Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISBN : 978-602-7648-43-2
Gedung PPG FKIP UNINUS
Bandung, 4 November 2017
diterbitkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Nusantara
2017
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA (SNPM)
“MATHEMATICS EDUCATION FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT:
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI DIDACTIC DESIGN
RESEARCH (DDR)”
Gd. PPG FKIP Universitas Islam Nusantara, Bandung
4 November 2017
diterbitkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Nusantara
2017
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
“MATHEMATICS EDUCATION FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT: PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI DIDACTIC DESIGN
RESEARCH (DDR)”
Penanggung Jawab Ketua Panitia Wakil Ketua Reviewer Editor Layout ISBN Penerbit Redaksi
: : : : : : : : :
Yayu laila Sulastri, M.Pd. Nandang Arif Saefulloh, M.Pd. Dr. Usep Kosasih Dr. Heru Sujiarto, M.Pd. Surya Amami Pramuditya, M.Pd. M. Gilar Jatisunda, M.Pd. Dr. Achmad Mudrikah, M.Pd. Samnur Saputra, M.Pd. 978-602-7648-43-2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nusantara Jl. Soekarno-Hatta No. 530 Bandung 40286 Telp. (022) 7509656. Email: [email protected]
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit.
mailto:[email protected]
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas segala limpahan rahmat dan pertolongan Allah Subhanahu
Wata’ala, sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Prosiding ini memuat karya tulis
hasil Seminar Nasional Pendidikan Matematika, yang diselenggarakan oleh Program
Studi Pendidikan Matematika FKIP-Uninus. Prosiding ini merupakan ke-delapan kalinya
yang diterbitkan secara berkala satu tahun sekali. Karya tulis dalam seminar tersebut
merupakan hasil penelitian maupun kajian pustaka dari berbagai sudut pandang
pemerhati pendidikan matematika (Dosen, Guru, serta Mahasiswa Pendidikan
Matematika). Para pemerhati yang memberikan kajian pada prosiding baik sebagai
penyaji utama maupun makalah pendamping diantaranya berasal dari: Sekolah
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Guru Besar UPI, Unswagati Cirebon,
Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Universitas Galuh Ciamis, Universitas
Muhammadiyah Bengkulu, STKIP PGRI Sumatera Barat, dan Universitas Islam
Nusantara. Makalah yang disajikan dalam prosiding ini sudah merupakan hasil seleksi
tim review.
Prosiding ini diharapkan dapat memberikan dalam pengembangan
pembelajaran matematika. Berbagai temuan hasil penelitian dan kajian pustaka dapat
memberikan gambaran tentang pelaksanaan pembelajaran berdasarkan perkembangan
pengetahuan mutakhir.
Terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pemakalah
yang berkontribusi dalam prosiding ini. Saran yang membangun dapat pembaca
sampaikan kepada kami.
Bandung, 4 November 2017
Panitia
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR – i
DAFTAR ISI - ii
No Nama Penulis Institusi Judul Makalah Hal
1
Amelia Purnamasari Rusadi, Subali Noto, Surya Amami P.
Unswagati, Cirebon
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS GAME EDUKASI PADA MATERI SEGI EMPAT UNTUK SISWA SMP KELAS VII
1
2
Depi Setialesmana, Witri Nur Anisa, Linda Herawati.
Universitas Siliwangi, Tasikmalaya
PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI, KOMUNIKASI MATEMATIK DAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA MALALUI METODE INKUIRI MODEL ALBERTA
12
3
Ratna Rustina, Yeni Heryani
Universitas Siliwangi, Tasikmalaya
EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK MAHASISWA
20
4
Yeni Heryani, Ratna Rustina
Universitas Siliwangi, Tasikmalaya
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BAHAN AJAR BERBASIS MASALAH PADA PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA MATEMATIKA PENDIDIKAN DASAR
29
5 Hamdunah, Alfi Yunita, Anny Sovia
STKIP PGRI Sumatera Barat
PENGARUH PENGGUNAAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
36
6 Nur Eva Zakiah, Yoni Sunaryo
Universitas Galuh, Ciamis
SELF AWARENESS SISWA SMA PADA PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERBASIS GAYA KOGNITIF
43
7 Vepi Apiati Universitas Siliwangi, Tasikmalaya
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATEMATIKA BERBASIS PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN DISPOSISI MATEMATIK SISWA
55
8 Jaya Dwi Putra
Universitas Pendidikan Indonesia
PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA ANTARA MODEL NHT DAN MaM
62
9 Linda Herawati, Vepi Apiati
Universitas Siliwangi, Tasikmalaya
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR INDIVIDUAL TERHADAP PERSEPSI PERILAKU ETIS MAHASISWA
69
10 Nunu Nurhayati
Universitas Islam Kuningan
PENERAPAN PERANGKAT BAHAN AJAR PMRI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA
78
iii
No Nama Penulis Institusi Judul Makalah Hal
11 Winda Ramadianti
Universitas Muhammadiyah Bengkulu
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL OPEN ENDED BERKONTEKS BUDAYA BENGKULU
89
12
Oyong Siti Maryam, Rianti Cahyani.
Universitas Islam Nusantara
DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGTASI LEARNING OBSTACLE PESERTA DIDIK MADRASTAH TSANAWIYAH SWASTA PADA KONSEP REFLEKSI
98
13 Enung Elda Martina, Dinny Mardiana.
Universitas Islam Nusantara
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS PESERTA DIDIK SMP
110
14
Mia Sukmawati Nur, Dinny Mardiana.
Universitas Islam Nusantara
DESAIN DIDAKTIS MATERI PELUANG BERDASARKAN LEARNING OBSTACLE PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MTS NEGERI
121
15
Mulia Suryani, Melisa, Turmudi, Elah Nurlaelah
STKIP PGRI Sumatera Barat
ANALISIS RESPON MAHASISWA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN AJAR BERBASIS WEBSITE PADA PERKULIAHAN GEOMETRI ANALITIK
133
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 1
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS GAME EDUKASI PADA
MATERI SEGI EMPAT UNTUK SISWA SMP KELAS VII
Amelia Purnamasari Rusadi1), Subali Noto2), Surya Amami P3) 1) Mahasiswa FKIP Unswagati Cirebon, [email protected]
2) Dosen FKIP Unswagati Cirebon, [email protected]
3) Dosen FKIP Unswagati Cirebon [email protected]
Abstrak
Matematika merupakan pelajaran yang sangat penting dalam ilmu pendidikan. Salah satu materi
yang ruang lingkupnya luas adalah geometri. Namun penguasaan pada meteri ini masih rendah
dikarenakan masih banyak yang belum menggunakan media dalam pembelajarannya. Penelitian
ini bertujuan untuk mendesain media pembelajaran yang valid dan praktis agar dapat digunakan
dalam pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas pada materi segi empat untuk siswa SMP
kelas VII. Media pembelajaran yang digunakan berupa game edukasi yang bergenre Role Playing
Game (RPG). Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan menggunakan model
pengembangan ADDIE yang disederhanakan menjadi ADD (Analysis, Design, Development).
Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara, lembar validasi dan lembar praktikalitas.
Data diperoleh melalui uji validasi, praktikalitas dan wawancara. Media pembelajaran ini diuji
kevalidannya oleh 5 orang dan untuk kepraktisannya diuji kepada 9 orang siswa. Hasil dari
penelitian ini adalah media pembelajaran berbasis game edukasi valid dan praktis. Presentase
kevalidan sebesar 94,11% sehingga media pembelajaran dapat digunakan dalam proses
pembelajaran matematika. Presentase praktikalitas sebesar 96,61% sehingga media pembelajaran
praktis dan mudah digunakan siswa dalam proses pembelajaran. Untuk mengimplementasikan
media pembelajaran berbasis game edukasi sebaiknya membuat lembar evaluasi berupa soal
untuk mengetahui siswa telah menggunakan media ini atau tidak.
Kata Kunci. media pembelajaran, game edukasi, ADDIE, segi empat
PENDAHULUAN
Matematika merupakan pelajaran yang penting dalam ilmu pendidikan. Kehidupan
sehari-hari tidak terlepas dari matematika. Salah satu materi matematika yang tidak
terlepas dari kehidupan sehari-hari adalah materi geometri. Menurut [1] salah satu cabang
matematika disekolah yang memiliki ruang lingkup yang luas adalah geometri.
Namun penguasaan siswa dalam memahami geometri masih rendah dan perlu
ditingkatkan. Menurut TIMSS dalam [2] prestasi belajar geometri di Indonesia
memperoleh urutan ke-37 dari 43 negara partisipan lainnya. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan oleh salah satu guru SMPN di kota Cirebon, siswa kelas VII
mengalami kesulitan pada materi segi empat terkait penentuan rumus. Rumus tersebut
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut sejalan dengan yang dungkapkan
oleh beberapa siswa di salah satu SMPN di Kota Cirebon bahwa mereka mengalami
kesulitan dalam menentukan rumus dan mengaplikasikan rumus kedalam soal cerita.
Berdasarkan hasil observasi, salah satu yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan
dalam mengerjakan soal matematika adalah siswa kurang menyukai matematika. Dari
hasil wawancara terhadap 13 siswa SMP, sebanyak 38% siswa menyukai matematika dan
mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 2
62% tidak menyukai matematika. Hal tersebut dikarena mereka menganggap bahwa
matematika merupakan pelajaran yang sulit dan kurang menyenangkan. Hal ini
dikarenakan kurangnya penggunaan media dalam proses pembelajaran. Pembeajaran
hanya menggunakan model ekspositori saja tanpa ada inovasi lain. Sehingga perlu adanya
inovasi lain untuk membuat pembelajaran matematika menjadi menyenangkan dan
diminati siswa.
Pada hakikatnya kegiatan belajar mengajar adalah suatu proses komunikasi atau proses
penyampaian pesan. Menurut Gagne and Briggs dalam [3] mengatakan bahwa media
pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi
pelajaran. Pentingnya media dalam proses pembelajaran yaitu untuk memudahkan dalam
menyampaikan pesan. Pentingnya penggunaan media dalam proses pembelajaran terlihat
pada diagram cone of learning yang dikemukakan oleh Dale (1946).
