Upload
michael-prayogo
View
206
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ResponsiLimfadenitisLimfadenopatiFK UHTSTASE BEDAHRSU HAJISURABAYA
Citation preview
RESPONSI
LIMFADENITIS
Pembimbing :
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, SpB.FINACS(K)TRAUMA. FICS
Disusun oleh:
Michael Prayogo (2009.04.0.0012)
Findrilia Sanvira S (2009.04.0.0014)
SMF BEDAH RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2015
i
LEMBAR PEGESAHAN
RESPONSI LIMFADENITIS
Responsi kasus dengan judul LIMFADENITIS telah diperiksa
dan disetujui sabagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
program pendidikan profesi dokter di bagian Ilmu Bedah yang dilakukan di
RSU Haji Surabaya.
Surabaya, Februari 2015
Pembimbing
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, SpB.FINACS(K)TRAUMA. FICS
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hadirat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
respons kasusi yang berjudul Lymphadenitis.
Penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pembimbing, terutama kepada Dr. dr. Koernia Swa Oetomo,
SpB.FINACS(K)TRAUMA. FICS terima kasih atas bimbingan, saran,
petunjuk dan waktunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis terbuka untuk menerima kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan penulisan selanjutnya.
Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Penulis, Februari 2015
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... i
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................... 2
2.1. Kelenjar Getah Bening Normal .................................... 2
2.2 Definisi .......................................................................... 4
2.3 Etiologi ......................................................................... 6
2.4 Epidemiologi ............................................................... 13
2.5 Patofisiologi ................................................................ 14
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................ 14
2.7 Diagnosis ................................................................... 16
2.8 Penatalaksanaan ........................................................ 23
BAB III. TINJAUAN KASUS..................................... ........................ 25
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 33
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar getah bening/KGB adalah organ berbentuk oval dari
sistem limfatik, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk
ketiak dan perut dan dihubungkan oleh pembuluh limfatik. Fungsi utama
KGB adalah sebagai penyaring (filtrasi) dari berbagai mikroorganisme
asing dan partikel-partikel akibat hasil dari degradasi sel-sel atau
metabolisme (Sutoyo,2010).
Pembesaran KGB dapat dibedakan menjadi pembesaran KGB
lokal (limfadenopati lokalisata) dan pembesaran KGB umum
(limfadenopati generalisata). Limfadenopati lokalisata didefinisikan
sebagai pembesaran KGB hanya pada satu daerah saja, sedangkan
limfadenopati generalisata apabila pembesaran KGB pada dua atau lebih
daerah yang berjauhan dan simetris (Sutoyo,2010).
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening, sedangkan limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan
pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher
disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah
yang biasanya paling sering terjadi (Sutoyo, 2010).
Penatalaksanaan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada
penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan
sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi
(Sutoyo,2010).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelenjar Getah Bening Normal
Kelenjar getah bening/KGB adalah organ berbentuk oval dari
sistem limfatik, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh termasuk
ketiak dan perut dan dihubungkan oleh pembuluh limfatik
(Wikipedia,2015).
Gambar 1. Lokasi kelenjar getah bening (KGB).
Dikutip darii: Sahai S. 2013, Lymphadenopathy. Pediatrics in Review 2013;34;216
Secara anatomi aliran getah bening aferen masuk ke dalam KGB
melalui simpai (kapsul) dan membawa cairan getah bening dari jaringan
sekitarnya dan aliran getah bening eferen keluar dari KGB melalui hilus.
Cairan getah bening masuk kedalam kelenjar melalui lobang-lobang di
simpai. Di dalam kelenjar, cairan getah bening mengalir dibawah simpai di
dalam ruangan yang disebut sinus perifer yang dilapisi oleh sel endotel
(Sutoyo,2010).
3
Gambar 2. Skema kelenjar getah bening (KGB).
Dikutip dari: http://www.droid.cuhk.edu.hk/web/specials/lymph_nodes/
lymph_nodes. htm
Jaringan ikat trabekula terentang melalui sinus-sinus yang
menghubungkan simpai dengan kerangka retikuler dari bagian dalam
kelenjar dan merupakan alur untuk pembuluh darah dan syaraf
(Sutoyo,2010).
Dari bagian pinggir cairan getah bening menyusup kedalam sinus
penetrating yang juga dilapisi sel endotel. Pada waktu cairan getah bening
di dalam sinus penetrating melalui hilus, sinus ini menempati ruangan
yang lebih luas dan disebut sinus meduleri. Dari hilus cairan ini
selanjutnya menuju aliran getah bening eferen (Sutoyo,2010).
