berdasarkan kekuasaan belaka. Pertama, rule of law mewujudkan
tatanan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat (law and order) dan
bukannya kondisi anarki yang memunculkan tiadanya rasa aman bagi
individu. Stabilitas, menurut Bradley dan Ewing, adalah prakondisi bagi
eksistensi sistem hukum. Kedua, rule of law berdasarkan pada prinsip
fundamental yang penting, yaitu bahwa pemerintahan dijalankan
dengan mengacu pada hukum dan setiap kasus yang terjadi diselesaikan
melalui putusan pengadilan. Ketiga, rule of law mengacu pada
pengumpulan pendapat, baik tentang bagaimana wewenang yang
seharusnya dimiliki oleh pemerintah dan bagaimana seharusnya
wewenang tersebut dijalankan.5
Seperti halnya rule of law, konsep rechtsstaat juga mengalami
perkembangan dari konsep klasik hingga ke konsep modern. Konsep
klasik diistilahkan sebagai klassiek liberale en democratische rechtsstaat
atau democratische rechtsstaat. Sedangkan konsep modern, khususnya
di Belanda, biasa disebut sociale rechtsstaat atau juga disebut sociale
democratische rechtsstaat.
Prinsip-prinsip dasar dari rechtsstaat yang bersifat liberal dan
demokratis, menurut Van Der Pot sebagaimana dikutip Hadjon, meliputi
tiga aspek. Pertama, adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang
5 A.W.Bradley dan K.D.Ewing, Constitutional and Administrative Law, Harlow: Pearson
Education Limited, 2007, hlm. 99.
II-4
memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan
rakyat. Kedua, adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi:
kekuasaan pembuatan undang-undang yang ada pada parlemen,
kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak hanya menangani sengketa
antara individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat dan
pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang
(wetmatig bestuur). Ketiga, diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan
rakyat (vrijheidsrechten van de burger). Ciri-ciri tersebut menunjukkan
prinsip sentral rechtsstaat adalah pada pengakuan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia serta kebebasan dan persamaan.6
Konsep sociale rechtsstaat merupakan varian dari liberale
rechsstaat yang memunculkan interpretasi baru terhadap hak-hak
klasik dengan memunculkan konsep hak-hak sosial, konsepsi baru
tentang kekuasan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan
ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, dan
karakter baru dari wet dan wetgeving. Interpretasi terhadap hak-hak
klasik tentang kebebasan dan persamaan memunculkan pandangan
bahwa kebebasan dan persamaan bukan hanya bersifat formal yuridis
saja tetapi secara riil dalam masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan
pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural. Legitimasi
kekuasaan politik dilihat dari sudut pandang kaitannya dengan
kekuasaan ekonomi. Kepentingan umum tidak diartikan sebagai
kepentingan negara atau kepentingan kaum borjuis tetapi kepentingan
dari demokratisasi nasional, yaitu setiap orang dapat menjadi bagian
dari cabang kekuasaan. Watak undang-undang dalam konsep liberal
yang restriktif dan sebagai instrumen stabilitasi mulai luntur karena
fungsi pembentukan undang-undang hanyalah sebagai landasan yuridis
formal bagi kebijakan pemerintah yang berorientasi sosial. Dengan
demikian watak ratio scripta atau aturan tertulis dalam undang-undang
direduksi menjadi instrumen hukum untuk mewujudkan kebijakan.
6 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi
tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Op.cit, hlm.71.
II-5
Pergeseran-pergeseran tersebut mengarahkan sociale rechsstaat pada
tiga unsur pokok: hak-hak dasar, peluang ekonomi, dan distribusi
sosial.7
Pendapat yang serupa tentang konsep rechtsstaat juga
dikemukakan oleh Van Wijk dan Konijnbelt. Menurutnya rechtsstaat
memiliki unsur-unsur sebagai berikut:8
a. pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur), yang meliputi
kewenangan yang dinyatakan dengan tegas, tentang perlakuan yang
sama, dan tentang kepastian hukum;
b. jaminan atas hak-hak asasi;
c. pembagian kekuasaan yang meliputi struktur kewenangan atau
desentralisasi dan tentang tentang pengawasan dan kontrol;
d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan.
Keempat unsur tersebut serupa dengan unsur rechtsstaat
menurut Zippelius yang menyatakan bahwa rechtsstaat memiliki unsur
pemerintahan menurut hukum, jaminan hak asasi, pembagian
kekuasaan, dan pengawasan yudisial terhadap pemerintah.9
b. Konsep Wewenang
Wewenang merupakan konsep inti dalam hukum tata negara
dan hukum administrasi. Wewenang dalam hukum tata negara
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam
konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.
Sedangkan wewenang, jika mengacu pada pengertian authority dalam
Black’s Law Dictionary, diartikan sebagai: “the right or permission to act
legally on another’s behalf; the power of one person to affect another’s
7 Ibid, hlm.73.
8A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden
yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm.45.
9 Ibid.
II-6
legal relations by acts done in accordance with the other’s manifestation of
assent; the power delegated by a principal to an agent.”10
Menurut Van Maarseveen, sebagaimana dikutip Philipus M.
Hadjon, wewenang terdiri atas tiga komponen, yaitu:11
a. pengaruh, menunjukkan bahwa wewenang ditujukan untuk
mengendalikan perilaku subjek hukum;
b. dasar hukum, yaitu wewenang harus memiliki dasar hukum;
c. konformitas, menunjukkan bahwa adanya standar wewenang.
Wewenang dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
a. atribusi
Atribusi menurut Van Wijk dan Konijnenbelt merupakan cara normal
dalam memperoleh wewenang pemerintahan. Atribusi dalam
memperoleh wewenang membuat keputusan (besluit) bersumber
langsung kepada undang-undang dalam arti materiil. Dengan
demikian yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.12
b. Delegasi
Tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
menjelaskan pengertian delegasi. Pengertian delegasi dapat mengacu
pada pengertian yang dirumuskan oleh Algemene Wet Bestuursrecht
(AWB) Artikel 10:13, yaitu: “Onder delegatie wordt verstaan: het
overdragen door een bestuursorgaan van zijn bevoegdheid tot het
nemen van besluiten aan een ander die deze onder eigen
verantwoordelijkheid uitoefent (terjemahan GALA: ‘Delegation’ means
the transfer by an administrative authority of its power to make orders
10 Black Law’s Dictionary, Eds. Bryan A.Garnet et.al, St.Paul: West Publishing, 2009,
hlm.152.
11 Philipus M.Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal Yuridika Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Nomor 5 dan 6 Tahun XII (September – Desember 1997), hlm.1.
12 Ibid, hlm.3.
II-7
to another one, who assumes responsibility for the exercise of this
power)”
Dengan demikian konsep delegasi merupakan konsep pengalihan
wewenang dari satu badan tata usaha negara kepada badan tata
usaha negara lainnya. Tanggung jawab atas wewenang tersebut
menjadi tanggung jawab delegataris (yang menerima wewenang). Hal
tanggung jawab inilah yang nantinya membedakan konsep delegasi
dan mandat.
c. Mandat
Mandat merupakan suatu penugasan kepada bawahan. Penugasan
kepada bawahan misalnya untuk membuat keputusan atas nama
pejabat yang member mandat. Keputusan itu merupakan keputusan
pejabat yang memberi mandat.13 Pengertian yang serupa dapat dilihat
pada Artikel 10:1 AWB, bahwa mandat disebut sebagai: “…de
bevoegdheid om in naam van een bestuursorgaan besluiten te nemen.”
(…the power to make orders in the name of an administrative
authority). Dengan demikian tanggung jawab jabatan tetap pada
pemberi. Inilah yang membedakan antara mandat dan delegasi. Oleh
karena itu penerima mandat tidak dapat menjadi tergugat dalam
sengketa tata usaha negara.14 Selain itu pembeda antara mandat dan
delegasi adalah pemberi mandat dapat menggunakan lagi wewenang
atas mandat tersebut.
Setiap wewenang dibatasi oleh isi/materi wewenang, wilayah
wewenang, dan waktu. Jika wewenang yang dilaksanakan melampaui
batas-batas tersebut maka yang timbul adalah kondisi-kondisi
berikut:15
13 Ibid, hlm.12.
14 Lihat Pasal 1 Angka 12 UU PTUN.
15Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya, 10 Oktober 1994.
II-8
a. onbevoegdheid ratione materiae atau ketidakwenangan karena
materi yaitu pemerintah oleh peraturan perundang-undangan
tidak diberikan wewenang untuk melakukan tindakan yang
dilakukannya. Misalnya, seorang walikota tidak berwenang untuk
mencabut Peraturan Daerah karena Peraturan Daerah hanya
dapat dicabut oleh Peraturan Daerah yang dibuat bersama-sama
oleh walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Onbevoegdheid ratione loci atau ketidakwenangan karena
pemerintah tidak berwenang untuk melakukan tindakan
pemerintahan di wilayah tersebut. Misalnya, Pemerintah Kota
Salatiga tidak berhak untuk membuat Peraturan Daerah yang
mengatur rencana tata ruang wilayah yang cakupan wilayahnya
termasuk wilayah Kabupaten Boyolali.
c. Onbevoegdheid ratione temporis atau ketidakwenangan
pemerintah karena terlampauinya batas waktu. Misalnya,
tindakan pemerintah dilakukan dengan mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang tidak berlaku lagi.
Wewenang memang memiliki batas, tetapi bisa terjadi suatu kondisi
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan padahal tindakan
pemerintah diperlukan dalam kondisi tersebut. Hal ini bisa saja terjadi
karena tidak mungkin semua kondisi diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Di sinilah pentingnya konsep diskresi atau
freies ermessen.16
Menurut Darumurti, diskresi dapat didefinisikan sebagai bentuk
wewenang pada badan atau pejabat pemerintah yang memungkinkan
mereka untuk melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil tindakan
16 Diskresi (discretionary power) merupakan konsep hukum administrasi Inggris.
Sedangkan freies ermessen merupakan konsep hukum administrasi Jerman. Kedua istilah
ini biasa digunakan untuk menyebut kekuasaan bebas. Untuk selanjutnya akan
digunakan istilah diskresi sebagai istilah untuk kekuasaan bebas. Lihat Philipus M.Hadjon
et.al, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2011, hlm.14.
II-9
hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup tindakan
pemerintah. Diskresi dimiliki oleh pemerintah karena pemerintah
harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi
masyarakat (public service) yang mengakibatkan pemerintah tidak
boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak
dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan hukum. Pemerintah
diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam lapangan
kehidupan masyarakat dan pemerintah dituntut untuk bertindak aktif
di tengah dinamika kehidupan masyarakat.17
Namun diskresi bukan berarti bebas tanpa batas sama sekali. Black’s
Law Dictionary menjelaskan discretion sebagai: “wise conduct and
management; cautious discernment; prudence” atau “individual
judgement; the power of free decision making”.18 Sedangkan
administrative discretion diartikan sebagai: “a public official’s or
agency’s power to exercise judgement in the discharge of its duties”.19
Pengertian diskresi menurut Black’s Law Dictionary ini menunjukkan
bahwa di balik kebebasan untuk membuat keputusan terdapat juga
aspek kehati-hatian yang perlu diperhatikan. Kebebasan bertindak
yang ada dalam konsep diskresi tidak dapat dilakukan dengan benar-
benar bebas. Kebebasan bertindak dalam diskresi tidak pula
menunjukkan bahwa administrasi negara bebas dari Undang-Undang.
Menurut Kranenburg, sebagaimana dikutip Hadjon, kebebasan yang
dimaksud dalam diskresi adalah kebebasan karena tidak ada
pengaturan. Diskresi perlu dilakukan karena Undang-Undang tidak
merinci apa yang terjadi secara konkret dan hal itulah yang harus
dicari sendiri oleh pemerintah. Oleh karena itu tetap ada keterikatan
pada peraturan perundang-undangan saat tindakan pemerintah
17 Krishna D. Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2012, hlm.57 – 58.
18 Black’s Law Dictionary, Op.cit, hlm.534.
19 Ibid.
II-10
dilakukan atas dasar diskresi.20 Perlunya batasan-batasan dalam
diskresi juga dikemukakan oleh Ronald Dworkin yang menganalogikan
diskresi sebagai lubang roti donat yang dikelilingi oleh pembatasnya
berupa roti itu sendiri. Secara paradoksal, diskresi tidak akan eksis
jika tidak terdapat batasan-batasan yang mengelilinginya.21
Tidak absolutnya kebebasan bertindak juga diutarakan Matthew
Groves, sebagaimana dikutip Enrico Simanjuntak, yang
mendefinisikan diskresi sebagai: “…choice-namely, that an official who
is granted power to act or decide is also granted the freedom to choose
from a range of possible outcomes which an exercise of that power might
allow. But administrative law has long decreed that this freedom is not
absolute. Even the most discretionary powers are not taken to be
arbitrary power.”22
Konsep diskresi yang penting bagi kajian ini adalah bahwa ketika
diskresi digunakan dalam pemerintahan maka berlaku perlindungan
hukum kepada badan/pejabat yang bersangkutan. Perlindungan
hukum bagi badan/pejabat yang melakukan diskresi adalah jaminan
imunitas dari tindakan judicial review oleh hakim. Hal ini terkenal
dengan adagium “kebijakan tidak dapat diadili”. Dalam hukum tata
negara atau hukum administrasi Amerika Serikat, isu pengujian
terhadap kebijakan termasuk dalam kategori political question atau
nonjusticiable issue yaitu pengadilan akan menahan diri untuk tidak
melakukan intervensi (self-restraint) atas kekuasaan pemerintah yang
sifatnya sangat teknikal. Menurut Cass R. Sunstein, sebagaimana
dikutip Darumurti, dasar pertimbangan pengadilan untuk tidak
melakukan intervensi terhadap tindakan diskresi pemerintah adalah
20 Philipus M.Hadjon, Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Surabaya:
Djumali, 1985, hlm.45.
21 Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard University Press,
1978, hlm.31.
22 Enrico Simanjuntak, Peradilan Administrasi dan Problematika Peraturan Kebijakan,
Varia Peradilan Tahun XXVI Nomor 305 April 2011, hlm.33
II-11
argumen pragmatisme, yaitu judges lack expertise and they are not
politically accountable.23
c. Konsep Teoretis Perizinan
Kajian teoretis aspek perizinan bangunan terkait dengan aspek
hukum dalam perizinan. Persoalan perizinan akan menjadi menarik
dilihat jika dihubungkan dengan tatanan negara yang ada sekarang.
Pelaksanaan negara hukum yang demokratis tentu harus dipahami oleh
semua aparatur pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya.
Perizinan yang selama ini dianggap sebagai otoritas mutlak pemerintah
harusnya ditempatkan dalam dimensi negara hukum yang demokratis.
Oleh karena itu tentu perizinan tidak dapat dipahami asal maunya
aparatur pemerintah tetapi harus memperhatikan hak-hak warga
negara dalam kehidupan demokrasi. Adanya perizinan bukanlah
menimbulkan konflik sosial tetapi semestinya mampu menciptakan
harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.24
Pengendalian setiap kegiatan atau perilaku individu atau
kolektivitas yang sifatnya preventif adalah melalui izin yang memiliki
kesamaan seperti dispensasi dan konsesi.25 Perizinan sebagai salah satu
instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bisa
diterapkan sebagai salah satu kewenangan yang ditentukan pemerintah
daerah yang implementasinya tercermin dalam sikap tindak hukum
kepala daerah, baik atas dasar peraturan perundang-undangan yang
dijadikan landasannya, maupun dalam kerangka menyikapi prinsip
pemerintahan yang layak sebagai bentuk tanggungjawab publik.26
23 Krishna D. Darumurti, Op.cit, hlm.36 – 37.
24 Agus Ngadino, “Perizinan dalam Kerangka Negara Hukum Demokratis”, Makalah,
Universitas Sriwijaya, hlm. 4.
25 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya: Pustaka Tinta
Mas, 1988, hlm. 129.
26 Juniarso Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik,
Bandung: Nuansa, 2009, hlm. 99.
II-12
Menurut Sjachran Basah, izin merupakan perbuatan hukum
administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam
hal concreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.27 Izin juga dapat
diartikan sebagai persetujuan penguasa berdasarkan peraturan
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.28
Hukum perizinan adalah suatu bentuk keputusan pemerintah
sebagai norma penutup untuk menerapkan peraturan perundang-
undangan dan mewujudkan keadaan tertentu dalam negara hukum.
Izin adalah instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis
untuk mengemudikan tingkah laku warga. Izin adalah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Adapun dalam dalam arti
sempit menyatakan bahwa izin adalah pengikatan aktivitas-aktivitas.29
2.2. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan
Norma.
Dalam penyusunan peraturan perudangan, termasuk
peraturan daerah terdapat ciri-ciri penting yang harus termuat dalam
peraturan perundangan, antara lain sebagai berikut :
a. Bersifat umum dan komprehensif. Peraturan perundangan
hendaknya memuat kajian yang berifat lengkap, luas dan tidak
bersifat multi tafsir.
27 Ibid, hlm. 92.
28 S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983, hlm. 94.
29 Agus Ngadino, Op.cit, hlm. 8.
II-13
b. Bersifat universal, karena ia diciptakan untuk menghadapi
peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk
konkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk
mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu.
c. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan perundang-undangan
untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukan
peninjauan kembali.
Istilah perundang-undangan (legal drafting) merupakan istilah
yang lazim dipakai dalam khasanah akademis maupun praktis yaitu
penyusunan konsep atau hukum perancangan tentang topik yang akan
diatur melalui peraturan daerah. Lebih jelasnya adalah cara
penyusunan rancangan peraturan sesuai tuntutan, teori, asas, dan
kaidah perancangan peraturan daerah. Dalam kerangka pembentukan
peraturan, legal drafting memperhatikan asas pembentukan Peraturan
Daerah yang baik, meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Kejelasan tujuan.
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
4. Dapat dilaksanakan.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
6. Kejelasan rumusan, dan
7. Keterbukaan (Sugeng Istanto, 2007, h.20)30.
Penjelasan dari masing-masing asas tersebut, dikemukakan
secara ringkas sebagai berikut :
1. Asas kejelasan tujuan: setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas dan hendak dicapai..
2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat: setiap jenis
peraturan daerah harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk
peraturan daerah yang berwenang. Peraturan daerah tersebut dapat
30 F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, CV. Ganda, Yogyakarta, 2007
II-14
dibatalkan atau batal demi hukum apabila bertentangan dengan
ketentuan yang dibuat oleh lembaga/pejabat atau peraturan yang
lebih tinggi.
3. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan: dalam
pembentukan peraturan daerah harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan daerahnya. Materi
yang termuat dalam Raperda Izin Mendirikan Bangunan di
Kabupaten Boyolali, materi utama berdasarkan ketentuan yang lebih
tinggi.
4. Asas dapat dilaksanakan: setiap pembentukan peraturan daerah
harus memperhitungkan efektivitas peraturan daerah tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Hal ini sudah tercantum naskah ini.
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: setiap pembentukan
peraturan daerah yang dibuat memang karena benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Raperda Izin Mendirikan
Bangunan Kabupaten Boyolali, ini berguna bagi dalam upaya
pemerintah Kabupaten Boyolali dalam memberikan arahan kepada
dalam penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan.
6. Asas kejelasan rumusan: setiap peraturan daerah harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan daerah, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Asas keterbukaan: dalam proses pembentukan peraturan daerah
mulai perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan,
seluruh lapisan masyarakat perlu diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengetahui dan memberikan masukan dalam proses
pembuatan peraturan daerah agar peraturan yang terbentuk menjadi
populis dan efektif.
II-15
Disamping beberapa asas tersebut, dalam kerangka
pembentukan peraturan daerah dibentuk berdasarkan beberapa asas
sebagai berikut :
1. Asas Tata Susunan Peraturan Daerah (lex superior derogate lex
inferiori) yaitu peraturan daerah yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan daerah yang lebih tinggi. Dalam hal
ini, penyusunan Raperda tidak bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi.
2. Asas lex specialis derogate lex generalis : peraturan daerah yang
lebih khusus mengesampingkan peraturan daerah yang lebih umum.
3. Asas lex posterior derogate lex priori : peraturan daerah yang
lahir kemudian mengenyampingkan peraturan daerah yang lahir
terlebih dahulu jika materi yang diatur peraturan daerah tersebut
sama.
4. Asas Keadilan: setiap peraturan daerah harus mencerminkan
keadilan bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
5. Asas Kepastian hukum: setiap peraturan daerah harus dapat
menjamin kepastian hukum dalam upaya menciptakan ketertiban
dalam masyarakat.
6. Asas Pengayoman: setiap peraturan daerah harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
7. Asas Mengutamakan Kepentingan Umum: dalam peraturan daerah
harus memperhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan
dengan mengutamakan kepentingan umum.
8. Asas Kebhinekatunggalikaan: materi muatan peraturan daerah
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah,sistem nilai masyarakat daerah,
khususnya yang menyangkut masalah-masalah yang sensitif dalam
kehidupan masyarakat.
Selain asas-asas diatas, perlu diperhatikan juga beberapa
ketentuan yang biasanya terdapat dalam penyusunan peraturan
daerah:
II-16
1. Ketentuan Pidana perlu memperhatikan asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, asas
praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
2. Ketentuan Perdata perlu memperhatikan beberapa asas yang lazim
ada seperti asas terbuka dan kebebasan berkontrak, asas
kesepakatan dalam perjanjian berlaku, asas perjanjian yang berlaku
seperti undang-undang misalnya perjanjian internasional (pacta sunt
servanda), asas kesepakatan dalam perjanjian, asas itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian.
2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta
Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan, telah
diidentifikasi permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam praktik
penyelenggaraan perizinan bangunan di Kabupaten Boyolali. Praktik
penyelenggaraan selama ini mengalami kesulitan di lapangan karena
adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Berikut ini
adalah beberapa praktik dan permasalahan yang telah diidentifikasi
berdasarkan data empiris.
a. Tersebarnya dasar hukum Perda yang terkait IMB di Kabupaten
Boyolali
Permasalahan pokok dalam perizinan bangunan di Kabupaten
Boyolali adalah tersebarnya dasar hukum terkait perizinan bangunan
antara Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung serta Peraturan
Daerah yang mengatur IMB dalam beberapa Perda. Kabupaten
Boyolali telah memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor
10 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung. Perda No. 10 Tahun 2012
juga mengatur dengan cukup spesifik perihal penerbitan IMB (Pasal
15 - Pasal 20).
