Upload
inez-ayuwibowo
View
104
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
medical assignment
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri bukanlah perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman
sensorik dan emosional tidak menyenangkan. Nyeri, selain menimbulkan penderitaan,
juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif dan penunjang diagnostik.
Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk
bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari
terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan
untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel
yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat
berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu,
proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha
untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau
mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam
keluarga maupun lingkungannya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
Nyeri bukanlah perasaan sensorik semata tapi merupakan sebuah pengalaman.
International Association for the Study of Pain mendeskripsikan nyeri sebagai suatu
pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan diasosiasikan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkaan terjadinya kerusakan.
Dari definisi ini, terdapat hubungan antara aspek fisiologis nyeri dan aspek emosional
dan psikologis dari nyeri, sehingga respon nyeri dapat sangat bervariasi pada setiap
orang.
2.2 Klasifikasi Nyeri
Secara klinis, nyeri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nyeri akut akibat
adanya nosisepsi, dan nyeri kronis, yang dapat terjadi akibat nosisepsi, tetapi faktor
psikologis dan perilaku turut berperan besar.
Nyeri akut dirasakan ketika terdapat trauma pada tubuh, dan pada umumnya
akan menghilang saat trauma tersebut sembuh. Seringkali keadaan ini diasosiasikan
dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis, seperti peningkatan laju nadi. Sebagian
besar nyeri akut dapat sembuh sendiri atau membaik dengan pengobatan selama
beberapa hari atau minggu. Berdasarkan asal lokasi, nyeri akut dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu nyeri somatis dan nyeri viseral.
Nyeri somatis digolongkan menjadi nyeri somatis superfisial dan dalam. Nyeri
somatis superfisial terjadi akibat rangsangan nosiseptor dari kulit, subkutaneus, dan
membran mukosa. Karakter nyeri ini adalah lokasi dapat ditentukan dan dirasakan
seperti sensasi terasa tajam, berdenyut, dan terbakar. Sedangkan pada nyeri somatis
dalam berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang. Karakter nyerinya tumpul, terasa linu,
dan kurang terlokalisir.
Nyeri viseral yang akut terjadi akibat proses suatu penyakit atau fungsi abnormal
pada organ dalam. Terdapat 4 macam tipe, yaitu (1) nyeri viseral terlokalisasi, (2) nyeri
parietal terlokalisasi, (3) nyeri viseral menjalar, dan (4) nyeri parietal menjalar.
2
Nyeri viseral yang terlokalisir terasa tumpul, difus, dan biasanya di garis tengah.
Nyeri ini biasanya akibat aktivitas saraf otonom abnormal dan menyebabkan mual,
muntah, berkeringat, dan perubahan tekanan darah dan laju nadi. Sedangkan nyeri
parietal terasa tajam dan sering digambarkan seperti perasaan tertusuk di sekitar organ.
2.3 Neurofisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)
ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosisepsi melibatkan pengenalan dan transmisi stimulus nyeri. Stimulus nyeri
berupa kerusakan jaringan akibat suhu, mekanis, atau kimia akan mengaktivasi
nosiseptor, yaitu ujung saraf bebas aferen dari serabut A-delta myelin dan serabut C
tanpa myelin. Serabut A merupakan komponen pembawa impuls yang cepat (0,1 detik),
tajam, dan terlokalisasi, serta dapat di tes dengan pinprick. Serabut C memiliki onset
yang lebih lambat, terasa tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptorvnyeri
yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliput organ-
organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada
reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Seperti halnya berbagai stimulus yang
disadari lainnya, persepsi nyeridihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai
reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat.
Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-
noxious).
3
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan
oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai
dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih
kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).
Ujung saraf aferen perifer tersebut akan mengirimkan impuls ke kornu dorsalis
medula spinalis dan akan bersinaps dengan saraf aferen tingkat kedua. Impuls tersebut
akan menuju ke hemisfer kontralateral medulla spinalis dan naik sebagai jalur sensorik
aferen (traktus spinotalamikus) menuju ke talamus. Diantaranya, saraf tersebut akan
bercabang dan mengirimkan impuls ke formasio retikularis dan periakuaduktal
substansia grisea. Di talamus, neuron tingkat kedua akan bersinaps dengan neuron
tingkat ketiga, yang mengirimkan impuls ke korteks sensorik.
Insisi pada pembedahan menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi
pelepasan histamine dan mediator inflamasi seperti bradikinin, prostaglandin, dan
serotonin. Pelepasan mediator inflamasi akan mengaktivasi nosiseptor di perifer, yang
akan menginisiasi transduksi dan transmisi informasi nosiseptif ke sistem saraf pusat.
