18
0 TUGAS ILMU KESEHATAN THT TUMOR BIDANG THT oleh : Yudha Anantha KP,S.Ked 092011101044 Dokter Pembimbing : dr. Bambang Indra, Sp.THT dr. Maria Kwarditawati, Sp.THT dr. Djoko Kuntoro, Sp. THT Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya Lab/SMF Ilmu Kesehatan THT - RSD dr.Soebandi Jember

Referat Tht Final keganasan bidang THT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semoga bermanfaat

Citation preview

Page 1: Referat Tht Final keganasan bidang THT

0

TUGASILMU KESEHATAN THT

TUMOR BIDANG THT

oleh :

Yudha Anantha KP,S.Ked 092011101044

Dokter Pembimbing :

dr. Bambang Indra, Sp.THT

dr. Maria Kwarditawati, Sp.THT

dr. Djoko Kuntoro, Sp. THT

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Lab/SMF Ilmu Kesehatan THT - RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JEMBER

2013

Page 2: Referat Tht Final keganasan bidang THT

1

TUMOR BIDANG THT

Tumor terutama yang diakibatkan ole keganasan merupakan penyakit yang sangat

ditakuti oleh masyarakat dunia. Banyak ditemukan pada usia 40 tahun keatas.

Kemungkinan terbesar menderita kanker adalah saat berusia lebih dari 60 tahun dan

memberikan angka survival rate 5 tahun hanya berkisar antara 9-32% pada wanita dan 9-

42% pada pria. Studi selama 10 tahun (1991-2001) mengenai jumlah kasus keganasan di

bidang THT didapatkan persentase Karsinoma Nasofaring 62,13%, Kanker Laring 6,23%

Limfoma Maligna 13,2% dan Keganasan pada Telinga 2,69%. (4)

KARSINOMA NASOFARING

Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor yang berasal dari sel-sel epitel

permukaan nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring.(3)

Etiologi

Beberapa faktor saling berkaitan sehingga disimpulkan bahwa penyebab penyakit

ini adalah multifaktor. Kaitan antara infeksi virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin

dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat tinggal

tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama di dalam tubuh.(3)

Patofisiologi

Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt,

limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring terjadi

pada sel epitel di daerah fossa Rosenmulleri dan tempat bermuara tuba eustachius. Faktor

yang mempengaruhi patogenesis KNF yaitu infeksi EBV, lingkungan dan genetik. (4)

Gejala Klinis

Gejala dini meliputi: 1. Sumbatan tuba eutachius yang menimbulkan rasa penuh di

telinga, berdengung, otitis media hingga gangguan pendengaran; 2. Epistaksis akibat

dinding tumor yang rapuh dan penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat

mencederai dinding pembuluh darah; 3. Sumbatan hidung akibat pertumbuhan tumor. (3)

Gejala lanjut meliputi: 1. Pembesaran KGB leher. Kelenjar limfe melekat pada otot

sehingga sulit digerakkan; 2. Perluasan ke rongga tengkorak melalui sela-sela otot. Melalui

foramen laserum dapat mengenai saraf otak III, IV, VI, atau V, menimbulkan diplopia,

juling dan neuralgia trigeminal; 3. Mengenai saraf otak IX, X, XI, dan XII melalui

foramen jugulare, mati rasa di wajah, kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan

pendengaran serta penciuman. 4. Gejala akibat metastasis pada tulang, hati dan paru. (3)

Page 3: Referat Tht Final keganasan bidang THT

2

Diagnosis

Jika ditemukan kecurigaan pada suatu KNF maka untuk menegakkan diagnosis

diawali anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan dengan kaca nasofaring atau

nasopharyngoskop. Pemeriksaan penunjang biopsi dan PA sebagai diagnosis pasti KNF.

Pemeriksaan radiologi foto polos, dan C.T.Scan pada kecurigaan KNF memberikan

diagnosis, menentukan lokasi, serta menentukan luasnya penyebaran tumor. Pemeriksaan

neuro-oftalmologi karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak maka

gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF. Pemeriksaan

serologi infeksi EBV untuk deteksi dini karsinoma nasofaring. (4)

Penatalaksanaan

1. Radioterapi menggunakan sinar energi tinggi yang dapat menembus jaringan untuk

membunuh neoplasma. Penggunaan terapi radiasi jika sel tumor belum menyebar dan

tipe tumor yang radiosensitif. Radioterapi pada limfonodi yang tidak teraba diberikan

radiasi 5000 cGy, <2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan

>4cm diberikan 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu. Alat yang

dipakai cobalt 60, megavoltage, atau orthovoltage. (5)

2. Kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi tunggal, tetapi banyak berupa kombinasi

karena lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Sitostatika yang

mendapat rekomendasi dari FDA yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-

fluorouracil, Cyclophosphamide, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel.(5)

3. Operasi diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Nasofaringektomi merupakan

operasi paliatif pada kasus yang kambuh atau adanya residu nasofaring yang tidak

berhasil diterapi dengan cara lain.(5)

KARSINOMA LARING

Definisi

Merupakan keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah lainnya di

tenggorok. Kanker di laring hampir selalu merupakan karsinoma sel skuamosa. (8)

Etiologi

Penyebab pasti masih belum diketahui, namun ada beberapa hal yang berhubungan

dengan keganasan laring yaitu: rokok, alkohol, radioaktif, polusi udara, dan asbestosis. (6)

Gejala Klinis

Suara serak disebabkan karena ganguan fungsi fonasi. Kadang bisa afoni karena

nyeri, sumbatan jalan nafas, atau paralisis komplit. Sesak nafas dan stridor karena

Page 4: Referat Tht Final keganasan bidang THT

3

sumbatan oleh tumor, penumpukan sekret, maupun fiksasi pita suara. Disfagia atau

Odinofagi, batuk disertai sekret yang mengalir ke dalam laring, haemoptisis pada tumor

ganas. Pembengkakan pada leher, nyeri alih telinga ipsilateral, penurunan berat badan serta

nyeri tekan laring karena supurasi pada kartilago tiroid dan perikondrium. (6)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT rutin, laringoskopi

indirek dengan kaca laring dan laringoskopi direk dengan laringoskop. Pemeriksaan

radiologi foto polos leher dan dada, pemeriksaan radiologi khusus (politomografi, CT-

Scan, MRI). Pemeriksaan hispatologi dari biopsi laring sebagai diagnosa pasti. (6)

Penatalaksanaan

1. Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari laringektomi parsial, laringektomi

total serta diseksi leher radikal yang tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.

2. Radioterapi memiliki hasil baik karena laring tidak cedera sehingga suara masih dapat

dipertahankan. Kemoterapi diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi

adjuvant ataupun paliatif. Obat yang diberikan adalah cisplatinum dan 5 FU.

3. Rehabilitasi mencakup vokal, vokasional, dan sosial karena laringektomi menyebabkan

cacat. Rehabilitasi suara dengan pertolongan alat bantu suara.(6)

LIMFOMA MALIGNA

Definisi

Limfoma maligna adalah proses proliferatif jaringan limforetikuler yang bersifat

neoplastik. Karena jaringan limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka

pertumbuhan limfoma dapat dimulai dari organ apapun.(13)

Berdasarkan gambaran histopatologisnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Limfoma Hodgkin (LH) memiliki gambaran yang khas yaitu sel Reed-Sternberg yaitu

sel besar berdiameter 15-45 mm, berinti ganda (binucleated), berlobus dua (bilobed),

atau berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik. Tampak adanya

anak inti yang besar seperti inklusi atau mata burung hantu (owl-eyes), dan dikelilingi

halo yang bening. Terbagi menjadi tipe klasik dan tipe nodular predominan limfosit. (12)

2. Limfoma Non-Hodgkin (LNH) menurut Rappapot terbagi menjadi 5 bentuk dimana

masing-masing dapat bersifat noduler atau difus. Klasifikasi sebagai berikut :

Lymphosytic, well differentiated, Lymphocytic, poorly differentiated, Histiocytic,

Undifferentiated (stem cell), dan Mixed lymphocytic and histiocytic. (11)

Page 5: Referat Tht Final keganasan bidang THT

4

Etiologi

Penyebab limfoma maligna sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa

hal yang diduga berperan sebagai penyebab penyakit ini antara lain: infeksi (EBV, HTLV-

1, HCV, dan Helicobacter pylori), faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia,

kemoterapi, dan radiasi, inflamasi kronis karena penyakit autoimun, dan faktor genetik.(13)

