Upload
elvina-setiadi-chen
View
86
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Referat Diare anak
Citation preview
REFERAT
DIARE
Pembimbing: dr. Arya Agustino Purba, SpA
Dibuat oleh: Bernadette Elvina Setiadi (11.2013.227)
Stase Ilmu Kesehatan Anak
15 September 2014 – 22 November 2014
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Arjuna Utara, Jakarta
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi 2
BAB I Pendahuluan 4
BAB II Isi
Diare Akut 5
Definisi 5
Epidemiologi 5
Cara penularan dan faktor resiko 5
Etiologi 7
Mekanisme diare 10
Manifestasi klinis 14
Diagnosis 16
Terapi 20
Komplikasi 31
Kegagalan upaya rehidrasi oral 32
Pencegahan 33
Probiotik 33
Prebiotik 34
Diare Kronis dan Diare Persisten 35
Definisi 35
Epidemiologi 35
Etiologi 35
Patogenesis 36
2
Manifestasi klinis dan komplikasi 38
Diagnosis 38
Terapi 39
Faktor risiko dan pencegahan 42
Diare persisten pada kondisi khusus 43
BAB III Penutup
Kesimpulan 45
Daftar Pustaka 46
3
BAB I
PENDAHULUAN
Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus
penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit,
akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma
malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat sel limiting, sehingga aspek terpenting yang
harus diperhatkan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian
dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. Diare
menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai dengan asidosis
metabolik karena kehilangan basa.
Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh
karena rata-rata sekitar 30% dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh bayi
dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih
menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.
Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat
menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan
menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap
pertumbuhan dan kesehatan anak.1
4
BAB II
ISI
DIARE AKUT
DEFINISI
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung
kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih
dari 3-4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau
normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi
merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran
cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya
abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang air besar kurang
dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.1
EPIDEMIOLOGI
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di
Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak,
terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena
diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17%
kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia hasil Riskesdas 2007
diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42%
dibanding pneumonia 24% untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2%
dibanding pneumonia 15,5%.1
CARA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau
5
barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. (melalui 4F
= fingers, flies, fluid, field).
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain: tidak
memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya
penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),
kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak
higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain: gizi buruk,
imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita
campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.
1. Faktor umur
Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi
terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI.
Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya
kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan
kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.
Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi
atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit
pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.
2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat
setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik
yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,
bakteri, atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan
penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari
adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain.
3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik,
diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus
terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk
Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan
peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung
meningkat pada musim hujan.
6
4. Epidemi dan pandemi
Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi
yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia.
Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V. Cholera 0.1 biotipe Eltor telah
menyebar ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia< Timur Tengah dan di
beberapa daerah di Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella
dysentriae tipe 1 menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di
Afrika tengah dan Asia selatan. Pada akhir tahun 1992, dikenal dtrain baru Vibrio cholera
0139 yang menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.1
ETIOLOGI
Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen
telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80% pada kasus yang datang disarana
kesehatan dan sekitar 50% kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi
tidak kurang dari 2 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.
Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory.
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh
bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau
translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammtory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang
menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.
Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah
sebagai berikut:
Golongan Bakteri :
1. Aeromonas
2. Bacillus cereus
3. Campylobacter jejuni
4. Clostiridium perfringens
5. Clostiridium defficile
6. Escherichia coli
7. Plesiomonas shigeloides
8. Salmonella
9. Shigella
10. Staphylococcus aureus
11. Vibrio cholera
12. Vibrio parahaemolyticus
13. Yersinia enterocolitica
Golongan Virus :
1. Astovirus 2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus)
7
3. Enteric adenovirus
4. Coronavirus
5. Rotavirus
6. Norwalk virus
7. Herpes simplex virus*
8. Cytomegalovirus*
Golongan Parasit :
1. Balantidium coli
2. Blastocystis homonis
3. Cryptosporidium parvum
4. Entamoeba histolytica
5. Giardia lamblia
6. Isospora belli
7. Strongyloides stercoralis
8. Trichuris trichuria
*umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised
Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak,
yaitu: Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan
Cryptosporidium.
