Click here to load reader
Upload
n4nt5u
View
27
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
Fisiologi dari Ganggauan Depresi
Pembimbing:
Dr. Rudy Hartanto, dr. M.Fils
Disusun oleh :
Nandang Sudrajat
030.07.178
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA
PERIODE 25 FEBRUARI 2013 – 30 MARET 2013
RUMAH SAKIT MARZUKI MAHDI BOGOR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
kemurahan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Makalah ini
merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu Saraf di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Fadalah gangguan
psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis
yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan
depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya,
serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).
selaku pembimbing dalam penyusunan makalah ini, atas bimbingan dan kesempatan
yang telah diberikan kepada saya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang telah membantu dan
mendukung dalam penyelesaian makalah ini.
Pada makalah ini, akan dibahas mengenai Koma yang meliputi etiologi, patofisiologi,
diagnosis dan penatalaksanaan.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia ilmu saraf,
khususnya pada topik Koma. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena
itu penulis berharap kritik dan saran untuk mendapatkan makalah yang lebih baik.
Jakarta, Februari 2013
Nandang Sudrajat
NIM: 030.07.178
PENDAHULUAN
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)
sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus
menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang
yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis
serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar
(Ingram dkk, 1993).
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh
pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan
marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan
hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah (Ismail dkk, 2010).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.
Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,
bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan
fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,
gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya,
serta gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).
A. FAKTOR BIOLOGIS
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam metabolit
amin biogenetik – seperti 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), homovanillic acid (HVA),
dan 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) – di dalam darah, utine, dan cairan
serebtospinalis pada pasien dengan gangguan mood. Data yang dilaporkan paling konsisten
dengan hipotesis bahwa gangguan mood adalah berhubungan dengan disregulasi heterogen
pada amin biogenik.
Amin biogenik
Dari amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang
paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Pada model binatang, hampir semua
terapi antidepresan somatik yang efektif yang telah diuji adalah disertai dengan penurunan
kepekaan reseptor pascasinaptik adrenergik-beta dan 5-hydroxytryptamine tipe 2 (5-HT2)
setelah terapi jangka panjang, walaupun perubahan lain dihasilkan oleh terapi jangka panjang
dengan obat tersebut juga telah dilaporkan (Tabel 15.1-2). Respon temporal pertubahan
reseptor tersebut pada model binatang adalah berkorelasi dengan keterlambatan perbaikan
klinis selama satu sampai tiga minggu yang biasanya ditemukan pada pasien. Di samping
norepinefrin, serotonin, dan dopamin, bukti-bukti mengarahkan pada disregulasi asetil-kolin
dalam gangguan mood.
NOREPINEFRIN
Korelasi yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara regulasi turun (down-
regulation) reseptor adrenergik-beta dan respon antidepresan klinik kemungkinan merupakan
bagian dari yang paling memaksakan yang menyatakan adanya peranan langsung sistem
noradrenergik dalam depresi. Jenis bukti lain juga telah melibatakan reseptor adrenergik-alfa
2 dalam depresi, karena aktivasi reseptor tersebut menyebabkan penurunan jumlah
norepinefrin yang dilepaskan. Reseptor adrenergik-alfa 2 juga berlokasi pada neuron
serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Adanya noradrenergik yang
hampir murni, obat anti depresan yang efektif secara klinis – sebagai contoh, desipramine
(Norpramine) – mendukung lebih lanjut peranan norepinefrin di dalam patofisiologi
sekurangnya gejala depresi.
SEROTONIN
Dengan efek besar yang telah diberikan oleh serotonin-spesific reuptake inhibitors
(SSRIs) – sebagai contoh, fluoxetine (Prozac) – dalam pengobatan depresi, serotonin telah
menjadi neurotransmitter amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan depresi.
Diidentifikasinya subtipe reseptor serotonin multipel juga telah meningkatkan kegairahan
dalan penelitian komunitas untuk mengembangkan terapi yang lebih spesifik untuk depresi.