Sebelumnya IMB diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan tertentu juncto
II-17
Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 21 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Retribusi Perizinan Tertentu. Hal ini menimbulkan perizinan
bangunan di Kabupaten Boyolali tidak didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang tersusun secara sistematis, melainkan
pada peraturan perundang-undangan yang tersebar dan saling
tumpang tindih. Hal ini berdampak pada praktik penerbitan IMB,
pimpinan SKPD yang terkait, dalam hal ini Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Boyolali, seringkali
harus membuat kebijakan secara kasuistis ketika muncul
permasalahan.
b. Praktik pembatalan permohonan IMB
Seringkali pemohon melakukan pembatalan permohonan IMB oleh
pemohon ketika retribusi sudah dibayar. Jika mengacu pada Pasal 12
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (Permendagri No. 32
Tahun 2010), Bupati/Walikota menerbitkan IMB paling lambat 7
(tujuh) hari sejak tanda bukti pembayaran retribusi IMB diterima.
Oleh karena itu penerbitan IMB setelah pembayaran retribusi IMB
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Namun Perda yang sudah ada saat ini tidak mengatur mekanisme
yang harus ditempuh ketika permohonan IMB dibatalkan oleh
pemohon ketika retribusi justru sudah dibayar. Pembatalan tersebut
akan menyulitkan bagi Pemerintah Kabupaten Boyolali karena
retribusi yang sudah dibayar tidak dapat dikembalikan kepada
pemohon. Di sisi lain, pemohon akan merasa dirugikan. Oleh sebab
itu perlu kepastian hukum terhadap permasalahan ini berupa
pengaturan secara tegas dan juga kejelasan pengaturan batas waktu
pembatalan permohonan IMB. Kejelasan pengaturan batas waktu
pembatalan tersebut akan berdampak bagi pemohon sehingga
permohonan yang diajukan nantinya telah dipertimbangkan terlebih
dahulu oleh pemohon.
II-18
c. Keringanan retribusi sudah diatur tetapi tidak diatur batasannya
Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor
13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan tertentu juncto Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 21 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang
Retribusi Perizinan Tertentu, Bupati dapat memberikan keringanan,
pengurangan, atau pembebasan retribusi atas permohonan wajib
retribusi.. Namun tidak diatur secara jelas batasan bagi Bupati untuk
memberikan pembebasan atau pengurangan retribusi. Hal ini karena
Peraturan Bupati tentang Tata cara pemberian keringanan,
pengurangan dan pembebasan retribusi belum ada.
Jika mengacu pada Pasal 23 Permendagri No. 32 Tahun 2010,
Bupati/Walikota dapat memberikan keringanan retribusi IMB
berdasarkan kriteria bangunan fungsi sosial dan budaya serta
bangunan fungsi hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Selain itu Bupati/Walikota dapat memberikan pembebasan retribusi
IMB berdasarkan kriteria fungsi keagamaan dan bangunan bukan
gedung sebagai sarana dan prasarana umum yang tidak komersial.
Pengaturan dalam Permendagri No. 32 Tahun 2010 menunjukkan
bahwa daerah diberikan wewenang untuk mengatur lebih rinci
perihal pembebasan dan keringanan dengan tetap mengacu pada
kriteria tersebut.
Oleh karena itu perlu pengaturan yang lebih detil terkait pembebasan
dan pengurangan retribusi tetapi lebih tepat jika diatur dalam
Peraturan Bupati sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 32 Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi
Perizinan tertentu juncto Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali
Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
Pengaturan tersebut idealnya tetap mengacu pada kriteria yang telah
diatur dalam Permendagri No. 32 Tahun 2010.
II-19
2.4. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Undang-
Undang Atau Peraturan Daerah Terhadap Aspek Beban Keuangan
Negara.
Pengaturan Perda tentang Izin Mendirikan Bangunan
Kabupaten Boyolali, secara umum berimplikasi meningkatnya beban
keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Boyolali. Penambahan beban
keuangan daerah ini disebabkan karena dalam Perda tersebut diatur
berbagai ketentuan tentang aktivitas/kegiatan Perangkat Daeah (PD)
Pemerintah Kabupaten Boyolali yang mengatur tentang pelaksanaan
kebijakan, pengelolaan, pengawasan dan penegakan Perda yang
kesemuanya berkonsekuensi pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Boyolali, terutama untuk :
a. Penyusunan peraturan pelaksanaanya dalam bentuk Peraturan
Bupati yang terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan Kabupaten
Boyolali,
b. Penyelenggaraan sosialisasi kepada segenap pemangku kepentingan
(stakeholders) pembangunan yang menangani perizinan meendirikan
bangunan. Dalam penyeleenggaraan ini PD dapat bekerjasama
dengan media massa, baik radio, televisi dan media cetak lainnya
agar Raperda Izin Mendirikan Bangunan Kabupaten Boyolali
terlaksana dengan baik.
c. Program dan kegiatan yang dirancang untuk pelaksanaan
penyelenggaraan perizinan mendirikan bangunan.
IV-1
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS
DAN YURIDIS
4.1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan argumentasi yang
memberikan dasar bahwa peraturan yang disusun telah
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang menggambarkan suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia. Gambaran suasana kebatinan dan falsafah bangsa
Indonesia bersumber pada Pancasila dan Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19451.
Penyusunan Raperda Izin Mendirikan Bangunan di
Kabupaten Boyolali memperhatikan mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Landasan Filosofis yang dianut dalam penyusunan Raperda
Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Boyolali adalah sebagai
berikut:
a. Setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan
kenegaraan di KAbupaten Boyolali harus berdasarkan nilai-nilai
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan,
sebagaimana tercantum dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila itu
menjadi landasan, dasar serta motivasi atas segala perbuatan
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
kenegaraan. Secara ringkas nilai-nilai Pancasila yang harus
diwujudkan adalah sebagai berikut:
1) Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, terkandung nilai
bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan
tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
1Lampiran UU Nomor 12 tahun 2011.
IV-2
2) Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
terkandung nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab.
3) Sila ketiga: Persatuan Indonesia, terkandung nilai bahwa
negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia
monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama
di antara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa
suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama.
4) Sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
terkandung nilai bahwa hakikat negara adalah sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial. Hakikat rakyat merupakan sekelompok
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang
bersatu dan bertujuan mewujudkan harkat dan martabat
manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat merupakan
subjek pendukung pokok negara. Negara adalah dari, oleh dan
untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat merupakan asal mula
kekuasaan negara.
5) Sila kelima: Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
terkandung nilai bahwa tujuan negara adalah tujuan dalam
hidup bersama yakni di dalamnya harus ada nilai keadilan
yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan
sosial).
b. Cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu, berdaulat, adil,
dan makmur;
c. Tujuan nasional dengan dibentuknya pemerintahan sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
IV-3
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia;
d. Tugas pokok setelah kemerdekaan adalah menjaga kemerdekaan
serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan
demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan;
4.2. Landasan Sosiologis
Peraturan Daerah harus mempunyai landasan sosiologis, atau
keberlakuan faktual yaitu ‘kebutuhan dan aspirasi ril masyarakat’,
yang mendasari mengapa Peraturan Daerah mengenai hal tertentu
harus dibentuk dalam suatu Daerah.
Landasan sosiologis (sociologiche gelding) dapat diartikan
pencerminan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dengan
harapan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan daerah
didalamnya) tersebut akan diterima oleh masyarakat secara wajar
bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima
secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu
banyak memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya.
Dasar sosiologis dari peraturan daerah adalah kenyataan yang
hidup dalam masyarakat (living law) harus termasuk pula
kecenderungan-kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat.
Tanpa memasukan faktor-faktor kecenderungan dan harapan, maka
peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam seketika
(moment opname). Keadaan seperti ini akan menyebabkan
kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika
masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi
konservatif karena seolah-olah pengukuhan kenyataan yang ada. Hal
ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan
yang diharapkan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh negara dengan
harapan dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara
IV-4
sadar tanpa kecuali. Harapan seperti ini menimbulkan konsekuensi
bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
secara lebih seksama setiap gejala sosial masyarakat yang
berkembang. Terdapat perbedaan anatara hukum positif di satu
pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di
pihak lain. Oleh karena itu hukum posistif akan memiliki daya
berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut, maka peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif akan mempunyai daya
berlaku jika dirumuskan ataupun disusun bersumber pada living law
tersebut. Dalam kondisi yang demikian maka peraturan perundang-
undangan tidak mungkin dilepaskan dari gejala sosial yang ada di
dalam masyarakat tadi.
Berdasarkan pemahaman teori tersebut, maka pengaturan
perizinan bangunan sebagaimana diatur dalam Raperda Izin
Mendirikan Bangunan memiliki landasan sosiologis. Landasan
sosiologis adanya pengaturan Izin Mendirikan Bangunan yaitu
perlunya perizinan bangunan yang dapat:2
a. Mewujudkan pengawasan, pengendalian, dan penertiban
bangunan.
b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin
keandalan bangunan dari segi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan.
c. Mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata
bangunan dan serasi dengan lingkungannya.
Landasan sosiologis tersebut memperlihatkan adanya
kontribusi atau dampak dari perizinan bangunan terhadap
lingkungan, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan hidup
lainnya. Agar perizinan bangunan dapat menjamin ketertiban
pendirian bangunan sehingga terwujud sesuai dengan fungsinya,
diperlukan peran masyarakat dan upaya pembinaan.
2 Mengacu pada Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 32 Tahun 2010.
IV-5
4.3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan di
Kabupaten Boyolali diperlukan untuk memberikan kepastian hukum
terhadap perizinan mendirikn bangunan di Kabupaten Boyolali.
Landasan hukum yang menjadi dasar peraturan perundangan
dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan di Kabupaten Boyolali, sebagai berikut :
a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah Sebagaimana Telah Diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun
2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
IV-6
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung
VI - 1
BAB VI P E N U T U P
6.1 Kesimpulan
a) Untuk memenuhi aspirasi, kebutuhan masyarakat dan dunia usaha akan
pelayanan publik yang prima serta dengan diundangkannya Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor
05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan, maka Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali sebagaimana tersebut di atas sudah tidak
sesuai lagi sehingga perlu diganti. Oleh karena itu dipandang perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan.
b) Peraturan Daerah ini mengatur ketentuan-ketentuan mengenai fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung, pemberian IMB, persyaratan permohonan
penerbitan IMB, tata cara penyelenggaraan IMB, retribusi IMB, dokumen
IMB, pembinaan, peran pemerintah daerah dan masyarakat, sanksi
administratif dan pelaporan.
c) Pengaturan fungsi bangunan gedung dimaksudkan agar bangunan
gedung maupun prasarana dan sarana bangunan gedung yang didirikan
sejak awal telah ditetapkan fungsinya sehingga masyarakat yang akan
mendirikan dapat memenuhi persyaratan administratif maupun teknis.
Fungsi dimaksud harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
dan/atau Rencana Detil Tata Ruang Kabupaten Boyolali.
d) Pengaturan persyaratan administratif dimaksudkan agar masyarakat
mengetahui lebih rinci persyaratan administratif yang diperlukan untuk
mendirikan bangunan gedung, baik dari kejelasan status tanahnya,
kejelasan status kepemilikan bangunan gedung maupun kepastian
hukum bahwa bangunan gedung maupun prasarana dan sarana
bangunan gedung telah memperoleh persetujuan dari pemerintah darah
dalam bentuk Izin Mendirikan Bangunan. Kejelasan hak atas tanah
adalah persyaratan mutlak dalam mendirikan bangunan gedung maupun
VI - 2
prasarana dan sarana bangunan gedung, meskipun dalam peraturan
daerah ini dimungkinkan adalanya bangunan gedung yang didirikan di
atas tanah milik orang lain/pihak lain dengan perjanjian.
e) Pengaturan bangunan gedung serta prasarana dan saranan bangunan
gedung dilandasi oleh azas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan
keserasian bangunan gedung dan lingkungannya bagi masyarakat yang
berperikemanusiaan dan berkeadilan. Oleh karena itu masyarakat
diupayakan untuk terlibat dan berperan aktif, positif, konstruktif dan
bersinergi bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan
bangunan gedung untuk kepentingan sendiri, tetapi juga dalam
meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib
penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.
f) Pokok Elaborasi teori penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan
sebagai suatu proses kegiatan atau proses pengaturan mulai dari
penerimaan, pencatatan, penyimpanan dengan menggunakan sistem
tertentu, menemukan kembali dengan cepat dan tepat,
penggunaan, pemeliharaan, penyusutan dan pemusnahan arsip. Ada
beberapa prinsip yang perlu diketahui dalam manajemen arsip, yakni:
penyediaan arsip yang benar, pelayanan arsip secara tepat, penyajian
informasi yang dapat disajikan secara tepat dan lengkap, serta
penggunaan biaya yang dapat dipertanggung jawabkan.
6.2 Saran
1. Sesuai dengan Program Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Boyolali Tahun 2018, agar Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan yang telah disusun Naskah Akademik dan Lampiran
Rancangan Peraturan Daerahnya, segera dilakukan pembahasan bersama
antara Bupati dengan DPRD.
VI - 3
2. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan untuk
mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik dan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan lebih
lanjut melalui kegiatan seperti sosialisasi dan dengar pendapat dalam
rangka konsultasi publik dengan pihak terkait, baik pemaduserasian
dengan instansi pemerintah terkait maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan Perguruan Tinggi (PT) yang ada di Kabupaten Boyolali.
III-1
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BERKAITAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan sangat penting
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolai tentang Izin Mendirikan
Bangunan. Melalui evaluasi dan analisis ini akan menunjukan:
Pertama, kejelasan kewenangan dari pembuat peraturan perundang-
undangan. Dalam konteks Peraturan Daerah Kabupaten Boyolai, kewenangan
yang dimiliki pemerintahan daerah Kabupaten Boyolai mendasarkan kepada
ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan: pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan.
Kedua, kesesuaian jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang
diatur, dalam hubungan ini adanya perintah oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
Ketiga, penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah
sesuai dengan teknik penyusunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 57 Undang-Undang ini menyatakan bahwa penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolai dilakukan sesuai
dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. Kemudian Pasal 64 Undang-
Undang tersebut menyatakan penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-
undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan yang menjadi lampiran sebagai bagian tak terpisahkan dari
undang-undang ini.
III-2
Keempat, perlunya harmonisasi baik secara horizontal maupun vertikal sesuai
dengan tata urutan peraturan perundanggan-undangan yang dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tertata pada Pasal 7 ayat (1) yang
menyebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kelima, evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan juga diperlukan
untuk menggambarkan kebutuhan hukum posistif seperti Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Beberapa Peraturan Perundang-undangan terkait dengan pembentukan
Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
a. Pasal 1 menetapkan :
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air,
yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,
baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
2. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan
konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan
pembongkaran.
3. Pemanfaatan bangunan gedung adalah kegiatan memanfaatkan
bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan,
III-3
termasuk kegiatan pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan
secara berkala.
4. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan
gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
5. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti
bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau
prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
6. Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan
seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan
bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya dalam tenggang
waktu tertentu guna menyatakan kelaikan fungsi bangunan
gedung.
7. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta
pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk
mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan
aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang
dikehendaki.
8. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan
seluruh atau sebagian bangunan gedung, komponen, bahan
bangunan, dan/atau prasarana dan sarananya.
9. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok
orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai
pemilik bangunan gedung.
10. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung
dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepa-
katan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan
dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan
gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
III-4
b. Pasal 5 mengatur :
(1) Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan,
usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus.
(2) Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah
tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
(3) Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
(4) Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
(5) Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan
umum.
(6) Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi
pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan
oleh menteri.
(7) Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
c. Pasal 6 mengatur :
(1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin
mendirikan bangunan.
III-5
d. Pasal 39 menetapkan :
Bangunan gedung dapat dibongkar apabila :
a. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
b. dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung
dan/atau lingkungannya;
c. tidak memiliki izin mendirikan bangunan.
e. Pasal 40 ayat (2) menetapkan :
Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung
mempunyai kewajiban:
a. menyediakan rencana teknis bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya;
b. memiliki izin mendirikan bangunan (IMB);
c. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan
rencana teknis yang telah disahkan dan dilakukan dalam batas
waktu berlakunya izin mendirikan bangunan;
a. meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas perubahan
rencana teknis bangunan gedung yang terjadi pada tahap
pelaksanaan bangunan.
f. Pasal 44 menetapkan :
Setiap pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban
pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
g. Pasal 45 menetapkan :
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan
pembangunan;
III-6
d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan
gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung.
(2) Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah
dibangun.
(3) Jenis pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) ditentukan oleh berat dan ringannya pelanggaran yang
dilakukan.
h. Pasal 48 menetapkan :
(1) Peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung yang
telah ada dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini,
dinyatakan tetap berlaku sampai diadakan peraturan pelaksanaan
yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Bangunan gedung yang telah memperoleh perizinan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah sebelum berlakunya undang-
undang ini izinnya dinyatakan masih tetap berlaku.
(3) Bangunan gedung yang telah berdiri, tetapi belum memiliki izin
mendirikan bangunan pada saat undang-undang ini diberlakukan,
untuk memperoleh izin mendirikan bangunan harus mendapatkan
sertifikat laik fungsi berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
III-7
a. Pasal 12 ayat (1) menetapkan :
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
b. Urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum khususnya sub urusan
Bangunan Gedung, dan Penataan Bangunan dan Lingkungannya yang
menjadi kewenangan Kabupaten/Kota meliputi :
a. Penyelenggaraan bangunan gedung di wilayah Daerah
kabupaten/kota, termasuk pemberian izin mendirikan bangunan
(IMB) dan sertifikat laik fungsi bangunan gedung.
b. Penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungannya di Daerah
kabupaten/kota.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung.
a. Pasal 1 angka 6 menetapkan :
Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau
merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif
dan persyaratan teknis yang berlaku.
b. Pasal 1 angka 7 menetapkan :
Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan
yang dilakukan pemilik bangunan gedung kepada pemerintah daerah
untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung.
III-8
c. Pasal 8 mengatur :
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi
bangunan gedung.
(2) Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari
pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung.
(3) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata
bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
(4) Persyaratan administratif dan persyaratan teknis untuk bangunan
gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung
darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi
bencana ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kondisi sosial
dan budaya setempat.
d. Dalam Pasal 14 mengatur:
(1) Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib
memiliki izin mendirikan bangunan gedung.
(2) Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah, kecuali bangunan
gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melalui proses
permohonan izin mendirikan bangunan gedung.
(3) Pemerintah daerah wajib memberikan surat keterangan rencana
kabupaten/kota untuk lokasi yang bersangkutan kepada setiap
orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan
bangunan gedung.
(4) Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan ketentuan yang berlaku untuk
lokasi yang bersangkutan dan berisi:
III-9
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi
bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan
tanah dan KTB yang diizinkan;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung
yang diizinkan;
e. KDB maksimum yang diizinkan;
f. KLB maksimum yang diizinkan;
g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KTB maksimum yang diizinkan; dan
i. jaringan utilitas kota.
(5) Dalam surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat juga dicantumkan ketentuan-
ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan.
(6) Keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5), digunakan sebagai dasar penyusunan
rencana teknis bangunan gedung.
e. Pasal 15 mengatur :
(1) Setiap orang dalam mengajukan permohonan izin mendirikan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
wajib melengkapi dengan:
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda
bukti perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. data pemilik bangunan gedung;
c. rencana teknis bangunan gedung; dan
d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan
gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
III-10
(2) Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus mendapat pertimbangan
teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan
mempertimbangkan pendapat publik.
(3) Permohonan izin mendirikan bangunan gedung yang telah
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
disetujui dan disahkan oleh bupati/walikota, kecuali untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta oleh Gubernur, untuk bangunan
gedung fungsi khusus oleh Pemerintah dalam bentuk izin
mendirikan bangunan gedung.
(4) Izin mendirikan bangunan gedung merupakan prasyarat untuk
mendapatkan pelayanan utilitas umum kabupaten/kota.
f. Pasal 112 ayat (1) menetapkan :
Pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
penerapan peraturan daerah di bidang bangunan gedung melalui
mekanisme penerbitan izin mendirikan bangunan gedung dan sertifikasi
kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat persetujuan dan
penetapan pembongkaran bangunan gedung.
g. Pasal 113 ayat (1) menetapkan :
Pemilik dan/atau pengguna yang melanggar ketentuan Peraturan
Pemerintah ini dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan
pembangunan;
d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan
gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
III-11
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Izin
Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan.
a. Pasal 1 menetapkan :
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksudkan dengan:
1. Bangunan adalah bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
2. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air,
yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,
baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan,
kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
3. Bangunan bukan gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil
pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah
dan/atau air, yang tidak digunakan untuk tempat hunian atau
tempat tinggal.
4. Klasifikasi bangunan gedung adalah sebagai dasar penggolongan
bangunan gedung terhadap tingkat kompleksitas, tingkat
permanensi, tingkat risiko kebakaran, tingkat zonasi gempa, lokasi,
ketinggian bangunan, dan kepemilikan bangunan dari fungsi
bangunan gedung sebagai dasar pemenuhan persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis.
5. Izin mendirikan bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB, adalah
perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemohon
untuk membangun baru, rehabilitasi/renovasi, dan/atau memugar
dalam rangka melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
6. Pemohon adalah setiap orang, badan hukum atau usaha, kelompok
orang, dan lembaga atau organisasi yang mengajukan permohonan
III-12
izin mendirikan bangunan kepada pemerintah daerah, dan untuk
bangunan gedung fungsi khusus kepada Pemerintah.
7. Pemilik bangunan adalah setiap orang, badan hukum atau usaha,
kelompok orang, dan lembaga atau organisasi yang menurut
hukum sah sebagai pemilik bangunan.
8. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, yang selanjutnya disingkat
RDTRK, adalah penjabaran rencana tata ruang wilayah
kabupaten/kota ke dalam rencana pemanfaatan kawasan, yang
memuat zonasi atau blok alokasi pemanfaatan ruang (block plan).
9. Rencana Teknik Ruang Kawasan, yang selanjutnya disingkat RTRK,
adalah rencana tata ruang setiap blok kawasan yang memuat
rencana tapak atau tata letak dan tata bangunan beserta prasarana
dan sarana lingkungan serta utilitas umum.
10. Rencana tata bangunan dan lingkungan, yang selanjutnya disingkat
RTBL, adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan
rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana,
dan pedoman pengendalian pelaksanaan.
11. Keterangan rencana kabupaten/kota adalah informasi tentang
persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota pada lokasi tertentu.
12. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah
pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
13. Pembekuan adalah pemberhentian sementara atas IMB akibat
penyimpangan dalam pelaksanaan pembangunan gedung.
