17
A. Pengertian Penyalahgunaan Zat Istilah penyalahgunaan obat (drug abuse) sebenarnya kurang tepat, oleh karena istilah tersebut mengandung arti berbeda bagi setiap orang. Ada hal yang membedakan istilah penyalahgunaan obat dengan penggunaan secara salah(misuse). Penyalahgunaan lebih identik dengan penggunaan obat dengan tujuan non medis, biasanya untuk pembentukan tubuh atau mengubah kesadaran. Sedangkan penggunaan secara salah cenderung kearah salah indikasi, dosis, atau penggunaan secara lama. Ketergantungan merupakan fenomena biologi yang sering dikaitkan dengan “penyalahgunaab obat”, ketergantungan psikologis dimanifestasikan oleh dorongan perilaku abnormal di mana individu menggunakan obat secara berulang kali untuk kepuasan pribadi, yang sering kali dihadapkan pada resiko kesehatan, merookok, sigaret. Kehilangan kebebasan untuk menggunakan suatu bahan pada jangka waktu yang pendek menghasilkan hasrat untuk menggunakannya lagi. Ketergantungan psikologis terjadi jika penggunaan berulang obat menghasilkan withdrawal effect(efek putus obat). Hal ini menunjukkkan bahwa tubuh menyesuaikan untuk tingkat homeostatis baru selama periode penggunaan obat dan memperlihatkan reaksi yang berlawanan ketika reaksi yang baru terganggu. Ketergantungan psikologis sebagian besar selalu menjadi penyebab lebih banyak daripada ketergantungan fisiologis. Adiksi sering kali diartikan sebagai keadaan ketergantungan psikologis dan fisiologis. Toleransi menunjukkan menurunnya respon terhadap pengaruh obat, mengharuskan dosis lebih tinggi untuk mencapai efek yang sama. Lebih dekat kaitannya dengan ketergantungan fisiologis. Hal tersebut sering mengubah perilaku tubuh terhadap farmakodinamik obat. B. mekanisme ketergantungan dan gejela eksitasi

rangkuman napza

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napzarangkuman napza

Citation preview

Page 1: rangkuman napza

A. Pengertian Penyalahgunaan ZatIstilah penyalahgunaan obat (drug abuse) sebenarnya kurang tepat, oleh karena istilah tersebut

mengandung arti berbeda bagi setiap orang. Ada hal yang membedakan istilah penyalahgunaan obat

dengan penggunaan secara salah(misuse). Penyalahgunaan lebih identik dengan penggunaan obat

dengan tujuan non medis, biasanya untuk pembentukan tubuh atau mengubah kesadaran. Sedangkan

penggunaan secara salah cenderung kearah salah indikasi, dosis, atau penggunaan secara lama.

Ketergantungan merupakan fenomena biologi yang sering dikaitkan dengan “penyalahgunaab

obat”, ketergantungan psikologis dimanifestasikan oleh dorongan perilaku abnormal di mana individu

menggunakan obat secara berulang kali untuk kepuasan pribadi, yang sering kali dihadapkan pada

resiko kesehatan, merookok, sigaret. Kehilangan kebebasan untuk menggunakan suatu bahan pada

jangka waktu yang pendek menghasilkan hasrat untuk menggunakannya lagi.

Ketergantungan psikologis terjadi jika penggunaan berulang obat menghasilkan withdrawal

effect(efek putus obat). Hal ini menunjukkkan bahwa tubuh menyesuaikan untuk tingkat homeostatis

baru selama periode penggunaan obat dan memperlihatkan reaksi yang berlawanan ketika reaksi yang

baru terganggu. Ketergantungan psikologis sebagian besar selalu menjadi penyebab lebih banyak

daripada ketergantungan fisiologis.

Adiksi sering kali diartikan sebagai keadaan ketergantungan psikologis dan fisiologis.

Toleransi menunjukkan menurunnya respon terhadap pengaruh obat, mengharuskan dosis lebih tinggi

untuk mencapai efek yang sama. Lebih dekat kaitannya dengan ketergantungan fisiologis. Hal

tersebut sering mengubah perilaku tubuh terhadap farmakodinamik obat.

B. mekanisme ketergantungan dan gejela eksitasiMekanisme terjadinya penyalahgunaan obat dan ketergantungan NAPZA dapat diterangkan

dengan tiga pendekatan, yaitu:

Organobiologik

Dari sudut pandang organobiologik (SSP/otak) mekanisme terjadinya adiksi

(ketagihan) dan dependensi (ketergantungan) dkenal dua istilah, yaitu:

Gangguan Mental Organik akibat Napza atau sindrom Otak Organik akibat NAPZA

adalah kegaduhan kegelisahan dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikiran),

afektif (alam perasaan atau emosi) dan psikomotor (perilaku), yang disebabkan oleh

efek langsung NAPZA terhadap susunan saraf pusat (otak).