Game merupakan inovasi dalam pembuatan media pembelajaran. Pada saat ini mulai
banyak pendidik yang menciptakan game sebagai sumber belajar. Menurut [4] Game
based learning dapat digunakan sebagai cara untuk meningkatkan keefektifan
pembelajaran dan memungkinkan siswa untuk terlibat langsung dengan materi ajar
dengan cara yang menyenagkan dan dinamis. Menurut penelitian Narmada [5]
menyatakan bahwa Uji Responden Game Edukasi Tradisional Pupuh berbasis Android,
yang dilakukan dengan melibatkan 15 siswa SMP dan 32 siswa SMA mencapai 81,9%
berarti hasil uji respon baik. Menurut [6] Game RPG edukasi matematika menarik,
menyenangkan dan dapat mengedukasi penggunanya. Oleh karena itu, penulis ingin
mengangkat game edukasi sebagai inovasi media pembelajaran pada materi segi empat.
Berdasarkan permasalahan diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan
judul “Desain Media Pembelajaran Berbasis Game Edukasi Pada Materi Segi Empat
untuk Siswa SMP Kelas VII”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan model pengembangan
ADDIE yang dibatasi menjadi ADD. Adapun langkah-langkah nya sebagai berikut: 1)
Analysis : meliputi analisi kebutuhan belajar siswa. 2) Design : meliputi membuat
storyboard, menentukan materi dan penyusunan soal. 3) Development: meliputi
pembuatan produk, validasi ahli, praktikalitas.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar validitas yang digunakan
untuk menilai kevalidan media pembelajaran game edukasi. Instrumen lainnya adalah
lembar praktikalitas yang digunakan untuk mengukur kepraktisan atau keterpakaian game
kepada siswa. Terakhir adalah lembar pedoman wawancara yang digunakan untuk
pedoman dalam melakukan wawancara yang berisi petunjuk secara garis besar atau
pokok dari isi wawancara.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 3
Bagan 1
ADD
Keterangan : : Urutan Kegiatan
: Garis Siklus (jika diperlukan)
: Jenis Kegiatan
: Hasil
: Keputusan
Untuk menentukan validasi media pembelajaran maka dilihat dari validasi Ahli.
Perhitungan validasi media pembelajaran menurut [7] dirumuskan sebagai berikut.
𝑉𝑎ℎ =𝑇𝑆𝑒
𝑇𝑆ℎ× 100%
Ket: Vah = Validasi ahli
Tse = Total skor empirik yang dicapai
Tsh = Total skor yang diharapkan
Kriteria Validasi Media Pembelajaran
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 4
Tabel 1
Kriteria Validasi Media
No Kriteria Validitas Tingkat Validitas
1. 85% < 𝑉 ≤ 100% Sangat valid atau dapat digunakan tanpa revisi 2. 70% < 𝑉 ≤ 85% Cukup valid atau dapat digunakan namun perlu
ada revisi kecil
3. 50% < 𝑉 ≤ 70% Kurang valid atau disarankan tidak dipergunakan karena perlu ada revisi besar
4. 0% < 𝑉 ≤ 50% Tidak valid atau tidak boleh dipergunakan Pemberian nilai praktikalitas dengan menggunakan rumus:
𝑃 = ∑ 𝑓
𝑁 × 100%
Dimana, P = nilai akhir
f = skor yang diperoleh
N = Skor Maksimum
Kriteria Praktikalitas Media Pembelajaran menurut [8] sebagai berikut:
Tabel 2
Kriteria Praktikalitas Media Pembelajaran
No Kriteria Praktikalitas Tingkat Praktikalitas
1. 80 % < 𝑃 ≤ 100% Sangat Praktis
2. 60 % < 𝑃 ≤ 80% Praktis
3. 40% < 𝑃 ≤ 60% Cukup Praktis
4. 20% < 𝑃 ≤ 40% Kurang Praktis
5. 𝑃 ≤ 20% Tidak Praktis
HASIL PENELITIAN
Hasil Analisi Kebutuhan Belajar
Hasil wawancara yang dilakukan kepada guru dan siswa adalah siswa masih memiliki
kekurangan dalam materi segi empat. Terutama dalam menentukan rumus yang akan
digunakannya dan pengaplikasian rumus tersebut kedalam soal. Guru tidak selalu
menggunakan media pembelajaran saat proses pembelajaran. Pembelajaran masih
berpusat kepada guru sehingga siswa kurang aktif pada saat proses pembelajaran
berlangsung.
Hasil Pembuatan Game
Tampilan awal game berisi menu awal pada game seperti: New game apabila ingin
memulai game baru. Continous apabila ingin melanjutkan petualangan yang telah
disimpan. Option apabila ingin mengubah pengaturan. Quit apabila ingin membatalkan
permainan. Yang terlihat seperti gambar berikut ini.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 5
Gambar 1
Tampilan Awal
Selanjutnya terdapat Prolog yang berisi tentang cerita game secara umum. Berikut ini adalah
contoh prolog:
Gambar 2
Prolog
Kemudian pada game ini diberikan materi ringkas untuk setiap subbab segi empat.
Gambar 3
Pemberian Materi
Materi disajikan dalam bentuk map. Materi yang diberikan berupa sifat-sifat dan rumus. Selain
itu juga diberika contoh soal, seperti berikut ini
Gambar 4
Materi
Lalu pada game ini diberikan soal-soal, baik itu soal latihan maupun soal tes berupa pilihan
ganda.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 6
Gambar 5
Pemberian soal
Untuk soal latihan apabila salah menjawab maka akan dikurai poinnya. Untuk soal tes apabila
salah menjawab maka permainan aka berakhir seperti contoh dibawah ini.
Gambar 6
Ketika Gagal
Apabila dapat menjawab soal dengan benar hingga akhir dan dapat meyelesaikannya dengan
baik maka akan muncul seperti ini
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 7
Gambar 7
Ketika Berhasil
Pada akhir game di tutup dengan pemberian pesan kepada yang memainkan game seperti
berikut ini
Gambar 8 Penutup Game
Hasil Validasi Media Pembelajaran Berbasis Game Edukasi
Validator adalah 2 orang dosen, 2 orang guru di SMP, dan orang teman sejawat.
Tabel 3
Persentase Penilaian Hasil Validasi Media Pembelajaran
No Komponen Skor
Validasi
Skor yang
Diharapkan
Kriteria
Validasi Interpretasi
1 Validasi Ahli 1 62 68 91,18% Sangat Valid
2 Validasi Ahli 2 62 68 91,18% Sangat Valid
3 Validasi Ahli 3 63 68 92,65% Sangat Valid
4 Validasi Ahli 4 67 68 98,53% Sangat Valid
5 Validasi Ahli 5 66 68 97,06% Sangat Valid
Hasil validasi oleh lima validator didapatkan skor keseluruhan sebesar 94,11.
Berdasarkan tabel 2 maka media pembelajaran berbasis game edukasi dapat dikatakan
sangat valid sehingga tidak memerlukan revisi.
Hasil Praktikalitas Media Pembelajaran Berbasis Game Edukasi
Terdapat 15 indikator dalam praktikalitas media. Uji praktikalitas dilakukan kepada 9
siswa yang terdiri dari 3 siswa kemampuan tinggi, 3 siswa kemampuan sedang, 3 siswa
kemaampuan rendah.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 8
Tabel 4
Persentase Penilaian Hasil Praktikalitas Media Pembelajaran
Hasil praktikalitas media pembelajaran secara keseluruhan adalah 96,67%. Berdasarkan
tabel kriteria praktikalitas maka media pembelajaran berbasis game edukasi dapat
dikatakan sangat praktis sehingga tidak memerlukan revisi.
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pembahasan Validasi
Hasil dari uji validitas terhadap lima validator menurut kriteria validasi media
pembelajaran adalah sangat valid dengan persentase sebesar 94,11% dengan kriteria
sangat valid. Artinya media pembelajaran berbasis game edukasi tidak memerlukan revisi
dan layak digunakan.
Hasil kevalidan juga bisa dibuktikan dengan penilaian tiap aspek indikatornya. Untuk
aspek materi mendapat penilaian 2 terendah yaitu sebesar 93,75. Hal ini dikarenakan
masih terdapat gambar-gambar yang belum memiliki petunjuk yang jelas seperti tanda
sejajar, siku-siku dll. Gambar tersebut sangat penting karena merupakan petunjuk pada
gambar yang berfungsi memudahkan siswa dalam mengidentifikasi baik matateri.
Skor terendah untuk aspek soal yaitu sebesar 90%. Hal ini dikarenakan ada 1 soal yang
tidak ada jawabannya. Pada soal gambar ada yang perlu diperbaiki tandanya agar tidak
adanya kesalahan tafsir terhadap soal yang diberikan. Dalam pembuatan soal ketepatan
gambar sangat penting karena menurut Cai, Lane dan Jacabcsin [9] gambar merupakan
salah satu jenis representasi, yakni representasi dalam bentuk visual yang sering
digunakan untuk mengkomunikasikan matematika. Meskipun aspek soal mendapatkan
skor terendah namun masih dalam kriteria nilai yang tinggi.
Aspek komunikasi mendapatkan skor tertinggi yaitu sebesar 96%. Hal ini dikarenakan
dalam segi bahasa mudah dipahami, istilah yang digunakan tepat. Namun masih ada
kekurangan dalam ketepatan bahasa dan ejaan yaitu masih terdapat bahasa daerah yang
dikhawatikan ada siswa yang tidak memahami apa yang dimaksud. Menurut [10] media
pembelajaran adalah bentuk saluran yang digunakan untuk menyalurkan pesan, informasi
atau bahan pelajaran kepada penerima pesan atau pembelajar atau siswa. Sehingga aspek
Praktisi Total Skor yang
Dicapai
Total Skor yang
Diharapkan
Persentase
Praktisi
ST 1 60 60 100%
ST 2 59 60 98,33%
ST 3 60 60 100%
SS 4 60 60 100%
SS 5 58 60 96,67%
SS 6 57 60 95%
SR 7 58 60 96,67%
SR 8 54 60 90%
SR 9 56 60 93,33%
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 9
komunikasi adalah aspek sangat penting dalam pembuatan media pembelajaran karena
dengan komunikasi yang baik maka pesan yang akan disampaikan dapat diterima dengan
baik oleh siswa.
