Upload
muhammad-erfanie
View
67
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ghgh
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan adalah salah satu sarana transportasi untuk menunjang berbagai sektor
pembangunan dan merupakan sarana dalam pembangunan wilayah dari daerah
sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi jalan raya merupakan
kegiatan penggerak ekonomi yang penting disamping juga menjadi sarana aktifitas
penduduk yang melibatkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya.
Pembangunan jalan dimaksudkan untuk mempermudah hubungan dari suatu daerah ke
daerah lain, serta untuk mengembangkan potensi ekonomi yang ada di daerah tersebut.
Jaringan jalan adalah salah satu sarana transportasi untuk menunjang berbagai
sektor pembangunan dan merupakan sarana dalam pembangunan wilayah dari daerah
sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi jalan raya merupakan
kegiatan penggerak ekonomi yang penting disamping juga menjadi sarana aktifitas
penduduk yang melibatkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya.
Perkerasan lentur (flexible) dapat berubah bentuk dan tidak akan seluruhnya
kembali seperti semula bila menerima beban yang terus menerus atau berulang- ulang.
Di dalam batas-batas tertentu permukaan ini dapat menyesuaikan diri terhadap
pemadatan lapisan-lapisan di bawahnya. Sedangkan perkerasan kaku, plat beton-semen
adalah kaku, sifat elastis dan dapat kembali kepada bentuk aslinya apabila muatan
dihilangkan. Dalam kejadian ini, apabila lapisan-lapisan dibawahnya tidak seluruhnya
kembali seperti semula, plat ini akan terangkat dan membentang di atas daerah yang
lebih rendah. Suatu ketika, jika daerah yang tidak tersangga tersebut cukup luas dan
menerima muatan yang besar dan cukup sering, maka plat tersebut akan hancur akibat
kelelahan struktur.
Dalam pengoperasian jalan raya tentunya tidak dapat dihindarkan berbagai macam
permasalahan yang terjadi sehari-hari. Kerusakan jalan dapat berupa retak-retak
(cracking), gelombang (corrugation), juga berupa alur/cekungan arah memanjang jalan
2
sekitar jejak roda kendaraan (rutting). Ada juga berupa genangan aspal dipermukaan
jalan (bleeding), dan ada juga berupa lobang-lobang (pothole). Kerusakan jalan seperti
ini biasanya disebabkan oleh berbagai faktor misalnya beban roda kendaraan berat yang
melintas, kondisi muka air tanah yang tinggi, kesalahan pada saat pelaksanaan atau
akibat kesalahan perancangan.
Jalan Tanjung Serdang – Lontar Kabupaten Kotabaru merupakan jalan akses
untuk ke luar dan ke dalam kota serta menghubungkan beberapa kecamatan. Kondisi
jalan yang ada sekarang sangat memperhatinkan karena sebagian rusak dan berlubang
yang cukup parah. Dengan kondisi yang ada sekarang tentunya sangat mengganggu
kenyamanan pengguna jalan yang berpengaruh terhadap masalah ekonomi dan Sosial
masyarakat setempat serta belum adanya perancangan untuk tebal perkerasan pada jalan
ini.
Mengacu pada uraian di atas maka tugas akhir ini berjudul “PERANCANGAN
TEBAL PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT) PADA RUAS JALAN
TANJUNG SERDANG – LONTAR (KOTABARU) STA. 84+250 S/D 89+250
DENGAN MANUAL DESAIN PERKERASAN JALAN NO. 02/M/BM/2013” yang
perancangannya mengacu pada Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013
Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga tahun 2013.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mendapatkan tebal perkerasan lentur pada ruas jalan sesuai dengan Manual
Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum
Direktorat Jenderal Bina Marga tahun 2013. Yang dikontrol menggunakan
Pedoman Pt-T-01-2002-B dan program SDPJL (Software Desain Perkerasan
Jalan Lentur).
b. Mendapatkan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
3
1.3 Batasan Masalah
Menyadari akan luasnya permasalahan dalam perancangan suatu jalan yang
mencakup berbagai aspek, maka dalam penyusunan tugas akhir ini hanya membatasi
permasalahan pada perancangan desain tebal perkerasan lentur, dan menghitung rencana
anggaran biaya (RAB) untuk ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) STA.
84+250 s/d 89+250.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rencana tebal perkerasan
jalan dan rencana anggaran biaya (RAB). Diharapkan hasil ini bisa bermanfaat dan bisa
menjadi acuan dalam suatu perancangan perkerasan jalan.
1.5 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada ruas Jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru).
Berikut ini adalah layout dari peta Kabupaten Kotabaru dapat dilihat pada gambar 1.1
berikut.
4
Gambar 1. 1 Peta Kabupaten Kotabaru
Untuk daerah ruas jalan rencana sendiri dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut ini.
Gambar 1. 2 Lokasi Penelitian
STA 0 + 000
STA 84 + 250
STA 89 + 250
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
2.1.1 Pengertian Jalan
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang di peruntukkan untuk lalu
lintas baik menggunakan kendaraan maupun jalan kaki yang menghubungkan dari satu
daerah ke daerah lain.
Sebagai prasarana transportasi, jalan harus memenuhi syarat sesuai dengan
fungsinya yaitu memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain
dengan cara aman, nyaman, lancar dan ekonomis.(Sumber: Undang-Undang Jalan No.
38 Tahun, 2004)
2.1.2 Sistem Jaringan Jalan
Dengan kemajuan jaman yang begitu pesat, maka tuntutan perekonomian,
pendidikan, dan hal-hal lainnya yang merupakan tuntutan hidup membuat tuntutan akan
pelayanan terhadap transportasi semakin besar. Dari jenis kendaraan, ukuran dan jumlah
semua juga ikut berubah pula sehingga masalah–masalah seperti kelancaran arus lalu
lintas, kenyamanan dan hal-hal lainnya yang membuat kinerja jalan menurun mencuat
kepermukaan, oleh karena itu perlunya diadakan batasan-batasan. Batasan-batasan
tersebut itulah yang membuat jalan diklasifikasikannya.
Sistem jaringan dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang
dan struktur pengembangan wilayah tingkat Nasional, yang menghubungkan
simpul-simpul jasa distribusi. Jaringan jalan primer menghubungkan secara
menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota-
kota dibawahnya sampai kepersiil dalam satu satuan wilayah pengembangan.
6
Jaringan jalan primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang
kesatu antar satuan wilayah pengembangan.
Jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota jaringan jalan
primer harus menghubungkan kawasan primer. Suatu ruas jalan primer dapat
berakhir pada suatu kawasan primer. Kawasan yang mempunyai fungsi primer
antara lain: Industri berskala regional, Bandar Udara, Pasar Induk, Pusat
perdagangan skala Regional/Grosir.
2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang kota yang menghubunkan kawasan-kawasan yang memiliki fungsi primer,
fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai keperumahan.
2.1.3 Fungsi Jalan Umum
Berdasarkan fungsinya, jalan umum dapat dikelompokkan kedalam :
1. Jalan Arteri Primer, ialah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan
kota jenjang kedua.
Untuk jalan arteri primer wilayah perkotaan, mengikuti kriteria sebagai berikut :
a. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar kota.
b. Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer.
c. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
km/jam.
d. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
e. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional.
Untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik
dan lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
f. Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan
menggunakan jalan ini.
7
g. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien, jarak antara jalan masuk/akses
langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter.
h. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu, sesuai dengan volume lalu
lintasnya.
i. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi
jalan yang lain.
j. Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.
k. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan ini seharusnya tidak diijinkan.
2. Jalan Kolektor Primer, ialah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang kedua atau kota menghubungkan kota jenjang kedua dengan
kota jenjang ketiga. Untuk wilayah perkotaan kriterianya adalah :
a. Jalan kolektor primer kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota.
b. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer.
c. Dirancang untuk kecepatan rencana 40 km/jam.
d. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
e. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien jarak antaranya lebih dari 400
meter.
f. Kendaraan angkutan berat dan bus dapat dijinkan melalui jalan ini.
g. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu sesuai dengan volume lalu
lintasnya.
h. Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.
i. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan
pada jam sibuk
j. Dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang cukup.
k. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari pada jalan arteri primer.
3. Jalan Lokal Primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu
dengan persiil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persiil atau kota
jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota
8
dibawahnya, atau kota jenjnag ketiga dengan persiil atau kota dibawah jenjang
ketiga sampai persiil. Kriteria untuk jalan lokal primer adalah :
a. Merupakan terusan jalan lokal pimer luar kota.
b. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya.
c. Dirancang umtuk kecepatan rencana 20 km/jam.
d. Kendaraan angkutan barang dan bus diijinkan melalui jalan ini.
e. Lebar jalan tidak kurang dari 6 meter.
f. Besarnya LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer.
Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi
primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai
pelayan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya.
4. Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan sekunder kesatu
atau menghubungkan kawasan kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kriteria
untuk jalan perkotaan :
a. Dirancang berdasarkan kecepatan rancang paling rendah 20 km/jam.
b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
c. Kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini
didaerah pemukiman.
d. Lokasi parkir pada jalan dibatasi.
e. Harus mempunyai perlengkapan jalan cukup.
f. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari sistem primer.
5. Jalan Lokal Sekunder menghubungkan antar kawasan sekunder ketiga atau
dibawahnya dan kawasan sekunder dengan perumahan. Kriteria untuk daerah
perkotaan adalah :
a. Dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam.
b. Lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.
c. Kendaraan angkutan barang dan bus tidak diijinkan melalui jalan ini didaerah
pemukiman.
d. Besarnya LHR umumnya paling rendah.
9
2.1.4 Kelas Jalan
Berdasarkan pasal 19 UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas jalan berdasarkan:
1. Fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan
dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.
2. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi kendaraan
bermotor.
Pengelompokkan jalan menurut kelas jalan terdiri atas beberapa kelas, antara
lain adalah:
a. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak
melebihi 18000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm, dan muatan sumbu terberat
10 ton.
b. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm, dan muatan
sumbu terberat 8 ton.
c. Jalan Kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat
dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm, dan muatan
sumbu terberat 8 ton.
d. Jalan Khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan
ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm,
ukuran paling tinggi 4.200 mm, dan muatan sumbu terberat 10 ton.
Fungsi jalan menggambarkan kemungkinan tipe lalu lintas yang akan
menggunakan jalan. Jalan arteri, atau jalan nasional, atau jalan kelas 1 secara nyata
menggambarkan bahwa perkerasan jalan harus mampu menerima beban lalu lintas yang
lebih berat dibandingkan dengan fungsi jalan lainnya. Hal ini sangat mempengaruhi
tebal perkerasan jalan tersebut.
10
2.1.5 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Beban Muatan Sumbu
Untuk keperluan pengaturan penggunaan dan pemenuhan kebutuhan angkutan,
jalan dibagi dalam beberapa kelas yang didasarkan pada kebutuhan transportasi,
pemilihan moda secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik
masing-masing moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu
terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Pengelompokkan jalan menurut
muatan sumbu yang disebut juga kelas jalan, terdiri dari:
1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar
dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun sudah
mulai dikembangkan diberbagai negara maju seperti di Prancis telah mencapai
muatan sumbu terberat sebesar 13 ton.
2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk
muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak
melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton,
jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas.
3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,
ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton;
4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100
11
milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu
terberat yang diizinkan 8 ton.
Tabel 2.1 Klasifikasi Penggunaan Jalan menurut Muatan Sumbu Terberat
KELAS JALAN
FUNGSI JALAN
Dimensi Maksimum dan MST Kendaraan Bermotor yang Diizinkan Menggunakan Jalan
Lebar (mm)
Panjang (mm)
MST (Ton)
Tinggi (mm)
UU No.14/1992, ps. 7, dan PP No.43/1993, ps. 11 ayat (1)
RUU LLAJ 2005 ps. 12 ayat (1) s.d. (4)
PP No.44/1993, ps. 115
ayat (1) huruf b
IArteri
2500 18000 > 10
4200 dan ≤ 1,7 x Lebar
kendaraan
II 2500 18000 ≤ 10
IIIAArteri atau Kolektor
2500 18000 ≤ 8
IIIB Kolektor 2500 12000 ≤ 8
IIICLokal &
Lingkungan2100 9000 ≤ 8
Sumber: Pedoman Perkerasan 02/M/BM/2013
2.2 Struktur dan Perkerasan Jalan
Jalan memiliki persyaratan dari segi konstruksi yaitu harus kuat, awet dan kedap
air. Jika dilihat dari segi pelayanan jalan harus rata, tidak licin, geometrik memadai dan
ekonomis. Untuk itu membutuhkan suatu rancangan perkerasan yang mampu melayani
beban berupa lalu lintas. Perkerasan jalan adalah lapisan atau badan jalan yang
menggunakan bahan khusus, yaitu campuran antara agregat dan bahan ikat. Agregat
yang dipakai terdiri dari batu pecah, batu belah, batu kali. Sedangkan bahan ikat yang
digunakan berupa aspal dan semen.
Perancangan perkerasan yang efektif adalah salah satu dari berbagai aspek lain
dari perancangan jalan. Perkerasan adalah bagian dari jalan raya yang sangat penting
bagi pengguna jalan. Kondisi dan kekuatan dari jalan raya sering dipengaruhi oleh
kehalusan atau kekasaran permukaan jalan. Keadaan perkerasan yang baik dapat
mengurangi biaya pengguna, penundaan waktu perjalanan, tabrakan dan pemakaian
bahan bakar.
12
Lapis perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas
tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu. Dengan demikian
perancangan tebal masing–masing lapis perkerasan harus diperhitungkan dengan
optimal.
Perkerasan jalan dibedakan menjadi empat bagian, yaitu:
1. Perkerasan lentur (Flexible Pavement)
Yaitu perkerasan yang menggunakan aspal yang digunakan sebagai bahan
pengikat. Lapisan perkerasan bersifat menahan beban lalu lintas dan menyebarkan
ketanah dasar, tanpa menimbulkan kerusakan.
Secara umumnya konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan–lapisan yang
diletakkan pada tanah dasar. Lapisan–lapisan tersebut berfungsi untuk menerima
beban lalu lintas dan menyebarkannya kelapisan dibawahnya. Ada jenis struktur
perkerasan yang diterapkan pada struktur perkerasan jalan baru yaitu terdiri atas:
Struktur perkerasan pada permukaan tanah asli
Struktur perkerasan pada timbunan
Struktur perkerasan pada galian.
Untuk lapisan-lapisan pada perkerasan lentur dapat dilihat pada gambar 2.1
berikut ini.
13
Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur
14
2. Perkerasan kaku (Rigid Pavement)
Yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan
pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar
dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul
oleh pelat beton. Untuk lapisan-lapisan pada perkerasan kaku dapat dilihat pada
gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 2.2 Lapisan Perkerasan Kaku
15
Ada 5 jenis perkerasan beton semen yaitu sebagai berikut:
a. Perkerasan beton semen tanpa tulangan dengan sambungan (Jointed Plain
Concrete Pavement).
b. Perkerasan beton semen bertulang dengan sambungan (Jointed Reinforced
Concrete Pavement).
c. Perkerasan beton semen tanpa tulangan (Continuosly Reinforced Concrete
Pavement).
d. Perkerasan beton semen prategang (Prestressed Concrete Pavement).
e. Perkerasan beton semen bertulang fiber (Fiber Reinforced Concrete
Pavement).
Perkerasan kaku mempunyai sifat yang berbeda dengan perkerasan lentur. Pada
perkerasan kaku daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton. Hal ini
terkait dengan sifat pelat beton yang cukup kaku, sehingga dapat menyebarkan beban
pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan–lapisan
di bawahnya.
3. Perkerasan komposit (Composite Pavement)
Yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat
berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku diatas
perkerasan lentur. Lapisan-lapisan perkerasan komposit dapat dilihat pada gambar
2.3 berikut ini.
Lapisan tanah dasar (subgrade)
Lapisan pondasi bawah (subbase)
Plat beton (concrete slab)
Lapisan permukaan (surface)
16
4. Perkerasan Paving Block (Concrete Block)
Yaitu perkerasan yang terbuat dari campuran pasir dan semen ditambah atau tanpa
campuran lainnya (abu batu atau lainnya). Paving block atau blok beton terkunci
menurut SII.0819-88 adalah suatu omposisi bahan bangunan yang terbuat dari
campuran semen Portland atau bahan perekat hidrolis lainnya, air dan agregat
dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu beton
tersebut, sedangkan menrut SK SNI T-04-1990-F paving block adalah segmen-
segmen kecil yang terbuat dari beton dengan bentuk segi empat atau segi banyak
yang dipasang sedemikian rupa sehingga saling mengunci (Dudung Kumara,1992;
Akmaluddin dkk. 1998). Untuk lapisan-lapisan perkerasan paving block dapat dilihat
pada gambar 2.4 berikut ini.
2.3 Struktur Dan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang melayani
beban lalu lintas ringan sampai dengan sedang, seperti jalan perkotaan, jalan dengan
sistem utilitas terletak dibawah perkerasan jalan, perkerasan bahu jalan, atau perkerasan
dengan konstruksi bertahap. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan
yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut
Gambar 2.3 Lapisan Perkerasan Komposit
Gambar 2.4 Lapisan Paving Block
17
berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya kelapisan
dibawahnya.
Keuntungan menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. Dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differential
settlement) terbatas.
