Upload
faidh-husnan
View
15
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
rangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napza
Citation preview
A. Pengertian Penyalahgunaan ZatIstilah penyalahgunaan obat (drug abuse) sebenarnya kurang tepat, oleh karena istilah tersebut
mengandung arti berbeda bagi setiap orang. Ada hal yang membedakan istilah penyalahgunaan obat
dengan penggunaan secara salah(misuse). Penyalahgunaan lebih identik dengan penggunaan obat
dengan tujuan non medis, biasanya untuk pembentukan tubuh atau mengubah kesadaran. Sedangkan
penggunaan secara salah cenderung kearah salah indikasi, dosis, atau penggunaan secara lama.
Ketergantungan merupakan fenomena biologi yang sering dikaitkan dengan “penyalahgunaab
obat”, ketergantungan psikologis dimanifestasikan oleh dorongan perilaku abnormal di mana individu
menggunakan obat secara berulang kali untuk kepuasan pribadi, yang sering kali dihadapkan pada
resiko kesehatan, merookok, sigaret. Kehilangan kebebasan untuk menggunakan suatu bahan pada
jangka waktu yang pendek menghasilkan hasrat untuk menggunakannya lagi.
Ketergantungan psikologis terjadi jika penggunaan berulang obat menghasilkan withdrawal
effect(efek putus obat). Hal ini menunjukkkan bahwa tubuh menyesuaikan untuk tingkat homeostatis
baru selama periode penggunaan obat dan memperlihatkan reaksi yang berlawanan ketika reaksi yang
baru terganggu. Ketergantungan psikologis sebagian besar selalu menjadi penyebab lebih banyak
daripada ketergantungan fisiologis.
Adiksi sering kali diartikan sebagai keadaan ketergantungan psikologis dan fisiologis.
Toleransi menunjukkan menurunnya respon terhadap pengaruh obat, mengharuskan dosis lebih tinggi
untuk mencapai efek yang sama. Lebih dekat kaitannya dengan ketergantungan fisiologis. Hal
tersebut sering mengubah perilaku tubuh terhadap farmakodinamik obat.
B. mekanisme ketergantungan dan gejela eksitasiMekanisme terjadinya penyalahgunaan obat dan ketergantungan NAPZA dapat diterangkan
dengan tiga pendekatan, yaitu:
Organobiologik
Dari sudut pandang organobiologik (SSP/otak) mekanisme terjadinya adiksi
(ketagihan) dan dependensi (ketergantungan) dkenal dua istilah, yaitu:
Gangguan Mental Organik akibat Napza atau sindrom Otak Organik akibat NAPZA
adalah kegaduhan kegelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikiran),
afektif (alam perasaan atau emosi) dan psikomotor (perilaku), yang disebabkan oleh
efek langsung NAPZA terhadap susunan saraf pusat (otak).
Gangguan Penggunaan Napza termasuk didalamnya pengertian Penyalahgunaan
NAPZA atau ketergantungan NAPZA, yang lebih banyak menyoroti berbagai
kelainan perilaku (behavior Disorder) yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA
yang mempengaruhi susunan saraf pusat(otak).
Oleh karena itu dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatrik), kedua pengertian tersebut
diatas sering kali digabung menjadi satu kesatuan diagnosis yang disebut dengan Gangguan
mental dan Perilaku akibat NAPZA.
Psikodinamik
Hasil penelitian yang dilakukan Hawari (1990) menyatakan bahwa seseorang akan
terlibat penyalagunaan NAPZA dan dapat mengalami ketergantungan, apabila pada orang itu
sudah ada faktor predisposisi, yaitu faktor yang membuat orang cenderung menyalahgunakan
NAPZA, dan tidak hanya itu, terdapat faktor kontribusi dan faktor pencetus.
Faktor Predisposisi
Seseorang dengan gangguan kepribadian (antisocial) ditandai dengan perasaan tidak
puas dengan dampak perilakunya terhadap orang lain, tidak mampu berfungsi secara
wajar dan efektif di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja dan dalam pergaulan
social. Keluhan lain yaitu gangguan kejiwaan berupa kecemasan dan atau depresi.
Mereka menggunakan obat-obat ini sebagai upaya untuk mencoba mengobati dirinya
sendiri (self medication), atau sebagai reaksi pelarian (escape reaction).
Faktor Kontribusi
Seseorang yang berada dalam kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi
keluarga)akan merasa tertekan, dan ketertekanannya itu dapat merupakan faktor
penyerta bagi dirinya terlibat dalam penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA.
Kondisi keluarga yang tidak baik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Keluarga yang tidak utuh ; salah satu orang tua meninggal, orangtua bercerai atau
berpisah
Kesibukan Orangtua: orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor atau
aktivitas lain, sehingga perhatian terhadap anak berkurang.
Hubungan interpersonal yang tidak baik : hungan antara anak dengan orangtua,
anak dengan saudara, atau keluarga yang lain tidak harmonis.