Aspek desain game mendapatkan skor tertinggi kedua diantara semua aspek yaitu sebesar
94,37. Meskipun begitu masih ada sedikit kekurangan yaitu masih terdapat sedikit bug
didalam game. Berdasarkan diagram cone of learning yang di kemukakan oleh Dale
dalam mengingat pelajaran 50% dari apa yang di dengar dan dilihat, media desain game
termasuk aspek yang penting. Hal ini dimaksudkan agar siswa tertarik mempelajarinya
dan mudah diingat dengan apa yang dilihatnya.
Hasil dari kelima validator memiliki kriteria sangat valid yang artinya media
pembelajaran berbasis game edukasi tidak memerlukan revisi dan layak digunakan.
Meskipun media pembelajaran berbasis game android layak digunakan tanpa revisi
namun masih terdapat beberapa masukan yang diberikan oleh validator terkait materi dan
soal. Masih terdapat kesalahan pada redaksi kata dan juga kurangnya petunjuk yang jelas
pada gambar seperti tanda sejajar, tanda bahwa sudut siku-siku dll. Saran tersebut dapat
dijadikan acuan untuk digunakan dalam merevisi media pembelajaran tersebut agar
menjadi lebih sempurna lagi. Selain itu terdapat satu saran dari salah satu validator bahwa
harus adanya umpan balik atau tanda agar guru mengetahui apakah siswa tersebut sudah
menggunakan media ini atau belum, tapi penulis belum bisa untuk mewujudkannya
sehingga dijadikan saran untuk penelitian kedepannya.
Pembahasan Praktikalitas
Praktikalitas dilakukan untuk mengetahui apakah media yang buat ini praktis bagi siswa
atau tidak. Berdasarkan tabel 4 media pembelajaran berupa game edukasi sangat praktis
dengan skor sebesar 96,67%.
Rata-rata dari tiap tingkat kemampuan baik dari kemampuan tinggi sedang dan rendah
tidak jauh berbeda. Hal ini dapat ditunjukan dengan penilaian tiap aspek, ada 1 aspek
yang memiliki skor maksimum dari semua tingkat kemampuan yaitu aspek kepuasan
game. Dari keseluruhan kemampuan mendapatkan skor 100%. Pada aspek kepuasan
game seluruh siswa menyatakan sangat puas dalam menjalankan game, terlihat dari nilai
yang diberikan siswa dan juga kesan setelah memainkan game yang diberikan siswa
terhadap game. Mereka memberikan pendapat bahwa game yang telah dimainkannya
sangat menarik, dan mudah dijalankan.
Pada aspek pengoperasian game terlihat perbedaan sangat besar antara siswa yang
memiliki kemampuan tinggi dan rendah. Pada siswa yang berkemampuan tinggi
mendapatkan skor 97,91% sedangkan pada siswa yang berkemampuan rendah
mendapatkan skor 84,49% . Berdasarkan data tersebut terlihat sangat jelas perbedaannya.
Namun skor yang diberikan siswa berkemampuan sedang lebih besar dibandingkan
dengan siswa yang berkemampuan tinggi. Skor yang diperoleh dari siswa yang
berkemampuan sedang adalah 100%. Hal ini berarti bahwa pada pengoperasian game
kurang baik kaena terlihat perbedaan yang cukup signifikan antar kemampuan siswa.
Pada aspek desain game perbedaan skor yang diberikan siswa yang berkemampuan
rendah dan tinggi tidak begitu terlihat. Untuk siswa yang berkemampuan tinggi
mendapatkan skor 100%, untuk siswa yang berkemampuan sedang mendapatkan skor
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 10
sebesar 97,91% dan untuk siswa yang berkemampuan rendah mendapatkan skor sebesar
93,75%. Berdasarkan skor yang didapat dapat diartikan desain pada game sangat baik
karena antar kemampuan perbedaannya tidak terlalu sigifikan.
Pada aspek komunikasi sedikit ada perbedaan antara siswa yang berkemampuan tinggi
dan yang berkemampuaan rendah. Untuk siswa yang berkemampuan tinggi memberikan
skor maksimal yaitu 100% namun untuk anak yang berkemampuan rendah masih ada
yang menganggap aspek komunikasi kurang karena medapatkan skor sebesar 91,67%.
Namun perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Itu artinya bahwa aspek
komunikasi cukup baik. Menurut Gagne dan Briggs [3] mengatakan bahwa media
pembelajaran merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan isi materi
pengajaran. Sehingga aspek komunikasi adalah aspek sangat penting dalam pembuatan
media pembelajaran karena dengan komunikasi yang baik maka pesan yang akan
disampaikan dapat diterima dengan baik oleh siswa
Siswa menanggapi dengan baik apabila pembelajaran yang diberikan mengunakan media
game ini. Hal ini terlihat dari respon mereka setelah memainkan game ini. Mereka
menganggap game yang diberikan mudah dan sangat menyenangkan sehingga mereka
lebih bersemangat dalam belajar matematika.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil dari analisis data penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Media pembelajaran berbasis game edukasi sangat valid. Data yang dihasilkan
melalui proses analisis, desain, development dan menghasilkan nilai validasi
sebesar 94,11%. Sehingga media pembelajaran berbasis game edukasi layak
digunakan dalam proses pembelajaran.
2. Bagi siswa media pembelajaran berbasis game edukasi sangat praktis,
berdasarkan aspek pengoperasian game, desain game, komunikasi dan kepuasan
game. Dimana untuk aspek kepuasan game mendapatkan skor tertinggi dan
aspek pengoperasian game mendapatkan skor terendah. Sehingga rata-rata skor
uji keraktisan yang didapatkan sebesar 96,67%.
Saran
Berdasarkan simpulan hasil analisis penelitian diatas maka dapat disarankan sebagai
berikut:
1. Media pembelajaran berbasis game edukasi dapat diimplementasikan didalam
proses pembelajaran.
2. Untuk menghindari eror perlu melakukan proses check pada coding yang terdapat
didalam game dan check ulang dari setiap data yang digunakan pada program.
3. Untuk mengimplementasikan media pembelajaran berbasis game edukasi,
hendaknya membuat suatu alat evaluasi bisa berupa soal atau angket untuk
mengetahui siswa telah menggunakan media ini atau tidak.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 11
Daftar Pustaka
Akbar, S. (2013). Instrumen Peangkat Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hamdunah. (2015). Praktikalitas Pengembangan Modul Kontruktivisme Dan Website
Pada Materi Lingkaran Dan Bola. Lemma. 2, (1), hal 42-35.
Narmada, I.N., dkk. (2015). ”Pengembangan Game Edukasi Tradisional Pupuh Berbasis
Android”. Kumpulan Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informatika
(KARMAPATI). 4, (5), hal 1-8.
Nopriana, T. (2014) Berfikir Geometri melalui Model Pembelajaran Geometri Van Hiele.
Diakses di http://www.fkip-
unswagati.ac.id/ejournal/index.php/repository/article/download/126/123. Tanggal
5 Juli 2017
Pho, A and Dinscore, A. (2015). Game-Based Learning. Diakses di
http://acrl.ala.org/IS/wp-content/uploads/2014/05/spring2015.pdf. Tanggal 8
September 2017
Pramuditya, dkk. (2017). Game Edukasi RPG Matematika. EduMa. 6, (1), hal 77-84.
Putra, H.D. (2011). Pembelajaran Geometri Dengan Pendekatan Savi Berbantuan
Wingeom Untuk Meningkatkan Kemampuan Analogi Matematis Siswa Smp.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. 1,
hal 1-11. Bandung
Sabirin, M. (2014). Representasi dalam Pembelajaran Matematika. JPM IAIN Antasari.
1, (2), hal. 33-44
Sanaky. (2013). Media Pembelajaran Interaktif-Inovatif. Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara.
Sundayana, R. (2014). Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika.
Bandung: Alfabeta.
http://www.fkip-unswagati.ac.id/ejournal/index.php/repository/article/download/126/123http://www.fkip-unswagati.ac.id/ejournal/index.php/repository/article/download/126/123http://acrl.ala.org/IS/wp-content/uploads/2014/05/spring2015.pdf
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 12
PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI, KOMUNIKASI
MATEMATIK DAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA
MALALUI METODE INKUIRI MODEL ALBERTA
Depi Setialesmana1, Witri Nur Anisa2, Linda Herawati3
Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya
e-mail: [email protected],[email protected],[email protected]
Abstrak
Pendidikan matematika membantu dalam perkembangan terbentuknya individu yang
memiliki tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan kemampuan koneksi, komunikasi matematik dan kemandirian
belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan motode inkuiri
model Alberta. Serta mengetahui asosiasi antara kemampuan koneksi matematik dengan
kemampuan komunikasi matematik, asosiasi kemampuan koneksi dengan kemandirian
belajar, asosiasi kemampuan komunikasi dengan kemandirian belajar mahasiswa yang
memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri model Alberta. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program studi pendidikan matematika
Universitas Siliwangi angkatan 2015. Sampel penelitian dipilih secara purposive
sampling yaitu mahasiswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masing-masing
sebanyak dua kelas. Dari kelas tersebut akan dilihat dari kemampuan awal mahasiswa
yaitu kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Sehingga tidak dimungkinkan untuk
membuat kelompok baru secara acak. Satu kelompok dijadikan sebagai kelompok
eksperimen yaitu kelas 2015 A dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol yaitu kelas
2015 F. Instrumen berupa soal tes kemampuan koneksi dan komunikasi matematik, serta
angket kemandirian. Tehnik analisis datanya perbedaan dua rata-rata, sedangkan untuk
mengetahui asosiasi dilakukan perhitungan dengan uji kontingensi dengan bantuan
software SPSS versi 23.32 for Windows. Peningkatan kemampuan koneksi, komunikasi
matematik serta kemandirian belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan
metode inkuiri model alberta lebih baik daripada pembelajaran konvensional, tidak
terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematik dan kemampuan komunikasi
matematik mahasiswa, tidak terdapat asosiasi antara kemampuan komunikasi matematik
dan kemandirian belajar matematika mahasiswa, tidak terdapat asosiasi antara
kemampuan komunikasi matematik dan kemandirian belajar matematika mahasiswa.
