Upload
cittaardilla
View
379
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
RINOSINUSITIS PADA ANAK
REFRAT
Diajukan Oleh:
Sita Ardilla Rinandyta, S.Ked J 500 080 085
Muslih Setia Ardi Cahyana, S.Ked J 500 090 034
Dhimas Handoko Wibisono, S.Ked J 500 090 042
Arpian Herponi, S.Ked J 500 090 046
Annisaa Rizqiyana, S.Ked J 500 090 056
Pembimbing
dr. Made Jeren, Sp.THT
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
RSUD DR. HARDJONO S. PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
TUGAS REFRAT
RINOSINUSITIS PADA ANAK
Yang Diajukan Oleh :
Sita Ardilla Rinandyta, S.Ked J 500 080 085
Muslih Setia Ardi Cahyana, S.Ked J 500 090 034
Dhimas Handoko Wibisono, S.Ked J 500 090 042
Arpian Herponi, S.Ked J 500 090 046
Annisaa Rizqiyana, S.Ked J 500 090 056
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari , tanggal Mei 2013.
Pembimbing:
Nama : dr. Made Jeren, Sp.THT ( )
Dipresentasikan di hadapan:
Nama : dr. Made Jeren, Sp.THT ( )
Kabag. Profesi Dokter FK UMS
Nama : dr. Dewi Nirlawati ( )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi gejala kondisi mukosa
rongga hidung dan sinus paranasal, cairan dalam sinus ini, dan / atau yang
mendasari tulang. Istilah "sinusitis" telah digantikan oleh "rinosinusitis"
karena bukti bahwa mukosa hidung hampir universal terlibat dalam proses
penyakit (Ramadan, 2011). Rinosinusitis adalah penyakit yang sangat umum
di seluruh dunia dan khususnya terjadi pada penduduk Amerika Serikat
(Ramadan, 2011). Rinosinusitis merupakan masalah yang umum terjadi pada
anak-anak dengan infeksi saluran napas atas. Berdasarkan penelitian terhadap
anak-anak usia 1-5 tahun dengan gejala-gejala saluran napas atas yang
menetap, 9.3% diantaranya terdapat kriteria klinis dari rinosinusitis akut (≥10
hari mengalami kongesti hidung, sekret atau batuk), sedangkan rinosinusitis
kronik ditemukan pada 19% anak-anak yang mempunyai gejala saluran napas
atas selama kurang lebih 12 minggu (Poachanukoon et al., 2012).
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau
sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi
Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien
rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% diantaranya adalah
sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi bedah sinus
endoskopik fungsional (Arivalagan dan Rambe, 2013).
Istilah rinitis, sinusitis, atau bronkitis sering digunakan secara terpisah
berdasarkan gejala yang ditujukan oleh pasien. Pada prakteknya, secara klinis
ketiga penyakit tersebut seringkali muncul secara bersamaan. Selain itu, sulit
membedakan ketiganya dengan hanya berdasarkan klinis (Daulay et al.,
2008). Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan
rinosinusitis (Kentjono, 2004). Para ahli akhirnya menggunakan terminologi
rinosinusitis atau bahkan rinosinobronkitis dengan mempertimbangkan bahwa
manifestasi inlfamasi antara saluran respiratori atas (hidung, sinus, laring,
trakea) dan saluran respiratori bawah (bronkus) merupakan satu kesatuan yang
disebut united airway disease (Daulay et al., 2008). Selain itu, alasan lain
yang dikemukakan oleh para ahli adalah 1) membran mukosa hidung dan
sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain (contiguous), 2)
sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa
disertai rinitis, 3) gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis, dan 4) foto CT scan dari
penderita common cold menunjukkan inflamasi mukosa yang melapisi hidung
dan sinus paranasal secara simultan (Kentjono, 2004).
Gejala pada anak-anak terbatas dan bisa sangat mirip dengan gejala flu
atau alergi pada umumnya. Batuk dan sekret hidung mungkin satu-satunya
gejala terdapat pada anak-anak. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi
diperlukan untuk membuat diagnosis rinosinusitis pada anak-anak. Mayoritas
dari mereka yaitu anak yang butuh perlakuan secara medis. Hanya beberapa
yang akan memerlukan intervensi bedah ketika pengobatan medis gagal.
Komplikasi rinosinusitis, meskipun jarang, dapat membawa angka morbiditas
dan mortalitas (Ramadan, 2011).
