Upload
george-tirta-dihatmo
View
138
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
d
Citation preview
BAB I
Pendahuluan
Untuk mewujudkan Visi BKKBN yaitu “penduduk tumbuh seimbang 2015”, dan misi
BKKBN yaitu “mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan
mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera”, bahwa keluarga berencana bukan saja
kehendak eksekutif dan rakyat melalui legislatif tetapi merupakan kehendak kita semua
melalui Undang-Undang yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.(1)
Program Keluarga Berencana Nasional dan Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk
membantu keluarga dalam merencanakan keluarga, mengatur kehamilan, mencegah
kehamilan tak diinginkan, meningkatkan akses dan kualitas informasi, konseling dan
pendidikan KB dan KR, meningkatkan peran wanita serta pria dalam KB, meningkatkan
kemitraan dan menggerakkan seluruh elemen masyarakat dalam program KB dan KR.(1)
Keberhasilan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) antara lain
ditandai dengan adanya penurunan Laju Pertumbuhan Penduduk, Penurunan tingkat
Fertilitas, peningkatan kesadaran masyarakat tentang makna keluarga kecil, hal ini
mencerminkan betapa besarnya peran Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) dalam
melaksanakan kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) di wilayah binaan di
tingkat desa/ kelurahan.(2)
PKB sebagai ujung tombak program sangat strategis perannya dalam melakukan
pembinaan langsung kepada indivudu, keluarga dan masyarakat di tingkat desa/ kelurahan.
Oleh karena itu para PKB perlu dibekali pengetahuan tentang program KKB Nasional dengan
jelas dalam melakukan pembinaan kepada individu, keluarga dan masyarakat di tingkat desa/
kelurahan sehingga dapat melaksanakan tugas dalam memberikan KIE dengan mudah dan
percaya diri.(2)
BAB II1
Program KB Di Indonesia
Masalah kependudukan di Indonesia dewasa ini, sudah merupakan masalah yang
perlu mendapat perhatian dan penggarapan yang serius dari kita, yaitu pemerintah bersama
dengan masyarakat kita semua dan menjadi bahan analisis yang menarik karena berbagai
aspek pembangunan berkaitan dengan masalah kependudukan.(3)
Masalah pokok kependudukan di Indonesia dipengaruhi antara lain:
a) Masalah jumlah penduduk yang besar
b) Masalah pertumbuhan penduduk yang cepat
c) Masalah penyebaran penduduk yang timpang/tidak merata
d) Masalah komposisi umur penduduk
e) Masalah mobilitas penduduk
f) Masalah tingkat kelahiran yang tinggi
g) Karakteristik sosial ekonomi penduduk
Implikasi terhadap pembangunan :
a) Peningkatan kesejahteraan lambat
b) Pemanfaatan sumber alam berlebihan
c) Pinjaman luar negeri meningkat
d) Penanggulangan kemiskinan sulit
e) Masalah ketenaga kerjaan meningkat
f) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah, rangking 108 dari 179 negara
Kebijakan dan perencanaan bidang kependudukan :
Kebijakan dan perencanaan dalam bidang kependudukan yang segmentatif adalah
mutlak sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis (pembangunan berwawasan
kependudukan), yang meliputi antara lain:
a) Pengendalian kuantitas penduduk
b) Peningkatan kualitas penduduk
c) Mobilitas diarahkan sesuai visi BKKBN dan sasaran MDG’s
d) TFR diharapkan konstan pada angka 1,6 - 2,1
e) Komitmen program KKB harus tetap tinggi di berbagai tingkatan wilayah
2
Terdapat tiga komponen dasar kependudukan, yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi.(2)
a) Fertilitas
1. Konsep dan Definisi Fertilitas
a) Fertilitas dan Fekunditas
Fertilitas, adalah kemampuan seorang wanita untuk melahirkan
hidup seorang anak, sedangkan potensi seorang wanita untuk
melahirkan disebut FEKUNDITAS.
Berbeda dengan Fertilitas, dalam fekunditas yang dilihat adalah
potensi untuk melahirkan tanpa melihat apakah wanita tersebut benar-
benar melahirkan seorang anak atau tidak.(2)
b) Jumlah Kelahiran
Yang dimaksud jumlah kelahiran adalah banyaknya kelahiran
hidup yang terjadi pada waktu tertentu di wilayah tertentu.(3)
c) Anak Lahir Hidup (ALH – Children Ever Born)
Kelahiran yang dimasukkan dalam perhitungan adalah anak
yang lahir hidup. Untuk bayi yang lahir hidup sesaat kemudian
meninggal/mati maka seharusnya dimasukkan dalam penghitungan dan
registrasi sebagai kelahiran.
Konsep kelahiran Hidup menurut World Health Organization
(WHO) Didefinisikan sebagai kelahiran bayi, tanpa memperhitungkan
lamanya di dalam kandungan, di mana si bayi menunjukkan tanda-
tanda kehidupan pada saat dilahirkan, misalnya ada nafas (bernafas),
ada denyut jantung, atau denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan otot.(3)
d) Anak Masih Hidup (AMH – Children Still Living)
Yaitu jumlah anak yang masih hidup yang dimiliki seorang
wanita sampai saat wawancara dilakukan.(2)
e) Abortus
Adalah kematian janin dalam kandungan dengan umur
kehamilan kurang dari 28 minggu.
Abortus dapat terjadi disebabkan karena :
Disengaja (induced)
Tidak disengaja (spontaneous)(2)
3
f) Masa Reproduksi (childbearing Age)
Yaitu masa dimana perempuan mampu melahirkan dimulai dari
saat menarche hingga memasuki masa menopause yang disebut juga
usia subur (15 – 49 tahun).(2)
g) Sumber Data Fertilitas
Sumber data fertilitas dapat diperoleh melalui:
Registrasi penduduk
Sensus penduduk
Survei penduduk Antar Sensus ( Supas )
Survei-survei lain yang mempunyai cakupan nasional,
missal Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI). (4)
2. Ukuran-ukuran Fertilitas
Ukuran-ukuran fertilitas dapat dikelompokkan ke dalam istilah:
a) Yearly performance current fertility yang meliputi
(CBR;GFR;ASFR;TFR)(3)
CBR: Crude Birth Rate (Angka Kelahiran Kasar)
Yaitu angka yang menunjukkan jumlah kelahiran pada suatu
periode per 1000 penduduk pada periode yang sama.
GFR: General Fertility Rate (Angka Kelahiram Umum)
Yaitu banyaknya kelahiran pada suatu periode per 1000
penduduk perempuan usia 15-49 tahun atau 15-44 tahun pada
pertengahan periode yang sama.
ASFR: Age Specific Fertility (Angka Fertilitas Umur tertentu)
Yaitu banyaknya kelahiran pada perempuan kelompok umur
tertentu pada suatu periode per 1000 penduduk perempuan pada
kelompok umur yang sama pada pertengahanperiode yang sama.
TFR: Total Fertility Rate ( Angka Fertilitas Total)
Adalah angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak yang
dimilki oleh wanita usia subur, sepanjang siklus kehidupan
reproduksinya.
4
b) REPRODUCTIVE HISTORY (comulative fertility) yang meliputi
(CEB,CWR)
CEB: Children ever born (jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup
(ALH)
Anak Lahir hidup ini mencerminkan banyaknya kelahiran
sekelompok atau beberapa kelompok perempuan selama masa
reproduksinya (disebut juga paritas).
CWR: Child Woman Ratio
Merupakan ratio antara jumlah anak berusia dibawah lima
tahun (0-4 tahun) dengan jumlah penduduk perempuan usia
reproduksi.
c) Ukuran-ukuran Reproduksi
Berkaitan dengan ukuran reproduksi dikenal istilah Angka
Reproduksi. Angka Reproduksi adalah: ukuran yang berkenaan
dengan kemampuan suatu penduduk untuk menggantikan dirinya.
Oleh karenanya yang dihitung adalah bayi perempuan saja.(3)
Yang termasuk ukuran Reproduksi meliputi (GRR dan NRR)
GRR : Gross Reproduction Rate (Angka Reproduksi Kotor)
Yaitu banyaknya perempuan yang dilahirkan oleh suatu kohor
perempuan.