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare
pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada
usus halus. Biopsi usus halus menunjukka berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel
bundar pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi
dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare.
Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”, walaupun
pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk.
Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus
halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang
rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matag sehingga fungsinya
belum baik. villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan
baik. selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan
koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak
terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan
nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang
mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti
transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino.
Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim
hidrofilik tepi bersilia dan merupaka pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian
infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio
8
penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama
laktosa.
Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita
terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi
(dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan
mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan
fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes
nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar permeabilitas
usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko alergi makanan.
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan
pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis
terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh
virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa
usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi sistemik. Toksin shigella juga dapat masuk ke
dalam serabut sarat otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat
menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.
Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak
antara lain:
Kesulitan makan
Defek Anatomis
- Malrotasi
- Penyakit Hirchsprung
- Short Bowel Syndrome
- Atrofi mirovilli
- Stricture
Malabsorpsi
- Defisiensi disakaridase
- Malabsorpsi glukosa – galaktosa
- Cystic fibrosis
- Cholestosis
- Penyakit Celiac
Endokrinopati
- Thyrotoksikosis
- Penyakit Addison
- Sindroma Adrenogenital
Keracunan makanan
- Logam Berat
- Mushrooms
Neoplasma
- Neuroblastoma
- Phaeochromocytoma
- Sindroma Zolliger Ellison
Lain-lain :
- Infeksi non gastrointestinal
- Alergi susu sapi
- Penyakit Crohn
- Defisiensi imun
- Colitis ulserosa
9
- Gangguan motilitas usus - Pellagra1
MEKANISME DIARE
Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi.
Terdapat beberapa pembagian diare:
1. Pembagian diare menurut etiologi
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan
a. Absorbsi
b. Gangguan sekresi
3. Pembagian diare menurut lamanya diare
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi
Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling
tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal:
Diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar
daripada kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,
mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus
normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat.
Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.
1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik
Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue,
atau karena:
a. Mengkonsumsi magnesium hidroksida
b. Defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisiensi pada anak yang lebih besar
c. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pad ausus halus
bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas.
Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah aka pada segmen usus
jejunum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejunum, sehingga
air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam
lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar
Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi
lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap
seperti Mg, glukose, sukrose, laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi
kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat
10
dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan
memberikan dampak yang sama.
2. Malabsorpsi umum
Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan
monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel
(yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman,
seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena
inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran
karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorpsi usus halus adalah atropi villi.
Lebih lanjut, mikroorganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan
enteroadheren E. coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran
brush border tanpa merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap,
karbohidrat, dan trigliserid diakibatkan insuficiensi eksokrin pannkreas menyebabkan
malabsorbsi yang signifikan dan mengakibatkan diare osmotik.
Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan
kompleks protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti,
malabsorbsi dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan
malabsorbsi protein dan karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal,
tidak hanya menyebabkan diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl-
sehingga diare tersebut dapat disebabkan malabsorbsi karbohidrat oleh karena kerusakan
difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase,
pemberian obat pencahar; laktulose, pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg),
malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan pada hipermotalitas pada kolon iritabel.
Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat, menyebabkan kekambuhan
diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah mengalami diare, menyebabkan
kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga
menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi
laktose.
3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik
Hiperplasia kripta
Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi
intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi villi.
Luminal secretagogues
11
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan
kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta
asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase.
Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga
mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain
terjadi peingkatan pompa natrium, dan natrium masuk ke dalam lumen usus bersama Cl-.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa
diantaranya memacu peningkatan kadar xAMP intraseluler, meningkatkan permeabilitas
intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sek mukosa. Beberapa obat
menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit
Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan
konsentrasi garam empedu, lemak.
Blood-Borne Secretagogues
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan
enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju,
diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor
seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP.
Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neopplasma pankreas, sel non-beta
yang menghasilkan VIP, Polipeptida panreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma
watery diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA)). Diare yang disebabkan tumor ini
termasuk jarang. Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral
berlebihan pada vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa
usus dalam keadaan normal.
4. Diare akibat gangguan peristaltik
Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan
motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan
bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau
nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan
stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare
akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena
hipermotilitas pada aksus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin
12
merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai
penyakit lain.
5. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.
Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali
sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat
inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare
sekretorik.
Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction,
menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktifkan kaskade inflamasi.
Efek infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan
fungsi absorbsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Peranan bakteri enteral
patogen pada diare terletak pada perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk
kuman yaitu perubahan pada cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh
itu bisa pada kedua komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan
menyebabkan hipersekresi chlorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C.
Difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein, Bacteroides fragilis
menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V cholera mempengaruhi
distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein
cytoskeleton.
6. Diare terkait imunologi
Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV.
Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi
tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada
Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk
tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat
oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat
pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator
seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi
komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan
komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage
Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai
mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran
antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel APC (Antigen Presenting Cell) ke sel Th1
13
yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ
oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan
jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat
kerusakan jaringan, merngsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.1,2
MANIFESTASI KLINIS
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila
terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal bisa
berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada
penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium,
klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan
kehilangan air juga meninngkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis
metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat
menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.
Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi
hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa
dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.
Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain :
vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia,
hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa
paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C.
botulinum).
Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh,
contoh:
Tabel 1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait
Manifestasi Enteropatogen terkait
Reactive arthritis Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter,
Clostridium difficile
Guillain Barre Syndrome Camphylobacter
Glomerulonephritis Shigella, Camphylobacter, Salmonella
IgA nephropathy Camphylobacter
Erythema nodusum Yersinia, Camphylobacter, Salmonella
Hemolytic anemia Camphylobacter, yersinia
14
Hemolytic Uremic Syndrome S. dysentrie, E. coli
Bila terjadi panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas
badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang lebih hebat dan
tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya usus
besar.
Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin
disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik
virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporodium.
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas
atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa
saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan
perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat
penting.1-3
Tabel 2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab
Gejala
klinik
Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera
Masa tunas 17-72 jam 24-48 jam 6-72 jam 6-72 jam 6-72 jam 48-72 jam
Panas + ++ ++ - ++ -
Mual
muntah
Sering Jarang Jarang + - Sering
Nyeri perut Tenesmus Tenesmus
kramp
Tenesmus
kolik
- Tenesmus
kramp
Kramp
Nyeri
kepala
- + + - - -
Lamanya
sakit
5-7 hari > 7 hari 3-7 hari 2-3 hari Variasi 3 hari
Sifat tinja
Volume Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banyak
Frekuensi 5-10x/hr >10x/hr Sering Sering Sering Terus
menerus
Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair
Darah - Sering Kadang - + -
Bau Langu + Busuk + Tidak Amis khas
Warna Kuning
hijau
Merah-hijau Kehijauan Tak
berwarna
Merah-hijau Seperti air
cucian
beras
15
Leukosit - + + - - -
Lain-lain Anorexia Kejang + Sepsis + Meteorismu
s
Infeksi
sistemik
+
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume,
konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume
dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6-8 jam
terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau
penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan lain
yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat ke
Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat
imunisasinya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut
jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama
dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan
lainnya: ubun-ubun cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air
mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang
lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena
perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu
dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan
menggunakan kriteria WHO, Score Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat
dilihat pada tabel berikut.1,3
Tabel 3. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003
Simptom Minimal atau tanpa
dehidrasi, kehilangan
BB <3%
Dehidrasi Ringan-
Sedang, Kehilangan BB
3%-9%
Dehidrasi Berat, Kehilangan
BB >9%
Kesadaran Baik Normal, lelah, gelisah,
irritable
Apathis, letargi, tidak sadar
Denyut jantung Normal Normal – meningkat Takikardi, bradikardia pada
16
kasus berat
Kualitas nadi Normal Normal – melemah Lemah, kecil, tidak teraba
Pernapasan Normal Normal – cepat Dalam
Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong
Air mata Ada Berkurang Tidak ada
Mulut dan llidah Basah Kering Sangat kering
Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Kembali > 2 detik
Cappillary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal
Extremitas Hangat Dingin Dingin, mottled, sianotik
Kencing Normal Berkurang Minimal
Tabel 4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
Penilaian A B C
Lihat:
Keadaan umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai atau tidak
sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Tidak ada Kering
Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum biasa, tidak
haus
*Haus, ingin minum
banyak
*Malas minum atau tidak
bisa minum
Periksa: turgor kulit Kembali cepat *Kemballi lambat *Kembali sangat lambat
Hasil pemeriksaan: Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan /
sedang
Bila ada 1 tanda *
ditambah 1 atau lebih
tanda lain
Dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda * ditambah
1 atau lebih tanda lain
Terapi: Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C
Tabel 5. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan – Maurice King (1974)
Bagian tubuh yang
diperiksa
Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng,
apatis, ngantuk
Mengigau, koma atau
syok
Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
17
Mulut Normal Kering Kering & sianosis
Denyut nadi/menit Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140
hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian di
jumlahkan.