Faktor pencetus
Penelitian yang dilakukan Hawari (1990) menyebutkan bahwa pengaruh teman
kelompok sebaya mempunyai andil 81,3% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan/
ketergantungan NAPZA. Sedangkan tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh
(easy availability) mempunyai andil 88% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan/
ketergantungan NAPZA. Interkalasi antara ketiga faktor diatas yaitu faktor
predisposisi,kontribusi, dan pencetus mempunyai resiko jauh lebih besar
dibandingkan satu atau dua faktor saja.
Psikososial
Penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA adalah salah satu bentuk perilaku
menyimpang. Dari sudut pandang psikososial perilaku menyimpang ini terjadi akibat negative
dari interaksi tiga kutub social yang tidak kondusif (tidak mendukung kea rah positif); yaitu
kutub keluarga, kutub sekolah/kampus dan kutub masyarakat.
Gejala Eksitasi pada penyalahgunaan NAPZA secara umum disebabkan karena
rangsangan pada susunan saraf pusat yang berlebihan dan tidak terkoordinasi. Salah satu zat
yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat dan menyebabkan reaksi eksitasi adalah morfin.
Efek morfin pada SSP dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai
agonis pada reseptor µ.
Susunan Saraf Pusat
1. Narcosis
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang sedang menderita
nyeri, sedih dan gellisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali
menimbulkan disforia berupa perasaan takut disertai mual dan muntah. Morfin juga
menimbulkan rasa ngantuk, tidak dapat konsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas
motorik berkurang dan letargi, ekstrimitas terasa berat, badan tersa panas, muka gatal dan
mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis.
2. Analgesia
Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama sebagai akibat kerja opioid pada
reseptor µ. reseptor δ dan К dapat juga ikut berperan dlaam menimbulkan analgesia pada
tingkat spinal.
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan pada reseptor opioid yang terutama
didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor mu (µ), delta (δ), dan kappa (К) banyak
didapatkan pada kornu dorsalis medulla spinalis. Resptor didapatkan bail pada saraf yang
mentransmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri.
Aginos opioid melalui reseptor mu (µ), delta (δ), dan kappa (К) pada ujung prasinaps
aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter, dan selanjutnya menghambat
saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian
opioid memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Selain
itu µ agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak.
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai dengan hilangnya
fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar, penglihatan dan pendengaran bahkan
persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
3. Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menyebabkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan
konvulsi lebih jarang timbul. Factor yang dapat mengubah eksitasi morfin ialah
idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.
4. Miosis
Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
Miosis ini dapat dilawan oleh atropine dan skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan dapt terjadi pada stadium akhir
intoksikasi morfin dan sudah mengalami asfiksia.
5. Depresi Nafas
Morfin menimbulka depresi nafas secara primer dan berkesinambungan berdasarkan efek
langsung terhadap pusat nafas di batang otak. Pada dosis kecil morfin sudah dapat
menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.
6. Mual dan muntah
Efek emetic morfin berdasarkan stimulasi langsung pada emetic receptor trigger zone
(CTZ) di area postrema medulla oblongata, bukan pada pusat emetic sendiri.
Saluran Cerna
1. Lambung : menghambat sekresi HCL, pergerakan lambung berkurang, tonus antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang, sedangkan sfingter pylorus berkontraksi.
Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.
2. Usus halus : mengurangi sekresi empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan
makanan di usus halus
3. Usus besar: mengurangi atau menghilangkan gerak propulsi usus besar, meninggikan
tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat
dan tija jadi lebih keras.
Kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun
irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah karena depresi pada pusat vagus dan
vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.
Otot polos lain
Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudoserta kontraksi ureter dan kandung
kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropine subkutan.
Kulit
Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi flushing.
Seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat dan pruritus.
Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu tubuh turun akibat aktivitas otot turun, vasodilatasi perifer
dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolism dikurangi oleh morfin.
C. Gejala Putus Obat
F1x.2 Sindrom Ketergantungan
Tiga atau lebih gejala di bawah ini terjadi bersamaan paling sedikit satu bulan lamanya, atau
bila kurang dari satu bulan harus terjadi berulang ulang secara bersamaan dalam kurun waktu
12 bulan:
1. Ada keinginan yang kuat harus menggunakan zat psikoaktif.
2. Gangguan kemampuan untuk mengendalikan perilaku menggunakan zat psikoaktif
dalam hal onset, terminasi atau tingkat penggunaan
3. Adanya keadaan putus zat secara psikologis bila zat psikoaktif yang digunakan
dikurangi atau berhenti menggunakan
4. adanya bukti toleransi terhadap zat psikoaktif, seperti adanya kebutuhan yang
meningkat terhadap zat psikoaktif
5. Adanya preokupasi terhadap zat psikoaktif, seperti yang tampak dengan terhentinya
atau berkurangnya kesenangan dan minat penting lainnya
6. Tetap menggunakan zat psikoaktif tanpa menghiraukan adanya bukti nyata terdapat
efek merugikan akibat menggunakan zat psikoaktif
F1x.3 Keadaan Putus Zat
K1 harus ada bukti yang jelas akhir akhir ini menghentikan atau mengurangi
penggunaan zat psikoaktif, sesudah penggunaan berulang kali
K2. keluhan dan gejala sesuai dengan gamberan keadaan putus zat psikoaktif tertentu.