Gejala klinis pada anak-anak termasuk ARS (Acute Rhinosinusitis) hidung
mampet, lendir hidung yang berwarna, dan batuk dengan resultan gangguan
tidur. Nyeri wajah/kepala terdapat pada anak remaja. ARS didefinisikan
sebagai gejala yang berlangsung hingga 4 minggu, subakut adalah ketika
gejala antara 4 minggu dan 12 minggu, dan CRS (Chronic Rhinosinusitis)
adalah ketika gejala telah hadir untuk lebih dari 12 minggu (Ramadan, 2011;
Arivalagan dan Rambe, 2013).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, diperoleh suatu masalah
sebagai berikut: bagaimana yang dimaksud dengan rinosinusitis pada anak?
C. Tujuan
Mengetahui dan menambah wawasan tentang rinosinusitis pada anak dan
mengetahui pemeriksaan apa saja yang dapat membantu menegakkan
diagnosis rinosinusitis pada anak serta penatalaksanaannya.
D. Manfaat
Makalah ini dapat memberikan informasi yang detail mengenai
rinosinusitis pada anak, sehingga dapat membantu dalam penegakan diagnosis
dan penatalaksanaan rinosinusitis pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rinosinusitis adalah penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung
dan sinus paranasalis dan masalah umum pada anak-anak dengan infeksi
saluran pernapasan atas (Poachanukoon et al., 2012). Rinosinusitis merupakan
terminologi dari rhinitis dan sinusitis. Rhinitis adalah radang pada mukosa
hidung. Diagnosis rhinitis biasanya dibuat berdasarkan adanya keluhan rinore,
hidung tersumbat, dan bersin-bersin, atau hidung gatal. Sinusitis didefinisikan
sebagai inflamasi pada sekurang-kurangnya satu sinus paranasal (Daulay et
al., 2008; Mardiraharjo, 2009). Gejala sinusitis bervariasi mulai dari yang
ringan sampai berat. Pasien anak dengan sinusitis biasanya datang dengan
keluhan batuk kronik, post nasal drip, dan sakit kepala (Daulay et al., 2008;
Rinaldi et al., 2006). Rinosinusitis ini merupakan inflamasi yang sering
ditemukan dan akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis
diklasifikasikan dalam 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut, rinosinusitis subakut
dan rinosinusitis kronik ( Arivalagan et al, 2013).
Ada delapan (empat pasang) sinus paranasal pada manusia, terletak pada
masing-masing sisi hidung, yang terdiri dari sinus frontal kanan dan kiri, sinus
etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri
(antrum Highmore), dan sinus sphenoid kanan dan kiri (Daulay et al., 2008;
Rinaldi et al., 2006). Seluruh rongga sinus dilapisi mukosa yang merupakan
lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara, dan bermuara ke rongga hidung
melalui ostium masing-masing. Pada masa anak dan remaja, lapisan mukosa
ini sering mengalami infeksi dan inflamasi, sehingga meningkatkan angka
kesakitan, tetapi jarang meninmbulkan komplikasi yang memerlukan
pengobatan seumur hidup. Sinus paranasal berfungsi untuk resonansi suara,
humidifikasi udara, dan meringankan kepala (Daulay et al., 2008).
B. Epidemiologi
Sinus etmoid dan sinus maksila telah terbentuk sempurna sejak lahir.
Sinus sphenoid mengalami penumatisasi pada usia 5 tahun, sedangkan sinus
frontal terbentuk pada usia 7 tahun, tetapi belum berkembang sempurna
hingga masa remaja. Sejak awal kehidupan, anak sudah merupakan faktor
predisposisi rinosinusitis paranasal. Pada anak yang lebih muda, sinus etmoid
dan sinus maksila sering terlibat, selain itu kejadian rinosinusitis akut sedikit
lebih banyak daripada IRA-atas atau adenoiditis. Pada anak yang lebih tua,
sinus sphenoid dan frontal lebih sering terlibat dan rhinitis alergik lebih sering
terjadi. Kejadian rinosinusitis, berturut-turut pada bayi, anak usia 5-9 tahun,
dan remaja, masing-masing adalah 1%, 5%, dan 15%. Rhinitis alergik
merupakan faktor predisposisi pertama terjadinya rinosinusitis paranasal,
sedangkan IRA-atas lainnya merupakan faktor predisposisi kedua (Daulay et
al., 2008).
C. Etiologi
1. Infeksi virus : Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus,
virus influenza A, dan respiratory syncytial virus (RSV) (Ramadan, 2011;
Daulay et al., 2008).