Nilai: 0-2 = Ringan 3-6 = Sedang 7-12 = Berat
3. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan,
hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak
diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut pada penderita dengan dehidrasi
berat. Contoh: pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi
saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut:
Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes
kepekaan terhadap antibiotika.
Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.
Tinja : pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan
diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan
tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau
disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang
menghasikan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa
atau parasit usus seperti: E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat
darah biasanya bercampur dalam tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis
darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella,
Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.1
Tabel 6. Test laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen
Test Laboratorium Organisme diduga / identifikasi
Mikroskopik : Lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi
sitotoksin
Trophozoit, kista, oocysts, spora G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporodium, I.
Belli, Cyclospora
Rhabditiform lava Stongyloides
Spiral atau basil gram (-) berbentuk S Campylobacter jejuni
Kultur tinja: Standar E. coli, Shigella, Salmonella, Camphylobacter
18
jejuni
Spesial Y. enterocolitica, V. Cholerae, V.
Parahaemolyticus, C. difficile, E.. coli, O 157 : H
7
Enzym imunoassay atau latex aglutinasi Rotavirus, G. Lamblia, enteric adenovirus, C.
difficile
Serotyping E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC
Latex aglutinasi setelah broth enrichment Salmonella, Shigella
Test yang dilakukan di laboratorium riset Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC,
PCR untuk genus yang virulen
Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan
informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses
peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap
bakteri yang menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan
tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi
sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y.
Enterocolitica, V. Parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P.
shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN,
kecuali pada S. Typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis
terdapat lekosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada
umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah banyak. Normalnya tidak
diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru
saja bepergian ke daerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare
lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai
menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan
strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum
atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran
cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi
duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,
strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya
ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang
berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amuba.
Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi
intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi 19
antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu positif pada disentri
amuba akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai Hemolytic Uremic
Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB
diare dan pada penderita immunocompromised.
Oleh karena bakteri tertentu seperti: Y. Enterocolitica, V. Cholerae, V.
Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli O157 : H 7 dan
Campylobacter membutuhkan prosedur laboratorium khusus untuk
identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada salah satu dicurigai
sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat berguna
untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin
membantu dalam menegakkan diagnosis pada penderita sengan simptom kolitis
berat atau penyebab inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan
pemeriksaan laboratorium pendahuluan.1
TERAPI
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan
Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada
panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi
bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi usus dan
menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen
Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita
anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua
Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit formula
lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama disebabkan
karena disentrim yang menyebabkan berurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama
natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang
lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan
20
oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat
pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat
osmolaritas yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma,
sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama
dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula
lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena
dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga
30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare
akut non-kolera pada anak.
Tabel 7. Komposisi Oralit Baru
Oralit Baru Osmolaritas Rendah Mmol/liter
Natrium 75
Klorida 65
Glucose, anhydrous 75
Kalium 20
Sitrat 10
Total osmolaritas 245
Ketentuan pemberian oralit formula baru:
a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24
jam.
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai
berikut:
Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB
Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap kali BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus dibuang.
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan
anak.
Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence
based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan
di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan
21
mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita
kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan.
Zinc termasuk micronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang
optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk
pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler,
adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dala sistem kekebalan tubuh
dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatn diare akut didasarkan pada efeknya
terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses
perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan
absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat
pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara
berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di
dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai.
Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat
menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
Dosis zinc untuk anak:
Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari
Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare.
Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak
yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dengan air matang atau oralit.
