Upload
yosua-nugraha-pratama
View
779
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih
setia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Hipertiroid
dalam Kehamilan”. Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSUD Bekasi.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Christofel Panggabean, Sp.OG yang
telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam
menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini.
Oleh karena itu, saya menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak
yang ingin mengetahui tentang “Hipertiroid dalam Kehamilan”.
Jakarta, Maret 2011
Penyusun
Page 1 of 22
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 1
Daftar isi 2
Bab I Pendahuluan 3
Bab II Anatomi dan Fisiologi Tiroid
II.A. Anatomi Kelenjar Tiroid 5
II.B. Fisiologi Tiroid 7
II.C. Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan 9
Bab III Hipertiroid dalam Kehamilan
III.A. Etiologi 13
III.B. Gejala Klinis 13
III.C. Diagnosis 14
III.D. Penatalaksanaan 15
III.E. Komplikasi 18
III.F. Krisis Tiroid 18
Bab IVKesimpulan 20
Daftar Pustaka 21
Page 2 of 22
BAB I
Pendahuluan
Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan selama
kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan,
menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan
yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid yang berlebihan dari
kebutuhan tubuh. (Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Wanita hamil dengan eutiroid memunculkan beberapa tanda tidak spesifik yang mirip
dengan disfungsi tiroid sehingga diagnosis klinis sulit ditegakkan. Sebagai contoh, wanita
hamil dengan eutiroid dapat menunjukkan keadaan hiperdinamik seperti peningkatan curah
jantung, takikardi ringan, dan tekanan nadi yang melebar, suatu tanda-tanda yang dapat
dihubungkan dengan keadaan hipertiroid. (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23 rd.
2010)
Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan hipotiroidisme
pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita muda dan dapat
mempersulit kehamilan. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave,
struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada
umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme
akibat struma nodosa toksik ditemukan pada usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60
tahun. Oleh karena penyakit Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir
selalu hipertiroidisme dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula
disebabkan karena tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi
hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari
semua penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-
laki dengan ratio 5:1. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan, namun bila
tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur, abortus dan kematian
janin. Tiroiditis postpartum adalah penyakit tiroid autoimun yang terjadi selama tahun
pertama setelah melahirkan. Penyakit ini memberikan gejala tirotoksikosis transien yang
diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya terjadi pada 8-10% wanita setelah bersalin.
(Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder.
2010)
Page 3 of 22
Deteksi dini untuk mengetahui adanya hipertiroidisme pada wanita hamil sangatlah
penting, karena kehamilan itu sendiri merupakan suatu stres bagi ibu apalagi bila disertai
dengan keadaan hipertiroidisme. Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan
memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun
pengobatan yang diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.
Page 4 of 22
BAB II
Anatomi dan Fisiologi Tiroid
II. A. Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dimana kedua lobus tersebut
dihubungkan oleh istmus. Kelenjar ini terdapat pada bagian inferior trakea dan beratnya
diperkirakan 6-20 gram. Lobus kanan bisasanya lebih besar dan lebih vascular dibandingkan
lobus kiri. Kelenjar ini kaya akan pembuluh darah dengan aliran darah 4-6 ml/menit/gram.
Pada keadaaan hipertiroid, aliran darah dapat meningkat sampai 1 liter/menit/gram sehingga
dapat didengar menggunakan stetoskop yang disebut bruit. Kelenjar tiroid mendapatkan
persarafan adrenergik dan kolinergik yang berasal dari ganglia servikal dan saraf vagus.
Kedua system saraf ini mempengaruhi aliran darah pada kelenjar tiroid yang akan
mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid seperti TSH dan iodid. Selain itu, serabut saraf
adrenergik mencapai daerah folikel sehingga persarafan adrenergic diduga mempengaruhi
fungsi kelenjar tiroid secara langsung.
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid
Page 5 of 22
Folikel atau acini yang berisi koloid merupakan unit fungsional kelenjar tiroid.
