104
i LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI LAPORAN AKHIR Recover Together, Recover Stronger: Kajian Isu-Isu Prioritas untuk Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022 Laporan Akhir ini merupakan hasil kerja sama SDGs Hub Universitas Indonesia dengan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI untuk mendukung usulan Isu-Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022 Jakarta, Agustus 2021 Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri 2021

Recover Together, Recover Stronger

  • Upload
    others

  • View
    24

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Recover Together, Recover Stronger

i LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

LAPORAN AKHIR

Recover Together, Recover Stronger: Kajian Isu-Isu Prioritas untuk Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022

Laporan Akhir ini merupakan hasil kerja sama SDGs Hub Universitas Indonesia dengan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI untuk mendukung usulan Isu-Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022

Jakarta, Agustus 2021

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan

Kementerian Luar Negeri 2021

Page 2: Recover Together, Recover Stronger

ii LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

LAPORAN AKHIR

Recover Together, Recover Stronger: Kajian Isu-Isu Prioritas untuk Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022

Laporan Akhir ini merupakan hasil kerja sama SDGs Hub Universitas Indonesia dengan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI untuk mendukung usulan Isu-Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia Tahun 2022.

Pengarah dan Penanggungjawab Siswo Pramono Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Penyunting Rio Budi Rahmanto Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Disusun oleh Tim SDGs Hub UI : Nurul Isnaeni, Ph.D., Shofwan Al-Banna Choiruzzad, Ph.D., Asra Virgianita, Ph.D., Dr. Triarko Nurlambang, M.A., Radhe Ayu Dewi Amerta Ratih, S.Sos., Devina Ayona, S.Sos., Lutfi Kurniawan, S.Sos., Fadelia Deby Subandi, S.Psi., Naifah Uzlah Istya Putri

Didukung oleh Tim Kajian Mandiri Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri RI: Rio Budi Rahmanto, Perry Pada, Hardiyono Kurniawan, Dhani Eko Wibowo, Rahmawati Wulandari, Hudzaifah Abdullah, Handayani Lintang Purwaning Ayu Tata Letak dan Desain oleh Hanna Khairunnisa

Diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Jl. Taman Pejambon No.6 Jakarta Pusat 10110 Tel. (021) 384 9810 ext. 7709 Faks. (021) 386 1385 Surel: [email protected]

ISBN : 978-602-51358-9-7 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Pendapat maupun pandangan yang disampaikan dalam tulisan dan presentasi yang ada di dalam kajian ini tidak mewakili pandangan maupun kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Page 3: Recover Together, Recover Stronger

iii LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

KATA PENGANTAR

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pernah menegaskan bahwa nasionalisme Indonesia itu tumbuh di taman internasionalisme. Artinya, upaya mewujudkan kepentingan nasional Indonesia senantiasa harus selaras dengan upaya menciptakan ketertiban dunia. Sebaliknya, ketertiban dunia akan menghadirkan kondisi yang memungkinkan perwujudan kepentingan nasional. Dalam konteks inilah, Presidensi G20 Indonesia di tahun 2022 mendatang merupakan sebuah kesempatan sekaligus tantangan yang harus dijawab dengan baik. Berbagai permasalahan global yang terus hadir, apalagi dengan munculnya pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung sejauh ini dengan segala implikasinya dalam berbagai sektor kehidupan, menuntut solusi kolektif yang berbasis pada prinsip multilateralisme, inklusivitas, inovasi dan keberkelanjutan. Oleh karena itu, dengan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Presidensi G20 Indonesia menjadi signifikan dalam upaya menciptakan sebuah tatanan dan kerja sama global yang lebih solid, terutama untuk menjawab tantangan akibat pandemi dan demi tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2030.

Suatu kehormatan tersendiri, bahwa sebagai anggota komunitas akademis, Kami dapat turut berpartisipasi dalam sebuah ikhtiar yang dapat memberikan kontribusi penting dalam penunaian cita-cita dan harapan bangsa tersebut. Melalui kajian tentang“Isu-Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia 2022”, diharapkan Indonesia dapat menetapkan key deliverables yang mendukung langkah kepemimpinan global yang transformatif di forum G20. Dengan kesadaran atas makna strategis Presidensi G20 Indonesia ini, dan berkat rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa, kajian ini akhirnya dapat kami tuntaskan di tengah berbagai tantangan di era pandemi ini.

Kajian ini diselenggarakan atas kerja sama antara SDGs Hub UI dan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (P3KM BPPK Kemenlu). Kajian yang dilaksanakan selama tiga bulan (Mei - Juli 2021) ini telah melibatkan berbagai pihak dalam proses pelaksanaannya. Dokumen laporan ini beserta dengan empat issue notes tentang sejumlah key deliverables dari isu-isu prioritas yang menjadi tawaran Presidensi G20 Indonesia, adalah hasil akhir dari kajian ini.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan kesempatan, kepercayaan, serta berbagai dukungan yang konstruktif sehingga proses penelitian dan penyusunan hasil kajian ini dapat berjalan dengan lancar, dinamis dan menghasilkan output sesuai dengan yang direncanakan. Perkenankan berikut ini secara khusus kami sampaikan ucapan terima kasih kepada:

v Kepala BPPK Kemenlu RI, Dr. Siswo Pramono, L.LM. atas kesempatan dan dukungan yang diberikan.

v Kepala P3K Multilateral BPPK Kemenlu, Rio Budi Rahmanto, Ph.D. serta seluruh mitra kerja yang san- gat koperatif: Bapak Perry Pada, Bapak Hardiyono Kurniawan, Bapak Dhani Eko Wibowo, Ibu Rahmawati Wulandari, Bapak Hudzaifah Abdullah, Ibu Handayani Lintang Purwaning Ayu. Terima kasih atas berbagai fasilitasi dan masukan konstruktifnya.

v Direktur Eksekutif SDGs Hub UI, Dr. Triarko Herlambang, MA., dan Program Manager SDGs Hub UI, Fadelia Deby Subandi, S.Psi., serta seluruh tim kerja dari Sekretariat SDGs Hub UI atas dukungan dan kerja sama yang diberikan.

v Direktur UN G20 sous-Sherpa dan Direktur Pembiayaan Sustainable Development Goals (SDGs) UN DESA, Mr. Navid Hanif dan seluruh staf ahli UN DESA yang menjadi narasumber dalam Virtual Consultation Meeting pada 4 Juni dan 11 Juni 2021.

Page 4: Recover Together, Recover Stronger

iv LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

v Direktur dan Pendiri the G7 Research Group dan the G20 Research Group, Prof. John James Kirton, Ph.D.

dari Munk School of Global Affairs and Public Policy, University of Toronto, Kanada, beserta Anggota Tim Riset, yang telah berbagi gagasan, pandangan dan informasi dalam Virtual Consultation Meeting pada 17 Juni 2021.

v Para narasumber dari kalangan akademisi: Prof. Jatna Supriatna, M.Sc., Ph.D. (FMIPA UI), Mia Siscawati, Ph.D. (SKSG UI), Hendricus Andy Simarmata, S.T., M.Si., Ph.D. (FT UI) dan Yulius Purwadi, Ph.D. (Depar- temen Hubungan Internasional Unversitas Parahyangan), yang telah berbagi gagasan, informasi dan pendapat dalam Virtual Focused Group Discussion pada 12 Juli 2021.

v Para narasumber dari kalangan masyarakat sipil (NGO/LSM): Bapak Sugeng Bahagijo (International NGO Forum on Indonesian Development- INFID), Ibu Diah Saminarsih (Center for Indonesia Strategic Devel- opment Initiatives – CISDI), Bapak Dandi Rafitrandi (Center for Strategic and International Studies – CSIS), yang telah berbagi gagasan, pandangan dan informasi dalam Virtual Focused Group Discussion pada 13 Juli 2021.

v Para narasumber dari kalangan bisnis/pengusaha: Bapak David Makes (Sustainable Management Group) dan Ibu Maria Dian Nurani (Social Responsibility KADIN 2015-2021) yang telah berbagi pemikiran, pan- dangan dan pengalaman dalam Virtual Focused Group Discussion pada 19 Juli 2021.

v Para narasumber dari kalangan kementerian/lembaga: Bapak Iman Santosa (Direktur Hubungan Antar Lembaga, Kemenparekraf RI), Ir. Muhammad Arif Hidayat, M.Eng., MPP. (Kepala Biro Kerja Sama Luar Neg- eri, Kemenaker RI), Bapak M. Zahrul Muttaqin (Kepala Bagian Kerja Sama Multilateral, KLHK RI), Bapak Andreano Erwin dan Bapak Ferdinand (Biro Kerja Sama Luar Negeri, Kemenkes RI), Ibu Wiwien Apriliani (Koordinator Kerja Sama Pendanaan Multilateral PBB dan Global, BAPPENAS), yang telah berbagi pe- mikiran, pandangan dan informasi kebijakan dalam Virtual Focused Group Discussion pada 28 Juli 2021.

v Para anggota Tim Kerja yang kami banggakan: Radhe Ayu Dewi Amerta Ratih, S. Sos., Devina Ayona, S. Sos., Lutfi Kurniawan, S. Sos., dan Naifah Uzlah Istya Putri. Terima kasih atas segala dukungan riset dan fasilitasi teknisnya yang penuh komitmen dan dedikasi.

Akhir kata, semoga hasil kerja-kerja bersama ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk mereka yang berkepentingan dalam proses pengambilan kebijakan maupun untuk keperluan riset selanjutnya. Mohon maaf bila terdapat kekurangan ataupun keterbatasan. Sepenuhnya laporan ini menjadi tanggung jawab Tim Penyusun. Selamat membaca!

Depok, Agustus 2021

Tim Riset SDGs HUB UI

Page 5: Recover Together, Recover Stronger

v LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan dunia yang semakin dinamis, Indonesia mendapatkan peluang untuk memenuhi amanat konstitusi melalui kebijakan luar negeri dan peran aktif dalam kepemimpinan global. Pada tahun 2022, Indonesia dipercaya untuk memegang Presidensi G20, sebuah forum kerja sama multilateral berpengaruh yang beranggotakan 19 negara dan Uni Eropa. Sebagai sebuah forum yang anggotanya menyumbang 90% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 80% perdagangan dunia, dua pertiga populasi dunia, dan separuh luas lahan yang ada di bumi, G20 merupakan platform strategis bagi Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Tentang Kajian Ini

Kajian yang merupakan kerja sama antara SDGs-Hub Universitas Indonesia dan Pusat P2K Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan memberikan gambaran yang utuh, menyeluruh, dan dapat diandalkan mengenai isu-isu prioritas yang dapat diajukan dalam Presidensi G20 Indonesia. Kajian dilaksanakan melalui empat langkah berikut: (1) Identifikasi dan analisis konteks global yang relevan; (2) telaah dokumen dari agenda G20 pada dua presidensi sebelumnya; (3) eksplorasi data dari berbagai sumber; dan (4) konsultasi dan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan dari kalangan pemerintah, organisasi internasional, akademisi, dan masyarakat sipil serta kelompok bisnis.

Konteks Global: Kekuatan Transformatif

Kajian ini menggunakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals – SDGs) 2030 sebagai kerangka utama dalam mengidentifikasi berbagai permasalahan dan perkembangan global yang hadir. Selain itu, kajian ini mengidentifikasi empat fenomena global yang perlu diperhatikan sebagai konteks yang membingkai relevansi isu-isu prioritas Indonesia, yaitu (1) pandemi global COVID-19, (2) transformasi digital, (3) urbanisasi global yang cepat, dan (4) tata kelola global. Empat fenomena ini dapat disebut sebagai kekuatan-kekuatan transformatif yang sangat mempengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi global dan pembangunan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Peta Permasalahan Global

Berdasarkan analisis terhadap empat kekuatan transformatif tersebut dan keterkaitannya dengan upaya mewujudkan TPB/SDGs, kajian ini kemudian mengidentifikasi tujuh masalah global utama yang harus dipahami secara komprehensif untuk menyusun prioritas dan strategi Indonesia dalam menjalankan Presidensi G20. Ketujuh isu global tersebut adalah:

1. Kesehatan Publik

Beberapa fitur yang penting dari isu ini adalah:(a) pandemi COVID-19 masih menjadi tantangan; (b) ketimpangan dari produksi dan distribusi vaksin; (c) masalah kesehatan publik dunia bukan hanya COVID-19. Terdapat cukup banyak penyakit, baik yang bersifat menular, maupun tidak menular yang masih menjadi ancaman masyarakat dunia, khususnya di banyak negara berkembang akibat berbagai hambatan dan keterbatasan dari aspek SDM, infrastruktur dan sistem tata kelola kesehatan. Dunia pun kini menghadapi tantangan baru dengan potensi perkembangan anti-microbial resistance (AMR) dan kemungkinan terjadinya pandemi baru di kemudian hari.

Page 6: Recover Together, Recover Stronger

vi LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

2. Kemiskinan

Terkait isu kemiskinan, dua poin yang penting adalah: (a) sebelum pandemi, angka kemiskinan masih jauh di bawah target pencapaian TPB/SDGs; (b) kemunculan pandemi COVID-19 ikut berdampak peningkatan angka kemiskinan. Secara total, angka kemiskinan ekstrem di tahun 2020 bertambah sebanyak 88 juta-115 juta jiwa dan meningkat sebanyak 150 juta jiwa di tahun 2021. Seiring berjalannya pandemi, proyeksi itu diperkirakan naik hingga 119-124 juta (Lakner et al, 2021).

3. Ketenagakerjaan dan Pendidikan

Mengenai isu ini, tercatat bahwa: (a) sebelum pandemi, angka ketenagakerjaan, khususnya bagi pemuda, sudah menunjukkan tren menurun; (b) kondisi ini menjadi semakin parah seiring pandemi, karena sejumlah sektor penyerap tenaga kerja terkena dampaknya secara signifikan, diantaranya adalah pariwisata dan UMKM.

4. Pangan dan Malnutrisi

Dalam konteks isu global pangan dan malnutrisi, ada tiga tren utama yang patut dicatat sebagai berikut. (a) Ketahanan pangan dunia cenderung memburuk. Terdapat 272 juta orang yang sudah atau berisiko berstatus rawan pangan (World Bank, 2021). (b) Terdapat potret kontradiktif dari situasi kerawanan pangan, karena pada saat yang bersamaan dunia menyaksikan kecenderungan meningkatnya limbah makanan (food waste and loss). Rata- rata limbah makanan setiap tahunnya adalah sebesar 931 juta ton yang berasal dari tiga jenis sumber limbah, yaitu 569 juta ton limbah makanan berasal dari rumah tangga, 244 juta ton berasal dari layanan makanan, dan 118 juta ton berasal dari bisnis ritel (UNEP, 2021). (c) Produktivitas sektor pertanian yang berkelanjutan menjadi salah satu solusi, namun secara global penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian terus menurun dari 43% pada 1991 menjadi 26% pada 2019 (World Bank, 2021) yang mengindikasikan potensi terjadinya krisis regenerasi petani dunia.

5. Kesetaraan Gender

Isu ini menunjukkan dua potret besar, yaitu (a) ketimpangan gender masih terlihat nyata di hampir semua bidang kehidupan – ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, sosial budaya, sumber daya alam – khususnya di negara-negara berkembang; (b) pandemi global COVID-19 memperparah ketimpangan gender ini; (c) upaya kesetaraan gender memerlukan kebijakan institusional yang bersifat afirmatif.

6. Perubahan Iklim

Terdapat dua fakta penting tentang isu ini: yakni (a) pemanasan global itu nyata, dengan dampak yang bersifat katostrofik yang sudah bisa kita rasakan; (b) tanpa upaya yang bersifat sistematis, global, dan berkeadilan, sulit mencegah kenaikan suhu Bumi melewati ambang batas 1,5 derajat pada 2100.

Page 7: Recover Together, Recover Stronger

vii LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

7. Tata Kelola Ekonomi Global

Ada sejumlah poin sentral terkait isu ini: (a) perlambatan ekonomi global menjadi tantangan yang harus dihadapi bahkan sebelum pandemi, dan menjadi semakin parah karena pandemi; (b) pentingnya peningkatan peran negara berkembang dalam rantai nilai global, dengan nilai tambah yang dapat dinikmati oleh negara berkembang; (c) pariwisata adalah sektor penting yang perlu mendapatkan perhatian karena kontribusinya yang besar pada perekonomian dan ketenagakerjaan serta potensi dampak sosial dan ekologisnya; (d) pentingnya memanfaatkan potensi ekonomi digital, termasuk dengan mengatasi kesenjangan digital antar negara maupun di dalam negara; (e) keberlanjutan dan inklusivitas perekonomian global harus menjadi prinsip yang melandasi tata kelola ekonomi global ke depan.

Isu-Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia: Lima Prioritas

Berdasarkan analisis terhadap masalah-masalah global dan keterkaitan di antara beragam masalah tersebut, di bawah tema besar “Recover Together, Recover Stronger” , isu-isu prioritas Presidensi G20 Indonesia dikemas ke dalam skema lima prioritas, mencakup:

Hasil kajian terhadap isu-isu prioritas tersebut menunjukkan bahwa isu-isu tersebut pada dasarnya dihadapi oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk sebagian negara-negara anggota G20. Isu-isu tersebut juga memperlihatkan adanya kelanjutan (continuity) dari isu-isu prioritas dalam presidensi G20 sebelumnya, yang mengindikasikan bahwa G20 belum sepenuhnya mampu mengatasi permasalahan global yang dengan efektif sehingga mempengaruhi pencapaian tujuan utama G20.

Prioritas (1): Mempromosikan Produktivitas (Promoting Productivity), mencakup sektor pemuda dan ketenagakerjaan, pertanian, ekonomi digital, pendidikan vokasi, pemberdayaan perempuan;

Prioritas (2): Meningkatkan Ketahanan dan Stabilitas (Increasing Resiliency and Stability), terdiri dari isu ketahanan pangan, kesejahteraan masyarakat, perlindungan sosial, ketahanan energi, perlindungan lingkungan hidup;

Prioritas (3): Menjamin Pertumbuhan yang Berkelanjutan dan Inklusif (Ensuring Sustainable and Inclusive Growth), meliputi isu pengentasan kemiskinan, penghapusan ketimpangan, penerapan pertumbuhan hijau dan biru; pariwisata, serta perdagangan-industri, investasi dan inklusi keuangan;

Prioritas (4): Iklim dan Kemitraan yang Memungkinkan (Enabling Environment and Partnership); terdiri dari isu tata kelola pemerintahan yang baik dan anti korupsi, mata rantai nilai global (global value chains), kemitraan multipihak, pembiayaanTPB/SDGs; dan

Prioritas (5): Menguatkan Kepemimpinan Kolektif Global (Forging Collective Global Leadership), untuk mengefektifkan penanganan krisis COVID-19 dan memperkuat sistem perdagangan multilateral yang terbuka dan adil.

Page 8: Recover Together, Recover Stronger

viii LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Besarnya cakupan isu-isu prioritas tersebut mencerminkan tantangan yang berat bagi kepemimpinan Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya tantangan ini bukan saja berasal dari konteks global, terutama kehadiran pandemi COVID-19 yang telah melumpuhkan perekonomian dunia, tetapi juga dikarenakan karakter permasalahan yang kompleks dan saling keterkaitan (cross-cutting) di antara berbagai sektor atau isu kunci (key issue) di setiap prioritas, yang bersifat multidimensional dan multilevel. Selain itu, tantangan hadir dari perkembangan faktual terkini dari situasi dan kondisi Indonesia di level domestik, antara lain terkait stabilitas politik, isu vaksin dan vaksinasi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif, kondisi utang luar negeri yang semakin tinggi, serta meningkatnya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran akibat terdampak COVID-19 dengan segala implikasi sosialnya.

Dari kesimpulan umum tersebut, menjadi penting bagi Indonesia untuk menetapkan skala prioritas atau key deliverables serta strategi atau pendekatan yang tepat. Langkah-langkah Indonesia harus terukur dengan pertimbangan modalitas, kapasitas, kapabilitas, dan prioritas untuk dapat memainkan peran kepemimpinan yang efektif dan transformatif. Terlepas dari besarnya tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia, berbagai pamangku kepentingan, termasuk dari kalangan masyarakat sipil, memberikan dorongan sekaligus menaruh optimisme atas peran kepemimpinan Indonesia.

Rekomendasi

Rekomendasi ini disusun dengan merujuk dari hasil kajian isu-isu prioritas dengan latar belakang karakter permasalahan global yang kompleks, dinamis dan saling terkait, serta adanya misi untuk menjembatani tiga level kepentingan sekaligus, yakni kepentingan nasional Indonesia, kepentingan G20 serta kepentingan global. Dalam konteks kepentingan nasional, rekomendasi ini juga mempertimbangkan relevansinya dengan berbagai prioritas kepentingan sektoral kementerian/kelembagaan yang tercermin dalam aspirasi setiap working group. Rekomendasi ini juga memperhatikan urgensi bagi Indonesia untuk memerankan kepempimpinan transformatif yang tidak sekedar membawa dunia melewati tantangan pandemi COVID-19 tetapi juga meletakkan dasar-dasar kebijakan yang fundamental untuk menuju pembangunan internasional yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan sesuai dengan visi TPB/SDGs 2030. Berikut ini adalah pokok- pokok rekomendasi yang dapat dibawa dalam Presidensi G20 Indonesia yang disusun berdasarkan skala prioritas (key deliverables):

1. Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk memperkuat tata kelola kesehatan dunia yang berbasis pada prinsip konstitusional WHO, yaitu: hak asasi manusia, kesehatan komprehensif (fisik dan mental), dan peran sentral negara dalam memimpin kemitraan strategis dari semua pemangku kepentingan untuk memberikan layanan kesehatan. Pada intinya rekomendasi ini bertujuan untuk memastikan distribusi vaksin yang cepat, merata, terjangkau, dan aman, mengatasi berbagai “building blocks” dalam pelayanan kesehatan publik, baik terkait infrastruktur, sumber daya manusia, sistem dan vaksin serta obat-obatan, serta untuk meningkatkan standar universal health coverage dan digitalisasi pelayanan kesehatan yang mampu mengatasi berbagai macam penyakit dan kemungkinan pandemi baru.

2. Mendorong komitmen global (framework on cooperation) untuk memperkuat multilateralisme yang inklusif dalam proses pengambilan keputusan dan substansi keputusan untuk pencapaian tujuan G20 sekaligus penyelesaian masalah-masalah global strategis. Rekomendasi ini penting untuk mengembangkan kepemimpinan global kolektif yang efektif dan berkelanjutan sekaligus bersifat inklusif. Dengan demikian, dapat tercipta relasi dan interaksi yang konstruktif antar aktor negara dan non-negara agar G20 benar-benar dapat berperan sebagai “jembatan penghubung” antara kepentingan lokal/nasional dan kepentingan global.

Page 9: Recover Together, Recover Stronger

ix LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3. Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk pencapaian visi pembangunan yang

berkelanjutan dan inklusif melalui implementasi green and blue growth di sejumlah sektor strategis terdampak COVID-19 secara signifikan tetapi mempunyai potensi besar terhadap produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi global, serta perlindungan lingkungan hidup global dan isu perubahan iklim. Rekomendasi ini dalam jangka pendek dan menengah diprioritaskan pada sektor pariwisata, pertanian, dan industri perdagangan (termasuk di dalamnya UMKM, ekonomi digital, dan industri kreatif) dengan tujuan untuk pemulihan ekonomi dan mendukung pencapaian pembangunan yang inklusif, berkeadilan (terutama secara sosial dan ekologis) dan berkelanjutan.

4. Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk mengembangkan ekonomi digital yang inklusif dalam rangka penguatan UMKM untuk mampu pulih lebih kuat dan berdaya saing dalam perdagangan dunia sekaligus pemberdayaan kelompok pemuda, perempuan dan penyandang disabilitas untuk mampu produktif secara sosial dan ekonomis. Penguatan UMKM harus menjadi tujuan sentral dalam upaya pengembangan ekonomi digital karena peran kontributifnya yang signifikan bagi perekonomian nasional penyerapan tenaga kerja, serta basis atau tulang punggung dari sektor-sektor strategis yang terdampak COVID-19, seperti pariwisata dan pertanian, sehingga upaya pemulihannya akan memberi daya ungkit bagi aktivitas penawaran dan permintaan di dalam mata rantai industrinya.

5. Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan vokasi, melalui strategi kemitraan multipihak di tingkat nasional maupun kolaborasi internasional dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang pada gilirannya mampu memperkuat pertumbuhan ekonomi global sekaligus meningkatkan stabilitas sosial. Kualitas SDM perlu ditingkatkan melalui pendidikan karena menjadi kunci dari semua aktivitas ekonomi dan sosial serta kunci dari kemajuan peradaban suatu bangsa yang pada gilirannya juga akan memberi ketahanan (resiliency) serta stabilitas sosial dan politik yang akan berpengaruh terhadap stabilitas pertumbuhan ekonomi global.

6. Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan internasional yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Rekomendasi ini diharapkan dapat mendukung pemulihan negara-negara berkembang berkebutuhan khusus, seperti least developing countries (LDCs) di Afrika dan small island developing states (SIDS) di kawasan Karibia dan Pasifik Selatan, menuju stabilitas pertumbuhan ekonomi melalui skema-skema bantuan pembangunan yang inovatif, terarah dan berkelanjutan.

7. Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk mengembangkan sumber-sumber pembiayaan TPB/SDGs baik di tingkat nasional maupun global guna mengatasi kesenjangan pembiayaan yang ada saat ini dan mengakselerasi pencapaian target TPB/SDGs. Rekomendasi ini untuk memastikan bukan saja semakin meningkat sumber-sumber pembiayaan dan semakin signifikan jumlah dana yang dapat dikumpulkan untuk menutup kesenjangan pembiayaan, tetapi juga bagaimana dana yang terkumpul dapat didistribusikan dan dialokasikan tepat sasaran dan memiliki dampak besar (“high-impact”) terhadap pencapaian target TPB/SDGs.

8. Mendorong komitmen bersama (framework of cooperation) untuk mengarustamakan kesetaraan gender dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan pembangunan global yang dalam realitanya banyak berdampak kepada kaum perempuan. Rekomendasi ini ingin bertujuan agar kesadaran gender dapat menjadi salah satu langkah kebijakan transformatif dalam Presidensi G20 Indonesia karena perempuan dapat berperan sebagai kunci perubahan untuk kemajuan dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang berdampak luas baik secara nasional maupun global.

Page 10: Recover Together, Recover Stronger

x LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

9. Mendorong komitmen bersama (framework on coorperation) untuk membangun sistem

perdagangan multilateral yang lebih terbuka dan adil untuk menunjang pemulihan ekonomi global yang kuat dan berkelanjutan. Rekomendasi ini diantaranya bertujuan untuk terus mendukung perdagangan global yang dapat menjaga stabilitas rantai nilai yang membantu banyak pihak, khususnya membantu negara-negara mengakses makanan dan pasokan medis penting selama krisis akibat pandemi, dan secara umum untuk menuju perekonomian dunia yang lebih tangguh, inklusif dan lebih hijau.

10. Mendorong kesepakatan (framework of cooperation) untuk memperkuat norma-norma internasional tentang antikorupsi dan internalisasinya di tingkat nasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih mengakar, terinstitusionalisasi, sistematis dan berkelanjutan untuk mendukung produktivitas nasional, pembangunan yang berkeadilan dan pertumbuhan ekonomi global yang stabil dan berkelanjutan. Rekomendasi ini memiliki sasaran strategis, antara lain untuk pengembangan kapasitas institusional lembaga-lembaga pemerintahan yang berfungsi untuk pencegahan segala bentuk praktik korupsi, baik di sektor publik maupun swasta, terutama terkait sistem audit terhadap laporan keuangan dan perpajakan.

Page 11: Recover Together, Recover Stronger

xi LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................... i

LEMBAR JUDUL ....................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... xii

DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL.............................................................................................................. xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Fokus Kajian ............................................................................................... 4

1.3 Metode Kajian ............................................................................................. 4

1.4 Kerangka Kerja dan Konteks Global .................................................................... 5

1.4.1 Kerangka Utama: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable

Development Goals (SDGs). ....................................................................... 5

1.4.2 Konteks Global: Kekuatan-Kekuatan Transformatif ........................................... 6

1.4.2.1 Pandemi Global COVID-19 ................................................................. 6

1.4.2.2 Transformasi Digital ........................................................................ 7

1.4.2.3 Urbanisasi Global ........................................................................... 7

1.4.2.4 Tata Kelola Global .......................................................................... 8

1.5. Struktur Laporan .................................................................................... 8

BAB 2 PERMASALAHAN GLOBAL: FAKTA DAN DATA ...................................................................... 9

2.1. Kesehatan Publik ........................................................................................ 9

2.2 Kemiskinan ............................................................................................... 11

2.3 Ketenagakerjaan dan Pendidikan ..................................................................... 12

2.4 Pangan dan Malnutrisi ................................................................................... 14

2.5 Perubahan Iklim .......................................................................................... 16

2.6 Kesetaraan Gender ...................................................................................... 17

2.7 Tata Kelola Ekonomi Global ............................................................................ 19

BAB 3 ANALISIS ISU-ISU PRIORITAS PRESIDENSI G20 INDONESIA ............................................ 23

3.1 Pemaparan Lima Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia ........................................... 23

3.1.1 Mempromosikan Produktivitas .................................................................. 23

3.1.1.1 Kepemudaan dan Ketenagakerjaan ..................................................... 24

3.1.1.2 Pertanian yang Berkelanjutan ........................................................... 26

3.1.1.3 Pengembangan Ekonomi Digital dan UMKM ............................................ 26

3.1.1.4 Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Vokasi .......................................... 28

3.1.1.5 Pemberdayaan Perempuan............................................................... 28

Page 12: Recover Together, Recover Stronger

xi LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.2 Meningkatkan Ketahanan dan Stabilitas........................................................ 32

3.1.2.1 Ketahanan Pangan ......................................................................... 32

3.1.2.2 Kesehatan Masyarakat .................................................................... 33

3.1.2.3 Perlindungan Sosial ........................................................................ 37

3.1.2.4 Ketahanan Energi .......................................................................... 39

3.1.2.5 Perlindungan Lingkungan Hidup ......................................................... 40

3.1.3 Menjamin Pertumbuhan Berkelanjutan dan Inklusif .......................................... 42

3.1.3.1 Pengentasan Kemiskinan ................................................................. 42

3.1.3.2 Pertumbuhan Hijau dan Biru ............................................................. 44

3.1.3.3 Pariwisata................................................................................... 46

3.1.3.4 Perdagangan, Industri, dan Investasi yang Berkelanjutan dan Inklusif ............. 48

3.1.3.5 Inklusi Keuangan ........................................................................... 49

3.1.4 Iklim dan Kemitraan yang Memungkinkan ...................................................... 51

3.1.4.1 Good Governance dan Pemberantasan Korupsi ....................................... 51

3.1.4.2 Rantai Nilai Global ......................................................................... 53

3.1.4.3 Kemitraan Multipemangku Kepentingan ............................................... 54

3.1.4.4 Pendanaan TPB/SDGs ..................................................................... 54

3.1.5 Menguatkan Kepemimpinan Kolektif Global ................................................... 56

3.1.5.1 Memperkuat Multilateralisme untuk Penanganan dan Pemulihan Krisis ........... 57

3.1.5.2 Memperkuat Sistem Perdagangan Multilateral yang Adil ............................ 60

3.2. Analisis Cross-Cutting Issues ........................................................................... 60

3.2.1 Penguatan UMKM .................................................................................. 63

3.2.2 Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan ...................................................... 65

3.2.3 Penguatan Pendidikan Vokasi ................................................................... 66

3.2.4 Pemberian Hak Kaum Difabel.................................................................... 67

3.2.5 Pengembangan Ekonomi Digital................................................................. 68

3.2.6 Pengembangan Ekonomi Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon ........................ 69

BAB 4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................................ 77

4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 77

4.2 Rekomendasi ............................................................................................. 78

DAFTAR REFERENSI ................................................................................................ 84

LAMPIRAN: DAFTAR FOCUS GROUP DISCUSSIONS ........................................................... 89

Page 13: Recover Together, Recover Stronger

xiii LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Keanggotaan G20 ................................................................................. 1

Gambar 1.2 Fenomena Global yang menjadi Konteks Kajian Isu-Isu Prioritas Presidensi G20 ................... 6

Gambar 3.1 Ketahanan Pangan Global 2020 ...................................................................... 32

Gambar 3.2 Penyebab Kematian Tertinggi Negara Anggota Uni Eropa Tahun 2017 ........................... 34

Gambar 3.3 Tingkat Perlindungan Hak Pekerja dalam Global Rights Index 2020 .............................. 39

Gambar 3.4 Penerima Vaksin COVID-19 Dosis Pertama di Tingkat Global ...................................... 59

Page 14: Recover Together, Recover Stronger

xiv LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

DAFTAR GRAFIK

Grafik 2.1 Tren COVID-19 Global: Tingkat Kasus Positif ................................................................. 9

Grafik 2.2 Tren Jumlah Penerima Vaksin COVID-19 di Tingkat Global ............................................... 10

Grafik 2.3 Penyebab Kematian Tertinggi Tahun 2019 .................................................................. 11

Grafik 2.4 Tingkat Kemiskinan Ekstrem di Tingkat Global (1820—2015) ........................................... 11

Grafik 2.5 Dampak COVID-19 terhadap Kemiskinan Ekstrem Global ................................................ 12

Grafik 2.6 Tren Partisipasi Tenaga Kerja dalam Lapangan Kerja secara Global (1990-2020) ..................... 13

Grafik 2.7 Tren Global terkait Kondisi Malnutrisi (2005-2019) ........................................................ 15

Grafik 2.8 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian (1995—2015) ................................... 16

Grafik 2.9 Kecenderungan Temperatur Global Rata-Rata (1850-2020). ............................................. 17

Grafik 2.10 Kondisi Ke(tidak)setaraan Gender di tingkat Global dalam Aspek Ekonomi, Politik dan Pendidikan Periode 2020-2021. ............................................................................. 18

Grafik 2.11 Indeks Global Ketimpangan Gender berdasarkan Negara Tahun 2020 ............................ 18

Grafik 2.12 Partisipasi LDCs dan Negara Berkembang dalam Perdagangan Barang (Kiri) dan Perdagangan Jasa (Kanan) di Tingkat Global ............................................................. 20

Grafik 2.13 Jumlah Aliran Masuk FDI Global dan di Beberapa Kelompok Ekonomi Negara ................... 20

Grafik 3.1 Tingkat Pengangguran Pemuda di Negara-Negara G20 Tahun 2020 ................................ 24

Grafik 3.2 Perbandingan antara UMKM dan Perusahaan Besar dalam Mode Inovasi Internet di Seluruh Dunia Tahun 2016 atau Tahun yang Tersedia. ............................................. 27

Grafik 3.3 Indeks Kelaparan di Indonesia (2000-2019) ................................................................. 33

Grafik 3.4 Penyebab Kematian Tertinggi di Amerika Serikat tahun 2021 ........................................... 34

Grafik 3.5 Sistem Kesehatan Terbaik di Dunia Berdasarkan Negara ................................................. 36

Grafik 3.6 Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Kesehatan .......................................................... 36

Grafik 3.7 Dampak COVID-19 Terhadap Jumlah Pertambahan Angka Penduduk Miskin di 12 Sampel Negara. ................................................................ 43

Grafik 3.8 Grafik Kecenderungan Peningkatan Angka Kemiskinan Akibat COVID-19 di Indonesia (2019-2020). ............................................................................... 43

Grafik 3.9 Preferensi Global terhadap Industri Pariwisata yang Berwawasan Lingkungan ...................... 45

Grafik 3.10 Ranking Indonesia dalam Daya Saing di Sektor Perjalanan dan Pariwisata Global (2015 dan 2017). ........................................................................46

Grafik 3.11 Persepsi Korporasi Secara Global terhadap Korupsi ..................................................... 52

Grafik 3.12 Prediksi Kerugian Rantai Nilai Global Setiap Sektor Industri Akibat Terganggunya Rantai Pasokan pada 2020. ............................................................................ 53

Grafik 3.13 Kesenjangan Pembiayaan TPB/SDGs dengan Berbagai Instrumen .................................... 55

Page 15: Recover Together, Recover Stronger

xv LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Prioritas dan Fokus Presidensi G20 Tahun 2020 dan 2021.............................................. 3

Tabel 3.1 Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 1 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan. .............................................................................. 30

Tabel 3.2 Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 2 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan. .............................................................................. 41

Tabel 3.3 Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 3 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan. .............................................................................. 50

Tabel 3.4 Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 5 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan................................................................................ 55

Tabel 3.5 Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 5 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan................................................................................ 60

Page 16: Recover Together, Recover Stronger

1 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2022, Indonesia akan memegang tampuk kepemimpinan (Presidensi) Group of 20 (G20), sebuah forum kerja sama internasional yang beranggotakan 19 negara dan Uni Eropa. G20 merupakan forum multilateral yang prestisius karena gabungan dari seluruh negara anggotanya merepresentasikan 90% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 80% perdagangan dunia, dua pertiga populasi dunia, dan separuh luas lahan yang ada di bumi. Melalui peta keanggotaan G20 (Gambar 1.1), arti strategis dari peran kepemimpinan global Indonesia dalam forum G20 dapat dipahami. Negara-negara anggota G20 tersebar di berbagai kawasan dan mereka umumnya merupakan negara dengan kekuatan politik dan ekonomi yang strategis di kawasannya masing-masing. Negara-negara anggota G20 berasal dari baik negara maju maupun negara berkembang. Negara-negara anggota dari kelompok negara maju (Group of Seven atau G7) meliputi Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Inggris dan Jepang. Sementara itu, negara anggota dari negara berkembang di antaranya adalah Tiongkok, Brazil, India, Afrika Selatan dan Indonesia (yang merupakan satu-satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20). Dengan wilayah yang luas, jumlah penduduk keempat terbesar di dunia, kekayaan sumber daya alam yang melimpah serta pengaruh sistemik di kawasan, Indonesia dianggap sebagai “the emerging economy” yang pantas menjadi anggota G20.

Gambar 1.1 Peta Keanggotaan G20

Sumber: Maps of World. (n.d.). G20 Countries. (https://www.mapsofworld.com/world-maps/g20-countries.html)

Page 17: Recover Together, Recover Stronger

2 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

G20 dibentuk pada 26 September 1999. Ada tiga tujuan utama yang dipromosikannya, yaitu (1) melakukan koordinasi kebijakan di antara para anggota dalam rangka memastikan stabilitas dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi global; (2) mempromosikan regulasi-regulasi finansial yang dapat mengurangi berbagai risiko dan mencegah krisis keuangan global; dan (3) menciptakan arsitektur keuangan internasional. Namun demikian, keberhasilan G20 untuk mencapai kepentingan utamanya tersebut, terbukti secara faktual sangat tergantung pada bagaimana masalah-masalah global yang bersumber pada faktor-faktor non-ekonomi seperti kemiskinan, ketimpangan, pemerataan pendidikan, kerusakan lingkungan, layanan kesehatan korupsi, urbanisasi, dan lain sebagainya, dapat ditangani dengan efektif. Hal ini karena masalah-masalah tersebut dapat berpengaruh signifikan terhadap kemampuan negara untuk memajukan perekonomian nasionalnya sekaligus menghadirkan tantangan bagi kerja sama multilateral. Hadirnya pandemi global COVID-19 di awal 2020 semakin menegaskan adanya keterkaitan kritis (critical linkages) antara faktor-faktor ekonomi dan non- ekonomi yang mempengaruhi stabilitas perekonomian dunia karena menggoyahkan kapasitas institusional negara maupun organisasi-organisasi internasional.

Presidensi Indonesia tahun 2022 ditetapkan dalam KTT G20 ke-15 di Riyadh, Arab Saudi pada 22 November 2020. Kesempatan menjabat Presidensi G20 tentunya memberikan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Sebagai Presidensi G20 tahun 2022, Indonesia akan berkesempatan untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam mengarahkan, bahkan menentukan, isu-isu utama yang dapat dijadikan agenda prioritas G20 untuk mencapai tujuan utamanya, selain diharapkan untuk dapat serta mengedepankan kepentingan nasional Indonesia dan kemitraan global. Namun, dengan keanggotaan G20 yang cukup beragam dan merepresentasikan bukan saja negara-negara industri maju, tetapi juga negara berkembang, kepemimpinan Indonesia yang efektif akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pandemi COVID-19 telah membuat banyak negara terpuruk dan meningkatkan keparahan dan kompleksitas masalah-masalah global yang dunia hadapi. Oleh karena itu, dibutuhkan rumusan komprehensif atas isu prioritas yang akan diusulkan dalam Presidensi G20 Indonesia tahun 2022.

Merujuk pada tujuan kajian ini, menjadi penting untuk melihat terlebih dahulu beberapa isu prioritas yang telah dibahas setidaknya dua pertemuan G20 sebelumnya. Hal ini penting untuk menegaskan pentingnya keselarasan isu-isu yang telah dibahas dan relevansinya dengan situasi terkini, serta sekaligus untuk mengidentifikasi hal-hal yang belum terakomodasi dan menghasilkan sebuah key deliverables yang unik yang dapat diusulkan dalam Presidensi G20 Indonesia.

Sebagaimana tampak pada Tabel 1.1, pada Presidensi Arab Saudi, terdapat 14 prioritas yang menjadi fokus capaian pada periode 2020-2021. Keempat belas prioritas tersebut adalah ekonomi dunia dan ikhtisar jalur keuangan, pembangunan berkelanjutan, ketenagakerjaan, pemberdayaan perempuan, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan investasi, iklim, energi, pertanian, lingkungan, ekonomi digital, dan antikorupsi. Pada Presidensi Arab Saudi, terdapat tantangan-tantangan signifikan terkait penurunan harga minyak yang tinggi yang mengakibatkan perang harga minyak antara Rusia dengan Arab Saudi, kemudian terdapat tantangan perang dagang Tiongkok dan Amerika Serikat, pandemi yang berkepanjangan, serta tantangan dalam mencapai target inflasi 2% agar dapat pulih dari aktivitas perekonomian yang turun sejak tahun 2019. Pada Presidensi Arab Saudi, kurangnya penindaklanjutan terhadap subsidi bahan bakar fosil dan pemulihan pasca pandemi tidak menyebutkan isu iklim atau menempuh“green measures.” Hal yang paling signifikan pada kepemimpinan Arab Saudi adalah kurang berhasilnya menggalang persatuan 20 anggota dalam menghadapi pandemi. Sebagai contoh, banyak di antara negara G20 yang angka persebaran COVID-19 lebih tinggi dari negara-negara lainnya, seperti Italia, Tiongkok, dan Amerika Serikat.

Page 18: Recover Together, Recover Stronger

3 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Tabel 1.1 Prioritas dan Fokus Presidensi G20 Tahun 2020 dan 2021

PRIORITAS

ARAB SAUDI (2020) ITALIA (2021)

Health Response-Saving Lives Health as A Global Common

Economic and Financial Response – Support the Vulnerable and

Maintain Conditions for a Strong Recovery

Supporting dan Shaping the Recovery

Returning to Strong, Sustainable, Balanced and Inclusive Growth Supporting Vulnerable Economies

International Support to Countries in Need Protecting the Planet

Lessons Learned

FOKUS

World Economy and Overview of Finance Track

Finance Track

Sustainable Development Sustainable Development

Employment Education

Women’s Empowerment Health

Education Trade

Health Climate Sustainability and Energy Transition

Trade and Investment Agriculture

Climate Environment

Energy Anti-Corruption

Agriculture Tourism

Environment Culture

Digital Economy Digital Economy and Digital Government

Anti-Corruption Labour

Tourism Researcher and Higher Education

Sumber: Hasil Olahan Tim Riset

Pada Presidensi Italia, tantangan signifikannya adalah lonjakan kasus COVID-19 dan dampaknya pada berbagai sektor. Tantangan-tantangan lainnya adalah kesulitan dalam menciptakan pertumbuhan inklusif, perkembangan kelompok yang rentan, memastikan kestabilan keuangan dunia, perubahan iklim dan pembiayaannya, meningkatkan kesadaran digital dan finansial, meningkatkan peringanan utang, dan memulihkan perekonomian dunia terhadap kerugian dan kerusakan akibat pandemi. Presidensi Italia menghadapi sejumlah kesulitan, antara lain kesulitan untuk menyetujui penulisan dari komitmen perubahan iklim, terutama terkait dengan kesepakatan penghapusan pembangkit listrik tenaga batu bara dan target penurunan suhu global.

Di balik tantangan dan kesulitan yang dihadapi kedua Presidensi, terdapat capaian yang patut untuk diapresiasi. Pada Presidensi Arab Saudi, capaian utama yang terlihat jelas adalah terciptanya kesepakatan untuk memberikan koreksi terhadap status dari tenaga kerja, meningkatkan efektivitas monitoring dan pelaporan proteksi sosial pekerja melalui G20 Labour and Employment Ministerial Declaration serta mencapai konsensus dari penciptaan G20 Behavioral Insight Knowledge Exchange Network. Pada Presidensi Italia, capaian yang dapat diapresiasi adalah tercapainya komitmen untuk memperpanjang pembayaran utang negara- negara miskin selama 6 bulan. Ministerial Meeting Climate Finance juga telah memperlihatkan kemajuan dalam Task Force on Access to Climate Finance dan City Climate Finance Gap Fund telah berhasil diresmikan.

Page 19: Recover Together, Recover Stronger

4 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Menelusuri pertemuan G20 di Arab Saudi (2020) dan Italia (2021) nampaknya isu prioritas yang diusulkan masih terfokus juga pada isu kesehatan dan pemulihan ekonomi khususnya terkait dampak COVID-19. Tidak hanya itu, keseimbangan antara lingkungan dan pertumbuhan juga masih menjadi isu dominan dalam dua pertemuan tersebut. Namun, penting dicatat bahwa dari sisi fokus, terdapat dua fokus yang berbeda dari kedua pertemuan tersebut yaitu, di tahun 2020, isu pemberdayaan perempuan (women empowerment) dan lapangan kerja (employment) disebutkan secara spesifik, namun tidak demikian di tahun 2021. Pertemuan G20 tahun 2021 memasukkan tiga usulan yaitu budaya (culture), buruh/tenaga kerja (labour), dan pendidikan tinggi.

