Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
76
PRAKTIK RENT SEEKING DAN RELASI NEGARA DENGAN KAPITAL (STUDI KASUS KORUPSI PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN NIKEL
OLEH GUBERNUR NUR ALAM DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA)
RENT SEEKING PRATICES AND RELATIONSHIP
BETWEEN STATE AND CAPITAL
(CASE STUDY OF CORRUPTION OF NICKEL MINING LICENSING BY
GOVERNOR NUR ALAM IN SOUTH SULAWESI PROVINCE)
Mohammad Didit Saleh
Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
Aditya Perdana
Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
ABSTRAK
Tulisan ini menguraikan praktik rent seeking dan relasi negara dan kapital di tingkat lokal.
Adapun studi kasus yang diambil dalam studi ini adalah kasus korupsi pemberian Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Nikel oleh Gubernur Propinsi Sulawesi Tenggara (Nur Alam) di Kab.
Buton dan Kab. Bombana. Studi ini ditulis untuk melihat dua hal utama. Pertama, praktik
rent seeking yang terjadi pada kasus tersebut. Kedua, relasi negara dan kapital yang terbentuk
pada kasus tersebut. Temuan tulisan ini menggambarkan praktik rent seeking di tingkat lokal
terjadi dengan berbagai bentuk seperti suap dengan tujuan untuk memperoleh izin usaha
terutama izin usaha pertambangan. Dalam konteks relasi antara negara dan kapital, praktik
rent seeking di tingkat lokal cenderung tidak menggambarkan kondisi state capture, tetapi
relasi yang terjadi adalah sebuah interkasi yang “saling menguntungkan” satu sama lain.
Kata Kunci : rent seeking, korupsi
ABSTRACT
This paper describes the practice of rent seeking and state and capital relations at the local
level. The case study taken in this study is a corruption case of the licensing of Nickel Mining
by the Governor of Southeast Sulawesi Province (Nur Alam) in Buton and Bomban district.
This study was written to look at two main things. First, the practice of rent seeking that
occurs in that case. Second, state relations and capital formed in the case. The findings of
this paper illustrate the practice of rent seeking at the local level occurring in various forms
such as bribery with the aim of obtaining a business license, especially a mining business
license. In the context of relations between state and capital, the practice of rent seeking at
the local level tends not to describe “the state capture” condition, but the relationship that
occurs is an interaction that is "mutually beneficial" to one another.
Keywords : rent seeking, corruption
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
77
A. Pendahuluan
Keterlibatan pasar dalam aktivitas
pembangunan dan pelayanan publik tidak
bisa dipisahkan dan dihindari oleh negara.
Dikatakan demikian, karena negara
membutuhkan pihak swasta (kapital) untuk
menggerakkan roda perekonomian.
Namun hubungan saling membutuhkan
atau ketergantungan antara pihak negara
dan kapital ini tidak selalu berdampak
positif, ada kecenderungan pula
berdampak negatif. Kencederungan
dampak negatif dari hubungan negara dan
kapital apabila hubungan tersebut hanya
menguntungkan pribadi, kelompok, dan
bukan atas dasar kepentingan publik.
Dalam konteks Indonesia, pasca
terbit dan implementasi UU No. 22 Tahun
1999 junto UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan UU No 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah, dan adanya pemilu langsung
di tingkat daerah, maka kendali birokrasi
terhadap sektor ekonomi masyarakat pada
era Orde Baru secara perlahan mengalami
pergeseran ke daerah. Pada era
sebelumnya kapital cenderung sebagai
subordinat birokrat, maka secara perlahan
menjadi sponsor aktif terutama dalam
proses pemilihan langsung. Misal, pemilik
modal mempengaruhi pembuat kebijakan
(policy maker) melalui individu-individu
yang “diikat” melalui bantuan finansial
ketika proses pencalonan. Praktik ini
dilakukan dengan harapan ada timbal balik
terutama untuk kepentingan bisnis
pemodal tersebut.