Pada dasarnya limfosit mempunyai dua bentuk, yang berasal dari
sel T (thymus) dan sel B (bursa) atau sumsum tulang. Fungsi dari limfosit
B dan sel-sel turunanya seperti sel plasma, imunoglobulin, yang
berhubungan dengan humoralimmunity, sedangkan T limfosit berperan
terutama pada cell-mediated immunity (Sutoyo,2010).
Terdapat tiga daerah pada KGB yang berbeda: korteks, medula,
parakorteks, ketiganya berlokasinya antara kapsul dan hilus. Korteks dan
medulla merupakan daerah yang mengandung sel B, sedangkan daerah
parakorteks mengandung sel T (Sutoyo,2010).
4
Dalam korteks banyak mengandung nodul limfatik (folikel), pada
masa postnatal, biasanya berisi germinal center. Akibatnya terjadi
stimulasi antigen, sel B didalam germinal centers berubah menjadi sel
yang besar, inti bulat dan anak inti menonjol. Yang sebelumnya dikenal
sebagai sel retikulum, sel-selnya besar yang ditunjukan oleh Lukes dan
Collins (1974) sebagai sel noncleaved besar, dan sel noncleaved kecil.
Sel noncleaved yang besar berperan pada limfopoiesis atau berubah
menjadi immunoblas, diluar germinal center, dan berkembang didalam sel
plasma (Sutoyo,2010).
Fungsi utama KGB adalah sebagai penyaring (filtrasi) dari berbagai
mikroorganisme asing dan partikel-partikel akibat hasil dari degradasi sel-
sel atau metabolisme (Sutoyo,2010).
2.2. Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening, sedangkan limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan
pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher
disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah
yang biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa
latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Infeksi M.tuberculosis pada kulit
disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur
dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M.tuberkulosis
yang disebut dengan scrofuloderma (Sutoyo,2010).
Pembesaran KGB dapat dibedakan menjadi pembesaran KGB
lokal (limfadenopati lokalisata) dan pembesaran KGB umum
(limfadenopati generalisata). Limfadenopati lokalisata didefinisikan
sebagai pembesaran KGB hanya pada satu daerah saja, sedangkan
limfadenopati generalisata apabila pembesaran KGB pada dua atau lebih
daerah yang berjauhan dan simetris. Ada sekitar 300 KGB di daerah
kepala dan leher, gambaran lokasi terdapatnya KGB pada daerah kepala
dan leher adalah sebagai berikut: (Sutoyo,2010)
5
Site of Local Lymphadenopathy and Accociated Disease
Dikutip darii: Sahai S. 2013, Lymphadenopathy. Pediatrics in Review
2013;34;216
6
Gambar 3. Skema kelenjar Limfadenipati
Dikutip dari: Sutoyo, 2010
2.3. Etiologi
Penyebab yang paling sering limfadenopati adalah (Sutoyo,2010).:
2.3.1 Infeksi
Infeksi virus
Infeksi yang disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan
bagian atas seperti Rinovirus, Parainfluenza Virus, influenza
Virus,Respiratory Syncytial Virus (RSV), Coronavirus, Adenovirus ataupun
Retrovirus (Sutoyo,2010).
Virus lainnya Ebstein Barr Virus (EBV), Cytomegalo Virus (CMV),
Rubela, Rubeola, Varicella-Zooster Virus, Herpes Simpleks Virus,
Coxsackievirus, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Sutoyo,2010).
Infeksi HIV sering menyebabkan limfadenopati servikalis yang
merupakan salah satu gejala umum infeksi primer HIV. Infeksi primer atau
akut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang pada beberapa
hari atau minggu setelah tertular HIV. Gejala lain termasuk demam dan
7
sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap penyakit flu (influenza
like illness) (Sutoyo,2010).
Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar
dari darah. Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik untuk bersembunyi
dan menggandakan diri dalam sel di KGB, diperkirakan hanya sekitar 2%
virus HIV ada dalam darah. Sisanya ada pada sistem limfatik, termasuk
limpa, lapisan usus dan otak (Sutoyo,2010).
Pada penderita HIV positif, aspirat KGB dapat mengandung
immunoblas yang sangat banyak. Pada beberapa kasus juga tampak sel-
sel imatur yang banyak. Pada fase deplesi, pada aspirat sedikit dijumpai
sel folikel, immunoblas dan tingible body macrophage, tetapi banyak
dijumpai sel-sel plasma (Sutoyo,2010).
Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized
Lymphadenopathy/ PGL) adalah limfadenopati pada lebih dari dua tempat
KGB yang berjauhan, simetris dan bertahan lama. PGL adalah gejala
khusus infeksi HIV yang timbul pada lebih dari 50% Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan PGL ini sering disebabkan oleh infeksi HIV-nya itu
sendiri (Sutoyo,2010).