1.2 Fokus Kajian

Presidensi G20 Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”. Ada sejumlah usulan isu-isu prioritas yang disusun secara sistematis ke dalam lima isu prioritas, yaitu (1) Mempromosikan Produktivitas (Promoting Productivity); (2) Meningkatkan Ketahanan dan Stabilitas (Increasing Resiliency and Stability); (3) Menjamin Pertumbuhan yang Berkelanjutan dan Inklusif (Ensuring Sustainable and Inclusive Growth); (4) Iklim dan Kemitraan yang Memungkinkan (Enabling Environmentand Partnership), serta (5) Menguatkan Kepemimpinan Kolektif Global (Forging Collective Global Leadership). Dengan isu-isu prioritas ini, diharapkan bahwa Indonesia dapat memainkan peran kepemimpinan dan solidaritas global untuk menghadapi berbagai dampak COVID-19 terhadap keberlanjutan pembangunan global.

Untuk mendapatkan dukungan yang luas, isu-isu prioritas tersebut tentunya perlu memiliki karakter inklusif, berkelanjutan dan inovatif. Inklusif artinya isu tersebut memiliki implikasi strategis multisektor dan multidimensi serta menjadi perhatian utama dari semua negara anggota G20, bahkan dunia. Berkelanjutan berarti isu tersebut merepresentasikan gagasan-gagasan yang sudah dirintis dalam kepemimpinan (troika) G20 sebelumnya dan menunjukkan relevansi dengan apa yang menjadi tantangan baru ke depan. Inovatif artinya memunculkan suatu terobosan baru (breakthrough) ataupun gagasan visioner yang belum tersentuh, tetapi menjadi kepentingan bersama. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian untuk memperoleh data-data pendukung yang relevan serta kajian keilmuan yang dapat memberikan basis rasionalitas yang kuat tentang signifikansi isu-isu prioritas yang diusulkan oleh Indonesia.

Hasil kajian dengan eksplorasi data yang memadai diharapkan dapat memperkuat gagasan yang dibawa dalam Presidensi Indonesia sehingga mendapat dukungan dari para negara anggota G20 maupun organisasi internasional yang relevan, seperti PBB dan Bank Dunia (World Bank). Selain itu, di level domestik, hasil kajian juga diharapkan dapat digunakan untuk mendukung komunikasi publik yang lebih efektif sehingga manfaat dari Presidensi Indonesia di G20 dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara lebih luas dan lebih nyata.

1.3 Metode Kajian

Untuk memastikan bahwa isu-isu prioritas dalam Presidensi G20 Indonesia memiliki relevansi dan berkarakter inklusif, berkelanjutan serta inovatif, perlu dilakukan kajian yang komprehensif. Untuk itu, sejumlah tahapan telah dilakukan untuk memperoleh data pendukung, menelaah data, serta merekonstruksi dan mensinergikan berbagai data yang diperoleh dari berbagai sumber melalui empat kegiatan utama. Pertama, menelaah daftar usulan isu prioritas yang telah diidentifikasi dalam TOR serta menelaah latar belakang serta memahami sejumlah konteks global yang dapat menjadi acuan untuk menganalisis urgensi dan signifikansi usulan. Kedua, menelaah dokumen yang berisi gagasan-gagasan yang telah dikedepankan oleh dua negara yang menjadi troika kepemimpinan G20 sebelumnya, yaitu Italia dan Arab Saudi. Ketiga, melakukan eksplorasi data dari berbagai sumber sekunder, seperti hasil kajian terdahulu, situs resmi, dan publikasi resmi dari lembaga- lembaga terkait, baik nasional maupun internasional yang dianggap dapat diandalkan, kredibel dan suportif dengan tema dan tujuan Presidensi Indonesia. Keempat, melakukan konsultasi/ focused group discussion (FGD) dengan pihak P3K Kemlu RI, Satgas G20 Kemlu RI, Tim Ahli United Nations Department of Economic and Social

Page 20: Recover Together, Recover Stronger

5 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Affairs (UN DESA), dan Tim Ahli Univesity of Toronto untuk konsolidasi data dan eksplorasi data pada level global serta penajaman perspektif nasional melalui diskusi terbatas dengan pemangku kepentingan lainnya. Para pemangku kepentingan lain yang dijadikan mitra konsultasi adalah akademisi (Universitas Indonesia dan Universitas Parahyangan), lembaga swadaya masyarakat (International NGO Forum on Indonesian Development [INFID], Center for Indonesia Strategic Development Initiatives [CISDI], dan Centre for Strategic and International Studies [CSIS]), kelompok bisnis (Sustainable Management Group [SMG] dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia [KADIN]), serta beberapa kementerian yang relevan dengan working group G20 (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pembangunan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

1.4 Kerangka Kerja dan Konteks Global

1.4.1 Kerangka Utama: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs)

Isu-isu prioritas yang dikedepankan Indonesia dalam Presidensi G20 Indonesia perlu didasari suatu kerangka berpikir sekaligus kerangka kerja yang jelas sehingga semua gagasan yang berkembang dalam formulasi kebijakan dan implementasinya dari pihak manapun dapat diterima baik oleh berbagai pihak dan diterima secara politik (politically well-accepted).

Ada sejumlah alasan mengapa TPB/SDGs perlu menjadi kerangka utama untuk landasan berpikir dan pelaksanaan kesepakatan G20. Pertama dan utama, TPB/SDGs merupakan hasil kesepakatan internasional di tahun 2015 untuk menjadi agenda pembangunan global hingga tahun 2030. Dengan ke-17 tujuan dan 169 target pembangunan yang merepresentasikan lima pilar pembangunan Prosperity, People, Planet, Peace dan Partnership dan prinsip “tidak ada satupun yang tertinggal” (“no one left behind”), TPB/SDGs telah memberikan common platform dalam kebijakan pembangunan negara bangsa yang lebih komprehensif, terukur dan terutama berkarakter melampaui kepentingan pertumbuhan ekonomi (beyond-economic growth). Oleh karenanya, semua negara bangsa, organisasi internasional dan berbagai pemangku kepentingan lainnya (termasuk sektor swasta) harus ikut berkomitmen untuk mewujudkan target-target pencapaiannya.

Menjadi penting bagi Indonesia untuk menawarkan isu-isu prioritas yang konsisten dengan target dan prinsip TPB/SDGs dalam Presidensi G20 di tahun 2022 mendatang. TPB/SDGs adalah kesepakatan global yang secara politis diterima dengan baik oleh berbagai pihak, tetapi juga substansinya masih relevan sebagai kerangka utama bagi kerja sama multilateral G20 untuk mengatasi kondisi pasca-COVID-19. Target-target yang telah dirumuskan dalam TPB/SDGs merupakan kunci bagi terbentuknya fondasi yang tangguh bagi keberhasilan tujuan utama G20. Sementara itu, dalam proses sepuluh tahun ke depan (2020–2030), TPB/SDGs diperkirakan menghadapi periode kritis dalam proses pencapaian tujuan dan target-targetnya karena kehadiran pandemi global COVID-19 telah membatasi dengan sangat signifikan kapasitas finansial dan institusional pemerintahan negara bangsa di seluruh dunia. Dengan demikian, pencapaian TPB/SDGs perlu menjadi dasar rujukan untuk melakukan langkah-langkah pemulihan pasca-COVID-19.

Page 21: Recover Together, Recover Stronger

6 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

1.4.2 Konteks Global: Kekuatan-Kekuatan Transformatif

Selain menjadikan TPB/SDGs sebagai rujukan sentral, perumusan isu-isu prioritas Presidensi Indonesia tentunya perlu memperhatikan kecenderungan dinamika global yang berkembang. Ada empat fenomena global yang perlu diperhatikan sebagai konteks yang membingkai relevansi isu-isu prioritas Indonesia, yaitu (1) pandemi global COVID-19, (2) transformasi digital, (3) urbanisasi global yang cepat, dan (4) tata kelola global (Gambar 1.2).

Gambar 1.2 Fenomena Global yang menjadi Konteks Kajian Isu-Isu Prioritas Presidensi G20

Sumber: Hasil olahan tim riset

1.4.2.1 Pandemi Global COVID-19

Pandemi COVID-19 adalah fenomena global terkini yang memberikan tantangan terberat bagi Presidensi Indonesia. COVID-19 yang muncul di akhir 2019 telah berkembang lebih dari sekedar sebagai masalah kesehatan publik, tetapi lebih jauh lagi, telah menjadi krisis multidimensional yang menyentuh aspek ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Begitu banyak bidang kehidupan manusia yang telah terdampak secara signifikan, seperti pendidikan, perdagangan, dan pariwisata. Dengan luasnya dampak yang terjadi, COVID-19 telah memukul perekonomian dan menyajikan tantangan bagi kepemimpinan politik dan kapasitas institusional negara bangsa di setiap level pemerintahan. Pilihan-pilihan kebijakan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi sambil tetap mengedepankan keselamatan warga dari ancaman COVID-19 (economic growth vs human security) menjadi sangat dilematis bagi para pemimpin di negara manapun.

Dengan menurunnya kapasitas individual mayoritas negara-negara di dunia, maka prospek pertumbuhan perekonomian global terancam mengalami stagnasi. Hal lain yang juga perlu digarisbawahi dari kehadiran pandemi COVID-19 dengan segala implikasinya adalah bahwa adanya kesenjangan pembangunan (development gap) di level nasional maupun di level internasional, semakin jelas terlihat. Hal ini khususnya terkait dengan kapasitas untuk memberikan pelayan kesehatan publik dan lemahnya sistem tata kelola yang turut berkontribusi terhadap tren kenaikan kasus COVID-19.

Page 22: Recover Together, Recover Stronger

7 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

1.4.2.2 Transformasi Digital

Transformasi digital (digital transformation) merupakan fenomena penting dalam era globalisasi saat ini yang mendorong terjadinya transformasi sosial yang meluas dan mendasar. Fenomena ini ibarat “pedang bermata dua” karena dapat memberikan manfaat positif sekaligus juga membawa dampak negatif. Pada sisi positif, transformasi digital berpotensi untuk mengefisiensikan proses-proses produksi dan transaksional dalam kehidupan bisnis dan sosial guna meningkatkan secara lebih signifikan produktivitas dalam arti yang seluas- luasnya (Sanchez and Zuntini, 2018). Lebih jauh, menurut laporan PBB (2020), transformasi digital dapat meningkatkan produktivitas, mendorong konektivitas, menciptakan inklusi secara finansial, serta memberikan akses yang lebih luas untuk aktivitas perdagangan dan pelayanan publik. Teknologi yang menjadi basis dari transformasi digital berperan penting untuk mendukung terciptanya pemerataan kesempatan dan keadilan, termasuk melalui pengembangan ekonomi digital para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UNCTAD, 2019).

Namun demikian, di sisi lain, transformasi digital juga dapat menghadirkan dampak negatif ataupun tantangan yang cukup kompleks, khususnya di dunia bisnis seperti, penolakan dari pegawai (employee pushback), perubahan struktural-organisasional, dan pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual intelektual (OECD, 2019). Industri-industri tertentu merasakan dampak negatif secara cukup signifikan. Menjelang tahun 2030, diproyeksikan ada potensi hilangnya lebih dari 2,6 juta pekerjaan akibat berkembangnya fenomena ini (World Economic Forum, 2020). Selain aspek ekonomi, dampak negatif transformasi digital ini juga cukup serius terhadap anak-anak dan remaja (UNICEF, 2017). Dengan demikian, menjadi penting bagi G20 untuk mengelola isu prioritas di sektor ekonomi digital dengan kehati-hatian dan tetap dalam kerangka tujuan pembangunan berkelanjutan agar potensi dampak negatif dapat ditekan seminimal mungkin sementara produktivitas dapat ditingkatkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi global.

1.4.2.3 Urbanisasi Global

Seperti halnya transformasi digital, urbanisasi yang cepat (rapid urbanization) yang mendunia merupakan fenomena yang merupakan kekuatan transformatif yang potensial membawa banyak perubahan mendasar dan meluas, baik pada tataran kebijakan institusi publik maupun kehidupan individu dan komunitas. Berbagai organisasi internasional telah mengulas secara intensif fenomena global ini. Proyeksi global menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduk dunia saat ini menghuni kawasan urban, khususnya di negara-negara berkembang. Daerah urban berkontribusi sekitar 15—25% pada PDB global (250—450 miliar Dolar AS) setiap tahunnya (McKinsey, 2014).

Selain berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan, berbagai implikasi sosial kultural berkaitan erat dengan agenda-agenda global yang krusial, seperti kemiskinan, perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Pertumbuhan populasi di daerah urban secara signifikan meningkatkan risiko kota-kota di seluruh dunia pada krisis pasokan air, energi, dan makanan. Tata kelola yang buruk, urbanisasi yang terlalu cepat, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan pengangguran kaum muda dapat berdampak pada stres sosial yang melanda penduduk kota. Masalah ini penting diperhatikan karena selama dua dekade terakhir, migrasi antarkota telah mengaburkan batas-batas geografis. Beberapa kota telah menjadi kota kosmopolitan, sedangkan beberapa kota lain sedang secara aktif mengembangkan kebijakan dan infrastruktur untuk menarik orang-orang asing untuk tinggal. Besarnya mobilitas penduduk di daerah perkotaan sebagai pusat interaksi individu dari beragam latar belakang negara telah mengaburkan sekat-sekat geografis, sehingga isu di suatu kota metropolitan bisa jadi memiliki dampak besar terhadap kota di negara-negara lain. Kaburnya batas-batas ini memiliki konsekuensi ekonomi yang penting.

Page 23: Recover Together, Recover Stronger

8 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Dalam konteks global ini, patut dipertimbangkan pentingnya mendudukkan pemerintah kota sebagai mitra strategis untuk menjadi basis dukungan bagi kebijakan G20 karena banyaknya target TPB/SDGs dan terbatasnya kapasitas pemerintah pusat. Di tingkat global, berbagai jejaring transnasional pemerintah kota telah hadir untuk memperkuat peran mereka dalam berkontribusi pada masalah-masalah pembangunan global yang terutama terkait dengan tantangan perubahan iklim dan perwujudan agenda pembangunan berkelanjutan. Beberapa contoh yang cukup mapan adalah United Cities and Local Governments (UCLG), C40 Cities, dan Climate Alliance.

1.4.2.4 Tata Kelola Global

Tata kelola global (global governance) merupakan paradigma politik alternatif yang dapat terus dikembangkan untuk menjamin keterlibatan semua aktor, baik aktor negara maupun non-negara, dalam relasi yang berbasis pada nilai dan norma yang dianut bersama (shared norms and values) serta prinsip co-responsibilities dan burden-sharing dalam mengatasi masalah-masalah global yang semakin nyata sehingga tujuan bersama dapat lebih mudah tercapai.

Namun demikian, tata kelola global mengalami tekanan untuk dapat menjadi lebih fungsional karena ketiadaan kepemimpinan global yang efektif. Sementara itu, dampak COVID-19 cenderung berpotensi menghidupkan paradigma realis dengan dikotomi Utara vs Selatan yang tidak menjawab persoalan mendasar. Oleh karenanya, tata kelola global perlu dihadirkan karena fakta menunjukkan bahwa tak ada satupun negara yang secara individual dapat mengatasi masalah-masalah kemanusiaan dan keberlanjutan saat ini yang berkarakter lintasbatas negara, sangat teknis, dan saling terkoneksi (transnational boundaries, high technicalities and interconnected).

Dalam perspektif tata kelola global, hal terpenting bagi G20 adalah melakukan reorientasi dalam konteks penguatan prinsip multilateralisme. Dengan prinsip ini, diharapkan tercapai kemitraan global yang lebih partisipatoris dengan keterlibatan yang lebih konstruktif dari masyarakat sipil, termasuk kelompok muda, perempuan dan akademisi serta para pemangku kepentingan lainnya dari sektor bisnis atau swasta dan pemerintah lokal (khususnya pemerintah kota). Perlu dipertimbangkan juga penggunaan pendekatan yang lebih inklusif berbasis jejaring untuk akor-aktor non-negara ini karena memungkinkan mekanisme yang lebih fleksibel, setara dan fungsional. Lebih dari itu, perlu diyakini bahwa otoritas negara tidak akan runtuh karena pendekatan tata kelola global seperti ini. Sebaliknya, negara dapat menjadi lebih transformatif dalam menjawab tantangan masalah-masalah global yang semakin variatif dan kompleks.

1.5. Struktur Laporan

Laporan ini memaparkan hasil kajian dari isu-isu prioritas Presidensi G20 Indonesia melalui eksplorasi data dan analisis memberikan rasionalitas ataupun justifikasi dalam penetapan skala prioritas. Secara keseluruhan, laporan ini diawali dengan Bab 1 yang berisi latar belakang, fokus kajian, metode kajian dan kerangka analisis. Kemudian dilanjutkan ke Bab 2 yang memaparkan data dan fakta serta ulasan terhadap konteks global mutakhir yang merujuk pada sejumlah fenomena global yang telah (dan berpotensi) memberikan pengaruh fundamental dan signifikan terhadap berbagai kebijakan negara bangsa, baik secara individual maupun kolektif. Bab 3 memberikan paparan lebih dalam dan komprehensif mengenai isu-isu yang dimasukkan dalam skema lima isu prioritas Presidensi G20 Indonesia. Eksplorasi data-data faktual dilakukan untuk memperkuat analisis dalam paparan Bab 3 ini. Pada bagian akhir Bab 3 ditampilkan analisis yang lebih jauh terkait cross- cutting issues dengan menampilkan berbagai pendapat ahli dan rujukan data faktual lainnya dari berbagai sumber. Terakhir, Bab 4 berisi kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang juga memaparkan sasaran-sasaran strategis yang diharapkan di setiap poin rekomendasi.

Page 24: Recover Together, Recover Stronger

9 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

BAB 2

PERMASALAHAN GLOBAL: FAKTA DAN DATA

Bab 2 ini berisi fakta dan data mengenai sektor-sektor utama yang perlu dikedepankan dalam Presidensi G20 Indonesia tahun 2022. Seperti yang telah dijelaskan di Bab 1, kerangka utama yang menjadi dasar perumusan isu prioritas Presidensi G20 Indonesia adalah TPB/SDGs sebagai agenda pembangunan global. TPB/SDGs yang terdiri dari 17 tujuan, seyogyanya tidak dipahami sebagai tujuan yang berdiri sendiri. Ketujuhbelas tujuan tersebut perlu ditempatkan dalam kerangka pemahaman cross-cutting issues atau saling keterkaitan (inter- linkages) yang membutuhkan pendekatan multidisipliner untuk merumuskan strategi pencapaiannya.

Kerangka pembangunan melalui perspektif cross-cutting issues dapat kita lihat misalnya dalam masalah lingkungan dan kesetaraan gender. Di samping perspektif keadilan ekologis (ecological justice perspective), perspektif gender juga merupakan salah satu perspektif kritis yang dapat membantu mengupas akar permasalahan yang ada sehingga kebijakan afirmatif yang komprehensif dapat dirumuskan dengan baik. Pengarusutamaan pendekatan ini tentu menjadi signifikan.

Mengamati perkembangan isu global dan dinamika internasional yang berkembang dalam satu dekade terakhir, kajian ini mengidentifikasi 7 (tujuh) permasalahan global yang penting untuk menjadi basis argumentasi atas pengajuan isu-isu prioritas Presidensi Indonesia yang perlu dipahami dalam kerangka cross- cutting issues. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat digolongkan berdasarkan sektor sebagai berikut: (1) kesehatan publik; (2) kemiskinan; (3) ketenagakerjaan dan pendidikan; (4) pangan dan malnutrisi; (5) kesetaraan gender; (6) perubahan iklim; serta (7) tata kelola ekonomi global.

2.1. Kesehatan Publik

Pentingnya sektor kesehatan publik tidak lepas dari fenomena pandemi COVID-19 yang muncul pada tahun 2019 dan yang masih terus menjadi tantangan global hingga hari ini. Berdasarkan data yang dikeluarkan WHO pada 1 Juni 2021 (Grafik 2.1), terdapat 170.426.245 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di seluruh dunia dan 3.548.628 kasus kematian akibat COVID-19 (WHO, 2021). Ilustrasi data berikut ini (Statista, 2021) menunjukkan bahwa tren penyebaran COVID-19 di berbagai kawasan dunia cenderung meningkat di pertengahan tahun 2021. Ada lebih dari 141 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia yang telah terkonfirmasi dari awal tahun 2020 hingga pertengahan 2021.

Grafik 2.1

Tren COVID-19 Global: Tingkat Kasus Positif Sumber: Statista. 2021. New COVID-19 cases surge to pandemic high (https://www.statista.com/chart/22067/daily-new-cases-by-world-

region/)

Page 25: Recover Together, Recover Stronger

10 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Dalam rangka mengatasi pandemi COVID-19, WHO mencatat sudah ada sekitar 2.412.226.768 dosis vaksin yang telah didistribusikan kepada masyarakat dunia (WHO, 19 Juni 2021). Jumlah vaksin yang didistribusikan itu terbilang besar, namun jangkauan distribusinya secara global masih belum maksimal. Hingga bulan Juli 2021, baru sekitar 10% populasi dunia yang mendapatkan vaksinasi dan meningkat hingga mencapai 14,8% pada awal bulan Agustus 2021 (Grafik 2.2). Persentase tersebut menunjukkan kenaikan jumlah vaksinasi hingga sebesar 5%. Namun, distribusi vaksin ini belum menjangkau ke seluruh negara di dunia secara merata (Our World in Data, 2021). Data tersebut menunjukkan adanya ketimpangan global yang signifikan.

Grafik 2.2 Tren Jumlah Penerima Vaksin COVID-19 di Tingkat Global

Sumber: Our World in Data. 2021. Share of people who received at least one dose of COVID-19 vaccine.(https://ourworldindata.org/

grapher/share-people-vaccinated-covid)

Tidak hanya itu, merujuk pada pernyataan WHO, negara-negara yang lebih maju atau lebih kaya telah menerima porsi pendistribusian vaksin yang jauh lebih banyak daripada negara berkembang, negara berpendapatan rendah, dan negara-negara dalam kategori least developed countries (LDCs). Dari sekitar 700 juta lebih dosis vaksin yang didistribusikan ke seluruh dunia, negara maju tercatat telah menerima lebih dari 87% dari total vaksin yang didistribusikan, sedangkan negara dengan pendapatan rendah hanya sebesar 0,2% saja (WHO, 2021). Selanjutnya, menurut OECD (2021), sebagian besar penduduk orang dewasa di negara maju sudah akan divaksinasi pada pertengahan 2022. Namun, negara-negara berpenghasilan menengah baru akan dapat memenuhi target vaksinasi pada akhir 2022 atau awal 2023, sedangkan negara-negara miskin diperkirakan baru dapat memenuhi target pada 2024. Dari data tersebut, tampak bahwa masih ada kesenjangan yang besar dalam konteks pendistribusian dan proses vaksinasi ke negara-negara secara global di mana negara maju ternyata jauh lebih banyak menerima pendistribusian dan proses vaksinasi yang lebih cepat dibandingkan negara berkembang atau negara yang berpendapatan rendah.

Sejauh ini, kita dapat melihat bahwa pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir (2019-2021) telah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kesehatan publik sebagai basis ketahanan dan stabilitas, baik terkait aspek ekonomi maupun sosial. Kesehatan menjadi kunci bagi produktivitas manusia dalam berbagai aktivitas kehidupan ekonomi maupun sosial di berbagai level, dari tingkat individu hingga tingkat global.

Namun, perlu dicatat bahwa masalah kesehatan publik di dunia bukan hanya diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Masalah kesehatan publik di banyak negara berkembang umumnya lebih banyak didominasi oleh penyakit akibat faktor lingkungan hidup yang buruk (kolera, demam berdarah, tipes, tuberkulosis) dan faktor gaya hidup (kanker, diabetes dan penyakit jantung).

Page 26: Recover Together, Recover Stronger

11 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 2.3 Penyebab Kematian Tertinggi Tahun 2019

Sumber: World Economic Forum. 2021. The World’s Leading Causes of Death. (https://www.statista.com/chart/23755/total-number-of-

people-who-died-from-the-following-conditions/

)

Sebagaimana tampak pada Grafik 2.3, maka selain COVID-19, terdapat penyakit-penyakit penyebab kematian lainnya yang memerlukan perhatian serius. Beberapa penyakit tidak menular yang menjadi faktor penyebab kematian tertinggi di dunia adalah leukemia dan stroke. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan primer untuk menangani permasalahan kesehatan publik di atas sangat diperlukan dan tidak boleh luput dari pengambilan kebijakan yang saat ini terfokus pada penanganan COVID-19.

Selain penting untuk melihat isu kesehatan publik dari sudut pandang yang lebih besar (mempertimbangkan masalah-masalah kesehatan lain selain COVID-19), kita juga perlu melihat isu kesehatan dari sudut pandang yang lebih holistik dan multidimensional. Masalah kesehatan publik juga terkait erat dengan sektor kemiskinan. Kemiskinan berpotensi membatasi akses ke pusat-pusat kesehatan yang berkualitas, rendahnya produktivitas karena kualitas kesehatan yang rendah, dan sebagainya, sebagaimana yang akan dibahas di bawah ini.

2.2 Kemiskinan

Pengentasan kemiskinan masih menjadi agenda utama pembangunan internasional yang hingga hari ini masih mengalami tantangan berat, terutama dengan kehadiran pandemi global COVID-19. Grafik 2.4 menunjukkan bahwa angka kemiskinan dunia dalam kurun waktu 50 tahun terakhir (1950—2000) cenderung meningkat dengan signifikan – sampai dengan tahun 2015, terlihat angka kemiskinan secara umum sampai mencapai angka 7 miliar jiwa. Namun, angka kemiskinan ekstrem menurun sampai di bawah 1 miliar jiwa (Our World in Data, 2018). Adapun angka kemiskinan ekstrem dihitung dari jumlah penduduk yang berpenghasilan di bawah 1,9 Dolar AS per hari.

Grafik 2.4

Tingkat Kemiskinan Ekstrem di Tingkat Global (1820—2015) Sumber: Our World in Data. 2018. World Population Living in Extreme Poverty.

(https://ourworldindata.org/grapher/world-population-in-extreme-poverty-absolute).

Page 27: Recover Together, Recover Stronger

12 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Kemunculan pandemi COVID-19 ikut berdampak peningkatan angka kemiskinan. Secara total, angka kemiskinan ekstrem di tahun 2020 bertambah sebanyak 88 juta–115 juta jiwa dan meningkat sebanyak 150 juta jiwa di tahun 2021. Seiring berjalannya pandemi, proyeksi itu diperkirakan naik hingga 119—124 juta (Lakner et al, 2021). Gambaran serupa juga diperoleh dari hasil riset United Nations University yang menyebutkan bahwa kemiskinan ekstrem bertambah hingga 1 miliar jiwa akibat COVID-19. Angka pasti penambahan penduduk dalam kemiskinan ekstrem di setiap negara berbeda-beda, tergantung kontraksi ekonomi di masing-masing negara. Kemunculan orang-orang miskin baru (“the new poor”) lebih berpotensi terjadi di negara-negara yang sudah memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Sejumlah negara yang masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah (middle-income countries) bahkan menghadapi kenaikan angka kemiskinan hingga 82% (World Bank, 2020). Kemiskinan juga cenderung bertambah di negara-negara berpendapatan menengah, sebagian besar di Asia Selatan dan Asia Timur (United Nations University, 2020).

Berdasarkan data World Bank (2020), telah ada sebanyak 9,4% populasi dunia masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem pada tahun 2020 dan 2021. Bukan hanya itu, COVID-19 diperkirakan akan menambah jumlah penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem hingga 44 juta pada 2030 (UN, 2020). Apabila COVID-19 tidak ditangani secara efektif dan kerusakan yang ditimbulkan pandemi menjadi makin besar, jumlah kemiskinan ekstrem dunia diprediksikan akan naik hingga 207—251 juta. Hal ini berarti, akan ada 1 miliar penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 2030 (UNDP, 2020). Melalui Grafik 2.5, terlihat jelas bahwa COVID-19 telah berdampak signifikan terhadap peningkatan angka kemiskinan ekstrem di tingkat global.

Grafik 2.5

Dampak COVID-19 terhadap Kemiskinan Ekstrem Global Sumber: World Bank. 2021. Updated estimates of the impact of COVID-19 on global poverty: The effect of new data. (https://blogs.

worldbank.org/opendata/updated-estimates-impact-covid-19-global-poverty-effect-new-data)

Kondisi meningkatnya kemiskinan memberikan dampak signifikan bagi banyak negara, khususnya negara berkembang. Diperkirakan bahwa dampak COVID-19 akan menyebabkan peningkatan kemiskinan sekitar lebih dari 1 juta penduduk pada tahun 2020, khususnya bagi India, Nigeria, Indonesia, Bangladesh, Kongo, Filipina, Ethiopia, Brazil, Afghanistan, Sudan, Pakistan, dan Zimbabwe (Brookings Institution, 2020).

2.3 Ketenagakerjaan dan Pendidikan

Salah satu masalah lain yang juga berkontribusi pada angka kemiskinan dan melemahnya pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya jumlah pengangguran yang disebabkan oleh pandemi. Pandemi telah mengurangi sekitar 255 juta lapangan pekerjaan di negara-negara berkembang pada 2020 (ILO, 2020). Hilangnya pendapatan penduduk di negara-negara berkembang akibat pandemi diperkirakan melebihi 220 miliar Dolar AS (UNDP, 2020).

Page 28: Recover Together, Recover Stronger

13 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Bahkan sebelum terjadinya pandemi, angka ketenagakerjaan, khususnya bagi pemuda, sudah menunjukkan tren menurun. Selama 1999—2019, populasi pemuda (individu berusia 15—26 tahun) secara global telah meningkat dari 1 miliar menjadi 1,3 miliar, tetapi pada periode yang sama, tingkat partisipasi angkatan kerja global terus mengalami penurunan. Mereka yang terlibat dalam angkatan kerja (mereka yang bekerja atau tidak menganggur) menurun dari 568 juta pada 1999 menjadi 497 juta pada 2019. Sebagaimana yang tampak pada Grafik 2.6, secara umum, tingkat partisipasi angkatan kerja terus menurun selama tiga dekade terakhir, khususnya dari 2009—2021 (World Bank, 2021). Namun, rasio jumlah pemuda yang bekerja dibanding total populasi pemuda (employment to population ratio atau EPR) juga menjadi semakin kecil. Pada tahun 2019, hanya 35,6% dari populasi pemuda di seluruh dunia yang bekerja. Sementara itu, angka EPR bagi orang dewasa (mereka yang berusia 26 tahun ke atas) berjumlah hampir 1,8 kali lipat dari pemuda (ILO, 2020). Pada 2020, Amerika Utara memiliki EPR pemuda tertinggi (47,9%), diikuti oleh Afrika Sub-Sahara (44,1%), sedangkan angka EPR pemuda di Afrika Utara dan negara-negara Arab berada di bawah 22% (ILO, 2020).

Grafik 2.6 Tren Partisipasi Tenaga Kerja dalam Lapangan Kerja secara Global (1990-2020)

Sumber: World Bank. 2021. Labour Force Participation Rate. (https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.CACT.ZS)

Rendahnya tingkat partisipasi pemuda dalam lapangan kerja tidak serta merta disebabkan oleh meningkatnya jumlah pemuda yang memilih untuk menempuh pendidikan dan pelatihan. Data global dari ILO (2020) menunjukkan bahwa jumlah pemuda yang tidak sedang berada dalam pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan (Not in Employment, Education or Training [NEET]) mencapai 267 juta pada 2021. Angka tersebut tidak menurun secara substansial di subkawasan manapun, dengan pengecualian penurunan sebesar 10 poin persentase untuk perempuan di Asia Tengah dan Barat. Kondisi ini lebih mengkhawatirkan lagi ketika kita melihatnya berdasarkan kategori gender. Angka NEET perempuan berjumlah dua kali lipat lebih banyak dibandingkan laki-laki (31,1% dibanding 13,9%) (ILO, 2020).

Tingginya angka NEET pemuda juga berhubungan erat dengan kurangnya akses terhadap pendidikan yang merata bagi pemuda-pemuda di berbagai belahan dunia. Kesenjangan sosial dan ekonomi telah menempatkan banyak siswa (khususnya perempuan dan penyandang disabilitas dari golongan kurang mampu) pada kerawanan putus sekolah. Menurut laporan UNESCO (2020), pada tahun 2018, terdapat sekitar 59 juta anak usia sekolah dasar putus sekolah (55% di antaranya adalah perempuan), dengan Afrika Sub- Sahara menjadi kawasan dengan angka putus sekolah tertinggi untuk tingkat sekolah dasar (22% untuk anak perempuan dan 17% untuk anak laki-laki). Hal ini perlu menjadi perhatian.

Kesenjangan akses terhadap pendidikan lebih besar lagi bagi anak-anak penyandang disabilitas. UNESCO melaporkan bahwa dari 14 sampel negara, anak-anak penyandang disabilitas menempati 15% dari total populasi anak yang putus sekolah dan bahwa mereka memiliki kemungkinan 2,5 kali lebih besar untuk tidak pernah bersekolah dibandingkan teman sebayanya yang tidak memiliki disabilitas. Secara total, diperkirakan ada 258 juta anak (17% dari total anak dunia) yang tidak bersekolah. Dari tahun 1990-2018, persentase

Page 29: Recover Together, Recover Stronger

14 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

tertinggi anak yang tidak bersekolah berasal dari negara-negara Afrika Sub-Sahara, Asia Tengah dan Selatan, Afrika Utara, Amerika Latin dan Karibia, dan Oseania. Adapun kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Utara merupakan kawasan dengan jumlah kehadiran sekolah yang paling tinggi (UNESCO, 2020). Data ini juga menunjukkan bahwa kesenjangan dalam inklusivitas pendidikan juga terasa bukan hanya dalam negara, tetapi juga antarnegara dan antarkawasan.

Kondisi kesenjangan pendidikan menjadi semakin parah di masa pandemi. Dengan adanya kesenjangan digital dan teknologi, terdapat semakin banyak siswa yang rawan mengalami ketertinggalan pendidikan. Terdapat lebih dari 90% populasi siswa global yang terkena dampak penutupan sekolah terkait COVID-19. Sekitar 40% negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah belum mengambil tindakan apa pun untuk mendukung pelajar yang berisiko tersisihkan selama krisis COVID-19 (UNESCO, 2020). Bahkan sebelum adanya pandemi pun, kemajuan dalam mengurangi jumlah anak putus sekolah telah mengalami stagnasi sejak 2007 karena peningkatan akses ke pendidikan dasar hampir tidak dapat mengimbangi pesatnya pertumbuhan populasi anak, khususnya di kawasan Afrika Sub-Sahara (UNICEF, 2020).

Namun, pemerataan akses dan kualitas pendidikan saja belum sepenuhnya cukup untuk menunjang peningkatan produktivitas dunia. Banyak juga tenaga kerja yang berpendidikan, tetapi mereka kesulitan mendapat kerja (atau mendapatkan pekerjaan yang memaksimalkan potensi mereka) karena terdapat ketidaksesuaian (mismatch) dalam hal latar belakang pendidikan dan keterampilan dengan kebutuhan industri. Ketidaksesuaian ini bisa terjadi karena tenaga kerja yang overqualified, underqualified, dan atau tidak memiliki latar belakang pendidikan dan keterampilan yang sesuai dengan yang dibutuhkan industri (field- of-study mismatch dan qualification mismatch) (OECD.Stat, 2021). Diperkirakan ada 935 juta pekerja di dunia dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan mereka (ILO, 2020).

Pemupukan jiwa kewirausahaan dapat menjadi salah satu solusi untuk masalah ketenagakerjaan. Walaupun bagi beberapa negara G20, seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Rusia, perusahaan besar memang menjadi sumber lapangan kerja terbesar, tetapi bagi negara-negara G20 lain seperti Australia, Italia, dan Turki, usaha mikro menjadi jenis usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja (OECD, 2019). Dengan demikian, apabila dunia ingin memacu produktivitas di masa pascapandemi dan mengurangi angka kemiskinan lewat ketenagakerjaan, dunia perlu bermitra dengan UMKM. Dalam konteks Indonesia, tenaga kerja yang terserap oleh UMKM selama tahun 2010-2018 mencapai 117 juta orang dengan rincian 107,4 juta orang bekerja di usaha mikro, 5,8 juta di usaha kecil, dan 3,7 juta di usaha menengah. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya (116,4 juta orang) (Databoks, 2020).

Namun, pemupukan jiwa kewirausahaan masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti kesulitan mencari sumber pendanaan, tantangan dalam memanfaatkan teknologi digital, kesulitan mencari SDM yang sesuai, keterbatasan kemampuan manajerial, dan macam-macam hambatan regulatif. Pemerintah global pun perlu mengatasi permasalahan ini dengan cara saling bertukar ilmu dan pengalaman dalam upaya meningkatkan kewirausahaan. Pemerintah global dapat belajar dari sepuluh negara teratas dalam aspek kewirausahaan (diukur dari Global Entrepreneurship Index) untuk 2019 adalah negara-negara berpenghasilan tinggi, sebagian besar negara Eropa. Negara-negara anggota G20 yang masuk dalam daftar tersebut adalah Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Australia (GEDI, 2019).

2.4 Pangan dan Malnutrisi

Pandemi global COVID-19 telah berdampak pada melemahnya perekonomian global yang mengakibatkan terancamnya akses terhadap makanan. COVID-19 diperkirakan telah secara dramatis meningkatkan jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut pada periode 2020—2021. World Food Program (WFP) memperkirakan bahwa terdapat 272 juta orang yang sudah atau berisiko berstatus rawan pangan (World Bank, 2021).

Page 30: Recover Together, Recover Stronger

15 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Economist Intelligence Unit’s 2020 Global Food Security Index di 113 negara, menunjukkan bahwa ketahanan pangan dunia memburuk. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim dan dampak pandemi yang signifikan. Adapun parameter pengukuran yang digunakan adalah keterjangkauan, ketersediaan, keamanan, sumber daya alam atau ketahanan dan kualitas makanan.

Di sisi lain, kondisi ketahanan pangan juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan gizi penduduk. Kondisi ketahanan pangan yang buruk (kerawanan pangan) akan menyebabkan penambahan penduduk yang termasuk dalam kategori kurang gizi/malnutrisi. Berdasarkan data global FAO, tercatat ada sebesar 132 juta jiwa manusia yang mengalami kekurangan gizi (FAO, 2020) per tahun 2020.

Grafik 2.7 memperlihatkan data yang menunjukkan estimasi kondisi global terkait jumlah penduduk dunia yang mengalami kekurangan gizi pada periode 2005—2018, serta proyeksi kondisi pada periode 2019—2030. Pandemi COVID-19 berdampak pada bertambahnya angka penduduk kurang gizi pada kisaran 83–132 juta orang di tahun 2020. Bahkan sebelum pandemi COVID-19 melanda, data di atas memperlihatkan peningkatan angka penduduk kurang gizi termasuk penduduk yang berada dalam status kelaparan kronis dan akut. Pada tahun 2014, 628 juta penduduk kurang gizi dan kelaparan dan kemudian meningkat sebesar 688 juta penduduk di tahun 2019.

Grafik 2.7

Tren Global terkait Kondisi Malnutrisi (2005-2019) Sumber: FAO, IFAD, UNICEF, WFP and WHO. 2021. The State of Food Security and Nutrition in the World 2021: Transforming food systems

for food security, improved nutrition and affordable healthy diets for all. Rome, FAO. https://doi.org/10.4060/cb4474en

Sementara itu, terdapat catatan yang ironis. Saat dunia sedang berada dalam status kerawanan pangan, namun di satu sisi, angka limbah makanan (food waste and loss) juga menunjukkan angka tinggi. Rata-rata limbah makanan setiap tahunnya adalah sebesar 931 juta ton. Angka ini terbagi dalam tiga jenis sumber limbah, yaitu 569 juta ton limbah makanan yang berasal dari rumah tangga, 244 juta ton berasal dari layanan makanan dan 118 juta ton dari bisnis ritel (UNEP, 2021).

Data-data global di atas menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Bahkan sebelum pandemi terjadi, permintaan dunia akan pangan sudah terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi. Populasi dunia diperkirakan akan tumbuh hampir 10 miliar pada tahun 2050 dan seiring dengan itu, permintaan akan produk pangan dan produk-produk agrikultur juga akan naik. Selain itu, pertumbuhan pendapatan di negara- negara berpenghasilan rendah dan menengah akan mempercepat transisi pola makan menuju konsumsi daging, buah-buahan dan sayuran yang lebih tinggi, menambah tekanan pada sumber daya alam (FAO, 2017). Kurangnya kemampuan mengakses pangan akan berdampak pada terjadinya kelaparan. Isu kelaparan dan malnutrisi dengan ketahanan pangan merupakan isu-isu yang saling tak terpisahkan. Dengan demikian, sektor pertanian harus terus meningkatkan produktivitasnya secara berkelanjutan.

Page 31: Recover Together, Recover Stronger

16 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Namun, terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi dunia untuk menguatkan sektor pertanian. Tantangan pertama adalah keterbatasan sumber daya manusia di sektor pertanian. Sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 2.8, secara global, penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian terus menurun dari 43% pada 1991 menjadi 26% pada 2019 (World Bank, 2021). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada semakin sedikit individu yang bekerja di sektor pertanian dan secara khusus merujuk pada krisis regenerasi petani dunia.

Grafik 2.8

Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian (1995—2015) Sumber: Employment in agriculture (% of total employment) (modeled ILO estimate), World Bank, 2021. (https://data.worldbank.org/

indicator/SL.AGR.EMPL.ZS?end=2015&start=1995)

2.5 Perubahan Iklim

Sektor lingkungan hidup pada dasarnya mencakup permasalahan-permasalahan yang sangat variatif dan memiliki cross-cutting yang kuat dengan isu-isu pembangunan sosial ekonomi, seperti kesehatan, kemiskinan, pendidikan, transportasi, industri dan lain sebagainya. Namun demikian, konsentrasi pada isu perubahan iklim didasarkan pada berbagai dampak strategis yang bersifat multilevel dan multidimensi. Perubahan iklim mempengaruhi setiap negara di setiap benua, bahkan sampai ke level individu. Hal ini mengganggu ekonomi nasional dan global serta mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Pola cuaca berubah, permukaan laut naik, dan peristiwa cuaca menjadi lebih ekstrem. Oleh karena itu, diperlukan analisis multidimensional dalam mengkaji potensi-potensi solusinya, selain data faktual yang menunjukkan kecenderungan global yang masih mengkhawatirkan masyarakat dunia.

Tahun 2019 adalah tahun terpanas kedua dalam catatan dan akhir dekade terpanas (2010—2019) yang pernah tercatat. Tingkat karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer naik ke rekor baru pada tahun 2019. Meskipun emisi gas rumah kaca diproyeksikan turun sekitar 6% pada tahun 2020 karena larangan bepergian dan perlambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19, kemajuan itu hanya bersifat sementara. Perubahan iklim tidak serta merta berhenti. Setelah ekonomi global mulai pulih dari pandemi, emisi diperkirakan akan kembali ke tingkat yang lebih tinggi (UN SDGs, 2021). Sementara itu, suhu rata- rata global untuk tahun 2020 sudah mencapai 1,2 ± 0,1 °C di atas garis dasar 1850–1900 (Grafik 2.9). Angka pencairan es Antartika juga cukup tinggi, sekitar 175 hingga 225 Gt es setiap tahun (WMO, 2020).

Page 32: Recover Together, Recover Stronger

17 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 2.9 Kecenderungan Temperatur Global Rata-Rata (1850-2020)

Sumber: Berkeley Earth. 2020. Global Temperature Report for 2019. (http://berkeleyearth.org/2019-temperatures/).

Isu-isu perubahan iklim seringkali dibenturkan dengan isu pemenuhan kebutuhan energi. Sebagai contoh, pasokan energi listrik dan ketersediaan air bersih dirasakan sangat penting ketika pusat-pusat layanan kesehatan harus bekerja 24 jam dan pekerja serta pelajar di seluruh dunia harus berinteraksi intensif secara daring untuk tetap dapat melangsungkan kegiatan sehari-hari. Dalam kondisi normal, kepadatan penduduk kota yang semakin meningkat (dengan berbagai aktivitas di bidang industri jasa dan barang ataupun pelayanan publik di bidang transportasi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya) telah mendorong tingkat konsumsi energi yang semakin tinggi juga. Karena itulah, isu ketahanan energi menjadi isu yang mendasar. Walau terbukti tidak ramah lingkungan, tingkat ketergantungan pada energi berbasis bahan bakar fosil begitu besar karena tingkat efisiensinya yang tinggi dari sisi produksi dan keterjangkauan oleh masyarakat luas.

2.6 Kesetaraan Gender

Pengurangan kesenjangan gender dalam lapangan kerja telah menunjukkan peningkatan pesat dari tahun 1990 hingga 2009, tetapi kemajuan selanjutnya cenderung lebih lambat. Secara umum, dalam aspek ketenagakerjaan, perempuan masih cenderung lebih tertinggal dibandingkan laki-laki. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya mencapai 48,5% pada 2018, sedangkan laki-laki mencapai angka 75%. Hal ini khususnya berlaku bagi negara berkembang dengan persentase kesenjangan sekitar 30,5 poin persentase pada 2018 (naik 0,5 poin persentase sejak 2009). Tren tersebut diproyeksikan akan berlanjut hingga 2021 (ILO, 2018). Data pada Grafik 2.10 memperlihatkan adanya kondisi ketimpangan gender di tingkat global yang bisa dilihat dari aspek ekonomi, sosial (pendidikan) maupun politik. Masih ada perbedaan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini (2020 dan 2021). Ketimpangan terbesar tampak pada bidang politik, tetapi diperlukan waktu lebih lama untuk menutup kesenjangan gender di bidang ekonomi (Statista, 2021).

