Upload
ariela-regina-pacis
View
81
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Demam rematik dan penyakit jantung rematik telah lama dikenal. Demam rematik (DR)
dan atau Penyakit jantung rematik (PJR) eksaserbasi akut adalah suatu sindroma klinik penyakit
akibat infeksi kuman Streptokokus hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut
ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis,
korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.[1],[2],[3]
Penyakit Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Demam rematik terjadi
sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung,
susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi.[1],[2]
Jauh sebelum T. Duckett Jones pada tahun 1944 mengemukakan criteria Jones untuk
menegakkan diagnosis demam rematik, beberapa tulisan sejak awal abad ke 17 telah melaporkan
mengenai gejala penyakit tersebut. Epidemiologis dari Perancis de Baillou adalah yang pertama
menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout dan kemudian Sydenham
dari London menjelaskan korea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut
dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan
adanya kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan
setelah didapatinya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec.
Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan “rheumatic fever
syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, korea dan belakangan
termasuk manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai
komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi
Streptokokus grup A dengan demam rematik dan secara perlahanlahan diterima oleh Jones dan
peneliti lainnya 1. Pada tahun 1944 Jones mengemukakan suatu kriteria untuk menegakkan
diagnosis demam rematik. Kriteria ini masih digunakan sampai saat ini untuk menegakkan
diagnosis dan telah beberapa mengalami modifikasi dan revisi, karena dirasakan masih
mempunyai kelemahan untuk menegakkan diagnosis secara tepat, akurat dan cepat.
Saat ini banyak kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kardiologi, tetapi demam
rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan problem karena merupakan penyebab
1
kelainan katup yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini demam rematik belum dapat
dihapuskan, walaupun kemajuan dalam penelitian dan penggunaan antibiotika terhadap penyakit
infeksi begitu maju. Demam rematik dan pernyakit jantung rematik masih merupakan penyebab
penyakit kardiovaskular yang signifikan didunia, termasuk Indonesia. Dinegara maju dalam lima
tahun terakhir ini terlihat insidens demam rematik dan prevalens penyakit jantung rematik
menurun, tetapi sampai permulaan abad ke-21 ini masih tetap merupakan problem medik dan
public health didunia karena mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif.
Sekuele demam rematik pada katup jantung yang menimbulkan kerusakan katup jantung
menghabiskan biaya yang sangat besar. Untuk penanganannya memerlukan sarana, prasarana
dan tenaga trampil yang handal sehingga memerlukan biaya yang sangat besar. Penanganan yang
tidak sempurna menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian bagi penderitanya, dan
penanganan yang sempurna memerlukan biaya yang besar dan waktu yang terus menerus
sepanjang usia penderitanya.[2],[3]
BAB II
2
DEMAM REMATIK
1.1. Definisi
Demam Rematik adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman
Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang
dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul
subkutan dan eritema marginatum.[1],[2],[3]
Demam rematik terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat
melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi
yang bervariasi.[1],[2]
2.2 Etiologi
Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman
Streptokokus β hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit
mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus β hemolitik
dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang
bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan
dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptokokus β hemolitik grup A sebagai
penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh
dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan
bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus β hemolitik grup A,
terutama serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24 2,4,6,7,. Sekurang-kurangnya sepertiga penderita
menolak adanya riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada
kultur apus tenggorokan terhadap Streptokokus β hemolitik grup A sering negatif pada saat
serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat
ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan dengan
besarnya respons antibody. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode faringits setiap
tahunnya dan 15-20 persen disebabkan oleh Streptokokus grup A dan 80 persen lainnya
disebabkan infeksi virus.[1],[2],[3]
Insidens infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan bervariasi diantara
berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5 -
3
15 tahun. Beberapa factor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan sosio
ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik, golongan
HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu yang
mendadak. [1],[2],[3]
2.3 Epidemiologi
Demam rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan
sering mengenai anak usia antara 5 – 15 tahun 2. Pada tahun 1944 diperkirakan diseluruh dunia
terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan
memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya dinegara sedang berkembang
berkisar antara 7,9 sampai 12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai
prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981 – 1990 didapati 0,3-0,8 diantara 1000
anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya 5,13. Statistik rumah
sakit di negara sedang berkembang menunjukkan sekitar 10 – 35 persen dari penderita penyakit
jantung yang masuk kerumah sakit adalah penderita DR dan PJR. Data yang berasal dari negara
berkembang memperlihatkan mortalitas karena DR dan PJR masih merupakan problem dan
kematian karena DR akut terdapat pada anak dan dewasa muda.