Selain itu, implementasi paket
undang-undang pemerintah daerah dan
penyelenggaraan pemilu langsung di
tingkat lokal tersebut memberikan ruang
dan kesempatan bagi para pengusaha
untuk menjadi penentu kebijakan dengan
mencalonkan sebagai caleg atau kepala
daerah seperti bupati, walikota, dan
gubernur. Ini menandakan bahwa ada
arena permainan baru bagi kekuatan-
kekuatan oligarkis lama yang tumbuh pada
masa kekuasaan Soeharto dan
mengkonslidasikan kekuasaannya hingga
level daerah (Hadiz, 2010:119). Narasi ini
berpotensi memunculkan kapitalisme
politik, yaitu sistem yang memungkinkan
jabatan dan koneksi dimanfaatkan untuk
mencari laba dengan melakukan perburuan
rente (rent seeking) dan memanfaatkan
kontrol atas sumber daya seperti lisensi,
koneksi, izin-izin dan kewenangan ekspor
serta impor, untuk mengeruk laba tanpa
menanamkan modal untuk kegiatan
produksi (Weber, 1964:25).
Berdasarkan uraian di atas studi ini
berupaya untuk menelaah lebih dalam
praktik tersebut dengan mengambil studi
kasus korupsi pemberian Izin Usaha
Pertambangan (IUP) Nikel oleh Gubernur
Propinsi Sulawesi Tenggara (Nur Alam)
di Kab. Buton dan Kab. Bombana.
B. Permasalahan
Sektor pertambangan di Provinsi
Sulawesi Tenggara adalah sektor potensial
dan kerap sebagai tujuan investor dalam
negeri dan asing berinvestasi. Berdasarkan
data BPS (2015:251) menunjukkan
terdapat 253 perusahaan yang telah
melakukan eksplorasi terutama di Kab.
Buton, Kab. Konawe, dan Kab. Konawe
Utara di Sulawesi Tenggara.
Namun potensi wilayah tersebut
belum dimanfaatkan secara optimal oleh
Pemprov Sulawesi Tenggara. Indikatornya
ialah peningkatan jumlah penduduk miskin
di daerah tersebut. Data BPS Provinsi
Sulawesi Tenggara menyatakan jumlah
penduduk miskin pada Maret 2015 adalah
321,88 ribu orang. Data ini mengalami
peningkatan sebanyak 7.800 warga miskin
dari tahun sebelumnya. Selain itu, rata-rata
pengeluaran penduduk miskin cenderung
makin menjauhi garis kemiskinan dan
ketimpangan pengeluaran penduduk
miskin juga semakin melebar (BPS,
2015:2)
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
78
Sebagai sebuah penguat premis dan
temuan BPS tersebut, temuan penelitian
Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa
tidak baiknya pengelolaan potensi di
daerah disebabkan oleh adanya relasi
bisnis politik yang dibangun antara
pengusaha dan penguasa (Widoyoko,
2013:17). Argumentasi studi temuan ini
ditengarai pula terjadi pada kasus korupsi
pemberian izin pertambangan nikel di
Kab. Buton dan Kab. Bombana, Propinsi
Sulawesi Tenggara, oleh Gubernur Nur
Alam.
Fenomena pemberian izin
pertambangan dan izin lain yang
berhubungan dengan kepentingan bisnis
adalah modus kepala daerah untuk
memberikan keuntungan secara pribadi.
Praktik seperti ini kerap terjadi di daerah
kaya sumber daya alam dan berkaitan erat
dengan pemilihan kepala daerah. Pada tiap
Pilkada di daerah kaya dengan sumber
daya alam cenderung adanya peningkatan
pemberian izin usaha pertambangan.
Namun pemberian izin ini kepada investor
tambang kerap disertai dengan suap
maupun gratifikasi.
Sebagai salah satu contoh untuk
memperkuat tesis tersebut adalah peristiwa
operasi tangkap tangan Bupati Kabupaten
Tanah Laut, Kalimantan Selatan, yaitu
Andriansyah. Andriansyah sebagai bupati
menerima suap satu miliar dari Andrew
Hidayat, pemilik PT Mitra Maju Sukses.
Suap tersebut diberikan oleh Andrew
Hidayat kepada Andrianyah sebagai
bentuk imbalan atas dimuluskannya izin
usaha tambang PT. Mitra Maju Sukses di
Kab. Tanah Laut.
Sederet temuan penelitian dan
kasus korupsi pemberian izin
pertambangan tersebut mengalami
persoalan apabila direlasikan dengan
mimpi diterapkannya kebijakan
desentralisasi. Kebijakan desentralisasi
diharapkan dapat mempercepat
kesejahteraan warga dan mendekatkan
pelayanan publik ke warga, namun
memunculkan persoalan baru seperti
desentralisasi korupsi.