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri
memiliki konsentrasi metabolit serotonin di dalam cairan serebrospinalis yang rendah di
trobosit, seperti yang diukur oleh imipramin (Tofranil) yang berikatan dengan trombosit.
Beberapa pasien depresi juga memiliki respon neuroendokrin yang abnormal – sebagai
contoh, hormon pertumbuhan, prolaktin dan hormon adrenokortikotropik (ACTH) – terhadap
provokasi dengan agen serotonergik. Walaupun antidepresan aktif-serotonin sekarang ini
bekerja terutama melalui penghambatan ambilan serotonin, generasi antidepresan di masa
depan mungkin memiliki efek lain pada sistem serotonin, termasuk antagonisme reseptor
serotonin tipe 2 (5-HT2) (sebagai contoh, nefazodone) dan agonisme reseprot serotonin tipe
1A (5-HT1A) (sebagai contoh, ipsapirone). Hal ini kemungkinan konsisten dengan
punurunan reseptor serotonin setelah pemaparan jangka panjang dengan antidepresan yang
menurunkan jumlah tempat ambilan kembali serotonin (dinilai dengan mengukur pengikatan
H3-imipramine) dan suatu peningkatan konsentrai serotonin telah ditemukan postmortem
pada otak korban bunuh diri. Penurunan ikatan tritiated-imipramine pada trombosit darah dari
beberapa pasien yang mengalami depresi juga telah ditemukan.
DOPAMIN
Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering
dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopanin juga telah diperkirakan memiliki peranan
dalam depresi. Data menyatakan bahwa aktivitas dopamin mungkin menurun pada depresi
dan meningkat pada mania. Penemuan subtipe baru reseptor dopamin dan meningkatnya
pengertian tentang regulasi prasinaptik dan pascasinaptik fungsi dopamin telah semakin
memperkaya penelitian tentang hubungan antara dopamin dan gangguan mood. Obat yang
menurunkan konsentrasi dopamin – sebagai contoh, reserpine (Serpasil) – dan penyakit yang
menurunkan konsentrasi dopamin (sebagai contoh, penyakit Parkinson) adalah disertai
dengan gejala depresif. Juga, obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin – sebagai contoh,
tirosin, amfetamin, dan bupropion (Wellbutrin) – menurunkan gejala depresi. Dua teori
terakhir tentang dopamin dan depresi adalah bahwa jalur dopamin mesolimbik mungkin
mengalami disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamin tipe 1 (D1) mungkin
hipoaktif pada depresi.
Faktor neurokimiawi lain
Walaupun data tidak memuaskan pada saat ini, neurotransmiter asam amino –
khususnya gamma-aminobutyric acid (GABA) – dan peptida neuroaktif (khususnya
vasopresin dan opiat endogen) juga telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.
Beberapa peneliti juga telah menyatakan bahwa sistem pembawa kedua (second-messenger)
– seperti adenylate cyclase, phosphotidylinositol, dan regulasi kalsium – mungkin juga
memiliki relevansi penyebab.
Faktor neuroendokrin
Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal dan hipotalamus sendiri
menerima banyak masukan (input) neuronal yang menggunakan nerotransmiter amin
biogenik. Berbagai disregulasi telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan
demikian, regulasi abnormal pada sumbu neuroendoktin mungkin merupakan hasil dari
fungsi abnormal neuron yang mengandung amin biogenik. Walaupun secara teoritis
dimungkinkan bagi disregulasi tertentu pada sumbu neuroendokrin (sebagai contoh, sumbu
tiroid, sumbu adrenal) untuk terlibat dalam penyebab gangguan mood, disregulasi lebih
mungkin mencerminkan gangguan otak fundamental yang mendasari. Sumbu neuroendokrin
utama yang menarik perhatian di dalam gangguan mood adalah sumbu adrenal, tiroid, dan
hormon pertumbuhan. Kelaian neuroendokrin lainnya yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan
pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar follicle-
stimulating hormone (FSH) dan luteinezing hormone (LH), dan penurunan kadar testosteron
pada laki-laki.