Di negara maju insiden DR dan prevalensi PJR sudah jauh berkurang dan bahkan sudah
tidak dijumpai lagi, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan memperlihatkan peningkatan dibeberapa
negara maju 13. Dilaporkan dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir
tahun 1980an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada populasi aborigin di
Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini. Tidak semua penderita infeksi
saluran nafas yang disebabkan infeksi Streptokokus β hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3
persen dari penderita infeksi saluran nafas atas terhadap Streptokokus β hemolitik grup A di
barak militer pada masa epidemi yang menderita DR dan hanya 0,4 persen didapati pada anak
yang tidak diobati setelah epidemi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada populasi
masyarakat sipil. [1],[2]
Dalam laporan WHO Expert consultation Geneva, 29 October–1 November 2001 yang
diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju
hingga 8,2 per 100.000 penduduk dinegara berkembang dan didaerah Asia Tenggara
4
diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000 – 332.000 yang meninggal diseluruh
dunia karena penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The disability-adjusted life years
(DALYs)1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 dinegara maju hingga 173,4 per
100.000 dinegara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insidens DR yang
dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa
data local yang terdapat pada anak sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun dinegara
maju, tetapi dinegara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah – 150 per
100.000 di Cina.
Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR
Indonesia tidak dinyatakan. [1],[2]
2.4 Patogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A dengan terjadinya DR
telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons auto immune terhadap infeksi
Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat
penyakit yang timbulditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan
lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui,
tetapi peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi
yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor resiko yang
potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam
patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grup A mempunyai potensi
rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid
yang kaya dengan Mprotein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri,
strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helical coiled coil, seperti
tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang
disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung.
Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan
dengan terjadinya DR.[2]
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus
yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan
nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian
5
yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga
streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR.
Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus
memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 – 3 persen
individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data
terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptokokkus
berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptokokkus dimulai
dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses
spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan
reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan
oleh streptococcal fibronectin-binding proteins.
Gambar 1. Patogenesis DR dan PJR
Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan
dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi
6
Ket. Gambar: Demam rematik merupakan respons auto immune terhadap infeksi Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan.
penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi
streptokokkus untuk terjadi DR.[2]
2.5 Diagnosa [1],[2],[3],[4]
Gambaran klinis demam rematik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan
manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yang
terlibat.
Tabel 1. Kriteria Jones (Updated 1992) [2],[7]
Manifestasi mayor Manifestasi minor
Karditis Klinis
Poliartritis - Artralgia
Korea - Demam
Eritema marginatum Laboratorium
Nodulus subkutan Peninggian reaksi fase akut
(LED meningkat dan atau C reactive protein)
Interval PR memanjang
Ditambah
Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus
tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO
yang meningkat.
Jika disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya, adanya 2 manifestasi
mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor
menunjukkan kemungkinan besar adanya demam rematik.
Pada 2002–2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan
kriteria Jones yang telah direvisi). Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:
— a primary episode of RF
— recurrent attacks of RF in patients without RHD
— recurrent attacks of RF in patients with RHD
— rheumatic chorea
— insidious onset rheumatic carditis
7
— chronic RHD.
Untuk menghindarkan overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkan
diagnosis.
Tabel 2. Kriteria WHO 2002-2003 untuk diagnosis DR dan PJR
(berdasarkan criteria Jones yang telah direvisi) [2],[3]
BAGAN 1. Algoritme untuk diagnosis Demam Rematik Akut[7]
8
Primary Episode Recurrent RF
Rheumatic NO
Chorea or insidious
Onset of carditis
NO YES
YES YES
YES
YES
YES
YES
Meets criteria for RHD
Diagnostic categories Criteria
Primary episode of RF.* Two Major* or one major and two minor** manifestations plus evidence of a preceding group A streptococcal infection***.
