Upload
votuong
View
262
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA
ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
TESIS
Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Sebagai Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum Islam
Oleh:
Chindya Pratisti Puspa Devi
10.2.00.0.01.01.0389
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD
KONSENTRASI HUKUM ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/ 1435 H
ii
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, syukur yang tak terhingga atas segala petunjuk
dan kemurahan-Nya tesis yang berjudul Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam ini bisa
terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk sang
junjungan, Nabi Muhammad yang memberi jalan penerangan melalui
dakwah dan pendidikan.
Atas terselesaikannya tesis ini, penulis banyak berhutang budi
kepada beberapa pihak yang telah membantu, baik moral maupun
material. Kepada mereka, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya dan berdoa semoga Allah Ta’ala
memberikan balasan yang tinggi serta menjadi nilai amal yang baik di
sisi-Nya.
Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut penulis
sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar,
MSPD sebagai pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan
dalam penulisan tesis ini, kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA
dan Prof. Azyumardi Azra, MA sebagai Rektor dan Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para deputi
yang telah menyiapkan sarana, fasilitas, dan memberikan kebijakan-
kebijakan untuk memacu berkembangnya suasana akademik di
Sekolah Pascasarjana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
tim penjamin mutu, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Yusuf Rahman, Dr.
Fuad Jabali, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, Prof. Dr. H. M.
Yunan Yusuf, MA, Prof. Murodi, Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Dr.
Sudarnoto Abdul Hakim, MA yang telah memberikan masukan dan
kritikan melalui beberapa ujian work in progress (WIP).
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam membantu
penyelesaian penelitian ini, seperti petugas perpustakaan Sekolah
Pascasarjana, Pak Roviq yang telah membantu penulis dalam mencari
buku-buku yang diperlukan, petugas akademik di sekretariat Sekolah
Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, Mba Ima,
Mas Adam, keluarga Bapak Sugiarto dan anak-anaknya serta kawan-
kawan diskusi yang banyak memberikan inspirasi dalam penulisan
tesis, Zuhriyah Hidayati, Ali Syukron, Rosdelima, Zaura, Pipit, Riri,
dan teman-teman seangkatan lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-satu.
iv
Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Unit
Penanganan Permasalahan Perempuan dan Anak (UP2A) di
KAPOLRES Bekasi Ibu AKP Tri Murti Rahayu beserta jajaran, UP2A
Polresta Cikarang Bpk Sumantri, SH beserta jajaran, Balai
Pemasyarakatan Kelas II Bogor, Ibu Darmalinggawati, Bc.IP. SH. MH.
M.Si, Ibu Teolina, Ibu Heidy Manurung, S.Pd beserta jajaran,
Pengadilan Negeri Bekasi dan Hakim Anak Bpk Bambang Budi
Mursitoh, SH atas waktu dan informasinya dalam membantu penulis
menyelesaikan penelitian tesis ini.
Terakhir namun teristimewa, ucapan terima kasih penulis
kepada suami tercinta, H. Aminuddin Lc, M.Si atas semua cinta,
tanggung jawab, kesabaran, dan semuanya yang diberikan kepada
penulis, terima kasih telah menjadi terlalu baik untuk penulis. Untuk
orang tua penulis, Ayahanda Djati Pratisto, SE dan Ibunda Hadiatty
Tjatur Dewi, SE, penulis sampaikan salam ta’zhim yang tertinggi atas
semua doa dan ridhonya hingga akhirnya penulis merampungkan
sekolah ini. Untuk adik-adikku, Chandyka dan Chendy terus semangat
belajar dan pantang menyerah untuk mencapai cita-cita. Akhirnya,
tulisan ini penulis persembahkan untuk putra tersayang, Muhammad
Alvaro Asyraf Pasya, Muhammad seorang pemimpin yang mulia.
Sebagai hasil karya penelitian, tesis ini dipastikan banyak
kekurangan dan sarat dengan kelemahan dikarenakan kedangkalan
penalaran penulis dan kurangnya informasi serta referensi. Oleh karena
itu, penulis berharap ada masukan dan kritik yang membangun dan
bisa memperbaiki sehingga penelitian bisa diperbaiki dan
disempurnakan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh
sesama dan kemajuan bangsa dan negara.
Jakarta, 28 April 2014
Penulis,
Chindya Pratisti Puspa Devi
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Chindya Pratisti Puspa Devi
NIM : 10.2.00.0.01.01.0389
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1987
Alamat : Perumahan Duren Jaya Jl Eboni 3 Blok
C No 409 Bekasi Timur 17111
menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM adalah karya asli penulis, kecuali
kutipan-kutipan yang jelas sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan
kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Jika kemudian hari karya ini terbukti bukan hasil karya penulis atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa
paksaan dari siapapun.
Jakarta, 28 April 2014
Chindya Pratisti Puspa Devi
vi
vii
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN
Tesis yang berjudul: Restorative Justice Pada Hukum Pidana
Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam, disusun oleh Chindya
Pratisti Puspa Devi NIM 10.2.00.0.01.01.0389 telah dinyatakan lulus
pada ujian Pendahuluan yang diselengarakan pada hari/tanggal Selasa,
15 April 2014.
Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para
penguji sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.
Jakarta, 28 April 2014
No Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Prof. Dr. Suwito, MA
(Ketua Sidang/ merangkap
Penguji)
2. Prof. Dr. Abdul Mujib, MSi
(Penguji 1)
3. Dr. H.M Asrorun Ni’am,
MA
(Penguji 2)
4. Prof. Dr. H.M. Atho
Mudzhar, MSPD
(Pembimbing/ merangkap
Penguji)
viii
ix
ABSTRAK
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan aparat penegak
hukum dalam hal penanganan masalah kenakalan anak dengan
mengedepankan keadilan restoratif telah membangun partisipasi
bersama antara pelaku, korban dan masyarakat dalam menyelesaikan
suatu peristiwa tindak pidana. Pemberian hukuman ta‘zi>r pada tindak
pidana ringan terhadap anak -pelaku tindak pidana- dengan
pengampunan dan pemberian hukuman minimum mengandung banyak
unsur keadilan. Konsep ini sejalan dengan prinsip-prinsip restorative justice. Penelitian ini mendukung pernyataan Nawal H. Ammar (2001)
dan Mutaz M. Qafisheh (2012) yang mengatakan bahwa keadilan
restoratif bertujuan untuk mendamaikan pihak yang berkonflik. Jika
pelanggar bisa direhabilitasi dengan langkah-langkah lain yang lebih
baik maka hukuman harus dihindari. Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan pemberian hukuman minimum merupakan sistem
peradilan pidana Islam yang dapat merubah sistem pidana dari
retributif menjadi restoratif. Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross
(1975), John Rawls (1980) dan Kathleen Daly (2001) yang
menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban,
ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang melakukan
kesalahan dan sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan
kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dalam
penyajian datanya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan
jenis-jenis sumber data yang diperlukan. Sumber data diperoleh
melalui wawancara dan observasi dengan instansi hukum terkait yang
menangani perkara tindak pidana anak seperti Kepolisian, Petugas
Peneliti Kemasyarakatan (Bapas) dan Hakim Anak.
x
xi
ABSTRACT
This study concluded that the policy of law enforcement
officers in the handling of child delinquency problem by promoting
restorative justice have built joint participation among the offender,
the victim and the public in solving an incident of criminal acts.
Establishes punishment ta'zi>r on minor criminal child with forgiveness
and minimum sentencing contained many elements of justice. This
concept is in line with the principles of restorative justice.
This study support the statement of Nawal H. Ammar (2001)
and Mutaz M. Qafisheh (2012) which states that restorative justice
aims to reconcile the conflicting parties. If offenders can be
rehabilitated with the other steps are better than the punishment
should be avoided. In ta‘zir , remission and the minimum punishment
is a criminal justice system of Islam that can change retributive
punishment to be restorative. This study rejects the notion of Alf Ross
(1975), John Rawls (1980) and Kathleen Daly (2001) which state that
the punishment is needed to defend the victim, the imposition of
punishment directed at the suffering of the people who make mistake
and aims to provide criminal sanction for offender suffering as a result
of his action that he felt.
This research is a qualitative research methods with normative
juridical approach in presenting descriptive analytical data. Methods
of data collection in this study using literature study, interview and
observations according to the type of data source types required.
Sources of data obtained through interviews and observations with the
relevant legal agencies that handle criminal cases children as police
officers and judges child social researcher.
xii
xiii
خالطخ
يشكهخ يغ انزؼبيم ف انقب إفبر ػجبؽ سبسخ أ انذساسخ نز انهخض
انؼحخ انجب ث انشبسكخ ثذ قذ انزظبنحخ انؼذانخ رشجغ خالل ي األؽفبل جح
حقشح جبئخ انجب انطفم ػهى انزؼضش .اإلجشايخ األػبل ي انشكهخ حم ف انجزغ
زبشى زا .انؼذانخ ػبطش ي انؼذذ احزهذ قذ انحكى ي األد انحذ انؼقبة ثبنغفشا
.انزظبنحخ انؼذانخ يجبدئ يغ
Nawal H Ammar (2001) انجبحض ثببد طحخ ي انذساسخ ز رذػى
Mutaz M. Qafisheh (2012) األؽشاف ث نهزفق انزظبنحخ انؼذانخ ذف أ ػه
ي انخطاد أفؼم ي غشب يغ رأم إػبدح ك انجشائى يشركت كب إرا. انزبصػخ
نهظبو انؼذانخ ظبو نهؼقبة األدى انحذ انغفشا فإ ,انزؼضش ف . رجج جت انؼقبة صى
. انزظبنحخ انؼقثخ إن انقظبص ػقثخ ي انؼقثخ رغش ك انزي اإلسالي انجبئ
John Rawls (1980), Alf Ross (1975)Kathleen فكشح رشفغ انذساسخ ز
Daly (2001) يؼببح ػقثخ فشع انؼحخ نذفبع رفغ انؼقثخ أ ػهى رظ انز
زجخ فشؼشب انؼببح ػهى نفشع رذف انخطئ ػهى جبئخ ػقثبد انبط
.نزظشفبرى
ثبنطف انطف انؼبسي ثبنج انػ انجحش أسبنت انكبرت سزخذو
ػجش، ؽشقخ ثبسزخذاو انذساسخ ز ف انجببد جغ أسبنت. انجببد ػشع ف انزحهه
حظل رى . انالصيخ انجببد يظبدس ألاع فقب انالحظخ انقبثالد، ، األدثبد يشاجؼخ
انظهخ راد انقبخ انجبد يغ انالحظبد انقبثالد خالل ي ػهب انجببد يظبدس
انطفم أثحبس ػجبؽ انششؽخ ػجبؽ يضم انجبئخ انقؼبب يغ رزؼبيم انز
(Bapas)نهطفم انقبػ.
xiv
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB-LATIN
Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam disertasi ini mengacu pada
pedoman ALA-LC Romanization Tables
A. Huruf Arab-Latin
Huruf
Arab
Huruf Latin
’ ا
B ب
T ت
Th ث
J ج
ḥ ح
Kh خ
D د
Dh ذ
R ر
Z ز
S س
Sh ش
ṣ ص
ḍ ض
ṭ ط
ẓ ظ
‘ ع
Gh غ
F ف
Q ق
K ك
L ل
M م
N ن
W و
H ه
’ ء
Y ي
xvi
Huruf (ة) ta> marbūṭah dalam kata benda atau kata sifat nakirah
(indefinite) dan ma’rifah (definite) dilambangkan denggan hukum [h].
S}ala>h صالة
al-risa>lah الرسالة
Huruf (ة) tā marbūṭah dalam kata benda atau kata sifat berfrasa
adjektiva (tarkīb waṣfi) dilambakan dengan huruf [h].
al-risa>lah al-bahi>yah الرسالةالبهية
al-mar‘ah al-s}a>lih}ah المرءةالصالحة
Huruf (ة) tā marbūṭah dalam kata benda atau kata sifat majemuk
(tarkīb iḍāfi) ditambahkan dengan huruf [t]
Ida>rat al-madrasah ادارةالمدرسة
Qa>‘at al-ida>rah قاعةاإلدارة
B. Vokal
Vokal Tunggal Vokal Rangkap Vokal Panjang
-- -= a و ---= au ا->- = a>
-- -= i ي ---= ay ي ---= a>
-- -=u و ---= u>
C. Kata Sandang
al-Qamar القمر
{Al-S}ubh الصبح
wa al-‘as}r والعصر
xvii
D. Shaddah atau Tashdīd
ta‘allam تعلم
Al-h}ajj الحح
Nu‘‘ima نعم
Maddah
Maddah atau vokal panjang yang panjangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :
Harkat dan Huruf Huruf dan Tanda
<a آ
<i ---ي
<u ----و
xviii
xix
DAFTAR SINGKATAN
ABH : Anak Berhadapan Dengan Hukum
ADR : Alternative Dispute Resolution Anirat : Pencurian dengan Pemberatan
Bapas : Balai Pemasyarakatan
BKA : Bimbingan Klien Anak
BHT : Berkuatan Hukum Tetap
CRC : Convention on the Right of the Child Curas : Pencurian/ Perampukan dengan Kekerasan
FGC : Family Group Conferencing
Gakum : Penegakan Hukum
JPU : Jaksa Penuntut Umum
Kabareskrim : Kepala Badan Reserse dan Kriminal
KHA : Konvensi Hak Anak
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Lapas : Lembaga Pemasyarakatan
Litmas : Penelitian Masyarakat
LPAS : Lembaga Penempatan Anak Sementara
LPKA : Lembaga Pembinaan Khusus Anak
LPKS : Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial
OVA : Offender Victim Arrangement PH : Penasehat Hukum
PK : Pembimbing Kemasyarakatan
Rutan : Rumah Tahanan
SP3 : Surat Perhentian Penyidik Perkara
SPDP : Surat Pemberitahuan Dimualainya Penyidikan
SKB : Surat Keputusan Bersama
TR : Telegram Rahasia
UP2A : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak
UUPA : Undang-Undang Perlindungan Anak
VOM : Victim Offender Mediation
xx
xxi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................... iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .................................. v
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN\ ......... vii
ABSTRAK ............................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ....................................................... xix
DAFTAR ISI .......................................................................... xxi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 12
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 12
D. Signifikasi Penelitian......................................................... 12
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................. 13
F. Metode penelitian ............................................................. 16
G. Sistematika pembahasan ................................................... 18
BAB II: TEORI RETRIBUTIVE JUSTICE, RESTORATIVE JUSTICE DAN TA‘ZI>R DALAM SISTEM HUKUM
PIDANA ANAK
A. Definisi Anak dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)... 21
B. Konsep Retributive Justice dalam Hukum Pidana ............... 26
C. Restorative Justice sebagai Paradigma Keadilan yang Demokratis
dan Manusiawi ..................................................................... 29
D. Pemberian Hukuman Ta‘zi>r Terhadap Pelaku Tindak Pidana dalam
Hukum Pidana Islam ............................................................ 50
BAB III: KEBIJAKAN HUKUM DALAM MENGEMBANGKAN
KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM
PIDANA ANAK INDONESIA DAN ISLAM
A. Arah Kebijakan Restorative Justice sebagai Penanggulangan
Kejahatan ............................................................................. 57
B. Efektifitas Implementasi Restorative Justice dalam perubahan
sikap mental, prilaku, dan menjauhi tindak kiriminal terhadap
anak ..................................................................................... 86
xxii
C. Hambatan dan Kendala dalam menerapkan konsep Restorative Justice ................................................................................... 90
D. Restorative Justice dan Ta‘zi>r sebagai Praktek Keadilan dalam
Hukum Pidana Anak ............................................................. 92
BAB IV: PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DAN
TA‘ZI>R DALAM PENANGANAN KASUS TINDAK
PIDANA ANAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Penyelesaian Kasus Pembunuhan pada Tindak Pidana Anak..... 97
B. Penyelesaian Kasus Pencurian pada Tindak Pidana Anak ......... 111
C. Penyelesaian Kasus Penipuan dan Penggelapan pada Tindak Pidana
Anak ........................................................................................... 123
D. Penyelesaian Kasus Asusila pada Tindak Pidana Anak ............ 128
E. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana
Anak....................................................................................... 138
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 145
B. Saran .................................................................................... 148
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 151
GLOSSARIUM ........................................................................ 165
INDEX ...................................................................................... 179
BIODATA .................................................................................. 185
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konsep keadilan restoratif bagi Anak yang Berhadapan dengan
Hukum atau yang biasa disingkat menjadi ABH sudah cukup popular
di kalangan dunia akademik. Wacana mengenai keadilan restoratif
bagi ABH juga menjadi perbincangan hangat di kalangan pakar dan
praktisi hukum baik di level legislatif maupun eksekutif. Keadilan
restoratif secara filosofis adalah peradilan yang ramah bagi anak
karena tidak menciderai atau merampas hak-hak anak ketika
berkonflik atau berhadapan dengan hukum. Ironisnya justru di level
masyarakat umum dan terutama di kalangan pelaku maupun korban
ABH, wacana mengenai keadilan restoratif belum banyak dikenal.