14. Pencabutan adalah tindakan akhir yang dilakukan setelah
pembekuan IMB.
III-13
b. Pasal 2 mengatur :
Pemberian IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip:
a. prosedur yang sederhana, mudah, dan aplikatif;
b. pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu;
c. keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha; dan
d. aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan,
keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan.
c. Pasal 3 mengatur :
(1) Bupati/Walikota memanfaatkan pemberian IMB untuk:
a. pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang
menjaminkeandalan bangunan dari segi keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dankemudahan;
c. mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata
bangunandan serasi dengan lingkungannya; dan
d. syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan.
(2) Pemilik IMB mendapat manfaat untuk:
a. pengajuan sertifikat laik jaminan fungsi bangunan; dan
b. memperoleh pelayanan utilitas umum seperti
pemasangan/penambahan jaringan listrik, air minum,
hydrant, telepon, dan gas.
d. Pasal 4 menetapkan :
Bupati/Walikota dalam menyelenggarakan pemberian IMB berdasarkan
pada:
a. Peraturan daerah tentang izin mendirikan bangunan; dan
b. RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK.
e. Pasal 6 mengatur :
(1) Pemohon mengajukan permohonan IMB kepada Bupati/Walikota.
(2) Permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung; atau
b. bangunan bukan gedung.
III-14
(3) IMB bangunan gedung atau bangunan bukan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa pembangunan baru,
merehabilitasi/renovasi, atau pelestarian/pemugaran.
f. Pasal 8 menetapkan :
Bangunan bukan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) huruf b terdiri atas:
a. pelataran untuk parkir, lapangan tenis, lapangan basket, lapangan
golf, dan lain-lain sejenisnya;
b. pondasi, pondasi tangki, dan lain-lain sejenisnya;
c. pagar tembok/besi dan tanggul/turap, dan lain-lain sejenisnya;
d. septic tank/bak penampungan bekas air kotor, dan lain-lain
sejenisnya;
e. sumur resapan, dan lain-lain sejenisnya;
f. teras tidak beratap atau tempat pencucian, dan lain-lain sejenisnya;
g. dinding penahan tanah, dan lain-lain sejenisnya;
h. jembatan penyeberangan orang, jembatan jalan perumahan, dan
lain-lain sejenisnya;
i. penanaman tangki, landasan tangki, bangunan pengolahan air,
gardu listrik, gardu telepon, menara, tiang listrik/telepon, dan lain-
lain sejenisnya;
j. kolam renang, kolam ikan air deras, dan lain-lain sejenisnya; dan
k. gapura, patung, bangunan reklame, monumen, dan lain-lain
sejenisnya.
g. Pasal 22 mengatur :
(1) Retribusi pelayanan pemberian IMB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) merupakan retribusi golongan perizinan tertentu.
(2) Retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
pada setiap bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
(3) Pemberian IMB untuk bangunan milik Pemerintah atau
pemerintah daerah tidak dikenakan retribusi.
III-15
(4) Retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan daerah.
h. Pasal 25 mengatur :
(1) Pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan
bangunan dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang
membidangi perizinan dan/atau pengawasan.
(2) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pemeriksaan fungsi bangunan, persyaratan teknis
bangunan, dan keandalan bangunan.
(3) Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi peninjauan lokasi, pengecekan informasi atas pengaduan
masyarakat, dan pengenaan sanksi.
5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor
05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan, sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan
Perumahan Rakyat Nomor 06/PRT/M/2017 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor
05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan Bangunan.
a. Pasal 1 menetapkan :
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat IMB
adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kecuali
untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada
pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung
sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku.
III-16
2. IMB bertahap adalah IMB yang diberikan secara bertahap oleh
pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun bangunan gedung baru.
3. IMB pondasi adalah bagian dari IMB bertahap yang diberikan oleh
pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun konstruksi pondasi bangunan gedung, yang merupakan
satu kesatuan dokumen IMB.
4. Permohonan IMB adalah permohonan yang dilakukan pemilik
bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan
IMB.
5. Bangunan gedung sederhana adalah bangunan gedung dengan
karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi
sederhana.
6. Bangunan gedung tidak sederhana adalah bangunan gedung dengan
karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan/atau
teknologi tidak sederhana.
7. Bangunan gedung khusus adalah bangunan gedung yang memiliki
penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya memerlukan penyelesaian atau teknologi khusus.
8. Bangunan gedung untuk kepentingan umum adalah bangunan
gedung yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa
fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun sosial dan budaya.
9. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan
gedung sebagai dasar pemenuhan tingkat persyaratan administratif
dan persyaratan teknisnya.
10. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan
III-17
konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan
pembongkaran bangunan gedung.
11. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung
beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik
fungsi.
12. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian
bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau
prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
13. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/ atau
teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
14. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta
pemeliharaan bangunan gedung dan lingkungannya untuk
mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya
atau sesuai dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.
15. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disingkat
RTRW Nasional adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah
Nasional yang telah ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
16. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat
RTRW Provinsi adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah Provinsi
yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
17. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota yang selanjutnya
disingkat RTRW kabupaten/kota adalah hasil perencanaan tata
ruang wilayah kabupaten/kota yang telah ditetapkan dengan
peraturan daerah kabupaten/kota.
III-18
18. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah
penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota ke
dalam rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.
19. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan
disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan
zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
20. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat
RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan,
rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman
pengendalian pelaksanaan.
21. Keterangan Rencana Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat
KRK adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan
lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten/kota
pada lokasi tertentu.
22. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar
bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana
tata bangunan dan lingkungan.
23. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan
gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan
lingkungan.
III-19
24. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka
di luar bangunan gedung yang diperuntukkan bagi
pertamanan/penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana
tata bangunan dan lingkungan.
25. Koefisien Tapak Basement yang selanjutnya disingkat KTB adalah
angka persentase perbandingan antara luas tapak basement dan
luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan
lingkungan.
26. Dokumen Rencana Teknis adalah gambar teknis bangunan gedung
dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana,
pengembangan rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri
atas: rencana arsitektur, rencana struktur, rencana utilitas, serta
rencana spesifikasi teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan
teknis pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
27. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan
Gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan
pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran
bangunan gedung.
28. Penilaian Dokumen Rencana Teknis adalah evaluasi terhadap
pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek
lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.
29. Persetujuan Rencana Teknis adalah pernyataan tertulis tentang telah
dipenuhinya seluruh persyaratan dalam rencana teknis bangunan
gedung yang telah dinilai.
III-20
30. Pengesahan Dokumen Rencana Teknis adalah pernyataan hukum
dalam bentuk pembubuhan tanda tangan pejabat yang berwenang
serta stempel atau cap resmi, yang menyatakan kelayakan dokumen
yang dimaksud dalam persetujuan tertulis atas pemenuhan seluruh
persyaratan dalam rencana teknis bangunan gedung dalam bentuk
izin mendirikan bangunan gedung.
31. Pemohon adalah orang atau badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan yang mengajukan permohonan IMB kepada
pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi untuk DKI
Jakarta.
32. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok
orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik
bangunan gedung.
33. Perencana Konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau
badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang
perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan
dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
34. Tim Ahli Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat TABG adalah
tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan
bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam
proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan
terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian
masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan
anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan
kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.
35. Retribusi IMB adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian IMB yang disediakan dan/ atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan
yang meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan
III-21
pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana
teknis bangunan dan rencana tata ruang, dengan tetap
memperhatikan koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien luas
bangunan (KLB), koefisien ketinggian bangunan (KKB), dan
pengawasan penggunaan bangunan yang meliputi pemeriksaan
dalam rangka memenuhi syarat keselamatan bagi yang menempati
bangunan tersebut.
36. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha
dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan
gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli,
yang berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
37. Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah bagian
wilayah dari Daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat.
38. Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat PTSP
adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses
dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian
produk pelayanan melalui satu pintu.
39. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
40. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah otonom.
41. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
III-22
b. Pasal 2 menetapkan :
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman
penyelenggaraan IMB bagi Pemerintah Daerah.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk:
a. mewujudkan bangunan gedung yang memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai
dengan fungsi dan tata ruang, yang diselenggarakan secara
tertib untuk menjamin keandalan teknis bangunan gedung; dan
b. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan IMB.
c. Pasal 3 menetapkan :
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a. persyaratan permohonan penerbitan IMB;
b. tata cara penyelenggaraan IMB;
c. retribusi IMB;
d. dokumen IMB; dan
e. pembinaan.
d. Pasal 4 mengatur :
(1) Pembagian fungsi bangunan gedung meliputi:
a. fungsi hunian;
b. fungsi keagamaan;
c. fungsi usaha;
d. fungsi sosial budaya; dan
e. fungsi khusus.
(2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat memiliki lebih dari 1 (satu) fungsi.
(3) Bangunan gedung didirikan sesuai dengan ketentuan dalam RTRW
Nasional, RTRW provinsi, RTRW kabupaten/kota, RDTR/Penetapan
Zonasi kabupaten/kota, dan/atau RTBL.
e. Pasal 6 mengatur :
(1) Klasifikasi bangunan gedung ditentukan berdasarkan:
III-23
a. tingkat kompleksitas;
b. tingkat permanensi;
c. tingkat risiko kebakaran;
d. zonasi gempa;
e. lokasi;
f. ketinggian; dan
g. kepemilikan.
(2) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat kompleksitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. bangunan gedung sederhana;
b. bangunan gedung tidak sederhana; dan
c. bangunan gedung khusus.
(3) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat permanensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. bangunan gedung darurat atau sementara;
b. bangunan gedung semi permanen; dan
c. bangunan gedung permanen.
(4) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat risiko
kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. bangunan gedung tingkat risiko kebakaran rendah;
b. bangunan gedung tingkat risiko kebakaran sedang; dan
c. bangunan gedung tingkat risiko kebakaran tinggi.
(5) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan zonasi gempa,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan
berdasarkan percepatan puncak batuan dasar meliputi:
a. zona < 0,05 g;
b. zona 0,05 – 0.1 g;
c. zona 0,1 – 0.15 g;
d. zona 0,15 – 0.2 g;
e. zona 0,2 – 0.25 g;
f. zona 0,25 – 0.3 g;
III-24
g. zona 0,3 – 0.4 g;
h. zona 0,4 – 0,5 g;
i. zona 0,5 – 0,6 g;
j. zona 0,6 – 0,7 g;
k. zona 0,7 – 0,8 g;
l. zona 0,8 – 0,9 g;
m. zona 0,9 – 1,0 g;
n. zona 1,0– 1,2 g;
o. zona 1,2 – 1,5 g;
p. zona 1,5 – 2,0 g; dan
q. zona > 2,0 g.
(6) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. bangunan gedung di lokasi padat;
b. bangunan gedung di lokasi sedang; dan
c. bangunan gedung di lokasi renggang.
(7) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan ketinggian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi:
a. bangunan gedung bertingkat tinggi;
b. bangunan gedung bertingkat sedang; dan
c. bangunan gedung bertingkat rendah.
(8) Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
a. bangunan gedung milik negara;
b. bangunan gedung milik badan usaha; dan
c. bangunan gedung milik perorangan.
f. Pasal 7 mengatur :
(1) Klasifikasi bangunan gedung untuk penyelenggaraan IMB
ditentukan berdasarkan kompleksitas bangunan gedung yang
meliputi:
a. bangunan gedung sederhana;
III-25
b. bangunan gedung tidak sederhana; dan
c. bangunan gedung khusus.
(2) Bangunan gedung sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:
a. bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai; dan
b. bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai.
(3) Bangunan gedung tidak sederhana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk kepentingan
umum; dan
b. bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum.
g. Pasal 8 menetakan :
Persyaratan permohonan penerbitan IMB meliputi:
a. persyaratan administratif; dan
b. persyaratan teknis.
h. Pasal 9 mengatur :
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum termasuk instansi
pemerintah yang mengajukan permohonan IMB harus memenuhi
seluruh persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam pengajuan permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemerintah daerah harus:
a. melayani permohonan IMB sesuai dengan ketentuan di dalam
Peraturan Menteri ini; dan
b. menyampaikan persyaratan permohonan IMB dengan jelas.
i. Pasal 10 mengatur :
(1) Persyaratan administratif meliputi:
a. data pemohon;
b. data tanah; dan
c. dokumen dan surat terkait.
III-26
(2) Data pemohon dan data tanah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b berlaku sama untuk bangunan gedung
sederhana, tidak sederhana, dan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
j. Pasal 11 mengatur :
(1) Data pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a terdiri dari:
a. formulir data pemohon; dan
b. dokumen identitas pemohon.
(2) Formulir data pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a memuat informasi paling sedikit:
a. nama pemohon;
b. alamat pemohon; dan
c. status hak atas tanah.
(3) Dokumen identitas pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berupa:
a. fotokopi KTP pemohon atau identitas lainnya; dan
b. surat kuasa dari pemilik bangunan dalam hal pemohon bukan
pemilik bangunan.
k. Pasal 12 mengatur :
(1) Data tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf
b paling sedikit memuat:
a. surat bukti status hak atas tanah yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah dan/atau pejabat lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan;
b. data kondisi atau situasi tanah yang merupakan data teknis
tanah; dan
c. surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa.
(2) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemegang hak atas
tanah, harus disertakan surat perjanjian pemanfaatan atau
III-27
penggunaan tanah yang merupakan perjanjian tertulis antara
pemilik bangunan gedung dengan pemegang hak atas tanah.
l. Pasal 13 mengatur :
(1) Dokumen dan surat terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf c untuk bangunan gedung sederhana 1 (satu)
lantai terdiri dari:
a. fotokopi KRK; dan
b. formulir terkait.
(2) Formulir terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
antara lain:
a. surat pernyataan untuk mengikuti ketentuan dalam KRK;
b. surat pernyataan menggunakan persyaratan pokok tahan
gempa; dan
c. surat pernyataan menggunakan desain prototipe.
m. Pasal 14 mengatur ;
(1) Dokumen dan surat terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf c untuk bangunan gedung sederhana 2 (dua)
lantai terdiri dari:
a. dokumen pendukung; dan
b. formulir terkait.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi:
a. fotokopi KRK; dan
b. data perencana konstruksi jika menggunakan perencana
konstruksi.
(3) Formulir terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berupa:
a. surat pernyataan untuk mengikuti ketentuan dalam KRK; dan
b. surat pernyataan menggunakan desain prototipe.
III-28
n. Pasal 15 mengatur :
(1) Dokumen dan surat terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (1) huruf c untuk bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus terdiri dari:
a. dokumen pendukung; dan
b. formulir terkait.
(2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a meliputi:
a. fotokopi KRK; dan
b. data perencana konstruksi.
(3) Formulir terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
antara lain:
a. surat pernyataan untuk mengikuti ketentuan dalam KRK;
b. surat pernyataan menggunakan perencana konstruksi
bersertifikat;
c. surat pernyataan menggunakan pelaksana konstruksi
bersertifikat; dan
d. surat pernyataan menggunakan pengawas/manajemen
konstruksi yang bertanggung jawab kepada pemohon.
o. Pasal 16 menetapkan :
Ketentuan mengenai format persyaratan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1)
huruf c, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 15 ayat (3)
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
p. Pasal 17 mengatur :
(1) Persyaratan teknis meliputi:
a. data umum bangunan gedung; dan
b. dokumen rencana teknis bangunan gedung.
(2) Data umum bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a paling sedikit memuat:
III-29
a. nama bangunan gedung;
b. alamat lokasi bangunan gedung;
c. fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung;
d. jumlah lantai bangunan gedung;
e. luas lantai dasar bangunan gedung;
f. total luas lantai bangunan gedung;
g. ketinggian bangunan gedung;
h. luas basement;
i. jumlah lantai basement; dan
j. posisi bangunan gedung.
(3) Dokumen rencana teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat:
a. rencana arsitektur;
b. rencana struktur; dan
b. rencana utilitas.
(4) Posisi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf j ditentukan berdasarkan informasi Global Positioning
System (GPS) yang diambil di titik tengah bangunan gedung.
q. Pasal 18 mengatur :
(1) Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 1 (satu)
lantai dapat disediakan sendiri oleh pemohon dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan pokok tahan gempa; dan
b. menggunakan desain prototipe bangunan gedung sederhana 1
(satu) lantai.
(2) Desain prototipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi
masing-masing daerah.
(3) Dalam hal tidak menggunakan desain prototipe sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemohon harus menyediakan
dokumen rencana teknis.
III-30
(4) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat digambar oleh:
a. perencana konstruksi; atau
b. pemohon.
(5) Dokumen rencana teknis yang digambar oleh pemohon
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dapat digambar
secara sederhana dengan informasi yang lengkap.
(6) Persyaratan pokok tahan gempa dan desain prototipe bangunan
gedung sederhana 1 (satu) lantai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
r. Pasal 19 mengatur :
(1) Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 2 (dua)
lantai disediakan oleh pemohon dengan menggunakan jasa
perencana konstruksi.
(2) Dalam hal pemohon tidak mampu menggunakan jasa perencana
konstruksi, dokumen rencana teknis disediakan sendiri oleh
pemohon dengan menggunakan desain prototipe bangunan
gedung sederhana 2 (dua) lantai.
(3) Desain prototipe bangunan gedung 2 (dua) lantai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Menteri dan/atau pemerintah
daerah.
(4) Desain prototipe yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kondisi
masing-masing daerah.
s. Pasal 20 mengatur :
(1) Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 2 (dua)
lantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 paling sedikit
memuat:
a. rencana arsitektur;
III-31
b. rencana struktur; dan
c. rencana utilitas.
(2) Rencana arsitektur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
paling sedikit memuat:
a. gambar situasi atau rencana tapak;
b. gambar denah;
c. gambar tampak; dan
d. gambar potongan.
(3) Rencana struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
paling sedikit memuat:
a. gambar rencana pondasi termasuk detailnya; dan
b. gambar rencana kolom, balok, plat dan detailnya.
(4) Rencana utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
paling sedikit memuat:
a. gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air
kotor, limbah cair, dan limbah padat;
b. gambar jaringan listrik yang terdiri dari gambar sumber,
jaringan, dan pencahayaan; dan
c. gambar pengelolaan air hujan dan sistem drainase dalam
tapak.
t. Pasal 21 menetapkan :
Dokumen rencana teknis bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus harus disediakan oleh pemohon dengan
menggunakan perencana konstruksi.
u. Pasal 22 mengatur :
(1) Dokumen rencana teknis bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
paling sedikit memuat:
a. rencana arsitektur;
b. rencana struktur; dan
c. rencana utilitas.
III-32
(2) Rencana arsitektur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
paling sedikit memuat:
a. gambar situasi atau rencana tapak;
b. gambar denah;
c. gambar tampak;
d. gambar potongan;
e. gambar detail arsitektur; dan
f. spesifikasi umum perampungan bangunan gedung.
(3) Rencana struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
paling sedikit memuat:
a. perhitungan struktur untuk bangunan gedung dengan
ketinggian mulai dari 3 (tiga) lantai, dengan bentang struktur
lebih dari 3 (tiga) meter, dan/atau memiliki basement;
b. hasil penyelidikan tanah;
c. gambar rencana pondasi termasuk detailnya;
d. gambar rencana kolom, balok, plat dan detailnya;
e. gambar rencana rangka atap, penutup, dan detailnya;
f. spesifikasi umum struktur; dan
g. spesifikasi khusus.
(4) Dalam hal bangunan gedung memiliki basement, rencana struktur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus disertai
dengan gambar rencana basement termasuk detailnya.
(5) Dalam hal spesifikasi umum dan spesifikasi khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf f dan huruf g memiliki model atau
hasil tes, maka model atau hasil tes harus disertakan dalam
rencana struktur.
(6) Rencana utilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
paling sedikit memuat:
a. perhitungan utilitas yang terdiri dari perhitungan kebutuhan
air bersih, kebutuhan listrik, penampungan dan pengolahan
limbah cair dan padat, dan beban kelola air hujan;
III-33
b. perhitungan tingkat kebisingan dan/atau getaran;
c. gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air
kotor, limbah cair, limbah padat, dan persampahan;
d. gambar sistem pengelolaan air hujan dan drainase dalam
tapak;
e. gambar sistem instalasi listrik yang terdiri dari gambar sumber
listrik, jaringan, dan pencahayaan;
f. gambar sistem proteksi kebakaran yang disesuaikan dengan
tingkat risiko kebakaran;
g. gambar sistem penghawaan/ventilasi alami dan buatan;
h. gambar sistem transportasi vertikal;
i. gambar sistem komunikasi intern dan ekstern;
j. gambar sistem penangkal/proteksi petir; dan
k. spesifikasi umum utilitas bangunan gedung.
(7) Penyusunan dokumen rencana teknis bangunan gedung harus
mengacu pada persyaratan teknis bangunan gedung sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
v. Pasal 23 menetapkan :
Rencana arsitektur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2)
harus memuat rencana penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
w. Pasal 24 menetepkan :
Pengaturan penyelenggaraan IMB meliputi:
a. pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung;
b. pembagian kewenangan penerbitan IMB;
c. tahapan penyelenggaraan IMB;
d. IMB bertahap;
e. Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan IMB;
f. Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi;
g. Pembekuan dan pencabutan IMB;
III-34
h. Pendataan bangunan gedung;
i. IMB untuk bangunan gedung yang dibangun kolektif; dan
j. Penyelenggaraan IMB di daerah.
x. Pasal 25 mengatur :
(1) Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 huruf a diatur melalui penerbitan IMB
untuk:
a. pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana
bangunan gedung;
b. renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan
gedung, meliputi pembaruan, peremajaan atau
penyempurnaan;
c. rehabilitasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan
gedung melalui upaya pemulihan kondisi suatu bangunan
gedung cagar budaya agar dapat dimanfaatkan secara efisien
untuk fungsi kekinian dengan cara perbaikan atau perubahan
tertentu dengan tetap menjaga nilai kesejarahan, arsitektur,
dan budaya; dan
d. pelestarian atau pemugaran.
(2) Penerbitan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan kegiatan:
a. penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung; dan
b. perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.
y. Pasal 26 mengatur:
(1) Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a melalui mekanisme:
a. pemilik bangunan gedung mengusulkan fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung dalam permohonan IMB; dan
b. pemerintah daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung.
III-35
(2) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b melalui mekanisme:
a. pemilik bangunan gedung mengusulkan permohonan baru IMB
dengan mengajukan dokumen rencana teknis bangunan
gedung sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam
RTRW Nasional, RTRW provinsi, RTRW kabupaten/kota,
RDTR/Penetapan Zonasi kabupaten/kota, dan/atau RTBL;
dan
b. pemilik bangunan gedung memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis bangunan gedung yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah.