Page 33: Recover Together, Recover Stronger

18 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 2.10

Kondisi Ke(tidak)setaraan Gender di tingkat Global dalam Aspek Ekonomi, Politik dan Pendidikan Periode 2020-2021. Sumber:

Statista. 2021. Moving backwards on the long road to gender inequality (https://www.statista.com/chart/11667/the-long-road-to

gender-equality/)

Sementara itu, indeks global tahun 2020 untuk kondisi ketimpangan gender antarnegara dapat dilihat dalam Grafik 2.11. Kita dapat melihat bahwa ada jarak antara sejumlah negara di dunia. Dari lima negara yang memiliki indeks tertinggi, empat di antaranya adalah negara-negara Eropa Barat, yaitu Islandia, Norwegia, Finlandia dan Swedia. Menarik untuk dicatat bahwa Nikaragua adalah satu-satunya negara non-Barat yang berada di posisi lima negara paling baik kondisi kesetaraan gendernya. Sementara itu, lima negara dengan nilai terendah adalah negara-negara dari kawasan Afrika, Timur Tengah dan Asia Tengah, seperti Kongo, Yemen, Iran, Suriah dan Pakistan. Menarik juga untuk diperhatikan bahwa Amerika Serikat ternyata hanya berada di urutan ke-53 (Statista, 2020).

Grafik 2.11 Indeks Global Ketimpangan Gender berdasarkan Negara Tahun 2020

Sumber: WEF, dikutip kembali oleh Forbes, Statista. 2019. Where The Global Gender Gap Is Most And Least Pronounced [Infographic].

https://www.forbes.com/sites/niallmccarthy/2019/12/18/where-the-global-gender-gap-is-most-and-least-pronounced-

infographic/?sh=2d6928bf72a4

Page 34: Recover Together, Recover Stronger

19 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

2.7 Tata Kelola Ekonomi Global

Pertumbuhan ekonomi yang melambat tentu menjadi isu penting untuk diatasi bersama. Perekonomian dunia semakin tertanam dalam rantai nilai karena sejumlah besar perdagangan global terjadi melaluinya. Rantai nilai global telah menjadi fitur yang penting dalam perdagangan global, menyumbang hampir 70% dari total pangsa perdagangan global (de Cordoba dan Lambert, 2020). Dengan demikian, pembahasan mengenai pemulihan perekonomian global tidak dapat dilepaskan dari signifikansi peran rantai nilai global (global value chain atau GVC) dalam perdagangan internasional.

Berdasarkan data UNCTAD (2013), tren perdagangan global beberapa dekade ke belakang sudah relatif baik. Bagian negara berkembang dalam perdagangan nilai tambah global telah meningkat dari 20% pada tahun 1990 menjadi 30% pada tahun 2000 dan lebih dari 40% pada tahun 2013. Sepanjang 2019 sampai 2020, sudah ada 8 perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Arrangement atau RTA) baru yang telah dibuat dan semuanya melibatkan setidaknya satu negara anggota G20. Per 15 Oktober 2020, telah ada 306 RTA yang terdaftar di WTO dan telah diberlakukan. Dari total 306 RTA tersebut, sekitar dua pertiganya (64%) melibatkan setidaknya satu negara G20 (WTO, 2020). Peningkatan perdagangan dunia selama dekade terakhir juga sebagian besar didorong oleh meningkatnya perdagangan antarnegara berkembang (Selatan-Selatan). Per 2014, nilai perdagangan internasional Selatan-Selatan telah mencapai hampir 5 triliun Dolar AS, mendekati nilai perdagangan internasional antarnegara maju (Utara-Utara). Dengan demikian, tren perdagangan global relatif menguntungkan bagi pertumbuhan global dan khususnya negara-negara berkembang (termasuk Indonesia).

Namun, terjadinya pandemi COVID-19 telah memberikan dampak buruk pada perdagangan internasional. Sejak Januari 2020, sebagian besar ekonomi utama mengalami tren negatif. Penurunan paling tajam dalam perdagangan internasional terjadi pada kuartal kedua tahun 2020. Dampak penurunan tersebut, khususnya dalam nilai ekspor, dirasakan oleh semua negara, tetapi lebih terasa di negara-negara maju. Menurut UNCTAD, perdagangan Selatan-Selatan sedikit lebih tangguh dibandingkan perdagangan internasional secara total. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ketahanan perdagangan negara-negara Asia Timur dan tren perdagangan di kawasan Asia Timur yang memang secara umum lebih baik (UNCTAD, 2020).

Seiring dengan memburuknya krisis dan terganggunya rantai nilai global, ketersediaan pekerjaan, baik bagi laki-laki maupun perempuan pun turut terancam. Laki-laki cenderung lebih banyak bekerja di sektor dan pekerjaan yang lebih bergantung pada perdagangan internasional. Pada tahun 2014, diperkirakan 37% pekerjaan yang dipegang oleh laki-laki bergantung pada ekspor. Sementara itu, perempuan lebih banyak bekerja di usaha mikro, kecil, dan menengah serta sektor jasa dengan besaran 27% perempuan secara langsung atau tidak langsung bergantung pada ekspor. Banyak UMKM yang juga berpartisipasi dalam perdagangan global secara tidak langsung dengan menjadi pemasok barang atau jasa ke perusahaan lain di pasar domestik yang kemudian mengekspor barang dan jasa tersebut ke mitra rantai pasokan atau pelanggan di luar negeri (OECD, 2019). Dapat disimpulkan bahwa terganggunya rantai nilai global akan mengancam ketersediaan lapangan pekerjaan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Di saat yang bersamaan, dukungan terhadap perdagangan internasional akan turut mendukung penyediaan lapangan kerja bagi sangat banyak laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan kelancaran perdagangan global dalam rangka menjamin kestabilan ekonomi global.

Masalah lain yang juga penting disorot adalah inklusivitas dan keberlanjutan dalam industri perdagangan dan investasi. Pada aspek inklusivitas, baik dalam perdagangan barang maupun jasa, partisipasi negara- negara least developed countries (LDCs) masih sangat tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju dan negara berkembang lainnya. Pada tahun 2018 (Grafik 2.12), partisipasi LDCs hanya mencapai sekitar 20% dari total ekspor barang dan jasa global, sementara partisipasi kawasan negara berkembang lainnya mampu mencapai lebih dari 40% untuk ekspor barang dan sekitar 30% untuk ekspor jasa (United Nations Inter-agency Task Force on Financing for Development, n.d.).

Page 35: Recover Together, Recover Stronger

20 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 2.12 Partisipasi LDCs dan Negara Berkembang dalam Perdagangan Barang (Kiri) dan Perdagangan Jasa (Kanan) di Tingkat Global Sumber: United Nations Inter-agency Task Force on Financing for Development. (n.d.). Trade and the sustainable development goals.

(https://developmentfinance.un.org/trade-and-sustainable-development-goals)

Dalam industri investasi, aliran masuk foreign direct investment (FDI) di tingkat global juga masih menunjukkan perbedaan yang signifikan antara FDI yang diterima oleh negara-negara maju, berkembang, dan ekonomi transisi. Meskipun demikian, jumlah masuknya FDI ke negara maju dan berkembang mulai mencapai titik temu keseimbangan sejak tahun 2018 (Grafik 2.13). Pada tahun 2020, dengan total aliran masuk FDI global sebesar 1 triliun Dolar AS, negara-negara berkembang berhasil menerima jumlah FDI terbesar yang mencapai 66% dari total aliran masuk FDI global, yakni sebesar 663 miliar Dolar AS. Negara-negara maju justru mengalami penurunan yang signifikan sehingga hanya mendapatkan penerimaan investasi sebesar 312 miliar Dolar AS, sementara negara-negara dengan ekonomi transisi hanya mencakup sebesar 24 miliar Dolar AS (UNCTAD, 2021).

Grafik 2.13 Jumlah Aliran Masuk FDI Global dan di Beberapa Kelompok Ekonomi Negara

Sumber: UNCTAD. 2021, hlm. 2. World Investment Report 2021: Investing in Sustainable Recovery. (https://investmentpolicy.unctad.org/

publications/1249/world-investment-report-2021---investing-in-sustainable-recovery)

Melihat kondisi-kondisi di atas (kekuatan pemulihan masih belum pasti, perdagangan yang masih akan tetap rentan terhadap kemunduran selama pandemi berlanjut, dan masih kurangnya inklusivitas industri perdagangan dan investasi global), penting untuk memastikan sistem perdagangan yang kuat dan adil dalam rangka mendukung produktivitas sektor-sektor strategis sambil tetap menerapkan prinsip keberlanjutan. Sektor-sektor strategis yang dimaksud mencakup (1) sektor pertanian dan kehutanan dan industri hilir yang

Page 36: Recover Together, Recover Stronger

21 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

menyertainya (sudah dibahas pada subbab 2.4 “Pangan dan Malnutrisi”; (2) sektor pariwisata dan industri jasa di hilir yang menyertainya; (3) sektor ekonomi digital dengan segala industri turunannya, termasuk isu- isu strategis yang menyertainya, seperti keamanan siber, hak kekayaan intelektual (HAKI), pajak digital, dan sebagainya; (4) sektor industri kreatif dengan segala industri turunannya, termasuk isu-isu strategis yang menyertainya, terutama HAKI.

Dalam sektor pariwisata, industri perjalanan dan pariwisata menyumbang 1 dari 4 pekerjaan baru yang diciptakan di seluruh dunia (sebelum pandemi). Ini berarti sekitar 10,6% dari semua pekerjaan (334 juta) dan 10,4% dari PDB global (9,2 triliun Dolar AS). Sementara itu, pengeluaran yang dibuat para wisatawan internasional mencapai nilai sebesar 1,7 triliun Dolar AS pada 2019. Ini berarti 6,8% dari total ekspor global, tepatnya 27,4% dari ekspor jasa global (WTTC, n.d.). Namun, setelah terjadinya pandemi COVID-19, secara global, kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2020 berkurang menjadi hanya 381 juta (-74%). Perkiraan kerugian nilai ekspor adalah sebesar 1,3 triliun Dolar AS (-4%). Ini adalah 11 kali lipat kerugian pendapatan sewaktu krisis keuangan tahun 2009. Selain itu, diperkirakan 120 juta pekerjaan di sektor pariwisata menjadi terancam (UN-WTO, 2020).

Sektor ekonomi digital merupakan salah satu sektor lain yang dalam 5 tahun terakhir ini menunjukkan signifikansinya dalam perekonomian global. Diprediksikan bahwa tingkat investasi di sektor ekonomi digital akan semakin pulih dari goncangan pandemi dan akan dapat menyusul kembali tren sebelum pandemi (pra- krisis) pada tahun 2022 kelak (UNCTAD, 2020).

Namun, terdapat sejumlah tantangan dalam merealisasikan potensi produktivitas ekonomi digital. Pertama, isu kesenjangan digitalisasi antarnegara. Walaupun negara berkembang menikmati pertumbuhan kepemilikan telepon pintar (smartphone) dan penggunaan broadband seluler dalam tingkat yang lebih cepat dibandingkan negara maju dalam beberapa tahun terakhir, masih ada dua kali lipat lebih banyak pengguna broadband seluler per 100 penduduk di negara maju dibandingkan di negara berkembang (GSMA, 2018 dalam FAO, 2019). Eropa Utara menempati urutan pertama dengan tingkat penetrasi Internet 96% dari populasi (DataReportal, 2021). Sementara itu, negara-negara di Afrika menempati urutan bawah, dengan tingkat persentase terendah sebesar 24,4% di kawasan Afrika Timur (DataReportal, 2021)

Kesenjangan digitalisasi antara belahan dunia Utara dan Selatan menuntun pada dua masalah terkait ekonomi digital. Masalah pertama adalah belum diterapkannya sebuah indikator literasi digital global yang diakui secara tegas. Negara-negara tidak akan dapat memanfaatkan potensi penuh dari investasi digital tanpa peta petunjuk untuk membangun program keterampilan digital yang komprehensif untuk penduduk mereka (G20 Insights, 2017). Masalah kedua adalah lambatnya tercapai kesepakatan perihal tata kelola data (data governance). Sejauh ini, tidak terdapat satu entitas tunggal yang terotorisasi untuk melakukan tata kelola Internet secara terpusat. Internet cenderung diatur secara bercampuran oleh berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Permasalahannya, masing-masing pemangku kepentingan acap kali memiliki perbedaan pandangan tentang tata kelola Internet (UNODC, n.d.).

Sektor penting lain yang harus diperhatikan dalam tata kelola ekonomi global adalah UMKM. Peningkatan produktivitas UMKM penting dilakukan karena UMKM turut berkontribusi signifikan dalam isu ketenagakerjaan melalui perluasan lapangan kerja. Dari 36 negara, persentase perusahaan mikro dan perusahaan besar masing-masing mempekerjakan 31% dari seluruh populasi yang bekerja. Adapun perusahaan menengah mempekerjakan 21% dan perusahaan kecil mempekerjakan 18% (OECD, 2019). Memupuk jiwa kewirausahaan pun dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab isu ketenagakerjaan sebagaimana yang dipaparkan di Subbab 2.3 berjudul “Ketenagakerjaan dan Pendidikan.” Dengan kewirausahaan, mereka dapat menciptakan lapangan kerja bagi mereka sendiri dan orang lain.

Sektor keempat yang juga perlu mendapat perhatian adalah ekonomi kreatif. Industri kreatif sangat penting untuk agenda pembangunan berkelanjutan karena peran sektor tersebut dalam merangsang inovasi, mengembangkan sektor jasa, mendukung kewirausahaan, berkontribusi pada keragaman budaya, dan

Page 37: Recover Together, Recover Stronger

22 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

mendukung transformasi digital (UNCTAD, 2021). Per tahun 2015, ekonomi kreatif menyumbang sekitar 3% dari PDB global (UNCTAD, 2021). Menurut perkiraan 2017, ekonomi kreatif akan mewakili sekitar 10% dari PDB global di tahun-tahun mendatang dan menghasilkan pendapatan tahunan sebesar 2,250 miliar Dolar AS dan ekspor global lebih dari 250 miliar Dolar AS (UNESCO, 2017). Selama periode 2002-2015, nilai pasar global untuk barang kreatif meningkat dua kali lipat dari 208 miliar Dolar AS pada tahun 2002 menjadi 509 miliar Dolar AS pada tahun 2015. Tingkat pertumbuhan ekspor untuk perdagangan global barang kreatif mencapai lebih dari 7% selama 13 tahun (UNCTAD, 2019). Dari semua perdagangan jasa untuk 38 negara, jasa kreatif mewakili porsi rata-rata 18%, tumbuh dari 17,3% pada 2011 menjadi 18,9% pada 2015 (UNCTAD, 2019). Menurut sebuah laporan pada tahun 2017, industri budaya dan kreatif menyediakan hampir 30 juta pekerjaan di seluruh dunia dan mempekerjakan lebih banyak orang berusia 15-29 tahun daripada sektor lainnya. Hampir setengah dari orang yang bekerja di industri budaya dan kreatif adalah perempuan (EY, 2015). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sektor ekonomi kreatif dapat menjadi sektor yang sangat penting bagi perekonomian global yang lebih inklusif.

Memasuki pandemi COVID-19, ekonomi kreatif menjadi sangat dipengaruhi oleh protokol kesehatan dan pembatasan perjalanan. Di satu sisi, sektor ini melibatkan banyak kegiatan yang dilaksanakan secara tatap muka, seperti teater, konser, tur musik dan festival. Di sisi lain, ekonomi digital yang bersifat lintas batas telah tumbuh secara dramatis dan dengan demikian memfasilitasi ekonomi kreatif yang banyak mengandalkan platform daring karena semakin banyak konsumen dan pembuat konten beralih ke platform digital (WTO, 2021). Belum ada perkiraan baru untuk ekonomi kreatif pada tahun 2020, tetapi diyakini bahwa prospeknya akan tampak suram. Pada tahun 2020 saja, perkiraan kerugian akibat pembatalan pertunjukan publik telah merugikan sekitar 30% dari royalti global dan merugikan industri film global sampai sekitar 7 miliar Dolar AS. COVID-19 telah memberikan pukulan telak bagi industri kreatif, yang mempekerjakan lebih dari 30 juta orang di seluruh dunia, sebagian besar adalah kaum muda (UNCTAD, 2021).

Page 38: Recover Together, Recover Stronger

23 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

BAB 3

ANALISIS ISU-ISU PRIORITAS PRESIDENSI G20 INDONESIA

Berdasarkan paparan di Bab 2, setidaknya terdapat tujuh kata kunci berikut yang penting dihadirkan dalam isu prioritas Presidensi G20 Indonesia: (1) produktivitas; (2) ketahanan; (3) pemberdayaan; (4) kesetaraan; (5) inklusivitas; (6) keberlanjutan; dan (7) tata kelola global atau multilateralisme. Kata-kata kunci tersebut akan menjadi rujukan dalam menganalis isu-isu prioritas yang akan dikedepankan oleh Presidensi G20 Indonesia.

Bab 3 ini terdiri dari dua sub bab utama. Pada bagian pertama Bab 3 ini akan disampaikan pembahasan tentang isu-isu prioritas Presidensi G20 Indonesia dengan data-data statistik yang relevan sebagai basis argumentasi untuk menjustifikasi rumusan kebijakan selanjutnya. Sebagaimana sudah disebutkan di Bab 1, isu-isu prioritas Presidensi G20 Indonesia dikelompokkan ke dalam lima isu prioritas berikut, yaitu (1) Mempromosikan Produktivitas (Promoting Productivity), (2) Meningkatkan Ketahanan dan Stabilitas (Increasing Resiliency and Stability); (3) Menjamin Pertumbuhan yang Berkelanjutan dan Inklusif (Ensuring Sustainable and Inclusive Growth); (4) Iklim dan Kemitraan yang Memungkinkan (Enabling Environment and Partnership); dan (5) Menguatkan Kepemimpinan Kolektif Global (Forging Collective Global Leadership). Kesemuanya diletakkan bawah tema besar “Recover Together, Recover Stronger” yang telah menjadi tema resmi untuk Presiensi G20 Indonesia.

Pada bagian kedua, dipaparkan analisis terhadap isu-isu yang dianggap memiliki saling keterkaitan (cross- cutting) dan merepresentasikan tujuh isu kunci (key priorities) dari permasalahan global yang sudah disebutkan di alinea awal bab ini. Selain itu isu-isu tersebut dianggap merepresentasikan kepentingan nasional Indonesia yang paling mendasar saat ini, baik dalam rangka pemulihan ekonomi pasca-COVID-19 maupun dalam rangka meletakkan dasar-dasar kebijakan transformatif yang diperlukan. Isu-isu yang dimaksud adalah: (1) penguatan UMKM; (2) pemberdayaan pemuda dan perempuan; (3) pemenuhan hak penyandang disabilitas; (4) penguatan pendidikan vokasi; (5) pengembangan ekonomi digital.

3.1 Pemaparan Lima Isu Prioritas Presidensi G20 Indonesia

3.1.1 Mempromosikan Produktivitas

Meskipun kehadiran pandemi COVID-19 selama hampir dua tahun ini (Desember 2019—Mei 2021) telah berdampak cukup signifikan terhadap kondisi sosial ekonomi negara-negara di berbagai belahan dunia, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan akan kembali normal pada pertengahan 2021. Menurut Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund [IMF]), tingkat pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai 6% (meningkat dari proyeksi awal tahun) seiring pemulihan ekonomi yang cepat di negara-negara maju dan munculnya gerakan vaksinasi massal pada 2021 (World Bank Blogs, 2021).

Optimisme ini tentunya perlu didukung dengan langkah-langkah kebijakan yang dapat memberikan fondasi agar peningkatan produktivitas dapat berlangsung stabil dan berkelanjutan. Untuk itu, penting diperhatikan sektor-sektor strategis yang memiliki potensi untuk mengembangkan potensi tenaga kerja di kalangan pemuda dan perempuan. Logika sederhananya adalah bahwa pemuda adalah pemilik masa depan dan bagi Indonesia khususnya, jumlah pemuda akan bertambah signifikan menjelang tahun 2030 dengan adanya “bonus demografi.” Sedangkan untuk perempuan, jumlah mereka saat ini terhitung cukup signifikan. Dalam konteks Indonesia, proporsinya sudah melampaui jumlah laki-laki. Jumlah pekerja perempuan juga diperkirakan cukup signifikan, khususnya di sektor informal atau UMKM. Atas dasar ini, maka sektor-sektor strategis yang harus dikembangkan meliputi (1) kepemudaan dan ketenagakerjaan; (2) pertanian; (3) ekonomi digital dan penguatan UMKM; (4) pendidikan dan vokasi; dan (5) pemberdayaan perempuan.

Page 39: Recover Together, Recover Stronger

24 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.1.1 Kepemudaan dan Ketenagakerjaan

Sebagaimana sudah dipaparkan dalam Bab 2, isu pemberdayaan pemuda, khususnya dalam pasar tenaga kerja, merupakan isu global yang sangat mendesak. Namun, penting untuk dicatat bahwa isu tersebut juga merupakan isu yang sangat penting bagi negara-negara anggota G20.

Grafik 3.1

Tingkat Pengangguran Pemuda di Negara-Negara G20 Tahun 2020

Sumber: World Bank, dikutip oleh Statista. 2020.Youth unemployment rate of G20 countries in 2020. (https://www.statista.com

statistics/723156/g20-youth-unemployment-rate-by-country/)

Sebagaimana tampak pada Grafik 3.1, sejumlah negara G20 seperti Afrika Selatan dan Italia bergumul dengan tingginya angka pengangguran pemuda. Sementara itu, beberapa negara G20 lain seperti Jepang dan Jerman memiliki angka pengangguran pemuda yang terbilang rendah (masing-masing 3,99% dan 5,29%). Di satu sisi, hal ini menunjukkan masih adanya ketimpangan dalam hal ketenagakerjaan pemuda antarnegara anggota G20. Di sisi lain, terlihat peluang bagi dilaksanakannya pertukaran informasi, pelatihan, dan berbagi praktik terbaik (sharing of best practices) antarnegara anggota G20 dalam mengatasi isu kepemudaan dan ketenagakerjaan.

Mendesaknya isu pemberdayaan pemuda di tingkat global dan regional juga dirasakan di tingkat nasional oleh Indonesia. Data per tahun 2020 juga menunjukkan bahwa pemuda, khususnya mereka yang berusia 8-23 tahun, merupakan kelompok usia terbesar di Indonesia, setara dengan 27,94% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2021). Sejak 1971, populasi penduduk Indonesia memang telah secara konsisten didominasi oleh penduduk usia produktif. Penduduk usia produktif diprediksikan akan terus mendominasi demografi Indonesia hingga setidaknya 2035 (BPS, 2011). Perlu investasi sebaik-baiknya pada “bonus demografi” ini sehingga mereka dapat menunjang produktivitas Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Dalam jangka menengah, partisipasi pemuda dalam lapangan kerja akan membantu membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang sempat terpuruk karena pandemi lewat peningkatan produktivitas industri, pendapatan domestik bruto, dan peningkatan taraf hidup. Dalam jangka panjang (setidaknya pasca 2035), para penduduk usia muda di masa sekarang akan menjadi penduduk usia dewasa atau dewasa muda di masa depan dan mereka inilah yang akan memimpin Indonesia kelak. Penting bagi mereka untuk mengikuti pekerjaan, pendidikan dan pelatihan yang dapat membantu

Page 40: Recover Together, Recover Stronger

25 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

menyiapkan mereka bagi tanggung jawab besar di masa mendatang.

Di Indonesia per tahun 2020, dapat dikatakan bahwa potensi produktivitas pemuda Indonesia masih belum maksimal diberdayakan. Jawa Barat menempati urutan teratas dengan tingkat NEET sebesar 28,8%, diikuti oleh Sulawesi Utara (28,6%) dan Gorontalo (27,0%). Tiga provinsi dengan NEET pemuda terendah adalah Bali (9,9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (13,7%), dan DKI Jakarta (17,5%) (Pattinasarany, 2019). Mengingat bahwa populasi penduduk Indonesia didominasi kelompok usia muda, maka rendahnya partisipasi pemuda dalam lapangan kerja (ditunjukkan melalui tingginya angka NEET) juga mengindikasikan adanya masalah pengangguran yang signifikan di Indonesia. Namun, angka NEET remaja yang rendah di suatu provinsi juga masih belum tentu berkorelasi dengan tingginya tingkat kesejahteraan di provinsi tersebut. Rendahnya tingkat NEET dapat disebabkan oleh pemuda yang bekerja di pekerjaan dengan produktivitas rendah di sektor informal (seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, dll) (Pattinasarany, 2019).

Alasan utama yang dipakai pemuda, khususnya perempuan (baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan) untuk menjelaskan tingginya angka NEET adalah keperluan untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga (50,7%). Sekitar 3,4% dari generasi muda di Indonesia menyebutkan bahwa mereka sangat putus asa dalam proses pencarian kerja dan sudah merasa bahwa mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan. Sebanyak 2,8% lainnya tidak berada dalam pendidikan, pekerjaan, ataupun pelatihan karena PHK atau karena kebangkrutan usaha yang mereka jalankan. Sebesar 1,5% menyatakan bahwa mereka tidak mencari pekerjaan ataupun menyiapkan diri untuk membuka usaha karena mereka merasa sudah memiliki pemasukan yang cukup (data Susenas MSBP, dalam Pattinasarany, 2019).

Secara umum, pekerjaan-pekerjaan yang stabil di sektor formal biasanya menuntut pendidikan tinggi atau keterampilan yang tinggi. Dengan memberikan akses pendidikan yang lebih merata, setiap individu akan mendapat kesempatan lebih besar untuk bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keahlian yang lebih tinggi dan dengan demikian lebih resisten terhadap automasi atau pemutusan hubungan kerja. Secara umum, pemberian pendidikan tinggi dan vokasi akan sangat dapat membantu memitigasi isu-isu ketenagakerjaan di atas. Yang terpenting adalah bahwa pendidikan diyakini dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja, memiliki daya saing lebih tinggi di era globalisasi, dan memberikan kemampuan untuk beradaptasi di era automasi.

Salah satu faktor yang menjelaskan rendahnya penyerapan tenaga kerja adalah kualitas tenaga kerjanya. Kurangnya pendidikan yang memadai membuat pemuda sulit mendapatkan pekerjaan, khususnya pekerjaan yang layak dan cukup untuk menyejahterakan mereka. Kalaupun mereka mendapat pekerjaan, mereka lebih berpeluang bekerja di sektor informal dibanding sektor formal. Adapun pekerjaan informal dicirikan oleh gaji yang rendah atau tidak stabil, jaminan hukum dan sosial yang minim, lingkungan kerja yang berbahaya, dan terbatasnya kesempatan yang tersedia bagi pengembangan karir atau untuk bertransisi ke sektor kerja formal (ILO, 2020). Di masa pandemi, sektor informal juga merupakan sektor yang paling banyak memutus hubungan kerja. Sektor informal juga merupakan sektor yang rawan terhadap automasi. Permasalahan ini secara khusus melanda pemuda dengan keahlian menengah dan pemuda lulusan pelatihan vokasional dibanding lulusan perguruan tinggi. ILO menyarankan agar para pemuda tidak bergantung pada satu jenis pekerjaan yang menuntut satu keahlian spesifik saja, khususnya apabila keahlian itu dapat diisi oleh teknologi, sebagaimana pekerjaan dalam industri manufaktur (ILO, 2020).

Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai solusi isu ketenagakerjaan merupakan topik yang juga sangat relevan bagi Indonesia. Menurut penelitian Institute for Management Development (IMD), daya saing tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibandingkan tenaga kerja sejumlah negara ASEAN lain, seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Secara global, Indonesia berada di peringkat ke-47 dari 63 negara (KataData, 2019). Dengan demikian, Indonesia juga masih sangat perlu untuk meningkatkan daya saing tenaga kerjanya.

Page 41: Recover Together, Recover Stronger

26 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan pemuda merupakan isu mendesak yang sedang dan perlu diangkat dalam Presidensi G20 mengingat pengaruhnya yang besar dalam upaya pencapaian TPB/SDGs dan pemulihan ekonomi pasca-COVID-19 di level global, regional dan nasional. Karena itulah, sudah sepantasnya Presidensi G20 tahun 2022 mendatang menjadikan pemberdayaan pemuda sebagai isu nomor satu dalam prioritas peningkatan produktivitas.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Kepemudaan dan Ketenagakerjaan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

3.1.1.2 Pertanian yang Berkelanjutan

Persoalan kurangnya jumlah petani muda tidak dapat dilepaskan dari kondisi minimnya kesejahteraan petani. Delapan puluh persen orang termiskin di dunia, atau 600 juta orang tinggal di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, tetapi bergumul dengan isu kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya akses ke pendidikan. Hampir setengah dari mereka adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun (FAO, 2020). Petani di seluruh dunia juga harus menghadapi persoalan panen yang buruk, benih dan pupuk yang mahal, dan harga pasar yang rendah untuk produk mereka. Buruknya kesejahteraan di daerah pedesaan, ditambah dengan dampak COVID-19 dan perubahan iklim, dapat menimbulkan dampak yang sangat mengkhawatirkan bagi masa depan sektor ini. Sebagai contoh, di India, ada setidaknya 10.280 petani yang sampai melakukan bunuh diri pada tahun 2019 (DownToEarth, 2020).

Di Indonesia, menurut survei dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan sebagaimana yang dikutip oleh Jakarta Globe (2016), 63% anak petani padi dan 54% anak petani hortikultura di Indonesia yang menjadi responden tidak ingin menjadi petani. Bukan hanya itu, 50% petani padi dan 73% petani hortikultura yang menjadi responden tidak menginginkan anaknya menjadi petani. Hal ini akan berkontribusi besar terhadap penurunan tenaga kerja di sektor pertanian. Apabila tren tersebut terus berlanjut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi bahwa pada tahun 2063, tidak akan ada lagi yang berprofesi sebagai petani di Indonesia (Yudhistira, 2021). Kondisi ini tentu sangat miris mengingat Indonesia sempat menjadi negara eksportir beras dan sampai sekarang masih banyak mengekspor produk pertanian seperti karet, sawit, kakao, dan kopi.

Inovasi dan teknologi digital dapat menjadi bagian dari solusi untuk meningkatkan produktivitas petani. Namun, walaupun terdapat potensi manfaat yang menjanjikan, proses digitalisasi juga membawa tantangan- tantangan tersendiri. Salah satu tantangan paling mendesak saat ini adalah kesenjangan petani, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan, dalam mengakses teknologi dan layanan digital (kesenjangan digital). Dari seluruh rumah tangga di seluruh dunia, diperkirakan hanya 37,7% rumah tangga di pedesaan yang memiliki akses Internet. Adapun tingkat akses Internet terendah dimiliki oleh daerah pedesaan di LDCs dengan besaran sekitar 11,8% (ITU, 2021). Dapat dikatakan bahwa kurangnya pelibatan teknologi digital dalam pertanian berlaku utamanya bagi para petani di negara-negara berkembang dan LDCs – negara-negara dengan mayoritas penduduk yang masih banyak mengandalkan sektor pertanian untuk bertahan hidup.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pertanian yang Berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

3.1.1.3 Pengembangan Ekonomi Digital dan UMKM

Kesenjangan digitalisasi antara belahan dunia Utara dan Selatan menuntun pada dua masalah terkait digitalisasi. Masalah pertama adalah belum diterapkannya sebuah indikator literasi digital global yang diakui secara tegas. Negara-negara tidak akan dapat memanfaatkan potensi penuh dari investasi digital tanpa peta petunjuk untuk membangun program keterampilan digital yang komprehensif untuk penduduk mereka (G20 Insights, 2017). Literasi digital juga menjadi makin penting di masa pandemi dengan semakin maraknya isu ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks (UNESCO, FGD UN DESA, 11 Juni 2021).

Page 42: Recover Together, Recover Stronger

27 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Kesenjangan kedua adalah lambatnya tercapai kesepakatan perihal tata kelola data (data governance). Sejauh ini, tidak terdapat satu entitas tunggal yang terotorisasi untuk melakukan tata kelola Internet secara terpusat. Internet cenderung diatur secara bercampuran oleh berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Permasalahannya, masing-masing pemangku kepentingan acap kali memiliki perbedaan pandangan tentang tata kelola Internet (UNODC, n.d.).

Selain kedua isu global tersebut, pemerintah masing-masing negara juga dihadapkan pada isu tata kelola perekonomian digital. Terdapat sejumlah isu penting dalam tata kelola ekonomi digital, yakni perpajakan digital, digitalisasi UMKM, dan hak kekayaan intelektual (HAKI). Ketiga isu ini merupakan isu yang mengemuka dari pertumbuhan pesat ekonomi digital khususnya di masa pandemi.

Secara khusus, UMKM perlu semakin mendapatkan dukungan untuk mengembangkan diri melalui digitalisasi. Digitalisasi berpotensi membuka peluang baru bagi sektor pertanian, perusahaan-perusahaan rintisan (start- ups) dan UMKM untuk berinovasi dan mengembangkan diri dalam rangka meningkatkan produktivitas. Sayangnya, masih cukup banyak permasalahan yang dihadapi dalam digitalisasi ekonomi ini, terutama bagi UMKM. Kebanyakan pengusaha kecil atau UMKM lebih tertinggal dalam digitalisasi dibandingkan perusahaan besar, sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik 3.2. Perusahaan besar dua kali lebih mungkin untuk membeli layanan komputasi awan (cloud computing) dibandingkan perusahaan kecil. Di Meksiko, kesenjangan ini sebesar 3 banding 1, sementara di Perancis hampir 4 banding 1 (OECD, 2019). UMKM juga dinilai kurang memperhatikan keamanan siber, cenderung tidak memiliki keterampilan untuk mengelola digitalisasi dan kurang memberikan pelatihan TIK pada karyawan (OECD, 2019).

Kurangnya ketersediaan sumber daya manusia yang terampil juga menjadi sumber penghambat proses digitalisasi UMKM. Pada tahun 2017, seperempat UKM di Uni Eropa melaporkan kurangnya staf terampil atau manajer berpengalaman sebagai masalah terpenting mereka (sebelum akses ke keuangan atau regulasi). Sementara itu, keterampilan manajerial sangat dibutuhkan untuk mengelola transformasi digital organisasi, khususnya dalam mereformasi struktur dan budaya organisasional yang menghambat adaptasi teknologi digital (OECD, 2019). Dalam konteks Indonesia, pemerintah telah memasang target bahwa sampai dengan tahun 2024, sebanyak 30 juta UMKM sudah melakukan digitalisasi. Namun, sampai Mei 2021, tercatat baru sekitar 13,5 juta atau 21% UMKM Indonesia yang telah melakukan digitalisasi (Laraspati, 2021).

Grafik 3.2

Perbandingan antara UMKM dan Perusahaan Besar dalam Mode Inovasi Internet di Seluruh Dunia Tahun 2016 atau Tahun yang

Tersedia. Sumber: OECD. 2019. OECD SME and Entrepreneurship Outlook 2019. (https://www.oecd.org/industry/smes/SME-Outlook-

Highlights-FINAL.pdf)

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pengembangan Ekonomi Digital dan UMKM dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Page 43: Recover Together, Recover Stronger

28 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.1.4 Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Vokasi

Peran institusi pendidikan sebagai aktor penting jaringan inovasi global merupakan peran yang sudah diakui secara umum dalam G20. Namun, data global menunjukkan bahwa kualitas pendidikan masih terlalu terkonsentrasi pada negara-negara Utara. Pada tahun 2021, baik dari peringkat keseluruhan maupun posisi tertinggi, Amerika Serikat dan Inggris menjadi dua negara yang paling terwakili dalam daftar 200 universitas terbaik menurut World University Ranking. Negara-negara dari kawasan Asia, seperti Korea Selatan dan Tiongkok memang cukup banyak memiliki universitas dalam daftar tersebut, tetapi jumlahnya masih tertinggal dari negara-negara Utara lain seperti Jerman, Australia dan Belanda. Di antara 1.400 universitas dari 92 negara, universitas dari Asia dan Afrika hanya menempati 12% dari 200 teratas pada tahun 2021. Sebesar 88% sisanya merupakan universitas dari Utara, dengan universitas dari Amerika Serikat dan Inggris masing-masing terdiri dari 27% dan 10%. Komposisinya mirip dengan tahun 2020 (Times Higher Education, 2021).

Pada Presidensi Italia 2020, salah satu fokus yang diajukan adalah “Riset dan Pendidikan Tinggi.” Salah satu isu dari fokus itu adalah memastikan konektivitas dan infrastruktur dengan mengoptimalkan potensi kolaborasi yang disediakan oleh teknologi digital. Pada Presidensi Arab Saudi 2019, juga terdapat poin mengenai internasionalisasi dalam pendidikan, khususnya dalam lingkungan belajar dan kolaborasi. TPB/SDGs juga mendukung peran tersebut, bahkan secara khusus menjadikan kerja sama dan jejaring inovasi global sebagai salah satu sasarannya, sebagaimana yang tampak dalam TPB/SDGs nomor 17 (“Kemitraan untuk Mencapai Tujuan”). Salah satu poin turunan dari tujuan nomor 17 di bidang teknologi secara spesifik bahkan berisi peningkatan kerja sama (baik kerja sama Utara-Selatan, Selatan-Selatan, segitiga regional, maupun internasional) dalam akses terhadap sains, teknologi dan inovasi melalui mekanisme fasilitasi teknologi global.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Vokasi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

3.1.1.5 Pemberdayaan Perempuan

Isu kesenjangan gender dalam ketenagakerjaan merupakan isu yang patut diperhatikan negara-negara G20 dalam upaya pembangunan ekonomi dan pemulihan pasca pandemi. Apabila tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan dalam lapangan kerja menurun, produktivitas faktor total suatu negara akan ikut menurun dan hal ini dapat berdampak negatif pada pendapatan negara. Efek ini tampak lebih menonjol bagi negara- negara berpenghasilan rendah (OECD, 2016). Di sisi lain, kesetaraan gender yang lebih besar akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengarah pada hasil pembangunan yang lebih baik. Ini berkontribusi untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan diversifikasi ekonomi dan, pada gilirannya, mendukung ketahanan ekonomi (IMF, 2018).

Salah satu faktor utama di balik kesenjangan gender dalam isu ketenagakerjaan, khususnya di masa pandemi, adalah profil pekerjaan yang diambil perempuan. Menurut data dari UN Women (2020), perempuan mendominasi di banyak industri yang paling terpukul oleh COVID-19, seperti industri layanan makanan, ritel, dan hiburan dengan total 40% atau 510 juta perempuan dari semua perempuan yang bekerja (dibandingkan 36,6% bagi laki-laki). Perempuan juga mendominasi lapangan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga (80% di antaranya adalah perempuan), sedangkan 72% asisten rumah tangga kehilangan pekerjaan mereka di masa pandemi. Bukan hanya itu, pekerjaan sebagai asisten rumah tangga cenderung kurang memiliki jaminan dan perlindungan kerja. Pariwisata juga merupakan salah satu sektor yang didominasi tenaga kerja perempuan Pada tahun 2018, persentase perempuan yang bekerja di sektor pariwisata mencapai angka 54% (UNWTO, 2018). Di masa pandemi, pariwisata global mengalami kerugian sekitar 1,3 triliun Dolar AS dan menghadapi ancaman hilangnya hingga 120 juta pekerjaan (UNWTO, 2021). Dengan demikian, kerugian dalam sektor pariwisata juga berdampak langsung pada hilangnya lapangan pekerjaan bagi banyak perempuan. Adapun sektor lain yang didominasi perempuan adalah layanan kesehatan garis depan.

Page 44: Recover Together, Recover Stronger

29 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Secara global, 70% petugas kesehatan dan pelayan garis depan adalah perempuan. Namun, masih terdapat kesenjangan upah antargender (gender pay gap) di sektor kesehatan dengan angka sekitar 28%. Angka tersebut lebih besar di atas rata-rata kesenjangan upah gender secara umum yang hanya 16% per 2020).

Faktor lain yang menjadi sumber penghalang produktivitas perempuan dalam dunia bisnis dan ketenagakerjaan adalah adanya berbagai diskriminasi gender di tempat kerja yang dilegitimasi oleh hukum. Sebagai contoh, menurut laporan World Bank (2018), terdapat 104 negara yang secara hukum masih mencegah perempuan bekerja di pekerjaan-pekerjaan tertentu, 59 negara belum memiliki undang-undang tentang pelecehan seksual di tempat kerja, dan 18 negara masih mengizinkan suami untuk secara hukum mencegah istri mereka bekerja. Walaupun memang telah terdapat banyak kemajuan dalam kesetaraan gender di dunia bisnis sejak 2017, khususnya di Arab Saudi, data World Bank (2020) mengungkapkan bahwa rata-rata perempuan hanya memiliki tiga perempat dari hak hukum yang diberikan kepada laki-laki. Oleh karena itu, G20 masih perlu meneruskan upaya untuk memajukan kesetaraan gender dalam bisnis melalui reformasi hukum.

Namun, masalah-masalah yang telah disebutkan di atas tidak serta merta berarti bahwa dunia belum mencapai kemajuan penting dalam pemberdayaan perempuan di tempat kerja. Sejak 2019, sebagian besar negara G20 sudah mencapai kemajuan dalam upaya mengurangi kesenjangan gender. Namun, pandemi berisiko mengikis kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam kesetaraan gender dalam isu ketenagakerjaan. Secara umum, pandemi memang berdampak pada peningkatan angka pengangguran bagi laki-laki dan perempuan. Namun, menurut laporan UNCTAD (2021), tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan secara global menurun lebih cepat. Selain itu, terdapat banyak orang yang“menyerah” dan akhirnya berhenti mencari pekerjaan di masa pandemi. Orang-orang ini disebut sebagai “tenaga kerja potensial” atau tenaga kerja yang masih kurang terpakai. Perempuan mendominasi kategori ini dengan jumlah sekitar 85 juta (11%), sedangkan laki-laki yang termasuk dalam kategori hanya ada berkisar 55 juta (7,1%) (ILO, 2019). Oleh karena itulah, angka pengangguran terbuka perempuan tampak meningkat lebih rendah dari laki-laki, walaupun di lapangan masih banyak perempuan yang tidak bekerja dan berhenti mencari kerja.

Menimbang pemaparan di atas, maka untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dalam sektor ekonomi/ bisnis, negara-negara G20 perlu turut meningkatkan kesadaran publik mengenai pemberdayaan perempuan. Salah satu strategi yang layak memperoleh perhatian adalah kampanye lewat media sosial. Melonjaknya penggunaan media sosial dan teknologi oleh perempuan membuka peluang untuk mempopulerkan isu kesetaraan gender dan masalah hak-hak perempuan, baik kepada publik, media, sampai kelompok-kelompok pembuat kebijakan. Media sosial telah terbukti dapat menarik perhatian publik yang lebih luas, mendorong aksi, hingga menggerakan para pembuat kebijakan dalam isu-isu hak-hak perempuan. Kesuksesan kampanye tagar #BringBackOurGirls pada 2013, kampanye #HeforShe pada 2014, dan gerakan media sosial seperti #MeToo merupakan segelintir studi kasus yang dapat membuktikan bahwa media sosial dapat sangat mendukung program peningkatan kesadaran publik terhadap isu-isu pemberdayaan perempuan (OECD, 2015). Kesenjangan gender yang cukup besar dalam dunia bisnis seharusnya memotivasi pengambil kebijakan untuk meningkatkan kesetaraan gender di pasar tenaga kerja global dalam rangka pemenuhan Target 25x25 sebagai hasil kesepakatan G20 Brisbane, memenuhi target TPB/SDGs nomor 5, dan pemulihan ekonomi pascapandemi.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pemberdayaan Perempuan dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Page 45: Recover Together, Recover Stronger

30 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Tabel 3.1 Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 1 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan

Isu

Working Group TPB/SDGs

Terkait

Capaian yang Diharapkan

Pemberdayaan

Pemuda

Education WG;

Employment

WG; Tourism WG;

Agriculture WG;

Digital Economy

WG

1, 2, 3, 4, 8, 9,

10, 11, 13, 17

• “Peningkatan partisipasi pemuda di pasar tenaga kerja yang layak

secara ekonomis dan sosial

• Peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan bagi pemuda

sehingga berpotensi menjadi tenaga kerja yang berkualitas dan

memiliki kapasitas produktivitas yang tinggi.