Mereka bukan saja tidak mengetahui persoalan keadilan restoratif,
namun juga sebagian besar dari mereka tidak mengetahui hak-hak
mereka, baik dalam konteks korban maupun pelaku di hadapan
hukum.1
Perhatian khusus terhadap proses keadilan restoratif di
kalangan anak sangat diperlukan. Pendekatan keseimbangan yang
mendasar juga harus dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi atas dasar
tanggung jawab untuk memulihkan kerugian korban sebagai
konsekuensi tindak pidana, merehabilitasi dan mereintegrasi pelaku
serta memperkuat sistem keselamatan dan mengamankan masyarakat.
Masa remaja membutuhkan bimbingan serta perhatian dan
bukan diisolasi. Remaja memiliki keterikatan dengan lingkungan
khusus seperti sekolah, lapangan kerja, kehidupan agama dan
sebagainya. Memutuskan koneksi dengan lingkungan tersebut karena
kecurigaan, kekhawatiran atau ketakutan terhadap remaja kriminal
disertai dengan pendekatan retributif untuk memidana dan
1Sofian Munawar Asgart, dkk, ‚Keadilan Restoratif Bagi Anak Berhadapan
Dengan Hukum (Kasus Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Medan)‛, Laporan Penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2011,
https://www.academia.edu/4453465/YLBHI_Keadilan_Restoratif_bagi_Anak_yang_
Bermasalah_dengan_Hukum_ABH_Laporan_Penelitian_2011_ (Diakses pada 19
Oktober 2012).
2
menerapkan tindakan, justru akan memicu timbulnya perbuatan
kriminal dan kekerasan selanjutnya.2
Persoalan tersisihnya rasa keadilan dalam masyarakat,
khususnya yang berkaitan dengan anak memang selalu muncul ke
permukaan dengan jenis dan pelaku yang berbeda.3
Jalan menuju
kebijakan dekriminalisasi anak harus dilakukan dan menjadi sebuah
prioritas utama. Hal ini bisa dilakukan bila kita mengembangkan apa
yang disebut sebagai juvenile justice system, yakni konsep rehabilitasi
mental dengan meletakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, jaminan
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta partisipasi
masyarakat dalam mencari jalan keadilan bagi anak-anak yang
berkonflik dengan hukum.4
Aparat penegak hukum yang terlalu berlebihan dalam
menjalankan prinsip proposionalitas dalam penanganan permasalahan
hukum terhadap anak di bawah umur terlihat dari kasus ditangkap dan
ditahannya 10 orang anak yang sedang bermain monopoli bertaruh
dengan uang yang dituduh telah melakukan perjudian dan hakim
mengadili mereka dengan pasal 303 KUHP mengisyaratkan sebagai
mata pencaharian alias pekerjaan.5
Begitu juga kasus AAL yang
2Muladi, Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Semarang, November
2013), 27. 3 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan
Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 2. 4 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 17. 5 Kompas, 31 juli 2009,
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/07/31/18511995/Janggal.
Pengadilan.Anak.Bawah.Umur.di.PN.Tangerang. (Diakses pada 16 Oktober 2012).
Lihat juga Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 7. Menurut pengakuan kesepuluh anak
tersebut, mereka sedang bermain sejenis permainan tradisional yang oleh masyarakat
sekitar diberi nama ‚macan buram‛, permainan tebak-tebakan menggunakan koin.
Kadangkala permainan ini juga menggunakan hadiah uang bagi yang tebakannya
tepat atas gambar koin yang muncul. Inilah alasan polisi menetapkan permainan
tersebut sebagai tindak pencurian. Menurut Hadi Supeno, polisi telah melanggar
prinsip proporsionalitas dalam proses penghukuman. Hal ini dikarenakan apa yang
dilakukan oleh anak-anak hanyalah permainan, memanfaatkan waktu luang. Mereka
adalah anak-anak yang gagal mengakses aneka permainan anak elite dan mahal,
seperti Kidzania atau Dunia Fantasi Ancol, atau bahkan lapangan sepak bola, basket,
bulu tangkis dan juga ruang publik lainnya. Perlakuan aparat kepolisian, kejaksaan
hingga pengadilan negeri jelas sebuah tindakan pidana. Menurut Hadi proses hukum
kepada anak-anak merupakan full pidana karena mereka telah menjalani proses
peradilan panjang dari bulan Mei hingga Juli 2009 (ditangkap, disidik, ditahan 29
3
dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi. Hal ini
terjadi dikarenakan semua perkara pidana yang ditangani polisi dan
jaksa harus bermuara pada pengadilan. Keadaan seperti ini sangat
mengusik rasa keadilan masyarakat, karena aparat terlalu bertindak
legalistik.6
Dalam Undang-Undang No 3 Th 1997 tentang Pengadilan
Anak masih diberlakukan hukum peninggalan belanda yang bersifat
retributif dimana setiap perbuatan kejahatan anak harus dihukum dan
harus diadakan penumpasan/ pemberatasan/ penindasan setelah
kejahatan terjadi.7 Oleh karena itu perlu adanya kajian ulang tentang
Undang-undang peradilan anak, karena anak adalah generasi penerus
bangsa. Merupakan kewajiban semua pihak, khususnya Negara untuk
mempersiapkan dan melindungi masa depan mereka, sehingga
regenerasi dapat berjalan dengan baik.
Anak-anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan
jika ada yang lebih baik demi kepentingan terbaik bagi anak untuk
menangani perbuatan anak yang melanggar hukum.8 Untuk melindungi
anak nakal dari tindakan yang menghambat perkembangannya maka
perlu dibuat hukum pidana dan hukum acara pidana yang khusus.9
hari, dan diadili sebanyak 3 kali persidangan), memang keputusan PN Tangerang
adalah mengembalikan anak-anak kepada orang tua mereka, tetapi bunyi putusan
lain (vonis) menyatakan bahwa anak-anak bersalah.
6 Ezra Sihite, Kompas, 06 januari
2012http://www.beritasatu.com/mobile/nasional/24715-kasus-sandal-bukti-
mendesaknya-aturan-sistem-peradilan-anak.html. (Diakses pada 16 Oktober 2012). 7Paulus Hadisuprapto pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang
Kriminologi menyatakan ‚Meskipun UU no 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak
secara normatif sedikit banyak telah memberikan rambu-rambu penanganan anak
pelaku delinkuen, ternyata dalam pelaksanaanya tidak terwujud. Penanganan anak
justru cenderung membekaskan stigma negatif pada diri anak dan pada
mengakibatkan pada anak-anak itu untuk mengulangi perbuatannya lagi di masa
yang datang.‛ Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Kriminologi pada
Fakultas Hukum UNDIP Semarang dengan judul ‚Peradilan Restoratif: Model
Peradilan Anak Indonesia Masa Datang‛ pada tanggal 18 Februari 2006,
http://eprints.undip.ac.id/336/1/Paulus_Hadisuprapto.pdf. 8 DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes and Special
Children’s Court in Indonesia‛, 1, http://www.general-files.org/go/139189414500
(accessed October 30, 2013). 9Ainal Mardiah, Mohd. Din, Riza Nizarli, ‚Mediasi Penal sebagai Alternatif
Model Keadilan Restoratif dalam Pengadilan Anak‛, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syia Kuala vol. 1, no. 1, (Agustus 2012), 3,
4
Dengan adanya UU Sistem Peradilan Anak yang baru, seharusnya
anak-anak yang tersangkut hukum tidak dijebloskan ke penjara, namun
bisa dibina di panti, pemondokan atau asrama khusus.
Beragam tindak kejahatan yang dilakukan anak seharusnya
dipandang sebagai bukan suatu ‛kejahatan murni‛ melainkan suatu
bentuk kenakalan remaja, karena perbuatan yang dilakukan oleh anak
tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu secara
mandiri. Dalam banyak kasus, tampak jelas bahwa anak sebagai
pelaku kejahatan seringkali juga sekaligus sebagai korban. Anak yang
menjadi pelaku kejahatan seringkali menjadi korban lingkungannya,
korban ketidakberdayaan, dan korban dari sebuah sistem yang
mengabaikannya.10
Hal ini sesuai dengan pendapat Patton yang
menyatakan bahwa kekhususan dalam penanganan masalah kenakalan
anak sangat dibutuhkan karena anak sebagai pelaku bukanlah sebagai
pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban. Anak-anak merupakan
individu yang dapat dibentuk dan dibina sehingga bisa menjadi
anggota masyarakat yang produktif.11
Kebanyakan kasus yang terjadi pada anak-anak yang
berhadapan dengan hukum disebabkan karena orang tua atau wali
gagal dalam mendidik dan mengajarkan mereka, karena
ketidakmatangan fisik dan mentalnya.12
Anak-anak membutuhkan
perlindungan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak baik
sebelum maupun setelah kelahirannya.13
Begitu juga dalam kasus anak
di Indonesia, meningkatnya berbagai bentuk pengabaian dan
pelanggaran hak anak di Indonesia, menunjukkan bahwa negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal
http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2012/Agustus/MEDIASI%20P
ENAL%20SEBAGAI%20ALTERNATIF.pdf (diakses pada 3 Maret 2013). 10Sofian Munawar Asgart, dkk, ‚Keadilan Restoratif Bagi Anak Berhadapan
Dengan Hukum (Kasus Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Medan)‛. 11 William Wesley Patton, ‚Contemporary Juvenile Justice System And
Juvenile Detention Alternatives‛ Juvenile Justice System, .http://education.stateuniversity.com/pages/2141/- (accessed Oktober 17, 2012).
12 Rolando V. Del Carmen and Chald R. Trulson, Juvenile Justice: The System, Process and Law (Thomson: Wadsworth, 2006), 22.
13 Santi Kusumaningrum, dkk, ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial
untuk Anak di Indonesia‛, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia, 2011), 3.
5
menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dalam memberikan
perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak anak di Indonesia.14
Dalam hal ini peradilan yang tepat untuk pelaku pidana anak
seharusnya adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki
dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni
kehidupan terjaga.15
Penanganan ABH melalui pendekatan keadilan
restoratif dapat menjadi alternatif. Hal ini sejalan dengan prinsip yang
termuat dalam Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990
tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan kemudian dikukuhkan
lagi dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Dalam kedua peraturan itu tampak jelas adanya upaya untuk
melindungi ABH khususnya menyangkut prinsip The Best Interest of The Child. Oleh karena itu pemidanaan terhadap anak harus dijadikan
sebagai langkah akhir (ultimatum remedium).
Penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak
harus lebih mementingkan kepada masalah pendidikan yang perlu
diberikan kepada pelaku pidana anak. Oleh karena itu hakim harus
sadar bahwa hal terpenting bagi anak adalah bukan apakah anak
tersebut harus dihukum, melainkan tindakan yang bagaimana yang
harus diambil untuk mendidik anak itu.
Pada dasarnya sistem peradilan pidana di Indonesia seperti
peradilan pidana pada umumnya di negara-negara lain, bersifat
retributif yang menitik beratkan pada penghukuman pelaku
(retributive punishment). Orientasi penghukuman ini bertujuan untuk
melakukan pembalasan dan pemenuhan tuntutan kemarahan publik
akibat perbuatan pelaku. Alternatif dari retributive punishment ini
adalah gagasan yang menekankan pentingnya solusi untuk
memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan
harmoni pada masyarakat dan tetap menuntut pertanggung jawaban
pelaku. Teori ini dikenal sebagai restorative justice atau keadilan
restoratif.16
14 Komisi Nasional Perlindungan Anak, ‛Menggugat Peran Negara,
Pemerintah, Masyarakat Dan Orang Tua Dalam Menjaga Dan Melindungi Anak‛,
21 Desember 2011, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-
2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/(Diakses pada 19 Oktober 2012). 15Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 193. 16 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, ‚Kata Sambutan Mas Achmad
Santosa- Pegiat Akses Terhadap Keadilan, Salah Seorang Penggagas Indonesia
6
Dalam aturannya, hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi
pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena menjadi tidak
manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Hukum pidana juga tidak
benar jika hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht), karena akan timbul kesan memanjakan penjahat dan kurang
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan korban
tindak pidana.17
Alternatif keadilan retributif mengasumsikan bahwa
perdamaian tidak akan pernah dapat tercapai dengan melakukan
tindakan-tindakan pembalasan sehingga tindakan pemaafan dan
pengampunan dilibatkan dalam menyediakan proses penyehatan yang
sangat diperlukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.18
Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma
baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice
(keadilan restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan
dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena
menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.19
Di banyak negara
konsep restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan
penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus menerus
dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang.20
Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban
kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun
perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk
bertanggungjawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat.21
PBB
Institutefor Conflict Resolution‛, dalam buku Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia (Depok: Indie Publishing, 2011), xxiii.
17Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban
Dalam Bidang Hukum Pidana Formil,
http://eprints.undip.ac.id/35224/3/HasilPenelitian.pdf (diakses pada 10 Maret 2013). 18 Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 65. 19 DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes and Special
Children’s Court in Indonesia‛, 4. 20 Marlina, Peradilan Pidana anak di Indonesia- Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 196. 21DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes , 4.
7
juga telah mengesahkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar tentang
penggunaan program restorative justice dalam masalah pidana.22
Pada keadilan restoratif perbaikan keadilan ditegaskan kembali
dengan nilai kebersamaan dalam proses bilateral, berbeda dengan
keadilan retributif yang mengacu pada perbaikan keadilan melalui
pemaksaan sepihak. Konsep keadilan restoratif dimana semua pihak
baik korban atau pelaku memiliki suara dalam dialog terbuka untuk
menegaskan kembali keputusan hukuman terbaik.23
Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan
restoratif tidak berlaku untuk semua jenis tidak pidana. Selandia Baru,
Kanada, Filipina, dan Inggris lebih menerapkannya pada kasus-kasus
pidana yang dilakukan anak-anak. Adapun Afrika Selatan pernah
menerapkan konsep keadilan restoratif untuk aksi kekerasan pada
rezim apartheid. Di Indonesia, konsep keadilan restoratif, telah
diterapkan oleh sejumlah hakim yang berpikiran maju. Dalam sebuah
kasus tindak asusila di Langkat Sumatera Utara, terdakwa dan korban
sama-sama masih di bawah umur. Hakim mencoba mendengar korban,
pelaku, kepala desa, dan kepala sekolah. Kepala desa tidak
berkeberatan pelaku dikembalikan ke masyarakat karena selama ini
juga berkelakuan baik. Putusan ini adalah salah satu putusan mediasi
penal yang menunjukkan hakim menerapkan prinsip-prinsip keadilan
restoratif dengan mendengar semua pihak yang terkait.24
Meskipun istilah atau kalimat restorative justice tidak
digunakan di dalam hukum Islam, tetapi dengan melihat filosofi dan
prinsip-prinsip yang mendasari hukuman dalam Islam ditambah
dengan adanya alternatif untuk hukuman asli yang diajukan oleh
yurisprudensi, dapat disimpulkan bahwa keadilan restoratif ada
22Daniel W. Van Ness, ‚An Overview of Restorative Justice Around the
World‛, International Journal Workshop Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice, (Bangkok, Thailand, 22 April 2005), 1,
http://www.icclr.law.ubc.ca/publications/reports/11_un/dan%20van%20ness%20fina
l%20paper.pdf (accessed February 21, 2013). 23 Michael Wenzel, Tyler G. Okimoto, Norman T. Feather, Michael J.
Platow, ‚Retributive and Restorative Justice‛, Law and Human Behavior issue 5 vol
32 (Published online: October 24, 2007 ), 385,
http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/204150778/abstract/14066C48066625370
D7/2?accountid=25704 (accessed March 12, 2013). 24 Muhammad Yasin, dkk, ‚Keadilan Restoratif Dimulai dari Perkara Anak‛
Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan Komisi Yudisial Vol 4 No 4(Januari-
Februari 2012), 17, http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-
februari-2012.pdf (Diakses pada 8 Februari 2014).
8
sebagai aturan dalam hukum Islam. Sistem peradilan Islam bisa
menjadi bagian dari upaya untuk mengembangkan standar keadilan
restoratif karena ketentuan hukum Islam hampir semua berbentuk
alternatif yang dikenal dalam sistem keadilan restoratif. 25
Dalam pelaksanaan hukum pidana, Ulama-Ulama dahulu
banyak memahaminya lewat pendekatan jawa>bir. Sebagian Ulama
yang lain ada yang memandang bahwa pelaksanaan hukum pidana
disamping mengandung unsur jawa>bir juga mengandung unsur zawa>jir. Jawa>bir artinya hukuman itu dilaksanakan dengan tujuan agar pelaku
kejahatan/ terpidana merasa kapok tidak akan mengulangi lagi
perbuatannya dan pihak lain yang berniat jahat merasa takut sehingga
mengurungkan niat jahatnya tersebut.