(3) Bagi daerah yang belum memiliki RTRW kabupaten/kota, dan/
atau RDTR/Penetapan Zonasi kabupaten/kota, dan/atau RTBL,
pemerintah daerah menerbitkan IMB yang berlaku sementara.
(4) IMB yang berlaku sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Apabila RTRW kabupaten/kota, dan/atau RDTR/Penetapan
Zonasi kabupaten/kota, dan/atau RTBL untuk lokasi yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah
ditetapkan, fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan
RTRW kabupaten/kota, RDTR/Penetapan Zonasi kabupaten/kota,
dan/atau RTBL yang telah ditetapkan dilakukan penyesuaian
paling lama 5 (lima) tahun, kecuali untuk rumah tinggal tunggal
paling lama 10 (sepuluh) tahun, sejak pemberitahuan penetapan
RTRW oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung.
(6) Dalam penyesuaian fungsi bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), pemilik bangunan gedung harus
mengajukan permohonan perubahan IMB.
z. Pasal 27 mengatur :
(1) Pembagian kewenangan penerbitan IMB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf b diatur sebagai berikut:
III-36
a. pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi untuk
DKI Jakarta menerbitkan IMB untuk bangunan gedung
sederhana, tidak sederhana, dan khusus; dan
b. pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi untuk
DKI Jakarta dapat mendelegasikan kewenangan penerbitan
IMB untuk bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai kepada
kecamatan.
(2) Dalam hal penerbitan IMB untuk bangunan gedung sederhana 1
(satu) lantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
pemerintah kabupaten/kota atau pemerintah provinsi untuk DKI
Jakarta harus:
a. melakukan mekanisme pembinaan dan pengawasan;
b. mengalokasikan anggaran biaya operasional penerbitan IMB;
c. memberikan pelatihan sumber daya manusia; dan
b. mengkompilasi data bangunan gedung berdasarkan penerbitan
IMB di kecamatan.
aa. Pasal 28 mengatur :
Tahapan penyelenggaraan IMB meliputi:
a. proses prapermohonan IMB;
b. proses permohonan IMB;
c. proses penerbitan IMB; dan
d. pelayanan administrasi IMB.
bb. Pasal 29 menetapkan :
Proses prapermohonan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf a meliputi:
a. permohonan KRK oleh pemohon kepada pemerintah daerah; dan
b. penyampaian informasi persyaratan permohonan penerbitan IMB
oleh pemerintah daerah kepada pemohon.
cc. Pasal 30 mengatur :
(1) Pemohon harus mengajukan permohonan KRK sebelum
mengajukan permohonan IMB.
III-37
(2) Pemohon KRK harus mengisi surat pernyataan untuk mengikuti
ketentuan dalam KRK.
(3) Pemerintah daerah harus memberikan KRK untuk lokasi yang
bersangkutan kepada pemohon.
(4) KRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi ketentuan
meliputi:
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi
bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
b. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan
tanah dan KTB yang diizinkan;
c. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung
yang diizinkan;
d. KDB maksimum yang diizinkan;
e. KLB maksimum yang diizinkan;
f. KDH minimum yang diwajibkan;
g. KTB maksimum yang diizinkan;
h. jaringan utilitas kota; dan
i. keterangan lainnya yang terkait.
(5) Dalam KRK dicantumkan ketentuan khusus yang berlaku untuk
lokasi yang bersangkutan antara lain:
a. lokasi yang terletak pada kawasan rawan bencana gempa;
b. kawasan rawan longsor;
c. kawasan rawan banjir; dan
d. lokasi yang kondisi tanahnya tercemar.
(6) KRK digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis
bangunan gedung.
dd. Pasal 31 mengatur :
(1) Pemerintah daerah harus menyampaikan informasi persyaratan
permohonan penerbitan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 huruf b.
III-38
(2) Dalam hal rencana pengajuan permohonan IMB bangunan gedung
sederhana, pemerintah daerah harus menyampaikan informasi
mengenai desain prototipe dan persyaratan pokok tahan gempa.
ee. Pasal 32 mengatur :
(1) Pemohon harus mengurus perizinan dan/atau rekomendasi teknis
lain dari instansi berwenang untuk permohonan IMB bangunan
gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dan bangunan
khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perizinan dan/atau rekomendasi teknis lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL-UPL);
c. Ketentuan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); dan
d. Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT).
ff. Pasal 33 mengatur :
(1) Proses permohonan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1) huruf b merupakan pengajuan surat permohonan IMB
kepada pemerintah daerah dengan melampirkan dokumen
persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
(3) Dalam hal persyaratan administratif dan/atau persyaratan teknis
tidak lengkap, pemerintah daerah mengembalikan dokumen
permohonan IMB.
(4) Pengembalian dokumen permohonan IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilengkapi surat pemberitahuan kelengkapan
persyaratan.
gg. Pasal 34 menetapkan :
III-39
Proses penerbitan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
huruf c meliputi:
a. penilaian dokumen rencana teknis;
b. persetujuan tertulis; dan
b. penerbitan dokumen IMB.
hh. Pasal 35 mengatur :
(1) Penilaian dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf a merupakan evaluasi terhadap dokumen rencana
teknis dengan memperhatikan data umum bangunan gedung.
(2) Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan mengikuti persyaratan teknis
bangunan gedung sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Dalam hal dokumen rencana teknis tidak sesuai dengan
persyaratan teknis bangunan gedung, pemerintah daerah
mengembalikan surat permohonan IMB, dokumen persyaratan
administratif, dan dokumen persyaratan teknis.
(4) Pengembalian surat permohonan IMB, dokumen persyaratan
administratif, dan dokumen persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilengkapi surat pemberitahuan hasil
penilaian dokumen rencana teknis.
ii. Pasal 36 mengatur :
(1) Dalam hal penilaian dokumen rencana teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf a untuk bangunan gedung tidak
sederhana untuk kepentingan umum dan bangunan gedung
khusus, maka pemerintah daerah harus mendapatkan
pertimbangan teknis dari TABG.
(2) Pertimbangan teknis yang disusun oleh TABG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan masukan untuk memberikan
persetujuan pemenuhan persyaratan teknis oleh pemerintah
daerah.
III-40
(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai
kesimpulan dari hasil pengkajian berupa nasihat, pendapat, dan
pertimbangan profesional secara tertulis.
(4) TABG memberikan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah melakukan pengkajian terhadap pemenuhan
kesesuaian persyaratan teknis dengan ketentuan meliputi:
a. fungsi bangunan gedung;
b. klasifikasi fungsi bangunan gedung;
c. persyaratan teknis bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum dan bangunan khusus;
d. persyaratan bangunan gedung yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan;
e. tata bangunan; dan
f. keandalan bangunan gedung.
(5) TABG memiliki batas waktu dalam melakukan pengkajian
pemenuhan persyaratan teknis meliputi:
a. bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dan bangunan gedung khusus dengan ketinggian 1 (satu)
sampai dengan 8 (delapan) lantai paling lama 8 (delapan) hari
kerja; dan
b. bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dan bangunan gedung khusus dengan ketinggian lebih dari 8
(delapan) lantai paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja.
jj. Pasal 37 mengatur :
(1) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(1) menyatakan:
a. dokumen sesuai dengan persyaratan teknis; atau
b. dokumen tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
(2) Terhadap pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, TABG memberikan saran teknis pada bagian yang
tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
III-41
(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
bersifat final.
(4) Dalam hal dokumen tidak sesuai dengan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b pemerintah daerah
mengembalikan surat permohonan IMB, dokumen persyaratan
administratif dan dokumen persyaratan teknis kepada pemohon.
(5) Dalam hal pertimbangan teknis menyatakan dokumen tidak
sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b pemohon dapat mengajukan permohonan IMB
yang baru.
kk. Pasal 38 mengatur :
(1) Pemerintah daerah membuat persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 huruf b atas dokumen rencana teknis
yang telah memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. paraf pada setiap lembar dokumen rencana teknis; dan
b. surat persetujuan dokumen teknis.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh
petugas yang melakukan penilaian dokumen rencana teknis.
ll. Pasal 39 mengatur :
(1) Penerbitan dokumen IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf c dilaksanakan melalui mekanisme:
a. pemerintah daerah menghitung dan menetapkan nilai
retribusi;
b. pemohon melakukan pembayaran retribusi dan menyerahkan
bukti pembayaran retribusi (Surat Setor Retribusi Daerah)
kepada pemerintah daerah;
c. pemerintah daerah mengesahkan dokumen rencana teknis;
dan
d. pemerintah daerah menerbitkan dokumen IMB.
III-42
(2) Penghitungan dan penetapan nilai retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pembayaran retribusi oleh pemohon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan setelah pemohon mendapatkan Surat
Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD).
(4) Pengesahan dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan dengan pembubuhan tanda tangan dan
cap pada dokumen rencana teknis oleh pejabat PTSP yang
berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
mm. Pasal 40 menetapkan :
Pelayanan administrasi IMB meliputi:
a. pembuatan duplikat dokumen IMB yang dilegalisasikan sebagai
pengganti dokumen IMB yang hilang atau rusak, dengan
melampirkan surat keterangan hilang dari instansi yang
berwenang;
b. pemecahan dokumen IMB sesuai dengan perubahan pemecahan
dokumen IMB dan/atau kepemilikan tanah dan perubahan data
lainnya, atas permohonan yang bersangkutan; dan
c. permohonan IMB untuk bangunan gedung yang sudah terbangun
dan belum memiliki IMB.
nn. Pasal 41 menetapkan :
Tahapan penyelenggaraan IMB berdasarkan penggolongan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf c
sesuai dengan Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
oo. Pasal 42 menetapkan :
Ketentuan mengenai format surat pemberitahuan kelengkapan, surat
pemberitahuan hasil penilaian dokumen rencana teknis, surat
pertimbangan teknis oleh TABG sebagaimana dimaksud dalam Pasal
III-43
33, Pasal 35, dan Pasal 36 sesuai dengan Lampiran IV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
pp. Pasal 43 menetapkan :
Pada pembangunan bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum dan bangunan gedung khusus, pemerintah
daerah mempertimbangkan penerbitan IMB bertahap yang
merupakan satu kesatuan dokumen sepanjang tidak melampaui
batas waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
qq. Pasal 44 mengatur :
(1) Pemerintah daerah dapat menerbitkan IMB bertahap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43 untuk bangunan gedung tidak
sederhana untuk kepentingan umum dan bangunan gedung
khusus dengan ketentuan:
a. memiliki ketinggian bangunan lebih dari 8 (delapan) lantai
dan/atau luas bangunan di atas 2000 (dua ribu) meter
persegi; dan
b. menggunakan pondasi dalam lebih dari 2 (dua) meter.
(2) Penerbitan IMB bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui proses penerbitan IMB pondasi dan
dilanjutkan dengan penerbitan IMB.
(3) Pengajuan permohonan IMB bertahap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan dalam waktu bersamaan dalam
satu kesatuan dokumen permohonan.
rr. Pasal 45 mengatur :
(1) Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan IMB dihitung
sejak pengajuan permohonan IMB meliputi:
a. IMB bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai paling lama
3 (tiga) hari kerja;
b. IMB bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai paling lama
4 (empat) hari kerja;
III-44
c. IMB bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk
kepentingan umum paling lama 7 (tujuh) hari kerja;
d. IMB bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan
umum dan bangunan gedung khusus dengan ketinggian 1
(satu) sampai dengan 8 (delapan) lantai paling lama 12 (dua
belas) hari kerja;
b. IMB bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan
umum dan bangunan gedung khusus dengan ketinggian
lebih dari 8 (delapan) lantai paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja; dan
c. IMB pondasi untuk bangunan gedung tidak sederhana
untuk kepentingan umum dan bangunan gedung khusus
paling lama 18 (delapan belas) hari kerja.
(2) Ketentuan lebih jelas mengenai jangka waktu proses permohonan
dan penerbitan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan Tahapan Penyelenggaraan IMB sebagaimana diatur
dalam Lampiran III.
ss. Pasal 46 menetapkan :
Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf f antara lain:
a. perubahan akibat kondisi, ukuran lahan kavling atau persil yang
tidak sesuai dengan rencana teknis dan/atau adanya kondisi
eksisting di bawah permukaan tanah yang tidak dapat diubah
atau dipindahkan seperti jaringan prasarana dan benda cagar
budaya;
b. perubahan akibat perkembangan kebutuhan pemilik bangunan
gedung seperti penampilan arsitektur, penambahan atau
pengurangan luas dan jumlah lantai, dan tata ruang-dalam; dan
c. perubahan fungsi atas permintaan pemilik bangunan.
tt. Pasal 47 menetapkan :
Proses administrasi perubahan perizinan meliputi:
III-45
a. perubahan rencana teknis yang dilakukan untuk penyesuaian
dengan kondisi lapangan dan tidak mempengaruhi sistem
struktur dituangkan dalam gambar terbangun (as built
drawings);
b. perubahan rencana teknis yang mengakibatkan perubahan pada
arsitektur, struktur, dan utilitas harus melalui permohonan
baru IMB; dan
c. perubahan rencana teknis karena perubahan fungsi harus melalui
proses permohonan baru dengan proses sesuai dengan
penggolongan bangunan gedung untuk penyelenggaraan IMB.
uu. Pasal 48 mengatur :
(1) Pelanggaran pada masa konstruksi bangunan gedung yang tidak
sesuai dengan dokumen IMB dikenakan sanksi administratif
berupa pembekuan dan pencabutan IMB sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan teknis mengenai pembekuan dan pencabutan IMB
diatur secara terpisah dalam Peraturan Daerah.
vv. Pasal 49 mengatur :
(1) Pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf h dilakukan bersamaan dengan proses penerbitan
IMB.
(2) Pendataan bangunan gedung baru dilakukan berdasarkan data
pada surat permohonan IMB.
(3) Pendataan bangunan gedung harus dilakukan secara keseluruhan
dengan sistem terkomputerisasi paling lama 3 (tiga) tahun
setelah diundangkan Peraturan Menteri ini.
(4) Pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan pedoman teknis pendataan
bangunan gedung.
ww. Pasal 50 menetapkan :
III-46
IMB berfungsi sebagai prasyarat untuk mendapatkan pelayanan
utilitas umum antara lain penyambungan jaringan listrik, air
minum, telepon, dan gas. Penyelenggaraan IMB untuk bangunan
gedung yang dibangun kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf i, seperti bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal,
dan rumah deret di satu kawasan, prinsipnya mengikuti proses
penyelenggaraan IMB pada bangunan gedung tidak sederhana bukan
untuk kepentingan umum.
xx. Pasal 52 mengatur :
(1) Penyelenggaraan IMB di daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 huruf j merupakan bagian dari pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung di daerah.
(2) Penyelenggaraan bangunan gedung di daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah tentang
bangunan gedung.
yy. Pasal 53 menetapkan :
Retribusi IMB meliputi:
a. jenis kegiatan dan objek yang dikenakan retribusi;
b. penghitungan retribusi IMB;
c. indeks penghitungan besarnya retribusi IMB; dan
d. harga satuan (tarif) retribusi IMB.
zz. Pasal 54 mengatur :
(1) Jenis kegiatan yang dikenakan retribusi IMB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 huruf a meliputi:
a. pembangunan baru;
b. rehabilitasi atau renovasi berupa perbaikan atau perawatan,
perubahan, perluasan atau pengurangan; dan
c. pelestarian atau pemugaran.
(2) Objek yang dikenakan retribusi IMB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 huruf a meliputi:
a. bangunan gedung; dan
III-47
b. prasarana bangunan gedung.
aaa. Pasal 55 mengatur :
(1) Nilai retribusi IMB Pondasi mengikuti nilai retribusi IMB yang
dihitung sementara oleh pemerintah daerah.
(2) Nilai retribusi IMB Pondasi dibayarkan sebagian dari nilai retribusi
IMB berdasarkan perhitungan sementara oleh pemohon
sebelum IMB Pondasi diterbitkan.
(3) Saat pengambilan Surat Keterangan Retribusi Daerah (SKRD) IMB
pondasi, pemohon wajib menyerahkan formulir surat
pernyataan akan membayar nilai retribusi IMB yang tersisa
sesuai dengan perhitungan rinci yang dilakukan kembali setelah
perhitungan sementara oleh pemerintah daerah.
(4) Untuk dapat memperoleh dokumen IMB, pemohon harus
membayar nilai retribusi IMB yang tersisa berdasarkan
perhitungan kembali yang rinci oleh pemerintah daerah.
bbb. Pasal 56 menetapkan :
Penghitungan retribusi IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
huruf b meliputi:
a. komponen retribusi dan biaya;
b. penghitungan besarnya retribusi; dan
c. tingkat penggunaan jasa.
ccc. Pasal 57 menetapkan :
Komponen retribusi dan biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
56 huruf a meliputi:
a. retribusi pembinaan penyelenggaraaan bangunan gedung untuk
kegiatan pembangunan baru, rehabilitasi/renovasi dan
pelestarian/pemugaran; atau
b. retribusi administrasi IMB meliputi pemecahan dokumen IMB,
pembuatan duplikat dokumen IMB yang dilegalisasikan sebagai
pengganti dokumen IMB yang hilang atau rusak, pemutakhiran
III-48
data atas permohonan pemilik bangunan gedung, dan/atau
perubahan non teknis lainnya; dan
c. retribusi penyediaan formulir Permohonan IMB, termasuk biaya
Pendaftaran Bangunan Gedung.
ddd. Pasal 58 mengatur :
(1) Penghitungan besarnya retribusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 huruf b meliputi:
a. besarnya retribusi yang dihitung; dan
b. penghitungan besarnya retribusi mengikuti rumus.
(2) Besarnya retribusi yang dihitung dengan penetapan meliputi:
a. komponen retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57
ditetapkan sesuai permohonan yang diajukan;
b. lingkup kegiatan yang meliputi pembangunan bangunan
gedung baru, rehabilitasi atau renovasi bangunan gedung
meliputi perbaikan atau perawatan, perubahan, perluasan
atau pengurangan, dan pelestarian atau pemugaran; dan
c. volume atau besaran kegiatan, indeks, harga satuan
retribusi untuk bangunan gedung, dan untuk prasarana
bangunan gedung.
(3) Penghitungan besarnya retribusi mengikuti rumus meliputi:
a. pembangunan bangunan gedung baru;
b. rehabilitasi atau renovasi, pelestarian atau pemugaran; dan
c. pembangunan prasarana bangunan gedung.
eee. Pasal 59 menetapkan :
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
huruf c atas pemberian layanan IMB menggunakan indeks
berdasarkan fungsi, klasifikasi, dan waktu penggunaan bangunan
gedung serta indeks untuk prasarana bangunan gedung sebagai
tingkat intensitas penggunaan jasa dalam proses perizinan dengan
cakupan kegiatan.
III-49
fff. Pasal 60 menetapkan :
Indeks penghitungan besarnya retribusi IMB meliputi:
a. penetapan indeks tingkat penggunaan jasa;
b. skala indeks; dan
c. daftar kode.
ggg. Pasal 61 mengatur :
(1) Penetapan indeks tingkat penggunaan jasa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 huruf a sebagai faktor pengali
terhadap harga satuan retribusi untuk mendapatkan besarnya
retribusi meliputi:
a. indeks untuk penghitungan besarnya retribusi bangunan
gedung; dan
b. indeks untuk penghitungan besarnya retribusi prasarana
bangunan gedung.
(2) Indeks untuk penghitungan besarnya retribusi bangunan gedung
ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan fungsi dan
klasifikasi setiap bangunan gedung dengan mempertimbangkan
spesifikasi bangunan gedung pada:
a. tingkat kompleksitas;
b. tingkat permanensi;
c. tingkat risiko kebakaran bangunan gedung;
d. tingkat zonasi gempa di kawasan setempat;
e. kepadatan bangunan gedung di peruntukan lokasi
pembangunan;
f. ketinggian atau jumlah lantai;
g. kepemilikan bangunan gedung; dan
h. jangka waktu penggunaan bangunan gedung.
hhh. Pasal 61A menetapkan :
Dalam hal pembangunan gudang untuk UMKM seluas maksimal
1.300 m2 (meter persegi), indeks terintegrasi perhitungan besarnya
retribusi IMB dikalikan 0,5 (nol koma lima).
III-50
iii.Pasal 62 menetapkan :
Skala indeks sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b
ditetapkan berdasarkan peringkat terendah hingga tertinggi dengan
mempertimbangkan kewajaran perbandingan dalam intensitas
penggunaan jasa.
jjj.Pasal 63 mengatur :
(1) Daftar kode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf c untuk
mengidentifikasi indeks penghitungan retribusi IMB guna
ketertiban administrasi dan transparansi.
(2) Indeks untuk penghitungan retribusi IMB yang belum terdapat
dalam daftar kode dapat diterapkan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan jenis konstruksi prasarana bangunan gedung
yang ada di masing-masing daerah.
kkk. Pasal 64 mengatur :
(1) Harga satuan atau tarif retribusi IMB ditetapkan oleh pemerintah
daerah sesuai dengan peringkat skala wilayah administratif
kabupaten/kota atau pemerintah provinsi untuk DKI Jakarta
berdasarkan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat dan
pertimbangan lainnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Harga satuan atau tarif retribusi IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. bangunan gedung; dan
b. prasarana bangunan gedung.
lll.Pasal 65 mengatur :
(1) Harga satuan atau tarif retribusi IMB pada bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) huruf a
meliputi:
a. harga satuan retribusi dinyatakan per-satuan luas lantai
bangunan bangunan gedung (m²) yang nilainya ditetapkan
sesuai dengan penggolongan peringkat skala;
III-51
b. penetapan besar harga satuan retribusi dalam satu provinsi;
c. harga satuan retribusi bangunan gedung hanya 1 (satu) tarif
setiap kabupaten/kota.
(2) Harga satuan retribusi dinyatakan per-satuan luas lantai
bangunan bangunan gedung (m²) yang nilainya ditetapkan
sesuai dengan penggolongan peringkat skala sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kabupaten besar, kabupaten sedang, kota besar, kota
metropolitan; dan
b. kabupaten kecil, kota sedang serta kota kecil.
