43
Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 1 Bank Indonesia RAPAT KERJA BI DAN KOMISI IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Dewan Gubernur BANK INDONESIA Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001 I. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG MONETER A. Masalah Pengendalian Inflasi Anggota Dewan yang menanyakan masalah pengendalian inflasi adalah Sdr. Suratal HW, Sdr. Sudirman, Sdr. Abdullah Zainie, Sdr. Danial Tandjung, dan Sdr. Abdullah Al Wahdi. Pertanyaan : 1. Apakah ada cara/metode penanggulangan inflasi baru yang ditemukan oleh para peneliti Bank Indonesia? 2. Apakah uang beredar yang terjadi pada saat ini sudah sesuai dengan LOI/IMF? Bagaimana Bank Indonesia mengendalikan uang primer ? 3. Dengan terus naiknya suku bunga sejalan dengan usaha Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi, beban APBN semakin besar dan fungsi intermediasi tidak jalan. Sebaiknya inflasi jangan terlalu dipermasalahkan yang penting ekonomi berjalan. Apa gunanya inflasi rendah (0%) kalau ekonomi mandeg? 4. Apakah ada upaya lain untuk menekan inflasi dan mengurangi uang kartal yang beredar. Karena yang dilakukan selama ini upaya tersebut hanya mengakibatkan naiknya suku bunga yang justru berakibat buruk pada sektor lain. 5. Kapan Bank Indonesia mulai menurunkan suku bunga SBI? Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat, Dari pertanyaan anggota Dewan tersebut dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut : 1. Kerangka Pengendalian Moneter Dilihat dari tugas dan wewenangnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.23 Tahun 1999, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi serta terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Dengan reformulasi tujuan berdasarkan UU Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia memasuki babak baru dalam menjalankan tugas pokoknya dari multiple objectives menjadi single objective yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Di bidang nilai tukar, dalam sistem nilai tukar mengambang yang sekarang berlaku,

RAPAT KERJA BI DAN KOMISI IX DPR RI Tanggal 9 Oktober … fileApakah uang beredar yang terjadi pada saat ini sudah sesuai dengan LOI/IMF? ... nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan

Embed Size (px)

Citation preview

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

1 Bank Indonesia

RAPAT KERJA BI DAN KOMISI IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Dewan Gubernur BANK INDONESIA

Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

I. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG MONETER A. Masalah Pengendalian Inflasi Anggota Dewan yang menanyakan masalah pengendalian inflasi adalah Sdr. Suratal HW, Sdr. Sudirman, Sdr. Abdullah Zainie, Sdr. Danial Tandjung, dan Sdr. Abdullah Al Wahdi.

Pertanyaan :

1. Apakah ada cara/metode penanggulangan inflasi baru yang ditemukan oleh para peneliti Bank Indonesia?

2. Apakah uang beredar yang terjadi pada saat ini sudah sesuai dengan LOI/IMF? Bagaimana Bank Indonesia mengendalikan uang primer ?

3. Dengan terus naiknya suku bunga sejalan dengan usaha Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi, beban APBN semakin besar dan fungsi intermediasi tidak jalan. Sebaiknya inflasi jangan terlalu dipermasalahkan yang penting ekonomi berjalan. Apa gunanya inflasi rendah (0%) kalau ekonomi mandeg?

4. Apakah ada upaya lain untuk menekan inflasi dan mengurangi uang kartal yang beredar. Karena yang dilakukan selama ini upaya tersebut hanya mengakibatkan naiknya suku bunga yang justru berakibat buruk pada sektor lain.

5. Kapan Bank Indonesia mulai menurunkan suku bunga SBI?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Dari pertanyaan anggota Dewan tersebut dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut :

1. Kerangka Pengendalian Moneter

Dilihat dari tugas dan wewenangnya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.23 Tahun 1999, Bank Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi serta terhadap mata uang negara lain yang diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Dengan reformulasi tujuan berdasarkan UU Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia memasuki babak baru dalam menjalankan tugas pokoknya dari multiple objectives menjadi single objective yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Di bidang nilai tukar, dalam sistem nilai tukar mengambang yang sekarang berlaku,

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

2 Bank Indonesia

nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Kebijakan Bank Indonesia dengan demikian tidak dimaksudkan untuk mengarahkan pergerakan nilai tukar agar mencapai suatu tingkat tertentu, akan tetapi lebih untuk mencegah fluktuasi nilai tukar yang berlebihan antara lain melalui kebijakan menambah pasokan di pasar valas sepanjang diperlukan. Sejalan dengan itu, maka pelaksanaan tugas Bank Indonesia lebih diarahkan untuk menjaga kestabilan harga (laju inflasi), guna mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana dipaparkan di atas.

Pembentukan inflasi pada dasarnya dipengaruhi oleh interaksi antara permintaan dan penawaran agregat. Kondisi permintaan agregat dipengaruhi oleh berbagai perkembangan variable yang berasal dari sisi konsumsi masyarakat dan pemerintah, investasi masyarakat dan pemerintah, serta dari sisi eksternal. Dari sisi penawaran agregat, perkembangan yang terjadi banyak dipengaruhi oleh besarnya faktor input (tenaga kerja dan modal), kebijakan struktural pemerintah, kapasitas produksi yang masih menganggur serta berbagai shocks seperti gangguan distribusi dan pengaruh musim. Beranjak dari hasil interaksi permintaan dan penawaran agregat, selanjutnya secara makro akan terdapat satu kesenjangan produksi baik berlebih atau berkurang. Dalam kondisi kesenjangan produksi berlebih, maka tekanan inflasi yang terjadi akan berkurang. Sebaliknya bilamana kesenjangan produksi yang terjadi berkurang, maka secara normative inflasi yang terjadi akan meningkat. Tekanan inflasi yang berasal dari peningkatan permintaan dikenal dengan demand pull inflation, sedangkan tekanan inflasi yang diakibatkan perubahan di sisi penawaran dikenal dengan cost push inflation. Selain itu, tekanan inflasi juga bersumber dari ekspektasi inflasi masyarakat yang antara lain dapat dipicu oleh kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan serta depresiasi nilai tukar rupiah.

Berkaitan dengan tekanan inflasi yang berasal dari melemahnya nilai tukar rupiah dapat kami jelaskan bahwa pengaruh nilai tukar terhadap inflasi dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung depresiasi nilai tukar terhadap inflasi (exchange rate pass through) dijelaskan melalui perubahan harga barang-barang impor yang langsung mempengaruhi harga barang di dalam negeri. Sementara itu, dampak tidak langsung (indirect pass through) melemahnya nilai tukar terhadap inflasi terjadi melalui kenaikan biaya produksi terhadap sektor usaha yang masih memiliki kandungan impor yang tinggi.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa kontrol Bank Indonesia atas inflasi menjadi sangat terbatas, karena inflasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Oleh karena itu, Bank Indonesia selalu melakukan assessment terhadap perkembangan perekonomian termasuk melakukan survei-survei, khususnya terhadap kemungkinan tekanan inflasi. Selanjutnya respon kebijakan moneter didasarkan kepada hasil assessment tersebut. Perlu disampaikan pula bahwa pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan hanya melalui kebijakan moneter, melainkan juga kebijakan ekonomi makro lainnya seperti kebijakan fiskal dan kebijakan di sektor riil. Untuk itulah koordinasi dan kerjasama antar lembaga lintas sektoral sangatlah penting dalam menangani masalah inflasi ini.

Kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia pada dasarnya hanya dapat mempengaruhi sisi permintaan perekonomian dan ekspektasi inflasi masyarakat secara tidak langsung. Sisi permintaan perekonomian selain dipengaruhi oleh kebijakan moneter juga dipengaruhi oleh kebijakan fiskal. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan menentukan perubahan pada sisi permintaan perekonomian. Sementara itu, sisi penawaran dipengaruhi oleh kebijakan yang mempengaruhi penyediaan dan distribusi barang dan jasa

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

3 Bank Indonesia

dalam perekonomian, seperti kebijakan sektoral, upah minimum dan kebijakan lain yang terkait dengan penyediaan berbagai kebutuhan industri dalam negeri. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi masyarakat tidak saja dipengaruhi oleh perilaku inflasi pada masa lalu (adaptive expectation) tetapi juga dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi di masa mendatang (rational expectation).

Di sisi lain, kebijakan moneter tidak dapat secara langsung mempengaruhi perkembangan sisi penawaran seperti musim panen dan perkembangan harga-harga komoditi yang dikendalikan pemerintah (administered prices) yang juga dapat mempengaruhi laju inflasi. Tanggung jawab pengendalian inflasi yang dibebankan kepada Bank Indonesia dengan demikian secara tidak langsung juga berarti bahwa dalam jangka menengah panjang, pengaruh faktor-faktor non moneter terhadap inflasi perlu terus dikurangi, antara lain melalui langkah-langkah untuk memungkinkan bekerjanya mekanisme pasar dengan baik.

Pengendalian Base Money (Uang Primer) Sebagai Sasaran Operasional

Dalam mencapai tujuan mewujudkan stabilitas harga (inflasi yang rendah), Bank Indonesia menggunakan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional dalam pengendalian moneter. Dalam mengendalikan uang primer, Bank Indonesia senantiasa mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan naik turunnya posisi uang primer, baik dari sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, tingginya peningkatan uang primer terutama berasal dari tingginya permintaan uang kartal oleh masyarakat sebagai salah satu komponen dalam uang primer. Sementara faktor lain yang sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia yaitu Saldo Giro Positif Bank di Bank Indonesia relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Permintaan uang kartal oleh masyarakat ini sebagian besar tergantung dari perilaku masyarakat dalam menggunakan uang kartal tersebut sehingga sulit untuk dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia.

Sementara itu dari sisi penawaran, peningkatan uang primer tersebut terutama bersumber dari ekspansi rekening pemerintah (NCG) terutama untuk pembayaran subsidi, proyek dan bunga obligasi melalui sektor perbankan, serta Dana Alokasi Umum (DAU) dalam mengimplementasikan UU Otonomi Daerah. Meningkatnya likuiditas perbankan ditengah belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan, yang tercermin dari masih rendahnya penyaluran kredit perbankan ke dunia usaha, dikhawatirkan akan mendorong perbankan untuk bertindak spekulatif yang akan mendorong semakin melemahnya nilai tukar rupiah. Guna mengatasi permasalahan tersebut, Bank Indonesia selalu berusaha untuk menyerap kelebihan likuiditas melalui instrumen OPT yaitu SBI lelang dan intervensi rupiah.

Dalam situasi saat ini dimana tekanan inflasi masih tinggi namun pertumbuhan ekonomi melambat, maka kebijakan moneter yang harus ditempuh Bank Indonesia menjadi semakin sulit dan dilematis. Di satu sisi, tingginya tekanan inflasi dan nilai tukar yang masih bergejolak mengharuskan Bank Indonesia untuk mengetatkan kondisi moneter dengan menyerap kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang akan berdampak pada kenaikan suku bunga. Di sisi lain, perlambatan perekonomian menuntut pelonggaran kebijakan moneter untuk menghindari terganggunya proses pemulihan perekonomian yang masih berlangsung.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

4 Bank Indonesia

Pelaksanaan Operasi Pengendalian Moneter

Operasi pengendalian moneter dilakukan dengan instrumen utama SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang dilakukan dengan jangka waktu jatuh tempo 1 bulan dan 3 bulan. Dengan masih adanya potensi tekanan inflasi dan nilai tukar pada periode mendatang serta masih tingginya pertumbuhan uang primer, kebijakan moneter tetap ditujukan untuk menurunkan pertumbuhan base money kearah yang lebih sesuai dengan kebutuhan riil kegiatan perekonomian. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya target pertumbuhan uang primer s.d akhir Desember 2001 adalah 11%-12% sedangkan s.d. akhir Maret 2001 pada kisaran 12%-13%. Dalam hubungan ini, Bank Indonesia terus berupaya mengembangkan model dalam menetapkan sasaran-sasaran moneter yang sesuai dengan kebutuhan perekonomian, termasuk melakukan cash flow projection sebagai acuan dalam operasi pengendalian moneter.

Di dalam menyerap kelebihan likuiditas tersebut strategi pengendalian moneter perlu dilakukan secara berhati-hati dan terukur dengan meminimalkan dampak negatif peningkatan suku bunga yang berlebihan. Untuk itu, strategi pengendalian moneter yang ditempuh adalah sebagai berikut:

a. Operasi Pasar Terbuka harus diarahkan pada upaya meminimalkan kelebihan likuiditas perbankan termasuk kelebihan cadangan bank (excess reserves), SBI, dan intervensi rupiah, secara lebih akurat sehingga tidak menyebabkan signal kenaikan sukubunga yang berlebihan.

b. Intervensi rupiah pada dasarnya digunakan sebagai “fine tuning” untuk menyerap kelebihan likuiditas yang tidak tertampung dalam OPT dengan timing dan magnitude yang tepat serta dengan tetap mengupayakan signal kenaikan sukubunga yang tidak berlebihan.

c. Sterilisasi di pasar valas tetap menjadi opsi yang terbuka untuk membantu penyerapan likuiditas rupiah sekaligus menambah pasokan di pasar valas yang tipis sehingga dapat mengurangi tekanan dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Pengendalian Inflasi Dengan Pendekatan Inflation Targeting

Terkait dengan metode/cara baru dalam penanggulangan inflasi yang ditanyakan oleh Anggota Dewan, Bank Indonesia menyadari bahwa akhir-akhir ini terdapat gejala adanya pergeseran tugas Bank Sentral yang semula bersifat “multiple objectives” menjadi terfokus pada pengendalian inflasi (single objective). Secara khusus, dalam hal strategi pengendalian inflasi ini, Bank Indonesia berupaya untuk menerapkan inflation targeting (IT). Pemilihan metode IT ini sejalan pula dengan kecenderungan terkini bank-bank sentral di dunia karena terbukti cukup ampuh dalam memerangi inflasi. Selain itu, sasaran operasionalnya pun diberbagai negara telah bergeser dari quantinty targeting (uang primer) menjadi price targeting (suku bunga).

Beberapa alasan yang mendasari kecenderungan Bank Sentral menerapkan Inflation Targeting tersebut adalah,

- Pertama, bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi tingkat inflasi dan tidak dapat mempengaruhi variabel-variabel riil seperti pertumbuhan ekonomi ataupun tingkat pengangguran.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

5 Bank Indonesia

Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi variabel-variabel riil dalam jangka pendek.

- Kedua, pencapaian inflasi yang rendah merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena perekonomian tidak dipacu untuk tumbuh melebihi kapasitasnya.

- Ketiga, dengan menetapkan inflasi sebagai sasaran tunggal, sasaran tersebut akan menjadi jangkar nominal (nominal achor) dalam merumuskan kebijakan moneter dan acuan berbagai kegiatan ekonomi.

Strategi yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam mencapai sasaran inflasi yang rendah adalah:

- mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter. - menentukan sasaran akhir kebijakan moneter. - mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi. - memformulasikan respon kebijakan moneter.

Penetapan sasaran inflasi bank sentral tidak dapat dilakukan secara reaktif tetapi lebih melihat beberapa periode ke depan (forward looking) dengan mempertimbangkan efek tunda kebijakan moneter dan memperhatikan secara seksama proyeksi (outlook) laju inflasi jangka menengah dan panjang. Dalam perkembangannya, inflation targeting secara murni belum sepenuhnya dapat dilakukan diantaranya karena masih tingginya beban fiskal yang memungkinkan Pemerintah untuk mengurangi subsidi dengan menerapkan kebijakan di bidang harga (administered price), mekanisme kelembagaan yang belum jelas (antara Pemerintah, Bank Indonesia dan DPR), dan kondisi perbankan yang belum memungkinkan untuk diterapkan inflation targeting.

Pengkajian Alternatif Metode Pengendalian Inflasi

Dalam mencari alternatif/metode pengendalian inflasi, Bank Indonesia terus berupaya untuk melakukan kajian dan penelitian secara mendalam mengenai kemungkinan meningkatkan efektivitas berbagai piranti moneter yang dimiliki Bank Indonesia. Hasil dari berbagai kajian ini diharapkan akan memberikan alternatif piranti monter yang lebih baik digunakan Bank Indonesia dalam mencapai tujuannya yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Selain itu, Bank Indonesia juga terus berupaya meningkatkan kualitas hasil penelitian yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi Indonesia secara lebih akurat.

