Restatement Kebatalan Perjanjian

Embed Size (px)

Citation preview

cover_kebatalan perjanjian_v4_arsip_dpn.pdf

1

12/15/10

4:48 PM

C

M

Y

CM

MY

CY

CMY

K

Elly Erawati Herlien Budiono

PENJELASAN HUKUM TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN

buku-5.indd 1

12/13/2010 11:00:01 PM

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010

Penulis: Elly Erawati, Herlien Budiono Pengulas: Didi Dermawan Ahli Internasional: Prof. Dr. Jaap Hijma Pelaksana Penelitian: Komisi Hukum Nasional (KHN) Peneliti: Frans Hendra Winarta A.F. Elly Erawaty Mujahid A. Latief T. Rifqy Thantawi M. Djodi Santoso Hardian Aprianto Aryanti Hoed Ikhwan Fakhrojih Diani Indah Rachmitasari Totok Suryawan Wibowo Yuniarti Widyaningsih Jamil Burhan

Editor: Sebastian Pompe Gregory Churchill Mardjono Reksodiputro Binziad Kadafi Fritz Edward Siregar Harjo Winoto Fisella Mutiara A.L.Tobing

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit. Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

buku-5.indd 2

12/13/2010 11:00:01 PM

DAFTAR ISIKata Pengantar ............................................................................................................... Ringkasan Eksekutif .................................................................................................. Dokumen Penjelas ...................................................................................................... Perspektif Internasional ......................................................................................... Laporan Penelitian ......................................................................................................A. Analisis Peraturan Perundang-undangan tentang Topik Kebatalan Perjanjian .................................................................. 1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh Undang-Undang untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat Perjanjian Batal Demi Hukum ............................................................................................................................... Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian ...........................................................

v 1 3 35 45 45 46 48 61 61iii

2.

B. 1.

Analisis Literatur tentang Topik Kebatalan Perjanjian ............................ Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh Undang-Undang untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat Perjanjian Batal Demi Hukum ...............................................................................................................................

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

buku-5.indd 3

12/13/2010 11:00:01 PM

2.

Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian ....................................................

64 85 107 109 109 112 115 117

C. Analisis Putusan Pengadilan tentang Topik Kebatalan Perjanjian ........................................................................Daftar Putusan ...................................................................................................................... Daftar Literatur ..................................................................................................................... A. B. C. Daftar Literatur Penelitian .......................................................................................... Daftar Skripsi, Tesis, dan Disertasi ........................................................................... Daftar Artikel/Makalah ................................................................................................

Daftar Peraturan Perundang-undangan .................................................................. A. Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan PerundangUndangan di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden) dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang Masih Berlaku .............. 1. 2. 3. B. Undang-Undang ........................................................................................................... Peraturan Pemerintah ................................................................................................. Keputusan Presiden ..................................................................................................... Identifikasi Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden) dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang Masih Berlaku ................................................................................................... Mengisi Kebutuhan Pengaturan Substansi Batal Demi Hukum yang Tidak Terdapat di Dalam BW ........................................................................... Keadaan yang Mengakibatkan Atau Tata Cara Terjadinya Atau Akibat yang Ditimbulkan Batal Demi Hukum ................................................................... 3. Kewenangan untuk Menyatakan Batal Demi Hukum ......................................

117 117 119 120

120 122 124 125 127

1. 2.

Daftar Pustaka .......................................................................................................................

ivbuku-5.indd 4

Daftar Isi Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:02 PM

KATA PENGANTAR PENJELASAN HUKUM TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN

Ketidakpastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman modern ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil. Singkat kata, jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subjek tertentu, sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti, apalagi bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian ini banyak yang bersumber dari hukum tertulis yang umumnya tidak jelas dan kontradiktif satu sama lain. Selain itu, ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian hukum adalah lemahnya lembaga dan profesi hukum. Itu dapat kita lihat di lingkungan peradilan, di mana hakim terus-menerus tidak menjaga konsistensi dalam putusan mereka. Advokasi pun tidak berhasil untuk betul-betul menjaga standar profesi mereka. Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik yang ternyata kurang berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah terpadu dalam analisis peraturan perundangan dan putusan pengadilan. Lemahnya legal method di dunia akademik adalah alasan pokok kenapa akuntabilitas pengadilan dan lembaga negara tetap lemah. Proyek restatement ini merupakan upaya untuk menjawab isu ketidakpastian hukum tersebut. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mewujudkan suatu gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali the legal method, yaitu sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya restatement ini tidak dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang dibahas di dalamnya. Namun, restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum Indonesia, terutama karena analisisnya bersandarkan pada putusan pengadilan dan literatur yang berwibawa mulai Indonesia merdeka. Ahli hukum, hakim, dan advokat jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam restatement ini, namun kami berharap supaya restatement ini bisa mencapai suatu kepastian hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam struktur

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

v

buku-5.indd 5

12/13/2010 11:00:02 PM

analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi. Alasan kami memilih topik kebatalan perjanjian sebagai salah satu pokok bahasan restatement adalah pentingnya arti restatement sebagai satu rujukan yang mendalam dan sistematik tentang suatu topik yang masih mengandung ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan khususnya masalah batal demi hukum (null and void). Akhir kata, kami berharap mimpi kami untuk mewujudkan koherensi, konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat terakomodasi dengan baik dalam program restatement ini sehingga mempunyai faedah bagi para stakeholders.