Berangkat dari permasalahan
tersebut, tulisan ini menelaah kasus
korupsi izin usaha pertambangan nikel di
Kab. Buton dan Kab. Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara, oleh Gubernur Nur
Alam. Studi ini menelaah praktik rent
seeking yang terjadi pada kasus tersebut
dengan kerangka teoritik rent-seeking dan
menguraikan kelompok-kelompok yang
terlibat. Lebih dari itu, tulisan ini pula
akan melihat relasi penguasa (negara) dan
pengusaha (kapital) yang terbentuk.
Adapun pertanyaan utama tulisan ini
adalah,”Bagaimana praktik rent seeking
yang terjadi pada kasus korupsi izin usaha
pertambangan nikel di Kab. Buton dan
Kab. Bombana, Provinsi Sulawesi
Tenggara?”
C. Landasan Teoritis
Rent Seeking: Sebuah Telaah
Teoritis
Studi tentang rent seeking ini
awalnya berkembang pada 1967an.
Adapun dua tokoh dan ahli ekonom
penting dalam menuliskan pemikiran rent
seeking ini yaitu, Gurdon Tullock dan
Anne Kruger. Namun demikian, walaupun
Anne Kruger sebagai ekonom yang
pertama kali menggunakan kata rent
seeking, tetapi secara historis Tullock
merupakan peletak pertama menuliskan
konseptual tentang praktik rent seeking.
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
79
Adapun premis utama Tullock
dalam konseptual rent seeking ini
berangkat dari anggapan berbagai ekonom
muda pada waktu itu yang menyatakan
bahwa welfare cost dari sebuah tarif atau
harga komoditas dan bentuk monopoli
pasar tidak penting untuk ditelaah lebih
dalam karena tidak berdampak terhadap
kondisi ekonomi. Anggapan tersebut
dibantah oleh Tullock (1967:224) yang
menyatakan bahwa harga komoditas tidak
hanya ditentukan dengan welfare cost
misalnya pajak, upah, biaya produksi,
namun juga termasuk biaya sosial (sosial
cost) seperti suap dan biaya keamanan.
Premis utama tersebut berangkat
dari Tullock yang melihat bahwa: Pertama,
monopoli pasar berpotensi menimbulkan
biaya sosial (social cost) yang sangat
tinggi untuk memitigasi ancaman dari
pihak manapun. Misal, biaya sosial
kemananan untuk para pengusaha lain agar
tidak merusak pasar. Kedua, banyaknya
prosedur yang ketat terkait ekspor dan
impor, maka berpotensi munculnya biaya
sosial lain seperti suap untuk memudahkan
dan memuluskan prosedur tersebut.
Ketiga, banyaknya para lobbist seperti di
Amerika Serikat sebagai pihak yang
digunakan oleh para pengusaha untuk
mendapatkan izin import atau ekspor,
maka memunculkan pula biaya sosial lain.
Oleh karena itu, biaya sosial ini
dalam banyak kasus cenderung menjadi
bagian dari investasi dan social cost
tersebut dimasukkan dalam menentukan
sebuah harga komoditas. Sebagai ilustrasi
sederhana, izin impor daging sapi hanya
terbatas diberikan oleh pemerintah.
Terbatasnya izin tersebut membuat
perusahaan X melakukan suap terhadap
pemberi izin tersebut untuk mendapatkan
izin impor tersebut. Suap yang diberikan
tersebut dikategorikan sebagai biaya
sosial. Biaya sosial ini menjadi bagian
untuk menentukan harga komoditas
sebuah barang di pasar. Gejala ini dalam
pandangan Tullock terjadi sebuah transfer
cost secara tidak langsung dari konsumen
ke komunitas lain (produsen) yang tidak
menambahkan nilai suatu barang, namun
mengalihkan sebuah nilai untuk
menanggung beban social cost. Social cost
ini secara tidak langsung dibebankan ke
konsumen yang tidak seharusnya terjadi.
Konsep rent seeking Tullock
tersebut tidak jauh berbeda dengan temuan
penelitian Anne Kruger 25 (1974:291-292)
tentang rent seeking dalam konteks izin
impor. Adapun premis utama dalam
tulisan Kruger ini bahwa adanya
pembatasan pemerintah dalam aktivitas
ekonomi, maka izin impor menjadi
bernilai. Untuk memperoleh izin tersebut
kerap dilakukan secara legal, namun di
lain sisi kondisi ini memunculkan rent
seiking dalam berbagai bentuk seperti
suap, korupsi, penyelendupan, dan black
market. Situasi ini menggambarkan
kekuasaan digunakan untuk
mempengaruhi pasar dan perusahaan
mendapatkan untung dengan cara tidak
sehat seperti dengan cara suap ke penguasa
untuk mendapatkan hak atau lisensi
monopoli impor.