2. Mudah diperbaiki.
3. Tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja.
4. Memiliki tahanan geser yang baik.
5. Warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan.
6. Dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pembangunan
terbatas atau kurangnya data untuk perancangan.
Kerugian menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. Tebal total struktur perkerasan lebih tebal dari pada perkerasan kaku.
2. Kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan.
3. Frekuensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan perkerasan
kaku.
4. Tidak baik digunakan jika serig digenangi oleh air.
5. Membutuhkan lebih banyak agregat.
Struktur perkerasan lentur menurut Pedoman Perancanaan Tebal Perkerasan
Lentur (Rancangan 3) umumnya terdiri atas:
1. Lapisan permukaan (surface course)
Lapisan permukaan adalah lapisan yang terletak pada lapisan paling atas dan
berfungsi sebagai :
Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan ini mempunyai stabilitas
tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.
18
Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap
kelapisan bawahnya.
Lapisan aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat
rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.
Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah.
2. Lapisan pondasi atas (base course)
Lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan pondasi
permukaan dinamakan lapisan pondasi atas yang berfungsi sebagai:
Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban kelapisan dibawahnya.
Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
Bantalan terhadap lapisan permukaan.
3. Lapisan pondasi bawah (subbase course)
Lapisan perkerasan yang terletak antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar
dinamakan lapisan pondasi bawah, yang berfungsi sebagai:
Bagian dari konstrusi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ketanah
dasar.
Efisiensi penggunaan material.
Lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul dipondasi.
Lapisan pertama, agar perkerasan dapat berjalan lancar.
4. Lapisan tanah dasar (subgrade)
Lapisan tanah dasar setebal 50-100cm diatas akan diletakkan dilapisan pondasi
bawah dinamakan lapisan tanah dasar.
Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya
baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain dan didapatkan atau tanah yang
distribusiakan dengan kapur atau bahan lainnya. Kekuatan dan keawetan konstruksi
perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.
Masalah-masalah yang sering ditemui terkait dengan lapisan tanah dasar adalah:
19
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dan rusaknya struktur perkerasan
jalan secara menyeluruh akibat beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut pada jenis tanah yang memiliki sifat plastisitas
tinggi. Perubahan kadar air tanah dasar dapat berkibat terjadinya retak dan atau
perubahan bentuk. Faktor drainase dan kadar air pada proses pemadatan tanah
dasar sangat menentukan kecepatan kerusakan yang mungkin terjadi.
c. Perbedaan daya dukung tanah akibat perbedaan jenis tanah sukar ditentukan
secara pasti. Penelitian yang seksama akan jenis dan sifat tanah dasar disepanjang
jalan dapat mengurangi dampak akibat tidak meratanya daya dukung tanah dasar.
d. Perbedaan penurunan (differential settlement) akibat terdapatnya lapisan tanah
lunak dibawah tanah yang terletak dibawah lapisan tanah dasar sangat membantu
mengatasi masalah ini.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang
diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil) yang tidak
dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
2.4 Prosedur Perancangan Perkerasan Lentur
Berdasarkan Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Lentur Manual Desain
Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat
Jenderal Bina Marga tahun 2013.
Untuk menentukan nilai struktur yang diperlukan dapat dilihat dari langkah-
langkah berikut ini:
1. Umur Rencana
Untuk menentukan umur rencana jalan bisa dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Umur Rencana perkerasan jalan baru (UR)
20
Catatan :
1. Jika dianggap sulit untuk menggunakan umur rencana diatas, maka dapat digunakan
umur rencanaberbeda, namun sebelumnya harus dilakukan analisis dengan
discounted whole of life cost, dimana ditunjukkan bahwa umur rencana tersebut dapat
memberikan discounted whole of life cost terendah.
2. Umur rencana tidak boleh diambil melampaui kapasitas jalan pada saat umur
rencana.
2. Menentukan nilai CESA4
Beban sumbu standar kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle Load
(CESA) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur
desain selama umur rencana, yang ditentukan sebagai:
ESA = (Σjenis kendaraan LHRT x VDF)............................................................
(2.1)
CESA = ESA x 365 x R ..................................................................... (2.2)
Dimana
ESA : lintasan sumbu standar ekivalen (equivalent standard axle)
untuk 1 (satu) hari
LHRT : lintas harian rata-rata tahunan untuk jenis kendaraan tertentu
Jenis Perkerasan Elemen PerkerasanUmur
Rencana (Tahun)
Perkerasan lentur lapisan aspal dan lapisan berbutir dan CTB 20
pondasi jalan 40semua lapisan perkerasan untuk area yang tidakdiijinkan sering ditinggikan akibat pelapisan ulang, misal : jalan perkotaan, underpass, jembatan, terowongan.
40
Cement Treated BasedPerkerasanKaku
lapis pondasiatas, lapis pondasi bawah, lapis beton semen, dan pondasi jalan.
40
Jalan tanpa penutup Semua elemen Minimum 10
21
CESA : kumulatif beban sumbu standar ekivalen selama umur rencana
R : faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
3. Menentukan nilai Traffic Multiplier (TM)
Traffic Multiplier adalah faktor yang digunakan untuk mengkoreksi jumlah
pengulangan beban sumbu (ESA) pangkat empat menjadi nilai faktor pangkat
lainnya yang dibutuhkan untuk desain mekanik. Nilai TM kelelahan lapisan aspal
(TM lapisan aspal) untuk kondisi pembebanan yang berlebih di Indonesia adalah
berkisar 1,8 - 2. Nilai yang akurat berbeda-beda tergantung dari beban berlebih
pada kendaraan niaga di dalam kelompok truk.
4. Menentukan nilai CESA5
Nilai CESA tertentu (pangkat 4) untuk desain perkerasan lentur harus dikalikan
dengan nilai TM untuk mendapatkan nilai CESA5 dengan menggunakan
persamaan berikut:
CESA5 = (TM x CESA4).............................................................................. (2.3)
5. Menentukan tipe perkerasan
22
Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur
rencana, dan pondasi jalan. Batasan di dalam gambar 2.5 tidak absolut desainer
juga harus mempertimbangkan biaya selama umur pelayanan terendah, batasan
dan kepraktisan konstruksi. Tabel pemilihan jenis perkerasan sebagai berikut:
Gambar 2.5 Pemilihan Jenis Perkerasan
6. Menentukan subgrade yang seragam dan daya dukung subgrade
Panjang rencana jalan harus dibagi dalam segmen – segmen yang seragam
(homogen) yang mewakili kondisi pondasi jalan yang sama:
a. Apabila data yang cukup valid tersedia (minimal 163 data pengujian per
segmen yang dianggap seragam), formula berikut dapat digunakan :
CBR karakteristik = CBR rata2 – 1.3 x standar deviasi .........................(2.4)
23
Data CBR dari segmen tersebut harus mempunyai koefisien variasi
25% - 30% (standar deviasi/nilai rata-rata).
b. Bila set data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat digunakan
sebagai nilai CBR dari segmen jalan. Nilai yang rendah yang tidak umum dapat
menunjukkan daerah tersebut membutuhkan penanganan khusus, sehingga
dapat dikeluarkan, dan penanganan yang sesuai harus disiapkan.
7. Menentukan struktur pondasi jalan
Desain pondasi jalan adalah desain perbaikan tanah dasar dan lapis penopang,
tiang pancang mikro atau penanganan lainnya yang dibutuhkan untuk memberikan
landasan pendukung struktur perkerasan lentur.
8. Menentukan struktur perkerasan
Solusi Perkerasan yang banyak dipilih yang didasarkan pada pembebanan dan
pertimbangan biaya terkecil yang ada pada gambar 2.6 sebagai berikut:
24
Gambar 2.6 Desain perkerasan lentur opsi biaya minimum termasuk CTB
Catatan:
Ukuran Gradasi LPA nominal maksimum harus 20 mm untuk tebal lapisan 100 – 150 mm atau 25 mm untuk tebal lapisan 125 – 150 mm.
Hanya kontraktor yang cukup berkualitas dan memiliki akses terhadap peralatan yang sesuai dan keahlian yang diijinkan melaksanakan pekerjaan CTB. LMC dapat digunakan sebagai pengganti CTB untuk pekerjaan di area sempit atau jika disebabkan oleh ketersediaan alat.
AC BC harus dihampar dengan tebal padat minimum 50 mm dan maksimum 80 mm. HRS tidak cocok untuk gradien curam atau daerah perkotaan dengan lalu lintas melebihi 1 juta
ESA4.
Dan pada gambar 2.7 merupakan desain perkerasan lentur alternatif yang
digunakan jika HRS dan CTB sulit untuk dilaksanakan, namun desain perkerasan lentur
tetap lebih mengutamakan desain menggunakan gambar 2.6.
25
Gambar 2.7 Desain perkerasan lentur alternatif
9. Periksa dengan menggunakan Pt-T-01-2002-B
Setelah semua perhitungan dilakukan maka hasil perhitungan secara struktur
diperiksa dengan menggunakan Pt-T-01-2002-B.
10. Menentukan standar drainase bawah permukaan yang dibutuhkan
Drainase bawah permukaan (sub surface pavement drainage) harus disediakan
untuk memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:
Seluruh lapis pondasi bawah (sub base) harus dapat mengalirkan air.
Desain pelebaran perkerasan harus menjamin tersedianya drainase yang
memadai dari lapisan berbutir terbawah pada perkerasan eksisting.
Lapis terbawah perkerasan harus dapat mengalirkan air atau tebal lapis
perkerasan berbutir efektif harus dikalikan dengan faktor m. Jalur air dengan
batas timbunan paling tidak 500 m dari lapisan berbutir ke tepi timbunan (titik
free drainage) harus dianggap dapat mengalirkan air. Drainase melintang pada
titik rendah atau pada pusat 10 m harus dianggap memberikan free drainage
pada subbase.
26
Apabila ketinggian sub base lebih rendah dari pada ketinggian permukaan tanah
sekitarnya, baik di daerah timbunan ataupun di permukaan tanah asli, maka
harus dipasang drainase bawah permukaan (bila memungkinkan keadaan
ini dapat dihindari dengan desain geometris yang baik), bila drainase bawah
permukaan tidak tersedia atau jika muka air tanah lebih tinggi dari 600 mm
dibawah tanah dasar maka harus digunakan penyesuaian dengan faktor “m”
untuk tebal lapis berbutir sesuai AASHTO 93 pasal 2.4.1.
Drainase bawah permukaan harus disediakan didekat saluran U dan struktur
lain yang menutup aliran air dari setiap lapisan sub base. Lubang kecil
(weep holes) harus ditempatkan secara benar selama konstruksi namun tidak
dapat dijadikan satu – satunya metode yang dilakukan. Secara umum drainase
bawah permukaan harus diupayakan untuk disediakan.
Drainase bawah permukaan harus ditempatkan pada kemiringan yang seragam
tidak kurang dari 0,5% sehingga air akan mengalir dengan bebas sepanjang
drainase sampai ke titik keluar (outlet point). Selain itu harus juga tersedia titik
akses untuk membersihkan drainase atau titik pembuangan (discharge point)
pada jarak tidak lebih dari 60 m.
Elevasi titik masuk dan pembuangan drainase bawah permukaan harus lebih
tinggi dari muka banjir rencana sesuai standar desain drainase.
Apabila drainase bawah permukaan tidak dapat diberikan yang umumnya terjadi
pada daerah perkotaan, harus digunakan koefisien “m” pada desain ketebalan lapis
pondasi berbutir sesuai dengan aturan AASHTO 93 pasal 2.4.1 dan gambar 2.8.
Faktor ‘m’ tersebut digunakan untuk check dengan metode AASHTO 1993. Tebal
lapis pondasi berbutir dari gambar 2.6 harus disesuaikan dengan membagi tebal
desain lapis berbutir dengan faktor ‘m’. Nilai yang didapat menjadi tebal desain
lapis pondasi berbutir.
27
28
Gambar 2.8 Koefisien drainase ‘m’ untuk lapis berbutir
11. Menentukan kebutuhan daya dukung tepi perkerasan
Struktur perkerasan memerlukan daya dukung tepi yang cukup, terutama bila
terletak pada tanah lunak atau tanah gambut. Ketentuan daya dukung tepi harus
dinyatakan secara terinci di dalam gambar gambar kontrak (drawings).
Ketentuan minimum adalah:
Setiap lapis perkerasan harus dipasang sampai lembar yang sama atau lebih dari
nilai minimum yang dinyatakan dalam gambar 2.9 dan 2.10
Timbunan tanpa penahan pada tanah lunak (CBR < 2%) atau tanah gambut harus
dipasang pada kemiringan tidak lebih curam dari 1V : 3H
29
Gambar 2.9 Dukungan terhadap tepi perkerasan
Gambar 2.10 Detail dukungan terhadap tepi perkerasan
Lapisan penopang dan peningkatan tanah dasar harus diperpanjang sama ke
bawah median sebagaimana dalam gambar 2.9. Area median harus terdrainase baik atau
diisi dengan lean mix concerete atau dengan bahan pengisi kedap untuk menghindari
pengumpulan air dan merusak tepi perkerasan.
2.5 Prosedur Perancangan Pt-T-01-2002-B
Pada Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 perhitungan
perkerasan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pedoman perkerasan jalan Pt-
T-2002-B.
30
Pedoman perkerasan jalan Pt-T-2002-B yaitu perancangan tebal perkerasan lentur
yang meliputi ketentuan umum perancangan uraian deskripsi, ketentuan teknis
perancangan, metode perancangan, dan contoh-contoh perancangan. Perancangan tebal
perkerasan yang diuraikan dalam pedoman ini hanya berlaku untuk konstruksi
perkerasan yang menggunakan material bergradasi lepas (granular material dan batu
pecah) dan berpengikat.
Petunjuk perancangan ini digunakan untuk :
Perancangan perkerasan jalan baru;
Perancangan pelapisan tambah (Overlay);
Perancangan konstruksi bertahap (Stage Construction).
Dalam menggunakan pedoman perancangan tebal perkerasan lentur ini, penilaian
terhadap kekuatan perkerasan jalan yang ada harus terlebih dahulu meneliti dan
mempelajari hasilhasil pengujian di laboratorium dan lapangan. Penilaian ini
sepenuhnya tanggung jawab perencana, sesuai dengan kondisi setempat dan
pengalamannya. Cara-cara perancangan tebal perkerasan, selain yang diuraikan dalam
pedoman ini dapat juga digunakan, dengan syarat dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan hasil-hasil pengujian para ahli.
Kriteria Perancangan Pedoman perkerasan jalan Pt-T-2002-B, yaitu:
a. Lalu-lintas
• Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan (E)
Angka eivalen (E) masing-masing golongan beban gandar sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan dan untuk roda tunggal karakteristik beban yang
berlaku agak berbeda dengan roda ganda.
• Reliabilitas
Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian
(degree of certainty) ke dalam proses perancangan untuk menjamin
bermacam-macam alternative perancangan akan bertahan selama selang waktu
yang direncanakan (umur rencana).
31
Faktor perancangan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi
perkiraan lalu-lintas (w18) dan perkiraan kinerja (w18), dan karenanya
memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan bertahan
selama selang waktu yang direncanakan. Pada umumnya, dengan
meningkatnya volume lalu-lintas dan kesukaran untuk mengalihkan lalu-lintas,
resiko tidak memperlihatkan kinerja yang diharapkan harus ditekan.
• Lalu Lintas Pada Lajur Rencana
Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif beban gandar
standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana ini digunakan
perumusan berikut ini :
w18 = DD x DL x ŵ18
Dimana :
DD = faktor distribusi arah.
DL = faktor distribusi lajur.
ŵ18 = beban gandar standar kumulatif untuk dua arah.
b. Kualitas drainase
Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam perancangan
dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang dimodifikasi. Faktor
untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase
(m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D).
c. Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan
yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat.
Adapun beberapa ini IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah
ini :
IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
IP = 2,0 : menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih
mantap.
32
IP = 1,5 : menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan
tidak terputus).
IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga
sangat mengganggu lalu-lintas kendaraan.
d. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Pedoman ini memperkenalkan korelasi antara koefisien kekuatan relatif
dengan nilai mekanistik, yaitu modulus resilien. Berdasarkan jenis dan fungsi
material lapis perkerasan, estimasi Koefisien Kekuatan Relatif dikelompokkan
ke dalam 5 katagori, yaitu : beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi
granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular subbase),
cement-treated base (CTB), dan asphalt-treated base (ATB).
Diadopsi dari Metode AASHTO 1993 dengan langkah-langkah perancangan
sebagai berikut:
a. Menentukan Indeks Permukaan awal (IP0) yaitu kinerja struktur perkerasan
dengan menggunakan tabel khusus untuk jenis perkerasan yang
dipergunakan untuk lapis permukaan.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP0) perlu
diperhatikan jenis lapis perkerasan pada awal umur rencana sesuai dengan
gambar 2.11.
Gambar 2.11 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)
b. Menentukan Indeks Permukaan akhir (IPt) sesuai Metode Pt T-01-2002-B
yang mempunyai lebih banyak pilihan nilai dibandingkan dengan Metode
AASHTO 1993.
33
Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt), perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan.
Gambar 2.12 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)
c. Mengasumsikan nilai SN yang digunakan untuk menentukan angka
ekivalen.
d. Menentukan angka ekivalen setiap jenis kendaraan dengan terlebih dahulu
menentukan angka ekivalen masing-masing sumbu.