2. Infeksi bakteri
a. Patogen akut dan subakut
1) Streptococcus pneumonia, 20-30%.
2) Haemophillus influenza, 15-20%.
3) Moraxella catharallis, 15-20%, tidak sering yang dijumpai pada
dewasa.
4) Streptococcus pyogenes (beta-hemolitik), 5%.
(Ramadan, 2011; Daulay et al., 2008))
b. Patogen kronis
Populasi bakteri pathogen pada rinosinusitis tidak diketahui dengan
pasti. Rinosinusitis kronis umumnya disebabkan oleh infeksi berbagai
mikroba. Hasil kultur yang paling sering dijumpai adalah
Streptococcus -haemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
koagulase-negatif, Haemophillus influenza nontipe (lebih sering
daripada rinosinusitis akut), Moraxella catharallis, bakteri anaerob,
(Peptostreptococcus prevotella, Bakteroides, dan spesies
Fusobakterium), dan Pseudomonas (paling sering ditemukan pada
kelompok pasien yang memakai bermacam-macam antibiotik dan
kelompok dengan imunodefisiensi) (Ramadan, 2011; Daulay et al.,
2008).
3. Hipertrofi adenoid (Daulay et al., 2008).
D. Faktor Predisposisi
1. IRA-atas virus
Infeksi respiratori akut-atas virus dijumpai pada 10-15% anak berusia
diatas 9 tahun. Infeksi ini merupakan faktor predisposisi utama
rinosinusitis (Hamilos dan Dyckewics, 2010).
2. Rinitis alergik
Penyakit ini merupakan faktor predisposisi kedua rinosinusitis.
Eosiniofilia menyebabkan peningkatan major basic protein, sangat toksik
terhadap mukosa, dan mengganggu klirens mukosiliar. Uji alergi
direkomendasikan untuk semua kasus tanpa perbaikan gejala, terutama
pada anak dengan riwayat alergi keluarga dan memiliki gejala atopi pada
kulit (Daulay et al., 2008).
3. Kelainan anatomi
Kelainan anatomi pada dinding lateral nasal merupakan faktor
predisposisi sinosinusitis. Konka bulosa dan pembesaran konka medius
dapat menyebabkan penutupan KOM. Kompleks ostio meatal (KOM)
terdiri dari saluran-saluran sempit dan terbuka yang dapat tertutup oleh
kelainan anatomi, pembengkakan mukosa, sekresi, polip, dan berbagai
faktor lain (Singh, 2010; Daulay et al., 2008). Sel Haller dan sel
infraorbital dapat menyebabkan penyempitan ostium sinus maksila dan
merupakan predisposisi rinosinusitis maksila. Deviasi septum pada daerah
konka media menyebabkan lateralisasi turbin medius dan penutupan
KOM. Variasi kelainan anatomi yang lainnya ialah agger nasi, hipoplasia
sinus maksila, dan bula etmoid, yang sangat besar (Daulay et al., 2008;
Singh, 2010).
4. Defisiensi imun
Defisiensi imun dijumpai pada 0,5% populasi anak. Maturitas respons
imun humoral mendekati dewasa sejak anak berusia 7 tahun, dan prevalens
rinosinusitis kronis akan berkurang sejak usia ini. Sepertiga dari pasien
rinosinusitis yang menetap mungkin menderita defisiensi imun, terutama
jika terdapat riwayat sering mengalami infeksi bakterial berulang bila
antibiotik dihentikan. Defisiensi imun umunya lebih sering terjadi daripada
fibrosis kistik atau kerusakan silia. Yang tersering ditemukan adalah
penurunan jumlah subklas IgG dan antibody selektif. Manifestasi kelainan
imun yang paling sering dijumpai adalah IRA-atas berulang (Daulay et al.,
2008).
Anak dengan defisiensi imun biasanya memiliki gejala rinosinusitis
yang lebih berat. Apabila tidak terdapat perbaikan setelah ditatalaksana
medis secara agresif, anak harus dipertimbangkan memiliki defisiensi
imun. Evaluasi dini kadar Ig total dan subkelas IgG dilakukan ketika
timbul respons terhadap pemberian vaksin Pneumokokus, tetanus toksoid,
dan difteri (Hamilos dan Dyckewics, 2010).
5. Asma
Apabila fungsi nasal terganggu, post nasal drip akan meningkat.
Rinosinusitis kronis dijumpai pada 80% penyandang asma. Infeksi
respiratori akut-atas virus merupakan faktor pencetus serangan asma.
