Upload
rully-riyan-dika
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bedah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem endokrin meliputi sistem dan alat yang mengeluarkan hormone.
Yang termasuk kelenjar endokrin adalah hipotalamus, kelenjar hipofisis anterior
dan posterior, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, pulau langerhans pancreas,
korteks dan medula anak ginjal, ovarium, testis, dan sel endokrin dijalan cerna
yang disebut sel amine precursor uptake and dearboxylation (sel APUD). 1
Bedah endokrin membahas pemeriksaan dan pengendalian keadaan bedah
pada kelenjar endokrin.
Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang terbatas. Kelenjar
endokrin dapat menghasilkan hormone secara berlebihan misalnya penyakit
graves, yaitu hiperfungsi kelenjar tiroid, atau menghasilkan terlalu sedikit
hormone, misalnya pada miksudem akibat hipofungsi kelenjar tersebut. Kelenjar
endokrin dapat juga menjadi besar atau menjadi kecil. Keadaan tersebut dapat
juga terjadi bersama-sama. 1
Berbagai kelainan patologi, khususnya keganasan, dapat terjadi pada satu
atau beberapa keadaan diatas. Badah endokrin mempunyai cirri khusus, yaitu
sebagai kelainannya merupakan gangguan fungsi kelenjar tanpa kelainan anatomi,
sehingga gejala yang menonjol hanya dapat dinyatakan secara umum. 2
Kelainan grandula thyroidea dapat berupa gangguan fungsi seperti
tirotoksikosis atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit
tiroid nodular. Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut
struma.2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Tirama
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : PNS
Alamat : Palmerah Lama, Kecamatan Jambi Selatan
ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2013 di Poli Bedah RSUD
Raden Mattaher Provinsi Jambi
Keluhan utama
Benjolan pada leher sejak 2 tahun yang lalu
Riwayat Perjalanan Penyakit
Benjolan muncul pada leher bagian depan sejak 2 tahun yang lalu, awalnya kecil
sehingga tidak begitu dihiraukan semakin lama semakin besar. Benjolan tidak
sakit. Menurut pasien awalnya benjolan yang semakin besar ini disertai dengan
demam tapi tidak terlalu tinggi. Pasien pernah berobat ke dokter sebelumnya
beberapa kali dan diminta untuk dilakukan periksa darah dan diberi obat, namun
menurut pasien obat yang diberikan membuat pasien berdebar debar. Selanjutnya
pasien mencoba berobat ke sinse dengan akupuntur hingga 20 kali. Namun tidak
ada perubahan pada benjolan di lehernya. Hingga saat ini benjolan tidak sakit.
Pasien suka mengeluh cepat capek, malam hari agak susah tidur karena merasa
sedikit ada yang mengganjal di leher. pasien mengatakan tidak ada perubahan
nafsu makan, frekuensi makan malah bertambah hingga pasien mengaku takut
gemuk. Suara serak dan sulit menelan tidak ada. Pasien menyangkal tangan suka
berkeringat dan bergetar serta menyangkal adanya perasaan cemas yang
2
berlebihan. Pasien juga menyangkal adanya penurunan berat badan. Makanan
yang dimakan pasien mengaku tidak pernah terlalu asin atau terlalu manis, pasien
juga mengatakan semenjak terdapat benjolan ini pasien menggunakan garam
beryodium saat masak.