Dinding folikel dilapisi oleh sel kuboid yang merupakan sel tiroid dengan ukuran bervariasi
tergantung dari tingkat stimulasi pada kelenjar. Sel akan berbentuk kolumner bila dalam
keadaaan aktif, dan berbentuk kuboid bila dalam keadaan tidak aktif. Setiap 20-40 folikel
dibatasi oleh jaringan ikat yang disebut septa yang akan membentuk lobulus. Di sekitar
folikel terdapat sel parafolikuler atau sel C yang menghasilkan hormon kalsitonin. Di dalam
lumen folikel, terdapat koloid dimana tiroglobulin yang merupakan suatu glikoprotein yang
dihasilkan oleh sel tiroid yang akan disimpan. (Dumont, J.E., et al. 2008)
Gambar 2. Folikel Tiroid
Gambar 3. Sel Folikel Tiroid
Page 6 of 22
II. B. Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid memelihara tingkat metabolisme dari sebagian besar sel dalam tubuh
dengan menghasilkan dua hormon tiroid di dalam sel folikelnya, yaitu triiodothyronin (T3)
dan tetraiodohyronin (T4) atau tirosin. Iodin (I2) memilki berat atom sebesar 127 dan berat
molekulnya 254. T4 memilki berat molekul sebesar 777 Dalton yang 508 didalamya
merupakan iodida. Hormon tiroid sangat penting dalam perkembangan saraf normal,
pertumbuhan tulang, dan pematangan seksual. Sel parafolikel yang disebut sel C berada di
dekat sel folikuler yang menghasilkan suatu hormon polipeptida, kalsitonin. Pada orang
dewasa, hormon tiroid disintesis di kelenjar tiroid melalui beberapa tahap, yaitu (Dumont,
J.E., et al. 2008) :
a. Iodin (I2) yang direduksi menjadi iodide (I) di lambung dan usus cepat diabsorbsi dan
beredar dalam sirkulasi dalam bentuk iodide.
b. Sel folikuler pada kelenjar tiroid membentuk iodide trap yang dibawa ke sel melalui
gradien elektrokimia.
c. Retikulum endoplasma kasar mensintesis molekul besar yang disebut tiroglobulin.
Iodida-tiroglobulin bebas diangkut dalam bentuk vesikel ke membran apikal, dimana
vesikel tersebut kemudian berfusi dengan membran dan akhirnya melepaskan
tiroglobulin pada membran apical.
d. Pada membran apikal, iodida yang teroksidasi berikatan dengan unit tirosin
(Ltyrosine) dalam tiroglobulin pada satu atau dua posisi, membentuk precursor
hormon monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT).
e. Setiap molekul tiroglobulin bisa mengandung sampai 4 residu T4 dan nol hingga satu
T3. Tiroglobulin disimpan kembali ke dalam sel folikuler sebagai droplet koloid
melalui proses pinositosis.
f. Lisosom eksopeptidase mengancurkan ikatan antara tiroglobulin dan T4 (atau T3).
Sebagian besar (80%) T4 dilepaskan ke kapiler darah dan hanya sejumlah kecil (20%)
T3 disekresi dari kelenjar tiroid.
g. Proteolisis tiroglobulin juga melepaskan monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine
(DIT). Molekul-molekul ini dideiodinasi oleh enzim deiodinase sehingga iododa
dapat digunakan kembali untuk membentuk T4 atau T3. Normalnya, hanya beberapa
molekul tiroglobulin utuh yang meninggalkan sel folikuler.
h. TSH merangsang hampir semua proses yang melibatkan sintesis dan sekresi hormon
tiroid.
Page 7 of 22
Gambar 4. Sintesis Hormon Tiroid
Aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid mengatur fungsi kelenjar tiroid dan pertumbuhan.
Produksi dan pelepasan hormon tiroid diatur oleh thyroid-releasing hormone (TRH) dari
hipotalamus. TRH mencapai hipofisis anterior melalui system portal, dimana sel tirotropik
dirangsang untuk menghasilkan thyroid-stimulating hormone (TSH) atau thyrotropin. TSH
dilepaskan ke aliran darah sistemik kemudian dibawa sampai ke kelenjar tiroid. Di sini, TSH
merangsang pengambilan iodida, dan semua proses yang mendorong pembentukan dan
pelepasan T4 dan T3. TSH mengaktifasi adenilsiklase yang berbatasan dengan membran sel
folikel dan meningkatkan kerja cAMP. T3 memiliki efek inhibisi kuat terhadap sekresi TRH.
(Dumont, J.E., et al. 2008)
Hampir semua T3 dalam sirkulasi berasal dari T4. TSH juga merangsang konversi T4
menjadi T3 yang secara biologis lebih aktif. Sebagian besar hormon tiroid terikat pada protein
plasma agar hormon tersebut terlindungi selama diangkut. Terdapat keseimbangan antara
hormon yang terikat protein dengan hormon yang bebas. Hormon tiroid larut dalam lemak
dan dapat dengan mudah melintasi membrane sel melalui proses difusi. (Girling, Joanna.