Angka ekuivalen (E) asing-masing golongan beban gandar sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan menurut tabel pada Lampiran. Tabel ini hanya berlaku
untuk roda ganda. Untuk roda tunggal karakteristik beban yang berlaku agak
berbeda dengan roda ganda. Untuk roda tunggal rumus berikut ini harus
dipergunakan.
Angka ekivalenrodatunggal= ¿]4...............(2.5)
e. Menentukan faktor distribusi arah (DA) jika volume lalulintas yang
tersedia dalam 2 arah DA berkisar antara 0,3–0,7. Untuk perancangan pada
umumnya diambil nilai DA senilai 0,5.
f. Menentukan faktor distribusi lajur (DL) yaitu faktor distribusi ke lajur
rencana.
34
Gambar 2.13 Faktor Distribusi Lajur (DL)
g. Menghitung lintas ekivalen selama umur rencana (W18).
W18 = DD x DL x W18...............................................................................(2.6)
Dimana :
DD = faktor distribusi arah.
DL = faktor distribusi laju
W18= beban gandar standar kumulatif untuk dua arah
h. Menentukan Reabilitas/reability, tingkat reabilitas tinggi menunjukan jalan
yang melayani lalulintas paling banyak, sedangkan tingkat yang paling
rendah yaitu 50% menunjukan jalan lokal.
Gambar 2.14 Rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan.
i. Menentukan MR tanah dasar berdasarkan korelasi dengan nilai
CBR segmen.
j. Menentukan nilai SN (inci) dengan menggunakan nomogram, nilai SN
harus sama dengan SN yang telah diasumsikan diawal, apabila nilai SN
belum sama maka langkah perancangan diulang kembali mulai dari
35
asumsi nilai SN. Nomogram perkerasan lentur bisa dilihat pada Gambar 2.15
sebagai berikut:
36
Gambar 2.15 Nomogram untuk perancangan tebal perkerasan lentur
k. Menentukan koefisien drainase lapis pondasi dan lapis pondasi bawah.
Gambar 2.16 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada perkerasan lentur.
l. Menentukan tebal minimum masing-masing perkerasan.
37
Gambar 2.17 Tebal minimum lapis permukaan berbeton aspal dan lapis
fondasi agregat (inci)
2.6 SDPJL 1.0 (Software Desain Perkerasan Jalan Lentur)
Software Desain Perkerasan Jalan Lentur adalah alat bantu perancangan teknis
perkerasan jalan dengan menggunakan komputer yang pada mulanya dikembangkan
oleh Central Design Office BIPRAN pada tahun 1983 (RDS). Kemudian seiring dengan
perkembangan teknologi komputer, teknologi perkerasan jalan dan perkembangan
spesifikasi, maka software perancangan perkerasan jalan dimodifikasi disesuaikan
dengan kebutuhan.
Software Desain Perkerasan Jalan Lentur merupakan pemutakhiran perangkat
lunak sebelumnya yaitu Roads Design System (RDS), dengan bantuan komputer yang
dapat berdiri sendiri dan dapat menampung perubahan dan perkembangan pemakaian
material dan spesifikasi yang digunakan.
SDPJL ini hanya sebagai alat bantu perhitungan perencana dalam proses
mendesain perkerasan jalan lentur yang merujuk pada Pedoman Interim Desain
Perkerasan Jalan Lentur No 002/P/BM/2011. Dalam aplikasinya pemakai perangkat
lunak ini masih memerlukan data dan perhitungan secara manual dan secara mandiri
harus melakukan pertimbangan teknik terhadap keluarannya, sehingga menjadi desain
yang sesuai dengan kebutuhan.
2.6.1 Prinsip Utama dari Software Desain Perkerasan Jalan Lentur
Beberapa prinsip utama dari software ini antara lain:
38
1. Penyeragaman dalam metoda pengambilan data lapangan dan metoda
perancangan untuk seluruh Indonesia, sehingga memudahkan dan mempercepat
pemantauan (monitoring).
2. Koordinasi pekerjaan lebih mudah, sehingga seluruh pekerjaan diharapkan dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan dikerjakan sesuai
dengan metoda yang ditetapkan.
3. Seluruh kegiatan Perancangan sampai dengan tahap PHO dapat disimpan dalam
satu “file perancangan“ dan dapat di link dengan perangkat lunak Analisis Harga
Satuan.
4. Mempermudah perencanan dalam mengerjakan beberapa perancangan konstruksi
perkerasan jalan, (dapat mendesain beberapa alternatif desain dalam waktu yang
bersamaan).
2.6.2 Parameter-parameter Input Perhitungan SDPJL
Desain perkerasan jalan lentur dengan menggunakan software ini, memerlukan
data yang antara lain :
1. Data kekuatan jalan yang ada, yang diperoleh dengan pengukuran B/Beam (untuk
jalan yang beraspal) atau dengan pengukuran CBR subgrade menggunakan alat
Dinamic Cone Penetrometer (untuk jalan tanah, jalan rusak dan pelebaran).
2. Data geometrik Jalan termasuk temperatur perkerasan dan ketebalan aspal
existing.
3. Data sumber material.
4. Harga satuan.
5. Peta lokasi proyek yang menunjukkan secara pasti titik awal dan titik akhir proyek
berikut datumnya.
6. Data perkiraan kebutuhan lapangan lainnya.
7. Data Lalu Lintas.
39
2.6.3 Proses Perancangan Perkerasan Menggunakan SDPJL 1.0
Adapun langkah-langkah perancangan dengan menggunakan program SDPJL 1.0
berdasarkan Pedoman Perancangan Perkerasan Lentur Nomor 02/M/BM/2013 ini
adalah sebagai berikut:
1. Tampilan awal
Tampilan awal merupakan isian data yang terdiri sebagai berikut:
a. Isian, Inputing data isian di isi sesuai dengan kebutuhan lapangan dan untuk
mengisinya ada fasilitas pembantu berupa tanda merah dalam sel (untuk
membantu pengisian). Caranya geser cursor ke arah tanda merah dengan
mempergunakan mouse, sehingga muncul kotak keterangan seperti terlihat pada
gambar 2.18.
b. Pilihan, Di dalam gambar 2.18 terlihat kotak pilihan untuk pengisian (contohnya:
Fungsi Jalan). Cara menentukan pilihan, geser cursor ke pojok kanan kotak
pilihan, tekan mouse pada saat cursor terdapat pada segitiga, kemudian tentukan
pilihan yang dibutuhkan.
40
41
Gambar 2.18 Tampilan Awal Program SDPJL 1.0
2. Tampilan isian data hasil survey
Gambar 2.19 Isian Data Hasil Survey
3. Tampilan kolom AADT Rencana
Diisi dengan kondisi lalu lintas disesuaikan dengan Tabel Koefesien Distribusi
Kendaraan dibuat formulanya.
Contoh pengisian data:
42
Gambar 2.20 Kolom AADT Rencana
4. Tampilan hasil analisis traffik
Gambar 2.21 Hasil Analisis Traffik
5. Tampilan data untuk proses sorting
43
Gambar 2.22 Data untuk Proses Sorting
6. Tampilan pengelompokan data lapangan
Gambar 2.23 Pengelompokan data lapangan
7. Contoh tampilan pengelompokan data lendutan
44
Gambar 2.24 Pengelompokan Data Lendutan
8. Tampilan hasil sort
Gambar 2.25 Hasil Sort
9. Tampilan hasil output
45
Gambar 2.26 Hasil Output
2.6.4 Output Hasil Perancangan SDPJL
Output hasil perancangan SDPJL terdiri dari:
a. Tebal lapisan perkerasan
b. Volume Pekerjaan
c. Analisis Harga Satuan
Untuk mendapatkan perkiraan biaya pekerjaan dapat mempergunakan perangkat
lunak analisis Harga Satuan dengan cara link antar file.
Dalam SDPJL, output yang akan diperoleh masih terbatas pada tebal lapisan
perkerasan dan kuantitas pekerjaan yang berhubungan dengan perkerasan. Untuk
kuantitas pekerjaan pendukung lainnya diperlukan yang lebih rinci dalam dalam lembar
kerja yang ada dalam SDPJL.
46
2.7 Analisis Harga Satuan
Analisis harga satuan ini menguraikan suatu perhitungan harga satuan bahan dan
pekerjaan yang secara teknis dirinci secara detail berdasarkan suatu metode kerja dan
asumsi-asumsi yang sesuai dengan yang diuraikan dalam suatu sfesifikasi teknik dan
komponen harga satuan, baik untuk kegiatan pemeliharaan, maupun peningkatan jalan.
Analisis harga satuan pekerjaan yang akan dilakukan adalah harga satuan bahan,
harga satuan alat dan harga satuan upah. Dari analisis yang dilakukan untuk masing-
masing kelompok, kemudian disatukan menjadi analisis harga satuan pekerjaan. Jumlah
perkiraan biaya proyek dapat dibuat dengan mengalikan kuantitas satuan pekerjaan dan
harga satuan pekerjaan.
Menurut Bina Marga, data harga satuan dasar yang digunakan dalam perhitungan
analisis harga satuan adalah sebagai berikut:
1. Harga pasar setempat pada waktu yang bersangkutan.
2. Harga kontrak untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor kenaikan harga yang terjadi.
3. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Biro Pusat Statistik
(BPS) dan media cetak lainnya.
4. Daftar harga/tarif dan barang/jasa yang dikeluarkan pabrik atau agen tunggal.
5. Daftar harga standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang baik pusat
maupun daerah.
6. Data lain yang dapat digunakan.
2.7.1 Harga Satuan Dasar (HSD) Tenaga Kerja
Komponen tenaga kerja berupa upah yang digunakan dalam mata pembayaran
tergantung pada jenis pekerjaan. Faktor yang mempengaruhi harga satuan dasar tenaga
kerja antara lain jumlah tenaga kerja dan tingkat keahlian tenaga kerja. Penetapan
jumlah dan keahlian tenaga kerja mengikuti produktivitas paralatan utama. Suatu
produksi jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia pada umumnya
dilaksanakan oleh perorangan atau kelompok kerja yang dilengkapi dengan peralatan
47
yang diperlukan berdasarkan metode kerja yang ditetapkan yang disebut alat bantu serta
bahan yang diolah.
Biaya tenaga kerja standar dapat dibayar dalam sistem hari orang standar atau
jam orang standar. Besarnya sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi
pekerjaan. Secara lebih rinci faktor tersebut dipengaruhi antara lain oleh :
a. Keahlian tenaga kerja
b. Jumlah tenaga kerja
c. Faktor kesulitan pekerjaan
d. Ketersediaan peralatan
e. Pengaruh lamanya kerja
f. Pengaruh tingkat persaingan tenaga kerja
2.7.1.1 Kualifikasi Tenaga Kerja
Dalam pelaksanaan pekerjaan jalan dan jembatan diperlukan keterampilan yang
memadai untuk dapat melaksanakan suatu jenis pekerjaan. Tenaga kerja yang terlibat
dalam suatu jenis pekerjaan jalan dan jembatan umumnya terdiri dari:
a. Pekerja,
b. Tukang,
c. Mandor,
d. Operator,
e. Pembantu operator,
f. Sopir,
g. Pembantu sopir,
h. Mekanik,
i. Pembantu mekanik,
j. Kepala tukang.
48
2.7.1.2 Standar Upah
Sumber data harga standar upah berdasarkan UMR (Upah Minimum Regional)
didapat dari ketetapan yang dikeluarkan Mentri Tenaga Kerja mengenai besarnya upah
minimum regional yang selalu diadakan peninjauan kembali setiap tahun.
Upah Minimum Regional (UMR) adalah upah pokok terendah termasuk tunjangan
tetap yang diterima oleh pekerja di wilayah tertentu dalam satu provinsi, dan ini adalah
sebagai dasar upah.
Dalam suatu perusahaan, upah minimum regional (UMR) ini akan terjadi pula
sebagai harga dasar upah. Komponen upah dasar tenaga kerja adalah upah berdasar
UMR, disamping tujuan seprti:
a. Makan,
b. Transport,
c. Pengobatan dan pengamanan,
d. Runah atau tempat tinggal sementara atau tempat penampungan sementara para
pekerja selama kegiatan pekerjaan berjalan,
e. Perlengkapan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja).
Untuk suatu perusahaan baik yang bergerak di bidang pembangunan atau lainnya,
dasar upah, selain berdasar (UMR), dipertimbangkan pula adanya upah lokal dan upah
mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah (lokasi pekerjaan). Upah lokal adalah harga
upah setempat pada waktu yang bersangkutan atau yang terjadi pada waktu itu. Sumber
data upah lokal adalah dari instansi yang berwenag di daerah.
2.7.1.3 Hari Orang Standar (Standard Man Day)
Yang dimaksud dengan pekerja standar di sini adalah pekerja yang bisa
mengerjakan satu macam pekerjaan seperti pekerja galian, pekerja pengaspalan, pekerja
pasangan batu, pekerja las dan lain sebagainya. Dalam sistem pengupahan digunakan
satu satuan upah berupa orang hari standar (Standard Man Day) yang disingkat orang
49
hari (OH) atau man day (MD), yaitu sama dengan upah pekerjaan dalam 1 hari kerja (8
jam kerja termasuk 1 jam istirahat).
2.7.1.4 Jam Orang Standar (Standard Man Hour)
Orang hari standar atau satu hari orang bekerja adalah 8 jam, terdiri dari 7 jam
kerja (efektif) dan satu jam istirahat. Apabila perhitungan upah dinyatakan dengan upah
orang per jam (OJ) maka upah orang per jam dihitung sebagai berikut:
Upah orang per jam (OJ )=upah orang per hari7 jam kerja
................................... (2.7)
Bila diperoleh data upah pekerja per bulan, maka upah jam orang pada rumus
(2.7) dapat dihitung dengan membagi upah per bulan dengan jumlah hari efektif selama
satu bulan (24-26) hari kerja dan dengan jumlah 7 jam kerja efektif selama satu hari.
2.7.1.5 Koefisien dan Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah jam kerja merupakan koefisien tenaga kerja atau kuantitas jam kerja per
satuan pengukuran. Koefisien ini adalah faktor yang menunjukkan lamanya pelaksanaan
dari tenaga kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan satu satuan volume pekerjaan.
Faktor yang mempengaruhi koefisien tenaga kerja antara lain jumlah tenaga kerja dan
tingkat keahlian tenaga kerja. Penetapan jumlah dan keahlian tenaga kerja mengikuti
produktivitas peralatan utama.
Jumlah tenaga kerja tersebut adalah relatif tergantung dari beban kerja utama
produk yang dianalisis. Jumlah total waktu digunakan sebagai dasar menghitung jumlah
pekerja yang digunakan. Rasio antara mandor dengan pekerja paling kecil 1:20 atau
pada kondisi tertentu adalah 1:10. Rasio antara kepala tukang dan tukang adalah sekitar
1:10.
50
2.7.2 Harga Satuan Dasar (HSD) Alat
2.7.2.1 Masukan Untuk Perhitungan Biaya Alat
Komponen alat digunakan dalam mata pembayaran tergantung pada jenis
pekerjaannya. Faktor yang mempengaruhi harga satuan dasar alat anatara lain: jenis
peralatan, efesiensi kerja, kondisi cuaca, kondisi medan, dan jenis material/bahan yang
dikerjakan. Jika beberapa jenis peralatan yang digunakan
untuk pekerjaan secara mekanis dan digunakan dalam mata pembayaran tertentu,
maka besarnya suatu produktivitas ditentukan oleh peralatan utama yang digunakan
dalam mata pembayaran tersebut. Berikut ini masukan yang diperlukan dalam
perhitungan biaya alat pers atuan waktu.
a. Jenis alat
Jenis alat yang dipergunakan dalam satu mata pembayaran disesuaikan dengan
ketentuan yang tercantum dalam spesifikasi teknis. Pada umumnya satu jenis
peralatan hanya mampu melaksanakan satu jenis kegiatan pelaksanaan pekerjaan.
b. Tenaga mesin
Tenaga mesin (Pw) merupakan kapasitas tenaga mesin penggerak dalam satuan
tenaga kuda atau horsepower.
c. Kapasitas alat
Kapasitas alat adalah kapasitas peralatan (Cp) yang dipergunakan, misalnya AMP
5ton/jam (kapasitas produksi per jam). Ada beberapa peralatan yang bisa berdiri
sendiri dalam operasinya, tapi ada peralatan yang bergantung pada peralatan lain
seperti misalnya dum truck, yang tidak bisa mengisi muatannya sendiri, harus diisi
memakai loader atau excavator. Jadi isi muatan bak dump truck tergantung pada
berapa banyak yang bisa di tumpahkan oleh pengisinya (loader atau excavator)
d. Umur ekonomi alat
Umur ekonomis peralatan (A) dapat dihitung berdasarkan kondisi penggunaan dan
pemeliharaan yang normal, menggunakan standard dari pabrik pembuat. Setiap
51
peralatan selama pemakaiannya (operasinya) membutuhkan sejumlah biaya, yaitu
biaya untuk operasi sesuai fungsinya dan biaya pemeliharaan (termasuk
perbaikan) selama operasi. Setiap jenis peralatan mempunyai umur ekonomis
sendiri-sendiri yang berbeda antara satu jenis peralatan lainnya. Biasanya
dinyatakan dalam tahun pengoprasian.