Pengobatan rinosinusitis kronis akan menormalkan uji fungsi paru,
sehingga mengurangi penggunaan bronkodilator jangka panjang pada
penyandang asma (Daulay et al., 2008).
6. Penyakit Refluks Gastroesofagus
Refluks gastroesofagus menyebabkan iritasi mukosa, sehingga terjadi
inflamasi pada ostium tuba Eustachius atau ostium sinus (Hamilos dan
Dyckewics, 2010).
7. Alergi fungus
Masa polipoid akibat perubahan mukosa sinus akibat alergi fungus
biasanya unilateral. Sekret nasal dan sinus akibat alergi fungus berupa
mukus seperti selai kacang. Pemeriksaan histologis pada sekret sinus
ditemukan kelompok eosinofil dan Kristal Charcot-Leyden. Fungus yang
sering menyebabkan alergi berasal dari genus Aspergillus sinus (Daulay et
al., 2008).
E. Klasifikasi Rinosinusitis
Berdasarkan lamanya gejala, terdapat banyak versi mengenai pembagian
rinosinusitis. Secara mudah dalam klinis dikategorikan akut atau kronik. The
Consensus Panel for Pediatric Rhinosinusitis yang terdiri dari para ahli di
Eropa dan US, membaginya menjadi beberapa kategori: Rinosinusitis akut,
yaitu infeksi sinus dengan resolusi dan gejala yang komplit dalam waktu 12
minggu. Rinosinusitis akut dapat dikategorikan menjadi severe atau nonsevere
berdasarkan gejala klinis yang timbul. American Academy of Pediatrics (AAP
2001) membagi kelompok ini menjadi akut dan sub-akut. Akut apabila gejala
kurang dari 30 hari dan sub-akut bila gealanya antara 30-90 hari (12 minggu).
Rinosinusitis kronik, yaitu infeksi sinus dengan gejala yang ringan-sedang
yang menetap lebih dari 12 minggu. Rinosinusitis akut berulang, yaitu
beberapa episode akut dengan diselingi masa sembuh diantara 2 episode.
Sebaliknya jika diantara 2 episode pasien tidak pernah sembuh benar maka
dikategorikan sebagai eksaserbasi akut rinosinusitis kronik sinus (Daulay et
al., 2008).
F. Patofisiologi
Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan
faktor utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan
sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung
khususnya kompleks ostiomeatal (KOM) (Kentjono, 2004). Pada keadaan
normal, sinus paranasal berada dalam keadaan steril. Mukosa sinus paranasal
berasal dari mukosa nasal dan berlanjut menjadi mukosa nasofaring. Pada
mukosa nasal dan nasofaring banyak dijumpai koloni bakteri berdensitas
rendah (hipodens), sehingga mukosa sinus paranasal selalu terkontaminasi
bakteri dari daerah sekitarnya. Kontaminasi hanya bersifat sementara karena
akan segera dibersihkan oleh apparatus mukosiliar normal (Daulay et al.,
2008).
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan struktur anatomi yang penting,
terletak di dalam meatus medius, dan telah terbentuk sejak lahir meskipun
besarnya belum mencapai ukuran maksimal. Kompleks ini dibentuk oleh
infundibulum etmoid, bula etmoid, resesus frontal, prosesus unsinatus, dan
hiatus semilunaris. Rinosinusitis pada anak tidak terjadi secara primer akibat
penyumbatan KOM, sehingga terjadi rinosinusitis maksila dan rinosinusitis
frontal kronis. Pada keadaan normal, pergerakan metakronus mukosa normal
mengarah ke ostium alamiah sinus, tetapi aliran kea rah nasofaring dapat
terhalang oleh inflamasi mukosa. Inflamasi terjadi secara sekunder akibat
IRA-atas virus, alergi nasal, atau respons tubuh terhadap keduanya.
Akibatnya, terjadi rinosinusitis kronis pada anak (Daulay et al., 2008).
Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut: 1) Inflamasi
mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi dan terjadi
obstruksi (blokade) ostium sinus dengan gangguan ventilasi dan drainase,
reasorbsi oksigen yang ada di rongga sinus terjadi hipoksia (oksigen menurun,
pH menurun, tekanan negatif) yang mengakibatkan permeabilitas kapiler
meningkat, sekresi kelenjar meningkat kemudian terjadi transudasi,
peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia kemudian retensi sekresi
di sinus. Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat
dari colds (infeksi virus) dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang
hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat
keparahan yang berbeda. Selain jenis virus, keparahan udem mukosa
bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV
biasanya menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan
obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus
stasis). Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat
kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan
sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera
diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada
mukosa dan cairan sinus paranasal. Sekitar 0,5% - 5% dari rinosinusitis virus
(RSV) pada dewasa berkembang menjadi rinosinusitis akut bakterial,
sedangkan pada hanya sekitar 5 % - 10% saja. Peneliti lain mengatakan,
infeksi saluran napas atas akut yang disertai komplikasi rinosinusitis akut
bakterial tidak lebih dari 13%. 2) Bakteri yang paling sering dijumpai pada
rinosinusitis akut dewasa adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemaphilus
influenzae, sedangkan pada anak Branhamella (Moraxella) catarrhalis.
Bakteri ini kebanyakan ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak
menjadi patogen kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk
pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjutdan respons
bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih
anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan
masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaero-philic
streptococci), dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini
dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan
efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. 3)
Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan
metaplastik menjadi mucus sekreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin
meningkat (Kentjono, 2004).
G. Gejala Klinis
Pilek, hidung tersumbat, pernapasan mulut, hidung dan suara mendengkur
yang umum pada anak-anak dan sering terjadi sebagai akibat infeksi berulang
saluran pernapasan atas (pilek), hipertropi adenoid dan/atau lapisan alergi
hidung (rinitis) . Karena gejala yang tumpang tindih dan tanda-tanda yang
umum, dan bisa terjadi bersamaan, bisa sulit untuk memilah mana kondisi
yang sebenarnya (Kentjono, 2004).
H. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Rhinitis ditandai oleh
adanya rinore, hidung tersumbat, bersin-bersin, atau gatal. Sebagian besar
literature atau consensus ahli menyetujui bahwa penegakan diagnosis
sinusitis akut didasarkan atas gejala klinis. Gejala yang sering dikeluhkan
berupa nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, atau post nasal
drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Selain itu juga pasien dapat
mengeluhkan sakit kepala, mulut berbau, kelelahan, sakit pada gigi, batuk,
dan sakit pada telinga. Ingus yang purulen di dalam rongga hidung dapat
meninmbulkan post nasal drip yang pada anak seringkali bermanifestasi
sebagai batuk berdehem. Keluhan batuk produktif juga dikaitkan dengan
penjalaran infeksi atau peradangan ke saluran respiratori di bawahnya. Pus
kental akan mengalir ke bawah menuju paru, dan merupakan rangsangan
pada bronkus sehingga memperberat serangan asma. Gejala klinis dapat
berupa gejala respiratori atas yang persisten atau yang berat (Daulay et al.,
2008).
Tabel 1. Gejala dan tanda rinosinusitis pada anak
Rhinosinusitis Akut Non-severe Rinosinusitis Akut SevereRinoreKongesti hidungBatukSakit kepala, nyeri wajah, iritabilitasTidak demam atau sub febris
Rinore purulen (kental, keruh, opaq)Kongesti hidungNyeri wajah atau sakit kepalaEdema periorbitalDemam tinggi ( 39 )
2. Pemeriksaan fisik :
a. rinoskopi anterior : rinosinusitis akut : mukosa edem dan hiperemis,
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius
b. rinoskopi posterior
c. naso-endoskopi
3. Pemeriksaan penunjang : foto polos atau CT-Scan
a. Pemeriksaan radiologis
Pedoman atau literatur sebagian besar sepakat untuk tidak
menggunakan foto radiologi sinus paranasal polos sebagai dasar
penegakan diagnosis sinusitis. AAP 2001 juga sepakat dengan
menyatakan bahwa radiologi tidak diperlukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis klinis sinusitis pada anak kurang dari 6 tahun. Foto radiologis
baku untuk diagnosis adalah:
1) Waters (occipitomental) untuk melihat sinus frontalis dan maksilaris
2) Caldwell (postero anterior) untuk melihat sinus frontalis dan etmoid
3) Lateral untuk melihat sinus sphenoid dan adenoid.
Gambaran yang sugestif untuk mengkonfirmasi sinusitis adalah
perkabutan komplit (complete opacification), penebalan mukosa
sedikitnya 4 mm, atau adanya air fluid level. Pemeriksaan radiologis
paru yang dilakukan biasanya normal atau didapatkan corakan
bronchial yang meningkat bergantung pada luas dan lamanya sakit.