Menurut Ibrahim Hosen, dalam rangka pembaharuan hukum
Islam, khususnya di bidang hukum pidana, kita dapat berpedoman dan
menerapkan teori zawa>jir. Atas dasar ini pelaku kejahatan dapat
dikenakan hukuman apa saja, asal dengan hukuman itu dapat dijamin
bahwa yang bersangkutan akan kapok dan tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Dengan teori zawa>jir ini pemberian hukuman tidak
harus persis seperti apa yang ditegaskan oleh nas}, namun tidak berarti
kita meninggalkan nas}. Hukuman yang ditetapkan oleh nas} tetap
berlaku dan dianggap sebagai hukuman maksimal. Teori zawa>jir dalam pelaksanaan hukuman ini sebagai cerminan pendekatan ta’a>quli> dalam memahami nas}.26
Dalam hal ini terdapat kesalahan bahwa hukum pidana Islam
hanya bertujuan untuk membalas (retributive justice) karena orang
hanya teringat dengan qis}a>s} saja. Padahal hukuman dalam hukum
pidana Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan (lebih tampak pada
hukuman qis}a>s} – diyat), membuat jera pelaku/ prevensi khusus (lebih
nampak pada hukuman hudu>d), memberi pencegahan secara umum/
prevensi general, dan memperbaiki pelaku (lebih tampak pada
hukuman ta‘zi>r).27
25Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences vol 7 issue 1 (January-June 2012), 503,
http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/mutazaicjs2012istissue.pdf (accessed February 25,
2013). 26 Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: CV
Putra Harapan, 1990), 127. 27Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani,
2003) 93.
9
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) juga dinyatakan bahwa tujuan pemidanaan dimaksudkan
untuk mencegah dilakukannya lagi tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat, memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat serta membebaskan rasa bersalah pada
terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.28
Yurispudensi pidana Islam dan keadilan restoratif umum
meskipun datang dari dua tradisi berbeda tetapi keduanya menekankan
martabat individu dan peluang dukungan untuk rehabilitasi dan
penyembuhan bagi semua pihak yang terkena kejahatan. Dalam
hukum, keterlibatan masyarakat dan korban untuk menetapkan suatu
hukuman sangat dibutuhkan guna mendapatkan kata sepakat dan
kepuasan korban serta keputusan terbaik bagi pelaku dapat tercapai.29
Dalam hukum Islam jenis hukuman yang tidak terdapat di
dalam ketentuan nas} disebut dengan jari>mah ta‘zi>r. Ulama sepakat
bahwa ta‘zi>r dapat diterapkan pada setiap pelanggaran yang tidak ada
hukuman h}ad dan kafarah-nya meskipun dalam pelanggaran atas hak-
hak Allah seperti makan pada waktu siang di bulan ramadhan tanpa
alasan yang jelas, meninggalkan s}alat, riba; ataupun dalam
pelanggaran atas hak adami> seperti berkhalwat, mencuri suatu barang
yang tidak mencapai nis}a>b, mencuri suatu barang yang tidak berada
pada tempat yang terjaga, melakukan penipuan, dan sebagainya yang
merupakan pelanggaran ringan. 30
Menurut mazhab Hanafi, penetapan sanksi ta‘zi>r diserahkan
kepada U>lil ‘Amr termasuk batas minimal dan maksimalnya. Di
kalangan mazhab Maliki penetapan sanksi ta‘zi>r disesuaikan dengan
kondisi pelakunya. Menurut mazhab Syafi’i>, ta‘zi>r pada prinsipnya
28Buku I RKUHP Bab III Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Bagian Kesatu
Pemidanaan Paragraf I Tujuan Pemidanaan Pasal 54. 29 Susan C. Hascall, ‛Restorative Justice in Islam: Should Qis}a>s} be
Considered a Form of Restorative Justice‛, Berkeley Journal of Middle Eastern and Islamic Law no 11 (2012), 2,
http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1005&context=susan_hascall
(accessed February 25, 2013). 30Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa adilatuhjuz 7, (Beirut: Dār al-Fikr
2007), 5591.
10
diserahkan kepada U>lil ‘Amr baik tentang jenisnya maupun tentang
kadarnya dan disesuaikan dengan perbedaan jarimahnya. Menurut
mazhab Hanbali, hukuman ta‘zi>r diserahkan kepada U>lil ‘Amr untuk
ditetapkan sesuai dengan jari>mah dan keadaan pelakunya.31
Pemberian hukuman ta‘zi>r adalah sebagai peringatan yang
bersifat mendidik karena tujuan hukum pada umumnya adalah
menegakkan keadilan sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman
pada masyarakat. Oleh karena itu putusan hakim seharusnya
mengandung rasa keadilan dan didasarkan pada pertimbangan akal
sehat dan keyakinan untuk mewujudkan mas}lahah agar dipatuhi oleh
masyarakat.
Islam mengedepankan pandangan realistis terhadap hak-hak
manusia dalam penetapan syariatnya, selaras dengan fitrah
kemanusiaan, dan gambarannya bersifat tetap.32
Menurut Ibnu
Khaldun, meskipun syariat menentukan sanksi-sanksi untuk tindak
pidana, tetapi syariat tidak menentukan secara khusus sarana-sarana
yang dapat digunakan untuk menahan pelaku dan membawanya untuk
diadili. Hal itu terletak pada kekuasaan politik untuk mengadakannya
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Jadi prosedur-prosedur
penyidikan dan penuntutannya dianggap dalam wilayah politik
(siya>sah) atau dari kekuasaan yang diserahi.33
Dalam hukum Islam anak-anak diberikan kebebasan dan belum
dibebani oleh tanggungjawab akan hukum. Dalam hadits diriwayatkan
‚Telah menceritakan kepadaku Husyaim, katanya: telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ali r.a ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Diangkat pembebanan hukuman dari tiga jenis orang: anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sembuh. (HR Ahmad).
34
Hukum Islam yang sangat memperhatikan dan mengedepankan
pandangan realistis terhadap hak-hak manusia terdapat kesamaan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi tampaknya aparat
yang menindak perkara hukum anak di Indonesia terlalu bertindak
legalistik, sehingga secara yuridis normatif perkara pidana sekecil
31Nurrohman, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka al-Kasyaf, 2007),
101. 32Muh{ammad Ah{mad Mufti> dan Sa>mi> S{a>lih{ al-Waki>l, H{uqu>q al-Insa>n fi> al-
Fikr as-Siya>si> al-Gharbi> wa ash-Shar’i> al-Isla>mi>(Beirut: Da>r an-Nahd{ah al-Islami>yah,
1992), 21. 33Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, 58. 34Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad jilid 2 (Cairo: Darussalam, 2008), 172.
11
apapun harus tetap diproses di pengadilan. Hal seperti ini mengusik
rasa keadilan masyarakat.
Dari pemaparan diatas penulis ingin membahas bagaimana
kebijakan dan implementasi restorative justice dalam kasus tindak
pidana anak di Indonesia kemudian melihatnya menurut Hukum Islam.
Pertanyaan penting yang akan dibahas diantaranya adalah apakah
konsep keadilan restoratif dapat dipraktekan pada pelaku tindak
pidana anak dan apakah konsep ta‘zi>r dalam hukum Islam yang
memberi pencegahan dan memperbaiki pelaku kejahatan sejalan
dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif serta bisa menjadi sebuah
praktek keadilan bagi anak pelaku tindak pidana. Oleh karena itu
penulis ingin mengkaji lebih dalam dan menjadikannya sebuah tesis
dengan judul ‚Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia
Dalam Perspektif Hukum Islam‛.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan masalah-masalah yang ada dalam latar belakang
penelitian ini, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Penerapan Keadilan Restoratif pada kasus pidana anak sebagai
konsep peradilan yang ramah bagi anak dan melihat
kepentingan terbaik bagi anak.
2. Relevansi pemberian hukuman ta‘zi>r dan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana anak sebagai konsep keadilan
bagi anak.
3. Konsep ta‘zi>r dan restorative justice dalam pemberian
hukuman terhadap pelaku tindak pidana anak sebagai
pendidikan dan bukan sebagai pembalasan.
4. Kebijakan dan Implementasi Restorative Justice pada kasus
pidana anak dalam perspektif hukum Islam.
5. Restorative Justice pada hukum pidana anak Indonesia dalam
perspektif hukum Islam.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
diuraikan diatas maka rumusan permasalahan yang akan di bahas
adalah sebagai berikut :
‚Bagaimana Kebijakan dan Implementasi Restorative Justice pada
Hukum Pidana Anak di Indonesia dalam perspektif Hukum Islam?
12
3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membahas pada permasalahan kebijakan dan
implementasi Restorative Justice terhadap pelaku tindak pidana anak
perspektif hukum Islam. Penelitian ini dibatasi pada pelaku tindak
pidana anak di Indonesia khususnya di daerah sekitar Bekasi yang
berada dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor Periode 2011-
2013.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini secara umum untuk melakukan
perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Secara rincinya sesuai dengan permasalahan diatas maka tujuan
khusus penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep kebijakan dan implementasi
restorative justice pada kasus-kasus pidana terhadap anak di
Bekasi.
2. Untuk mengetahui konsep restorative justice dalam
penyelesaian perkara pidana khususnya dalam perkara anak
menurut hukum Islam.
D. Signifikasi Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat:
a. Memberikan pemahaman terhadap konsep restorative justice menurut hukum pidana positif Indonesia dan hukum Islam serta
penerapan dalam sistem peradilan pidana khususnya pidana
anak sehingga menjadi tambahan pengetahuan dan
perbandingan serta memberikan masukan evaluasi khususnya
dalam tata cara penyelesaian perkara pidana anak di Indonesia.
b. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat
menciptakan unifikasi dibidang hukum pidana khususnya
pidana anak untuk menuju kodifikasi hukum hingga dapat
mewujudkan hukum pidana anak yang sesuai dengan syariat
Islam di Indonesia.
13
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Diantara tulisan yang ditemukan mengkaji tentang konsep
restorative justice adalah tulisan Braithwaite yang menyatakan bahwa
dalam proses keadilan restoratif dapat mengembalikan korban, pelaku,
dan masyarakat menjadi lebih baik daripada yang ada dalam praktek
peradilan pidana. Dikatakan bahwa sistem keadilan restoratif juga
dapat mencegah, melumpuhkan, dan merehabilitasi lebih efektif
daripada sistem hukuman.35
Penelitian yang dilakukan oleh OJJDP (Office of Juvenile Justiceand Deliquency Prevention) menunjukkan bahwa keadilan
retributif hanya fokus pada dendam publik dan penyediaan hukuman
melalui proses yang berlawanan. Adapun keadilan restoratif berkaitan
dengan hubungan yang lebih luas antara pelaku, korban, dan
masyarakat, serta memberikan prioritas untuk memperbaiki kerusakan
atau kerugian yang ditanggung korban dan masyarakat korban.
Keadilan restoratif berbeda dari keadilan retributif dalam
pandangannya tentang kejahatan sebagai lebih dari sekedar
pelanggaran hukum karena fungsi yang paling penting dari keadilan
adalah untuk memastikan bahwa bahaya ini diperbaiki.36
Gordon Bazemore menyatakan bahwa wawasan terpenting dari
pendekatan restoratif adalah bahwa praktek, program, dan proses yang
terbaik adalah memenuhi kebutuhan korban dan pelaku. Oleh karena
itu keadilan restoratif memiliki potensi untuk meningkatkan status
program reparatif. Keadilan restoratif dan ‚keseimbangan‛ adalah
sebuah model intervensi untuk menempatkan korban dalam misi
direstrukturisasi.37
Ted Gordon Lewis menunjukkan bahwa inti dari filosofi
restoratif adalah cara di mana masyarakat, korban, dan pelaku harus
mendapat perhatian yang seimbang dalam menanggapi setiap
kejahatan. Dibutuhkan peran aktif dan kerjasama yang nyata antara
35 John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation,
(Oxford: University Press, 2002). 36 OJJDP (Office of Juvenile Justiceand Deliquency Prevention),‚Balanced
and Restorative Justice for Juveniles A Framework for Juvenile Justice in the 21st
Century‛, Balanced and Restorative Justice Project University of Minnesota,
August, 1997. (Shay Bilchik as the Administrator Office of Juvenile Justice and
Delinquency Prevention.) 37Gordon Bazemore, ‚Crime Victims and Restorative Justice in Juvenile
Courts: Judges as Obstacle or Leader?‛, Western Criminology Review, 1998,
http://wcr.sonoma.edu/v1n1/bazemore.html.
14
para penegak hukum, LSM dan masyarakat dalam mengatasi
permasalahan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.38
Van Ness menyatakan bahwa pelaku dan korban yang
berpartisipasi melalui pendekatan keadilan restoratif dalam
menyelesaikan permasalahan tindak pidananya cenderung lebih tinggi
tingkat kepuasannya dibandingkan dengan diselesaikan melalui proses
pengadilan. Hal ini disebabkan karena pelaku, korban dan masyarakat
berpartisipasi bersama-sama secara aktif dalam penyelesaian masalah-
masalah yang timbul dari suatu kejahatan untuk mencapai hasil yang
restoratif.39
Menurut Darrell James Fox, dibutuhkan pendekatan yang lebih
untuk mengatasi kebutuhan anak-anak meliputi baik hukum dan
kesejahteraan. Konsep restorative justice membuktikan bahwa antara
korban dan pelaku mencapai tingkat kepuasan yang baik, tingkat
kepatuhan yang tinggi dan pengurangan tingkat kenakalan.40
Penelitian Jeff Latimer, Craig Dowden and Danielle Muise
menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pendekatan tradisional
nonrestorative, keadilan restorative ditemukan lebih berhasil dalam
mencapai tujuan. Program keadilan restoratif adalah metode yang
lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pelaku dengan restitusi,
dan mengurangi residivisme pelanggar.41
Hadi Supeno menyatakan bahwa model keadilan restorative
lebih pada upaya pemulihan hubungan antara pelaku dan korban.
Kajian ini lebih menekankan pada aspek perlindungan pidana anak
yang dinyatakan dalam tulisannya bahwa sudah saatnya menghentikan
38 Sejak didirikan pada tahun 1999, Barron County Restorative Justice
Programs (BCRJP), dalam kemitraan dengan pemerintah berbasis lembaga di Barron
County, Wisconsin, telah menunjukkan manfaat yang lebih besar mengintegrasikan
layanan berbasis masyarakat dengan sistem peradilan anak, BCRJP telah
menghasilkan sejumlah manfaat, antara lain: kejahatan dan residivisme telah
menurun, Ted Gordon Lewis, ‚A Partnership Model for Balancing Community and
Government Resources for Juvenile Justice Service‛, Journal of Juvenile Justice, Vol
1 Issue 1, Fall 2011. 39Daniel W. Van Ness, ‚An Overview of Restorative Justice Around the
World‛, International Journal Workshop Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice (Bangkok. Thailand, 22 April 2005).
40Darrell James Fox, ‚Restorative Justice The Current Use of Family Group
Conferencing in the British Youth Justice System‛, IUC Journal of Social Work Theory and Practice, issues 10, 2004/2005.
41Jeff Latimer, Craig Dowden and Danielle Muise, ‚The Effectiveness of
Restorative Justice Practices‛, The Prison Journal, Vol. 85 No. 2, June 2005.
15
kriminalisasi anak dengan cara membangun sistem peradilan anak
dengan semangat melindungi dan bukan mengadili.42
Marlina memaparkan tentang peradilan pidana anak di
Indonesia dengan menawarkan konsep diversi dan restorative justice
yang merupakan proses penyelesaian perkara di luar sistem peradilan
untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian dengan mengutamakan
perbaikan, perdamaian, pemulihan dan perlindungan.43
Mutaz M. Qafisheh menjelaskan bahwa keadilan restorative bukanlah suatu hal yang baru dalam sistem peradilan pidana Islam.