Hormat kami,

Sebastiaan Pompe Program Manager

vibuku-5.indd 6

Kata Pengantar Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:02 PM

RINGKASAN EKSEKUTIFRestatement penting artinya sebagai satu rujukan yang mendalam dan sistematik tentang suatu topik yang masih mengandung ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum (null and void). Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/ dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu adalah null and void. Sementara menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Yang dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatalan relatif menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikuro, S.H., adalah suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapa pun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid), yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu. Batal demi hukum selain karena tidak terpenuhinya unsur objektif, juga karena undang-undang merumuskan secara konkret tiap-tiap perbuatan hukum (terutama perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi hukum (tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya). Menurut R. Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah, misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW. Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa dalam soal nulitas (kebatalan), alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi, dan beraneka ragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. Masalah yang muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

1

buku-5.indd 1

12/13/2010 11:00:02 PM

pengertian, batasan, dan unsur-unsur untuk menyatakan tidak terpenuhinya syarat objektif, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Yang dimaksud hal tertentu adalah suatu perjanjian harus memiliki objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat dijadikan sebagai objek perjanjian sehingga barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian. Dalam hal batal demi hukum karena peraturan perundang-undangan menentukan demikian, berdasarkan penelusuran, didapatkan sejumlah peraturan perundangundangan yang menentukan batal demi hukum, yaitu berupa Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) dari tahun 1945 sampai dengan 2009. Berdasarkan hasil penelusuran awal tim peneliti, terdapat 22 UU, 13 PP, dan 4 Keppres yang memuat secara tegas ketentuan tentang batal demi hukum. Isu menarik dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang batal demi hukum adalah peraturan perundang-undangan tingkat mana yang seharusnya dapat mengatur tentang ketentuan batal demi hukum, apakah setiap tata urutan perundangundangan berwenang mengatur tentang batal demi hukum. Dalam perkembangannya, setelah dilakukan seleksi terhadap jumlah tersebut, hanya beberapa UU yang termasuk berkaitan erat dengan tema penelitian. Tim peneliti juga telah melakukan pengumpulan dan analisis awal terhadap putusan-putusan yang menyatakan batal demi hukum. Jumlah putusan yang diteliti, antara lain Yurisprudensi MA RI tahun 1969 sampai dengan tahun 2008 berjumlah 17 yurisprudensi yang menyatakan suatu kebatalan. Dari jumlah tersebut, 11 yurisprudensi menyatakan suatu perjanjian itu batal demi hukum, sedangkan sisanya menyatakan dapat dibatalkan. Selain itu, tim peneliti juga telah melakukan pengumpulan dan analisis awal terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang putusannya menyatakan bahwa suatu perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, dari tingkat PN, PT sampai MA sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2008 sejumlah 49 putusan. Dalam perkembangannya, setelah dilakukan seleksi terhadap jumlah tersebut, hanya sedikit putusan yang termasuk berkaitan erat dengan tema penelitian. Sebagian besar putusan merupakan kasus jual-beli dan kasus sewa-menyewa tanah atau bangunan rumah, serta kasus utang piutang dengan jaminan tanah atau bangunan rumah. Sebagian besar putusan menyatakan bahwa suatu perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya unsur sebab yang halal, yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sebagai contoh adalah Putusan MA No. 381/PK/PDT/1986 dan Yurisprudensi MA No. Reg. 3597 K/PDT/1985, yaitu tentang perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali yang dilakukan oleh para pihak di dalam kasus tersebut dinyatakan batal demi hukum karena jual-beli tanah dengan hak membeli kembali tidak dikenal dalam hukum adat. Jual-beli dengan hak membeli kembali merupakan bentuk perjanjian menurut Pasal 1519 BW, sedangkan jual-beli tanah/rumah harus mengikuti ketentuan di dalam UU Pokok Agraria yang dikuasai hukum adat, dan hukum adat tidak mengenal bentuk jual-beli dengan hak membeli kembali.

2

Ringkasan Eksekutif Dokumen Penjelas

buku-5.indd 2

12/13/2010 11:00:02 PM

DOKUMEN PENJELAS TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN

A. Maksud dan Tujuan Penulisan RestatementPenulisan restatement hukum tentang kebatalan dalam perjanjian ini dimaksudkan untuk menyatakan atau menegaskan kembali secara tertulis apa yang merupakan kaidah atau norma hukum tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian, sesuai dengan hukum tertulis, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUH Perdata), yang dikuatkan oleh keputusan hakim dan pendapat para ahli hukum di bidang hukum perdata. Dengan demikian, diharapkan restatement ini dapat dimanfaatkan sebagai rujukan bagi para praktisi dan akademisi hukum ketika mereka menghadapi persoalan mengenai kebatalan dalam perjanjian. Oleh karena itu, restatement ini bukan merupakan norma hukum baru, melainkan pengulangan kembali norma hukum yang telah ada untuk mempertegas atau memperjelas.

B. Metode Penulisan RestatementRestatement ini ditulis berdasarkan hasil penelitian normatif terhadap (1) KUH Perdata sebagaimana diterbitkan dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Menurut Sistem Engelbrecht, Vol. 1, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cetakan I, Jakarta, 2006; (2) pendapat para ahli hukum perdata yang ditulis dalam buku teks ataupun artikel ilmiah; (c) beberapa putusan hakim yang telah menjadi yurisprudensi. Hasil penelitian tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk draf oleh seorang penulis untuk kemudian diperiksa isi dan sistematikanya oleh seorang praktisi yang juga sebagai akademisi hukum perdata untuk dipastikan kebenaran dan ketepatannya. Draf tersebut kemudian didiskusikan dalam forum diskusi (focused group discussion) dan kemudian dipresentasikan melalui forum seminar, keduanya dihadiri oleh para pakar hukum, seperti pengacara, konsultan hukum, notaris, hakim, corporate lawyers, dan dari kalangan akademisi. Setelah melalui serangkaian uji publik tersebut, draf restatement diedit dan ditulis ulang sehingga menghasilkan naskah final restatement sebagaimana berikut ini. Karena topik restatement ini hanyalah tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian maka isinya tidak berupa penegasan kembali beberapa persoalan elementer yang berkait dengan persoalan pokok, seperti tentang arti dan jenis perjanjian, perbedaan dan keterkaitan antara perjanjian dengan perikatan, maupun tentang unsur atau bagian perjanjian. Penulisan berbagai persoalan tersebut hanya akan tepat apabila restatement ini tentang Hukum Kontrak secara utuh.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