SUMBU ADRENAL. Hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi adalah salah
satu pengamatan yang paling tua dalam psikiatri biologi. Penelitian dasar dan klinis tentang
hubungan tersebut telah menghasilkan pengertian tentang bagaimana pelepasan kortisol
adalah diatur pada orang normal ataupun yang mengalami depresi. Neuron di nukleus
paraventrikular (PVN; paraventricular nucleus) melepaskan corticotropin-releasing hormone
(CRH), yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis
anterior. (ACTH dilepaskan bersama-sama dengan endorfin-beta dan lipoprotein-beta, dua
peptida yang disintesis dari prekursor protein yang sama darimana ACTH disistensis). ACTH
selanjutnya menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Kortisol memberikan
umpan balik (feed back) pada jaringan kerja melalui sekurangnya dua mekanisme: suatu
mekanisme umpat balik cepat, yang peka terhadap kecepatan peningkatan konsentrasi
kortisol, beroperasi melalui reseptor kortisol di hipokampus dan menyebabkan penurunan
pelepasan ACTH; mekanisme umpan balik lambat, yang sensitif terhadap konsentrasi kortisol
dalam keadaan mantap, diperkirakan bekerja melalui reseptor hipofisis dan adrenal.
Dexamethasone-suppresion test
Deksametason adalah suatu analog sintetik dari kortisol. Banyak peneliti telah
menyatakan bahwa sebagian bermakna, kemungkinan 50 persen dari pasien yang mengalami
depresi gagal memiliki respon supresi kortisol yang normal terhadap dosis tunggal
deksametason. Walaupun pengujian tersebut, dexamethasone-suppression test (DST), pada
mulanya diperkirakan memiliki kegunaan diagnostik, tetapi pada kenyataannya tidak
demikian, karena banyak pasien dengan gangguan psikiatrik lain juga menunjukkan hasil
positif pada DST (yaitu, nonsupresi kortisol). Tetapi, data yang baru menyatakan bahwa DST
mungkin berhubungan dengan kemungkinan relaps. Pasien yang terdepresi dengan DST yang
tidak menjadi normal bersama dengan respon klinis dengan pengobatan lebih besar
kemungkinannya mengalami relap daripada pasien dengan respon DST yang menjadi normal
bersama dengan respon klinis. Penelitian terakhir telah menunjukkan sekurangnya ada dua
masalah dengan DST. Pertama, variasi hasil DST yang cukup besar adalah karena variabilitas
dalam bagaimana deksametason dimetabolisme. Kedua, karena deksametason tampaknya
menghasilkan efek utama hanya pada reseptor hipofisis, DST tidak secara efektif menilai
keadaan fungsional reseptor kortisol yang berlokasi di bagian lain sumbu limbik-hipotalamik-
hipofisis-adrenal (LHPA; limbic-hypothalamic-pituitary-adrenal).
Kemajuan terakhir dalam penilaian sumbu LHPA pada depresi adalah menggunakan
infus kortisol pada orang yang mengalami depresi dan pada orang yang normal. Kortisol,
yaitu suatu hormon yang dibentuk secara alami, merupakan zat uji yang lebih baik daripada
deksametason, yang tidak mencapai atau mengaktivasi semua reseptor yang relevan satu
penelitian menemukan bahwa pasien yang mengalami depresi memiliki gangguan fungsi
pada loop umpan balik cepatnya, yang menyatakan bahwa sekurangnya beberapa pasien
depresi mungkin memiliki fungsi reseptor kortisol yang abnormal di hipokampus. Karena
banyak peneliti telah menemukan bahwa hiperkortisolemia dapat merusak neuron
hipokampus, suatu siklus yang melibatkan stres, stimulasi pelepasan kortisol, dan
ketidakmampuan untuk menghentikan pelepasan kortisol dapat menyebabkan bertambahnya
kerusakan pada hipokampus yang telah mengalami kerusakan.
