Upload
fandy-setiawan
View
270
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PV
Citation preview
Pemfigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang
bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya
bula pada epidermis.1,2 Kata pemfigus diambil dari bahasa Yunani pemphix
yang artinya gelembung atau lepuh. Istilah pemfigus berarti kelompok
penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan
karakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal
disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan
secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara
langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit desmosomal cadherin Dsg3
atau Dsg3/Dsg1.3,4,5
Frekuensi pemfigus vulgaris pada kedua jenis kelamin adalah
sebanding. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan
dekade ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.
Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua
kasus). Penyakit ini tersebar merata pada seluruh dunia dan dapat
menyerang semua bangsa dan ras. Kejadian pemfigus vulgaris juga dapat
disebabkan oleh hubungan antara faktor genetik dengan faktor luar seperti
obat-obatan, makanan/diet, UV, virus, dan lain sebagainya.1,3
Penting untuk terlebih dahulu memahami fungsi desmosom untuk
dapat selanjutnya memahami patofisiologi pemfigus vulgaris. Desmosom
(atau maculae adherens) merupakan organel yang bertanggung jawab
terhadap perlekatan antarsel pada keratinosit. Bagian ekstraselulernya, yaitu
desmoglea, tersusun dari glikoprotein perlekatan transmembran yang
merupakan bagian dari cadherin, meliputi desmoglein dan desmocollin.
Bagian intraseluler, plak desmosomal, memiliki dua kelompok protein.
Kelompok pertama adalah kelompok plakin (desmoplakin, envoplakin,
periplakin, plectin), yang berikatan pada filamen sitokeratin. Kelompok
kedua adalah plakoglobin dan plakofilin, yang berikatan pada area
intraseluler cadherin. Antibodi pemfigus berikatan dengan antigen pada
desmosom dan menyebabkan akantolisis. 6,7
Gambar berikut ini menunjukkan ilustrasi komponen molekuler pada
keratinosit yang terdiri dari desmosom, desmoplakin, Dsg1, Dsg3, N. amino
terminal, plakoglobin, plakophilin.
Gambar 1. Ilustrasi komponen molekuler pada keratinosit 7
Bukti imunologis dan cloning molekuler menunjukkan bahwa antigen
pemfigus adalah desmoglein, yang merupakan glikoprotein transmembran
pada desmosom (berperan dalam struktur perlekatan antarsel). Mikroskop
imonoelektron menunjukkan adanya antiden di permukaan keratinosit pada
desmosomal junction. Pasien pemfigus yang secara predominan terserang
pada membran mukosa cenderung hanya memiliki autoantibodi Desmoglein
3, sedangkan pasien dengan lesi mukokutaneus memiliki antibodi anti-Dsg3
dan anti-Dsg1.1,7 Antibodi terbanyak pada penyakit pemfigus vulgaris bersifat
melawan Dsg3. Antibodi pemfigus berikatan dengan domain ekstraseluler
pada region amino terminal Desmoglein 3 (Dsg3) yang secara langsung
mempengaruhi cadherin desmosomal. Desmoglein 3 ditemukan pada
desmosom dan semua membran sel keratinosit, terutama bagian bawah
epidermis dan paling kuat diekspresikan pada mukosa bukal serta kulit
kepala. Sebaliknya, pola ekspresi antigen desmoglein 1 (Dsg1) yang banyak
dijumpai pada pemfigus foliaseus banyak ditemukan di epidermis, terutama
lapisan atas dan terekspresi dengan sangat lemah pada mukosa.7
Adanya antibodi terhadap Dsg1 dan Dsg3 berhubungan dengan