(3) Penetapan besar harga satuan retribusi dalam satu provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat ditetapkan
bahwa harga satuan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a dapat melebihi harga satuan retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(4) Harga satuan retribusi bangunan gedung hanya 1 (satu) tarif
setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c harus memenuhi ketentuan:
a. luas bangunan gedung dihitung dari garis sumbu dinding
atau kolom;
b. luas teras, balkon dan selasar luar bangunan gedung,
dihitung setengah dari luas yang dibatasi oleh garis sumbu-
sumbunya;
c. luas bagian bangunan gedung seperti kanopi dan pergola
yang berkolom dihitung setengah dari luas yang dibatasi
oleh garis sumbu-sumbunya;
d. luas bagian bangunan gedung seperti seperti kanopi dan
pergola tanpa kolom dihitung setengah dari luas yang
dibatasi oleh garis tepi atap konstruksi tersebut; dan
e. luas overstek atau luifel dihitung setengah dari luas yang
dibatasi oleh garis tepi konstruksi tersebut.
III-52
mmm. Pasal 66 mengatur :
(1) Harga satuan atau tarif retribusi IMB pada prasarana
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (2) huruf b ditetapkan sesuai dengan penggolongan
peringkat skala wilayah, meliputi:
a. kabupaten besar, kabupaten sedang, kota metropolitan dan
kota besar; dan
b. kabupaten kecil, kota sedang dan kota kecil.
(2) Jenis prasarana dan satuan untuk penetapan harga satuan atau
tarif retribusi IMB ditetapkan sesuai dengan penggolongan
peringkat skala wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. konstruksi pembatas, pengaman, atau penahan, per-m2;
b. konstruksi penanda masuk lokasi, per-m’ atau unit standar;
c. konstruksi perkerasan, per-m2;
d. konstruksi penghubung, per-m2, atau unit standar;
e. konstruksi kolam atau reservoir bawah tanah, per-m2;
f. konstruksi menara, per-unit standar dan pertambahannya;
g. konstruksi monumen, per-unit standar dan
pertambahannya;
h. konstruksi instalasi atau gardu, per-m2;
i. konstruksi reklame, per-unit standar dan pertambahannya;
dan
j. konstruksi bangunan lainnya yang termasuk prasarana
bangunan gedung yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
(3) Penetapan besar harga satuan retribusi dalam satu provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan bahwa
harga satuan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat melebihi harga satuan retribusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
nnn. Pasal 67 menetapkan :
III-53
Ketentuan mengenai Retribusi IMB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (3), Pasal 57, Pasal 58, Pasal 60, Pasal 62, Pasal 63,
dan Pasal 64 sesuai dengan Lampiran V yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
ooo. Pasal 68 mengatur :
(1) Dokumen IMB diterbitkan dengan Keputusan Bupati/Walikota
atau Gubernur untuk Provinsi DKI Jakarta.
(2) Dokumen IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh pejabat yang menyelenggarakan IMB atas
nama Bupati/Walikota atau Gubernur untuk Provinsi DKI
Jakarta.
(3) Contoh dokumen IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan Lampiran VI yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
ppp. Pasal 69 mengatur :
(1) Pembinaan pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah provinsi sebagai pelaksanaan
tugas dekonsentrasi, dalam rangka meningkatkan kemampuan
dan kemandirian pemerintah daerah dan masyarakat dalam
memenuhi ketentuan teknis untuk terwujudnya penataan
bangunan gedung yang berkelanjutan serta keandalan
bangunan gedung.
(2) Pembinaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. peran pemerintah;
b. peran pemerintah daerah; dan
c. peran masyarakat.
qqq. Pasal 71 mengatur :
(1) Peran pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (2) huruf b meliputi:
a. pengaturan;
III-54
b. pemberdayaan; dan
c. pengawasan.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan melalui:
a. penyusunan peraturan daerah tentang bangunan gedung
yang memuat pengaturan terkait penyelenggaraan IMB;
b. penyusunan peraturan kepala daerah terkait IMB sebagai
pengaturan pelaksanaan peraturan daerah tentang
bangunan gedung;
c. penyebarluasan norma, standar, pedoman, dan kriteria
(NSPK) terkait IMB kepada masyarakat dan penyelenggara
bangunan gedung.
(3) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung;
dan
b. pemberdayaan kepada masyarakat.
(4) Pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan untuk
menumbuhkembangkan kesadaran akan peran, hak, dan
kewajiban, serta meningkatkan kemampuan dalam
penyelenggaraan bangunan gedung dan IMB melalui:
a. pendataan bangunan gedung;
b. sosialisasi atau diseminasi; dan
c. bimbingan teknis dan pelatihan.
(5) Pemberdayaan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b dilakukan terhadap masyarakat yang belum
mampu memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung
sederhana dan bangunan gedung tidak sederhana melalui:
a. pendampingan pembangunan bangunan gedung secara
bertahap;
III-55
b. penyediaan percontohan rumah tinggal yang memenuhi
persyaratan teknis, meliputi dokumen rencana teknis
prototipe rumah, rumah tinggal tunggal sederhana (rumah
inti tumbuh, dan rumah sederhana sehat), dan rumah
deret sederhana; dan
c. bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang sehat
dan serasi.
(6) Pemberdayaan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan bersama-sama dengan
masyarakat.
(7) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilakukan melalui mekanisme proses penerbitan IMB sesuai
dengan Peraturan Menteri ini.
rrr. Pasal 72 mengatur :
(1) Peran masyarakat dilakukan untuk membantu pemerintah daerah
dengan mengikuti prosedur dan memperhatikan nilai sosial
budaya setempat.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan mekanisme melaporkan secara tertulis kepada
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melalui sarana yang
mudah diakses terkait indikasi bangunan gedung yang tidak
laik fungsi dan/atau berpotensi menimbulkan gangguan
dan/atau bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan/atau
lingkungan.
(3) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat
berdasarkan fakta dan pengamatan secara objektif serta
perkiraan kemungkinan secara teknis gejala konstruksi
bangunan gedung yang tidak laik fungsi.
sss. Pasal 73 menetapkan :
Penyelenggaraan IMB untuk bangunan prasarana bangunan gedung
berupa konstruksi bangunan yang berdiri sendiri dan tidak
III-56
merupakan pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan
bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung pada satu tapak
kaveling atau persil, prinsipnya mengikuti proses penyelenggaraan
IMB pada bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan
umum dan bangunan gedung khusus dengan persyaratan teknis
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
ttt. Pasal 74 mengatur :
(1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki peraturan daerah
mengenai penyelenggaraan IMB, pemerintah daerah harus
membuat peraturan daerah yang berpedoman pada Peraturan
Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
tanggal pengundangan Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal Pemerintah Daerah belum memiliki peraturan daerah
mengenai penyelenggaraan IMB, maka ketentuan Peraturan
Menteri ini diberlakukan sampai dengan diundangkannya
Peraturan Daerah mengenai penyelenggaraan IMB.
(3) Dalam hal Pemerintah Daerah telah memiliki peraturan daerah
dan/atau peraturan kepala daerah mengenai penyelenggaraan
IMB sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan harus
menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan
Peraturan Menteri ini.
(4) Permohonan IMB yang telah diajukan dan sedang diproses
sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini, diproses
berdasarkan ketentuan dalam peraturan daerah atau peraturan
kepala daerah yang berlaku hingga diperbaruinya peraturan
daerah atau peraturan kepala daerah tersebut.
uuu. Pasal 75 mengatur :
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman
III-57
Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan IMB
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
5.1 Jangkauan dan arah pengaturan.
Bangunan gedung maupun prasarana dan sarana bangunan gedung
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produkstifitas, dan
jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung yang
telah diatur dalam undang-undang tentang bangunan gedung, perlu
ditindaklanjuti dengan peraturan operasional di daerah.
Hal ini bertujuan mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal,
berjati diri serta seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya
Bangunan gedung, prasarana dan sarana bangunan gedung merupakan salah
satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan
bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali perlu dilakukan
penertiban dan penataan bangunan serta pengendalian pemanfaatan ruang
melalui izin mendirikan bangunan. Untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan
III-58
bangunan dan menjamin keandalan teknis bangunan gedung serta
mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung,
maka perlu pengaturan izin mendirikan bangunan yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah.
Arah pengaturan materi muatan Peraturan Daerah Izin Mendirikan
Bangunan mengatur mengenai Bangunan Gedung dan Bangunan Bukan
Gedung yang tujuannya untuk memberikan arahan dan pedoman kepada
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan izin mendirikan bangunan,
menyangkut kegiatan pengaturan, pembinaan dan pengawasan. Disamping itu
juga memberikan dasar hukum pelaksanaan pembangunan gedung maupun
pembangunan bukan gedung.
5.2 Ruang Lingkup
5.2.1 Judul
Judul Peraturan Daerah yang akan disusun adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan.
5.2.2 Konsideran
Konsideran menimbang Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang
Izin Mendirikan Bangunan, memuat dasar pertimbangan yang mendasari Izin
Mendirikan Bangunan, yaitu:
1. bahwa dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali perlu
dilakukan penertiban dan penataan bangunan serta pengendalian
pemanfaatan ruang melalui izin mendirikan bangunan;
2. bahwa untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan dan
menjamin keandalan teknis bangunan gedung serta mewujudkan
kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, telah
ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 6 Tahun 2013
tentang Izin Mendirikan Bangunan;
III-59
3. bahwa dengan diundangkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan
Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan
Bangunan, maka Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf b
sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud angka 1, angka
2, dan angka 3, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan.
5.2.3 Dasar Hukum
Dasar hukum mengingat, harus memuat landasan yuridis peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan. Adapun landasan
yuridis yang menjadi dasar penyusunan peraturan daerah ini meliputi:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-
daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42).
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247).
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247).
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059).
III-60
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679).
9. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan Dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6041).
12. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 199).
13. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 221).
14. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali Tahun 2011-2031
III-61
(Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 119).
15. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2012
Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2012
Nomor 138).
5.2.4 Materi yang akan diatur dalam Peraturan Daerah.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan, memuat pasal-pasal yang mengatur mengenai:
1. Ketentuan umum.
Bab ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa yang digunakan terkait. Dalam Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan ini, bab
ketentuan umum memuat:
1) Daerah adalah Kabupaten Boyolali.
2) Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3) Bupati adalah Bupati Boyolali.
4) Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
5) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan
usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
III-62
lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
6) Bangunan adalah setiap hasil pekerjaan manusia yang dipergunakan
untuk suatu tujuan tertentu yang tersusun terletak pada tanah atau
bertumpu kepada batu-batu landasan beserta kelengkapannya dalam
batas satu kepemilikan, baik yang berbentuk bangunan ruangan
ataupun bukan.
7) Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian
atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
8) Bangunan bukan gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang
tidak digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal.
9) Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun
atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan
mengadakan bangunan.
10) Mengubah bangunan adalah pekerjaan mengganti dan/atau
menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang
berhubungan dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut.
11) Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan
di dalam dan di luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan
terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
12) Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk
bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
III-63
mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
13) IMB bertahap adalah IMB yang diberikan secara bertahap oleh
Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun bangunan gedung baru.
14) IMB pondasi adalah bagian dari IMB bertahap yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun konstruksi pondasi bangunan gedung, yang merupakan
satu kesatuan dokumen IMB.
15) Permohonan IMB adalah permohonan yang dilakukan pemilik
bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan
IMB.
16) Bangunan gedung sederhana adalah bangunan gedung dengan
karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi
sederhana.
17) Bangunan gedung tidak sederhana adalah bangunan gedung dengan
karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan/atau
teknologi tidak sederhana.
18) Bangunan gedung khusus adalah bangunan gedung yang memiliki
penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya memerlukan penyelesaian atau teknologi khusus.
19) Bangunan gedung untuk kepentingan umum adalah bangunan gedung
yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi
keagamaan, fungsi usaha, maupun sosial dan budaya.
20) Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan
gedung sebagai dasar pemenuhan tingkat persyaratan administratif
dan persyaratan teknisnya.
21) Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi,
serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan
gedung.
III-64
22) Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung
beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik
fungsi.
23) Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian
bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana
dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
24) Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/ atau
teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
25) Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan
bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan
keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai
dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.
26) Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah
hasil perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Boyolali yang telah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali.
27) Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah
penjabaran dari RTRW.
28) Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun
untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang.
29) Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat
RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan,
rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman
pengendalian pelaksanaan.
III-65
30) Keterangan Rencana Kabupaten Boyolali yang selanjutnya disebut KRK
adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan
yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi tertentu.
31) Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar
bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata
bangunan dan lingkungan.
32) Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan
gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
33) Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan
dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
34) Koefisien Tapak Basement yang selanjutnya disingkat KTB adalah
angka persentase perbandingan antara luas tapak basement dan luas
lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
35) Dokumen Rencana Teknis adalah gambar teknis bangunan gedung dan
kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan
rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana
arsitektur, rencana struktur, rencana utilitas, serta rencana spesifikasi
teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung
sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
36) Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan
Gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan
pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses
III-66
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran
bangunan gedung.
37) Penilaian Dokumen Rencana Teknis adalah evaluasi terhadap
pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek
lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.
38) Persetujuan Rencana Teknis adalah pernyataan tertulis tentang telah
dipenuhinya seluruh persyaratan dalam rencana teknis bangunan
gedung yang telah dinilai.
39) Pengesahan Dokumen Rencana Teknis adalah pernyataan hukum
dalam bentuk pembubuhan tanda tangan pejabat yang berwenang
serta stempel atau cap resmi, yang menyatakan kelayakan dokumen
yang dimaksud dalam persetujuan tertulis atas pemenuhan seluruh
persyaratan dalam rencana teknis bangunan gedung dalam bentuk IMB
gedung.
40) Pemohon adalah orang atau badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan yang mengajukan permohonan IMB kepada Pemerintah
Daerah.
41) Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok
orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik
bangunan gedung.
42) Perencana Konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau
badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang
perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan
dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
43) Tim Ahli Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat TABG adalah
tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan
bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam
proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan
terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian
masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan
III-67
anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan
kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.
44) Retribusi IMB adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian IMB yang disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan yang
meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan
pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan
dan rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan koefisien dasar
bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian
bangunan (KKB), dan pengawasan penggunaan bangunan yang
meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat keselamatan
bagi yang menempati bangunan tersebut.
45) Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha
dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan
gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang
berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
2. Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup Peraturan Daerah
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu mengatur tentang maksud, tujuan, dan ruang lingkup
peraturan daerah. Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai pedoman
penyelenggaraan IMB bagi Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah ini
bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai
dengan fungsi dan tata ruang, yang diselenggarakan secara tertib untuk
menjamin keandalan teknis bangunan gedung; dan mewujudkan kepastian
hukum dalam penyelenggaraan IMB. Ruang lingkup Peraturan Daerah
meliputi: fungsi dan klasifikasi bangunan gedung; pemberian IMB;
persyaratan permohonan penerbitan IMB; tata cara penyelenggaraan IMB;
retribusi IMB; dokumen IMB; pembinaan; peran Pemerintah Daerah dan
masyarakat; sanksi administrtif; dan pelaporan.
III-68
3. Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai Fungsi dan Klasifikasi
Bangunan Gedung yang meliputi:
a. Bangunan meliputi bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
b. Pembagian fungsi bangunan gedung meliputi:
1) fungsi hunian;
2) fungsi keagamaan;
3) fungsi usaha;
4) fungsi sosial budaya; dan
5) fungsi khusus.
c. Fungsi bangunan gedung dapat memiliki lebih dari 1 (satu) fungsi.
d. Bangunan gedung didirikan sesuai dengan ketentuan dalam RTRW
dan/atau RDTR.
e. Fungsi hunian mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal
manusia yang meliputi rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret,
rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.
f. Fungsi keagamaan mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan
ibadah yang meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan
gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan
bangunan kelenteng.
g. Fungsi mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan
usaha yang meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan bangunan
gedung tempat penyimpanan.
h. Fungsi sosial dan budaya mempunyai fungsi utama sebagai tempat
melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi bangunan gedung
pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan,
laboratorium, dan bangunan gedung pelayanan umum.
III-69
i. Fungsi khusus mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan
kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional
atau yang penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di
sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi yang meliputi
bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan
keamanan, dan bangunan sejenis.
j. Bangunan bukan gedung dapat berupa:
1) konstruksi pembatas/penahan/pengaman berupa pagar,
tanggul/retaining wall, turap batas kavling/persil;
2) konstruksi penanda masuk lokasi berupa gapura dan gerbang;
3) konstruksi perkerasan berupa jalan, lapangan upacara, lapangan
olah raga terbuka;
4) konstruksi penghubung berupa jembatan, box culvert, jembatan
penyeberangan;
5) konstruksi kolam/reservoir bawah tanah berupa kolam renang,
kolam pengolahan air, reservoir bawah tanah;
6) konstruksi menara berupa menara antena, menara reservoir,
cerobong;konstruksi monumen berupa tugu, patung;
7) konstruksi instalasi/gardu berupa instalasi listrik, instalasi
telepon/komunikasi, instalasi pengolahan; dan/atau
8) konstruksi reklame/papan nama berupa billboard, papan iklan,
papan nama.
k. Klasifikasi bangunan gedung ditentukan berdasarkan:
1) tingkat kompleksitas;
2) tingkat permanensi;
3) tingkat risiko kebakaran;
4) zonasi gempa;
5) lokasi;
6) ketinggian; dan
7) kepemilikan.
III-70
l. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi:
1) bangunan gedung sederhana;
2) bangunan gedung tidak sederhana; dan
3) bangunan gedung khusus.
m. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat permanensi meliputi:
1) bangunan gedung darurat atau sementara;
2) bangunan gedung semi permanen; dan b
3) angunan gedung permanen.
n. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat risiko kebakaran
meliputi:
1) bangunan gedung tingkat risiko kebakaran rendah;
2) angunan gedung tingkat risiko kebakaran sedang; dan
3) angunan gedung tingkat risiko kebakaran tinggi.
o. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan zonasi gempa, ditetapkan
berdasarkan percepatan puncak batuan dasar meliputi:
1) zona < 0,05 g;
2) zona 0,05 – 0.1 g;
3) zona 0,1 – 0.15 g;
4) zona 0,15 – 0.2 g;
5) zona 0,2 – 0.25 g;
6) zona 0,25 – 0.3 g;
7) zona 0,3 – 0.4 g;
8) zona 0,4 – 0,5 g;
9) zona 0,5 – 0,6 g;
10) zona 0,6 – 0,7 g;
11) zona 0,7 – 0,8 g;
12) zona 0,8 – 0,9 g;
13) zona 0,9 – 1,0 g;
14) zona 1,0– 1,2 g;
15) zona 1,2 – 1,5 g;
16) zona 1,5 – 2,0 g; dan
III-71
17) zona > 2,0 g.
p. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan lokasi meliputi:
1) bangunan gedung di lokasi padat;
2) bangunan gedung di lokasi sedang; dan
3) bangunan gedung di lokasi renggang.
q. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan ketinggian meliputi:
1) bangunan gedung bertingkat tinggi;
2) bangunan gedung bertingkat sedang; dan
3) bangunan gedung bertingkat rendah.
r. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan kepemilikan meliputi:
1) bangunan gedung milik negara/Daerah;
2) bangunan gedung milik badan usaha; dan
3) bangunan gedung milik perorangan.
s. Klasifikasi bangunan gedung untuk penyelenggaraan IMB ditentukan
berdasarkan kompleksitas bangunan gedung yang meliputi:
1) bangunan gedung sederhana;
2) bangunan gedung tidak sederhana; dan
3) bangunan gedung khusus.
t. Bangunan gedung sederhana meliputi:
1) bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai; dan
2) bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai.
u. Bangunan gedung tidak meliputi:
1) bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk kepentingan
umum; dan
2) bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum.
4. Pemberian IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai pemberian IMB meliputi :
III-72
a. Setiap orang atau badan yang akan membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan di Daerah
wajib memiliki IMB.
b. IMB diberikan oleh Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
perizinan.
c. Pemberian IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip:
1) prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif;
2) pelayanan yang cepat, terjangkau dan tepat waktu;
3) keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha; dan
4) aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan,
keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan.
d. Bupati memanfaatkan pemberian IMB untuk:
1) pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
2) mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin
keandalan bangunan dari segi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan;
3) mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata
bangunan dan serasi dengan lingkungannya; dan
4) syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan.
e. Pemilik IMB mendapat manfaat untuk:
1) pengajuan sertifikat laik jaminan fungsi bangunan;
2) memperoleh pelayanan utilitas umum daerah yang meliputi
penyambungan jaringan listrik, air minum, telepon dan gas; dan
3) memperoleh manfaat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Persyaratan permohonan penerbitan IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai persyaratan permohonan
penerbitan IMB meliputi:
a. persyaratan administratif; dan
b. persyaratan teknis.
III-73
c. Setiap orang dan/atau badan hukum termasuk instansi pemerintah
yang mengajukan permohonan IMB harus memenuhi seluruh
persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
d. Dalam pengajuan permohonan IMB, Pemerintah Daerah harus:
1) melayani permohonan IMB; dan
2) menyampaikan persyaratan permohonan IMB dengan jelas.
e. Persyaratan administratif meliputi:
1) data pemohon;
2) data tanah; dan
3) dokumen dan surat terkait.
f. Data pemohon dan data tanah berlaku sama untuk bangunan gedung
sederhana, tidak sederhana, dan khusus.
g. Persyaratan teknis meliputi:
1) data umum bangunan gedung; dan
2) dokumen rencana teknis bangunan gedung.
h. Data umum bangunan gedung paling sedikit memuat:
1) nama bangunan gedung;
2) alamat lokasi bangunan gedung;
3) fungsi dan/atau
4) klasifikasi bangunan gedung;
5) jumlah lantai bangunan gedung;
6) luas lantai dasar bangunan gedung;
7) total luas lantai bangunan gedung;
8) ketinggian bangunan gedung; luas basement;
9) jumlah lantai basement; dan
10) posisi bangunan gedung.
i. Dokumen rencana teknis bangunan gedung paling sedikit memuat:
1) rencana arsitektur;
2) rencana struktur; dan
3) rencana utilitas.