PGL biasanya dialami waktu tahap infeksi HIV tanpa gejala,
dengan jumlah CD4 di atas 500, dan sering hilang bila kadar CD4
menurun hingga kadar CD4 200. Kurang lebih 30% orang dengan PGL
juga mengalami splenomegali (Sutoyo,2010).
Batasan limfadenopati pada infeksi HIV adalah sebagai berikut
(Sutoyo,2010).:
Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening
Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1
cm dalam setiap kelompok
Berlangsung lebih dari satu bulan
Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya
Pembengkakan kelenjar getah bening bersifat tidak sakit, simetris
dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah
rahang bawah, di ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk di inguinal.
8
Biasanya kulit pada kelenjar yang bengkak karena PGL akibat HIV tidak
berwarna merah. Kelenjar yang bengkak kadang kala sulit dilihat, dan
lebih mudah ditemukan dengan cara menyentuhnya. Biasanya kelenjar ini
berukuran sebesar kacang polong sampai sebesar buah anggur
(Sutoyo,2010).
Infeksi bakteri
Peradangan KGB (limfadenitis) dapat disebabkan Streptokokus
beta hemolitikus Grup A atau stafilokokus aureus. Bakteri anaerob bila
berhubungan dengan caries dentis dan penyakit gusi, radang apendiks
atau abses tubo-ovarian (Sutoyo,2010).
Dikutip dari: Sutoyo,2010.
9
Pada awal infeksi, aspirat mengandung campuran neutrofil dan
limfosit. Kemudian mengandung bahan pirulen dari neutrofil dan massa
debris. Limfadenitis bakterial akut biasanya menyebabkan KGB berwarna
merah, panas dan nyeri tekan. Biasanya penderita demam dan terjadi
leukositosis neutrofil pada pemeriksaan darah tepi (Sutoyo,2010).
Pada infeksi oleh Mikobakterium tuberkulosis, aspirat tampak
karakteristik sel epiteloid dengan latar belakang limfosit dan sel plasma.
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Sel epiteloid berupa sel bentuk poligonal yang lonjong
dengan sitoplasma yang pucat, batas sel yang tidak jelas, kadang seperti
koma atau inti yang berbentuk seperti bumerang yang pucat, berlekuk
dengan kromatin halus (Sutoyo,2010)..
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,
perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini
pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional dihilus,
dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi
di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 4 minggu
setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan
membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB
dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon.
Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional
disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam
tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap
basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan
10
hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit (Sutoyo,2010).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang
sudah memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer.
Adanya imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat
daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa).
Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat
menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke
semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal
merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim
paru (Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih
dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring
setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil
TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan
dibawa ke kelenjar limfe di leher (Sutoyo,2010).
Gambar 4. Limfadenitis granulomatosa. Tampak sel epiteloid
pada aspirat penderita limfadenitis tuberkulosis.
Sumber gambar: Koss Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006(5):1195
11
2.3.2 Keganasan
Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma
dan limfoma juga dapat menyebabkan limfadenopati. Diagnosis defenitif
suatu limfoma membutuhkan tindakan biopsi eksisi, oleh karena itu
diagnosis subtipe limfoma dengan menggunakan biopsi aspirasi jarum
halus masih merupakan kontroversi. Aspirat Limfoma non-Hodgkin berupa
populasi sel yang monoton dengan ukuran sel yang hampir sama.
Biasanya tersebar dan tidak berkelompok. (Koss,2006).
Diagnostik sitologi Limfoma Hodgkin umumnya dibuat dengan
ditemukannya tanda klasik yaitu sel Reed Sternberg dengan latar
belakang limfosit, sel plasma, eosinofil dan histiosit. Sel Reed Sternberg
adalah sel yang besar dengan dua inti atau multinucleated dengan
sitoplasma yang banyak dan pucat (Koss,2006).
Gambar 5. Limfoma Hodgkin. Tampak sel Reed Sternberg
klasik dengan atar belakang limfosit dan eosinofil.
Sumber gambar: Koss Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006(5):1196
Metastasis karsinoma merupakan penyebab yang lebih umum dari
limfadenopati dibandingkan dengan limfoma, khususnya pada penderita
usia lebih dari 50 tahun. Dengan teknik biopsi aspirasi jarum halus lebih
mudah mendiagnosis suatu metastasis karsinoma daripada limfoma
(Koss,2006).
12
Gambar 5. Metastasis keratinizing squomous cell carcinoma.
Tampak sel-sel yang mengalami keratinisasi pada aspirat dari
penderita karsinoma laring.