SUMBU TIROID
Gangguan tiroid sering kali disertai dengan gejala afektif, dan peneliti telah
menggambarkan adanya regulasi abnormal dari sumbu tiroid pada pasien dengan gangguan
mood. Satu penerapan klinis langsung dari hubungan ini adalah pentingnya menguji semua
pasien yang menderita penyakit afektif untuk menentukan status tiroidnya. Satu temuan
konsisten dalam penelitian adalah bahwa kira-kira sepertiga dari semua pasien dengan
gangguan dengan depresif berat yang memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul – yaitu,
thyroid-stimulating-releasing hormone(TSH) – terhadap infus thyrotropin-releasing hormone
(TRH) (protirelin). Tetapi,, kelainan yang sama telah dilaporkan dalam berbagai macam
diagnosis psikiatrik lainnya, jadi membatasi kegunaan diagnostik tes tersebut. Selain itu,
usaha untuk menentukan subtipe pasien depresi berdasarkan hasil tes TRH-nya telah
dipertentangkan.
Penelitian terakhir telah memusatkan pada kemungkinan bahwa suatu subkelompok
pasien depresi menderita gangguan autoimun yang tidak dikenali yang mempengaruhi
kelenjar tiroidnya. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa kira-kira 10 persen pasien
dengan gangguan mood, kemungkinan khususnya pasien dengan gangguan bipolar I,
memiliki konsentrasi antibodi antitiroid yang dapat dideteksi. Pada kenyataannya, apakah
antibodi adalah berhubungan secara patofisiologis dengan depresi masih belum ditentukan.
Hubungan lain yang potensial adalah antara hipotiroidisme dan perkembangan perjalanan
melingkar-lingkar yang cepat pada pasien dengan gangguan bipolar I. data penelitian yang
tersedia pada saat ini menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak tergantung pada
efek terapi lithium.
HORMON PERTUMBUHAN
Beberapa penelitian telah menemukan perbedaan statistik antara pasien depresi dan
orang normal di dalam hal pengaturan pelepasan hormon pertumbuhan. Pasien depresi
memiliki penumpulan stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan. Pasien depresi memiliki
penumpulan stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan yang diinduksi tidur. Karena kelainan
tidur adalah gejala yang sering pada depresi, suatu pertanda neuroendoktin yang berhubungan
dengan tidur adalah jalur untuk penelitian. Penelitian juga telah menemukan bahwa pasien
depresi memiliki penumpulan respon terhadap peninggian sekresi hormon pertumbuhan yang
diinduksi clonidine (Catapres).
Kelainan tidur
Gangguan tidur – insomnia awal dan terminal, terbangun berulang kali (multiple
awakening), hipersomnia – adalah gejala yang klasik dan sering ditemukan pada depresi, dan
perasaan menurunnya kebutuhan tidur adalah gejala klasik dari mania. Peneliti telah lama
mengenali bahwa elektroensefalogram (EEG) tidur pada banyak orang mengalami depresi
menunjukkan kelainan. Kelainan yang sering ditemukan adalah perlambatan onset tidur,
pemendekan latensi REM (rapid eye movement) (yaitu waktu antara tertidur dan periode
REM pertama), peningkatan panjang periode REM pertama, dan tidur delta yang abnormal.
Beberapa penelitian telah berusaha menggunakan EEG tidur dalam pemeriksaan diagnostik
pasien dengan gangguan mood.