3

buku-5.indd 3

12/13/2010 11:00:02 PM

C. Luas Lingkup Isi RestatementDalam Buku III KUH Perdata ditemukan banyak pasal yang menyebut kata batal, batalnya, membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum. Sehubungan dengan hal itu maka isi keseluruhan restatement ini akan menegaskan kembali: 1. Pengertian beberapa istilah, yaitu batal, batal demi hukum, dapat dibatalkan, membatalkan, pembatalan, dan kebatalan. 2. Dalam hal apa atau kondisi bagaimana suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan bagi pihak yang membuatnya akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. 3. Siapa yang dapat meminta atau menuntut pembatalan suatu perjanjian, syarat agar tuntutan tersebut berhasil, dan siapa yang berwenang membatalkan perjanjian. 4. Batas waktu penuntutan pembatalan suatu perjanjian. 5. Akibat hukum dari perjanjian yang batal demi hukum atau yang dapat dibatalkan. Frasa batal demi hukum merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna tidak berlaku, tidak sah menurut hukum. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah berarti tidak berlaku, tidak sah.1 Jadi, walaupun katabatalsesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya frasa batal demi hukum lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif seseorang atau menurut kesusilaan/ kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum (atau dalam arti sempit, berdasarkan peraturan perundang-undangan) memang begitulah adanya. Dengan demikian, batal demi hukum menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi. Frasa dapat dibatalkan sangat berbeda maknanya dengan frasa batal demi hukum sebab dapat dibatalkan menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan. Kecuali itu, frasa dapat dibatalkan juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok1 Arti lain dari lema atau kata batal dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi dilangsungkan, ditunda, urung, tidak berhasil, gagal. Lihat, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, 2008.

4

Dokumen Penjelas

buku-5.indd 4

12/13/2010 11:00:02 PM

persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, bila sesuatu hal dapat dibatalkan maka bisa terjadi dua kemungkinan: 1. sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat adanya permintaan untuk membatalkan, atau 2. sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak ada pernyataan batal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008), pada lema batal tercantum bentuk derivasinya, yaitu membatalkan dan pembatalan, tidak tercantum bentuk derivasi kebatalan.2 Hal ini berbeda dengan lema absah, yang bentuk derivasinya mengabsahkan, pengabsahan, dan keabsahan. Tampaknya, bentuk derivasi kebatalan dianggap tidak lazim dalam Bahasa Indonesia, berbeda dengan keabsahan yang mungkin lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan maupun tulis. Namun demikian, karena dalam Hukum Perjanjian selalu ditemukan persoalan tentang perjanjian yang dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum, agar isi restatement ini mencakup kedua hal itu, istilah yang dipakai adalah kebatalan sebagai kata benda yang berarti sifat yang batal.3

D. Isi Restatement1. Hal atau Kondisi yang Menyebabkan Batalnya PerjanjianDalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut: a. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum; b. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat: 1) perjanjian batal demi hukum, atau 2) perjanjian dapat dibatalkan; c. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat; d. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana;

2 3

Ibid. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa: 2008), keabsahan adalah kata benda yang berarti sifat yang sah, atau kesahan. Ibid.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

5

buku-5.indd 5

12/13/2010 11:00:02 PM

e.

pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undangundang.

2. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig)Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.4 Berikut ini restatement tentang alasan mengapa perjanjian batal demi hukum. a. Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.5 Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik menurut undang-undang. Beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus dilakukan dengan Akta Notaris sebagai berikut.6 Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata. Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

4 5 6

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, 1978, hlm. 19. Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 4748; Subekti, ibid., hlm. 15. Herlien Budiono, ibid., hlm. 4748; Subekti, Catatan No. 4, hlm. 15. Cessie (Pasal 613 KUH Perdata) dan dading (Pasal 1851 KUH Perdata) dapat dibuat dengan akta otentik ataupun di bawah tangan sebab KUH Perdata hanya mensyaratkan pembuatan dalam bentuk tertulis.

6

Dokumen Penjelas

buku-5.indd 6

12/13/2010 11:00:02 PM

Jaminan fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi: Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.

Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil di atas, memang merupakan pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum.7 Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme. Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum tersebut batal demi hukum.8 Hal ini ditegaskan, antara lain, dalam:1) Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan. 2) Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi Tiada statu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan status akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu. 3) Pasal 22 KUHDagang yang menyebut Tiap firma harus didirikan dengan akta otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga.

7 8

Subekti, Ibid. Subekti, ibid.; Herlien Budiono, Ibid.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

7

buku-5.indd 7

12/13/2010 11:00:02 PM

4) Pasal 15 ayat (6) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menyebutkan bahwa (6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum. 5) Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: (1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat: (a) masalah yang dipersengketakan; (b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; (c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; (d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; (e) nama lengkap sekretaris; (f) jangka waktu penyelesaian sengketa; (g) pernyataan kesediaan dari arbiter; (h) pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

b.

Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman9 dan Herlien Boediono10 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti.11 Objek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1).12

9 10 11 12

Mariam Darus Badrulzaman, Perikatan pada Umumnya, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 7980. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 106110. Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18. Istilah barang dalam ketiga pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup pengertian objek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, dengan demikian dapat mencakup pengertian jasa juga. Hal ini penting karena dalam transaksi bisnis modern, objek perjanjian tidak hanya terbatas pada barang, tetapi juga berupa jasa.

8

Dokumen Penjelas

buku-5.indd 8

12/13/2010 11:00:02 PM

Pasal 1332: Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan. Pasal 1333 Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Pasal 1334 ayat (1) Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan.

Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:13 1) dapat diperdagangkan; 2) dapat ditentukan jenisnya; 3) dapat dinilai dengan uang, dan 4) memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan. Selain itu, objek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru akan ada, sebagaimana disebut dalam Pasal 1334 ayat (1).14 Maksudnya adalah ketika perjanjian dibuat barang yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin belum dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa barang tersebut tidak ada. Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. Perjanjian yang tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso jure batal demi hukum. Syarat objektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUH Perdata tentang makna sebab yang

13 14

Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 107. Namun, pasal ini juga menyebutkan Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178 yang dilarang oleh undang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada di luar perdagangan dan warisan yang belum terbuka. Artinya, perjanjian dengan objek warisan yang belum jatuh terbuka adalah batal demi hukum.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