manifestasi klinis berupa lesi mukokutaneus, jika autoantibodi hanya
melawan Dsg3, lesi dominan terdapat pada mukosa. Autoimunitas humoral
maupun seluler penting dalam patogenesis lesi kulit. Antibodi dapat
mengakibatkan akantolisis, walaupun tanpa keterlibatan komplemen dan
sel-sel radang. IgG1 dan IgG4 autoantibodi terhadap Dsg3 ditemukan pada
pasien PV, tetapi beberapa data penelitian menunjukkan bahwa IgG4 lah
yang bersifat paling patogenik. Plasminogen activator berhubungan dengan
terjadinya akantolisis yang dimediasi antibodi. Sel T yang terlbat adalah sel
CD4 α./β yang mensekresikan Th2-like-cytokine profiles. Sel Th1 juga terlibat
dalam produksi antibodi pada penyakit kronis. IgG ditemukan baik pada kulit
normal maupun sakit. 3,7
Gambar 2. Skema Pathogenesis Akantholisis3
Representasi sistematik dari sinyal intraseluler (panah hitam), dan
hasil fenomena patobiologik (panah merah) yang dipicu oleh IgG dalam
keratinosit. Sinyal dari luar (seperti PVIgG dan non-IgG factor)
menyebabkan : Dsg3 endositosis dan berdegradasi, proteolisis ekstasellular,
dan phosphorilasi protein oleh kinase. Yang pada berikutnya sebabkan
perubahan ekspresi gen (seperti reduksi di dalam adhesi molekul sel),
aktivasi dan jalur pro-apoptotis yang diperantarai oleh caspases (termasuk
pembelahan dari adhesi sel molekul), perubahan metabolic, dan kolapsnya
sitoskeleton. Hasil akhirnya adalah megakibatkan hilangnya perlekatan
antarsel.3
Autoantibodi pemfigus merupakan faktor patogenis pada pemfigus
vulgaris. Adanya kejadian pemfigus vulgaris neonatal menunjukkan bahwa
IgG maternal dapat melewati plasenta dan menyebabkan timbulnya penyakit
ini, walaupun sangat jarang terjadi. Secara esensial, neonatal PV diakibatkan
oleh transfer pasif IgG pada fetus. Pada eksperimen, terlihat bahwa IgG
mengakibatkan akantolisis pada lapisan suprabasilar dan granular epidermis.
Akantolisis yang diinduksi antibodi dalam sistem ini tidak dipengaruhi oleh
komplemen. Autoantibodi patologis pada pemfigus adalah antibodi yang
secara langsung melawan desmoglein 1 dan 3. IgG yang terdapat pada
ekstraseluler menyebabkan akantolisis suprabasilar, yang merupakan
penemuan histologis tipikal pada lesi pemfigus vulgaris. Hal ini didukung
oleh bukti dari hasil penelitian lebih lanjut yang menunjukkan bahwa
autoantibodi dapat secara langsung menyebabkan hilangnya ikatan
keratinosit.3,7
Antibodi antidesmoglein 3 menyebabkan interferensi langsung pada
fungsi desmoglein dalam desmosom, berakibat pada terpecahnya
desmosom, tanpa retraksi keratinosit pada area akantolisis. Inaktivasi
desmoglein akibat antibodi antidesmoglein mengakibatkan timbulnya bula.7
Terbentuknya bula pada pemfigus vulgaris disebabkan oleh ikatan
autoantibodi IgG di permukaan molekul keratinosit. Antibodi pemfigus
vulgaris ini akan berikatan dengan desmosom keratinosit dan area bebas
desmosom pada membran keratinosit.3,7
Klasifikasi penyakit imonobulosa intraepidermal secara imunopatologis
dan imunogenetik dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1. Klasifikasi Pemfigus2
Tabel 2. Klasifikasi Pemfigus Berdasarkan Target Antigen9
Gambar 3. Perbedaan Pathogenesis Pemfigus Vulgaris dengan Pemfigus Follaceous3
Letak perbedaan patogenenesis antara tiap tipe pemfigus ataupun
diagnosis banding dari pemfigus vulgaris adalah pada letak antigen yang
ditargetkan oleh antibody di kulit ataupun di mukosa. Hal tersebut akan
memberikan gambaran gejala klinis yang berbeda.