Gangguan Penggunaan Napza termasuk didalamnya pengertian Penyalahgunaan

NAPZA atau ketergantungan NAPZA, yang lebih banyak menyoroti berbagai

kelainan perilaku (behavior Disorder) yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA

yang mempengaruhi susunan saraf pusat(otak).

Page 2: rangkuman napza

Oleh karena itu dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatrik), kedua pengertian tersebut

diatas sering kali digabung menjadi satu kesatuan diagnosis yang disebut dengan Gangguan

mental dan Perilaku akibat NAPZA.

Psikodinamik

Hasil penelitian yang dilakukan Hawari (1990) menyatakan bahwa seseorang akan

terlibat penyalagunaan NAPZA dan dapat mengalami ketergantungan, apabila pada orang itu

sudah ada faktor predisposisi, yaitu faktor yang membuat orang cenderung menyalahgunakan

NAPZA, dan tidak hanya itu, terdapat faktor kontribusi dan faktor pencetus.

Faktor Predisposisi

Seseorang dengan gangguan kepribadian (antisocial) ditandai dengan perasaan tidak

puas dengan dampak perilakunya terhadap orang lain, tidak mampu berfungsi secara

wajar dan efektif di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja dan dalam pergaulan

social. Keluhan lain yaitu gangguan kejiwaan berupa kecemasan dan atau depresi.

Mereka menggunakan obat-obat ini sebagai upaya untuk mencoba mengobati dirinya

sendiri (self medication), atau sebagai reaksi pelarian (escape reaction).

Faktor Kontribusi

Seseorang yang berada dalam kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi

keluarga)akan merasa tertekan, dan ketertekanannya itu dapat merupakan faktor

penyerta bagi dirinya terlibat dalam penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA.

Kondisi keluarga yang tidak baik yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Keluarga yang tidak utuh ; salah satu orang tua meninggal, orangtua bercerai atau

berpisah

Kesibukan Orangtua: orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor atau

aktivitas lain, sehingga perhatian terhadap anak berkurang.

Hubungan interpersonal yang tidak baik : hungan antara anak dengan orangtua,

anak dengan saudara, atau keluarga yang lain tidak harmonis.

Faktor pencetus

Penelitian yang dilakukan Hawari (1990) menyebutkan bahwa pengaruh teman

kelompok sebaya mempunyai andil 81,3% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan/

ketergantungan NAPZA. Sedangkan tersedianya dan mudahnya NAPZA diperoleh

(easy availability) mempunyai andil 88% bagi seseorang terlibat penyalahgunaan/

ketergantungan NAPZA. Interkalasi antara ketiga faktor diatas yaitu faktor

predisposisi,kontribusi, dan pencetus mempunyai resiko jauh lebih besar

dibandingkan satu atau dua faktor saja.

Psikososial

Penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA adalah salah satu bentuk perilaku

menyimpang. Dari sudut pandang psikososial perilaku menyimpang ini terjadi akibat negative

Page 3: rangkuman napza

dari interaksi tiga kutub social yang tidak kondusif (tidak mendukung kea rah positif); yaitu

kutub keluarga, kutub sekolah/kampus dan kutub masyarakat.

Gejala Eksitasi pada penyalahgunaan NAPZA secara umum disebabkan karena

rangsangan pada susunan saraf pusat yang berlebihan dan tidak terkoordinasi. Salah satu zat

yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat dan menyebabkan reaksi eksitasi adalah morfin.

Efek morfin pada SSP dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai

agonis pada reseptor µ.

Susunan Saraf Pusat

1. Narcosis

Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang sedang menderita

nyeri, sedih dan gellisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali

menimbulkan disforia berupa perasaan takut disertai mual dan muntah. Morfin juga

menimbulkan rasa ngantuk, tidak dapat konsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas

motorik berkurang dan letargi, ekstrimitas terasa berat, badan tersa panas, muka gatal dan

mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis.

2. Analgesia

Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama sebagai akibat kerja opioid pada

reseptor µ. reseptor δ dan К dapat juga ikut berperan dlaam menimbulkan analgesia pada

tingkat spinal.

Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan pada reseptor opioid yang terutama

didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.

Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor mu (µ), delta (δ), dan kappa (К) banyak

didapatkan pada kornu dorsalis medulla spinalis. Resptor didapatkan bail pada saraf yang

mentransmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri.

Aginos opioid melalui reseptor mu (µ), delta (δ), dan kappa (К) pada ujung prasinaps

aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter, dan selanjutnya menghambat

saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian

opioid memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Selain

itu µ agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor µ di otak.

Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai dengan hilangnya

fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar, penglihatan dan pendengaran bahkan

persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

3. Eksitasi

Morfin dan opioid lain sering menyebabkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan

konvulsi lebih jarang timbul. Factor yang dapat mengubah eksitasi morfin ialah

idiosinkrasi dan tingkat eksitasi reflex SSP.

4. Miosis

Page 4: rangkuman napza

Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor.

Miosis ini dapat dilawan oleh atropine dan skopolamin. Pada intoksikasi morfin, pin point

pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan dapt terjadi pada stadium akhir

intoksikasi morfin dan sudah mengalami asfiksia.

5. Depresi Nafas

Morfin menimbulka depresi nafas secara primer dan berkesinambungan berdasarkan efek

langsung terhadap pusat nafas di batang otak. Pada dosis kecil morfin sudah dapat

menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.

6. Mual dan muntah

Efek emetic morfin berdasarkan stimulasi langsung pada emetic receptor trigger zone

(CTZ) di area postrema medulla oblongata, bukan pada pusat emetic sendiri.

Saluran Cerna

1. Lambung : menghambat sekresi HCL, pergerakan lambung berkurang, tonus antrum

meninggi dan motilitasnya berkurang, sedangkan sfingter pylorus berkontraksi.

Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat.

2. Usus halus : mengurangi sekresi empedu dan pancreas, dan memperlambat pencernaan

makanan di usus halus

3. Usus besar: mengurangi atau menghilangkan gerak propulsi usus besar, meninggikan

tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat

dan tija jadi lebih keras.

Kardiovaskular

Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun

irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah karena depresi pada pusat vagus dan

vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik.

Otot polos lain

Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudoserta kontraksi ureter dan kandung

kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropine subkutan.

Kulit

Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan vasodilatasi sehingga terjadi flushing.

Seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat dan pruritus.

Metabolisme

Morfin menyebabkan suhu tubuh turun akibat aktivitas otot turun, vasodilatasi perifer

dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolism dikurangi oleh morfin.

C. Gejala Putus Obat

F1x.2 Sindrom Ketergantungan

Page 5: rangkuman napza

Tiga atau lebih gejala di bawah ini terjadi bersamaan paling sedikit satu bulan lamanya, atau

bila kurang dari satu bulan harus terjadi berulang ulang secara bersamaan dalam kurun waktu

12 bulan:

1. Ada keinginan yang kuat harus menggunakan zat psikoaktif.

2. Gangguan kemampuan untuk mengendalikan perilaku menggunakan zat psikoaktif

dalam hal onset, terminasi atau tingkat penggunaan

3. Adanya keadaan putus zat secara psikologis bila zat psikoaktif yang digunakan

dikurangi atau berhenti menggunakan

4. adanya bukti toleransi terhadap zat psikoaktif, seperti adanya kebutuhan yang

meningkat terhadap zat psikoaktif

5. Adanya preokupasi terhadap zat psikoaktif, seperti yang tampak dengan terhentinya

atau berkurangnya kesenangan dan minat penting lainnya

6. Tetap menggunakan zat psikoaktif tanpa menghiraukan adanya bukti nyata terdapat

efek merugikan akibat menggunakan zat psikoaktif

F1x.3 Keadaan Putus Zat

K1 harus ada bukti yang jelas akhir akhir ini menghentikan atau mengurangi

penggunaan zat psikoaktif, sesudah penggunaan berulang kali

K2. keluhan dan gejala sesuai dengan gamberan keadaan putus zat psikoaktif tertentu.

K3. Keluhan dan gejala bukan disebabkan oleh kondisi medis yang tidak berkaitan

dengan penggunaan zat psikoaktif, dan bukan disebabkan oleh gangguan mental dan

perilaku lain

F10.3 Keadaan Putus Alkohol

A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif

B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :

1 Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan

2 Berkeringat

3 Mual dan muntah

4 Denyut jantung cepat atau hipertensi

5 Agitasi psikomotor

6 Nyeri kepala

7 Insomnia

8 Lesu dan lemah

9 Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat

sementara

10 Kejang

Page 6: rangkuman napza

F11.3 Keadaan Putus Opioida

A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif (catatan: keadaan

putus opioida dapat dibangkitkan karena pemberian antagonis opioida pada

orang yang menggunakan opioida dalam kurun waktu yang pendek)

B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini:

1. 1.keinginan yang kuat untuk mengkonsumsi opioida

2. Hidung basah ( rinore )

3. Mata basah karena air mata (lakrimasi)

4. Kejang perut

5. Mual

6. Diare

7. Pupil melebar

8. Piloereksi ( bulu roma berdiri ), atau menggigil

9. Denyut jantung cepat

10. Menguap berulang kali

11. Tidur tidak lelap

F12.3 Kadaan Putus Ganja

Belum terdapat criteria diagnostic yang pasti. Sesudah penggunaan ganja yang cukup

lama dan dalam jumlah yang banyak, bila berhenti menggunakan akan timbul

kecemasan, iritabel, tremor pada tangan yang diregangkan, berkeringat, dan nyeri

otot.