Reccurent attack of RF in a patient Two major or one major and two minor manifestationsWithout established RHD.* plus evidence of a preceding group A streptococcal
infection.Reccurent attack of RF in a patient with Two minor manifestations plus evidence of a preceding Established RHD. group A streptococcal infection.*
Rheumatic chorea. Other major manifestations or evidence of group AInsidous onset rheumatic carditis.* streptococcal infection not required.
Chronic valve lesions of RHD (patients Do not required any other criteria to be diagnosedPresenting for the first time with pure mitral as having RHD.Stenosis or mixed mitral valve disease and/oraortic valve disease).*
*Major manifestations - carditis- polyarthritis migrans- chorea- erythema marginatum- subcutaneous nodules
**Minor manifestations - clinical : fever, polyarthralgia- laboratory : elevated acute phase reactans (erythrocyte Sedimentation rate or leukocyte count)
***Supporting evidence of a preceding - ECG : prolonged P-R Interval Streptococcal infection within the last 45 - elevated or rising ASTO or other streptococcal Days antibody, or
- a positive throat culture, or- rapid antigen test for group A streptococci, or- recent scarlet fever.
Algorithm for diagnosis of acute rheumatic fever (RF), incorporating the 1992 revision of the Jones criteria and the World Health Organization (WHO) expert consultation report (2002-2003). The WHO modifications incorporated in the flowchart are more sensitive and less specific than those incorporated in the American Heart Association criteria. GABHS = group A beta-hemolytic streptococci; RHD = rheumatic heart disease.
2.6 Terapi [1],[2],[3],[4],[7]
9
≥ 2 major manifestation
≥ 2 major manifestation
Established RHD
Established RHD
Evidence of prior
GABHS
Evidence of prior
GABHS
1 major manifestation
1 major manifestation
Other causes exclude
?
Other causes exclude
?
2 minor?
2 minor?
Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat
serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya,
seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal jantung dan korea.
Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR
dan diberikan fase awal serangan. Jenis antibiotika, dosis dan frekuensi pemberiannya dapat
dilihat pada lampiran 1. Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan ulangan
DR, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup jantung dan dapat
menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. Jenis antibiotika yang digunakan dapat
dilihat pada lampiran 1 dan durasi pencegahan sekunder dapat dilihat pada lampiran 2. Tetapi
sayangnya preparat Benzatine Penisilin G saat ini sukar didapat dan tidak tersedia diseluruh
wilayah Indonesia. Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal
jantung atau korea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu
diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis. Petunjuk mengenai
tirah baring dan dan ambulasi dapat dilihat pada lampiran 3 dan penggunaan anti inflamasi dapat
dilihat pada lampiran 4. Pada penderita DR dengan gagal jantung perlu diberikan diuretika,
restriksi cairan dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena
resiko intoksikasi dan aritmia. Pada penderita korea dianjurkan mengurangi stres fisik dan emosi.
Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi korea masih kontroversi. Untuk kasus korea
yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan valproic
acid, chlorpromazin dan diazepam. Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan terapi.
Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi
keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif.
Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang
relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.
BAB III
10
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
3.1 Definisi
Penyakit Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa
(sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Demam rematik terjadi
sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung,
susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. [1],[2]
3.2 Gambaran Klinis
Penyakit ini masih merupakan penyebab kecacatan pada katup jantung yang terbanyak.
Kecacatan pada katup jantung tidak dapat terlihat secara kasat mata seperti cacat fisik lainnya,
tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskuler mulai dari bentuk ringan sampai berat sehingga
mengurangi produktivitas dan kualitas hidup. [1],[2]
3.3 Penyakit Katup Jantung
Gambar 2. Anatomi Jantung yang Normal
11
Hampir seluruh penyakit katup jantung didapat adalah akibat demam rematik.
Keterlibatan katup mitral ditemukan pada sekitar ¾ dan keterlibatan katup aorta ditemukan
sekitar ¼ dari seluruh kasus penyakit jantung rematik. Penyebab paling banyak dari Mitral
Stenosis (MS) adalah demam rematik, dengan perubahan rematik 99% adalah MS dari seluruh
kelainan katup mitral. Sekitar 25 % dari seluruh pasien penyakit jantung rematik terdapat MS
terisolasi, dan ± 40 % terdapat kombinasi antara MS dan Mitral Regurgitasi (MR). Kelainan
Multikatup terjadi pada 38 % dari pasien dengan MS, dengan kelainan pada aorta sekitar 35 %
dan katup tricuspid 6 %. katup pulmonal hampir tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu, hanya
MS, MR, AS, dan AR yang akan dibicarakan. [1],[6],[7]
3.3.1 MITRAL STENOSIS
Definisi
Merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melalui
katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini
menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat
diastolik.