Riwayat Penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Pasien juga mengaku tidak
pernah ada riwayat operasi sebelumnya. Riwayat sakit maag +, hipertensi
disangkal, DM disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Status General
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Tanda vital :
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 74 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu : afebris
Kepala : Normocephal, simetris
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor
kanan = kiri, eksopthalmus (-)
THT : tidak ada kelainan
Leher : simetris, pembesaran KGB (-), pergeseran trakea (-),
teraba massa sebesar telur puyuh di leher bagian depan dan
mengikuti pergerakan saat menelan
Thoraks :
Paru-paru
- Inspeksi : bentuk dada normal, simetris
3
- Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri
- Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi-/-, wheezing-/-
Jantung :
- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktuskordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra, tidak
kuat angkat
- Perkusi : batas jantung kiri bawah di ICS V linea aksilaris anterior
sinsitra, batas jantung kanan bawah di ICS IV linea parasternalis
dekstra, batas kiri atas di ICS II linea sternalis sinistra, batas kanan atas
di ICS II linea sternalis dekstra, dan pinggang jantung di ICS III linea
parasternalis sinistra
- Auskultasi : BJ I/II regular, Gallop -, bising jantung -
Abdomen :
- Inspeksi : dinding perut datar, sikatrik -, venektasi –
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palapasi : tidak ada nyeri tekan, hepatomegali -, splenomegali -,
undulasi -, shifting dullness –
- Perkusi : timpani, ascites -
Ekstermitas superior :
Akral hangat, tidak ada edema, kekuatan 5|5,sensibilitas +/+
Ekstermitas inferior :
Akral hangat, tidak ada edema, kekuatan 5|5,sensibilitas +/+
Status Lokalis
Regio Coli Anterior :
- Inspeksi : tampak benjolan bulat sebesar telur puyuh, berjumlah satu,
warna seperti kulit disekitarnya, terlihat ikut bergerak ke atas saat
pasien menelan.
- Palpasi dilakukan dengan posisi di belakang pasien teraba massa
berukuran sebesar telur puyuh, kenyal, batas tegas, permukaan licin,
4
tidak berbenjol benjol, jumlah 1, tidak terfiksir, nyeri tekan (-), massa
ikut bergerak ketika pasien menelan.
- Auskultasi : tidak terdapat bising pada kelenjar tiroid
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematologi Nilai Nilai Normal
WBC 8. 103 / mm3 4-10. 103 / mm3
RBC 4,3 . 106/ mm3 3,8-5,8. 106/ mm3
HB 12,7 g/dl 11,0-16,5 g/dl
HCT 39,2 % 35-50%
PLT 186. 103 / mm3 150-390. 103 / mm3
PCT 0,135 % 0,100-0,500 %
Massa pembekuan 4 menit 2-6 menit
Massa perdarahan 2 menit 1-3 menit
LED 22 /jam < 15 /jam
Kimuia Darah
Protein total 7,1 gr/dl 6,4-8,4 gr/dl
Albumin 4,1 gr/dl 3,5-5,0 gr/dl
Globulin 3,0 gr/dl 3,0-3,6 gr/dl
SGOT 23 U/L <40 U/L
SGPT 14 U/L <41 U/L
Ureum 13,0 mg/dl 15-39 mg/dl
Kreatinin 0,7 mg/dl L 0,9-1,3 ; P 0,6-1,1 mg/dl
Hormon Tiroid
T3 0,95 nmol/L 0,95- 2,5 nmol/L
T4 74,16 nmol/L 60-120 nmol/L
TSH 1,5 µIU/ ml Eutyroid = 0,25-5
Hipertyroid = <0,15
Hipotyroid = >7
5
Radiologi
USG tiroid: tiroid dekstra membesar, tampak nodul berukuran 3,8 x 2,7 x 3,9cm,
intensitas echoparenkim homogen rata, tak tampak kista maupun kalsifikasi. tiroid
sinistra normal
Rontgen thoraks : kesan pulmo kanan dan kiri normal, bentuk dan ukuran cor
normal
DIAGNOSA KERJA
Struma Nudosa non toksik
PENATALAKSANAAN
Operatif
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. EMBRIOLOGI KELENJAR TIROID
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan.
Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada
akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara
branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum,
yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami desensus dan
akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus
tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. 3
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu
masih menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang
letaknya abnormal, seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid
lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal.
Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel
parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin.. Kelenjar tyroid janin
secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1
3.2. ANATOMI KELENJAR TIROID
7
Gambar. Anatomi Thyroid
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan
fascia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus,
pembuluh darah besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil
melingkarinya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar
paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang kelenjar tyroid. 1
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus sehingga
bentukya menyerupai kupu-kupu atau huruf H, dan menutup cincin trakhea 2 dan
3. Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Kapsul fibrosa
menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap gerakan
menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini
digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher
berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak. 3
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel
lymfoid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem
venanya berasal dari pleksus perifolikular. 3
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.
Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika
dan ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan.3
8
3.3. HISTOLOGI KELENJAR TIROID
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500
µm. Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak
menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran
basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk
lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin
(BM 650.000) .3
3.4. FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan
baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik
dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin
sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid
kelenjar tyroid. 4
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam
kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur
ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat
tyroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin
(Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA). 1
Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh kadar hormone TSH yang dihasilkan
oleh lobus anterior kelenjar hipofisis dan terhadap sekresi hormone pelepasan
tirotropin (TRH) dari hipotalamus. Hormon tiroid mempunyai pengaruh yang
bermacam-macam terhadap jaringan tubuh yuang berhubungan dengan
metabolisme sel. Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin yang menurunkan
kadar kalsium serum.3
9
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar
tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-
reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon
meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis
juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan
hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid3
Efek metabolisme Hormon Tyroid : 4
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
10
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada
hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
3.5. DEFENISI STRUMA
Struma adalah reaksi adaptasi terhadap kekurangan yodium yang ditandai
dengan pembesaran kelenjar tyroid.2 Struma adalah suatu pembengkakan pada
leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandulatiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
3.6. EPIDEMIOLOGI
Survey epidemiologi untuk gondok endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pengunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan, dan
sebagainya dan juga terlihat di dataran rendah seperti Finlandia, Belanda, dan
sebagainya.2
Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita
dibanding pria. Di Inggris, prevalensi Hypertiroidisme pada praktek umum
adalah 25 – 35 kasus dalam 10.000 wanita, sedang di rumah sakit didapatkan 3
kasus dalam 10.000 pasien. 2
Pada wanita ditemukan 20 – 27 kasus dalam 1.000 wanita, sedangkan pria 1 –
5 per 1.000 pria. Data dari Whickham Survey pada pemeriksaan penyaring
11
kesehatan dengan menggunakan Free Thyroxine Index (FT4) menunjukkan
prevalensi Hipertiroidisme pada masyarakat sebanyak 2%. 2
3.7. PATOFISIOLOGI
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid
oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic
gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel
tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan
menyebabkan struma nodusa. 3
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah
dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika
proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon
tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan
goitrogen.5
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise
yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar
hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.5
3.8. KLASIFIKASI STRUMA
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
3.9. DIAGNOSIS
12
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan
keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.1
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran
makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
13
1. Status Generalis :
Tekanan darah meningkat
Nadi meningkat
2. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah.
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
3. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
4. Jantung : Takikardi
5. Status Lokalis :
a. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
b. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Latera: M. Sternokleidomastoideus
Pemeriksaan lain dapat berupa pemeriksaan untuk menemukan pasien eutiroid
atau hipertiroid dengan menggunakan indeks diagnostik klinik dari wayne atau
indeks new castle.
14
15
3.10. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dengan bertambahnya usia, volume kelenjar mengecil meskipun ada yang
mendapatkan justru membesar sampai 30-40 gram, tetapi nodularitas, infiltrasi sel
limfosit dan fibrosis bertambah. Mungkin faktor inilah yang menyebabkan berat
kelenjar tiroid bertambah. BMR menurun, tetapi jika dikoreksi dengan massa
ototnya maka sebenarnya BMRnya kira-kira tetap saja. Adapun neck radio active
iodine uptake berkurang. Infiltrasi limfosit ini sering dihubungkan dengan proses
destruksi karena proses autoimun yang memberi uptake menurun. 6
Produksi T4 menurun demikian juga T3 sebagai akibat dari menurunnya
monodeyodinasi T4, sebab sebagian besar T3 dalam sirkulasi berasal dari proses
monodeyodinasi T4 di perifer dan bukan hasil produksi kelenjar tiroid. Makin tua
degradasi T4 makin menurun dan rT3 naik. Pada usia lanjut (>65 th) kebutuhan
hormon tiroid sehari-harinya menurun 20%. Meskipun demikian kemampuan
reserve memproduksi T4, T3 tetap. Kadar TSH umumnya tidak berubah.