NRR : Nett Reproduction Rate (Angka Reproduksi Bersih)
Yaitu angka memperhitungkan kemungkinan si bayi
perempuan meninggal sebelum masa reproduksinya.(2)
3. Metode-metode Pengukuran Fertilitas
a) Metode Langsung
Metode langsung dapat diperoleh dengan menghitung jumlah
bayi yang lahir dalam suatu periode pengamatan kemudian dibagi
dengan jumlah perempuan yang terpapar kepada peristiwa melahirkan
(woman years lived). Informasi ini diperoleh dari sejarah kelahiran
lengkap (full birth histories) selama periode tertentu dengan
menggunakan data kalender.(3)
Estimasi TFR dengan menggunakan metode langsung di
Indonesia pertamakali dilakukan dengan menggunakan hasil Survei 5
Prevalensi Kontrasepsi Indonesia ( SPI ) 1987, kemudian Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991,1994 dan 1997 serta
hasil Supas 1995 juga dilakukan estimasi TFR dengan menggunakan
metode langsung.(3)
b) Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung diperoleh dengan menggunakan
informasi tentang jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup (Children
ever born) serta jumlah anak masih hidup (surving children).(3)
Estimasi TFR untuk Indonesia dan propinsi-propinsi telah
dilakukan dengan menggunakan metode tidak langsung, yaitu yang
dihitung:
Anak kandung ( own-Children/OC )
Rele
Palmore
Anak lahir hidup yang terlahir (Last Live Birth/ LLB )
Data yang telah digunakan adalah hasil Sensus Penduduk
1971,1980 dan 1990 serta survei Penduduk Antar Sensus (Supas)
1976, 1985 dan 1995.
Khusus untuk metode LLB data yang digunakan adalah hasil
Supas 1985 dan 1995. Estimasi dengan metode yang berbeda
menghasilkan angka yang berbeda karena masing-masing metode
menggunakan asumsi serta penyesuaian yang berbeda.(2)
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas
a) Secara langsung :
Jumlah WUS
Jumlah PUS
Rata-rata usia kawin pertama
Lama status kawin
Keguguran
Abstinensi
Kontrasepsi
b) Secara tidak langsung : sosial, ekonomi, demografi, budaya, dan
lingkungan. (2)
6
b) Mortalitas
1) Definisi Mortalitas
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu komponen demografi selain fertilitas
dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi umur penduduk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kematian sebagai suatu peristiwa
menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat
setelah terjadi kelahiran hidup.
Definisi kematian tersebut harus diketahui, untuk mendapatkan data kematian yang
benar. Kematian hanya bisa terjadi kalau sudah terjadi kelahiran hidup atau keadaan mati
selalu didahului dengan keadaan hidup.
Lahir hidup (live birth) yaitu peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang
ibu secara lengkap tanpa memandang lamanya kehamilan dan setelah perpisahan tersebut
terjadi; hasil konsepsi bernafas dan mempunyai tanda-tanda hidup lainnya, seperti denyut
jantung, denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan otot, tanpa memandang apakah tali pusat
sudah dipotong atau belum.
Lahir mati (fetal death) yaitu peristiwa menghilangnya tanda-tanda kehidupan dari
hasil konsepsi sebelum hasil konsepsi tersebut dikeluarkan dari rahim ibunya.(3)
2) Sumber data kematian
Beberapa sumber data kematian yaitu:
Sensus penduduk
Survei
Sumber-sumber lain seperti: Rumah Sakit, Dinas Pemakaman, Kantor Polisi, dll
3) Indikator Mortalitas
Bermacam-macam Indikator Mortalitas atau Angka kematian yang umum dipakai
adalah:
a) Angka Kematian Kasar (AKK) atau Crude Death rate (CDR)
Angka Kematian Kasar (Crude death Rate) adalah angka yang
menunjukkan berapa besarnya kematian yang terjadi pada suatu tahun
tertentu untuk setiap 1000 penduduk. Angka ini disebut kasar sebab
belum memperhitungkan umur penduduk, penduduk tua mempunyai
7
resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang
masih muda.(3)
b) Angka Kematian Bayi (AKB) / Infant Mortality Rate (IMR)
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi
lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Angka Kematian Bayi
(AKB)/ Infant Mortality Rate adalah banyaknya kematian bayi berusia
dibawah satu tahun, per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu.(4)
c) Angka Kematian Balita (AKBa 0-5 th)
Balita atau bawah lima tahun adalah semua anak termasuk bayi yang
baru lahir, yang berusia 0 sampai menjelang tepat 5 tahun (4 tahun 11
bulan 29 hari). Pada umumnya ditulis dengan notasi 0- 4 tahun. Angka
kematian Balita adalah jumlah kematian anak berusia 0 – 4 tahun selama
satu tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada pertengahan
tahun ini (termasuk kematian bayi).(4)
d) Angka Kematian Anak (AKA 1 - 5 th)
Yang dimaksud dengan anak (1-4 tahun )disini adalah penduduk yang
berusia satu sampai menjelang 5 tahun atau tepatnya 1 sampai dengan 4
tahun 11 bulan 29 hari. (3)
e) Angka Kematian Anak
Adalah jumlah kematian anak berusia 1–4 tahun selama satu tahun per
1000 anak umur yang sama pada pertengahan tahun itu.(4)
f)Angka Kematian Ibu (AKI) / MMR
Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau
kematian dalan kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa
memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian
yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya tetapi bukan
karena sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh, dll. (4)
g) Angka Kematian Ibu (AKI) / (Maternal Mortality Rate)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah kematian ibu melahirkan per
100.000 kelahiran hidup per tahun.(4)
h) Angka Harapan Hidup ( UHH ) atau Life Expectancy
Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial
ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan
8
hidup penduduk suatu negara. Meningkatnya perawatan kesehatan
melalui puskemas, meningkatnya daya beli masyarakat akan
meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, mampu memenuhi
kebutuhan gizi dan kalori, mampu mempunya pendidikan yang lebih
baik sehingga memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang
memadai, yang pada gilirannya akan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidupnya.
i) Angka Harapan Hidup Pada suatu umur x
Adalah Rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang
yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu, dalam
situasi mortalitas yang berlaku dilingkungan masyarakatnya. Angka
harapan hidup saat lahir adalah; rata-rata tahun hidup yang akan dijalani
oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu.(4)
c) Migrasi
Migrasi merupakan salah satu dari tiga komponen dasar dalam Demografi. Komponen ini
bersama dengan komponen lainnya, kelahiran dan kematian mempengaruhi dinamika
kependudukan di suatu wilayah seperti pertumbuhan, juml;ah, komposisi, dan distribusi
keruangan. Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan tertama terkait dengan
kepadatan penduduk yang tidak merata, adanya faktor-faktor pendorong dan penarik bagi
penduduk untuk melakukan migrasi, kelancaran sarana transportasi antar wilayah dan
pembangunan.(4)
1) Definisi Migrasi
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat
ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/ Negara
(migrasi internasional).(3)
2) Jenis-jenis Migrasi
Ditinjau dari dimensi ruang atau / daerah, secara garis besar migrasi dibedakan atas :
a) Perpindahan antar Negara, yaitu perpindahan penduduk dari suatu
Negara ke Negara lain atau yang disebut sebagai Migrasi International.
b) Perpindahan yang terjadi dalam suatu Negara. Misalnya antar
propinsi, antar kota / kabupaten, migrasi pedesaan ke perkotaan atau
suatu administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat
9
kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan dan seterusnya. Jenis Migrasi
Internal.(3)
BAB III
KIE dan Konseling KB
III.1. KIE KB
10
1) Pengertian KIE
KIE merupakan gabungan dari tiga konsep yaitu Komunikasi, Informasi dan Edukasi.
Pengertian ketiga konsep tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. BKKBN (2010a)
mendefinisikan Komunikasi sebagai suatu proses penyampaian isi pesan dari seseorang
kepada pihak lain untuk mendapatkan tanggapan, Informasi sebagai data dan fakta untuk
diketahui dan dimanfaatkan oleh siapa saja, sementara Edukasi didefinisikan sebagai sesuatu
kegiatan yang mendorong terjadinya perubahan (pengetahuan, sikap, perilaku dan
keterampilan) seseorang, kelompok dan masyarakat.(5)
KIE adalah suatu kegiatan dimana terjadi proses komunikasi dan edukasi dengan
penyebaran informasi. Dalam kaitannya dengan program KKB Nasional, Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) adalah kegiatan penyampaian informasi untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam program
Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN, 2011).