• Pemberian kesempatan yang luas bagi pemuda untuk masuk

ke dalam ekosistem ekonomi digital melalui pendidikan

kewirausahaan, literasi digital, pendidikan vokasi, dan sebagainya

yang berkesesuaian dengan kebutuhan pasar

• Perbaikan sistem pendidikan di tingkat menengah (kejuruan)

dan di tingkat perguruan tinggi (vokasi), baik pada aspek SDM

(guru), kurikulum, infrastruktur dan prasarana agar link-and-match

dengan kebutuhan dan tantangan dunia usaha dan industri di era

transformasi digital

• Peningkatan kerja sama global untuk mendukung pengembangan

kualitas pendidikan yang inklusif, berkelanjutan, dan berkemajuan

• Pengembangan sistem proteksi pekerja yang mengacu kepada

prinsip-prinsip/norma global, seperti UN Global Compact

• Peningkatan partisipasi pemuda dalam pengembangan program

pertanian yang berkelanjutan dan pariwisata yang berkelanjutan

(green jobs and productivity)

• Berbagi praktik-praktik terbaik terkait program pemberdayaan

pemuda yang mengembangkan strategi kemitraan multipihak”

Pertanian yang

Berkelanjutan

Agriculture WG;

Trade, Industry

and Investment

WG; Digital

Economy WG

1, 2, 3, 8, 9,

10, 11, 12, 13,

15, 17

• Peningkatan praktik-praktik pengelolaan pertanian yang berpusat

pada pemberdayaan masyarakat lokal, memperhatikan daya

dukung alam secara berkelanjutan, dan dapat berkontribusi

terhadap ketahanan pangan serta keberlanjutan rantai pasokan

global

• Peningkatan kapasitas agrobisnis melalui investasi hijau (green

investment) di sektor pertanian

• Penguatan sistem dan produktivitas koperasi dan UMKM yang

bergerak di sektor pertanian melalui instrumen fiskal, transfer

teknologi, pendidikan vokasi yang relevan dan kerja sama untuk

stabilitas harga produk pertanian di pasar domestik dan global

• Peningkatan partisipasi koperasi dan UMKM yang bergerak di

sektor pertanian dalam ekosistem ekonomi digital

• Peningkatan konservasi lahan-lahan produktif, khususnya untuk

komoditi-komoditi pertanian strategis dalam rangka mendukung

less carbon agricultural development

Page 46: Recover Together, Recover Stronger

31 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Pengembangan

Ekonomi Digital dan

Penguatan UMKM

Digital Economy

WG; Trade,

Industry and

Investment WG

4, 8, 9, 10, 17 • Peningkatan pembangunan infrastruktur digital, terutama di

daerah-daerah terpencil yang berpotensi secara ekonomis, guna

memperkuat konektivitas untuk tujuan-tujuan produktif

• Peningkatan SDM dengan kualitas literasi digital yang baik,

khususnya di kalangan pemuda dan/atau pelaku UMKM (digitalisasi

UMKM) dalam rangka membentuk masyarakat digital yang solid

untuk meningkatkan produktivitas secara sosial dan ekonomi

• Penguatan tata kelola ekonomi digital global untuk pengautan

aspek-aspek: cross border data flow, data free flow with trust,

dan emerging technologies dengan prinsip kesetaraan dan

keberlanjutan

• Perlindungan kekayaan intelektual digital di bawah kolaborasi

antara negara berkembang dan negara maju

• Penguatan sistem perpajakan digital internasional yang

berkeadilan dan berkelanjutan untuk menjawab masalah dan

tantangan yang ada

• Pengembangan dialog multipemangku kepentingan tentang tata

kelola data digital dan praktik terbaik tata kelola data”

Peningkatan

Kualitas Pendidikan

dan Vokasi

Education WG;

Employment WG,

Digital Economy

WG

4, 8, 9, 10,

11, 17

• Penguatan institusi pendidikan tinggi sebagai jaringan inovasi

global kolaboratif yang bermanfaat bagi masyarakat dunia,

khususnya di negara-negara berkembang

• Peningkatan kerangka kerja sama antar institusi pendidikan tinggi,

khususnya untuk penguatan pendidikan vokasi yang memperkuat

produktivitas nasional dan global

• Penguatan strategi pentahelix untuk memperkuat link-and-

match antara dunia pendidikan dan dunia industri dalam rangka

meningkatkan kualitas lulusan dalam menjawab tantangan pasar

tenaga kerja dan kebutuhan dunia industri di era transformasi

digital”

Pemberdayaan

Perempuan

Empower

Initiative;

Education WG;

Tourism WG;

Employment WG

1, 2, 3, 5, 8,

9, 10

• Penguatan implementasi kebijakan terkait kesepakatan-

kesepakatan global atas prinsip-prinsip pemberdayaan perempuan

dalam sektor pendidikan dan tenaga kerja (khususnya di sektor

industri pariwisata dan pertanian)

• Penguatan kemitraan multipihak (public, private, dan civil society)

dalam pemberdayaan dan kepemimpinan perempuan untuk

kesejahteraan dan kemajuan

• Pengembangan kesadaran tentang isu pemberdayaan perempuan

melalui berbagai platform media sosial”

Sumber: Hasil olahan tim riset

Page 47: Recover Together, Recover Stronger

32 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.2 Meningkatkan Ketahanan dan Stabilitas

Isu prioritas kedua yang diusung oleh Indonesia adalah “Meningkatkan Ketahanan dan Stabilitas” (Increasing Resiliency and Stability). Prioritas ini berfokus pada lima isu, yaitu ketahanan pangan (food security), kesehatan masyarakat (public health), perlindungan sosial (social protection), ketahanan energi (energy resilience) dan perlindungan lingkungan hidup (environmental protection).

3.1.2.1 Ketahanan Pangan

Pada Presidensi Arab Saudi di tahun 2020 dan Italia di tahun 2019, isu ketahanan pangan digabungkan ke dalam isu pertanian. Pada Presidensi Indonesia, ketahanan pangan mendapatkan penekanan khusus dan dipisahkan dari isu pertanian karena ketahanan pangan merupakan isu sentral yang memiliki hubungan kritis dengan isu-isu lainnya. Isu ini juga secara khusus penting bagi negara-negara anggota G20. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Fixing Food 2021 oleh Barilla Center for Food and Nutrition dan The Economist-Intelligence Unit, terdapat 5 dari 20 negara anggota G20 yang berada dalam status perfoma terburuk (worst performing). Negara-negara tersebut adalah India, Indonesia, Meksiko, Saudi Arabia, dan Afrika Selatan. Negara dengan perfoma terburuk ditentukan dari tingginya angka kekurangan gizi dan sulitnya akses terhadap makanan di masa pandemi (The Economist Intelligence Unit and Barilla Foundation, 2021). Sementara itu, apabila kita mengacu pada data Economist Intelligence Unit’s 2020 Global Food Security Index (Gambar 3.1), tampak bahwa beberapa negara anggota G20 berada dalam status “perfoma menengah” (“moderate performance”) yang berarti bahwa ketersediaan pangan mereka berada di level sedang (tidak buruk, tetapi juga tidak baik). Negara anggota yang berada dalam status tersebut adalah Indonesia, India, dan Afrika Selatan. Sebelumnya pada tahun 2019, Indonesia dan Afrika Selatan berada pada status “perfoma baik” (“good performance”). Data di bawah ini memperlihatkan penurunan pada ketahanan pangan di dua negara tersebut (Economist Intelligence Unit, 2020).

Gambar 3.1 Ketahanan Pangan Global 2020

Sumber: Statista. 2020. The Global State of Food Security. (https://www.statista.com/chart/21209/best-and-worst-performing-countries-

for-food-security)

Secara khusus bagi Indonesia, ketahanan pangan nasional sedang mengalami penurunan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pada tahun 2019 (sebelum pandemi), angka ketahanan pangan di Indonesia menunjukkan angka 62 dari 100. Pada tahun 2020, angka ketahanan pangan Indonesia berdasarkan Global Food Security Index menunjukkan penurunan sehingga hanya berkisar 59.5% (Food Security Index, 2020). Lebih lanjut

Page 48: Recover Together, Recover Stronger

33 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

lagi, berdasarkan ulasan Databoks tahun 2020 (Grafik 3.3), untuk pertama kalinya Indonesia berada dalam tingkat kelaparan kategori moderat (19,1) — satu tingkat di bawah kategori perfoma baik (Databoks, 2020). Berdasarkan tren tahun-tahun sebelumnya, tingkat kelaparan di Indonesia mendapatkan selalu mendapatkan poin di kisaran angka 22, yakni 22,1 (2015), 21,9 (2016), 22 (2017), 21,96 (2018) dan 20,1 (2019). Capaian Indonesia tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung berada dalam kategori perfoma baik dalam menangani kasus kelaparan, tetapi COVID-19 telah turut menggoncangkan ketahanan pangan dan pengentasan kelaparan di Indonesia.

Grafik 3.3 Indeks Kelaparan di Indonesia (2000-2019)

Sumber: Tingkat Kelaparan Indonesia Masih Kategori Serius, Global Hunger Index, 2020. (https://databoks.katadata.co.id/

datapublish/2020/09/24/tingkat-kelaparan-indonesia-masih-kategori-serius#)

Berdasarkan paparan data di atas, tampak bahwa isu ketahanan pangan menjadi penting untuk diperhatikan karena kondisi dunia saat ini memperlihatkan kecenderungan terjadinya kerawanan pangan. Ketahanan pangan perlu diangkat menjadi salah satu isu prioritas dalam proposal kepemimpinan Indonesia di G20 karena relevan bagi negara-negara anggota G20 dan Indonesia, sekaligus berkaitan erat dengan pencapaian tiga tujuan dalam agenda TPB/SDGs, yaitu pengentasan kemiskinan (poverty eradication), pengentasan kelaparan (zero hunger), serta kualitas kesehatan (good health). Ketahanan pangan juga memiliki implikasi strategis bagi stabilitas sosial dan politik nasional suatu negara karena berkaitan dengan kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan setiap manusia serta basis pertumbuhan ekonomi terutama pada masa pandemi COVID-19.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Ketahanan Pangan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

3.1.2.2 Kesehatan Masyarakat

Kesehatan masyarakat merupakan isu penting selanjutnya dalam Prioritas 2. Pandemi COVID-19 menjadi persoalan utama dalam dua tahun terakhir (2019—2021). Semua negara berupaya mengatasi penyebaran COVID-19 melalui berbagai kebijakan seperti vaksinasi, penerapan protokol kesehatan, dan pembatasan aktivitas ekonomi maupun sosial. Kebijakan-kebijakan ini menghadirkan berbagai implikasi yang kemudian menempatkan pentingnya kesehatan masyarakat sebagai basis pertahanan dan stabilitas, baik di aspek ekonomi maupun sosial. Di beberapa negara maju yang merupakan anggota G20 seperti Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat dan Tiongkok, penyebab kematian tertinggi bervariasi.

Page 49: Recover Together, Recover Stronger

34 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Di Uni Eropa, misalnya, berdasarkan data tahun 2017, penyakit yang menyerang saluran darah, diikuti oleh kanker dan penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian tertinggi untuk negara-negara Eropa (Gambar 3.2) (OECD iLibrary, 2020). Sementara itu, tren penyebab kematian tertinggi di Inggris selama 5 tahun terakhir adalah demensia dan Alzheimer yang menyumbang 10,6% dari semua kematian di Inggris. Penyebab kematian kedua tertinggi di Inggris adalah penyakit jantung koroner dan diikuti oleh penyakit bronkus dan paru-paru. COVID-19 merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi nomor 8 (Terri-Ann Williams, 2020).

Gambar 3.2

Penyebab Kematian Tertinggi Negara Anggota Uni Eropa Tahun 2017 Sumber: OECD. 2017. Main causes of mortality. (https://www.oecd-ilibrary.org/sites/82129230-en/1/3/2/1/4/index.html?itemId=/

content/publication/82129230-en&_csp_=e7f5d56a7f4dd03271a59acda6e2be1b&itemIGO=oecd&itemContentType=book)

Sementara itu, penyebab kematian tertinggi di Amerika Serikat disebabkan oleh penyakit jantung, kanker, COVID-19, cedera, stroke, gangguan pernafasan, alzheimer dan diabetes (Grafik 3.4). Meskipun COVID-19 menjadi faktor utama penyebab kematian antara 2019 dan 2020, namun COVID-19 bukan satu-satunya. Penyakit jantung menunjukkan peningkatan signifikan sejak tahun 2012 yaitu naik 4,8%. Kematian karena diabetes dan cedera yang tidak disengaja juga naik lebih dari 10% (The Centers for Disease Control and Prevention, 2020).

Grafik 3.4 Penyebab Kematian Tertinggi di Amerika Serikat tahun 2021

Sumber: Statista. 2017. Covid-19 Was America’s Third Leading Cause of Death In 2020. (https://www.statista.com/chart/24558/leading-

causes-of-death-in-the-us/)

Page 50: Recover Together, Recover Stronger

35 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Adapun penyebab kematian tertinggi di Tiongkok adalah penyakit jantung (41,9%), kemudian disusul oleh kanker (26,9%), dan penyakit saraf seperti demensia (5,6%) dan sisanya adalah faktor kematian lainnya seperti kecelakaan, alkohol dan lain sebagainya (Statista, 2020). Berdasarkan laporan WHO, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pada tahun 2020 penyakit yang menyebabkan angka kematian tertinggi adalah penyakit jantung koroner atau iskemik. Sekitar 16% dari total kematian yang terjadi di dunia disebabkan oleh penyakit tersebut dan mengalami peningkatan pada tahun 2019 dan menewaskan 8,9 juta orang. Kemudian dilanjutkan dengan stroke, penyakit paru obstruktif kronis, infeksi saluran pernapasan bawah dan lain sebagainya (World Economic Forum, 2021). Dalam kasus Indonesia, penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia sebelum COVID-19, berdasarkan data Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2020 adalah penyakit yang dikategorikan sebagai Penyakit Tidak Menular (PTM). Jantung koroner, kanker, diabetes melitus, tuberkulosis dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) (Kemenkes, 2020).

Dari pemaparan di atas, tampak bahwa kepemimpinan global di sektor kesehatan tidak hanya perlu berfokus pada penanganan COVID-19. Kepemimpinan global perlu juga memperhatikan pengembangan infrastruktur (rumah sakit dan sarana prasarananya), SDM (jumlah dan kualitas tenaga medis dan dokter ahli), ketersediaan dan keterjangkauan obat-obatan dan vaksin, mekanisme pembiayaan, sistem penanganan, penguasaan teknologi dan tata kelola global untuk penyakit-penyakit selain COVID-19 sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Pandemi COVID-19 ini setidaknya berperan untuk membukakan mata para pemimpin global mengenai masih banyaknya kelemahan dalam isu kesehatan publik global, khususnya bagi negara-negara berkembang dan miskin.

Salah satu konsep yang dapat diterapkan untuk memudahkan pemerintah negara-negara dalam memanajemen kesehatan publik di negara masing-masing adalah penerapan konsep resilient cities (kota yang berdaya tahan). Selama dua tahun berlangsungnya pandemi COVID-19 (2019—2021 ini), kota-kota di seluruh dunia telah menjadi episentrum dari kemunculan dan penyebaran virus. Hal ini tentunya tidak lepas dari dinamika kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial dan budaya sehingga mobilitas dan interaksi manusia berlangsung di sana dengan intensitas tinggi. Sebagai contoh, di negara-negara G20 per tahun 2021, 92% penduduk Argentina tinggal di daerah perkotaan dengan tingkat urbanisasi sebesar 1.07%. Penghuni wilayah urban juga menempati persentase tinggi di Jepang (91%), Brazil (87%), Australia (86%), Arab Saudi (84%), Inggris (83%), Amerika Serikat (82%), Korea Selatan, Kanada, Prancis (masing-masing 81%), dan Meksiko (80%). Semua negara G20 lain memiliki tingkat penduduk urban yang cukup tinggi (di atas 50%) terkecuali India (34%). Adapun tingkat urbanisasi di negara-negara G20 bervariasi, mulai dari 2.42% (Tiongkok) hingga -0.14% (Jepang) (World Population Review, 2021). Data di atas menunjukkan bahwa populasi penduduk kota dan angka urbanisasi terbilang sangat tinggi dan kota pun memiliki peran besar dalam menjadi episentrum dari kemunculan dan penyebaran virus.

Di sisi lain, kota juga menjadi sumber solusi bagi permasalahan tersebut karena infrastruktur kesehatan, sistem informasi dan pusat pemerintahan serta pendidikan di kota lebih baik. Kota juga lebih berpeluang untuk mengembangkan kemitraan global melalui jejaring transnasional yang memungkinkan adanya pertukaran pengalamandaninformasi(bestpractices) yangbermanfaatuntukpenguatankapasitasinstitusionalpemerintah kota. G20 juga telah memiliki platform bagi kerja sama antarpemimpin kota untuk mengembangkan sistem pelayanan publik di kota yang adaptif. Sebagai contoh, C40 Cities telah menginisiasi terbentuknya forum pemimpin kota dari negara-negara anggota G20, yakni Urban 20 Mayors Summit. Forum ini telah mendorong peran kontributif pemimpin kota di negara-negara anggota G20 untuk mengimplementasikan area kerja prioritas G20 (C40 Cities, n.d.). Pada Juni 2019 silam, G20 bahkan telah membentuk The G20 Global Smart Cities Alliance. Aliansi ini bertujuan mendorong kerja sama pemerintah kota untuk memperkuat tata kelola teknologi dalam rangka mendukung efektivitas penyelesaian masalah-masalah pembangunan global di berbagai sektor, termasuk pelayanan kesehatan dan manajemen bencana. G20 pun menyadari pentingnya perwujudan ketahanan dan keberlanjutan kota karena diyakini bahwa dengan menguatnya urbanisasi global, maka posisi kota juga akan semakin strategis dalam pertumbuhan ekonomi global (G20 Global Smart Cities Alliance, n.d.). Sehubungan dengan itu, tawaran konsep resilient cities memiliki relevansi tinggi.

Page 51: Recover Together, Recover Stronger

36 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Rekomendasi penting G20 pasca-COVID-19 dalam prioritas kedua ini adalah mempromosikan konsep ketahanan kota (resilient cities). Konsep ini bertujuan untuk membangun ataupun memperkuat sistem dan kapasitas kesiapsiagaan serta respon pemerintah dan masyarakat di level kota terhadap berbagai bentuk kebencanaan (disasters) yang mengancam, baik keselamatan jiwa maupun kesejahteraan warga kota, termasuk ancaman pandemi.

Pembangunan resilient cities juga tidak dapat dilepaskan dari pengadaan sistem pelayanan kesehatan publik yang baik di kota-kota. Terkait dengan sistem pelayanan kesehatan publik, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh CEOWORLD tahun 2019, terdapat 10 negara dengan sistem kesehatan terbaik (Grafik 3.5). Dari data tersebut, tujuh di antaranya merupakan negara anggota G20. Secara global, Korea Selatan menempati posisi kedua di dunia. Ini menempatkan Korea Selatan sebagai negara G20 dengan kualitas sistem kesehatan terbaik di antara negara G20 lainnya. Selanjutnya, posisi kedua dan seterusnya bagi sistem kesehatan terbaik di G20 ditempati oleh Jepang, Austria, Denmark, Perancis, Belgium dan Australia. Sementara itu, Indonesia sebagai salah satu anggota G20 menempati posisi ke-52 di dunia (The Asean Post, 2021).

Grafik 3.5 Sistem Kesehatan Terbaik di Dunia Berdasarkan Negara

Sumber: The Asean Post. 2019. Healthcare: Why are Thais worried?. (https://theaseanpost.com/article/healthcare-why-are-thais-worried)

Selain infrastruktur kesehatan, kepemilikan teknologi digital kesehatan merupakan salah satu bagian esensial yang perlu diperhatikan bersama. Pasalnya, di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang pesat, pemanfaatan teknologi digital untuk kesehatan sangat rendah (Grafik 3.6). Saat ini pemanfaatan kesehatan di negara Australia, Austria, Denmark, Finlandia, Perancis, Italia, Jepang, Belanda, Norwegia, Swedia, Inggris dan Amerika Serikat (negara-negara sampel dalam penelitian OECD terkait teknologi digital kesehatan) menunjukkan pemanfaatan yang tidak maksimal dan cenderung rendah. Dikarenakan beberapa dari 10 negara ini merupakan negara yang memiliki sistem kesehatan baik, hal ini menunjukkan bahwa apabila pemanfaatan teknologi digital tidak berkembang tinggi di 10 negara ini, maka kemungkinan besar bahwa pemanfaatan teknologi di negara lainnya tidak menunjukkan performa baik (OECD, 2018).

Grafik 3.6

Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Kesehatan

Sumber: OECD. 2018. Digital health. (https://www.oecd.org/fr/sante/digital-health.html)

Page 52: Recover Together, Recover Stronger

37 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Walaupun pemanfaatan digital masih rendah, pemanfaatan digital pada bidang kesehatan memiliki potensi pasar yang besar, terutama sejak pandemi COVID-19. Terjadi peningkatan pasar sebesar 11,9% dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pada tahun 2020, perkembangan pasar kesehatan digital dalam skala global dinilai sebesar 96.5 miliar Dolar AS. Perkembangan ini diperkirakan akan berkembang sebesar 15,1% dari tahun 2021 ke tahun 2028 (Grand View Research, 2021). Di Indonesia, potensi pasar kesehatan digital terbagi dalam dua kategori yaitu dalam segi investasi dan pemberian dampak pelayanan kesehatan yang baik bagi penduduk Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2018, besar pasar untuk pelayanan kesehatan di Indonesia adalah 30,2 miliar Dolar AS dan perkembangan pasar dapat berada pada angka 9,7% (Latitudevp, 2018). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan teknologi untuk sektor kesehatan perlu untuk ditingkatkan mengingat bahwa potensi pasar pada sektor tersebut cukup besar.

Penjaminan kesehatan publik merupakan salah satu tujuan yang berusaha dicapai dari TPB/SDGs nomor 3, yaitu kehidupan sehat dan sejahtera. Tujuan ini berupaya untuk mendorong penanganan terhadap seluruh isu kesehatan melalui 38 target yang berada dalam payung TPB/SDGs nomor 3. Berdasarkan fakta kesehatan publik terbaru yang dipaparkan di atas, beberapa target yang dapat menjadi fokus Presidensi G20 Indonesia adalah sebagai berikut (Bappenas, 2021).

• Target 3.3: Pada tahun 2030, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan penyakit tropis yang terabaikan, dan memerangi hepatitis, penyakit bersumber air, serta penyakit menular lainnya.

• Target 3.4: Pada tahun 2030, mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan.

• Target 3.8: Mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses terhadap pelayanan kesehatan dasar yang baik, dan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dasar yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua orang.

• Target 3.b: Mendukung penelitian dan pengembangan vaksin dan obat penyakit menular dan tidak menular yang terutama berpengaruh terhadap negara berkembang, menyediakan akses terhadap obat dan vaksin dasar yang terjangkau, sesuai Deklarasi Doha tentang TRIPS Agreement and Public Health, yang menegaskan hak negara berkembang untuk menggunakan secara penuh ketentuan dalam Kesepakatan atas Aspek-Aspek Perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual terkait keleluasaan untuk melindungi kesehatan masyarakat, dan khususnya, menyediakan akses obat bagi semua.

• Target 3.c: Meningkatkan secara signifikan pembiayaan kesehatan dan rekrutmen, pengembangan, pelatihan, dan retensi tenaga kesehatan di negara berkembang, khususnya negara kurang berkembang, dan negara berkembang pulau kecil.

• Target 3.d: Memperkuat kapasitas semua negara, khususnya negara berkembang tentang peringatan dini, pengurangan risiko dan manajemen risiko kesehatan nasional dan global.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Kesehatan Masyarakat dapat dilihat pada Tabel 3.2.

3.1.2.3 Perlindungan Sosial

Isu penting ketiga yang perlu masuk dalam kelima prioritas Presidensi G20 Indonesia adalah perlindungan sosial (social protection). Isu ini sangat terkait dengan dampak COVID-19 dan diproyeksikan akan terus berlanjut dalam kaitannya dengan upaya pemulihan ekonomi pascapandemi. Sebagaimana sudah disampaikan dalam Bab 2, COVID-19 telah berdampak serius terhadap meningkatnya jumlah mereka yang kehilangan sumber- sumber penghidupan akibat aktivitas perekonomian yang melambat secara drastis seiring dengan mobilitas manusia dan interaksi yang sangat terbatas untuk meminimalisir penyebaran virus.

Page 53: Recover Together, Recover Stronger

38 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Kondisi kerentanan ini diperparah oleh kurang tersedianya perlindungan sosial bagi setidaknya 55% penduduk dunia. Khususnya dalam masa pandemi, minimnya perlindungan sosial bagi penduduk yang tergolong kelompok rentan akan bertalian erat dengan kesulitan-kesulitan lain yang bertumpuk di sektor pendidikan, HAM, ketersediaan pangan dan gizi (UNDP, 2020).

Perlindungan sosial menjadi salah satu jenis kebijakan yang ditempuh oleh beberapa negara dalam upaya penanganan dampak COVID-19. Perlindungan sosial memang merupakan langkah kebijakan yang logis ketika COVID-19 telah menyebabkan munculnya orang-orang miskin baru (“the new poor”) akibat kehilangan pekerjaan. Menurut laporan UNDP (UNDP, Juli 2021), sejauh ini telah ada 2,9 triliun Dolar AS yang diinvestasikan dalam kebijakan perlindungan sosial secara global. Namun, sayangnya, penyediaan perlindungan sosial cenderung disediakan secara terbatas bagi penduduk di negara-negara berpendapatan tinggi dan menengah ke atas. Dari angka tersebut, hanya $379 miliar yang digunakan oleh negara-negara berkembang. Rata-rata dana perlindungan sosial oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah hanyalah $124 per kepala. Situasi ini lebih buruk lagi bagi, negara-negara berpenghasilan rendah yang hanya dapat memberikan 4 Dolar AS per kepala. Sementara itu, rata-rata negara-negara berpenghasilan tinggi mengalokasikan 847 Dolar AS per kapita untuk perlindungan sosial sementara, termasuk bantuan dan asuransi. Dengan demikian, negara-negara kaya menghabiskan 212 kali lebih banyak per kapita daripada negara-negara miskin untuk bantuan sosial.

Situasi yang demikian membuat negara-negara kaya lebih mampu memitigasi meningkatnya angka kemiskinan. Adapun negara-negara berpenghasilan menengah rendah, dana bantuan sosial yang telah mereka gelontorkan tidak cukup untuk mencegah lonjakan kemiskinan, dan bahkan sama sekali tidak dapat menutup hilangnya pendapatan (bagi negara-negara berpenghasilan rendah) (UNDP, Juli 2021).

Adapun dalam konteks Indonesia, tercatat bahwa sampai dengan Februari 2021, Indonesia telah membelanjakan 699,43 triliun rupiah (atau sekitar 49,3 miliar Dolar AS) untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat COVID-19 (SMERU, PROSPERA, UNDP, UNICEF, Maret 2021). Namun nampaknya masih diperlukan kebijakan perlindungan sosial yang lebih ekspansif yang menjangkau seluruh masyarakat yang terdampak.

Dengan demikian, diperlukan perluasan ruang fiskal yang dapat memungkinkan semua negara dapat memberikan bantuan sosial yang layak bagi penduduk mereka. Menurut Achim Steiner, Administrator UNDP, cara ini terbukti “sangat hemat biaya dan efektif untuk mencegah orang jatuh ke dalam kemiskinan”. UNDP memperkirakan bahwa pemberian pendapatan dasar sementara (yang saat ini sedang diperjuangkan oleh UNDP) dapat mencegah peningkatan jumlah orang miskin ekstrem baru secara global, jika diterapkan pada semua rumah tangga miskin dan rentan di negara berkembang. Hal ini dapat dicapai dengan relatif sederhana, yakni dengan mendedikasikan hanya 0,5% dari produk domestik bruto (PDB) negara berkembang yang tersebar selama enam bulan untuk langkah-langkah terkait perlindungan sosial dalam wujud tunjangan (UN News, Juli 2021).

Selain perlindungan sosial bagi masyarakat yang berada dalam kategori rawan, perlindungan sosial bagi pekerja juga merupakan isu yang relevan dan strategis yang sering diangkat dalam forum G20. Isu ini tetap menunjukkan urgensi dan relevansi yang signifikan, terutama dalam situasi pandemi yang sangat berdampak kepada pemenuhan hak-hak dasar pekerja. Dalam indeks hak global yang dipublikasikan oleh International Trade Union Confederation pada tahun 2020, khususnya mengenai hak pekerja, dilaporkan bahwa masih terjadi pelanggaran hak pekerja secara sistemik di negara-negara kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika Utara (Gambar 3.3). Kawasan Afrika dan Amerika juga masih dihadapkan dengan pelanggaran hak pekerja yang terjadi secara rutin. Hanya kawasan Eropa yang sudah memiliki kondisi perlindungan pekerja yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya, namun tetap terdapat pelanggaran hak pekerja secara berkala (World Bank, 2021).

Page 54: Recover Together, Recover Stronger

39 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Gambar 3.3 Tingkat Perlindungan Hak Pekerja dalam Global Rights Index 2020

Sumber: International Trade Union Confederation. 2020, hlm. 11. 2020 ITUC Global Rights Index: The World’s Worst Countries for

Workers. (https://www.ituc-csi.org/IMG/pdf/ituc_globalrightsindex_2020_en.pdf).

Adapun negara-negara dengan perlindungan pekerja terburuk adalah Bangladesh, Brazil, Kolombia, Mesir, Honduras, India, Kazakhstan, Filipina, Turki, dan Zimbabwe. Dari 10 negara tersebut, tiga di antaranya (Brazil, India, dan Turki) merupakan negara anggota G20. Hal ini menunjukkan bahwa baik secara global maupun regional (G20), masih terdapat ketimpangan dalam perlindungan hak-hak pekerja (ITUC, 2020).

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Perlindungan Sosial dapat dilihat pada Tabel 3.2.

3.1.2.4 Ketahanan Energi

Investasi pada energi bersih (clean energy) menjadi salah satu solusi dalam mengatasi perubahan iklim atau isu lingkungan. Namun sayangnya, tingkat investasi untuk energi bersih masih terbilang rendah. Pada tahun 2019, investasi untuk energi bersih hanya berkisar 301,7 triliun Dolar AS di seluruh dunia (REN 21, 2020). Investasi di sektor-sektor tersebut diperkirakan mencapai 6,4 triliun Dolar AS dalam satu dekade mendatang (2014-2023) (World Bank, 2014). Adapun daya saing di sektor teknologi investasi dalam teknologi bersih (clean technology) adalah salah satu kunci untuk memastikan ketahanan energi. Oleh karena itu, peningkatan investasi teknologi dan energi bersih merupakan salah satu capaian yang dapat diupayakan Indonesia dalam kepemimpinannya di Forum G20 mendatang.

Signifikansi teknologi bersih ini tidak lepas dari keterkaitannya dengan pencapaian banyak tujuan TPB/SDGs yang tiga perempatnya berkaitan dengan isu lingkungan hidup. baik yang berada di kawasan perkotaan (urban areas) maupun pedesaan/pedalaman (rural areas). Misalnya saja, investasi infrastruktur untuk memberikan akses yang lebih luas dan merata terkait air bersih dan sanitasi sehat di perkotaan. Diperlukan juga investasi untuk mengatasi polusi di kawasan operasional PLTU-B (pembangkit listrik berbasis tenaga batu bara) yang selama ini cukup serius berdampak pada kesehatan masyarakat lokal di daerah-daerah pedesaan/pedalaman. Untuk itu, Indonesia tidak dapat hanya mendukung peningkatan investasi pada energi dan teknologi bersih. Diperlukan juga peningkatan (scaling-up) teknologi cerdas dan bersih (smart and clean technologies) dan percepatan inovasi sistem penyimpanan energi yang mendukung energi cerdas dan tangguh masa depan. Perlu diperhatikan juga bahwa keseluruhan poin ini berguna untuk satu hal mendasar: mengamankan ketahanan energi global pascapandemi dalam cara yang berkelanjutan.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Ketahanan Energi dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Page 55: Recover Together, Recover Stronger

40 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.2.5 Perlindungan Lingkungan Hidup

Isu perlindungan lingkungan hidup (environmental protection) masih terus menjadi isu yang dinamis dalam upaya pembangunan global sejak pelaksanaan Earth Summit di Rio de Janeiro 30 tahun lalu. Isu kelestarian lingkungan hidup merupakan agenda yang diupayakan untuk dicapai melalui TPB/SDGs, khususnya pada tujuan ke-6, 8, 12, 14, 15 dan 17. Isu lingkungan hidup pada dasarnya sangat variatif permasalahannya dan di banyak negara berkembang, mereka memiliki cross-cutting yang kuat dengan isu-isu pembangunan sosial ekonomi, seperti kesehatan, kemiskinan, pendidikan, transportasi, industri dan lain sebagainya. Namun demikian, konsentrasi pada isu perubahan iklim didasarkan pada berbagai dampak strategis yang bersifat multilevel dan multidimensi dan karenanya memerlukan multiperspektif dalam mengkaji potensi-potensi solutifnya, selain data faktual yang menunjukkan kecenderungan global yang masih mengkhawatirkan masyarakat dunia. Presidensi G20 Indonesia berupaya melanjutkan upaya pelestarian lingkungan sama seperti presidensi-presidensi sebelumnya. Namun, Indonesia dapat berfokus pada dua capaian utama.

Dunia memang telah menyaksikan kemajuan dalam pencapaian target TPB/SDGs, terutama dalam bidang perubahan iklim, bencana dan konflik, pengelolaan ekosistem, tata kelola lingkungan, bahan kimia dan limbah, efisiensi sumber daya dan lingkungan. Namun, berdasarkan Laporan Kinerja Program terbaru (2016– 2017), tantangan pada isu-isu di atas masih tetap ada dan karenanya diperlukan peningkatan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan (UNEP, 2018). Salah satu pemangku kepentingan yang juga penting dalam isu iklim dan lingkungan adalah investor global. Karena itu, diperlukan juga peningkatan aliran modal global untuk mendukung sasaran-sasaran hijau dan terkait iklim.

Selain pelibatan berbagai pemangku kepentingan, perlu juga untuk melibatkan perhitungan terhadap berbagai isu berbeda dalam perlindungan iklim dan pelestarian lingkungan (pendekatan holistik). Adapun salah satu isu yang tak boleh luput dalam perlindungan iklim dan pelestarian lingkungan adalah kontribusi laut/samudera (ocean). Hal ini karena laut memainkan peran mendasar dalam mengurangi perubahan iklim dengan berfungsi sebagai penyerap panas dan karbon utama. Laut juga sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, sebagaimana dibuktikan oleh perubahan suhu, arus, dan kenaikan permukaan laut yang semuanya mempengaruhi kesehatan spesies laut, dan ekosistem dekat pantai serta ekosistem laut dalam. Sekarang saja, lautan global sudah mengalami dampak signifikan dari perubahan iklim dan efek yang menyertainya, seperti pemanasan suhu udara dan air, perubahan musiman spesies, pemutihan karang, kenaikan permukaan laut, genangan pantai, erosi pantai, ledakan alga yang berbahaya, zona hipoksia (atau mati), penyakit laut baru, hilangnya mamalia laut, perubahan tingkat curah hujan, dan perikanan menurun. Ada pula bencana-bencana terkait laut seperti tsunami, banjir, badai, dan sebagainya. Karena itulah, hubungan timbal balik antara laut dan perubahan iklim harus diakui, dipahami, dan dimasukkan ke dalam kebijakan pemerintah global serta pembahasan G20 (The Ocean Foundation, n.d.).

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Perlindungan Lingkungan Hidup dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Page 56: Recover Together, Recover Stronger

41 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Tabel 3.2

Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 2 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan

Isu Working Group TPB/SDGs

Terkait Capaian yang Diharapkan

Ketahanan

Pangan

Agriculture WG;

Trade, Industry,

and Investment

WG

1, 2, 3, 11,

12, 15

• Penguatan implementasi kebijakan pembangunan pertanian yang

berkelanjutan yang berbasis pada masyarakat lokal dan daya dukung

ekosistem

• Peningkatan produktivitas pertanian yang memenuhi prinsip-prinsip

ketahanan pangan yang mencakup aksesibilitas (accessibility), keterjangkauan

(affordability), dan kualitas produk pangan (quality of food products)

• Penguatan jaringan kerja sama riset di antara para akademisi dan komunitas

epistemik di universitas dan lembaga-lembaga penelitian publik maupun

swasta dalam rangka memberikan dukungan saintifik untuk penguatan

kebijakan pertanian yang berkelanjutan dari hulu ke hilir, termasuk industri-

industri terkait pangan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan

dalam keseluruhan mata rantai sistem produksi (business-life cycle) dan rantai

nilai global (global value chain)

• Penguatan jaringan organisasi non-pemerintah yang dapat memberdayakan

pemuda dan perempuan dalam advokasi manajemen sampah makanan

berkelanjutan (sustainable food waste management)”

Kesehatan

Masyarakat

Health WG,

Digital Economy

WG

3, 11 • Rekomendasi G20 untuk memperkuat kapasitas kesiapsiagaan, memajukan

kemitraan multipemangku kepentingan (multistakeholders) dan

mempromosikan konsep ketahanan kota

• Tersusunnya rekomendasi G20 untuk memperkuat sistem kesehatan

transformatif melalui value-based health care (VBHC), kesehatan digital (digital

health) dan universal health coverage (UHC) untuk mengejar ketercapaian

TPB/ SDGs

• Terlaksananya G20 Call to Action untuk meningkatkan investasi dan inovasi

lebih banyak dalam diagnosis baru, senyawa baru dan antimikroba (Anti

Microbial Resistance) untuk tuberkulosis dan penyakit lainnya

• Penguatan sistem pengawasan (surveillance), kesiapsiagaan

(preparedness), dan respon (readiness) global serta mekanisme

multisektoral dalam implementasinya di tingkat nasional dalam rangka

memitigasi pandemi di masa depan”

Perlindungan

Sosial

Employment WG;

Trade, Industry

and Investment

WG

1, 8, 16 • Rekomendasi G20 untuk memperkuat jaminan sosial dalam menghadapi

dampak COVID-19

Ketahanan

Energi

Energy Transition

WG; Trade,

Industry, and

Investement

WG; Climate

Sustainability

WG

7, 9 • Rekomendasi G20 untuk mengamankan ketahanan energi global

pascapandemi melalui peningkatan investasi hijau (green investment) di sektor

energi

• Tersedianya laporan komprehensif tentang strategi penyediaan akses energi

modern/terbarukan bagi negara-negara kepulauan di kawasan Asia-Pasifik

Page 57: Recover Together, Recover Stronger

42 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

• Adopsi pedoman untuk peningkatan teknologi bersih dan cerdas

pascapandemi

• Tercapainya rekomendasi G20 untuk percepatan inovasi sistem penyimpanan

energi yang mendukung energi cerdas dan tangguh masa depan

• Tersedianya laporan tentang peran bioenergi dalam peredaran karbon”

Perlindungan

Lingkungan

Hidup

Environment WG;

Trade, Industry,

and Investement

WG; Climate

Sustainability

WG

8,12,13,

14,15,

dan 17

• Pembangunan kapasitas dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

• Penguatan kemitraan multipemangku kepentingan untuk melindungi

lingkungan hidup (ekosistem darat maupun lautan)

• Pengembangan diskusi ahli mengenai kontribusi laut/samudera (ocean) dalam

rangka perlindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim

• Peningkatan investasi hijau (green investment) melalui blended financing

dan kemitraan global untuk mendukung program-program mitigasi dan

adaptasi perubahan iklim serta pembangunan berkelanjutan”

Sumber: Hasil olahan tim riset

3.1.3 Menjamin Pertumbuhan Berkelanjutan dan Inklusif

Prioritas ketiga ini pada dasarnya memberikan penegasan bahwa untuk mampu bangkit lebih kuat (recover stronger), stabil dan berkelanjutan, baik di tingkat nasional maupun global, G20 perlu melakukan pergeseran paradigma. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi terbukti justru memperbesar kesenjangan, meningkatkan produksi emisi GHGs, merusak daya dukung alam di daratan maupun lautan, mengikis keanekaragaman hayati serta budaya lokal masyarakat. Oleh karenanya, untuk mewujudkan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif, perlu dilakukan sejumlah langkah kebijakan prioritas yang dapat memastikan berkurangnya angka kemiskinan secara signifikan, melindungi para pekerja dengan memberikan lingkungan kerja dan jaminan sosial yang lebih baik tanpa diskriminasi karena perbedaan jenis kelamin, agama ras maupun suku, mendorong kebijakan keuangan yang inklusif serta mewujudkan konsep pertumbuhan hijau dan biru (green and blue growth) pada sektor-sektor strategis yang berkontribusi penting terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya pariwisata (dengan konsep pariwisata berkelanjutan [sustainable tourism]). Analisis dan data-data faktual dan aktual dalam paparan berikut ini akan mendorong urgensi dan signifikansi dari pentingnya paradigma pembangunan berkelanjutan yang sudah disepakati secara formal sebagai Agenda Pembangunan 2030.

3.1.3.1 Pengentasan Kemiskinan

Pengentasan kemiskinan (poverty eradication) merupakan isu prioritas terpenting dalam prioritas ketiga ini. Dalam konteks TPB/SDGs, pengentasan kemiskinan bahkan merupakan tujuan pertama yang harus dicapai. Urgensi dan signifikansi isu pengentasan kemiskinan ini jelas karena memiliki hubungan kritis dengan pencapaian tujuan lain dalam TPB/SDGs, seperti ketersediaan pangan (zero hunger, Goal-2), kesehatan (good health, Goal-3), pendidikan (quality education, Goal-4), kesetaraan gender (gender equality, Goal-5), pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi (good jobs and economic growth, Goal-8), dan kesediaan infrastruktur dasar (clean water and sanitation, Goal-6).Dengan demikian isu kemiskinan bersifat multidimensional, kompleks dan struktural. Kemiskinan juga kini tersebar bukan hanya di kawasan pedesaan, tetapi juga perkotaan.

Sebagaimana sudah dipaparkan di Bab 2, kemunculan pandemi COVID-19 ikut berdampak peningkatan angka kemiskinan global. Kondisi tersebut juga memengaruhi beberapa negara anggota G20, khususnya negara negara berpendapatan menengah (middle-income countries). Adapun negara-negara anggota G20 yang ikut terdampak secara signifikan dalam isu ini adalah Indonesia, India dan Turki (United Nations University, 2020). Brookings Institution (2020) menyorot 12 negara berkembang yang tiga di antaranya adalah anggota G20 (India, Indonesia, dan Brazil) dalam isu peningkatan angka kemiskinan.

Page 58: Recover Together, Recover Stronger

43 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Sebagaimana tampak pada Grafik 3.7, India menempati peringkat pertama dalam peningkatan angka kemiskinan dengan jumlah 12 juta jiwa. Indonesia berada di urutan ketiga dari total 12 negara dengan penambahan angka lebih dari 2 juta jiwa. Brazil berada pada urutan kedelapan dengan penambahan lebih dari satu juta jiwa.

Grafik 3.7

Dampak COVID-19 Terhadap Jumlah Pertambahan Angka Penduduk Miskin di 12 Sampel Negara Sumber: Brookings. 2020. Turning back the Poverty Clock: How will COVID-19 impact the world’s poorest people?. (https://www.

brookings.edu/blog/future-development/2020/05/06/turning-back-the-poverty-clock-how-will-covid-19-impact-the-worlds-poorest-

people/)

Dalam konteks nasional Indonesia, hasil riset Smeru Institute menyatakan bahwa tingkat kemiskinan cenderung meningkat cukup tinggi (Grafik 3.8). Terhitung September 2019, tingkat kemiskinan yang sebesar 9,2% meningkat menjadi 9,7% di akhir 2020, yang berarti ada sebanyak 1,3 juta lebih orang yang jatuh miskin. Bahkan proyeksi yang lebih buruk menyebutkan kemungkinan tingkat kemiskinan mencapai 12,4%. Hal ini mengindikasikan bahwa ada sekitar 8,5 juta orang yang menjadi miskin. Bila proyeksi ini terjadi, situasi ini menunjukkan kemunduran atas upaya Indonesia mengurangi tingkat kemiskinan yang sudah berjalan baik (Suryahadi dkk, 2020).

Grafik 3.8

Grafik Kecenderungan Peningkatan Angka Kemiskinan Akibat COVID-19 di Indonesia (2019—2020) Sumber: Smeru Institute. 2020. Estimasi Dampak Pandemi COVID-19 pada Tingkat Kemiskinan di Indonesia. (https://smeru.or.id/id/

content/estimasi-dampak-pandemi-covid-19-pada-tingkat-kemiskinan-di-indonesia)

Page 59: Recover Together, Recover Stronger

44 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Profesor Andy Sumner dari King’s College London yang bergabung dalam riset United Nations University dengan tegas menyatakan bahwa kepemimpinan global G20 harus turun tangan dalam mengatasi isu kemiskinan global. Pernyataannya adalah sebagai berikut:

“The actual poverty impacts will be determined by what governments do to mitigate the damaging consequences of the pandemic. We have a three-point plan, but global leadership is urgently needed on this. The world’s poorest can’t wait until the G7 meet in September or the G20 meet in November.” (United Nations University, 2020)

Selain pengentasan kemiskinan, isu prioritas yang terkait dalam pencapaian keberlanjutan dan inklusivitas pembangunan adalah ketimpangan. Mengatasi ketimpangan antarnegara dan di dalam negara (addressing inequality within and among countries) merupakan tujuan ke-10 dari TPB/SDGs. Kondisi ketimpangan ini mencerminkan banyak hal, termasuk adanya faktor pertumbuhan populasi yang tinggi yang tidak berjalan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi serta keterbatasan dari aspek kapasitas institusional negara. Oleh karena itu, berbagai instrumen kebijakan penting untuk dikedepankan, seperti pengaturan finansial (utamanya inklusivitas finansial), pemberdayaan perempuan dan pemuda serta kebijakan-kebijakan lainnya. Secara global, perhatian dan kebijakan khusus terkait ketimpangan ini biasanya diarahkan untuk negara- negara yang masuk dalam kategori LDCs yangumumnya merupakan negara-negara Afrika, negara pulau kecil (Small Islands Countries) dan negara yang tidak memiliki wilayah laut (landlocked countries). Ketimpangan dapat diatasi melalui instrumen Bantuan Pembangunan Resmi (Official Development Assistance atau ODA) dan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment atau FDI).

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pengentasan Kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

3.1.3.2 Pertumbuhan Hijau dan Biru

Isu prioritas lain yang perlu perlu disinergikan untuk memastikan bahwa tujuan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif dapat dicapai, adalah penerapan konsep pertumbuhan hijau dan biru (green and blue growth). Pada dasarnya, konsep ini mengacu pada paradigma pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan dalam konteks untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam di darat dan di lautan secara lestari sehingga peningkatan kesejahteraan sosial, terutama pada konteks masyarakat lokal, serta terpeliharanya kualitas dan daya dukung alam secara berkelanjutan dapat tercapai. Dengan demikian, proses peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada munculnya eksternalitas negatif yang mendegradasi lingkungan hidup, terutama ketika lingkungan hidup itu menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal dan sekaligus berdampak pada kondisi lingkungan hidup global.