2008)
Di dalam darah, tubuh kita hanya memiliki sejumlah kecil thyroxine-binding globulin
(TBG) sekitar 10 mg/L, tetapi afinitasnya terhadap T4 sangat tinggi. T4 total sekitar 10-7 mol/L
setara dengan 77,7 μg/L serum darah, karena 777 gram T4 sama dengan 1 mol dari total.
Kurang lebih 70% dari T4 dan T3 berikatan pada TBG, dan sisanya terikat pada thyroxine-
binding albumin (TBA) dan transthyrenin. Estrogen merangsang sintesis TBG. Hormon T3
dieliminasi dengan cepat (waktu paruhnya 24 jam), karena memiliki derajat terendah
terhadap pengikatan protein. Molekul tiroksin (T4) memiliki waktu paruh biologis sekitar 7
Page 8 of 22
hari, hampir setara dengan waktu paruh isotop radioaktif I131 (8 hari). (Dumont, J.E. et al.
2008)
Hormon tiroid adalah molekul yang larut lemak dan dapat melewati membrane sel
dengan mudah. T3 berikatan pada protein reseptor nuklear dengan sebuah afinitas sepuluh kali
lipat dibandingkan T4. Informasi tersebut mengubah transkripsi DNA menjadi mRNA, dan
akhirnya diterjemahkan ke dalam banyak protein efektor. Satu tipe protein reseptor tiroid
terikat pada elemen pengatur tiroid dalam gen sel target. Susunan seluler penting yang
dirangsang oleh T3 : mitokondria, pompa Na+-K+, myosin ATPase, reseptor β adrenergik,
banyak sistem enzim dan protein untuk pertumbuhan dan pematangan termasuk
perkembangan sistem saraf pusat. (6) Hormon tiroid merangsang konsumsi oksigen pada
hampir semua sel. Hormon tiroid merangsang kecepatan dari (1) pengeluaran glukosa hati
dan utilisasi glukosa perifer, (2) metabolisme asam lemak, kolesterol, dan trigliserida hati, (3)
sintesis protein penting (pompa Na+-K+, enzim pernapasan, eritropoietin, reseptor β
adrenergik, hormon seksual, faktor pertumbuhan, dll), (4) absorpsi karbohidrat di usus dan
ekskresi kolesterol, dan (5) pengaturan fungsi reproduksi. (Dumont, J.E., et al. 2008)
II. C. Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan
Hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) disintesis di dalam folikel tiroid.
Tiroid-stimulating hormone (TSH) merangsang sintesis dan pelepasan T3 dan T4, yang
sebelumnya didahului dengan pengambilan iodide yang penting untuk sintesis hormon tiroid.
Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di jaringan perifer T4
dikonversi menjadi T3 yang lebih poten melalui proses deiodinasi. Selama kehamilan normal
kadar tiroid binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4
ikut meningkat. (Girling, Joanna. 2008)
Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan system saraf. Selama
trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid
melalui plasenta karena fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai
trimester kedua. Pada minggu ke-10-12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun fetus
tetap membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. TSH dapat dideteksi
dalam serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi masih dalam kadar yang rendah
sampai usia kehamilan 20 minggu yang mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian
turun sampai 7 uU per ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai
terjadi pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama trimester kedua dan
Page 9 of 22
ketiga, hormon tiroid disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak oleh ibu. (Girling,
Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat dideteksi adanya T4
yang mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25 sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam
cairan amnion selama awal kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat.
Tetrayodotironin (T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk reverse T3
(rT3) , hal ini mungkin disebabkan karena sistem enzimnya belum matang. Reverse T3
meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia kehamilan 17 sampai 20 minggu.
Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan
faal kelenjar tiroid janin.Selama kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada
tiga faktor independen namun saling terikat, yaitu (a) peningkatan konsentrasi hCG yang
merangsang kelenjar tiroid, (b) peningkatan ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga
menurunkan konsentrasi iodin plasma, dan (c) peningkatan thyroxine-binding globulin (TBG)
selama trimester pertama, menyebabkan peningkatan ikatan hormone tiroksin. Pada akhirnya,
faktor-faktor ini bertanggung jawab terhadap peningkatan kebutuhan tiroid (Girling, Joanna.
2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010) :
a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Seperti yang disebutkan di atas, human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan
hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi progesterone dalam
konsentrasi yang adekuat pada awal kehamilan, sampai produksi progesteron diambil
alih oleh plasenta yang sedang berkembang. Konsentrasi hCG meningkat secara
dramatis selama trimester pertama kehamilan dan menurun secara bertahap
setelahnya. Secara struktural, peptide hCG terdiri atas dua rantai, sebuah rantai α dan
rantai β, dimana rantai α dari hCG identik dengan struktur yang membentuk TSH.