Mitral stenosis merupakan kasus yang sudah jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari
terutama diluar negeri. Sebagaimana diketahui stenosis mitral paling sering disebabkan oleh
penyakit jantung rematik yang menggambarkan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Oleh karena
itu dinegara maju seperti Amerika, penyakit ini sudah jarang ditemukan, walaupun sudah ada
kecenderungan meningkat karena meningkatnya jumlah imigran dengan kasus infeksi
streptokokus yang resisten. Sedangkan di Indonesia walaupun kasus baru juga cenderung
menurun, namun kasus stenosis mitral ini masih banyak kita temukan. [1],[3],[4]]
Epidemiologi
MS jarang terjadi pada anak – anak (karena butuh waktu 5 – 10 tahun dari serangan
pertama kali untuk berkembang menjadi MS). MS merupakan penyakit katup jantung yang
paling banyak terjadi pada penderita rematik dewasa. 2/3 kasus MS terjadi pada wanita. [6],[7]
12
GAMBAR 3. Mitral Stenosis, Aorta Stenosis, dan Aorta Regurgitation
Patogenesis
Mitral stenosis merupakan konsekuensi lanjut tersering setelah karditis reumatik. Periode
laten selama 20 tahun antara infeksi akut dan disfungsi katup simptomatik tidak jarang terjadi
dengan pasien datang pada decade keempat atau kelima. Abnormalitas patologis stenosis mitral
antara lain fusi komisura, skar fibrosa, dan obliterasi arsitektur katup yang normalnya berlapis
sebagai akibat dari penyembuhan valvulitis dan fibrosis superimposed. Jembatan fibrosa
progresif melalui komisura katup dapat menghasilkan deformitas ‘mulut ikan’ yang kaku
sehingga menyebabkan orifisium kaku, yang mengalami stenosis dan regurgitasi. Daun katup
menjadi terkalsifikasi dan korda tendinae menebal, mengalami fusi, serta memendek. [1],[3],[4],6],[7]
13
Kelainan katup yang sering terjadi.
Suara bising jantung yang didapatkan pada masing-masing kelainan katup jantung.
Manifestasi Klinis [1],[3],[4],6],[7]
Keluhan yang ditemukan:
Dispneu merupakan keluhan utama pada MS. Keluhan ini disebabkan tekanan
tinggi pada atrium kiri dan pembuluh kapiler sehingga terjadi bendungan paru
disertai episode udema alveolus, keluhan ini reda apabila HR meningkat.
DOE (Dispneu On Effort)
Orthopnoe
PND (Paroksismal Nokturnal Dispneu) diakibatkan redistribusi cairan waktu tidur
(malam), cairan extravaskuler masuk ke intravaskuler, sehingga menambah
volume darah, menambah venous return, terjadilah bendungan paru pada MS
Hemoptisis
Atrial fibrilasi merupakan komplikasi pada MS dan merupakan masalah
tambahan. Selain hilangnya kontraksi atrium (kontraksi atrium terjadi pada fase
akhir diastolic), takiaritmia yang sangat tidak teratur memperpendek interval
pengisian diastolic sehingga menghambat pengosongan atrium kiri, menurunnya
CO dan kongesti paru.
Emboli
Tanda yang didapatkan:
Sianosis
Nadi ireguler (bila terdapat AF)
S1 keras
Opening snap
Murmur mid-diastolik terdengar setelah katup mitral terbuka (OS) dimana darah
mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri melewati katup yang sempit pada
keadaan tekanan atrium tinggi sehingga terjadi turbulensi dan terdengar sebagai
MDM berfrekuensi rendah dan kasar, punctum maksimum di apeks.
Edem paru
14
Pemeriksaan Penunjang
EKG pada MS seringkali menunjukkan hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kanan.