Pembangkitan (kindling)
Pembangkitan adalah proses elektrofisiologi di mana stimulasi sub-ambang (sub-
treshold) yang berulang dari suatu neuron akhirnya menciptakan suatu potensial aksi. Pada
tingkat organ, stimulasi sub-ambang di suatu daerah otak menyebabkan kejang. Pengamatan
klinis bahwa antikonvulsan – sebagai contoh, carbamazepine (Tegretol) dan valproic acid
(Depakene) – berguna dalam pengobatan gangguan mood, khususnya gangguan bipolar I,
telah menimbulkan teori bahwa patofisiologi gangguan mood mungkin melibatkan adanya
pembangkitan di lobus temporalis.
Irama sirkadian
Kelainan arsitektur tidur pada depresi dan perbaikan klinis pada depresi yang
sementara yang berhubungan dengan pengurangan tidur telah menimbulkan teori bahwa
depresi mencerminkan suatu regulasi abnormal irama sirkadian. Beberapa penelitian dengan
binatang menyatakan bahwa terapi antidepresan standar adalah efektif dalam mengubah jam
biologis internal (yaitu, zeitgebers internal).
Regulasi neuroimun
Peneliti telah melaporkan adanya kelainan imunologis pada pasien depresi dan pada
orang yang berdukacita atas kehilangan sanak saudara, pasangan, atau teman dekat.
Disregulasi sumbu kortisol mungkin mempengaruhi status imun; mungkin terdapat regulasi
hipotalamik yang abnormal terhadap sistem imun. Kemungkinan yang lebih kecil adalah
bahwa pada beberapa pasien suatu proses patofisiologi primer yang melibatkan sistem imun
menyebabkan gejala psikiatrik dari gangguan mood.
Pencitraan otak
Pemeriksaan pencitraan otak pada pasien dengan gangguan mood telah memberikan
sejumlah petunjuk yang tidak meyakinkan tentang fungsi otak yang abnormal pada gangguan
tersebut. Tidak ada data pencitraan otak tentang gangguan mood yang telah diulangi dengan
sama konsistennya dengan temuan peningkatan ukuran ventrikular pada pasien skizifrenik.
Namun demikian, pemeriksaan pencitraan otak struktural dengan tomografi komputer (CT)
dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) telah menghasilkan data yang menarik. Walaupun
penelitian tidak melaporkan hasil yang konsisten, data memang menyatakan hal berikut ini:
(1) sekumpulan bermakna pasien dengan gangguan bipolar I, terutama pasien laki-laki,
memiliki ventrikel serebral yang membesar; (2) pembesaran ventrikular adalah jauh lebih
jarang pada pasien dengan gangguan depresif berat daripada pasien dengan gangguan bipolar
I. satu keberatan pada point depresif berat dengan ciri psikotik memiliki kecenderungan
memiliki ventrikel serebral yang membesar. Penelitian MRI juga menyatakan bahwa pasien
dengan gangguan depresif berat memiliki nucleus kaudatus yang lebih kecil dan lobus
frontalis yang lebih kecil dibandingkan dengan subjek kontrol; pasien yang mengalami
depresi juga memiliki waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal, dibandingkan dengan
subjek kontrol. Sekurangnya satu penelitian MRI melaporkan bahwa pasien dengan gangguan
bipolar I memiliki peningkatan jumlah lesi substansisa alba dalam yang meningkat secara
bermakna, jika dibandingkan dengan subjek kontrol.
Banyak laporan di dalam literatur mempermasalahkan aliran darah serebral dalam
gangguan mood, biasanya diukur dengan mengunakan tomografi komputer emisi foton
tunggal (SPECT; single photon emision computed tomography) atau tomografi emisi positron
(PET; positron emission tomography). Sebagaian besar penelitian telah melaporkan adanya
penurunan aliran darah pada korteks serebral pada umumnya dan area kortikal frontalis pada
khususnya. Sebaliknya, satu penelitian menemukan peningkatan aliran darah pada pasien
dengan gangguan depresif berat. Penelitian tersebut menemukan peningkatan yang
tergantung keadaan korteks, ganglia basalis, dan talamus medial, dengan kemungkinan
peningkatan yang tergantung pada sifat di amigdala.