KIE dapat dilaksanakan dengan baik dengan memperhatikan Media/ Saluran yang
digunakan, dimana Media/Saluran merupakan suatu alat bantu/wadah yang digunakan untuk
menyampaikan informasi/pesan kepada khalayak. Selain itu dalam penyampaian KIE juga
harus memahami materi KIE yang akan disampaikan. Materi KIE adalah keseluruhan bahan
pendukung yang dihasilkan/ diproduksi untuk dipergunakan sebagai alat bantu penyampaian
pesan KIE Program KB Nasional kepada sasaran/khalayak, baik berupa bahan cetakan,
elektronik, fotografi maupun alat peraga yang siap dikomunikasikan. Adapun Isi pesan KIE
itu sendiri merupakan informasi program KB Nasional yang perlu diketahui oleh keluarga
dan masyarakat.(6)
2) Tujuan KIE KB
Tujuan KIE adalah mengubah sikap mental, kepercayaan nilai-nilai dan perilaku individu
serta kelompok masyarakat (BKKBN, 2011). Ditambahkan dalam Soleh (2011), dalam
kaitannya dengan program KB, tujuan dilaksanakannya Program KIE adalah:
Meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek KB sehingga tercapai penambahan
peserta baru.
Membina kelestarian peserta KB.
Meletakkan dasar bagi mekanisme sosio-kultural yang dapat menjamin
berlangsungnya proses penerimaan.
Mendorong terjadinya proses perubahan perilaku ke arah yang positif,
peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat (klien) secara wajar 11
sehingga masyarakat melaksanakannya secara mantap sebagai perilaku yang sehat
dan bertanggung jawab.(5)
Sementara BKKBN (2010) merangkum bahwa tujuan KIE program KKB untuk
mempercepat pencapaian suatu perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku individu,
keluarga dan masyarakat tentang kependudukan dan KB yang dapat dilakukan melalui
berbagai saluran komunikasi.(5)
3) Komponen KIE KB
Dalam mempelajari KIE, maka kita harus mengetahui pula komponen dari KIE, yaitu:
Pemberi KIE (Penyuluh KB, Toma, Toga, atau Kader)
Penerima KIE (Individu, Keluarga, Masyarakat)
Isi KIE
Cara/ Metode menyampaikan KIE
Media penyampaian KIE
Hasil KIE(6)
4) Kebijakan dan strategi KIE KB
Kebijakan
Mendayagunakan berbagai kekuatan pengelola dan pelaksana Program KKB
Nasional
Menjamin kesinambungan keberhasilan Program KB Nasional secara bertahap; isi
pesan KIE KKB harus disusun dengan memperhatikan hasil-hasil yang telah
dicapai pada masa lalu dengan pendekatan edukatif.
Mengemas isi pesan KIE KKB sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
penerima pesan (klien, akseptor)
Melaksanakan KIE KKB sebagai bagian dari sistem operasional program KKB.
Artinya perancangan dan pelaksanaan KIE KKB perlu senantiasa memperhatikan
perkembangan sistem operasional Program KKB Nasional secara menyeluruh
agar dapat secara luwes melakukan penyesuaian untuk mencapai hasil yang
optimal.
Strategi
Penerapan kebijakan diatas dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan akan dilakukan
dengan mengacu pada strategi berikut :12
Mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja
Menggalang dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang memiliki komitmen
kepada program KKB Nasional
Menerapkan pendekatan fasilitatif, artinya dalam mengembangkan kemitraan dan
jejaring kerja , ataupun dalam pengembangan forum-forum KIE KKB akan
diutamanakan pendekatan fasilitatif melalui penyediaan dukungan dan
kemudahan.
Pemecahan masalah yang komprehensif, artinya KIE KKB hendaknya berupaya
memecahkan masalah yang dihadapi oleh publik secara komprehensif;
Pemanfaatan multimedia dan multi saluran; isi pesan KIE KKB akan disampaikan
melalui bauran berbagai media dan saluranyang tersedia.(6)
5) Langkah-langkah KIE KB
PKB dalam melaksanakan KIE haruslah mengetahui langkah-langkah teknis KIE agar
tujuan dari KIE tercapai secara efektif dan efisien. Adapun langkah-langkahnya sebagai
berikut:
1) Persiapan
o Menetapkan permasalahan
Permasalah di wilayah binaan didapatkan dari data basis (hasil pendataan keluarga),
kondisi wilayah geografi, topografi, sosial budaya serta hasil pelaksanaan program KB.
Contohnya: Desa Sidomulyo merupakan daerah pegunungan. Peserta KB aktif pada Desa
Sidomulyo adalah 47% dan alat kontrasepsi yang paling diminati adalah pil. Penduduknya
sebagian bekerja sebagai petani. Puskesmas letaknya jauh di Kecamatan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa permasalahannya adalah kesertaan ber-KB masih rendah dan kontrasepsi
yang diminati adalah pil.
o Menentukan bahan/ materi KIE sesuai dengam masalah/ isu
Bahan/ materi yang disiapkan disesuaikan dengan permasalahan/isu yang telah
ditentukan.
o Mengetahui sasaran yang akan diberi KIE
PKB harus mengetahui kondisi sasaran yang akan dihadapi dalam pelayanan KIE
KKB. Beberapa hal yang perlu diketahui antara lain adalah jenis pekerjaan, latar belakang
pendidikan, rata-rata jumlah anak yang dipunyai pada tiap keluarga.13
o Menetapkan tujuan KIE yang akan dicapai
Sangatlah diperhatikan apa yang sebenarnya ingin dicapai dalam pelayanan KIE. Hal
ini harus disepakati dengan Pemerintah/ pihak Kelurahan, Toma dan Toga sehingga PKB
dapat mengetahui secara jelas tujuan pelayanan KIE sesuai dengan kondisi wilayah binaan.
o Menentukan tempat KIE
Pertimbangan pemilihan tempat adalah salah satu kunci sukses kegiatan KIE KKB.
Bisa di Balai Kelurahan, bisa juga di Balai RW, bisa dilakukan dari rumah ke rumah
(kunjungan rumah) sesuai dengan kondisi alam dan letak rumah penduduk.
o Menentukan Waktu KIE
Menentukan waktu pelayanan KIE KKB juga harus memperhatikan pekerjaan
masyarakat.
o Menentukan metode KIE
PKB harus memperhatikan kehidupan sosial budaya dan agama di wilayah binaannya.
Bisa dengan menyampaikan KIE dengan metode ceramah tanya jawab, dengan
memperagakan atau dengan cara diskusi.
o Menentukan media KIE
Penentuan media KIE yang digunakan hendaknya yang sesuai dengan latar belakang
masyarakat. Bisa dengan cara memberikan KIE sebelum dan ditengah-tengah pemutaran
film. Media KIE dapat juga digunakan KIE Kit.
o Menyiapkan diri (percaya diri, penampilan, penguasaan materi, kualitas suara,
penggunaan bahasa dan memperhatikan adat budaya setempat).(6)
2) Pelaksanaan
a) Mengucapkan salam pembuka
b) Memperkenalkan diri
c) Menyampaikan isi pesan dengan baik
d) Mengunakan media KIE yang sesuai
e) Menggunakan metoda yang sudah ditentukan termasuk tanya jawab
f) Menyampaikan kesimpulan.(5,6)
3) Evaluasi
14
a) Mengetahui keadaan (pengetahuan, sikap dan perilaku) sebelum mendapatkan KIE
b) Memperhatikan respon sasaran pada saat diberikan KIE
c) Mengetahui perubahan (pengetahuan, sikap dan perilaku) sesudah diberi KIE. (Bisa
melalui kunjungan rumah atau hasil kesertaan ber KB atau pelaksaan KIE
berikutnya).(6)
III.2. Konseling KB
1) Pengertian Konseling KB
Konseling merupakan proses pemberian bantuan dari konselor kepada klien agar klien
dapat memahami masalahnya dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah.(7)
2) Tujuan Konseling KB
Membangun kemampuan untuk mengambil keputusan bijak dan realistik.
Menuntun perilaku mereka dan mampu mengemban konsekuensinya.
Memberikan informasi. (7)
3) Teknik-teknik Konseling KB
a) Perilaku Attending : membuka diri
Contoh :
Kepala, Ekspresi wajah (tenang, ceria, senyum), Posisi tubuh, Tangan (variasi gerakan
tangan/lengan spontan berubah-ubah)
b) Refleksi
Contoh : Refleksi perasaan, Contoh : ”Tampaknya Anda sangat menyesal dengan
itu ….”