9

buku-5.indd 9

12/13/2010 11:00:02 PM

halal itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar perjanjian,15 bukan sebagai penyebab ataupun motif dibuatnya perjanjian.16 Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut tidak sah, tidak berkekuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. 17 Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata merupakan kausa yang dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum. Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti, sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian semacam itu dengan sendirinya batal demi hukum.18 Untuk mengetahui ketentuan manakah dalam peraturan perundangundangan yang bersifat memaksa sehingga tidak boleh disimpangi para pihak, perlu diperhatikan apakah rumusan ketentuan itu menyebut secara eksplisit akibat hukum bila apa yang diatur dalam perundang-undangan itu dilanggar. Terdapat beberapa UU yang secara jelas dan eksplisit menyatakan bahwa menjadikan apa yang terlarang menurut UU sebagai kausa perjanjian, berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Berikut ini beberapa di antaranya:1) UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 26 ayat (2) yang menyatakan bahwa Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain

15 16 17

Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18 dan Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 113. Subekti, ibid.; Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 81. Pasal 1335 seperti dipatahkan oleh Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau jika ada sebab lain yang tidak dilarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah. Namun, menurut Herlien Boediono, Pasal 1336 dimaksudkan untuk perjanjian yang kausanya tidak dinyatakan secara eksplisit oleh para pihak atau kausanya berbeda dari apa yang dinyatakan, namun tetap merupakan sebab yang halal sehingga perjanjian seperti itu tetap sah. Tampaknya, latar belakang rumusan pasal ini berkaitan dengan pengakuan utang. Dalam perjanjian pengakuan utang asal mula timbulnya utang tidak disebut secara eksplisit, atau dikenal sebagai utang tanpa kausa. Lihat, Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 112. Subekti, Catatan No. 4, hlm. 19.

18

10buku-5.indd 10

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:02 PM

yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. 2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 124: (3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Pasal 127: (1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/ buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama. 3) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta BendaBenda yang Berkaitan dengan Tanah Pasal 12: Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Pasal 20: (4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum. 4) UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Pasal 32: Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum. Pasal 33: Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. 5) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 18: (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum .

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

11

buku-5.indd 11

12/13/2010 11:00:03 PM

6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 33: (1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. 7) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 37: (2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum. (3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) . 8) UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 27: (1) Saham penyelenggara yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang berkaitan dengan pelayanan publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik langsung maupun tidak langsung melalui penjualan, penjaminan atau hal-hal yang mengakibatkan beralihnya kekuasaan menjalankan korporasi atau hilangnya hak-hak yang menjadi milik korporasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum. 9) UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten Pasal 66: (1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena: a. pewarisan, b. hibah, c. wasiat, d. perjanjian tertulis, atau e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan batal demi hukum.

c.

Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbekwaamheid) harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Mereka yang tidakDokumen Penjelas

12buku-5.indd 12

12/13/2010 11:00:03 PM

berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undangundang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.19 Jadi, seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang. Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undangundang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya, ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu. Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu. Contoh: UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 yang berbunyi: (4) Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali di pasar sekunder. (5) Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dinyatakan batal demi hukum. Pasal 56: (1) Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. (2) Dalam hal Bank Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum. d. Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perLihat, Pasal 907, 1467, 1468, 1469, 1470, 1471 KUH Perdata. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 105.

19

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

13

buku-5.indd 13

12/13/2010 11:00:03 PM

janjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu. Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdata adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah. Alasan dari ketentuan ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya. Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh UU adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku. Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu syarat kausa yang halal. Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal 1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.

14buku-5.indd 14

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:03 PM

3. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar)Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Berikut ini restatement tentang hal tersebut. a. Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Membuatnya Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328 sebagai berikut.Pasal 1321: Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Pasal 1322: Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan. Pasal 1324: Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan. Pasal 1323: Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu. Pasal 1325: Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

15

buku-5.indd 15

12/13/2010 11:00:03 PM

juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah. Pasal 1328: Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira melainkan harus dibuktikan.

Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.20 Mariam Darus Badrulzaman menguraikan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang dinamakan error in persona, dan kekhilafan atau kesesatan mengenai hakikat barangnya yang disebut error in substantia.21 Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula bersifat semu.22 Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian, namun kehendak salah satu pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang telah terbentuk namun terjadinya perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau kesesatan sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan terbentuk perjanjian.23 Subekti juga menyebutkan bahwa kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. 24 Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budiono, sebenarnya tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian.25 Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut20 21 22 23 24 25

Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22. Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 75. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 98. Ibid. Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 2223. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 98.Dokumen Penjelas

16buku-5.indd 16

12/13/2010 11:00:03 PM

hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas.26 Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut, hal ini terlihat dari Pasal 1323 KUH Perdata.27 Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga.28 Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 1325. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa pembuat undang-undang membedakan antara paksaan yang membuat perjanjian mengandung unsur cacat kehendak dari pihak yang membuatnya sehingga terancam pembatalan, dengan rasa takut karena hormat kepada anggota keluarga dalam garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari bunyi Pasal 1326, yaitu bahwa Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan. Alat atau sarana yang dipakai untuk mengancam dapat berupa sarana yang tergolong legal ataupun illegal, misalnya senjata tajam atau pistol, sedangkan sarana yang legal, misalnya ancaman penyitaan harta benda ataupun ancaman kepailitan.29 Penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu bertindak aktif untuk menjerumuskan pihak lawan.30 Herlien Budiono juga menjelaskan bahwa penipuan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja disembunyikan atau tidak diungkap, tetapi juga bila suatu informasi yang keliru sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya.31 Dalam hal penipuan ini, jarang terjadi bahwa si pelaku hanya melakukan kebohongan suatu hal, melainkan ia melakukan suatu rangkaian kebohongan. Hal ini tampak dari26 27 28 29 30 31 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22; Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 9798. Subekti, Ibid. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97. Ibid. Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 99.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

17

buku-5.indd 17

12/13/2010 11:00:03 PM

pilihan frasa dalam pasal di atas, yaitu tipu muslihat. Untuk menetapkan dan membuktikan adanya hubungan kausalitas antara penipuan dan dilakukannya perbuatan hukum berupa membuat persetujuan, harus dapat ditunjukkan bahwa tanpa adanya penipuan itu, persetujuan untuk membuat perjanjian tidak akan pernah dilakukan. Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya. Kalimat terakhir pasal itu, yaitu menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya menunjukkan bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi batal apabila ada penuntutan untuk membatalkannya. Subekti mengatakan bahwa ketidakbebasan seseorang dalam memberikan persetujuan pada sebuah perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak bebas dalam menyatakan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjian.32 Lebih lanjut, disebutkan bahwa dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang tersebut tidak boleh minta pembatalan itu; hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan tersebut.33 b. Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan Tindakan Hukum Syarat subjektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian. Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang, dianggap cakap atau mampu melakukan tindakan hukum yang dalam konteks ini adalah membuat perjanjian sehingga menimbulkan perikatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, terkecuali ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap, dilarang melakukan tindakan hukum32 33 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 23. Ibid.

