Upload
anonymous-kltuta
View
215
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Cerebral palsy (CP) adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi
pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak mengenai sel-sel motorik di
dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau
cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Gangguan
neurologik ini menyebabkan cacat menetap 1,6. Cerebral palsy terjadi akibat
kerusakan atau gangguan pada otak yang sedang tumbuh (belum matang). Otak
dianggap matang kira–kira pada usia 4 tahun, sedangkan menurut The American
Academy for Cerebral Palsy batas kematangan otak adalah 5 tahun. Adapula
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kematangan otak terjadi pada usia
8 – 9 tahun2.
Pada tahun 1843, seorang dokter bedah berkebangsaan Inggris bernama
William Little pertama kali mendeskripsikan suatu penyakit yang pada saat itu
membingungkan dan menyerang anak-anak pada usia tahun pertama, yang
menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Kondisi itu disebut Little’s
disease selama beberapa tahun. Sir William Olser adalah yang pertama kali
memperkenalkan istilah Cerebral palsy1,3.
Diperkirakan lebih dari 100.000 orang Amerika berusia dibawah 18 tahun
mengalami berbagai tingkat neurologic disability hingga CP. Hampir 25 % orang
yang terdeteksi CP yang terdaftar di Perancis dan Inggris tidak dapat berjalan
(meski dengan dibantu sekalipun), dan 30% mengalami keterbelakangan mental
(mentally retardated)4. Di Amerika, prevalensi penderita CP dari yang ringan
hingga yang berat berkisar antara 1,5 sampai 2,5 tiap 1000 kelahiran hidup.
Angka ini didapatkan berdasarkan data yang tercatat pada pelayanan kesehatan,
yang dipastikan lebih rendah dari angka yang sebenarnya. Suatu penelitian pada
anak usia sekolah, prevalensi CP ditemukan 1,2 – 2,5 anak per 1.000 populasi.
Sedikitnya 5.000 kasus baru CP terjadi tiap tahunnya. Dari kasus tersebut 10%
sampai 15 % CP didapatkan adanya kelainan otak yang biasanya disebabkan oleh
infeksi atau trauma setelah bulan pertama kehidupan4.
1
Di Indonesia, prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1 – 5 per 1.000
kelahiran hidup. Laki–laki lebih banyak daripada perempuan. Seringkali terdapat
pada anak pertama. Hal ini mungkin dikarenakan kelahiran pertama lebih sering
mengalami kelahiran macet. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi berat
badan lahir rendah dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun,
terlebih lagi pada multipara4.
Penelitian–penelitian lain menyebutkan antara lain : kejadian CP menurun
apabila gestational age meningkat (dari 63,9 per 1000 kelahiran hidup pada < 28
minggu menjadi 0,9 per 1000 kelahiran hidup pada > 37 minggu) 7, kelahiran
kembar mempengaruhi kejadian CP, infeksi maternal yang menyebabkan demam
( > 38C) pada saat melahirkan meningkatkan kejadian CP 9 kali lipat dan semakin
tinggi status sosial ekonomi semakin tinggi pula kejadian CP 8,9.
I.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan kasus ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, hingga prognosis
Cerebral Palsy.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Cerebral palsy (CP) adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi
pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak mengenai sel-sel motorik di
dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau
cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Gangguan
neurologik ini menyebabkan cacat menetap 1,6. Cerebral palsy terjadi akibat
kerusakan atau gangguan pada otak yang sedang tumbuh (belum matang). Otak
dianggap matang kira–kira pada usia 4 tahun, sedangkan menurut The American
Academy for Cerebral Palsy batas kematangan otak adalah 5 tahun. Adapula
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kematangan otak terjadi pada usia
8 – 9 tahun2.
II.2 Etiologi
Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya.
Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu
keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Waktu terjadinya
kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan
postnatal 4,10,11 :
1. Pranatal
− Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom
− Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun
− Usia ayah < 20 tahun dan > 40 tahun
− Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis
− Radiasi sewaktu masih dalam kandungan
− Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia maternal,
kelainan umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain – lain).
− Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alkohol.
− Induksi konsepsi.
3
− Riwayat obstetrik (riwayat kegugur an, riwayat lahir mati, riwayat melahirkan
anak dengan berat badan < 2000 gram atau lahir dengan kelainan morotik,
retardasi mental atau sensory deficit ).
− Toksemia gravidarum
Dalam buku–buku masih dipakai istilah toksemia gravidarum untuk kumpulan
gejala–gejala dalam kehamilan yang merupakan trias HPE (Hipertensi, Proteinuria
dan Edema), yang kadang–kadang bila keadaan lebih parah diikuti oleh KK
(kejang–kejang/konvulsi dan koma). Patogenetik hubungan antara toksemia pada
kehamilan dengan kejadian CP masih belum jelas. Namun, hal ini mungkin terjadi
karena toksemia menyebabkan kerusakan otak pada janin.
− Inkompatibilitas Rh
− Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian pranatal pada
salah satu bayi kembar
− Maternal thyroid disorder
− Siklus menstruasi yang panjang
− Maternal mental retardation
− Maternal seizure disorder
2. Perinatal
− Anoksia / hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah brain injury . Keadaan
inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada keadaan
presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo–servik, partus lama, plasenta previa,
infeksi plasenta, partus menggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan seksio
caesar.
− Perdarahan otak akibat trauma lahir
Perdarahan dan anoksi dapat terjadi bersama–sama, sehingga sukar
membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak,
mengganggu pusat pernafasan dan peredaran darah, sehingga terjadi anoksia.
Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid akan menyebabkan penyumbatan
CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat
menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.
4
− Prematuritas
− Berat badan lahir rendah
− Postmaturitas
− Primipara
− Antenatal care
− Hiperbilirubinemia
Bentuk CP yang sering terjadi adalah athetosis, hal ini disebabkan karena
frekuensi yang tinggi pada anak–anak yang lahir dengan mengalami
hiperbilirubinemia tanpa mendapatkan terapi yang diperlukan untuk mencegah
peningkatan konsentrasi unconjugated bilirubin. Gejala–gejala kernikterus yang
terdapat pada bayi yang mengalami jaundice biasanya tampak setelah hari kedua
dan ketiga kelahiran. Anak menjadi lesu dan tidak dapat menyusu dengan baik.
Kadangkala juga terjadi demam dan tangisan menjadi lemah. Sulit mendapatkan
Reflek Moro dan tendon pada mereka, dan gerakan otot secara umum menjadi
berkurang. Setelah beberapa minggu, tonus meningkat dan anak tampak
mengekstensikan punggung dengan opisthotonus dan diikuti dengan ekstensi
ektremitas.
− Status gizi ibu saat hamil
− Bayi kembar
− Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan
otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya
pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.
− Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat
pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa CP.
− Kelahiran sungsang
− Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II sekitar 1,5 jam.
Sedangkan pada multigravida, kala I : 7 jam dan kala II : 1/5 jam. Persalinan yang
5
sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia
janin.
− Partus dengan induksi / alat
− Polyhidramnion
− Perdarahan pada trimester ketiga.
3. Postnatal
− Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus .
− Trauma kepala : hematom subdural.
− Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama kehidupan,
septicaemia, influenza, measles dan pneumonia
− Luka parut pada otak pasca operasi
− Racun : logam berat, CO
− Malnutrisi
II.3 Klasifikasi
Pada otak, terdapat 3 bagian berbeda yang bekerja bersama menjalankan
dan mengontrol kerja otot yang berpengaruh pada pergerakan dan postur tubuh.
Bila terjadi kerusakan pada bagian otak itulah yang membuat seseorang menderita
CP. Bagian–bagian otak tersebut adalah sebagai berikut 12:
1. Korteks : spastik CP. Kelainan dalam kontrol gerakan
2. Ganglia basal : athetoid CP (athetosis/koreoathetosis). Kejang involunter, jerky
arms dan pergerakan kaki
3. Cerebellum : ataksik CP. Gangguan keseimbangan dan kesadaran spasial.
Terdapat bermacam–macam klasifikasi CP, tergantung berdasarkan apa
klasifikasi itu dibuat.