Sumber gambar: Koss Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006(5):1197
2.3.3 Penyebab Lain
Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati
adalah penyakit Kawasaki, penyakit Kimura, penyakit Kikuchi, penyakit
Kolagen, penyakit Cat-scratch, penyakit Castleman, Sarcoidosis,
Rhematoid arthritis dan Sisestemic lupus erithematosus (SLE)
(Sutoyo,2010).
Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata.
Limfadenopati dapat timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti
fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol,
captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin,
pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac). Imunisasi dilaporkan juga
dapat menyebabkan limfadenopati di daerah leher, seperti setelah
imunisasi DPT, polio atau tifoid (Sutoyo,2010).
Meskipun demikian, masing-masing penyebab tidak dapat
ditentukan hanya dari pembesaran KGB saja, melainkan dari gejala-gejala
lainnya yang menyertai pembesaran KGB tersebut (Sutoyo,2010).
13
2.4 Epidemiologi
Insiden limfadenopati belum diketahui dengan pasti. Sekitar 38%
sampai 45% pada anak normal memiliki KGB daerah servikal yang teraba.
Limfadenopati adalah salah satu masalah klinis pada anak-anak. Pada
umumnya limfadenopati pada anak dapat hilang dengan sendirinya
apabila disebabkan infeksi virus (Sutoyo,2010).
Studi yang dilakukan di Amerika Serikat, pada umumnya infeksi
virus ataupun bakteri merupakan penyebab utama limfadenopati. Infeksi
mononukeosis dan cytomegalovirus (CMV) merupakan etiologi yang
penting, tetapi kebanyakan disebabkan infeksi saluran pernafasan bagian
atas. Limfadenitis lokalisata lebih banyak disebabkan infeksi
Staphilococcus dan Streptococcus beta-hemoliticus (Sutoyo,2010).
Dari studi yang dilakukan di Belanda, ditemukan 2.556 kasus
limadenopati yang tidak diketahui penyebabnya. Sekitar 10% kasus
diantaranya dirujuk ke subspesialis, 3,2% kasus membutuhkan biopsi dan
1.1% merupakan suatu keganasan. Penderita limfadenopati usia > 0
tahun memiliki risiko keganasan sekitar 4% dibandingkan dengan
penderita limfadenopati usia
14
2.5. Patofisiologi
Plasma dan sel (misalnya sel-sel kanker dan infeksi
mikroorganisme ) bersama dengan bahan seluler, antigen, dan partikel
asing memasuki pembuluh limfatik , menjadi cairan limfatik . Kelenjar
getah bening menyaring cairan limfatik dalam perjalanan ke sirkulasi vena
sentral , menghilangkan sel-sel dan bahan lainnya. Proses penyaringan
juga mempresentasikan antigen kepada limfosit yang terkandung dalam
KGB. Respon imun dari limfosit ini melibatkan proliferasi sel, yang dapat
menyebabkan KGB untuk memperbesar (limfadenopati reaktif) .
Mikroorganisme patogen dilakukan dalam cairan limfatik dapat langsung
menginfeksi KGB, menyebabkan limfadenitis , dan sel-sel kanker dapat
menginfiltrasi dan berkembang biak di KGB (Porter, 2011) .
Dikutip dari: Porter, 2011
2.6 Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB
ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal
dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan
pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis
TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi
15
yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena
itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu
sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2009).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening
servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan
kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2009). Pada pasien dengan HIV-negatif
maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering
terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.(Sharma, 2004).
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak
nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai
bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang
lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2009). Keterlibatan
multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien
HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati
intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan.
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala
sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan
keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik
(Mohapatra, 2009).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2009)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima
stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile
dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke
jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central
softening) akibat pembentukan abses.
16
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi
sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi
dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian
kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis
dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari
limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2009).
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan
oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau
oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2009).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak.
Pada dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala.
Manifestasi yang jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar
limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan
fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal
dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus
dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu,
obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan
obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi
akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2009).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm
biasanya disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran
< 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak
menutup kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh
M.tuberculosis (Sutoyo,2010).
2.7 Diagnosis
Diagnosis limfadenopati memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang apabila diperlukan. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut penting untuk membantu dalam membuat diagnosis
17
awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan
pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan
kultur. Selain itu, juga penting untuk membedakan jenis penyebab infeksi
apakah karena mikobakterium tuberkulosis atau non-tuberkulosis
(Sutoyo,2010).
Anamnesis
Dari anamnesis dapat diperoleh keterangan lokasi, gejala-gejala penyerta,
riwayat penyakit, riwayat pemakaian obat dan riwayat pekerjaan
(Sutoyo,2010).