Konsep pertumbuhan hijau bernilai strategis pada sejumlah sektor andalan yang potensial untuk memacu pertumbuhan ekonomi pasca-COVID-19. Pertumbuhan hijau memiliki daya serap tenaga kerja yang besar serta memanfaatkan kekayaan sumber daya alam sebagai modalitas utama. Sektor pertanian, pariwisata, dan industri pengolahan khususnya terkait dengan fast moving consumer products yang umumnya akan menjadi produk konsumsi pangan, perawatan tubuh dan pemeliharaan rumah tangga.

Elemen penting dari pertumbuhan hijau dan biru adalah ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular didefinisikan oleh Uni Eropa sebagai “ekonomi di mana nilai produk, bahan, dan sumber daya dipertahankan dalam ekonomi selama mungkin, dan produksi limbah diminimalkan” (European Commission, 2015). Konsep ini mengurangi ketergantungan pada konsumsi bahan primer. Perluasan penggunaan dan konsumsi sumber daya secara terus menerus akan menghasilkan limbah yang terus meningkat, berikut dampak lingkungan yang menyertainya. Dengan demikian, sangat penting untuk mengontrol konsumsi sumber daya alam, memperluas penggunaan sumber daya sekunder, serta meningkatkan ekonomi berbasis jasa; yaitu transisi ke “ekonomi sirkular dan masyarakat” (Akenji et al, 2019).

Page 60: Recover Together, Recover Stronger

45 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Terkait dengan sektor pariwisata, misalnya, dilaporkan bahwa pada tahun 2017 ada lebih dari 1,3 miliar orang melakukan perjalanan sebagai turis internasional (UNWTO, 2017). Dengan jumlah mobilitas manusia sebesar ini, maka dapat dibayangkan bahwa kontribusinya cukup besar pada pertumbuhan ekonomi. Namun, potensi kontribusinya terhadap degradasi lingkungan juga akan besar seandainya tidak ada penerapan konsep pertumbuhan hijau dan biru. Hutan konservasi, lahan produktif, kawasan ekosistem pesisir dan bahkan pemukiman masyarakat lokal akan dengan sangat mudah dialihfungsikan untuk berbagai infrastruktur fasilitas pariwisata yang kurang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal yang terdampak akibat pembangunan.

Urgensi untuk mengedepankan konsep pertumbuhan hijau dan biru khususnya pada sektor pariwisata ini merupakan sebuah kebutuhan nyata bila dilihat dari perspektif yang berkembang di tingkat global dari kalangan para pelancong (traveler). Merujuk survei yang diadakan STR pada Januari 2020, 48% responden lebih memilih eco-tourism, sementara 40% yang lain mengambil posisi moderat sedangkan sebanyak 12% selebihnya menyatakan tidak setuju (Grafik 3.9) (Dobrosielski, 2020). Dapat dikatakan bahwa, dari sampel para pelancong ini, percaya akan pentingnya pengembangan industri pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) yang pada intinya ramah terhadap lingkungan dan bermanfaat nyata terhadap kesejahteraan masyarakat lokal, baik secara sosial ekonomi dengan adanya pembukaan kesempatan kerja maupun terpeliharanya basis-basis sumber penghidupan (livelihoods) dan tradisi budaya setempat. Merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh UNWTO, pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism merupakan pariwisata yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan hidup, sosial, budaya, serta perekonomian masyarakat lokal baik untuk masa kini maupun untuk masa depan.

Grafik 3.9 Preferensi Global terhadap Industri Pariwisata yang Berwawasan Lingkungan

Sumber: Statista. 2020. Share of travelers that believe choosing an environmentally-friendly travel option is important worldwide as of

January 2020. (https://www.statista.com/statistics/1221043/travelers-opinion-on-sustainable-travel-worldwide/)

Dalam konteks Indonesia, implementasi pariwisata berkelanjutan masih menghadapi berbagai tantangan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh survei World Economic Forum pada 2017 (Grafik 3.10), sektor pariwisata Indonesia masih menempati ranking sangat rendah (peringkat 134 dari 141 negara) pada tahun 2015 dan bahkan lebih rendah lagi pada tahun 2017 (peringkat 131 dari 136 negara) dalam segi keberlanjutan lingkungan.

Page 61: Recover Together, Recover Stronger

46 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 3.10

Ranking Indonesia dalam Daya Saing di Sektor Perjalanan dan Pariwisata Global (2015 dan 2017)

Sumber: World Economic Forum. 2017. The Travel & Tourism Competitiveness Report: Growth Through Shocks. (http://www3.weforum.

org/docs/TT15/WEF_Global_Travel&Tourism_Report_2015.pdf)

Mengedepankan konsep pertumbuhan hijau dan biru, baik dalam perekonomian secara umum maupun dalam pariwisata secara khusus, merupakan hal yang sangat strategis mengingat besarnya mendesaknya agenda perlindungan lingkungan dan penciptaan nilai tambah bagi sektor pariwisata. Oleh karena itu, isu ekonomi sirkular dan pariwisata berkelanjutan juga menjadi isu yang penting untuk dibawa oleh Indonesia dalam Presidensi G20 di tahun 2022.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pertumbuhan Hijau dan Biru dapat dilihat pada Tabel 3.3.

3.1.3.3 Pariwisata

Secara de facto, banyak negara yang perekonomiannya terpukul akibat COVID-19 sehingga berdampak pada menurunnya jumlah pelancong. Menurut World Tourism Organization (2020), sektor pariwisata merupakan sektor ekonomi ketiga terbesar bagi perekonomian dunia. Sekitar 7% dari perdagangan dunia disumbang oleh sektor pariwisata. Merujuk data dari Forbes, selama sepuluh bulan pertama kehadiran pandemi COVID-19, telah muncul kerugian sebesar 935 miliar Dolar AS di seluruh dunia (Forbes, 14 Januari 2021). Secara umum, semua negara merasakan dampak nyata dari pandemi COVID-19 terhadap sektor pariwisata mereka, terlepas dari apakah mereka negara besar, seperti Amerika Serikat, Australia, Perancis, Jepang dan Tiongkok, atau negara-negara kepulauan kecil di Maladewa dan Pasifik Selatan, termasuk negara-negara anggota ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Di Indonesia, sebelum pandemi, kunjungan wisatawan mancanegara per 2019 mencapai angka 16,1 juta kunjungan (Kemenparekraf, 2020). Kunjungan wisatawan lokal bahkan lebih besar lagi. Per 2019, perjalanan wisatawan domestik Indonesia mencapai 282,9 juta perjalanan (BPS, 2019). Angka ini meningkat 3% dari tahun sebelumnya (Kemenparekraf, 2019). Adapun perolehan devisa pariwisata Indonesia (terdiri dari perjalanan dan transportasi) mencapai 18,4 miliar dolar AS. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan devisa pariwisata Indonesia terus meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 14,5 miliar dolar AS per tahun. Jika dibandingkan dengan ekspor jasa lainnya, pangsa devisa pariwisata merupakan yang tertinggi, yakni mencapai 54% terhadap total ekspor jasa (Bank Indonesia, 2019). Data ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata merupakan sektor yang sangat penting bagi perekonomian global dan Indonesia.

Namun, setelah terjadinya pandemi, sektor ini tampak suram. Menurut laporan WTTC (2021), sektor pariwisata di setiap negara G20 mengalami kerugian signifikan di masa pandemi. Pengurangan kontribusi dari pariwisata terhadap PDB berkurang mulai dari 32,6% di Brazil hingga 62,3% di Inggris. Penurunan pendapatan dari turis asing mencapai nilai mulai dari 39,1% (Brazil) hingga 82,9% (Jepang) dan penurunan pendapatan dari turis lokal berkisar mulai dari 30,7% (India) hingga 63,2% (Inggris).

Page 62: Recover Together, Recover Stronger

47 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Bagi Indonesia, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mengalami penurunan sebesar 74,84% dibandingkan tahun 2019 (Kemenparekraf, 2020). Jumlah itu terus menurun sampai tahun 2021. Per April 2021, kunjungan wisman berjumlah 127.512 (penurunan sebesar 19,33% dibandingkan April 2020) (Kemenparekraf, 2021). Penurunan jumlah kunjungan wisman juga menyebabkan penurunan nilai ekspor jasa perjalanan (devisa) pada triwulan III tahun 2020 menjadi turun 98%. Sementara itu, menurut wawancara dengan Kemenparekraf, kunjungan wisatawan lokal menjadi hanya sekitar 120-140 juta, menurun sebesar 61% dibandingkan tahun 2019 (Mustika, 2020). Pada April 2021, data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menunjukkan 1.642 hotel ditutup sementara, sementara data Kementerian Pariwisata mengungkapkan lebih dari 1,7 juta pekerja di sektor tersebut terkena dampak wabah COVID-19. Adapun 13 juta pekerja pariwisata menganggur di Indonesia akibat pandemi COVID-19, menurut pernyataan Kepala Staf Kepresidenan RI, dalam webinar virtual bulan Juli 2020. Jumlah tersebut secara resmi merupakan “yang terbesar dalam sejarah dan melampaui krisis yang pernah dihadapi Indonesia di masa lalu” (Tribun News, 12 September 2020).

Dampak negatif pandemi COVID-19 terhadap sektor pariwisata tidak hanya bersifat tunggal, tetapi juga berimbas pada sektor-sektor lain, seperti ekonomi kreatif. Sebagai contoh, di Indonesia saja, ada 32,5 juta orang yang bekerja secara tidak langsung dari sektor pariwisata sebagai money changer, artis dan musisi (Tribun News, 12 September 2020). Pekerjaan mereka turut terancam sehubungan dengan terbatasnya mobilitas manusia yang diizinkan di masa pandemi. Ini merupakan situasi yang juga memprihatinkan bagi Indonesia karena sektor ekonomi kreatif merupakan sektor yang sangat potensial. Menurut Focus Economy Outlook 2020, ekonomi kreatif menyumbang sebesar Rp1.100 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang tahun 2020 (Kemenparekraf, 14 Agustus 2021). Adapun menurut UNCTAD (2021), ekonomi kreatif menyumbang 7,4% terhadap PDB Indonesia serta mempekerjakan 14,3% dari tenaga kerja Indonesia dalam berbagai subsektor.

Mengingat situasi tersebut, penting untuk menggalang kepemimpinan global dalam pemulihan ekonomi kreatif sebagai bagian tidak terpisahkan dari sektor pariwisata. Presidensi G20 Indonesia akan sangat disorot dalam perihal ini karena Indonesia juga sudah beberapa kali menunjukkan kepemimpinan globalnya dalam sektor ekonomi kreatif. Sebagai contoh, Indonesia merupakan inisiator bagi dijadikannya tahun 2021 sebagai International Year of Creative Economy. Indonesia jugalah yang mengadakan The World Conference on the Creative Economy (WCCE) dan forum multipemangku kepentingan bertajuk Friends of Creative Economy (FCE) pada 2018 dan 2019. Secara khusus dalam merespon dampak pandemi pada ekonomi kreatif, pemerintah Indonesia mengadakan lokakarya global berjudul “Workshop on Covid-19 and the creative economy: challenges and opportunities” dalam kerja sama dengan UNCTAD. Dengan demikian, sudah selayaknya Presidensi G20 Indonesia mengangkat ekonomi kreatif, khususnya ekonomi kreatif yang inovatif dalam menghadapi tantangan di masa pandemi ini, sebagai salah satu isu prioritasnya.

Tidak dapat disangkal bahwa sektor pariwisata harus bertransformasi dalam menghadapi berbagai tantangan dan ketidakpastian baru yang ditimbulkan oleh pandemi. Transformasi ini dapat mengambil beragam wujud, di antaranya peningkatan perlindungan konsumen, perlindungan pekerja di sektor pariwisata, peningkatan standar Clean, Healthy, and Safe Environment (CHSE), kemitraan dan pemberdayaan UMKM, pemanfaatan teknologi digital, dan peningkatan daya saing secara umum (UNWTO, UNCTAD, & ILO, FGD UN DESA, 11 Juni 2021). Transformasi ini tentunya membutuhkan dukungan dari agen-agen perubahan, utamanya dari komunitas setempat. Ini menjadi lebih penting lagi mengingat bahwa komunitas lokal (khususnya komunitas di daerah-daerah pusat pariwisata) adalah komunitas yang sangat terdampak secara negatif dalam perekonomian dengan merosotnya sektor pariwisata. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa kerugian yang dialami Bali (daerah utama pariwisata di Indonesia) mencapai 9 triliun Rupiah per bulan seiring berkurangnya wisatawan asing hingga 99% dan wisatawan domestik akibat pembatasan mobilitas (Rosana, 7 Oktober 2020). Hal ini tentu sangat mempersulit perekonomian provinsi tersebut. Oleh karena itu, masyarakat lokal (komunitas) harus diberdayakan untuk dapat berinovasi di masa sulit ini.

Page 63: Recover Together, Recover Stronger

48 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Terdapat beragam jenis wujud inovasi yang dapat diterapkan dalam rangka adaptasi sektor pariwisata terhadap pandemi. Salah satunya adalah transformasi menuju ekonomi pariwisata yang netral karbon. Selama ini, sebelum pandemi, pariwisata dan sektor-sektornya yang terkait bertanggung jawab atas setidaknya 8% dari total emisi karbon global. Dari total kontribusi pariwisata terhadap emisi karbon, setengahnya bersumber dari perjalanan (transportasi) (Sustainable Travel International, n.d.). Sementara itu, dengan dibatasinya perjalanan (terutama perjalanan udara) di masa pandemi, tidak dapat dipungkiri bahwa emisi karbon global pun turut berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini memunculkan dilema tersendiri. Di satu sisi, pengurangan emisi karbon perlu tetap dipertahankan dalam rangka keberlanjutan perlindungan iklim. Di sisi lain, sektor pariwisata tetap harus dihidupkan lagi melalui konsep pariwisata berkelanjutan yang sejalan dengan upaya implementasi pertumbuhan hijau dan biru.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pariwisata dapat dilihat pada Tabel 3.3.

3.1.3.4 Perdagangan, Industri, dan Investasi yang Berkelanjutan dan Inklusif

Kondisi perdagangan, industri, dan investasi di negara-negara G20 yang sifatnya berkelanjutan dan inklusif telah diinisiasi dalam forum-forum yang diadakan oleh G20. Pada tahun 2011, Agricultural Market Information System (AMIS) dibentuk sebagai respon terhadap adanya krisis pangan global pada saat itu untuk menghimpun informasi dan juga memberikan ruang diskusi untuk mencari solusi (AMIS, 2011a). Pada 2010 dalam Seoul Summit, negara-negara G20 memberikan mandat bagi berbagai organisasi internasional untuk meningkatkan produksi pangan yang tahan lama dalam jangka waktu panjang, berkelanjutan, dan ketahanan pangan serta pertanian juga dimasukkan ke dalam mandat untuk meningkatkan keamanan pangan (AMIS, 2011a). Setelah satu dekade keberadaan AMIS ini pada 2020, dapat dikatakan bahwa AMIS merupakan kelompok hasil inisiatif negara-negara G20 untuk membangun industri pangan yang berkelanjutan (Piñeiro et al, 26 November 2020).

Lebih lanjut, sistem produksi dalam perdagangan yang berkelanjutan pada industri pangan juga merupakan elemen yang penting untuk mewujudkan adanya keamanan pangan yang berkelanjutan pula. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir bahwa lingkungan perdagangan internasional sedang memburuk terutama dalam kaitannya dengan sektor makanan. Ketepatan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok menyebabkan, ketidakpastian serta pengalihan perdagangan pada komoditas pangan tertentu yang akhirnya menyebabkan tidak semua komoditas bisa menjadi komoditas ekspor. Misalnya, harga dan jumlah kedelai yang diekspor Brazil sebagai negara G20 ke Tiongkok sangat dipengaruhi oleh tarif impor yang dikenakan Tiongkok atas impor Amerika Serikat (Gale, Valdes, & Ash, 2019). Selain itu, beberapa negara baru-baru ini mengadopsi sikap yang lebih proteksionis, dalam beberapa kasus disertai dengan kebijakan perdagangan tertentu. Situasi ini dapat menjadi elemen negatif bagi perdagangan dan, akibatnya, bagi ketahanan dan ketersediaan pangan di negara-negara pengimpor. Sehingga, sikap proteksionis negara-negara dalam perdagangan internasional ini akan menghambat proses perwujudan perdagangan internasional yang lebih inklusif (Piñeiro et al, 26 November 2020).

G20 harus mempromosikan kebijakan dan langkah-langkah untuk memfasilitasi dialog dan pertukaran informasi tentang penawaran dan permintaan dalam perdagangan. Hal ini dapat mendorong kesepakatan di antara mitra dagang pangan berdasarkan sistem perdagangan yang lebih terbuka yang dapat mendamaikan kedua tujuan: ketahanan pangan global dan kelestarian lingkungan (Piñeiro et al, 26 November 2020).

Mengingat dan terkait penjelasan-penjelasan di atas, Industri 4.0 yang berwawasan inklusif juga berkelanjutan penting untuk diterapkan di Indonesia. Di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah ada rencana pembangunan yang lebih inklusif sejak masa pemerintahan Joko Widodo pada RPJMN 2015-2019, dimana strategi-strategi yang diperuntukkan untuk pembangunan ekonomi di Indonesia lebih difokuskan kepada pembangunan kualitas sumber daya manusia dan komunitasnya (human and community development), serta mewujudkan pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan tanpa memberikan dampak kerusakan lingkungan yang signifikan (Lowy Institute, 2018). Bahkan, salah satu pilar dalam rencana pembangunan

Page 64: Recover Together, Recover Stronger

49 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

yang berkelanjutan (RPJMN 2015-2019) ini adalah ekonomi hijau atau green economy, dimana memfokuskan pada pembangunan berbagai kota yang hijau di berbagai wilayah di Indonesia. Rencana pembangunan ini juga meliputi pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat meminimalisir penebangan liar (illegal logging), penangkapan ikan dan pertambangan ilegal, dengan meningkatkan peran pemerintah untuk membuat hukum yang tegas untuk menjaga sumber daya alam serta meningkatkan partisipasi komunitas lokal pada pengaturan hutan (RPJMN 2015-2019). Oleh karena itu, diskusi mengenai industri 4.0 sangat penting untuk tetap diterapkan baik itu di Indonesia maupun di berbagai negara lain. Momentum presidensi Indonesia di G20 pada tahun 2022 juga dapat menjadi ajang untuk mempromosikan industri dan investasi yang inklusif dan berkelanjutan mengingat masih banyak tantangan yang ditemukan di dalamnya.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Perdagangan, Industri, dan Investasi yang Berkelanjutan dan Inklusif dapat dilihat pada Tabel 3.3.

3.1.3.5 Inklusi Keuangan

G20 merupakan aktor yang penting untuk terus meningkatkan inklusi keuangan di seluruh dunia. Data menyebutkan bahwa berbagai koordinasi yang dilakukan oleh G20 dengan organisasi-organisasi internasional telah meningkatkan tingkat inklusi finansial dalam sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2017, 69% dari orang dewasa di seluruh dunia telah memiliki rekening bank atau akun dompet digital, jika dibandingkan dengan pada tahun 2011 yang hanya sebesar 51% (World Bank, 2017). Akan tetapi, hal ini masih menimbulkan tantangan tersendiri mengingat data juga menyebutkan bahwa walaupun 69% masyarakat global telah memiliki akun atau rekening bank, tetap ada 1 dari 3 orang dewasa atau sekitar 1.7 miliar populasi dunia masih belum memilikinya dan kondisi ini terjadi di berbagai negara-negara berkembang seperti Bangladesh, Tiongkok, India, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Pakistan, hingga Sub-Sahara Afrika yang memiliki angka penetrasi informasi inklusi keuangan yang paling rendah. Negara yang mengindikasikan bahwa inklusi finansial ini masih harus lebih digalakkan lagi, salah satunya terdapat Indonesia, yang mana merupakan negara anggota G20 (World Bank, The Global Findex Database 2017).

Negara-negara G20 dapat mengatasi masalah inklusi keuangan dengan melakukan adaptasi untuk mengubah regulasi-regulasi yang ada terkait dengan peningkatan tingkat inklusi keuangan (Bel, 2020). World Bank menyatakan bahwa sejak 2010, lebih dari 55 negara di dunia berkomitmen untuk meningkatkan inklusi keuangan dan lebih dari 60 negara telah membuat berbagai strategi nasionalnya untuk mencapai tujuan utama ini (World Bank Financial Inclusion Overview, 2018). Untuk meningkatkan inklusi finansial secara signifikan, pemerintah negara harus mengembangkan kebijakan yang menghapuskan hambatan-hambatan untuk mengakses layanan keuangan dan produk-produk keuangan, misalnya dengan mengizinkan masyarakat untuk berlangganan berbagai layanan keuangan seperti asuransi. Kebijakan ini telah diterapkan di Afrika Selatan dan menjadi contoh yang baik karena perbandingan masyarakat yang telah memiliki rekening bank meningkat dari 46% menjadi 64% dalam kurun waktu 4 tahun karena adanya pembukaan rekening bank sejumlah 6 juta orang karena adanya kebijakan ini (Alliance for Financial Inclusion, 2018).

Negara-negara G20 juga dapat meningkatkan inovasi pada teknologi dan sektor digital untuk membentuk aplikasi-aplikasi yang memudahkan untuk mengakses layanan keuangan. Hal ini karena menurut IMF, jika melakukan inovasi untuk mengembangkan aplikasi layanan keuangan di telepon genggam atau berbagai gawai dan peralatan elektronik lainnya, tingkat inklusi keuangan menjadi meningkat secara signifikan (IMF, 2020). Contohnya pada Sub-Sahara di Afrika, lebih dari ⅕populasi orang dewasa yang ada di negara tersebut telah menggunakan aplikasi bank digital dan memiliki akun bank secara elektronik, jika dibandingkan dengan di seluruh dunia yang hanya 4%. Begitu juga di Kenya, dengan adanya inovasi untuk meningkatkan layanan keuangan dengan mengembangkan aplikasi digital, tingkat inklusi keuangan telah melampaui angka 70%, diikuti oleh Uganda dan Zimbabwe yang telah melewati angka 50%. Menurut IMF, peningkatan ini juga bisa terjadi karena layanan keuangan digital lebih cepat, efisien, dan lebih murah daripada layanan keuangan lainnya yang lebih konvensional atau tradisional. Layanan keuangan secara digital dapat membuat proses transaksi seperti menerima dan mengirim transfer sejumlah uang lebih memungkinkan untuk dilakukan di

Page 65: Recover Together, Recover Stronger

50 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

mana saja, dan dapat membantu banyak orang untuk memudahkan dirinya yang tinggal jauh dari keluarga. Selain itu, layanan keuangan digital juga berkontribusi signifikan untuk naiknya atau pertumbuhan GDP di negara masing-masing (IMF, 2020).

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Inklusi Keuangan dapat dilihat pada Tabel 3.3

Tabel 3.3

Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 3 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan

Isu Working Group TPB/SDGs

Terkait Capaian yang Diharapkan

Pengentasan

Kemiskinan

World Economy and

Finance Track WG;

Development WG

1, 2, 2003 • Penguatan komitmen global untuk pengentasan kemiskinan, termasuk

kemiskinan baru akibat dampak pandemi COVID-19, melalui kebijakan-

kebijakan afirmatif di bidang ekonomi, keuangan, dan perdagangan yang

transparan dan berkeadilan

Mengatasi

Ketimpangan

World Economy and

Finance Track WG;

Development WG;

Employment WG

1, 2, 3, 4,

5, 8, 10

• Rekomendasi kepada negara-negara G20 untuk mengatasi ketimpangan

dalam berbagai sektor dan aspek kehidupan yang selama ini menjadi

blokade utama dalam meningkatkan kesetaraan global

Pertumbuhan

Hijau dan Biru

Environment WG;

Tourism WG

7, 8, 9, 12,

13, 14

• Tercapainya kesepakatan untuk dukungan G20 dalam penerapan

ekonomi sirkular di beberapa sektor strategis dalam rangka mendukung

pencapaian produksi dan konsumsi yang berkelanjutan

• Tercapainya kesepakatan untuk mengimplementasikan ekonomi sirkular

terkait pemanfaatan sumber daya alam dari ekosistem kelautan guna

mendukung mitigasi perubahan iklim, konservasi laut (manajemen

sampah plastik dan marine litter) dan pembangunan pariwisata

berkelanjutan yang produktif”

Pariwisata Tourism WG;

Development WG

8, 9, 11,

12, 9, 13,

15

• Pengembangan inovasi dan kreativitas lokal untuk mendukung

pembangunan pariwisata yang berkelanjutan

• Penguatan masyarakat sebagai agen perubahan transformasi pariwisata

Transformasi destinasi wisata pedesaan dan bahari menuju ekonomi

pariwisata yang netral karbon dan lebih tangguh”

Perdagangan,

Industri, dan

Investasi yang

Berkelanjutan

dan Inklusif

Trade, Industry and

Investment WG

7, 9 • Pengembangan inisatif-inisiatif baru untuk smart and green recovery

dengan mendorong investasi hijau

• Penguatan diskusi multipihak tentang Industri 4.0 untuk industri yang

inklusif dan berkelanjutan

Peningkatan promosi investasi berkelanjutan”

Inklusi

Keuangan

World Economy and

Finance Track WG

1, 8, 9, 10,

11

• Rekomendasi kepada negara-negara G20 untuk mengatasi masalah

inklusi keuangan

Sumber: Hasil olahan tim riset

Page 66: Recover Together, Recover Stronger

51 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.4 Iklim dan Kemitraan yang Memungkinkan

Terkait isu prioritas keempat ini, perlu digarisbawahi bahwa tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk di dalamnya pencegahan dan pemberantasan korupsi (anti corruption), merupakan kondisi prasyarat bagi penyelenggaraan pemerintahan yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan TPB/SDGs dengan efisien dan efektif sekaligus memulihkan pertumbuhan ekonomi global pasca-COVID-19. Negara- negara maju dan lembaga internasional harus dapat mendukung negara-negara berkembang memperkuat institusi-institusi sosial, ekonomi, politik dan hukum yang relevan dengan pencapaian zero-corruption.

Berdasarkan data dari IMF, negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam teridentifikasi memiliki tingkat korupsi yang signifikan terutama terkait proses pengelolaan industri ekstraktif seperti pertambangan dan kehutanan (Leite dan Weidmann, 1999). Praktik korupsi juga berhubungan dengan adanya pertautan antara kepentingan lokal, nasional dan global (OECD, 2012).

Ada banyak isu strategis dan bernilai kemanusiaan yang terkait dengan masalah korupsi, mulai dari menyelamatkan ekosistem dunia, hak-hak sosial, ekonomi dan ekologis bagi masyarakat lokal, hingga memastikan pertumbuhan ekonomi dunia yang stabil, berkelanjutan dan inklusif.

Terdapat empat isu turunan yang ditonjolkan dalam isu prioritas ini: (1) tata kelola yang baik dan pemberantasan korupsi (good governance and anti-corruption); (2) rantai nilai global (global value chain); (3) kemitraan multipemangku kepentingan (multistakeholder partnership); dan (4) pendanaan TPB/SDGs (SDGs financing).

3.1.4.1 Good Governance dan Pemberantasan Korupsi

Korupsi dan layanan yang buruk di sektor publik menjadi tantangan terbesar dalam membentuk tata kelola yang baik (Fox, 2015). Tidak hanya di sektor publik, korupsi juga dapat terjadi dalam sektor yang berkaitan dengan penggunaan energi terbarukan dan penanganan perubahan iklim. Kedua isu tersebut saling bersilangan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam sejumlah penelitian dan kajian bahwa korupsi dapat meningkatkan jumlah emisi polusi (Leitão, 2021). Saat ini, tindakan korupsi yang berkaitan dengan energi terbarukan dapat ditemui dalam sektor-sektor industri ekstraktif, yang juga dapat menghambat pengembangan industri dan penggunaan energi terbarukan.

Secara global, sejumlah korporasi memandang korupsi sebagai hambatan terbesar dalam berhadapan dengan sektor publik dan merasa perlu melakukan bentuk tindakan penyuapan untuk dapat mengamankan kontrak. Grafik 3.11 menunjukkan bahwa korupsi dianggap sebagai hambatan terbesar bagi sektor swasta dalam melakukan aktivitasnya di berbagai belahan dunia. Padahal, di tingkat global, sudah ada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang ditujukan tidak hanya kepada pemerintah nasional namun juga berisi ketentuan yang memiliki implikasi langsung bagi perusahaan swasta dan milik negara di negara-negara penandatangan, oleh karena itu pihak swasta memiliki peran penting dalam mendorong implementasi UNCAC.

Page 67: Recover Together, Recover Stronger

52 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 3.11 Persepsi Korporasi Secara Global terhadap Korupsi

Sumber: World Bank Enterprise Surveys dalam Khokhar, T. 2020. Chart: 1 in 3 Companies Constrained by Corruption. (https://blogs.

worldbank.org/opendata/chart-companies-constrained-corruption).

Korupsi adalah masalah aksi kolektif, dan untuk mengatasinya diperlukan modal sosial dan kepercayaan sosial yang tinggi. Kepercayaan sosial dapat ditingkatkan melalui transparansi yang lebih besar sebagai faktor pendukung, dan melalui proses pemerintahan yang lebih demokratis dan partisipatif mengingat partisipasi yang lebih besar membawa lebih banyak suara dan minat ke dalam proses pemerintahan dan membatasi kesempatan bagi pejabat publik untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka (Verdenicci & Hough 2015).

Solusi lainnya adalah dengan inisiatif keterlibatan publik. Inisiatif keterlibatan publik memiliki beberapa hasil sosial dan tata kelola yang positif di empat bidang yang luas: pembangunan kewarganegaraan, memperkuat praktik pelibatan warga, membangun negara yang responsif dan akuntabel, dan masyarakat yang lebih inklusif dan kohesif. Dari 100 studi kasus di 20 negara, 75% memiliki hasil positif yang berkontribusi pada hasil ini. Peran masyarakat dalam upaya anti-korupsi dapat dipahami dalam hal akuntabilitas sosial, seperti mengawasi dan menilai secara kritis perilaku dan keputusan para pemangku kebijakan, melaporkan dan menuntut penindaklanjutan tindakan-tindakan korupsi, dan mendukung program pelatihan dan kampanye kepekaan anti-korupsi (UNODC, 2020).

Pendidikan juga merupakan elemen penting dalam setiap upaya untuk secara efektif mengatasi fenomena korupsi. Melalui peningkatan pengetahuan tentang risiko korupsi dan dampaknya, dimungkinkan untuk menumbuhkan sikap yang tidak mentolerir korupsi dan mengembangkan keterampilan yang memungkinkan individu untuk melawan tekanan sosial dan budaya ketika menghadapi praktik korupsi (OECD, 2018). Pasal 13 Konvensi PBB tentang Anti-Korupsi (The United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) mewajibkan negara-negara anggotanya untuk mendorong partisipasi aktif individu dan kelompok di luar sektor publik dalam mencegah dan memerangi korupsi. Partisipasi tersebut dapat diperkuat melalui program pendidikan di sekolah dan universitas (UNODC, 2017).

Secara umum, pengendalian korupsi dapat diupayakan melalui audit pemerintahan (Chêne, 2018). Meskipun demikian, peran pemeriksaan dan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Indonesia masih belum mampu mengendalikan tindakan korupsi secara maksimal, dimana terdapat banyak temuan pemeriksaan namun jumlah kasus korupsi yang ditindaklanjuti tidak sama banyaknya (Shohib Abror dan Haryanto, 2014).

Page 68: Recover Together, Recover Stronger

53 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Dalam konteks Indonesia, International Energy Agency (IEA) melaporkan bahwa untuk membantu mendukung pemulihan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia, diperlukan kerangka investasi untuk energi terbarukan yang disempurnakan. Diperlukan juga reformasi yang dapat menarik modal swasta dalam jumlah yang lebih tinggi. Hal Ini dapat dicapai dengan membangun dialog dengan mitra-mitra Indonesia dalam industri terbarukan, seperti Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia.

Selain korupsi, penyelesaian masalah pencucian uang dan pemulihan aset curian memerlukan perhatian dan tata kelola pemerintahan yang baik. Tipologi-tipologi pencucian uang dan pendanaan terorisme di setiap lokasi sangat dipengaruhi oleh ekonomi, pasar uang, dan rezim pemerintahan setempat. Dengan demikian, metode tindakan kriminal tersebut bervariasi dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu, sehingga juga diperlukan tindakan dari G20 untuk mendokumentasikan praktik-praktik terbaik dalam upaya mengatasi isu pencucian uang dan pemulihan aset curian.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Good Governance dan Pemberantasan Korupsi dapat dilihat pada Tabel 3.4.

3.1.4.2 Rantai Nilai Global

Rantai nilai global (global value chain atau GVC) adalah fitur perdagangan global yang mencakup hampir 70% dari total persentase perdagangan global (UNCTAD, 2013). Rantai nilai global juga telah menjadi menyediakan wadah bagi setiap negara untuk meningkatkan kontribusi ekonomi dan pendapatannya. Partisipasi dalam rantai nilai global dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas negara melalui penciptaan lapangan kerja baru. Partisipasi negara-negara berkembang dalam rantai nilai global telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, mencapai lebih dari 40% dari total partisipasi global sejak tahun 2013.

Sebagai fitur perdagangan yang membutuhkan kontribusi berbagai negara sebagai sumber dan lokasi produksi suatu komoditas, rantai nilai global cenderung bersifat sensitif terhadap berbagai jenis disrupsi ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi kapabilitas dan kualitas partisipasi setiap negara. Sebagaimana yang sedang terjadi pada masa pandemi ini, rantai nilai global mengalami gangguan dan berpotensi menghasilkan kerugian pada beberapa sektor industri. Beberapa industri utama yang akan terdampak antara lain industri kedirgantaraan, otomotif, pertambangan, dan produk-produk minyak dan gas (Grafik 3.12). Jumlah potensi kerugian yang tertinggi mencapai lebih dari 60% dari laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, amortisasi (EBITDA) per tahun. Hal ini meningkatkan urgensi rantai nilai global sebagai isu strategis untuk diangkat dalam forum G20.

Grafik 3.12 Prediksi Kerugian Rantai Nilai Global Setiap Sektor Industri Akibat Terganggunya Rantai Pasokan pada 2020

Sumber: Statista. 2020. Global value chains’ expected losses from supply chain disruptions by industry 2020. (https://www.statista.com/

statistics/1155345/gvc-expected-loss-supply-chain-disruption/)

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Rantai Nilai Global dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Page 69: Recover Together, Recover Stronger

54 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.4.3 Kemitraan Multipemangku Kepentingan

Isu pertama adalah pembagian data (data-sharing) dan mencakup di dalamnya isu lokalisasi data dalam rangka memerangi pandemi. Di masa krisis kesehatan global seperti sekarang ini, sangat perlu untuk menyebarkan informasi yang mungkin bernilai bagi peneliti, ahli epidemiologi, dokter, lembaga pendanaan, dan pemerintah. Informasi-informasi yang bernilai penting itu di antaranya informasi mengenai database sumber daya biospesimen pasien COVID-19 di rumah sakit atau biorepositori, rekam kesehatan pasien elektronik, uji klinis yang sedang berlangsung dan hasil penelitian tentang COVID-19, kebijakan, pedoman, dan peraturan terkait COVID-19, catatan pelacakan wabah COVID-19, dan sebagainya (Gao et al, 2020). Informasi-informasi tersebut diperlukan untuk bekerja sama dalam mengembangkan vaksin, obat, metode, terapi, dan strategi baru dalam upaya mengatasi pandemi COVID-19. Informasi-informasi itu berwujud big data dan karenanya G20 perlu mengembangkan standar global yang disepakati untuk berbagi data dan hasil penelitian antarilmuwan, lembaga, dan pemerintah agar kerja sama pembagian data terkait COVID-19 dapat dilakukan secara efisien (Lucas-Dominguez et al, 2021).

Sebelumnya, isu tata kelola digital telah dimasukkan dalam Deklarasi Pemimpin G20 Osaka tahun 2019, tepatnya dalam pasal 10–12 bagian “Inovasi: Digitalisasi, Aliran Bebas Data dengan Kepercayaan”. Namun, pada saat itu India, Mesir, Indonesia dan Afrika Selatan pada awalnya menentang deklarasi tersebut dengan alasan bahwa deklarasi tersebut dapat merusak pembicaraan multilateral tentang e-commerce yang sedang berlangsung di bawah Program Kerja WTO tentang Perdagangan Elektronik; dan penting untuk menjaga ruang kebijakan negara-negara berkembang sehubungan dengan tata kelola data sejak kebijakan berkembang. Deklarasi Osaka pun diturunkan ke acara sekunder. Namun, seiring terjadinya pandemi COVID-19 di awal tahun 2020, maka para pemimpin G20 perlu bersepakat membuat komitmen untuk membagikan data yang tepat waktu dan transparan di sektor sensitif seperti kesehatan dalam rangka memerangi pandemi. Dengan demikian, gugus tugas ekonomi digital (terutama di masa pandemi) diharapkan sangat menekankan pentingnya saling berbagi data dan penjaminan aliran data yang bebas dan aman.

Capaian kedua adalah dijunjungnya proses pembangunan yang melibatkan beragam pemangku kepentingan dalam hubungan kemitraan. Sejauh ini, sudah ada 286 OMS dari seluruh dunia yang telah dilatih di bawah Program Masyarakat Sipil UNODC dalam implementasi UNCAC. (2010-2015) 85% pemerintah melibatkan organisasi masyarakat sipil (OMS) selama kunjungan negara mereka dari siklus tinjauan pertama UNCAC (UNCAC, 2015). Jumlah komitmen sukarela yang terdaftar dan kemitraan multipemangku kepentingan per 2020 mencapai 5420 kemitraan, dengan 1.270 kemitraan untuk tujuan No. 17 (kemitraan untuk mencapai tujuan (UNCAC, 2020).

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Kemitraan Multipemangku Kepentingan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

3.1.4.4 Pendanaan TPB/SDGs

Isu penting lainnya pada prioritas keempat ini adalah pendanaan TPB/SDGs (SDGs financing). Untuk menjawab persoalan pendanaan TPB/SDGs, penting bagi kita untuk mengidentifikasi celah-celah dalam sistem pelaksanaan pendanaan tersebut. Salah satu celah dalam pendanaan TPB/SDGs selama ini adalah kurangnya penggunaan Official Development Assistance (ODA) secara strategis. Selama ini, ODA memang merupakan mekanisme pembiayaan yang penting, terutama di negara-negara kurang berkembang. Namun, sayangnya hanya 146,6 miliar Dolar AS dana dari ODA yang diperoleh pada tahun 2017. Jumlah tersebut hampir tidak cukup untuk mencapai tujuan ambisius yang ditetapkan dalam Agenda 2030. Grafik 3.13 mengindikasikan bahwa ODA merupakan instrumen pendanaan yang paling minim kontribusinya terhadap kebutuhan pembiayaan TPB/SDGs dibandingkan dengan instrumen pendanaan lain seperti dana investasi, dana publik dan dana swasta.

Page 70: Recover Together, Recover Stronger

55 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Grafik 3.13 Kesenjangan Pembiayaan TPB/SDGs dengan Berbagai Instrumen

Sumber: Blended Finance Task Force. State of blended finance 2018. (http://www.oecd.org/water/OECD-GIZ-Background-document-

State-of-Blended-Finance-2018.pdf).

Namun, ini bukan berarti ODA tidak relevan. Sebagai isu prioritas, maka perlu digarisbawahi bahwa tantangan fundamental pendanaan TPB/SDGs bukan terletak pada persoalan memobilisasi dana untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Persoalannya pada tataran empiris bersifat lebih sistemik, yakni terkait pada isu tata kelola yang efektif yang pada intinya menuntut reorientasi kemitraan negara dengan swasta (public-private partnership). Keterlibatan aktor swasta, mulai dari investor, perusahaan, perbankan, industri asuransi, manager aset, pengelola dana pensiun publik dan swasta serta berbagai yayasan filantropis pada dasarnya terlibat dalam sebuah mata rantai investasi bagi pencapaian TPB/SDGs. Dengan demikian, alih-alih mengesampingkan ODA, ODA harus digunakan secara lebih strategis dan dimanfaatkan secara optimal sebagai instrumen untuk mengamankan sumber pendanaan bagi program-program pembangunan yang mengacu pada pencapaian tujuan TPB/SDGs, baik yang berasal dari dana publik dan swasta, domestik dan internasional dalam rangka memajukan kerja sama dan kemitraan antara negara dan swasta (UNSDG, 2018).

Sehubungan dengan pentingnya menjunjung kemitraan antara negara dan swasta dalam pendanaan TPB/ SDGs, kemitraan tersebut perlu dijaga agar dapat berlangsung dalam sebuah sistem yang berorientasi pada pencapaian tiga dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup secara terintegrasi, simultan dan berkelanjutan. Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan sejumlah faktor pendukung yang dapat menjadi pendorong agar mata rantai investasi seperti infrastruktur, teknologi, serta penegakan nilai-nilai HAM dan anti-korupsi dapat bekerja secara efisien dan efektif. Di sisi lain, juga diperlukan tata kelola yang baik dan penegakan hukum, regulasi keuangan yang berkelanjutan, insentif dan keuangan yang bersifat katalis, sovereign wealth funds (SWF) dan public-private partnership.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendanaan TPB/SDGs tidak dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda secara sendiri-sendiri, tetapi perlu dikoordinasikan dengan sedemikian rupa dalam cara yang inovatif dengan semangat kemitraan multipihak, seturut dengan sasaran nomor 17 TPB/SDGs (“Partnerships for the Goals”). Semangat kemitraan tersebut menjadi semakin relevan di masa paskapandemi COVID-19, ketika banyak sumber pendanaan negara dan swasta terhambat sebagai dampak dari kelesuan ekonomi semasa pandemi.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Pendanaan TPB/SDGs dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Page 71: Recover Together, Recover Stronger

56 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Tabel 3.4

Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 5 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan

Isu Working Group TPB/SDGs

Terkait Capaian yang Diharapkan

Good Governance

dan Pemberantasan

Korupsi

Anti-Corruption WG;

Development WG

11, 16 • Adopsi Prinsip-Prinsip G20 dalam Menanggulangi Korupsi di Sektor

Energi Terbarukan

• Penerapan Prinsip-Prinsip Tingkat Tinggi yang Memperkuat Peran

Audit dalam Memerangi Korupsi

• Penguatan program-program pelibatan publik dan pendidikan

antikorupsi serta pengembangan Kompendium praktik-praktik

terbaik (best practices) dalam penanggulangan korupsi di negara-

negara G20

• Kompendium praktik-praktik baik (good practices) dalam

pemberantasan pencucian uang dan pemulihan aset curian

• Peran sektor swasta dalam pembangunan

• Menggali peran G20 untuk mendorong ketahanan, khususnya di

tingkat nasional di kota dan pedesaan”

Rantai Nilai Global Trade, Industry and

Investment WG

8, 9, 11,

17

• Pengembangan diskusi tentang rantai nilai global yang andal

Kemitraan

Multipemangku

Kepentingan

Development WG;

Empower Initiative

3, 5, 10,

17

• Peningkatan data-sharing dan penguatan data governance terkait

penanganan dampak COVID-19 (khususnya di bidang kesehatan)

dan langkah-langkah kebijakan untuk pemulihan ekonomi

• Penguatan program-program berbasis kemitraan multipihak/

multipemangku kepentingan untuk meningkatkan kapasitas

perempuan di dalam pengambilan kebijakan strategis yang

berdampak pada produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial

(pengentasan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan)”

Pendanaan TPB/SDGs Development WG 1,2, 3, 4, 5,

6, 7, 8, 9,

10, 11, 12,

13, 14, 15,

16, 17

• Penguatan langkah-langkah implementasi terkait prinsip

pembiayaan inovatif (blended finance) untuk mengakselerasi

pencapaian target pembangunan berkelanjutan, khususnya di

negara-negara berkembang dan negara berkebutuhan khusus

(SIDs dan LDCs di Afrika)

• Disepakatinya G20 Bali Update 2022 (Rencana Aksi G20 pada

Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan)”

Sumber: Hasil olahan tim riset

3.1.5 Menguatkan Kepemimpinan Kolektif Global

COVID-19 dengan segala dinamika dan implikasinya telah menghadirkan pertanyaan mendasar tentang masa depan kerja sama global karena dunia dihantui oleh absennya kepemimpinan global. Pertanyaan ini sudah muncul sejak keengganan Amerika Serikat untuk menandatangani Paris Agreement (2015) yang sangat strategis bagi pencapaian komitmen global untuk penurunan reduksi emisi gas rumah kaca dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim global.

Page 72: Recover Together, Recover Stronger

57 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Pertanyaan ini semakin menguat ketika pandemi COVID-19 muncul dan menyisakan kekhawatiran yang meluas akan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi global. Kegagalan pengendalian pandemi COVID-19 telah terbukti memiliki dampak besar pada perekonomian global berupa penurunan PDB global sebesar 3,3% pada 2020. Selain itu, diproyeksikan bahwa kegagalan untuk mendistribusikan vaksin secara merata di tingkat global dapat berakibat pada kerugian ekonomi dunia hingga 9 triliun Dolar AS (USGLC, 2021). Dengan demikian, diperlukan upaya khusus untuk menjawab isu kelangkaan serta ketidakmerataan vaksin yang sesungguhnya menjadi hak semua negara, bahkan setiap individu. Baik perubahan iklim maupun pandemi COVID-19 adalah tantangan global yang berkarakter sistemik, fundamental, penuh dengan ketidakpastian, saintifik, menimbulkan threshold effects sekaligus berpotensi menimbulkan tensi politik yang tinggi.