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umut anak dengan menu yang sama pada waktu anak
sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang. Pada diare
berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase
kesembuhan.
Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera. Pemberian
antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan
mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostiridium difficile yang akan tumbuh dan
menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan
mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak
perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap
antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim
22
sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme
berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri
yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membrane terhadap antibiotik.
Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja berdarah, berulang, makan
dan minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari.
Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu
penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan
memberantas organisme peyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi
terdapat beberapa pertimbangan terapi:
1. Terapi cairan dan elektrolit
2. Terapi diit
3. Terapi non spesifik dengan antidiare
4. Terapi spesifik dengan antimikroba
Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam
keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih
berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari
1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam
keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai
komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data
diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara sederhana
yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian makanan,
sedangkan terapi non spesifik dengan antidiare tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika
hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk
kasus dehidrasi berat.
1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi
TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah
dehidrasi, seperti: air tajin. Larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya.
Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50-100 ml, 1-5 tahun
adalah 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-300 ml dan dewasa adalah 300-400 ml setiap
BAB.
23
Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1
sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak
yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang
sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-
lahan misalnya 1 sendok setiap 2-3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai
dengan diare berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan
tetap harus diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali
sehari) serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang
merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat
menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap
berlangsung atau bertambah hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam
keadaan dehidrasi ringan-sedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan-sedang.
2. Pengobatan diare dehidrasi ringan - sedang :
TRO (Terapi Rehidrasi Oral)
Penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan
segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam
pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang
tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur
penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1-5 tahun adalah 600 ml, > 5
tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah
perkiraan, volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus
penderita dan memantau tanda-tanda dehidrasi.
Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila
dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan
sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah
hilang dapat diberikan lagi.
Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral,
oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan
20 ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap
atau memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat
dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada
pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan
dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik
adalah pemberian cairan parenteral.
24
3. Pengobatan diare dehidrasi berat
TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)
Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit.
Pengobatan yang terbaika dalah dengan terapi rehidrasi parenteral.
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan
infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan
intravena (+ 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3-4 jam
(untuk bayi) atau 1-2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan
untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan
cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan
Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam
pertama 30 cc/kgBB, dilanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam
pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB.
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat.
Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih
pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan
sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.
4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)
Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang
mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20. Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa
111 (2%).
Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada
pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai
dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan
dengan kehilangan natrium bersama tinja 30-40 mEq/L, ETEC 50-60 mEq/L dan V.
Cholera > 90-120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun
efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare
infeksi.
Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung
penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih
rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit,
berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan
anak non kolera.
Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas
rendah dengan CRO standard kecuali angka hiponatremi.
25
Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan
CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002
WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut
dengan 75 mEq/L natrium, 75 mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO
formula baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengn
kolera, meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan
keamanan dan indikasinya.
5. CRO baru
Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport
natrium (contoh : asam amino glycine, alanine, glutamin) atau substitusi glukosa dengan
komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak menunjukkan
lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat
direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan
mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera.
Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan
secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan
pilihan utama dari sebagian besar klinisi.
Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase resistent starch
derivat dari jagung) dan partilly hydrolized guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan
adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA.
Kemungkinan lain dari perbaikan komposisi CRO masa depan adalah penambahan
probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.
6. Seng (Zinc)
Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan
dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit
infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam
tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT
yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa
suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng,
ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai
25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti
perbaikan higiene sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF
telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg
perhari selama 10-14 hari, dan pada bayi < 6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama
10-14 hari.
26
7. Pemberian makanan selama diare
Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh.
Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima.
Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi
teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus
yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien,
sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya,
pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi
lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada
anak diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit
serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama
dengan yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan
sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu
yang biasa diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu
rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa
atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu
menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi,
atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat
bahan yang mereduksi dalam tinja > 0,5%. Setelah diare berhenti, pemberian tetap
dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya
diminum secara bertahap selama 2-3 hari.
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat,
makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari
makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk
untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada
umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang
lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat,
misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan
energinya dapat ditambahkan 5-10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan.
Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan
pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu,
tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium.