III-74
j. Posisi bangunan gedung ditentukan berdasarkan informasi Global
Positioning System (GPS) yang diambil di titik tengah bangunan gedung.
k. Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai
dapat disediakan sendiri oleh pemohon dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) memenuhi persyaratan pokok tahan gempa; dan/atau
2) menggunakan desain prototipe bangunan gedung sederhana 1
(satu) lantai.
l. Desain prototipe dapat ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai
dengan kondisi daerah.
m. Dalam hal tidak menggunakan desain prototipe, pemohon harus
menyediakan dokumen rencana teknis.
n. Dokumen rencana teknis dapat digambar oleh:
1) perencana konstruksi; atau
2) pemohon.
o. Dokumen rencana teknis yang digambar oleh pemohon dapat digambar
secara sederhana dengan informasi yang lengkap.
p. Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai
disediakan oleh pemohon dengan menggunakan jasa perencana
konstruksi.
q. Dalam hal pemohon tidak mampu menggunakan jasa perencana
konstruksi, dokumen rencana teknis disediakan sendiri oleh pemohon
dengan menggunakan desain prototipe bangunan gedung sederhana 2
(dua) lantai.
r. Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai
paling sedikit memuat:
1) rencana arsitektur;
2) rencana struktur; dan
3) rencana utilitas.
s. Rencana arsitektur paling sedikit memuat:
1) gambar situasi atau rencana tapak;
III-75
2) gambar denah; gambar tampak; dan
3) gambar potongan.
t. Rencana struktur paling sedikit memuat:
1) gambar rencana pondasi termasuk detailnya;
2) gambar rencana kolom, balok, plat dan detailnya; dan
3) gambar rencana atap termasuk detailnya.
u. Rencana utilitas paling sedikit memuat:
1) gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air kotor,
limbah cair, dan limbah padat;
2) gambar jaringan listrik yang terdiri dari gambar sumber, jaringan,
dan pencahayaan; dan
3) gambar pengelolaan air hujan dan sistem drainase dalam tapak.
v. Dokumen rencana teknis bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus harus disediakan oleh pemohon dengan
menggunakan perencana konstruksi.
w. Dokumen rencana teknis bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus paling sedikit memuat:
1) rencana arsitektur;
2) rencana struktur; dan
3) rencana utilitas.
x. Rencana arsitektur paling sedikit memuat:
1) gambar situasi atau rencana tapak;
2) gambar denah;
3) gambar tampak;
4) gambar potongan;
5) gambar detail arsitektur; dan
6) spesifikasi umum perampungan bangunan gedung.
y. Rencana struktur paling sedikit memuat:
1) perhitungan struktur untuk bangunan gedung dengan ketinggian
mulai dari 3 (tiga) lantai, dengan bentang struktur lebih dari 3 (tiga)
meter, dan/atau memiliki basement;
III-76
2) hasil penyelidikan tanah;
3) gambar rencana pondasi termasuk detailnya;
4) gambar rencana kolom, balok, plat dan detailnya;
5) gambar rencana rangka atap, penutup, dan detailnya;
6) spesifikasi umum struktur; dan
7) spesifikasi khusus.
z. harus disertai dengan gambar rencana basement termasuk detailnya.
aa. Dalam hal spesifikasi umum dan spesifikasi khusus memiliki model
atau hasil tes, maka model atau hasil tes harus disertakan dalam
rencana struktur. paling sedikit memuat:
1) perhitungan utilitas yang terdiri dari perhitungan kebutuhan air
bersih, kebutuhan listrik, penampungan dan pengolahan limbah
cair dan padat, dan beban kelola air hujan;
2) perhitungan tingkat kebisingan dan/atau getaran;
3) gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air kotor,
limbah cair, limbah padat, dan persampahan;
4) gambar sistem pengelolaan air hujan dan drainase dalam tapak;
5) gambar sistem instalasi listrik yang terdiri dari gambar sumber
listrik, jaringan, dan pencahayaan;
6) gambar sistem proteksi kebakaran yang disesuaikan dengan tingkat
risiko kebakaran; dan
7) gambar sistem penangkal petir.
bb. Rencana arsitektur harus memuat rencana penyediaan fasilitas dan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Tata cara penyelenggaraan IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai tata cara penyelenggaraan IMB
meliputi:
a. Pengaturan penyelenggaraan IMB meliputi:
III-77
1) pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung;
2) tahapan penyelenggaraan IMB;
3) IMB bertahap;
4) Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan IMB;
5) Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi;
6) Pendataan bangunan gedung;
7) IMB untuk bangunan gedung yang dibangun kolektif; dan
8) Penyelenggaraan IMB.
b. Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung diatur melalui
penerbitan IMB untuk:
1) pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana
bangunan gedung;
2) renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung,
meliputi pembaruan, peremajaan atau penyempurnaan;
3) rehabilitasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung
melalui upaya pemulihan kondisi suatu bangunan gedung cagar
budaya agar dapat dimanfaatkan secara efisien untuk fungsi
kekinian dengan cara perbaikan atau perubahan tertentu dengan
tetap menjaga nilai kesejarahan, arsitektur, dan budaya; dan
4) pelestarian atau pemugaran.
c. Penerbitan IMB dilakukan dengan kegiatan: penetapan fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung; dan perubahan fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung.
d. Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung melalui mekanisme:
1) pemilik bangunan gedung mengusulkan fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung dalam permohonan IMB; dan
2) Pemerintah Daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan
gedung.
e. Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung melalui mekanisme:
1) Pemilik bangunan gedung mengusulkan permohonan baru IMB
dengan mengajukan dokumen rencana teknis bangunan gedung
III-78
sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW atau
RDTR/Penetapan Zonasi Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL; dan
2) Pemilik bangunan gedung memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah.
f. Bagi wilayah yang belum ditentukan dalam RTRW atau
RDTR/Penetapan Zonasi Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL, IMB yang
diterbitkan berlaku sementara.
g. IMB yang berlaku sementara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h. Apabila RTRW, dan/atau RDTR/Penetapan Zonasi Kabupaten Boyolali,
dan/atau RTBL untuk lokasi yang bersangkutan telah ditetapkan, fungsi
bangunan gedung yang tidak sesuai dengan RTRW, RDTR/Penetapan
Zonasi Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL yang telah ditetapkan
dilakukan penyesuaian paling lama 5 (lima) tahun, kecuali untuk rumah
tinggal tunggal paling lama 10 (sepuluh) tahun, sejak pemberitahuan
penetapan RTRW oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan
gedung.
i. Dalam penyesuaian fungsi bangunan gedung, pemilik bangunan gedung
harus mengajukan permohonan perubahan IMB.
j. Tahapan penyelenggaraan IMB, meliputi:
1) proses prapermohonan IMB;
2) proses permohonan IMB;
3) proses penerbitan IMB; dan
4) pelayanan administrasi IMB.
k. Proses prapermohonan IMB meliputi:
1) permohonan KRK oleh pemohon kepada Pemerintah Daerah; dan
2) penyampaian informasi persyaratan permohonan penerbitan IMB
oleh Pemerintah Daerah kepada pemohon.
l. Pemohon harus mengajukan permohonan KRK sebelum mengajukan
permohonan IMB.
III-79
m. Pemohon KRK harus mengisi surat pernyataan untuk mengikuti
ketentuan dalam KRK.
n. Pemerintah Daerah harus memberikan KRK untuk lokasi yang
bersangkutan kepada pemohon.
o. KRK) berisi ketentuan sesuai RTRW atau RDTR/Penetapan Zonasi
Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL meliputi:
1) fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi
bersangkutan;
2) ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
3) jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah
dan KTB yang diizinkan;
4) garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang
diizinkan;
5) KDB maksimum yang diizinkan;
6) KLB maksimum yang diizinkan;
7) KDH minimum yang diwajibkan;
8) KTB maksimum yang diizinkan;
9) jaringan utilitas kota; dan
10) keterangan lainnya yang terkait.
p. Dalam KRK dicantumkan ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi
yang bersangkutan antara lain:
1) lokasi yang terletak pada kawasan rawan bencana gempa;
2) kawasan rawan longsor;
3) kawasan rawan banjir; dan
4) lokasi yang kondisi tanahnya tercemar.
q. KRK digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan
gedung.
r. Pemerintah Daerah harus menyampaikan informasi persyaratan
permohonan penerbitan IMB.
III-80
s. Dalam hal rencana pengajuan permohonan IMB bangunan gedung
sederhana, Pemerintah Daerah harus menyampaikan informasi
mengenai desain prototipe dan persyaratan pokok tahan gempa.
t. Pemohon harus mengurus perizinan dan/atau rekomendasi teknis lain
dari instansi berwenang untuk permohonan IMB bangunan gedung
tidak sederhana untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
u. Perizinan dan/atau rekomendasi teknis lain, antara lain:
1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
2) Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UKL-UPL); dan
3) Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) atau Izin Perubahan
Penggunaan Tanah (IPPT).
v. Proses permohonan IMB merupakan pengajuan surat permohonan IMB
kepada Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan dengan
melampirkan dokumen persyaratan administratif dan persyaratan
teknis.
w. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan harus melakukan
pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan administratif dan
persyaratan teknis.
x. Dalam hal persyaratan administratif dan/atau persyaratan teknis tidak
lengkap, Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan
mengembalikan dokumen permohonan IMB.
y. Pengembalian dokumen permohonan IMB dilengkapi surat
pemberitahuan kelengkapan persyaratan.
z. Permohonan IMB meliputi:
1) bangunan gedung; atau
2) bangunan bukan gedung.
aa. IMB bangunan gedung atau bangunan bukan gedung berupa
pembangunan baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau
merawat bangunan.
III-81
bb. Proses penerbitan IMB meliputi:
1) penilaian dokumen rencana teknis;
2) persetujuan tertulis; dan
3) penerbitan dokumen IMB.
cc. Penilaian dokumen rencana teknis merupakan evaluasi terhadap
dokumen rencana teknis dengan memperhatikan data umum
bangunan gedung.
dd. Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung dilakukan
mengikuti persyaratan teknis bangunan gedung sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
ee. Dalam hal dokumen rencana teknis tidak sesuai dengan persyaratan
teknis bangunan gedung, Pemerintah Daerah mengembalikan surat
permohonan IMB, dokumen persyaratan administratif, dan dokumen
persyaratan teknis.
ff. Pengembalian surat permohonan IMB, dokumen persyaratan
administratif, dan dokumen persyaratan teknis dilengkapi surat
pemberitahuan hasil penilaian dokumen rencana teknis.
gg. Dalam hal penilaian dokumen rencana teknis untuk bangunan gedung
tidak sederhana untuk kepentingan umum, maka Kepala Perangkat
Daerah yang membidangi perizinan harus mendapatkan pertimbangan
teknis dari TABG.
hh. Pertimbangan teknis yang disusun oleh TABG merupakan masukan
untuk memberikan persetujuan pemenuhan persyaratan teknis oleh
Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan.
ii. Pertimbangan teknis sebagai kesimpulan dari hasil pengkajian berupa
nasihat, pendapat, dan pertimbangan profesional secara tertulis.
jj. TABG memberikan pertimbangan teknis setelah melakukan pengkajian
terhadap pemenuhan kesesuaian persyaratan teknis dengan ketentuan
meliputi:
1) fungsi bangunan gedung;
2) klasifikasi fungsi bangunan gedung;
III-82
3) persyaratan teknis bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum dan bangunan khusus;
4) persyaratan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan; tata bangunan; dan
5) keandalan bangunan gedung.
kk. TABG memiliki batas waktu dalam melakukan pengkajian pemenuhan
persyaratan teknis meliputi:
1) bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dan
bangunan gedung khusus dengan ketinggian 1 (satu) sampai
dengan 8 (delapan) lantai paling lama 8 (delapan) hari kerja; dan
2) bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dan
bangunan gedung khusus dengan ketinggian lebih dari 8 (delapan)
lantai paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja.
ll. Pertimbangan teknis menyatakan:
a. dokumen sesuai dengan persyaratan teknis; atau
b. dokumen tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
mm. Terhadap pertimbangan teknis, TABG memberikan saran teknis pada
bagian yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
nn. Pertimbangan teknis bersifat final.
oo. Dalam hal dokumen tidak sesuai dengan persyaratan teknis, Kepala
Perangkat Daerah yang membidangi perizinan mengembalikan surat
permohonan IMB, dokumen persyaratan administratif dan dokumen
persyaratan teknis kepada pemohon.
pp. Dalam hal pertimbangan teknis menyatakan dokumen tidak sesuai
dengan persyaratan teknis pemohon dapat mengajukan permohonan
IMB yang baru.
qq. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan membuat
persetujuan tertulis atas dokumen rencana teknis yang telah
memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung.
rr. Persetujuan meliputi:
1) paraf pada setiap lembar dokumen rencana teknis; dan
III-83
2) surat persetujuan dokumen teknis.
ss. Persetujuan dibuat oleh petugas yang melakukan penilaian dokumen
rencana teknis.
tt. Penerbitan dokumen IMB dilaksanakan melalui mekanisme:
1) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan menghitung
dan menetapkan nilai retribusi;
2) pemohon melakukan pembayaran retribusi dan menyerahkan
bukti pembayaran retribusi (Surat Setor Retribusi Daerah) kepada
Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan;
3) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan
mengesahkan dokumen rencana teknis; dan
4) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan menerbitkan
dokumen IMB.
uu. Penghitungan dan penetapan nilai retribusi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
vv. Pembayaran retribusi oleh pemohon dilakukan setelah pemohon
mendapatkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD).
ww. Pengesahan dokumen rencana teknis dilakukan dengan pembubuhan
tanda tangan dan cap pada dokumen rencana teknis oleh pejabat
PTSP yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
xx. Pelayanan administrasi IMB, meliputi:
1) legalisasi atas fotocopy IMB;
2) pembuatan duplikat dokumen IMB sebagai pengganti dokumen
IMB yang hilang atau rusak, dengan melampirkan surat
keterangan hilang dari instansi yang berwenang;
3) pemecahan dokumen IMB sesuai dengan perubahan pemecahan
dokumen IMB dan/atau kepemilikan tanah dan perubahan data
lainnya (balik nama) atas permohonan yang bersangkutan; dan
4) permohonan IMB untuk bangunan gedung yang sudah terbangun
dan belum memiliki IMB.
III-84
yy. Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan penyelenggaraan IMB
berdasarkan penggolongan bangunan diatur dengan Peraturan
Bupati.
zz. Ketentuan lebih lanjut mengenai format surat pemberitahuan
kelengkapan, surat pemberitahuan hasil penilaian dokumen rencana
teknis, surat pertimbangan teknis oleh TABG diatur dengan Peraturan
Bupati.
aaa. Pada pembangunan bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum, Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
perizinan mempertimbangkan penerbitan IMB bertahap yang
merupakan satu kesatuan dokumen sepanjang tidak melampaui batas
waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
bbb. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan dapat
menerbitkan IMB bertahap untuk bangunan gedung tidak sederhana
untuk kepentingan umum dengan ketentuan:
a. memiliki ketinggian bangunan lebih dari 8 (delapan) lantai
dan/atau luas bangunan di atas 2.000 (dua ribu) meter persegi;
dan
b. menggunakan pondasi dalam lebih dari 2 (dua) meter.
ccc. Penerbitan IMB bertahap dilakukan melalui proses penerbitan IMB
pondasi dan dilanjutkan dengan penerbitan IMB.
ddd. Pengajuan permohonan IMB bertahap harus dilakukan dalam waktu
bersamaan dalam satu kesatuan dokumen permohonan.
eee. Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan IMB, dihitung sejak
pengajuan permohonan IMB meliputi:
1) IMB bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai paling lama 3
(tiga) hari kerja untuk bangunan yang menggunakan desain
prototipe;
2) IMB bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai paling lama 4
(empat) hari kerja untuk bangunan yang menggunakan desain
prototipe;
III-85
3) IMB bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk kepentingan
umum paling lama 7 (tujuh) hari kerja;
4) IMB bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dengan ketinggian 1 (satu) sampai dengan 8 (delapan) lantai paling
lama 12 (dua belas) hari kerja;
5) IMB bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dengan ketinggian lebih dari 8 (delapan) lantai paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja; dan
6) IMB pondasi untuk bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum paling lama 18 (delapan belas) hari kerja.
fff. Ketentuan lebih jelas mengenai jangka waktu proses permohonan dan
penerbitan IMB sesuai dengan Tahapan Penyelenggaraan IMB, diatur
dengan Peraturan Bupati.
ggg. Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi
antara lain:
1) perubahan akibat kondisi, ukuran lahan kavling atau persil yang
tidak sesuai dengan rencana teknis dan/atau adanya kondisi
eksisting di bawah permukaan tanah yang tidak dapat diubah atau
dipindahkan seperti jaringan prasarana dan benda cagar budaya;
2) perubahan akibat perkembangan kebutuhan pemilik bangunan
gedung seperti penampilan arsitektur, penambahan atau
pengurangan luas dan jumlah lantai, dan tata ruang-dalam; dan
3) perubahan fungsi atas permintaan pemilik bangunan.
hhh. Proses administrasi perubahan perizinan meliputi:
1) perubahan rencana teknis yang dilakukan untuk penyesuaian
dengan kondisi lapangan dan tidak mempengaruhi sistem struktur
dituangkan dalam gambar terbangun (as built drawings);
2) perubahan rencana teknis yang mengakibatkan perubahan pada
arsitektur, struktur, dan utilitas harus melalui permohonan baru
IMB; dan
III-86
3) perubahan rencana teknis karena perubahan fungsi harus
melalui proses permohonan baru dengan proses sesuai dengan
penggolongan bangunan gedung untuk penyelenggaraan IMB.
iii. Pada masa konstruksi bangunan gedung harus sesuai dengan dokumen
IMB.
jjj.Pendataan bangunan gedung dilakukan bersamaan dengan proses
penerbitan IMB.
kkk. Pendataan bangunan gedung baru dilakukan berdasarkan data
pada surat permohonan IMB.
lll.Pendataan bangunan gedung harus dilakukan secara keseluruhan
dengan sistem terkomputerisasi paling lama 3 (tiga) tahun sejak
diundangkan Peraturan Daerah ini.
mmm. Pendataan bangunan gedung dilaksanakan sesuai dengan pedoman
teknis pendataan bangunan gedung oleh instansi yang berwenang
melaksanakan pengawasan bangunan gedung.
nnn. IMB berfungsi sebagai prasyarat untuk mendapatkan pelayanan
utilitas umum antara lain penyambungan jaringan listrik, air
minum, telepon, dan gas.
ooo. Penyelenggaraan IMB untuk bangunan gedung yang dibangun
kolektif, seperti bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal,
dan rumah deret di satu kawasan, wajib mengikuti proses
penyelenggaraan IMB pada bangunan gedung tidak sederhana
bukan untuk kepentingan umum.
ppp. Penyelenggaraan IMB merupakan bagian dari pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung.
qqq. Penyelenggaraan bangunan gedung diatur dengan Peraturan
Daerah tentang bangunan gedung.
7. Retribusi IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai retribusi IMB meliputi:
III-87
a. Pelayanan pemberian IMB dikenakan retribusi golongan perizinan
tertentu.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai retribusi IMB diatur dengan Peraturan
Daerah tersendiri.
8. Dokumen IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai dokumen IMB, meliputi:
a. Dokumen IMB diterbitkan berupa Surat Izin.
b. Dokumen IMB ditandatangani oleh Kepala Perangkat Daerah yang
membidangi perizinan atas nama Bupati.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen IMB diatur dengan
Peraturan Bupati.
9. Pembinaan
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai pembinaan, meliputi:
a. Pembinaan pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Kepala
Perangkat Daerah yang membidangi perizinan dalam rangka
meningkatkan kemampuan dan kemandirian Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam memenuhi ketentuan teknis untuk terwujudnya
penataan bangunan gedung yang berkelanjutan serta keandalan
bangunan gedung.
b. Pembinaan berupa pengembangan, pemantauan dan evaluasi pemberian
IMB.
10. Peran Pemerintah Daerah dan masyarakat
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai peran Pemerintah Daerah dan
masyarakat, meliputi:
a. Peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan bangunan meliputi:
III-88
1) pengaturan;
2) pemberdayaan; dan
3) pengawasan.
b. Pengaturan dilakukan melalui:
1) penyusunan Peraturan Daerah tentang bangunan gedung yang
memuat pengaturan terkait penyelenggaraan IMB;
2) penyusunan peraturan bupati terkait IMB sebagai pengaturan
pelaksanaan Peraturan Daerah tentang bangunan gedung; dan
3) penyebarluasan norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK)
terkait IMB kepada masyarakat dan penyelenggara bangunan
gedung.
c. Pemberdayaan meliputi:
1) pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung; dan
2) pemberdayaan kepada masyarakat.
d. Pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung dilakukan
untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan peran, hak, dan
kewajiban, serta meningkatkan kemampuan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung dan IMB melalui:
1) pendataan bangunan gedung;
2) sosialisasi atau diseminasi; dan
3) bimbingan teknis dan pelatihan.
e. Pemberdayaan kepada masyarakat dilakukan terhadap masyarakat yang
belum mampu memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung
sederhana dan bangunan gedung tidak sederhana melalui:
1) pendampingan pembangunan bangunan gedung secara bertahap;
2) penyediaan percontohan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan
teknis, meliputi dokumen rencana teknis prototipe rumah, rumah
tinggal tunggal sederhana (rumah inti tumbuh, dan rumah
sederhana sehat), dan rumah deret sederhana; dan
3) bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang sehat dan
serasi.
III-89
f. Pemberdayaan kepada masyarakat dapat dilakukan bersama-sama
dengan masyarakat.
g. Pengawasan dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang
membidangi perizinan dalam rangka meningkatkan ketaatan terhadap
pelaksanaan IMB dan peraturan bangunan gedung melalui mekanisme
proses penerbitan IMB.
h. Peran masyarakat dilakukan untuk membantu Pemerintah Daerah
dengan mengikuti prosedur dan memperhatikan nilai sosial budaya
setempat.
i. Peran masyarakat dilakukan dengan mekanisme melaporkan secara
tertulis kepada Pemerintah Daerah melalui sarana yang mudah diakses
terkait indikasi bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan/atau
berpotensi menimbulkan gangguan dan/atau bahaya bagi pengguna,
masyarakat, dan/atau lingkungan.
j. Laporan tertulis dibuat berdasarkan fakta dan pengamatan secara
objektif serta perkiraan kemungkinan secara teknis gejala konstruksi
bangunan gedung yang tidak laik fungsi.
11. Sanksi administrtif
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai sanksi administrtif, meliputi:
a. Setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Daerah
ini dikenakan sanksi administratif.
b. Sanksi administratif, berupa :
1) peringatan tertulis;
2) pembatasan kegiatan pembangunan;
3) penghentian sementara atau tetap pada pelaksanaan
pembangunan;
4) penghentian sementara atau tetap pemanfaatan bangunan gedung;
5) pembekuan;
III-90
6) pencabutan IMB; dan
7) pembongkaran.
c. Tata cara pemberian sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
12. Pelaporan.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai pelaporan, meliputi:
a. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan menyampaikan
laporan secara keseluruhan atas kegiatan pelayanan IMB yang akan
diproses maupun yang sudah terbit kepada Bupati.
b. Laporan dilakukan secara berkala.