Dalam hal ini ditemukan bahwa hukum Islam dianut hampir semua
berbentuk mekanisme restoratif, seperti adanya kompensasi, konsiliasi
dan pengampunan. Hal ini membuktikan bahwa hukuman yang berat
dianggap sebagai pencegahan bukan dianggap sebagai hukuman yang
sebenarnya untuk pelaksanaan.44
Nawal H. Ammar menyatakan bahwa pemberiaan maaf dan
peringanan hukuman terhadap pelaku tindak pidana dengan
pengampunan dari pihak korban serta penyesalan dari pelaku
menghapuskan hukuman berat bagi pelaku. Pemaafan dan perdamaian
merupakan konsep restorative justice dalam Islam yang paling cocok
untuk mengubah keadilan dalam sistem peradilan pidana dari
retributive menjadi restorative.45
Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross dan John Rawls yang
menyatakan bahwa hukuman ditujukan pada pengenaan penderitaan
terhadap orang yang melakukan kejahatan.46
Dalam pemberian
hukuman, orang yang melakukan kejahatan harus menderita/
mendapatkan hukuman sebanding dengan apa yang dia lakukan dan
beratnya hukuman yang diberikan harus sesuai dengan perbuatannya.47
42 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan
Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010). 43 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice (Bandung: PT Refika Aditama, 2009). 44Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences Vol 7 Issue 1 January – June 2012.
45Nawal H. Ammar, ‚Restorative Justice in Islam: Theory and Practice ‚,
The spiritual Roots of Restorative justice, edited by Michael L. Hadley (Albany:
State University of New York Press, 2001). 46 Alf Ross, On Guilty, Responsibility and Punishment, Steven and Sons
Ltd., London, 1975. 47 Richard A. Posner, Retribution and Related Concepts of Punishment, The
journal of Legal Studies Vol 9 no 1 Jan 1980 –jstor.org.
16
Penelitian ini juga menolak pendapat Kathleen Daly yang
menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban agar
pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya hukuman.
Daly mengemukakan bahwa hukuman merupakan pengenaan
penderitaan kepada pelaku. Daly juga menambahkan bahwa keadilan
restoratif terlalu banyak memberikan janji kepada masyarakat.48
Dari berbagai penelitian tersebut diatas, peneliti belum
menemukan penelitian yang berkaitan tentang kebijakan dan
implementasi restorative justice terhadap pelaku pidana anak
Indonesia dalam perspektif Hukum Islam.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan
penelitian lapangan (field research) dan juga dilengkapi dengan
penelitian kepustakaan (library research). Penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif yang mempunyai tipe yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada
dalam masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dalam
penyajian datanya. Peneliti mencoba menggambarkan dan menganalisa
data mulai dari tahap pengumpulan, penyusunan data kemudian
dianalisis dan diinterpretasi terhadap data tersebut.49
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan jenis-jenis
sumber data yang diperlukan. Metode pengumpulan data primer
dengan metode wawancara dan juga dengan cara membandingkan
beberapa pendapat tentang teori hukuman restorative justice dalam
sistem peradilan pidana, dikaji dengan melakukan kritik konstruktif
kemudian ditinjau dari perspektif hukum Islam. Penulis juga
mengungkap keterkaitan sistem restorative justice yang berlaku di
Indonesia terhadap pelaku pidana anak berdasarkan perundang-
48 Kathleen Dally, ‚Restorative Justice: The Real Story‛, School of
Criminology and Criminal Justice, Griffith University, Brisbane, Queensland,
Australia (Version Revised, 12 July 2001)
http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/50321/kdpaper12.pdf. 49 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito,
1980), 136.
17
undangan yang berlaku lalu dianalisa latar belakang teori hukuman
dari sistem peradilan tersebut. Dalam hal ini penulis menganalisa
pendapat aparat penegak hukum tentang sistem restorative justice
pada peradilan anak lalu dibandingkan dengan teori hukuman
perspektif hukum Islam. Adapun studi pustaka dilakukan terhadap
data sekunder yang diperoleh dengan mempelajari peraturan perundang
undangan, literatur, hasil penelitian serta dokumen-dokumen resmi
yang berkaitan dengan obyek penelitian.50
2. Sumber Data dan Metode Analisis Data
a. Sumber Data
1) Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi dengan
instansi hukum terkait yang menangani perkara tindak pidana anak
seperti Kepolisian, Petugas Peneliti Kemasyarakatan (Bapas) dan
Hakim Anak. Selain menggunakan data primer, penelitian ini juga
menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari: KUHP (Kitab
undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana), Undang-undang tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU RI No 3 Th.1997), Undang-undang tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU RI No 11 Th.2012) dan
Undang-Undang Perlindungan Anak (No 23 Th. 2002).
2) Data Sekunder data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku yang membahas tentang hukum pidana anak serta
jurnal-jurnal ilmiah.
b. Metode Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode
penelitian kualitatif maka data yang diperoleh dari usulan penelitian
tersebut akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisis kasus per-kasus
dengan pendekatan undang-undang yang berkaitan dengan
perlindungan anak dan peradilan anak kemudian dijelaskan dalam
perspektif hukum Islam sehingga menghasilkan laporan penelitian
50Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna
yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-
undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik
dan putusan hukum. Abu Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum Islam- Hukum Barat) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 77.
18
yang bersifat deskriptif analitis.51
Semua teknis analisis data kualitatif
berkaitan erat dengan metode pengumpulan data yaitu observasi dan
wawancara ataupun focus group discussion.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I : Bab pertama adalah bab Pendahuluan yang berisi latar
belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian,
signifikasi penelitian, penelitian terdahulu yang relevan,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Bab ini membahas tentang definisi anak dan anak yang
berkonflik dengan hukum serta wacana konsep retributive versus restorative justice dan konsep ta‘zi>r dalam menetapkan
putusan hukuman yang diberikan kepada pelaku anak yang
melakukan tindak kriminal, variasi penerapan restorative justice, perkembangan dan pelaksanaan restorative justice di
Indonesia, serta membahas tentang pemberian hukuman ta‘zi>r terhadap pelaku tindak pidana dalam hukum Islam.
Bab III: Bab ini berisi arah kebijakan restorative justice untuk anak
yang terpidana sesuai dengan hukum positif di Indonesia,
serta menjelaskan sistem restorative justice sebagai
penanggulangan tindak kejahatan pidana atas anak dan
dijelaskan tentang efektivitas implementasi restorative justice atas pelaku tindak kriminal anak dalam perubahan sikap
mental, prilaku dan menjauhi pengulangan tindak kriminal.
Dalam bab ini juga dijelaskan hambatan dan kendala dalam
menerapkan konsep restorative justice, dan juga dijelaskan
tentang konsep restorative justice dan ta‘zi>r sebagai praktek
keadilan dalam hukum pidana.
Bab IV:Bab ini menguraikan tentang kasus-kasus yang termasuk
kedalam pidana anak, dianalisa dan dijelaskan bagaimana
kasus tersebut dapat diselesaikan dengan konsep restorative justice menurut hukum positif di Indonesia dan menurut
hukum Islam.
51 Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Zainuddin Ali,
Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 107.
19
Bab V : Dalam bab ini berisi suatu kesimpulan sebagai jawaban dari
permasalahan dan tujuan penelitian pada bab-bab sebelumnya,
serta saran-saran atau rekomendasi-rekomendasi terkait
dengan judul penelitian.
20
21
BAB II
TEORI RETRIBUTIVE JUSTICE, RESTORATIVE JUSTICE DAN
TA‘ZI>R DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ANAK
Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami
reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan
kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai
meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat retributif. Hal
ini disebabkan oleh kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki
tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh
anak. Pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan
alternatif solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan
memberikan perhatian lebih untuk melibatkan mereka secara langsung
(reintegrasi dan rehabilitasi). Dalam bab ini dijelaskan tentang definisi
anak, anak yang berkonflik dengan hukum dan juga dijelaskan konsep
retributif dalam hukum pidana positif, restoratif menurut hukum
pidana positif dan Islam serta pemberian hukuman ta’zi>r terhadap
pelaku tindak pidana dalam hukum Islam.
A. Definisi Anak dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)
1. Anak menurut Undang-Undang di Indonesia
Anak dalam konteks perundang-undangan di Indonesia
mempunyai batasan umur yang berbeda-beda. Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau
Konvensi Hak Anak (KHA) menetapkan anak adalah orang yang
berada di bawah umur 18 tahun termasuk anak dalam kandungan juga
yang sudah menikah.1
Dalam hukum Perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum
berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.2 Menurut UU No 3 tahun
1Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak
Pasal 1. Lihat juga Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak- Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),
40. 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie) Bab XV Pasal 330 dinyatakan ‚Yang belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila
perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.‛
Menurut konsep hukum Perdata Pendewasaan ada 2 macam, yaitu:
pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu
22
1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan bahwa anak nakal adalah
yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun
dan belum pernah menikah. UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak ini juga sudah mengalami reformasi menjadi Undang-undang No
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) frasa 8 tahun
dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU
Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat. Dengan demikian, MK memutuskan bahwa batas terendah
usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12
tahun. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu
menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak
konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk
tumbuh dan berkembang. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki
kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai
psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Umur 12 tahun lebih
(terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang.
Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan
untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal
421 dan 426 KUHPerdata). Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau
surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung,
memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh
ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa,
tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan. Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri
akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan
orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa
dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan,
misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat.
Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan
sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam UU perkawinan No. 1 tahun 1974, diatur tentang batasan umur
seorang anak diantaranya: izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan
perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2), umur minimal
untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun
(pasal 7 ayat 2), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1), anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
23
menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan
perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.3
Undang-Undang tentang sistem peradilan pidana anak yang
baru disahkan dengan Nomor 11 tahun 2012 menyatakan bahwa ‚Anak
yang Berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun
yang diduga melakukan tindak pidana‛.4 Dalam Undang-Undang ini
juga dinyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat
dilakukan apabila anak telah berumur 14 tahun atau lebih dan diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau
lebih.5
Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP juga diatur batasan
seorang anak melakukan tindak pidana yaitu pada pasal 113. Dalam
pasal ini diatur bahwa anak yang belum mencapai umur 12 tahun
apabila melakukan tindak pidana maka tidak dapat dipertanggung
jawabkan. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang
yang berumur antara 12 tahun dan 18 tahun yang melakukan tindak
pidana.6
Istilah Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)7 muncul dari
Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung, Jaksa
3 Batas Usia Anak Dapat Dipidana Naik,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/batas-usia-anak-dapat-
dipidana-naik, Terbit Online 25 Februari 2011 (Diakses pada 19 Oktober 2012). 4 Ketentuan ini disahkan oleh Dewan Rakyat Republik Indonesia pada
tanggal 3 Juli 2012 dan kemudian disahkan dan ditanda tangani oleh Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 30 Juli 2012 dan dimasukkan dalam Lembar Negara
Republik Indonesia No 153, 2012. Bab 1 Pasal 1 ayat 3. 5Undang-Undang No 11 Th 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 32. 6Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Bab Keempat Pidana dan Tindakan Bagi Anak Pasal 113 ayat (1) dan (2). 7Bab 1 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ‚Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Ketentuan ayat ini mengubah Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, Bab 1 Pasal 1 ayat 2, yang menyatakan ‚Anak Nakal adalah: anak yang
melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
- Bab 1 Pasal 1 ayat 3 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ‚Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
24
Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial,
dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
tentang Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum, yang
ditandatangani pada tanggal 22 Desember 2009. Penggunaan istilah ini
sesuai dengan semangat menerapkan keadilan restoratif yang
melindungi hak dan kepentingan anak.8
Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan Bappenas meyakini
bahwa akses terhadap keadilan hanya dapat dicapai apabila inisiatif
pemberdayaan hukum juga mengikutsertakan anak. Setiap anak harus
diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-haknya yang
dilindungi hukum. Pemenuhan hak-hak anak juga harus didapatkan
dari lingkungan sosialnya. Satu kenyataan bahwa hambatan akses
terhadap keadilan bagi anak justru sering datang dari masyarakat itu
sendiri, yang menyebabkan perilaku birokrasi dan aparat penegak
hukum memperoleh legitimasi dalam memperlakukan anak-anak yang
berkonflik dengan hukum.9
2. Anak menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan anak adalah yang
belum mencapai dewasa (bulu>gh). Pengertian bulu>gh dapat ditentukan
dengan tanda-tanda alami atau dengan umur. Ada beberapa perbedaan
pendapat ulama tentang tanda-tanda alami seperti:
- Menurut Hanafiyah: seorang anak dikatakan mencapai dewasa
(bulu>gh) jika mengalami ihtila>m bagi laki-laki (maksud dari
ihtila>m adalah keluarnya air mani ketika tidur atau ketika bangun)
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana (terdakwa/ tersangka)‛.
- Bab 1 Pasal 1 ayat 4 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. ‚Dan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak korban dan
anak saksi, anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum
berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana‛.
- Bab 1 Pasal 1 ayat 5 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ‚Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang disebut dengan anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat atau dialami
sendiri‛. 8DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, 9. 9Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 89.
25
dan bisa menghamili wanita10
; sedangkan perempuan dikatakan
dewasa jika sudah mengalami haid dan hamil. Batas umur
dikatakan dewasa seorang anak menurut Hanafiyah adalah 12
tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan.
- Menurut Mazhab Malikiyah: tanda alami seorang anak mencapai
dewasa adalah haid dan hamil khusus untuk perempuan; sedangkan
keluarnya air mani, tumbuhnya rambut disekitar kemaluan,
berubahnya bau badan dan pecahnya suara adalah tanda alami
kedewasaan yang dimiliki baik laki-laki dan perempuan. Batas
umur dikatakan dewasa seorang anak menurut Malikiyah adalah 18
tahun.
- Menurut Mazhab Syafiiyyah: seorang anak dikatakan dewasa
apabila sudah mencapai umur 15 tahun.11
Dalam Islam seorang anak pada dasarnya tidak bisa dimintai
pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini
disebabkan anak belum dibebani dengan tanggung jawab dan tidak
dibebani hukum karena belum dewasa.
10Dalil ayat al-Qur’an yang menunjukkan bulu>gh adalah surat an-Nūr ayat
59
‚Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur ba>ligh, Maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.‛
Dalil dari khabar yang menunjukkan bulu>gh
زفع انقهى ع ثالثت يا ع انصبي حخى يحخهى
Qalam (pencatat dosa) diangkat (maksudnya: tidak dihitung melakukan dosa) dari
tiga orang salah satuya antara lain anak kecil sampai ia dewasa (ba>ligh). 11Dalil atau bukti yang mengatakan bahwa batasan umur anak mencapai
dewasa 15 tahun adalah khabar Ibn Umar
عسضج عهى انبي صهى هللا عهي سهى يو أحد أا اب أزبع عشس ست فهى يجصي : خبس اب عس
نى يسي بهغج عسضج عهي يو انخدق أا اب خس عشسة ست فأجاشي زآي بهغج
‚Ibn Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya
menyertai dalam perang Uhud, pada ketika itu, Ibn Umar berusia 14 tahun. Tetapi
ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibnu Umar ikut
dalam perang tersebut.‛ Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 2005), juz 6, 4472-4474.
26
Sikap ar-rushd/ cakap bertindak hukum juga dipertimbangkan
untuk menentukan kedewasaan seorang anak. Para ulama berbeda
pendapat tentang cakap bertindak hukum yang di dasarkan kepada
kecerdikan seseorang sebagai berikut :
- Jumhu>r Fuqaha>’ (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah)
berpendapat bahwa seorang anak sudah memiliki kecerdasan
apabila seorang anak telah mengerti cara melipat gandakan harta
kekayaan, mampu mengambil kemaslahatan dari harta kekayaan
itu dan tidak menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang sia-
sia;
- Sebagian ulama lainnya seperti Imam Syafi’i berpendapat seorang
anak sudah memiliki kecerdasan apabila ia telah dapat
melaksanakan ajaran agamanya dengan baik dan dapat menjaga
hartanya serta menjauhi perbuatan maksiat yang dilarang oleh
agama dan mampu untuk bersikap adil.12
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa seorang anak
tidak cakap bertindak hukum jika ada sifat bodoh dalam dirinya.
Kebanyak dari Ulama>’ berpendapat bahwa anak kecil membawa
pengaruh terhadap tidak cakapnya seorang anak bertindak hukum. Hal
ini disebabkan karena masih berstatus anak kecil yang mengakibatkan
gugurnya pertanggung jawaban dari perbuatannya.
Jika terjadi anak berhadapan dengan hukum tentu saja tidak
dapat dibiarkan begitu saja, jelas ada resiko yang harus ditanggung
oleh anak dan keluarganya. Letak seorang anak kurang sempurna
dikenai hukum, maksudnya adalah status anak ketika berhadapan
dengan hukum hanya dibebankan sebagian/ setengah dari pertanggung
jawaban orang dewasa, maka seorang anak tidak pantas ditetapkan
kewajiban-kewajiban kepadanya.13
B. Konsep Retributive Justice dalam Hukum Pidana
Penerapan hukum pidana seharusnya ditujukan dan mempunyai
pengaruh yang efektif untuk mencegah suatu kejahatan terjadi.