LAH ditunjukkan oleh adanya gelombang “broad-notched P” yang disebut P
mitral nampak pada sandapan standar I, II, dan sandapan dada (chest leads).
Sebelum terjadi AF seringkali didahului oleh SVES (Supra Ventricle Extra
Sistole).
Foto thorax didapatkan kardiomegali dengan CTR > 50 %. Edem paru yang
nampak sebagai perpadatan pericardial terbentuk seperti sayap kupu-kupu atau
batwing.
Echocardiografi
Tatalaksana
Medikamentosa
Digoksin diberikan pada AF dengan dosis 2 x 1 tab / hari selama 2-3 hari. Disusul
dengan dosis pemeliharaan (maintenance) 1 x 1 tab atau 1 x ½ tab / hari.
Diuretic diberikan pada MS sedang – berat. Dosis 20 mg - 40 mg / hari.
Antikoagulan oral untuk mencegah terjadinya thrombosis dan emboli.
15
BAGAN 2. Management of severe MS [7]
16
MS < 1,5 cm
Symptoms
YES NO
CI to PMCCI to PMC High risk of embolism of haemodynamic decompensaton
High risk of embolism of haemodynamic decompensaton
NO YES
YESNO
NOYES
YES NO
CI or high risk for surgery
CI or high risk for surgery
Favourable anatomical
characteristic
Favourable anatomical
characteristic
Unfavourable anatomical
characteristic
Unfavourable anatomical
characteristic
Favourable clinical
characteristic
Favourable clinical
characteristic
Unfavourable clinical
characteristic
Unfavourable clinical
characteristic
PMCPMC SurgerySurgery
Excersie testingExcersie testing
SymptomsSymptoms No symptomsNo symptoms
CI to or unfavourable characteristic for
PMC*
CI to or unfavourable characteristic for
PMC*
PMCPMC FOLLOW UPFOLLOW UP
MS = mitral stenosis; CI = Contraindication; PMC = Percutaneus Mitral Commisurotomy
3.3.2 MITRAL REGURGITASI
Definisi [1],[3],[4],6]
Mitral regurgitasi adalah suatu keadaan dimana terdapat aliran darah balik dari ventrikel
kiri ke dalam atrium kiri pada saat systole, akibat tidak dapat menutupnya katup mitral secara
sempurna. Dengan demikian aliran darah saat systole akan terbagi dua, disamping ke aorta yang
seterusnya ke aliran darah sistemik, sebagai fungsi utama, juga akan masuk ke atrium kiri. Akan
tetapi daya pompa jantung jadi tidak efisien dengan berbagai tingkat klinisnya, mulai dari yang
asimtomatis sampai gagal jantung berat.
Epidemiologi
Merupakan kelainan katup tersering pada anak-anak dengan penyakit jantung rematik. [1]
Patogenesis
MR merupakan volume overload dari ventrikel kiri, atrium kiri yang dalam perjalanan
waktu menjadi dilatasi berat dan hipertrofi ringan ventrikel kiri. Pada saat systole, atrium kiri
akan mengalami pengisian yang berlebihan, disamping aliran darah yang biasa dari vena-vena
pulmonalis, juga mendapat aliran tambahan dari ventrikel kiri akibat regurgitasi tadi. Sebaliknya
pada saat diastole, volume darah yang masuk ke ventrikel kiri akan mengalami peningkatan yang
berasal dari atrium kiri yang mengalami volume overload tadi. Dinding ventrikel kiri cukup tebal
sehingga akan terdilatasi ringan kemudian pasien masuk dalam keadaan dekompensasi jantung
kiri akut. Derajat kelainan klinis akibat MR ditentukan oleh derajat kebocorannya dan kecepatan
terjadinya. [1],[3],[4]
GAMBAR 4. Mitral Regurgitasi
17
Manifestasi Klinis[1],[3],[4],6],[7]
Keluhan yang ditemukan:
Dispneu terjadi karena adanya edem paru
DOE (Dispneu On Effort)
Orthopnoe
PND (Paroksismal Nokturnal Dispneu)
Apabila diikuti gagal jantung kanan terdapat keluhan tentang edema tungkai,
keluhan akibat kongesti hepar dan ascites.