Dalam pandangan penulis, ada dua
argumentasi penting yang diuraikan oleh
kedua ekonom tersebut. Pertama, praktik
rent seeking ini cenderung memberikan
dampak besar terhadap kondisi ekonomi
dan ini berbeda dengan premis para
ekonom klasik yang menyatakan bahwa
praktik reent seeking ini bukan aktivitas
negatif melainkan aktivitas positif untuk
memacu aktivitas ekonomi. Kedua, praktik
rent seeking ini akan berupa banyak
bentuk seperti suap, korupsi, dan
penyelundupan, apabila negara selalu
memberikan batasan atau membatasi
terhadap aktivitas ekonomi.
25Anne Kruger ini merupakan ekonom yang pertama kali
menggunakan istilah rent seeking dalam tulisannya dan
dia tidak menyebut secara langsung atau mengutip
pendapat Tullock.
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
80
Walaupun uraian kedua ekonomi
tersebut memberikan sumbangsih penting
dan sebagai peletak batu dasar konsep rent
seeking, tetapi konsep tersebut cenderung
masih abstrak dan sulit membedakan
antara rent seekers dan bukan. Namun
pembedaan antara rent seekers atau bukan
ini ditelaah dan diuraikan oleh James B
Buchanan perbedaan mendasar antara
prilaku pemburu rente atau bukan.
Tulisan Buchanan (1980:1-30)
tersebut lebih detail dan gamblang cara
untuk membedakan antara rent seeking
dan profit seeking. Rent seeking adalah
praktik yang dilakukan oleh pengusaha
agar memperoleh hak istimewa dari negara
untuk menyediakan barang dan jasa
tertentu dengan cara melobi dan suap.
Para pengusaha jenis ini tidak
menghasilkan nilai, akan tetapi
mengalihkan nilai. Sementara profit
seeking merupakan praktik yang dilakukan
oleh pengusaha dengan cara menciptakan
nilai. Para pengusaha seperti ini kerap
memaksimalkan keuntungan tersendiri dan
atau berdasarkan kesempatan yang tersedia
dalam struktur pasar.
Namun, dalam pandangan penulis
uraian Buchanan melihat perbedaan
praktik rent seeking dan profit seeking
cenderung terpusat pada satu entitas yaitu,
pengusaha. Pembedaan ini dalam
pandangan penulis cenderung
mengabaikan aktor negara atau penguasa
pada praktik rent seeking. Padahal dalam
pandangan penulis, uraian Tullock dan
Anne Kruger tentang praktik rent seeking
juga melibatkan aktor lain seperti negara
atau pemerintah dan kelompok-kelompok
lain yang juga ikut mengambil bagian dari
praktik rent seeking seperti preman dan
elite politik.
Sebagaimana telah diuraiakan di
atas bahwa secara sederhana ada dua
pendekatan penting dalam studi rent
seeking. Pendekatan pertama melihat rent
seeking dari prespektif ekonomi klasik.
Dalam pendekatan teori ekonomi klasik
menyatakan bahwa pemburu rente
dimaknai secara netral atau tidak
memberikan dampak negatif terhadap
perekonomian, bahkan memberikan
keuntungan dan dampak positif untuk
memacu aktivitas ekonomi.
Sementara itu, konsep rent seeking
dalam studi ekonomi politik di luar
pendekatan ekonomi klasik dianggap
sebagai perilaku negatif, karena setiap
interest group berusaha untuk memperoleh
keuntungan ekonomi besar dengan usaha
yang kecil. Untuk memperoleh kentungan
besar tersebut, maka aktivitas lobi yang
dilakukan oleh mereka. Aktivitas lobi
tersebut berdampak besar karena berakibat
pada pengambilan keputusan secara
lambat dan ekonomi tidak merespon secara
cepat dan tepat terhadap perubahan dan
perkembangan yang terjadi
(Pasour,1982:69).
Praktik rent seeking dalam studi
ekonomi politik kontemporer cenderung
memisahkan hubungan domain negara
(pemerintah) atau kapital (pengusaha).