Kata Kunci : Kemampuan Koneksi, Komunikasi dan Kemandirian Belajar
mailto:[email protected]
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 13
PENDAHULUAN
Pendidikan matematika membantu dalam perkembangan terbentuknya individu
yang memiliki tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi. Untuk
mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran
matematika diperlukan adanya proses berpikir matematik. Dwijanto, (Rachmani,
Nuriana Dewi, 2013: 284) menyatakan pembelajaran matematika di perguruan
tinggi bukan hanya menghapal atau menerapkan secara sederhana rumus
matematika yang telah diketahui saja, namun memerlukan kemampuan berpikir
matematis tinggat tinggi yang akan bermanfaat diri mahasiswa.
Kemampuan yang termasuk kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi
diantaranya kemampuan koneksi dan kemampuan komunikasi. Kemampuan
koneksi matematik adalah kemampuan mengaitkan konsep- konsep matematika
baik antar konsep matematika itu sendiri (dalam matematika) maupun mengaitkan
konsep matematika dengan bidang lainnya (luar matematika), yang meliputi:
koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan dan
koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Maka dengan itu, sangat diperlukan
mahasiswa karena matematika merupakan satu kesatuan, dimana konsep yang
satu berhubungan dengan konsep yang lain. Selain kemampuan koneksi
matematik, kemampuan komunikasi matematik juga perlu diberikan, meski pada
kenyataannya penguasaan kemampuan komunikasi belum optimal dalam
kegiatan perkuliahan.
Sejalan dengan pendapat Bondan, Djamilah Widjahanti dan Wahyudin (2010: 2)
“menyikapi adanya kenyataan bahwa terdapat mahasiswa calon guru matematika
lemah dalam komunikasi matematis, maka penelitian tentang cara-cara
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa calon guru
matematika ini menjadi penting untuk dilakukan”. Kemampuan komunikasi
matematik perlu ditingkatkan atau dikembangkan, karena melalui kemampuan
komunikasi mahasiswa dapat mengorganisasikan berpikir matematiknya baik
secara lisan maupun tulisan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah
peningkatan kemampuan koneksi matematik mahasiswa yang memperoleh
pembelajaran dengan metode inkuiri model alberta lebih baik daripada
pembelajaran konvensional?, apakah peningkatan kemampuan komunikasi
matematik mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri
model alberta lebih baik daripada pembelajaran konvensional?, apakah
peningkatan kemandirian belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran
dengan metode inkuiri model alberta lebih baik daripada pembelajaran
konvensional?, apakah terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematik
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 14
dan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa?, apakah terdapat asosiasi
antara kemampuan komunikasi matematik dan kemandirian belajar matematika
mahasiswa?, apakah terdapat asosiasi antara kemampuan komunikasi matematik
dan kemandirian belajar matematika mahasiswa?
Menurut Wahyudin (2012: 529) bahwa komunikasi bisa mendukung belajar
siswa atas konsep-konsep matematis yang baru saat mereka memainkan peran
dalam situasi,mengambil, menggunakan obyek-obyek, memberikan laporan dan
penjelasan-penjelasan lisan, menggunakan diagram, menulis, dan menggunakan
simbol-simbol matematis. Kemampuan komunikasi matematik meliputi
komunikasi secara lisan dan tertulis. Kemampuan komunikasi secara lisan
yaitu kemampuan dalam membaca, memahami, mendengarkan, berdiskusi dan
menjelaskan matematika. Sedangkan kemampuan komunikasi secara tertulis
yaitu kemampuan menyatakan suatu hal kedalam bentuk matematika yang berupa
simbol, gambar, atau istilah dalam matematika. Menurut NCTM Program
Standards (Bondan, Djamilah Widjajanti dan Wahyudin (2010: 4) “Seorang
calon guru matematika haruslah mampu mengkomunikasikan pikiran
matematisnya secara lisan dan tertulis kepada teman-temannya, para dosen,
dan kepada yang lainnya”.
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri. Sumarmo, Utari (2014: 109)
“Kemandirian belajar disebut juga dengan Self Regulated Learning (SRL)”.
Menurut Lestari, Eka Karunia dan Mokhamad Ridwan Yudhanegara (2015: 94)
Self-regulated Learning atau kemandirian belajar adalah kemampuan memonitor,
meregulasi, mengontrol asfek kognisi, motivasi dan prilaku diri sendiri dalam
belajar.
Metode pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah Metode
Inkuiri Model Alberta menurut Donham (Alberta Learning, 2004: 10). Adapun
langkah-langkah dalam metode inkuiri model Alberta dimulai dari proses
refleksi dan proses untuk memecahkan suatu masalah. Refleksi dan proses
memecahkan masalah merupakan inti dari tahap-tahap pada proses
selanjutnya, yaitu: tahap merencanakan, mengingat, menyelesaikan, mencipta,
berbagi dan menilai. Pada tahap merencanakan (planning) mahasiswa dengan
bimbingan dari dosen merumuskan topik/tema yang ingin didiskusikan dari
suatu mata kuliah. Pada tahap mengingat (retrieving) mahasiswa menggali dan
aktif mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan topik diskusi. Pada
tahap menyelesaikan (processing) mahasiswa mengolah informasi yang didapat
sesuai dengan kebutuhan topik diskusi. Pada tahap mencipta (creating)
mahasiswa membuat format presentasi dengan menyusun informasi yang
dipilih ke dalam kata-kata sendiri. Pada tahap berbagi (sharing) dilakukan
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 15
diskusi kelas dengan bimbingan dari dosen apabila diperlukan. Sedangkan pada
tahap menilai (evaluating) mahasiswa bersama dengan dosen melakukan
evaluasi terhadap proses pembelajaran.
Selain metode inkuiri model alberta juga menggunakan model pembelajaran
dengan konvensional, dijelaskan oleh Ruseffendi (2010: 5.2), bahwa
pembelajaran matematika konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki
kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan daripada pengertian,
menekankan kepada keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada
proses, dan pengajaran yang berpusat pada guru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di Universitas Siliwangi pada mahasiswa
program studi pendidikan matematika angkatan 2015. Variabel bebasnya adalah
pembelajaran metode inkuiri model Alberta, variabel terikatnya kemampuan
koneksi matematik, komunikasi matematik dan kemandirian belajar. Maka desain
penelitian ini sebagai berikut.
O X1 O
O X2 O
Keterangan :
O
X1
X2
= Pretes/postes kemampuan koneksi matematik, komunikasi matematik
dan prescale/postcale kemandirian belajar mahasiswa.
= Pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri model Alberta.
= Pembelajaran dengan menggunakan konvensional
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program studi pendidikan
matematika Universitas Siliwangi angkatan 2015. Sampel penelitian dipilih secara
purposive sampling yaitu mahasiswa yang sudah terdaftar dengan kelasnya masing-
masing sebanyak dua kelas. Satu kelompok dijadikan sebagai kelompok eksperimen
ya i tu ke l as A dan satu kelompok dijadikan kelompok kontrol yaitu kelas F.
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa soal tes kemampuan koneksi dan
komunikasi matematik serta angket kemandirian. Tujuannya untuk mengetahui
kemampuan koneksi dan komunikasi matematik mahasiswa, bentuk soal yang digunakan
adalah uraian. Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah untuk mendapatkan
informasi yang diinginkan. Data yang telah diperoleh d a r i t e s k e m a m p u a n
k o n e k s i d a n k o m u n i k a s i m a t e m a t i k kemudian diolah sebagai berikut
dengan cara menghitung Gain ternormalisasi. Meltzer (2002) mengembangkan sebuah
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 16
alternatif untuk menjelaskan gain yang disebut normalized gain (gain ternormalisasi)
sebagai berikut:
Gain ternormalisasi = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑠𝑡𝑒𝑠−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑖𝑚𝑢𝑚−𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapat data dari hasil tes kemampuan koneksi, komunikasi
matematik dan angket kemandirian belajar mahasiswa. Data hasil gain kemampuan
koneksi di kelompok eksperimen dengan rata-rata 0,72 memiliki perubahan yang tinggi
dibanding dengan kelompok kontrol dengan rata-rata 0,58. Hasil analisis menunjukan
hasil uji shapiro Wilk nilai sig > 0,05 kedua kelompok/kelas, dengan itu dikatakan
berdistribusi normal. Uji Homogenitas dengan uji levene’s sebesar 0,159 > 0,05 berarti
terdapat kesamaan varians antar kelompok/ kelas.Berdasarkan uji independent samples
sebesar 0,005 < 0,05, artinya kelompok eksperimen lebih unggul dibandingkan kelompok
kontrol, maka peningkatan kemampuan koneksi matematika yang memperoleh
pembelajaran dengan metode shapiro Wilk inkuiri model alberta lebih baik dari pada
pembelajaran konvensional.
Gain kemampuan komunikasi di kelompok eksperimen dengan rata-rata 0,76 memiliki
perubahan yang tinggi dibanding dengan kelompok kontrol dengan rata-rata 0,58. Hasil
analisis menunjukkan hasil uji nilai sig > 0,05 kelompok eksperimen, sedangkan
kelompok kontrol nilai sig < 0,05 dengan itu dikatakan berdistribusi tidak normal. Karena
ada data yang tidak berdistribusi normal maka untuk menjawab rumusan masalah ke-2
dilakukan uji Mann witney U test. Uji Homogenitas dengan uji levene’s sebesar 0,15 >
0,05 berarti terdapat kesamaan varians antar kelompok/ kelas. Berdasarkan uji
independent samples sebesar 0,03 < 0,05, artinya kelompok eksperimen lebih unggul
dibandingkan kelompok kontrol, maka peningkatan kemampuan komunikasi matematika
yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri model alberta lebih baik dari pada
pembelajaran konvensional.