Refleksi pikiran, Contoh : ”Tampaknya yang Anda katakan…”
Refleksi pengalaman, Contoh : ”saya pernah mendapatkan informasi juga
mengenai hal ini, sehingga ........”
c) Empati :
Kemampuan merasakan apa yang sedang klien rasakan. Empati membantu konselor
untuk tidak melakukan stigma dan diskriminasi.
d) Menangkap Pesan (Paraphrasing) :
teknik untuk menyatakan kembali esensi atau inti ungkapan klien.
e) Pertanyaan Terbuka (Opened Question) :15
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban sebanyak-banyak nya.
f) Pertanyaan Tertutup (Closed Question)
Pertanyaan yang membutuhkan jawaban singkat dan pasti. Seperti: “iya”, “tidak”,
“setuju” dan “tidak setuju”
g) Eksplorasi
teknik untuk menggali permasalahan yang dialami klien
h) Dorongan minimal (Minimal Encouragement) :
teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang
telah dikemukakan klien
i) Menyimpulkan Sementara (Summarizing) :
Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan
semakin jelas.(7)
4) Tahapan Konseling KB
“basa-basi” (rapport)
“gimana kabarnya, sehat ?”
“ oya, perkenalkan nama saya…”
“naik apa kesini….sendirian saja?”
Penggalian masalah / pengumpulan data
“selain yang tadi, apa lagi yang membuat kamu sedih..”
“diantara semua yang kamu ceritakan, mana yang paling membuat
kamu tertekan..”
Memilih solusi terbaik untuk klien
“dari semua yang sudah kita diskusikan, mana yang menurut kamu paling mungkin
untuk dilakukan?”’
Mendiskusikan alternatif solusi
“kalau (yang ini) konsekuensinya adalah…. Kalau (yang tadi) begini....”
Penutup
“oke, kamu coba dulu keputusan kamu…minggu depan kita lihat perkembangannya,
kalau ada yang perlu didiskusikan lagi saya siap bantu kok…”
“ semoga sukses ya, saya yakin kamu bisa..” (7)
16
BAB IV
Pengaruh KIE dan Konseling KB Terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
1) Pola, Perbedaan dan Determinan Pengetahuan Alat/Cara KB
Pengetahuan alat/cara KB di kalangan perempuan kawin usia 15-24 tahun hampir
universal: 98,6 mengetahui paling sedikit satu (1) alat/cara KB. Akan tetapi, persentase
perempuan kawin usia 15-24 tahun yang mengetahui alat/cara KB berbeda menurut umur,
jumlah anak masih hidup, lama kawin, wilayah tempat tinggal, pendidikan, indeks kekayaan
dan status peran perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Persentase
perempuan kawin usia 15-24 tahun yang mengetahui alat/cara KB lebih rendah pada yang
berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah menikah enam (6) tahun
17
atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga
miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Hal ini menunjukkan
akses yang lebih rendah terhadap informasi tentang alat/cara KB di kalangan kelompok
perempuan ini.(8)
Hasil analisis determinan pengetahuan alat/cara KB menunjukkan bahwa pendidikan,
indeks kekayaan dan status peran dalam pengambilan keputusan rumah tangga mempunyai
pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap peluang mengetahui alat/cara KB.
Setelah dikontrol terhadap pengaruh faktor-faktor lain, umur, jumlah anak masih
hidup, lama menikah dan wilayah tempat tinggal tidak mempengaruhi probabilitas
mengetahui suatu alat/cara KB. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pengetahuan alat/cara KB
hampir universal maka status sosial dan ekonomi serta otonomi istri lebih berperan dalam
menentukan pengetahuan alat/cara KB di kalangan istri PUS muda. Pendidikan istri
berpengaruh positif terhadap probabilitas mengetahui alat/cara KB. Istri PUS muda yang
berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD 0,101 kali kurang cenderung untuk
mengetahui alat/cara KB dibandingkan istri PUS muda yang berpendidikan tamat SMA atau
perguruan tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas mengetahui
alat/cara KB antara istri PUS muda berpendidikan tamat SD atau tamat SMP dengan istri
PUS muda berpendidikan tamat SMA atau perguruan tinggi. Hasil ini menunjukkan
pentingnya pendidikan formal dalam mengakses pengetahuan tentang alat/cara KB melalui
keterpaparan yang lebih luas terhadap berbagai informasi termasuk informasi tentang
alat/cara KB. Istri PUS muda dari rumah tangga dengan indeks kekayaan pada kuintil 1
(miskin) 0,12 kali kurang cenderung untuk mengetahui alat/cara KB dibandingkan istri PUS
muda dari rumah tangga kaya. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas
mengetahui alat/cara KB antara istri PUS muda dari rumah tangga dengan kekayaan sedang
(kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri PUS muda dari rumah tangga kaya (kuintil 4 dan kuintil 5).
Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan rumah tangga merupakan salah satu faktor penting
akses terhadap pengetahuan alat/cara KB melalui berbagai sumber daya rumah tangga, seperti
kepemilikan kendaraan bermotor, televisi dan radio, yang meningkatkan peluang akses
terhadap berbagai informasi dan fasilitas kesehatan yang lebih baik yang mencakup informasi
dan pelayanan KB.(9)
Status peran istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh
yang positif terhadap pengetahuan alat/cara KB. Probabilitas mengetahui alat/cara KB di
kalangan istri PUS muda yang turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga paling
18
sedikit terhadap satu keputusan adalah 3,06 kali lebih besar dibandingkan dengan probabilitas
mengetahui alat/cara KB di kalangan istri PUS muda yang tidak berperan dalam pengambilan
keputusan rumah tangga. Hasil ini mengindikasikan bahwa perempuan yang ”berdaya”
memiliki akses yang lebih baik terhadap berbagai informasi termasuk informasi alat/cara KB.
Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang mengetahui alat/cara KB lebih
rendah pada PUS muda yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, yang
berasal dari keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan
rumah tangga.(8)
2) Pola, Perbedaan dan Determinan Pengetahuan Sumber Informasi KB
Pengetahuan sumber informasi KB di kalangan perempuan kawin usia 15-24 tahun juga
hampir universal: 95,3% mengetahui paling sedikit satu (1) sumber informasi KB. Akan
tetapi, persentase perempuan yang mengetahui sumber informasi KB berbeda menurut umur,
jumlah anak masih hidup, lama kawin, wilayah tempat tinggal, pendidikan, indeks kekayaan
dan status peran perempuan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Persentase istri
PUS muda yang mengetahui sumber informasi KB lebih rendah pada yang berusia 15-19
tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah menikah enam (5) tahun atau kurang,
tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan
tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga.(8)
Hasil analisis determinan pengetahuan sumber informasi KB menunjukkan bahwa
umur, jumlah anak masih hidup, lama kawin, wilayah tempat tinggal, pendidikan, indeks
kekayaan dan peran dalam pengambilan keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang
signifikan secara statistik terhadap peluang mengetahui sumber informasi KB.
Perempuan kawin usia 15-19 tahun 0,7 kali kurang cenderung untuk mengetahui
sumber informasi KB dibandingkan perempuan kawin usia 20-24 tahun. Hal ini mungkin
disebabkan karena pasangan usia subur (PUS) muda yang istrinya berusia 20-24 tahun lebih
terpapar pada pengalaman kesehatan reproduksi, seperti hamil, melahirkan dan memakai
alat/cara KB, dibandingkan perempuan kawin berusia 15-19 tahun. Semakin banyak jumlah
anak masih hidup, semakin besar probabilitas mengetahui sumber informasi KB. Peningkatan
jumlah anak masih hidup satu orang akan meningkatkan peluang mengetahui sumber
informasi KB sebesar 1,62 kali. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan, dimana perempuan
kawin usia 15- 24 tahun yang lebih banyak anak masih hidupnya lebih cenderung mengalami
peristiwa-peristiwa reproduksi dan selanjutnya lebih terpapar pada sumber informasi KB.(9)
19
Di kalangan PUS muda yang istrinya berusia 15-24 tahun lama menikah mempunyai
pengaruh yang positif terhadap pengetahuan sumber informasi KB. Peningkatan lama
menikah sebesar satu tahun akan meningkatkan peluang mengetahui sumber informasi KB
sebesar 1,14 kali. Probabilitas mengetahui sumber informasi KB 2,28 kali lebih tinggi di
kalangan istri PUS muda perkotaan dibandingkan di kalangan istri PUS muda pedesaan. Hal
ini dapat disebabkan karena fasilitas-fasilitas pembangunan termasuk fasilitas-fasilitas
kesehatan modern yang meliputi sumber informasi KB lebih tersedia di perkotaan daripada di
pedesaan. Pendidikan istri berpengaruh positif terhadap probabilitas mengetahui sumber
informasi KB. Istri PUS muda yang berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD 0,24
kali kurang cenderung untuk mengetahui sumber informasi KB dibandingkan istri PUS muda
yang berpendidikan tamat SMA atau perguruan tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata
dalam hal probabilitas mengetahui sumber informasi KB antara istri PUS muda
berpendidikan tamat SD atau tamat SMP dengan istri PUS muda berpendidikan tamat SMA
atau perguruan tinggi. Hasil ini menunjukkan pentingnya peran pendidikan formal dalam
meningkatkan akses terhadap sumber informasi KB, seperti melalui penataran-penataran
kesehatan reproduksi bagi remaja sekolah. Istri PUS muda dari rumah tangga dengan indeks
kekayaan pada kuintil 1 (miskin) 0,33 kali kurang cenderung untuk mengetahui sumber
informasi KB dibandingkan istri PUS muda dari rumah tangga kaya. Tidak ada perbedaan
yang nyata dalam hal probabilitas mengetahui sumber informasi KB antara istri dari rumah
tangga dengan kekayaan sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri dari rumah tangga kaya
(kuintil 4 dan kuintil 5). Hal ini dapat dipahami karena istri PUS muda dari rumah tangga
yang lebih kaya pada umumnya mempunyai akses yang lebih baik terhadap berbagai
informasi, termasuk informasi alat/cara KB. Status peran istri dalam pengambilan keputusan
rumah tangga mempunyai pengaruh yang positif terhadap pengetahuan sumber informasi KB.