Pemeriksaan CT scan dilakukan untuk anak yang akan menjalani
pengobatan bedah, untuk mengetahui anatomi sinus secara mendasar,
sebagai pemandu untuk pengobatan bedah dan memperoleh informasi
komplikasi yang terjadi pada sinus. Pemeriksaan USG dapat
menunjukkan adanya cairan dalam rongga sinus dan penebalan mukosa,
namun pada kepustakaan sangat jarang disebutkan peranannya.
b. Pemeriksaan mikrobiologi
Bahan pemeriksaan yang berasal dari sekret di rongga hidung akan
dapat menemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora
normal hidung dan kuman pathogen. Oleh sebab itu, pemeriksaan baku
emas adalah specimen yang didapat dari pungsi atau aspirasi sinus
maksilaris, namun hal ini tidak rutin dikerjakan pada anak karena
memerlukan anestesi umum. Sinusitis bakterial akut ditegakkan bila
didapatkan koloni bakteri > U/mL. Pada kepustakaan disebutkan
bahwa indikasi pemeriksaan ini adalah bila respons terhadap
pengobatan medik kurang atau tidak ada, penderita dengan
imunokompromais, atau jika penyakit sinusitis mengancam hidup
pasien.
Pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan transiluminasi. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui adanya cairan di sinus yang sakit, yang
akan terlihat suram, bila dibandingkan dengan sinus yang normal.
Pemeriksaan ini dilakukan pada ruangan gelap dan transiluminator
diletakkan di mulut atau dagu (sinus maksila), di bawah medial aspect
of the supraorbital ridge area (sinus frontal).
Rinoskopi yang dilakukan dapat menemukan adanya mukosa konka
yang hiperemis dan edema yang dilihat dengan menggunakan rinoskopi
anterior, sedangkan pada rinoskopi posterior terkadang tampak adanya
post nasal drip. Sinuskopi dilakukan untuk mengetahui atau melihat
secara langsung mukosa sinus dan membedakan derajat kelainan sinus.
Pemeriksaan uji fungsi paru dilakukan pada pasien dengan dasar alergi
atau asma, untuk mengetahui fungsi paru dan hasil pengobatan.
I. Tatalaksana
1. Medikamentosa
Tatalaksana medis yang maksimal meliputi ketepatan pemberian
antibiotik, irigasi nasal dengan salin, steroid topikal, dan dekongestan.
a. Antibiotik pada rinosinusitis akut
Pemberian antibiotik merupakan pengobatan medis utama
rinosinusitis pada anak. Pengobatan diberikan selama 10-14 hari atau
satu minggu setelah perbaikan gejala. Karena meningkatnya prevalensi
bakteri yang resisten terhadap beta-laktam di masyarakat, antibiotik
sebaiknya diberikan berdasarkan etiologi infeksi, dan harus didukung
oleh anamnesis dan pemeriksaan fisis dengan sangat hati-hati.
Rinosinusitis akut tanpa komplikasi pada anak menunjukkan
perbaikan setelah pengobatan dengan amoksisilin. Pengobatan ini
merupakan pengobatan lini pertama rinosinusitis anak, karena secara
umum amoksisilin efektif, aman, dapat ditoleransi, murah, dan
berspektrum sempit. Anak yang alergi penisilin (hanya reaksi alergi,
bukan hipersensitivitas tipe 1) diberikan sefalosporin generasi kedua
atau ketiga. Selain itu dapat juga digunakan trimetoprim-
sulfametoksazol (70-80% gejala biasanya membaik dengan obat ini
dalam 2-3 hari) (Mangunkusumo, 2007).
b. Terapi tambahan pada rinosinusitis akut
Efikasi irigasi sinus dengan salin pada pengobatan rinosinusitis akut
dan kronis telah dapat dibuktikan. Tujuan pengobatan rinosinusitis
adalah untuk meningkatkan pergerakan mukosiliar dan vasokonstriksi.
Mekanisme ini akan membuang sekret, mengurangi jumlah bakteri, dan
membebaskan alergen di sekitar lingkungan hidung.
Steroid nasal sangat berguna untuk anak dengan rinitis alergik.
Dilaporkan bahwa 90% penyandang akan menunjukkan perbaikan
gejala termasuk kongesti nasal. Absorpsi melalui mukosa nasal ke
aliran darah sistemik sangat minimal. Supresi aksis hipofisis dan
glaukoma dilaporkan hanya terjadi pada dewasa. Beberapa steroid nasal
sedang diteliti keamanannya pada anak usia muda. Pemilihan obat harus
dilakukan dengan sangat hati-hati.