Umur ekonomis suatu peralatan dapat berubah (menjadi lebih singkat) yang
diakibatkan antara lain karena cara pengoprasian yang tidak baik dan tidak benar
serta pemeliharaan dan perbaikannya tidak baik.
e. Jam kerja alat per tahun
Pada peralatan yang bermesin maka jam peralatan atau jam pemakaian peralatan
akan dihitung dan di catat sejak mesin dihidupkan sampai mesin dimatikan.Selama
waktu (jam) pelaksanaan kegiatan pekerjaan maka peralatan tetap dihidupkan,
kecuali generating set (gen set) yang selalu tetap dihidupkan, untuk peralatan
tidak bermesin maka jam pemakaiannya sama dengan jam pelaksanaan kegiatan
pekerjaan.
f. Harga pokok alat
Harga pokok perolehan alat (B) yang dipakai dalam perhitungan biaya sewa alat
atau pada analisis harga satuan dasar alat. Harga yang tercantum dapat terjadi
melalui persyaratan jual beli apakah barang tersebut loko gudang, fraco gudang,
free on board, serta kadang-kadang penjual harus menanggung cost, freight, and
insurance atas barang yang dikirim.
g. Nilai sisa alat
Nilai sisa peralatan (C) atau bisa disebut nilai jual kembali (resale value) adalah
perkiraan harga peralatan yang bersangkutan pada akhir umur ekonomisnya.
Untuk perhitungan analisis harga saat ini, nilai sisa alat dapat diambil rata-rata
10% dari pada harga pokok alat, tergantung pada karakteristik (dari pabrik
pembuat) dan kemudian pemeliharaan alat.
Nilai sisa alat : C= 10% harga alat
52
h. Tingkat suku bunga, faktor angsuran modal dan biaya pengembalian modal
Merupakan tingkat suku bunga bank pinjaman infestasi yang berlaku pada waktu
pembelian peralatan yang bersangkutan. Perancangan teknis/pengguna jasa
menentukan nilai suku bunga ini dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa
bank komersial terutama di wilayah tempat kegiatan pekerjaan berada. Untuk
mendapatkan biaya pengembalian modal menggunakan rumus (7)
D=i ׿¿.............................................................................................(2.8)
E=( B−C ) × D
W..............................................................................................(2.9)
dimana:
A = Umur ekonomis alat
D = Faktor angsuran dan pengembalian modal
E = Biaya pengembalian modal
i = Tngkat suhu bunga pinjaman investasi (% per tahun)
B = Harga pokok alat (rupiah)
C = Nilai sisa alat (%)
W = Jumlah jam kerja alat dalam satu tahun (jam)
i. Angsuran dan pajak
Besarnya nilai angsuran (Ins) dan pajak kepemilikan peralatan ini umumnya
diambil rata-rata per tahun sebesar 0,1% untuk angsuransi dan 0,1% untuk pajak,
atau dijumlahkan sebesar 0,2% dari harga pokok alat, atau 2% dari sisa alat
(apabila nilai sisa alat = 10% dari harga pokok alat). rumus untuk mendapatkan
nilai asuransi dapat dilihat pada persamaan (8)
F= Ins × BW
...................................................................................................
(2.10)
dimana:
F = Asuransi
53
B = Harga pokok alat (rupiah)
Inc = Asuransi(5)
W = Jumlah jam dalam kerja alat dalam satu tahun (jam)
j. Upah tenaga
Upah tenaga kerja dalam perhitungan biaya operasi peralatan disisni terdiri atas
biaya upah tenaga kerja dalam satuan Rp./jam. Untuk mengoprasikan alat
diperlukan opertor dan pembantu operator.
k. Harga bahan bakar dan pelumas
Harga bahan bakar (H) dan minyak pelumas maupun minyak hidrolik (I), dalam
perhitungan biaya53 operasi peralatan adalah harga umum yang ditetapkan
pemerintah setempat.
2.7.2.2 Proses Perhitungsn Harga Satuan Dasar Alat
Komponen dasar poses harga satuan dasar alat, tediri atas:
A) Biaya pasti, (owning cost)
Biaya pasti, (owning cost) adalah biaya pengembalaian modal dan bunga setiap
tahun, dihitung sebagai berikut:
G=( E+F)× D
W+ Ins × B
W=
(B−C )× D+(Ins× D)W
.........................................(2.11)
dimana :
G = biaya pasti per jam
B = Harga pokok alat setempat
C = Nilai sisa alat
D = Faktor angsuran dan pengembalian modal
E = Faktor angsuran dan pengembalian modal
F = Biaya asuransi, pajak dan lain-lain per tahun
54
= 0,002 x B atau
= 0,02 x C
W = Jumlah jam kerja alat dalam satu tahun
B) Biaya tidak pasti atau biaya operasi
1. Komponen biaya operasi
komponen biaya operasi tiap unit peralatan dihitung berdasarkan bahan
tang diperlukan sebagai berikut:
a. Biaya bahan bakar (H)
Kebutuhan bahan bakar tiap jam (H) dihitung berdasarkan data tenaga
kerja mesin penggerak sesuai yang tercantum dalam manual pemakaian
bahan bakar yang digunakan untuk proses produksi (misalnya untuk
pengeringan/ pemanasan agregat atau pemanasan aspal pada AMP, serta
pemanasan permukaan perkerasan pada Hot Recycler).
b. Biaya minyak pelumas (I)
Minyak pelumas (I) yang meliputi minyak pelumas mesin (I), minyak
pelumas hidrolik, pelumas transmisi, Tongue Converter, power steering,
gemuk (grease) dan minyak pelumas lainnya, kebutuhan per jam dihitung
berdasarkan kebutuhan jumlah minyak pelumas diabagi tiap berapa berapa
jam minyak pelumas yang bersangkutan harus diganti sesuai manual
pemeliharaan dari pabrik pembuat.
c. Biaya bengkel (J)
Pemeliharaan perawatan rutin (J) seperti pengganti saringan udara,
saringan bahan bakar, saringan pelumas serta perbaikan ringan lainnya.
d. Biaya perawatan atau perbaikan
Biaya perbaikan (K) ini meliputi:
- Biaya penggantian ban (untuk peralatan yang memakai roda ban)
55
- Biaya penggantian komponen-komponen yang aus (yang penggantiannya sudah
dijadwalkan) seperti swing dan fixed jaw pada jaw crusher, cutting edge pada
pisau buldozer, saringan (screen) pada stone crusher dan AMP
- Penggantian batre i accu
- perbaikan undercarriage dan attachment
- biaya bengkelUpah operator/driver
e. Upah operator/ driver (L) dan pembantu operator/driver (M)
Besarnya upah untuk operator/driver (M) dan pembantu operator/ driver
(L) diperhitungkan sesuai dengan “besar perhitungan upah kerja”, tetapi
upah per jam diperhitungkan upah 1 (satu) jam kerja efektif
2. perhitungan biaya operasi
Perhitungan cara pendekatan dengan rumus rata-rata untuk biaya tidak
pasti atau biaya operasi adalah sebagai berikut
a) Biaya bahan bakar (H)
Banyakaknya bahan bakar per jam yang digunakan oleh mesin penggerak
dan tergantung pada besarnya kapasitas tenaga mesin, biasanya diukur
dengan satuan HP (Horse Power)
H=(12,00 s /d 15,00)% xHP..................................................(2.12)
dimana:
H = banyaknya bahan bakar yang dipergunakan dalam 1
(satu) jam dengan satuan liter/jam
HP = Horse power, kapasitas tenaga mesin penggerak
12,00% = Untuk alat yang bertugas ringan
15,00% = Untuk alat yang bertugas berat
b) Biaya minyak pelumas
Banyaknya minyak pelumas (termasuk pemakaian minyak yang lain serta
grease) yang dipergunakan oleh peralatan yang bersangkutan dihitung
dengan rumus dan berdasarkan kapasitas tenaga mesin
56
I=(2,5 s /d3)% x HP..............................................................(2.13)
dimana :
I = banyaknya minyak pelumas yang dipakai dalam 1 (satu)
jam dengan satuan liter/jam
HP = kapasitas tenaga mesin (Horse power)
2,5% = untuk pemakaian ringan
3% = untuk pemakaian berat
c) Biaya bengkel (J)
Besarnya biaya bengkel (workshop) tiap jam dihitung sebagai berikut:
J=(6,25 s/d 8,75)% x BW .....................................................(2.14)
dimana :
B = harga pokok alat setempat
W = jumlah jam kerja alat dalam satu tahun
6,25% = untuk pemakaian ringan
8,75% = untuk pemakaian berat
d) Biaya perbaikan (K)
Untuk menghitung biaya perbaikan termasuk penggantian suku cadang
yang aus dipakai rumus:
K=(12,5 s /d 17,5)% x B/W .................................................(2.15)
dimana :
B = harga pokok alat setempat
W = jumlah jam kerja alat dalam satu tahun)
dimana :
P = Biaya operasi
H = bnayaknya bahan bakar yang digunakan dalam 1 jam
dengan satuan liter/jam
I = Banyaknya minyak pelumas yang dipakai dalam 1
jam dengan satuan liter/jam
57
J = Besarnya biaya bengkel (workshop) tiap jam
K = Biaya perbaikan termasuk penggantian suku cadang yang
aus
L = Upah operator atau diver
M = Upah pembantu Operator atau pembantu driver
2.7.2.3 Keluaran (Output) HSD Alat
Keluaran harga satuan alat (S) adalah harga satuan dasar alat yang meliputi
biaya pasti (G), biaya tidak pasti atau biaya operasi (P), harga satuan dasar alat didapat
dengan:
S=G+P.................................................................................................(2.16)
Keluaran harga satuan dasaralat ini selanjutnya merupakan masukan (input) untuk
proses analisis harga satuan pekerjaan (HSP)
2.7.2.4 Alat Bantu
Di samping peralatan mekanis, hampir semua nomor mata pembayaran
memerlukan alat bantu manual, seperti: cangkul, sekop, gerobak sorong, keranjang,
timba dan lain-lain. Alat bantu tersebut jumlah dan harganya relatif kecil, sehingga
untuk memudahkan snalisis, alat bantu manual tidak dianalisis, dan dalam contoh
perhitungkan analisis harga satuan pekerjaan, harga alat bantu diisi dengan angka nol.
2.7.3 Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan
Faktor yang mempengaruhi harga satuan dasar bahan antara lain adalah kualitas,
kuantitas dan lokasi asal bahan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan kuantitas dan
kualitas bahan harus ditetapkan dengan mengacu pada spesifikasi yang berlaku.
Data satuan dasar bahan dalam perhitungan analisis ini berfungsi untuk kontrol
terhadap harga penawaran kontraktor. Harga datuan dasar bahan daat dikelompokkan
menjadi tiga bahan yaitu:
58
a. Harga satuan dasar bahan baku, misal: batu, pasir, semen, baja tulangan, dan lain-
lain
b. Harga satuan dasar bahan olahan, misal: agregat kasar dan agregat
halus, campuran beton semen, campuran semen, dan lain-lain.
c. Harga satuan dasar bahan jadi, misal tiang pancang beton pracetak, geosintetik dan
lain-lain
Harga pokok bahan dapat terjadi melalui persyaratan jual beli. Masukan (input)
harga bahan yang dibutuhkan dalam proses perhitungan HSD bahan yaitu harga
komponen bahan per satuan pengukuran. Satuan pengukuran bahan tersebut misalnya
m, m2, m3, kg, ton, zak dan sebagainya. Untuk pekerjaan bangunan jalan, jembatan, dan
bangunan air, pada umumnya memerlukan alat secara mekanis terutama memproduksi
bahan olahan dan proses pelaksanaan pekerjaan dilapangan, sebagian kecil memerlukan
pekerjaan secara manual.
2.7.3.1 Harga Satuan Dasar Bahan Baku
Bahan baku biasanya diperhitungkan dari sumber bahan (quarry), tetapi dapat
pula diterima di base camp atau di gudang setelah memperhitungkan ongkos bongkar
muat dan pengangkutannya. Survei bahan baku biasnya dilakukan terlebih dahulu untuk
mengetahui jarak lokasi sumber dan pemenuhan terhadap spesifikasinya, kemudian
diberi keterangan, misal: harga bahan di quarry (batu kali, pasir, dll) atau harga bahan
diambil dari pabrik atau gudang grosir (semen, aspal, besi dan sebagainya).
2.7.3.2 Harga Satuan Dasar Bahan Olahan
Bahan olahan merupakan hasil produksi di plant (pabrik) atau dibeli dari
produsen diluar kegiatan pekerjaan. Bahan olahan misalnya agregat atau batu pecah
yang diambil dari bahan baku atau bahan dasar kemudian diproses dengan alat mesin
pemecah batu menjadi material menjadi beberapa fraksi. Melalui proses penyaringan
59
atau pencampuran beberapa fraksi bahan dapat dihasilkan menjadi agregat kelas A dan
kelas B, sebagai bahan pondasi jalan.
Lokasi tempat proses pemecahan bahan biasanya di base camp atau di lokasi
khusus, sedangkan unit produksi campuran aspal (asphalt mixing plant) atau unit
produksi campuran beton semen (concrete batch plant) umumnya berdekatan dengan
lokasi mesin pemecah batu (stone crusher), agar dapat mensuplai agregat lebih mudah
Dalam penetapan harga satuan dasar bahan olahan di lokasi tertentu, khususnya
untuk agregat, ada tiga tahapan yang harus dilakukan, yaitu: masukan, proses dan
keluaran.
a) Masukan
1. Jarak quarry (bila sumber bahan baku diambil dari quarry) km
2. Harga satuan dasar tenaga kerja
3. harga satuab dasar alat
4. harga satuan dasar bahan baku atau bahan dasar
5. kapasitas alat, merupakan kapasitas dari alat yang dipergunakan, misalnya alat
pemecah batu (stone crusher) dalam ton per jam, dan Wheel Loader dalam m3
heaped (kapasitas bucket)
6. Faktor efesiensi alat
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses produksi diantaranya adalah: faktor
operator, faktor peralatan, faktor cuaca, faktor kodisi medan/lapangan, faktor
manajemen kerja
Untuk memberikan estimasi besaran pada setiap faktor di atas adalah sulit
sehingga untuk mempermudah pengambilan nilai yang digunakan, faktor-faktor
tersebut digabungkan menjadi satu yang merupakan faktor kondisi kerja secara
umum. Selanjutnya faktor tersebut digunakan sebagai faktor efisiensi kerja alat
(Fa). Faktor efesiensi dapat dilihat pada Tabel 2.3, tetapi tabel tersebut tidak
disarankan bila kondisi operasi dan pemeliharaan mesin adalah buruk.
Tabel 2.3 Faktor Efisiensi Alat
60
7. Faktor kehilangan bahan
Faktor untuk memperhitungkan bahan yang tercecer pada saat diolah dan di
pasang. Faktor kehilangan bahan curah dan kemasan pada pekerjaan berbasis
semen atau beton semen dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Faktor Kehilangan Bahan Curah dan Kemasan pada Pekerjaan Berbasis Semen atau Beton Semen
(Sumber: AHSP, 2013)
b) Proses
Proses perhitungan dapat dilakukan secara manual atau menggunakan perangkat
lunak secara sederhana dengan microsoft office, Excel, sesuai dengan rumus di atas.
c) Keluaran
Proses perhitungan di atas akan menghasilkan harga satuan dasar bahan, misal:
untuk agregat kasar dan agregat halus sebagai keluaran. Harga satuan dasar bahan
olahan ini merupakan masukan dalam proses perhitungan analisis harga satuan
pekerjaan.
Kondisi OperasiPemeliharaan Mesin
Baik Sekali Baik Sedang Buruk Buruk Sekali
Baik sekali 0,83 0,81 0,76 0,7 0,63
Baik 0,78 0,75 0,71 0,65 0,6
Sedang 0,72 0,69 0,65 0,6 0,54
Buruk 0,63 0,61 0,57 0,52 0,45
Buruk sekali 0,53 0,5 0,47 0,42 0,32
Bentuk Bahan Faktor Kehilangan (%)
Semen 1,00 - 2,00
Pasar 5,00 - 10,0
Agregat kasar 5,00 - 10,0
Superplasticizer 1,00 - 2,00
61
2.7.3.3 Harga Satuan Dasar Bahan Jadi
Bahan jadi diperhitungkan diterima di base camp/gudang atau dipabrik setelah
memperhitungkan ongkos bongkar muat dan pengangkutannya serta biaya pemasangan
(tergantung perjanjian transaksi)
Untuk harga satuan dasar bahan jadi, harus diberi keterangan harga bahan
diterima sampai di lokasi tertentu, misal lokasi pekerjaan, base camp atau bahan diambil
di pabrik/udang grosir. Bahan jadi dapat berasal dari pabrik/pelabuhan/ gudang
kemudian
diangkut ke lokasi pekerjaan menggunakan tronton/truk, sedang untuk memuat dan
menurunkan barang menggunakan crane atau alat lainnya.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tahapan Persiapan
Tahapan persiapan yang dilakukan meliputi:
1. Studi Literatur
Mengumpulkan, membaca, dan menganalisis sumber-sumber pustaka yang
ada kaitannya dengan tema penulisan tugas akhir ini, baik melalui buku-buku,
makalah-makalah hasil seminar, jurnal, karya tulis lainnya maupun bahan-bahan
yang didapatkan dari bangku kuliah. Hal ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman terhadap permasalahan yang diangkat sehingga didapat landasan teori
yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Survey Pendahuluan
Merupakan kegiatan survey dilapangan dalam skala kecil sebelum
pengumpulan data untuk menghimpun data-data lapangan secara visual di lokasi
tempat pekerjaan akan dilakukan.