Probabilitas mengetahui sumber informasi KB di kalangan istri PUS muda yang turut dalam
pengambilan keputusan rumah tangga paling sedikit terhadap satu keputusan adalah 1,84 kali
lebih besar dibandingkan dengan probabilitas mengetahui sumber informasi KB di kalangan
istri PUS muda yang tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Hasil ini
menunjukkan bahwa istri yang berdaya lebih cenderung untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan untuk kesejahteraannya termasuk informasi alat/cara KB untuk kesejahteraan
reproduksinya.
Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang mengetahui sumber
informasi KB lebih rendah pada PUS muda yang istrinya berusia 15-19 tahun, yang jumlah
20
anak masih hidupnya lebih sedikit, yang lama kawinnya lebih pendek, yang tinggal di
pedesaan, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, yang berasal dari
keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga.(8)
3) Pola, Perbedaan dan Determinan Sikap Suami terhadap KB
Sikap terhadap KB di kalangan suami dari perempuan kawin usia 15-24 tahun sangat
positif. 93,5% dari perempuan kawin usia 15-24 tahun menyatakan bahwa suami mereka
setuju KB. Akan tetapi, persentase perempuan kawin usia 15-24 tahun yang suaminya setuju
KB berbeda menurut umur, jumlah anak masih hidup, lama kawin, wilayah tempat tinggal,
pendidikan, indeks kekayaan dan status peran perempuan dalam pengambilan keputusan
rumah tangga. Persentase perempuan kawin usia 15-24 tahun yang menyatakan bahwa suami
mereka setuju KB lebih rendah pada yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga
(3) atau lebih, telah menikah enam (6) tahun atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan,
berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam
pengambilan keputusan rumah tangga.(9)
Hasil analisis determinan sikap suami terhadap KB menunjukkan bahwa umur, jumlah
anak masih hidup, lama kawin, pendidikan, indeks kekayaan dan peran dalam pengambilan
keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
peluang suami setuju KB.(8)
Perempuan usia 15-19 tahun 0,57 kali kurang cenderung untuk menyatakan bahwa suami
mereka setuju KB dibandingkan perempuan usia 20-24 tahun. Hal ini mungkin disebabkan
karena pasangan usia subur (PUS) muda yang istrinya berusia 15-19 tahun beranggapan
bahwa usia istri masih muda sehingga suami belum menyetujui KB. Atau, terdapat
kemungkinan PUS muda yang istrinya berusia 15-19 tahun belum mendapat informasi
tentang manfaat KB bagi kesehatan istri dan anak sehingga para suami kurang cenderung
untuk menyetujui KB. Semakin banyak jumlah anak masih hidup, semakin besar probabilitas
suami menyetujui KB. Peningkatan jumlah anak masih hidup satu orang akan meningkatkan
peluang suami setuju KB sebesar 1,34 kali. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan, yang
menunjukkan adanya kesadaran yang lebih tinggi untuk membatasi kelahiran di kalangan
PUS muda dengan jumlah anak masih hidup lebih banyak, yang diwujudkan dalam sikap
yang mendukung KB. Di kalangan PUS muda yang istrinya berusia 15-24 tahun lama
menikah mempunyai pengaruh yang negatif terhadap apakah suami setuju KB atau tidak.
Peningkatan lama menikah sebesar satu tahun akan mengurangi peluang suami setuju KB
21
sebesar 0,92 kali. Hal ini mungkin disebabkan karena pemahaman yang kurang tepat tentang
tujuan KB di kalangan PUS muda yang telah menikah lebih lama atau mungkin mereka
masih ingin memiliki anak lagi. Setelah dikontrol terhadap pengaruh faktor-faktor lain,
wilayah tempat tinggal tidak mempengaruhi apakah suami setuju KB atau tidak. Hal ini
mungkin disebabkan karena sifat program KB di Indonesia yang berorientasi pedesaan
sehingga para suami PUS di pedesaan dapat ”mengejar” sikap KB PUS perkotaan dalam hal
penerimaan ide KB. Pendidikan istri berpengaruh positif terhadap probabilitas suami setuju
KB. Istri PUS muda yang berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD 0,46 kali kurang
cenderung untuk menyatakan bahwa suami mereka setuju KB dibandingkan istri PUS muda
yang berpendidikan tamat SMA atau perguruan tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata
dalam hal probabilitas suami setuju KB antara istri PUS muda berpendidikan tamat SD atau
tamat SMP dengan istri PUS muda berpendidikan tamat SMA atau perguruan tinggi. Hasil ini
menegaskan pentingnya peran pendidikan formal istri dalam mendorong suami untuk setuju
KB mungkin dalam bentuk rasionalisasi serta determinasi dukungan terhadap suatu sikap
termasuk penerimaan ide KB. Istri PUS muda dari rumah tangga dengan indeks kekayaan
pada kuintil 1 (miskin) 0,63 kali kurang cenderung untuk menyatakan bahwa suami mereka
setuju KB dibandingkan istri PUS muda dari rumah tangga kaya. Tidak ada perbedaan yang
nyata dalam hal probabilitas suami setuju KB antara istri PUS muda dari rumah tangga
dengan kekayaan sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri PUS muda dari rumah tangga kaya
(kuintil 4 dan kuintil 5). Hal ini mungkin disebabkan karena PUS dari keluarga miskin
memiliki akses yang lebih rendah terhadap informasi dan pelayanan KB serta pemahaman
yang lebih rendah tentang KB sehingga penerimaan KB suami mereka lebih rendah. Status
peran istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang positif
terhadap apakah suami setuju KB atau tidak. Probabilitas suami setuju KB di kalangan istri
PUS muda yang turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga paling sedikit terhadap
satu keputusan adalah 1,87 kali lebih besar dibandingkan dengan probabilitas suami setuju
KB di kalangan istri PUS muda yang tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah
tangga. Hasil ini mengindikasikan perempuan yang ”berdaya” lebih mampu merundingkan
dengan suami tentang kesehatan reproduksinya yang mendorong suaminya untuk setuju KB.
Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang suami tidak setuju KB lebih tinggi
pada PUS muda yang istrinya berusia 15-19 tahun, yang jumlah anak masih hidupnya lebih
sedikit, yang lama kawinnya lebih panjang, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau
22
tidak tamat SD, yang berasal dari keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam
pengambilan keputusan rumah tangga.(8,9)
4) Pola, Perbedaan dan Determinan Diskusi KB dengan Suami
Diskusi KB antara suami dan istri merupakan salah satu faktor yang dapat menciptakan
penerimaan ide KB di kalangan PUS. Hal ini terutama semakin penting jika diskusi KB
antara suami dan istri dilakukan pada awal kehidupan berumah tangga sehingga kehamilan
dan kelahiran yang tidak direncanakan dapat dicegah. Akan tetapi, di kalangan perempuan
kawin usia 15-24 tahun 64% menyatakan pernah berdiskusi tentang KB dengan suami. Hal
ini berarti terdapat 36% perempuan kawin usia 15-24 tahun yang tidak pernah berdiskusi
tentang KB dengan suami. Persentase perempuan yang tidak pernah berdiskusi tentang KB
dengan suami lebih tinggi pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak
tiga (3) atau lebih, telah menikah lima (5) tahun atau kurang, tinggal di wilayah pedesaan,
berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam
pengambilan keputusan rumah tangga.