18buku-5.indd 18

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:03 PM

termasuk membuat perjanjian.34 Pasal 1330 KUH Perdata menyebut bahwa Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah a. orang-orang yang belum dewasa; b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Mereka ini, kecuali melalui perwakilan, dinyatakan tidak dapat melakukan tindakan hukum. Orang yang dapat mewakili mereka melakukan tindakan hukum adalah orang tua atau wali yang sah menurut undang-undang, atau pengampu dalam hal orang yang tidak cakap itu berada di bawah pengampuan.35 Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan bahwa (1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya; (2) Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka. Walaupun Pasal 1446 ayat (1) menyebutkan bahwa perikatan tersebut batal demi hukum, para ahli hukum berpendapat bahwa frasa batal demi hukum itu tidak tepat. Mereka berpendapat akibat hukum dari perjanjian seperti itu yang benar adalah dapat dibatalkan. Hal ini ditegaskan oleh Subekti, Mariam Darus Badrulzaman, dan Herlien Budiono. Menurut Subekti, Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif, tidak begitu saja dapat diketahui oleh Hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan bila dimajukan kepada Hakim mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh undang-undang diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak.

34

Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun, sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang. Perwalian untuk anak di bawah umur atau belum dewasa dapat dibedakan menjadi perwalian menurut undang-undang (Pasal 50 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 345 KUH Perdata), perwalian orang tua atas anak yang diakui, perwalian berdasarkan penetapan hakim (Pasal 331a KUH Perdata), perwalian menurut wasiat (Pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 355357 KUH Perdata). Sumber: Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 103104.

35

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

19

buku-5.indd 19

12/13/2010 11:00:03 PM

Jadi, perjanjian yang demikian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.36 Mariam Darus Badrulzaman juga menegaskan bahwa karena alasan-alasan yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan ialah kalau perikatan tersebut cacat pada syarat-syarat objektif saja. Oleh karena itu, kata-kata batal demi hukum pada Pasal 1446 KUH Perdata itu harus dibaca dengan dapat dibatalkan.37 Dengan kata lain, sebenarnya yang dimaksud dengan batal demi hukum dalam Pasal 1446 ayat (1) KUH Perdata adalah dapat dibatalkan. Herlien Budiono juga memberi penegasan sekaligus menambah penjelasan dengan menyebut bahwa Perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak wenang galibnya batal demi hukum (nietig), sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap tidak ipso jure batal, tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar).38 Artinya, harus dibedakan antara orang yang tidak wenang melakukan tindakan hukum dengan orang yang tidak cakap melakukan tindakan hukum.39 Perjanjian yang dilakukan oleh orang yang masuk kategori pertama, berakibat batal demi hukum. Sementara perjanjian yang dibuat oleh orang yang masuk kelompok kedua berakibat dapat dibatalkan. Tampaknya, pendapat para ahli hukum di atas paralel dan memang kuat apabila melihat ketentuan dalam Pasal 1331 KUH Perdata yang berbunyi Oleh karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami. Pasal 1331 ini merujuk ke pasal yang lalu, yaitu Pasal 1330 yang menyebutkan bahwa Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin. Dengan demikian, kalimat orangorang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan ...., bermakna bahwa orang yang belum dewasa (yang berarti tidak cakap hukum) yang membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan. Konsekuensinya, perjanjian seperti36 37 38 39 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22. Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 147. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 106. Tentang hal ini, lihat kembali penjelasan nomor 2021 dari restatement ini.

20buku-5.indd 20

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:03 PM

itu dapat dimintakan pembatalannya, dan bukannya secara otomatis batal demi hukum. Jadi, apabila syarat subjektif untuk sahnya perjanjian tidak terpenuhi, baik itu karena dibuat oleh pihak yang tidak cakap hukum atau karena tidak adanya kehendak bebas atau kesepakatan, sesungguhnya nasib perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan satu pihak untuk menaatinya, yaitu pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum atau pihak yang tidak memiliki kehendak bebas tersebut. Apabila pihak ini menerima, dan tidak menuntut pembatalan perikatan maka perjanjian tersebut tetap akan mengikat. Sebaliknya, apabila pihak tersebut menuntut pembatalan perikatan, perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian seperti itu selalu terancam dengan pembatalan. c. Penuntutan Pembatalan, dan Penguatan atau Penetapan, atas Perjanjian yang Dapat Dibatalkan Terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan karena dibuat tanpa memenuhi unsur subjektif pertama ataupun kedua untuk sahnya perjanjian, dapat dilakukan penuntutan pembatalan, atau penguatan/penetapan sehingga membuat perjanjian tersebut tetap berlaku dan memiliki kekuatan mengikat. Berikut ini restatement tentang kedua hal ini. 1) Penuntutan Pembatalan Perjanjian Yang Dapat Dibatalkan Pihak-pihak yang tidak memiliki kehendak bebas ketika membuat perjanjian karena ada paksaan, atau kekeliruan/kekhilafan, atau penipuan, dapat menuntut pembatalan terhadap perjanjian tersebut dalam kurun waktu tidak lebih dari 5 tahun terhitung sejak hari ketika paksaan itu berhenti, atau dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Batas waktu penuntutan pembatalan perjanjian ini dapat lebih pendek apabila hal ini diatur demikian oleh undang-undang. Norma hukum ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku ... dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal penyesatan atau penipuan sejak hari diketahuinya penyesatan atau penipuan itu. Pihak-pihak yang ketika membuat perjanjian tidak memiliki kecakapan hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dapat menuntut pembatalanPenjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