GAMBAR 5. Mitral Regurgitasi
18
Tanda yang didapatkan:
Pada MR berat, apeks bergeser ke kiri dan bawah, lokasi dari apeks iictus cordis
dapat terlihat. Sistolik thrill dapat juga teraba di apeks
Bising sistolik derajat III-IV biasanya holo sistolik disebut juga pansistolik,
meliputi seluruh fase systole. Punctum maksimum di apeks, menjalar ke lateral
kiri, aksila dan ke punggung pada MR berat
JVP meningkat apabila MR disertai gagal jantung kanan sebagai konsekuensi dari
hipertensi pulmonal pada MR, hepatojugular refluks positif apabila terdapat gagal
jantung kanan
Pemeriksaan Penunjang
Pada MR ringan EKG normal, pada MR sedang – berat, EKG menunjukkan
perubahan voltage akibat hipertrofi LV. Segmen ST menunjukkan depresi pada
V4, V5, V6, terjadi dilatasi dan hipertrofi LA disebut “P Mitral”, gelombang P
lebar dan bifasik, aritmia ventrikel dapat terjadi (VES), atrial fibrilasi (AF) timbul
pada LA yang besar, apabila MR diakibatkan oleh infark miokard, EKG akan
menunjukkan gelombang Q patologis.
Foto Thorax dapat normal pada MR ringan. Sedangkan pada MR sedang – berat
foto thorax menunjukkan kardiomegali dengan apeks bergeser ke lateral dan
kaudal, pembesaran LA tampak pada foto thoraks sebagai double contour.
Tatalaksana
Digoksin sebagai inotropik pada gagal jantung dan mengontrol respon AF.
ACE inhibitor, angiotensin reseptor blocker, alpha blocker sebagai vasodilator
untuk mengurangi regurgitasi ke atrium kiri.
Profilaksis terhadap Infective Endocarditis, menghilangkan sumber infeksi
dengan perawatan gigi.
Profilaksis sekunder bila penyebab MR nya demam rematik.
Diuretika bila terjadi gagal jantung.
19
BAGAN 3. Management of severe chronic organic MR [7]
20
Severe organic MR
Symptoms
NO YES
LVEF > 60 & LVESD < 45 mm
LVEF > 60 & LVESD < 45 mm
LVEF > 30%LVEF > 30%
NOYES
YES NONO YES
YES NO
Atrial fibrillation or sPAP > 50 mmHg at rest
Atrial fibrillation or sPAP > 50 mmHg at rest
Surgery (repair whenever possible)
Surgery (repair whenever possible)
Follow Up*Follow Up*
Refractory to medical therapyRefractory to medical therapy
Valve repair is likely and low comorbidity
Valve repair is likely and low comorbidity
Medical therapy** Transplantation
Medical therapy** Transplantation Medical TherapyMedical Therapy
YES NO
LV : Left Ventricle ; EF : Ejection Fraction; sPAP : systolic pulmonary artery pressure; ESD : end-systolic dimension
* Valve repair can be considered when there is a high likelihood of durable valve repair at a low risk
** Valve replacement can be considered in selected patients with low comorbidity
3.3.3 AORTA STENOSIS
Etiologi
Etiologi stenosis aorta adalah kalsifikasi senilis, variasi congenital, penyakit jantung
rematik. Di Negara maju, etiologi terutama oleh kalsifikasi degenerative dan siring dengan
prevalensi penyakit jantung koroner dengan factor resiko yang sama. Sedang di negara kurang
maju didominasi oleh penyakit jantung rematik. [1],[3],[4]
Patogenesis
Hambatan aliran darah di kautp aorta (progressive pressure overload of left ventricle
akibat stenosis aorta) akan merangsang mekanisme RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron)
beserta mekanisme lainnya agar miokard hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini
akan meningkatkan tekanan intraventrikel agar dapat melampaui tahanan stenosis aorta tersebut
dan mempertahankan wall stress berdasarkan rumus laplace: stress = (pressure x radius) : 2x
thickness. Namun bila tahanan aorta bertambah, maka hipertrofi akan berkembang menjadi
patologik dengan gejala sinkop, iskemia sub-endokard yang menghasilkan angina dan berakhir
dengan gagal miokard (gagal jantung kongestif). [1],[3],[4],6]
GAMBAR 6. Aorta Stenosis
21
Manifestasi Klinis [1],[3],[4],6],[7]
Keluhan yang ditemukan:
Angina pectoris walaupun tidak ada aterosklerosis pada a. coronaria
Sesak napas sebagai akibat tekanan tinggi didalam vena-vena pulmonalis pada
gagal ventrikel kiri dan dimulai dengan dyspneu d’effort yang kemudian
berkembang menjadi orthopneu dan PND
Sinkop pada waktu aktivitas fisik (effort syncope), jantung tidak mampu
menambah CO atau stroke volume untuk memenuhi kebutuhan serebral.