13. Ketentuan Lain-lain.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai ketentuan lain-lain, meliputi:
a. Penyelenggaraan IMB untuk bangunan prasarana bangunan gedung
berupa konstruksi bangunan yang berdiri sendiri dan tidak merupakan
pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan bangunan gedung atau
kelompok bangunan gedung pada satu tapak kaveling atau persil,
prinsipnya mengikuti proses penyelenggaraan IMB pada bangunan
gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dengan persyaratan
teknis yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
b. Bagi perusahaan yang mempunyai Izin Investasi Langsung Konstruksi,
dapat melaksanakan pembangunan sambil mengurus IMB.
14. Ketentuan Penyidikan
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai ketentuan penyidikan, meliputi:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana perizinan.
III-91
b. Penyidik berwenang:
1) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada saat itu juga ditempat
kejadian;
3) memerintahkan berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka;
4) melakukan penyitaan benda atau surat;
5) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
6) memanggil orang untuk didengar sebagai tersangka atau saksi;
7) mendatangkan orang lain yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
8) mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk
dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana atau selanjutnya
melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka dan keluarganya; dan mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut
Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana.
15. Ketentuan Pidana
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai ketentuan pidana, Setiap
orang atau badan yang mendirikan bangunan tanpa IMB atau IMB-nya
dicabut, dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau
bangunannya dibongkar.
16. Ketentuan Peralihan.
III-92
Ketentuan Peralihan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang
Izin Mendirikan Bangunan memuat aturan mengenai: Pada saat
Peraturan Daerah ini mulai berlaku, permohonan IMB yang telah
diajukan dan sedang diproses sebelum diundangkannya Peraturan
Daerah ini, diproses berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
17. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin
Mendirikan Bangunan memuat rumusan norma tentang pencabutan dan
ketidakberlakuan peraturan daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan
yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Izin Mendirikan Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor
6 Tahun 2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan tetap berlaku sepanjang
belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini.
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini, sudah harus
diterbitkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah
ini diundangkan.
Ketentuan Penutup perlu memuat rumusan norma bahwa Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
pengundangan Peraturan Daerah ini ditempatkan dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Boyolali.
III-93
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan
B. Saran
1. Sesuai dengan Program Pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten
Boyolali Tahun 2018, agar Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan yang telah disusun Naskah Akademik dan Lampiran
Rancangan Peraturan Daerahnya, segera dilakukan pembahasan bersama
antara Bupati dengan DPRD.
2. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan untuk
mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik dan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan lebih
lanjut melalui kegiatan seperti sosialisasi dan dengar pendapat dalam
rangka konsultasi publik dengan pihak terkait, baik pemaduserasian
dengan instansi pemerintah terkait maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dan Perguruan Tinggi (PT) yang ada di Kabupaten Boyolali.
V-1
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH
5.1 Jangkauan dan arah pengaturan.
Bangunan gedung maupun prasarana dan sarana bangunan gedung
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produkstifitas, dan
jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung yang
telah diatur dalam undang-undang tentang bangunan gedung, perlu
ditindaklanjuti dengan peraturan operasional di daerah.
Hal ini bertujuan mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal,
berjati diri serta seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya
Bangunan gedung, prasarana dan sarana bangunan gedung merupakan salah
satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan
bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali perlu dilakukan
penertiban dan penataan bangunan serta pengendalian pemanfaatan ruang
melalui izin mendirikan bangunan. Untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan
bangunan dan menjamin keandalan teknis bangunan gedung serta
mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung,
maka perlu pengaturan izin mendirikan bangunan yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah.
V-2
Arah pengaturan materi muatan Peraturan Daerah Izin Mendirikan
Bangunan mengatur mengenai Bangunan Gedung dan Bangunan Bukan
Gedung yang tujuannya untuk memberikan arahan dan pedoman kepada
pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan izin mendirikan bangunan,
menyangkut kegiatan pengaturan, pembinaan dan pengawasan. Disamping itu
juga memberikan dasar hukum pelaksanaan pembangunan gedung maupun
pembangunan bukan gedung.
5.2 Ruang Lingkup
5.2.1 Judul
Judul Peraturan Daerah yang akan disusun adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan.
5.2.2 Konsideran
Konsideran menimbang Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang
Izin Mendirikan Bangunan, memuat dasar pertimbangan yang mendasari Izin
Mendirikan Bangunan, yaitu:
1. bahwa dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali perlu
dilakukan penertiban dan penataan bangunan serta pengendalian
pemanfaatan ruang melalui izin mendirikan bangunan;
2. bahwa untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan dan
menjamin keandalan teknis bangunan gedung serta mewujudkan
kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, telah
ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 6 Tahun 2013
tentang Izin Mendirikan Bangunan;
3. bahwa dengan diundangkannya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan
Perumahan Rakyat Nomor 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan
Bangunan, maka Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf b
sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu diganti;
V-3
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud angka 1, angka
2, dan angka 3, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Izin
Mendirikan Bangunan.
5.2.3 Dasar Hukum
Dasar hukum mengingat, harus memuat landasan yuridis peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar penyusunan Peraturan Daerah
Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan. Adapun landasan
yuridis yang menjadi dasar penyusunan peraturan daerah ini meliputi:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-
daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 42).
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247).
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247).
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059).
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
V-4
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679).
9. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan Dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6041).
12. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 199).
13. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 221).
14. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali Tahun 2011-2031
(Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2011 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 119).
V-5
15. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 10 Tahun 2012 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2012
Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2012
Nomor 138).
5.2.4 Materi yang akan diatur dalam Peraturan Daerah.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan, memuat pasal-pasal yang mengatur mengenai:
1. Ketentuan umum.
Bab ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa yang digunakan terkait. Dalam Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan ini, bab
ketentuan umum memuat:
1) Daerah adalah Kabupaten Boyolali.
2) Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
3) Bupati adalah Bupati Boyolali.
4) Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
5) Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan
usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
V-6
6) Bangunan adalah setiap hasil pekerjaan manusia yang dipergunakan
untuk suatu tujuan tertentu yang tersusun terletak pada tanah atau
bertumpu kepada batu-batu landasan beserta kelengkapannya dalam
batas satu kepemilikan, baik yang berbentuk bangunan ruangan
ataupun bukan.
7) Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi
sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian
atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
8) Bangunan bukan gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang
tidak digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal.
9) Mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun
atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan
mengadakan bangunan.
10) Mengubah bangunan adalah pekerjaan mengganti dan/atau
menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang
berhubungan dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut.
11) Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas kelengkapan
di dalam dan di luar bangunan gedung yang mendukung pemenuhan
terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
12) Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk
bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis.
V-7
13) IMB bertahap adalah IMB yang diberikan secara bertahap oleh
Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun bangunan gedung baru.
14) IMB pondasi adalah bagian dari IMB bertahap yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun konstruksi pondasi bangunan gedung, yang merupakan
satu kesatuan dokumen IMB.
15) Permohonan IMB adalah permohonan yang dilakukan pemilik
bangunan gedung kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan
IMB.
16) Bangunan gedung sederhana adalah bangunan gedung dengan
karakter sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi
sederhana.
17) Bangunan gedung tidak sederhana adalah bangunan gedung dengan
karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan/atau
teknologi tidak sederhana.
18) Bangunan gedung khusus adalah bangunan gedung yang memiliki
penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan
pelaksanaannya memerlukan penyelesaian atau teknologi khusus.
19) Bangunan gedung untuk kepentingan umum adalah bangunan gedung
yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi
keagamaan, fungsi usaha, maupun sosial dan budaya.
20) Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan
gedung sebagai dasar pemenuhan tingkat persyaratan administratif
dan persyaratan teknisnya.
21) Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan
yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi,
serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan
gedung.
V-8
22) Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung
beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik
fungsi.
23) Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian
bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana
dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
24) Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur Cagar Budaya yang
rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/ atau
teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.
25) Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan
bangunan gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan
keandalan bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai
dengan keadaan menurut periode yang dikehendaki.
26) Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah
hasil perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten Boyolali yang telah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali.
27) Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah
penjabaran dari RTRW.
28) Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan
pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun
untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang.
29) Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya disingkat
RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan,
rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman
pengendalian pelaksanaan.
V-9
30) Keterangan Rencana Kabupaten Boyolali yang selanjutnya disebut KRK
adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan dan lingkungan
yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi tertentu.
31) Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar
bangunan gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah
perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata
bangunan dan lingkungan.
32) Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan
gedung dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
33) Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan
dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
34) Koefisien Tapak Basement yang selanjutnya disingkat KTB adalah
angka persentase perbandingan antara luas tapak basement dan luas
lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai
rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
35) Dokumen Rencana Teknis adalah gambar teknis bangunan gedung dan
kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan
rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana
arsitektur, rencana struktur, rencana utilitas, serta rencana spesifikasi
teknis, rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung
sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
36) Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan
Gedung yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan
pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung baik dalam proses
V-10
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran
bangunan gedung.
37) Penilaian Dokumen Rencana Teknis adalah evaluasi terhadap
pemenuhan persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek
lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan gedung.
38) Persetujuan Rencana Teknis adalah pernyataan tertulis tentang telah
dipenuhinya seluruh persyaratan dalam rencana teknis bangunan
gedung yang telah dinilai.
39) Pengesahan Dokumen Rencana Teknis adalah pernyataan hukum
dalam bentuk pembubuhan tanda tangan pejabat yang berwenang
serta stempel atau cap resmi, yang menyatakan kelayakan dokumen
yang dimaksud dalam persetujuan tertulis atas pemenuhan seluruh
persyaratan dalam rencana teknis bangunan gedung dalam bentuk IMB
gedung.
40) Pemohon adalah orang atau badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan yang mengajukan permohonan IMB kepada Pemerintah
Daerah.
41) Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok
orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik
bangunan gedung.
42) Perencana Konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau
badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang
perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan
dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
43) Tim Ahli Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat TABG adalah
tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan
bangunan gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam
proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan
terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian
masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan
V-11
anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan
kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.
44) Retribusi IMB adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian IMB yang disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan yang
meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan pelaksanaan
pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan
dan rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan koefisien dasar
bangunan (KDB), koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian
bangunan (KKB), dan pengawasan penggunaan bangunan yang
meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat keselamatan
bagi yang menempati bangunan tersebut.
45) Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha
dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan
gedung, termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang
berkepentingan dengan penyelenggaraan bangunan gedung.
2. Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup Peraturan Daerah
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu mengatur tentang maksud, tujuan, dan ruang lingkup
peraturan daerah. Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai pedoman
penyelenggaraan IMB bagi Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah ini
bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung sesuai
dengan fungsi dan tata ruang, yang diselenggarakan secara tertib untuk
menjamin keandalan teknis bangunan gedung; dan mewujudkan kepastian
hukum dalam penyelenggaraan IMB. Ruang lingkup Peraturan Daerah
meliputi: fungsi dan klasifikasi bangunan gedung; pemberian IMB;
persyaratan permohonan penerbitan IMB; tata cara penyelenggaraan IMB;
retribusi IMB; dokumen IMB; pembinaan; peran Pemerintah Daerah dan
masyarakat; sanksi administrtif; dan pelaporan.
V-12
3. Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai Fungsi dan Klasifikasi
Bangunan Gedung yang meliputi:
a. Bangunan meliputi bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
b. Pembagian fungsi bangunan gedung meliputi:
1) fungsi hunian;
2) fungsi keagamaan;
3) fungsi usaha;
4) fungsi sosial budaya; dan
5) fungsi khusus.
c. Fungsi bangunan gedung dapat memiliki lebih dari 1 (satu) fungsi.
d. Bangunan gedung didirikan sesuai dengan ketentuan dalam RTRW
dan/atau RDTR.
e. Fungsi hunian mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal
manusia yang meliputi rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret,
rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara.
f. Fungsi keagamaan mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan
ibadah yang meliputi bangunan masjid termasuk mushola, bangunan
gereja termasuk kapel, bangunan pura, bangunan vihara, dan
bangunan kelenteng.
g. Fungsi mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan
usaha yang meliputi bangunan gedung perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan bangunan
gedung tempat penyimpanan.
h. Fungsi sosial dan budaya mempunyai fungsi utama sebagai tempat
melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi bangunan gedung
pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, kebudayaan,
laboratorium, dan bangunan gedung pelayanan umum.
V-13
i. Fungsi khusus mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan
kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan tinggi tingkat nasional
atau yang penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di
sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi yang meliputi
bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan
keamanan, dan bangunan sejenis.
j. Bangunan bukan gedung dapat berupa:
1) konstruksi pembatas/penahan/pengaman berupa pagar,
tanggul/retaining wall, turap batas kavling/persil;
2) konstruksi penanda masuk lokasi berupa gapura dan gerbang;
3) konstruksi perkerasan berupa jalan, lapangan upacara, lapangan
olah raga terbuka;
4) konstruksi penghubung berupa jembatan, box culvert, jembatan
penyeberangan;
5) konstruksi kolam/reservoir bawah tanah berupa kolam renang,
kolam pengolahan air, reservoir bawah tanah;
6) konstruksi menara berupa menara antena, menara reservoir,
cerobong;konstruksi monumen berupa tugu, patung;
7) konstruksi instalasi/gardu berupa instalasi listrik, instalasi
telepon/komunikasi, instalasi pengolahan; dan/atau
8) konstruksi reklame/papan nama berupa billboard, papan iklan,
papan nama.
k. Klasifikasi bangunan gedung ditentukan berdasarkan:
1) tingkat kompleksitas;
2) tingkat permanensi;
3) tingkat risiko kebakaran;
4) zonasi gempa;
5) lokasi;
6) ketinggian; dan
7) kepemilikan.
V-14
l. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi:
1) bangunan gedung sederhana;
2) bangunan gedung tidak sederhana; dan
3) bangunan gedung khusus.
m. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat permanensi meliputi:
1) bangunan gedung darurat atau sementara;
2) bangunan gedung semi permanen; dan b
3) angunan gedung permanen.
n. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan tingkat risiko kebakaran
meliputi:
1) bangunan gedung tingkat risiko kebakaran rendah;
2) angunan gedung tingkat risiko kebakaran sedang; dan
3) angunan gedung tingkat risiko kebakaran tinggi.
o. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan zonasi gempa, ditetapkan
berdasarkan percepatan puncak batuan dasar meliputi:
1) zona < 0,05 g;
2) zona 0,05 – 0.1 g;
3) zona 0,1 – 0.15 g;
4) zona 0,15 – 0.2 g;
5) zona 0,2 – 0.25 g;
6) zona 0,25 – 0.3 g;
7) zona 0,3 – 0.4 g;
8) zona 0,4 – 0,5 g;
9) zona 0,5 – 0,6 g;
10) zona 0,6 – 0,7 g;
11) zona 0,7 – 0,8 g;
12) zona 0,8 – 0,9 g;
13) zona 0,9 – 1,0 g;
14) zona 1,0– 1,2 g;
15) zona 1,2 – 1,5 g;
16) zona 1,5 – 2,0 g; dan
V-15
17) zona > 2,0 g.
p. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan lokasi meliputi:
1) bangunan gedung di lokasi padat;
2) bangunan gedung di lokasi sedang; dan
3) bangunan gedung di lokasi renggang.
q. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan ketinggian meliputi:
1) bangunan gedung bertingkat tinggi;
2) bangunan gedung bertingkat sedang; dan
3) bangunan gedung bertingkat rendah.
r. Klasifikasi bangunan gedung berdasarkan kepemilikan meliputi:
1) bangunan gedung milik negara/Daerah;
2) bangunan gedung milik badan usaha; dan
3) bangunan gedung milik perorangan.
s. Klasifikasi bangunan gedung untuk penyelenggaraan IMB ditentukan
berdasarkan kompleksitas bangunan gedung yang meliputi:
1) bangunan gedung sederhana;
2) bangunan gedung tidak sederhana; dan
3) bangunan gedung khusus.
t. Bangunan gedung sederhana meliputi:
1) bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai; dan
2) bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai.
u. Bangunan gedung tidak meliputi:
1) bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk kepentingan
umum; dan
2) bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum.
4. Pemberian IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai pemberian IMB meliputi :
V-16
a. Setiap orang atau badan yang akan membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan di Daerah
wajib memiliki IMB.
b. IMB diberikan oleh Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
perizinan.
c. Pemberian IMB diselenggarakan berdasarkan prinsip:
1) prosedur yang sederhana, mudah dan aplikatif;
2) pelayanan yang cepat, terjangkau dan tepat waktu;
3) keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha; dan
4) aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan,
keamanan dan keselamatan, serta kenyamanan.
d. Bupati memanfaatkan pemberian IMB untuk:
1) pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
2) mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin
keandalan bangunan dari segi keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan;
3) mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata
bangunan dan serasi dengan lingkungannya; dan
4) syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan.
e. Pemilik IMB mendapat manfaat untuk:
1) pengajuan sertifikat laik jaminan fungsi bangunan;
2) memperoleh pelayanan utilitas umum daerah yang meliputi
penyambungan jaringan listrik, air minum, telepon dan gas; dan
3) memperoleh manfaat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Persyaratan permohonan penerbitan IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai persyaratan permohonan
penerbitan IMB meliputi:
a. persyaratan administratif; dan
b. persyaratan teknis.
V-17
c. Setiap orang dan/atau badan hukum termasuk instansi pemerintah
yang mengajukan permohonan IMB harus memenuhi seluruh
persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
d. Dalam pengajuan permohonan IMB, Pemerintah Daerah harus:
1) melayani permohonan IMB; dan
2) menyampaikan persyaratan permohonan IMB dengan jelas.
e. Persyaratan administratif meliputi:
1) data pemohon;
2) data tanah; dan
3) dokumen dan surat terkait.
f. Data pemohon dan data tanah berlaku sama untuk bangunan gedung
sederhana, tidak sederhana, dan khusus.
g. Persyaratan teknis meliputi:
1) data umum bangunan gedung; dan
2) dokumen rencana teknis bangunan gedung.
h. Data umum bangunan gedung paling sedikit memuat:
1) nama bangunan gedung;
2) alamat lokasi bangunan gedung;
3) fungsi dan/atau
4) klasifikasi bangunan gedung;
5) jumlah lantai bangunan gedung;
6) luas lantai dasar bangunan gedung;
7) total luas lantai bangunan gedung;
8) ketinggian bangunan gedung; luas basement;
9) jumlah lantai basement; dan
10) posisi bangunan gedung.
i. Dokumen rencana teknis bangunan gedung paling sedikit memuat:
1) rencana arsitektur;
2) rencana struktur; dan
3) rencana utilitas.
V-18
j. Posisi bangunan gedung ditentukan berdasarkan informasi Global
Positioning System (GPS) yang diambil di titik tengah bangunan gedung.
k. Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai
dapat disediakan sendiri oleh pemohon dengan ketentuan sebagai
berikut:
1) memenuhi persyaratan pokok tahan gempa; dan/atau
2) menggunakan desain prototipe bangunan gedung sederhana 1
(satu) lantai.
l. Desain prototipe dapat ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai
dengan kondisi daerah.
m. Dalam hal tidak menggunakan desain prototipe, pemohon harus
menyediakan dokumen rencana teknis.
n. Dokumen rencana teknis dapat digambar oleh:
1) perencana konstruksi; atau
2) pemohon.
o. Dokumen rencana teknis yang digambar oleh pemohon dapat digambar
secara sederhana dengan informasi yang lengkap.
p. Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai
disediakan oleh pemohon dengan menggunakan jasa perencana
konstruksi.
q. Dalam hal pemohon tidak mampu menggunakan jasa perencana
konstruksi, dokumen rencana teknis disediakan sendiri oleh pemohon
dengan menggunakan desain prototipe bangunan gedung sederhana 2
(dua) lantai.
r. Dokumen rencana teknis bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai
paling sedikit memuat:
1) rencana arsitektur;
2) rencana struktur; dan
3) rencana utilitas.
s. Rencana arsitektur paling sedikit memuat:
1) gambar situasi atau rencana tapak;
V-19
2) gambar denah; gambar tampak; dan
3) gambar potongan.
t. Rencana struktur paling sedikit memuat:
1) gambar rencana pondasi termasuk detailnya;
2) gambar rencana kolom, balok, plat dan detailnya; dan
3) gambar rencana atap termasuk detailnya.
u. Rencana utilitas paling sedikit memuat:
1) gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air kotor,
limbah cair, dan limbah padat;
2) gambar jaringan listrik yang terdiri dari gambar sumber, jaringan,
dan pencahayaan; dan
3) gambar pengelolaan air hujan dan sistem drainase dalam tapak.
v. Dokumen rencana teknis bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus harus disediakan oleh pemohon dengan
menggunakan perencana konstruksi.
w. Dokumen rencana teknis bangunan gedung tidak sederhana dan
bangunan gedung khusus paling sedikit memuat:
1) rencana arsitektur;
2) rencana struktur; dan
3) rencana utilitas.
x. Rencana arsitektur paling sedikit memuat:
1) gambar situasi atau rencana tapak;
2) gambar denah;
3) gambar tampak;
4) gambar potongan;
5) gambar detail arsitektur; dan
6) spesifikasi umum perampungan bangunan gedung.
y. Rencana struktur paling sedikit memuat:
1) perhitungan struktur untuk bangunan gedung dengan ketinggian
mulai dari 3 (tiga) lantai, dengan bentang struktur lebih dari 3 (tiga)
meter, dan/atau memiliki basement;
V-20
2) hasil penyelidikan tanah;
3) gambar rencana pondasi termasuk detailnya;
4) gambar rencana kolom, balok, plat dan detailnya;
5) gambar rencana rangka atap, penutup, dan detailnya;
6) spesifikasi umum struktur; dan
7) spesifikasi khusus.
z. harus disertai dengan gambar rencana basement termasuk detailnya.
aa. Dalam hal spesifikasi umum dan spesifikasi khusus memiliki model
atau hasil tes, maka model atau hasil tes harus disertakan dalam
rencana struktur. paling sedikit memuat:
1) perhitungan utilitas yang terdiri dari perhitungan kebutuhan air
bersih, kebutuhan listrik, penampungan dan pengolahan limbah
cair dan padat, dan beban kelola air hujan;
2) perhitungan tingkat kebisingan dan/atau getaran;
3) gambar sistem sanitasi yang terdiri dari sistem air bersih, air kotor,
limbah cair, limbah padat, dan persampahan;
4) gambar sistem pengelolaan air hujan dan drainase dalam tapak;
5) gambar sistem instalasi listrik yang terdiri dari gambar sumber
listrik, jaringan, dan pencahayaan;
6) gambar sistem proteksi kebakaran yang disesuaikan dengan tingkat
risiko kebakaran; dan
7) gambar sistem penangkal petir.
bb. Rencana arsitektur harus memuat rencana penyediaan fasilitas dan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Tata cara penyelenggaraan IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai tata cara penyelenggaraan IMB
meliputi:
a. Pengaturan penyelenggaraan IMB meliputi:
V-21
1) pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung;
2) tahapan penyelenggaraan IMB;
3) IMB bertahap;
4) Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan IMB;
5) Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi;
6) Pendataan bangunan gedung;
7) IMB untuk bangunan gedung yang dibangun kolektif; dan
8) Penyelenggaraan IMB.
b. Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung diatur melalui
penerbitan IMB untuk:
1) pembangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana
bangunan gedung;
2) renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung,
meliputi pembaruan, peremajaan atau penyempurnaan;
3) rehabilitasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung
melalui upaya pemulihan kondisi suatu bangunan gedung cagar
budaya agar dapat dimanfaatkan secara efisien untuk fungsi
kekinian dengan cara perbaikan atau perubahan tertentu dengan
tetap menjaga nilai kesejarahan, arsitektur, dan budaya; dan
4) pelestarian atau pemugaran.
c. Penerbitan IMB dilakukan dengan kegiatan: penetapan fungsi dan
klasifikasi bangunan gedung; dan perubahan fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung.
d. Penetapan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung melalui mekanisme:
1) pemilik bangunan gedung mengusulkan fungsi dan klasifikasi
bangunan gedung dalam permohonan IMB; dan
2) Pemerintah Daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan
gedung.
e. Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung melalui mekanisme:
1) Pemilik bangunan gedung mengusulkan permohonan baru IMB
dengan mengajukan dokumen rencana teknis bangunan gedung
V-22
sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW atau
RDTR/Penetapan Zonasi Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL; dan
2) Pemilik bangunan gedung memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah.
f. Bagi wilayah yang belum ditentukan dalam RTRW atau
RDTR/Penetapan Zonasi Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL, IMB yang
diterbitkan berlaku sementara.
g. IMB yang berlaku sementara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
h. Apabila RTRW, dan/atau RDTR/Penetapan Zonasi Kabupaten Boyolali,
dan/atau RTBL untuk lokasi yang bersangkutan telah ditetapkan, fungsi
bangunan gedung yang tidak sesuai dengan RTRW, RDTR/Penetapan
Zonasi Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL yang telah ditetapkan
dilakukan penyesuaian paling lama 5 (lima) tahun, kecuali untuk rumah
tinggal tunggal paling lama 10 (sepuluh) tahun, sejak pemberitahuan
penetapan RTRW oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan
gedung.
i. Dalam penyesuaian fungsi bangunan gedung, pemilik bangunan gedung
harus mengajukan permohonan perubahan IMB.
j. Tahapan penyelenggaraan IMB, meliputi:
1) proses prapermohonan IMB;
2) proses permohonan IMB;
3) proses penerbitan IMB; dan
4) pelayanan administrasi IMB.
k. Proses prapermohonan IMB meliputi:
1) permohonan KRK oleh pemohon kepada Pemerintah Daerah; dan
2) penyampaian informasi persyaratan permohonan penerbitan IMB
oleh Pemerintah Daerah kepada pemohon.
l. Pemohon harus mengajukan permohonan KRK sebelum mengajukan
permohonan IMB.