21

buku-5.indd 21

12/13/2010 11:00:03 PM

perjanjian yang dibuatnya itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1331 KUH Perdata sebagai berikut ... orang yang tidak cakap membuat persetujuan boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat.... Pihak ini, dalam hal seorang anak yang belum dewasa, adalah sang anak itu sendiri apabila ia sudah mencapai usia dewasa atau orang tua atau walinya. Apabila pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum tersebut adalah orang yang berada di bawah pengampuan, pihak yang berhak meminta pembatalan perikatan adalah sang pengampunya. Kemudian, Pasal 1450 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa Dengan alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang belum dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan kata lain, menurut Subekti, perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif berupa kecakapan melakukan tindakan hukum dari si pembuat perjanjian, tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.40 Pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat menuntut pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya dalam jangka waktu maksimum 5 tahun, terhitung sejak tanggal kedewasaan dalam hal pihak tersebut belum dewasa ketika membuat perjanjian, atau sejak tanggal pencabutan pengampuan dalam hal pihak tersebut berada dalam pengampuan ketika membuat perjanjian. Norma ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata yang berbunyi Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU khusus mengenai waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaan, dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan...dstnya. Walaupun pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya, hal ini tidak berlaku apabila perikatan itu ternyata diterbitkan dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau yang telah menerbitkan kerugian bagi orang lain. Hal ini ditemukan dalam ketentuan Pasal 1447 KUH Perdata yang berbunyi Ketentuan pasal yang lalu tidak berlaku untuk perikatan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau dari suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Begitu juga40 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 19.

22buku-5.indd 22

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:03 PM

kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian perkawinan dengan mengindahkan ketentuan Pasal 151, atau dalam persetujuan perburuhan dengan mengingat ketentuan Pasal 1601 g, atau persetujuan perburuhan yang tunduk pada ketentuan Pasal 1601 h. Harus diperhatikan pula bahwa batas waktu 5 tahun yang ditetapkan dalam Pasal 1454 KUH Perdata hanya berlaku untuk penuntutan pembatalan, dan tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan di depan hakim sebagai pembelaan atau tangkisan. Untuk hal terakhir ini, dapat dilakukan kapan saja. Artinya, terbuka 2 cara untuk meminta pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian.41 Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara aktif bertindak sebagai penggugat agar perjanjian tersebut dibatalkan. Kedua, pihak yang berkepentingan menunggu sampai ia digugat di muka hakim untuk memenuhi isi perjanjian tersebut. Pada saat itulah, dia di depan hakim dapat mengemukakan bahwa ketika membuat perjanjian itu, ia belum cakap hukum, atau dia memberi persetujuan karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan sehingga kemudian dia meminta agar perjanjian tersebut dibatalkan oleh hakim.42 Dalam situasi terakhir inilah tidak berlaku batas waktu 5 tahun tersebut. Norma hukum ini tampak dalam Pasal 1454 ayat (2) KUH Perdata yang menyebutkan: Waktu tersebut di atas, yaitu waktu yang ditetapkan untuk mengajukan tuntutan, tidak berlaku terhadap kebatalan yang diajukan sebagai pembelaan atau tangkisan yang selalu dapat dikemukakan. 2) Penguatan/Penetapan Perjanjian Yang Dapat Dibatalkan Apabila jangka waktu lima tahun dalam Pasal 1454 terlewati, namun mereka yang berada dalam keadaan paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun tidak cakap melakukan perbuatan hukum, tidak mengajukan pembatalan perjanjian, akibatnya perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak walau tidak memenuhi unsur subjektif sahnya perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1327 KUH Perdata yang menyatakan bahwa Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh UU untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya.41 42 Ibid., hlm. 24. Ibid.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

23

buku-5.indd 23

12/13/2010 11:00:03 PM

Demikian pula bila setelah paksaan atau kekhilafan atau penipuan itu berakhir pihak yang berada di bawah paksaan, kekhilafan atau penipuan tersebut kemudian membenarkan persetujuan yang telah diberikannya, baik secara tegas ataupun diam-diam maka penuntutan pembatalan perjanjian menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diatur dalam Pasal 1456 KUH Perdata yang menegaskan bahwa Tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan, gugur jika perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam, sebagai berikut ... oleh orang yang mengajukan alasan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, setelah paksaan itu berhenti atau setelah penyesatan atau penipuan itu diketahuinya. Hal yang sama juga berlaku untuk perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian seperti ini dikuatkan sendiri secara tegas ataupun diam-diam oleh mereka yang tidak cakap hukum itu, perjanjian tersebut menjadi tetap berlaku dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak cakap hukum yang melakukan penegasan/penguatan/ penetapan perjanjian tersebut adalah (a) bila ketika membuat perjanjian dia adalah anak-anak maka penegasan tersebut dilakukan ketika dia dewasa; (b) bila ketika membuat perjanjian dia berada di bawah pengampuan maka penegasan dilakukan setelah pengampuannya dihapuskan. Penegasan atas perjanjian yang dapat dibatalkan ini dapat dilakukan secara tegas melalui pembuatan akta pengesahan ataupun akta penguatan sebagaimana diharuskan oleh KUH Perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1892 KUH Perdata yang berbunyi (1) Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau penghapusan berdasarkan undang-undang, hanya mempunyai kekuatan hukum bila akta itu memuat isi pokok perikatan tersebut, alasan-alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya, dan maksud untuk memperbaiki cacat-cacat yang sedianya dapat menjadi dasar tuntutan tersebut; (2) Jika tidak ada akta penetapan atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah; (3) Pembenaran, penguatan atau pelaksanaan suatu perikatan secara sukarela dalam bentuk dan pada saat yang diharuskan oleh undang-undang, dianggap sebagai suatu pelepasan upaya pembuktian serta tangkisan-tangkisan (eksepsi) yang sedianya dapat diajukan terhadap akta itu; namun hal itu tidak mengurangi hak-hak pihak ketiga. Jadi, menurut Pasal 1892, perbuatan hukum yang dapat dibatalkan karena adanya cacat yang tidak berakibat batal demi hukum, masih dapat