Hal-hal yang dilakukan dalam survey pendahuluan antara lain:
a. Melihat langsung kondisi jalan secara umum
63
b. Menentukan titik awal dan akhir lokasi penelitian
c. Mengambil foto-foto keadaan jalan dan lingkungan di sekitar lokasi penelitian.
3.2 Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dilapangan melalui
hubungan langsung dengan objek penelitian, yaitu berupa kondisi awal
dilapangan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat dari studi pustaka, karya tulis,dan
badan atau instansi pemerintah. Data sekunder yang dikumpulkan berupa:
a. Data Topografi
b. Data tingkat pertumbuhan lalu lintas
c. Daftar harga upah dan bahan.
3.3 Analisis Data
Berdasarkan data primer dan data sekunder, selanjutnya dilakukan analisis untuk
mendapatkan hasil perancangan yang diinginkan, yaitu struktur perkerasan lentur
(Flexible Pavement) jalan yang berdasarkan Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor
02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga tahun
2013 dan rencana anggaran biaya (RAB).
3.3.1 Analisis Data Menggunakan Manual Desain Perkerasan Jalan
02/M/BM/2013
Menurut Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013, langkah analisis
data sebagai berikut:
a. Menetapkan Umur Rencana
Untuk menentukan umur rencana jalan bisa dilihat pada tabel 2.2
64
b. Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil
penetrometer konusdinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan
DCP.
Setelah didapat data CBR hasil survey lalu dicari standar deviasi untuk
mendapatkan CBR desain. Untuk mencari nilai Standar Deviasi didapat dengan
rumus:
Maka didapat hasil CBR efektif dengan cara:
CBR karakteristik = CBR rata-rata – 1.3 x standar deviasi
c. Menentukan Nilai CESA4
Menentukan CESA4 pertama-tama harus menentukan nilai lalu lintas harian
rencana (LHR) x VDF.
Setelah mengetahui nilai LHR, maka didapat nilai ESA, lalu dimasukan ke
dalam rumus:
CESA4 = ESA x 365 x R
d. Menentukan nilai Traffic Multiplier (TM)
e. Menentukan nilai CESA5
Nilai CESA tertentu (pangkat 4) untuk desain perkerasan lentur harus dikalikan
denagn nilai TM untuk mendapatkan CESA5.
f. Menentukan Tipe Perkerasan
Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur
rencana.
g. Struktur Pondasi Jalan
Untuk menetukan desain struktur pondasi jalan memerlukan data CBR desain
dan CESA5.
h. Menentukan Standar Drainase Bawah Permukaan
65
i. Desain Tebal Perkerasan
Setelah didapat jenis perkerasan kemudian nilai CESA5, maka nilai CESA5
tersebut bertujuan untuk mendapatkan masing-masing tebal perkerasan
3.3.2 Analisis Data Menggunakan SDPJL
Analisis data dengan SDPJL sebagai berikut:
a. Data Input
Untuk input data awal, diperlukan data-data seperti lebar existing, CBR,
temperatur perkerasan aspal, dan tebal lapis aspal existing. Bisa dilihat pada
gambar 2.19.
b. Data Output
Data output merupakan hasil perancangan dengan menggunakan SDPJL yang
kemudian akan mendapatkan tebal perkerasan masing-masing lapisan. Baik itu
Lapis permukaan (AC WC), Lapis sub permukaan 1 (AC Base), Lapis sub
permukaan 2, maupun Lapis pondasi (Agregat A) dan Lapis pondasi bawah
(Agregat B).
3.3.3 Analisis Data Dengan Perhitungan Tebal Perkerasan Menggunakan
Pedoman Pt-T-01-2002-B
Dari hasil pengumpulan data didapatkan sejumlah data berupa data primer
dan data sekunder yang kemudian data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan
desain tebal perkerasan. Langkah – langkahnya sebagai berikut:
66
a. Menentukan Indeks Permukaan
Indeks permukaan menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan yang
berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalulintas yang lewat. IP merupakan
skala penilaian kinerja struktur perkerasan jalan yang memiliki rentang antara
angka 1sampai 5. Angka 5 menunjukan fungsi pelayanan yang sangat baik dan
angka 1 menunjukan fungsi pelayanan yang sangat buruk. Jenis indeks
permukaan terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana perlu
diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana
2) Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana, perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan.
b. Asumsi Nilai Struktural Number (SN)
Structural Number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan lapisan, koefisien relatif lapisan (layer coefficients), dan koefisien drainase (drainage coefficients). Strktural number adalah angka yang menunjukan nilai struktur perkerasan jalan.
c. Menentukan Angka Ekivalen Setiap Jenis Kendaraan
Jenis setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan disebut
juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan beban. Masing-
masing sumbu dilengkapi satu, dua atau tiga roda, yang apabila sumbu
dilengkapi dengan satu roda disebut dengan sumbu singlet atau tunggal, apabila
dilengkapi dengan dua roda disebut sumbu tandem atau ganda dan apabila
dilengkapi dengan 3 roda disebut sumbu triple. Untuk pelaksanaan tebal
perkerasan jalan beban yang diperhitungkan adalah beban yang mungkin terjadi
selama umur rencana atau masa pelayanan jalan.
d. Menentukan Faktor Distribusi Arah (DA)
Faktor distribusi arah dapat ditentukan apabila volume lalulintas yang tersedia
dalam 2 arah.
67
e. Menentukan Faktor Distribusi Lajur (DL)
Faktor distribusi lajur yaitu faktor distribusi ke lajur rencana.
f. Menghitung Repetisi Beban Selama Umur Rencana (W18)
Untuk mendapatkan nilai W18 sebelumnya dicari terlebih dahulu nilai tingkat
pertumbuhan lalulintas (i), nilai Lintas Harian Rata-rata (LHR) dan faktor umur
rencana (N). Kemudian menentukan nilai reliabilitas. Konsep reliabilitas
merupakan upaya untuk menyertakan derajat ketidakpastian kedalam proses
perancangan untuk menjamin berbagai macam alternatif perancangan akan
bertahan selama selang waktu yang direncanakan.
g. Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil
penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan
DCP. Dari hasil test DCP akan didapat nilai CBR segmen jalan dan akan
dikorelasikan menjadi nilai MR untuk tanah dasar.
h. Menentukan Nilai Modulus Resilient (MR) Masing-Masing Lapisan
Dari nilai CBR dikorelasikan Menjadi MRyang berperan sebagai parameter
penunjuk daya dukung lapisan tanah dasar atau subgrade menggantikan nilai
CBR yang selama ini digunakan dengan perhitungan dibawah ini :
MR =1500 (CBR), MRdalam psi
i. Mencari Nilai SN Dengan Nomogram dan Rumus Log Penentu Nilai SN
Angka Struktural Number (SN) yang diperoleh dengan nomogram harus sama
dengan SN yang asumsikan. Jika SN yang diperoleh tidak sama, maka langkah
diulang kembali mulai dari asumsi SN sampai ditemukan SN hasil hitungan.
j. Menentukan Koefisien Drainase
Pengaruh kualitas drainase dalam proses perancangan tebal lapisan perkerasan
dinyatakan dengan koefisien drainase (m).
k. Menentukan Tebal Minimum Masing – Masing Perkerasan
68
Komposisi lapisan yang direncanakan dalam perancangan perkerasan lentur
dengan menggunakan Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Lentur
(Rancangan 3) ini adalah sebagai berikut:
1) Lapis permukaan/ surface (AC-WC beton aspal dan AC-Base)
2) Lapis pondasi/ base Agregat kelas A (lapis pondasi beraspal)
3) Lapis pondasi bawah/ subbaseAgregat kelas B (lapis pondasi granular)
Setelah melakukan analisis data menggunakan tiga metode tersebut di atas akan
didapatkan tebal perkerasan lentur pada Jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta.
84+250 s/d 89+250, dari ketiga metode analisis tersebut akan diambil hasil analisis yang
paling efisien dan digunakan dalam perhitungan estimasi biaya.
3.4 Menghitung Anggaran Biaya
Berikut langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan analisa perhitungan
anggaran biaya setelah didapatkan nilai tebal perkerasan lentur pada pada Jalan Tanjung
Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d 89+250.
a. Data Proyek
Ada pun data-data Yang didapat pada perancangan ini yaitu sebagai berikut:
- Data Upah Pekerja
Adapun data Upah Pekerja yang di pakai pada berdasarkan HSPK (Harga
Satuanan Pokok Kegiatan) di Kotabaru Tahun 2014.
- Data Harga Material
Adapun data harga material di dapat berdasarkan HSPK (Harga Satuanan
Pokok Kegiatan) di Kotabaru Tahun 2014.
- Data Volume Pekerjaan
Adapun data volume pekerjaan pembangunan Jalan Tanjung Serdang –
Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d 89+250.
69
b. Analisa Harga Satuan SNI
Menganalisa pekerjaan untuk perhitungan kebutuhan bahan, upah dan alat
untuk melaksanakan pekerjaan, analisa pekerjaan ini mengaju dan merujuk ke
SNI seperti di bawah ini :
Koofisien X Harga bahan / upah = jumlah
c. Rekapitulasi Harga Pekerjaan
Setelah didapat jumlah volume pekerjaan jalan dan data lain seperti halnya
harga satuan ataupun data-data yang diperlukan dalam perhitungan analisis
harga satuan, maka dapat dihitung perkiraan harga pekerjaan dengan
menggunakan rumus seperti di bawah ini :
Total biaya pekerjaan = volume x harga satuan
Setelah melakukan perhitungan sesuai dengan rumus tersebut, maka akan
didapatkan rekapitulasi harga pekerjaan pada pembangunan Jalan Tanjung
Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d 89+250.
3.5 Bagan Alir
Bagan Alir (flowchart) adalah bagan (chart) yang menunjukkan alir (flow) di
dalam suatu program atau prosedur sistem secara logika. Dalam hal ini, dapat dilihat
pada Gambar 3.1 untuk bagan alir perancangan utama dengan ditunjukkan urutan-
urutan sebagai berikut yaitu perancangan, dimulai dari persiapan dan studi literatur,
pengumpulan data yang meliputi data primer dan data sekunder (data tanah/CBR
lapangan dan Lalu-lintas harian/LHR) dan data sekunder (data topografi kondisi
disekitar lapangan, data tingkat pertumbuhan lalu lintas, data curah hujan, dan harga
satuan), setelah itu diteruskan dengan mengolah data dan verifikasi data yang didapat
maka akan didapat perancangan tebal perkerasan tersebut hingga dapat diketahui hasil
dari perancangan. Setelah didapat tebal perkerasan maka dapat dihitung rencana
anggaran biaya (RAB) sehingga didapat kesimpulan akhirnya.
70
Gambar 3.1 Bagan Alir Perancangan Utama
Perkerasan
Perancangan tebal perkerasan lentur dengan Manual Desain
Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga tahun
2013
Pengumpulan data
Persiapan dan Studi Literatur
Mulai
Data Sekunder:
a. Data topografib. Data tingkat
pertumbuhan lalu lintas (i)
c. Data harga upah dan bahan
Data Primer:
a. Data CBR lapaganb. Data LHR (lalu
lintas harian rata-rata)
RAB
Selesaii
Kesimpulan
Perancangan tebal perkerasan lentur dibantu program SDPJL (Software Desain Perkerasan
Jalan Lentur)
Perancangan perkerasan lentur jalan, metode yang digunakan adalah Metode
Pt T-01-2002-B
71
Gambar 3.2 Bagan alir perhitungan tebal perkerasan lentur metode manual desain 02/M/BM/2013
Tentukan Nilai TM untuk menentukan
CESA5 = TM x CESA4
Selesai
Desain Bahu Jalan
Standar Drainase Bwh Permukaan Faktor ‘m’ diadopsi dr AASHTO
Check Kecukupan Struktur Relatif terhdp
Pd T-01-2002-B
Hasil mana yg dipilih? Diperlukan Engineering
Penentuan Tebal Lapis Perkerasan
Struktur Pondasi Jalan
Jenis Perkerasan
Homogeneous Section & Daya Dukung Tanah
Dasar
Penentuan CESA4
ESA = (Σjenis kendaraan LHRT x VDF)
CESA=ESA*365*R
Pengumpulan Analisis data Tanah Dasar
(CBR)
Tentukan Umur Rencana &
Pengumpulan Data Lalu lintas
Mulai
72
Gambar 3.3 Bagan Alir Perancangan PT-T-01-2002-B
73
Gambar 3.4 Bagan Alir SDPJL
Mulai
Selesai
Pengumpulan Data
Data Proyek Data Hasil Survey Lalin, CBR, dan Lapangan
Analisa Lalin, CBR, Dan Data Lapangan
Sorting dan Pengelompokan Data Lapangan
Data Desain (Umur, CBR desain, Lebar dan Panjang Jalan, serta Tinggi Penimbunan)
Tebal Perkerasan
74
Gambar 3.5 Bagan Alir Estimasi Anggaran Biaya
Mulai
Pengumpulan Data
Pengumpulan Daftar Harga Bahan, Tenaga, Upah Bahan dan Alat
Menghitung Volume Pekerjaan
Analisa Harga Satuan Pekerjaan SNI
Hasil Estimasi Biaya (RAB)
Selesai
75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disajikan analisis data dan perhitungan perancangan tebal
perkerasan dengan menggunakan pedoman perkerasan jalan lentur nomor
02/M/BM/2013, pedoman Pt-T-01-2002-B, dan program SDPJL pada Ruas Jalan
Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+25.
Selain membahas tentang perhitungan tebal perkerasan lentur di sini juga
dilakukan perhitungan rencana anggaran biaya (RAB) yang didapat dari hasil
pengumpulan data maka didapatkan sejumlah data penunjang berupa data primer dan
data sekunder yang kemudian data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan desain
tebal perkerasan dan rencana anggaran biaya pada Ruas Jalan Tanjung Serdang – Lontar
(Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+.
4.1 Perancangan Dengan Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013
4.1.1 Menetapkan Umur Rencana
Sesuai pedoman perkerasan jalan 02/M/BM/2013 untuk menetapkan umur
rencana perkerasan jalan baru diambil dari hubungan antara jenis perkerasan dan
elemen perkerasan yang kemudian menentuan umur rencana. Dari ketentuan tersebut
maka diambil umur rencana untuk perkerasan lentur sebesar 20 tahun dan pondasi jalan
selama 40 tahun seperti pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Umur Rencana perkerasan jalan baru (UR)
Jenis Perkerasan
Elemen Perkerasan Umur Rencana (Tahun)
Perkerasan lentur
lapisan aspal dan lapisan berbutir dan CTB 20pondasi jalan 40semua lapisan perkerasan untuk area yang tidak diijinkan sering ditinggikan akibat pelapisan ulang, misal : jalan perkotaan, underpass, jembatan, terowongan.
40
Cement Treated Based
76
Jenis Perkerasan
Elemen PerkerasanUmur Rencana
(Tahun)PerkerasanKaku
lapis pondasiatas, lapis pondasi bawah, lapis beton semen, dan pondasi jalan.
40
Jalan tanpa penutup
Semua elemenMinimum 10
Sumber: Pedoman Perkerasan 02/M/BM/2013
4.1.2 Menentukan Nilai CESA4
Sebelum menentukan CESA4 pertama-tama yang harus dilakukan adalah
menentukan nilai tingkat pertumbuhan tahunan (i) untuk mendapatkan faktor pengali
pertumbuhan lalu lintas (R). Kemudian menentukan nilai lalu lintas harian rencana
(LHR) x VDF pada Tabel 4.4. Untuk menentukan nilai CESA4 dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Menentukan nilai tingkat pertumbuhan tahunan (i)
Dari data sekunder yang diperoleh yaitu :
Tabel 4.2 Data tingkat pertumbuhan kendaraan Kab. Kotabaru (2011 – 2013)
Tahunsepeda motor
mobil penumpang
Bus Truk 2asTruk 3as
Truk 5as Trailer
2011 56607 16021 75 301 105 18 21
2012 62683 17534 77 318 107 19 22
2013 64272 18455 80 328 110 19 22
Sumber: BPS Kab. Kotabaru
Perhitungan angka pertumbuhan sepeda motor sebagai berikut :
LHR2011 (1+i) = LHR2012
56607 (1+i) = 62683
(1+i) = 62683/56607
(i) = 1,107-1 = 0,107
77
(i)% = 10,7
Untuk hasil perhitungan (i) yang lengkap seperti terlihat pada Tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Rata - Rata Tingkat Pertumbuhan Tahunan kendaraan (i)
2. Menghitung faktor pengali pertumbuhan lalu lintas (R)
Untuk menghitung pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung
sebagai berikut:
R=(1+0.01 ( i ))UR−1
0.01 ( i )
R=(1+0.01 x 9,72)20−1
0.01 ( 9,72 )=55,5
3. Menentukan nilai lalu lintas harian rencana (LHR) x VDF
Nilai lalu lintas harian rencana (LHR) didapatkan dari LHR survey dikalikan
dengan faktor ekivalen beban (VDF). Hasil perhitungannya seperti pada Tabel
4.4 berikut.