Hasil analisis determinan diskusi KB dengan suami menunjukkan bahwa jumlah anak
masih hidup, wilayah tempat tinggal, pendidikan dan indeks kekayaan mempunyai pengaruh
yang signifikan secara statistik terhadap peluang diskusi KB dengan suami.
Semakin banyak jumlah anak masih hidup, semakin besar probabilitas diskusi KB dengan
suami. Peningkatan jumlah anak masih hidup satu orang akan meningkatkan peluang diskusi
KB dengan suami sebesar 1,47 kali. Hal ini mungkin disebabkan karena PUS yang
mempunyai anak lebih banyak lebih sadar akan perlunya membatasi kelahiran. PUS muda
yang istrinya berusia 15-24 tahun yang tinggal di perkotaan 0,82 kali kurang cenderung
berdiskusi KB dengan suami dibandingkan dengan PUS muda di pedesaan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh sifat dari program KB di Indonesia yang lebih berorientasi ke daerah
pedesaan sehingga PUS muda di pedesaan dibandingkan dengan PUS di perkotaan lebih
terpapar terhadap pembicaraan tentang KB, seperti melalui Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu), yang lebih gencar dan teratur pelaksanaannya di wilayah pedesaan. Pendidikan
istri berpengaruh positif terhadap probabilitas diskusi KB dengan suami. Istri PUS muda
yang berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD 0,38 kali kurang cenderung untuk
berdiskusi KB dengan suami dibandingkan istri PUS muda yang berpendidikan tamat SMA
atau perguruan tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas duiskusi KB
dengan suami KB antara istri PUS muda berpendidikan tamat SD atau tamat SMP dengan
23
istri PUS muda berpendidikan tamat SMA atau perguruan tinggi. Hasil ini menunjukkan
pentingnya peran pendidikan dalam menumbuhkan perilaku berdiskus antaran suami dan
istri, termasuk diskusi tentang KB. Istri PUS muda dari rumah tangga dengan indeks
kekayaan pada kuintil 1 (miskin) 0,71 kali kurang cenderung untuk berdiskusi KB dengan
suami dibandingkan istri PUS muda dari rumah tangga kaya. Tidak ada perbedaan yang nyata
dalam hal probabilitas berdiskusi KB dengan suami antara istri PUS muda dari rumah tangga
dengan kekayaan sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri PUS muda dari rumah tangga kaya
(kuintil 4 dan kuintil 5). Hal ini menunjukkan peran kekayaan rumah tangga dalam
menciptakan kebiasaan diskusi termasuk diskusi KB antara suami dan istri melalui berbagai
sumber daya rumah tangga yang meningkatkan keterpaparan terhadap perilaku-perilaku
modern, seperti keterbukaan dan komunikasi yang sehat antara suami dan istri melalui
diskusi. Setelah dikontrol terhadap pengaruh faktor-faktor lain, umur, lama kawin dan status
peran istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga tidak mempengaruhi probabilitas
pernah diskusi KB dengan suami.(9,10)
Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang pernah diskusi KB dengan
suami lebih rendah pada PUS muda yang jumlah anak masih hidupnya lebih sedikit, yang
tinggal di perkotaan, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD dan yang
berasal dari keluarga miskin.(8)
5) Pola, Perbedaan dan Determinan Pemakaian Alat/cara KB
Persentase yang tinggi dari PUS muda yang mengetahui alat/cara dan sumber informasi
KB dan yang suaminya setuju KB belum tentu diikuti dengan persentase yang tinggi dari
PUS muda yang sedang berKB. 59,0% dari PUS muda yang istrinya berusia 15-24 tahun
sedang memakai suatu alat/cara KB. Akan tetapi, persentase perempuan yang sedang
memakai suatu alat/cara KB berbeda menurut umur, jumlah anak masih hidup, lama kawin,
wilayah tempat tinggal, pendidikan, indeks kekayaan dan status peran perempuan dalam
pengambilan keputusan rumah tangga. Persentase perempuan kawin usia 15-24 tahun yang
sedang memakai suatu alat/cara KB lebih rendah pada yang berusia 15-19 tahun, yang
mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah menikah lima (5) tahun atau kurang, tinggal di
wilayah perkotaan, berpendidikan tinggi berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan
dalam pengambilan keputusan rumah tangga.(8)
Hasil analisis determinan pemakaian alat/cara KB menunjukkan bahwa jumlah anak
masih hidup, lama kawin, pendidikan, indeks kekayaan dan peran dalam pengambilan
24
keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
peluang sedang memakai alat/cara KB.(9)
Semakin banyak jumlah anak masih hidup, semakin besar probabilitas sedang memakai
alat/cara KB. Peningkatan jumlah anak masih hidup satu orang akan meningkatkan peluang
sedang memakai alat/cara KB sebesar 4,57 kali. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan, yang
menunjukkan adanya kesadaran yang lebih tinggi untuk membatasi kelahiran di kalangan
PUS muda yang mempunyai anak lebih banyak. Tidak seperti yang diharapkan, PUS muda
yang tinggal di perkotaan 0,85 kali kurang cenderung untuk praktek KB dibandingkan
dengan PUS muda di pedesaan. Program KB di Indonesia yang berorientasi pedesaan
mungkin merupakan penyebab fenomena ini. Akses dan keterpaparan terhadap informasi dan
perilaku berKB yang digalakkan melalui Posyandu ataupun kegiatan-kegiatan masyarakat di
pedesaan telah meningkatkan pemakaian alat/cara KB di wilayah pedesaan. Pendidikan istri
berpengaruh positif terhadap probabilitas sedang memakai alat/cara KB. Istri PUS muda yang
berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD 0,69 kali kurang cenderung untuk memakai
alat/cara KB dibandingkan istri PUS muda yang berpendidikan tamat SMA atau perguruan
tinggi. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas sedang memakai alat/cara KB
antara istri PUS muda berpendidikan tamat SD atau tamat SMP dengan istri PUS muda
berpendidikan tamat SMA atau perguruan tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa perempuan
yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi dan
pelayanan KB sehingga lebih cenderung untuk memakai alat/cara KB. Istri PUS muda dari
rumah tangga dengan indeks kekayaan pada kuintil 1 (miskin) 0,63 kali kurang cenderung
untuk sedang memakai alat/cara KB dibandingkan istri PUS muda dari rumah tangga kaya.
Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas sedang memakai alat/cara KB antara
istri PUS muda dari rumah tangga dengan kekayaan sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri
PUS muda dari rumah tangga kaya (kuintil 4 dan kuintil 5). Hal ini menunjukkan peran
kekayaan rumah tangga dalam hal akses terhadap akses yang lebih baik terhadap informasi
dan pelayanan KB yang mendorong pemakaian alat/cara KB. Status peran istri dalam
pengambilan keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang positif terhadap status
pemakaian alat/cara KB. Probabilitas sedang memakai alat/cara KB di kalangan istri yang
turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga paling sedikit terhadap satu keputusan
adalah 1,34 kali lebih besar dibandingkan dengan probabilitas sedang memakai alat/cara KB
di kalangan istri yang tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Hasil ini
mengindikasikan bahwa perempuan yang ”berdaya” memiliki kemampuan negosiasi yang
25
lebih tinggi dalam menentukan perilaku kesehatan reproduksinya termasuk pembatasan dan
penjarangan kelahiran melalui pemakaian alat/cara KB.(9,10)
Setelah dikontrol terhadap pengaruh faktor-faktor lain, umur dan tempat tinggal tidak
mempengaruhi apakah PUS muda memakai alat/cara KB atau tidak. Hal ini sekali lagi
mungkin disebabkan karena sifat dari program KB di Indonesia yang berorientasi pedesaan
dan mentargetkan PUS muda untuk program penundaan kelahiran sampai pada usia yang
aman melahirkan (20 tahun atau lebih). Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa
peluang sedang memakai alat/cara KB lebih rendah pada PUS muda yang istrinya yang
jumlah anak masih hidupnya lebih sedikit, yang lama kawinnya lebih pendek, yang istrinya
berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, yang berasal dari keluarga miskin dan yang
istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga.(9)
6) Pola, Perbedaan dan Determinan Pemenuhan Kebutuhan BerKB
Pemenuhan kebutuhan berKB merupakan salah satu faktor penting pengendalian tingkat
kelahiran. Selain itu, indikator ini merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur
keberhasilan program dalam tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa perempuan yang
berpendidikan lebih tinggi mempunyai akses yang lebih baik terhadap informasi dan
pelayanan KB sehingga lebih cenderung untuk memakai alat/cara KB. Istri PUS muda dari
rumah tangga dengan indeks kekayaan pada kuintil 1 (miskin) 0,63 kali kurang cenderung
untuk sedang memakai alat/cara KB dibandingkan istri PUS muda dari rumah tangga kaya.
Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas sedang memakai alat/cara KB antara
istri PUS muda dari rumah tangga dengan kekayaan sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri
PUS muda dari rumah tangga kaya (kuintil 4 dan kuintil 5). Hal ini menunjukkan peran
kekayaan rumah tangga dalam hal akses terhadap akses yang lebih baik terhadap informasi
dan pelayanan KB yang mendorong pemakaian alat/cara KB.(8)
Status peran istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang
positif terhadap status pemakaian alat/cara KB. Probabilitas sedang memakai alat/cara KB di
kalangan istri yang turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga paling sedikit terhadap
satu keputusan adalah 1,34 kali lebih besar dibandingkan dengan probabilitas sedang
memakai alat/cara KB di kalangan istri yang tidak berperan dalam pengambilan keputusan
rumah tangga. Hasil ini mengindikasikan bahwa perempuan yang ”berdaya” memiliki
kemampuan negosiasi yang lebih tinggi dalam menentukan perilaku kesehatan reproduksinya
termasuk pembatasan dan penjarangan kelahiran melalui pemakaian alat/cara KB. Setelah
dikontrol terhadap pengaruh faktor-faktor lain, umur dan tempat tinggal tidak mempengaruhi 26
apakah PUS muda memakai alat/cara KB atau tidak. Hal ini sekali lagi mungkin disebabkan
karena sifat dari program KB di Indonesia yang berorientasi pedesaan dan mentargetkan PUS
muda untuk program penundaan kelahiran sampai pada usia yang aman melahirkan (20 tahun
atau lebih). Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang sedang memakai
alat/cara KB lebih rendah pada PUS muda yang istrinya yang jumlah anak masih hidupnya
lebih sedikit, yang lama kawinnya lebih pendek, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah
atau tidak tamat SD, yang berasal dari keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam
pengambilan keputusan rumah tangga.(9,10)
7) Pola, Perbedaan dan Determinan Pemenuhan Kebutuhan BerKB
Pemenuhan kebutuhan berKB merupakan salah satu faktor penting pengendalian tingkat
kelahiran. Selain itu, indikator ini merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur
keberhasilan program dalam memenuhi kebutuhan akan informasi dan pelayanan KB di
kalangan PUS. Di Indonesia, kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi relatif rendah, 9,1%
menurut hasil SDKI 2007; 4,3% untuk kebutuhan KB yang tidak terpenuhi untuk
penjarangan kelahiran dan 4,7% untuk kebutuhan KB yang tidak terpenuhi untuk pembatasan
kelahiran. Sebagai perbandingan, kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi untuk pembatasan
kelahiran sebesar 16,2% di Kamboja pada tahun 2005, 6,6% di India pada tahun 2006, 10,5%
di Banglades pada tahun 2007 dan 14,0% di Pakistan pada tahun 2007. Di kalangan istri PUS
muda Indonesia, 9,8% tidak terpenuhi kebutuhan berKBnya. Persentase perempuan kawin
usia 15-24 tahun yang kebutuhan berKBnya tidak terpenuhi lebih tinggi pada perempuan
yang berusia 20-24 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah menikah lima (5)
tahun atau kurang, tinggal di wilayah perkotaan, berpendidikan rendah, berasal dari rumah
tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga.(8,9)
Hasil analisis determinan pemenuhan kebutuhan berKB menunjukkan bahwa jumlah anak
masih hidup, lama kawin, tempat tinggal, indeks kekayaan dan peran dalam pengambilan
keputusan rumah tangga mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
peluang kebutuhan berKB terpenuhi.
Setelah dikontrol terhadap pengaruh faktor-faktor lain, umur dan pendidikan tidak
mempengaruhi apakah kebutuhan berKB PUS muda terpenuhi atau tidak. Hal ini mungkin
disebabkan karena alasan-alasan kebutuhan berKB tidak terpenuhi lebih terkait dengan
pengalaman-pengalaman kesehatan reproduksi dan akses terhadap alat/cara KB. Semakin
banyak jumlah anak masih hidup, semakin besar probabilitas kebutuhan berKB tidak
terpenuhi. Peningkatan jumlah anak masih hidup satu orang akan meningkatkan kebutuhan 27
berKB tidak terpenuhi sebesar 1,91 kali. Hal ini mungkin disebabkan karena PUS muda
dengan jumlah anak masih hidup lebih banyak memiliki akses yang lebih rendah terhadap
informasi dan pelayanan KB. Semakin lama usia perkawinan, semakin kecil peluang
mengalami kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi. Peningkatan usia perkawinan satu tahun
akan menurunkan probabilitas kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi sebesar 0,895 kali. Hal
ini mungkin disebabkan karena PUS muda yang telah menikah lebih lama lebih terpapar pada
informasi dan pelayanan KB sehingga mereka lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan
berKBnya.(10)
Istri PUS muda di wilayah perkotaan 1,42 kali lebih cenderung untuk mengalami
kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi dibandingkan Istri PUS muda di wilayah pedesaan.
Sekali lagi, program KB di Indonesia yang berorientasi pedesaan dapat berkontribusi
terhadap fenomena ini dimana masyarakat pedesaan lebih mempunyai akses terhadap
alat/cara KB melalui Posyandu dan bidan desa yang dekat dengan masyarakat. Istri PUS
muda dari rumah tangga dengan indeks kekayaan pada kuintil 1 (miskin) 1,42 kali lebih
cenderung untuk mengalami kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi dibandingkan istri PUS
muda dari rumah tangga yang lebih mampu. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal
probabilitas mengalami kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi antara istri PUS muda dari
rumah tangga dengan kekayaan sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri PUS muda dari
rumah tangga kaya (kuintil 4 dan kuintil 5). Hal ini dapat diterima karena rumah tangga yang
lebih mampu mempunyai akses yang lebih baik terhadap alat/cara KB untuk menjarangkan
atau membatasi kelahiran. Status peran istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga
mempunyai pengaruh yang positif terhadap apakah kebutuhan berKB terpenuhi atau tidak.
Probabilitas mengalami kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi di kalangan istri PUS muda
yang turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga paling sedikit terhadap satu
keputusan adalah 0,70 kali lebih rendah dibandingkan dengan probabilitas mengalami
kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi di kalangan istri PUS muda yang tidak berperan
dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Sesuai dengan yang diharapkan, perempuan
yang mempunyai wewenang dalam rumah tangga akan lebih cenderung memperhatikan,
memahami dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya termasuk kebutuhan berKB.
Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang kebutuhan berKB yang tidak
terpenuhi lebih tinggi pada PUS muda yang jumlah anak masih hidupnya lebih banyak, yang
lama kawinnya lebih pendek, yang tinggal di perkotaan, yang berasal dari keluarga miskin
dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga.(9)
28
8) Pola, Perbedaan dan Determinan Jumlah Anak ideal
Penentuan jumlah anak ideal dipandang sebagai salah satu perilaku keluarga berencana.