Patofisiologi

Terdapat kelompok gen pada sel kelenjar limfe yang menjadi sasaran kerusakan

genetik, termasuk sel limfoid, yang dapat menginduksi keganasan. Proto-onkogen dapat

bermutasi menjadi onkogen dan menyebabkan transformasi neoplastik. Gen supresor

tumor adalah gen yang menekan proliferasi sel (antionkogen), Jika kedua hal tersebut

terjadi maka sel akan melakukan proliferasi tanpa henti. Gen yang mengatur apoptosis

membuat sel mengalami kematian yang terprogram, Jika gen ini mengalami inaktivasi,

maka sel yang seharusnya mati menjadi tetap hidup dan tetap berregenerasi. Selain itu,

gagalnya gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan

menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker. (13)

Gejala Klinis

a. Limfoma Hodgkin (LH), memiliki gejala sistemik (demam intermitten, keringat

malam, BB turun), nyeri dada, batuk, napas pendek, dan dapat ditemukan adanya nyeri

tulang. Teraba pembesaran limfonodi pada satu kelompok kelenjar (cervix, axilla,

inguinal), asimptomatik limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan neuropati. (12)

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH) memiliki gejala sistemik yang sama, mudah lelah, dan

gejala obstruksi GI tract atau Urinary tract. Melibatkan kelenjar perifer, limfadenopati

asimptomatik, hepatomegali, splenomegali, dan teraba massa abdomen dan testis. (11)

Diagnosis

Diagnosis limfoma hodgkin maupun non-hodgkin ditegakkan melalui anamnesis

lengkap mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat malam, berat badan turun lebih dari

10 % dalam waktu kurang dari 6 bulan. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada

sistem limfe. Hitung sel darah putih, hitung jenis, hitung trombosit, dan kimia darah.

Pembuatan radiogram, CT scan atau MRI thorax. Biopsi kelenjar limfe, aspirasi sumsum

tulang dan terakhir evaluasi sitogenetik serta sitometri aliran.(11)

Penatalaksanaan

a. Pembedahan memiliki peranan yang terbatas, namun, sejauh ini hanya dilakukan untuk

mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.

Page 6: Referat Tht Final keganasan bidang THT

5

b. Radioimunoterapi dengan antibodi monoclonal untuk melawan antigen spesifik,

sedangkan Radioisotope untuk irradiasi sel-sel tumor secara selektif.

c. Kemoterapi meliputi pengobatan awal dengan regimen MOPP, ABVD, atau Stanford

V. Jika gagal atau relaps gunakan regimen ICE, DHAP, atau EPOCH.

d. Imunoterapi yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α untuk menstimulasi

sistem imun yang menurun akibat pemberian kemoterapi.

e. Transplantasi sumsum tulang jika limfoma tidak membaik dengan pengobatan

konvensional atau jika mengalami pajanan ulang (relaps). Transpalnatasi memiliki dua

cara yaitu secara alogenik dan secara autologus.(13)

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

Definisi

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (ANJ) adalah tumor pembuluh darah di daerah

nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat ganas, karena

mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitar, seperti ke

sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta mudah timbul perdarahan masif. (9)

Etiologi

Etiologi ANJ masih belum jelas, salah satu menyebutkan teori jaringan asal, yaitu

predileksi spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.

Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari

tumor ini, bahwa ANJ berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang

terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat

menjelaskan mengapa beberapa ANJ jarang terjadi setelah masa remaja. (10)

Patofisiologi

Permukaan tumor dilapisi mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman pembuluh

darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat. Tumor tumbuh di bawah mukosa di

tepi posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas

dibawah mukosa, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke bawah membentuk

tonjolan di rongga hidung posterior. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat mendesak,

dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang

intrakranial melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila serta sinus ethmoid. (9)

Gejala Klinis

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan

epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, tuli,

Page 7: Referat Tht Final keganasan bidang THT

6

otitis media, dan otalgia akibat oklusi tuba eustachius. Sefalgia hebat terjadi bila tumor

sudah meluas ke intrakranial, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Jika tumor besar maka

wajah tampak seperti “muka kodok” akibat tulang maksila merenggang dan eksopthalmus.

Gejala lanjut meningkat lebih sesuai dengan besarnya tumor. (10)

Diagnosis

Penegakan diagnosis pertama dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada

rinoskopi posterior terlihat tumor dengan konsistensi kenyal, warna abu-abu, merah muda

hingga biru atau ungu. Pemeriksaan radiologi konvensional terlihat gambaran klasik

“Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura

pterigopalatina melebar. Pada pemeriksaan CT scan dengan kontras tampak perluasan

massa tumor dan destruksi tulang. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan

memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dilakukan,

karena biopsi merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan masif.(9)

Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama, namun dapat mengalami regresi ketika

penderita masuk masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi seperti

menghalangi jalan napas atau epistaksis menahun. Untuk tumor yang sudah meluas dan

mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah dengan

penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau dapat

pula diberikan terapi hormonal. Terapi hormonal dengan testosterone receptor blocker

flutamide didapatkan penurunan ukuran tumor walaupun tidak sebaik radioterapi. (9,10)

POLIP NASI

Definisi

Polip Nasi adalah massa lunak, mengandung banyak cairan, warna putih atau

keabu-abuan, permukaan licin yang terbentuk akibat proses inflamasi mukosa hidung. (8)

Etiologi

Terjadi akibat reaksi hipersensitif atau reaksi radang pada mukosa hidung. Diduga

predisposisi timbulnya polip nasi adanya rinitis alergi atau penyakit atopi, selain itu

beberapa hal yang dapat menjadi faktor predisposisi antara lain, sinusitis kronik, iritasi,

sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. (8)

Patofisiologi

Peradangan kronik yang berulang menyebabkan edema mukosa, banyak terjadi di

meatus medius. Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui

Page 8: Referat Tht Final keganasan bidang THT

7

celah sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga

jaringan yang lema akan terhisap. Lapisan mukosa tertarik dan terbentuk stroma. Stroma

terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses

ini berlanjut, mukosa makin membesar dan turun ke rongga hidung dengan membentuk

tangkai. Sel-sel epitel teraktivasi alergen, polutan dan agen infeksius sehingga terjadi

hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus. (8)

Gejala Klinis

Gejala utama adalah hidung tersumbat, dapat timbul rinorea, hiposmia bahkan

anosmia dan tidak ada keluhan nyeri, Bila disebabkan alergi, terdapat gejala bersin dan

iritasi hidung. Pasien dengan sumbatan total atau polip tunggal besar memperlihatkan

gejala sleep apnea obstruktif dan pernafasan lewat mulut yang kronik. Polip dapat

berdekatan dengan muara sinus, sehingga muncul manifestasi sinusitis. (8)

Diagnosis

Ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dengan rinoskopi anterior

tampak sebagai massa berwarna pucat, permukaan licin, dan bisa digerakkan. Pemeriksaan

penunjang foto polos sinus paranasal, CT scan, serta pemeriksaan Naso-endoskopi.

Pembagian stadium menurut Mackay and Lund adalah: Stadium 0: tidak tampak polip;

Stadium 1: polip terbatas di meatus medius; Stadium 2: polip telah keluar dari meatus

media, tampak di rongga hidung; Stadium 3: polip telah memenuhi rongga hidung. (8)

Penatalaksanaan

1. Medikamentosa dengan Steroid oral dan topikal, antihistamin, dekongestan dan

sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat

berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di gunakan sendirian, tak dapat

berguna pada polip yang telah ada, antibiotik bila terjadi superimposed infeksi bakteri.

2. Pembedahan dilakukan pengangkatan polip atau polipektomi, bedah sinus endoskopik,

atau Surgical Micro Debridement. (8)

TUMOR GANAS TELINGA

Definisi

Keganasan yang terjadi pada telinga mencakup telinga bagian luar dan tengah

dapat berasal dari sel epitel, sel kelenjar, sel basal atau mesenkim. (7)

Etiologi

Penyebab pasti belum jelas, terdapat beberapa faktor predisposisi yaitu iritasi

kronik, infeksi kronik, faktor herediter dan juga dipengaruhi usia.(7)

Page 9: Referat Tht Final keganasan bidang THT

8

Patofisiologi

Karsinoma primer biasanya dimulai dari 1/3 luar liang telinga, kemudian

berkembang cepat ke perikondrium, merusak kartilago menyebar ke arah telinga tengah

menembus membran timpani, mastoid dan kanalis fasialis. Karsinoma telinga luar tampak

seperti massa polipoid berwarna merah. Tumor dari fokus primer yang jauh dan

bermetastasis ke telinga termasuk adenokarsinoma, karsinoma payudara, karsinoma

bronkus, dan melanoma. Lewis mengelompokkan jenis tumor telinga berdasarkan asalnya

yakni tumor ganas epitel meliputi karsinoma sel skuamosa, karsinoma sel basal, dan

adenokarsinoma. Tumor mesenkim yakni Sarkoma, dan Tumor ganas yang asalnya susah

diketahui misalnya berhubungan dengan melanoma maligna. (1)