Pengamatan populasi di Inggris menunjukkan bahwa TSH meningkat dengan usia,
khususnya pada wanita dan yang disertai dengan kenaikan titer beberapa antibodi
terhadap tiroid. Keadaan ini diduga sebabnya ialah meningkatnya penyakit
autoimun yang memberi hipotiroidisme pada kelompok ini. Disimpulkan bahwa
memang terjadi perubahan anatomi serta fisiologi aksis hipofisis-tiroid, sebagai
konsekuensi logis proses menua, namun bukan suatu hipotiroidisme. Hipotiroid
memang harus didefinisikan sebagai tidak tersedianya hormon secara cukup di
jaringan perifer, dapat primer (tiroidnya) ataupun sentral (hipofisis/hipotalamus).
Kini definisi yang dianut ialah keadaan dimana jaringan tubuh mengalami
kekurangan efek hormon tiroid. Dengan bertambahnya usia, puncak variasi TSH
nokturnal menurun. 6
Disamping itu pemeriksaan terhadap antibodi anti tiroid (Ab-anti
TPO/mikrosom, Ab-anti Tg/tiroglobulin) pada usia lanjut perlu diperiksa untuk
memastikan etiologi autoimun. FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy),
diperlukan untuk mendeteksi awal adanya keganasan pada nodul tiroid usia lanjut.
16
1. Tes Standar Tiroid
Tes standar untuk mengetahui fungsi tiroid yaitu serum tiroksin (T4) dan
Triioditironin Resin Uptake (T3RU). Pengukuran serum Tirotropin (TSH)
kadangkala tidak berguna pada beberapa situasi. 5
Tes R3RU adalah pengukuran tidak langsung Thyroxine Binding Globuline
(TBG), pembawa protein mayor untuk T4 dalam plasma. T3RU biasanya
dilaporkan dalam persentase T3 yang diserap atau diambil oleh penyerap
nonspesifik (resin), tapi lebih sering digambarkan sebagai perbandingan sampel
test pasien dengan contoh serum standar rasio T3U. Nama baru untuk tes tersebut
yaitu Thyroid Hormone Binding Ratio telah direkomendasikan. Akhir-akhir ini
beberapa laboratorium telah mulai untuk menggunakan pengukuran langsung
TBG sebagai alternatif yang kurang tepat tetapi dapat digunakan untuk mencari
ratio T3U. Tidak ada keuntungan klinis yang jelas terlihat dari pengukuran
langsung TBG. 6
T4 sekarang diukur dengan menggunakan radioimmunoassay atau
displaceent analysis. Metode ini tidak secara langsung mengganggu dengan
kontaminasi iodium, walaupun beberapa komponen yang mengandung iodine
mempunyai efek dalam metabolisme tiroksin sehingga dapat mempengaruhi nilai
T4. 6
T4 selalu dinilai berhubungan dengan ratio T3U. T4 yang tinggi atau yang
rendah dapat dinilai sebagai refleksi sekresi T4 hanya jika ikatan plasma T4
normal yaitu hanya jika TBG (ratio T3U) normal. Untuk kenyamanan, T4 dan
ratio T3U sering dikombinasi untuk menilai indeks T4 bebas (FT4I) hanya dengan
mengalikan T4 dengan ratio T3U. Prosedur ini akan memberikan kompensasi
untuk T4 yang rendah atau tinggi yang berasal dari konsentrasi TBG abnormal.
FT4I sering dilaporkan oleh beberapa laboratorium sebagai T7 atau T12. 6
Tes lain yang berhubungan dengan T4 yaitu T4 bebas (FT4), fraksi kecil T4
yang tidak terikat dengan protein. Pada beberapa kasus FT4I sejajar dengan T4
bebas(FT4). FT4 diperkirakan dengan menentukan T3 dan T4 yang tidak terikat
dengan protein, dengan menggunakan analisa keseimbangan (equilibrium
dialysis), ultrafiltrasi atau teknik-teknik lain : produk T4 dikalikan dengan fraksi
yang didialisa atau fraksi ultrafiltrasi disebut T4 bebas. Walaupun telah lama T4
17
bebas digembor-gemborkan sebagai indikator hipertiroid paling sensitif, tetapi
banyak masalah interpretasi timbul pada pasien yang sakit berat, karena banyak
penyakit non tiroid dari penyakit infeksi akut sampai penyakit hati yang dapat
meningkatkan T4 bebas. Penjelasan paling mungkin untuk fenomena ini yaitu
munculnya penghambat pengikat protein dalam plasma saat menderita penyakit
nontiroid. Pada keadaan ini, T4 normal atau rendah, T4 bebas meningkat karena
fraksi yang terdialisa meningkat. Jadi peningkatan T4 bukanlah suatu penemuan
spesifik untuk mengetahui status tiroid. Pertimbangan seperti ini penting karena
banyak pasien lansia yang diduga menderita penyakit hipertiroid juga sedang
menderita penyakit nontiroid lainnya yang dapat meningkatkan T4 bebas.