Struktur yang homolog ini menjadikan hCG mampu merangsang kelenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid, namun tidak sekuat TSH. (Dumont, J.E., et al. 2008,
Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Page 10 of 22
Gambar 5. Struktur LH, FSH, hCG dan TSH
Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding dengan
peningkatan hCG. Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid, konsentrasi
hormon tiroid bebas (tidak terikat) pada umumnya dalam batas normal atau hanya
sedikit di atas normal selama trimester pertama. Efek perangsangan dari hCG pada
kehamilan normal tidak signifikan dan normalnya ditemukan pada pertengahan awal
kehamilan. Pada awal minggu ke-12 atau pada kondisi patologis tertentu, termasuk
hipermesis gravidarum dan tumor trofoblastik, konsentrasi hCG mencapai kadar
maksimal yang akan menginduksi keadaan hipertiroid dimana kadar tiroksin bebas
meningkat dan kadar TSH ditekan. (Williams Obstetrics 23rd. 2010)
b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan
Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan, akibat
peningkatan filtrasi glomerulus (GFR). Peningkatan GFR menyebabkan
meningkatnya pengeluaran iodine lewat ginjal yang berlangsung pada awal
kehamilan. Ini merupakan faktor penyebab turunnya konsentrasi iodine dalam plasma
selama kehamilan. Kompensasi dari kelenjar tiroid dengan pembesaran dan
peningkatan klirens iodin plasma menghasilkan hormon tiroid yang cukup untuk
mempertahankan keadaan eutiorid. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
pembesaran kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis, merupakan kompensasi adaptasi
terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan dengan kehamilan. (Girling,
Joanna. 2008)
c. Thyroxine Binding Globulin
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG menyebabkan
peningkatan ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi fungsi
tiroid selama kehamilan. Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu
thyroxine binding globulin (TBG), albumin, dan thyroxine binding prealbumin
Page 11 of 22
(TBPA) atau transtiretin. Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang
lebih tinggi terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon
tiroksin diikat oleh TBG. Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari konsentrasi
TBG sekitar dua kali lipat dari normal selama kehamilan sampai 6-12 bulan setelah
bersalin. Hal ini menggambarkan peningkatan kadar hormon tiroksin total (TT4) pada
semua wanita hamil, namun kadar tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI)
normal. Untuk menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik
merangsang pelepasan TSH yang bekerja untuk meningkatkan pengeluaran hormon
dan menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon bebas. Peningkatan konsentrasi
TBG merupakan efek langsung dari meningkatnya kadar estrogen selama kehamilan.
Estrogen merangsang peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam
sirkulasi, dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga
merangsang hati untuk mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas
TBPA. Pada akhirnya, proporsi hormon tiroksin dalam sirkulasi yang berikatan
dengan TBG meningkat selama kehamilan, dan dapat mencapai 75%. Kadangkala
perubahan hormonal ini dapat membuat pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan
sulit diinterpretasikan. (Girling, Joanna. 2008)
Page 12 of 22
Gambar 6. Perubahan Hormon pada Kehamilan
BAB III
Hipertiroid dalam Kehamilan
III. A. Etiologi
Hipertiroid dalam kehamilan dapat berupa penyakit Graves, hiperemesis gravidarum,
tirotoksikosis gestasional sementara, dan kehamilan mola. Di antara keempat penyebab
hipertiroid dalam kehamilan, penyakit graves paling sering terjadi, sekitar 1 dari 500
Page 13 of 22
kehamilan. (Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010,
Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Penyakit graves merupakan kelainan autoimun kompleks dengan tanda tirotoksikosis,
oftalmopati (lid lag, lid retraction, dan eksoftalmus), dan dermopati (miksedema pretibial).