Perbedaan ini diduga karena ada
perbedaan karakteristik dua entitas
tersebut dan apabila dua entitas ini tidak
dipisahkan maka berpotensi menimbulkan
praktik memburu rente dengan berbagai
variannya seperti suap dan korupsi.
Posisi penulis dalam tulisan ini
menyetujui argumentasi perspektif
ekonomi politik kontemporer dalam
melihat praktif rent seeking dibandingkan
argumentasi ekonomi klasik. Argumentasi
penulis memakai logika Tullock dalam
melihat welfare cost, yang tidak semata
soal tax dan upah, tapi lebih dari itu, ada
social cost (biaya sosial) lain seperti suap
dan berbagai bentuk rent seeking yang cenderung lebih besar dibandingkan
pandangan ekonomi klasik yang hanya
melihat welfare cost terdiri atas tax tanpa
melihat hal-hal yang terjadi di luar
prosedur. Selanjutnya, argumentasi kedua
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
81
penulis berangkat dari temuan Kruger
bahwa pembatasan negara terhadap
aktivitas ekonomi akan berdampak salah
satunya pada berbagai bentuk praktik rent
seeking. Dengan demikian secara implisit
uraian Kruger ini menjelaskan bahwa ada
relasi antara negara (penguasa) dan kapital
(pengusaha) untuk saling
“menguntungkan” satu sama lain.
Oleh karena itu berangkat posisi
akademik tersebut, penulis menelaah lebih
dalam praktik rent seeking dengan
menggunakan studi kasus korupsi izin
usaha pertambangan Nikel di Kab. Buton
dan Kab. Bombana di Sulawesi Tenggara.
Kasus ini akan digunakan sebagai unit
analisis untuk mengetahui lebih dalam
praktik rent seeking.
Sebagai kerangka konseptual untuk
menggambarkan tipologi praktik rent
seeking tersebut, penulis menggunakan
konsep Michel L. Ross dengan membagi
rent seeking dua bentuk. Pertama,
perusahaan mencari keuntungan dari
negara dengan cara menyogok atau
melakukan suap terhadap politisi atau
birokrat. Bentuk pertama ini disebut
sebagai rent creation. Kedua, politisi dan
birokrat mencari keuntungan dari
kekuasaan dengan cara mengancam
perusahaan melalui instrumen-instrumen
regulasi atau aktor-aktor negara dan
birokrat berusaha untuk mendapatkan hak
mengalokasikan rente yang dihasilkan dari
institusi negara untuk kepentingan pribadi
masing-masing. Bentuk kedua ini disebut
sebagai rent seizing.
D. Pembahasan
Korupsi IUP: Praktik Rent Seeking
dan Relasi Negara dengan Kapital
Kasus korupsi izin usaha
pertambangan nikel di Kab. Buton dan
Kab. Bombana, di Propinsi Sulawesi
Tenggara ini bermula dari temuan
investigasi KPK, bahwa Nur Alam
menerima “kick back” atau komisi dari PT
Anugrah Harisma Barakah [AHB], yang
mendapatkan izin pertambangan nikel
tersebut. Dalam keterangan pers KPK
bahwa Nur Alam telah menyalahi aturan
dengan cara mengeluarkan surat keputusan
perstujuan percadangan wilayah
pertambangan, izin usaha pertambangan
(IUP) ekplorasi, dan surat keputusan
persetujuan peningkatan izin usaha
pertambangan eksplorasi menjadi izin
usaha pertambangan operasi produksi.
Selain itu, KPK dengan menggunakan data
Pusat Pelaporan Analisis Transakasi
Keuangan (PPATK) menyatakan
bahwa Gubernur Nur Alam terindikasi
menerima aliran dana kurang lebih 4,2 juta
dollar dari seorang pengusaha tambang,
yang punya keterkaitan dengan PT Billy
Indonesia yaitu, perusahaan tambang yang
beroperasi di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
82
Secara sederhana berikut ilustrasi gambar praktik korupsi izin usaha pertambangan tersebut.