Sensitisasi pada nosiseptor di perifer menyebabkan penurunan batas ambang
aktivasi, peningkatan pelepasan impuls akibat aktivasi dan peningkatan pelepasan
impuls secara spontan. Trauma yang berkelanjutan pada perifer dapat menyebakan
sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas. Sensitisasi sentral merupakan kelanjutan dari
perubahan post trauma yang persisten pada sistem saraf pusat sehingga menyebabkan
hipersensitivitas nyeri. Sehingga, akibat perubahan ini nyeri post operasi akan
dipersepsikan lebih nyeri dibandingkan yang pernah dirasakan sebelumnya.
4
Gambar 1. Pengiriman impuls nyeri ke pusat
2.4 Preventif Analgesia
Sensitisasi sentral dan hipereksitabilitas terjadi setelah insisi pembedahan dan
keadaan ini menyebabkan nyeri post operasi. Sensitisasi sentral dapat dicegah dengan
pemberian analgesia secara jangka pendek untuk mengurangi nyeri post operasi dan
percepatan kesembuhan, dan secara jangka panjang untuk mengurangi perkembangan
nyeri kronis.
5
Preemptif analgesia adalah pemberian obat analgesi sebelum dimulainya
pembedahan untuk mencegah nyeri post operasi. Preemptif analgesia ini merupakan
terapi antinosiseptif dan mencegah perkembangan nyeri post operasi dengan
menghambat pembentukan impuls aferen, sehingga mencegah sensitisasi sentral.
Tujuannya adalah untuk mencegah atau mengurangi memori nyeri, sehingga dapat
mengurangi pemberian analgesia.
2.5 Pendeketan Multimodal
Nyeri post operasi atau post trauma paling baik diterapi dengan pendekatan
multimodal. Pendekatan multimodal adalah menggunakan teknik analgesi (analgesia
kateter epidural atau kateter saraf perifer) dan kombinasi terapi farmakologi sistemik,
seperti non-steroidal anti inflammatory agents (NSAIDs), agonis alfa adrenergik,
antagonis reseptor NMDA, membrane stabilizers, dan opioid.
Tujuan utama dari pendekatan ini adalah mobilisasi lebih cepat, intake oral lebih
cepat, fungsi kolon kembali lebih cepat, dan dapat keluar rumah sakit lebih cepat serta
durasinya lebih pendek. Selain itu, dengan pendekatan multimodal dapat
mengoptimalkan fungsi analgesia dan mengurangi risiko efek samping dari obat yang
digunakan.
2.6 Penilaian Nyeri
1. Visual Analogue Scale (VAS)
Skala ini menggunakan sebuah garis horizontal sepanjang 10 cm (100
mm) untuk menggambarkan intensitas nyeri. Skala ini dimulai dari tidak nyeri
(skor 0 mm) hingga nyeri sekali(skor 100 mm). Nilai yang direkomendasikan
untuk VAS yaitu, tidak nyeri (0-4 mm), nyeri ringan (5-44 mm), nyeri sedang
(45-74 mm), dan nyeri berat (75-100 mm).
6
Gambar 2. Visual Analogue Scale
2. Numerical Rating Scale (NRS)
Skala ini mirip dengan VAS, tetapi lebih terperinci dengan menggunakan
skala numerik yang terdiri dari 11 titik untuk menggambarkan derajat nyeri.
Skor 0 menggambarkan tidak ada nyeri dan skor 10 menggambarkan nyeri
sekali.
Gambar 3. Numerical Rating Scale
3. Wong-Baker Faces Scale
Skala ini menggunakan ekspresi wajah untuk menggambarkan rasa nyeri
yang dirasakan oleh pasien.
Gambar 4. Wong-Baker Faces Scale
7
4. Pain Drawing
Pasien diminta untuk menggambarkan sendiri lokasi dan intensitas nyeri
yang dirasakan.
Gambar 5. Pain Drawing
2.7 Tatalaksana Nyeri Akut Post Operasi
Penanganan nyeri post operasi dapat diberikan analgesik oral dan parenteral bila
diperlukan. Cara yang efektif berupa patient-controlled analgesia (PCA) saat ini
semakin sering digunakan, adalah pemberian analgesik melalui oral, intravena,
subkutaneus, epidural, dan intratekal, serta kateter saraf perifer.
8
Dalam pemberiannya, terdapat batasan jumlah dosis setiap jumlah waktu
tertentu yang dapat diberikan, dan terdapat interval waktu minimal yang harus dipenuhi
diantara pemberian dosis. Dosis dapat diturunkan perlahan bila nyeri dirasa berkurang.