Efektivitas dekongestan nasal bevariasi. Dekongestan topikal dapat
memperbaiki keadaan dan memberikan rasa nyaman. Vasodilatasi
rebound dapat dicegah dengan memberikan dekongestan nasal selama
4-5 hari pertama pengobatan medis. Efektivitas mukolitik sangan
bervariasi. Hingga saat ini belum ada studi kontrol yang dilakukan
untuk mengetahui efektivitasnya. Antihistamin kebanyakan digunakan
pada anak dengan atopik. Pemberian imunoterapi akan efektif bila
alergen spesifiknya diketahui (Daulay et al., 2008).
2. Tindakan bedah
a. Adenoidektomi
Secara bermakna, terdapat gejala tumpang tindih antara adenoiditis
dengan rinosinusitis kronis. Adenoid rentan terhadap infeksi dan
sumber obstruksi. Dengan hanya melakukan adenoidektomi,
penyembuhan gejala mencapai lebih dari 50%.
b. Tindakan bedah sinus dengan fungsional endoskopi
Tindakan bedah merupakan pilihan pengobatan terakhir pada
rinosinusitis anak. Teknik atraumatik dengan pemeliharaan mukosa
sangat penting. Kebanyakan tindakan bedah berupa pengangkatan
unsinatus, etmoidektomi anterior, dan antrostomi maksila. Keberhasilan
tindakan bedah mencapai lebih dari 80%. Apabila tindakan bedah
dilakukan bersamaan dengan adenoidektomi, keberhasilan pengobatan
akan lebih besar.
Prosedur kedua adalah pembersihan rongga dan pengangkatan debris
2-3 minggu setelah tindakan bedah. Tindakan ini tidak rutin dilakukan
dan tidak ada data yang menyokong keharusan prosedur ini dilakukan.
Pencucian sinus maksilaris dan pemberian antibiotik intravena tidak
dilakukan secara universal. Pasien membutuhkan nasal toilet pasca
operasi dan pengobatan kondisi medis yang terkait. Khusus untuk
pasien fibrosis kistik dibutuhkan tindakan bedah sinus untuk
meningkatkan efektivitas irigasi (Daulay et al., 2008).
J. Pencegahan
Nasal toilet yang dilakukan sebaik mungkin dengan menggunakan irigasi
salin, mungkin merupakan suatu cara untuk mencegah eksaserbasi
rinosinusitis akut dan kronis. Pengendalian maksimal kondisi terkait dan
pasien dianjurkan untuk mengindari pajanan iritan dari lingkungan seperti
asap rokok (Daulay et al., 2008).
K. Komplikasi
1. Keterlibatan orbital
Pemeriksaan CT-scan dengan kontras dapat membantu menentukan
keterlibatan orbital, yaitu untuk menentukan sejauh mana orbital terlibat
dan mengidentifikasi adanya pengumpulan cairan berupa gambaran cincin
yang khas (typical ring-enhancing fluid) tanda adanya abses subperiosteal.
Klasifikasi, tanda, dan gejala keterlibatan orbital yaitu:
a. Selulitis preseptal; kelopak mata bengkak, eritema, dan pergerakan bola
mata normal.
b. Selulitis orbital; proptosis dan kemosis.
c. Abses periorbital; proptosis dengan pergeseran bola mata kea rah
inverolateral dan pergerakan otot ekstraokular berkurang.
d. Abses orbital, proptosis yang berat, gangguan penglihatan, bola mata
menetap, dan anak sangat toksik.
Trombosis sinus kavernosus ditandai dengan demam tinggi dan gejala
bilateral. Rinosinusitis dengan keterkibatan orbital berpotensi mendapat
pengobatan seumur hidup dan sangat beresiko mendapat pengobatan tidak
teratur. Rinosinusitis dengan keterlibatan orbital memerlukan antibiotik
intravena, dan bila mungkin dilakukan pemeriksaan endoskopi atau
tindakan operasi. Konsultasi dini dengan spesialis mata sangat dianjurkan
untuk memantau penglihatan (Daulay et al., 2008).
2. Keterlibatan intrakranial
Keterlibatan intrakranial dapat terjadi akibat penyebaran langsung dari
rinosinusitis sfenoidal. Abses subdural merupakan manifestasi yang sering
terjadi, dan lobus frontalis sering terlihat. Meningitis juga mungkin dapat
terjadi. Pemeriksaan CT-scan dengan kontras dilakukan untuk mendeteksi
pengumpulan cairan berupa cincin (Daulay et al., 2008).