24buku-5.indd 24

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:04 PM

disahkan melalui penetapan ataupun penguatan dengan akta yang bentuknya diharuskan oleh undang-undang.43 Akta penetapan atau akta penguatan harus mencantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat dituntutnya pembatalan serta maksud untuk memperbaiki cacat yang sedianya menjadi dasar tuntutan pembatalan.44 Akta semacam itu mengakibatkan dilepaskannya hak untuk membatalkan perbuatan hukum yang sedianya dapat diajukan. Dengan demikian, perbuatan hukum yang sebenarnya dapat dibatalkan tersebut menjadi sah sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan.45 Melalui akta penguatan atau akta penetapan itulah maka perjanjian yang sebenarnya terancam pembatalan itu menjadi sah terhitung sejak perjanjian tersebut dibuat. Hal ini tidak berlaku untuk perjanjian yang terancam batal demi hukum. Artinya, untuk perjanjian semacam ini tidak mungkin dapat dilakukan pengesahan, penguatan ataupun penetapan melalui akta tertentu. Jadi, simpulannya sebagai berikut. (a) Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap dan/atau perjanjian yang dibuat tanpa adanya kesepakatan atau kehendak bebas dari para pihaknya, masih dapat dikuatkan melalui akta penguatan atau akta penetapan. (b) Perjanjian formil yang tidak memenuhi syarat sah, perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak berwenang, perjanjian yang tidak mempunyai objek tertentu, perjanjian yang tidak memiliki kausa yang halal, tidak mungkin dapat disahkan atau dikuatkan dalam bentuk akta apa pun. (c) Demikian pula perjanjian yang batal akibat terpenuhinya syarat batal, atau batal akibat terjadinya wanprestasi,46 ataupun batal akibat terjadinya keadaan memaksa,47 tidak mungkin dapat disahkan atau dikuatkan kembali.

4. Perjanjian Batal Karena Wanprestasi atas Dasar Kelalaian Sebagai Syarat BatalPada bagian kelima dari Bab I dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan Bersyarat, yang beberapa pasalnya telah dijelaskan dalam nomor 22 24 di atas, masih terdapat ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267. Kedua pasal ini

43 44 45 46 47

Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm., 211. Ibid. Ibid. Lihat, No. 4649 dari restatement. Lihat, No. 50 dari restatement.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

25

buku-5.indd 25

12/13/2010 11:00:04 PM

sebenarnya berisi tentang pembatalan perjanjian timbal balik akibat salah satu pihak wanprestasi karena kelalaiannya. Penempatan kedua pasal dengan topik tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik,48 tetapi juga ditemukan alasan pembenarnya.49 Tampaknya, pembuat KUH Perdata menganggap bahwa kelalaian debitur sehingga wanprestasi tergolong sebagai suatu syarat batal yang dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik. Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, dalam perikatan yang timbul dari perjanjian timbal balik apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dijanjikan dalam perjanjian itu, kreditor atas dasar wanprestasi dari debitor berhak untuk memilih apakah (a) memaksa debitor untuk memenuhi perjanjian apabila hal itu masih dapat dilakukan, atau (b) menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga dari pihak debitor. Hal ini ditegaskan dalam pasal tersebut yang berbunyi Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Pasal di atas jelas terkait dengan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa (1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. (2) Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. (3) Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. (4) Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Dari ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat disimpulkan hal berikut. Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian sepihak.50 Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat batal dalam perjanjian timbal balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau48 49 50 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 196. Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 48. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi atau kewajiban hanya pada satu pihak. Contoh: perjanjian hibah, perjanjian penanggungan, perjanjian pemberian kuasa tanpa upah, perjanjian pinjam pakai, perjanjian penitipan barang tanpa biaya, perjanjian pinjam-meminjam tanpa bunga.

26buku-5.indd 26

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:04 PM

keadaan di luar kekuasaan (force majeure atau overmacht), tetapi terjadi karena kelalaian pihak tergugat. Akibat wanprestasi tersebut penggugat dapat menuntut pembatalan perjanjian di depan hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum. Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata yang menempatkan wanprestasi sebagai syarat batal, sebagaimana pengertian syarat batal dalam Pasal 1253 KUH Perdata, dianggap tidak tepat. Alasannya adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu adil menghukum debitor yang wanprestasi karena kelalaiannya dengan pembatalan perjanjian. Terhadap kritik ini, Subekti, justru menjelaskan bahwa ketentuan kedua pasal tersebut sebenarnya tidak salah.51 Mengapa demikian? Sebab sekalipun wanprestasi dianggap sebagai syarat batal sehingga menyebabkan perjanjian berakhir, berakhirnya perjanjian itu bukan karena demi hukum, melainkan harus melalui pernyataan pembatalan oleh hakim. Hal ini jelas terlihat dari Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata: Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan. Bahkan, ayat (3) pasal ini juga menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum, melainkan dapat dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi sebagai syarat batal. Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat batal tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim memiliki kebijakan berdasarkan pertimbangan keadaan memberi jangka waktu maksimum 1 (satu) bulan bagi pihak yang wanprestasi untuk memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir ini, bahkan menurut Subekti,52 hakim berhak pula untuk mempertimbangkan dan menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu dibandingkan dengan akibat pembatalan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata lain, ketika hakim harus memutuskan gugatan pembatalan perjanjian karena wanprestasi sebagai syarat batal, ia harus memperhatikan berbagai asas hukum perjanjian yang lazim, salah satunya adalah asas itikad baik. Namun demikian, pendapat Subekti di atas, tampaknya kini justru dikesampingkan. Menurut Herlien Budiono misalnya, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata bukan ketentuan hukum yang bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi oleh para pihak yang membuat perjanjian.53 Namun, penyimpangan itu tampaknya hanya untuk soal perantaraan putusan hakim, bukan tentang soal wanprestasi sebagai syarat batalnya perjanjian. Artinya, para pihak dengan tegas51 52 53 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 48. Ibid., hlm. 49. Herlien Budiono, Catatan No. 4 di atas, hlm. 199200.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