Berkaitan dengan kebutuhan informasi mengenai adanya tekanan inflasi yang lebih tepat digunakan dalam perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia saat ini sedang mengembangkan sejumlah pendekatan/metoda untuk menghitung inflasi inti (core inflation) yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh kebijkan moneter. Sebagaimana Anggota Dewan ketahui bahwa salah satu kegunaan core inflation adalah dapat digunakan sebagai guidance bagi pelaksanaan kebijakan moneter Bank Indonesia. Perhitungan core inflation yang dihasilkan tersebut diharapkan akan bisa memberikan arah dan timing yang lebih tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan suatu kebijakan moneter.

Selain itu, Bank Indonesia juga terus mengembangkan perumusan kebijakan moneter yang lebih baik yakni dengan mengembangkan policy rule dengan berdasarkan mekanisme transmisi yang diyakini berlaku di Indonesia. Berdasarkan rule tersebut

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

6 Bank Indonesia

pelaksanaan kebijakan moneter dapat dilakukan secara lebih disiplin dan sistematis serta forward looking dalam arti otoritas moneter tidak bersifat reaktif atas inflasi yang terjadi tetapi lebih diarahkan pada kecenderungan inflasi di masa yang akan datang. Melalui serangkaian pengembangan di bidang riset ekonomi dan kebijakan moneter tersebut diharapkan ke depan Bank Indonesia dapat melakukan tugasnya dengan lebih baik lagi.

2. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Upaya Pencapaian Sasaran Uang Primer

Secara operasional, Bank Indonesia masih tetap menggunakan uang primer sebagai sasaran operasionalnya yang disesuaikan dengan target indikatif yang ditetapkan dalam Letter of Intent (LOI) Pemerintah kepada IMF namun dengan tetap memperhatikan perkembangan suku buga yang terjadi. Sejak bulan Mei 2001, posisi uang primer terus mengalami peningkatan yang tinggi hingga melampui target indikatif yang ditetapkan. Rata-rata pertumbuhan tahunan uang primer s.d bulan Agustus tahun 2001 telah mencapai 18,3% sementara target pertumbuhan uang primer adalah sebesar 11% – 12% pada Desember 2001 dan sebesar 12% – 13% pada Maret 2002.

Posisi uang primer sampai dengan bulan September ini terus berada di atas target indikatifnya, hal ini terkait dengan meningkatnya permintaan uang kartal oleh masyarakat, disamping adanya pengeluaran dari NCG untuk Dana Alokasi Umum (DAU) ataupun pembayaran gaji pegawai negeri. Beberapa motif yang mendorong permintaan masyarakat terhadap uang kartal tersebut yaitu untuk transaksi, berjaga-jaga, dan untuk spekulasi. Permintaan uang kartal oleh masarakat untuk bertransaksi tersebut mengalami peningkatan berkaitan dengan meningkatnya harga BBM, tarif angkutan dan cenderung melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Kebutuhan masyarakat terhadap uang kartal tersebut menjadi semakin tinggi sehubungangan dengan meningkatnya situasi di dalam negeri seperti Memorandum II dan Sidang Istimewa yang mendorong masyarakat untuk menyimpan uang kartal yang lebih besar untuk tujuan berjaga-jaga.

Dari perkembangan tersebut, apabila Bank Indonesia secara “all out” mengupayakan agar pertumbuhan uang primer dari bulan ke bulan berada pada kisaran target yang ditetapkan, maka yang terjadi adalah kenaikan suku bunga yang tinggi. Kondisi demikian tentu saja tidak diinginkan, karena dapat memberikan dampak kurang menguntungkan bagi restrukturisasi perbankan, beban fiskal, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tingginya pertumbuhan uang primer ini dapat memicu terjadinya inflasi dan kemungkinan adanya tindakan spekulatif terhadap valuta asing serta untuk transaksi-transaksi yang tidak produktif. Kondisi demikian merupakan dilema bagi Bank Indonesia dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.

Suku Bunga Tinggi (Nominal) Sebagai Resultante Pengendalian Moneter

Dalam perkembangannya, cenderung melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan adanya peningkatan ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi telah menyebabkan perbankan terus meningkatkan suku bunga penawaran (bidding) pada setiap lelang SBI. Kondisi ini mengakibatkan suku bunga SBI baik 1 dan 3 bulan terus meningkat hingga mencapai posisi 17,67% pada lelang pertengahan bulan Agustus 2001. Dengan melihat tingginya posisi suku bunga SBI yang diperkirakan dapat berpengaruh negatif pada sektor perbankan dan keuangan pemerintah, maka upaya penyerapan likuiditas selanjutnya terus dilakukan secara lebih berhati-hati dan terukur dengan meminimalkan kenaikan suku

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

7 Bank Indonesia

bunga yang berlebihan. Sejalan dengan itu, upaya pencapaian target uang primer akan diupayakan dengan lebih mengefektifkan instrumen lain selain SBI lelang yaitu intervensi rupiah dan sterilisasi valas.

Berkaitan dengan banyaknya permintaan penurunan suku bunga pada Bank Indonesia, dapat dikemukakan bahwa suku bunga yang terjadi di pasar pada dasarnya merupakan resultante dari proses lelang yang ditentukan sendiri oleh pasar. Sementara itu, tingginya posisi suku bunga SBI ini masih diperlukan mengingat masih adanya potensi tekanan laju inflasi. Selain itu, kondisi itu juga didasari oleh masih tingginya ekspektasi pelaku pasar terhadap melemahnya nilai tukar rupiah yang tercermin dari masih tingginya posisi forward rate yang berakibat terhadap rendahnya covered interest rate differential SBI bahkan mencapai posisi yang negatif untuk suku bunga deposito. Kedua pertimbangan inilah yang mendorong Bank Indonesia untuk tidak menurunkan suku bunga SBI dalam waktu dekat ini. Dalam hubungan ini, apabila tekanan terhadap laju inflasi dan nilai tukar telah menurun secara persisten dan hambatan-hambatan dalam pemulihan ekonomi nasional dapat diatasi, maka secara bertahap Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

3. Pelaksanaan dan Trade-off Dalam Pengendalian Moneter

Pengendalian harga yang diarahkan pada tingkat inflasi yang rendah sering dirasakan oleh berbagai kalangan sebagai langkah yang “kurang berpihak” kepada upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Karena dengan pengendalian inflasi dari sisi moneter akan berdampak pada meningkatnya suku bunga sehingga dianggap kurang dapat mendukung kelancaran dunia usaha dan menghambat proses pemulihan ekonomi. Padahal, kestabilan harga yang persisten, apabila kredibel, sebenarnya akan memunculkan “confidence” bagi para pelaku ekonomi, tanpa mereka harus bersusah payah melakukan penyesuaian biaya produksi dan di sisi konsumen pun tidak dibebani dengan harga yang terus melonjak-lonjak. Untuk itu, pengendalian inflasi oleh Bank Sentral merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya landasan yang kokoh bagi berlangsungnya pemulihan ekonomi dalam jangka yang lebih panjang.

Pengendalian inflasi oleh Bank Indonesia dengan kondisi demikian menjadi sulit dan dilematis. Di bidang fiskal, misalnya, beban pembayaran bunga obligasi variable rate semakin terasa dan menyebabkan beban fiskal meningkat sekitar Rp2 triliun setiap kenaikan 1% suku bunga SBI. Sementara itu, di bidang perbankan, kenaikan 1% suku bunga SBI akan berdampak pada bank-bank yang lemah atau bank yang masih melakukan konsolidasi dikhawatirkan akan memunculkan kembali kesulitan-kesulitan finansialnya.

B. Masalah Sistem Nilai Tukar Anggota Dewan yang menanyakan masalah sistem nilai tukar adalah Sdr. Daniel Budi Setiawan, Sdr. Sudirman, Sdr. Anthony Zedra Abidin, Sdr. FX. Soemitro, dan Sdr. Mukhtar.

Pertanyaan :

1. Nilai tukar yang bergejolak tidak dapat memberikan kepastian kepada dunia usaha. Apakah dalam hal ini Bank Indonesia dapat memberikan kepastian berapa sebenarnya nilai tukar yang akan terjadi?

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

8 Bank Indonesia

2. Nilai tukar sempat menguat setelah terbentuknya pemerintahan yang baru. Namun sekarang justru melemah bahkan mencapai Rp9800 per dollar. Apa langkah-langkah Bank Indonesia menghadapi hal tersebut? Kami juga tahu bahwa Bank Indonesia tidak mampu melakukan intervensi dalam jumlah besar.

3. Mengapa nilai tukar masih bergejolak?

4. Ternyata free floating justru menyengsarakan rakyat, tidak sesuai dengan teorinya. Apakah tepat free floating exchange rate diterapkan dalam negara yang mengalami krisis? Saya rasa hal tersebut perlu dikaji ulang.

5. Apakah ini sudah saatnya Bank Indonesia untuk menentukan nilai tetap yang diadjustment sehingga mereka tidak bisa main valas lagi sebagai komoditi ?

Jawaban :

Anggota Dewan Yang terhormat,

Mengingat pertanyaan dari para anggota Dewan secara substansi terkait satu sama lain, perkenankan kami menyatukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Penerapan sistem nilai tukar di Indonesia

Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, Indonesia telah mengimplementasikan berbagai sistem nilai tukar yaitu sistem nilai tukar tetap (Agustus 1971 - November 1978), sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan pita intervensi yang makin melebar (November 1978 s.d. 14 Agustus 1997) dan sistem nilai tukar mengambang (14 Agustus 1997 hingga kini). Perubahan penerapan regim nilai tukar dari satu sistem ke sistem lainnya dilakukan sejalan dengan situasi dan kondisi perekonomian Indonesia serta semakin terintegrasinya dengan perekonomian dunia. Pemaparan kronologi penerapan sistem nilai tukar diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem.

Nilai Tukar Tetap (Agustus 1971 – November 1978)

Dalam pelaksanaannya, setiap sistem nilai tukar mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam sistem nilai tukar tetap, nilai tukar dapat dipertahankan stabil dari waktu ke waktu. Untuk menjaga nilai tukar tetap pada level yang telah ditetapkan bank sentral harus secara aktif melakukan intervensi sehingga harus memiliki cadangan devisa dalam jumlah besar khususnya apabila terjadi kecenderungan permintaan valas. Di Indonesia, sistem nilai tukar tetap dengan sistem kontrol devisa pada tahun 70-an masih dimungkinkan karena pada masa itu lembaga keuangan belum berkembang, volume transaksi devisa masih relatif kecil dan pasar valuta asing belum berkembang, sehingga tekanan-tekanan terhadap nilai tukar yang membutuhkan intervensi bank sentral untuk dapat mempertahankan nilai tukar pada level tertentu relatif kecil.

Dewasa ini, perekonomian nasional telah semakin terbuka terhadap perekonomian dunia, dan sektor keuangan berkembang pesat dengan berbagai instrumen keuangannya serta mobilitas arus modal semakin tinggi. Dalam kondisi demikian, di satu pihak, penerapan nilai tukar tetap akan memberikan kepastian kepada dunia usaha. Namun di lain pihak, sistem tersebut akan semakin sulit untuk dipertahankan karena dalam sistem perekonomian

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

9 Bank Indonesia

terbuka terdapat tekanan-tekanan eksternal yang berpengaruh pada nilai tukar rupiah. Upaya mempertahankan nilai tukar rupiah pada level tertentu dimana bank sentral harus terus melakukan intervensi sehingga membutuhkan cadangan devisa yang besar yang sering kali tidak mampu menghadapi kekuatan pasar eksternal global yang sangat besar. Alternatif lain yakni penyesuaian berupa kebijakan devaluasi seperti yang pernah dilakukan beberapa kali di tahun 1970-an akan menimbulkan gejolak spekulasi besar-besaran apabila masyarakat memperkirakan Bank Sentral tidak mampu lagi mempertahankan nilai tukar. Dengan demikian, semakin sulit bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan sistem nilai tukar tetap ini.

Nilai Tukar Mengambang Terkendali (November 1978 s.d. 14 Agustus 1997)

Penerapan sistem nilai tukar mengambang terkendali memberikan kisaran tertentu bagi nilai tukar untuk bergerak mengikuti pasar. Dalam penerapannya, sistem mengambang terkendali dari waktu ke waktu disesuaikan dengan selisih inflasi antara Indonesia dan sekeranjang mata uang negara mitra dagang dan kompetitor Indonesia, untuk mempertahankan nilai tukar riil efektifnya (Real Effective Exchange Rate). Dengan penyesuaian selisih inflasi tersebut, perkembangan nilai tukar rupiah pada masa sistem nilai tukar mengambang terkendali relatif stabil dan mudah diprediksi.

Namun demikian, dengan makin berkembangnya sektor keuangan dan mobilitas modal yang tinggi, gejolak nilai tukar akan semakin membesar khususnya bila terdapat isu devaluasi. Meskipun pita (kisaran) intervensi telah terus menerus dilebarkan, pada akhirnya Bank Sentral tidak mampu menahan serangan spekulatif terhadap nilai tukar di awal periode krisis, karena cadangan devisa yang terbatas. Nilai tukar menjadi bergejolak dan kekuatan pasar begitu dominan sehingga menyebabkan terkurasnya cadangan devisa. Oleh sebab itu, sistem ini ditinggalkan dan kita beralih ke sistem nilai tukar mengambang.

Nilai Tukar Mengambang (Floating Exchange Rate)

Dalam sistem nilai tukar mengambang, fluktuasi sulit dihindari, misalnya nilai tukar pernah mencapai Rp. 16.000 per dolar AS pada tahun 1998, kemudian menguat Rp.6.900 per dolar AS pada Oktober 1999, namun kembali melemah menjadi Rp.7.463 per dolar AS pada Maret 2000 dan Rp.11.300 pada Juni 2001. Setelah pemerintahan baru nilai tukar sempat menguat hingga Rp.8600 per dolar AS di bulan Agustus 2001 namun masih berfluktuasi.

Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar oleh Bank Indonesia dan Pemerintah antara lain: menyerap kelebihan likuiditas di pasar uang melalui operasi pasar terbuka, melakukan sterilisasi valuta asing, membatasi transaksi rupiah antara bank dengan non-residen dan melakukan penjadwalan utang pemerintah melalui Paris Club I dan II. Dapat diinformasikan bahwa dalam sistem nilai tukar mengambang, Bank Indonesia dapat melakukan intervensi sewaktu-waktu. Bank Indonesia pada umumnya melakukan intervensi sebagai upaya menambah supply valas di pasar untuk meredam volatilitas harga yang terjadi di pasar dan bukan mengarahkan pada level/kurs tertentu.

Dengan makin banyaknya tuntutan masyarakat terhadap kemungkinan menerapkan sistem nilai tukar tetap yang lebih mencerminkan adanya kepastian, patut kami sampaikan bahwa memperhatikan karakteristik struktural perekonomian serta gejolak yang mempengaruhinya, maka penerapan sistem nilai tukar tetap pada saat ini akan lebih

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

10 Bank Indonesia

berisiko tinggi terhadap terjadinya serangan spekulatif mengingat terbatasnya cadangan devisa Bank Indonesia dan secara politis akan lebih mahal apabila dalam jangka pendek terpaksa melakukan devaluasi. Walaupun dengan menerapkan sistem mengambang terkendali, apabila faktor ketidakpastian dapat diselesaikan, maka diharapkan nilai tukar akan kembali menguat dan menjadi relatif stabil.

Berdasarkan pengalaman negara-negara di dunia, suatu sistem nilai tukar yang cocok untuk suatu negara, belum tentu berhasil diterapkan di negara lainnya. Sebagai contoh, Hong Kong berhasil menjaga stabilitas perekonomiannya dengan sistem nilai tukar tetap (Currency Board System), namun Argentina dengan sistem CBS-nya tidak dapat terhindar dari krisis dan saat ini perekonomiannya sedang terpuruk sehingga membutuhkan bantuan IMF. Singapura yang menerapkan sistem mengambang bebas berhasil menjaga stabilitas nilai tukar dan perekonomiannya. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan suatu sistem nilai tukar sangat tergantung kepada kondisi di masing-masing negara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar

Perkembangan nilai tukar rupiah akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, ekspektasi jangka pendek pelaku pasar (sentimen pasar) yang sering tercermin pada fluktuasi jangka pendek nilai tukar. Kedua, faktor fundamental berupa laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kinerja neraca pembayaran. Ketiga, struktur mikro pasar valuta asing yaitu kondisi finansial bank dan corporate. Ketiga faktor utama tersebut saling terkait satu sama lain dan telah menimbulkan lingkaran permasalahan (vicious circle) baik dalam skala makro maupun mikro dan gejolak nilai tukar yang kita alami ini merupakan gejala dari permasalahan ekonomi yang kita hadapi.