Hal ini dimediasi oleh immunoglobulin yang merangsang tiroid. Telah diamati pada pasien
dengan riwayat penyakit graves dimana cenderung terjadi remisi pada kehamilan dan relaps
kembali setelah bersalin. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Rull,
Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Selain penyakit graves, hipertiroid dalam kehamilan juga dapat disebabkan oleh
hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai dengan ditemukannya gejala
muntah berlebihan pada awal kehamilan yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit
dan dehidrasi. Pemeriksaan biokimia pada pasien ini menunjukkan hipertiroksinemia, dengan
peningkatan konsentrasi T4 serum dan penurunan konsentrasi TSH serum yang ditemukan
pada sebagian besar wanita hamil. Pemeriksaan TSH serum membantu untuk membedakan
hiperemesis yang berhubungan dengan hipertiroksinemia dan kemungkinan penyebab
lainnya. Hipertiroksinemia ringan biasanya bersifat sementara, menurun pada kehamilan
minggu ke-18 tanpa terapi antitiroid. Namun, hipertiroksinemia yang signifikan disertai
dengan peningkatan T4 bebas dan TSH yang rendah, dan penemuan klinik hipertiroid,
memerlukan terapi obat antitiroid. (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
III. B. Gejala Klinis
Wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan tiroid atau penyakit
autoimun memiliki resiko yang lebih tinggi mengidap penyakit hipertiroid. Gejala yang
sering timbul biasa adalah intoleransi terhadap panas, berkeringat lebih banyak, takikardi,
dada berdebar, mudah lelah namun sulit untuk tidur, gangguan saluran cerna, berat badan
menurun meskipun asupan makan cukup, mudah tersinggung, merasa cemas dan gelisah.
Selain itu dapat juga timbul tanda-tanda penyakit graves, seperti perubahan mata, tremor pada
tangan, miksedema pretibial dan pembesaran kelenjar tiroid. (De Groot, Leslie J, et al. 2007,
Girling, Joanna. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
III. C. Diagnosis
Diagnosis klinis hipertiroid pada wanita hamil biasanya sulit ditegakkan. Hal ini
dikarenakan wanita dengan hipertiroid memiliki beberapa tanda-tanda sistem hiperdinamik
seperti peningkatan curah jantung dengan bising sistolik dan takikardi, kulit hangat, dan
Page 14 of 22
intoleransi terhadap panas. Tanda hipertiroid seperti berat badan turun, dapat menjadi tidak
jelas oleh kenaikan berat badan karena kehamilan. Didapatkannya perubahan mata pada
penyakit graves atau miksedema pretibial dapat membantu, namun tidak selalu
mengindikasikan tirotoksikosis. Adanya onkilosis atau pemisahan kuku distal dari nailbed,
dapat juga membantu dalam menegakkan diagnosis klinis hipertiroid. (De Groot, Leslie J, et
al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Peningkatan kadar T3 serum dapat meningkatkan densitas reseptor β- adrenergik sel
miokardium sehingga curah jantung meningkat walaupun saat istirahat dan terjadi aritmia
(fibrilasi atrium). Denyut nadi saat istirahat biasanya di atas 100 kali per menit dan jika
denyut nadi tetap atau tidak menjadi lambat selama melakukan manuver Valsava, diagnosis
tirotoksikosis menjadi lebih mungkin. (Girling, Joanna. 2008)
Diagnosis hipertiroid dalam kehamilan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisis
dan laboratorium, terutama pemeriksaan fungsi tiroid. Pada kehamilan, kadar T3 total dan T4
total meningkat seiring meningkatnya konsentrasi TBG. Kadar FT3 dan FT4 dalam batas
normal tinggi pada kehamilan trimester pertama dan kembali normal pada trimester kedua.
Nilai T4 total tidak bermanfaat pada wanita hamil karena nilainya yang tinggi merupakan
respon terhadap estrogen yang meningkatkan konsentrasi TBG. FT3 sebaiknya diperiksa
ketika nilai TSH rendah tetapi kadar FT4 normal. Peningkatan kadar T3 menunjukkan
toksikosis T3. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak dijadikan acuan dalam mendiagnosis
hipertiroid dalam kehamilan. Pasien dengan penyakit graves hampir selalu memiliki hasil
pemeriksaan TSIs yang positif. Pemeriksaan TSI ini sebaiknya diukur pada trimester ketiga.