27

buku-5.indd 27

12/13/2010 11:00:04 PM

dapat mengesampingkan Pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) sehingga pembatalan perjanjian akibat terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak tidak perlu dimintakan kepada hakim. Akibatnya, perjanjian seperti itu akan otomatis batal demi hukum.54 Pengesampingan Pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) yang berakibat pelepasan hak para pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian di depan hakim, secara tegas harus dicantumkan di dalam akta perjanjian yang bersangkutan.55

5. Perjanjian Batal Karena Wanprestasi Akibat dari Keadaan MemaksaApabila wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik terjadi akibat dari keadaan memaksa (force majeure atau overmacht), perjanjian menjadi batal. Namun demikian, menjadi kewenangan hakimlah untuk menilai apakah benar telah terjadi keadaan memaksa atau bukan. Untuk itu, hakim akan membuat putusan yang bersifat deklaratoir. Jadi, keadaan memaksa juga dapat menjadi syarat batal bagi sebuah perjanjian, tetapi syarat ini tidak perlu diperjanjikan oleh para pihak.56 Ada beberapa contoh dalam KUH Perdata yang mengatur tentang keadaan memaksa yang membuat perjanjian menjadi batal, misalnya Pasal 1545 tentang musnahnya objek tukar-menukar, Pasal 1553 tentang musnahnya barang yang disewakan, Pasal 1607 tentang musnahnya pekerjaan di luar kelalaian pemborong, dan Pasal 462 tentang berakhirnya carter kapal karena kapal musnah.57

6. Akibat Pembatalan PerjanjianSecara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi hukum pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjian-perjanjian itu menurut hukum dinilai tidak memiliki efek hukum. Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek. Pada keadaan seperti itu, hukum menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat

54 55 56 57

Ibid. Ibid. Ibid., hlm. 197198. Ibid., hlm. 198.

28buku-5.indd 28

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:04 PM

perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena perjanjian tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan prestasi, dan kepada pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak diwajibkan. Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 harus dikembalikan. Pasal 1359 berbunyi Tiap pembayaran mengandaikan adanya suatu utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yang kemudian dimintakan pembatalannya oleh orang yang bersangkutan di depan Hakim, mengakibatkan kembalinya barang dan orang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain, batalnya perikatan membuat keadaan kembali seperti kondisi semula ketika perikatan belum terjadi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1451 yang berbunyi Pernyataan batalnya perikatanperikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang tersebut dalam Pasal 1330, mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tak berwenang, akibat perikatan itu, hanya dapat dituntut kembali, bila barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang yang tidak berwenang itu, atau bila ternyata bahwa orang ini telah mendapat keuntungan dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu, atau bila apa yang telah dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya. Kemudian, khusus untuk perjanjian yang dibuat oleh orang yang berada di bawah paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, hal yang sama seperti di atas disebutkan dalam Pasal 1452, yakni Pernyataan batal yang berdasarkan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat. Apabila pihak-pihak yang tidak cakap hukum, dan/atau yang tidak memiliki kehendak bebas, ketika membuat perjanjian mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya itu, mereka juga wajib untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga kepada pihak lawan jika memang ada alasan untuk itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1453 yang berbunyi Dalam hal-hal tersebut dalam Pasal 1446 dan 1449, orang yang terhadapnya tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan dikabulkan, wajib juga mengganti biaya, kerugian, dan bunga, jika ada alasan untuk itu.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

29

buku-5.indd 29

12/13/2010 11:00:04 PM

7. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana)Dalam uraian no. 3539 telah disebutkan tentang siapa atau pihak mana yang berhak meminta pembatalan perjanjian karena tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya perjanjian dan tentang batas waktu untuk meminta pembatalan. Namun, masih ada satu hal lain yang relevan dengan persoalan siapa saja yang berhak meminta pembatalan atas suatu perjanjian atau perbuatan hukum tertentu, yaitu ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata yang dalam hukum perjanjian disebut mengatur tentang actio pauliana. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317. Kemudian, Pasal 1341 menyebutkan bahwa (1) Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. (2) Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. (3) Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cumacuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak. Terhadap kedua pasal di atas, Herlien Budiono menegaskan bahwa58 Pengertian kreditor dalam Pasal 1341 mencakup tidak hanya orang yang berhak atas pembayaran utang saja, tetapi juga orang yang berhak untuk memperoleh prestasi yang dijanjikan orang lain (yakni debitor) terhadapnya, seperti prestasi untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Pasal 1341 ditujukan untuk melindungi kepentingan kreditor dari tindakan debitor yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh undang-undang dan merugikan kreditor. Dengan demikian, dapat terjadi bahwa seorang pihak ketiga (kreditor) yang sebenarnya bukan merupakan pihak yang membuat perjanjian dengan debitor, ternyata meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh debitor tersebut dengan orang lain (yang merupakan pihak kedua dalam perjanjian dengan sang debitor itu),

58

Ibid., hlm. 161165.

30buku-5.indd 30

Dokumen Penjelas

12/13/2010 11:00:04 PM

dengan alasan perjanjian tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan oleh undangundang kepada debitor untuk melakukannya, dan juga perjanjian itu merugikan kepentingan kreditor. Hak menggugat yang dimiliki pihak ketiga untuk meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh orang lain inilah yang dinamakan actio pauliana.

8. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak yang Berwenang Karena UUSelain beberapa hal atau kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan batalnya perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi khusus lagi, yaitu pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum dalam sebuah UU yang menyatakan bahwa lembaga atau pejabat publik tertentu berdasarkan UU tersebut berwenang untuk membatalkan perjanjian tertentu. Hal ini ditemukan dalam peraturan berikut ini: a. UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pasal 6 ayat (2): LPS dapat melakukan penyelesaian dan penangananBank Gagal dengan kewenangan: c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank.

Pasal 26: Setelah RUPS menyerahkan hak dan wewenang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25, LPS dapat melakukan tindakan sebagai berikut: g. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.

Pasal 52 ayat (1): Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam

likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha. Pasal 52 ayat (2): Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang.

Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian

31

buku-5.indd 31

12/13/2010 11:00:04 PM

b.

UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan

Pasal 37 A:

1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk bad