Jenis Kendaraani = (%) i = (%) i = (%)
LHR2011 dan 2012
LHR 2012 DAN 2013 rata-rata
sepeda motor 10,7 2,5 6,6mobil penumpang 9,4 5,3 7,3
Bus 2,7 3,8 3,3Truk 2as 5,6 3,1 4,4Truk 3as 1,9 2,8 2,4Truk 5as 5,6 0,0 2,8Trailer 4,8 0,0 2,4
i(%) rata-rata pertahun 9,72
78
Tabel 4.4 LHR2015 (Awal Umur Rencana)
KEND/HARI/2 ARAH382 KEND 0 0.0026 KEND 0 0.000 KEND 0 0.0026 KEND 0.3 7.650 KEND 0.3 0.000 KEND 1 0.002 KEND 0.8 1.609 KEND 1.6 14.400 KEND 28.1 0.000 KEND 36.9 0.000 KEND 36.9 0.006 KEND 0.00
451 KEND ESA 23.65
Truck semi trailer
Σ
VDF4 LHR*VDF4LHR 2015
Sepada motor, sekuter & roda 3Sedan, Jeep, Station Wagon
JENIS KENDARAAN
bus besartruck ringan 2 sumbutruck sedang 2 sumbu
Oplet, suburban, combiPick up, micro truck, mobil hantaran
bus kecil
tak bermotor
truck 3 sumbutruck gandeng
79
Sumber: Hasil Perhitungan
4. Nilai CESA4
CESA4 = ESA x 365 x R
= 23,65 x 365 x 55,55
= 479207,65
= 0,48 x 106
4.1.3 Menentukan nilai Traffic Multiplier (TM)
Nilai TM kelelahan lapisan aspal (TM lapisan aspal) untuk kondisi pembebanan yang
berlebih di Indonesia adalah berkisar 1,8-2. Nilai yang akurat berbeda-beda tergantung
dari beban berlebih pada kendaraan niaga di dalam kelompok truk. Diambil nilai TM
yang terkecil TM=1,8 karena merupakan jalan dengan lalulintas rendah.
4.1.4 Menentukan nilai CESA5
Nilai CESA tertentu (pangkat 4) untuk desain perkerasan lentur harus dikalikan
denagn nilai TM untuk mendapatkan CESA5. Adapun perhitungannya sebagai berikut:
CESA5 = (TM x CESA4)
CESA5 = (1,8 x 0,86 x 106)
CESA5 = 0,86 x 106
4.1.5 Menentukan Tipe Perkerasan
Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur
rencana, kondisi pondasi jalan, pertimbangkan biaya selama umur pelayanan, dan
kepraktisan konstruksi.
Tipe perkerasan didapatkan dari hubungan umur rencana perkerasan dengan ESA
20 tahun (pangkat 4) yang kemudian akan menghasilkan struktur perkerasan dan desain
sesuai ketentuan pada Pedoman Perkerasan 02/M/BM/2013.
80
Tipe perkerasan untuk pemilihan umur rencana perkerasan selama 20 tahun
dengan nilai CESA4 = 0,86 x106 seperti terlihat pada gamabr 4.1 berikut.
Gambar 4.1 Pemilihan Jenis Perkerasan
Berdasarkan gambar 4.5 maka tipe perkerasan yang terpilih adalah AC atau HRS tipis
diatas lapis pondasi berbutir dengan menggunakan desain 3 perkerasan lentur.
4.1.6 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil
penetrometer konusdinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan DCP.
Cara pelaksanaan yang dilakukan merujuk kepada Surat Edaran Menteri Pekerjaan
Umum NO. 04/SE/M/2010 yaitu Pemberlakukan Pedoman Cara Uji California Bearing
Ratio (CBR) dengan Dynamic Cone Penetrometer (DCP).
Hasil data lapangan yang didapatkan kemudian diolah untuk mendapatkan nilai
CBR titik pada jalan yang disurvei. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5 CBR Tanah Dasar
Stasiun Titik CBR titik
81
84+250 1 2
84+450 2 5
84+650 3 4.2
84+850 4 0.7
85+050 5 1.8
85+250 6 9
85+450 7 9
85+650 8 9.4
85+850 9 3.4
86+050 10 7.3
86+250 11 3.4
86+450 12 6
86+650 13 2.4
86+850 14 10.3
87+050 15 4.3
87+250 16 3.3
87+450 17 6.4
Stasiun Titik CBR titik
87+650 18 10.3
87+850 19 30.5
88+050 20 27
88+250 21 27
88+450 22 12.5
88+650 23 28
88+850 24 26.5
89+050 25 26.5
89+250 26 21
82
JUMLAH 297.2
Sumber: Hasil perhitungan
Dari data tabel 4.5 dapat kita hitung nilai CBR rata-rata dari data yang kita
dapatkan sebagai berikut :
CBR rata-rata = JumlahCBRtitik
Jumlahdata =
297,226
= 11,43
Setelah nilai CBR rata-rata didapatkan, selanjutnya melakukan perhitungan CBR
karakteristik dengan menggunakan rumus berikut.
CBR karakteristik = CBR rata-rata – 1.3 x Standar deviasi
Rumus ini bisa digunakan apabila data yang cukup valid tersedia (minimal n = 16
data pengujian per segmen yang dianggap seragam) dan data CBR dari segmen tersebut
harus mempunyai koefisien variasi 25% - 30% (standar deviasi/nilai rata-rata). Bila set
data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat digunakan sebagai nilai CBR
dari segmen jalan.
83
Segmen jalan dibagi dalam per 200 m dan dalam penentuan keseragaman
berdasarkan nilai CBR < 6% dan ≥ 6%. Untuk
hasil pembagiannya seperti pada tabel 4.6
berikut ini.
Tabel 4.6 Pembagian
Keseragaman Subgrade
n pada CBR < 6% = 10, jumlah data tidak memenuhi ketentuan untuk
menggunakan rumus dalam menentukan CBR karakteristik, dengan demikian nilai
terkecil yang digunakan dalam menentukan CBR karakteristiknya di ambil nilai CBR
titik yang paling rendah dari data tersebut yaitu,
CBR karekteristik (< 6%) = 0.7
n pada CBR ≥ 6% = 16, perhitungan standar deviasi (S) sebagai berikut.
No CBR < 6% CBR ≥ 6%
1 0.7 6
2 1.8 6.4
3 2 7.3
4 2.4 9
5 3.3 9
6 3.4 9.4
7 3.4 10.3
8 4.2 10.3
9 4.3 12.5
10 5 21
11 26.5
12 26.5
13 27
14 27
15 28
16 30.5
84
= √(6−16,67 )2+. . .+(30.5−16,67 )2
16−1 %= 9.09 %
Standar deviasi tidak memenuhi ketentuan yaitu kurang dari 25% - 30%, maka nilai
CBR yang digunakan adalah nilai CBR yang paling rendah pada data tersebut yaitu
CBR karakteristik (≥ 6%) = 6 %
4.1.7 Menentukan Struktur Pondasi Jalan
Dari hasil perhitungan daya dukung subgrade maka diketahui daya dukung tanah
dasar pada Ruas Jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 – Sta. 89+25
hasil CBR subgrade ada yang < 6 %.
Untuk menetukan desain struktur pondasi jalan memerlukan data CBR subgrade
dan CESA5 dengan umur rencana 40 tahun, kemudian nilai yang didapat dimasukan
kedalam Tabel 4.8, perhitungannya sebagai berikut :
R = 411
CESA4 = 3,55 x 106
TM = 1.8
Maka perhitungan untuk CESA5 pondasi adalah sebagai berikut :
CESA5 = ( TM x CESA4 )
= 1.8 x 3,55 x 106
= 6,38 x 106
Setelah didapatkan nilai CESA5 kemudian dimasukkan ke dalam gambar 4.2 sebagai
berikut :
85
Dari Gambar 4.2 didapatkan desain struktur pondasi jalan dengan perbaikan
subgrade menggunakan stabilisasi kapur atau menggunakan timbunan pilihan untuk
yang nilai CBR subgrade < 6% untuk meningkatkan daya dukung tanah, sedangkan
untuk CBR subgrade yang CBR ≥ 6% tidak memerlukan peningkatan, tebal minimum
peningkatan tanah dasar sebesar 350 mm.
4.1.8 Menentukan Standar Drainase Bawah Permukaan
Sesuai dengan keadaan lapangan jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta.
84+250 – Sta. 89+25, maka koefisen drainase ‘m’ bisa ditentukan seperti pada gambar
4.3 yaitu ketentuan untuk mendapatkan koefisen drainase ‘m’ untuk tebal lapisan yang
berdasarkan kepada kondisi lapangan jalan tersebut. Dalam gambar 4.3 ini
mengasumsikan drainase dalam kondisi baik.
Gambar 4.2 Solusi Desain Pondasi Jalan Minimum3
86
Gamabar 4.3 Koefisien Drainase ‘m’ untuk Tebal Lapisan
Sesuai kondisi lapangan jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 – Sta.
89+25 maka hasil dari gamabr 4.3 yaitu kondisi lapangan nomor 2 dan didapat nilai
‘m’= 1,2.
4.1.9 Desain Tebal Perkerasan
Desain perkerasan yaitu lapisan di atas tanah dasar (formasi atas). Desain
perkerasan ini berdasarkan pilihan pada Tabel 4.5 yaitu tipe perkerasan yang terpilih
adalah AC atau HRS tipis diatas lapis pondasi berbutir dengan menggunakan desain 3
perkerasan lentur.
Desain 3 perkerasan lentur ini berdasarkan opsi biaya minimum yang ditunjukkan
dalam gambar 4.4. Dalam menentukan desain perkerasan menggunakan desain 3
perkerasan lentur ini berdasarkan pada Pengulangan beban sumbu desain 20 tahun
terkoreksi di lajur desain (pangkat 5) (106 CESA5). Dari hasil perhitungan sub bab 4.1.4
diperoleh (CESA5) = 1.55 x 106, maka desain perkerasan yang dipilih sebagai berikut.
87
Gambar 4.4 Desain Perkerasan Lentur opsi biaya minimum termasuk CTB)1
Hasil dari gamabr 4.4 yaitu jenis permukaan berpengikat adalah HRS, LPA kelas A,
tebal lapis perkerasan HRS WC = 30 mm, tebal lapis HRS Base = 35 mm, tebal LPA
kelas A = 250 mm, dan tebal lapis LPA yang distabilisasi dengan CBR > 10% = 125
mm.
Gambar 4.5 Desain Tebal Perkerasan Lentur PP 02/M/BM/2013
4.2 Analisis Data Perhitungan Tebal Perkerasan Dengan Menggunakan
Pedoman Pt-T-01-2002-B
Metode Pt T-01-2002-B mengacu kepada metode AASHTO 1993 seperti yang
telah diuraikan pada bab sebelumnya. Pada bab ini akan disajikan langkah–langkah
dan proses perhitungan perancangan tebal perkerasan dengan metode Pt T-01-2002-B
pada ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+25.
Dari hasil pengumpulan data didapatkan sejumlah data berupa data primer dan
data sekunder yang kemudian data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan desain
tebal perkerasan ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta.
89+25 sepanjang ± 5 Km.
HRS BC = 3,5 cm
LPA kelas A2 = 25 cm
LPB = 12,5 cm
Tanah dasar
HRS WC = 3 cm
88
4.2.1 Menentukan Indeks Permukaan
Indeks permukaan menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan yang
berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. IP merupakan skala
penilaian kinerja struktur perkerasan jalan yang memiliki rentang antara angka 1
sampai 5. Angka 5 menunjukan fungsi pelayanan yang sangat baik dan angka 1
menunjukan fungsi pelayanan yang sangat buruk. Jenis indeks permukaan terbagi
menjadi dua, yaitu:
a. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)
Menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana dengan cara
menentukan jenis lapis permukaan perkerasan yang akan diterapkan pada jalan
rancangan terlebih dahulu, kemudian baru didapatkan nilai indeks permukaan
awal dan ketidakarataannya seperti ditunjukkan oleh tabel 4.7 diperhatikan jenis
lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana.
Tabel 4.7 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)
(Sumber: Pt-T-01-2002-B)
Sesuai dengan tabel 4.11 maka diambil nilai IPo sebesar 3,9 dengan jenis lapis
permukaan Beton Aspal (Laston = Asphalt Concrete = AC) yang merupakan lapis
permukaan dengan menggunakan agregat bergradasi baik. Asumsi ini diambil juga
berdasarkan agar tebal perkerasan jalan lebih efisien.
b. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)
Jenis Lapis
Permukaan
IPo Ketidakrataan (IRI,m/km)Laston ≥4 ≤1,0
3,9-3,5 >1,0Lasbutag 3,9-3,5 ≤2,0
3,4-3,0 >2,0Lapen 3,4-3,0 ≤3,0
2,9-2,5 >3,0
89
Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) perlu
dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan, dan menentukannya
berdasarkan klasifikasi jalan tersebut, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.8
Tabel 4.8 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana(IPt)
Fungsi JalanLokal Kolektor arteri Tol1-1,5 1,5 1,5-2 -1,5 1,5-2 2 -
1,5-2 2 2-2,5 -- 2-2,5 2,5 2,5
(Sumber: Pt-T-01-2002-B)
Berdasarkan tabel 4.8 didaptkan ketentuan Nilai IPt dari 2 sampai dengan
2,5. Dari ketentuan ini maka diambil nilai IPt sebesar 2,5 yang menandangan
bahwa diakhir umur rencana jalan tersebut permukaan jalannya masih cukup
stabil dan baik.
pada metode ini berbeda dengan Metode AASHTO 1993, karena pada Metode
AASHTO 1993 hanya memiliki 3 nilai yaitu 2; 2,5; dan 3. Sedangkan untuk metode Pt
T-01-2002-B memiliki nilai yang bervariasi antara 1; 1,5; 2; atau 2,5. Pengambilan nilai
2,5 pada IPt menyatakan permukaan masih cukup stabil dan baik.
4.2.2 Asumsi Nilai SN
Structural number (SN) adalah angka yang menunjukkan nilai struktur
perkerasan jalan. Menentukan nilai SN dengan cara asumsi digunakan dalam
menentukan angaka ekivalen untuk beban sumbu. Dalam perhitungan ini diambil nilai
SN asumsi sebesar 2,00.
4.2.3 Menentukan Angka Ekivalen (E)
90
Jenis setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan disebut
juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan beban. Masing-masing
sumbu dilengkapi satu, dua atau tiga roda, yang apabila sumbu dilengkapi dengan satu
roda disebut dengan sumbu single atau tunggal, apabila dilengkapi dengan dua roda
disebut sumbu tandem atau ganda dan apabila dilengkapi dengan tiga roda disebut
sumbu triple. Sebagai usaha mempermudah untuk membedakan berbagai jenis
kendaraan maka dalam proses perancangan digunakan kode angka dan simbol.
Untuk pelaksanaan tebal perkerasan jalan beban yang diperhitungkan adalah
beban yang mungkin terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan. Beban
lalulintas rencana tidak selalu sama dengan beban lalulintas maksimum. Perancangan
dengan menggunakan beban maksimum akan menghasilkan tebal perkerasan yang tidak
ekonomis, tetapi perancangan berdasarkan beban yang lebih kecil dari beban rata-rata
yang digunakan akan menyebabkan struktur perkerasan mengalami kerusakan sebelum
masa pelayanan habis. Dalam perancangan ini, perancangan beban lalulintas yang
digunakan menggunakan beban maksimum masing-masing jenis kendaraan.
Menentukan angka ekivalen setip jenis kendaraan dengan cara menentukan angka
ekivalen masing-masing sumbu terlebih dahulu. Untuk perhitungan angka ekivalen roda
tunggal menggunakan rumus berikut.
E roda tunggal =
Untuk ekivalen roda tandem dan triple menggunakan tabel yang diberikan oleh
Pt-T-01-2002-B pada bagian lampiran.
Untuk contoh perhitungan menentukan nilai angka ekivalen kendaraan sesuai
dengan rumus dan tabel nilai angka ekivalen pada lampiran Pt-T-01-2002-B adalah
sebagai berikut.
Jenis Kendaraan : Truk Ringan
Berat : 8300 kg
Konfigurasi sumbu : 1.2 L
91
Pembagian Berat : Depan : Roda Tunggal = 8300 x 34%
= 2822 kg = 28,22 KN
Belakang : Sumbu Tandem = 8300 x 66%
= 5478 kg
E roda tunggal =
= [ 28,2253 ]
4
= 0,0804
Untuk angka ekivalen roda tandem berdasarkan Pt-T-01-2002-B menggunakan
SN (asumsi) = 2,00 dan IPt = 2,5 didapat nilai faktor ekivalen dengan cara interpolasi
sebagai berikut:
Sumbu roda tandem:
5448 Kg = 0,198
5478 Kg = E roda tandem
6356 Kg = 0,358
E roda tandem=( 0,358−0,1986356−5448 )× (5478−5448 )+ (0,198 )
E roda tandem = 0,2033
Dari hasil tersebut maka angka ekivalen untuk truk ringan adalah
E Truk ringan = E roda tunggal + E roda tandem
= 0,0804 + 0,2033 = 0,2837
Untuk perhitungan nilai ekivalen dan faktor ekivalen jenis kendaraan lainnya
dikonfigurasi sumbu dan tipe kendaraan serta berat kendaraan untuk masing-masing
kendaraan dapat dilihat pada gambar 4.6 dibawah ini.
92
Gambar 4.6 Angka Ekivalen (E) Setiap Kendaraan
4.1.1 Menentukan Faktor Distribusi Arah (DD)
Faktor distribusi arah dapat ditentukan apabila volume lalu lintas yang tersedia
dalam 2 arah. Nilai DA berkisar antara 0,3-0,7. Untuk perancangan umumnya diambil
nilai DA sama dengan 0,5 kecuali pada kasus khusus dimana kendaraan berat cenderung
menuju satu arah tertentu atau pada kasus dimana diperoleh data volume lalulintas
untuk masing-masing arah.