Lokasi
Lokasi pembesaran KGB pada dua sisi leher secara mendadak
biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian
atas. Pada infeksi olehpenyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB
hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik) dapat
disebabkan infeksi oleh Mikobakterium,Toksoplasma, Ebstein Barr
Virus atau Citomegalovirus (Sutoyo,2010).
Gejala penyerta
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab
infeksisaluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan
penurunan beratbadan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau
keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan
nyeri sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau
penyakit serum (serum sickness), ditambah adanya riwayat pemakaian
obat-obatan atau produk darah (Sutoyo,2010).
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu seperti adanya peradangan
tonsil sebelumnya, mengarahkan kepada infeksi oleh Streptococcus;
luka lecet pada wajah atau leher atau tanda-tanda infeksi
18
mengarahkan penyebab infeksi Staphilococcus; dan adanya infeksi
gigi dan gusi juga dapat mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob.
Transfusi darah sebelumnya dapat mengarahkan kepada
Citomegalovirus, Epstein Barr Virus atau HIV (Sutoyo,2010).
Riwayat pemakaian obat
Penggunaan obat-obatan Limfadenopati dapat timbul setelah
pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan
lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine,
cefalosporin, emas, hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine,
sulfonamida, sulindac. Pembesaran karena obat umumnya seluruh
tubuh (limfadenopati generalisata) (Sutoyo,2010).
Riwayat pekerjaan
Paparan terhadap infeksi paparan/kontak sebelumnya kepada
orang dengan infeksi saluran napas atas, faringitis oleh
Streptococcus, atau tuberculosis turut membantu mengarahkan
penyebab limfadenopati. Riwayat perjalanan atau pekerjaan,
misalnya perjalanan ke daerah-daerah di Afrika dapat
mengakibatkan penyakit Tripanosomiasis, orang yang bekerja
dalam hutan dapat terkena Tularemia (Sutoyo,2010).
Pemeriksaan fisik
Secara umum malnutrisi atau pertumbuhan yang terhambat
mengarahkan kepada penyakit kronik seperti tuberkulosis, keganasan
atau gangguan system kekebalan tubuh. Karakteristik dari KGB dan
daerah sekitarnya harus diperhatikan. KGB harus diukur untuk
perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri tekan,
kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak
dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau
kenyal (Sutoyo,2010).
19
Ukuran: normal bila diameter 0,5 cm dan lipat paha >1,5 cm
dikatakan abnormal.
Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses
perdarahan.
Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan,
padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak
mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah
terjadinya abses/pernanahan.
Penempelan/ bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis atau keganasan.
Dikutip dari: Abba AA, Khalli MZ. 2012. 11-17Clinical approach to
Lymphadenopathy. ANM (6) Jan: 11-17
Pembesaran KGB leher bagian posterior biasanya terdapat pada
infeksi rubela dan mononukleosis. Supraklavikula atau KGB leher bagian
belakang memiliki risiko keganasan lebih besar daripada pembesaran
KGB bagian anterior (Sutoyo,2010).
Pembesaran KGB leher yang disertai daerah lainnya juga sering
disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan, obat-obatan, penyakit kolagen
umumnya dikaitkan dengan pembesaran KGB yang menyeluruh
(Sutoyo,2010).
Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak
dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya
nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan
20
dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari
sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan
terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda
peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan oleh karena
terikat dengan jaringan di bawahnya (Sutoyo,2010).
Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak,
KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah
dan terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya (Sutoyo,2010).
Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil,
bintik bintik merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri
streptokokus. Adanya selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit
yang sulit dilepas dan bila dilepas berdarah, pembengkakan pada jaringan
lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada infeksi oleh bakteri difteri.
Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa mengarahkan kepada infeksi
Epstein Barr Virus (EBV (Sutoyo,2010).
Adanya radang pada selaput mata dan bercak koplik mengarahkan
kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik perdarahan (bintik merah
yang tidak hilang dengan penekanan), memar yang tidak jelas
penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada
leukemia. Demam panjang yang tidak berespon dengan obat demam,
kemerahan pada mata, peradangan pada tenggorok, strawberry tongue,
perubahan pada tangan dan kaki (bengkak, kemerahan pada telapak
tangan dan kaki) dan limfadenopati satu sisi (unilateral) mengarahkan
kepada penyakit Kawasaki (Sutoyo,2010).
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosa limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis
dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-
21
Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau
biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya
basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB
agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009).
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk
membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus.