Satu teknik pencitraan otak tambahan yang mulai diterapkan pada berbagai gangguan
mental adalah spektroskopi resonansi magnetik (MRS). Penelitian dengan MRS pada pasien
dengan gangguan bipolar I telah menghasilkan data yang konsisten dengan hipotesis bahwa
patofisiologi gangguan mungkin melibatkan suatu regulasi abnormal pada metabolisme
fosfolipid membran. Penelitian MRS pada binatang yang telah diobati dengan litium telah
menunjukkan efek litium pada fosfolipid. Penerapan lain MRS pada gangguan bipolar I
adalah penggunaan MRS Li7 untuk mempelajari konsentrasi litium pada otak dan plasma
pada pasien. Penelitian tersebut menemukan bahwa konsentrasi plasma setelah pengobatan
kira-kira satu minggu.
Pertimbangan neuroanatomis
Baik gejala gangguan mood dan temuan penelitian biologis mendukung hipotesis
bahwa gangguan mood melibatkan patologis di sistem limbik,k ganglia basalis, dan
hipotalamus. Gangguan neurologis di ganglia basalis dan sistem limbik (terutama lesi
eksitatif pada hemisfer nondominan) kemungkinan ditemukan bersama gejala depresif.
Sistem limbik dan ganglia basalis adalah berhubungan erat, dan peranan utama dalam
menghasilkan emosi adalah dihipotesiskan untuk sistem limbik. Disfungsi pada hipotalamus
diperkirakan oleh perubahan tidur, nafsu makan, dan perilaku seksual pasien dengan depresi
dan oleh perubahan biologis pada parameter endokrin, imunologis dan kronobiologis. Postur
membungkuk, perlambatan motorik, dan gangguan kognitif minor pada pasien yang
terdepresi adalah mirip dengan tanda yang ditemukan pada gangguan ganglia basalis, seperti
penyakit Parkinson dan demensia subkortikal lainnya.
B. FAKTOR GENETIKA
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu fator penting di dalam
perkembangananan gangguan mood adalah genetika. Tetapi pola penurunan genetika adalah
jelas melalui mekanisme yang kompleks; bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan
efek psikososial, tetapi factor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Di samping itu terdapat
komponen genetika yang lebih kuat untuk transmisi gangguan bipolar I daripada untuk
transmisi gangguan depresif berat.
Penelitian Keluarga
Penelitian keluarga telah secara berulan menemukan bahwa sanak saudara derajat
pertama dari penderita gangguan bipolar I berkemungkinan 8 sampai 18 kali lebih besar
daripada sanak saudara derajat pertama subjek control untuk menderita gangguan bipolar 1
dan 2 sampai 10 kali lebih mungkin menderita gangguan depresif berat. Penelitian keluarga
juga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguang depresif
berat berkemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama
subjek control untuk menderita gangguan bipolar I dan dua sampai tiga kali lebih mungkin
menderita gangguan depresif berat. Penelitian keluarga telah menemukan bahwa
kemungkinan menderita suatu gangguan mood menurut saat derajat hubungan kekeluargaan
melebar. Sebagai contoh sanak saudara kedua (sebagai contoh, sepupu) lebih kecil
kemungkinannya menderita daripada sanak saudara derajat pertama (sebagai contoh, kakak).
Penurunan gangguan bipolar I juga ditunjukkan oleh fakta bahwa kira-kira 50 persen semua
pasien bipolar I memiliki sekurangnya satu orang tua dengan suatu gangguan mood, paling
sering gangguan depresif berat. Jika satu orang tua menderita gangguan bipolar I, terdapat
kemungkinan 25 persen bahwa anaknya menderita suatu gangguan mood; jika kedua orang
tua menderita gangguan bipolar I, terdapat kemungkinan 50-75 persen anaknya menderita
suatu gangguan mood.