4.2.5 Menentukan Faktor Distribusi Lajur (DL)
Faktor distribusi lajur yaitu faktor distribusi ke lajur rencana. Pada Pt-T-01-2002-
B telah disediakan tabel untuk menentukan distribusi lajur ini. Tabel distribusi lajur ini
menunjukan faktor distribusi lajur untuk jumlah lajur per arah dan persen sumbu standar
dalam lajur rencana seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.9 berikut ini.
93
Tabel 4.9 Faktor Distribusi Lajur (DL)
(Sumber: Pt-T-01-2002-B)
Pada tabel 4.9 di dapatkan faktor distribusi lajur untuk jumlah lajur per arah sama
dengan 1 adalah 100% sumbu standar dalam lajur rencana atau DL = 1.
4.2.6 Menghitung Repetisi Beban Selama Umur Rencana (W18)
Untuk mendapatkan nilai W18 sebelumnya dicari terlebih dahulu nilai tingkat
pertumbuhan lalu lintas (i), nilai Lintas Harian Rata-rata (LHR) dan traffic growth (TG).
Perhitungan sebagai berikut :
a. Pertumbuhan lalu lintas
Dari data sekunder yang diperoleh yaitu :
Tabel 4.10 Data tingkat pertumbuhan kendaraan Kab. Kotabaru (2011 – 2013)
Tahunsepeda
motor
mobil
penumpan
g
BusTruk
2as
Truk
3as
Truk
5asTrailer
2011 56607 16021 75 301 105 18 21
2012 62683 17534 77 318 107 19 22
2013 64272 18455 80 328 110 19 22
sumber : BPS Kab.Kotabaru
Perhitungan angka pertumbuhan mobil penumpang sebagai berikut :
LHR2011 (1+i) = LHR2012
16021 (1+i) = 17534
Jumlah Lajur Per Arah Persen Sumbu Standar Dalam LajurRencana
1 1002 80-1003 60-804 50-75
94
(1+i) = 17534/16021
(i) = 1,094 - 1= 0,094
(i)% = 9,4
Untuk hasil perhitungan (i) yang lengkap seperti terlihat pada Tabel 4.11
berikut.
Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Tingkat Pertumbuhan Tahunan (i)
Jenis Kendaraani = (%) i = (%) i = (%)
LHR2011 dan 2012
LHR 2012 dan 2013 rata-rata
sepeda motor 10.734 2.535 6.63
mobil penumpang 9.444 5.253 7.35
Bus 2.667 3.896 3.28
Truk 2as 5.648 3.145 4.40
Truk 3as 1.905 2.804 2.35
Truk 5as 5.556 0.000 2.78
Trailer 4.762 0.000 2.38
i(%) rata-rata pertahun 9.72
b. Perhitungan Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
Dari hasil survey, kesimpulan hasil LHR yang didapatkan, volume lalu
lintas pada tahun 2015 adalah :
Tabel 4.12 Lalu Lintas Harian Rencana 2015 (LHR2015)
JENIS KENDARAAN LHR2015 (Kend/hari/2 lajur)Sepada motor, sekuter & roda 3 382
Sedan, Jeep, Station Wagon 26Oplet, suburban, combi, mini bus 0
Pick up, micro truck, mobil hantaran 26bus kecil 0bus besar 0
truck ringan 2 sumbu 2truck sedang 2 sumbu 9
truck 3 sumbu 0truck gandeng 0
95
Truck semi trailer 0tak bermotor 6
TOTAL 451c. traffic growth (TG)
traffic growth (TG) dapat dihitung berdasarkan rumus berikut
TG =
= ¿¿¿ = 55,5
Hasil perhitungan repitisi beban selama umur rencana (W18) dapat dilihat pada
gambar 4.7 berikut ini.
Gambar 4.7 Repitisi Selama Umur Rencana (W18)
4.2.7 Menentukan Nilai Reliabilitas (R), Standar Deviasi (So), standard normal
deviate (ZR), dan Menghitung Faktor Reliabilitas (FR)
a. Reabilitas (R)
Reabilitas adalah tingkat kepasrtian atau probabilitas bahwa struktur
perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana sesuai dengan
proses penurunan kinerja struktur perkerasan.
96
Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat ketidak
pastian kedalam proses perancangan untuk menjamin berbagai macam alternatif
perancangan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan. Pada Pt-01-
T-2002-B telah memberikan rekomendasi tingkat reabilitas berdasarkan fungsi
jalan dan jalan perkotaan atau antar kota seperti terlihat pada tabel 4.13 berikut
ini.
Tabel 4.13 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan
(Sumber: Pt-01-T-2002-B)
Berdasarkan tabel 4.13 dan berdasarkan fungsi jalan yang didesain berupa jalan
kolektor antar kota maka tingkat reliabilitas berkisar antara 75%-95% dan diambil
nilai yaitu 90% untuk perancangan ini karena memastikan struktur perkerasan
mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana.
b. Standar Deviasi (So)
Deviasi Standar (So) adalah deviasi standar keseluruhan dari distribusi
normal sehubungan dengan kesalahan yang terjadi pada perkiraan lalu lintas dan
kinerja perkerasan. Berdasarkan Pt-T-01-2002-B nilai So yang diberikan berkisar
0,4 - 0,5. Dari ketentuan tersebut maka diambil nilai tertinggi 0,5 karena
beranggapan kesalahan yang terjadi tinggi.
c. Standard Normal Deviate (ZR)
Nilai Standar Normal Deviate (ZR) adalah nilai Z statistik. Untuk
mendapatkan nilai (ZR), Pt-T-01-2002-B telah memberikan nilai penyimpangan
Fungsi Jalan
Rekomendasi Tingkat Reliabilitas
Perkotaan AntarKota
Bebas hambatan 85-99,9 80-99,9Arteri 80-99 75-95Kolektor 80-95 75-95Lokal 50-80 50-80
97
normal standar (standard normal deviate) untuk tingkat reliabilitas tertentu seperti
pada tabel 4.14 berikut.
Tabel 4.14 Nilai Reliabilitas, ZR, dan FR
(Sumber:WSDOT,
1995)
Dari tabel 4.14 maka di dapatkan nilai ZR untuk R = 95% yaitu -1.282
d. Faktor Reliabilitas (FR)
Faktor Reliabilitas (FR) adalah faktor yang digunakan dalam reabilitas yang
digunakan untuk mengalikan repetisi beban lalu lintas yang diperkirakan selama
umur rencana dengan (FR) ≥ 1. Efek dengan adanya (FR) dalam perrencanaan
Reliabilitas, R (%)
Standar normal deviate, ZR
50 0,00060 - 0,25370 - 0,52475 - 0,67480 - 0,84185 -1,03790 -1,28291 -1,34092 -1,40593 -1,47694 -1,55595 -1,64596 -1,75197 -1,88198 -2,05499 -2,327
99,9 -3,09099,99 -3,750
98
adalah meningkatkan ESAL yang digunakan untuk merencanakan tebal
perkerasan jalan.
(FR) ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :
FR = 10−ZR(So)
Maka,
FR = 10−(−1.282) (0,5 ) = 4,38
Reliabilitas kinerja perancangan dikontrol dengan faktor reliabilitas (FR) yang
dikalikan dengan perkiraan lalu lintas (W18) selama umur rencana untuk memperoleh
prediksi kinerja (W18) dengan rumus dan perhitungan sebagai berikut:
W18 = FR x W18
= 4,38 x 6039418,81
= 26423792,30 lss/ur/lajur rencana
Jadi, prediksi kinerja setelah di kontrol dengan faktor reliabilitas adalah
26423792,30 lss/ur/lajur rencana.
4.2.8 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar
Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil
penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan DCP.
Dari hasil test DCP akan didapat nilai CBR titik jalan yang kemudian digunakan untuk
menentukan CBR segmen dan akan dikorelasikan menjadi nilai MR untuk tanah dasar.
Hasil data lapangan dengan menggunakan alat DCP yang didapatkan kemudian
diolah untuk mendapatkan nilai CBR titik pada jalan yang disurvei. Hasilnya dapat
diliahat pada tabel 4.15 berikut.
Tabel 4.15 CBR Tanah Dasar
Stasiun Titik CBR titik
84+250 1 2
84+450 2 5
84+650 3 4.2
99
84+850 4 0.7
85+050 5 1.8
85+250 6 9
85+450 7 9
85+650 8 9.4
85+850 9 3.4
Stasiun Titik CBR titik
86+050 10 7.3
86+250 11 3.4
86+450 12 6
86+650 13 2.4
86+850 14 10.3
87+050 15 4.3
87+250 16 3.3
87+450 17 6.4
87+650 18 10.3
87+850 19 30.5
88+050 20 27
88+250 21 27
88+450 22 12.5
88+650 23 28
88+850 24 26.5
89+050 25 26.5
89+250 26 21
JUMLAH 297.2
Setelah didapat CBR tanah dasar per stasiun tersebut, kemudian menentukan
modulus resilient (MR) tanah dasar menggunakan rumus berikut
100
MR = 1500 (CBR), MRdalam psi
CBR tanah dasar yang diharapkan adalah 6 %, maka untuk MR tanah dasar
sebagai berikut :
MR = 1500 (CBR)
= 1500 (6 %)
= 9000 psi
Dari total panjang jalan yaitu 5 Km kemudian ditentukan segmen jalan setiap 1
Km. Untuk pembagian segmen jalan. Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang
mewakili mutu daya dukung tanah dasar untuk digunakan pada perancangan tebal
lapisan perkerasan.
Untuk perhitungan CBR segmen menggunakan metode analitis Japan Road Ass dengan
rumus berikut ini.
CBRsegmen = CBRrata-rata – (CBRmaks – CBRmin) / R
R = Konstanta seperti pada tabel 4.16, berdasarkan jumlah data CBR titik pengamatan
dalam satu segmen.
Tabel 4.16 Nilai R untuk Menghitung CBRsegmen
Jumlah titik pengamatan Nilai R
2 1,41
3 1,91
4 2,24
5 2,48
6 2,67
7 2,83
8 2,96
9 3,08
10 3,18
(sumber : Japan Road Ass)
Contoh perhitungan sebagai berikut
101
Segmen 1 yaitu stasiun 84+250 s/d 85+250 memiliki nilai CBR titik 2%, 5%,
4.2%, 0.7%, 1.8%, 9%.
CBRrata-rata = (2+5+4,2+0.7++1,8+9) / 6 = 3,78 %
CBR maks = 9 %
CBR min = 0,7%
R = 2,67
Maka,
CBRsegmen = 3,78 – (9 – 0,7) / 2,67 = 0,67 %
Untuk perhitungan semua segmen seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.17 berikut
Tabel 4.17 CBR segmen
Segmen Stasiun TitikCBR titik
CBR rata rata
CBR maks
CBR min
RCBR
segmen
1
84+250 1 2
3.78 9 0.7 2.67 0.67
84+450 2 5
84+650 3 4.2
84+850 4 0.7
85+050 5 1.8
85+250 6 9
2
85+450 7 9
6.50 9.4 3.4 2.48 4.08
85+650 8 9.4
85+850 9 3.4
86+050 10 7.3
86+250 11 3.4
3
86+450 12 6
5.26 10.3 2.4 2.48 2.07
86+650 13 2.4
86+850 14 10.3
87+050 15 4.3
87+250 16 3.3
4 87+450 17 6.4 20.24 30.5 6.4 2.48 10.52
87+650 18 10.3
87+850 19 30.5
102
88+050 20 27
88+250 21 27
5
88+450 22 12.5
22.90 28 12.5 2.48 16.65
88+650 23 28
88+850 24 26.5
89+050 25 26.5
89+250 26 21
Dari Tabel 4.17 dapat diketahui semua CBR segmen dan untuk CBR titik yang
tidak memenuhi CBR tanah dasar yang diharapkan yaitu sebesar 6% maka pada CBR
titik tersebut perlu perbaikan tanah dasar atau perlu penanganan untuk meningkatan
daya dukung tanah dasar misalnya dengan cara penggunaan timbunan pilihan.
4.2.9 Mencari Nilai SN Dengan Rumus Log Penentu Nilai SN
SN yang diperoleh dengan menggunakan rumus harus sama dengan asumsi yang
diambil ketika menentukan angka ekivalen (E). Jika SN yang diperoleh tidak sama,
maka penentuan angka ekivalen harus diulang kembali dengan menggunakan nilai SN
yang baru.
Rumus yang digunakan dalam perhitungan sebagai berikut.
Log10W18 = ZR S0 + 9.36 [Log10 (SN + 1)] – 0 .20 +
Log10 [PSI/2.7] / {0.40+[1094/(SN+1)5.19 } +
2.32 x log (MR) – 8,07
Diketahui:
SN asumsi = 2
Zr = -1,282
So = 0,5
MR = 9000 psi
∆ PSI = 1,4
W18 = 6039418,81
103
Log10W18 = 6,7810
Denga menggunakan rumus maka didapat Hasil sebagai berikut
6,7810 = (-0,64) + 6,73 + (-0,29/0,56) + 1,10
6,7810 = 3,5545
Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa nilai SN asumsi dengan hasil
perhitungan menggunakan rumus tidak sama, maka dilakukan perhitungan ulang untuk
SN yang baru.
Perhitungan ulang untuk SN Asumsi = 4,5
SN = 4,5
W18 = 5097392,30
Log10W18 = 6,7073
Maka hasil yang didapatkan adalah 6,7073 = 5,5769
Nilai SN yang didapatkan menghampiri nilai SN asumsi. Karena nilai SN belum
sama maka digunakan penentuan nilai SN berdasarkan Nomogram seperti pada gambar
4.8 berikut ini.
Gambar 4.8 Nomogram Penentuan SN
104
Untuk penggunaan nomogram seperti pada gambar 4.8 didapatkan nilai SN = 4,5.
Berdasarkan hasil nomogram tersebut maka nilai SN yang dipakai adalah 4,5.
4.2.10 Menentukan Koefisien Drainase
Pengaruh kualitas drainase dalam proses perancangan tebal lapisan perkerasan
dinyatakan dengan koefisien drainase (m). Untuk perancangan tebal perkerasan jalan
kualitas drainase ditentukan berdasarkan kemampuan menghilangkan air dari struktur
perkerasan.
Dalam Pt-T-01-2002-B diperkenalkan konsep koefisien drainase untuk
mengakomodasi kualitas sistem drainase yang dimiliki perkerasan jalan. Tabel 4.18
memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas drainase.
Tabel 4.18 Definisi Kualitas Drainase
Kualitas Drainase Air Hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 Hari
Sedang 1 Minggu
Jelek 1 Bulan
Jelek sekali Air tidak akan mengalir
(sumber : Pt-T-01-2002-B)
Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam perancangan
dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang dimodifikasi. Faktor untuk
memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase (m) dan disertakan
ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien
kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D).
Tabel 4.19 memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi
dari kualitas drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan
dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. Tabel 4.19 Koefisien drainase (m)
105
untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada
perkerasan lentur.
Tabel 4.19 Koefisien drainase (m)
AirHilangDalam
KualitasDrainase
Persen Waktu Struktur PerkerasanDipengaruhi oleh KadarAir yang
Mendekati Jenuh<1% 1-5% 5-25% >25%
2 jamBaiksekali 1,4-1,35 1,35-1,3 1,3-1,2 1,20
1 hari Baik 1,35-1,25 1,25-1,15 1,15-1 1
AirHilangDalam
KualitasDrainase
Persen Waktu Struktur PerkerasanDipengaruhi oleh KadarAir yang
Mendekati Jenuh<1% 1-5% 5-25% >25%
1 minggu sedang 1,25-1,15 1,15-1,05 1-0,80 0,80
1 bulan Jelek 1,15-1,05 1,05-0,80 0,8-0,6 0,60
Air tidakmengalir
Jeleksekali 1,05-0,95 0,95-0,75 0,75-0,4 0,40
(sumber : Pt-T-01-2002-B)
Berdasarka tabel 4.19 ditentukan koefisien drainase untuk m3 dan m2 sebesar
1.25.
4.2.11 Menentukan Tebal Minimum Masing – Masing Perkerasan
Sebelum menentukan tebal minimum masing-masing lapisan perkerasan terlebih
dahulu kita mencari atau menghitung koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-
masing lapisan perkerasan. Maksud dari koefisien kekuatan relatif (a) yaitu korelasi
antara koefisien kekuatan relatif dengan nilai mekanistik, yaitu modulus resilien.
Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi Koefisien
Kekuatan Relatif dikelompokkan ke dalam 5 katagori, yaitu : beton aspal (asphalt
concrete), lapis pondasi granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular
subbase), cement-treated base (CTB), dan asphalt-treated base (ATB).
106
a. Lapis Permukaan Beton Aspal (asphalt concrete surface course)koefisien
kekuatan relatif lapis permukaan ditentukan dengan menggunakan gambar 4.8
yang berdasarkan nilai modulus elastisitas, EAC (psi) beton aspal.
Gambar 4.8 Koefisien Kekuatan Relatif a1 untuk beton aspal
Dari gambar 4.8 maka didapat (a1 ) = 0,42
b. Lapis Pondasi Granular (granular base layer)
Lapis Pondasi Granular (a2) ditentukan berdasarkan gambar 4.9 berikut
107
Gambar 4.9 Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular (a2).
Dari gambar 4.9 diperoleh a2 = 0,138.