Kematian mendadak sering terjadi
Tanda yang didapatkan:
Pulsus tardus et parvus pada a. Carotis (a. brakialis)
Thrill pada a. Carotis
Murmur ejeksi (ejection systolic murmur)
Pemeriksaan Penunjang
EKG tidak didapatkan perubahan pada AS ringan. Pada AS sedang terdapat
tanda-tanda LVH atau disebut sistolik overload pada LV, dapat juga disertai
LAH. Irama sinus mungkin berubah menjadi AF
Pada foto thorax didapatkan dilatasi dari aorta ascendens akibat suatu “ jet lesion”
(semprotan darah) yang sangat keras melewati katup aorta yang sempit,
membentur dinding aorta. CTR tidak selalu bertambah. Apabila disertai gagal
jantung AR atau MR maka CTR akan besar dan tampak dilatasi vena – vena
pulmonalis pada gagal jantung
Tatalaksana
Medikamentosa yaitu diuretika, digitalis terutama AF, kontraindikasi untuk
pemberian vasodilator
Kontraindikasi untuk pemeriksaan Shent test
Tindakan Bedah : penggantian katup bila pressure gradient (perbedaan tekanan
antara aorta dengan LV), orificium kecil terdapat keluhan sinkop, angina pectoris
dan gagal jantung.
22
BAGAN 4. Management of severe aortic stenosis [7]
23
Severe AS (< 1 cm2 or < 0.6 cm2/m2 BSA)
Symptoms
NO YES
LV EF < 50 %LV EF < 50 %
NO
YESNO
YES
Markedly calcified valve and increase in peak jet velocity ≥ 0.3 m/sec within 1 year
Markedly calcified valve and increase in peak jet velocity ≥ 0.3 m/sec within 1 year
Exercise testExercise test
Patient physically active
Patient physically active
SurgerySurgeryMedical therapy**
Transplantation
Medical therapy** Transplantation
YESNO
NormalNormal Abnormal*Abnormal*
AS : Aortic stenosis; LV : Left ventricle; EF : ejection fraction; BSA: Body Surface Area;
3.3.4 AORTA REGURGITASI
Etiologi [1],[3],[4]
Penyakit Jantung Rematik
Hipertensi
Endokarditis bakterialis
Sindroma marfan
Aneurisma sinus valsava
Trauma
VSD
Penyakit kolagen
Kongenital
Epidemiologi
Jenis kelainan katup yang sering didapatkan adalah stenosis aorta 43,1%, dari 1197
pasien, regurgitasi mitral 31,5% dari 877 pasien, regurgitasi aorta 13,3% dari 369 pasien,
stenosis mitral 12,1% dari 336 pasien. Kelainan degenerative masih merupaka penyebab
tersering regurgitasi aorta. Dari studi Framingham didapatkan 4,9% angka kejadian regurgitasi
aorta 10% dari strong heart study terhadap 250 pasien. [1],[4]
Patogenesis
Dilatasi ventrikel merupakan kompensasi utama pada regurgitasi aorta, bertujuan untuk
mempertahankan curah jantung disertai peninggian tekanan artificial ventrikel kiri. Pada saat
aktivitas, denyut jantung dan resistensi vascular perifer menurun sehingga curah jantung bisa
terpenuhi. Pada tahap lanjut, tekanan atrium kiri, pulmonary wedge pressure, arteri pulmonal,
ventrikel kanan dan atrium kanan meningkat sedangkan curah jantung menurun walaupun saat
istirahat.[3],[4]
Manifestasi Klinis [1],[3],[4],6],[7]
Keluhan yang ditemukan:
Dispneu akibat gagal jantung dengan konsekuensi hipertensi pulmonal
Angina
Palpitasi
Aritmia
24
GAMBAR 7. Aorta Regurgitasi
Tanda yang didapatkan:
Pulsus Corrigan (“collapsing pulse”)
De Musset’ sign (kepala bergoyang akibat pulsus Corrigan)
Quinke’ sign (kapiler pada kuku nampak berdenyut)
Traube’ sign atau pistol shot sound pada arteri – arteri besar
Bising Duroziez (double tone)
Hill’ sign (tekanan darah pada tungkai naik lebih tinggi disbanding pada lengan
Tekanan nadi yang meningkat
EDM (early diastolic murmur)
Pemeriksaan Penunjang
EKG menunjukkan LVH, LAH, mungkin disertai aritmia, SVES, VES atau AF
Foto thorax tampak dilatasi ventrikel kiri. Kalsifikasi katup aorta atau aorta
mungkin kelihatan
Tatalaksana
Digoksin sebagai inotropik pada gagal jantung dan mengontrol respon AF.