Diagnosa hipertiroid harus dibuat dengan hati-hati bila hanya T4 bebas yang
meningkat. 6
Serum T3 dinilai dengan menggunakan radioimmunoassay. Seperti juga T4,
penilaian T3 tidak langsung dipengaruhi oleh komponen iodine tetapi nilainya
dapat terpengaruhi, biasanya pengaruh ke arah bawah oleh berbagai faktor selain
fungsi tiroid.
Pada orang muda serum T3 selalu meningkat pada keadaan hipertiroid dan
dikatakan bahwa T3 merupakan indikator tunggal hipertiroid yang paling sensitif.
Proporsi hipertiroid yang kecil tapi penting untuk diagnosa pada pasien semua
umur dan yang berhubungan dengan etiologi manapun yang menyebabkan hanya
peningkatan T3 (T3 toksikosis). 6
Hanya sedikit pasien yang sangat tua yang normalnya berdasarkan usia
mempunyai T3 yang rendah. Bagaimanapun banyak penyakit nonspesifik, obat-
obatan dan bahkan menurunnya asupan makanan juga dapat menekan T3 pada
lansia dan juga orang muda. Mekanisme tersebut mungkin yang menyebabkan
bahwa pada lansia dengan hipertiroid T3 tidak meningkat. 5
2. Tes TSH dan TRH
Menentukan serum thyrotropin (TSH) sangat berguna untuk diagnosa
hipotiroid tapi sampai sekarang tidak terlalu membantu untuk diagnosa hipotiroid.
Pengujian baru cukup sensitif untik melihat supresi TSH yang terjadi keadaan
dimana hanya terjadi peningkatan sedikit konsentrasi serum T3 dan T4. Jadi
serum TSH pada pasien hipertiroid akan menurun, walaupun pada pengujian yang
18
lama dilaporkan masih dalam batas normal. Sekarang ini literatur yang ada masih
belum mengandung informasi yang cukup mengenai penelitian ultrasensitif
terbaru pada berbagai jenis situasidan pada lansia. Jadi saat ini, diagnosa
hipertiroid pada lansia tidak dapat berdasarkan supresi TSH atau bila tidak ada
supresi TSH, diagnosa hipertiroid belum dapat disingkirkan. 4
Penentuan serum TSH setelah pemberian TRH intravena berguna untuk
diagnosa hipertiroid pada pasien muda (tes TRH). Peningkatan normal TSH
setelah pemberian TRH menjadi tidak ada karena sudah banyak hormon tiroid
yang diproduksi pada hipertiroid tapi nilai hormon dalam darah (T4, T3) masih
dalam batas atas. Singkatnya, tes ini dilakukan dengan menilai serum TSH,
dengan memberikan TRH intravena bolus 500 mikrogram yang kemudian dinilai
setelah 20 atau 30 menit, dimana TSH sudah maksimal meningkat. Pada lansia
sampel harus dinilai pada 60 menit karena mungkin respon tertunda khususnya
pada orang tua yang sakit. 3
Peningkatan produksi serum TSH lebih besar daripada 2-3 μU/ml diatas
nilai batas merupakan respon normal yang dengan efektif dapat menyingkirkan
diagnosa hipertiroid pada pasien semua umur. Bagaimanapun kegagalan pasien
lansia untuk merespon TRH tidak diartikan menderita hipertiroid, karena pada
lansia respon TRH yang menurun sampai tidak ada masih mungkin merupakan
hal normal. Respon TRH pada umur manapun juga bisa tidak ada pada pasien
dengan penyakit nontiroid berat dan pada individu yang diberikan glukokortikoid
dan dopamine. Pasien eutiroid dengan struma noduler juga dapat gagal merespon
TRH test.