Memperkuat multilateralisme pun menjadi pesan inti dari kepemimpinan global yang harus dibawa ke dalam forum G20 yang akan datang. Presidensi Indonesia harus menyuarakan pentingnya kepemimpinan global yang bersifat kolektif dan berbasiskan pada prinsip multilateralisme. Hal ini karena multilateralisme sejalan dengan paradigma tata kelola global yang pada intinya menjamin tiga prinsip dasar dalam kerja sama global, yaitu partisipatoris, kesetaraan dan inklusivitas. Lebih jauh lagi, multilateralisme dari perspektif aktor dapat dimaknai sebagai mekanisme pencapaian tujuan yang tidak hanya bertumpu pada peran aktor negara saja, tetapi juga aktor-aktor non-negara dan subnasional. Semua aktor diyakini mempunyai peran kontributif yang penting sesuai dengan modalitasnya masing-masing sehingga tidak bisa ada dominasi dari akor tunggal manapun. Dari perspektif proses, multilateralisme diharapkan dapat mendorong dinamika interaksi yang menyatukan berbagai kepentingan aktor-aktor yang berbeda secara institusional dengan basis pada nilai dan norma bersama melalui mekanisme institusional yang memperlakukan masing-masing anggota secara setara.

Dengan mengusung prinsip multilateralisme sebagai basis kepemimpinan global kolektif, maka dikotomi Utara versus Selatan dan berbagai polarisasi yang bersifat konfliktual menjadi sangat tidak relevan. Proses pencapaian tujuan dan target TPB/SDGs dalam dunia yang rapuh saat ini karena adanya ancaman COVID-19 dan berbagai masalah yang semakin kompleks dan akut memerlukan kepemimpinan global kolektif. Negara- negara anggota G20 secara de facto merepresentasikan berbagai kawasan dunia yang masing-masing memiliki berbagai potensi yang seharusnya dapat disinergikan. Oleh karenanya, kepemimpinan G20 adalah kepemimpinan global. Presidensi Indonesia perlu mendorong terwujudnya kepemimpinan global G20 ini karena secara faktual tak ada satupun negara yang dapat menyelesaikan sendiri masalah-masalah global yang dihadapinya. “Recover together, recover stronger”tak akan dapat tercapai tanpa kebersamaan dan kerja sama dengan semangat solidaritas dan kepemimpinan global kolektif ini.

Sedikitnya ada dua isu turunan dari dalam isu prioritas kepemimpinan global kolektif dengan mengusung prinsip multilateralisme saat ini. Pertama, memperkuat multilateralisme untuk penanganan dan pemulihan krisis. Kedua adalah memperkuat sistem perdagangan multilateral yang adil.

3.1.5.1 Memperkuat Multilateralisme untuk Penanganan dan Pemulihan Krisis

Catatan historis menunjukkan bahwa dunia sudah berkali-kali menghadapi pandemi global yang mematikan, mulai dari wabah hitam, cacar, flu Spanyol, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan dengan pertumbuhan penduduk dan mobilitas manusian yang semakin tinggi, modernisasi telah menciptakan situasi yang memungkinkan terjadinya kontak dengan intensitas yang tinggi antara manusia, hewan dan ekosistem melalui berbagai aktivitas, khususnya perdagangan dan mobilitas kaum urban. Pandemi COVID-19 yang hadir di abad ke-21 ini dicirikan oleh tiga karakter utama, yaitu unprecedented, unpredictable, complexities dan high technicaities (ketidakpastian, dan tensi politik yang tinggi). Pandemi itupun memberikan tantangan yang tidak mudah bagi para pengambil kebijakan di level dan di sektor manapun.

Page 73: Recover Together, Recover Stronger

58 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Kompleksitas dampak pandemi COVID-19 menuntut cara pandang yang holistik dan terintegrasi karena COVID-19 bukan sekedar masalah kesehatan yang memiliki daya tular (contagious effects) yang luar biasa, tetapi juga telah berdampak pada berbagai aspek kehidupan. Karakter ketidakpastian dari pandemi ini menuntut kemampuan pengawasan dan kesiapsiagaan (surveillance and preparedness) untuk mengantisipasi dan mencegah kemunculan serta penyebaran virus. Pandemi ini juga menuntut dibukanya forum komunikasi yang terbuka dan partisipatoris untuk mengelola berbagai persepsi dan kepentingan yang berbeda.

Salah satu faktor sulitnya vaksinasi di negara-negara berkembang dan miskin adalah kurangnya pendanaan COVAX (bentuk kerja sama yang diinisiasi oleh WHO guna menunjang akses penanggulangan COVID-19). Kurangnya dana COVAX berimplikasi pada daya beli vaksin yang rendah sehingga jumlah vaksin yang bisa didistribusikan pada negara-negara berpendapatan rendah yang membutuhkan juga sangat terbatas (OECD, 2021). Bukan hanya itu, COVAX juga masih harus berkompetisi dengan negara-negara maju dalam mengamankan stok vaksin (OECD, 2021). Negara-negara maju telah memesan sekitar 6,4 miliar atau sebagian besar dari total 12,5 miliar dosis yang sejauh ini telah dijanjikan untuk didistribusikan oleh produksi vaksin utama pada tahun 2021 (The Economist Intelligence Unit, 2021). Negara maju seakan memiliki keistimewaan tersendiri dengan pemasukan yang jauh lebih besar untuk memesan vaksin lebih banyak dan lebih dahulu dibandingkan dengan negara berpendapatan rendah. Negara maju pun dituding melakukan penimbunan vaksin karena memesan terlebih dahulu dengan jumlah yang lebih banyak daripada total yang dibutuhkan oleh negara tersebut (New York Times, 2019).

Selain karena faktor keterbatasan persediaan vaksin dan daya beli COVAX yang kecil, negara berpendapatan rendah masih harus mengalokasikan tambahan sejumlah 15,9% dari PDB yang dimilikinya untuk memberikan macam-macam bantuan sosial bagi rakyatnya dalam rangka pemulihan dari COVID-19. Hal ini yang akhirnya menyebabkan proses vaksinasi di negara-negara berpendapatan rendahjuga menjadi lambat karena banyak negara yang harus mempertimbangkan pengalokasian dana untuk hal-hal yang lebih mendesak terutama dalam konteks penanganan pandemi, meskipun pada faktanya lebih dari 1,3 miliar orang di dunia atau sekitar 17% dari total populasi global telah menerima setidaknya satu bantuan berbentuk uang tunai untuk menghadapi pandemi COVID-19. Walaupun begitu, tetap saja, beberapa bantuan tambahan (additional allowances) sifatnya sementara. Mereka biasanya hanya bertahan selama empat bulan dan kurang dari 10% bantuan tersebut tidak dilanjutkan karena harus menyesuaikan prioritas negara yang harus mengalokasikan dan ke hal-hal yang jauh lebih mendesak karena krisis (ILO, OECD, World Bank, 2021).

Ketiadaan pendekatan komprehensif untuk memastikan akses vaksin di negara berkembang berisiko memperpanjang pandemi, meningkatkan ketimpangan dan menunda pemulihan ekonomi global. Upaya kolaboratif baru, seperti ACT Accelerator dan inisiatif COVAX membantu menjembatani kesenjangan saat ini, tetapi mereka tidak mencukupi dalam keadaan ketika permintaan jauh melebihi pasokan. Berdasarkan lintasan saat ini, upaya imunisasi massal untuk negara-negara miskin dapat ditunda hingga 2024 atau lebih, memperpanjang penderitaan manusia dan ekonomi untuk semua negara. Akses terhadap vaksin akan lebih langka bagi komunitas-komunitas rawan dan pekerja garis depan di negara berkembang (UNICEF, FGD UN DESA, 11 Juni 2021). Sejauh ini, tindakan kebijakan untuk mendukung akses vaksin yang adil di negara berkembang meliputi: (1) mendukung kerangka kerja multilateral untuk alokasi vaksin yang adil dan untuk respon krisis, ketahanan dan pencegahan; (2) menyoroti peran pembiayaan pembangunan; dan (3) mempromosikan solusi berbasis konteks (OECD, 2021).

Respon baik G20 dalam membina multilateralisme bagi pemulihan pandemi menjadi semakin penting lagi mengingat bahwa ke-10 negara dengan kasus COVID-19 tertinggi di dunia seluruhnya merupakan anggota G20, yaitu Amerika Serikat, India, Brazil, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Turki, Inggris, dan Indonesia (John Hopkins University, 2021; World Meters, Agustus 2021). Tertanggal 29 Juni 2021, Our World in Data mengeluarkan data terbaru terkait dengan penerimaan 1 dosis vaksin di beberapa negara di dunia. Dari data tersebut, dapat dilihat penerimaan 1 dosis vaksin COVID-19 di seluruh negara anggota G20, terutama 12 negara yang secara eksplisit terlihat dalam ilustrasi. Jumlah penduduk yang telah menerima vaksin COVID-19 dosis pertama di Indonesia berada dalam kisaran 20% per-akhir Juni 2021 (Our World in Data, 2021).

Page 74: Recover Together, Recover Stronger

59 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Berdasarkan Gambar 3.4, dapat dilihat bahwa kurang dari 50% populasi di 11 dari 20 negara anggota G20 belum mendapatkan vaksin COVID-19 dosis pertama. Oleh karena itu, pemberian vaksin dan penekanan kasus positif COVID-19 merupakan isu yang relevan untuk ditegaskan dalam Presidensi Indonesia di G20.

Gambar 3.4 Penerima Vaksin COVID-19 Dosis Pertama di Tingkat Global

Sumber: Our World in Data. 2021. Coronavirus (COVID-19) Vaccinations. (https://ourworldindata.org/covid-vaccinations)

Presidensi G20 Indonesia pun perlu mengedepankan kerja sama multilateral untuk menghindarkan adanya diskriminasi terhadap pendistribusian vaksin dan pemberian bantuan terhadap negara-negara khususnya terkait bantuan karena adanya COVID-19. Dalam kaitan ini, kepemimpinan G20 perlu mengupayakan upaya multilateral secara kolaboratif yang menciptakan gebrakan (breakthrough)untuk memastikan bahwa Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A) berlaku secara non-diskriminatif dan non-komersial serta partisipatoris dengan penguatan peran sentral WHO sebagai institusi multilateral di bidang tata kelola kesehatan global. Hal ini senada dengan pernyataan perwakilan dari UNESCO bahwa vaksin harus aman (safe), terjamin (secure), dan dapat diandalkan (reliable). Dapat dipertimbangkan pula untuk menjadikan vaksin sebagai barang publik (public goods) (UNESCO, FGD UN DESA, 11 Juni 2021).

Mengingat bahwa kehadiran COVID-19 menyadarkan arti penting dan strategis dari kesehatan publik sebagai pilar utama dari aktivitas produktif manusia, baik secara individual maupun kolektif yang pada gilirannya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi global, maka peran WHO harus didorong untuk kembali kepada mandat konstitusionalnya yang berbasis pada tiga prinsip, yaitu (1) kualitas kesehatan adalah hak asasi manusia tanpa diskriminasi apapun; (2) kesehatan bukan sekedar kondisi fisik manusia yang terbebas dari penyakit, tetapi juga menyangkut pada kondisi mental dan kehidupan sosial yang sejahtera; dan (3) negara/pemerintah bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatan warganya yang harus dipenuhi dengan menyediakan fasilitas kesehatan serta langkah-langkah kebijakan sosial yang kondusif. Lebih dari itu, catatan sejarah membuktikan bahwa pandemi selalu berpotensi muncul seiring dengan dinamika peradaban sehingga WHO harus mendorong tata kelola global – dan kerja sama internasional di dalamnya – yang memastikan sistem pengawasan dan kesiapsiagaan (surveillance and preparedness) yang lebih baik di tingkat global, regional dan nasional.

Dengan demikian, pada isu ini, poin aksi yang mendesak adalah poin aksi yang terkait upaya untuk memastikan agar vaksin untuk penanganan COVID-19 dapat didistribusikan secara sigap, merata, aman, terjangkau dan efektif. Isu ini juga menganjurkan kerja sama global yang terintegrasi dalam mendukung pengembangan dan pemanfaatan vaksin, obat-obatan, peralatan medis untuk perawatan, dan kebutuhan laboratorium guna mengatasi masalah kesehatan.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Memperkuat Multilateralisme untuk Penanganan dan Pemulihan Krisis dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Page 75: Recover Together, Recover Stronger

60 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.1.5.2 Memperkuat Sistem Perdagangan Multilateral yang Adil

Untuk agenda yang kedua, yaitu mendorong sistem perdagangan multilateral yang lebih kuat dan adil (encouraging stronger and fairer multilateral trading system), sangat perlu untuk dipertahankan. Prinsip multilateralisme dalam kepemimpinan global kolektif yang efektif diperlukan agar pencapaian tujuan dan target TPB/SDGs secara keseluruhan, khususnya menyangkut prinsip “tidak ada yang tertinggal” (“no one left behind”), dapat menjangkau kepentingan dari, antara lain, negara-negara LDCs, negara-negara Afrika, negara kepulauan kecil khususnya di Pasifik Selatan, dan negara-negara berkebutuhan khusus. Pendanaan TPB/SDGs dan kemitraan multipemangku kepentingan sangat relevan untuk disinergikan dalam rangka mendukung misi kemanusiaan dan keberlanjutan global di negara-negara tersebut. Untuk isu ini, capaian yang diharapkan ada satu, yakni dilaksanakannya diskusi tentang sistem perdagangan multilateral yang lebih kuat untuk pemulihan global yang kuat.

Working Group dan TPB/SDGs yang relevan serta capaian yang diharapkan dari isu Memperkuat Sistem Perdagangan Multilateral yang Adil dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Keterkaitan Isu-Isu Prioritas 5 dengan Working Group, TPB/SDGs, dan Capaian yang Diharapkan

Isu Working Group TPB/SDGs

Terkait Capaian yang Diharapkan

Memperkuat

Multilateralisme

untuk Penanganan

dan Pemulihan Krisis

Development WG;

Health WG

3, 10, 11, 17 • Penguatan kerja sama global yang menjamin distribusi vaksin

dan obat-obatan penanganan COVID-19 atas dasar prinsip

transparansi dan aksesibilitas (keterjangkauan secara harga dan

jumlah)

• Penguatan dukungan untuk pembuatan Peta Jalan (Roadmap)

G20 dalam rangka pemulihan ekonomi global yang solid dan

berkelanjutan, khususnya di negara- negara berkembang”

Memperkuat Sistem

Perdagangan

Multilateral yang

Lebih Adil

Trade, Industry and

Investment WG

8, 9, 10, 11,

17

• Penguatan sistem perdagangan multilateral yang lebih kuat

untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi global dan menjaga

stabilitas perekonomian global yang berkelanjutan pascapandemi

COVID-19

Sumber: Hasil olahan tim riset

3.2. Analisis Cross-Cutting Issues

Paparan fakta dan data di bagian awal dari Bab 3 ini, juga Bab 2 sebelumnya, telah menunjukkan bahwa prioritas-prioritas yang ditawarkan Presidensi G20 Indonesia pada dasarnya merupakan realita dari kompleksitas permasalahan global saat ini yang bersifat saling terhubung (interconnected) atau cross-cutting, baik secara vertikal (multilevel) maupun secara horizontal (multidimensional).

“Multilevel” berarti isu-isu tersebut adalah persoalan yang melampaui batas-batas internasional dan domestic serta saling terhubung dari tingkat lokal, nasional, bahkan regional dan global. Sedangkan “multidimensional” berarti isu-isu prioritas tersebut bukan saja berdimensi ekonomi, tetapi juga sosial dan politik. Dimensi sosial menyangkut aspek kemanusiaan, kemasyarakatan dan ekologis, sedangkan dimensi politik berkaitan dengan kepemimpinan, regulasi dan tata kelola.

Page 76: Recover Together, Recover Stronger

61 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Adapun sifat “cross-cutting” bermakna bahwa isu-isu prioritas tersebut tidak bersifat sektoral atau eksklusif berdiri sendiri, akan tetapi saling terkait erat antarsektor dengan segala dimensinya. Misalnya saja, isu ketenagakerjaan bukan hanya domain sektor pariwisata dan pertanian, tetapi juga ada di sektor-sektor lain. Isu ketenagakerjaan juga bukan hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi sosial dengan aspek yang tidak tunggal. Isu ketenagakerjaan juga bukan hanya persoalan Indonesia di tingkat nasional dan lokal, tetapi juga merupakan persoalan di banyak kawasan dan global secara keseluruhan, apalagi bila dikaitkan dengan dampak pandemi global COVID-19 yang telah melumpuhkan aktivitas produksi dan konsumsi warga dunia di banyak sektor, khususnya pariwisata.

Meskipun sebagian besar isu dalam kelima prioritas Presidensi G20 Indonesia adalah masalah terkait dengan faktor-faktor non-ekonomi (seperti kemiskinan, ketenagakerjaan, dan perubahan iklim, dan sebagainya), implikasi permasalahannya jelas berpengaruh secara signifikan terhadap pencapaian tujuan utama G20, yaitu mendorong dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi global yang berkelanjutan. Bila merujuk pada mekanisme kerja organisasional G20 yang berbasis pada keberadaan 12 working groups (WG) dan delapan engagement groups (EG), maka kita dapat bayangkan kompleksitas isu-isu prioritas tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa salah satu tantangan terberat Presidensi G20 Indonesia adalah menetapkan skala prioritas dan mendesain strategi komunikasi kepada publik internasional (khususnya kepada sesama pimpinan negara dan lembaga multilateral di G20) serta publik domestik.

Selain menetapkan skala prioritas dan mendesain strategi komunikasi kepada publik, Indonesia juga harus menaruh perhatian pada permasalahan global di samping agenda kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan kemunculan pandemi COVID-19, perhatian global seolah hanya seputar isu kesehatan dan pertumbuhan ekonomi semata. Padahal, dengan melihat hasil kajian di bagian awal Bab 3 ini, fokus pada kedua area tersebut tidak cukup representatif. Sebagaimana yang dikatakan perwakilan dari WHO, vaksin bukan hanya isu penting bagi kesehatan, tetapi juga pembangunan, ekonomi-politik, dan sosial (WHO, FGD UN DESA, 11 Juni 2021). Cakupan isu-isu prioritas di luar agenda kesehatan dan pertumbuhan ekonomi begitu luas sehingga dapat dikelompokkan ke dalam agenda pembangunan internasional yang inklusif (inclusive international development).

Senada dengan hal tersebut, para akademisi menegaskan bahwa Presidensi G20 Indonesia sangat “timely” dan memiliki urgensi yang tinggi dalam konteks global dunia yang sepanjang 2020 ini menghadapi tekanan pandemi COVID-19 (Purwadi, FGD Akademisi, 2021). Oleh karena itu, sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan deliverables yang terukur dan dapat diimplementasikan (workable) untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan dampaknya. Hal yang perlu digarisbawahi dalam penetapan skala prioritas yang relevan dengan kepentingan nasional, setidaknya merujuk pada: (1) mandat G20 dan peran G20; (2) agenda prioritas G20; (3) kepentingan ASEAN dan negara-negara berkembang; (4) RPJPN 2005-2025 dan RPJMN 2020-2024; (5) konteks ekonomi global; (6) kepentingan ekonomi nasional; dan (7) agenda pemerintahan Presiden Joko Widodo: infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pertumbuhan ekonomi (Purwadi, FGD Akademisi, 2021).

Untuk melihat kepentingan global sekaligus agenda prioritas G20, dapat dipertimbangkan pemikiran John Kirton dari Universitas Toronto. Menurutnya, Presidensi G20 Indonesia berada pada periode kritis akibat COVID-19 ini. Permasalahan yang dihadapi oleh G20 bukan semata-mata persoalan kesehatan yang berpusat pada isu vaksin dan vaksinasi. Bila Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 yang akan datang ditempatkan dalam konteks mandat dan peran G20 sejak awal keberadaan forum ini, maka Indonesia menghadapi banyak permasalahan dunia yang fundamental. Permasalahan ini mencakup dua hal, yaitu belum terpenuhinya komitmen global untuk menyejahterakan umat manusia dan untuk melindungi ekosistem dunia yang berkaitan dengan adanya ancaman perubahan iklim (Kirton, FGD dengan University of Toronto, 17 Juni 2021).

Lebih jauh, Kirton menambahkan bahwa ada sekitar dua ribuan komitmen yang telah dibuat oleh G20, tetapi realisasinya baru mencapai 71%. Hal itu karena belum tuntasnya penyelesaian isu perubahan iklim dan perlindungan lingkungan hidup serta isu ekonomi yang mampu menyejahterakan dan mendorong pembangunan yang memegang prinsip inklusivitas, keadilan, dan berkelanjutan. Beberapa persoalan kritis

Page 77: Recover Together, Recover Stronger

62 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

dari isu perlindungan lingkungan hidup adalah penggunaan bahan bakar fosil (terutama batu bara) yang masih dilakukan secara lebih intensif ketimbang pemanfaatan energi terbarukan. Masalah lain adalah masih ekstensifnya isu deforestasi serta rusaknya lahan gambut dan kawasan mangrove yang turut menjadi sumber hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam kaitannya dengan kajian ini, penting juga bagi Presidensi G20 Indonesia untuk melihat persoalan investasi hijau (green investment). Sementara dalam konteks pembangunan yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan, Kirtin menekankan pada pentingnya mengarahkan kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung pemberdayaan pemuda serta meningkatkan kualitas pendidikan (Kirton, FGD dengan University of Toronto, 17 Juni 2021).

Atas dasar itu, maka dalam pandangan Kirton ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh Presidensi G20 Indonesia (Kirton, FGD dengan University of Toronto, 17 Juni 2021). Pertama, membangun komitmen lebih dini dengan para pemimpin G20 untuk memastikan adanya sinergi antara agenda G20 dan agenda pembangunan global TPB/SDGs. Kedua, memastikan adanya sumber-sumber pendanaan untuk pencapaian TPB/SDGs, khususnya untuk mendanai proses pengalihan konsumsi dari energi fosil, menghentikan subsidi- subsidi yang tidak produktif, dan memberantas korupsi. Ketiga adalah menyusun agenda pemulihan yang berorientasi baru ke masa depan, dan bukan mundur ke belakang. Selain itu, Presidensi G20 Indonesia di tahun 2022 dapat dikatakan bersifat transformatif karena ekspektasi masyarakat dunia akan tertuju pada Indonesia untuk dapat mengambil langkah konkrit dan membawa pemulihan, bukan saja bagi kepentingan jangka pendek dan menengah, namun lebih dari itu diharapkan dapat meletakkan dasar transformasi kebijakan yang kokoh untuk pertumbuhan yang berkelanjutan, berkeadilan dan inklusif (Purwadi, FGD Akademisi, 2021).

Senada dengan pandangan kalangan akademisi tersebut, kalangan masyarakat sipil juga menegaskan bahwa kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 harus berorientasi pada aksi-aksi yang implementatif (Saminarsih, FGD NGO, 2021). Ada dua alasan yang mendasar bagi argument ini. Pertama, karakter keanggotaan G20 sangat mungkin untuk mengarahkanhasil kesepakatan di tingkat global (tingkat G20) ke tingkat nasional dan lokal secara lebih cepat. Kedua, masyarakat sipil memiliki peran yang cukup penting dan nyata dalam mendukung pencapaian target TPB/SDGs dan juga untuk mengurangi kesenjangan antara komitmen global dan implementasi di tingkat lokal. Dengan demikian, diperlukan strategi kemitraan yang melibatkan peran swasta dalam aspek-aspek pelayanan publik serta memberdayakan peran perempuan dan pemuda.

Dari pembahasan yang telah dilakukan terhadap isu-isu prioritas pada bagian awal bab ini, jelas bahwa isu-isu prioritas tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang bersifat multilevel dan multidimensional serta cross-cutting. Key deliverables secara sektoral yang tampaknya dimungkinkan oleh Indonesia (berdasarkan skala prioritas) adalah kesehatan, pariwisata, pertanian, lingkungan hidup, pendidikan, ketenagakerjaan dan industri perdagangan. Namun, berdasarkan isu prioritas di masing-masing working groups maka key deliverables dapat berkembang lebih banyak karena working groups dibentuk berdasarkan pandangan sektoral para pengelola kementerian atau kelembagaan yang juga dipengaruhi oleh budaya kerja dan skala prioritas kepentingan sektoralnya.

Oleh karena itu, pada bagian terakhir dari Bab 3 ini, penting untuk membahas cross cutting issues yang akan mendasari tawaran kebijakan transformatif dari Presidensi G20 Indonesia. Ada enam cross- cutting issues yang ditawarkan Indonesia, yaitu (1) penguatan UMKM; (2) pemberdayaan perempuan dan pemuda; (3) pemberian hak kaum difabel di dalam pekerjaan; (4) penguatan pendidikan vokasi; (5) pengembangan ekonomi digital; dan (6) pengembangan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon.

Secara umum, keenam cross cutting issues tersebut dapat dimaknai sebagai upaya membangun SDM yang berkualitas secara inklusif melalui penguatan basis pendidikan, keterampilan (vokasi), dan ekonomi (UMKM) untuk menjawab tantangan dinamika perekonomian global dengan bertumpu pada transformasi digital dan pembangunan rendah karbon. Pembahasan cross-cutting issues tersebut merujuk pada tema prioritas dalam kelima prioritas Presidensi G20 Indonesia yang sekaligus juga sejalan dengan elemen-elemen kunci dari warisan permasalahan global yang masih hadir hingga hari ini, yaitu: produktivitas (productivity),

Page 78: Recover Together, Recover Stronger

63 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

ketahanan (resilience), pemberdayaan (empowerment), kesetaraan (equality), inklusivitas (inclusivity), keberlanjutan (sustainability) dan tata kelola/multilateralisme. Rujukan terakhir adalah ketujuhbelas tujuan dalam TPB/SDGs yang menjadi kerangka utama dari langkah transformatif Presidensi G20 Indonesia. Pembahasan cross-cutting issues ini diharapkan dapat mendukung upaya kepemimpinan global Indonesia untuk membentuk masa depan (“shaping the future”) dan menghubungkan kepentingan lokal dan nasional Indonesia dengan kepentingan global (“connecting Indonesian local and national interests to global interests”) (Simarmata, FGD Akademisi, 2021).

3.2.1 Penguatan UMKM

Penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau UMKM (Micro, Small, Medium Enterprises atau MSMEs) pertama-tama berkaitan erat dengan isu produktivitas. UMKM merupakan mitra penting dalam upaya pemulihan ekonomi nasional maupun perdagangan internasional (ekspor). Di Indonesia, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) cukup besar, mencapai sekitar 61,07%. Isu penguatan UMKM juga penting karena nilai ekspor UMKM Indonesia masih relatif rendah, yakni baru mencapai 5,2%. Sementara itu, negara lain seperti Singapura memiliki nilai ekspor UMKM yang mencapai 41% dan Tiongkok mencapai sebesar 60% Dalam konteks mempromosikan produktivitas pasca-COVID-19, pemerintah Indonesia pun menargetkan kontribusi UMKM terhadap PDB naik menjadi 65% di tahun 2024 (Waseso, 29 Desember 2020).

Upaya mengejar target produktivitas UMKM tersebut tentunya tidak mudah. Menurut Staf Ahli Menteri Koperasi dan UMKM Bidang Produktivitas dan Daya Saing, dampak pandemi global COVID-19 sangat memukul UMKM Indonesia di semua lini bisnis, baik dari sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand). Selama pandemi COVID-19, terjadi penurunan permintaan dari pelanggan dan kesulitan untuk berjualan. Sementara itu, dari aspek produksi, terjadi kenaikan harga barang baku, kesulitan mendapat bahan baku, serta kesulitan mendapatkan sumber keuangan (Catriana, 4 Januari 2021). Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 87,5% UMKM Indonesia terdampak serius oleh pandemi COVID-19 dan dari jumlah ini sekitar 93,2% di antaranya terkena dampak negatif dari sisi penjualan (Saputra, 19 Maret 2021).

Penguatan UMKM ini juga terkait erat dengan pemberdayaan perempuan. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM yang dikelola oleh perempuan pada tahun 2019 mencapai 14 juta unit. Sedangkan di tahun 2020, dalam catatan data penelitian International Finance Corporation (IFC) jumlahnya mencapai 30,6 juta unit. Menurut survei Sasakawa Peace Foundation & Dalberg, persentase wirausahawan perempuan di Indonesia dianggap cukup tinggi, yaitu 21%. Nilai ini bahkan lebih tinggi di atas rata-rata global yang hanya mencapai 8% (Yunianto, 11 Agustus 2020).

Namun demikian, tingginya partisipasi perempuan Indonesia dalam menggerakkan UMKM tidak disertai dengan kualitas kapasitas dan kondisi secara umum. Misalnya saja, terbatasnya akses ke permodalan, minimnya edukasi dan kurangnya peluang yang sama dengan pelaku UMKM laki-laki. Selain itu, tidak sedikit pula perempuan yang terpaksa bergerak di UMKM sebagai hasil dari pemutusan hubungan kerja di sektor formal. Oleh karenanya, pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan produktivitas UMKM memerlukan penekanan pada dua aspek, yaitu bantuan modal dan edukasi atau pelatihan. Yang juga menarik untuk digarisbawahi adalah bahwa perempuan diyakini memiliki potensi alamiah yang bagus untuk menjadi pelaku UMKM yang tangguh, sehingga penting untuk memberikan pembinaan dan pendampingan bagi mereka (Yunianto, Agustus 2020). Dengan demikian, jelas bahwa peningkatan UMKM terkait erat dengan pemberdayaan perempuan karena besarnya jumlah perempuan yang terlibat sebagai pelaku UMKM dan besarnya potensi yang dimilikinya.

Isu pemberdayaan UMKM juga merujuk pada pemberdayaan pemuda. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020, penduduk Indonesia didominasi oleh usia muda. Ada dua kategori, yaitu generasi Z (berusia antara 8 sampai 23 tahun) yang mencapai 75,49 juta atau setara dengan 27,94% dari total penduduk di Indonesia dan generasi millennial (berusia antara 24 sampai 39 tahun) yang berjumlah 69,38 juta jiwa atau sebesar 25,87% (Idris, Januari 2021). Sementara itu, berdasarkan survei World Economic Forum tahun 2019, tercatat ada 35,5%

Page 79: Recover Together, Recover Stronger

64 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

pemuda usia 15 sampai dengan 35 tahun di Indonesia ingin menjadi pengusaha. Dari hasil kedua survei tersebut, dan dalam kaitannya dengan proyeksi bonus demografi Indonesia pada tahun 2030, pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat mendukung pemberdayaan pemuda, khususnya dalam sektor UMKM. Dengan tingkat penyerapan UMKM yang besar terhadap tenaga kerja dan kontribusi penting UMKM terhadap PDB Indonesia, maka jelas bahwa penguatan UMKM juga berarti mendorong pemberdayaan pemuda.

Penguatan UMKM dalam konteks peningkatan produktivitas dan kaitan dengan pemberdayaan perempuan dan pemuda pada gilirannya berkaitan erat dengan isu pengembangan ekonomi digital. Di satu sisi, perlu diakui bahwa UMKM di Indonesia memiliki profil yang cukup baik dengan jumlah mencapai 64,2 juta UMKM, tingkat kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07% atau senilai 8.573,89 triliun Rupiah, tingkat penyerapan tenaga kerja sebesar 97% dari total tenaga kerja, dan dapat menghimpun sampai 60,42% dari total investasi. Akan tetapi, kemampuan ekspor UMKM Indonesia masih terbatas, yakni hanya menyumbang 14,37% dari total ekspor. Pemanfaatan e-commerce juga masih terbilang rendah, yaitu hanya sekitar 21% (Tim PRMN 06, Juli 2021). Menurut Menteri Koperasi dan UKM, pandemi COVID-19 diharapkan dapat mendorong para pelaku UMKM untuk masuk dalam ekosistem ekonomi digital karena dapat memperluas pangsa pasar mereka.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia, transaksi perdagangan secara elektronik (e-commerce) tumbuh hingga 33%, dari 253 triliun Rupiah pada tahun 2020 mencapai 337 triliun Rupiah pada tahun 2021. Selama masa pandemi, walaupun banyak yang terdampak, tetapi ada sebagian di antaranya, yaitu 12,5% dari pelaku UMKM, yang tidak terkena dampak pandemi. Bahkan, sebanyak 27,6% di antaranya justru menunjukkan peningkatan penjualan (Saputra, Maret 2021). Perkembangan ekonomi digital seiring dengan pertumbuhan e-commerce diproyeksikan oleh McKinsey akan bertumbuh hingga 55—65 miliar Dolar AS (sekitar 808 triliun hingga 955 triliun Rupiah) pada tahun 2022. Dengan semakin banyaknya pengguna telepon pintar dan jumlah konsumen muda di Indonesia yang cerdas secara digital, serta adanya berbagai kebijakan pemerintah yang mendukung pasar e-commerce, UMKM pun menjadi sangat perlu memanfaatkan kemajuan teknologi dalam proses bisnis, mulai dari aspek produksi hingga pemasaran (Susanto, Desember 2020). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa transformasi digital di kalangan pelaku UMKM merupakan keniscayaan dan potensial membawa dampak positif bagi penguatan UMKM untuk mendukung produktivitas ekonomi nasional.

Di samping isu produktivitas, penguatan UMKM juga terkait dengan isu keberlanjutan (sustainability). Keberlanjutan penguatan UMKM pada dasarnya akan sangat dipengaruhi oleh konsistensi kebijakan pemerintah dalam hal penyediaan infrastruktur digital, pemberian modal usaha, pelatihan literasi digital, pelatihan bisnis manajemen – baik terkait aspek produksi maupun pemasaran, serta pelatihan manajemen keuangan dan pengembangan jejaring kerja (relasi bisnis) baik di tingkat nasional maupun internasional. Satu hal yang juga tidak kalah penting adalah pengembangan wawasan dan penguatan pemahaman tentang standar norma-norma pembangunan berkelanjutan dan inklusif yang harus dipahami oleh para pelaku UMKM, terutama bila ingin memasuki pasar tradisional Uni Eropa yang sangat besar namun sangat ketat dengan penerapan norma-norma keberlanjutan ini. Meskipun Tiongkok muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia, namun Uni Eropa tetap menjadi pemain kunci dalam mengontrol sistem regulasi dan norma- norma dalam perdagangan dunia secara unilateral. Anu Bradfort (2020) menyebut kekuatan Uni Eropa ini sebagai “regulatory power”. Dalam topik perdagangan kopi, misalnya, pasar Uni Eropa sangat menjanjikan, tetapi agak sulit dimasuki karena prosedur teknis, berbagai regulasi, serta norma standar berdasarkan prinsip keberlanjutan yang dipersyaratkan sangatlah ketat. Contohnya adalah Regulasi Uni Eropa Nomor 1085/2020 pada 23 Juli 2020 tentang tentang batas maksimal residu Chlorpyrifos dan Chlorpyrifos-methyl dalam produk pangan dan Regulasi Nomor 396/2005 hasil revisi tentang tingkat maksimum residu pestisida di dalam atau pada makanan dan pakan yang berasal dari tumbuhan dan hewan.

Page 80: Recover Together, Recover Stronger

65 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Para pelaku UMKM Indonesia yang mengekspor komoditi kopi ke Uni Eropa, khususnya ke Jerman, bukan saja harus unggul dalam kualitas produk kopinya, tetapi juga harus siap menghadapi tantangan regulasi tersebut. Persaingan ketat dengan negara-negara berkembang lain seperti Vietnam dan beberapa negara di Amerika juga menambah tantangan Indonesia (Timorria, September 2020). Dalam kondisi seperti itu, peran pemerintah dalam pembinaan kualitas produk, promosi dan pemasaran, termasuk diplomasi ekonomi di negara-negara tujuan ekspor, menjadi sangat sentral.

3.2.2 Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan

Ada beberapa tren global dan regional yang menarik untuk dikemukakan terkait isu pemberdayaan pemuda dan perempuan (ILO, 2020), di antaranya (1) tingkat partisipasi pemuda sebagai tenaga kerja secara global cenderung menurun, (2) kontribusi pemuda di sektor ketenagakerjaan menurun, (3) tingkat pengangguran di kalangan pemuda walau stabil tetapi tetap lebih tinggi dari kalangan dewasa, (4) potensi pemuda belum sepenuhnya teraktualisasi, (5) perkembangan teknologi yang mempengaruhi pasar kerja memberikan peluang sekaligus tantangan bagi kalangan pemuda. Dalam laporannya, ILO (2020) menyebutkan bahwa antara periode 1999 – 2019, meskipun populasi pemuda meningkat dari 1 miliar ke 1,3 miliar orang, namun jumlah mereka yang terlibat dalam ketenagakerjaan menurun dari 568 juta orang ke 497 juta orang. Di satu sisi, tren statistik ini menunjukkan adanya kenaikan dalam angka partisipasi di pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi, di sisi lain, jumlah mereka yang masuk dalam kategori Not in Employment, Education or Training (NEET) juga mengalami peningkatan secara substantif, dan ironisnya sebagian besar dari mereka adalah perempuan.

Laporan ILO ini (2020) juga menjelaskan bahwa meskipun ada sekitar 41 juta pemuda yang potensial untuk dapat bekerja, secara global tingkat pengangguran di kalangan pemudaberkisar 13,6%, sedangkan secara regional persentasenya cenderung bervariasi, misalnya di Amerika Utara 9%, dan di Afrika Utara mencapai 30%. Namun yang pasti, dari semua jumlah ini, mayoritas pengangguran adalah kalangan perempuan. Secara global, kelompok NEET di kalangan pemuda keseluruhannya mencapai seperlima dari populasi dunia, dan ketimpangan genderdalam masalah ini cukup besar, terutama di sejumlah kawasan. Lebih dari itu, secara spesifik kondisi tersebut memberikan tantangan terhadap masalah yang dihadapi kaum muda saat ini, yaitu (1) rentan terhadap kemiskinan dan terlibat dalam pekerjaan informal yang tidak memenuhi standar kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan, serta (2) rentan terhadap perkembangan teknologi dan tren robotisasi di dunia industri yang potensial mengurangi peluang kerja.

Dengan demikian, jelas bahwa isu pemberdayaan pemuda dan perempuan ini menjadi relevan dengan isu produktivitas dan kesetaraan di dalam peta permasalahan global. Sementara itu, di level kebijakan nasional, isu ini cross-cutting dengan isu penguatan UMKM, penguatan pendidikan vokasi serta pengembangan ekonomi digital.

Isu pemberdayaan pemuda dan perempuan juga terkait erat dengan penguatan UMKM karena 97% lapangan pekerjaan di Indonesia bergerak di sektor UMKM dan UMKM banyak dimotori oleh pemuda. Dari total jumlah UMKM di Indonesia, sekitar 70% bergerak di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf). Parekraf memiliki 17 subsektor, di antaranya kuliner, fashion dan kriya. Menurut Menparekraf Indonesia, peran pemuda dalam menggerakkan sektor parekraf sangat penting (Lingga, Februari 2021). Pentingnya peran pemuda dalam pemulihan sektor pariwisata Indonesia, khususnya dalam pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dalam rangka konservasi sumber daya alam Indonesia, juga dinyatakan oleh Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Bappenas (Bappenas, Oktober 2020). Sementara itu, dalam kaitan khusus dengan industri kreatif, pemuda mempunyai peluang besar untuk berkontribusi bagi pemulihan ekonomi nasional dan melalui keterlibatan mereka dalam industri kreatif, karena pemuda umumnya memiliki ide-ide kreatif serta kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap kemajuan teknologi (Sutriyanto, Oktober 2020).

Page 81: Recover Together, Recover Stronger

66 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Gambaran global juga menunjukkan tingkat partisipasi kerja yang besar dari kaum muda (mereka yang berada pada rentang usia 15 – 24 tahun) di sektor pariwisata ini. Data di sejumlah negara G20 menunjukkan persentase partisipasi kaum muda terhadap total tenaga kerja pariwisata nasional cukup signifikan. Sebagai contoh, partisipasi pemuda di sektor pariwisata Kanada mencapai sebesar 32,4%, di Amerika Serikat sebesar 29,4% dan di Inggris sebesar 27,8% (WTTC, 2021). Sementara itu, menurut data UNWTO (2018), pada tahun 2018 persentase perempuan yang bekerja di sektor pariwisata mencapai angka 54%.

Namun, jenis pekerjaan yang perempuan miliki tetap terkonsentrasi dipekerjaan tingkat rendah (blue workers) dan kurang terwakili secara lebih proporsional di tingkat profesional yang lebih tinggi. Ini berarti, meskipun partisipasi perempuan dalam industri pariwisata jumlahnya signifikan, kualitas partisipasi mereka tetap buruk, khususnya dalam masalah kesenjangan gaji. Data UNWTO (2018) menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja dalam sektor pariwisata masih terus memiliki penghasilan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Catatan lain dari UN Women (2020) menunjukkan bahwa perempuan mendominasi di banyak mata rantai industri pariwisata yang paling terpukul oleh COVID-19, seperti industri layanan makanan, ritel, dan hiburan, dengan total 40% atau 510 juta perempuan dari semua perempuan yang bekerja (dibandingkan 36,6% bagi laki-laki). Dengan demikian, kerugian dalam sektor pariwisata akibat COVID-19 juga berdampak langsung pada hilangnya lapangan pekerjaan bagi banyak perempuan (UN Women, 2020).

Dari paparan data tersebut, maka jelas bahwa isu pemberdayaan pemuda dan perempuan sangat penting dan juga sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan dan keterampilan. Pendidikan vokasi adalah salah satu jenis pendidikan yang dianggap relevan untuk diperhatikan dalam konteks peningkatan kualitas kaum muda dan perempuan sebagai tenaga kerja, karena jumlah mereka yang besar dalam pasar tenaga kerja global maupun nasional, khususnya di sektor UMKM dan pariwisata. Kualitas tenaga kerja merupakan isu yang penting dalam menentukan tingkat produktivitas dalam pengelolaan asset-aset produksi – baik SDM maupun SDA – yang pada gilirannya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang kuat (Putri, Maret 2021).

Isu pemberdayaan pemuda dan perempuan dalam kaitan dengan isu kualitas tenaga kerja juga akan terkait dengan isu pengembangan ekonomi digital karena ekonomi digital memerlukan tingkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan tertentu dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Pendidikan, sekali lagi, akan berperan sentral dalam pemberdayaan pemuda dan perempuan sebagai tenaga kerja yang berkualitas.

3.2.3 Penguatan Pendidikan Vokasi

Penguatan pendidikan vokasi sangat relevan dengan isu pemberdayaan pemuda dan perempuan, penguatan UMKM dan pengembangan ekonomi digital. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang berorientasi pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang setara dengan program diploma. Para lulusan vokasi diproyeksikan dapat cepat terserap di dunia kerja dengan harapan dapat mendukung produktivitas. Keterampilan yang dikembangkan cenderung berada pada level menengah, seperti manufaktur dan merakit. Sejauh ini program pendidikan vokasi di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk mendukung kemajuan industri yang diharapkan, termasuk pengembangan literasi digitaltenaga kerja untuk memperkuat ekosistem ekonomi digital, sebagaimana diakui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim. Permasalahannya meliputi aspek kurikulum yang kurang selaras dengan kebutuhan industri, minimnya kualitas guru, rendahnya kompetensi dan kesiapan mental para lulusan.

Pengembangan pendidikan vokasi diharapkan bukan saja dapat mengatasi pengangguran di kalangan pemuda dan perempuan, tetapi juga penting untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia, khususnya di sektor pariwisata dan pertanian serta industri yang menjadi basis pertumbuhan ekonomi Indonesia. Orientasi pendidikan vokasi juga tampaknya harus diperjelas karena para lulusan vokasi termasuk yang rentan dengan fenomena otomatisasi di sektor industri. Seiring dengan berbagai tantangan global yang ada, aspek-aspek yang penting dalam kurikulum pendidikan vokasi antara lain mencakup kewirausahaan, manajemen strategis, komunikasi strategis dan kepemimpinan bisnis.

Page 82: Recover Together, Recover Stronger

67 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.2.4 Pemberian Hak Kaum Difabel

Kaum difabel atau penyandang disabilitas, baik lelaki maupun perempuan, adalah kelompok khusus yang berpotensi menjadi tenaga kerja yang produktif. Masalah utamanya adalah edukasi dan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. Definisi kelompok penyandang disabilitas ini bukan hanya yang bersifat fisik (terlihat) tetapi juga yang bersifat mental (tidak terlihat) sehingga keterjangkauan perhatian dan kebijakan pemerintah belum maksimal. Menurut data WHO yang dilansir dari situs International Day of People with Disabilities (IDPWD), ada sebesar 15% dari total populasi dunia saat ini, atau sekitar 1 miliar orang penyandang disabilitas. Dari jumlah ini, diperkirakan ada 450 juta orang yang masuk dalam kategori disabilitas mental, seperti depresi, bipolar, dan psikosis, yang dua pertiga di antaranya tidak mendapatkan bantuan medis professional akibat stigma, diskriminasi dan penelantaran (Sulistyowati, Desember 2020).

Di Indonesia, merujuk data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, ada 21,84 juta jiwa penyandang disabilitas. Berdasarkan data berjalan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah penyandang disabilitas Indonesia mencapai 22,5 juta jiwa. Jumlah ini melebihi jumlah populasi penduduk di Sri Lanka, Belanda dan Rumania. Dari jumlah tersebut, penyandang disabilitas yang bekerja di tahun 2019 hanya 9,91 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terbuka di kelompok penyandang disabilitas di Indonesia sangat banyak. Kondisi ini tentu akan terkait dengan tingkat kesejahteraan para penyandang disabilitas. Belum lagi stigma dan perlakuan diskriminatif yang mereka terima dari masyarakat, tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis ataupun kesehatan mental mereka (Sulistyowati, Desember 2020).