Dalam beberapa periode (Semester I tahun 2001), nilai tukar mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa harapan-harapan jangka pendek pelaku pasar selama ini banyak dipengaruhi oleh ketidakstabilan situasi sosial politik (risiko politik), yang oleh pelaku pasar pada umumnya dikhawatirkan dapat mengganggu kelangsungan pemulihan ekonomi (risiko ekonomi) ke depan. Dengan relatif stabilnya situasi sosial politik saat ini dibandingkan di masa lalu, faktor pertama yang mempengaruhi nilai tukar tersebut (sentimen pasar) diharapkan dapat segera teratasi. Namun, di pihak lain gejolak nilai tukar yang berlebihan di masa lalu tersebut telah menimbulkan berbagai gangguan terhadap struktur ekonomi baik dalam skala makro dan mikro.

Dalam skala makro, faktor fundamental ekonomi yang terjadi dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar secara signifikan, misalnya, dengan memburuknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia. Demikian halnya kondisi fundamental yang terefleksi dari tingginya permintaan untuk pembayaran utang dan kondisi kestabilan dan kesinambungan fiskal jangka panjang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Sementara itu, dalam jangka panjang fakor utang luar negeri swasta masih cukup tinggi dan tetap menjadi sumber utama tekanan permintaan valuta asing di pasar. Sedangkan sumber pasokan valuta asing yang berasal dari aliran modal masuk dalam bentuk investasi asing dan kembalinya modal akibat capital flight yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir belum terealisasi. Sementara itu, meskipun neraca perdagangan mengalami surplus, namun belum memberikan sumbangan berarti terhadap ketersediaan valuta asing di dalam negeri.

Dalam konteks perekonomian nasional dewasa ini, untuk dapat mempengaruhi sentimen pasar, dibutuhkan upaya peningkatan fundamental yang tercermin dari pelaksanaan program pemulihan ekonomi secara konsisten. Keberhasilan dalam bentuk

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

11 Bank Indonesia

penguatan dan stabilnya nilai tukar rupiah secara fundamental dapat terjadi melalui terciptanya aliran masuk modal asing FDI secara signifikan yang mencerminkan kuatnya kepercayaan investor sekaligus kestabilan nilai tukar rupiah.

Sementara itu, dalam skala mikro gejolak nilai tukar sangat mempengaruhi kinerja perbankan dan sektor riil. Kondisi finansial dari corporate dan individual bank sangat mempengaruhi terhadap permintaan dan penawaran valuta asing di pasar dalam menjaga posisi short atau long valuta asing. Dengan demikian, meskipun situasi politik di dalam negeri relatif membaik, namun beberapa permasalahan fundamental ekonomi baik dalam skala makro maupun mikro masih belum mengalami perubahan yang signifikan untuk memberikan dukungan bagi tercapainya stabilitas nilai tukar rupiah.

C. Masalah Perkembangan Nilai Tukar Pertanyaan :

1. Kami ingin menanyakan kebenaran pernyataan yang tertuang dalam laporan Triwulan II yang menyatakan bahwa: “Kondisi pasar valas yang tidak likuid, biaya hedging yang mahal, maka kebutuhan USD dipenuhi dari pasar spot sehinga nilai tukar menjadi melemah. Hal ini terlihat dari transaksi spot yang lebih besar dari transaksi hedging”.

Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana dikemukakan di atas, pembentukan harga (kurs) rupiah terhadap USD amat ditentukan oleh seberapa kuatnya permintaan dan ketersediaan penawaran valas. Pergerakan nilai tukar di pasar spot merupakan pembentukan harga yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lebih bersifat jangka pendek. Lain halnya dengan pembentukan harga di pasar swap, lebih dipengaruhi oleh persepsi jangka panjang yang masih diliputi ketidakpastian. Oleh karena itu, di pasar swap atau forward, pelaku pasar memperhitungkan premi yang merupakan harga dari risiko yang akan diterima/dibayar sebagai salah satu sarana lindung nilai (hedging) atas eksposure mata uang yang dimiliki.

Sebagaimana disebutkan di atas, pada pasar valas Jakarta terdapat perubahan komposisi transaksi pasar valas. Transaksi spot lebih tinggi dari transaksi swap pada bulan April, Mei, dan Agustus 2001. Fenomena ini disebabkan oleh makin tingginya biaya premi bersamaan dengan makin meningkatnya kebutuhan hedging pasar. Mahalnya biaya premi tersebut menyebabkan pertambahan transaksi hedging tidak sebesar tambahan transaksi spot. Sementara itu, semakin memburuknya kondisi neraca bank telah menurunkan kemampuan bank-bank domestik untuk menyediakan fasilitas lindung nilai (hedging). Situasi ini telah mendorong kalangan dunia usaha lebih banyak melakukan lindung nilai di pasar swap off-shore atau melakukan fungsi lindung nilai melalui transaksi spot dengan cara membeli valuta asing lebih dini untuk kebutuhan valasnya pada waktu yang akan datang. Dalam periode-periode tertentu hal ini mengakibatkan lonjakan volume transaksi spot melebihi volume transaksi swap.

Selanjutnya, dengan makin bergejolaknya kurs kebutuhan lindung nilai terutama dari korporasi juga semakin meningkat sehingga menyebabkan ongkos lindung nilai menjadi semakin mahal, sebagaimana tercermin dari tingginya tingkat premi swap. Apalagi, ditambah dengan masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian menimbulkan ekspektasi

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

12 Bank Indonesia

pelaku pasar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang memburuk. Hal ini terlihat pada fenomena dalam dua bulan terakhir (Agustus dan September 2001), yang menunjukkan tingginya transaksi swap dibandingkan transaksi spot. Tercatat volume transaksi spot untuk bulan Agustus dan September (angka sementara) 2001 masing-masing sebesar USD14,7 miliar dan USD6,4 miliar. Sementara volume transaksi swap mencapai USD17,1 miliar dan USD9,2 miliar pada periode yang sama. Tingginya transaksi swap ini mencerminkan tingginya kebutuhan akan hedging pada periode dua bulan terakhir. Hal ini kemungkinan terjadi karena penguatan rupiah yang terjadi belum persisten dan belum diikuti oleh prospek jangka panjangnya, seperti tercermin dari masih tingginya premi swap dan premi risiko di Indonesia.

Pertanyaan lain mengenai masalah nilai tukar dari Sdr. Mukhtar

Pertanyaan :

2. Musibah WTC dan kurs rupiah mencapai sebesar 9.800 dari 9.000 langkah apa yang diambil Bank Indonesia?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Musibah serangan teroris di AS pada 11 September 2001 ini terjadi bertepatan dengan sentimen negatif di pasar valas akibat penundaan Paris Club II. Pada saat yang bersamaan pula, kebutuhan genuine demand valas dari sektor korporasi dan beberapa BUMN cukup besar berkaitan dengan pembayaran utang luar negeri dan keperluan impor. Dengan demikian, kuatnya tekanan permintaan tersebut ikut memberikan kontribusi dalam mendorong depresiasi nilai rupiah sehingga rupiah tidak dapat bertahan di bawah level Rp. 9000 per dollar AS. Sentimen negatif diperkirakan masih berlanjut berkaitan dengan maraknya aksi demo menentang rencana aksi militer AS terhadap Afganistan yang dikhawatirkan mengganggu keamanan sosial dalam negeri,

Fluktuasi nilai rupiah pada akhir-akhir ini juga dipengaruhi oleh kuotasi bank-bank off-shore menyusul kekhawatiran terhadap situasi ekonomi internasional yang cenderung memburuk. Depresiasi rupiah akhir-akhir ini juga merupakan kecenderungan global dimana pada umumnya nilai tukar mengalami depresiasi terhadap USD, kecuali Euro dan Poundsterling, akibat kekhawatiran resesi ekonomi global akan lebih berdampak negatif pada local currency yang struktur ekonominya umumnya bertumpu pada sektor ekspor.

Sehubungan dengan itu, langkah-langkah yang telah diambil oleh Bank Indonesia adalah meredam paniknya sebagian pelaku pasar dalam negeri dengan melakukan penjualan dollar AS untuk memberikan sinyal kepada pasar bahwa Bank Indonesia senantiasa berupaya menjaga stabilitas nilai rupiah disamping sebagai langkah untuk membantu penyerapan kelebihan uang beredar. Sementara itu, kebijakan moneter yang berhati-hati tetap dipertahankan untuk mengurangi insentif terhadap pelarian modal ke luar negeri. Disamping sterilisasi/penjualan valas, Bank Indonesia juga memonitor pelaksanaan PBI 3/3 tahun 2001 guna meminimalkan ruang gerak spekulan pasar. Dalam hubungan ini, transaksi rupiah yang dilakukan non residen wajib dilengkapi dengan dokumen pendukung penggunaan transaksi.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

13 Bank Indonesia

Pertanyaan dari Sdr. Abdullah Zainie

Pertanyaan :

3. Mengenai laporan triwulan, ada yang kurang begitu kami pahami. Depresiasi nilai tukar rupiah terkait dengan masalah besar nilai tukar. Disitu dikatakan bahwa sekarang terdapat perubahan perilaku pasar, khususnya sektor korporasi terhadap USD yang seharusnya dipenuhi dengan transaksi forex tapi terlambat oleh dua hal yaitu yang petama kodisi pasar derivatif yang tidak likuid dan kedua ongkos hedging premi swap yang makin mahal, akibatnya dilukiskan disini transaksi spot yang selalu lebih besar daripada transaksi swap dalam bulan April. Sehingga permintaan USD direalisasikan dalam pasar spot. Bagaimana mengatasi masalah ini, apakah ini pure masalah kebijakan atau peraturan dari Bank Indonesia?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Pergesaran transaksi valuta asing dari jenis transaksi Swap menjadi transaksi Spot pada bulan April dan Mei 2001 sebagai mana pada laporan triwulan II 2001 bukan merupakan hal yang permanen. Pergeseran pada waktu itu disebabkan oleh meningkatnya biaya premi (premi swap) akibat meningkatnya tingkat risiko investasi di tanah air sejalan dengan berbagai kerusuhan sosial serta menjelang memorandum II akhir April 2001 yang dikhawatirkan memicu kerusuhan sosial yang lebih luas. Pergeseran antara dua jenis transaksi tersebut merupakan hal biasa dalam transaksi valuta asing antar bank di pasar valas domestik. Transaksi spot akan melebihi transaksi swap apabila kondisi pasar diliputi sentimen negatif yang membuat pasar panic akibat meningkatnya biaya premi sebagaiman terjadi pada bulan April, Mei, dan Juli 2001. Sebaliknya, dalam kondisi pasar yang relatif tenang transaksi spot di pasar akan cenderung melebihi transaksi swap. Pada umumnya, besarnya premi dipengaruhi oleh tingginya country risk suatu negara yang mencerminkan tingkat risiko investasi. Namun, relatif tipisnya pasar derivatif karena belum selesainya proses restrukturisasi diduga ikut menjadi faktor yang menaikkan harga premi tersebut.

Tipisnya pasar swap dalam negeri disinyalir juga disebabkan oleh pengalihan transaksi swap dari transaksi pasar domestik ke pasar luar negeri misalnya ke Singapura dan Hong Kong, terkait dengan pembukaan L/C oleh eksportir pada perbankan di negara-negara tersebut, karena belum pulihnya kepercayaan internasional terhadap perbankan nasional dalam mendukung transaksi ekspor/impor. Dengan belum berjalan baiknya sistem intermediasi perbankan di Indonesia, counterpart dagang Indonesia lebih mempercayakan penerbitan L/C pada bank-bank internasional.

Sebagai tambahan informasi, pasar derivatif yang disinyalir mempunyai likuiditas yang terbatas juga terkait dengan kondisi secara umum bahwa restrukturisasi perbankan selama ini masih dalam proses penyelesaian. Upaya untuk memperdalam pasar derivatif tersebut antara lain adalah dengan memperbolehkan transaksi swap ataupun forward dengan pihak asing dengan nilai transaksi lebih dari USD3 juta namun dengan mempersyaratkan dokumen yang mendasari penggunaan transaksi tersebut, yaitu untuk keperluan perdagangan dan investasi. Aturan Bank Indonesia tersebut adalah PBI no.3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank yang memang dimaksudkan untuk mengurangi Rupiah yang dipergunakan pihak asing untuk berspekulasi melalui transaksi derivatif. Hal

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

14 Bank Indonesia

ini cukup efektif mengurangi transaksi valas yang tidak terkait dengan kegiatan ekonomi dan investasi di Indonesia, yang sebelumnya dipergunakan sebagai sarana spekulasi oleh pemilik modal.

D. Masalah Akuntabilitas Pencapaian Kestabilan Nilai Rupiah Pertanyaan dari Abdullah Al Wahdi

Pertanyaan :

Bahwa di dalam Bab III Tujuan dan Tugas Bank Indonesia Pasal 7 adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah tetapi kenyataannya sampai saat ini Bank Indonesia tidak mampu melaksanakan tugas untuk mencapai stabilitas nilai rupiah dengan kata lain Bank Indonesia gagal dalam tugas dan tanggungjawabnya. Bagaimana pertanggungjawaban Bank Indonesia dalam hal ini. Kalau di negara lain Bank Sentral tidak mampu melaksanakan tugas ini, mundur. Apakah Dewan Gubernur Bank Indonesia siap mundur sebagai pertanggungjawaban moral terhadap Bangsa dan negara.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 23/1999 pasal 7, tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Hal ini tentu memberikan suatu implikasi dan tantangan baru bagi Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya. Tugas mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta mata uang negara lain berarti bahwa Bank Indonesia harus menjaga internal balance (keseimbangan internal) agar inflasi tetap rendah dan pada saat yang bersamaan juga menjaga external balance (keseimbangan eksternal) agar nilai tukar rupiah cukup kuat dan stabil.

Namun demikian, harus diakui bahwa tugas ini bukanlah tugas yang mudah dalam pelaksanaannya. Pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga memang akan dapat mempengaruhi laju inflasi dan nilai tukar rupiah namun masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Dalam hal inflasi, misalnya, sebagaimana diketahui, inflasi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari sisi permintaan dan faktor-faktor yang berasal dari sisi penawaran. Bank Indonesia, melalui kebijakan moneter, hanya dapat mempengaruhi sisi permintaan seperti investasi dan konsumsi masyarakat. Di sisi lain, kebijakan moneter tidak dapat secara langsung mempengaruhi perkembangan sisi penawaran seperti musim panen dan perkembangan harga-harga komoditi yang dikendalikan pemerintah (administered prices) yang juga dapat mempengaruhi laju inflasi. Tanggung jawab pengendalian inflasi yang dibebankan kepada Bank Indonesia dengan demikian secara tidak langsung juga berarti bahwa dalam jangka menengah panjang, pengaruh faktor-faktor non moneter terhadap inflasi perlu terus dikurangi, antara lain melalui langkah-langkah untuk memungkinkan bekerjanya mekanisme pasar dengan baik. Dalam masa transisi, Bank Indonesia akan lebih memperhatikan inflasi yang disebabkan oleh

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

15 Bank Indonesia

faktor-faktor moneter atau yang biasa juga disebut dengan core inflation atau underlying inflation.

Dalam hal nilai tukar rupiah, disadari sepenuhnya bahwa dengan dianutnya free float exchange rate system, nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Selain faktor fundamental ekonomi dan tehnikal, faktor sentimen pasar yang merupakan cermin dari faktor risiko dan ketidakpastian kerap mewarnai pergerakan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, kebijakan Bank Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengarahkan pergerakan nilai tukar agar mencapai suatu tingkat tertentu, akan tetapi lebih untuk mencegah fluktuasi nilai tukar yang berlebihan, antara lain melalui kebijakan untuk menyediakan pasokan valas apabila diperlukan.