Makanan yang berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sati buah
manis yang diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.
8. Pemberian makanan setelah diare
27
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan
pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu
perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah
sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan
pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada
keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori
dari biasanya.
9. Terapi medikamentosa
Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,
antdiare, adsorben, antiemetik dan obat yang memperngaruhi mikroflora usus. Beberapa
obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek
toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umut kurang dari
2-3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk
pengobatan diare akut.
Antibiotik
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian
besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh
dengan antibiotika.
Hanya sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. Cholera,
Shigella, Eterotoksigenik E. Coli, Salmonella, Campylobacter dan sebagainya.1
Tabel 8. Antibiotik pada diare
Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif
Kolera Tetracycline
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
Erythromycin
12,5 mg/kgBB
4x sehari selama 3 hari
Shigella dysentery Ciprofloxacin
15 mg/kgBB
2x sehari selama 3 hari
Pivmecillinam
20 mg/kgBB
4x sehari selama 5 hari
Ceftriaxone
50-100 mg/kgBB
1x sehari IM selama 2-5 hari
Amoebiasis Metronidazole
28
10 mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus
berat)
Giardiasis Metronidazole
5 mg/kgBB
3x sehari selama 5 hari
Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak
diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. beberapa dari obat-obat ini
berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
Adsorben
(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-obat ini
dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk mengikat dan
menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan
mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti
keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada
anak.
Antimotilitas
(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii,
paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa
akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. lebih dari itu dapat menyebabkan
ileus paralitik yang berat yang dapat datal atau dapat memperpanjang infeksi dengan
memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis
normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan
diare.
Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan
diare akut sebanyak 30% akan tetapi cara ini jarang digunakan.
Kombinasi obat
Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen
obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare.
Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping
daripada bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk
menggunakan obat ini pada anak dengan diare.
Obat-obat lain:
29
Antimuntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral.
Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah
karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.
Cardiac stimulan
Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi.
Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang
seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin,
nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.
Darah atau plasma
Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan
dehidrasi oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan
air dan elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan
untuk penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.
Steroid
Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.1,2
KOMPLIKASI
Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diantaranya
membutuhkan pengobatan khusus.
Gangguan Elektrolit
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang
ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar
natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak.
Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5%
dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi.
Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan rumatan, bila
sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk
rumatan gunakan 0,18% saline – 5% dextrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol
KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet
30
nnormal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB, sampai
diare berhenti.
Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit
garam, dapat terjadi hiponatremi (Na < 130 mmol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak
dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk
terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan
bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal Saline.
Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan
berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum
Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.
Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas
10% 0,5-1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5-10 menit dengan monitor detak jantung.
Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika kalium 2,5
– 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka
diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya : (3,5 –
kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq /kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam
berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).
Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan
aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan
menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare
berhenti.1
KEGAGALAN UPAYA REHIDRASI ORAL
Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran
tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum,
kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin
penderita harus diberikan cairan intravena.
Kejang
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum atau
selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena: hipoglikemi,
kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila
panas tinggi, misalnya melebihi 40oC, hipernatremi atau hiponatremi.1
31
PENCEGAHAN
Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:
1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.
Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal – oral.
Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran
ini. Upaya pencegahan diare yang efektif meliputi:
a. Pemberian ASI yang benar.
b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.
c. Penggunaan air bersih yang cukup.
d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan
sebelum makan.
e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.
f. Membuang tinja bayi yang benar.
2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu (host).
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat
mengurangi resiko diare antara lai:
a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th.
b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan dalam
jumlah yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak.
c. Imunisas campak.
Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang peranan probiotik, prebiotik dan seng dalam
pencegahan diare.1,2
PROBIOTIK
Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi
yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih
baik. pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang panjang
terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan Komisi
Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastroenterology Hepatology and Nutrition) pada tahun
2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk pencegahan
diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya bahwa susu formula yang
disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan Streptococcus thermophilus bila diberikan
pad abayi dan anak usia 5- 24 bulan yang dirawat di Rumah Sakit dapat menurunkan angka
32
kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari 39% pada kelompok
placebo menjadi 10% pada kelompok probiotik.
Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan
lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa
patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit, modifikasi
toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan
imunomodulasi.
Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap
diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan
keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan aman.
Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi pada
kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.1
PREBIOTIK
Prebiotik bukan merupaan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya
kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinal yang
menguntungkan kesehatan.
Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena
dapat merangsang pertumbuhan Lactobaacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang
minum ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi
cereal yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukkan peurunan
angka kejadian diare. Penemuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu
penelitian RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat penyebabnya
menunjukkan adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat
FOS lebih pendek masa diarenya dibanding placebo.
Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu menunggu
penelitian-penelitian selanjutnya.1
DIARE KRONIS DAN DIARE PERSISTEN
DEFINISI
Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain
disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja > 10 g/kg/24
jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare
33
umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten).
Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama.
Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan
pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di ligkungan masyarakat
gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang
berlangsung > 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare
kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi.1
EPIDEMIOLOGI
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi
diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan
menyebabkan kematian sebesar 36-45% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini
menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang
mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologi mengenai
diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara
keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna dalam
rentang waktu 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan
angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.1
ETIOLOGI
Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju
sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi intoleransi protein susu
sapi/kedelai (pada anak usia < 6 bulan, tinja sering disertai dengan darah); celiac disease (gluten-
sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian global seringkali tertuju pada diare
berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak
terjadi di negara-negara berkembang.1
PATOGENESIS
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan
Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN)
menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai
faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang
pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare
kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya
menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun
34
sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut
lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi.
Dijelaskan bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan
ketidaktepatan terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea). Pada akhirnya prolong diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki
konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2) faktor
mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk
gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang
mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi
transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses
akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan
fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penuka ion Natrium-Hidrogen dan
Klorida-Bikarbonat.
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh Ghishan,
dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein
transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5) perubahan motilitas
usus.
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak
dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan
mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200 ml/24 jam),
konsistensi tinja yang sangat cair, konsistensi Na+ dan Cl- > 70 mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae
di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang
telah disebutkan sebelumnya.
2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses
pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan
langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen
usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya
tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang
35
diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit
usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan
menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare
akibat intoleransi laktosa. Absenya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi
maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan
laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak diserap. Karbohidrat yang tidak
terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat
dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH <5, bereaksi
positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan
yang memicu diare.
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion
Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan
absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada
alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses
absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare
dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal
dengan konsekuensi polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang.
Kadar klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah
dilaporkan di berbagai daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh
negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar
Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+ - protein pengangkut asam
empedu.
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti
necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain,
diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan
short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan
dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus
dan diabetes melitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam epedu yang berdampak
meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik.
Perubahan gerakan usus pada diabetes elitus terjadi akibat neuropati saraf otonom,
36
misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori
dan/atau proansorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu
terjadinya diare.1,2
MANIFESTASI KLINIS DAN KOMPLIKASI
Anak dengan diare persisten lebih banyak menunjukkan manifestasi diare cair
dibandingkan diare disentiform. Selain itu, malnutrisi merupakan gambaran umum anak-anak
dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu
makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak
ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak
khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya.1
DIAGNOSIS
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain
berapa lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat
pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian
obat dan adanya penyakit sistemik.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada
peniaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, laju
endap darah, dan protein C-reaktif.
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal
elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau
adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi
protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian
diare persisten.1
37
TERAPI
Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi:
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi
Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare
persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi
elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik
spektrum luas harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran
kondisi kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.
2. Pemberian nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar
100kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung
energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nnutrisi dapat eliputi: diet elemental, diet berbahan
dasar susu, dan diet berbahan dasar ayam.
i. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam
amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi
trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah
harganya mahal. Selain itu, rasanya tidak enak membuat diet ini sulit diterima
oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk
mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya
digunakan di negara maju.
ii. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan
dalam mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung
nutrisi dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram
laktosa/100 gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100
gram) namun mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu
pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung
berlangsung lebih cepat dibandingkan susu non-ASI, sehingga lambung cepat
kembali ke kondisi pH rendah, dengan demikian dapat mencegah invasi
bakteri ke dalam salluran pencernaan. ASI juga membantu mempercepat
pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung epidermal growth
factors.