Nilai TSI yang tinggi sering dihubungkan dengan tirotoksikosis fetus. Antibodi
antimikrosomal jika memungkinkan perlu juga diperiksa karena wanita yang memiliki hasil
positif pada kehamilan atau sesaat setelah persalinan memiliki resiko berlanjut ke penyakit
tiroiditis postpartum. (De Groot, Leslie J, et al. 2007, Rull, Gurvinder. 2010, Williams
Obstetrics 23rd. 2010)
HIPERTIROID GESTASIONAL
Penyebab Gejala Tanda Laboratorium Keterangan
Penyakit
Graves
Intoleran pada
panas
↓ Berat badan
Palpitasi
↑ Berkeringat
Takikardi > 100
↑ Curah jantung
↑ Tekanan nadi
Bising sistolik
Oftalmopati-
↑↑ T4, FT4
↓↓ TSH
(ditekan)
(+) anti-tiroid
antibodi
Remisi selama
kehamilan
Postpartum
flare
Page 15 of 22
dermopati
Hiperemesis
Gravidarum
Mual / muntah
yang
berlebihan
↓ Berat badan
Keadaan
eutiroid
Dehidrasi
T4, FT4 normal
atau sedikit ↑
Tidak jelas
peningkatan T4
kecuali hCG >
50.000 IU/L
↓ TSH minimal
↑ bhCG
Ketonuria,
elektrolit tidak
seimbang,
kelainan hati
dan ginjal
Sembuh
dalam 18
minggu tanpa
terapi
Kehamilan
Mola
Mual / muntah
Perdarahan
trimester
pertama
Toksemia
Tidak ada
perkembangan
bayi
↑ T4, FT4
↓ TSH
(ditekan)
↑↑↑ bhCG
Evakuasi
Hipertiroid
menghilang
sejalan
dengan
normalnya
bhCG
III. D. Penatalaksanaan
Hipertiroid yang ringan (peningkatan kadar hormon tiroid dengan gejala minimal)
sebaiknya diawasi sesering mungkin tanpa terapi sepanjang ibu dan bayi dalam keadaan baik.
Pada hipertiroid yang berat, membutuhkan terapi, obat anti-tiroid adalah pilihan terapi,
dengan PTU sebagai pilihan pertama. Tujuan dari terapi adalah menjaga kadar T4 dan T3
bebas dari ibu dalam batas normal-tinggi dengan dosis terendah terapi anti-tiroid. Target
batas kadar hormon bebas ini akan mengurangi resiko terjadinya hipotiroid pada bayi.
Hipotiroid pada ibu sebaiknya dihindari. Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering
mungkin selama kehamilan dengan melakukan tes fungsi tiroid setiap bulannya. Obat-obat
yang terpenting digunakan untuk mengobati hipertiroid (propiltiourasil dan metimazol)
menghambat sintesis hormon tiroid. Laporan sebelumnya mengenai hubungan terapi
Page 16 of 22
metimazol dengan aplasia kutis, atresia oesophagus, dan atresia choanae pada fetus tidak
diperkuat pada penelitian selanjutnya, dan tidak terdapat bukti lain menyangkut obat lain
yang berefek abnormalitas kongenital. Oleh karena itu, PTU sebaiknya dipertimbangkan
sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid selama kehamilan dan metimazol
sebagai pilihan kedua yang digunakan jika pasien tidak cocok, alergi, atau gagal mencapai
eutiroid dengan terapi PTU. Kedua obat tersebut jarang menyebabkan neutropenia dan
agranulositosis. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada terhadap gejala-gejala infeksi,
terutama sakit tenggorokan, dapat dihubungkan dengan supresi sumsum tulang dan harus
diperiksa jumlah neutrofil segera setelah menderita. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et
al. 2009, Marx, Helen, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta. Namun, PTU
menjadi pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena kadar transplasentalnya jauh lebih
kecil dibandingkan dengan metimazol. TSH reseptor stimulating antibodi juga melalui
plasenta dan dapat mempengaruhi status tiroid fetus dan neonatus. (Girling, Joanna. 2008,
Inoue, Miho, et al. 2009, Marx, Helen. 2009, Rull, Gurvinder. 2010)
(sumber : Marx, Helen, et al. 2008)
Wanita yang sedang dalam terapi antitiroid sebaiknya tidak berhenti menyusui
bayinya karena kedua obat anti tiroid tersebut aman. Keduanya ada dalam air susu ibu
(metimazole kadarnya lebih besar dibandingkan PTU), tetapi hanya dalam konsentrasi yang
lebih rendah. Jika pasien mengkonsumsi lebih dari 15 mg karbimazol atau 150 mg
propiltiourasil sehari, bayi sebaiknya diperiksa dan mereka sebaiknya tidak disusui sebelum
ibunya mendapatkan terapi dengan dosis terbagi. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al.