12Imam al-Qa>d{i Abu> al-Wali>d Muh{ammad ibn Ah{mad ibn Muḥammad ibn
Aḥmad ibn Rushd al-Qurt}u>bi> al-Andalusi>, Bida>yatu al-Mujtahid wa Niha>yatu al-Muqtas}id (Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1995), juz ke 2, 228. Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, 4475. Lihat juga Disertasi Mulyadi Zakaria, ‚Sistem Peradilan
Anak di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam‛ (Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2011), 190-191. 13Mulyadi Zakaria, ‚Sistem Peradilan Anak di Indonesia dalam Perspektif
Hukum Islam‛, 194.
27
Berkaitan dengan persoalan ini, ada satu pertanyaan yang dapat
dimunculkan yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan
instrument pencegah kejahatan?. Persoalan ini muncul karena selama
ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya
kejahatan, tetapi justru menambah kejahatan semakin marak terjadi.
Untuk mencari jawaban atas persoalan diatas, pembahasan
harus diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan
sesungguhnya pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat
penting untuk mencari arah kemana nantinya kebijakan hukum pidana
diarahkan. Tanpa itu semua, maka substansi hukum pidana dan
penerapannya akan tercabut dari akar nilai philosopis dan akan
menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh nilai rasa
kemanusiaan yang hidup di dalam masyarakat.
Fatic berpendapat bahwa tujuan pemidanaan disandarkan pada
alasan bahwa pemidanaan merupakan (morally justifed) pembenaran
secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk
menerimanya atas kejahatan yang sudah diperbuatnya.14
Teori
Retributif memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas
kesalahan yang telah dilakukan. Teori ini berorientasi pada
perbuatan.15
Keadilan retributif ialah sistem peradilan pidana yang
didasarkan pada hukuman untuk para pelaku bukan pada rehabilitasi.16
Keadilan retributif merupakan pembentukan kembali keadilan melalui
pemaksaan hukuman sepihak atas pelaku dengan apa yang
diperbuatanya.17
Keadilan retributif adalah pokok hukum yang
14
Mahmud Mulyadi, ‚Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum : Upaya Menggeser Keadilan Retributif Menuju Keadilan
Restoratif‛, Jurnal Equality vol 13 no 1 (Februari 2008), 89,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18419/1/equ-feb2008-
13%20%284%29.pdf (accessed May 13, 2013). 15 Michael Wenzel, Tyler G. Okimoto, Norman T. Feather, Michael J.
Platow, ‚Retributive and Restorative Justice‛ Law and Human Behavior issue 5 vol
32 (Published online: October 24, 2007 ), 381,
http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/204150778/abstract/14066C48066625370
D7/2?accountid=25704 (accessed March 12, 2013). 16 http://oxforddictionaries.com/us/definition/american_english/retributive%
2Bjustice (accessed July 30, 2013). 17 Sebuah hukuman sepihak berarti bahwa pelanggar harus menanggung
penderitaan bertentangan dengan keinginan mereka. Menurut teori ini pemidanaan
diberikan karena dianggap si pelaku pantas menerimanya diakibatkan oleh
28
menyatakan bahwa hukuman dapat dilaksanakan asalkan sesuai atau
sebanding dengan kejahatan yang dilakukan dan dihukum sesuai
undang-undang yang sudah ditetapkan dengan istilah eye for eye, and a tooth for a tooth (mata ganti mata dan gigi ganti gigi).
18
Menurut Bemmelen teori retributif melegitimasi pemidanaan
sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan
seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan
asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus
dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan
dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu
tujuan, yaitu pembalasan.19
Menurut M. Sholehuddin, filsafat pemidanaan mempunyai dua
fungsi, yaitu : fungsi fundamental dan fungsi teori. Fungsi
fundamental merupakan landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan pedoman. Setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip
maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang
wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan. Adapun fungsi
teori merupakan filsafat pemidanaan yang berfungsi sebagai teori
yang mendasari dan melatar-belakangi setiap teori pemidanaan.
Berdasarkan ke dua fungsi tersebut dalam proses
implementasinya, penetapan sanksi pidana merupakan program
legislasi dan yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk sanksi
(pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui
penerapan sanksi.20
Upaya menanggulangi kejahatan pada hakikatnya
merupakan suatu perlindungan masyarakat yang tujuannya untuk
mencapai kesejahteraan.21
kesalahanya sehingga pemidanaan menjadi retribusi yang adil dari kerugian yang
telah diakibatkan. 18 http://www.wisegeek.org/what-is-retributive-justice.htm (accessed July
30, 2013). 19 Mahmud Mulyadi, ‚Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum : Upaya Menggeser Keadilan Retributif Menuju Keadilan
Restoratif‛, 85. 20Dwidja Priyatno, ‚Pemidanaan Untuk Anak Dalam Konsep Rancangan
KUHP (Dalam Kerangka Restorative Justice)‛, Makalah disampaikan dalam Rangka
Kuliah Umum di Pascasarjana UNSUR (Cianjur, 18 Juli 2009), 2,
www.unsur.ac.id/file/Jurnalrestoratif2005%20R004.doc (accessed May 13, 2013). 21 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana(Bandung:Nusa
Media, 2011), 20.
29
Menurut Romli Atmasasmita penjatuhan pidana kepada pelaku
kejahatan dalam teori retributif ini, mempunyai sandaran pembenaran
sebagai berikut:
1) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai pemuasan rasa balas
dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya,
maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak
dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.
Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;
2) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku
kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap
perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan
dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima
ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;
3) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai penunjuk adanya
kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana
yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut proportionality.22
Tujuan pidana dalam pandangan retributif dianggap terlalu
kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Keadilan
yang ingin dicapai melalui penerapan hukum pidana dalam
penanggulangan kejahatan akan sulit terwujud bila disandarkan pada
tujuan pemidanaan retributif. Oleh karena itu diperlukan pencarian
justifikasi keadilan yang sesuai untuk mencapai keadilan dalam
penerapan hukum pidana.
C. Restorative Justice sebagai Paradigma Keadilan yang Demokratis
dan Manusiawi
1. Definisi dan Posisinya dalam Hukum Pidana.
Dalam dua puluh lima tahun terakhir keadilan restoratif23
telah
menjadi sebuah konsep hukum yang mendunia dan dinamis pada
22Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologidalam
tulisan Mahmud Mulyadi, ‚Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam
Penegakan Hukum Pidana Indonesia‛ (2006), 8,
http://library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf. (Diakses pada 21 Februari 2013). 23 Istilah ‚restorative justice‛ diciptakan oleh seorang psikolog, Albert
Eglash pada tahun 1977, dalam sebuah tulisannya tentang ganti rugi atau pampasan
(reparation). Keadilan restoratif sangat peduli dengan usaha membangun kembali
hubungan-hubungan setelah terjadinya tindak pidana, tidak sekedar memperbaiki
hubungan antara pelaku dan masyarakat. tetapi juga sebagai pertanda dari sistem
peradilan pidana modern. Muladi, ‚Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem
30
peradilan pidana. Lebih dari 80 negara di dunia menggunakan bentuk
keadilan restoratif dalam menyelesaikan suatu perkara pidana.24
Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendefinisikan restorative justice adalah suatu proses bagi semua
pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu dan duduk
bersama untuk memecahkan masalah serta memikirkan bagaimana
mengatasi akibat pada masa yang akan datang.25
Keadilan restoratif merupakan pembentukan kembali keadilan
melalui nilai konsensus (kesepakatan) baru.26
Keadilan restoratif
mewajibkan pelaku mengambil tanggung jawab pribadi atas
tindakannya dan kemudian aktif bekerja untuk memperbaiki kerusakan
yang telah menyebabkan kerugian pada korban dan masyarakat.27
Peradilan Pidana dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak‛
(Semarang, 1-2 November 2013), 1.
Beberapa pakar hukum menyatakan ketidak setujuannya terhadap
penerjemahan restorative justice dengan keadilan restoratif karena memiliki makna
yang berbeda, namun lembaga internasional UNICEF dalam seminar internasional
yang digelar di Jakarta tahun 2002 telah mengenalkan istilah ‚keadilan restoratif‛.
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 195. 24Daniel W. Van Ness, ‚An Overview of Restorative Justice Around the
World‛, International Journal Workshop Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice(Bangkok. Thailand, 22 April 2005),
1,https://assets.justice.vic.gov.au/njc/resources/c4518c8a-c200-4623-afd1-
42e255b62cf9/01+an+overview+of+restorative+justice.pdf (Accessed February 21,
2013).
Pada tahun 2001, Pusat Keadilan dan Rekonsiliasi di Prison Fellowship International
mengidentifikasi 80 negara di dunia di mana beberapa bentuk intervensi keadilan
restoratif sedang digunakan. Estimasi kenaikan sebesar 20 negara didasarkan pada
dua faktor: meningkatnya jumlah negara di mana pendekatan restoratif sedang diadili
dan literatur tumbuh pada subjek yang membawa praktek restoratif yang ada menjadi
perhatian pengamat. 25 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2009), 135. 26 Michael Wenzel, Tyler G. Okimoto, Norman T. Feather, Michael J.
Platow, ‚Retributive and Restorative Justice‛ Law and Human Behavior issue 5 vol
32 (Published online: October 24, 2007 ), 381-382,
http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/204150778/abstract/14066C48066625370
D7/2?accountid=25704 (accessed March 12, 2013). 27Mark S. Umbreit, ‚Victim Sensitive Victim Offender Mediation Training
Manual‛,An International Resource Center in Support of Restorative Justice Dialogue, Research and Training Center for Restorative Justice and Mediation(1998), 37,
http://www.cehd.umn.edu/ssw/rjp/resources/rj_dialogue_resources/Training_Resourc
es/VOM (accessed June 3, 2013).
31
Menurut Braithwaite restorative justice merupakan sebuah
konsep penyembuhan bukan pembalasan. Konsep restoratif
menggunakan gagasan tradisional seperti pemulihan dan pencegahan
suatu kejahatan untuk menjadikan hukuman pidana lebih demokratis
dan manusiawi.28
Howard Zehr mengemukakan bahwa keadilan
restoratif merupakan proses untuk mengidentifikasi dan mengatasi
bahaya, serta untuk menyembuhkan dan menempatkan hal-hal yang
benar.29
Teori restorative justice merupakan teori normatif peradilan
pidana dan gerakan reformasi yang berkembang. Keadilan restoratif
merupakan suatu bentuk dialog yang berada di luar lembaga peradilan
pidana biasa dan bebas dari prosedur hukum yang formal. Dalam hal
ini korban bisa berkomunikasi dengan pelaku dan pelaku bisa
mengakui kesalahan dan menerima tanggung jawab. Semua bentuk
keadilan restoratif bersifat sukarela, partisipatif, dialog dan
musyawarah untuk menghasilkan beberapa bentuk solusi yang dapat
memuaskan dan menyembuhkan bahaya dan konflik yang akan
terjadi.30
Jeff Christian seorang pakar lembaga permasyarakatan
Internasional dari Kanada mengemukakan bahwa konsep restorative justice adalah sebuah penanganan tindak pidana yang tidak hanya
dilihat dari kacamata hukum semata tetapi juga dikaitkan dengan
aspek-aspek moral, sosial, ekonomi, agama dan adat istiadat lokal
serta berbagai pertimbangan lainnya.31
Oleh karena itu Eva Achjani
Zulfa menyatakan bahwa nilai yang diusung oleh keadilan restoratif
28John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation (Oxford
University Press, 2002), 4-5. 29Howard Zehr, ‚Doing Justice Healing Trauma : The Role of Restorative
Justice in Peacebuilding‛, South Asian Journal of Peacebuilding Vol 1 No 1(Spring
2008), 3-4,
http://www.wiscomp.org/pp-v1/Howard_Zehr_Paper.pdf (accessed May 1, 2013). 30 Albert W. Dzur, ‚Civic Implications of Restorative Justice Theory:
Citizen Participation and Criminal Justice Policy‛, Journal of Social Deliberation : The Practice of Restorative Justice,Vol 36 Issue 3/4 Dec 2003, http://e-
resources.pnri.go.id:2058/docview/221329511?accountid=25704. (accessed May 1,
2013). 31Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Anak Tanpa
Pemidanaan,196
32
berakar dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat tradisional seperti
keseimbangan, keharmonisan, serta kedamaian dalam masyarakat.32
Model keadilan restoratif memang sebuah pilihan sistem
peradilan anak masa depan di seluruh dunia bila kita ingin melihat
anak-anak di dunia terbebas dari kekerasan karena tuduhan-tuduhan
melakukan tindak pidana. Braithwaite, Ahmed, Morrison, dan
Reinhart mencatat bahwa praktek restoratif fokus pada
mempertahankan dan memperkuat ikatan sosial untuk mencegah anak-
anak dari perasaan terisolasi oleh komunitas sekolah dan masyarakat.33
Dari penjelasan teori retributif dan restoratif diatas kita dapat
menyimpulkan perbedaan antara konsep keadilan retributif dan
restoratif sebagaimana terlihat pada matrik dibawah ini34
32Eva Achjani Zulfa, ‚Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di
Indonesia‛, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol 6 No II(Agustus 2010), 184,
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1114/1022 (diakses 1 Mei 2013). 33 Glenn Rideout, Karen Roland, Geri Salinitri, Marc Frey, ‚Measuring the
Effect of Restorative Justice Practices: Outcomes and Contexts‛,Journal of Educational Administration and Foundation Vol 21 Issue 2 (2010),
http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/896272633/13DC3B704F5BE73CD5/9?ac
countid=25704 (accessed May 14, 2013). 34 http://www.ywcamadison.org/atf/cf/%7B2487BD0F-90C7-49BC-858D-
CC50637ECE23%7D/RestorativeYWCA Madison Racial Justice Resource Guide, 6.
Lihat juga http://www.cscsb.org/restorative_justice/retribution_vs_restoration.html.
(accessed May 14, 2013).
33
Matrik 1. Perbedaan konsep Keadilan Retributif dan Restoratif
KEADILAN RETRIBUTIF KEADILAN RESTORATIF
Perilaku buruk / tindak pidana
terhadap pelaku kejahatan
yang ditetapkan oleh pihak
yang berwenang atas suatu
pelanggaran hukum.
Perilaku buruk / tindak pidana
yang didefinisikan sebagai
tindakan terhadap korban dan
masyarakat (Kejahatan adalah
tindakan terhadap orang lain dan
masyarakat).
Pelaku bertanggung jawab
kepada otoritas untuk perilaku
atau pelanggaran.
Pelaku bertanggung jawab
kepada korban dan masyarakat.
Pertanggung jawaban
disamakan dengan
penderitaan, jika pelanggar
menderita maka mereka telah
bertanggung jawab atas
kesalahannya.
Pertanggung jawaban
didefinisikan sebagai mengambil
tanggung jawab dan
memperbaiki kerusakan yang
telah diperbuat, sukses diukur
dengan berapa banyak perbaikan
dicapai.
Korban bukanlah fokus utama
dari proses.
Korban dan masyarakat terlibat
langsung dan memainkan peran
kunci dalam respon terhadap
masyarakat.
Pelanggar didefinisikan
sebagai kenakalan / perilaku
buruk dan korban
didefinisakan sebagai material
dan kerugian psikologis.
Pelanggar ditentukan oleh
kemampuan mereka untuk
mengambil tanggung jawab atas
tindakan mereka dan perubahan
perilaku. Korban didefinisikan
sebagai kerugian dan kapasitas
untuk berpartisipasi dalam proses
pemulihan kerugian dan
penyembuhan.
34
Kenakalan/kejahatan adalah
hasil dari pilihan individu
dengan tanggungjawab
individu.
Kenakalan/kejahatan memiliki
kedua dimensi individual dan
sosial dan merupakan hasil dari
pilihan individu dan kondisi yang
mengarah pada perilaku.
Sistem peradilan anak yang berlandaskan pada keadilan
retributif hanya memberikan wewenang kepada Negara yang
didelegasikan pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
sipir penjara). Pelaku dan korban sedikit sekali mendapat kesempatan
untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara
menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan
hukuman penjara pada pelaku. Hal seperti ini menyebabkan tindak
kriminal yang dilakukan anak semakin meningkat karena di penjara
mereka justru mendapat tambahan ilmu untuk melakukan kejahatan
dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya.35
Hasil penelitian dan pengamatan pakar hukum tentang anak
yang bermasalah atau pelaku delinkuen yang pernah diproses dengan
hukum, tidak terhindar dari penyebutan yang hina atau stigmatisasi
sebagai anak yang pernah dipenjarakan ‚mantan napi kecil‛. Oleh
karena itu pidana penjara yang merupakan perampasan kemerdekaan
untuk anak-anak sebaiknya dihapuskan. Alternatif yang lebih ringan
(less harm) harus diperbanyak sehingga tersedia banyak pilihan bagi
hakim. Kebijakan diskresi dan diversi seharusnya lebih banyak
diterapkan. Pemenjaraan berat untuk kasus-kasus tertentu harus
dijadikan sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium).36
Pendekatan keadilan restoratif ini sangat penting dan strategis,
karena dengan proses keadilan restoratif, yang berubah dan bergeser
tidak hanya persoalan kelembagaan dan aspek norma kebijakan serta
regulasi, tetapi juga berkaitan dengan persoalan perubahan budaya
yang berkaitan dengan nilai persepsi, sikap dan filosofi. Konsep
retributif yang hanya berorientasi pada pelaku harus diubah menjadi
konsep restoratif yang berorientasi pada pelaku, korban dan
35DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, 26. 36 Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional
Dalam Hukum Pidana (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), 52.