Peningkatan kemandirian belajar di kelompok eksperimen dengan rata-rata 0,57 memiliki
perubahan yang tipis dibanding dengan kelompok kontrol dengan rata-rata 0,55. Hasil
analisis menunjukkan hasil uji nilai sig > 0,05 kedua kelompok eksperimen dan kontrol
mempunyai nilai sig < 0,05 dengan itu dikatakan berdistribusi tidak normal. Uji
Homogenitas dengan uji levene’s sebesar 0,057 > 0,05 berarti terdapat kesamaan varians
antar kelompok/ kelas. Berdasarkan uji independent samples sebesar 0,03 < 0,05, artinya
kelompok eksperimen lebih unggul dibandingkan kelompok kontrol, maka peningkatan
kemandirian belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri
model alberta lebih baik dari pada pembelajaran konvensional.
Untuk mengetahui ada tidaknya asosiasi antara kemampuan pemahaman dan berpikir
kritis matematis peserta didik digunakan asosiasi kontingensi. Perhitungan asosiasi
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 17
kontingensi dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 23.0 for Windows, yaitu
Chi-square (𝑋2) Test for Independence, dengan taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil
perhitungan didapat pearson chi-square nilai sig nya 0,412 berarti > 0,05, maka dapat
dikatakan bahwa H0 diterima artinya tidak terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi
dan komunikasi matematik. Berdasarkan tabel tersebut nilai kontingensi yang didapat
adalah 0,332 termasuk kriteria rendah.
Asosiasi kemampuan koneksi matematika dengan kemandirian belajar mahasiswa
berdasarkan hasil perhitungan didapat pearson chi-square nilai sig nya 0,181 berarti >
0,05, maka dapat dikatakan bahwa H0 diterima artinya tidak terdapat asosiasi antara
kemampuan koneksi dan kemandirian belajar mahasiswa. Berdasarkan tabel tersebut nilai
kontingensi yang didapat adalah 0,404 termasuk kriteria cukup mendekati rendah.
Asosiasi kemampuan komunikasi matematik dan kemandirian belajar mahasiswa,
berdasarkan hasil perhitungan didapat pearson chi-square nilai sig nya 0,181 berarti >
0,05, maka dapat dikatakan bahwa H0 diterima artinya tidak terdapat asosiasi antara
kemampuan komunikasi dan kemandirian belajar mahasiswa. Berdasarkan tabel tersebut
nilai kontingensi yang didapat adalah 0,232 termasuk kriteria rendah.
Uraian tentang tes kemampuan secara keseluruhan memberikan gambaran bahwa
pembelajaran dengan metode inkuiri model Alberta dapat meningkatkan kemampuan
koneksi dan komunikasi serta kemandirian belajar mahasiswa. Temuan ini sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan Gani (2007) tentang kemampuan dengan model
pembelajaran inkuiri model Alberta menunjukkan adanya peningkatan kemampuan yang
signifikan setelah peserta didik mengikuti pembelajaran dengan metode inkuiri model
alberta. Hasil penelitian ini sejalan dengan Joyce (2009, dalam Sutawidjaja dan Afgani,
2011: 3.8) yang menyatakan bahwa kesadaran-kesadaran semangat peserta didik dalam
proses pembelajaran inkuiri dapat meningkat dan beriringan dengan itu mereka dapat
diajarkan tentang prosedur-prosedur ilmiah secara langsung.
Berdasarkan hasil perhitungan asosiasi bahwa terlihat ketiganya tidak terdapat asosiasi
hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang mempunyai kemampuan koneksi tinggi
tidak selalu mempunyai kemampuan komunikasi matematik yang tinggi pula, meskipun
hasilnya sedikit berbeda, jika dilihat dari indikator dari masing-masing kemampuan.
Begitu juga dengan mahasiswa yang mempunyai kemampuan koneksi rendah juga
mempunyai kemampuan komunikasi rendah juga.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari hasil penelitian adalah:1).Peningkatan kemampuan koneksi matematik
mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri model alberta lebih
baik daripada pembelajaran konvensional, 2).Peningkatan kemampuan komunikasi
matematik mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri model
alberta lebih baik daripada pembelajaran konvensional, 3).Peningkatan kemandirian
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 18
belajar mahasiswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode inkuiri model alberta
lebih baik daripada pembelajaran konvensional, 4).Tidak terdapat asosiasi antara
kemampuan koneksi matematik dan kemampuan komunikasi matematik mahasiswa, 5).
Tidak terdapat asosiasi antara kemampuan koneksi matematik dan kemandirian belajar
matematika mahasiswa, 6).Tidak terdapat asosiasi antara kemampuan komunikasi
matematik dan kemandirian belajar matematika mahasiswa.
Disarankan agar dengan model inkuiri model alberta sebagai alternatif model
pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan matematik, mendorong mahasiswa
agar dapat memperoleh penyelesaian yang berbeda setelah proses inkuiri suatu konsep
dalam proses perkuliahan, supaya terlihat tingkat partisipasi, keaktifan mahasiswa dan
gairah belajar yang dimiliki mahasiswa.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pihak LPPM-PMP yang
memeberi kesempatan dalam pelaksanaan penelitian yang dibiayai oleh Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sesuai
kontrak penelitian dengan nomor 100/SP2H/LT/DRPM/IV/2017.
DAFTAR PUSTAKA
Alberta Learning. (2004). Focus on Inquiry: A Teacher’s Guide to Implementing
Inquiry-Based Learning. Learning Resources Centre: Canada.
Bondan, Djamilah Widjajanti dan Wahyudin. (2010). Mengembangkan Kemampuan
Komunikasi Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika melalui Strategi
Perkuliahan Kolaboratif Berbasis Masalah. Makalah KMN Universitas
Negeri Yogyakarta.
Lestari, Eka Karunia dan Mokhamad Ridwan Yudhanegara. (2015). Penelitian
Pendidikan Matematika. Bandung: Refica Aditama.
Meltzer. David E. (2002). The relationship between mathematics preparation and
conceptual learning gains in physics: A possible ‘‘hidden variable’’ in diagnostic
pretest scores. Am. J.Phys. 70 (2) 1259-1267. [Online]. Tersedia:
http://www.physics.lastate.edu/per/does/Addendum_on_normalizedgain.pdf
Sumarmo, Utari. (2014). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta
Pembelajarannya. Makalah pada seminar Pendidikan Matematika. FPMIPA
http://www.physics.lastate.edu/per/does/Addendum_on_normalizedgain.pdf
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 19
Universitas Padjajaran. Bandung.
Wahyudin. (2012). Filsafat dan Model-Model Pembelajaran Matematika. Bandung:
Rizki Pres.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 20
EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
CREATIVE PROBLEM SOLVING (CPS) TERHADAP PENINGKATAN
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK MAHASISWA
Ratna Rustina1, Yeni Heryani2
Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi
E-mail: [email protected] , [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model pembelajaran Creatif Problem
Solving lebih efektif daripada model pembelajaran langsung dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa serta bagaimanakah kemampuan
pemecahan masalah matematik mahasiswa pada pembelajaran Creative Problem Solving
(CPS). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika Angkatan 2016 dan peneliti mengambil 2 kelas untuk dijadikan
sampel penelitian.Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi soal tes
kemampuan pemecahan masalah matematik. Analisis data menggunakan uji perbedaan
dua rata-rata. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) lebih efektif daripada model
pembelajaran langsung dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa, kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa pada model
pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) berada pada kategori sedang.
Kata Kunci: Model Pembelajaran Creative Problem Solving , Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematik
PENDAHULUAN
Matematika sebagai ilmu yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat
menjadi dasar yang penting untuk dapat mengatasi berbagai tantangan dan tuntutan
pada era perkembangan pengetahuan saat ini. Oleh karena itu, kemampuan
berpikir tingkat tinggi mahasiswa seperti kemampuan memecahkan masalah,
berargumentasi secara logis, bernalar, menjelaskan dan menjustifikasi,
memanfaatkan sumber informasi, berkomunikasi, bekerja sama, menyimpulkan
dari berbagai situasi, pemahaman konseptual, dan pemahaman prosedural, perlu
dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Sumarmo, Utari (2014)
menyatakan bahwa pembelajaran matematika sebaiknya memenuhi keempat pilar
pendidikan masa datang, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3)
learning to be dan (4) learning to live togheter in peace and harmony. Keempat
pilar ini bukan suatu urutan melainkan saling melengkapi satu dengan yang
lainnya.
Pada dasarnya kemampuan berpikir merupakan suatu karakteristik yang dianggap
penting oleh dunia pendidikan, khususnya di lingkungan pendidikan itu sendiri.
Menurut Sumarmo, Utari, (2013:196) “Jika ditinjau dari kekomplekan
mailto:[email protected]
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 21
aktivitasnya, kemampuan berpikir matematik dapat diklasifikasikan dalam dua
tingkatan yaitu: tingkatan rendah dan tingkatan tinggi”. Kemampuan berpikir
tingkat tinggi bersifat tidak rutin, lebih kompleks dan memerlukan kemampuan
matematik lain untuk melaksanakannya.
Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa dalam
memecahkan masalah matematik (soal cerita) masih rendah. Hal ini dapat
diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan Supriatna, Tatang (2010)
memberikan gambaran bahwa soal-soal pemecahan masalah matematik belum
dikuasai oleh responden. mahasiswa STKIP di Jawa Barat yang mampu menjawab
soal pemecahan masalah luas daerah segitiga adalah 38,4%. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa masih rendah.
Sementara itu, menurut Pehkonen (Wardani, Sri., 2010:35) “…pemecahan
masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika…”. Hal ini
dikarenakan masalah-masalah yang merupakan soal pemecahan masalah
umumnya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Seorang dosen dituntut untuk menggunakan model pembelajaran yang melibatkan
mahasiswa dalam belajar yang dapat mengaktifkan interaksi antara mahasiswa dan
dosen, mahasiswa dan mahasiswa, serta mahasiswa dan bahan pelajarannya. Salah
satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mendukung proses tersebut
adalah model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa yang
pembelajarannya menggunakan model Creative Problem Solving (CPS).