Jika dibandingkan dengan metode lama, seperti injeksi opioid intramuskular atau
intravena sebagai tatalaksana nyeri akut post operasi, PCA dapat memberikan analgesia
yang lebih baik dengan lebih aman, jenis obat yang digunakan lebih sedikit, sedasi
minimal, gangguan tidur minimal, dan perbaikan aktivitas fisik lebih cepat.
1. Analgesik Sistemik
a. Opioid
Opioid merupakan salah satu dasar pada terapi nyeri post operasi.
Agen ini bekerja di reseptor µ di sistem saraf pusat dan perifer. Salah
satu keuntungan dari opioid adalah tidak ada ceiling effect. Namun
penggunaannya terbatas karena adanya efek samping, seperti mual,
muntah, sedasi, dan depresi pernapasan. Opioid dapat digunakan
melalui berbagai cara, yaitu subkutaneus, transkutaneus,
transmukosal, intramuskular, intravena, oral, intratekal, epidural, dan
intraartikular.
Opioid intramuskular diberikan untuk mengatasi nyeri post
operasi sedang – berat karena memiliki onset yang lebih cepat
daripada analgesik oral. Namun, konsentrasi plasma opioid setelah
injeksi intramuskular dapat bervariasi dan tidak merata, sehingga
dapat terjadi analgesia yang inadekuat. Sehingga, jalur pemberian
intramuskular digantikan dengan pemberian intravena atau
subkutaneus PCA.
PCA merupakan sistem sirkuit kontrol tertutup dengan peranan
individu secara aktif untuk mengontrol nyeri. Metode ini berdasarkan
teknik infus menggunakan pompa khusus yang terspesifikasi, dengan
menekan suatu tombol ynag telah diprogram. Terdapat pengatur
waktu pada pompa tersebut sehingga mencegah pemakaian dosis
tambahan sebelum jangka waktu tertentu, sehingga sedasi dan
depresi napas berlebih dapat dicegah. Singkatnya, PCA intravena
memberikan analgesia yang superior dan kepuasan bagi pasien
9
dibandingkan regimen analgesia konvensional yang sesuai
kebutuhan.
Tabel 1. Rekomendasi Program Opioid untuk PCA Intravena
Bolus Lockout
interval (menit)
Continous rate
Morfin (1mg/ml) 0,5-2,5 mg 5-10 0,01-0,03 mg/kg/jam
Fentanyl (10µg/ml) 10-20 µg 4-10 0,5-1 µg/kg/jam
Alfentanyl (0,1mg/ml) 0,1-0,2 mg 5-8 -
Sufentanyl
(0,002mg/ml)
2-5 µg 5-10 0-8 µg/kg/jam
Meperidine (10mg/ml) 5-25 mg 5-10 10 mg/jam
Tramadol (10mg/ml) 10-20 mg 5-10 10-20 mg/jam
Fentanyl Iontophoretic Transdermal (ITD) merupakan opioid
yang non invasif, bebas jarum, independen, dan terprogram untuk
pemberian fentanyl secara transdermal dengan memberikan kekuatan
elektrik densitas rendah pada area tertentu. Fentanyl ITD dapat
memberikan analgesia tanpa fluktuasi.
Namun fentanyl transdermal tersebut tidak ideal untuk nyeri akut
karena memiliki onset analgesia yang lambat. Fungsi analagesiknya
dapat mencapai 24-36 jam setelah aplikasi, dan lebih sesuai untuk
terapi nyeri kronis. Fentanyl ITD sebanyak 40 µg dapat berdifusi ke
dalam sirkulasi darah melalui kulit dalam 10 menit.
b. Tramadol
Tramadol merupakan analog sintetis kodein, dan memiliki efek
analgesik sedang. Obat ini satu-satunya yang bekerja pada dua
mekanisme yang berbeda. Salah satu metabolitnya memiliki afinitas
yang rendah terhadap reseptor µ opioid tanpa mempengaruhi reseptor
delta dan kappa. Mekanisme kedua adalah inhibisi pengambilan
10
kembali neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Tramadol juga
menyebabkan efek samping berupa depresi napas dan sedasi bila
diberikan bersamaan dengan opioid lain sebagai terapi nyeri post
operasi.
c. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs)
NSAIDs bekerja di area perifer, dapat berperan sebagai analgesik,
antipiretik, dan antiinflamasi. Obat ini memiliki efek lokal tanpa
menyebabkan efek samping dan gangguan kognitif, serta tidak
menyebabkan adiksi seperti opioid. Kelompok ini dapat digunakan
sendiri untuk terapi nyeri ringan – sedang, atau dikombinasi dengan
adjuvan atau opioid untuk nyeri post operasi yang berat.