35
masyarakat untuk menghasilkan dasar pendekatan keseimbangan (the balanced approach).37
Matrik 2. Perbedaaan paradigma dalam penanganan ABH
Perbedaan Restitusi Retribusi Restorasi
Landasan
Filosofi
Memperbaiki
kesalahan
dengan
mengganti atau
memperbarui.
Mencapai
keadilan dengan
memberi
balasan atas
derita/ sakit
yang
ditimbulkan.
Memberikan
maaf sebagai
dasar
memperbaiki
hubungan antar
manusia.
Cara Korban
menerima ganti
rugi.
Pelaku dijatuhi
hukuman yang
setimpal atau
lebih berat.
Pelaku
menyesali
perbuatan,
berjanji tidak
mengulangi
dengan
memberikan
ganti rugi jika
diperlukan.
Fokus Korban. Pelaku. Korban dan
pelaku.
2. Variasi Penerapan Restorative Justice
Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di
Negara Eropa, Amerika Serikat, Canada Austalia dan New Zealand
dapat dikelompokkan dalam empat jenis praktik penerapan restorative justice yaitu : Victim Offender Mediation, Conferencing/ Family Group Conferencing, Circles dan Restorative Board/ Youth Panel.
2.1 Victim Offender Mediation (VOM)
37Muladi, ‚Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana
dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak‛, 44.
36
Proses restorative justice terbaru yang pertama adalah victim offender mediation. VOM dimulai sekitar tahun 1960 dan pada tahun
1970 dilaksanakan pada tingkatan lokal. Pada saat dilakukan di tingkat
lokal itulah mulai banyak orang direkrut untuk menjadi mediator,
banyak juga yang ditangani oleh lawyer atau sarjana hukum sukarela
dan belum melakukan pertemuan tatap muka.
VOM adalah proses yang menyediakan korban berkesempatan
untuk bertemu pelaku dalam lingkungan yang aman dan terstruktur
serta terlibat dalam diskusi mediasi kejahatan. Dengan adanya bantuan
seorang mediator yang terlatih, korban dapat memberitahu pelaku
tentang kerugian fisik, emosional, dan keuangan atas dampak
kejahatan itu.38
Tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian
terhadap peristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi
alternatif bagi pelaku atau melakukan pembinaan ditempat khusus
bagi pelanggaran yang benar-benar serius. Dalam bentuk dasarnya
proses ini melibatkan dan membawa korban dan pelaku bersama
kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi
pertemuan.
Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan terhadap korban
dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan
berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku
belajar terhadap akibat dari perbuatannya dan mengambil tanggung
jawab langsung atas perbuatannya serta membuat rencana
penyelesaian kerugian yang terjadi.39
Dalam melaksanakan program
mediasi, mediator harus melakukan segala kemungkinan untuk
memastikan bahwa korban tidak akan dirugikan dengan cara apapun.
Korban juga harus diberikan pilihan mengenai keputusan seperti kapan
dan di mana sidang mediasi akan berlangsung, yang akan hadir, yang
akan berbicara pertama, dll.40
38 http://www.nij.gov/topics/courts/restorative-justice/promising
practices/victim-offender-mediation.htm 5 desember, 2007 (accessed March 6,
2013). 39Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 184. 40 http://www.nij.gov/topics/courts/restorative-justice/promising
practices/victim-offender-mediation.htm 5 desember, 2007 (Accessed March 6,
2013). Lihat juga Ronald M. George, Balanced and Restorative Justice (Council of
California Administratif Office of The Courts, 2006), 22,
http://www.courts.ca.gov/documents/BARJManual3.pdf (accessed March 6, 2013).
37
Victim offender mediation berbeda dengan tipe mediator yang
lain. Mediasi ini sering dititik beratkan pada tercapainya sebuah
pertanggung jawaban dengan sedikit perhatian terhadap akibat dari
konflik tersebut terhadap kehidupan atau keadaan para pihak yang ikut
terlibat. Jenis mediasi lain lebih menitikberatkan pada pertanggung
jawaban tetapi victim offender mediation mendasarinya dengan dialog
dan perhatian kepada penyembuhan korban serta pertanggungjawaban
pelaku dalam pengembalian kerugian.41
2.2 Family Group Conferencing (FGC) Family Group Conferencing (FGC) adalah proses perencanaan
penetapan hukuman di mana keputusan harus dibuat untuk anak-anak
atau remaja. FGC merupakan pertemuan formal di mana anggota anak
atau keluarga dekat pemuda datang bersama-sama dengan kerabat dan
anggota masyarakat anak yang terlibat untuk mengembangkan sebuah
rencana dalam memutuskan kepentingan terbaik untuk anak yang
melakukan tindak kriminal.42
Family Group Conferencing berakar pada budaya Aborigin, di
mana perawatan dan pengambilan keputusan bagi anak-anak adalah
tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Pada tahun 1989 konsep ini
dimasukkan ke dalam model undang-undang Perlindungan Anak
setelah adanya konsultasi ekstensif dengan kelompok masyarakat dan
Maori asli.43
Proses yang dilakukan masyarakat bangsa Maori ini
terkenal dengan sebutan wagga wagga dan telah dipakai untuk
menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat tradisional dan
merupakan tradisi yang ada sejak lama.44
FGC berkembang di New Zealand. Model ini juga telah
diperkenalkan di hampir 20 negara termasuk Australia, Brazil dan
Arab Saudi. Sebuah survei internasional menunjukkan peningkatan
dramatis dalam pembentukan program baru antara tahun 1998 dan
2002, dan diikuti pada tahun 2003. Survei yang sama melaporkan
41Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 187. 42 Ministry of Children and Family Development (Child and Family
Development Division), Family Group Conference Reference Guiede (British
Columbia, August 2005), 2.
http://www.mcf.gov.bc.ca/child_protection/pdf/fgc_guide_internet.pdf (accessed
June 8, 2013). 43 Ministry of Children and Family Development (Child and Family
Development Division), Family Group Conference Reference Guiede, 3. 44Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 188.
38
bahwa proyek FGC berfokus pada kesejahteraan anak (60%), keadilan
pemuda (58%) diikuti oleh kekerasan dalam rumah tangga/ keluarga
(keduanya 32%) dan kesehatan mental anak (29%).45
Peserta dalam FGC terdiri dari tiga kategori yaitu: keluarga,
anak atau orang muda yang menjadi subyek konferensi dan aparat
penegak hukum yang menangani kasus anak seperti: kepolisian, hakim,
jaksa, balai pemasyarakatan, dll yang terlibat dalam kasus ini.46
Dalam
konsep FGC, keluarga dipandang sebagai "pakar" yang berada dalam
posisi terbaik untuk mengembangkan rencana yang akan menjamin
perawatan dan perlindungan anak-anak mereka.47
Tujuan dari FGC ini mendapatkan kejelasan dari peristiwa
yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan
kerugian korban, dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk
bertanggung jawab atas kesalahannya. Sasaran dari FGC adalah
melibatkan korban secara langsung dalam diskusi dan melibatkannya
dalam pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi serta
memberikan kesempatan korban dan pelaku untuk saling berhubungan
dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah
karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.48
2.3 Circles
The circle process a path for Restorative dialogue adalah cara
berbicara bersama-sama, dihormati dan diperlakukan sama. Peserta
didorong untuk mempunyai rasa tanggung jawab bersama demi
kesejahteraan masyarakat dan individu yang ada di dalamnya, serta
memberikan pemahaman bahwa apa yang terjadi pada seseorang
mempengaruhi semua.49
45 Lee Barnsdale dan Moira Walker, Examining The Use and Impact of
Family Group Conference (Social Work Research Center University of Stirling :
March 2007), 2, http://www.scotland.gov.uk/Resource/Doc/172475/0048191.pdf.
(accessed June 8, 2013). 46Leone Huntsman, Family Group Conferencing in a Child Welfare Context
(NSW Department of Community Service : July 2006), 7,
http://www.community.nsw.gov.au (accessed June 8, 2013). 47 Melisa Hanson, Judith Wirth and Karin Gunderson, Family Group
Conference Facilitators Manual, 6,
http://www.nrcpfc.org/webcasts/archives/05/trainingmanualnov04.pdf (accessed June
8, 2013). 48Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 189. 49Jean Greenwood, The Circle Process : A Path for Restorative Dialogue
(Center for Restorative Justice and Peacemaking: October 2005), 2,
39
Circle merupakan versi terbaru dari sanksi hukum pidana dan
merupakan praktek tradisional dari penduduk asli di Kanada dan
Amerika Indian di Amerika Serikat. Konsep ini dibangkitkan pada
tahun 1991 oleh hakim dan komite keadilan masyarakat di Yukon
Territory dan masyarakat Kanada utara lainnya. Circle telah
dikembangkan paling luas di Saskatchewan, Manitoba, dan Yukondan
serta telah digunakan sesekali di beberapa komunitas lain. Penggunaan
konsep ini menyebar ke Amerika Serikat pada tahun 1996.
Circle telah digunakan untuk pelaku dewasa dan remaja, untuk
berbagai pelanggaran, dan pengaturan baik di pedesaan dan perkotaan.
Circle adalah strategi yang dirancang tidak hanya untuk mengatasi
perilaku kriminal dan tunggakan pelaku tetapi juga untuk
mempertimbangkan kebutuhan korban, keluarga, dan masyarakat.50
Keberhasilan dari circle adalah jika adanya kerjasama dengan
sistem peradilan formal dan masyarakat. Sistem peradilan formal perlu
ikut berperan untuk memastikan bahwa proses yang dijalankan telah
memberikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua pihak dan tanpa
pemaksaan.
2.4 Reparative Board / Youth Panel Reparative Board merupakan praktek lain yang terinspirasi
oleh keadilan restoratif untuk meningkatkan kontrol sosial di tingkat
lokal dengan melibatkan warga dalam proses peradilan. Dalam konsep
ini sangat dibutuhkan bagi pengamat untuk hadir selain anggota
dewan.51 Program ini adalah versi terbaru yang jauh lebih maju dan lebih
luas komunitasnya terhadap kejahatan remaja. Program ini umumnya
dikenal dengan istilah-istilah seperti youth panels, neighborhood boards, atau community diversion boards. Program ini mulai
dilaksanakan di Negara bagian Vermont pada tahun 1996 dengan
http://www.cehd.umn.edu/ssw/rjp/resources/rj_dialogue_resources/Peacemaking_He
aling_Circles/The_Circle (accessed June 10, 2013). 50Gordon Bazemore and Mark Umbreit, ‚A Comparison of Four Restorative
Conferencing Models‛, Juvenile Justice Bulletin (Office of Justice Programs,
February 2001), 6,
https://www.nttac.org/views/docs/jabg/balancedRestoreJustice/comparison_four_rc_
models.pdf (accessed June 10, 2013). 51Margarita Zernova, Restorative Justice : Ideals and Realities (England:
Ashgate Publishing, 2007), 20.
40
lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance setelah melihat
respon yang baik dari warga Negara.52
Selama pertemuan, para penegak hukum melakukan diskusi
dengan pelaku, membicarakan sanksi yang pantas untuk para pelaku
sampai adanya kesepakatan tindakan hukuman yang akan ditentukan
bagi pelaku. Dalam hal ini pelaku harus mendokumentasikan
kemajuannya dalam memenuhi ketentuan perjanjian. Setelah
ditetapkan jangka waktu telah berlalu, petugas menyampaikan laporan
kepada pengadilan atas kepatuhan pelaku dengan disepakati sanksi.
Pada titik ini, keterlibatan dewan dengan pelaku berakhir.
Tujuan dari program reparative board ini adalah melibatkan
pelaku dan korban secara langsung dalam proses peradilan,
memberikan kesempatan bagi korban dan anggota masyarakat untuk
menghadapi pelaku dengan cara yang konstruktif tentang perilaku
mereka, memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengambil
tanggung jawab pribadi dan dipertanggungjawabkan secara langsung
atas kerugian yang terjadi pada korban dan masyarakat serta
mengurangi ketergantungan pada pengolahan sistem peradilan
formal.53
3. Restorative Justice dalam Islam
Keadilan restoratif cenderung fleksible, proses keadilan ini
ditentukan sesuai dengan ringan dan beratnya kejahatan yang di
perbuat, kerusakan yang disebabkan, situasi dan kondisi pelaku dan
posisi korban. Dalam hukum Islam bentuk keadilan restoratif ini dapat
berupa kompensasi, konsiliasi dan pengampunan. Hal ini bertujuan
agar pelaku dapat bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
olehnya terhadap korban dan masyarakat.54
Menurut Andi Hamzah dalam hukum Islam pelaku tindak
pidana bisa mendapatkan pembebasan atau memperoleh keringanan
52 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 194. Lihat juga David
Peebles, Community Reparative Boards, https://www.ncjrs.gov/html/ojjdp/2001_2_1/page2.html (Accessed June 10, 2013).
53Gordon Bazemore and Mark Umbreit, ‚A Comparison of Four Restorative
Conferencing Models‛, Juvenile Justice Bulletin, 3. 54Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences Vol 7 Issues 1 January-June
2012.http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/mutazaicjs2012istissue.pdf (Acessed February
25, 2013).
41
hukum dari pengadilan bila mereka mendapat pengampunan dari
korban dengan membayar denda atau diyat. Jika penyelesaian lewat
restoratif tercapai, Negara yang diwakili oleh pengadilan hanya
menetapkan lewat sebuah keputusan agar kesepakatan antara pelaku
dan korban dapat berjalan dengan baik.55
Prinsip-prinsip keadilan
restoratif ini adalah pusat untuk ajaran banyak agama, termasuk
Islam.56
3.1. Kompensasi (Diyat) Kompensasi atau diyat 57
adalah sebuah alternatif untuk
hukuman mati atau hukuman lain atas sebuah kejahatan yang
55
Yustisi.com, Menjaga Keseimbangan Hubungan Pelaku Pidana dan
Korban- Indonesia Sudah Waktunya Punya Peradilan Restoratif,
http://yustisi.com/2012/04/indonesia-sudah-waktunya-punya-peradilan-restoratif/
Terbit Online 4 Maret 2013 (Diakses pada 2 Desember 2013). 56Center for Restorative Justice and Peacemaking, ‚Restorative Justice and
Islam‛, www.cehd.umn.edu/ssw/RJP/PDFs/PowerPoint/Islam-and-Restorative-
Justice.ppt (Accessed November 28, 2013).
Dalam Islam balasan untuk suatu kejahatan dibahas dalam al-Qur’an. Hal
ini diakui sebagai pelanggaran berat untuk korban dan kepada Allah, namun
dijelaskan juga di dalam al-Qur’an bahwa Allah maha penyayang dan pemaaf bagi
hambanya, seperti dijelaskan di dalam ayat berikut:
Ash-Shurā ayat 40. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baik (berbuat baik kepada orang yang berbuat
jahat kepadanya). Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim. 57 Diyat merupakan ganti rugi dalam bentuk uang dengan jumlah yang
banyak yang diberikan pelaku terhadap korban untuk melakukan jalan damai dalam
sebuah permasalahan peradilan. Kriteria dalam menetukan uang kompensasi demi
konsistensi dan kesetaraan. Dalam hal ini biasanya kompensasi diukur oleh gram
emas atau spesifik jumlah ternak untuk setap bagian dari tubuh yang terkena
serangan/ yang mendapatkan kerugian.
Kriteria kompensasi/ diyat berupa 4kg emas / 100 unta / 200 sapi / 2000
domba. Dalam uang hari ini itu akan menjadi sekitar 200.000-300.000 $ Amerika.
Kompensasi harus dibayarkan kepada korban apabila ia masih hidup atau kepada
penerus korban apabila ia telah meninggal.