Terkait dengan akuntabilitas atas pelaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia secara rutin dan tepat waktu selalu memberikan Laporan atas pelaksanaan tugas di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran yang disampaikan kepada anggota Dewan sekalian setiap tiga bulan. Dalam laporan tersebut Bank Indonesia secara rinci menjelaskan upaya-upaya yang ditempuh dalam mencapai tujuan serta kendala-kendala yang dihadapi sesuai dengan amanat dari Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Selain itu, langkah-langkah kebijakan di bidang moneter dan perbankan yang merupakan hasil Rapat Dewan Gubernur bulanan juga secara rutin disosialisasikan kepada masyarakat sebagai salah satu perwujudan transparansi dan akuntabilitas Bank Indonesia. Adalah menjadi wewenang selanjutnya dari anggota Dewan sekalian untuk melaksanakan fungsi pengawasan pelaksanaan tugas Dewan Gubernur Bank Indonesia, berdasarkan laporan-laporan dimaksud. Tentu saja, Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya selalu mengacu pada UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

E. Masalah Obligasi Pemerintah Anggota Dewan yang menanyakan masalah Obligasi pemerintah adalah Sdr. Syamsul Balda

Pertanyaan :

Ada beberapa bond atau obligasi bank-bank rekap yang dijaminkan ke Bank Indonesia atau dijual kemudian bank-bank rekap tadi mendapat dana cash. Berapa sebenarnya jumlah bond yang dijaminkan ke Bank Indonesia oleh bank-bank rekap. Kemudian bank-bank mana saja yang telah menjual bond-bond rekapnya ini melalui Bank Indonesia. Tolong kami diberikan informasi karena bagaimanapun juga ini adalah amanat yang diberikan masyarakat kepada DPR khususnya lembaga yang memiliki fungsi pengawasan juga kepada Bank Indonesia. Ini tolong dijelaskan karena sudah santer beredar bahwa hasil penjualan bond-bond rekap itu digunakan untuk main valas?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Pada tahap awal, obligasi pemerintah yang diterbitkan dalam rangka rekapitalisasi perbankan ditempatkan sebagai portofolio investasi. Secara bertahap, bank-bank rekap tersebut dapat memindahkan obligasi pemerintah tersebut ke dalam portofolio perdagangan.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

16 Bank Indonesia

Obligasi pemerintah yang telah tercatat dalam portofolio perdagangan tersebut dapat diperjualbelikan atau diagunkan.

Dalam kaitan ini, bagi suatu bank yang telah memindahkan obligasi rekap-nya ke dalam portofolio perdagangan dapat melakukan transaksi penjualan obligasi rekap atau pengagunan obligasi rekap ke bank lain/pihak lain untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam konteks ini maka peranan program rekapitalisasi perbankan sangat penting untuk membantu bank-bank yang membutuhkan likuiditas yakni dengan cara bank-bank dapat menjual/mengagunkan Obligasi Pemerintah yang dimilikinya. Kemudahan bank-bank untuk menjual/mengagunkan Obligasi Pemerintah yang dimilikinya sangat tergantung dari tersedianya pasar sekunder yang likuid. Selain itu, untuk menciptakan kepastian bagi calon investor pembeli Obligasi Pemerintah tersebut, maka keberadaan suatu UU Surat Utang Negara (SUN) sangat diperlukan.

Selain itu, mengingat obligasi pemerintah merupakan surat berharga yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, maka obligasi pemerintah tersebut dapat juga diagunkan untuk memperoleh Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai Lender of Last Resort sesuai pasal 11 UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia dan untuk memperoleh Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dalam rangka menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana tugas Bank Indonesia sesuai pasal 15 UU No.23/1999. Bank-bank yang membutuhkan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dapat memperolehnya sepanjang memiliki agunan yang cukup, berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yakni seperti SBI dan Obligasi Pemerintah. Dengan demikian, program rekap perbankan melalui penerbitan Obligasi Pemerintah telah menyediakan surat berharga baru yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek dari bank sentral untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya.

Sementara itu, Bank Indonesia sebagai penatausaha obligasi pemerintah (central registry) dengan menggunakan sistem penatausahaan tanpa warkat (book entry registry) berfungsi mencatat kepemilikan, perpindahan kepemilikan, kliring & setelmen dan pembayaran kupon obligasi pemerintah.

Dapat dinformasikan hampir seluruh bank-bank rekap telah aktif melakukan transaksi jual beli dan atau mengagunkan obligasi rekapnya. Sampai dengan bulan Agustus 2001, posisi obligasi pemerintah yang tercatat dalam portofolio perdagangan sebesar Rp61,2 triliun dan portofolio investasi sebesar Rp 377,3 triliun.

Bank rekap yang pernah mengagunkan obligasi rekapnya ke Bank Indonesia adalah BII sebesar Rp1,38 triliun dalam rangka pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) bank yang bersangkutan dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2001 yang pada saat ini telah lunas.

F. Masalah Pemulihan Fungsi Intermediasi Perbankan Anggota Dewan yang menanyakan masalah pemulihan fungsi intermediasi perbankan adalah Sdr. Sudirman dan Sdri. Engelina A. Pattiasina

Pertanyaan :

1. Dalam beberapa kesempatan Bank Indonesia telah melaporkan membaiknya kondisi intermediasi perbankan. Namun hal ini tidak sesuai dengan kondisi di lapangan yang cukup memprihatinkan dimana masyarakat khususnya golongan kecil dan menengah

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

17 Bank Indonesia

kesulitan untuk mendapatkan modal. Bandingkan dengan bunga obligasi rekap yang sangat besar yang menjadi tanggungan masyarakat. Kami mengharapkan agar Bank Indonesia mendorong bank-bank agar segera mengucurkan kredit. - Dimana letak kesalahannya ? - Sejauh mana Bank Indonesia dan jajaran perbankan telah berusaha ? - Bank-bank perlu lebih inovatif, sampai saat ini kucuran kredit belum kunjung tiba.

Padahal mereka juga tahu bahwa 80% dana ditransfer ke pusat. Alasan penolakan bermacam-macam seperti : - suku bunga kredit yang tinggi - jaminan kurang - Padahal sementara itu modal ventura dan BPR dapat menyalurkan dengan baik.

2. Dengan tragedi WTC tampaknya dorongan pertumbuhan yang berasal dari luar (ekspor) menjadi sulit diharapkan, apakah mungkin dorongan berasal dari dalam negeri sendiri? Sementara kita tahu bahwa APBN kali ini kurang memberikan stimulus.

- Bagaimana usaha Bank Indonesia mempercepat intermediasi perbankan ?

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Mengingat kedua pertanyaan tersebut saling berkaitan, perkenankanlah kami menjawabnya sekaligus.

Sejalan dengan semakin membaiknya kepercayaan masyarakat kepada perbankan, dana pihak ketiga yang dihimpun bank umum terus menunjukkan peningkatan. Sampai dengan akhir Agustus 2001, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun bank umum dari masyarakat mencapai Rp591,65 triliun, atau meningkat sebesar Rp38,41 triliun bila dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun 2000. Dibanding akhir tahun 2000, secara total DPK rupiah dan valas meningkat sebesar Rp26,35 triliun menjadi Rp725,46 triliun. Sementara itu, total kredit rupiah dan valas yang telah disalurkan bank umum sampai dengan Agustus 2001 meningkat sebesar Rp17,62 triliun sehingga menjadi sebesar Rp 338,02 triliun. Data diatas merupakan data berdasarkan laporan bulanan bank umum.

Namun demikian, jumlah kredit yang disalurkan tersebut memang masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penghimpunan dana yang dilakukan. Hal ini menunjukkan penyaluran dana yang dihimpun perbankan masih belum dilakukan secara optimal yang juga tercermin dari masih rendahnya rasio loan to deposit (LDR). Nilai LDR perbankan meskipun meningkat dari 33,19% pada Desember 2000 menjadi 33,57% pada Juli 2001, namun masih jauh lebih rendah dibanding Desember 1996 sebesar 78,31%.

Dapat kami kemukakan bahwa masih rendahnya penyaluran kredit perbankan disebabkan baik oleh sisi eksternal maupun internal perbankan. Di sisi eksternal, khususnya sektor riil, krisis yang terjadi menyebabkan kualitas finansial dunia usaha menjadi sangat rendah. Meskipun disinyalir telah terdapat permintaan kredit oleh sektor riil, perbankan masih enggan dan selektif untuk menyalurkan dananya dalam bentuk kredit, apalagi terhadap perusahaan atau calon debitur yang tidak memiliki agunan yang memadai seperti perusahaan kecil. Di sisi internal, keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit dipengaruhi juga oleh proses penyesuaian terhadap ketentuan prudential banking seperti pemenuhan modal minimum (CAR) dan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Sementara itu, suku bunga tidak merupakan faktor yang dominan mempengaruhi

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

18 Bank Indonesia

penyaluran kredit perbankan. Perkembangan tersebut dapat dikatakan memberi indikasi terjadinya credit crunch yaitu penurunan kredit yang perbankan enggan menyalurkan kredit. Kecenderungan terjadinya credit crunch juga diperkuat dengan masih besarnya penyesuaian portofolio yang dilakukan oleh perbankan dari kredit ke dalam penanaman lain seperti surat berharga (obligasi), pasar uang antar bank, dan SBI.

Upaya-upaya yang telah dan sedang dilakukan untuk memulihkan fungsi intermediasi

Guna mendorong penyaluran kredit, pemerintah dan Bank Indonesia telah dan terus melakukan langkah-langkah untuk memulihkan kondisi perbankan dari krisis melalui kebijakan perbankan yang tetap difokuskan pada kesinambungan upaya untuk mempercepat pelaksanaan program restrukturisasi perbankan. Namun demikian, mengingat masih tingginya uncertainty dan risiko yang dihadapi oleh dunia usaha, perbankan cenderung enggan dalam menyalurkan kreditnya. Di samping itu, pelaksanaan restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan juga masih berjalan belum sesuai yang diharapkan. Akibatnya, penyaluran kredit meskipun sudah berlangsung, tetapi masih dalam skala yang kecil.

Dalam upaya mendorong bank-bank menyalurkan kredit, Bank Indonesia juga menerapkan pelonggaran ketentuan, diantaranya tidak mewajibkan target pencapaian NPLs, namun target CAR 8% pada akhir tahun 2001 tetap harus dipenuhi. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus melakukan himbauan kepada bank untuk menyalurkan dana mereka pada Usaha Kecil Menengah (UKM).

Upaya mendorong penyaluran kredit diatas telah menunjukkan kemajuan yang tercermin dari meningkatnya penyaluran kredit baru oleh perbankan, meningkatnya kredit yang berhasil direstrukturisasi dan menurunnya NPLs yang dimiliki perbankan. Penyaluran kredit baru berdasarkan laporan Sistem Informasi Debitur (SID) sampai bulan Juli 2001 sebesar Rp29,2 triliun. Jumlah tersebut termasuk penerusan kredit (chanelling) dan konversi dari L/C atau wesel ekspor yang jatuh tempo. Sementara itu, kredit yang telah direstrukturisasi yang dilaporkan melalui Satgas Restrukturisasi Kredit sejak Desember 1998 sampai dengan Juli 2001 sebesar Rp90,8 triliun yang terdiri atas 32.187 debitur. Sedangkan, kredit yang telah berhasil direstrukturisasi oleh BPPN sampai dengan bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp30,29 triliun (meliputi implementasi proposal restrukturisasi dan terbayar penuh), atau menunjukkan peningkatan sebesar Rp11,93 triliun dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2000.Sejalan dengan meningkatnya kredit yang berhasil direstrukturisasi, rasio NPLs yang dimiliki perbankan membaik sebesar 3,0% dibanding posisi akhir Desember 2000 sehingga menjadi 15,78%.

Pertanyaan dari Sdr. Sudirman

Pertanyaan :

3. Apakah ada upaya dari Bank Indonesia agar sektor perbankan menjadi inovatif dalam memberikan kredit. Hal ini mengingat di Jawa Timur hampir 80% dana masyarakat yang dihimpun perbankan di transfer ke pusat. Mereka juga memakai suku bunga pinjaman yang tinggi dengan alasan macam-macam. Mohon penjelasan.

Jawaban :

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

19 Bank Indonesia

Anggota Dewan yang terhormat,

Dalam melakukan fungsi pengawasan perbankan, Bank Indonesia mewajibkan bank agar melakukan kegiatan usaha dengan menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Disamping itu, Bank Indonesia juga mewajibkan bank agar memiliki Kebijakan Perkreditan yang bertujuan mengoptimalkan pendapatan dan mengendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat.

Secara umum, faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh bank dalam melakukan kegiatan penyediaan dana mencakup faktor internal (antara lain meliputi strategi usaha bank, ketersediaan dana/likuiditas, serta kapasitas permodalan) dan faktor eksternal (antara lain meliputi karakter dan kelayakan usaha calon debitur serta iklim dan tren industri).

Sebagai lembaga intermediasi, bank diharapkan dapat mengerahkan dan memobilisasi dana untuk menggerakkan sektor perekonomian. Namun, dalam berbagai kasus terdapat kecenderungan bank-bank di suatu daerah tertentu beroperasi sebagai funding vehicle, yaitu melakukan pengerahan dana pihak ketiga di daerah operasionalnya dan menyalurkan dananya ke kantor pusat atau daerah lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

- Kebijakan/strategi usaha bank yang memfokuskan pada pembiayaan kepada industri/sektor tertentu maupun kepada debitur ritel vs. korporasi;

- Kebijakan internal bank yang memungkinkan kantor bank melakukan penempatan dana antar kantor dengan suku bunga mendekati suku bunga pasar, sehingga memudahkan kantor bank mengelola dananya dengan risiko yang minimum;

- Perbedaan tingkat risk and return di setiap daerah yang menyebabkan dana mengalir ke daerah yang menjanjikan return yang tinggi dengan risiko yang dapat ditolerir.

Namun, perlu dicermati bahwa dalam prakteknya seringkali pembiayaan kepada debitur tertentu (umumnya korporasi besar) di suatu daerah tertentu tidak dilakukan oleh kantor bank setempat, namun langsung disediakan oleh kantor pusat sehingga merupakan portofolio kantor pusat. Hal ini terkait erat dengan kebijakan perkreditan bank yang membatasi wewenang pemutusan kredit oleh kantor-kantor bank di daerah. Oleh karena itu, portfolio tersebut pencatatannya dilakukan di kantor pusat bank, bukan di daerah

G. Masalah Pengembangan Usaha Kecil Anggota Dewan yang menanyakan masalah langkah pengembangan usaha kecil adalah Sdr. Mukhtar

Pertanyaan :

1. Ekonomi kerakyatan, para pengusaha kecil menjerit dalam hal pendanaan (mendapatkan kredit) misalnya di Sulawesi Selatan dana yang masuk sekitar Rp 9 triliun, namun yang tersalurkan cuma Rp 1,2 triliun. Kebijakan dan langkah-langkah apa yang diambil oleh Bank Indonesia dalam membantu pengusaha kecil tersebut ?

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

20 Bank Indonesia

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Pada dasarnya penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank dengan mendasarkan kepada prinsip kehati-hatian, khususnya terhadap kredit yang sumber dananya berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat dan risiko atas kredit yang disalurkan menjadi tanggung jawab bank. Demikian pula halnya dengan kebijakan operasional masing-masing kantor cabang bank di suatu daerah, sepenuhnya menjadi kebijakan masing-masing bank. Di beberapa daerah, seringkali kita temui adanya ketidak seimbangan antara dana masyarakat yang dihimpun dari daerah tersebut dengan dana perbankan yang disalurkan untuk daerah tersebut. Hal ini tergantung pada kemampuan daerah dalam menyerap dana bank. Kemampuan menyerap disini dalam arti adanya sektor-sektor usaha yang dipandang layak (feasibel) untuk dibiayai oleh bank.

Dengan diberlakukakannya UU No. 23 tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999 tentang Bank Indonesia, tujuan dan misi Bank Indonesia lebih difokuskan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Namun demikian, Bank Indonesia tetap mempunyai komitmen dalam membantu usaha kecil, yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kewenangan yang diatur dalam UU tersebut. Dalam hal ini, Bank Indonesia tidak lagi diperkenankan memberikan kredit likuiditas kepada perbankan untuk membantu permodalan usaha kecil. Sejak 16 November 1999 tugas pengelolaan KLBI dalam rangka kredit program telah dialihkan kepada 3 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk oleh Pemerintah, yakni PT. BRI, PT. BTN dan PT. PNM. Untuk selanjutnya peran pembiayaan kepada usaha kecil dan koperasi dilanjutkan oleh Pemerintah, dengan sumber pendanaan dapat berasal dari APBN, dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan ataupun sumber lainnya.