Penyakit Pemfigus
vulgaris
Pemfigu
s
follaseus
Pemphig
oid
Bullosa
Dermatitis
herpetiformi
s
Lesi kulit Bula lembek pada kulit yang normal, dapat terjadi erosi
Erosi berkulit/ berkrusta, terkadang vesikel lembek
Bula tegang pada kulit normal dan eritema, plak urtikaria dan
Papul berkelompok, vesikel, plak urtikaria, berkulit/ berkrusta
berpapul-papul
Membrane mukosa
Hampir selalu ada, menimbulkan erosi
Jarang terkena
Pada mulut (10-35%)
Tidak pernah
Distribusi Bisa dimana saja, terlokalisir atau general
Ekspose area, regio seborrheic, atau general
Dimana saja, terlokalisir, atau general
Daerah predileksi : siku, lutut, pantat, sacral, area scapula
Histopatologi Suprabasal akantolisis
Akantolisis dalam lapisan granular
Gelembung subepidermal
Papilar mikroabses, vesikel subepidermal
Immunopatologi/Kulit
IgG interseluler IgG intraseluler
IgG dan C2 pada BMZ
IgA granular pada ujung papil
Serum IgG AB di intraselular epidermisElisa : Ab untuk Desmoglein 3 >> Desmoglein 1
IgG AB di intraselular epidermisElisa : Ab untuk Desmoglein 1
IgG AB di BMZ; langsung BPAG1e dan BPAG2
Antiendomisial antibody
Tabel 3. Tabel Perbandingan Diferensial Diagnosis 2,8
Pemfigus vulgaris ditandai dengan timbulnya bula lembek, berdinding
tipis, mudah pecah, timbul pada kulit tidak nyeri, panas, maupun gatal dan
mukosa kadang terasa nyeri yang tampaknya normal atau eritematosa. Isi
bula mula-mula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau seropurulen.
Bula yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah berdarah, dan
sukar menyembuh. Bila sembuh meninggalkan bekas hiperpigmentasi.
Dalam beberapa minggu atau bulan lesi dapat meluas, dimana didapatkan
erosi lebih banyka daripada bula. Pada 60% penderita, lesi mulai muncul
pada mukosa mulut kemudian tempat-tempat lain seperti kepala, muka,
leher, ketiak, lipat paha atau daerah kemaluan. Bila lesi luas sering disertai
infeksi sekunder yang menyebabkan bau tidak enak.1,2
Gambar 4. Bula mudah pecah pada kulit yang tampak normal2
Gambar 5. Erosi pada Membran mukosa (bibir dan dinding esophagus)2
Gambar 6. Erosi Mudah Berdarah dan Sukar Menyembuh2
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :
1. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan : Tanda nikolsky positif
disebabkan oleh adanya akantolisis. 1) Dengan cara melakukan
penekanan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan
terkelupas. 2) Menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan
didalamnya mengalami tekanan.1
2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa, tampak
sel akantolitik atau sel tzanck3
3. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh.
Dicari adanya bula intraepidemal.6
4. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik1 :
Leukositosis
Eosinofilia
Serum protein rendah
Gangguan elektrolit
Anemia
Peningkatan laju endap darah
5. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Penemuan imunofloresensi
utama pada pemfigus adalah adanya autoantibodi IgG yang melawan permukaan keratinosit.
Autoantibodi ini pertama ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan
kemudian dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien, Diagnosis pemfigus belum dapat
ditegakkan jika hasil imonofloresensi direk negatif. Berdasarkan imunofloresensi indirek,
80% pasien pemfigus IgG permukaan antiepitelial di sirkulasi. Pasien dengan lokaslisasi dini
dan pasien remisi kemungkinan besar akan menunjukkan hasil negtif pada tes imonoflorsensi
indirek Autoantibodi ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi
indirek dan kemudian dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien. 5,8
Gambar 7. Imunofloresensi9
Gambar 8. Pemfigus Foliaseus2
Gambar 9. Pemfigoid bulosa2
Gambar 10. Dermatitis Herpetiformis2
Tambahan obat-obatan imunosupresif seperti Azathioprine atau
Cyclophosphamid digunakan apabila pasien tidak dapat menoleransi
kortikosteroid dosis minimum untuk menjaga kondisi remisi. Efek
imunosupresif muncul perlahan-lahan dan biasanya tidak terdeteksi sampai
4-6 minggu setelah dosis awal. Kortikosteroid harus sudah dihentikan
sebelum penghentian terapi imunosupresif.6,9
1. Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan
perawatan yang tepat.