Berbagai media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-
brook, dan Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk
mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M. tuberculosis
adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Mohapatra, 2009).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk
menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen
mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein
purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu
setelah infeksi. Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10
mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang
dari 4 mm (Mohapatra, 2009).
c. Pemeriksaan ICT TB
ICT TB merupakan test untuk dapat mendeteksi TB paru dan TB
ekstra paru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Jurnal
Performance of ICT TB test in detection of Pulmonary and Extra-
Pulmonary Tuberculosis spesifisitas test ini adalah 100% dan
sensitivitasnya adalah 44% untuk pasien dengan sputum positif, 36%
pada pasien dengan sputum negative, 20% pada TB dengan pleural
effusion, dan 35% pada Lymphadenitis TB. Dan disimpulkan bahwa ICT
TB adalah pemeriksaan yang highly spesific untuk TB. (Khan N; Mian I;
Muhammad J, 2004)
22
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik
yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya
antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4
garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang
akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru,
kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan
berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal
satu dari empat garis antigen pada membran. (PDPI, 2006)
d. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan
menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas
pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis
limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT scan dapat
digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe
intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi
akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis
kaseosa.Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran
konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak
ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis
(2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik
dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain
gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat
dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat
memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur (Mohapatra, 2009).
23
e. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk
mendiagnosis limfadenopati servikalis. Penggunaan USG untuk
mengetahui ukuran, bentuk, echogenicity, gambaran mikronodular,
nekrosis intranodal dan ada tidaknya kalsifikasi (Sutoyo,2010).
USG dapat dikombinasi dengan biopsi aspirasi jarum halus untuk
mendiagnosis limfadenopati dengan hasil yang lebih memuaskan, dengan
nilai sensitivitas 98% dan spesivisitas 95% (Sutoyo,2010).
2) CT Scan
CT scan dapat mendeteksi pembesaran KGB servikalis dengan
diameter 5 mm atau lebih. Satu studi yang dilakukan untuk mendeteksi
limfadenopati supraklavikula pada penderita nonsmall cell lung cancer
menunjukkan tidak ada perbedaan sensitivitas yang signifikan dengan
pemeriksaan menggunakan USG atau CT scan (Sutoyo,2010).
2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada
penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan
sendirinya dan tidak membutuhkan pengobatan apapun selain observasi
(Sutoyo,2010).
Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi
indikasi untuk dilaksanakan biopsi KGB. Biopsi dilakukan terutama bila
terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan. KGB
yang menetap atau bertambah besar walau dengan pengobatan yang
adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat (Sutoyo,2010)
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang
biasa disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus
pyogenes (group A). Pemberian antibiotik dalam 10-14 hari dan
organisme ini akan memberikan respon positif dalam 72 jam. Kegagalan
terapi menuntut untuk dipertimbangkan kembali diagnosis dan
24
penanganannya. Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai adanya
abses dan evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk
menangani pasien ini (Peter, 2010)
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua
bagian, yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi
farmakologis dilakukan dengan pemberian mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah
2HRZE/ 4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, dan Etambutol (Sutoyo,2010).
Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan, sedangkan terapi
farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan
tuberkulosis paru. Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang
utama. Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan Biopsi
eksisional atau insisi dan drainase (Partridge,2010).
25
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. Nina B Whardani
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Rungkut Asri Timur I/15
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
No. Telepon : 081938023945
Tanggal Pemeriksaan : 28 Januari 2015
Poli : Bedah Umum
3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Benjolan di leher kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Saya datang untuk membawa hasil pemeriksaan benjolan di
leher kiri yang sebelumnya sudah saya periksakan oleh
dokter Bambang dan disarankan untuk melakukan test yang
ditusuk di bagian tersebut. Awalnya saya merasa ada
benjolan di belakang telinga kiri saya sejak +1 tahun yang
lalu, hanya sekitar kurang dari 1cm dan tidak nyeri sehingga
hanya saya biarkan tidak diberi obat apa-apa Beberapa
minggu terakhir ini benjolan terasa membesar saat diraba dan
agak terasa nyeri ketika dipegang padahal dulunya tidak.
Sehingga saya ingin tahu penyebab benjolan ini timbul. Saya
sedang tidak batuk maupun pilek. Keluhan lainnya saya
kadang masih merasa sering berdebar-debar karena penyakit
tyroid saya.
26
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat menderita penyakit Hypertyroid sejak 2 tahun yang
lalu, awal mula diketahui penyakit ketika pasien sering
merasa berdebar-debar, tangannya sering gemetar dan
sering berkeringat dingin yang dikira awalnya adalah
penyakit jantung. Setelah diperiksakan di RSU Haji, ternyata
pasien terkena penyakit Hypertyroid. Pasien rajin meminum
obat sampai sekarang.
Riwayat penyakit darah tinggi sejak + 5 tahun yang lalu
Riwayat batuk lama/sedang menjalani pengobatan 6 bulan
disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat anggota keluarga yang mengalami timbulnya
benjolan seperti pasien disangkal.