Setelah dialihkannya pengelolaan pendanaan untuk usaha kecil dari Bank Indonesia kepada 3 BUMN yang ditunjuk, tugas pengembangan usaha kecil menjadi tanggung jawab Pemerintah. Kegiatan yang masih dilakukan oleh Bank Indonesia diwujudkan dalam bentuk bantuan yang bersifat tidak langsung seperti bantuan teknis dan fasilitasi serta kebijakan dibidang perbankan sbb :

1. Melanjutkan Bantuan Teknis

Bank Indonesia tetap akan membantu pengembangan usaha kecil secara tidak langsung dengan meningkatkan intensitas dan efektifitas bantuan teknis. Berbagai kegiatan bantuan teknis yang diberikan oleh Bank Indonesia tergabung dalam program Bantuan Teknis Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM) melalui :

a. Pelatihan untuk pembiayaan kepada usaha mikro dan kecil

Pelatihan diberikan kepada perbankan sebagai upaya untuk meningkatkan minat perbankan dalam membiayai usaha mikro dan kecil. Untuk pembiayaan usaha mikro, pelatihan yang diberikan difokuskan pada pola pemberian kredit secara kelompok. Pola ini dikembangkan melalui Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dengan 1.267 kantor bank. Baki debet kredit yang dapat disalurkan telah mencapai Rp64,7 miliar.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

21 Bank Indonesia

Sementara untuk pembiayaan usaha kecil, pelatihan diberikan sesuai dengan permintaan perbankan dengan materi difokuskan pada pengembangan usaha kecil. Khusus untuk pelatihan ini, biayanya diambil dari sanksi KUK.

b. Proyek Kredit Mikro (PKM)

Proyek Kredit Mikro (PKM) adalah proyek pemerintah Indonesia yang dibantu dengan dana pinjaman Asian Development Bank (ADB) yang dimulai sejak tahun 1995. Sampai dengan bulan Juni 2001, kredit yang telah disalurkan sebesar Rp 162,9 miliar kepada 686.980 nasabah mikro. Jumlah lembaga yang terlibat dalam proyek ini sejumlah 1.191 buah yang meliputi LDKP 240 buah, BPR 951 buah dan LPSM 72 buah. Proyek ini mempunyai tingkat tunggakan yang relatif sangat kecil yakni hanya 0,05%.

2. Menfasilitasi Pengembangan Usaha Kecil Melalui Kegiatan Sosialisasi dan Sistem Informasi

a. Kegiatan Sosialisasi Kredit Usaha Kecil

Keberhasilan pelaksanaan suatu program sangat tergantung pada dukungan infomasi yang menunjang. Salah satu bentuk dukungan informasi yang dilakukan adalah kegiatan sosialisasi kepada perbankan. Dibidang penyaluran KUK, Bank Indonesia akan senantiasa menghimbau perbankan untuk menyalurkan kreditnya kepada kredit usaha kecil, dengan mengacu kepada keberhasilan-keberhasilan beberapa bank penyalur kredit kecil seperti BRI dan suatu bank nasional. Kegiatan sosialisasi telah dilakukan di 8 Kantor Bank Indonesia.

b. Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil

Di samping itu, bentuk fasilitasi yang lain adalah pemberian informasi mengenai identifikasi peluang usaha. Perluasan akses ke sumber informasi tersebut berupa (i) Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB), dan (ii) Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE). Dalam SIB disajikan daftar komoditi di kecamatan pada 22 propinsi yang potensial untuk dikembangkan. Sedangkan SIABE menyajikan suatu informasi mengenai komoditi agroindustri yang berpotensi untuk diekspor. Tahun lalu, SIABE baru merupakan prototipe sehingga baru mencakup 11 komoditi agroindustri di 3 propinsi, yaitu Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Namun tahun ini akan dikembangkan di 23 propinsi yang mencakup informasi 15 komoditi agroindustri beserta produk turunannya. Kedua sistem informasi di atas sudah dapat diakses dengan internet melalui situs Bank Indonesia (www.bi.go.id).

Selain penyediaan informasi komoditi di atas, yang berisikan informasi mengenai komoditi yang berorientasi ekspor, negara tujuan dan eksportir, Bank Indonesia juga menyediakan informasi mengenai komoditi yang layak dibiayai oleh bank atau dikenal dengan lending model. Saat ini terdapat lending model untuk 40 komoditi yang telah dibuat dan sedang disusun lending model untuk 10 komoditi lainnya pada tahun ini.

Untuk sementara informasi lending model baru berbentuk buku publikasi dan pada saatnya nanti akan dapat diakses melalui internet.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

22 Bank Indonesia

3. Ketentuan Kredit Usaha Kecil

Sejak tanggal 4 Januari 2001, Bank Indonesia telah menyempurnakan ketentuan tentang Kredit Usaha Kecil (KUK) yakni melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang “Pemberian Kredit Usaha Kecil” yang pokok-pokoknya meliputi : (i) bank dianjurkan menyalurkan dananya melalui pemberian KUK, (ii) bank wajib mencantumkan rencana pemberian KUK dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT), (iii) bank wajib melaporkan pelaksanaan pemberian KUK dalam Laporan Bulanan Umum, (iv) bank wajib mengumumkan pencapaian pemberian KUK kepada masyarakat melalui Laporan Keuangan Publikasi, (v) plafon KUK disesuaikan menjadi Rp. 500 juta per nasabah, (vi) bank yang menyalurkan KUK dapat meminta bantuan teknis dari Bank Indonesia, dan (vii) pengenaan sanksi dan insentif dalam rangka pencapaian kewajiban KUK dihapuskan. Sampai dengan bulan Juni 2001, posisi KUK yang telah disalurkan mencapai Rp 63,7 triliun. Sedangkan dalam RKAT Bank tahun 2001, sebanyak 53 bank berencana untuk menyalurkan KUK sebesar Rp 47,3 triliun.

Pertanyaan terkait masalah pengembangan usaha kecil juga dari Sdr. Hatta Taliwang

Pertanyaan :

2. Saya tahu bahwa ada dana program Pemerintah yang tersimpan di Bank Indonesia sebesar Rp 1,9 triliun. Kalau bisa segeralah dana itu dicairkan oleh Bank Indonesia untuk UKM tetapi dengan persetujuan Menteri Keuangan.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Dalam kaitan dengan penyediaan dana untuk kelanjutan kredit program, instrumen pendanaan yang saat ini tersedia adalah melalui Surat Utang Pemerintah dalam rangka pembiayaan kredit program. Surat Utang Pemerintah yang diterbitkan oleh Pemerintah kepada Bank Indonesia senilai Rp 9,97 triliun. Surat utang yang penerbitannya dimaksudkan untuk mengganti dana KLBI yang jatuh tempo pada tahun 2000 dan 2001 tersebut akan dicairkan secara bertahap sejalan dengan pengembalian KLBI pada saat jatuh tempo dengan tetap memperhatikan program moneter.

Sampai dengan periode Agustus 2001, dana SUP yang tersedia adalah sebesar Rp 2,82 triliun dan sudah dicairkan oleh Pemerintah sebesar Rp 850 miliar sehingga dana yang masih tersisa dan dapat dicairkan adalah Rp 1,97 triliun. Dapat dikemukakan bahwa Bank Indonesia sebagai pembeli SUP hanya menyediakan dana, adapun penarikan terhadap dana SUP yang masih dapat dicairkan tersebut sepenuhnya menjadi wewenang Departemen Keuangan.

Namun demikian, perlu ditambahkan pula bahwa berbeda dengan dana kredit program yang disediakan melalui KLBI dimana suku bunganya disubsidi, dana SUP merupakan dana yang bersifat komersial karena berbunga pasar dan penyalurannya sepenuhnya diserahkan kepada bank pelaksana yang didasarkan kepada kelayakan usaha.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

23 Bank Indonesia

H. Masalah Utang Luar Negeri Anggota Dewan yang menanyakan masalah utang luar negeri adalah Sdr. Anthony Zedra Abidin.

Pertanyaan :

Saya mengharapkan Bank Indonesia ikut memikirkan dan bertanggung jawab bagaimana agar masalah hutang luar negeri ini bisa dikurangi bebannya tidak hanya sekedar penjadwalan utang tapi juga harus ada tanggung jawab dari pihak pemberi hutang, karena menurut pendapat saya tanggung jawab itu harus oleh kedua belah pihak.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Bank Indonesia sebagai mitra Pemerintah tentunya sangat menaruh perhatian terhadap permasalahan Utang Luar Negeri Pemerintah RI, karena permasalahan ini akan membawa dampak pada berbagai sektor ekonomi baik itu sektor fiskal, sektor riil maupun sektor moneter yang menjadi fokus utama tugas Bank Indonesia. Meskipun demikian, Bank Indonesia tidak secara langsung bertanggung jawab mengenai permasalahan Utang Luar Negeri Pemerintah.

Sebagai mitra pemerintah, salah satu peran Bank Indonesia dalam mencari solusi penyelesaian Utang Luar Negeri Pemerintah adalah dengan berupaya mencari sumber dana dari dalam negeri, antara lain dengan mengembangkan pasar obligasi dalam negeri (obligasi pemerintah). Alternatif ini akan membantu Pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap Utang Luar Negeri.

Sementara itu, sampai saat ini memang harus kita akui bahwa pemerintah RI masih mengandalkan penjadualan ulang khususnya melalui Paris Club dalam rangka mengurangi atau menyelesaikan beban utang luar negeri. Penjadualan ulang itu sendiri sangat besar pengaruhnya terhadap berkurangnya beban anggaran pemerintah dalam jangka pendek, sehingga dapat memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pemerintah untuk menata ulang ‘cash flow’nya dan memprioritaskan dana yang ada untuk pembiayaan sektor-sektor lain yang relatif lebih produktif dari pada membayar kewajiban utang yang jatuh tempo. Oleh karenanya keberhasilan penjadualan ulang beban pembayaran utang luar negeri melalui Paris Club juga merupakan hal penting dan menjadi faktor penentu keberhasilan tercapainya percepatan proses pembangunan ekonomi nasional.

Dalam rangka menyelesaikan persoalan utang luar negeri ini, sebagaimana diketahui bahwa upaya-upaya yang dapat ditempuh selain melakukan ‘rescheduling’ umumnya adalah melalui cara yang lebih ‘straightforward’ yaitu ‘debt reduction’ atau alternatif lainnya yaitu melalui ‘debt conversion’.

Sementara ini upaya ‘debt reduction’ bagi Pemerintah RI khususnya melalui mekanisme Highly Indebted Poor Country (HIPC) tampaknya memiliki peluang yang sangat kecil sekali. Berdasarkan hasil penelitian kami, Indonesia belum memenuhi beberapa indikator utama suatu negara untuk dapat dikelompokan kedalam HIPC. Disamping itu, sebelum dapat masuk kedalam kelompok HIPC, debitur yang mengajukan debt reduction terlebih dahulu harus eligible menurut aturan main dalam kerangka Paris Club dibawah

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

24 Bank Indonesia

criteria ‘Naples Terms’, antara lain debitur harus mempunyai ‘track record’ yang baik pada Paris club dan program IMF, hanya menerima pinjaman dalam bentuk IDA saja dari World Bank dan dengan GDP per Kapita USD755. Kriteria inipun belum terpenuhi oleh Indonesia.

Sampai saat ini negara-negara yang tergolong kedalam HIPC umumnya adalah negara-negara miskin di Amerika Latin seperti : Bolivia, Honduras dan Nicaragua. Sementara dua negara di ASIA yang mengikuti mekanisme ini adalah Laos dan Vietnam.

Mekanisme ‘debt relief’ dilakukan juga melalui mekanisme ‘debt conversion’, diantaranya melalui Debt for Nature Swap (DNS). DNS pada prinsipnya adalah salah satu upaya menghapus sebagian utang dan mengkonversi sebagian kewajiban lainya menjadi kewajiban dalam bentuk mata uang domestik untuk pembiayaan pemeliharaan konservasi alam. DNS menjadi salah satu alternatif penting mengingat jumlah utang luar negeri Indonesia yang telah mencapai sekitar USD136 miliar, suatu jumlah yang oleh banyak pihak dianggap telah melampaui ambang batas kemampuan Indonesia untuk mengembalikannya. Sementara di sisi lain kualitas konservasi alam terus merosot dan kemampuan pemerintah serta swasta dalam membiayai program pelestarian dan konservasi alam di Indonesia sangat terbatas. DNS menjadi salah satu pilihan yang menarik karena menawarkan solusi pemecahan permasalahan utang luar negeri yang menguntungkan baik bagi debitur dan NGO maupun bagi kreditur.

Dilihat dari keuntungan pemulihan konservasi lingkungan dan perlunya alternatif lain untuk mengurangi beban pembayaran utang luar negeri pemerintah selain melalui rescheduling, maka DNS merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk segera diimplementasikan di Indonesia. Negara-negara yang telah mengikuti skim ini antara lain ialah Bolivia, Ecuador, Costa Rica dan Philipina. Di Indonesia sendiri, tantangan pelaksanaan DNS terutama pada dapat tidaknya pemerintah menjalin suatu kerjasama dengan LSM mengingat sudah terbentuknya friksi antara pemerintah dan LSM yang seringkali membuat pemerintah ‘reluctant’ untuk berkerjasama dengan LSM.

Dalam hal DNS ini, Bank Indonesia juga sudah terlibat dalam pembahasan awal dengan instansi terkait seperti Menko Ekuin, Menkeu, BPPN, Bappenas dan KLH. Dari hasil pertemuan tersebut telah disepakati untuk mengagendakan gagasan tersebut dalam sidang tahunan CGI yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Saat ini Bank Indonesia juga sedang mempersiapkan kajian detail tentang kemungkinan penerapan DNS dalam rangka mengurangi beban utang luar negeri pemerintah RI.

II. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG PERBANKAN A. Masalah Permodalan Pertanyaan masalah permodalan disampaikan oleh Sdr. Abdullah Al Wahdi

Pertanyaan :

1. Kebijakan-kebijakan apa yang ditempuh Bank Indonesia sehingga CAR 8% bisa teratasi dengan baik atau tidak ada rencana likuidasi

2. Bagaimana tindakan Bank Indonesia terhadap bank-bank yang dibawah CAR 8%

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

25 Bank Indonesia

3. Beberapa waktu yang lalu diumumkan sekitar 6 bank yang CAR-nya kritis dibawah 8%. Kira-kira bagaimana solusi yang paling tepat menurut Bank Indonesia. Kita ingin ketegasan dari Gubernur Bank Indonesia, 6 bank ini bank apa saja dan kira-kira terapinya bagaimana. Menurut kita kalau memang tidak bisa diselamatkan lagi likuidasi saja.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagai rangkaian dari program restrukturisasi yang sedang berjalan, perbankan diminta untuk meningkatkan dan mempertahankan permodalannya (CAR) minimal sebesar 8% pada akhir tahun 2001. Mengantisipasi kebijakan tersebut, Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah, antara lain:

- Melakukan proyeksi untuk mengetahui bank-bank yang diperkirakan tidak mampu memenuhi target CAR tersebut;

- Melakukan pertemuan dengan pemilik bank untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi serta langkah-langkah strategis yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Apabila seluruh upaya yang akan dilakukan pemilik bank-bank tersebut tidak membuahkan hasil dan target pencapaian CAR 8% tidak terpenuhi, maka Bank Indonesia akan melakukan beberapa langkah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebagai berikut :

i. Bank-bank tersebut akan ditempatkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia (special surveillance) dan Bank Indonesia dapat menerapkan cease and desist order dalam jangka waktu tertentu, yaitu antara lain memerintahkan bank untuk menghentikan kegiatan usaha tertentu, meminta bank dan/atau pemilik bank untuk menambah modal, melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain, menjual bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban bank, menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; dan/atau menjual sebagian harta dan/atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

ii. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan (3 bulan untuk bank yang tidak go public dan 6 bulan untuk bank go public) kondisi bank menurun dengan cepat (yaitu rasio CAR kurang dari 2% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan menjadi 8% dan rasio GWM dalam rupiah kurang dari 0% dan tidak dapat diselesaikan) maka bank ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan diserahkan ke BPPN.

iii. Apabila setelah berakhir jangka waktu tersebut bank masih belum dapat meningkatkan CAR-nya, namun Bank Indonesia menilai bahwa bank:

− dapat meningkatkan CAR menjadi 8 %; − dapat menyelesaikan masalah pelampauan dan/atau pelanggaran BMPK; − dapat menurunkan kredit bermasalah; − memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perekonomian nasional atau daerah.

maka Bank Indonesia menetapkan bank dengan status Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan menyerahkannya kepada BPPN, dengan kondisi antara lain.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

26 Bank Indonesia

iv. Bagi bank yang dinilai tidak memenuhi kriteria pada butir (iii) tersebut diatas, maka Bank Indonesia akan menetapkan bank tersebut dengan status BBKU dan menyerahkannya kepada BPPN.

v. Apabila program penyehatan terhadap BDP oleh BPPN tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati atau berdasarkan pertimbangan BPPN program penyehatan BDP tidak dapat dilaksanakan walaupun belum melampaui jangka waktu yang disepakati, maka Bank Indonesia dapat mengubah status bank dimaksud dari BDP menjadi BBKU.

vi. Apabila BPPN telah melaksanakan seluruh langkah yang diperlukan untuk penyelesaian bank dengan status BBKU, maka langkah selanjutnya berdasarkan ketentuan yang berlaku adalah pencabutan ijin usaha, pembubaran badan hukum dan likuidasi.