2009, Rull, Gurvinder. 2010)
Page 17 of 22
Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama kehamilan untuk
membantu mengobati palpitasi yang signifikan dan tremor akibat hipertiroid. Untuk
mengendalikan tirotoksikosis, propanolol 20 – 40 mg setiap 6 jam, atau atenolol 50 -100
mg/hari selalu dapat mengontrol denyut jantung ibu antara 80-90 kali per menit. Esmolol, β-
blocker kardio seleketif, efektif pada wanita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak berespon
pada propanolol. Obat-obat ini hanya digunakan sampai hipertiroid terkontrol dengan obat
anti tiroid. (Girling, Joanna. 2008, Marx, Helen. 2009, Rull, Gurvinder. 2010)
Pada pasien yang tidak adekuat diterapi dengan pengobatan anti-tiroid seperti pada
pasien yang alergi terhadap obat-obat, pembedahan merupakan alternative yang dapat
diterima. Pembedahan pengangkatan kelenjar tiroid sangat jarang disarankan pada wanita
hamil mengingat resiko pembedahan dan anestesi terhadap ibu dan bayi. Jika tiroidektomi
subtotal direncanakan, pembedahan sering ditunda setelah kehamilan trimester pertama atau
selama trimester kedua. Alasan dari penundaan ini adalah untuk mengurangi resiko abortus
spontan dan juga dapat memunculkan resiko tambahan lainnya. Pembedahan dapat dipikirkan
pada pasien hipertiroid apabila ditemukan satu dari kriteria berikut ini (De Groot, Leslie J., et
al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010) :
a. Dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan tinggi (PTU > 300 mg, MMI > 20 mg)
b. Hipertiroid secara klinis tidak dapat dikontrol
c. Hipotiroid fetus terjadi pada dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan untuk
mengandalikan hipertiroid pada ibu
d. Pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid
e. Pasien yang menolak mengkonsumsi obat anti tiroid
f. Jika dicurigai ganas
Terapi radioiodin menjadi kontraindikasi dalam pengobatan hipertiroid selama
kehamilan sejak diketahui bahwa zat tersebut dapat melewati plasenta dan ditangkap oleh
kelenjar tiroid fetus. Hal ini dapat menyebabkan kehancuran kelenjar dan akhirnya berakibat
pada hipotiroid yang menetap. (De Groot, Leslie J., et al. 2007, Girling, Joanna. 2008, Inoue,
Miho, et al. 2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23 rd.
2010)
III. E. Komplikasi
Hipertiroid yang tak terkontrol, terutama pada pertengahan masa hamil, dapat memicu
beberapa komplikasi. Komplikasi maternal di antaranya keguguran, infeksi, preeklamsia,
persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid, dan lepasnya plasenta. Komplikasi
Page 18 of 22
fetus dan neonatus di antaranya prematur, kecil untuk masa kehamilan, kematian janin dalam
rahim, dan goiter pada fetus atau neonatus dan atau tirotoksikosis. Pengobatan yang
belebihan juga dapat menyebabkan hipotiroid iatrogenik pada fetus. (Inoue, Miho, et al.
2009, Marx, Helen, et al. 2008, Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati untuk penyakit graves
sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat melewati plasenta sehingga
masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit
graves sedang diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna karena
obat-obatan tersebut juga dapat melintasi plasenta. Namun, jika ibunya diobati dengan
pembedahan atau radioaktif iodin, kedua metode terapi tersebut dapat menghancurkan
seluruh tiroid, namun pasien masih dapat memiliki antibodi dalam darahnya. (Marx, Helen, et
al. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Hipertiroid pada neonatus dapat menyebabkan denyut jantung meningkat yang dapat
berakhir pada gagal jantung, berat badan rendah, dan kadang-kadang tiroid yang membesar
dapat menekan saluran napas sehingga mengganggu pernapasan. (Marx, Helen, et al. 2008,
Williams Obstetrics 23rd. 2010)
III. F. Krisis Tiroid
Krisis tirotoksik, yang juga disebut badai tiroid, merupakan sebuah kegawatdaruratan
medis yang dapat timbul akibat hipermetabolik yang berlebihan. Kondisi ini jarang terjadi,
hanya 1% dari wanita hamil dengan hipertiroid, tetapi memiliki resiko gagal jantung. Badai
tiroid didiagnosis melalui kombinasi gejala dan tanda seperti hiperpireksia, takikardi yang
tidak berhubungan dengan demamnya, gagal jantung kongestif, disaritmia, muntah, diare, dan
perubahan mental termasuk cemas, bingung, dan gelisah. Badai tiroid ini dapat muncul akibat
infeksi, penghentian terapi yang tiba-tiba, pembedahan, dan persalinan. (Williams Obstetrics
23rd. 2010)
Pengobatannya meliputi pemberian cairan intravena, hidrokortison, propanolol, iodin
oral, dan karbimazol atau propiltiourasil dalam dosis tinggi. Terapi badai tiroid terdiri dari
rangkaian pengobatan berupa (Williams Obstetrics 23rd. 2010) :
a. Terapi suportif secara umum sebaiknya dilakukan
b. Terapi spesifik :
a. PTU 1000 mg per oral atau melalui nasogastric tube. Dilanjutkan dengan 200 mg
per oral setiap 6 jam. Jika pemberian melalui oral tidak memungkinkan, dapat
digunakan metimazol suppositoria.