Gambar 1. Kronologis Kasus Korupsi Pemberian Izin Usaha Pertambangan
Sumber: Gambar ini dioleh oleh penulis dari berbagai sumber
Dari gambar di atas terlihat praktik
korupsi izin usaha pertambangan di dua
daerah di Sulawesi Tenggara, merupakan
praktik rent seeking. Praktik rent seeking
ini terjadi ketika PT. AHB dengan
perusahaan lain seperti PT. Richop
International Ltd mencari keuntungan
dengan menyuap politisi atau birokrat,
dengan tujuan memperoleh kemudahan
dan perlakuan khusus izin usaha
pertambangan.
Praktik rent seeking korupsi izin
usaha pertambangan tersebut cenderung
berbentuk rent seizing, yakni praktik
pemburuan rente yang terjadi apabila aktor
negara/birokrat berusaha mendapatkan hak
mengalokasikan rente yang dihasilkan dari
institusi negara untuk kepentingan pribadi
masing-masing (Ross, 2001:190).
Nur Alam (Gubernur Sulawesi
Tenggara)
Kewenangan Gubernur Memberikan izin usaha
pertambangan apabila kawasan tersebut berada di
dua kab atau kota atau lebih
sebagaimana mandat undang-
undang -PT Anugerah Harisma Barakah
(AHB) adalah penerima SK IUP
dari Gubernur Sulawesi Tenggara
-Direktur PT AHB adalah Widi
Aswindi
-Widi ini merupakan pimpinan
lembaga konsultan politik
jaringan Indonesia.
- Widi Aswindi menjabat pula sebagai PT Bili
Industri
- PT ini juga melakukan penambangan di Kab.
Bombana dan Kab.
Konawe Selatan
- PT. Richop Interational (perusahaan asal
Hongkong). PT. ini
merupakan penerima hasil
tambang yang dilakukan oleh PT Bili Industri.
- PT Ricorp Interasional
Limmted empat kali
mentransfer uang ke PT
AXA Mandiri dengan total nilai 4,5 juta US dollar.
Rinciaannya: 500 US dollar
pada 15 September 2010, 1
juta US dollar pada 22 Sep 2010, 1 juta US Dollar pada
18 Oktober 2010 dan 2 juta
US dollar pada 29 November
2010.
- PT AXA menempatkan uang
tersebut dalam tiga polis atas
nama Gubernur Nur Alam senilai 30 Miliar. Pada
formulir pengiriman tertulis
untuk “pembayaran asuransi.
Ada dugaan PT Richop diperintah seseorang di
Indonesia mengirimkan dana.
Sisa dana tersebut senilai 10
miliar ditransfer AXA ke rekening Nur Alam di Bank
Mandiri
1
2
3 4
5
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
83
Dalam konteks relasi antara negara
dan kapital, ada tendensi relasi Gubernur
Provinsi Sulawesi Tenggara dengan
pengusaha PT. AHB dan PT. Richop
Internasional cenderung tidak ada yang
kuat satu sama lain. Hal ini menandakan,
penguasa dan pengusaha, berposisi
mendapatkan keuntungan satu sama lain.
Kelompok pengusaha (kapital) berharap
mendapatkan keuntungan dengan
dikeluarkannya izin usaha pertambangan
walaupun dengan cara lobi dan suap, dan
penguasa (negara) berharap
mengakumulasi keuntungan demi
kepentingan pribadi dan jaringan
kelompok dengan cara mengeluarkan izin.
Narasi di atas menggambarkan
bahwa relasi negara dan kapital di tingkat
daerah terutama praktik korupsi pada IUP
yang dilakukan oleh Gubernur Nur Alam
di Provinsi Sulawesi Tenggara tidak
mengalami state capture, yakni negara
berada pada posisi yang lemah dan berada
dalam kendali kapital. Ini dibuktikan
dengan kasus korupsi. Dikatakan demikian
karena Sulawesi Tenggara berada posisi
lemah atau mengalami penyanderaan dari
kelompok bisnis oligarkis agar kebijakan
negara sesuai kepentingan mereka.
Secara konseptual kasus korupsi
IUP di Propinsi Sulawesi Tenggara
ditengarai bentuk dari crony capitalism
(kapitalisme konco), yakni para pengusaha
(kapital) mendapatkan keutungan besar
dengan adanya “hubungan erat” dengan
penyelenggara negara. Pada sisi lain,
model penyelenggaran yang melakukan
praktik tersebut adalah kapitalis birokrat,
yakni para penguasa memanfaatkan
jabatan masing-masing untuk
mengakumulasikan kapital salah satunya
dengan model praktik rent seeking (Kunio,
1998: 93-95).