Perilaku ini mempunyai implikasi terhadap pemakaian KB dan selanjutnya tingkat fertilitas,
khususnya di kalangan PUS muda. Jumlah anak ideal yang besar atau ”terserah Tuhan” di
kalangan PUS muda tentunya merupakan ”ancaman” bagi ledakan bayi. Oleh karena itu,
pemahaman tentang kelompok PUS muda yang memiliki peluang paling tinggi untuk
menginginkan jumlah anak yang besar atau ”terserah Tuhan” adalah penting. Hal yang cukup
menggembirakan adalah sebagian besar (79,1%) istri PUS muda di Indonesia ingin
mempunyai tiga (3) orang anak atau kurang. Akan tetapi, terdapat 20,9% istri PUS muda
yang ingin mempunyai anak lebih dari tiga (3) orang atau ”terserah Tuhan”. Angka ini lebih
tinggi pada perempuan kawin usia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih,
telah menikah enam (6) tahun atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah,
berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah
tangga.(8)
Hasil analisis determinan jumlah anak ideal menunjukkan bahwa jumlah anak masih
hidup, pendidikan dan indeks kekayaan mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik
terhadap peluang ingin mempunyai tiga (3) orang anak atau kurang umur, lama menikah,
tempat tinggal dan peran istri dalam pengambilan keputusan rumah tangga tidak
mempengaruhi pemilihan jumlah anak ideal. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengalaman
fertilitas dan akses terhadap informasi dan pelayanan KB melalui pendidikan dan
kepemilikan sumber-sumber daya rumah tangga lebih berperan dalam penentuan jumlah anak
ideal di kalangan PUS muda. Semakin banyak jumlah anak masih hidup, semakin kecil
probabilitas ingin mempunyai tiga (3) orang anak atau kurang. Peningkatan jumlah anak
masih hidup satu orang akan menurunkan peluang ingin mempunyai tiga (3) orang anak atau
kurang sebesar 0,63 kali. Pendidikan istri berpengaruh positif terhadap probabilitas ingin
mempunyai tiga (3) orang anak atau kurang. Istri PUS muda yang berpendidikan tidak
sekolah atau tidak tamat SD 0,48 kali kurang cenderung dan istri PUS muda berpendidikan
tamat SD atau tamat SMP 0,70 kali kurang cenderung untuk mengingini tiga (3) orang anak
atau kurang dibandingkan dengan istri PUS muda yang berpendidikan tamat SMA atau
perguruan tinggi. Hasil ini mengindikasikan penerimaan norma keluarga kecil, bahagia dan
sejahtera yang lebih baik di kalangan PUS muda yang berpendidikan lebih tinggi. Istri PUS
muda dari rumah tangga dengan indeks kekayaan pada kuintil 1 (miskin) 0,63 kali kurang
29
cenderung untuk mengingini tiga (3) orang anak atau kurang dibandingkan istri PUS muda
dari rumah tangga kaya. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal probabilitas mengingini
tiga (3) orang anak atau kurang antara istri PUS muda dari rumah tangga dengan kekayaan
sedang (kuintil 2 dan kuintil 3) dan istri PUS muda dari rumah tangga kaya (kuintil 4 dan
kuintil 5). Hal ini menunjukkan peran kekayaan rumah tangga dalam hal penentuan jumlah
anak ideal, dimana yang lebih sejahtera lebih terpapar terhadap perilaku anak sedikit
sehingga lebih cenderung mengingini jumlah anak yang lebih sedikit.(10)
Secara singkat, hasil analisis menunjukkan bahwa peluang mengingini tiga (3) orang anak
atau kurang lebih rendah pada PUS muda yang jumlah anak masih hidupnya lebih banyak,
yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD dan yang berasal dari keluarga
miskin.(10)
BAB V
Kesimpulan
KIE tidak bisa terlepas dari penggunaan media. Media terbagi menjadi dua, yaitu
media personal dan media non personal aau media massa. Media massa adalah media yang
paling banyak digunakan dalam KIE karena kemampuannya menjangkau khalayak yang
sangat besar (banyak) dan tersebar di wilayah yang sangat luas. Media ini terbagi menjadi
tiga, yaitu media lini atas (above the lini media), media lini bawah (below the line media),
media lini atas-lini bawah (through the line media). Pemahaman tentang jenis media dan
karakteristiknya sangat penting untuk mengidentifikasi media mana yang tepat untuk
program tertentu.
Hasil analisis pola, perbedaan dan determinan pengetahuan, sikap dan perilaku KB
menunjukkan bahwa persentase perempuan usia 15-24 tahun yang mengetahui alat/cara KB
lebih rendah pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau 30
lebih, telah menikah enam (6) tahun atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan
rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan
rumah tangga; Persentase perempuan yang mengetahui sumber informasi KB lebih rendah
pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah
menikah enam (5) tahun atau kurang, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah,
berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah
tangga. Persentase perempuan yang menyatakan bahwa suami mereka setuju KB lebih rendah
pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah
menikah enam (6) tahun atau lebih, tinggal di wilayah pedesaan, berpendidikan rendah,
berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah
tangga. Terdapat 36% perempuan kawin usia 15-24 tahun yang tidak pernah berdiskusi
tentang KB dengan suami. Persentase perempuan yang tidak pernah berdiskusi tentang KB
dengan suami lebih tinggi pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai anak
tiga (3) atau lebih, telah menikah lima (5) tahun atau kurang, tinggal di wilayah pedesaan,
berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam
pengambilan keputusan rumah tangga. Persentase perempuan yang yang sedang memakai
suatu alat/cara KB lebih rendah pada perempuan yang berusia 15-19 tahun, yang mempunyai
anak tiga (3) atau lebih, telah menikah lima (5) tahun atau kurang, tinggal di wilayah
perkotaan, berpendidikan tinggi, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam
pengambilan keputusan rumah tangga. Kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi di kalangan
PUS muda relatif rendah (9,8%). Persentase perempuan yang kebutuhan berKBnya tidak
terpenuhi lebih tinggi pada perempuan yang berusia 20-24 tahun, yang mempunyai anak tiga
(3) atau lebih, telah menikah lima (5) tahun atau kurang, tinggal di wilayah perkotaan, berasal
dari rumah tangga miskin dan tidak berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga.
Sebagian besar (79,1%) PUS muda di Indonesia ingin mempunyai tiga (3) orang anak atau
kurang. Akan tetapi, terdapat 20,9% PUS muda yang ingin mempunyai anak lebih dari tiga
(3) orang atau ”terserah Tuhan”. Angka ini lebih tinggi pada perempuan usia 15-19 tahun,
yang mempunyai anak tiga (3) atau lebih, telah menikah enam (6) tahun atau lebih, tinggal di
wilayah pedesaan, berpendidikan rendah, berasal dari rumah tangga miskin dan tidak
berperan dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Peluang mengetahui alat/cara KB
lebih rendah pada PUS muda yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD,
yang berasal dari keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan
rumah tangga. Peluang mengetahui sumber informasi KB lebih rendah pada PUS muda yang
31
istrinya berusia 15-19 tahun, yang jumlah anak masih hidupnya lebih sedikit, yang lama
kawinnya lebih pendek, yang tinggal di pedesaan, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah
atau tidak tamat SD, yang berasal dari keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam
pengambilan keputusan rumah tangga. Peluang suami tidak setuju KB lebih tinggi pada PUS
muda yang istrinya berusia 15-19 tahun, yang jumlah anak masih hidupnya lebih sedikit,
yang lama kawinnya lebih panjang, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak
tamat SD, yang berasal dari keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan
keputusan rumah tangga. Peluang pernah diskusi KB dengan suami lebih rendah pada PUS
muda yang jumlah anak masih hidupnya lebih sedikit, yang tinggal di perkotaan, yang
istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD dan yang berasal dari keluarga
miskin. Peluang sedang memakai alat/cara KB lebih rendah pada PUS muda yang istrinya
yang jumlah anak masih hidupnya lebih sedikit, yang lama kawinnya lebih pendek, yang
istrinya berpendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, yang berasal dari keluarga miskin
dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga. Peluang kebutuhan
berKB yang tidak terpenuhi lebih tinggi pada PUS muda yang jumlah anak masih hidupnya
lebih banyak, yang lama kawinnya lebih pendek, yang tinggal di perkotaan, yang berasal dari
keluarga miskin dan yang istrinya tidak turut dalam pengambilan keputusan rumah tangga.
Peluang mengingini tiga (3) orang anak atau kurang lebih rendah pada PUS muda yang
jumlah anak masih hidupnya lebih banyak, yang istrinya berpendidikan tidak sekolah atau
tidak tamat SD dan yang berasal dari keluarga miskin.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. BKKBN, UU RI No.52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga. Jakarta.
2. BKKBN, 2004. Kebijakan Nasional Penyediaan Alat dan Obat Kontrasepsi Dalam
Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta.
3. BKKBN, 2010. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Keluarga Berencana dan
Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota. Jakarta.
4. BKKBN, UU RI No.10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta.
5. BKKBN, 2009. Pedoman KIE Program KB Nasional. Jakarta
33
6. Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, 2009, Panduan
Pengelolaan Pusat Informasi & Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK –
KRR). Jakarta.
7. Badan Pusat Statistik dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 20022-2003. Calverton, Maryland, USA: ORC Macro
8. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik dan United Nations
Population Fund. 2005. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2025. Jakarta, Indonesia.
9. Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Pendidikan 2006: Survei Sosial Ekonomi
Nasional. Jakarta, Indonesia.
10. Badan Pusat Statistik dan Macro International. 2007. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA: BPS dan Macro International.
34