Selanjutnya mengenai bank-bank yang CAR-nya kritis di bawah 8%, menurut hemat kani tidak selayaknya Bank Indonesia menjawab secara spesifik nama bank-bank yang kemungkinan tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut. Apabila nama-nama tersebut diungkapkan, maka dikhawatirkan akan dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja terhadap bank-bank yang diumumkan namanya, tetapi juga terhadap bank-bank lainnya.

B. Masalah BCA Anggota Dewan yang menanyakan masalah BCA adalah Sdr. Dhudi Makmun Murod

Pertanyaan :

1. Ingin menanyakan masalah BCA, yaitu masalah bidders. Siapa saja bidders masalah BCA yang mungkin sudah fit and proper dan yang akan di fit and proper. Siapa saja calonnya yang sudah masuk ke Bank Indonesia. Saya mendengar bahwa salah satu bidder adalah Company base on Indonesia yang dimiliki oleh Bank Indonesia. Saya khawatir dengan issu yang berkembang mengenai keinginan bahwa BCA harus dimiliki oleh orang Indonesia. Hal itu akan dimanfaatkan oleh pemilik lama menggunakan company-company di Indonesia untuk memiliki BCA kembali. Saya menyarankan Bank Indonesia, pada saat mengadakan fit and proper test sebaiknya kalau ingin mendapatkan potensial strategic investor for the future seharusnya kita mengambil investor daripada bank-bank terkemuka bukan dari perusahaan-perusahaan yang membawa uang banyak.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagai jawaban atas pertanyaan Anggota Dewan, dapat kami kemukakan hal-hal sebagai berikut :

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia dalam SK No 27/118/KEP/Dir tanggal 25 Januari 1995 tentang kriteria perbuatan tercela orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank antara lain ditetapkan bahwa “orang yang memenuhi kriteria perbuatan tercela di bidang perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dilarang menjadi pemegang saham bank dan atau pengurus bank”.

Dapat diinformasikan bahwa Bank Indonesia sampai saat ini belum memperoleh pengajuan calon-calon bidder dari BPPN untuk dilakukan penelitian berdasarkan ketentuan

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

27 Bank Indonesia

SK Direksi Bank Indonesia No 32/50/KEP/Dir di atas. Bank Indonesia telah menyampaikan SK dimaksud kepada BPPN (Sdri. Felia Salim) untuk menjadi pedoman dalam menentukan calon bidder.

Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa Bank Indonesia hanya dapat melakukan penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia antara lain lembaga kliring, badan pemeringkat dan Lembaga Penjamin Simpanan dengan persetujuan DPR (Pasal 64 UU No 23/1999). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami tegaskan bahwa Bank Indonesia (company) tidak punya rencana menjadi bidder.

Pertanyaan dari Sdr. Rizal Djalil

Pertanyaan :

2. Masalah saham keluarga Salim di BCA, menurut Departemen Keuangan sudah harus dilepas pada tanggal 7 September yang lalu. Tapi ada juga yang menginformasikan katanya Bank Indonesia tidak setuju dan segala macam. Mohon klarifikasi apakah benar.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Bagi Bank Indonesia, pengaturan mengenai hal ini adalah sesuai ketentuan tentang Daftar Orang Tercela (DOT) dalam SK No 27/118/KEP/Dir tanggal 25 Januari 1995 tentang “Kriteria Perbuatan Tercela orang-orang yang Dilarang menjadi Pemegang Saham dan atau Pengurus Bank, pasal 1 ayat 2 butir a, menyebutkan bahwa “Pemegang saham bank adalah perorangan atau badan hukum yang memiliki saham secara langsung atau melalui pasar modal lebih dari 35% dari jumlah saham yang terdaftar di pasar modal, bagi bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT)”

C. Masalah Bank Likuidasi Pertanyaan mengenai masalah bank likuidasi disampaikan oleh Sdr. Abdullah Al Wahdi, Sdr. Danial Tandjung, dan Sdr. Aberson Marle Sihaloho.

Pertanyaan :

1. Mengenai bank likudiasi. Aset bank likuidasi menurut BPPN saat ini masih ada di Bank Indonesia, jadi tidak termasuk yang diserahkan kepada BPPN yang jumlahnya sekitar Rp. 11 triliun lebih. Apakah tim-tim likuidasi yang pernah ditempatkan di bank-bank likuidasi itu masih ada dan apa laporannya. Sampai dimana sekarang yang bisa dikumpulkan daripada aset bank-bank likuidasi itu.

2. Masalah 6 bank yang dilikuidasi pada tahun lalu dimana debitur ini banyak yang menengah dan kecil masih banyak yang belum menyelesaikan kewajibannya. Pada dasarnya mereka ingin menyelesaikan kewajibannya tetapi Bank Indonesia kurang respon. Apakah tidak sebaiknya Bank Indonesia membuat kebijakan baru untuk

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

28 Bank Indonesia

meringankan mereka dari beban yang harus dia tanggung. Misalnya seperti yang ada di BPPN diberikan diskon baik dari pokok hutang maupun kewajiban tunggakan.

3. Kalau debitur dari bank-bank yang dilikuidasi mau membayar, apakah mereka itu akan mendapat pemotongan nggak atas pinjamannya yaitu yang dikatakan 25% dan begitu juga apakah dia juga dibebaskan dari bunga dan denda.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1999 tanggal 3 Mei 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 bank wajib menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk membentuk Tim Likuidasi (TL) selambat-lambatnya 2 bulan setelah tanggal pencabutan izin usaha. Dari 16 Bank Dalam Likuidasi (BDL), 5 BDL telah melaksanakan RUPS pada bulan November 1997 untuk membentuk TL dan 10 BDL pada bulan Desember 1997, sedangkan 1 BDL melaksanakan RUPS pada bulan Maret 1998. Sejak TL terbentuk, maka tanggung jawab dan kepengurusan BDL dilakukan oleh TL dan hingga saat ini TL yang diangkat oleh RUPS tersebut masih menyelesaikan tugasnya dalam pencairan aset dan penyelesaian kewajibannya antara lain :

- melakukan perundingan dan tindakan lainnya dalam rangka penjualan harta kekayaan, penagihan piutang dan pengalihan kewajiban bank;

- melakukan perundingan dengan para kreditur dan pembayaran kewajiban;

- menyusun neraca akhir likuidasi dan mempertanggungjawabkan kepada RUPS.

Sesuai ketentuan, TL wajib menyampaikan secara tertulis laporan perkembangan pelaksanaan tugas kepada Bank Indonesia setiap bulan. Berdasarkan laporan yang diterima, jumlah “nilai buku” asset 16 BDL tercatat sebesar Rp.13,9 triliun. Dari jumlah tersebut telah dicairkan sebesar Rp.3,2 triliun pada posisi akhir Juli 2001. Jumlah tersebut antara lain digunakan untuk membayar angsuran dana talangan Pemerintah yang tercatat sebesar Rp.1.676.524 juta dan untuk sementara dana tersebut disimpan di rekening TL pada Bank Indonesia. Dapat ditambahkan bahwa dana talangan yang diterima BDL seluruhnya berjumlah Rp.11,9 triliun. Sedangkan penempatan dana pada Bank Umum dalam bentuk tabungan dan deposito tercatat sebesar Rp.847.306 juta yang digunakan untuk operasional BDL.

Sesuai PP Likuidasi, Bank Indonesia hanya melakukan pengawasan atas pelaksanaan pembubaran badan hukum dan likuidasi bank. Dengan demikian pengawasan atas pelaksanaan likuidasi 16 bank yang dilikuidasi pada awal November 1997 dilakukan oleh Bank Indonesia. Sedangkan untuk bank-bank dengan status BBKU maupun BBO dilaksanakan oleh BPPN.

Kebijakan pemberian diskon maupun bentuk keringanan lainnya sepenuhnya merupakan kewenangan TL yang menangani penyelesaian likuidasi sebagaimana diatur dalam PP dan SK Direksi tersebut di atas. Dapat diinformasikan bahwa berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kerja TL yang disusun oleh Forum Komunikasi BDL, disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya TL dapat memberikan keringanan/diskon maksimum sebesar 25% bagi debitur-debitur yang dinilai kurang mampu memenuhi kewajibannya.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

29 Bank Indonesia

III. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG PENGEDARAN UANG A. Masalah Pengadaan Bahan Uang Pertanyaan masalah uang palsu disampaikan oleh Sdr. Suratal HW

Pertanyaan :

1. Mengapa penyimpanan bahan kertas uang dilakukan di Gudang C dan D Cilangkap, bukan di Kantor Bank Indonesia atau Perum Peruri.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Gudang C dan D Cilangkap adalah gudang milik Bank Indonesia yang khusus diperuntukkan untuk tempat penyimpanan bahan uang, dan sudah digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan uang mulai sekitar tahun 1985. Gudang C dan D Cilangkap tersebut dilengkapi dengan sistem pengamanan yang memadai, antara lain CCTV, alarm sistem, parit yang mengelilingi gudang, sistem penguncian dan selalu dijaga oleh aparat keamanan.

Selain daripada itu, pemilihan lokasi di Cilangkap adalah untuk memperlancar transportasi angkutan bahan uang dari Pelabuhan Tanjung Priok yang umumnya menggunakan truk-truk kontainer ukuran besar (20 feet dan 40 feet) dimana pada siang hari tidak diperkenankan memasuki jalan-jalan protokol dalam kota Jakarta.

Pertanyaan dari Sdr. Sudirman

Pertanyaan :

2. Penjelasan Bank Indonesia mengenai rencana kerja tahun 2002 terkait dengan upaya pencegahan beredarnya uang palsu masih bersifat normantif dan bukan bersifat struktural seperti pencetakan uang di luar negeri, pengadaan kertas uang, penyelesaian permasalahan kertas uang antara Perum. Peruri dan PT. Pura dan lain-lain. Mohon dijelaskan lebih lanjut.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Jawaban tertulis kami pada Rapat Kerja tanggal 20 September 2001 mengenai pencegahan beredarnya uang palsu tersebut kami sesuaikan dengan konteks pertanyaan yang diajukan oleh Anggota Dewan yang terhormat. Namun demikian, terhadap penjelasan lanjutan yang diinginkan Anggota Dewan dapat kami kemukakan sebagai berikut :

Berkaitan dengan proses pencetakan uang Rupiah telah diatur di dalam ketentuan Bank Indonesia (Surat Keputusan Direksi BI No. 13/52/DIR/UPU tanggal 1 Desember 1980 yang telah diubah dan disempurnakan sejalan UU No.23 Tahun 1999 dengan Peraturan Bank Indonesia No. 2/17 /PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000 dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2000 No. 116) yang menyebutkan bahwa pada dasarnya pencetakan uang dilakukan Bank Indonesia kepada perusahaan di dalam negeri yaitu Perum Peruri.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

30 Bank Indonesia

Bank Indonesia dapat melakukan pencetakan di luar negeri bila kapasitas dan ataupun teknologi Perum Peruri tidak sanggup memenuhi pesanan Bank Indonesia sebagaimana yang pernah terjadi pada saat “rush” tahun 1998 yang lalu.

Mengenai proses pengadaan bahan uang, berdasarkan UU No.23 Tahun 1999 Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menetapkan macam, harga, ciri dan bahan uang yang digunakan, sehingga prosedur pengadaan bahan uang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Saat ini, pelaksanaan pengadaan bahan uang dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dengan mengacu pada Peraturan Dewan Gubernur No. 2/16/PDG/2000 tanggal 8 September 2000 mengenai Manajemen Logistik Bank Indonesia. Berdasarkan ketentuan ini, Perum Peruri masih dilibatkan dalam proses pengadaan bahan uang sebagai konsultan teknis, uji mutu dan handling impor dengan memperoleh fee dari Bank Indonesia.

Begitu pula untuk penyelesaian kertas uang antara Perum Peruri dan PT. Pura telah diatur dalam Perjanjian Jual Beli No. SP-35/I/2000 tanggal 26 Januari 2000 antara Perum Peruri dan PT. Pura. Di dalam perjanjian dimaksud antara lain disebutkan bahwa apabila terjadi perselisihan atas pelaksanaannya maka masing-masing pihak sepakat dan berjanji untuk terlebih dahulu menyelesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan manakala cara musyawarah tidak dicapai langkah selanjutnya diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) guna diselesaikan pada tingkat pertama dan terakhir menurut prosedur dan ketentuan BANI.

Pertanyaan dari Sdr. Mukhtar

Pertanyaan :

3. Berapa jumlah uang palsu yang beredar di Indonesia dan adakah bahan uang asli dengan nomor seri ganda dikategorikan sebagai pemalsuan uang.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat, Perkembangan uang palsu Rupiah menurut laporan masyarakat dan perbankan

kepada Bank Indonesia maupun temuan POLRI selama 1997-Juni 2001 baik dari segi jumlah bilyet/lembar maupun segi nominal serta perbandingannya dengan uang yang diedarkan (UYD) sebagai berikut:

Uang U Y D Ratio Upal/UYD (%) Tahun

Bilyet Rp Juta Bilyet Rp Juta Bilyet Rp Juta 1997 238,838 4,442 2,094,248,966 30,946,964 0,01140 0,01435 1998 177,665 6,171 2,697,787,021 45,460,956 0,00663 0,01357 1999 215,950 6,729 2,897,590,431 68,646,145 0,00745 0,00980 2000 322,108 14,758 2,781,721,520 85,181,103 0,01158 0,01733

Jun 2001 52,021 1,968 2,307,236,625 72,649,393 0,00225 0,00270

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

31 Bank Indonesia

Berdasarkan data di atas, teknik pemalsuan uang Rupiah pada umumnya dilakukan dengan cara offset, colour printer/transfer, sablon maupun foto copy, sehingga jelas uang palsu dengan mencontoh uang asli akan menghasilkan nomor seri yang sama atau ganda.

Selanjutnya, dari laporan yang disampaikan Perum Peruri tidak ada uang Rupiah asli pada satu pecahan yang pemberian/penetapan dan pencetakan nomornya oleh Perum Peruri dilakukan dengan seri yang sama/ganda. Dengan demikian, informasi/berita mengenai beredarnya uang asli dengan nomor seri ganda menurut hemat kami adalah sekedar isu, karena sampai saat ini tidak dijumpai di masyarakat adanya uang asli dengan nomor seri ganda (apalagi dalam jumlah cukup besar). Perlu kami tegaskan disini, bahwa kewenangan pemberian nomor dan seri uang sepenuhnya berada di Perum Peruri.

Pertanyaan dari Sdr. Tjahjo Kumolo

Pertanyaan :

1. Sebelumnya terdapat Perjanjian Pokok Hubungan Kerja (PPHK) antara Bank Indonesia dan Perum Peruri, namun sekarang dengan proses pengadaan uang ada kesan terjadi pemutusan sepihak terhadap perjanjian dimaksud.

2. Kami mendengar bahwa pengadaan uang baru dilakukan pada bulan September 2001, sehingga selama tahun 2001 yang tinggal 3 (tiga) bulan lagi apakan Bank Indonesia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai penyediaan uang.

3. Bagaimana pandangan Bank Indonesia terhadap keberadaaan PP No.34/2000 tentang Perum Peruri yang merupakan badan usaha tunggal di bidang pencetakan uang dengan diterbitkannya Keppres No.96/2000 antara lain tentang Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan tertentu untuk Industri Percetakan Uang. Apakah penerbitan Keppres tersebut batal demi hukum.

4. Apakah benar dalam pencetakan uang setiap 100 lembar terdapat cadangan 3 lembar, mohon penjelasan.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

1. PPHK antara Bank Indonesia dan Perum Peruri disusun dan disepakati pada tanggal 7 Agustus 1997 dengan landasan hukum di dalam perjanjian adalah kewenangan Bank Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-Undang No.13 Tahun 1968 dan kewenangan Perum Peruri didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 1985. Selain itu, dalam PPHK tersebut tidak ditentukan batas waktu berlakunya perjanjian.