ACE inhibitor
Vasodilator untuk menurunkan afterload
Profilaksis sekunder terjadinya reaktivasi bila penyebabnya demam rematik.
Diuretika
BAGAN 5. Management of Aortic Regurgitation [7]
25
Significant enlargement of ascending aorta
NO YESAR severeAR severeNO YESNO YESSymptomsSymptomsLV EF ≤ 50% or EDD > 70 mm or ESD > 50 mm (or > 25 mm/m2 BSA)
LV EF ≤ 50% or EDD > 70 mm or ESD > 50 mm (or > 25 mm/m2 BSA)
Surgery*Surgery*Follow upFollow up YESNO
AR: aortic regurgitation ; LV: left ventricle; EF: Ejection Fraction; EDD: End Diastolic Dimension; ESD: End Systolic Dimension; BSA: body surface area;
*surgery must also be considered if significant changes occur during follow up
BAB IV
KESIMPULAN
1. Demam Rematik adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.
2. Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat
serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang
menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal
jantung dan korea.
3. Penyakit Jantung rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari DR, yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. Demam rematik terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi.
4. Hampir seluruh penyakit katup jantung didapat adalah akibat demam rematik. Keterlibatan katup mitral ditemukan pada sekitar ¾ dan keterlibatan katup aorta ditemukan sekitar ¼ dari seluruh kasus penyakit jantung rematik.
26
5. Penyebab paling banyak dari Mitral Stenosis (MS) adalah demam rematik.
6. Dengan perubahan rematik 99% adalah MS dari seluruh kelainan katup mitral. Sekitar 25 % dari seluruh pasien penyakit jantung rematik terdapat MS terisolasi, dan ± 40 % terdapat kombinasi antara MS dan Mitral Regurgitasi (MR). Kelainan Multikatup terjadi pada 38 % dari pasien dengan MS, dengan kelainan pada aorta sekitar 35 % dan katup tricuspid 6 %. katup pulmonal hampir tidak pernah ditemukan.
7. Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi korea masih kontroversi. Untuk kasus korea
yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan
valproic acid, chlorpromazin dan diazepam. Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan
terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik
untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau
intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta
memerlukan biaya yang relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, Juni 2006, Jilid III, hal
1560 – 1580.
2. Siregar, Abdullah Afif. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Di
Indonesia. Dalam : Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas
Kedokteran, Medan April 2008.
3. Palupi S.E.E, dr. Sp.JP. Kumpulan Kuliah Kardiologi. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Trisakti, Jakarta, hal 61-64.
4. Gray Huon H, Keith DD, John MM, et al. Lecture Notes Kardiologi, Edisi Keempat.
Penerbit: Erlangga, Jakarta, 2003. Hal 200-216.
5. ESC Comimittee for Practice Guidelines. ESC Guidelines Desk Reference. Compendium
of ESC Guidelines, 2007. p. 175-190.
6. Park, Myung K.The Pediatric Cardiology Handbook, third edition. Mosby Handbook,
USA, 2003. p. 147-157.
7. Libby P, Bonow RO, Mann DL, et al. Braunwald’s Heart Disease: a textbook of
cardiovascular medicine, 8th edition. Saunders Elsevier, Philadelphia, vol. 1, chapter 62.
27
28