38
iii. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa,
hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa
pemberian diet berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil
perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi
Masyarakat FK UGM dengan single blind, randomized-controlled trial
menunjukkan durasi diare yang mendapat bubur ayam dibandingkan yang
mendapat bubur tempe (1,92 + 0,66 vs 2,64 + 0,89, p 0,034). Namun
demikian, mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi
daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi
pilihan tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.
b. Pemberian mikronutrien
Difisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.
Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA
(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umut 1
tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat
besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan
suplementasi zinc untuk anak berusia < 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk
anak berusia > 6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.
Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group
menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare
akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.
c. Probiotik
Pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus
dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten selama 5 hari
menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah yang menyertai. Meta-
analisis yang dilakukan Johnson et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian
probiotik dapat mencegah terjadinya antibiotic-associated diarrhea.
d. Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe –terigu berhenti diare setelah
2,39 + 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat
bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 + 0,33 hari). Sebuah studi uji
klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997)
menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi
39
diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode
diare akut.
3. Terapi farmakologis
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik
diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstra-
intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera berikan antibiotik yang sensitif untuk
shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi
adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lamblia
pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibiotik
berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi
lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.
4. Follow up
Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau
perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi
diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan
kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung > 2 minggu dimana
50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak
ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan
manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti
kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu
7 hari.1
FAKTOR RISIKO DAN PENCEGAHAN
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma
menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama
terjadinya diare persisten.
Tabel 9. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Diare Persisten
Faktor bayi Bayi berusia < 12 bulan
BBLR (< 2500 gram)
Bayi atau anak dengan malnutrisi
Anak-anak dengan gangguan imunitas
Riwayat infeksi saluran nafas
Faktor maternal Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat bayi
Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan
40
dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi
Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan
pendamping ASI
Pemberian susu pada bayi Pengenalan susu non-ASI
Penggunaan botol susu
Riwayat infeksi
sebelumnya
Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi < 12 bulan)
Riwayat diare persisten sebelumnya
Penggunaan obat
sebelumnya
Obat antidiare, karena berhubungan dengan menurunnya motilitas
gastrointestinal
Antimikroba, termasuk antibiotik dan anti-parasit
Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia <12 bulan. Hal ini
didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare persisten
paling banyak anak usia < 3 bulan.
Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita
diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan
kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan
salah satu faktor risiko diare persisten. Pemberian makanan pendamping terlalu dini
meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi. Oleh karena
itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manajemen yang tepat pada diare akut
sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan. Manajemen diare akut yang tepat meliputi
pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.
DIARE PERSISTEN PADA KONDISI KHUSUS
1. Diare persisten pada infeksi HIV
Diare persisten merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada
penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali
lebih tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang
meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten
adalah julah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV
meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadi diare persisten. Parthasarathy (2006)
mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan
diare persisten berstatus HIV seropositif.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum
diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan
41
perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA
sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu
pertumbuhan bakteri.
Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare
persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak
dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica
(17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang
rendah. Schmidt (1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak
penyebab diare persissten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan
pengurangan luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada
pasien-pasien HIV tanpa gejala persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih
tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993)
menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah
enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.
2. Diare persisten pada keganasan
Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi
usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada
absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma
sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu
terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid
yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya
menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin
yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma
tersebut mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan
produksi asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu
enzim pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan
maabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.
Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi
menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-
agen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan
Irinotecan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta
terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.1
42
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Diare akut, persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi
tingkat kematian anak di Indonesia dan dunia. Dibutuhkan terapi yang adekuat agar diare akut
tidak berkepanjangan menjadi diare persisten atau kronis. Patogenesis diare kronis melibatkan
berbagai faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan malnutrisi
bagaikan lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan bertahap sehingga
terapi yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan tetapi dibutuhkan pula terapi
nutrisi yang optimal.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku Ajar
Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Edisi 1 Cetakan Ketiga. 2012. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. h.87-133.
2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial. Edisi Keenam. 2014. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. h. 481-6.
3. Behrman R, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak, Ed 15, Vol 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. h. 929-35.
44