1. Berdasarkan gejala dan tanda neurologis13
a. Spastik
− Monoplegia
Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami spastik. Umumnya
hal ini terjadi pada lengan / ekstremitas atas.
6
− Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas. Hal ini
disebabkan oleh spastik yang menyerang traktus kortikospinal bilateral atau
lengan pada kedua sisi tubuh saja. Sedangkan sistem–sistem lain normal.
− Hemiplegia
Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang biasanya menyerang
ekstremitas atas/lengan atau menyerang lengan pada salah satu sisi tubuh.
− Triplegia
Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas. Umumnya menyerang
lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh.
− Quadriplegia
Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi juga ekstremitas
bawah dan juga terjadi keterbatasan ( paucity) pada tungkai.
b. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan dengannya. Pada CP
tipe ini terjadi abnormalitas bentuk postur tubuh dan / atau disertai dengan
abnormalitas gerakan. Otak mengalami kehilangan koordinasi muskular sehingga
gerakan–gerakan yang dihasilkan mengalami kekuatan, irama dan akurasi yang
abnormal.
c. Athetosis atau koreoathetosis
Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan
adalah gerakan–gerakan yang involunter dengan ayunan yang melebar. Athetosis
terbagi menjadi :
− Distonik
Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami distonik dapat
mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan
oleh distonia lainnya. Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah
proximal . Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama pada
leher dan kepala.
− Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan involunter, tidak
terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala melakukan gerakan stereotype .\
7
d. Atonik
Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas dan kelemahan
pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik namun lengan dapat menghasilkan
gerakan yang mendekati kekuatan dan koordinasi normal.
e. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan ektrapiramidal,
seringkali ditemukan adanya komponen ataksia.
2. Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita untuk
melakukan aktifitas normal
a. Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak memerlukan
pengawasan orangtua, cara berjalan cukup stabil, dapat bersekolah biasa, aktifitas
kehidupan sehari–hari 100 % dapat dilakukan sendiri.
b. Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk ambulasi ialah brace,
tripod atau tongkat ketiak. Kaki / tungkai masih dapat berfungsi sebagai
pengontrol gaya berat badan. Sebagian besar aktifitas kehidupan sehari–hari dapat
dilakukan sendiri dan dapat bersekolah.
c. Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk, merangkak atau mengesot,
dapat bergaul dengan teman–temannya sebaya dan aktif. Pengertian kejiwaan dan
rasa keindahan masih ada, aktifitas kehidupan sehari–hari perlu bantuan, tetapi
masih dapat bersekolah. Alat ambulasi yang tepat ialah kursi roda.
d. Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki, kebutuhan hidup
yang vital (makan dan minum) tergantung pada orang lain. Tidak dapat
berkomunikasi, tidak dapat ambulasi, kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak
ada.
3. Derajat Keparahan Serebral Palsy Menurut (Gross Motor Function
Classification System/GMFCS)
8
a. Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik kasar yang lebih rumit.
b. Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
c. Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
d. Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, mengguna-kan alat bantu gerak yang cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
e. Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah menggunakan alat bantu yang canggih.
II.4 Gambaran klinis
Gambaran klinik cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya
jaringan otak yang mengalami kerusakan 3 :
1) Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia.
Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
2) Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat
flaksid, rigiditas, atau campuran.
3) Ataksia
Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita
biasanya memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan
perkembangan motorik yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua
pergerakan serba canggung.
4) Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal.
5) Gangguan perkembangan mental
Retardalasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral
palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral
palsy yang disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh
anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang
menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri
tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang
9
dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikem- bangkannya gerakan-gerakan
tangkas oleh anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara
positif.
6) Mungkin didapat juga gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia,
strabismus, atau kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguan sensibilitas.