Bila merujuk pada konstitusi WHO, peran negara untuk merespon tantangan atas realita penyandang disabilitas ini sangat jelas dan mendesak. Dua dari tiga prinsip fundamental dalam konstitusi WHO menyatakan sebagai berikut: (1) kesehatan adalah hak asasi manusia, karenanya pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas adalah hak semua orang tanpa terkecuali; dan (2) kesehatan seseorang harus dilihat secara komprehensif, bukan sekedar kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental. Dengan demikian, penanganan terhadap kelompok disabilitas ini berkaitan erat dengan isu pemberdayaan. Pertanyaannya kemudian adalah langkah pemberdayaan seperti apa yang harus dilakukan.

Dalam konteks pemberdayaan, isu yang terkait erat adalah pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi untuk kelompok ini perlu berorientasi pada pemberdayaan yang mampu memandirikan mereka di tengah masyarakat, bukan sekedar mendidik mereka untuk siap menjadi tenaga kerja Oleh karenanya, sistem pendidikan bagi penyandang disabilitas perlu menekankan pada pengembangan aspek keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatmereka, serta membangun jiwa kewirausahaan, pengetahuan bisnis dan keterampilan-keterampilan praktis terkait pengelolaan usaha. Pemerintah juga perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak (affirmative policies) kepada pengembangan dan pemasaran usaha-usaha mereka. Dengan kata lain, prinsip kesetaraan dalam upaya pemberdayaan para penyandang disabilitas juga sangat penting diperhatikan.

Bila semua ini dapat dilakukan secara sistemik dan konsisten sesuai amanat undang-undang, maka dengan jumlah populasi yang cukup banyak, penyandang disabilitas dapat berkontribusi secara signifikan terhadap produktivitas ekonomi dan sosial bangsa. Pandemi COVID-19 perlu dijadikan momentum untuk menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa penguatan kualitas SDM semua anak bangsa, disertai pembangunan infrastruktur yang relevan dan program-program pendidikan yang terintegrasi, harus menjadi prioritas utama (Kemenko PMK, Desember 2020).

Page 83: Recover Together, Recover Stronger

68 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

3.2.5 Pengembangan Ekonomi Digital

Ekonomi digital memiliki pengertian yang luas. Salah satu fokusnya adalah adanya inovasi teknologi yang mempengaruhi aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat. Pengembangan ekonomi dan keuangan digital dapat menumbuhkan inovasi, kewirausahaan (entrepreneurship) dan pertumbuhan ekonomi, memperluas akses pasar (terutama bagi UMKM), dan meningkatkan kualitas layanan sosial dan publik menjadi lebih baik, lebih cepat, dan lebih terjangkau.

Pengembangan ekonomi digital adalah salah satu isu strategis yang harus dikelola secara sistematis dan terintegrasi serta dengan kehati-hatian. Hal ini karena transformasi digital merupakan salah satu fenomena global yang tidak terhindari tetapi memiliki potensi dampak negatif di samping potensi dampak positifnya yang sangat besar. Secara ekonomis, isu pengembangan ekonomi digital terkait erat dengan elemen kunci dari permasalahan global saat ini, yaitu produktivitas, pemberdayaan, keberlanjutan, dan tata kelola. Secara bersamaan, isu pengembangan ekonomi digital juga cross-cutting dengan isu-isu strategis lain, yaitu penguatan UMKM, pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta penguatan pendidikan vokasi. Pengembangan ekonomi digital juga bersifat strategis karena adanya tren ketertarikan yang besar dari kalangan anak muda dan perempuan di dalam pengelolaan usaha rintisan (start-up) yang berbasis kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Selain itu, pemerintah pun juga semakin menyadari bahwa potensi UMKM yang sangat besar akan sulit dikembangkan apabila tidak diintegrasikan ke dalam ekosistem ekonomi digital. Secara faktual, selama masa pandemi, pola perdagangan e-commerce terbukti telah membuat sebagian pelaku usaha mampu bertahan dan bahkan meningkatkan produktivitas mereka. Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, selama masa pandemic, pertumbuhan ekonomi digital berkontribusi sebesar 11% bagi perekonomian nasional. Sepanjang 2020, tercatat bahwa ada 64 juta UMKM yang sudah terdigitalisasi dengan platform digital dan angka ini terus bertambah. Di kuartal pertama 2021 saja, tercatat sudah ada penambahan 11 juta UMKM baru yang turut melakukan transformasi digital untuk mendukung usaha mereka (Ananda, April 2021)

Oleh karena itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI mendorong agar situasi pandemi dapat dijadikan momentum untuk mempercepat transformasi digital, termasuk inklusi finansial dan sistem pembayaran digital, untuk dapat mengejar target Indonesia di tahun 2045 (target keluar dari kondisi “middle incometrap”).Ada empat langkah strategis yang perlu dilakukan: (1) mendorong peningkatan akses ke teknologi digital; (2) mengembangkan keterampilan atau literasi digital dan meningkatkan ketersediaan talenta digital; (3) memfasilitasi peningkatan kualitas layanan digital; dan (4) memperluas kesempatan bagi para pekerja informal dalam meningkatkan pendapatan mereka (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mei 2021). Selain itu, menurut Menteri Kominfo, Indonesia membutuhkan sedikitnya 9 juta SDM berkemampuan digital yang siap dipakai di sektor kerja ekonomi digital dalam rangka mendukung transformasi digital Indonesia. Transformasi digital akan membutuhkan 4 aspek strategis berikut ini, yaitu infrastruktur digital, pemerintahan digital, ekonomi digital, dan masyarakat digital (Ananda, April 2021).

Dari paparan langkah strategis tersebut, jelas bahwa pengembangan ekonomi digital erat kaitannya dengan isu pemberdayaan dan pendidikan vokasi serta tata kelola. Pengembangan ekonomi digital juga relevan dalam konteks inklusivitas, salah satu isu penting dalam permasalahan global dewasa ini. Menurut laporan khusus ILO berjudul “An Inclusive Digital Economy for People with Disabilities” pada 2021 (bekerja sama dengan Foundation ONCE serta Global Business and Disability Network), kelompok penyandang disabilitas mempunyai hak untuk terlibat dalam pengembangan ekonomi digital. Selama ini, kelompok disabilitas di seluruh dunia, termasuk di wilayah Uni Eropa, mengalami situasi dan kondisi yang dekat dengan kemiskinan, pendidikan yang rendah, perlakuan diskriminatif khususnya para penyandang disabilitas perempuan serta terbatasnya akses terhadap dunia kerja.

Page 84: Recover Together, Recover Stronger

69 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Pandemi COVID-19 harusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengambil langkah transformatif menuju ekonomi digital yang inklusif. Ada 3 aspek penting dalam langkah transformatif ini, yaitu (1) memastikan ketersediaan akses bagi penyandang disabilitas (ensuring accessibility for people with disabilities); (2) mengembangkan keterampilan digital di kalangan para penyandang disabilitas (promoting digital skill amongst people with disabilities); dan (3) mengembangkan lapangan kerja digital bagi para penyandang disabilitas (promoting the digital employment of people with disabilities). Langkah-langkah transformatif ini hanya dapat terealisasikan dengan baik melalui strategi kemitraan multipihak yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, yaitu pemerintah atau otoritas publik, korporasi, industri digital, mitra sosial (asosiasi pekerja atau serikat pekerja), akademisi, dan para penyandang disabilitas berikut organisasi yang mendampingi mereka.

3.2.6 Pengembangan Ekonomi Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada terhadap sektor UMKM, ditemukan bahwa praktik bisnis berkelanjutan di kalangan UMKM dirasakan sebagai sebuah keunggulan yang mendukung reputasi bisnis mereka. Menurut Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, para pelaku UMKM ini memerlukan dukungan untuk tetap dapat berkomitmen melakukan praktik bisnis berkelanjutan. Kita dapat mencontoh pemerintah Malaysia yang memberikan pinjaman lunak bagi bisnis yang menerapkan praktik ramah lingkungan (program Green Technology Financial Scheme). Skema ini telah memasuki tahap kedua dengan total pendanaan 2 miliar Ringgit Malaysia (Greenpeace Indonesia, Desember 2020).

Pengembangan ekonomi hijau penting dijadikan bagian dari penguatan UMKM, terutama di sektor pertanian (agrobisnis) dan pariwisata, dua sektor dengan jumlah pelaku UMKM yang besar dan penyerapan banyak tenaga kerja dari kalangan masyarakat bawah. Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan pemerintah Inggris, telah memberikan program edukasi tentang praktik bisnis hijau di kalangan pelaku UMKM pertanian di Papua dan Papua Barat. Langkah ini sangat strategis karena selain meningkatkan pendapatan komunitas lokal Papua, juga bermanfaat bagi pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Pemerintah Indonesia juga sudah memasukkan pembangunan rendah karbon dalam RPJMN 2020—2024. Sektor-sektor yang menjadi target pencapaian pembangunan ini adalah kehutanan, lahan gambut, pertanian, wilayah pesisir dan laut, energi, transportasi, pengelolaan limbah, dan ketahanan iklim.

Namun, kehadiran pandemi COVID-19 membuat alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk proyek-proyek pembangunan rendah karbon jangka panjang terhambat, utamanya karena pendanaan. Sebagai contoh, pendanaan Inggris untuk program edukasi hijau bagi UMKM pertanian di Papua dan Papua Barat dihentikan sehubungan dengan tekanan ekonomi yang sedang terjadi di Inggris (Kanisa, Juni 2021). Meskipun situasi pendanaan di masa pandemi ini cukup mengkhawatirkan, pandemi ini diharapkan dapat menciptakan stimulus untuk berinvestasi bagi pertumbuhan ekonomi hijau (Isdijoso et al, 2020).

Dalam kaitan dengan pemberdayaan dan ketenagakerjaan pemuda, perwakilan UNDP di Indonesia, menyatakan bahwa pemuda dapat memegang kunci untuk transisi menuju ekonomi hijau. Keberhasilan pemulihan Indonesia pasca-COVID-19 bertumpu pada dua aspek utama: lanskap negara tentang ekonomi hijau dan kesiapan populasi mudanya (Andryandy, Mei 2021). Menurut studi oleh Greenpeace, ekonomi hijau berpotensi menciptakan peluang bisnis hingga sebesar 10,110 miliar Dolar AS serta menciptakan lapangan kerja senilai 395 juta Dolar AS. Ada tiga sektor utama yang berkaitan dengan ekonomi hijau ini, yaitu (1) pangan dan pemanfaatan lahan dan lautan, (2) infrastruktur dan lingkungan buatan, serta (3) energi dan industri ekstraktif. Negara-negara di Asia berpeluang menyumbang 60% pekerjaan di sektor energi terbarukan (Yoshio, November 2020).

Page 85: Recover Together, Recover Stronger

70 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Paparan data-data tersebut menunjukkan bahwa ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon erat kaitannya dengan penguatan UMKM dan pemberdayaan pemuda, pemenuhan hak difabel, pengembangan ekonomi digital serta pendidikan vokasi karena peluang kerja yang diciptakannya sangat signifikan, dinamis dan menjadi perhatian bukan saja negara berkembang, tetapi juga negara di seluruh dunia.

Berikutnya, akan dijelaskan secara singkat bagaimana keterkaitan dari keenam cross-cutting issues yang telah diulas di atas dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs). Sebagaimana telah disebut di atas, kelima cross-cutting issues ini memberikan tantangan bagi Presidensi G20 Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kebijakan transformatif yang tidak saja berkaitan dengan kepentingan nasional, tetapi juga sesuai dengan aspirasi global. Kebijakan transformatif ini pada intinya adalah kebijakan yang dapat membawa aksi-aksi positif dalam rangka mengatasi dampak COVID-19 tetapi sekaligus pencapaian target TPB/SDGs.

Pertama, penguatan UMKM terkait erat dengan upaya pengentasan kemiskinan (no poverty) yang merupakan target pertama TPB/SDGs. Akibat COVID-19, angka kemiskinan cenderung bertambah di Indonesia dengan cukup signifikan sebanyak 8,5 juta jiwa, naik sebesar 3,2% dari tingkat kemiskinan tahun 2019. Sementara di tingkat global, dari sebuah studi terhadap 138 negara berkembang dan 26 negara berpendapatan tinggi, diprediksi terdapat 85 juta orang yang jatuh dalam kemiskinan (Smeru Institute, 2021). Hal ini sehubungan dengan karena banyaknya pelaku usaha UMKM yang ikut terpukul akibat COVID-19, lumpuhnya sektor pariwisata, dan menurunnya berbagai aktivitas perdagangan secara umum baik dari sisi produksi maupun konsumsi dikarenakan pembatasan mobilitas, kekhawatiran publik dan terganggunya kesehatan warga secara umum.

Kedua, memulihkan kembali produktivitas UMKM juga berarti memenuhi target TPB/SDGs tujuan kedelapan, yaitu membuka peluang kerja dan menggerakkan basis pertumbuhan ekonomi (decent works and economic growth). UMKM mendominasi populasi pelaku usaha di Indonesia hingga 99%. Oleh karena itu, pemulihan UMKM menjadi kunci bagi ekonomi nasional untuk pulih dan mampu beradaptasi serta bertransformasi (Anggraeni, Desember 2020, dalam sindonews.com). Menurut Direktur Research Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, peran UMKM sangat besar – bukan hanya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga bagi penyerapan tenaga kerja (secara keseluruhan mencapai angka hingga 97%) (Putra, 16 Juli 2021). Penggerak UMKM kebanyakan berasal dari kelompok perempuan dan pemuda yang sebagian besar banyak berlatar belakang pendidikan dasar dan menengah. Pemberdayaan perempuan dan pemuda pun dapat mengatasi instabilitas sosial akibat pengangguran dan kemandekan ekonomi. Dengan demikian, memulihkan kembali UMKM juga berarti memberdayakan pemuda dan perempuan dalam kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang produktif dan yang mendorong terbukanya gagasan-gagasan kreatif dan inovatif, serta dapat dikaitkan dengan kepedulian lingkungan.

Ketiga,pemulihan UMKM dalam perspektif pembangunan yang transformatif bukan sekedar mendorong angka pertumbuhan jangka pendek dan menengah, tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas pendidikan para pemuda, meningkatkan kesetaraan gender, serta menghapus ketimpangan terhadap para tenaga kerja perempuan, sesuai dengan target TPB/SDGs keempat (“Quality Education”), TPB/ SDGs kelima (“Gender Equality”) dan TPB/SDGs kesepuluh (“Reduced Inequalities”). Sebagaimana telah dipaparkan di atas, langkah kebijakan transformatif ini harus dimulai dari bidang pendidikan, khususnya pendidikan vokasi. Langkah ini juga harus dimulai dengan memberikan ruang yang lebih representatif kepada kelompok perempuan, termasuk mereka yang merupakan penyandang disabilitas, untuk dapat menunjukkan potensi mereka dalam bidang pariwisata dan kewirausahaan. Pendidikan sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas tenaga-tenaga kerja yang terampil dengan basis pengetahuan kuat mengenai norma-norma pembangunan berkelanjutan, baik di level manajerial maupun praktikal.

Page 86: Recover Together, Recover Stronger

71 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Keempat, penguatan UMKM dapat bersinergi dengan pengembangan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon yang implikasinya sangat luas dalam mendukung pencapaian hampir semua target-target TPB/SDGs. Pengembangan ekonomi hijau dan pembangunan rendah karbon dalam kaitannya dengan penguatan UMKM di sejumlah sektor berpotensi mendukung pemenuhan TPB/SDGs, bukan hanya dalam pertumbuhan ekonomi (TPB/SDGs nomor 8 “Decent Works and Economic Growth” dan nomor 9 “Industry, Innovation and Infrastructure”), tetapi juga kesejahteraan sosial (TPB/SDGs nomor 1 “No Poverty”, nomor 2, “Zero Hunger”, nomor 3 “Good Health and Well-Being”, nomor 4 “Quality Education”, nomor 5 “Gender Equality”, nomor 6 “Clean Water and Sanitation”) dan perlindungan lingkungan hidup, baik dalam aspek ekosistem darat maupun laut serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim (TPB/SDGs nomor 7 “Affordable and Clean Energy”, nomor 11 “Sustainable Cities and Communities”, nomor 12 “Responsible Consumption and Production”, nomor 13 “Climate Action”, nomor 14 “Life below Water”, dan nomor 15 “Life on Land”). Selain itu karena karakter isunya, maka dua tujuan tambahan juga akan tercapai, yaitu TPB/SDGs nomor 16 (“Peace, Justice and Institutions”) dan nomor 17 (“Partnership for the Goals”).

Dengan demikian, langkah kebijakan transformatif dari Presidensi G20 Indonesia dapat dimulai dari penguatan UMKM karena penguatan UMKM dapat memberikan daya ungkit (multiplier effects) yang cukup berarti, bukan saja dalam memulihkan ataupun meningkatkan produktivitas ekonomi nasional (Anggraeni, Desember 2020), tetapi juga pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Hal ini karena UMKM membuka ruang untuk memberikan kebijakan afirmatif kepada perempuan sebagai pelaku usaha dalam rangka pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, mereka bukan saja dapat bangkit dari keterpurukan akibat COVID-19, tetapi juga terus tumbuh dan berkembang menghadapi tantangan-tantangan baru. Hal ini juga sejalan dengan berbagai regulasi yang berlandaskan prinsip keberlanjutan (sustainability) dan kemanusiaan (humanity), seperti regulasi lingkungan hidup, regulasi ketenagakerjaan, dan lain-lain.

Langkah transformatif Indonesia juga dapat dilihat dari pemenuhan hak para penyandang disabilitas dalam hal mengembangkan mereka sebagai tenaga kerja terampil yang produktif sekaligus mempunyai kemandirian dalam mengembangkan usaha. Ini juga berarti menghilangkan berbagai diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas, mendorong pemberdayaan pemuda dan perempuan, serta penguatan pendidikan vokasi yang sistematis. Namun, perlu dicatat bahwa isu ketimpangan gender bukan hanya hadir dalam sektor ketenagakerjaan, tetapi juga di banyak sektor lain, yaitu kesehatan, pendidikan, politik (pengambilan keputusan), ekonomi, hukum, sosial-budaya, infrastruktur, kekerasan terhadap kelompok rentan dan difabel, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Pada akhirnya, langkah transformatif untuk mengatasi ketidaksetaraan perlu diiringi dengan penguatan kelembagaan di semua lini (Siscawati, FGD Akademisi, 2021).

Kita pun perlu untuk merefleksikan kembali kondisi global dan nasional terkini serta pandangan dari masyarakat sipil dan kalangan akademisi. Dengan demikian, pemerintah dapat mengukur efektivitas kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 di tahun 2022 nanti.

Sebelum pandemi COVID-19 berkembang, optimisme akan pertumbuhan ekonomi dunia yang terus stabil menguat terus, sejalan dengan perkembangan dalam dinamika perekonomian global. Kemunculan Tiongkok dengan kekuatan ekonominya yang memberikan pengaruh signifikan di banyak negara dan kawasan dan berkembangnya sejumlah negara berkembang sebagai motor pertumbuhan ekonomi global karena jumlah penduduk yang besar sebagai faktor produksi maupun pangsa pasar serta kelimpahan sumber daya alam dan stabilitas pertumbuhan ekonomi. Kemitraan global pun diyakini akan menguat seiring dengan meningkatnya kapasitas negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga program-progran kemitraan dalam skema Kerja Sama Selatan-Selatan, Kerja Sama Utara-Selatan maupun Triangular akan semakin relevan dalam dinamika global terkini (BPPK Kemlu, 2015:59).

Akan tetapi, kehadiran pandemi global COVID-19 ternyata telah membuat Indonesia dan banyak negara berkembang, bahkan dunia, terpukul kembali perekonomiannya. Bank Dunia telah menurunkan status Indonesia sebagai negara di kelas menengah bawah (lower middle-income country) sejalan dengan penurunan PDB Indonesia dari 4.050 Dolar AS pada 2019 menjadi 3.870 Dolar AS pada 2020 (Fauzia, Juli 2021). Indonesia

Page 87: Recover Together, Recover Stronger

72 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

juga mendapatkan perhatian dunia karena manajemen penanganan COVID-19 yang buruk sehingga kasus COVID-19 di Indonesia meningkat sangat signifikan. Indonesia pun menjadi episentrum baru di Asia menggantikan posisi India dan bahkan menduduki peringkat pertama di dunia pada pertengahan Juli lalu dengan total kasus sebanyak 2.615.529, bertambah sebanyak 47.899 kasus (Reditya, Juli 2021).

Sementara itu, walaupun Indonesia naik peringkat dari urutan 102 ke urutan 101 (dari 166 negara) dalam pencapaian TPB/SDGs, masih terdapat sejumlah persoalan serius yang dapat menghambat pencapaian pembangunan di Indonesia. Menurut perwakilan UNDP untuk Indonesia, Christophe Bahuet, persoalan- persoalan tersebut di antaranya adalah pencemaran lingkungan akibat pembuangan sampah COVID-19, banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan, juga maraknya kekerasan berbasis gender (Gatra, 24 Juli 2020). Dengan meningkatnya utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat hingga mencapai 422,6 miliar Dolar AS (atau senilai 6.169,96 triliun Rupiah), stagnasi pertumbuhan dan berbagai kasus korupsi, khususnya korupsi bantuan sosial dinamika sosial politik domestik Indonesia cenderung tidak stabil. Semua ini tentu berpotensi menghambat ruang gerak dan daya pengaruh Indonesia dalam menjalankan kepemimpinan globalnya.

Terlepas dari itu, pemerintah Indonesia telah menggarisbawahi lima nilai strategis Presidensi G20 Indonesia, di bawah tema “Recover Together, Recover Stroger”: (1) sinergi antara Indonesia dan dunia Internasional dalam mendukung upaya pemulihan ekonomi global dan nasional dari pandemi COVID-19; (2) Indonesia akan memiliki suara dalam menentukan arah ekonomi global pasca krisis, termasuk di dalamnya stabilitas sistem keuangan internasional; (3) Presidensi G20 akan dimanfaatkan pemerintah untuk menampilkan keberhasilan reformasi struktural dan keuangan Indonesia di tengah pandemi, seperti UU Cipta Kerja, transisi energi termasuk peningkatan kandungan biodiesel dan pendirian SWF Indonesia; (4) Indonesia akan memanfaatkan dukungan internasional terhadap prioritas pemerintah. Isu-isu seperti digitalisasi, pengembangan SDM, pemberdayaan perempuan dan pemuda, ketersediaan vaksin dan persiapan sistem kesehatan untuk memitigasi risiko terjadinya pandemi di masa depan; (5) Presidensi Indonesia berpotensi menghasilkan devisa bagi Indonesia jika diselenggarakan secara fisik pada akhir tahun 2022 (Moegiarso, Mei 2021). Selain itu, kelima cross-cutting issues yang telah dibahas di atas (penguatan UMKM, pemberdayaan pemuda dan perempuan, pemenuhan hak difabel, peningkatan kualitas pendidikan vokasi, dan pengembangan ekonomi digital) juga sangat dapat dikembangkan oleh peran G20 (khususnya Presidensi G20 Indonesia) karena sejalan dengan program Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) oleh Indonesia (Virgianita, 2019).

Pada dasarnya, fokus persoalan dunia di era pandemi COVID-19 adalah pemulihan kesehatan dan ekonomi. Namun, menimbang Agenda Pembangunan Global 2030, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs), kita perlu turut mengarusutamakan isu-isu global yang semakin meluas dan mencakup isu-isu pembangunan yang dimensinya bukan hanya ekonomi, tetapi juga berdimensi hak asasi manusia, lingkungan dan penanganan wabah penyakit menular (BPPK Kemlu, 2015: 58).

Presidensi Indonesia dalam trayektori historis kepemimpinan global G20 akan sangat monumental sehingga bersifat transformatif (Purwadi, FGD Akademisi, Juli 2021). Proses transformasi kepemimpinan diawali dari upaya G20 untuk merespon krisis global 2008 (crisis responder) di pertemuan tingkat tinggi G7 di Washington (2008) dan pertemuan tingkat tinggi G7 di London (2009). Kepemimpinan G20 menjadi lebih terpandang dalam ekonomi global seiring fokusnya yang tidak lagi hanya berpusat pada pemulihan ekonomi, tetapi juga agenda pembangunan (bonafide global steering committee for global economy). Agenda-agenda pembangunan itu ditunjukkan dalam pertemuan tingkat tinggi G20 di Pittsburg (2009), Toronto (2010), Seoul (2010), dan Los Cabos (2012). Selanjutnya, mulai diusulkan kepemimpinan G20 yang bersifat global dengan visi yang lebih luas pascakrisis (a steering group for the global economy with a broader vision). Hal ini diidentifikasi pada pertemuan tingkat tinggi di Saint Petersburg (2013), Brisbane (2014), Antalya (2015), Guangzhou (2016), Hamburg (2017), Buenos Aires (2018), dan Osaka (2019) (Purwadi, FGD Akademisi, 2021).

Page 88: Recover Together, Recover Stronger

73 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Presidensi G20 Indonesia mewarisi agenda Presidensi Arab Saudi dan Italia untuk melangkah lebih nyata menghadapi dampak COVID-19 yang sangat intrusif. COVID-19 akan menguji kepemimpinan politik dan kapasitas institusional negara sekaligus prinsip multilateralisme dalam kepemimpinan kolektif global. Lebih spesifik lagi, kondisi pandemi COVID-19 nampaknya menempatkan isu kesehatan dan pemulihan ekonomi sebagai dua isu yang tidak terpisahkan. Hal ini dapat dijadikan landasan dalam mengklasifikasikan transformasi seperti apa yang dibawa bagi Presidensi G20 Indonesia mendatang. Dengan demikian, diperlukan langkah- langkah nyata untuk jangka pendek dan menengah guna mengatasi krisis akibat COVID-19 ini. Melalui tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia telah merumuskan sejumlah isu prioritas dengan tujuan dasar, yaitu mempromosikan produktivitas, meningkatkan ketahanan dan stabilitas, memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif, membangun lingkungan dan kemitraan yang kondusif serta memperkuat kepemimpinan global kolektif.

Indonesia memiliki modalitas penting secara ekonomis (besarnya wilayah, populasi dan SDA), pengalaman kepemimpinan politik di tingkat regional maupun global, serta posisi geopolitik dan geostrategis yang sangat diperhitungkan oleh para pemain utama, baikdi kawasan maupun dunia. Namun, modalitas tersebut tidak serta merta memudahkan Indonesia untuk memimpin G20 dengan efektif. Menjelang periode kepemimpinannya, Indonesia menghadapi situasi dan kondisi dunia yang terpuruk akibat COVID-19. Pandemi ini bukan hanya melumpuhkan perekonomian global, tetapi juga menghadirkan tantangan yang sangat dilematis bagi para pemimpin negara di level domestik mereka masing-masing.

Pandemi COVID-19 beserta karakteristiknya yang sulit diprediksi, virus yang tidak dikenal sebelumnya, varian yang terus bertambah, diiringi dengan kurangnya kesiapan global telah menyebabkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh setiap negara bangsa berlipat ganda. Dengan tantangan seperti ini maka sangat mungkin dinamika politik domestik negara-negara anggota akan memberi pengaruh kuat terhadap dinamika dalam proses pengambilan keputusan di dalam forum G20 multilateral ini. G20 adalah forum yang merepresentasikan tujuh negara yang merupakan kekuatan inti dunia, sekaligus “the emerging economies” yang berpengaruh secara ekonomis dan politik di berbagai kawasan dunia, dan ditambah perwakilan institusi keuangan multilateral yang memegang peran sentral dalam kebijakan finansial dunia.

Dalam pandangan masyarakat sipil Indonesia, Presidensi G20 Indonesia sangat penting didukung. Salah satu cara yang penting dilakukan adalah pemerintah harus dapat mengapresiasi keunikan yang dimiliki Indonesia dengan mengedepankan evidence-based approach di dalam meyakinkan publik internasional terhadap komitmen sekaligus kemampuan Indonesia untuk memimpin G20 (Supriatna, FGD Akademisi, 2021). Indonesia tidak perlu terjebak dalam tekanan global, tetapi sebaliknya mampu bersikap percaya diri dengan menunjukkan apa yang sudah menjadi capaian Indonesia dalam memenuhi komitmen global selama ini. Penting bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya yang baik dalam langkah-langkah dekarbonisasi maupun energi terbarukan (Supriatna, FGD Akademisi, 2021). Pandangan Supriatna tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Kementerian KLHK (2021), bahwa Indonesia dapat memimpin dengan contoh-contoh baik (leading by examples) karena ada sejumlah inovasi yang telah berhasil dilakukan Indonesia, antara lain dalam bidang kehutanan (menahan deforestasi, memperbaiki kondisi lahan kritis), mengatasi polusi, mengembangkan kerangka regulasi, inovasi kebijakan, penegakan hukum dan mendorong partisipasi masyarakat melalui program kehutanan sosial (social forestry).

Sementara itu, Mia Siscawati (2021) menekankan pentingnya perspektif gender untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan internasional saat ini, khususnya dalam konteks nasional Indonesia. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengolah bersama hasil kajian dan hasil kerja-kerja pendampingan di lapangan yang dilakukan oleh para akademisi maupun aktivis NGO. Peran kelembagaan sangat penting di dalam upaya mengarustamakan perspektif jender untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan nyata yang dapat menghapuskan ketimpangan jender (Siscawati, FGD Akademisi, 2021).

Page 89: Recover Together, Recover Stronger

74 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Dalam perspektif Yulius Purwadi (2021), efektivitas kepemimpinan Indonesia akan menghadapi faktor internal, terkait politik birokrasi, dimana setiap kementerian dan kelembagaan cenderung memiliki orientasi, cara pandang dan skala prioritas kepentingan yang berbeda sehingga terjadi proses tawar menawar yang tidak mudah untuk mendapatkan national standpoint. Oleh karenanya peran kementerian luar negeri menjadi strategisuntukmelakukanlangkahkoordinatifdanmerumuskan keydeliverables yangdapatdiimplementasikan (workable). Tugas ini tidak serta merta mudah karena mekanisme kerja G20 memiliki kecenderungan inefisiensi karena banyaknya Working Groups dan Engagement Groups yang masing-masing sibuk melakukan pertemuan sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan sosialisasi dan mengimplementasikan hasil-hasil kesepakatan (Purwadi, FGD Akademisi, 2021).

Sementara itu, dari perspektif NGO (Bahagijo, FGD NGO, 2021), G20 adalah sebuah forum strategis yang dapat mempengaruhi institusi-institusi multilateral, seperti Bank Dunia, IMF, dan OECD. G20 juga merupakan forum yang dapat memutuskan karena menjadi wadah bersama negara-negara dari Utara dan Selatan. Oleh karenanya, penting bagi G20 untuk bukan sekedar memperkuat multilateralisme, tetapi lebih jauh lagi, memperkuat karakter multilateralisme yang inklusif. Inklusivitas ini diperlukan, baik dari mekanisme pengambilan keputusannya maupun substansi keputusannya. Indonesia harus berani menyuarakan kritik atas pola pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi semata karena selama satu dekade ini, terbukti bahwa penerapan paradigma yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (growth paradigm) tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan.

Terjadinya pandemi global COVID-19 sepatutnya dapat menjadi momentum untuk berpikir secara lebih reflektif tentang mekanisme pasar dan peran korporasi. Setiap tahun, terjadi “kebocoran” pajak oleh perusahaan multinasional (multinational corporations atau MNCs) sebesar 5 miliar Rupiah dan penghindaran pajak sebesar 79 juta Rupiah. Selain itu, juga terjadi inefisiensi sebesar 42% dari alokasi anggaran kesehatan nasional dan 14% dari alokasi anggaran pendidikan nasional. Padahal, dana tersebut dapat digunakan untuk melakukan rekrutmen tenaga kesehatan. Kapasitas Indonesia masih tergolong rendah karena Indonesia hanya mengalokasikan 16—20% PDB untuk bidang sosial, pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, kebijakan publik global ke depan harus bisa menyediakan public goods dan tidak selalu tergantung pada mekanisme pasar. Kepemimpinan Indonesia di dalam forum G20 ke depan harus bertumpu pada tiga hal berikut: mengumpulkan seluruh potensi, mengumpulkan seluruh praktik-praktik terbaik (best practices), dan mengumpulkan seluruh modalitas (Bahagijo, FGD NGO, 2021). Publik perlu diyakinkan bahwa Presidensi G20 Indonesia yang membawa misi untuk mendorong para pemimpin dunia untuk bersama-sama mengakselerasi pencapaian TPB/SDGs adalah juga membawa kepentingan nasional Indonesia, karena Indonesia telah memainkan peran dan memiliki andil besar dalam proses-proses perumusan 17 tujuan dan target-target TPB/ SDGs di forum PBB. Bahkan sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia ikut terlibat dengan mitra kerja masing-masing dalam memperngaruhi jalannya perundingan SDGs selama periode 2012-2015 sehingga akhirnya berhasil mendapat kesepakatan global menjadi Agenda Pembangunan Global 2015-2030. (Bahagijo, 2016). Jadi Presidensi G20 bukan semata-mata menbawa agenda internasional.

Bagi Diah Samianarsih (2021), G20 memberikan harapan karena memiliki kelebihan dan untuk itu penting bagi pemerintah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan organisasi masyarakat sipil (civil society organization atau CSO). Perlu sebuah jaminan agar masyarakat sipil dapat mempunyai akses ke pendanaan tanpa melalui birokrasi yang terlalu berbelit. Dalam masa pandemi, mau tidak mau Indonesia harus mendukung multilateralisme dan mendukung tata kelola kesehatan global yang dalam implementasinya memperkuat sistem surveillance dan preparedness nasional Indonesia dalam menghadapi atau mengantisipasi pandemi, serta mendukung pemberdayaan pemuda dan perempuan. Lebih dari itu, Indonesia perlu mengembangkan strategi kemitraan, terutama melibatkan peran swasta lebih intens dalam pelayanan kesehatan publik, mengingat kapasitas infrastruktur pelayanan dasar kesehatan publik yang bisa disediakan pemerintah masih terbatas (Samianarsih, FGD NGO, 2021).

Page 90: Recover Together, Recover Stronger

75 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Catatan menarik dari penstudi di Pusat Perkotaan Universitas Indonesia (Supriatna, FGD Akademisi, 2021) yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki keunikan dalam konteks urban setting yang dapat ditawarkan pada G20. Indonesia dapat mendorong terbentuknya aliansi urban strategis (“strategic urban alliances”) di kalangan negara-negara berkembang karena Indonesia memiliki ratusan kota-kota kecil yang dapat menjadi laboratorium untuk pengembangan kerja sama. Selama masa pandemi kota menjadi episentrum penyebaran COVID-19, namun sekaligus menjadi pusat penyelenggaraan layanan publik yang dapat memulihkan kesehatan masyarakat. Peran pemerintah kota dan keterlibatan masyarakat sipil di perkotaan selama masa pandemi juga terbukti telah mampu mendukung pelayanan publik di sektor kesehatan, bahkan mengembangkan sistem kesehatan digital yang ditandai dengan adanya berbagai layanan telemedicine dan usaha rintisan. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mendorong call to action bagi penguatan sistem kesehatan di tingkat global, regional maupun nasional yang mendukung kapasitas kesiapsiagaan (preparedness capacity) serta kapasitas merespon (response capacity) yang melibatkan peran pemerintah lokal dan partisipasi warganya.

Kemitraan multipihak jelas dapat menjadi sebuah strategi penting dalam mengukuhkan kepemimpinan Indonesia, apalagi bila langkah kebijakan Presidensi G20 Indonesia akan ditempatkan dalam upaya pencapaian TPB/SDGs. Pencapaian TPB/SDGs adalah sebuah kerja berat karena sudah keluar jalur, bahkan sebelum pandemi terjadi. Selama pandemi, angka kemiskinan bertambah dan terjadi peningkatan kesenjangan dalam pembiayaan TPB/SDGs karena (1) pertumbuhan ekonomi yang melambat, (2) menurunnya pendapatan negara, (3) menurunnya aliran modal swasta, (4) adanya kecenderungan ODA yang belum penuhi target, serta (5) meningkatnya utang luar negeri di negara-negara sedang berkembang. Namun demikian TPB/SDGs adalah kerangka yang dapat menyatukan kepentingan semua negara, sehingga tidak ada cara lain selain melakukan aksi bersama untuk mengatasi masalah dan tantangan yang ada (Bappenas, 2021).

Dengan demikian, langkah yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah memperkuat kemitraan di tingkat global dan nasional, menutup kesenjangan pembiayaan TPB/SDGs, memperlihatkan praktik-praktik terbaik dari program-program pembangunan, memberikan dukungan politik untuk berbagai inisiatif yang konstruktif, mengembangkan aksi nyata untuk pelaksanaan “decade of actions for SDGs” dan pemulihan dari dampak pandemi. Bappenas juga akan merancang pegembangan mekanisme blended finance atau pembiayaan inovatif untuk mendukung pencapaian target SDGs (Bappenas, 2021).

Singkat kata, kepemimpinan Indonesia dalam G20 yang akan datang sangatlah potensial dan sudah seharusnya membawa langkah kebijakan transformatif, yang berorientasi bukan sekedar pemulihan jangka pendek dan kemudian mengalami kemunduran, tetapi sebaiknya bervisi ke depan serta mendukung pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Meminjam kata Bahagijo, momentum pandemi COVID-19 dapat dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk memberikan paket “new deal” dalam kesepakatan global di G20 mendatang. Kemitraan multipihak jelas dapat menjadi sebuah strategi penting dalam mengukuhkan kepemimpinan Indonesia, apalagi bila langkah kebijakan Presidensi G20 Indonesia akan ditempatkan dalam upaya pencapaian TPB/SDGs. Pencapaian TPB/SDGs adalah sebuah kerja berat karena sudah keluar jalur, bahkan sebelum pandemi terjadi. Selama pandemi, angka kemiskinan bertambah dan terjadi peningkatan kesenjangan dalam pembiayaan TPB/SDGs karena (1) pertumbuhan ekonomi yang melambat, (2) menurunnya pendapatan negara, (3) menurunnya aliran modal swasta, (4) adanya kecenderungan ODA yang belum penuhi target, serta (5) meningkatnya utang luar negeri di negara-negara sedang berkembang. Namun demikian TPB/SDGs adalah kerangka yang dapat menyatukan kepentingan semua negara, sehingga tidak ada cara lain selain melakukan aksi bersama untuk mengatasi masalah dan tantangan yang ada (Bappenas, 2021).

Dengan demikian, langkah yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah memperkuat kemitraan di tingkat global dan nasional, menutup kesenjangan pembiayaan TPB/SDGs, memperlihatkan praktik-praktik terbaik dari program-program pembangunan, memberikan dukungan politik untuk berbagai inisiatif yang konstruktif, mengembangkan aksi nyata untuk pelaksanaan “decade of actions for SDGs” dan pemulihan dari dampak pandemi. Bappenas juga akan merancang pegembangan mekanisme blended finance atau pembiayaan inovatif untuk mendukung pencapaian target SDGs (Bappenas, 2021).

Page 91: Recover Together, Recover Stronger

76 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Singkat kata, kepemimpinan Indonesia dalam G20 yang akan datang sangatlah potensial dan sudah seharusnya membawa langkah kebijakan transformatif, yang berorientasi bukan sekedar pemulihan jangka pendek dan kemudian mengalami kemunduran, tetapi sebaiknya bervisi ke depan serta mendukung pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Meminjam kata Bahagijo, momentum pandemi COVID-19 dapat dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk memberikan paket “new deal” dalam kesepakatan global di G20 mendatang.

Page 92: Recover Together, Recover Stronger

77 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

BAB 4

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan

Setelah satu setengah tahun, dunia terpuruk akibat pandemi global COVID-19. Harapan besar masyarakat dunia untuk bangkit kembali tampaknya tertuju kepada G20. Phil Thornton (2020) dalam tulisannya yang berjudul “United G20 Must Pave the Way for Robust Post COVID-19 Recovery” di Atlantic Council (2020) menjustifikasi peran strategis G20 ini dengan dua alasan: keberhasilan peran historis G20 saat dunia menghadapi Krisis Finansial 2008 dan karakter forum yang representatif dan tangkas (agile) dibandingkan forum-forum multilateral lainnya. Argumentasi ini mengisyaratkan bahwa Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 mendatang merupakan sebuah kesempatan untuk memainkan peran kesejarahannya dalam kepemimpinan global. Bila Indonesia mampu memberikan visi yang kuat dan membawa langkah terobosan yang menyatukan potensi dan kepentingan negara-negara G20 untuk bangkit kembali pasca krisis COVID-19, sangat mungkin keberhasilan Indonesia akan menjadi catatan historis bagi G20, bahkan dunia.

Amanat Presidensi G20 Indonesia tahun 2020 sudah menjadi agenda resmi di tingkat global maupun nasional. “Recover Together dan Recover Stronger” sudah menjadi slogan (tagline) bersama yang penuh makna. Oleh karenanya langkah koordinasi dan sinkronisasi di setiap level pemerintahan khususnya antar kementerian dan lembaga di level pemerintah pusat (nasional) menjadi sebuah keharusan untuk dapat merumuskan posisi nasional yang solid dalam upaya mendukung keberhasilan langkah kepemimpinan global Indonesia di forum G20. Indonesia tentu harus percaya diri karena pengalaman yang cukup memadai dalam menjalankan kepemimpinan di tingkat regional dan global. Namun yang juga penting adalah bahwa keberhasilan Indonesia kali ini bukan sekedar mengejar reputasi internasional tetapi ada kaitan erat dengan pemenuhan target pembangunan nasional Indonesia dalam konteks TPB/SDGs yang tidak ringan akibat pandemi global COVID-19.

Hasil kajian isu-isu prioritas dalam skema lima prioritas, yaitu (1) promoting productivity, (2) strengthening resiliency and stability, (3) ensuring sustainable and inclusive growth, (4) enabling environment and partnership, dan (5) forging collective global leadership menunjukkan bahwa secara faktual tantangan bagi kepemimpinan Indonesia memang cukup berat. Faktor-faktor yang mempengaruhi bukan saja berasal dari konteks global, terutama kehadiran pandemi COVID-19 yang telah melumpuhkan perekonomian dunia, tetapi juga dikarenakan adanya kompleksitas (complexity) dan saling keterkaitan (cross-cutting) di antara berbagai sektor atau isu kunci (key priorities) di setiap prioritas yang bersifat multidimensional dan multilevel. Bila mengacu pada adagium “foreign policy begins at home”, maka tantangan juga hadir dari perkembangan faktual terkini dari situasi dan kondisi Indonesia di level domestik, antara lain terkait stabilitas politik, isu vaksin dan vaksinasi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif, kondisi utang luar negeri yang semakin tinggi, serta meningkatnya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran akibat terdampak COVID-19 dengan segala implikasi sosialnya.

Dari kesimpulan umum tersebut, menjadi penting bagi Indonesia untuk menetapkan skala prioritas ataupun key deliverables serta strategi atau pendekatan yang tepat. Langkah-langkah Indonesia harus terukur dengan pertimbangan modalitas, kapasitas, kapabilitas, dan prioritas. Juga penting bagi Indonesia memiliki visi dan pendekatan paradigmatik yang kuat. Dari sekian banyak daftar sektor dan isu prioritas yang dikaji, pada dasarnya mencerminkan kompleksitas masalah-masalah kemanusiaan dan pembangunan global dewasa ini, bukan semata-mata akibat COVID-19 saja tetapi juga dampak luas dari globalisasi ekonomi yang masif dan cenderung tidak terkontrol.

Page 93: Recover Together, Recover Stronger

78 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Oleh karenanya, bila diletakkan dalam konteks RPJM Nasional 2014-2024 di bawah Pemerintahan Presiden Joko Widodo, isu-isu tersebut dapat dikerucutkan pada tiga isu mendasar: pertumbuhan (economic growth), sumber daya manusia (human resources), prasarana dan infrastruktur (infrastructure and facilities) serta sistem tata kelola yang baik (good governance system). Isu-isu ini jelas mempengaruhi pencapaian TPB/SDGs, dan pada esensinya mempengaruhi basis dari pencapaian tujuan G20 itu sendiri.

4.2 Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan umum tersebut, dan dalam konteks upaya pemulihan ekonomi global dari dampak pandemi COVID-19 dan pemenuhan target pencapaian TPB/SDGs, serta menjaga warisan dari Presidensi G20 sebelumnya, maka berikut ini adalah langkah rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Indonesia. Rekomendasi ini berdimensi keluar (langkah diplomatik di forum G20) sekaligus berdimensi internal (langkah implementasi kebijakan di level domestik). Rekomendasi ini juga berfokus pada sejumlah key deliverables yang mempertimbangkan empat aspek: relevansi, urgensi, keterlaksanaan, efek berganda (multiplier effect), dan keberlanjutan. Semuanya dipertimbangkan dalam konteks keseimbangan antara kepentingan nasional dan global, konteks keseimbangan kepentingan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dan non- ekonomi (kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan hidup), serta keseimbangan jangka waktu, yaitu kepentingan jangka pendek (saat ini) dan jangka panjang (pasca-COVID-19).

Berikut ini adalah poin-poin rekomendasi untuk mendukung langkah kebijakan yang transformatif dalam Presidensi G20 Indonesia. Setiap poin terdiri dari pernyataan utama, justifikasi serta rumusan sasaran strategis. Banyaknya poin rekomendasi tidak mengikuti jumlah WG, akan tetapi berdasarkan key deliverables yang berbasis pada cross cutting issues. Di setiap sasaran strategis yang dirumuskan diusahakan dapat merepresentasikan prioritas kepentingan di setiap WG.