V-23
m. Pemohon KRK harus mengisi surat pernyataan untuk mengikuti
ketentuan dalam KRK.
n. Pemerintah Daerah harus memberikan KRK untuk lokasi yang
bersangkutan kepada pemohon.
o. KRK) berisi ketentuan sesuai RTRW atau RDTR/Penetapan Zonasi
Kabupaten Boyolali, dan/atau RTBL meliputi:
1) fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi
bersangkutan;
2) ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
3) jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah
dan KTB yang diizinkan;
4) garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang
diizinkan;
5) KDB maksimum yang diizinkan;
6) KLB maksimum yang diizinkan;
7) KDH minimum yang diwajibkan;
8) KTB maksimum yang diizinkan;
9) jaringan utilitas kota; dan
10) keterangan lainnya yang terkait.
p. Dalam KRK dicantumkan ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi
yang bersangkutan antara lain:
1) lokasi yang terletak pada kawasan rawan bencana gempa;
2) kawasan rawan longsor;
3) kawasan rawan banjir; dan
4) lokasi yang kondisi tanahnya tercemar.
q. KRK digunakan sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan
gedung.
r. Pemerintah Daerah harus menyampaikan informasi persyaratan
permohonan penerbitan IMB.
V-24
s. Dalam hal rencana pengajuan permohonan IMB bangunan gedung
sederhana, Pemerintah Daerah harus menyampaikan informasi
mengenai desain prototipe dan persyaratan pokok tahan gempa.
t. Pemohon harus mengurus perizinan dan/atau rekomendasi teknis lain
dari instansi berwenang untuk permohonan IMB bangunan gedung
tidak sederhana untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
u. Perizinan dan/atau rekomendasi teknis lain, antara lain:
1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
2) Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UKL-UPL); dan
3) Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) atau Izin Perubahan
Penggunaan Tanah (IPPT).
v. Proses permohonan IMB merupakan pengajuan surat permohonan IMB
kepada Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan dengan
melampirkan dokumen persyaratan administratif dan persyaratan
teknis.
w. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan harus melakukan
pemeriksaan kelengkapan dokumen persyaratan administratif dan
persyaratan teknis.
x. Dalam hal persyaratan administratif dan/atau persyaratan teknis tidak
lengkap, Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan
mengembalikan dokumen permohonan IMB.
y. Pengembalian dokumen permohonan IMB dilengkapi surat
pemberitahuan kelengkapan persyaratan.
z. Permohonan IMB meliputi:
1) bangunan gedung; atau
2) bangunan bukan gedung.
aa. IMB bangunan gedung atau bangunan bukan gedung berupa
pembangunan baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau
merawat bangunan.
V-25
bb. Proses penerbitan IMB meliputi:
1) penilaian dokumen rencana teknis;
2) persetujuan tertulis; dan
3) penerbitan dokumen IMB.
cc. Penilaian dokumen rencana teknis merupakan evaluasi terhadap
dokumen rencana teknis dengan memperhatikan data umum
bangunan gedung.
dd. Penilaian dokumen rencana teknis bangunan gedung dilakukan
mengikuti persyaratan teknis bangunan gedung sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
ee. Dalam hal dokumen rencana teknis tidak sesuai dengan persyaratan
teknis bangunan gedung, Pemerintah Daerah mengembalikan surat
permohonan IMB, dokumen persyaratan administratif, dan dokumen
persyaratan teknis.
ff. Pengembalian surat permohonan IMB, dokumen persyaratan
administratif, dan dokumen persyaratan teknis dilengkapi surat
pemberitahuan hasil penilaian dokumen rencana teknis.
gg. Dalam hal penilaian dokumen rencana teknis untuk bangunan gedung
tidak sederhana untuk kepentingan umum, maka Kepala Perangkat
Daerah yang membidangi perizinan harus mendapatkan pertimbangan
teknis dari TABG.
hh. Pertimbangan teknis yang disusun oleh TABG merupakan masukan
untuk memberikan persetujuan pemenuhan persyaratan teknis oleh
Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan.
ii. Pertimbangan teknis sebagai kesimpulan dari hasil pengkajian berupa
nasihat, pendapat, dan pertimbangan profesional secara tertulis.
jj. TABG memberikan pertimbangan teknis setelah melakukan pengkajian
terhadap pemenuhan kesesuaian persyaratan teknis dengan ketentuan
meliputi:
1) fungsi bangunan gedung;
2) klasifikasi fungsi bangunan gedung;
V-26
3) persyaratan teknis bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum dan bangunan khusus;
4) persyaratan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan; tata bangunan; dan
5) keandalan bangunan gedung.
kk. TABG memiliki batas waktu dalam melakukan pengkajian pemenuhan
persyaratan teknis meliputi:
1) bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dan
bangunan gedung khusus dengan ketinggian 1 (satu) sampai
dengan 8 (delapan) lantai paling lama 8 (delapan) hari kerja; dan
2) bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dan
bangunan gedung khusus dengan ketinggian lebih dari 8 (delapan)
lantai paling lama 25 (dua puluh lima) hari kerja.
ll. Pertimbangan teknis menyatakan:
a. dokumen sesuai dengan persyaratan teknis; atau
b. dokumen tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
mm. Terhadap pertimbangan teknis, TABG memberikan saran teknis pada
bagian yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
nn. Pertimbangan teknis bersifat final.
oo. Dalam hal dokumen tidak sesuai dengan persyaratan teknis, Kepala
Perangkat Daerah yang membidangi perizinan mengembalikan surat
permohonan IMB, dokumen persyaratan administratif dan dokumen
persyaratan teknis kepada pemohon.
pp. Dalam hal pertimbangan teknis menyatakan dokumen tidak sesuai
dengan persyaratan teknis pemohon dapat mengajukan permohonan
IMB yang baru.
qq. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan membuat
persetujuan tertulis atas dokumen rencana teknis yang telah
memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung.
rr. Persetujuan meliputi:
1) paraf pada setiap lembar dokumen rencana teknis; dan
V-27
2) surat persetujuan dokumen teknis.
ss. Persetujuan dibuat oleh petugas yang melakukan penilaian dokumen
rencana teknis.
tt. Penerbitan dokumen IMB dilaksanakan melalui mekanisme:
1) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan menghitung
dan menetapkan nilai retribusi;
2) pemohon melakukan pembayaran retribusi dan menyerahkan
bukti pembayaran retribusi (Surat Setor Retribusi Daerah) kepada
Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan;
3) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan
mengesahkan dokumen rencana teknis; dan
4) Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan menerbitkan
dokumen IMB.
uu. Penghitungan dan penetapan nilai retribusi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
vv. Pembayaran retribusi oleh pemohon dilakukan setelah pemohon
mendapatkan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD).
ww. Pengesahan dokumen rencana teknis dilakukan dengan pembubuhan
tanda tangan dan cap pada dokumen rencana teknis oleh pejabat
PTSP yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
xx. Pelayanan administrasi IMB, meliputi:
1) legalisasi atas fotocopy IMB;
2) pembuatan duplikat dokumen IMB sebagai pengganti dokumen
IMB yang hilang atau rusak, dengan melampirkan surat
keterangan hilang dari instansi yang berwenang;
3) pemecahan dokumen IMB sesuai dengan perubahan pemecahan
dokumen IMB dan/atau kepemilikan tanah dan perubahan data
lainnya (balik nama) atas permohonan yang bersangkutan; dan
4) permohonan IMB untuk bangunan gedung yang sudah terbangun
dan belum memiliki IMB.
V-28
yy. Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan penyelenggaraan IMB
berdasarkan penggolongan bangunan diatur dengan Peraturan
Bupati.
zz. Ketentuan lebih lanjut mengenai format surat pemberitahuan
kelengkapan, surat pemberitahuan hasil penilaian dokumen rencana
teknis, surat pertimbangan teknis oleh TABG diatur dengan Peraturan
Bupati.
aaa. Pada pembangunan bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum, Kepala Perangkat Daerah yang membidangi
perizinan mempertimbangkan penerbitan IMB bertahap yang
merupakan satu kesatuan dokumen sepanjang tidak melampaui batas
waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
bbb. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan dapat
menerbitkan IMB bertahap untuk bangunan gedung tidak sederhana
untuk kepentingan umum dengan ketentuan:
a. memiliki ketinggian bangunan lebih dari 8 (delapan) lantai
dan/atau luas bangunan di atas 2.000 (dua ribu) meter persegi;
dan
b. menggunakan pondasi dalam lebih dari 2 (dua) meter.
ccc. Penerbitan IMB bertahap dilakukan melalui proses penerbitan IMB
pondasi dan dilanjutkan dengan penerbitan IMB.
ddd. Pengajuan permohonan IMB bertahap harus dilakukan dalam waktu
bersamaan dalam satu kesatuan dokumen permohonan.
eee. Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan IMB, dihitung sejak
pengajuan permohonan IMB meliputi:
1) IMB bangunan gedung sederhana 1 (satu) lantai paling lama 3
(tiga) hari kerja untuk bangunan yang menggunakan desain
prototipe;
2) IMB bangunan gedung sederhana 2 (dua) lantai paling lama 4
(empat) hari kerja untuk bangunan yang menggunakan desain
prototipe;
V-29
3) IMB bangunan gedung tidak sederhana bukan untuk kepentingan
umum paling lama 7 (tujuh) hari kerja;
4) IMB bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dengan ketinggian 1 (satu) sampai dengan 8 (delapan) lantai paling
lama 12 (dua belas) hari kerja;
5) IMB bangunan gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum
dengan ketinggian lebih dari 8 (delapan) lantai paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja; dan
6) IMB pondasi untuk bangunan gedung tidak sederhana untuk
kepentingan umum paling lama 18 (delapan belas) hari kerja.
fff. Ketentuan lebih jelas mengenai jangka waktu proses permohonan dan
penerbitan IMB sesuai dengan Tahapan Penyelenggaraan IMB, diatur
dengan Peraturan Bupati.
ggg. Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi
antara lain:
1) perubahan akibat kondisi, ukuran lahan kavling atau persil yang
tidak sesuai dengan rencana teknis dan/atau adanya kondisi
eksisting di bawah permukaan tanah yang tidak dapat diubah atau
dipindahkan seperti jaringan prasarana dan benda cagar budaya;
2) perubahan akibat perkembangan kebutuhan pemilik bangunan
gedung seperti penampilan arsitektur, penambahan atau
pengurangan luas dan jumlah lantai, dan tata ruang-dalam; dan
3) perubahan fungsi atas permintaan pemilik bangunan.
hhh. Proses administrasi perubahan perizinan meliputi:
1) perubahan rencana teknis yang dilakukan untuk penyesuaian
dengan kondisi lapangan dan tidak mempengaruhi sistem struktur
dituangkan dalam gambar terbangun (as built drawings);
2) perubahan rencana teknis yang mengakibatkan perubahan pada
arsitektur, struktur, dan utilitas harus melalui permohonan baru
IMB; dan
V-30
3) perubahan rencana teknis karena perubahan fungsi harus
melalui proses permohonan baru dengan proses sesuai dengan
penggolongan bangunan gedung untuk penyelenggaraan IMB.
iii. Pada masa konstruksi bangunan gedung harus sesuai dengan dokumen
IMB.
jjj.Pendataan bangunan gedung dilakukan bersamaan dengan proses
penerbitan IMB.
kkk. Pendataan bangunan gedung baru dilakukan berdasarkan data
pada surat permohonan IMB.
lll.Pendataan bangunan gedung harus dilakukan secara keseluruhan
dengan sistem terkomputerisasi paling lama 3 (tiga) tahun sejak
diundangkan Peraturan Daerah ini.
mmm. Pendataan bangunan gedung dilaksanakan sesuai dengan pedoman
teknis pendataan bangunan gedung oleh instansi yang berwenang
melaksanakan pengawasan bangunan gedung.
nnn. IMB berfungsi sebagai prasyarat untuk mendapatkan pelayanan
utilitas umum antara lain penyambungan jaringan listrik, air
minum, telepon, dan gas.
ooo. Penyelenggaraan IMB untuk bangunan gedung yang dibangun
kolektif, seperti bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal,
dan rumah deret di satu kawasan, wajib mengikuti proses
penyelenggaraan IMB pada bangunan gedung tidak sederhana
bukan untuk kepentingan umum.
ppp. Penyelenggaraan IMB merupakan bagian dari pengaturan
penyelenggaraan bangunan gedung.
qqq. Penyelenggaraan bangunan gedung diatur dengan Peraturan
Daerah tentang bangunan gedung.
7. Retribusi IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai retribusi IMB meliputi:
V-31
a. Pelayanan pemberian IMB dikenakan retribusi perizinan tertentu.
b. Pengenaan retribusi IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
8. Dokumen IMB
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai dokumen IMB, meliputi:
a. Dokumen IMB diterbitkan berupa Surat Izin.
b. Dokumen IMB ditandatangani oleh Kepala Perangkat Daerah yang
membidangi perizinan atas nama Bupati.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen IMB diatur dengan
Peraturan Bupati.
9. Pembinaan
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai pembinaan, meliputi:
a. Pembinaan pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Kepala
Perangkat Daerah yang membidangi perizinan dalam rangka
meningkatkan kemampuan dan kemandirian Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam memenuhi ketentuan teknis untuk terwujudnya
penataan bangunan gedung yang berkelanjutan serta keandalan
bangunan gedung.
b. Pembinaan berupa pengembangan, pemantauan dan evaluasi pemberian
IMB.
10. Peran Pemerintah Daerah dan masyarakat
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai peran Pemerintah Daerah dan
masyarakat, meliputi:
a. Peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan bangunan meliputi:
1) pengaturan;
V-32
2) pemberdayaan; dan
3) pengawasan.
b. Pengaturan dilakukan melalui:
1) penyusunan Peraturan Daerah tentang bangunan gedung yang
memuat pengaturan terkait penyelenggaraan IMB;
2) penyusunan peraturan bupati terkait IMB sebagai pengaturan
pelaksanaan Peraturan Daerah tentang bangunan gedung; dan
3) penyebarluasan norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK)
terkait IMB kepada masyarakat dan penyelenggara bangunan
gedung.
c. Pemberdayaan meliputi:
1) pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung; dan
2) pemberdayaan kepada masyarakat.
d. Pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung dilakukan
untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan peran, hak, dan
kewajiban, serta meningkatkan kemampuan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung dan IMB melalui:
1) pendataan bangunan gedung;
2) sosialisasi atau diseminasi; dan
3) bimbingan teknis dan pelatihan.
e. Pemberdayaan kepada masyarakat dilakukan terhadap masyarakat yang
belum mampu memenuhi persyaratan teknis bangunan gedung
sederhana dan bangunan gedung tidak sederhana melalui:
1) pendampingan pembangunan bangunan gedung secara bertahap;
2) penyediaan percontohan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan
teknis, meliputi dokumen rencana teknis prototipe rumah, rumah
tinggal tunggal sederhana (rumah inti tumbuh, dan rumah
sederhana sehat), dan rumah deret sederhana; dan
3) bantuan penataan bangunan dan lingkungan yang sehat dan
serasi.
V-33
f. Pemberdayaan kepada masyarakat dapat dilakukan bersama-sama
dengan masyarakat.
g. Pengawasan dilaksanakan oleh Kepala Perangkat Daerah yang
membidangi perizinan dalam rangka meningkatkan ketaatan terhadap
pelaksanaan IMB dan peraturan bangunan gedung melalui mekanisme
proses penerbitan IMB.
h. Peran masyarakat dilakukan untuk membantu Pemerintah Daerah
dengan mengikuti prosedur dan memperhatikan nilai sosial budaya
setempat.
i. Peran masyarakat dilakukan dengan mekanisme melaporkan secara
tertulis kepada Pemerintah Daerah melalui sarana yang mudah diakses
terkait indikasi bangunan gedung yang tidak laik fungsi dan/atau
berpotensi menimbulkan gangguan dan/atau bahaya bagi pengguna,
masyarakat, dan/atau lingkungan.
j. Laporan tertulis dibuat berdasarkan fakta dan pengamatan secara
objektif serta perkiraan kemungkinan secara teknis gejala konstruksi
bangunan gedung yang tidak laik fungsi.
11. Sanksi administrtif
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai sanksi administrtif, meliputi:
a. Setiap orang atau badan usaha yang berbadan hukum atau tidak
berbadan hukum yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Daerah
ini dikenakan sanksi administratif.
b. Sanksi administratif, berupa :
1) peringatan tertulis;
2) pembatasan kegiatan pembangunan;
3) penghentian sementara atau tetap pada pelaksanaan
pembangunan;
4) penghentian sementara atau tetap pemanfaatan bangunan gedung;
5) pembekuan;
V-34
6) pencabutan IMB; dan
7) pembongkaran.
c. Tata cara pemberian sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
12. Pelaporan.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai pelaporan, meliputi:
a. Kepala Perangkat Daerah yang membidangi perizinan menyampaikan
laporan secara keseluruhan atas kegiatan pelayanan IMB yang akan
diproses maupun yang sudah terbit kepada Bupati.
b. Laporan dilakukan secara berkala.
13. Ketentuan Lain-lain.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai ketentuan lain-lain, meliputi:
a. Penyelenggaraan IMB untuk bangunan prasarana bangunan gedung
berupa konstruksi bangunan yang berdiri sendiri dan tidak merupakan
pelengkap yang menjadi satu kesatuan dengan bangunan gedung atau
kelompok bangunan gedung pada satu tapak kaveling atau persil,
prinsipnya mengikuti proses penyelenggaraan IMB pada bangunan
gedung tidak sederhana untuk kepentingan umum dengan persyaratan
teknis yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
b. Bagi perusahaan yang mempunyai Izin Investasi Langsung Konstruksi,
dapat melaksanakan pembangunan sambil mengurus IMB.
14. Ketentuan Penyidikan
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai ketentuan penyidikan, meliputi:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana perizinan.
V-35
b. Penyidik berwenang:
1) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada saat itu juga ditempat
kejadian;
3) memerintahkan berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal tersangka;
4) melakukan penyitaan benda atau surat;
5) mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
6) memanggil orang untuk didengar sebagai tersangka atau saksi;
7) mendatangkan orang lain yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
8) mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk
dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana atau selanjutnya
melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka dan keluarganya; dan mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut
Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara Pidana.
15. Ketentuan Pidana
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan
Bangunan perlu memuat aturan mengenai ketentuan pidana, Setiap
orang atau badan yang mendirikan bangunan tanpa IMB atau IMB-nya
dicabut, dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan/atau
bangunannya dibongkar.
V-36
16. Ketentuan Peralihan.
Ketentuan Peralihan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang
Izin Mendirikan Bangunan memuat aturan mengenai: Pada saat
Peraturan Daerah ini mulai berlaku, permohonan IMB yang telah
diajukan dan sedang diproses sebelum diundangkannya Peraturan
Daerah ini, diproses berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
17. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin
Mendirikan Bangunan memuat rumusan norma tentang pencabutan dan
ketidakberlakuan peraturan daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan
yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Izin Mendirikan Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor
6 Tahun 2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan tetap berlaku sepanjang
belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini.
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini, sudah harus
diterbitkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah
ini diundangkan.
Ketentuan Penutup perlu memuat rumusan norma bahwa Peraturan
Daerah Kabupaten Boyolali tentang Izin Mendirikan Bangunan mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
pengundangan Peraturan Daerah ini ditempatkan dalam Lembaran
Daerah Kabupaten Boyolali.