7) Problem emosional terutama pada saat remaja
II.5 Diagnosa
Untuk mendiagnosis CP disamping berdasarkan anamnesis yang teliti,
gejala–gejala klinis, juga diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya. Berikut
adalah beberapa tes yang digunakan untuk mendiagnosis CP 4 :
1. Elektroensefalogram (EEG)
EEG dapat dilakukan dari usia bayi sampai dewasa. Merupakan salah satu
pemeriksaan penting pada pasien dengan kelainan susunan saraf pusat. Alat ini
bekerja dengan prinsip mencatat aktivitas elektrik di dalam otak, terutama pada
bagian korteks (lapisan luar otak yang tebal). Dengan pemeriksaan ini, aktifitas
sel-sel saraf otak di korteks yang fungsinya untuk kegiatan sehari-hari, seperti
tidur, istirahat dan lain-lain, dapat direkam. Pada infeksi susunan saraf pusat
seperti meningitis, ensefalitis, pemeriksaan EEG perlu dilakukan untuk melihat
kemungkinan, misalnya terjadi kejang yang tersembunyi atau adanya bagian otak
yang terganggu.
2. Elektromiografi (EMG) dan Nerve Conduction Velocity (NCV)
Alat ini sangat berguna untuk membuktikan dugaan adanya kerusakan pada otot
atau syaraf. NCV digunakan terlebih dahulu sebelum EMG, dan digunakan untuk
mengukur kecepatan saat dimana saraf–saraf mentransmisikan sinyal. Selama
pemeriksaan NCV, elektroda ditempelkan pada kulit yang dilalui syaraf yang
spesifik untuk suatu otot atau sekelompok otot. Prinsip kerja NCV adalah
memberikan stimulus elektrik yang dihantarkan melalui elektrode, kemudian
respon dari otot dideteksi, diolah dan ditampilkan. Kekuatan dari sinyal yang
diberikan juga dihitung. Kondisi neurologis dapat menyebabkan NCV melambat
10
atau menjadi lebih lambat pada salah satu sisi tubuh. EMG mengukur impulse dari
saraf dalam otot. Elektrode kecil diletakkan dalam otot pada lengan dan kaki dan
respon elektronik diamati dengan menggunakan suatu alat yang menampi lkan
gerakan suatu arus listrik (oscilloscope). Alat ini mendeteksi bagaimana otot
bekerja.
3. Tes Laboratorium
a. Analisis kromosom
Analisis kromosom dapat menunjukkan identifikasi suatu anomali genetik
(contohnya Down’s Syndrome) ketika anomali tersebut muncul pada sistem
organ.
b. Tes fungsi tiroid
Tes fungsi tiroid dapat menunjukkan kadar hormon tiroid yang rendah yang dapat
menyebabkan beberapa cacat bawaan dan retardasi mental berat. Tes fungsi tiroid
dapat menunjukkan kadar hormon tiroid yang rendah yang dapat menyebabkan
beberapa cacat bawaan dan retardasi mental berat.
c. Tes kadar ammonia dalam darah
Kadar ammonia yang tinggi di dalam darah ( hyperammonemia) bersifat toksik
terhadap sistem saraf pusat (seperti otak dan sumsum tulang belakang). Defisiensi
beberapa enzim menyebabkan kerusakan asam amino yang menimbulkan
hyperammonemia. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan liver atau kelainan
metabolisme bawaan.
4. Imaging test
Tes gambar sangat membantu dalam mendiagnosa hidrosefalus, abnormalitas
struktural dan tumor. Informasi yang diberikan dapat membantu dokter
memeriksa prognosis jangka panjang seorang anak.
a. Magnetic Resonance Imaging atau MRI
MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menciptakan
gambar dari struktur internal otak. Studi ini dilakukan pada anak–anak yang lebih
tua. MRI dapat mendefinisikan abnormalitas dari white matter dan korteks
motorik lebih jelas daripada metode–metode lainnya.
b. CT scan
11
Teknik ini merupakan gabungan sinar X dan teknologi komputer, menghasilkan
suatu gambar yang memperlihatkan setiap bagian tubuh secara terinci termasuk
tulang, otot, lemak dan organ-organ tubuh. Suatu computed tomography scan
dapat menunjukkan malformasi bawaan, hemorrhage dan PVL pada bayi.
c. Ultrasound
Ultrasound menggunakan echo dari gelombang suara yang dipantulkan ke dalam
tubuh untuk membentuk suatu gambar yang disebut sonogram. Alat ini seringkali
digunakan pada bayi sebelum tulang tengkorak mengalami pengerasan dan
menutup untuk mendeteksi kista dan struktur otak yang abnormal.