Penatalaksanaan pemfigus vulgaris terutama pada fase akut, harus di
bawah pengawasan yang ketat untuk menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit. Terapi antimikroba sistemik diperlukan untuk pasien dengan
infeksi sekunder. Untuk terapi topikal, dilakukan kompres dengan
Aluminium Diasetat 5%, perak nitrat 0.005%, atau solusio kalium
permanganate 0,01% pada area yang terkena setiap 4 jam. Hal ini
diperlukan untuk melepaskan debris kulit dari area bula dan mengurangi
risiko infeksi sekunder.6, 9
2. Sistemik :
Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder, dengan sebelumnya dilakukan1,2:
pemeriksaan gram
kultur dan tes sensitivitas
Antibiotik spektrum luas 7-10 hari
Pada kasus diberikan antibiotik eritromisin dengan dosis 4 x dalam
sehari, selama 10 hari. Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja
dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat bakteriostatik atau
bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah.
Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang
menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A,
Enterococcus, C. diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap
kuman gram-negatif seperti Neisseria, H. influenzae, B. pertusis, Brucella
juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae. Resistensi silang
dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida.1
Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris,
diberikan Dexamethasone atau sejenisnya. Dosis : bila keras dapat diberikan
3-4 mg Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak timbul bula
baru, dosis dapat diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan Azathioprine
untuk mencegah relaps, sampai dengan dosis terandah yang tidak
menimbulkan bula baru. Pada kasus diberikan Metil prednisolon dosis tinggi
dalam sediaan injeksi, untuk meningkatkan onset of action. Kortikosteroid
dosis tinggi diperlukan untuk mengontrol kondisi pasien. Dosis harus
diturunkan perlahan-lahan ketika sudah terjadi stabilisasi hingga mencapai
dosis terendah untuk memelihara remisi. Prednisolon atau prednisone oral
dapat digunakan sebagai pilihan terapi.
Tapering Off kortikosteroid dilakukan setiap 2 minggu, yakni dengan
pengurangan dosis kortikosteroid (contoh Prednisolone) 5-10 mg per
minggunya.9
Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat diberikan
Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1 tablet.9
Rituximab : merupakan pengobatan terbaru dari pemfigus vulgaris, berupa
monoclonal chimeric anti-CD20 antibodi yang menargetkan pre-B sel dan
mature B sel, hasilnya akan tampak dalam eraksi komplemen dan antibody-
bergantung sitotoksik, antibody-bergantung sell yang meediasi sitotoksity,
dan apoptosis. Obat ini dapat mengurangi sirkulasi B sell dan cegah maturasi
dalam antibody yang memproduksi sell plasma. 3,10
Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi,
tetapi mayoritas pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid.
Terapi kortikosteroid sendiri telah dapat mengurangi angka mortalitas
sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang yang tidak mendapatkan terapi
adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan terhadap infeksi serta
gangguan yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Sebagian besar kasus kematian terjadi pada tahun-tahun awal munculnya
gejala, dan jika pasien dapat bertahan lebih dari 5 tahun, prognosisny akan
lebih baik. Pemfigus vulgaris pada stadium awal akan lebih mudah dikontrol
daripada yang sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas akan meningkat
apabila terjadi keterlamabatan terapi.3
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis
kortikosteroid maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan
adanya penyakit penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada
pasien berusia lanjut dan yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih
baik jika terjadi pada anak-anak. Pada sebagian kecil kasus pemfigus
vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi pemfigus foliaseus.6
Infeksi sekunder, baik yang bersifat sistemik maupun terlokalisasi
pada kulit dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya
erosi multipel. Infeksi kutaneus dapat memperlambat penyembuhan luka
dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut. Terapi imunosupresan
jangka panjang dapat berakibat pada infeksi dan keganasan sekunder
( seperti Kaposi Sarkoma), karena adanya gangguan imunitas. Retardasi
pertumbuhan dilaporkan terjadi pad anak-anak yang mendapatkan terapi
kortikosteroid dan imunosupresan sistemik. Supresi sumsum tulang
dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan.