2. Apakah model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) lebih efektif
daripada model pembelajaran langsung dalam meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematik mahasiswa?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiwa pada model
pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).
2. Efektifitas model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dalam
meningkatkan kemempuan pemecahan masalah matematik mahasiswa.
Model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) merupakan suatu model
pembelajaran yang menekankan pada kemampuan pemecahan masalah secara
kreatif. Dalam model pembelajaran ini, mahasiswa dapat melakukan keterampilan
pemecahan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya, karena
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 22
dalam pemecahan masalah diperlukan proses berpikir bukan hanya menghafal
rumus tanpa berpikir. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Pepkin, Karen
(Nur, Adi 2009:3) yang mengemukakan “model pembelajaran Creative Problem
Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada keterampilan
pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas”.
Menurut Osborn (Huda, Miftahul (2014:298)) bahwa CPS sebagai metode untuk
menyelesaikan masalah secara kreatif. Hal ini sejalan dengan Shoimin, Aris
(2014:56) “Model CPS adalah suatu model pembelajaran yang melakukan
pemusaran pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah yang diikuti
oleh penguatan keterampilan. Berdasarkan uraian dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) menuntut agar mahasiswa dapat
melakukan keterampilan pemecahan masalah untuk dapat memilih dan
mengembangkan tanggapannya.
Pembelajaran matematika menggunakan Model pembelajaran Creative Problem
Solving (CPS) dapat membuat mahasiswa lebih aktif dan kreatif dalam
menciptakan solusi dari suatu masalah yang dihadapinya.
Dari uraian tersebut dan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)
merupakan salah satu model pembelajaran yang mengorientasikan kreatifitas
mahasiswa dalam menyelesaikam suatu permasalahan.
Pembelajaran langsung menekankan pada pembelajaran yang secara aktif dan
langsung difasilitasi oleh dosen. Pembelajaran ini juga melibatkan seluruh kelas
dalam hal target pembelajaran pada saat pembelajaran berlangsung, sesuai dengan
pendapat Suprijono, Agus (2013:56) menyatakan “Pembelajaran langsung atau
direct instruction dikenal dengan sebutan active learning. Pembelajaran langsung
juga dinamakan whole class teaching.”
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran langsung memiliki pola urutan kegiatan
yang sistematis untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh
dosen atau mahasiswa, agar pembelajaran langsung tersebut terlaksana dengan
baik. Urutan tersebut terdapat dalam fase-fase pada model pembelajaran langsung
menurut Depdiknas (2012:74) sebagai berikut: (1) Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan siswa, (2) mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan, (3)
Membimbing Pelatihan, (4) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik,
(5) Memberikan latihan dan penerapan kosepI
Pembelajaran langsung dapat dengan mudah dilaksanakan oleh dosen karena cara
penyampaiannya dosen adalah sebagai pusat perhatian dan mahasiswa tinggal
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 23
mengikuti pembelajaran, sehingga tidak membuat mahasiswa untuk lebih berperan
aktif.
Ruseffendi (2006:169) “Pemecahan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi
derajatnya dan lebih kompleks daripada pembentukan aturan”. Kemampuan
pemecahan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
membutuhkan pengetahuan awal untuk mendapatkan solusi lebih cepat.
Menurut Polya (Ratnaningsih, Nani, 2008:4) mengemukakan proses yang dapat
dilakukan pada tiap langkah pemecahan masalah melalui beberapa pertanyaan
berikut ini:
a. Langkah- langkah memahami masalah (understanding the problem)
- Apa yang diketahui atau apa yang ditanyakan?
- Data apa yang diberikan?
- Bagaimana kondisi soal? Mungkinkah kondisi ditanyakan dalam bentuk
permasalahan atau dalam hubungan lainnya? Apakah kondisi yang ditanyakan
cukup untuk mencari yang ditanyakan? Apakah kondisi ini tidak cukup atau
kondisi ini cukup berlebihan, atau kondisi itu saling bertentangan?
- Buatlah gambar atau situasi yang sesuai!
b. Langkah merencanakan penyelesaian (devising a plan)
- Pernahkah ada soal itu sebelumnya? Atau pernahkah ada soal yang sama atau
serupa dalam bentuk lain?
- Tahukan soal yang mirip dengan soal ini? Teori mana yang dapat
dipergunakan untuk menyelasaikan masalah ini?
- Perhatikan yang ditanyakan! Coba pikirkan soal yang diketahui dengan
pertanyaan yang sama atau serupa.
- Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman yang lama digunakan dalam
masalah sekarang? Dapatkah hasil metode yang lalu digunakan? Apakah harus
dicari unsur lain agar memanfaatkan unsur semula? Dapatkah menyatakan
dalam bentuk lain? Kembali pada definisi!
- Andaikan soal baru belumdapat diselesaikan coba pikirkan soal yang serupa
dan selesaikan!
c. Melakukan perhitungan (carring out the plan )
- Laksanakan rencana pemecahan, dan periksalah tiap langkahn ya! Periksalah
bahwa tiap langkah perhtungan sudah benar! Bagaimana membuktikan bahwa
langkah yang dipilih sudah benar?
d. Memeriksa kembali hasil (looking back)
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 24
- Bagaimana cara memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh? Dapatkah
diperiksa sanggahannya? Dapatkah dicari hasil itu dengan cara lain? Dapatkah
anda melihatnya secara sekilas?Dapatkah hasil itu atau cara itu digunakan
untuk soal- soal lainnya.
Langkah-langkah pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya, yakni, ada empat langkah
yaitu: memahami masalah (understanding the problem), membuat rencana
pemecahan (divising a plan), melakukan perhitungan (carrying out the plan), dan
memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif, yakni dengan melakukan
eksperimen terhadap dua kelas. Kelas dengan menggunakan model pembelajaran Creatif
Problem Solving sebagai kelas eksperimen dan pembelajaran langsung sebagai kelas
kontrol untuk melihat hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik.
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa soal tes kemampuan pemecahan masalah
matematik. Data yang diperoleh dari penelitian ini diolah untuk mendapatkan
informasiyang diinginkan. Data yang telah diperoleh kemudian diolah sebagai berikut
dengan cara menghitung Gain Score, indeks gain ini dihitung dengan rumus indeks gain
dari Meltzer, yaitu sebagai berikut.
𝑔 =𝑆𝑃𝑜𝑠𝑡 − 𝑆𝑃𝑟𝑒𝑆𝑀𝑎𝑘𝑠 − 𝑆𝑃𝑟𝑒
Keterangan:
𝑆𝑃𝑜𝑠𝑡 = Skor Posttest
𝑆𝑝𝑟𝑒= Skor pretest
𝑆𝑚𝑎𝑘𝑠= Skor maksimum
Untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematik dengan
mengklasifikasikan data kemampuan pemecahan masalah matematik ke dalam interval
skala 5 dengan tabel konversi modifikasi menurut Suherman, Erman (2003: 130) sebagai
berikut:
90%≤ 𝐴 ≤ 100% Istimewa, sangat baik 75%≤ 𝐵 < 90% Baik 55%≤ 𝐶 < 75% Sedang, Cukup 40%≤ 𝐷 < 55% Kurang 0% ≤ 𝐸 < 40% Jelek, Tidak lulus
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2017, diawali dengan pemberian
pretes kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas kontrol dan kelas
eksperimen mahasiswa angkatan 2016 pada mata kuliah kapita selekta matematika
pendidikan dasar. Sebelum dilaksanakan penelitan, terlebih dahulu dilaksanakan
uji coba instrumen yaitu dengan uji validitas yang diuji oleh 3 orang validator dari
ahli pendidikan matematika,
Setelah instrumen diketahui skor validitasnya, kemudian data dianalisis secara
deskriptip kuantitatif, yaitu menghitung persentase validitasnya
Instrumen dikatakan baik dan layak digunakan jika dinyatakan valid oleh
validator. Berdasarkan hasil validasi dari 3 orang validator didapatkan kriteria
sebesar 80% dan masuk dalam kriteria cukup valid, maka instrumen dapat
digunakan.
Pada pertemuan pertama, mahasiswa masih terlihat bingung dan kaku dalam
pembelajaran dengan model Creative Problem Solving (CPS). Namun, pada
pertemuan selanjutnya mahasiswa dapat mengikuti pembelajaran dengan lancar
dan aktif dalam diskusi kelompok di kelas. Mahasiswa saling bertukar informasi
dan pengetahuan selama diskusi berlangsung. Sejalan dengan pendapat Vygotsky
(Yati, Dedeh, 2014) menyatakan bahwa pembentukan dan pengembangan ilmu
pengetahuan terjadi melalui interaksi sosial.
Penelitian ini dilakukan selama satu semester, dimana sebelum dilaksanakan
pembelajaran dilakukan tes awal atau pretes. Hasil pretes menunjukan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa kelas eksperimen dan
kelas kontrol memiliki kemampuan awal yang sama. Selanjutnya, mahasiswa
diberikan postes untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa pada akhir pembelajaran.
Kemampuan pemecahan masalah matematik yang pembelajarannya menggunakan
model Cretive Problem Solving (CPS) berada pada kriteria baik. Hal ini
disebabkan karena ketercapaian nilai kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa sebanyak 72%.
Berdasarkan analisis pengujian terhadap hipotesis statistik dengan uji-t pada taraf
signifikasi 0,05 ternyata peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model Creative Problem
Solving (CPS) lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa yang mendapatkan pembelajaran langsung. Pembelajaran dengan
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 26
model Creative Problem Solving (CPS) lebih mengaktifkan mahasiswa dalam
proses berpikir dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Proses berpikir yang
dimaksud adalah melakukan investigasi dan eksplorasi, melakukan analisis,
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan situasi atau masalah, jawaban-
jawaban yang mungkin, mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan yang menjadi
solusi terbaik.