NSAIDs bekerja sebagai analgesik dan antiinflamasi dengan
menghambat sintesis prostaglandin dengan inhibisi enzim
cyclooxygenase. Cyclooxygenase memiliki 2 bentuk, yaitu
cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2). Obat ini
menghambat kaskade inflamasi dan cyclooxygenase dengan inhibisi
prostaglandin dan tromboksan, sehingga nyeri, demam, agregasi
platelet, dan respon inflamasi berkurang.
Asetaminofen dan antipiretik lainnya juga mempunyai efek untuk
mengurangi nyeri dan demam, tetapi tidak seefektif analgesik lainnya
dan efek antiinflamasinya ringan. Asetaminofen menyebabkan
inhibisi dari COX-3. Pemberian asetaminofen secara intravena,
seperti parasetamol 10 mg/ml diberikan dalam solusi 100 ml sebagai
infus selama 15 menit atau lebih. Onset efeknya akan tercapai dalam
5-20 menit, mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam, dan durasinya
dapat berlangsung selama 4-6 jam. Asetaminofen intravena
direkomendasikan untuk nyeri ringan-sedang post operasi, tidak
dapat digunakan untuk mengontrol nyeri sedang dan berat post
operasi. Namun, kombinasi asetaminofen dan opioid dapat
mengurangi kebutuhan opioid 40-50%.
d. Analgesik Adjuvan
11
Dexmedetomidine
Dexmedetomidine merupakan golongan adrenergik α2
agonis. Dapat mengurangi kebutuhan analgesik dan obat
anestesi karena obat ini pun memiliki analgesik dan dapat
meningkatkan efek obat anestesi lokal dengan mengubah
transpor ion dan potensial membran di locus ceruleus pons.
Hemodinamik dapat lebih stabil dan mengurangi kebutuhan
oksigen karena obat ini menstabilkan simpatoadrenal.
Ketamine
Ketamine mempunya interaksi dengan banyak reseptor,
seperti reseptor NMDA, opioid, monoaminergik, dan
muskarinik. Pemberian ketamine dosis rendah, dapat efektif
sebagai analgesia post operasi. Ketamine dapat mengurangi
nyeri post operasi, terutama bila diberikan dalam dosis
subanestesi intraoperatif dengan anestesi umum.
Gabapentin
Gabapentin merupakan obat antiepileptic dan memiliki
struktur analog dengan GABA. Obat ini dapat menghambat
influks kalsium dan mengurangi neurotransmiter eksitatorik
yang dilepaskan dalam mekanisme nyeri.
2. Teknik Analgesik Regional
a. Intratekal
Pemberian opioid secara intratekal dapat berperan sebagai
analgesia jangka pendek sampai sedang pada nyeri post operasi.
Onset dari analgesik tergantung dari farmakologi opioid yang
digunakan lipofilik atau hidrofilik. Opioid hidrofilik dapat bertahan
di cairan serebrospinal lebih lama. Morfin, salah satunya, dapat
membentuk efek analgesik puncak dalam 20-60 menit dan analgesik
post operasi 12-36 jam. Pemberian dosis kecil opioid lipofilik, seperti
fentanyl, dapat mempercepat onset efek analgesik. Untuk
12
pembedahan abdomen bawah dengan anestesi spinal, morfin dapat
ditambahkan pada anestesi lokal untuk memperpanjang durasi
analgesia.
Opioid intratekal dapat juga diberikan secara intermiten dan infus
kontinu, dapat memberikan analgesia jangka panjang lebih dari 24
jam. Namun, efek samping seperti sindroma kauda equina akibat
akumulasi anestesi lokal harus diperhatikan dan penggunaan dosis
anestesi lokal harus seminimal mungkin bila diberikan secara
intermiten.
b. Epidural
Morfin adalah opioid yang paling sering digunakan untuk
analgesia epidural. Efektivitas analgesik dapat terlihat efektif meski
konsentrasi dalam darah rendah setelah injeksi epidural. Dosis morfin
intravena yang dibutuhkan untuk analgesia 10 kali lebih besar
daripida dosis morfin epidural. Morfin dapat berakumulasi di cairan
serebrospinal karena sifatnya ynag hidrofilik dan dapat menyebar
luas di dermatom.