Peningkatan insidensi leukemia dan limfoma juga dilaporkan terjadi pada
imunosupresan jangka panjang. Gangguan respon imun yang disebabkan
oleh kortikosterod dan agen imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan
penyebaran infeksi secara luas. Kortikosteroid menekan tanda-tanda infeksi
sehingga berakibat terjadinya septicemia. Osteoporosis dan insufisiensi
adrenal dilaporkan terjadi setelah penggunaan kortikosteroid jangka panjang 6
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiryadi, Benny E. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2010. p 204-14
2. Tuderman Leena B, dan Stanley John R. Disorder of Epidermal and Dermal-Epidermal
Cohesion and Vesicular and Bullous Disorders. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Seventh ed, Section 8. United States of America Mc Grow Hill 2008. p 447-69.
3. Cirillo N, Cozzani E, Carrozzo M, Grando SA. Urban legends: Pemfigus
vulgaris. Oral Desease, 2012. 18, p 442–458. Diunduh dari
http://www.researchgate.net/profile/Marco_Carrozzo/publication/2218336
42_Urban_legends_pemfigus_vulgaris/file/79e4150a231e6a1de9.pdf
4. Chmurova N, Svecova D. Pemfigus vulgaris : 11 years review. Bratisl Lek
Listy 2009. 110 (8) p 500-3. Diunduh dari http://www.bmj.sk/2009/11008-
12.pdf
5. Muller, Nicolas Hunzelmann, Vera Baur, Guido Siebenhaar, Elke Wenzel,
Rudiger Eming, dkk. Targeted Immunotherapy with Rituximab Leads to a
Transient Alteration of the IgG Autoantibody Profile in Pemfigus Vulgaris.
Dermatology Research and Practice Volume 2010. p1-10. Diunduh dari
http://downloads.hindawi.com/journals/drp/2010/321950.pdf
6. Chan, PT. Review on Pathogenesis of Pemfigus. Dermatology of Health
2002. p 62-6. Diunduh dari http://medcomhk.com/hkdvb/pdf/200206-
04.pdf
7. John, R. Stanley dan Masayuki, Amagai. Pemfigus, Bullous Impetigo, and
the Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. NEJM med 2008. 355, 1800-
10. Diunduh dari
https://www.med.upenn.edu/cstr/documents/NEJMreviewonpemfigus.pdf
8. Suran L. Fernando, Jamma Li, dan Mark Schifte. Pemfigus Vulgaris and
Pemfigus Foliaceus. Chapter 5, NTCH 2013. 105, p1-44. Diunduh dari
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/45418.pdf
9. Harman KE, Albert S, dan Black MM. Guidelines for the management of
pemfigus vulgaris. British Journal of Dermatology 2003. 149, p926–15
Diunduh dari http://www.huidziekten.nl/richtlijnen/BAD-guideline-
Pemfigus-Vulgaris-2003.pdf
10. Anne Tournadre, Stephanie Amarger, Pascal Joly, Michel d’Incan, Jean-
Michel Ristori, Martin Soubrier. Case report : Polymyositis and pemfigus
vulgaris in a patient: Successful treatment with rituximab. Joint Bone
Spine 2008. 75, p728-2. Diunduh dari
http://211.144.68.84:9998/91keshi/Public/File/14/75-6/pdf/1-s2.0-
S1297319X08000535-main.pdf