Page 19 of 22
b. 1 jam setelah pemberian PTU, diberikan yodium untuk menghambat pelepasan
hormone tiroid. Dapat diberikan dalam bentuk sodium iodide 500–1000 mg secara
intravena setiap 8 jam, atau saturated solution of potassium iodide (SSKI) 5 tetes
per oral setiap 8 jam, atau larutan lugol 10 tetes setiap 8 jam.
c. Dexamethasone 2 mg secara intravena setiap 6 jam untuk 4 dosis, untuk
mencegah konversi dari T4 menjadi T3 di jaringan perifer.
d. Propanolol 20-80 mg per oral setiap 4-6 jam.
e. Phenobarbital 30-60 mg per oral setiap 6-8 jam, diperlukan pada gelisah yang
berlebihan.
f. Fetus sebaiknya dievaluasi dengan tepat dengan USG atau pemeriksaan nonstress
tergantung umur kehamilan.
BAB IV
Kesimpulan
Kehamilan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap regulasi fungsi tiroid pada
wanita sehat dan pada pasien dengan kelainan tiroid. Pengaruh ini perlu dikenali dengan
seksama, didiagnosis dengan jelas, dan diterapi dengan tepat. Kelainan fungsi tiroid terjadi
dalam 1-2% kehamilan, namun kelainan fungsi tiroid subklinik baik itu hipertiroid mungkin
lebih banyak yang tidak terdiagnosis jika tidak diskrining lebih awal. Kehamilan
Page 20 of 22
meningkatkan kecepatan metabolisme, aliran darah, denyut jantung, curah jantung, dan
beberapa gejala subjektif seperti kelelahan, dan intoleran terhadap panas yang dapat
menunjukkan kemungkinan adanya tirotoksikosis. Perubahan metabolik lain yang juga
berefek pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid adalah rangsangan langsung hCG terhadap
tiroid ibu yang kemudian berakibat peningkatan metabolisme tiroksin. Penyebab utama
tirotoksikosis dalam kehamilan diantaranya penyakit Graves dan hipertiroid gestasional non-
autoimun. Perjalanan penyakit Graves selama kehamilan berubah-ubah, dengan
kecenderungan membaik pada trimester kedua dan ketiga, dan mengalami eksaserbasi selama
masa postpartum. Perubahan ini merupakan akibat dari supresi sistem imun selama
kehamilan. Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko preeklamsia
yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
pada pasien dengan pengendalian kondisi yang rendah. Wanita hamil dengan hasil TSI positif
atau yang sedang menggunakan obat anti tiroid sebaiknya diperiksa juga kemungkinan
terjadinya kelainan fungsi tiroid pada fetus. Perlu diingat dalam mengobati pasien hipertiroid
bahwa semua obat-obat anti tiroid dapat melewati plasenta dan dapat berefek terhadap fungsi
tiroid fetus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Hauth, John C., Rouse,
Dwight J. & Spong, Catherine Y. eds. (2010) Williams Obstetrics. 23rd. United
States : The McGraw Hill Companies, Inc.
2. De Groot, Leslie J., Green, Alex Stagnaro & Vigersky, Robert (2007) The Hormone
Foundation’s Patient Guide to the Management of Maternal Hyperthyroidism Before,
Page 21 of 22
During, and After Pregnancy. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism.
Vol 92, No. 9 0.
3. Dumont, J.E., Opitz, R., Christophe, D., Vassart, G., Roger, P.P. & Maenhaut, C.
(2008) The Phylogeny, Ontogeny, Anatomy and Regulation of the Iodine Metabolizing
Thyroid. Belgium : IRIBHM, School of Medicine, University of Brussels. Germany :
Leibniz-Institute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries, University of Berlin.
4. Girling, Joanna (2008) Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician &
Gynaecologist, 10, pp. 237-243.
5. Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya (2009) Hyperthyroidism
during Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55 July, pp. 701-703.
6. Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2008) Hyperthyroidism and Pregnancy.
British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.
7. Rull, Gurvinder (2010) Hyperthyroidism in Pregnancy [Internet]. EMIS. Available
from : http://www.patient.co.uk.htm [Accesed 22 March 2011].
Page 22 of 22