Mengingat landasan hukum Bank Indonesia dan Perum Peruri telah berubah, maka Bank Indonesia telah memberitahukan kepada Peruri dengan surat no. 2/1/DpG/DPU/Rahasia tanggal 24 Oktober 2001 untuk meninjau kembali isi PPHK tersebut. Sambil menunggu tersusunnya PPHK yang baru, maka butir-butir yang tercantum dalam PPHK akan dimasukkan dalam kontrak perjanjian pencetakan uang sepanjang materinya masih relevan. Oleh karena itu, kesan pemutusan sepihak adalah tidak benar karena setiap proses pengadaan bahan uang atau pencetakan uang selalu melibatkan Perum Peruri.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

32 Bank Indonesia

Khusus untuk kegiatan pengadaan bahan uang, berdasarkan Peraturan Dewan Gubernur No. 2/16/PDG/2000 tanggal 8 September 2000, proses pelaksanaannya tidak lagi dikuasakan kepada Perum Peruri, tetapi langsung diadakan oleh Bank Indonesia. Namun demikian, Perum Peruri tetap dilibatkan dalam proses pengadaan, yaitu sebagai konsultan teknis, uji mutu dan handling impor. Kebijakan ini ternyata telah dapat mendorong efisiensi bagi Bank Indonesia.

2. Setiap tahun Bank Indonesia menyusun Rencana Cetak yang antara lain berisi jumlah uang yang dicetak dan jumlah bahan uang yang harus diadakan. Secara umum kegiatan ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebelum memasuki tahun anggaran yang baru dan untuk kebutuhan Tahun 2002 telah disusun pada bulan September 2001. Dengan demikian, rencana cetak yang saat ini kami susun bukan untuk memenuhi kebutuhan tahun 2001, melainkan untuk kebutuhan tahun 2002.

Kebutuhan uang Tahun 2001 (termasuk untuk memenuhi kebutuhan menghadapi Hari Besar Keagamaan dan Tahun Baru) telah direncanakan dan dipersiapkan oleh Bank Indonesia pada triwulan IV tahun 2000, sedangkan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sepanjang tahun 2001.

3. Di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.34 Tahun 2000 disebutkan antara lain bahwa Perum Peruri merupakan badan usaha tunggal di bidang pencetakan uang yang diberi tugas dan wewenang melakukan pencetakan uang Rupiah untuk Bank Indonesia. Keputusan Presiden (Keppres) No. 96 Tahun 2000 mengatur Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan Tertentu bagi Penanaman Modal dan dalam lampirannya menunjukkan bahwa Industri Percetakan Uang maupun Industri Percetakan Khusus (perangko, meterai, paspor dll) merupakan bidang usaha yang terbuka

Sejalan dengan ketentuan-ketentuan tersebut dan mengingat Bank Indonesia tidak mempunyai kewenangan dalam pengujian materiil maupun formal produk hukum maka seyogianya pihak DPR-RI dapat mempertanyakan secara proporsional kepada penyusun maupun penerbit ketentuan yang bersangkutan. Namun demikian, BPK RI dengan surat No. 99/S/I/9/2000 tanggal 8 September 2000 telah menyarankan kepada Presiden RI untuk mencabut materi Keppres No. 96 Tahun 2000 di atas, mengingat materi tersebut bertentangan dengan PP No. 34 Tahun 2000 yang kedudukannya lebih tinggi.

4. Informasi yang menyatakan bahwa setiap pencetakan 100 (seratus) bilyet terdapat cadangan sebanyak 3 (tiga) bilyet adalah tidak benar. Kondisi yang sebenarnya adalah untuk mencetak 100 (seratus) bilyet, Perum Peruri membutuhkan bahan kertas uang yang berkisar antara 102 – 105 bilyet dalam rangka mengantisipasi kesalahan cetak yang terjadi. Namun pengawasan terhadap jumlah kertas uang yang diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Perum Peruri maupun penyerahan hasil cetak (baik sempurna/tidak sempurna) oleh Perum Peruri kepada Bank Indonesia dilakukan dengan ketat, baik oleh Bank Indonesia maupun oleh Perum Peruri.

Pertanyaan dari Sdr. Aberson Marle Sihaloho

Pertanyaan :

5. Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 (Penjelasan) dan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan wewenang Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga yang berhak untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik serta memusnahkan uang dimaksud dari peredaran, Oleh karena itu, kami usulkan agar

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

33 Bank Indonesia

pencetakan uang dikembalikan menjadi bagian dari Bank Indonesia dan hal ini sejalan dengan sejarah yang ada bahwa perusahaan pencetakan uang tersebut sebelumnya merupakan bagian dari tugas Bank Indonesia.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Usul anggota Dewan yang terhormat tersebut menurut hemat kami sangat baik untuk dikaji lebih mendalam dan Bank Indonesia akan menerima dan melaksanakan apapun nantinya yang menjadi keputusan DPR RI dan Pemerintah.

VI. PERTANYAAN MENYANGKUT MASALAH BLBI DAN KEUANGAN INTERN

Pertanyaan dari Sdr. Suratal HW.

Pertanyaan :

1. Sudah dijelaskan masalah BLBI dalam hubungannya Bank Indonesia dengan Pemerintah, yang diakui Rp24,5 triliun, ada pengakuan surat hutang dan pembayaran bunga. Namun demikian nampaknya permasalahan antara Bank Indonesia dengan BPPN belum beres. Jadi mohon ada klarifikasi Bank Indonesia dan BPPN.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

1. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Rapat Kerja antara Pemerintah, Bank Indonesia dengan Komisi IX DPR RI tanggal 10 Oktober 2000, antara lain telah ditetapkan bahwa Pemerintah dan Bank Indonesia segera menyelesaikan secara tuntas masalah BLBI dalam waktu 30 hari sejak tanggal 10 Oktober 2000. Untuk itu telah dibentuk Tim Kerja yang anggota-anggotanya terdiri dari pejabat-pejabat yang mewakili Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Kejaksaan Agung yang dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian.

2. Sebagai pelaksanaan dari keputusan DPR RI tersebut, beberapa pertemuan telah dilakukan di Departemen Keuangan, dan terakhir di Bank Indonesia pada tanggal 17 November 2000. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Keuangan dan Jaksa Agung serta Menko Perekonomian tersebut, telah dicapai kata sepakat yang dituangkan dalam Pokok-pokok Kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia Mengenai Penyelesaian BLBI. Pokok-pokok Kesepakatan tersebut telah pula ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dan disaksikan oleh Menko Perekonomian. Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut Bank Indonesia menerbitkan Surat Utang kepada Pemerintah sebesar Rp24,5 triliun dan memenuhi kewajiban-kewajiban terkait seperti pembayaran bunga secara periodik, sebagai partisipasi finansial Bank Indonesia untuk mengurangi beban APBN dengan memperhatikan kemampuan keuangan Bank Indonesia untuk BLBI sebesar Rp144,5 triliun.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

34 Bank Indonesia

3. Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan tersebut serta telah dilaporkannya penyelesaian BLBI tersebut kepada Komisi IX DPR RI, maka menurut hemat kami seluruh pihak yang terkait telah sependapat bahwa masalah BLBI telah selesai. Hal ini diperkuat dengan tidak terdapatnya klausul yang menyatakan perlunya penegasan ataupun pendapat DPR RI atas isi pokok-pokok kesepakatan dimaksud. Namun Menteri Keuangan melalui suratnya No.S-169/MK.06/2001 tanggal 2 April 2000 perihal Konfirmasi Pendapat Komisi IX DPR RI menyatakan bahwa penyelesaian atas BLBI sebesar Rp144,5 triliun masih menunggu konfirmasi dari Komisi IX DPR RI.

4. Dalam notulen rapat antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 6 September 2001 disepakati bahwa penyelesaian Surat Utang Pemerintah yang berasal dari BLBI yang belum terselesaikan akan dilakukan dengan segera dengan memperhatikan kesepakatan burden sharing sebagai pelaksanaan dari LoI 27 Agustus 2001.

Pertanyaan dari Sdr. Suratal HW

Pertanyaan :

2. Tadi diakui rekening 502 ini bahwa Bank Indonesia yang berhutang, sekitar Rp23,6 triliun, BPPN juga ada sekitar Rp25,8 triliun. Jika berhutang begini seharus mengembalikan, kapan itu dalam perjanjian atau dalam kontraknya, dan apakah ada beban bunganya. Mohon penjelasan.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pemilik rekening 502 adalah Pemerintah. Rekening tersebut diperuntukan bagi program penjaminan (blanket guarantee) dari Pemerintah sedangkan Bank Indonesia hanya sebagai pelaksana pembayaran. Dasar pelaksanaan penggunaan rekening tersebut oleh Bank Indonesia adalah surat Menteri Keuangan No.SR-176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 yaitu untuk:

1. Penjaminan sesuai Keppres No.120 dan No.193 tahun 1998, 2. Pelunasan tambahan BLBI sesudah bulan Januari 1999 sebesar Rp14,447 triliun, 3. Rediskonto post shipment wesel ekspor, deposito Bank Indonesia dalam valuta asing

dan kewajiban dalam rangka GSM-102 dari bank BBO dan BBKU.

Dapat ditambahkan bahwa khusus BLBI Rp14,447 triliun merupakan pelunasan dari Pemerintah terhadap dana talangan Bank Indonesia yang sudah terjadi sebelumnya. Sedangkan untuk penjaminan lainnya merupakan pelaksanaan dari janji Pemerintah kepada masyarakat yaitu dalam rangka blanket guarantee yang pelaksanaannya dilakukan oleh Bank Indonesia.

Dengan demikian bukan Bank Indonesia yang mempunyai kewajiban atau utang kepada Pemerintah.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

35 Bank Indonesia

Pertanyaan dari Sdr. Syamsul Balda dan Sdr. Abdullah Zainie

Pertanyaan :

3. Kami perlu mengetahui secara transparan laporan keuangan dari Bank Indonesia, agar kami mengetahui sejauh mana Bank Indonesia ini berperan secara signifikan dalam menata kebijakan-kebijakan moneter.

4. Saya heran dari mana Bank Indonesia dapat dana guna membayar bunga SBI yang 17,7%. SBPU sudah tidak ada, penghasilan mana yang bisa menutup, apa minta kepada APBN juga, tidak-kan?.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Berhubung kedua pertanyaan tersebut menurut penilaian kami berkaitan, maka perkenankan kami untuk menjawabnya sekaligus sebagai berikut:

Sebagaimana diketahui bahwa dalam UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagai salah satu akuntabilitas kepada publik, Bank Indonesia diharuskan menyusun laporan keuangan yang dipublikasikan secara berkala baik tahunan sebagaimana diatur dalam pasal 61 maupun mingguan yang diatur dalam pasal 63.

Sebagaimana pula diatur dalam UU tersebut, Bank Indonesia bertanggungjawab atas stabilitas moneter. Oleh karena itu pengeluaran-pengeluaran yang timbul karena kegiatan menata kebijakan moneter termasuk biaya bunga SBI menjadi beban Bank Indonesia. Pengeluaran-pengeluaran tersebut ditutup dari berbagai hasil penerimaan termasuk penerimaan dari pengelolaan devisa.

Pertanyaan dari Sdr. Danial Tandjung

Pertanyaan :

5. Jumlah BLBI yang dikenal adalah sebesar Rp144,5 triliun. Tapi dengan adanya surat hutang baru berjumlah Rp53 triliun diantaranya Rp14,5 triliun yang tidak termasuk Rp144,5 triliun, berapa sebenarnya jumlah BLBI itu dan atas dasar jumlah itu apakah yang menjadi tangungan Bank Indonesia tetap Rp24,5 triliun dan selebihnya menjadi tanggungan Pemerintah.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Menurut catatan di Bank Indonesia, jumlah BLBI yang semula dipermasalahkan adalah sebesar Rp144,5 triliun yaitu yang berasal dari SUP No.001 sebesar Rp 80,0 triliun dan SUP No. 003 sebesar Rp 20,0 triliun. Sementara itu terdapat pula BLBI yang belum dilunasi oleh Pemerintah (belum dibuatkan SUP) sebesar Rp14,00 triliun. Dalam konteks kebijakan yang sama, Pemerintah juga telah menerbitkan SUP No. 002 sebesar Rp 20,0 triliun untuk BLBI kepada Bank Eksim dan SUP No. 004 sebesar Rp 53,7 trliun untuk program penjaminan Pemerintah (blanket guarantee) termasuk di dalamnya untuk pelunasan BLBI sebesar Rp 14,47 triliun.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

36 Bank Indonesia

Dengan demikian, jumlah bantuan likuiditas yang dikeluarkan karena kebijakan Pemerintah baik untuk menyelamatkan sistem perbankan maupun sebagai pelaksanaan program penjaminan Pemerintah mencapai Rp232,2 triliun. Dari angka tersebut, jumlah yang menurut Bank Indonesia masih perlu penyelesaian lanjut adalah Rp14,5 triliun yaitu yang belum ada cessie dan Rp14,0 triliun yang belum ada SUP dan cessie.

Dalam hubungan ini, perlu kiranya kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

a. Sesuai dengan langkah-langkah penyehatan yang dijanjikan oleh Pemerintah yang dituangkan dalam butir 32 LoI tanggal 31 Oktober 1997, biaya-biaya yang berhubungan dengan penutupan dan penyehatan perbankan sepenuhnya menjadi beban APBN.

b. Menurut pasal 6 UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia, modal Bank Indonesia ditetapkan sekurang-kurangnya Rp2 triliun. Modal tersebut harus ditambah sehingga menjadi 10% dari kewajiban moneter yang dananya berasal dari Cadangan Umum dan sumber lainnya.

c. Namun demikian, apabila diperlukan, maka pendekatan melalui pola kesepakatan burden sharing merupakan pola yang masih mungkin ditempuh.

Pertanyaan dari Sdr. FX. Soemitro

Pertanyaan :

6. Menyangkut beban BLBI pada Bank Indonesia yang Rp24,5 triliun yang merupakan kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia. Komisi IX belum menyetujui kesepakatan itu karena hanya dikaitkan atas hasil audit BPK terhadap BLBI yang sekitar Rp144,5 triliun sedangkan total BLBI sekitar Rp200 triliun lebih dan ini harus diaudit juga, terjadi kesalahan nggak di dalam masalah ini. Jadi kita harus cepat mengklarifikasi mengenai BLBI sisanya yaitu sekitar Rp53 triliun termasuk Rp14,5 triliun. Barangkali hari ini mestinya kita tidak dapat menyetujui juga karena ini menyangkut masalah yang belum diklarifikasi.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Mengenai hal ini dapat kami kemukakan sebagai berikut:

1. Sebagaimana pernah dikemukakan dalam jawaban-jawaban sebelumnya, bahwa sebagai pelaksanaan arahan DPR dalam Rapat Kerja 10 Oktober 2000 penyelesaian BLBI dituangkan dalam pokok-pokok kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 17 November 2000. Menurut pertimbangan Bank Indonesia, BLBI sebesar Rp144,5 triliun sebenarnya telah selesai. Hal ini antara lain karena dalam Rapat Kerja tanggal 10 Oktober 2000 tersebut di atas, DPR meminta Pemerintah dan Bank Indonesia agar menyelesaikan masalah BLBI secara tuntas dalam waktu 30 hari serta tidak terdapatnya klausul dalam pokok-pokok kesepakatan tanggal 17 November 2000 tersebut yang mengharuskan meminta persetujuan DPR.

2. Namun Menteri Keuangan melalui surat No.S-169/MK.06/2001 tanggal 2 April 2001 meminta konfirmasi persetujuan kepada DPR atas kesepakatan tanggal 17 November 2000 tersebut.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

37 Bank Indonesia

3. Sebagai dampak lanjut dari surat Menteri Keuangan tersebut BPK RI memberikan opini Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion) terhadap laporan keuangan Bank Indonesia tahun 2000.

4. Mengenai kemungkinan audit atas jumlah BLBI lainnya, Bank Indonesia akan tetap terbuka dan siap membantu dengan memberikan data yang diperlukan.

Pertanyaan dari Sdr. Rizal Djalil

Pertanyaan :

7. Persoalan jaminan yang disampaikan Pak Mitro tadi tambahan BLBI Rp14,5 triliun pada tanggal 29 Januari. Menurut hasil pemeriksaan BPK sampai saat ini belum ada verifikasi yang jelas antara Departemen Keuangan dengan Bank Indonesia. Kira-kira kapan ini mau diselesaikan.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Pertanyaan Bpk. FX. Soemitro mungkin yang dimaksudkan adalah BLBI setelah 29 Januari 1999. Dengan asumsi bahwa BLBI yang dimaksudkan adalah sebagaimana yang kami utarakan di atas, masalah yang timbul adalah masih belum dialihkannya tagihan Bank Indonesia kepada pemerintah melalui cessie. Masalah ini telah kami kemukakan beberapa kali melalui surat kepada Departemen Keuangan sejak 1999 sampai dengan April 2001. Dapat kami tambahkan pula bahwa terhadap jumlah tersebut, Bank Indonesia tidak mempunyai masalah untuk dilakukan verifikasi sepanjang sesuai dengan Persetujuan Bersama Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia tanggal 6 Februari 1999 bahwa verifikasi dilakukan setelah cessie dilaksanakan terlebih dahulu.