Infus kontinu daripada injeksi bolus intermiten pada opioid
epidural dapat memberikan analgesia yang lebih baik dengan efek
samping minimal. Infus opioid hidrofilik epidural akan bekerja di
reseptor di medulla spinalis. Hasil dari analgesia epidural tergantung
pada dosis yang diberikan, bukan dari volume atau konsentrasinya.
Efek samping yang dapat timbul dari analgesia intratekal dan
epidural adalah hipotensi, blok motorik, mual-muntah, pruritus,
depresi pernapasan, dan retensi urin.
Tabel 2. Dosis opioid intratekal dan epidural
Single Dose (mg) Onset analgesia
(menit)
Efektivitas (jam)
Epidural
Morfin 1-6 30 6-24
Extended Release
Morphine
5-15
13
Fentanyl 0,025-0,1 5 2-4
Intratekal
Morfin 0,1-0,3 15 8-24
Fentanyl 0,005-0,025 5 3-6
Tabel 3. Epidural PCA
Dosis awal (ml) Continous rate
(ml/jam)
Lockout interval
(menit)
Levobupivacaine 0,05% +
4µg/ml Fentanyl
2 4 10
Levobupivacaine 0,0625%
+ 5µg/ml fentanyl
3-4 4-6 10-15
Levobupivacaine 0,1% +
5µg/ml fentanyl
2 6 10-15
Ropivacaine 0,2% +
5µg/ml fentanyl
2 5 20
3. Blok Saraf Perifer
Blok saraf perifer dapat berperan sebagai analgesia tunggal atau
dikombinasikan dengan analgesik lainnya. Untuk terapi nyeri dalam waktu
kurang dari 24 jam dapat diberikan kombinasi anestesi lokal dan adjuvan
dalam injeksi tunggal. Untuk terapi nyeri jangka panjang dapat diberikan
dengan menggunakan infus anestesi lokal kontinu.
Obat adjuvan yang baisa digunakan adalah epinefrin dan klonidin.
Epinefrin dapat memperpanjang durasi blok karena menyebabkan
vasokonstriksi. Dosis epinefrin yang diberikan adalah 2,5-5µg/ml. Klonidin
juga dapat memperpanjang durasi analgesia dan blok motorik hingga 2 jam.
Efek samping yang dapat timbul adalah hipotensi, bradikardia, dan sedasi,
namun dapat dicegah bila dosis kurang dari 1,5 µg/kg.
4. Blok transversus abdominis plane
14
Transversus abdominis blok (TAP) dapat digunakan untuk pembedahan
abdomen. Secara teoritis, kelebihan dari teknik ini adalah menghindari
keterlibatan blok neuroaksial, dan ekstremitas bawah, mengurangi retensi
urin, dan mengurangi efek samping sistemik. Blok TAP dapat memberikan
analgesia dan mengurangi medikasi sistemik, pada histerektomi total, sectio
caesaria, dan kolesistektomi laparaskopik.
Gambar 5. Blok Transversus Abdominis Plane
15
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional tidak
menyenangkan diasosiasikan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau
menggambarkaan terjadinya kerusakan. Dari definisi ini, terdapat hubungan antara
aspek fisiologis nyeri dan aspek emosional dan psikologis dari nyeri, sehingga respon
nyeri dapat sangat bervariasi pada setiap orang.
Nyeri akut dirasakan ketika terdapat trauma pada tubuh, dan pada umumnya
akan menghilang saat trauma tersebut sembuh. Seringkali keadaan ini diasosiasikan
dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis, seperti peningkatan laju nadi. Sebagian
besar nyeri akut dapat sembuh sendiri atau membaik dengan pengobatan selama
beberapa hari atau minggu.
Nyeri post operasi atau post trauma paling baik diterapi dengan pendekatan
multimodal. Pendekatan multimodal adalah menggunakan teknik analgesi (analgesia
kateter epidural atau kateter saraf perifer) dan kombinasi terapi farmakologi sistemik,
seperti non-steroidal anti inflammatory agents (NSAIDs), agonis alfa adrenergik,
antagonis reseptor NMDA, membrane stabilizers, dan opioid.
16
Daftar Pustaka
1. Miller RD, Manuel C. Pardo. Basic of Anesthesia. 6th ed. Elsevier. Philladelphia,
2011.
2. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill. United
States of America. 2006.
3. Beyaz SG, Fikret B, Ali FE. Acute Postoperative Pain. J Anesthe Clinic Res.
2011
4. Hawker GA, et al. Measures of Adult Pain. American College of Rheumatology.
2011; 11: 240-52.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi ke-
2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2001.
17