E. Kesimpulan dan Rekomendasi
Ada kencederungan bentuk praktik
rent seeking yang terjadi pada kasus
korupsi IUP oleh Gubernur Nur Alam
berupa rent seizing, yakni praktik
perburuan rente yang terjadi apabila aktor-
aktor negara atau birokrat berusaha untuk
mendapatkan hak mengalokasikan rente
yang dihasilkan dari institusi negara untuk
kepentingan pribadi masing-masing.
Praktik ini dilakukan oleh Gubernur Nur
Alam dengan cara mengeluarkan izin
usaha pertambangan.
Selain itu, kasus korupsi IUP yang
dilakukan oleh Gubernur Nur Alam tidak
menggambarkan terjadinya state capture.
Namun kasus tersebut cenderung
menggambarkan fenomena crony
capitalism (kapitalisme konco), yakni para
pengusaha mendapatkan keutungan besar
dengan adanya hubungan erat dengan
penyelenggara negara. Sementara itu para
penyelenggara yang melakukan model
seperti ini merupakan kapitalis birokrat
yakni, para penguasa yang pernah atau
sedang menjabat dan memanfaatkan
jabatan masing-masing untuk
mengakumulasikan kapital salah satunya
dengan model praktik rent seeking. Ada
dua hal utama yang dilakukan oleh
pemerintah untuk memitigasi terjadinya
praktik rent seeking terutama dalam hal
pemberian izin. Pertama, pemerintah
berupaya untuk memudahkan proses
perizinan investasi pertambangan melalui
deregulasi dan debirokratisasi. Misal, ada
kepastian waktu dan biaya pengurusan izin
dan mencabut regulasi yang bermasalah
dan tumpang tindih. Adapun tujuan ini
diharapkan bisa mengurangi social cost
seperti suap dan gratifikasi terhadap
pemberi izin. Kedua, pemerintah berupaya
melakukan pengawasan secara bersama
dengan lembaga penegak hukum seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi dari
proses pengeluaran izin hingga
pelaksanaan izin usaha pertambangan.
Jurnal Analis Kebijakan | Vol. 3 No. 1 Tahun 2019
84
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Buchanan ,James M. 1980. Rent Seeking
dan Profit Seeking. Chapter 1 in
Toward a theory of the rent seeking
society.
Chaniago, Andrinof. 2012. Gagalnya
Pembangunan: Membaca Ulang
Keruntuhan Orde Baru. Jakarta:
LP3ES.
Hadiz, Vedi. 2010. Localising Power in
Post-Authoritarian Indonesia. A
Southeast Asia. Perspective. Stanford
University Press.
Kunio, Yoshihara. 1998. Kapitalisme
Semua di Asia Tenggara. Jakrata:
Anonim
L. Ross , Michael. 2001.Timber Booms
And Institutional Breakdown In
Southeast Asia. UK: Cambridge
University Press.
Oslon, Mancur. 1982. The Rise and
Decline of Nations. New Haven: Yale
University Press.
Weber, Max. 1964. The Theory of Social
and Economic Organization. 1964.
New York: The Free Press.
Jurnal
Kruger, Anne O.1974. The Political
Economy of the Rent-Seeking
Society. The American Economic
Review. Vol. 64, No. 3, Juni.
Tollock, Gordon 1967. The Welfare Cost
of Tarrif, Monopolies, and Tarrif.
Westeren Economic Journal.
Dokumen
BPS.2015. Berita Resmi Statistik. Sulawesi
Tenggara: Penerbit BPS Sulawesi
Tenggara.
Danang J Widoyoko dkk. 2013. Patronase
Politik-Bisnis Alih Fungsi Lahan di
Kabupaten Kutai Barat dan
Ketapang; Jakarta; Penerbit ICW.
Jr, E.C. Pasour. Rent Seeking: Some
Conceptual Problems and
Implications. Tulisan yang
dipresentasikan pada acara Liberty
Fud Research Seminar di New York
University, pada 7-11 Agustus.
Tim BPS.2015. Sulawesi Tenggara dalam
angka. Sulawesi Tenggara: Penerbit
BPS.
Website
Puspitasari, Maya Ayu.”Suap Nur Alam,
KPK Periksa Karyawan PT Billy”.
https://mtempo.co/read/news/2017/01/
24/063839158/suap-nur-alam-kpk-
periksa-karyawan-pt-billy, diakses
28 Februari 2019.