Namun demikian, dalam kesepakatan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia sesuai notulen rapat tanggal 6 September 2001 dikemukakan bahwa penyelesaian Surat Utang Pemerintah yang berasal dari BLBI yang belum terselesaikan akan dilakukan dengan segera dengan memperhatikan kesepakatan burden sharing sebagai pelaksanaan dari LoI 27 Agustus 2001.

Pertanyaan dari Sdr. Aberson Marle Sihaholo

Pertanyaan :

8. Supaya bisa mengurangi tekanan defisit akibat pembayaran bunga, bagaimana yang Rp144,5 triliun atau berapa itu suatu saat oleh Bank Indonesia itu bisa dihilangkan sehingga tidak menjadi beban APBN.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagaimana dikemukakan dalam pokok-pokok kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 17 November 2000, bahwa pertimbangan-pertimbangan yang mendasari upaya penyelesaian BLBI sebesar Rp144,5 triliun adalah:

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

38 Bank Indonesia

a. Sedapat mungkin mengurangi beban APBN.

b. Mengupayakan pengembalian BLBI melalui asset recovery semaksimal mungkin oleh BPPN.

c. Sharing dari Bank Indonesia disesuaikan dengan kemampuan keuangan Bank Indonesia guna menjaga kepercayaan para pelaku ekonomi baik dalam maupun luar negeri terhadap solvabilitas Bank Indonesia.

Dalam hubungan ini, menurut pasal 6 UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia, modal Bank Indonesia ditetapkan sekurang-kurangnya Rp2 triliun. Modal tersebut harus ditambah sehingga menjadi 10% dari kewajiban moneter yang dananya berasal dari Cadangan Umum dan sumber lainnya. Menurut penilaian kami, pertimbangan-pertimbangan di atas terutama yang menyangkut sharing Bank Indonesia, kiranya perlu mendapat perhatian secara proporsional.

Pertanyaan dari Sdr. Rizal Djalil

Pertanyaan :

9. Mohon klarifikasi apakah benar ada salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia yang belum mempunyai NPWP atau baru mempunyai NPWP.

Jawaban:

Anggota Dewan yang terhormat,

Seperti telah dikemukakan dalam kesempatan sebelumnya seluruh anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia sudah memiliki NPWP.

V. PERTANYAAN MENYANGKUT BIDANG LAINNYA A. Masalah UU Money Laundering

Pertanyaan dari anggota Dewan Sdr. Mukhtar

Pertanyaan :

Menyangkut peraturan (RUU) Money Laundering yang belum diundangkan, dan dipertanyakannya penyimpanan dana sebesar Rp100 juta dan Bank BNI 46, apakah hal ini merupakan kebijakan Bank Indonesia

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

RUU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) sudah diajukan oleh Pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) ke DPR dan pembahasan di DPR sampai saat ini baru memasuki Pembicaraan Tingkat II.

Berkenaan dengan transaksi keuangan sebesar Rp 100 juta, dalam RUU dimaksud diatur bahwa “Lembaga keuangan wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU) jika menerima uang tunai dengan jumlah Rp100 juta

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

39 Bank Indonesia

atau lebih, baik penerimaan itu dilakukan untuk satu kali penerimaan maupun beberapa kali penerimaan”.

Usulan ketentuan tersebut bukan merupakan kebijakan Bank Indonesia, melainkan usulan dari Tim Penyusun RUU yang terdiri dari wakil-wakil Departemen dan instansi terkait, seperti Departemen Kehakiman dan HAM, Bank Indonesia, Departemen Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian dll.

Berkenaan dengan upaya memberantas money laundering, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan sebagaimana tertuang dalam PBI No. 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles).

PBI tersebut pada pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut :

- Bank wajib meminta informasi mengenai identitas nasabah, tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan oleh nasabah dengan bank, dan informasi lain berkaitan dengan profil nasabah, termasuk keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana.

- Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank.

- Bank wajib melaporkan transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) kepada Bank Indonesia.

Ketentuan dalam PBI tersebut tidak berlaku untuk nasabah yang tidak mempunyai rekening di bank (walk in customer) sepanjang nilai transaksi yang dilakukan tidak melebihi Rp100 juta dan tidak berlaku juga untuk Bank Perkreditan Rakyat.

B. Masalah Amendemen UU Bank Indonesia

Pertanyaan mengenai masalah amendemen UU Bank Indonesia disampaikan oleh Sdr. Abdullah Al Wahdi

Pertanyaan : 1. Sebagaimana tadi ditanyakan oleh Pak Mitro mengenai amandemen UU No.23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia yang dipertanyakan kepada GOLKAR, PDI-P, saya ingin mempertanyakan kepada Bank Indonesia. Bagaimana sikap dan pandangan Bank Indonesia terhadap amandemen yang akan kita laksanakan atau bagaimana yang sedang kita laksanakan.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Pada hakekatnya Bank Indonesia belum menganggap perlu melakukan amandemen UU Bank Indonesia, karena UU Bank Indonesia dimaksud belum diimplementasikan sepenuhnya. Namun demikian, apabila dikehendaki adanya amandemen UU Bank Indonesia, maka konsep amandemen UUBI sebaiknya dengan mencermati keseluruhan Undang-undang dan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut best international practice di bidang central banking, antara lain :

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

40 Bank Indonesia

a. Kewenangan yang memadai bagi kebebasan bank sentral untuk menetapkan stance kebijakan moneter dalam pencapaian targetnya (terlepas bahwa hal ini ditentukan oleh bank sentral sendiri);

b. Kewenangan yang jelas untuk menolak pemberian kredit kepada Pemerintah; c. Sumber keuangan yang cukup yang persetujuan ke DPR-nya cukup secara global; d. Jaminan yang tinggi (meski tidak absolut) atas masa jabatan senior manajemen; dan e. Prosedur dan struktur yang memastikan bank sentral harus akuntabel kepada rakyat.

C. Masalah Penggantian Dewan Gubernur Bank Indonesia

Pertanyaan mengenai masalah penggantian Dewan Gubernur Bank Indonesia disampaikan oleh Sdr Dudhi Makmun Murod dan Sdr. Danial Tandjung

Pertanyaan :

1. Dengan belum diprosesnya pengangkatan penggantian Deputi Gubernur Bank Indonesia, kira-kira apa dampaknya, apakah itu sudah suatu keharusan dalam waktu dekat ini, apakah dengan penundaan ini akan mempengaruhi kinerja Bank Indonesia atau tidak. Tolong dijelaskan kepada kita supaya kita juga bisa ngerti persoalannya.

2. Apakah dengan belum ditetapkannya pengganti deputi-deputi gubernur baik yang sudah habis masa jabatannya, atau mengundurkan diri atau mendapatkan tugas lain Bank Indonesia mengalami kesulitan. Apakah keputusan Dewan Gubernur dengan tidak adanya deputi Gubernur yang definitif masih dianggap sah sebab ada ketentuan bahwa dianggap sah kalau memenuhi kuorum.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

1. Penundaan proses pengangkatan penggantian Deputi Gubernur Bank Indonesia dapat berpengaruh terhadap kinerja Bank Indonesia yakni dapat menjadi kurang optimum mengingat pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang lebih memadai bila dilakukan oleh 4 (empat) orang saat ini dilakukan oleh 3 (tiga) orang deputi gubernur (overload).

2. Berkenaan dengan penundaan proses pengangkatan Deputi Gubernur Bank Indonesia mengenai jumlah minimal Deputi Gubernur Bank Indonesia dan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Jumlah minimal Deputi Gubernur :

i. Berdasarkan Pasal 36 UUBI, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur. Selanjutnya dalam Pasal 37 UUBI disebutkan bahwa Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur.

ii. Dalam rangka melaksanakan amanat Penjelasan Pasal 41 ayat (2) UUBI yang berbunyi : “Gubernur menyampaikan paling banyak 3 (tiga) nama calon untuk setiap jabatan Deputi Gubernur kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum masa jabatan Deputi Gubernur berakhir. Calon Deputi Gubernur yang diusulkan oleh Gubernur berasal dari pejabat Bank

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

41 Bank Indonesia

Indonesia yang memenuhi syarat menurut Undang-undang ini”, maka Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 16 Februari 2001 telah mengajukan calon nama pengganti Sdr. Achwan (karena pensiun pada tanggal 17 Mei 2001 dan Sdr Dono Iskandar Djoyosubroto (karena mengundurkan diri dan mendapat tugas baru di IMF).

iii. Mengingat sampai batas waktu 3 minggu yang ditetapkan dalam UUBI telah dilampaui, sementara itu DPR belum juga memberikan persetujuan/penolakan terhadap calon yang diajukan sesuai Penjelasan Pasal 41 ayat (1) dan (2) UUBI yang menyebutkan bahwa : “DPR harus telah memberikan persetujuan terhadap salah satu atau menolak seluruh calon Deputi Gubernur yang diusulkan selambat-lambatnya 3 minggu sejak usulan Gubernur Bank Indonesia tersebut diterima”, maka Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 30 April 2001 menanyakan dan mengingatkan kembali DPR secara tertulis tentang proses penggantian 2 (dua) orang Deputi Gubernur. Namun hingga saat ini DPR belum menanggapi kedua surat dimaksud dan belum menindaklanjuti proses penggantian kedua Deputi Gubernur Bank Indonesia yang telah berakhir masa jabatannya.

iv. Selanjutnya, mengingat Sdr Burhanuddin Abdullah mengajukan pengunduran diri karena diangkat menjadi Menko Bidang Perekonomian pada tanggal 12 Juni 2001, maka jumlah Deputi Gubernur Bank Indonesia sejak saat itu menjadi 3 orang, sehingga masih kurang 1 (satu) orang Deputi Gubernur untuk memenuhi ketentuan minimal 4 (empat) orang sebagaimana ditetapkan dalam UUBI.

v. Sehubungan dengan itu, Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 19 Juni 2001 telah mengirimkan surat kepada DPR untuk menginformasikan hal tersebut.

b. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia

i. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UUBI yang menyatakan bahwa Rapat Dewan Gubernur diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter dan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam seminggu untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan moneter dan menetapkan kebijakan lain yang prinsipiil dan strategis.

ii. Selanjutnya Pasal 43 ayat (2) UUBI menyatakan bahwa Rapat Dewan Gubernur dinyatakan sah (kuorum) apabila dihadiri sekurang-kurangnya oleh lebih dari separuh anggota Dewan Gubernur.

Berkenaan dengan ini, Bank Indonesia menerapkan kondisi/persyaratan minimal yang ditetapkan oleh Pasal 37 ayat (1) UUBI, yaitu 6 (enam) orang anggota Dewan Gubernur (seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior, dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang Deputi Gubernur). Dengan demikian korum Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dewasa ini adalah separuh tambah satu dari jumlah minimal seluruh anggota Dewan Gubernur yang ditetapkan oleh UUBI (6 orang), sehingga cukup dihadiri minimal oleh 4 (empat) orang anggota Dewan Gubernur, dan keputusan-keputusan Rapat Dewan Gubernur tersebut adalah sah.

Mengenai jumlah minimal Deputi Gubernur dan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Bank Indonesia telah meminta fatwa dari Mahkamah Agung pada tanggal 29 Juni 2001, namun sampai saat ini belum mendapatkan jawaban.

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

42 Bank Indonesia

Pertanyaan dari Sdr. Rizal Djalil

Pertanyaan :

3. Khusus yang menyangkut wewenang saudara Gubernur, saya minta ketegasan apakah salah satu deputi yang masih duduk sekarang dan sudah menyatakan mundur termasuk usulan yang mau diganti atau tidak.

Jawaban : Anggota Dewan yang terhormat,

Demi kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Gubernur Bank Indonesia, saat ini kami telah mengajukan usulan nama calon pengganti 3 (tiga) orang Deputi Gubernur, sedangkan mengenai Deputi Gubernur yang telah mengundurkan diri yang masih efektif menjabat sampai dengan penggantinya telah diproses, apabila DPR menghendaki kami akan mengajukan calon pengganti Deputi Gubernur dimaksud.

D. Masalah Kasus PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Pertanyaan masalah kasus PT Bahana disampaikan oleh FX. Soemitro

Pertanyaan :

Mengenai BPUI. Bahwa terjadi dilusi saham sehingga penyertaan Bank Indonesia tinggal setengah persen atau berapa, masalahnya adalah siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap permasalahan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) tersebut. Pertanggungjawaban finance memang Bank Indonesia tetapi apakah selesai sampai di situ. Apakah tindakan Bank Indonesia terhadap permasalahan yang terjadi pada PT Bahana PUI dan apakah tindakan yang dilakukan itu sudah sepadan dengan kerugian negara yang ditimbulkan oleh tindakan itu.

Jawaban :

Anggota Dewan yang terhormat,

Sebagai suatu badan usaha yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT) maka pengelolaan operasional PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT. BPUI) dilakukan oleh Dewan Direksi yang dipilih dan diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dengan demikian, Bank Indonesia selaku salah satu pemegang saham (pemilik 42.12% saham PT. BPUI) tidak terkait secara langsung dalam pengelolaan PT BPUI karena tugas dan wewenang pengelolaan perusahaan telah diserahkan kepada pihak manajemen melalui mekanisme RUPS. Sedangkan untuk tujuan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha perseroan maka para pemegang saham dapat mengusulkan kepada RUPS calon yang dinilai memiliki kemampuan untuk melakukan fungsi dan tugas sebagai anggota Komisaris.

Permasalahan yang dihadapi PT. Bahana pada umumnya merupakan dampak dari krisis nilai tukar yang terjadi berkepanjangan. Sebagaimana kita ketahui, PT. Bahana yang memiliki eksposure berupa hutang dalam bentuk valas kepada sejumlah kreditur luar negeri yang jumlahnya cukup besar telah mengalami kesulitan dalam pembayaran kembali baik pokok maupun bunga hutang yang telah dan segera akan jatuh tempo. Sebagaimana juga

Rapat Kerja BI dan Komisi IX DPR RI Tanggal 9 Oktober 2001: Penjelasan Atas Pertanyaan Lisan Anggota Komisi IX DPR RI yang diajukan dalam Rapat Kerja Tanggal 20 September 2001

43 Bank Indonesia

dialami oleh hampir semua badan usaha di Indonesia maka PT. BPUI juga mengalami kesulitan untuk menyediakan dana dalam rupiah yang jumlahnya menjadi sekitar 4 kali lebih besar dari masa sebelum krisis untuk memperoleh dana valas yang akan digunakan dalam pembayaran kewajiban yang jatuh tempo. Hal tersebut telah mengakibatkan BPUI harus masuk dalam program restrukturisasi hutang baik dengan kreditur domestik maupun dengan kreditur luar negeri. Restrukturisasi hutang domestik akan dilakukan oleh BPPN dimana BPPN dan BPUI telah menandatangani nota persetujuan restrukturisasi pada tanggal 15 September 2000, namun hingga saat ini restrukturisasi dimaksud belum dapat dilaksanakan karena masih menunggu keputusan KKSK.

Dari sisi debitur permasalahan yang serupa juga terjadi. Sejumlah debitur yang pada masa sebelum krisis telah menikmati fasilitas kredit dalam bentuk valuta asing yang jumlahnya cukup besar, maka setelah anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap USD juga mengalami kesulitan untuk melunasi kewajibannya kepada PT. BPUI. Kedua hal tersebut yang terjadi secara bersamaan telah membawa PT. BPUI pada situasi kesulitan keuangan yang sangat serius. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi oleh PT BPUI, sebagaimana juga dialami oleh perusahaan-perusahaan lain, lebih banyak disebabkan oleh krisis moneter yang tidak dapat diantisipasi bahkan dampaknya juga sulit untuk dihindari oleh manajemen saat itu.

Ditinjau dari segi perundang-undangan yang berlaku maka tanggungjawab Bank Indonesia selaku salah satu pemegang saham PT. BPUI adalah sebatas kepemilikan saham yang ditempatkanya. Hal ini sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dimana pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang dimiliki. Sepanjang yang menyangkut dugaan penyalahgunaan wewenang oleh manajemen PT. BPUI hingga saat ini masih dalam penanganan pihak penegak hukum.

Jakarta, 9 Oktober 2001