Hasil analisis statistik terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa menunjukan bahwa pembelajaran dengan model Creative Problem
Solving (CPS) dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik
mahasiswa dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Hal ini disebabkan
pembelajaran dengan model Creative Problem Solving (CPS) mahasiwa berperan
aktif dalam proses berpikir dibandingkan pembelajaran langsung. Dalam model
Creative Problem Solving (CPS) mahasiswa berperan aktif menyelesaikan
persoalan matematik dengan berlatih untuk memecahkan masalah, mengkontruksi
pemahamannya sendiri, menyajikan temuan dengan mengungkapkan proses yang
dilakukannya. Berdasarkan data tersebut diartikan bahwa model pembelajaran
Creative Problem Solving (CPS) efektif dalam meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematik mahasiswa.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian ini diperoleh simpulan bahwa
- Model Pembelajaran Creative Problem Solving lebih efektif daripada model
pembelajaran langsung dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematik mahasiswa
- Kemampuan pemecahan masalah matematik mahasiswa pada model
pembelajaran Creatiive Problem Solving (CPS) termasuk pada kriteria baik.
B. Saran
Setelah dilaksanakannya penelitian ini, peneliti menyarankan kepada peneliti
selanjutnya untuk menggunakan model pembelajaran yang bervariasi dan
menggali kemampuan berpikir matematik yang lainnnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 27
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada ketua LPPM-PMP Universitas
Siliwangi yang telah memberikan kesempatan melaksanakan penelitian yang
dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengembangan Kementrian Riset, teknologi,
dan Pendidikan Tinggi, Serta semua pihak yang telah membantu dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aris, Shoimin. (2014). Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Huda, Miftahul. (2014). Model-model Pengajaran dan Pembelajaran.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Rachmadi, Widdiharto. (2008). Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan
Alternatif Proses Remidinya. Yogyakarta. [online]. Tersedia:
http://p4tkmatematika.org/fasilitasi/22-diagnosis-kesulitan-belajar-maatematika-
smp-Rachmadt.pdf. [6 Januari 2012]
Ratnaningsih, Nani. (2008). Berbagai Keterampilan Berfikir Matematik. Makalah:
Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Universitas Siliwangi
Tasikmalaya pada Tanggal 8 Maret 2008.Tidak Diterbitkan.
Rosita, Ricca Cambera Nur. (2004). Analisis Kesulitan Siswa dalam Memecahkan
Masalah Soal Cerita Menurut Polya. [online].
Tersedia:http://mcdens13.files.wordpress.com/2010/03/bab-i-polya.doc. [6 Januari
2012]
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung : Tarsito.
Seherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA-Universitas
pendidikan Indonesia (UPI)
Sumarmo, Utari. (2006). Berpikir Matematika Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana. Dikembangkan Pada Siswa Sekolah Menegah dan MahasiswaCalon
Guru Matematika. (Makalah). Jurusan FMIPA UNPAD.
Sumarmo, Utari. (2013). “Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis, Kritis, dan Kreatif
Matematika”. Berpikir dan Disposisi Matematika Serta
Pembelajarannya .Bandung. Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriatna, Tatang. (2010). Disain Didaktis Bahan Ajar Pemecahan Masalah Matematis
Luas Daerah Segitiga. Tesis. [online].
http://mcdens13.files.wordpress.com/2010/03/bab-i-polya.doc.%20%5b6
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 28
Tersedia:http://eduklinik.info/2011/12/06/disain-didaktis-bahan-ajar-pemecahan-
masalah-matematis-luas-daerah-segitiga/. [6 Januari 2012]
Wardani, Sri. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah, Kreativitas
Matematik, dan Kemandirian Belajar Siswa Melalui Pembelajaran Multimedia
Interaktif. Artikel : PSPM FKIP UNSIL.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 29
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BAHAN AJAR BERBASIS MASALAH PADA
PERKULIAHAN KAPITA SELEKTA MATEMATIKA PENDIDIKAN DASAR
Yeni Heryani1, Ratna Rustina2
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan bahan ajar berbasis
masalah pada mata kuliah kapita selekta matematika pendidikan dasar, mengetahui self
regulated learning dalam menggunakan bahan ajar berbasis masalah. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Angkatan
2016 dan peneliti mengambil 1 kelas untuk dijadikan subjek penelitian. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi soal tes hasil belajar dan angket self regulated
learning. Tes hasil belajar dan angket dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil
analisis data diperoleh hasil bahwa penggunaan bahan ajar berbasis masalah dalam
perkuliahan Kapita Selekta Matematika Pendidikan Dasar efektif, karena 72% mahasiswa
memperoleh nilai paling sedikit 70 dan self regulated learning dalam menggunakan
bahan ajar berbasis masalah berada pada kategori tinggi.
Kata Kunci : Bahan ajar, Berbasis masalah, Self Regulated Learning.
PENDAHULUAN
Kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa pada mata kuliah Kapita Selekta
Matematika Pendidikan Dasar adalah mahasiswa mampu memahami dan
mengaplikasikan konsep-konsep yang dipelajari untuk menyelesaikan masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Ketercapain setiap kompetensi didukung oleh
banyak factor, salah satunya adalah penggunaan bahan ajar. Ketidakpahaman
mahasiswa terhadap penyajian materi menyebabkan mahasiswa kurang
termotivasi untuk belajar mandiri untuk menyelesaikan permasalahan sehingga
hasil belajar mahasiswa kurang maksimal, sedangkan mahasiswa dituntut untuk
mengkonstruksikan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya melalui proses
menemukan, mempelajari dan menerapkan sendiri materi yang diperolehnya
sehingga pembelajaran akan terasa lebih bermakna.
Bahan ajar merupakan serangkaian materi pembelajaran yang terdiri dari
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dipelajarai oleh mahasiswa dalam
rangka mencapai kompetensi. Hamid (2009 : 212) menyatakan bahwa bahan ajar
adalah salah satu aspek yang harus ada dalam suatu proses pembelajaran karena
bahan ajar merupakan sumber dosen dan mahasiswa dalam melakukan suatu
proses pembelajaran. Bahan ajar yang digunakan selama ini kurang memfasilitasi
mailto:[email protected]
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 30
mahasiswa dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah, padahal dosen
memiliki banyak ide yang belum terealisasikan dalam bentuk bahan ajar.
Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana efektivitas penggunaan bahan ajar berbasis masalah pada
perkuliahan Kapita Selekta Matematika Pendidikan Dasar?
2. Bagaimana Self Regulated Learning mahasiswa dalam menggunakan bahan ajar
berbasis masalah?
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui:
1. Efektifitas penggunaan bahan ajar berbasis masalah pada mata kuliah kapita
selekta matematika pendidikan dasar.
2. Self Regulated learning dalam menggunakan bahan ajar berbasis masalah.
Manfaat Penelitian ini yaitu:
1. Memberikan wawasan kepada mahasiswa tentang cara pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar berbasis masalah.
2. Memberikan dampak perubahan pada proses pembelajaran yang dilaksanakan
oleh dosen di dalam kelas.
Pengelompokkan bahan ajar dilakukan dengan beberapa cara oleh beberapa ahli.
Menurut Setiawan (2007: 1.7) bahan ajar dikelompokkan kedalam dua kelompok
besar yaitu bahan ajar cetak dan non cetak. Bahan ajar cetak terdiri dari modul,
hand out, dan lembar kerja. Bahan ajar non cetak yaitu video, audio, bahan ajar
display, dan internet.
Beberapa jenis bahan ajar di atas, masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Bahan ajar cetak mempunyai kulitas penyampaian yang baik,
misalnya dapat menyajikan kata-kata, angka-angka, gambar dan lainnya.
Pengunaan bahan ajar cetak bersifat self-sufficient artinya dapat digunakan
langsung atau tidak diperlukan alat lain untuk menggunakannya. Bahan ajar cetak
juga memiliki beberapa kekurangan yaitu tidak mampu mempresentasikan
gerakan, penyajian materi bersifat linear, dan sulit memberikan bimbingan kepada
pembacanya.
Bahan ajar non cetak juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Bahan
ajar non cetak sekarang ini marak tersedia di pasaran, jadi sangat mudah untuk
mendapatkannya, namun dalam menggunakan bahan ajar non cetak ini pengguna
harus mempunyai alat lain untuk menunjang pemakainnya, misalnya internet,
harus mempunyai perangkat computer yang lengkap untuk dapat mengaksesnya.
Itulah beberapa kelebihan dan kekurangan bahan ajar cetak maupun non cetak.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 31
Siddiq (2008:29) menjelaskan bahwa jenis bahan ajar dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu:
1. Bahan ajar berbentuk media visual, seperti gambar, foto, peta, globe, dsb.
2. Bahan ajar audio, seperti radio, CD. Kaset rekaman, piringan hitam, dsb.
3. Bahan ajar audio-visual, seperti televise, film, video, dsb.
4. Bahan ajar dalam bentukbenda-benda nyata yang dapat diperoleh dari
lingkungan sekitar.
5. Bahan ajar cetak, seperti buku, modul, surat kabar, LKM (Lembar kerja
Mahasiswa).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan terjemahan dari kata problem based
learning (PBL). Stepien dan Gallagher (2003:1) mengemukakan bahwa
pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pengembangan pembelajaran
dan sistem pengantar yang memperkenalkan kebutuhan untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah untuk membantu peserta didik untuk
memperoleh pengetahuan dan kemampuan yang sedang dipelajarinya. Sedangkan
Fogarty (2002: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah
model pembelajaran yang didesain berdasarkan pada masalah yang ada di
kehidupan nyata, yaitu masalah tidak terstruktur, open-ended, atau tidak rutin.