(1) Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk memperkuat tata kelola kesehatan dunia yang berbasis pada prinsip konstitusional WHO, yaitu: hak asasi manusia, kesehatan komprehensif (fisik dan mental), dan peran sentral negara dalam memimpin kemitraan strategis dari semua pemangku kepentingan untuk memberikan layanan kesehatan. Dengan dasar ini langkah-langkah konkrit ditujukan untuk memperkuat sistem kesehatan di setiap level pemerintahan – lokal, nasional, global – yang berorientasi pada peningkatan kapasitas pengawasan, persiapan, dan kesiapan (surveillance, preparedness, andreadiness) dalam mengantisipasi dan merespon pandemi global sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan publik yang menyeluruh, termasuk (cakupannya) untuk pelayanan kesehatan dasar ibu dan anak serta mengatasi tantangan kesehatan dari penyakit menular (communicable diseases), penyakit tidak menular (non communicable diseases), termasuk penyakit yang bersifat resistensi antimikroba (antimicrobial resistance atau AMR) yang berpengaruh pada ketahanan dan tingkat produktivitas bangsa.

Sasaran strategisnya mencakup: (a) distribusi vaksin yang adil dan merata (terjangkau secara harga dan kualitas serta menjangkau ke semua negara dan kelompok masyarakat tanpa terkecuali); (b) penyediaan obat-obatan serta fasilitas medis dalam jumlah yang memadai dan harga terjangkau; (c) peningkatan jumlah dan kualitas tenaga medis sesuai proporsi jumlah penduduk; (d) pembangunan infrastruktur dasar layanan kesehatan publik (rumah sakit, klinik, puskesmas) dalam jumlah yang memadai terutama di daerah- daerah terbelakang dan terisolasi (least developed, landlocked and remote areas); (e) pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang mudah, aman dan terjangkau; (f) pengembangan sistem regulasi kesehatan yang mendukung penciptaan tata kelola dan kepemimpinan yang baik dan bertanggung jawab (good governance and leadership) di setiap level pemerintahan – lokal, nasional, global; (g) penguatan sistem kerja sama kesehatan regional untuk surveillance, preparedness dan readiness dalam mengatasi dampak COVID-19 serta mengantisipasi kejadian berulang pandemi global di masa yang akan datang; (h) penguatan komitmen dan kapasitas dalam penanganan Antimicrobial Resistance (AMR); (i) pencapaian transformasi sistem kesehatan melalui Value-Based Health Care (VBHC), digital health dan Universal Health Coverage (UHC) untuk memenuhi target-target TPB/SDGs yang terkait dengan kesehatan, yakni TPB/SDGs nomor 3 (“Good Health and Well- Being”) dan nomor 11(“Sustainable Cities and Communities”).

Page 94: Recover Together, Recover Stronger

79 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

(2) Mendorong komitmen global (framework on cooperation) untuk memperkuat multilateralisme yang inklusif dalam proses pengambilan keputusan dan substansi keputusan untuk pencapaian tujuan G20 sekaligus penyelesaian masalah-masalah global strategis. Mekanisme multilateralisme ini perlu berorientasi pada upaya mengembangkan kepemimpinan global kolektif yang efektif dan berkelanjutan sekaligus bersifat inklusif. Dengan demikian, dapat tercipta relasi dan interaksi antar aktor negara dan non- negara (khususnya bisnis dan masyarakat sipil) yang solid dan konstruktif agar G20 benar-benar dapat berperan sebagai “jembatan penghubung” antara kepentingan lokal/nasional dan kepentingan global. Hal ini penting karena pandemi global telah menunjukkan bahwa globalisasi tidak serta merta menjaga pertumbuhan ekonomi global secara berkelanjutan dan tidak juga memberi pemerataan pertumbuhan serta kemakmuran untuk semua warga. Sebaliknya, globalisasi telah menyisakan banyak masalah-masalah sosial yang kian kompleks, sangat terhubung, serta bersifat multidimensional dan multilevel yang menjadi faktor non-ekonomi yang menyulitkan pencapaian tujuan G20 sendiri. Dalam kaitan dengan TPB/SDGs, rekomendasi ini terkait erat dengan pencapaian target poin “Peace, Justice and Strong Institutions” serta “Partnership for the Goals.”

Sasaran strategisnya mencakup: (a) penguatan sistem tata kelola global yang memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatoris dan inklusivitas serta berkeadilan di semua level pemerintahan; (b) penguatan partisipasi aktor non-negara, khususnya bisnis, akademisi/universitas; organisasi-non pemerintah, pemuda, perempuan, pemerintah lokal, dalam skema kemitraan multipihak yang solid dan terintegrasi untuk mendukung akselerasi pencapaian target TPB/SDGs; (c) penguatan mekanisme kerja sama regional di berbagai kawasan dunia melalui kepemimpinan anggota-anggota G20 yang terkait dengan orientasi pada percepatan pencapaian target TPB/SDGs; (d) penguatan sinergi antara peran fungsional pemerintah lokal (provinsi-kota) dan peran strategis pemerintah nasional melalui langkah koordinasi kebijakan dan implementasinya dengan orientasi pada akselerasi pencapaian target TPB/SDGs.

(3) Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk pencapaian visi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif melalui implementasi green and bluegrowth di sejumlah sektor strategis terdampak Covid-19 secara signifikan tetapi mempunyai potensi besar terhadap produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi global, serta perlindungan lingkungan hidup global dan isu perubahan iklim. Langkah kebijakan ini dalam jangka pendek dan menengah dapat diprioritaskan pada sektor pariwisata, pertanian, dan industri perdagangan (termasuk di dalamnya UMKM, ekonomi digital, dan industri kreatif). Dasar pertimbangan atas prioritas ini, pertama sektor-sektor ini merepresentasikan kepentingan banyak negara apapun statusnya dalam struktur ekonomi dunia karena berkaitan dengan kebutuhan paling mendasar bagi sebagian besar warga negaranya, yaitu pekerjaan, makanan, dan proteksi sosial khususnya untuk perempuan dan pemuda; kedua, sektor ini menyerap tenaga kerja yang besar, khususnya pemuda dan perempuan, sehingga untuk bangkit secara bersama-sama (recover together) dan lebih kuat (recover stronger) secara berkelanjutan dan inklusif maka peningkatan kualitas SDM menjadi kebutuhan penting guna menghadapi tantangan digitalisasi, inovasi dan pemenuhan norma-norma dan standar global baru tentang keberlanjutan, serta memberi dampak nyata pada pemenuhan beberapa target utama dari TPB/ SDGs yang saling terkait, antara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan sosial dan melindungi lingkungan hidup.

Sasaran strategisnya mencakup: (1) peningkatan global capital flows untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan hijau dan program mitigasi-adaptasi perubahan iklim (2) peningkatan investasi hijau (green investment) baik dari sisi nilai investasi maupun tujuan investasi (area/sektor sasaran program); baik dari sisi proporsionalitas antara pembangunan infrastruktur fisik dan pengembangan program-program untuk peningkatan kualitas dan kapasitas SDM untuk memenuhi norma-norma pembangunan berkelanjutan; (3) peningkatan skema public-private partnership melalui skema tata kelola investasi hijau yang transparan, akuntabel dan partisipatoris (ada keterlibatan masyarakat sipil dalam proses monitoring dan evaluasi pencapaian target secara berkala); (4) penguatan komitmen pelaksanaan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan terutama pada destinasi wisata yang berbasis pada aset kekayaan alam (natural asset), baik

Page 95: Recover Together, Recover Stronger

80 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

di daratan maupun di pantai dan laut; (5) penguatan komitmen pelaksanaan pembangunan pertanian yang berkelanjutan untuk memastikan konservasi ekosistem lahan serta terpenuhinya prinsip-prinsip keamanan pangan yang mencakup: ketersediaan pasok pangan yang dibutuhkan (availability), terjangkaunya akses dan harga pangan bagi mayoritas (affordability), terjaganya kualitas dan kemanan pangan bagi standar kesehatan (quality and safe); (6) peningkatan skema insentif bagi pemulihan sektor-sektor strategis yang berbasis pada praktik bisnis hijau dan berkelanjutan, khususnya terkait penguatan UMKM di sektor pertanian dan pariwisata; (7) penguatan kemitraan multipihak (multistakeholders partnership) untuk pengembangan program-program strategis yang mendukung mitigasi terhadap dampak lingkungan yang serius di ekosistem daratan maupun lautan di konservasi ekosistem hutan dan pantai/laut dalam rangka mempercepat pencapaian target-target SDGs yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan perubahan iklim, yaitu TPB/SDGs nomor 12 tentang meningkatkan konsumsi yang bertanggungjawab (“Responsible Production and Consumption”), TPB/SDGs nomor 13 tentang mengatasi perubahan iklim (“Climate Change”), TPB/SDGs nomor 14 tentang melindungi ekosistem perairan dan laut (“Life below Water”), dan TPB/SDGs nomor 15 tentang melindungi ekosistem darat (“Life on Land”).

(4) Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk mengembangkan ekonomi digital yang inklusif dalam rangka penguatan UMKM untuk mampu pulih lebih kuat dan berdaya saing dalam perdagangan dunia sekaligus pemberdayaan kelompok pemuda, perempuan dan penyandang disabilitas untuk mampu produktif secara sosial dan ekonomis. Penguatan UMKM harus menjadi tujuan sentral dalam upaya pengembangan ekonomi digital karena peran kontributifnya yang signifikan bagi perekonomian nasional (97%) dan penyerapan tenaga kerja. UMKM merupakan basis atau tulang punggung dari sektor- sektor strategis yang terdampak COVID-19, seperti pariwisata dan pertanian, sehingga upaya pemulihannya akan memberi daya ungkit bagi aktivitas penawaran dan permintaan di dalam mata rantai industrinya. Pengembangan ekonomi digital juga harus inklusif karena pemuda, perempuan dan kelompok disabilitas, adalah potensi SDM yang signifikan dari sisi kuantitas tetapi cenderung terabaikan atau mengalami diskriminasi dalam mendapatkan haknya terhadap akses pendidikan/pelatihan, ketersediaan modal dan pengembangan jejaring kerja.

Sasaran strategisnya mencakup: (1) peningkatan infrastruktur penunjang ekonomi digital terutama di daerah-daerah terpencil yang potensial secara ekonomis sehingga terbangun konektivitas yang menunjang produktivitas dan upaya-upaya pemulihan ekonomi pasca COVID-19 yang lebih kuat, stabil dan berkelanjutan; (2) peningkatan literasi digital dan ketrampilan digital, baik melalui pendidikan vokasi maupun pelatihan- pelatihan informal yang inklusif dan memberdayakan bagi kelompok pemuda, perempuan dan disabilitas sehingga mampu membentuk masyarakat digital yang produktif secara sosial dan ekonomis; (3) penguatan tata kelola digital yang memenuhi prinsip good governance yang mampu mengatur keamanan dan kebebasan arus data lintas batas (cross border data flow and data free flow) atas prinsip kehati-hatian dan kepercayaan; (4) peningkatan peluang kerja baru dan pertumbuhan ekonomi yang memperkuat ekonomi digital, termasuk pertumbuhan industri kreatif, sekaligus mendukung akselerasi pencapaian target TPB/SDGs nomor 8, yakni mendorong perluasan peluang kerja yang layak bagi kehidupan yang berkualitas dan mendorong stabilitas pertumbuhan ekonomi (“Decent Works and Economic Growth”)

(5) Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan vokasi, melalui strategi kemitraan multipihak di tingkat nasional maupun kolaborasi internasional dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang pada gilirannya mampu memperkuat pertumbuhan ekonomi global sekaligus meningkatkan stabilitas sosial. Pandemi COVID-19 yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan dan memperbesar kesenjangan harus menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas SDM yang menjadi kunci dari semua aktivitas ekonomi dan sosial sekaligus penyelesaian berbagai permasalahan. Kualitas SDM juga akan menentukan kualitas tenaga kerja, dan pada gilirannya akan berpengaruh terhadap produktivitas serta pertumbuhan ekonomi nasional dan global.

Page 96: Recover Together, Recover Stronger

81 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Lebih dari itu kualitas SDM juga menjadi kunci dari kemajuan peradaban suatu bangsa yang pada gilirannya juga akan memberi ketahanan (resiliency) serta stabilitas sosial dan politik yang akan berpengaruh terhadap kualitas hubungan antar bangsa. Tanpa teratasinya masalah-masalah global yang bersumber dari faktor-faktor non-ekonomi, pada gilirannya juga mempengaruhi efektivitas dari pencapaian tujuan utama G20.

Sasaran strategisnya mencakup: (1) tercapainya kualitas pendidikan yang memenuhi standar universal quality education (UQE) di semua tingkatan; (2) tercapainya pendidikan vokasi yang berkualitas dan berkesesuaian dengan era tansformasi digital, khususnya dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi digital yang berkelanjutan dan inklusif; (3) peningkatan kualitas SDM yang mampu mandiri, memiliki jiwa kewirausahaan, kreatif dan inovatif sehingga dapat mengembangkan peluang-peluang kerja baru pasca-COVID-19; (4) terbentuknya kualitas SDM yang mempunyai produktivitas tinggi sekaligus memiliki semangat solidaritas dengan sesama dan semesta (solidarity andcaring), ketahanan secara sosial dan budaya (resilience) serta mampu bekerja sama dalam semangat kemitraan (partnership) yang mengedepankan kesetaraan dan berorientasi pada tujuan-tujuan keberlanjutan dan kemanusiaan, sehingga mampu mengakselerasi pencapaian target TPB/SDGs nomor 16 (“Peace, Justice and Strong Institutions) serta TPB/SDGs nomor 17 (“Partnership for the Goals”).

(6) Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan internasional yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Peta permasalahan global sejauh inimasih cukup luas spektrumnya dan masih belum beranjak dari beberapa pesoalan fundamental, seperti kemiskinan, kesenjangan pembangunan (development gap), dan ketimpangan (inequalities). Terjadinya COVID-19 telah membuat angka kemiskinan global bahkan bertambah cukup signifikan seiring dengan pertumbuhan global yang melambat dan pendapatan nasional yang menurun drastis karena berbagai hambatan. Dalam kerangka kerja TPB/SDGs dapat disimpulkan bahwa pencapaian target tujuan yang diharapkan belum maksimal karena ada kendala pembiayaan TPB/SDGs selain kehadiran pandemi global COVID-19 yang dampaknya sangat intrusif pada masalah kesehatan publik dan pertumbuhan ekonomi sehingga kapasitas institusional negara menjadi terbatas, terutama pada aspek finansial. Bagi negara-negara berkembang yang menggantungkan perekonomian nasionalnya pada industri pariwisata, seperti kelompok small island developing countries (SIDs) di kawasan Karibia dan Pasifik Selatan, stabilitas pertumbuhan ekonominya pasti terganggu akibat dampak COVID-19, bahkan bisa potensial menjadi instabilitas sosial- politik, ketika kepemimpinan negara lemah.

Sasaran Strategis mencakup: (1) G20 mampu memobilisasi dana bantuan pembangunan, baik dalam bentuk pinjaman (loans), hibah, maupun bantuan teknis untuk mendukung ketahanan sosial ekonomi bagi negara-negara berkembang, khususnya kelompok negara-negara berkembang berkebutuhan khusus, seperti mereka yang level kapasitasnya sangat terbatas, Least Developed Countries di kawasan Afrika, Small Island Developing Countries (SIDs) di Karibia dan Pasifik Selatan, serta landlocked countries/remoted areas; (2) terimplementasinya rencanca aksi terkait inovasi pembiayaan dari berbagai sumber (blended finance)untuk mendukung keberlangsungan program-program untuk pencapaian target pembangunan berkelanjutan; (3)dapat disepakatinya Plan of Action pada KTT G20 di Bali 2022 untuk mengakselerasi pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030; (4) Model kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular yang sudah berjalan dapat didorong lebih intensif, sistematis, dan terarah untuk menyasar pencapaian TPB/SDGs sekaligus membangun reputasi Indonesia.

(7) Mendorong langkah konkrit (call to action) untuk mengembangkan sumber-sumber pembiayaan TPB/SDGs baik di tingkat nasional maupun global guna mengatasi kesenjangan pembiayaan yang ada saat ini dan mengakselerasi pencapaian target TPB/SDGs. Keberhasilan langkah ini merupakan salah satu indikator penting dalam perwujudan kepemimpinan dan kemitraan global (global partnership) antara negara maju dan negara berkembang, maupun antara negara dan institusi keuangan multilateral serta antara sektor publik dan swasta. Langkah ini di tingkat nasional juga menjadi indikator perwujudan kemitraan multipihak (multistakeholders partnership) karena isu pembiayaan bukan hanya memerlukan komitmen politik yang kuat tetapi juga memerlukan tata kelola yang baik dengan prinsip utama transparansi, akuntabilitas,

Page 97: Recover Together, Recover Stronger

82 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

partisipatoris dan berkeadilan. Hal ini penting untuk memastikan bukan saja semakin meningkat sumber- sumber pembiayaan dan jumlah dana yang dapat dikumpulkan bernilai signifikan, tetapi juga bagaimana dana yang terkumpul dapat didistribusikan dan dialokasikan tepat sasaran dan memiliki dampak besar (“high- impact”) terhadap pencapaian target TPB/SDGs. Terakhir, melalui pembiayaan TPB/SDGs ini, G20 juga dapat memberikan kontribusi kepada para masyarakat dunia, khususnya negara-negara dalam kelompok Least Developed Countries, Small Island Developing Countries, dan landlocked countries. Dalam kaitan dengan TPB/ SDGs rekomendasi ini terkait erat secara khusus dengan target poin “Partnership for the Goals.”

Sasaran strategisnya mencakup (a) tercapainya jumlah pembiayaan secara global dan nasional yang signifikan nilainya sesuai dengan proyeksi kebutuhan; (b) terdiversifikasinya sumber-sumber pembiayaan, baik dari sumber dana publik, swasta maupun masyarakat, baik di tingkat global maupun nasional; (c) terbangunnya sistem tata kelola pembiayaan TPB/SDGs yang memenuhi asas transparansi, akuntabilitas, partisipatoris dan berkeadilan sehingga menjamin distribusi yang merata dan berdampak nyata, melalui penetapan skala prioritas target untuk 1 – 3 tahun ke depan, sehingga ada fondasi yang kuat untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.

(8) Mendorong komitmen bersama (framework of cooperation) untuk mengarustamakan kesetaraan gender dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan pembangunan global yang dalam realitanya banyak berdampak kepada kaum perempuan. Perspektif kesetaraan gender memiliki relevansi kuat bukan saja karena jumlah perempuan yang cukup signifikan dalam peta demografis, tetapi lebih karena secara faktual perempuan adalah kelompok yang cenderung termarjinalisasi ataupun terdiskriminasi dalam banyak kebijakan pembangunan. Kebijakan yang tidak sensitif gender banyak menimbulkan masalah ketidaksetaraan gender, bukan saja di sektor ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi juga di sektor-sektor lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, politik, hukum, sosial-budaya, pengelolaan sumberdaya alam, dan lain sebagainya. COVID-19 telah membuat sebagian besar perempuan semakin mengalami keterpurukan karena mereka banyak bekerja di mata rantai industri pariwisata dan pertanian yang resisten terdampak COVID-19. Kesadaran gender harus menjadi salah satu langkah kebijakan transformatif dalam Presidensi G20 Indonesia karena perempuan dapat berperan sebagai kunci perubahan ataupun pemulihan kalau mereka diberdayakan dengan baik.

Sasaran strategisnya adalah: (1) kesadaran tentang kesetaraan gender harus menjadi kepedulian semua pihak, khususnya para pengambil kebijakan di setiap level pemerintahan dan di semua bidang atau sektor, tanpa terkecuali; (2) peningkatan keterlibatan sektor publik dan swasta dalam program-program pemberdayaan perempuan yang mendorong kesetaraan gender sekaligus mengembangkan produktivitas sosial dan ekonomi bagi peningkatan kualitas hidup dan dengan demikian, mengakselerasi pencapaian target tujuan TPB/SDGs nomor 5 (“Gender Equality”) serta nomor 10 (“Reduced Inequalities”); (3) penguatan komunikasi publik untuk menunjukkan ataupun mendiseminasikan kerja-kerja kolaborasi sektor publik dan swasta yang berhasil dalam mengembangkan kepemimpinan perempuan di semua level dan di semua sektor.

(9) Mendorong komitmen bersama (framework on coorperation) untuk membangun sistem perdagangan multilateral yang lebih terbuka dan adil untuk menunjang pemulihan ekonomi global yang kuat dan berkelanjutan. Menjaga pasar internasional tetap terbuka merupakan prasyarat untuk pemulihan ekonomi global yang kuat dan berkelanjutan. Di samping distribusi vaksin yang cepat, terjangkau dan merata, perdagangan melalui rantai nilai telah membantu negara-negara mengakses makanan dan pasokan medis penting selama krisis akibat pandemi.

Krisis ini harus menjadi peluang, titik balik untuk memperkuat multilateralisme yang lebih efektif dalam guna mendorong perdagangan internasional yang bebas, adil, dan inklusif sebagai mesin pertumbuhan dan kemakmuran, serta menjaga stabilitas ketahanan rantai nilai global. Digitalisasi dunia pasca-COVID-19 diperlukan untuk mendorong kerja sama internasional yang dapat mengatasi masalah keterampilan, privasi, keamanan, dan persaingan serta tantangan pajak untuk membangun kembali dunia yang lebih baik untuk menuju ekonomi dan masyarakat yang lebih tangguh, lebih inklusif, dan lebih hijau.

Page 98: Recover Together, Recover Stronger

83 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Sasaran strategisnya adalah: (1) penguatan sistem perdagangan multilateral yang lebih kuat untuk pemulihan ekonomi yang lebih cepat; (2) penguatan rantai nilai global menjadi semakin dapat diandalkan; (3) pengembangan investasi yang berkelanjutan, khususnya investasi untuk bidang-bidang yang mendukung sasaran-sasaran TPB/SDGs, dengan penekanan pada investasi untuk teknologi dan energi cerdas dan hijau; dan (4) penguatan Industri 4.0 untuk pengembangan industri yang inklusif dan berkelanjutan.

(10) Mendorong kesepakatan (framework of cooperation) untuk memperkuat norma-norma internasional tentang anti korupsi dan internalisasinya di tingkat nasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih mengakar, terinstusionalisasi, sistematis dan berkelanjutan untuk mendukung produktivitas nasional, pembangunan yang berkeadilan dan pertumbuhan ekonomi global yang stabil dan berkelanjutan. Kajian terkait isu ini membuktikan bahwa praktik korupsi masih banyak terjadi di berbagai kawasan dunia, dalam berbagai bentuknya, baik yang tersamar maupun yang terang-terangan. Praktik korupsi juga bukan hanya terjadi di sektor publik tetapi juga sudah merambah di sektor swasta, khususnya terkait dengan aktivitas bisnis di industri ekstraktif seperti kehutanan dan pertambangan. Pada gilirannya, isu ini sangat berpengaruh bagi tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi global.

Sasaran strategis: (1) penguatan dan pengembangan kapasitas institusional lembaga-lembaga pemerintahan yang berfungsi untuk pencegahan segala bentuk praktik korupsi, baik di sektor publik maupun swasta, terutama terkait sistem audit terhadap laporan keuangan dan perpajakan; (2) peningkatan kerja sama internasional yang solid dan berkelanjutan di antara para pemangku kepentingan yang berorientasi pada pengembangan kapasitas SDM yang terlibat dalam kelembagaan antikorupsi, baik di sektor publik, swasta maupun masyarakat sipil; (3) pengembangan sistem tata kelola berbasis digitalisasi (e-government) secara lebih merata ke semua pemerintah lokal untuk mendukung pencapaian zero-corruption di semua sektor; (4) penguatan peran masyarakat sipil, khususnya akademisi, NGO, media serta masyarakat lokal, dalam upaya memberikan edukasi publik untuk meningkatkan pencegahan, pengawasan dan pelaporan praktik-praktik korupsi dalam berbagai bentuknya, khususnya di bidang energi dan pertambangan.

Page 99: Recover Together, Recover Stronger

84 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

DAFTAR REFERENSI

About the Alliance. (n.d.). “G20 Global Smart Cities Alliance.” https://globalsmartcitiesalliance.org. About C40. (n.d.). “C40 Cities.” https://www.c40.org/. Abror, S. dan Haryanto. (2014). Audit Pemerintah dan Pengendalian Korupsi: Bukti dari Data Panel Provinsi di

Indonesia. Diponegoro Journal of Accounting, 3 (4), 1-11. Agricultural Market Information System (AMIS). 2011. Enhancing Market Transparency. http://www.amis-

outlook.org/fileadmin/user_upload/amis/docs/Secretariat/AMIS_Multi_Donor_Trust_Fund.pdf Akenji, Lewis, et al. (2020, 10 Desember). Six Proposals for Future Policies towards Circular Economy and

Society. https://www.g20-insights.org/policy_briefs/six-proposals-for-future-policies-towards- circular-economy-and-society

Alliance for Financial Inclusion. (2018). National Financial Inclusion Strategies: Current State of Practice.https:// www.afi-global.org/sites/default/files/publications/2018-06/National%20Financial%20Inclusion%20 Strategies.pdf

Ananda, Putra. (2021, 14 April). Pandemi Covid-19 Membuat Ekonomi Digital Indonesia Tumbuh Pesat. https://m.mediaindonesia.com/ekonomi/397976/pandemi-covid-19-membuat-ekonomi-digital- indonesia-tumbuh-pesat

Andryandy, Tommi. (2021, 21 Mei). Dorong Wirausaha Hijau, UNDP Sebut Pemuda Bisa Sukseskan Pemulihan Indonesia Usai Pandemi. https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/amp/pr-011941695/dorong- wirausaha-hijau-undp-sebut-pemuda-bisa-sukseskan-pemulihan-indonesia-usai-pandemi

ASEAN. (2020). ASEAN Key Figures 2020. https://www.aseanstats.org/wp-content/uploads/2020/11/ASEAN_ Key_Figures_2020.pdf

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2015). Sinergi Agenda Pembangunan Nasional dan Global: Peran Diplomasi dalam Formulasi dan Implementasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 (SDGs).

Badan Pusat Statistik. (n.d.). Jumlah Perjalanan Wisatawan Nusantara (Orang), 2017-2019. https://www.bps. go.id/indicator/16/1189/1/jumlah-perjalanan-wisatawan-nusantara.html

Bahagijo, Sugeng. (2016). Janji Sustainable Development Goals: Kebebasan, Kesetaraan, dan Ideologi. Prisma: Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi, 35 (2), 37-53.

Bank Indonesia. (2019). Laporan Perekonomian Indonesia 2019. https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/ Documents/9_LPI2019.pdf

Bayu, Dimas Jarot. (2021, 1 April). “Indonesia dalam Ancaman Krisis Regenerasi Petani.” Katadata.https:// katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/6064027728ff4/indonesia-dalam-ancaman-krisis- regenerasi-petani

Bel, Emilie. (2020, 24 November). Why the G20 should do more for financial inclusion. https://www. atlanticcouncil.org/blogs/new-atlanticist/why-the-g20-should-do-more-for-financial-inclusion/

Blended Finance Task Force. (2019). Rethinking the SDGs funding gap. IRC. https://es.ircwash.org/node/85833. Bradford, Anu. (2020). The Brussels Effect: How the European Union Rules the World. New York: Oxford

University Press. Buchholz, K. (2020, 4 November). How has the world’s urban population changed from 1950 to today? World

Economic Forum. https://www.weforum.org/agenda/2020/11/global-continent-urban-population- urbanisation-percent/#:~:text=In%202020%2C%2056.2%20percent%20of,has%20risen%20in%20 every%20content.

Catriana, Elsa. (2021, 4 Januari). Kemenkop UKM: Semua Sektor UMKM Terguncang Akibat Covid-19. https:// amp.kompas.com/money/read/2021/01/04/181400826/kemenkop-ukm-semua-sektor-umkm- terguncang-akibat-covid-19

Chêne, Marie. (n.d.). The role of supreme audit institutions in fighting corruption. https://www.u4.no/ publications/the-role-of-supreme-audit-institutions-in-fighting-corruption

Page 100: Recover Together, Recover Stronger

85 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

Centre for Strategic and International Studies. (2021). Green Recovery Facility. U.S. Climate Leadership at the

G20. https://www.jstor.org/stable/resrep30170.6 CNN Indonesia. (2021, 5 Mei). Nadiem Akui Masalah Pendidikan Vokasi Tak Siap untuk Industri. https://www.

cnnindonesia.com/nasional/20210505072535-20-638649/nadiem-akui-masalah-pendidikan-vokasi- tak-siap-untuk-industri/amp

Data Reportal. (2020, 30 Januari). Digital 2020: Global Digital Overview. https://datareportal.com/reports/ digital-2020-global-digital-overview.

Data Reportal. (2021, 21 April 2021). Digital 2021 April Global Statshow Report. https://datareportal.com/ reports/digital-2021-april-global-statshot.

Debiel, Tobias, Roth, Michele, & Ulbert, Cornelia. (2012). Global Governance Under Pressure: Trends and Outlook, dalam Global Trends 2013: Peace - Development - Environment, 11-23.

De Cordoba, S. F., Lambert, R., UNCTAD. (2020, 27 Mei). Post-pandemic plea for sustainable value chains. https://unctad.org/news/post-pandemic-plea-sustainable-value-chains.

Djajawinata, D. T., PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). (2021). Implementasi SDG Indonesia One Blended Finance Platform untuk Mendukung Pencapaian SDGs di Indonesia. [Presentasi].

Dobrosielski, C. (2020, 22 Februari). STR: Sustainable travel important to 48% of travelers. https://www. hotelmanagement.net/operate/str-sustainable-travel-important-to-48-travelers.

Down to Earth (DTE) Staff. (2020, 18 September). “As told to Parliament (September 18, 2020): 10,281 Indian farmers died by suicide in 2019”. Down to Earth. https://www.downtoearth.org.in/news/agriculture/ as-told-to-parliament-september-18-2020-10-281-indian-farmers-died-by-suicide-in-2019-73449

Dutkiewicz, Marianne, & Ellis, Amanda. (2018). Women’s Economic Empowerment and the G20 Agenda. Analysis from the East-West Center, No. 135. http://www.jstor.com/stable/resrep21067

Ekonomi Hijau Papua. (n.d.). About The Program. https://en.ekonomihijaupapua.org/tentang-program Ernst & Young. (2015). Cultural Times: The first global map of cultural and creative industries. https://en.unesco.

org/creativity/sites/creativity/files/cultural_times._the_first_global_map_of_cultural_and_creative_ industries.pdf

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2017). The future of food and agriculture – trends and challenges. http://www.fao.org/3/i6583e/i6583e.pdf.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2019). Digital Technologies in Agriculture and Rural Areas. http://www.fao.org/3/ca4887en/ca4887en.pdf.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2020). In brief to the state of food security and nutrition in the world 2020: transforming food systems for affordable healthy diets. http://www.fao. org/documents/card/en/c/ca9699en.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2020). The state of food security and nutrition in the world 2020. http://www.fao.org/documents/card/en/c/ca9692en/.

Food and Agriculture Organization of the United Nations. (2021, 29 Juni). FAO Director-General urges G20: invest in rural areas and step up actions to eradicate hunger and poverty. http://www.fao.org/news/ story/en/item/1413669/icode/.

G20 Insights. (2017, 5 April). Bridging the Digital Divide: Measuring Digital Literacy. https://www.g20-insights. org/policy_briefs/bridging-digital-divide-measuring-digital-literacy/.

G20 Insights. (n.d.). Fostering the Sustainability of Global Value Chains (GVCs). Policy Briefs. https://www.g20- insights.org/policy_briefs/fostering-sustainability-global-value-chains-gvcs/.

G20 Research Group. (2017, 8 Juli). Annex to G20 Leaders Declaration: G20 High Level Principles on Organizing Against Corruption. http://www.g20.utoronto.ca/2017/2017-g20-acwg-anti-corruption.html.

Gao, Frank, Tao, Liang, Huang, Yu, and Shu, Zhiquan. Management and Data Sharing of COVID-19 Pandemic Information. Biopreservation and Biobanking, 18 (6), 570-580. DOI: 10.1089/bio.2020.0134

Gale, Fred., Constanza, Valdes, & Mark, Ash. (2019). Interdependence of China, USA and Brazil in Soybean Trade. ERS-USDA, OCS-19F-01.

Gatra.com. (2020, 24 Juli). Peringkat Indeks SDGs 2020 di Indonesia Meningkat. https://www.gatra.com/detail/ news/485592/ekonomi/peringkat-indeks-sdgs-2020-di-indonesia-meningkat

Page 101: Recover Together, Recover Stronger

86 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

German Federal Foreign Office, Adelphi. (2019). Driving Transformative Change: Foreign Affairs and the 2030

Agenda. Global Education Monitoring Report Team. (2020). Global education monitoring report summary, 2020:

Inclusion and education: all means all. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000373721 Greenpeace Indonesia. (2020, 7 Desember). Di Tengah Pandemi, UMKM Berkomitmen Terhadap Praktik Bisnis

Ramah Lingkungan. https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/44433/di-tengah-pandemi- umkm-berkomitmen-terhadap-praktik-bisnis-ramah-lingkungan/

GSMA. (2018). Enabling Rural Coverage: Regulatory and policy recommendations to foster mobile broadband coverage in developing countries. London: GSMA Intelligence.

Hardiana, M. D., Innovative Financing Lab, UNDP Indonesia. (2021, 5 Mei). Scaling Up the Implementation of Innovative Financing Mechanism for Sustainable Development. [Presentasi].

Horrocks, Paul, OECD. (n.d.). Blended Finance Role in COVID-19 Recovery. [Presentasi]. Webinar Scaling up the Implementation of Innovative Finance Mechanisms for Sustainable Development in Developing Countries.

Idris, Muhammad. (2021, 22 Januari). Generasi Z dan Milenial Dominasi Jumlah Penduduk Indonesia. https:// amp.kompas.com/money/read/2021/01/22/145001126/generasi-z-dan-milenial-dominasi-jumlah- penduduk-indonesia

IEA. (2020). Global Energy Review 2020. https://iea.blob.core.windows.net/assets/7e802f6a-0b30-4714-abb1- 46f21a7a9530/Global_Energy_Review_2020.pdf.

ILO. (2013). 10 Years of Work on Youth Employment in Indonesia. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/- --asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_177872.pdf

ILO. (2018). World Employment Social Outlook: Trends for Women 2018 - Global Snapshot. https://www.ilo. org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_619577. pdf

ILO. (2020). X global employment trends for youth 2020: technology and the future jobs. https://www.ilo.org/ wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_737648.pdf.

ILO. (2020, 1 April). What is skills mismatch and why should we care? https://www.ilo.org/skills/Whatsnew/ WCMS_740388/lang--en/index.htm

ILO. (2020, 10 November). Social Protection at the time of COVID-19 and beyond: Building an inclusive and sustainable social protection system. ILO.org. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/--- ro-bangkok/---ilo-beijing/documents/meetingdocument/wcms_760824.pdf.

ILO. (2021, 25 Januari). ILO Monitor: COVID-19 and the world of work. Seventh edition Updated estimates and analysis. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@dgreports/@dcomm/documents/ briefingnote/wcms_767028.pdf

ILO, Fundación ONCE. (2021, 10 Februari). An inclusive digital economy for people with disabilities. http:// www.businessanddisability.org/wp-content/uploads/2021/02/inclusiveDigitalEconomy.pdf

IMF. (1999). Does Mother Nature Corrupt? Natural resources, Corruption, and Economic Growth. IMF Working Paper. https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/1999/wp9985.pdf

IMF. (2018, 31 Mei). Pursuing Women’s Economic Empowerment. https://www.imf.org/en/Publications/Policy- Papers/Issues/2018/05/31/pp053118pursuing-womens-economic-empowerment

IMF. (2020). Financial Inclusion, What Have We Learned So Far, What Do We Have to Learn?. https://www.imf. org/en/Publications/WP/Issues/2020/08/07/Financial-Inclusion-What-Have-We-Learned-So-Far- What-Do-We-Have-to-Learn-49660_

IMF (2020). The Promise of Fintech: Financial Inclusion in the Post COVID-19 Era. https://www.imf.org/en/ Publications/Departmental-Papers-Policy-Papers/Issues/2020/06/29/The-Promise-of-Fintech- Financial-Inclusion-in-the-Post-COVID-19-Era-48623.

IMF (n.d.). Anti-Money Laundering/Combating the Financing of Terrorism - Topics. https://www.imf.org/ external/np/leg/amlcft/eng/aml1.htm

Information Technology & Innovation Foundation, Civilsdaily. (2019). Burning Issue: Data Localization. https:// www.civilsdaily.com/burning-issue-data-localization/.

Page 102: Recover Together, Recover Stronger

87 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

International Telecommunication Union. (2021, 18 Januari). Statistics. https://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/

Pages/stat/default.aspx. ITUC. (2020). 2020 ITUC Global Rights Index. https://www.ituc-csi.org/IMG/pdf/ituc_globalrightsindex_2020_

en.pdf? cf_chl_jschl_tk =pmd_a483e4db70fbab26c0813d83b72af6179c1ebd79-1628939949-0- gqNtZGzNAjijcnBszQj6.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2021, 30 Maret). Kolaborasi Perkuat Program Penyandang Disabilitas. https://www.kemenkopmk.go.id/kolaborasi-perkuat- program-penyandang-disabilitas

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2021, 5 Februari). Pemerintah Resmikan Pusat Inkubator Bisnis Pemuda KOPI. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/1792/pemerintah-resmikan-pusat- inkubator-bisnis-pemuda-kopi

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2021, 24 Mei). Momentum Pandemi untuk Dorong Transformasi Ekonomi Digital. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3011/momentum-pandemi- untuk-dorong-transformasi-ekonomi-digital

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2021, 30 Mei). Presiden Tetapkan Panitia Nasional Presidensi G-20 Menko Airlangga Pimpin Sherpa Track. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3033/presiden- tetapkan-panitia-nasional-presidensi-g-20-menko-airlangga-pimpin-sherpa-track

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2020). Laporan Kinerja Kementerian Pariwisata Tahun 2019. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2021, 14 Agustus). Siaran Pers: Menparekraf Dorong Pelaku Ekraf

Manfaatkan Platform Digital. https://kemenparekraf.go.id/berita/Siaran-Pers-%3A-Menparekraf- Dorong-Pelaku-Ekraf-Manfaatkan-Platform-Digital

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. https://policy.asiapacificenergy.org/sites/default/files/Medium- Term%20National%20Development%20Plan%20%28RPJMN%29%202015%E2%80%932019.pdf

Kementerian PPN/Bappenas. (2020, 6 Oktober). Bappenas Dorong Kontribusi Pemuda Bangun Geopark. https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/bappenas-dorong-kontribusi-pemuda- bangun-geopark/

Kharas, Homi, & Hamel, Kristofer. (2020, 6 Mei). Turning back the Poverty Clock: How will COVID-19 impact the world’s poorest people? https://www.brookings.edu/blog/future-development/2020/05/06/turning- back-the-poverty-clock-how-will-covid-19-impact-the-worlds-poorest-people/

Khokhar, Tariq. (2016, 9 Mei). Chart: 1 in 3 Companies Constrained by Corruption. https://blogs.worldbank.org/ opendata/chart-companies-constrained-corruption

Kraemer, R. Andreas. (2017). A Sustainable Ocean Economy, Innovation and Growth: A G20 Initiative. Centre for International Governance Innovation, Policy Brief No. 11. http://www.jstor.com/stable/resrep16150

Kusdiana, D. Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM. (2021, 23 April). Inisiatif program pemerintah untuk transisi energi yang berkelanjutan. [Presentasi]. Diskusi Panel “Green Economic Recovery untuk mendukung Transisi Energi Indonesia”.

Lakner, C. Yonzan, N. Mahler, D. G., Aguilar, R. A. C., Wu, H. & Fleury, M. (2020, 7 Oktober). Updated estimates of the impact of COVID-19 on global poverty: The effect of new data. World Bank Blogs. https://blogs. worldbank.org/opendata/updated-estimates-impact-covid-19-global-poverty-effect-new-data.

Laraspati, Angga. (2021, 28 April). “Pemerintah Dorong Digitalisasi, Targetkan 30 Juta UMKM Go Digital.”, Detik Finance https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5549886/pemerintah-dorong- digitalisasi-targetkan-30-juta-umkm-go-digital

Legge, David G. (2020). COVID-19 response exposes deep flaws in global health governance. Global Social Policy, 20 (3), 383-387.

Lucas-Dominguez, Rut, et al. (2021). The sharing of research data facing the COVID-19 pandemic. Scientometrics, 126, 4975–4990.

Maupin, Julie. (2017). Blockchains and the G20: Building an Inclusive, Transparent and Accountable Digital, Centre for International Governance Innovation, Policy Brief No. 101. http://www.jstor.com/stable/ resrep05191

Page 103: Recover Together, Recover Stronger

88 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

McKinsey Global Institute. (2014). Global flows in a digital age: How trade, finance, people, and data connect the

world economy. https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featured%20insights/Globalization/ Global%20flows%20in%20a%20digital%20age/MGI%20Global%20flows%20in%20a%20digial%20 age%20Executive%20summary.ashx

Miles, R. John. (2019). The blue economy imperative: creating sustainable blue growth. https://www. boldbusiness.com/society/blue-economy-imperative-bring-bold-opportunities/.

Miranda, Caroline, Blanco, Fernanda, & Nenova, Tatiana. (2021, 7 Mei). “An uneven global economic recovery in 2021 promises to invert a longstanding principle of success and failure”. World Bank Blogs. https:// blogs.worldbank.org/developmenttalk/uneven-global-economic-recovery-2021-promises-invert- longstanding-principle-success

Mühleisen, Martin. (2018). The Long and Short of The Digital Revolution. Finance & Development, 55 (2), 4-8. Mustika, Syanti. (2020, 12 Desember). “Jumlah Wisatawan Nusantara Menyusut 61 Persen”, Detik Travel. https://

travel.detik.com/travel-news/d-5292195/jumlah-wisatawan-nusantara-menyusut-61-persen Nasution, Dedy Darmawan. (2021, 9 Februari). Sandiaga Dorong Milenial Ciptakan Lapangan Kerja Parekraf.

https://republika.co.id/amp/qo97nd423 National Coordination Team of Indonesia’s SSC. (2015). Laporan Tahunan Kerja Sama Selatan-Selatan dan

Triangular Indonesia 2015. Notre Dame Global Adaptation Initiative. (2017). Biggest Movers in Climate Change Adaptation. Diakses

dari https://knoema.com/infographics/wemjthe/adapting-to-climate-change-how-ready-is-your- country.

Nurse, Keith. (n.d.). The digital creative economy and trade: strategic options for developing countries. https:// www.wto.org/english/res_e/booksp_e/16_adtera_chapter_12_e.pdf

Obaidullah, M., Islamic Development Bank Institute. (2021, 5 Mei). Blended Finance Based on Islamic Philanthropy. [Presentasi]. Scaling Up the Implementation of Innovative Financing Mechanism for Sustainable Development in Developing Countries.

OECD Development Centre. (2015). Can social media effectively include women’s voices in decision- making processes? https://www.oecd.org/development/gender-development/DEV_socialmedia- issuespaper-March2015.pdf.

OECD. (2016, 3 Maret). Does gender discrimination in social institutions matter for long- term growth? https://www.oecd-ilibrary.org/docserver/5jm2hz8dgls6-en.

Page 104: Recover Together, Recover Stronger

89 LAPORAN AKHIR | ISU PRIORITAS G20 | SDGs HUB UI - P3K MULTILATERAL KEMLU RI

LAMPIRAN

DAFTAR FOCUS GROUP DISCUSSIONS (FGD)

FGD dengan UN DESA UN DESA. (2021, 4 Juni). Virtual Consultation Meeting. UN DESA, SDGs Hub UI, dan P3K-M Kemenlu RI. UN DESA. (2021, 11 Juni). Virtual Consultation Meeting. UN DESA, SDGs Hub UI, dan P3K-M Kemenlu RI.

FGD dengan Universitas Toronto Kirton, John. (2021, 17 Juni). Focus Group Discussion – University of Toronto. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI.

FGD dengan Akademisi Purwadi, Yulius – Departemen Hubungan Internasional, Universitas Parahyangan. (2021, 12 Juli). Focus Group Discussion - Akademisi. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Simarmata, Hendricus Andy – Pusat Studi Urban dan Regional, Universitas Indonesia. (2021, 12 Juli). Focus Group Discussion - Akademisi. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Siscawati, Mia – Pusat Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia. (2021, 12 Juli). Focus Group Discussion - Akademisi. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Supriatna, Jatna – SDG Hub Universitas Indonesia. (2021, 12 Juli). Focus Group Discussion - Akademisi. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI.

FGD dengan NGO/LSM Bahagijo, Sugeng- INFID. (2021, 13 Juli). Focus Group Discussion – NGO/LSM. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Rafitrandi, Dandi - CSIS. (2021, 13 Juli). Focus Group Discussion – NGO/LSM. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Saminarsih, Diah - CISDI. (2021, 13 Juli). Focus Group Discussion – NGO/LSM. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI.

FGD dengan Bisnis Makes, David - Sustainable Management Group. (2021, 19 Juli). Focus Group Discussion – Bisnis. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Nurani, Maria Dian - KADIN. (2021, 19 Juli). Focus Group Discussion – Bisnis. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI.

FGD dengan Kementerian/Lembaga (K/L) Apriliani, Wiwien - BAPPENAS. (2021, 28 Juli). Focus Group Discussion – K/L. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Erwin, Andreano dan Ferdinand - Kemenkes RI. (2021, 28 Juli). Focus Group Discussion – K/L. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Hidayat, Muhammad Arif - Kemenaker RI. (2021, 28 Juli). Focus Group Discussion – K/L. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Mutaqqin, M. Zahrul - KLHK RI. (2021, 28 Juli). Focus Group Discussion – K/L. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI. Santosa, Iman - Kemenparekraf RI. (2021, 28 Juli). Focus Group Discussion – K/L. SDGs Hub UI dan P3K-M Kemenlu RI.