3. Tes Thyroidal Radioiodide Uptake (RaIU)
Tes RaIU sekarang lebih jarang digunakan atau diperlukan dibandingkan
jaman dulu. Tes ini jauh lebih mahal dan lebih memakan waktu daripada
pemeriksaan hormon dalam darah. Penilaian tes juga dapat ditekan oleh
kontaminasi komponen iodine terutama pada pasien rawat inap. Terlebih pada
penelitian terbaru untuk penggunaan tes RaIU pada orang tua, telihat jelas bahwa
tes RaIU telah banyak tidak berguna lagi. Pada periode 1957-1970, tes RaIU dapat
mendiagnosa 90% kasus. Sejak itu penilaian RaIU untuk diagnosa eutiroid dan
hipertiroid telah banyak gagal, mungkin akibat meningkatnya diet iodium
19
sehingga tes ini tidak berguna lagi. Pada pasien muda tes RaIU ini masih dapat
mendiagnosa 90% tetapi pada lansia hanya 50%. Bahkan pada pasien lansia
hipertiroid dengan struma multi nodular, penilaian diagnosa hanya 30%.Selain itu
penilaian batas normal juga menurun pada beberapa tahun terakhir ini. Jadi RaIU
tidak dapat membantu diagnosa dan lebih baik tidak digunakan untiuk awal
evaluasi karena pengambilan (uptake) normal atau rendah tidak terbukti pada
diagnosa hipertiroid. Penurunan uptake radioiodine tahun-tahun belakangan ini
juga merupakan konsekuensi dimana dosis RaIU untuk pengobatan harus
dipertimbangkan untuk ditingkatkan. 3
Situasi khusus dimana penilaian RaIU tetap berguna yaitu pada hipertiroid
akibat iodium dan Lymphocytic (silent) thyroiditis, dimana pada keadaan tersebut
RaIU memang khas rendah (kurang dari 5%). Kadang-kadang penilaian
RaIUdibuat berdasarkan hasil scanning hipertiroid dengan ratio nuklir.
Penggunaan RaIU dibuat berdasarkan hasil scanning hipertiroid dengan ratio
nuklir. Penggunaan RaIU untuk tes supresi untuk menentukan hipertiroid pada
kasus yang diduga hipertiroid sekarang jarang dilakukan. Tes supresi termasuk
pemberian T3 dan T4 dan harus diberikan dengan hati-hati terutama pada orang
tua. Alternatif lain untuk tes supresi yaitu tes TRH. Tes supresi dan tes TRH dapat
menjadi tidak normal pada struma nodular nontoksik. 3
4. Ultrasonografi
Dalam tiroidologi kegunaan utama ultrasonografi adalah untuk menentukan
volume, besar, dan ukuran kelenjar, serta untuk membedakan apakah suatu nodul
kistik atau padat. Suatu yang secara klinis soliter, mungkin ditemukan multiple
pada ultrasonogram. Melalui ultrasonografi tidak dapat dibedakan apakah suatu
lesi tiroid ganas atau jinak. 3
5. CT-scan dan MRI
Dengan resolusinya yang tinggi yang dapat membuat pencitraan dengan
potongan sampai setipis 2-4 mm, CT-scan mampu memvisualisasikan dengan
baik hubungan kelenjar tiroid dengan organ sekitarnya (trakea, esofagus dan
struktur lain disekitar tiroid) serta ekstensinya ke mediastinum. CT-scan juga
mampu lebih tepat mengukur volume, ukuran kelenjar, serta kepadatan jaringan
kelenjar tiroid.
20
Kadang-kadang diperlukan CT-scan dengan zat kontras (mengandung
iodium)untuk mendiagnosis dan visualisasi pembuluh darah. Manfaat MRI
(Magneting Resonance Imaging) dalam tiroidologi hampir sama dengan CT-scan.
MRI juga tidak dapat membedakan apakah suatu lesi ganas atau jinak. Namun
MRI dapat mendeteksi kekambuhan karsinoma dan membedakannya dari
fibrosis.3
3.11. STRUMA NON TOKSIK
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid,
tidak berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan
simetri atau nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau
adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium.
Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia
lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk
involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika
pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan
foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan
gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator . 6
Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan
faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
21
a. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang
kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai).
Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya :
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi,
kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana
menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur yang dapat
bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut. 5
Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid..
Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler
oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin
yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul
diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). 4
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi
Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang
tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui
rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar
hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid. 5
22
Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang
dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan
pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data
juga oleh tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. 2
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya
suara parau.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher
sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar
getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau
penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase
karsinoma tiroid pada kranium. 2
Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam
kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah
penderita dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita
(struma endemik). Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher
bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah
ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma
tiroid tipe meduler). 3
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
23
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian
depan bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah.
Diperhatikan kulit di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi. 2
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita. Pada palpasi
harus diperhatikan :
lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
konsistensi
mobilitas
infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal) 2
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun
pada umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah
satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya. 6
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,
umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi,
dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien
diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi
yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3
bentuk :
1. nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
24
2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
3. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG : 5
kista
adenoma
kemungkinan karsinoma
tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap
cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. 6
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.
Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil
negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar,
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi
oleh ahli sitologi. 5
4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus
pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas
apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 oC dan dingin apabila <0,9 oC.
Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas.
Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan
lain. 4
5. Petanda Tumor
25
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)
serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-
rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml. 6
Penatalaksanaan
Terapi struma antara lain dengan penekanan TSH oleh hormon tiroid.
Pengobatan dengan tiroksin yang lama akan mengakibatkan penekanan TSH
hipofisis dan penghambatan fungsi tiroid disertai atropi kelenjar tiroid. Struma
yang besar mungkin perlu dibedah untuk menghilangkan gangguan mekanis dan
kosmetik yang diakibatkannya. 5
Tipe pembedahan masih sering diperdebatkan antara penganut radikal dan
lebih konservatif dengan berbagai argumentasi. Pada golongan konservatif
mengacu pada beebrapa faktor prognostik terutama pada kanker tiroid
berdeferesiansi baik , tindakan radikal dilakukan pada penderita dengan resiko
tinggi. Tindakan operasi atau pembedahan pada kelenjar tiroid dapat berupa
subtotal lobektomi, total lobektomi, istmolobektomi, subtotal tiroidektomi, near
total tiroidektomi, total tiroidektomi.7
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang
terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua
lobus terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar
getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau
deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan
luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening. 2,8
Berdasarkan Devita kelenjar getah bening disusun dalam tingkatan atau
level pada regio coli. Level I meliputi daerah submental dan submandibula. Level
II-IV meliputi kelenjar betah bening di daerah vena jugularis interna, dan level V
mencakup segitiga posterior.8
Dalam deseksi kelenjar leher radikal klasik atau RND (Radical neck
dissections), deep dan superfisial fasia cervical dengan kelenjar getah bening
26
(level I-V) diangkat satu kesatuan dengan m. sternocleidomastoideus, vena
jugularis interna dan nervus aksesorius. Sedangkan selective neck dissection
(SND) lebih terbatas, hanya mereseksi kelenjar getah bening pada level tertentu
yang beresiko tinggi mengandung metastase dan mempertahankan vena jugularis
interna, nervus aksesorius, dan atau m. sternocleidomastoideus.8
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga
sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah
karsinoma tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga
ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada
karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.3 Preparat : Thyrax tablet, dosis
: 3x75 Ug/hari p.o
3.12. STRUMA TOKSIK
1. Struma difus toksik (Grave’s Disease)
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s
terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang
merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri.1
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter
akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid
yang berlebihan. 3
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan
aktivitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun,
sering disertai dengan nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan
kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
27
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati
ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan
konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata diinfltrasi oleh limfosit, sel
mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa (proptosis bola mata),
okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler. 3
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi
pemeriksaan laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-
kasus subklinis dan pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang
cermat untuk membantu menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada
wanita hamil agak sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran
tiroid serta manifestasi hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut
Bayer MF, pada pasien hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating
Hormone sensitive (TSHs) tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4)
meningkat. 2
Tes Laboratorik
Kadar T3 dan T4 meninggi, ambilan yodium radio aktif biasanya meningkat.