L. Prognosis
Prognosis rinosinusitis akut umumnya baik. Penanganan rinosinusitis
kronis sangat sulit, tetapi dengan tatalaksana optimal kondisi terkait dan
tatalaksana medis secara menyeluruh, maka prognosis menjadi baik. Tindakan
operasi sangat jarang dibutuhkan (Daulay et al., 2008).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Rinosinusitis merupakan inflamasi mukosa rongga hidung dan sinus
paranasal, cairan dalam sinus ini, dan/atau yang mendasari tulang. Istilah
"sinusitis" telah digantikan oleh "rinosinusitis" karena bukti bahwa
mukosa hidung hampir universal terlibat dalam proses penyakit.
2. Rinosinusitis merupakan masalah yang umum terjadi pada anak-anak
dengan infeksi saluran napas atas. Penyebab tersering rinosinusitis pada
anak adalah infeksi virus, dan diikuti infeksi bakteri serta hipertrofi
adenoid.
3. Pada anamnesis didapatkan keluhan rinitis seperti adanya rinore, hidung
tersumbat, bersin-bersin, atau gatal, serta gejala yang sering dikeluhkan
pada sinusitis berupa nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus purulen,
atau post nasal drip, hiposmia/anosmia, dan demam. Selain itu juga
pasien dapat mengeluhkan sakit kepala, mulut berbau, kelelahan, sakit
pada gigi, batuk, dan sakit pada telinga.
4. Pemeriksaan rinoskopi anterior pada rinosinusitis akut ditemukan
mukosa edem dan hiperemis, pembengkakan dan kemerahan di daerah
kantus medius.
5. Penatalaksanaan rinosinusitis pada anak dapat bersifat konservatif
maupun operatif, yang bertujuan untuk meningkatkan pergerakan
mukosiliar dan vasokonstriksi, sehingga diharapkan dapat membuang
sekret, mengurangi jumlah bakteri, dan membebaskan alergen di sekitar
lingkungan hidung.
6. Rinosinusitis akut umumnya memiliki prognosis yang lebih baik
daripada rinosinusitis kronis, namun dengan tatalaksana optimal kondisi
terkait dan tatalaksana medis secara menyeluruh, maka prognosis
menjadi baik. Tindakan operasi sangat jarang dibutuhkan.
B. Saran
Berdasarkan penjelasan di atas juga penulis memberikan saran antara lain :
1. Gejala rinosinusitis pada anak dapat berupa kelainan respiratori atas
yang bersifat persisten atau berat yang dapat terjadi secara bersamaan,
sehingga memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti dan penanganan
dini yang komprehensif.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT-scan untuk
menyingkirkan dan mencegah adanya komplikasi orbital dan
intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA
Arivalagan P., Rambe A., 2013. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU. Volume 1 No. 1. (https://entuk.org/ent_patients/nose_conditions/rhinosinusitis_children) di akses 25 Mei 2013.
Daulay M Ridwan, Dalimunthe Wisman, Kaswandani Nastiti. 2008. Rinosinusitis, dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI: Jakarta. pp 303-15.
Hamilos LD., Dyckewics SM. 2010. Rhinitis and sinusitis. Journal of Allergy and Clinical Immunology. Vol 125.
Kentjono W.A., 2004. Rinosinusitis : Etiologi dan Patofisiologi. Bagian/SMF llmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Mangunkusumo E., Soetjipto D., 2007. Sinusitis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. FK UI: Jakarta.
Mardiraharjo N., 2009. Perbedaan Tekanan Telinga Tengah Penderita Rinosinusitis Kronis Dibanding Orang Normal. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Tesis
Poachanukoon O., Nanthapisal S., Chaumrattanakul U. 2012. Pediatric acute and chronic rhinosinusitis: comparison of clinical characteristics and outcome of treatment. Asian Pac J Allergy Immunol 2012. pp 51-146.
Ramadan HH. 2011. Chronic Rhinosinusitis in Children. Department of Otolaryngology, West Virginia University, P.O. Box 9200, Morgantown, WV 26506, USA. International Journal of Pediatrics.
Rinaldi, Lubis H.M., Daulay R.M., Panggabean G., 2006. Sinusitis pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 7:244-8.
Singh I., Sherstha A., Gautam D., Ojasvini, 2010. Chronic Rinosinusitis and Nasal Polyposis in Nepal. Clinical Rhinology: An International Journal. Vol. 3:87-91.