Riwayat anggota keluarga yang mengalami penyakit
Hypertyroid seperti pasien disangkal.
Riwayat anggota keluarga yang mengalami batuk lama dan
menjalani pengobatan selama 6 bulan disangkal.
Riwayat penyakit kencing manis diderita oleh ibu dari pasien.
Riwayat kencing manis dari ayah pasien disangkal.
5. Riwayat Sosial :
Pasien adalah ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-
harinya mengurus rumah dan anak-anak.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: baik
Kesadaran: composmentis
Vital sign:
o TD= 140/90 mmHg
o HR= 104 x/menit, reguler, kuat
o Tax = 37,9 0C
o RR = 20 x/menit, reguler
27
BB : 52 kg
TB : 162 cm
Status Gizi:
o BMI= Normal (19.8)
Kepala / Leher :
o Normochepal
o A/I/C/D : - / - / - / -
o Reflek cahaya (ODS): +/+
o Exophtalmus (-)
o Pembesaran KGB : Regio Colli Sinistra
Thoraks-pulmo:
o I= Normochest,Pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
o P= Pergerakan dinding dada simetris, stem fremitus kanan
dan kiri simetris
o P= Sonor seluruh lapang paru
o A=Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wh -/-
Cor:
o I= Ictus Cordis tidak tampak
o P=thrill tidak teraba, Ictus Cordis tidak kuat angkat
o P= batas jantung normal
o A=S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen:
o I=bulat, cembung
o A=BU (+) N
o P= timpani
o P= hepar, lien, ginjal tidak teraba, massa (-)
Ekstremitas:
o Akral kering hangat merah
o Edema (-)
o CRT
28
3.4 Status Lokalis
Regio : Colli Sinistra
Look : tampak massa berbentuk oval, hiperemi (-)
Feel : massa ukuran 2cm x 1cm, batas tegas, mobilisasi
terbatas, nyeri tekan(+), kalor (-)
3.5 Pemeriksaan Penunjang :
1. USG Coli S (24 december 2014)
Hasil : Multicystic dari Glandula Parotis Sinistra
2. FNA (29 december 2014)
Dilakukan 2 kali puncture pada massa regio colli sinisra
ukuran 2 cm, batas tegas, mobile, padat lunak
Mikroskopis
o Hapusan sel terdiri dari hapusan sebaran dan
kelompok sel radang PMN dan mononuklear dengan
latar belakang sel lymphoid dengan berbagai
maturasi
o Tidak ditemukan tanda proses spesific
o Tidak ditemukan tanda keganasan dalam semua
hapusan
Kesimpulan:
o Massa colli sinistra, FNA-B:
Lymphadenitis Kronis
ICD-O:C77.0
3.7 Assesment : Lymphadenitis kronis Colli Sinistra
3.8 Planning
- Terapi
Excisi Massa
- Monitoring :
Keluhan pasien
29
Lab lengkap
Foto thorax
- Edukasi :
Menjelaskan diagnosis penyakit pasien
Menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan kepada pasien
Menjelaskan penatalaksanaan, komplikasi, prognosis yang
akan dilakukan kepada pasien.
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Teori Pendekatan Klinis Pasien
dengan Lymphadenitis
KASUS Ny. N
Identitas Lymphadenitis: Usia: Semua
Umur
khususnya teraba sering pada
anak 45%
Dewasa > 40 tahun 4%
Pasien wanita usia 50 thn
Anamnesis Benjolan disekitar daerah
kelenjar getah bening. Paling
sering berlokasi pada regio
servikalis posterior.
Timbul lambat dalam
hitungan minggu hingga
bulan, dapat terjadi unilateral
maupun bilateral. Tunggal
maupun multiple.
Lokasi pembesaran KGB
pada dua sisi leher secara
mendadak biasanya
disebabkan oleh infeksi virus
saluran pernapasan bagian
atas.
Pada penyakit Kawasaki
biasanya pembesaran
Biasanya tidak nyeri tapi
dapat juga dijumpai nyeri
pada beberapa penderita.
KU:
benjolan di leher kiri
RPS:
Saya datang untuk membawa
hasil pemeriksaan benjolan di
leher kiri yang sebelumnya
sudah saya periksakan oleh
dokter Bambang dan
disarankan untuk melakukan
test yang ditusuk di bagian
tersebut. Awalnya saya
merasa ada benjolan di
belakang telinga kiri saya
sejak +1 tahun yang lalu,
hanya sekitar kurang dari 1cm
dan tidak nyeri sehingga
hanya saya biarkan tidak
diberi obat apa-apa Beberapa
minggu terakhir ini benjolan
terasa membesar saat diraba
31
Hanya pada satu sisi
Sering disebabkan oleh
infeksi virus saluran
pernapasan atas selain itu
yang paling sering adalah
Human Immunodeficiency
Virus (HIV)
Dapat juga disebabkan oleh
infeksi bakteri yang paling
sering adalah infeksi
Mycobacterium Tuberculosis.