II.6 Penatalaksanaan
Perawatan pada anak CP memerlukan pengertian dan kerja sama
yang baik dari pihak orang tua/keluarga penderita. Hal ini akan tercapai
dengan baik jika diorganisasi terpadu pada satu pusat klinik khusus.
Cerebral palsy yang dikelola tenaga tenaga dari pelbagai multidisipliner ( misal:
dokter anak, neurologis, ahli bedah ortopedi, bedah saraf, THT, guru luar biasa)2,3.
A. Aspek medis
1.Umum : Gizi yang baik perlu bagi tiap anak. Hal-hal lain seperti
imunisasi dan pencatatan rutin perkembangan berat badan anak perlu
dilaksanakan.
2.Obat-obatan : Diberikan sesuai dengan kebutuhan anak tergantung pada
gejala-gejala yang muncul antara lain:
a. Obat anti spastisitas
Biasanya indikasi pemberian obat - obatan anti spastisitas pada
penderita C.P. karena :
- Spastisitas penderita sangat hebat yang disertai rasa nyeri sehingga
mengganggu program rehabilitasi.
- Keadaan hiperefleksi yang sangant mengganggu fungsi motorik
(misalnya: ada klonus kaki yang hebat)
- Kontraksi pleksi pada tungkai yang progresif.
- Spasitisitas penderita yang mempersulit perawatan.
12
b. Obat psikotropik
c. Antikonvulsan
3.Rehabilitasi medis : - Fisioterapi : tindakan ini harus segera dimulai
secara intensif untuk mencegah kecacatan. Latihan yang dilakukan berupa
latihan luas gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan
otot, latihan duduk, latihan berdiri, latihan jalan, dll. Orang tua turut
membantu program latihan dirumah. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang
penderita hidup.
- Terapi okupasi : terutama untuk latihan melakukan aktifitas
sehari-hari, evaluasi penggunaan alat-alat bantu. Latihan
keterampilan tangan dan aktifitas bimanual.
- Terapi wicara : angka kejadian gangguan bicara pada penderita
cerebral palsy berkisar antara 30-70%. Terapi wicara ini dilakukan
oleh ahli terapi wicara6.
4. Pembedahan ortopedi : Salah satu indikasi dilakukan tindakan
ortopedi jika sudah terjadi deformitas akibat proses spasme otot atau
telah terjadi kontraktur pada otot dan tendon. Dalam hal ini harus
dipertimbangkan secara matang beberapa factor sebelum melakukan
tindakan bedah.
B. Aspek non-medis
Mengingat selain terjadinya kecacatan motoric, juga sering terjadi
kecacatan mental, maka pada umumnya pendidikan khusus diperlukan.
Penderita cerebral palsy didididk sesuai dengan tingkat intelegensinya, dan
dapat diperlakukan sama dengan anak normal5,6.
13
2.7 Prognosis
Di negara yang telah maju misalnya inggris dan skandinvia terdapat 20-
25% penderita cerebral palsy sebagai buruh penuh dan 30-50% tinggal di
institute cerebral palsy. Prognosis penderita dengan gejala motorik yang
ringan adalah baik, makin banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala
motoriknya, makin buruk prognosisnya 2,3.
14
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Cerebral palsy (CP) adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada
suatu kurun waktu dalam perkembangan anak mengenai sel-sel motorik di dalam
susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat
pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Gangguan neurologik
ini menyebabkan cacat menetap 1,6 .
2. Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila
ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu keluarga,
maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Waktu terjadinya kerusakan
otak secara garis besar dapat dibagi menjadi : pada masa pranatal, perinatal dan
postnatal 4,10,11.