Penelitian Adopsi
Penelitian adopsi juga telah menghasilkan data yang mendukung dasar genetika untuk
penurunan gangguan mood. Dua dari tiga penelitian adopsi telah menemukan suatu
komponen genetika yang kuat untuk penurunan gangguan depresif berat; satu-satunya
penelitian adopsi untuk gangguan bipolar I juga menyatakan suatu dasar genetika. Pada
intinya, penelitin adopsi tersebut telah menentukan bahwa biologis dari orang tua yang
menderita tetap berada dalam risiko menderita suatu gangguan mood, bahkan jika mereka
dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita gangguan. Penelitian adopsi juga telah
menunjukkan bahwa orang tua biologis dari anak adopsi dengan gangguan mood mempunyai
suatu prevalensi gangguan mood yang tidak diadopsi. Prevalensi gangguan mood pada orang
tua angkat adalah mirip dengan prevalensi dasar pada populasi umum.
Penelitian Kembar
Penelitian terhadap anak kembar telah menunjukkan bahwa angka kesesuaian untuk
gangguan bipolar I pada kembar monozigotik adalah 33 sampai 90 persen, tergantung pada
penelitian tertentu; untuk gangguan depresif berat angka kesesuaian pada kembar
monozigotik adalah kira kira 5 sampai 25 persen untuk gangguan bipolar I dan 10 persen
untuk gangguan depresif berat.
Penelitian yang berhubungan
Tersedianya teknik modern biologi molecular termasuk RFLP (restriction fragment
length polymorphisms), telah menyebabkan banyak penelitian yang melaporkan, mereplikasi,
atau gagal untuk mereplikasi berbagai hubungan antara gen spesifik atau petanda gen dan
satu gangguan mood. Pada saat ini, tidak ada hubungan genetika yang telah direplikasi secara
konsisten. Intepretasi yan paling dapat dipercaya dari penelitian ini bahwa gen tertentu yang
diidentifikasi pada penelitian yang positif mungkin terlibat pada penurunan genetika
gangguan mood dalam keluarga yang dipelajari tetapi mungkin juga tidak terlibat dalam
penurunan genetika gangguan mood dalam keluarga lain. Hubungan antara gangguan mood,
khususnya gangguan bipolar I, dan petanda genetik telah dilaporkan pada kromosom 5,11,
dan X. Gen reseptor D1 berlokasi pada kromosom 5. Gen tirosin hidroksilase, yaitu enzim
pembatas kecepatan sintesis katekolamin, adalah berlokasi di kromosom 11.
Kromosom 11 dan Gangguan Bipolar I. Suatu penelitian di tahun 1987 melaporkan
tentang hubungan antara gangguan bipolar I di antara anggota suatu Old Order Amish dan
petanda genetik pada lengan pendek kromosom 11. Pada perluasan selanjutnya silsilah
keluarga tersebut dan perkembangan gangguan bipolar I pada anggota keluarga yang
sebelumnya tidak menderita, hubungan statistika gagal diterapkan. Peristiwa yang
menyimpang tersebut secara efektif menyatakan bahwa derajat perhatian yang harus
digunakan dalam melakukan dan mengintepretasikan penelitian hubungan genetika pada
gangguan mood.
Kromosom X dan Gangguan Bipolar I. Telah lama diperkirakan ada hubungan antara
gangguan bipolar I dan suatu daerah dari kromosom X yang mengandung gen untuk
butawarna dan defisiensi G6PD. Seperti pada penelitian hubungan di dalam psikiatri,
penerapan teknik genetika molecular telah menghasilkan hasil yang bertentangan; beberapa
penelitian menemukan suatu hubungan dan yang lainnya tidak. Intepretasi yang paling
konservatif tetap kemungkinan bahwa gen berikatan X adalah suatu factor dalam
perkembangan gangguan bipolar I pada beberapa pasien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono. M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta. 2000, 192 – 200
2.