F13.3 Keadaan Putus Sedatif-Hipnotik

A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat

B. Harus terdapat tiga dari gejala di bawah ini :

1 Tremor pada lidah, mata, dan tangan yang direnggangkan

2 Mual dan muntah

3 Denyut jantung cepat

4 Hipotensi postural

5 Agitasi psikomotor

6 Nyeri kepala

7 Insomnia

8 Lesu dan lemah

9 Halusinasi atau ilusi penglihatan, perabaan, pendengaran yang bersifat

sementara

Page 7: rangkuman napza

10 Ide

11 Paranoid

12 Kejang

F14.3 Keadaan Putus Kokain

A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif

B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )

C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini :

1. Lesu dan letih

2. Hambatan psikomotor

3. Keinginan kuat untuk mengkonsumsi kokain

4. Nafsu makan bertambah

5. Insomnia atau hipersomnia

6. Mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan

F15.3 Keadaan Putus Stimulan Lain, Termasuk Kafein

A. harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif

B. Terdapat suasana perasaan disforia ( kesedihan, atau anhedonia )

C. Terdapat dua dari gejala di bawah ini :

1. Lesu dan letih

2. Hambatan psikomotor

3. Keinginan kuat untuk mengkonsumsi stimulansia

4. Nafsu makan bertambah

5. Insomnia atau hipersomnia

6. Mimpi aneh atau yang tidak menyenangkan

Catatan: tidak dikenal adanya keadaan putus halusinogen

F17.3 Keadaan Putus Tembakau

A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif

B. Terdapat dua dari geja la di bawh ini :

1. Keinginan kuat untuk menkonsumsi tembakau

2. Lesu dan lemah

3. Ansietas

4. Suasana perasaan disforia

5. Iritabel dan tidak tenang

7. Nafsu makan bertambah

8. Insomnia

Page 8: rangkuman napza

9. Batuk bertambah

10. Tikus dimulut

11. Sulit memusatkan perhatian

Catatan: belum terdapat cukup informasi untuk menetapkan kriteria diagnostik

keadaan putus inhalan atau pelarut yang mudah menguap.

F1x.4 Keadaan Putus Zat dengan Delirium

A. Harus memenuhi criteria umum keaaan putus zat psikoaktif

B. Harus memenuhi criteria delirium, Dibedakan menjadi :

F1x40 tanpa kejang

F1x41 dengan kejang

Gejala putus zat Kokain

Setelah menghentikan pemakaian kokain atau setelah intoksikasi akut, terjadi depresi

pascaintoksikasi (crash) yang ditandai dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan,

hipersomnolensi, kadang-kadang agitasi.

Pada pemakaian kokain ringan sampai sedang, gejala putus kokain menghilang dalam 18 jam.

Pada pemakaian berat, gejala putus kokain bisa berlangsung sampai satu minggu, dan mencapai

puncaknya pada dua sampai empat hari.

Gejala putus kokain juga dapat disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Orang yang

mengalami putus kokain seringkali berusaha mengobati sendiri gejalanya dengan alkohol, sedatif,

hipnotik, atau obat antiensietas seperti diazepam (Valium).

D. Penatalaksanaan G. Penanggulangan Masalah NAPZAPenanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi).1) PencegahanPencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:

a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZAb) Deteksi dini perubahan perilaku c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak

pada narkoba”

2) Pengobatan

Page 9: rangkuman napza

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:

a) Detoksifikasi tanpa subsitusi Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut.Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.

b) Detoksifikasi dengan substitusi Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon.Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.

3) RehabilitasiRehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannyapemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien

Page 10: rangkuman napza

tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini (bagan 1).

Bagan 1. Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit

Klien datang 1 2 3 4Ke RS

Perawatan

Perawatan rehabilitasi

detoksifikasi (ruang rehabilitasi)

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi 2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA 3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik 5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja 6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan

dengan lingkungannya.

Jenis program rehabilitasi: a) Rehabilitasi psikososialProgram rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program).Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai

Page 11: rangkuman napza

latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi.Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

b) Rehabilitasi kejiwaanDengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan.Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok.Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi).Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi.Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga brokenhome.Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwakonsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.c) Rehabilitasi komunitasBerupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan.Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan

Page 12: rangkuman napza

orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.

d) Rehabilitasi keagamaanRehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.