Sedangkan dengan perhitungan sebagai berikut
a2 = 0,249 (log EBS) – 0,977
= 0,249 (log 29300) – 0,977 = 0,14
c. Lapis Pondasi Bawah Granular (granular subbase layers)
Koefisien Kekuatan Relatif, a3 dapat diperkirakan dengan menggunakan gambar
4.10 berikut
108
Gambar 4.10 Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular (a3)
Dari gambar 4.10 Didapatkan nialai untuk a3 = 0.128
Untuk perhitungannya sebagai berikut
a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839
= 0,227 (log 18400) – 0,893 = 0,13
Pt-T-01-2002-B memberikan nilai untuk memperlihatkan nilai tebal minimum
untuk lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat yang berdasarkan lalu
lintas (ESAL) seperti pada tabel 4. 20.
Tabel 4.20 Tebal minimum lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat (inci)
109
(sumber : Pt-T-01-2002-B)
Dari tabel 4. 20 Didapatkan tebal minimum untuk perkerasan lentur yaitu
D1 = 3,5 inch = 8,75 cm
D2 = 6 inch = 15 cm
Cara lain untuk mendapatkan tebal minimum masing-masing perkerasan yaitu
dengan cara perhitungan menggunakan rumus dan nilai SN dari setiap lapisan harus
diketahui. Nilai SN untuk ketiga lapisan tersebut didapatkan dari nomogram nerikut ini.
Gambar 4.12 Nomogram Penentuan SN 1
Dari gambar 4.12, gambar 4.11, gambar 4.8 didapatkan nilai SN untuk masing-masing
lapisan sebagai berikut.
SN1 = 2,5
SN2 = 3,4
SN3 = 4,5
Gambar 4.11 Nomogram Penentuan SN 2
110
Maka perhitungan tebal minimum lapisan sebagai berikut:
D1* = SN1/a1 = 2,5/0,42 = 5,95 inch = 14,875 ≈ 15 cm
SN1* = a1 x D1* = 0,42 x 5,95 = 2,5
2,5 = 2,5 (OK)
D2* = (SN2 – SN1*) / a2 x m2 = (3,4 – 2,5)/(0,14 x 1,25)
= 5,32 inch = 14 cm
SN2* = a2 x m2 x D2* = 0,14 x 1,25 x 5,32 = 0,92
SN1* + SN2* = SN2
2,5 + 0,92 = 3,42 (OK)
Tebal material lapis pondasi bawah (D3) yang diperlukan adalah
D3* = (SN3 – (SN1* + SN2*)) / (a3 x m3)
= (6 – (2,5 + 0,92)) / (0.13 x 1,25) = 6,7 inch = 17 cm
Catatan : Tanda * menunjukkan tebal minimal yang digunakan untuk lapis permukaan (D1*), lapis pondasi (D2*), lapis pondasi bawah (D3*).
Tabel 4.21 Tebal Minimum Lapisan Aspal
Sumber : Spesifikasi Umum 2010
Dari hasil perhitungan dan menurut tabel 4.21 di atas, diambil tebal perkerasan
berdasarakan hasil perhitungan dengan hasil pada Gambar 4.13 berikut ini.
AC Base = 9 cm
AC WC = 6 cm
111
Gambar 4.13 Desain Tebal Perkerasan Lentur Pt-T-01-2002-B
4.3 Perancangan Tebal Perkerasan Dengan SDPJL
4.3.1 Data Input
Untuk input data awal, diperlukan data-data seperti data ruas jalan, CBR, RCI,
temperatur, tebal perkerasan existing, dan data lalu lintas. Untuk data ruas jalan dapat
dilihat pada Gambar 4.14 dibawah ini. Pada isian data yang bernilai nol, ini dikarenakan
dalam perancangan jalan baru data-data tersebut tidak digunakan.
LPA kelas A = 14 cm
LPB kelas B = 17 cm
112
Gambar 4.14 Data Input Awal Untuk Ruas Jalan
Untuk data input awal berikutnya yaitu data lalu lintas yang perlu diisi yaitu year of
opening, life period (years), traffick growth, dan kolom AADT untuk pengisian data
sebagai beikut :
Year of opening
Diisi dengan perkiraan tahun sesudah Kegiatan selesai
Life Period (years)
Diisi dengan umur rencana jalan
Traffick Growth
Diisi dengan perkiraan pertumbuhan lalu lintas
Kolom AADT
Diisi dengan data hasil survey lalu lintas dan pada AADT rencana diisi dengan
kondisi lalu lintas disesuaikan dengan tabel koefesien distribusi kendaraan yang
kemudian dibuatkan formulanya.
Untuk input data lalu lintas seperti ditunjukkan pada gambar 4.15 berikut.
113
Gambar 4.15 Data Input Awal Untuk Lalu Lintas
Kemudian untuk input data akhir adalah data-data yang didapatkan dari input data
awal yang kemudian disortir kembali apabila ada data yang keliru. Input data akhir ini
merupakan input data untuk desain jalan yang direncanakan. Untuk isian data kolom
lendutan dan desain lendutan diisi angka nol (0), ini dikarenakan dalam perancangan jalan
baru data-data tersebut tidak dipergunakan. Untuk input data akhir selengkapnya dapat
dilihat pada gambar 4.16 berikut.
114
Gambar 4.16 Data Input Akhir Program SDPJL
4.3.2 Data Output
Hasil perancangan dengan menggunakan SDPJL didapat tebal perkerasan masing-
masing lapisan seperti yang terlihat pada gambar 4.17 dibawah ini.
115
Gambar 4.17 Data Output Program SDPJL
Dari hasil perancangan dengan menggunakan program SDPJL ini, maka didapat masing-
masing tebal perkerasan sebagai berikut:
Lapis permukaan (HRS WC) = 3 cm
Lapis sub permukaan 1 (HRS Base) = 3,5 cm
Lapis pondasi (Agregat A) = 13 cm
Lapis pondasi bawah (Agregat B) = 21 cm
Dari hasil perancangan diatas maka didapat tebal perkerasan masing-masing lapisan
seperti yang terlihat pada sketsa desain perkerasan jalan pada gambar 4.18 dibawah ini.
Gambar 4.18 Desain Tebal Perkerasan Lentur SDPJL
Dari hasil perhitungan diatas, maka didapat masing-masing tebal perkerasan. Untuk
masing-masing perkerasan bisa dilihat pada tabel 4.20 sebagai berikut:
Tabel 4.20 Perkerasan Setiap Metode
Metode Lapisan Surface (cm)Lapisan Base
(cm)
Lapisan SubBase
(cm)
Total Lapis Perkerasan
(cm)
Pt T-01-2002-BAC BC (6 cm)
AC-Base(9 cm)
Agregat Kelas A(14 cm)
Agregat Kelas B(17 cm)
46 cm
SDPJLHRS-WC
(3 cm)
HRS-Base(3,5 cm)
Agregat Kelas A(13 cm)
Agregat Kelas B(21 cm)
40, 5 cm
HRS WC = 3 cm
LPA kelas A = 13 cm
LPB kelas B = 21 cm
HRS Base = 3,5 cm
116
02/M/BM/2013HRS-WC
(3 cm)
HRS-Base(3,5 cm)
Agregat Kelas A(25 cm)
Agregat Kelas B
(12,5 cm)44 cm
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari tabel 4.20 untuk tebal perkerasan yang diambil adalah perhitungan dengan
menggunakan metode Pt T-01-2002-B karena menurut perhitungan struktur metode ini
yang paling kuat dibandingkan dengan SDPJL dan Pt 02/M/BM/2013, sehingga untuk
penyusunan rencana anggaran biaya (RAB) berdasarkan metode Pt T-01-2002-B.
4.4 Rencana Anggaran Biaya
Perhitungan rencana anggaran biaya ini dengan menggunakan bantuan komputer
berupa program Microsoft Excel untuk mendapatkan perkiraan harga satuan pekerjaan
penangan jalan dilingkungan Dirjen Bina Marga, Departement Pekerjaan Umum. Untuk
perhitungan jumlah volume pekerjaan yang diasumsikan ialah kondisi jalan dalam keadaan
lurus terdapat pada uraian berikut ini:
4.4.1 Perhitungan Kuantitas Masing-Masing Pekerjaan
Divisi 1: Umum
1.2 Mobilisasi
Jumlah volume = 1 LS
Divisi 3 : Pekerjaan Tanah
3.1(1) Galian Biasa
Jumlah volume = tinggi galian x lebar galian x panjang galian
= 0,6 x 7 x 200
= 240 m3
3.3(1) Penyiapan Badan Jalan
Jumlah volume = (lebar jalan + bahu jalan + 1) x panjang jalan
= (5 + 2 + 1) x 5000
= 40.000 m2
117
Divisi 4 : Pelebaran Perkerasan Dan Bahu Jalan
4.2(2a) Lapis Pondasi Agregat Kelas B
Jumlah volume = tebal bahu jalan kelas B x lebar bahu jalan x panjang
= 0,125 x 1 x 5000
= 625m3
Divisi 5 : Perkerasan Berbutir Dan Perkerasan Beton Semen
5.1(1) Lapis Pondasi Agregat Kelas A
Jumlah volume = tebal lapis pondasi kelas A x lebar jalan x panjang
= 0,14 x 5 x 5000
= 3500 m3
5.1(2) Lapis Pondasi Agregat Kelas B
Jumlah volume = tebal lapis pondasi kelas B x lebar jalan x panjang
= 0,17 x 5 x 5000
= 4.250 m3
Divisi 6 : Perkerasan Aspal
6.1(1)(a) Lapis Resap Pengikat-Aspal Cair
Jumlah volume = 1,1 x lebar jalan x panjang jalan
= 1,1 x 5 x 5000
= 27.500 liter
6.1(2)(a) Lapis Perekat-Aspal Cair
Jumlah volume = 0,4 L x lebar jalan x panjang jalan
= 0,4 x 5 x 5000
= 10.000 liter
6.3(5a) Laston Lapis Antara (AC-BC) (Gradasi halus/kasar)
Jumlah volume = tebal lapisan AC-BC x lebar jalan x panjang jalan
= 0,06 x 5 x 5000
= 1500 ton
6.3(6a) Laston Lapis Pondasi (AC-Base) (Gradasi halus/kasar)
118
Jumlah volume = tebal lapisan AC-Base x lebar jalan x panjang jalan
= 0,09 x 5 x 5000
= 2250 ton
Divisi 8 : Pengembalian Kondisi Dan Pekerjaan Minor
8.4(1) Marka Jalan Termoplastik
Jumlah volume = tebal marka jalan termoplastik x panjang jalan
= 0,03 x 5000
= 150 m2
Setelah didapat jumlah volume pekerjaan jalan dan data lain seperti halnya harga
satuan ataupun data-data yang diperlukan dalam perhitungan analisis harga satuan, maka
dapat dihitung perkiraan harga pekerjaan dengan rekapitulasi seperti pernyatan
selanjutnya.
4.4.2 Perhitungan Total Biaya Pekerjaan Masing – Masing Pekerjaan
Berikut ini adalah hasil total biaya pekerjaan yang diperlukan dengan rumus (volume
x harga satuan) dapat dilihat pada tabel 4.21 dibawah ini.
Tabel 4.11 Perhitungan Total Biaya Pekerjaan
No. Mata
Pembayaran
UraianSatuan
Perkiraan
Kuantitas
Harga Satuan (Rupiah)
Jumlah Harga-Harga (Rupiah)
a b c d E f = (d x e)
DIVISI 1. UMUM
1.2 Mobilisasi LS 1 542,890,000.00 542,890,000.00
1.8.(1)Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas
LS 1 137,280,000.00 137,280,000.00
1.21 Manajemen Mutu LS 1 94,800,000.00 94,800,000.00Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 1 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)
774,970,000.00
DIVISI 3. PEKERJAAN TANAH
3.1.(1a) Galian Biasa M3 240 242,244.12 58,138,589
3.3.(1) Penyiapan Badan Jalan M2 40000 940.28 37,611,376.52Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 3 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga
Pekerjaan)241,096,437.32
DIVISI 4. PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN
4.2.(2a) Lapis Pondasi Agregat Kelas B M3 625 670,992.92 419,370,575.00
Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 4 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga 419,370,575.00
119
Pekerjaan)DIVISI 5. PERKERASAN BERBUTIR
5.1.(1) Lapis Pondasi Agregat Kelas A M3 3500 593,988.20 2,078,958,684.10
5.1.(2) Lapis Pondasi Agregat Kelas B M3 4250 654,941.25 2,783,500,293.21Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 5 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)
4,862,458,977.31
DIVISI 6. PERKERASAN ASPAL6.1 (1)
(a)Lapis Resap Pengikat - Aspal Cair Liter 27500 9,754.97 268,261,686.02
6.1 (2)(a)
Lapis Perekat - Aspal Cair Liter 10000 9,033.28 90,332,800.00
6.3.(4a)Laston Lapis Pondasi (AC-Base) (gradasi senjang/semi senjang)
Ton 2250 578,312 1,301,200,949
6.3.(4b)Laston Lapis Antara (AC-BC) (gradasi halus/kasar)
Ton 1500 579,759 869,638,009
Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 6 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)
2,529,433,443
DIVISI 8. PENGEMBALIAN KONDISI DAN PEKERJAAN MINOR
8.3.(3) Marka Jalan Termoplastik M2 150 196,810.52 29,521,577.64Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 8 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)
29,521,577.64
4.4.3 Perhitungan Rencana Anggaran Biaya
Untuk perhitungan rencana anggaran biaya masing-masing pekerjaan dapat dilihat
pada lampiran. Untuk rekapitulasi dapat dilihat pada tabel 4.22 dibawah ini.
Tabel 4.22 Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan
No. Divisi
UraianJumlah Harga
Pekerjaan (Rupiah)
1 Umum 774,970,0002 Drainase 03 Pekerjaan Tanah 95,749,9654 Pelebaran Perkerasan dan Bahu Jalan 419,370,5755 Pekerasan Non Aspal 4,862,458,9776 Perkerasan Aspal 2,529,433,4437 Struktur 08 Pengembalian Kondisi dan Pekerjaan Minor 29,521,5789 Pekerjaan Harian 0
10 Pekerjaan Pemeliharaan Rutin 0
(A) Jumlah Harga Pekerjaan (termasuk Biaya Umum dan Keuntungan) 8,711,504,538
(B) Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) = 10% x (A) 871,150,454
(C) JUMLAH TOTAL HARGA PEKERJAAN = (A) + (B) 9,582,654,992
Sumber: Hasil Perhitungan
120
Dari tabel 4.22 diketahui bahwa untuk perancangan ruas jalan Tanjung Serdang –
Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+25 didapatkan perkiraan harga pekerjaan
sebesar Rp. 9,582,654,992 (sembilan milyar lima ratus delapan puluh dua juta enam ratus
lima puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh dua rupiah) dengan jalan sepanjang ±
5000 m dengan lebar jalan sebesar 5 m.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis tebal lapisan perkerasan lentur pada bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Perancangan tebal perkerasan lentur jalan Tanjung Serdang–Lontar (Kotabaru) Sta.
84+250 s/d Sta. 89+25 dengan menggunakan Pedoman Perancangan Tebal
Perkerasan Jalan Lentur 02/M/B/BM/2013 yang kemudian dikontrol dengan
menggunakan metode Pt T-01-2002-B dan program SDPJL dengan ketentuan umur
rencana 20 tahun, lebar jalan 5 meter sepanjang ± 5 Km menghasilkan struktur
tebal perkerasan lentur sebagai berikut:
a. Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Jalan Lentur 02/M/B/BM/2013
- Tebal surface coarse HRS WC adalah 3 cm dan HRS Base adalah 3,5 cm
- Tebal base coarse agregat kelas A adalah 25 cm
- Tebal sub base coarse agregat kelas B adalah 12,5 cm
b. Metode Pt T-01-2002-B
- Tebal surface coarse AC BC adalah 6 cm dan AC Base adalah 9 cm
- Tebal base coarse agregat kelas A adalah 14 cm
- Tebal sub base coarse agregat kelas B adalah 17 cm
121
c. SDPJL
- Tebal surface coarse HRS WC adalah 3 cm dan HRS Base adalah 3,5 cm
- Tebal base coarse agregat kelas A adalah 13 cm
- Tebal sub base coarse agregat kelas B adalah 21 cm
2. Untuk tebal perkerasan jalan yang dipakai yaitu perhitungan tebal perkerasan
berdasarkan metode Pt T-01-2002-B karena perhitungan struktur jalan yang lebih
kuat.
3. Anggaran biaya untuk pengerjaan perkerasan lentur jalan dengan panjang 5 KM
dan lebar 5 m pada ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d
Sta. 89+25 adalah Rp. 9,582,654,992 (sembilan milyar lima ratus delapan puluh
dua juta enam ratus lima puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh dua
rupiah).
5.2 Saran
1. Dalam mendesain tebal perkerasan suatu jalan, data-data yang nantinya
dipergunakan sebaiknya diambil langsung kelapangan oleh perencana, agar
memperoleh perancangan yang sesuai dengan kondisi daerah sekitar perancangan.
2. Perancangan dengan menggunakan program SDPJL sebaiknya terlebih dahulu
dilakukan perhitungan secara manual sebagai pembanding, karena mungkin saja
terjadi kesalahan dari hasil program dikarenakan data-data asumsi yang dimasukkan.
3. Dalam perancangan rencana anggaran biaya proyek pembangunan diperlukan dasar-
dasar pertimbangan yang tepat serta digunakan harga satuan yang baru, sehingga
didapat rencana anggaran biaya yang lebih optimal.