Menurut Bayer MF10 kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid
Stimulating Hormone Sensitif (TSHS) yang tak terukur atau jelas subnormal dan
Free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukkan hipertiroidisme.
Pemeriksaan auto antibodi tiroid membantu untuk membedakan penyakti
autoimun dengan penyebab lain. Bila TSHS sub normal dan FT4 normal perlu
diperiksa FT3 untuk membedakan T3 toksikosis dan hipertiroidisme subklinis.
Pemeriksaan sidik tiroid atau RAIU digunakan untuk melengkapi diagnosa
banding pada hipertiroidisme. 3
Penatalaksanaan
28
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon
tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau
merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Tirotoksikosis dapat dikendalikan dengan efektif oleh obat antitiroid.
Sayangnya, obat ini mungkin berhasil dalam menimbulkan pada remisi yang
permanen hanya pada sebagian kecil penderita dewasa dan kira-kira 20%
anak-anak. Penggunaan obat untuk waktu lama terbatas karena efek samping
toksik, seperti ruam kulit, disfungsi hati, neuritis, artralgia, mialgia,
limfadenopati. 6
Indikasi :
a. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
b. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
c. Persiapan tiroidektomi
d. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
e. Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan adalah karbimazol, metimazol dan
propiltourasil.
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Terapi radio iodine mungkin dipertimbangkan untuk tirotoksikosis
kecuali pada bayi baru lahir, pada wanita hamil, atau jika dihindari oleh
‘uptake’ iodine yang rendah. Pengobatan sangat efektif, walaupun
hipotiroidisme progresif yang membutuhkan penggantian tiroid sering terjadi.3
Indikasi :
a. pasien umur 35 tahun atau lebih
b. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
c. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
d. adenoma toksik, goiter multinodular toksik
3. Operasi
29
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme.
Penanganan bedah hipertiroidisme ditinjau untuk mengangkat jaringan tiroid
secukupnya guna mempertahankan penderita dalam status eutiroid. Resiko
pembedahan minimal, tetapi meliputi cedera nervus laringeus rekuren,
hipoparatiroidisme, hipatiroidisme permanen. 3
Indikasi :
a. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
b. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
c. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
d. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
e. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
2. Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease. Paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular
kronik. 2
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten
terhadap terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti
penurunan berat badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter
multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid
difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan
mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian,
tidak ada manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada
penyakit Graves. Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa
goiter terletak di retrosternal. 3
Diagnosis
30
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung
oleh tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat.
Antibodi antitiroid biasanya tidak ditemukan. 5
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala
tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi
tidak efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena
penderita ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter,
nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang
terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal
lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan . 3
31
BAB IV
KESIMPULAN
Struma adalah reaksi adaptasi terhadap kekurangan yodium yang ditandai
dengan pembesaran kelenjar tyroid.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise
yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar
hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.
Menurut American society for Study of Goiter membagi struma menjadi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan
keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.1
Pemeriksaan penunjang pada struma antara lain : tes standar tiroid, tes TSH
dan TRH, tes Thyroidal Radioiodide Uptake (RaIU), Ultrasonografi, CT-scan dan
MRI.
Penatalaksanaan struma dapat menggunakan obat anti tiroid, pengobatan
dengan yodium radioaktif, dan operasi.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Widjosono – Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 925 – 952.
2. Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757 – 778.
3. Muhammad Akbar. Struma. Di unduh dari :
http://ababar.blogspot.com/2008/12/struma.html.
4. Sachdova R. K., Tiroid : Catatan Ilmu Bedah, Editor Erlan, Edisi Kelima,
Hipokrates, 1996 : 85 – 86.
5. Lyberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15 – 19.
6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
7. Pasaribu ET. Pembedahan pada kelenjar tiroid. Devisis onkologi ilmu bedah,
FK USU. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol: 39. September 2006.
8. Devita, Vincent T.; Lawrence, Theodore S.; Rosenberg, Steven A (editor).
Cancer of the head and neck dalam: Devita, hellman, Rosenberg Cancer:
Principles and practice of oncology .2008. Edisi 8. Vol 1 part 3, chapter 36.
Lippincott Williams & Wilkins.
33