Hukuman diyat yaitu pembunuh harus membayar kompensasi kepada pihak
keluarga korban. Diyat sebagai satu hukuman memiliki ukuran tertentu yang telah
ditetapkan syari’at, tergantung kepada korban pembunuhan. Hal ini dapat diringkas
sebagai berikut: Jumhu>r Ulama>’ (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi‘i dan
42
dilakukan pelaku terhadap korban. Jika pelaku kaya, maka ia harus
mengkompensasi dari uangnya sendiri. Adapun jika ia terbukti kurang
mampu secara financial atau perbuatan yang ia lakukan adalah karena
unsur ketidak sengajaan (kealpaan/ kesalahan) maka kompensasi juga
dibebankan kepada ‘aqila58.
Imam Ahmad) sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta, tidak ada
bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, mirip sengaja dan tidak sengaja
(kesalahan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‚Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta‛ (HR Ibnu Ma>jah).
Pembayaran diyat pembunuhan sengaja dengan 100 ekor onta dengan
perincian yaitu 30 ekor onta hiqqah, 30 onta jaz‘ah, 40 onta hamil yang mengandung
janin diperutnya sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‚Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaz‘ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka‛. (HR Ibnu Mājah)‛
Diyat pembunuhan semi sengaja usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullāh bin ‘Amr
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‚Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil‛.
Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada
`Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah:
جم ل يت انسر أة عهى اننصص ي سل يت انل
Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki. (HR al-Baihaqi)
Hal ini telah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnul-Mundzir rahimahullah :
‚Para Ulama berijmâ bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki‛.
Standar pembayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat
mayoritas Ulama. Dalam riwayat s}ah}ih} dari Umar bin al-Khat}a>b Radhiyallahu ‘anhu
ketika berbicara di atas mimbar: ‚Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi
mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000
dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik
kambing 2000 domba‛. (HR Abu Dāwud). Dalam hal ini nampak Umar Radhiyallahu
‘anhu menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga
jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat, sedangkan yang lain mengikuti nilai
onta. ‘Abdul Qadi>r ‘Audah, at-Tashri’ al-Jina>’i al-Isla>mi> Muqa>ra>nan bi al-Qanu>n al-Wad{’i, 176-177.
58‘Aqila adalah keluaga yang membantu dalam kompensasi terhadap korban
dan menahan terjadinya konflik. Hal ini dapat diartikan sebagai keluarga inti seperti:
43
Kompensasi adalah alternatif yang terkenal dalam Hukum
Pidana Islam. Apabila kejahatan dilakukan oleh anak di bawah umur
ataupun oleh orang yang mentalnya terganggu (gila) maka kompensasi
atau diyat dibebankan juga kepada ‘aqila. Kompensasi dapat dibayar
dengan kurun waktu 3 tahun, rentang waktu ini diberikan agar
penerima pembayaran dapat merencanakan dan mengelola angsuran.
Korban atau keluarga korban dapat menerima jumlah yang lebih kecil
daripada diyat jika korban setuju sesuai dengan kesepakatan antara
kedua belah pihak.
3.2. Konsiliasi (S}ulh}) Contoh modern dari praktek keadilan restoratif yang beroperasi
dalam konteks Mayoritas Muslim adalah proses s}ulh}. Proses ini dapat
ditemukan di berbagai bagian di Timur Tengah. Proses ini sejalan
dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Tiga prinsip dalam s}ulh} yang merupakan bentuk dari keadilan restoratif yaitu: pengampunan,
perdamaian dan perbaikan hubungan.59
Dalam memutuskan suatu perkara, hakim diminta untuk
mempertimbangkan s}ulh} namun hakim tidak bisa memaksakan
perdamaian karena konsiliasi adalah hak dari pihak korban dan bukan
suatu kewajiban. Tujuan dari konsiliasi adalah mengakhiri konflik dan
gesekan. Menurut sejumlah ahli hukum, konsiliasi tidak diperbolehkan
dalam kasus-kasus berat yang melibatkan kejahatan seperti terorisme,
pembunuhan berat dan pemerkosaan, karena mereka melakukan
pelanggaran terhadap Allah, Negara, masyarakat dan melanggar hak
kemanusiaan.
Jika korban meninggal atau menjadi tidak kompeten untuk
memutuskan konsiliasi (seperti anak dibawah umur atau orang gila)
maka konsiliasi dapat diputuskan oleh keluarga atau perwakilan
hukumnya. Konsiliasi dapat dicapai bila keluarga korban setuju untuk
mendapatkan sejumlah uang sebagai pengganti hukuman. Jika korban
meninggal dan tidak mempunyai sanak saudara maka dalam hal ini
konsiliasi diambil alih oleh pemerintah sebagai ahli waris. Dalam hal
ini konsiliasi berubah menjadi denda bagi pelaku yang harus
orang tua, anak-anak, anak perempuan, saudara laki-laki dan perempuan, paman,
sepupu, seluruh suku dan mertua. 59Center for Restorative Justice and Peacemaking, ‚Restorative Justice and
Islam‛.
44
dibayarkan kepada kas Negara untuk mengganti/ menghindari
hukuman termasuk hukuman mati.
3.3. Pengampunan/ Maaf (al-‘Afwu)
Konsep pengampunan atau al-‘Afwu mirip dengan kompensasi
dan konsiliasi yaitu menghindari hukuman asli. Jika diyat berarti
pengampunan dengan kompensasi penuh (bayar ganti rugi sesuai
dengan ketentuan diyat) dan konsiliasi sama dengan maaf dengan
kompensasi parsial (ganti rugi sesuai persetujuan kedua belah pihak
atau yang ditentukan oleh Negara), maka al-‘afwu mengacu pada
pengampunan tanpa suatu imbalan atau dapat disebut dengan
‚pengampunan penuh‛.
Pengampunan adalah hak korban. Jika ia tetap hidup, korban
dapat memaafkan setiap pelaku yang menyerang atau melukai bagian
dari tubuh dengan pengampunan. Dalam hal ini beberapa ahli hukum
berbeda pendapat. Menurut sebagian ahli hukum, pelaku yang
mendapatkan pengampunan dari korban tidak mendapatkan hukuman
asli tetapi mendapatkan hukuman alternatif yang lebih ringan daripada
aslinya. Adapun sebagian besar ahli hukum lainnya sepakat bahwa
pengampunan dari korban kepada pelaku menjatuhkan kewajiban atas
pelaku terhadap hukuman yang harus diterimanya.
Jika korban meninggal atau tidak dapat memutuskan karena
alasan kekurangan mental atau masih berusia muda (anak-anak) maka
keluarga memiliki wewenang dalam memberikan pengampunan.
Pengampunan dapat diberikan jika anggota keluarga mengatakan
setuju untuk memberikan ampunan. Dalam pandangan sejumlah ulama,
Negara yang diwakili oleh pengadilan bisa memiliki hak untuk
memberikan ampun kepada pelaku dalam kasus-kasus tertentu seperti
membunuh seorang pembunuh sebagai balas dendam dari korban,
ketidakcukupan bukti, dan pembunuhan karena kesalahan. Dalam hal
ini Negara mempunyai hak pengampunan dengan meringankan
hukuman pelaku yang dalam yurispudensi biasa disebut dengan
hukuman ta‘zi>r.60
60Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences vol 7 issue 1 (January-June 2012).
http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/mutazaicjs2012istissue.pdf (accessed February 25,
2013).
45
Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah al-‘afwu adalah jatuhnya
kewajiban hukuman (seperti qis}a>s}) tanpa ganti rugi sedangkan s}ulh} adalah jatuhnya kewajiban hukuman (seperti qis}a>s}) dengan ganti rugi.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengibaratkan pemaafan/
pengampunan dengan ganti rugi disebut dengan s}ulh} dan bukan ‘afwu.
Hal ini dikarenakan hukuman wajib pembunuhan sengaja adalah qis}a>s} dan diyat tidak diwajibkan, kecuali korban merelakan untuk tidak
dilaksanakan qis}a>s} maka wajib bagi pelaku melaksanakan diyat. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad pengampunan/ pemaafan
dengan diyat dinamakan ‘afwu dan bukannya s}ulh}.61
Konsep is}la>h}/ s}ulh} dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan
al-‘afwu. Menurut pendapat Muhammad Shahru>r, tidak ada
sinonimitas dalam al-Qur’an. Anggapan adanya sinonimitas dalam al-
Qur’an akan memberi kemungkinan penggantian firman Allah dan hal
ini sangat tidak mungkin terjadi bagi Allah SWT.62
Menurut kamus ilmiah, s}ulh} atau is}la>h} telah diserap menjadi
satu kata dalam bahasa Indonesia yang berarti perdamaian atau
penyelesaian pertikaian secara damai. Dalam KBBI (Kamus Besar
Bahas Indonesia) damai dimaknai sebagai tidak ada perang, tidak ada
kerusuhan, aman, tentram dan tidak bermusuhan. Mendamaikan
dimaknai sebagai mengusahakan agar kedua belah pihak berbaik
kembali. Adapun maaf dalam KBBI diartikan sebagai pembebasan
seseorang dari hukuman karena suatu kesalahan. Perbedaan dalam segi
bahasa dapat diartikan bahwa is}la>h} adalah proses perdamaian,
sedangkan al-‘afwu adalah memaafkan yang disamakan dengan
pengampunan.63
4. Perkembangan dan Pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia
dan beberapa Negara Lain
Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi sistem
keadilan restoratif, namun keberadaannya tidak diakui negara dan
tidak ditetapkan dalam hukum nasional. Beberapa masyarakat adat di
61‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri’ al Jina>’i>al-Isla>mi>, 168. 62 Muhammad Shahru>r, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer terjemahan
Nahwa Us}u>l Jadi>dah li al-Fiqh al-Isla>mi> (elSAQ Press, 2004), 256-257. 63 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 30 dan 240. Lihat
juga Ahmad Ramzy, ‚Perdamaian dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan
Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia‛ (Tesis
Hukum Universitas Indonesia, 2012).
46
Indonesia seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan Komunitas
tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaan, apabila
terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, penyelesaian sengketa
diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat
Negara.64
Dengan konsep restoratif ini dapat dibuktikan bahwa hukum
adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan
memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.
Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak
efektif dalam penyelesaian konflik sosial. Hal ini disebabkan pihak
yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam
penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang
dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan
sebagainya.
Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan
ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan
bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang
sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial.
Adapun hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah
negara, negara berhak menghukum meskipun sebenarnya komunitas
adat bisa saja memberikan sanksi.65
Dalam praktiknya di Indonesia, keadilan restoratif dapat
diterapkan dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Musyawarah kelompok keluarga
Dalam musyawarah kelompok keluarga, perlu diperhatikan:
a) Kehadiran pihak-pihak terkait, meliputi: korban, pelaku,
keluarga pelaku, dan orang-orang penting lain yang datang,
serta siapa saja yang dirugikan oleh perbuatan pelaku.
b) Pihak lain yang perlu dihadirkan, antara lain pihak yang
mendukung korban (dipersiapkan oleh korban); pihak yang
mendukung pelaku (dipersiapkan oleh pelaku dan keluarga
pelaku).
64Ds. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, 4. 65Setyo Utomo, ‚Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis
Restorative Justice‛ Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur vol V no 01 (2010),
86.http://repository.unsur.ac.id/unggah.php?file=berkas/7.%20SISTEM%20PEMID
ANAAN%20DALAM%20HUKUM%20PIDANA%20YANG%20BERBASIS%20R
ESTORATIVE%20JUSTICE.pdf (accessed June 12, 2013).
47
c) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan, antara lain: memberikan
informasi kepada para pihak mengenai adanya pertemuan,
mendapatkan informasi dari para pihak yang akan membantu,
memfasilitasi pertemuan dan menentukan tempat, ruang, dan
pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut.
2. Pelayanan di masyarakat
Pelayanan yang bersifat pemulihan dapat dilakukan oleh
lembaga-lembaga dan organisasi independen peduli anak yang
bergerak dibidang perlindungan anak. Dalam kasus anak sebagai
korban maupun pelaku dapat diterapkan nilai-nilai keadilan
restoratif untuk pemulihan korban serta memberikan
pendampingan psikologis bagi korban dan pelaku.
3. Disetiap tahapan sistem peradilan
Pada setiap tahapan sistem peradilan- mulai dari penyidikan,
penuntutan, hingga proses persidangan- wajib dilakukan diversi
melalui forum musyawarah/ mediasi dengan tujuan pemulihan bagi
pelaku, korban dan masyarakat.66
Hasil kesepakatan keadilan
restoratif dapat berupa: 1) perdamaian dengan atau tanpa ganti
kerugian; 2) penyerahan kembali kepada orang tua/wali; 3)
pemberian pendidikan atau pelatihan kepada lembaga pendidikan,
lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial atau lembaga
kesejahteraan sosial.
Sesuai dengan penyebaran proses ini di seluruh dunia maka
timbul beberapa inovasi yang memang terbuka untuk restorative justice. 67
Di Negara Italia menurut aturan pidananya ada beberapa
macam tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan perdamaian
tanpa perlu ke pengadilan yaitu perbuatan melukai seseorang tanpa
sengaja, penghinaan, pencemaran nama baik, penyerangan dan
beberapa permasalahan yang tidak berat. Di Norwegia semua tindak
pidana dapat dilakukan mediasi seperti pencurian, pengrusakan barang,
perbuatan ugal-ugalan dalam berkendara, kecuali tindak pidana sangat
serius dan berat. Di Negara Australia pelanggaran yang dapat
66DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal, 40-41. 67 Helen Duffy, ‚Overview: Truth Commissions as a response to State-
sanctioned Crime‛, Paper to the ancilliary meeting on Restorative Principles in Responde to State Sanctioned Crime at the 10th UN Crime Congress, (Vienna May
2000). Dikutip dari buku Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 196.
48
dialihkan kepada restorative justice adalah tindak pidana selain yang
terjadi cukup serius seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan,
pelanggaran konsumsi alkohol, dan keselamatan jalan raya yang harus
ditangani oleh pengadilan. Pelanggaran selain itu diputuskan dengan
diskresi oleh polisi.68
Di Amerika Serikat dan Eropa, bentuk paling terkenal dari
keadilan restoratif adalah Victim Offender Mediation (VOM) yaitu
proses yang menyediakan korban berkesempatan untuk bertemu pelaku
dalam lingkungan yang aman dan terstruktur dengan dipimpin oleh
seorang mediator yang terlatih. Korban dan pelaku datang bersama-
sama dalam sebuah pertemuan untuk menjawab pertanyaan yang akan
diajukan. Pertemuan dalam konsep VOM awalnya digunakan untuk
kejahatan ringan, namun banyak yurisdiksi saat ini menawarkan
kemungkinan yang sama dalam kasus yang berat. Ribuan program
tersebut beroperasi di Amerika Utara, Eropa dan tempat lain.69
Di Austria, pada mulanya diversi atau pengalihan penuntutan
hanya untuk anak, namun kemudian digunakan juga untuk orang
dewasa dengan bentuk VOM. Menurut Pasal 90g KUHAP Austria
Penuntut Umum dapat mengalihkan perkara pidana dari pengadilan
apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti
rugi dan mendapatkan ancaman dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun
penjara atau 10 tahun dalam kasus anak. Di Jerman pada tahun 1990,
OVA (Offender Victim Arrangement) dimasukkan ke dalam hukum
pidana anak secara umum dan dinyatakan sebagai ‚a means of diversion‛. Apabila pelaku memberi ganti rugi/ kompensasi kepada
korban secara penuh atau sebagian besar, maka pidananya dapat
dikurangi atau bahkan dapat dibebaskan dari pemidanaan dengan
syarat apabila diancam dengan maksimum pidana 1 tahun penjara atau
360 unit denda harian.70
Penerapan pendekatan restorative justice yang semakin
berkembang memunculkan anggapan bahwa paradigma ini membawa
68 Lode Walgrave, Repositioning Restorative Justice (UK : Willan
Publishing First edition), 289. Dikutip dari buku Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 226-227.
69Howard Zehr, ‚Doing Justice Healing Trauma : The Role of Restorative
Justice in Peacebuilding‛, South Asian Journal of Peacebuilding Vol 1 No 1(Spring
2008), 2,
http://www.wiscomp.org/pp-v1/Howard_Zehr_Paper.pdf (accessed June 13, 2013). 70 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Diluar
Pengadilan (Semarang: Penerbit Pustaka Magister Semarang, 2010), 52-55.