3. Terdapat bermacam–macam klasifikasi CP, tergantung berdasarkan apa
klasifikasi itu dibuat, yaitu berdasarkan gejala dan tanda neurologis13, dan
berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan penderita untuk
melakukan aktifitas normal.
4. Untuk mendiagnosis CP disamping berdasarkan anamnesis yang teliti, gejala–
gejala klinis, juga diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya.
5. Perawatan pada anak CP memerlukan pengertian dan kerja sama yang
baik dari pihak orang tua/keluarga penderita. Hal ini akan tercapai dengan
baik jika diorganisasi terpadu pada satu pusat klinik khusus. Cerebral palsy
yang dikelola tenaga tenaga dari pelbagai multidisipliner ( misal: dokter anak,
neurologis, ahli bedah ortopedi, bedah saraf, THT, guru luar biasa)2,3.
6. Di negara yang telah maju misalnya inggris dan skandinvia terdapat 20-25%
penderita cerebral palsy sebagai buruh penuh dan 30-50% tinggal di
institute cerebral palsy. Prognosis penderita dengan gejaka motorik yang
ringan adalah baik, makin banyak gejala penyertanya dan makin berat gejala
motoriknya, makin buruk prognosisnya 2,3.
15
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Fairhurst C. 2011. Cerebral Palsy : The ways and hows. In: Arch Dis Child
Educ Pract. BMJ 97 : 122-131
2. Suharso D. 2006. Cerebral Palsy : Dianosis dan tatalaksana. Dalam : Buku
Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. Universitas Airlangga. Surabaya
3. Kurniadi A. 2012. Cerebral Palsy. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Sumatera
Utara. Medan
4. Mardiani E. 2006. Faktor-faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian
Cerebral Palsy. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang
5. Adnyana IMO. 1995. Cerebral Palsy ditinjau dari Aspek Neurologi. Universitas
Udayana. Denpasar.
6. Hartono, Bambang. 2004. Perbedaan Faktor Risiko dan Berbagai Fungsi Dasar
antara Cerebral Palsy tipe Hemi plegik dengan Tipe Diplegia Spastika . Media
Medika Indonesia Vol.39 No.1:5 – 9.
7. Joseph KS, Alexander C. Allen. 2003. Does the risk of cerebral palsy increase
or decrease with increasing gestational age. BMC Pregnancy and Childbirth; 3 : 8
8. Liu Jian-meng, Zhu Li, Qing lin. 2000. Cerebral Palsy and multiple birth in
China. Int J Epid ; 29 : 292 – 299
9. Sundrum R, Logan S, A Wallace, N Spenser. 2005. Cerebral Palsy and
Sosioeconomic Status : A Retrospective Cohort Study . Arch Dis Child;90:15–18
10. Ratanawongsa Boosara, MD. 2004. Cerebral Palsy . eMedicine.com, Inc. Last
update October 13, 2004
11. Wiknjosastro Hanifa. 2002. Ilmu Kebidanan . Editor Abdul Bari Syaifuddin,
Trijatmo Rachimdani. Edisi ke-3, Cetakan ke-6. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 193 – 201
12. Parkers, J., Donnelly, D. dan Hill N. 2005. Further Information about Cerebral
Palsy. Scope Library and Information Unit. April 2005
13. Rosenbaum Peter. 2003. Cerebral Palsy : What parents and Doctors want to
Know. BMJ;326:970 – 4.
16
14. Rotta NT. Cerebral palsy, new therapeutic possibilities. J . Pediatr.
2002;78(Supl. 1) 548-554
15. Murphy DJ et al. BMJ 1997;314:404 Wilson-Castello D et al. Pediatrics
1998;102:315-322
16. Illingworth SR. The diagnosis of cerebral palsy, in The development of the
infant and young children, Ninth Ed, Churchill Livingstone, 2002, p. 314-337
17. Nuartha AABN. Cerebral Palsy. Berita Ikayana, no.02, 2005.
17