Dalam pembelajaran berbasis masalah, mahasiswa mendapatkan kemampuan
belajar yang tahan lama, yang meliputi kemampuan untuk menemukan dan
menggunakan sumber belajar yang tepat. Proses pembelajaran tidak lagi
dipandang sebagai proses dosen yang memberikan banyak informasi kepada
mahasiswa melalui pengulangan dan penguatan. Akan tetapi, guru hanya berperan
sebagai fasilitator. Hal itu dilakukan dengan memberikan pengarahan dan
bimbingan kepada mahasiswa dalam proses pemecahan permasalahan yang
mereka hadapi sehingga dapat menghasilkan dan mengembangkan kemampuan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Tujuannya adalah agar mahasiswa
dapat menggunakan pengetahuan yang telah ia miliki untuk memecahkan
persoalan dan tugas baru, mendapatkan informasi baru serta membangun
pemahaman sendiri. Ismail (2002: 18) mengemukakan bahwa pembelajaran
berbasis masalah bertujuan untuk mengembangkan peserta didik agar dapat:
a. Mendefinisikan masalah dengan jelas,
b. Mengembangkan jawaban alternatif/membangun hipotesis,
c. Menerima, mengevaluasi, dan menggunakan data dari sumber yang bervariasi,
d. Mengubah jawaban menjadi informasi baru,
e. Mengembangkan solusi yang jelas sesuai dengan masalah atau kondisi yang
seharusnya berdasarkan informasi dan penjelasan dengan alasan yang jelas.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 32
Pernyataan atau masalah yang diberikan dalam pembelajaran berbasis masalah
(PBM) merupakan masalah kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri dari
pembelajaran berbasis masalah. Ibrahim dan Nur (2000: 5) mengemukakan ciri-
ciri pembelajaran berbasis masalah antara lain adalah:
a. Pengajuan pertanyaan masalah
b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
c. Penyelidikan autentik
Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan peserta didik melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
a. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran berbasis masalah menuntut peserta didik untuk menghasilakn
produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau alternatif dari peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temui.
b. Kerjasama
Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh peserta didik yang bekerja
sama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok
kecil.
Pribadi yang dapat mengontrol diri sendiri dan berusaha sendiri adalah pribadi
yang mandiri. Hal ini sejalan dengan Badura (Sumarmo, Utari, 2014:110)
“Kemandirian belajar sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri, dan
merupakan kerja keras personalita manusia”. Dalam Self Regulated Learning
terdapat langkah-langkah dalam melaksanakan kemandirian. Seperti yang
dikemukakan Badura (Sumarmo, Utari, 2014:110) menyarankan tiga langkah
dalam melaksanakan kemandirian belajar, yaitu: “mengamati dan mengawasi diri
sendiri, membandingkan posisi diri dengan standar tertentu, dan memberikan
respon sendiri (respons positif dan respons negatif)”. Dari ketiga langkah tersebut
kita akan mengetahui sejauh mana kemandirian peserta didik dalam belajar.
Peserta didik yang dapat mengembangkan kemampuan kemandirian belajar, akan
terlihat perbedaannya seperti yang dikemukakan Yang (Sumarmo, Utari, 2014,
110) bahwa Peserta didik yang memiliki SRL tinggi memiliki : cenderung belajar
lebih baik dalam pengawasannya sendiri dari pada pengawasan program, mampu
memantau, mengevaluasi dan mengatur belajarnya secara efektif, menghemat
waktu dalam menyelesaikan tugasnya, dan mengatur waktu dan jadwalnya secara
efisien. Selain memiliki karakteristik, kemandirian belajar juga memiliki indikator.
Indikator kemandirian belajar menurut Sumarmo, Utari (2014, 112) yakni :
Inisiatif dan motivasi belajar instrinsik; Kebiasaan mendiagnosa kebutuhan
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 33
belajar; Menetapkan tujuan/target belajar; Memonitor, mengatur, dan mengontrol
belajar; Memandang kesulitan sebagai tantangan; Memanfaatkan dan mencari
sumber yang relevan; Memilih, menerapkan strategi belajar; Mengevaluasi proses
dan hasil belajar; Self efficacy/konsep diri/ kemampuan diri.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada penelitian ini adalah metode eksperimen untuk mengetahui
Efektivitas penggunaan bahan ajar berbasis masalah pada mata kuliah kapita selekta
matematika pendidikan dasar serta Self Regulated learning dalam menggunakan bahan
ajar berbasis masalah.
Langkah – langkah penelitian tersebut dapat disajikan dalam diagram berikut ini:
Tahap pendefinisian (define)
a. Mengkaji silabus
b. Mengkaji dan mereviu buku rujukan
c. Mempelajari karakteristik mahasiswa
d. Melakukan diskusi dengan teman sejawat
Tahap selanjutnya menyusun bahan ajar kemudian bahan ajar divalidasi oleh ahli,jika
tidak valid maka diadakan revisi baik dari segi isi maupun strukturnya. Subjek Penelitian
ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika angkatan 2016 yang
terdaftar mengambil mata kuliah kapita selekta matematika pendidikan dasar. Data yang
diperoleh dari tes hasil belajar dianalisis dengan menggunakan perhitungan persentase
mahasiswa yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Pengembangan bahan ajar ini
dikatakan efektif jika lebih dari 70% mahasiswa mendapatkan nilai 70 – 100. Angket Self
Regulated Learning (SRL) Tahapan perhitungan angket kemandirian kategori Sangat
Sering (SS), Sering (S), Kadang – Kadang (K),Jarang (J), dan Jarang Sekali (JS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2017, diawali dengan menyiapkan
instrument yang berupa bahan ajar dengan berpedoman pada silabus dan bahan ajar yang
memiliki karakteristik berbasis masalah serta angket Self Regulated Learning. Bahan ajar
dan angket yang sudah dibuat kemudian divalidasi oleh 2 orang ahli sebagai
pertimbangan kelayakan bahan ajar dan angket tersebut. Instrumen dikatakan baik
dan layak digunakan jika dinyatakan valid oleh validator. Berdasarkan hasil validasi dari
2 orang validator didapatkan kriteria sebesar 80% dan masuk dalam kriteria cukup valid,
maka instrumen dapat digunakan. Meskipun bahan ajar dan sudah dinyatakan layak untuk
digunakan, tetapi masih ada sedikit perbaikan untuk menyempurnakan bahan ajar dan
angket tersebut baik dari segi konstruk maupun isinya. Oleh karena itu peneliti melakukan
revisi bahan ajar sesuai dengan yang didapat dari validator. Setelah selesai merevisi maka
bahan ajar diberikan pada mahasiswa pada proses pembelajaran mata kuliah Kapita
Selekta Pendidikan Dasar. Langkah penelitian selanjutnya pada akhir proses
pembelajaran, peneliti menyebarkan angket Self Regulated Learning pada mahasiswa
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 34
untuk mengetahui kemandirian mahasiswa selama pembelajaran dengan menggunakan
bahan ajar berbasis masalah. Berdasarkan hasil analisis data angket maka diperoleh hasil
bahwa mahasiswa memiliki kemandirian pada kriteria sedang pada pembelajaran dengan
menggunakan bahan ajar berbasis masalah. Data perhitungan lebih lengkap terlampir.
Efektivitas bahan ajar berbasis masalah dapat diketahui dari hasil belajar peserta didik
melalui tes yang dilakukan pada pertemuan terakhir pembelajaran.
Efektivitas penggunaan bahan ajar berbasis masalah dapat diketahui dari hasil belajar
mahasiswa setelah mengalami pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar berbasis
masalah.
Dari hasil analisis data diperoleh hasil bahwa penggunaan bahan ajar berbasis masalah
dalam perkuliahan Kapita Selekta Matematika Pendidikan Dasar efektif, karena 72%
mahasiswa memperoleh nilai paling sedikit 70. Hal ini disebabkan karena bahan ajar
mengandung ilustrasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang dapat membantu
mahasiswa untuk lebih memahami manfaat matematika dalam kehidupan, serta
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk membangun pengetahuannya sendiri
dan menemukan konsep-konsep yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil analisis data angket
keseluruhan, diperoleh skor rata-rata Self Regulated Learning yang pembelajarannya
menggunakan bahan ajar berbasis masalah sebesar 113,50. Artinya Self Regulated
Learning yang pembelajarannya menggunakan bahan ajar berbasis masalah berada pada
kategori tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Penggunaan bahan ajar berbasis
masalah dalam perkuliahan Kapita Selekta Matematika Pendidikan Dasar efektif, karena
72% mahasiswa memperoleh nilai paling sedikit 70. Self Regulated Learning yang
pembelajarannya menggunakan bahan ajar berbasis masalah berada pada kategori tinggi.
Peneliti menyarankan bahan ajar berbasis masalah yang dikembangkan baru melalui
tahap evaluasi, sehingga disarankan pada peneliti selanjutnya yang akan
mengimplementasikan bahan ajar berbasis masalahi untuk melakukan evaluasi lebih
lanjut agar bahan ajar berbasis masalah ini benar-benar teruji.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ketua LPPM-PMP Universitas Siliwangi
yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian dosen muda yang
dibiayai oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas Siliwangi
Sesuai dengan Surat Penugasan Pelaksanaan Program Penelitian Nomor:
1329/UN58/PP/2017, Tanggal 10 April 2017, serta semua pihak yang telah membantu
dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR RUJUKAN
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 35
Fogarty, R. (2002) Problem Based Learning and Other Curriculum Models for the
Multiple Intelligences Classroom. Australia: Hawker Brownlow Education
Ibrahim, M. & Nur, M. (2000) Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya. UNESA
University Press
Ismail. (2002). Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based lnstruction).Makalah
disajikan pada pelatihan TOT pembelajaran kontekstual. Surabaya.
Siddiq, D, dkk. (2008). Pengembangan Bahan Ajar SD. Jakarta : Depdiknas
Sumarmo, Utari. (2014). Kumpulan Makalah Berpikir dan Disposisi Matematika serta
Pembelajarannya. Makalah pada seminar Pendidikan Matematika. FPMIPA
Universitas Padjajaran. Bandung.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika (SNPM) Uninus 2017
pg. 36
PENGARUH PENGGUNAAN BUKU TEKS DENGAN PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME
Hamdunah1, Alfi Yunita2, Anny Sovia3 1,2,3Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat
Abstrak
Matematika dasar merupakan mata kuliah wajib pada program studi pendidikan biologi
di STKIP PGRI Sumatera Barat. Rendahnya hasil belajar matematika dasar mahasiswa,
belum adanya buku teks yang menunjang mahasiswa untuk membangun pengetahuannya,
dan mahsiswa belum aktif dalam pembelajaran merupakan latar belakang dilakukannya
penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunakan buku teks
dengan pendekatan konstruktivisme terhadap hasil be