Gejala Klinis

Gejala klinis berupa nyeri, rasa penuh dalam telinga, gangguan pendengaran, dan

vertigo, serta parese saraf fasialis. Tumor ganas daun telinga berupa tumor superfisial

dengan atau tanpa ulserasi. Tumor ganas liang telinga dan telinga tengah sering terlambat

diketahui karena gejalanya hanya menyerupai infeksi. Tanda yang lain adalah otore

purulen berubah menjadi hemorhargik. (1)

Diagnosis

Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, bila mungkin secepatnya

dilakukan biopsi dari liang telinga. Pemeriksaan radiologi Politomografi dan CT scan

untuk melihat lokasi tumor dan perluasannya. Tomogram lateral untuk memperlihatkan

erosi dinding liang telinga. Venojugulogram dan arteriografi kadang diperlukan untuk

melihat infiltrasi tumor ke sinus lateralis, bulbus jugularis atau ke arteri karotis interna. (2)

Penatalaksanaan

Pengobatan terbaik adalah operatif dengan eksisi luas secara lengkap dan utuh. Bila

perlu diikuti radioterapi. Tumor ganas bagian meatus akustikus eksterna (1/3 luar)

memerlukan eksisi luas jaringan lunak diikuti skingraft. Tumor ganas yang mengenai

bagian tulang liang telinga (2/3 dalam) memerlukan ekstirpasi luas mencakup seluruh liang

telinga dan membran timpani. Teknik operasi disebut reseksi partial tulang temporal. Bila

tumor ganas mengenai telinga tengah dan tulang temporal maka dilakukan reseksi tulang

temporal subtotal. Radioterapi preoperatif diindikasikan untuk tumor yang telah menyebar

luas dimana telah terjadi penyebaran ke dura. Radioterapi pasca operatif diindikasikan

untuk pasien yang telah menjalani operasi sebelum tindakan reseksi tulang temporal.

Radioterapi paliatif diberikan pada kasus yang kambuh setelah tindakan. (2)

Page 10: Referat Tht Final keganasan bidang THT

9

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, G.L. Penyakit Telinga Luar. 1997 Dalam : Effendi H, Santoso K, (Eds). Boies

Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit EGC: 85–87

2. Ogawa, K., et al. 2007. Treatment and Prgognosis of Squamous Cell Carsinoma of the

Esternal Auditory Canal and Middle Ear: A Multiinstutional Retrospective Review of

87 Patients. Elsiever Inc. Vol. 68, No. 5, pp. 1326–1334,

3. American Cancer Society. 2013. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga:

American Cancer Society.

4. Soetjipto, D. 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Nurbaiti Iskandar (Ed).Tumor

Telinga-Hidung-Tenggorok Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: FK UI: 71- 84.

5. Khademi, B., Mahmoodi J., Omidvari S., and Mohammadianpanah M., 2006

Treatment Results of Nasopharyngeal Carcinoma: A 15-Year Single Institutional

Experience. Journal of the Egyptian Nat. Cancer Inst., Vol. 18, No. 2, June: 147-155.

6. Hermani, B., Abdurrahman, H. 2007. Tumor Laring. Dalam: Soepardi (Eds): Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam.

Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 194-198.

7. Bhargawa, K.B., Bhargawa, S.K., and Shah, T.M. 2002. A Short textbook of E.N.T.

Disease Sixth Edition. Mumbai. Usha Publication: 112-114

8. Drake, A.B. and Lee. 1997. Nasal Polyps Dalam: Scott-Brown’s Otolaryngology Sixth

Edition Rhinology. Butterworths:4/10/1-4/10/14

9. Roezin A. Dharmabaktio S. 2007. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi

(Eds): Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi

Keenam. Jakarta. Balai Penerbit FK UI:188-190.

10. Adam G.L. 1997. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Effendi H, Santoso K,

(Eds) Boies. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC:322-346.

11. Mouna, B., Saber, B., Tijani, EH., Hind, M, Amina, T., Hassan, E., 2012. Primary

Malignant Non-Hodgkin’s Lymphoma of the Breast: a Study of Seven Cases and

Literature Review. World Journal of Surgical Oncology 2012 10:151

12. Eberle, FC., Mani, H., and .Jaffe, 2009. Histopathology of Hodgkin’s Lymphoma. The

Cancer Journal. Volume 15, Number 2, March/April 2009. Page 129-137

13. Dreyling, M. et al. 2013 ESMO Consensus conferences: guidelines on malignant

lymphoma. part 2: marginal zone lymphoma, mantle cell lymphoma, peripheral T-cell

lymphoma. Annals of Oncology 00: 1–21.