Keganasan dan obat-obatan
seperti Fenitoin dan Isoniazid
dapat menyebabkan
lymphadenopati
Paparan terhadap infeksi /
kontak dengan orang yang
terkena infeksi saluran
pernapasan atas atau
penyakit TB
dan agak terasa nyeri ketika
dipegang padahal dulunya
tidak. Sehingga saya ingin
tahu penyebab benjolan ini
timbul. Saya sedang tidak
batuk maupun pilek. Keluhan
lainnya saya kadang masih
merasa sering berdebar-debar
karena penyakit gondok saya.
Saya tidak sedang batuk atau
panas badan.
R.Sos:
Pasien adalah ibu rumah
tangga yang kegiatan sehari-
harinya mengurus rumah dan
anak-anak.
Pemeriksaan
Fisik
Ukuran: normal bila diameter
0,5 cm dan lipat paha >1,5
cm dikatakan abnormal.
Nyeri tekan: umumnya
diakibatkan peradangan atau
proses perdarahan.
Konsistensi: keras seperti
batu mengarahkan kepada
keganasan, padat seperti
karet mengarahkan kepada
limfoma; lunak mengarahkan
kepada proses infeksi;
Regio Colli Sinistra
Look : tampak massa
berbentuk oval, hiperemi (-)
Feel : massa tunggal
ukuran 2 cm x 1 cm, batas
tegas, kenyal, mobilisasi
terbatas, nyeri tekan(+),
kalor (-), fluktuasi (-) ,
32
fluktuatif mengarahkan telah
terjadinya
abses/pernanahan.
Penempelan/bergerombol:
beberapa KGB yang
menempel dan bergerak
bersamaan bila digerakkan.
Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis atau keganasan
Terapi 1. Bisa sembuh sendiri
2. Pemberian Antibiotik bila
terjadi lymphadenitis
supuratif
3. OAT pada lymphadenitis TB
4. Pembedahan jika pusat
radang sudah terhadi
pengkejuan
Pro excisi
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahuja AT, Ying MTC, Antonio G, Lee YP, King AD, and Wong KT.
2008. Ultrasonography of cervical malignant lymph nodes. Cancer
Imaging 8(1): 4856.
2. Koss LG, Melamed MR. 2006. Granulomatous lymphadenitis. In: Koss
Diagnostic Cytology and Its Histopathologic Bases. Lippincott Williams
& Wilkins, 2006(5):1193-97
3. Khan N; Mian I; Muhammad J. 2004. Performance of ICT-TB Test in the Detection of Pulmonary and Extra-pulmonary Tuberculosis. 55-56.
4. Mohapatra, PR, Janmeja, AK. 2009. Tuberculous Lymphadenitis.
Journal of The Association of Physicians of India. Diakses pada
tanggal 9 Februari 2015 www.japi.org/august_2009/article_06.pdf
5. Partridge, Elizabeth. 2010. Lymphadenitis Treatment & Management.
Diakses pada tanggal 9 Februari 2015
http://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment#a1128.
6. PDPI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011.
Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Hal: 1-
55
7. Porter, RS. 2011. The Merck Manual 19 ed. Lymphadenopahy.
Diakses pada tanggal 9 Februari 2015
http://www.merckmanuals.com/professional/cardiovascular_disorders/l
ymphatic_disorders/lymphadenopathy.html
34
8. Peters TR, Edwards KM. Cervical Lymphadenopathy and Adenitis.
2008. Pediatrics in Review (21);12.2000. Diakses pada tanggal 9
Februari 2015 http://www.ohsu.edu/ohsuedu/academic/som/
pediatrics/clerkships/upload/cervical-lymph-and-adenitis.pdf
9. Sharma SK, Mohan A. 2004. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian
Journal of Medicine Microbiology Res; 120: 316-53
10. Sahai S. 2013, Lymphadenopathy. Pediatrics in Review 2013;34;216
11. Sutoyo, Eliandy. 2010. Profil Penderita Limfadenopati Servikalis Yang
Dilakukan Tindakan Biopsi Aspirasi Jarum Halus Di Instalasi Patologi
Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Tesis. Universitas
Sumatra Utara. Diakses pada tanggal 9 Februari 2015
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16862
12. Ying MTC, Ahuja AT. 2008. Ultrasonography of cervical lymph nodes.
Diakses pada tanggal 9 Februari 2015
http://www.droid.cuhk.edu.hk/web/specials/lymph_nodes/lymph_nodes.htm