K3. Keluhan dan gejala bukan disebabkan oleh kondisi medis yang tidak berkaitan
dengan penggunaan zat psikoaktif, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental dan
perilaku lain
F10.3 Keadaan Putus Alkohol
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :
1 Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan
2 Berkeringat
3 Mual dan muntah
4 Denyut jantung cepat atau hipertensi
5 Agitasi psikomotor
6 Nyeri kepala
7 Insomnia
8 Lesu dan lemah
9 Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat
sementara
10 Kejang
F11.3 Keadaan Putus Opioida
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif (catatan: keadaan
putus opioida dapat dibangkitkan karena pemberian antagonis opioida pada
orang yang menggunakan opioida dalam kurun waktu yang pendek)
B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini:
1. 1.keinginan yang kuat untuk mengkonsumsi opioida
2. Hidung basah ( rinore )
3. Mata basah karena air mata (lakrimasi)
4. Kejang perut
5. Mual
6. Diare
7. Pupil melebar
8. Piloereksi ( bulu roma berdiri ), atau menggigil
9. Denyut jantung cepat
10. Menguap berulang kali
11. Tidur tidak lelap
F12.3 Kadaan Putus Ganja
Belum terdapat criteria diagnostic yang pasti. Sesudah penggunaan ganja yang cukup
lama dan dalam jumlah yang banyak, bila berhenti menggunakan akan timbul
kecemasan, iritabel, tremor pada tangan yang diregangkan, berkeringat, dan nyeri
otot.
F13.3 Keadaan Putus Sedatif-Hipnotik
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat
B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :
1 Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan
2 Mual dan muntah
3 Denyut jantung cepat
4 Hipotensi postural
5 Agitasi psikomotor
6 Nyeri kepala
7 Insomnia
8 Lesu dan lemah
9 Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat
sementara
10 Ide
11 Paranoid
12 Kejang
F14.3 Keadaan Putus Kokain
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )
C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini :
1. Lesu dan letih
2. Hambatan psikomotor
3. Keinginan kuat untuk mengkonsumsi kokain
4. Nafsu makan bertambah
5. Insomnia atau hipersomnia
6. Mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan
F15.3 Keadaan Putus Stimulan Lain, Termasuk Kafein
A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )
C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini :
1. Lesu dan letih
2. Hambatan psikomotor
3. Keinginan kuat untuk mengkonsumsi stimulansia
4. Nafsu makan bertambah
5. Insomnia atau hipersomnia
6. Mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan
Catatan: tidak dikenal adanya keadaan putus halusinogen
F17.3 Keadaan Putus Tembakau
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Terdapat dua dari geja la di bawh ini :
1. Keinginan kuat untuk menkonsumsi tembakau
2. Lesu dan lemah
3. Ansietas
4. Suasana perasaan disforia
5. Iritabel dan tidak tenang
7. Nafsu makan bertambah
8. Insomnia
9. Batuk bertambah
10. Tikus dimulut
11. Sulit memusatkan perhatian
Catatan: belum terdapat cukup informasi untuk menetapkan kriteria diagnostik
keadaan putus inhalan atau pelarut yang mudah menguap.
F1x.4 Keadaan Putus Zat dengan Delirium
A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif
B. Harus memenuhi criteria delirium, Dibedakan menjadi :
F1x40 tanpa kejang
F1x41 dengan kejang
Gejala putus zat Kokain
Setelah menghentikan pemakaian kokain atau setelah intoksikasi akut, terjadi depresi
pascaintoksikasi (crash) yang ditandai dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan,
hipersomnolensi, kadang-kadang agitasi.
Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus kokain menghilang dalam 18 jam.
Pada pemakaian berat, gejala putus kokain bisa berlangsung sampai satu minggu, dan mencapai
puncaknya pada dua sampai empat hari.
Gejala putus kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang
mengalami putus kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif,
hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam (Valium).
D. Penatalaksanaan G. Penanggulangan Masalah NAPZAPenanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi).1) PencegahanPencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZAb) Deteksi dini perubahan perilaku c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak
pada narkoba”
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut.Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon.Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) RehabilitasiRehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannyapemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien
tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini (bagan 1).
Bagan 1. Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit
Klien datang 1 2 3 4Ke RS
Perawatan
Perawatan rehabilitasi
detoksifikasi (ruang rehabilitasi)
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi 2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA 3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik 5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja 6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan
dengan lingkungannya.
Jenis program rehabilitasi: a) Rehabilitasi psikososialProgram rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program).Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai
latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi.Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi kejiwaanDengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan.Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok.Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi).Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi.Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga brokenhome.Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwakonsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.c) Rehabilitasi komunitasBerupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan.Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan
orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaanRehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.