49
banyak keuntungan perubahan yang positif terhadap masyarakat dan
negara. Keuntungan dari program ini antara lain adalah : 1)
masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri
permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil; 2) beban negara
dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya berkurangnya beban
untuk mengurusi tindak pidana yang dapat diselesaikan secara mandiri
oleh masyarakat serta berkurangnya jumlah perkara yang masuk
kedalam sistem peradilan; 3) beban untuk menyediakan anggaran
penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal
penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan. Dalam penerapan konsep
ini dapat diharapkan lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih
baik dan berdayaguna (sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam
rancangan KUHP Indonesia saat ini).71
Pada Oktober 2012, Mahkamah Agung RI berkesempatan
untuk menghadiri Konferensi Penyelesaian Sengketa Alternatif yang
diadakan di Supreme Court of Singapore yang di wakili oleh Ketua
Pengadilan Negeri Stabat Ibu Diah Sulastri Dewi. Dalam konferensi
ini para Panelis memaparkan perkembangan Mediasi di masing-masing
negaranya. Hongkong dan Malaysia merupakan Negara-negara yang
menerapkan undang-undang untuk implementasi mediasi dan masih
terus mengembangkan cara untuk menerapkannya.
Adapun Singapura dalam mengembangkan konsep restorative justice telah membentuk Pusat Mediasi Masyarakat (Community Mediation Center atau yang disingkat menjadi CMC) guna
mengantisipasi perkembangan masyarakat di kota yang padat
penduduknya dan membantu masyarakat untuk menyelesaikan konflik
sosial yang tinggi. CMC dimotori oleh para akademisi dan anggota
parlemen dan dalam pelaksanaannya para anggota parlemen langsung
turun ke lapangan untuk melihat potensi konflik dan segera berupaya
mencari pemecahan salah satunya melalui CMC. Hasilnya 72%
konflik di masyarakat berhasil diselesaikan melalui mediasi oleh para
mediator dibawah naungan CMC. Hal ini yang menjadi inspirasi bagi
Indonesia untuk terus mengembangkan konsep restorative justice.72
71 Eva Achjani Zulfa, ‚Restorative Justice di Indonesia-Peluang dan
Tantangan Penerapannya‛, http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-
indonesia.html (diakses pada 13 Juni 2013). 72 Komparasi Penyelesaian Sengketa Alternatif di Asia Pacific,
http://www.pembaruanperadilan.net/v2/2012/10/komparasi-penyelesaian-sengketa-
alternatif-di-asia-pacific/, Terbit Online 05 Oktober 2012 (Diakses pada 16 Februari
2014).
50
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik
restorative justice telah digunakan oleh berbagai Negara di dunia
untuk menyelesaikan tindak pidana melalui proses diluar peradilan
pidana formal. Secara umum konsep restorative justice tidak
membatasi tindak pidana apa saja yang dapat diselesaikan dengan
proses ini, hanya saja proses tersebut harus sesuai dengan prinsip
utama restorative justice. Dibutuhkan sumber daya manusia yang ikut
berperan dalam mengembangkan konsep restorative justice untuk
mendapatkan hasil yang terbaik bagi semua pihak yang ikut terlibat.
D. Pemberian Hukuman Ta‘zi>r Terhadap Pelaku Tindak Pidana dalam
Hukum Pidana Islam
Klasifikasi kejahatan dalam hukum pidana Islam yang paling
penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum adalah h}udu>d, qis}a>s} dan ta‘zi>r. Kategori pertama adalah hudu>d. Kejahatan h}udu>d adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana
Islam. Kejahatan h}udu>d merupakan kejahatan publik yang berkaitan
dengan hak Allah. H}udu>d merupakan kejahatan yang diancam dengan
hukuman h}ad yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.
Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair yang tergolong
kejahatan h}udu>d ada 7 yaitu: riddah (murtad), al-baghi> (pemberontak),
zina, qadhaf (tuduhan palsu zina), sari>qah (pencurian), hirabah
(perampokan) dan shrub al-khamr (meminum khamar).
Kategori kedua adalah qis}as}. Sasaran dari kejahatan ini adalah
integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Jari>mah qis}a>s} dikenal dengan kejahatan terhadap manusia atau crimes against person, seperti: pembunuhan dengan sengaja (qatl al-‘amd),
pembunuhan dengan menyerupai sengaja (qatl shibh} al-‘amd),
pembunuhan karena kealpaan (qatl al-khata>’), penganiayaan, dan
menimbulkan luka/ sakit akibat kealpaan.
Kategori terakhir adalah ta‘zi>r. Landasan dan penentuan
hukumannya didasarkan pada ijma’ (konsensus) untuk menghukum
semua perbuatan yang tidak pantas yang menyebabkan kerugian fisik,
sosial, politik, finansial atau moral bagi individu atau masyarakat.73
Ta‘zi>r dalam pengertian hukum Islam adalah hukuman yang bersifat
mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi h}ad
dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam
73Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek
dan Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 22-23.
51
jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‘zi>r diserahkan
semuanya kepada kesepakatan manusia.74
Jika sifat jari>mah dikaji lebih mendalam hanya jari>mah ta‘zi>r yang dapat dianggap sepadan dengan delik dalam hukum pidana.
Karakter jari>mah h}udu>d dan qis}as} lebih dogmatis dan menjadi hak
Allah yang tidak mungkin diubah atau dikurangi oleh kekuasaan
manusia. Karakter jari>mah h}udu>d dan qis}as} berbeda dengan karakter
delik pidana yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat.75
Dalam pelaksanaan hukuman ta‘zi>r, Imam Malik, Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat jika ta‘zi>r berhubungan dengan
hak-hak Allah, Hakim/ Imam wajib melaksanakan hukuman seperti
h}udu>d kecuali apabila ada pengampunan dan syafa’at dari pihak
korban dan menurut Hakim/ Imam tidak dilaksanakannya hukuman
membawa mas}lahah. Jika ta‘zi>r berhubungan dengan hak-hak adami> maka tidak wajib untuk dilaksanakan hukuman tersebut apabila pihak
korban mau berdamai dan memberikan maaf.76
Hukuman ta‘zi>r suatu ketika bisa dibatalkan, meskipun kita
telah mewajibkannya. Hal tersebut terjadi apabila si pelanggar adalah
seorang anak kecil atau seorang yang sudah dewasa tetapi dia
melakukan pelanggaran kecil, maka tidak wajib baginya dikenakan
hukuman ta‘zi>r. Hal ini dikarenakan tidak adanya hukuman ringan
yang bisa mencegah dan tidak diwajibkan atasnya hukuman yang
berat.77
Kata ta‘zi>r berasal dari bahasa arab dengan asal katanya -
حعصيسا– يعصز – عصز yang berarti mencegah atau menolak dan mendidik.
Disebut mencegah dan menolak karena ta‘zi>r dapat mencegah atau
menolak pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi kembali
kejahatannya yang dapat menyakiti dan merusak harta benda orang
lain. Disebut mendidik karena mendidik pelaku kejahatan supaya dapat
menyadari dan merubah sikap dan perilaku buruknya sehingga tidak
mengulangi kembali.78
74Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 10. 75 Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, 16. 76 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5283. 77 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5284. 78 Mans}u>r ibn Yu>nu>ss al-Bahu>t}i>, Ar Raud} al-Murbi’ bi Sharh} Za>d al-
Mustaqni> (Beirut : Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1996), 511. Lihat juga M. Shabir U,
‚Relevansi Hukuman Takzir Dalam Fikih Dengan Hukuman Sebagai Alat
Pendidikan‛, Jurnal Lentera Pendidikan Vol 11 no 2, (Desember 2008), 209,
52
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ta‘zi>r adalah hukuman
yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat
di dalam al-Qur’an dan Hadits.79
Tujuan diberikannya hak dalam
menentukan hukuman ta‘zi>r kepada penguasa (aparat penegak hukum)
adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara
kepentingan-kepentingannya serta dapat menghadapi dengan sebaik-
baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.80
Menurut Muhammad ‘Abdulla>h al- Jarda>ni>, ta‘zi>r adalah
pendidikan hukum (ta’di>b) atas dosa yang tidak ada had padanya dan
tidak pula kaffarah.81
Burha>n ad-Di>n Abi> ar-Rifa>’i Ibra>him
menyatakan bahwa ta‘zi>r adalah pendidikan hukum (ta’di>b), perbaikan
(is}la>h}), dan pencegahan (zajr) atas dosa-dosa yang tidak disyariatkan
untuk diberlakukan h}udu>d dan tidak pula kaffarah.82
Menurut Wahbah Zuhaili> ta‘zi>r adalah pertolongan, karena
melarang si pelaku untuk mendapat hukuman berat, kemudian terkenal
dengan istilah bahwa ta‘zi>r merupakan hukuman yang berupa
pendidikan. Hukuman ta‘zi>r merupakan hukuman yang tidak
ditetapkan oleh syari’at dan keputusan hukumannya diserahkan kepada
Negara (aparat penegak hukum) sesuai dengan berat dan ringannya
perbuatan tindak pidana tersebut. 83
Diwajibkan atas seseorang dikenai hukuman ta‘zi>r apabila dia
tidak melakukan kejahatan yang mewajibkan atasnya hukuman h}ad dan qis}as}.84
Meskipun tujuan ta‘zi>r adalah mencegah atau menolak
pelaku kejahatan untuk tidak mengulangi kejahatannya dengan
perbaikan dan pendidikan tetapi syari’ah Islam menghindari hukuman
http://ejurnal.uin-
alauddin.ac.id/artikel/06%20Relevansi%20Hukuman%20Takzir%20dalam%20Fikih
%20-%20M%20Shabir%20U.pdf (diakses pada 26 Juni 2013). 79Kamus Besar Bahasa Indonesia,
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (diakses pada 15 Juni 2013). 80Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih
Jinayah (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 20. 81Muhammad ‘Abdullāh al- Jarda>ni>, Fath al-‘Alla>m bi Sharh} Mursyid al-
Ana>m (Cairo: Da>r as-Sala>m, 1990), juz 4, 543. 82Burha>n ad-Di>n Abi> ar-Rifa>’i Ibra>him ibn Farhu>n, Tabsirrah al-Hukka>m fi
Us}u>l al-Aqd}i>yah wa Mana>hij al-Ah}ka>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 1995), Juz
2, 217. 83Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5591. 84
Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7,5592.
53
untuk tujuan penyiksaan dan kesia-siaan sehingga dapat merugikan si
pelaku.85
Dari beberapa uraian diatas terdapat perbedaan antara h}udu>d, qis}a>s dan ta‘zi>r, yaitu:
86
1. Ketetapan (taqdi>r) : hukuman h}udu>d dan qis}as} ditetapkan oleh
ketentuan syariat yang wajib dilaksanakan; sedangkan hukuman
ta‘zi>r diserahkan semuanya kepada keputusan hakim atau penguasa
untuk memberikan hukuman yang pantas dan sesuai kepada pelaku.
2. Hukuman : hukuman h}udu>d dan qis}as} adalah ketetapan yang ada di
dalam al-Qur’an dan merupakan ketetapan dari Allah SWT.
Adapun hukuman ta‘zi>r dapat dirubah oleh hakim atau penguasa
dengan melihat situasi dan kondisi serta membawa mas}lah}ah (kebaikan) bagi pelaku dan korban.
3. Kewajiban dilaksanakanya hukuman : hukuman h}udu>d dan qis}as} wajib dilaksanakan sesuai ketetapan syariat dan tidak boleh
ditangguhkan serta tidak ada maaf, pengampunan dan pembatalan
dalam pelaksanaannya oleh hakim; sedangkan hukuman ta‘zi>r boleh adanya maaf, pengampunan dan peringanan hukuman dari
hakim jika dilihat bahwa maaf dan pengampunan dapat membawa
mas}lah}ah (kebaikan) terhadap pelaku dan juga korban.
Kekuasaaan untuk menjatuhkan hukuman pidana harus
disandarkan pada masyarakat secara luas. Dalam hal ini konsep ta‘zi>r lebih siap untuk dikompromikan dan disepakati ketimbang dalam
konsep h}udu>d dan qis}a>s}. Umat Islam secara umum lebih tidak terikat
oleh ajaran yang fundamental untuk mempidanakan tindakan tertentu
atau membebankan satu bentuk hukuman yang terdapat dalam kasus-
kasus h}udu>d dan qis}a>s}. Sanksi pidana bukanlah satu-satunya mekanisme untuk
menegakkan moralitas dan kemaslahatan umum. Dalam menentukan
ruang lingkup pidana, suatu tingkat toleransi dan niat baik harus ada
dalam perdebatan tersebut jika ingin menghasilkan kebijaksanaan
legislatif dan penerapan yang adil dan diterima secara luas.87
85Abdul Azi>s ‘Ami>r, at-Ta‘zi>r fi as-Shari’ah al-Islami>yah (Beirut : Da>r al-
Fikr al-‘Arabi>, 1976), 293. 86Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh juz 7, 5283. 87Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan
Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Terj. Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law. Penerjemah Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany (Yogyakarta: LKis Yogyakarta,
2004), 197-198.
54
Tujuan dari hukuman ta‘zi>r antara lain: 1) mencegah seseorang
dari berbuat maksiat; 2) memberikan hukuman terhadap pelaku tidak
dimaksudkan untuk balas dendam melainkan untuk kemaslahatan; 3)
menjadikan hukuman yang berat adalah upaya terakhir dalam menjaga
seseorang agar tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. Diantara hal-hal
yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim adalah besar
kecilnya pelanggaran, adanya unsur sengaja atau kelalaian, baru
pertama kali dilakukan atau sudah berkali-kali dan sebagainya.88
Dalam hukuman ta‘zi>r ada beberapa faktor yang dapat
menyebabkan hapusnya hukuman ta‘zi>r, diantaranya pelaku meninggal
dunia, korban memberikan maaf kepada pelaku, dan pelaku melakukan
taubat. Meninggalnya si pelaku jari>mah ta‘zi>r merupakan salah satu
sebab hapusnya sanksi ta‘zi>r. Hal ini berlaku bila sanksi ta‘zi>r yang
harus dijalani adalah berupa sanksi badan atau sanksi yang berkaitan
dengan diri pelaku. Apabila sanksi ta‘zi>r berupa denda, maka kematian
tidak menyebabkan hapusnya ta‘zi>r dan menjadi utang si pelaku yang
berkaitan dengan harta pusaka yang ditinggalkannya.
Adapun sebab lain terhapusnya sanksi ta‘zi>r adalah pihak
korban memaafkan pelaku. Hal penting dalam penerapan ta‘zi>r adalah
harus sesuai dengan kaidah al-ta‘zi>r yad}urru ma‘a al-mas}lahah (ta‘zi>r itu tergantung kepada maslahat). Apabila ta‘zi>r berkaitan dengan hak
adami maka hanya dapat dimaafkan oleh pihak korban dan tidak dapat
dimaafkan oleh U>lil ‘Amr. Sanksi ta‘zi>r yang berhubungan dengan hak
Allah dapat dihapuskan dengan taubat. Taubat dapat dilihat dengan
adanya rasa menyesal pelaku terhadap perbuatan yang telah
dilakukannya, menjauhkan diri dari perbuatan itu, dan memantapkan
niatnya untuk tidak kembali melakukannya. Apabila jari>mah berkaitan
dengan hak adami maka indikator taubat harus ditambah dengan cara
meminta maaf kepada korban.89
Adakalanya anak-anak melakukan perbuatan jari>mah dan tidak
menutup kemungkinan kejahatan itu disengaja atau tidak disengaja.
Dasar penerapan ta‘zi>r bagi anak berdasarkan makna yang dikandung
dari beberapa hadits Rasulullah SAW diantaranya ‚Dari Abdul Malik
bin Rabi’ bin Sabrah dari bapaknya dan dari kakeknya Rasulullah
SAW bersabda : Ajarkanlah anakmu shalat untuk usia 7 tahun dan
88M. Shabir U, ‚Relevansi Hukuman Takzir Dalam Fikih Dengan Hukuman
Sebagai Alat Pendidikan‛, 211. 89Nurrohman, Hukum Pidana Islam, 103-105.
55
pukullah mereka karena tidak shalat ketika berusia 10 tahun (HR al-
Baihaqi). 90
Dalam suatu riwayat diceritakan ‚Abdullah bin Busr al-Mazini
berkata: Ibuku mengutusku untuk mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah, namun aku memakannya sebelum sampai kepada beliau. Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer telingaku (secara halus) dan memanggilku dengan sebutan ‚wahai penghianat kecil‛.
91
Dalam memberikan hukuman ta‘zi>r bagi anak, sanksi yang
diberikan sifatnya harus mendidik dapat diberikan melalui putusan
hakim atau dari orang tua mereka. Pemberian hukuman ta’di>b dilakukan terhadap perbuatan buruk yang telah dilakukan bukan
kekhawatiran perbuatan buruk yang akan dilakukan. Orang tua
dibenarkan memukul anaknya dengan tidak melukai, tidak memukul
bagian rawan yang sensitif dan pemberian ta’di>b tidak boleh
berlebihan.92
Rasulullah juga melarang untuk memanjakan anak dan
menuruti semua kemauannya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda ‚Gantungkan cambuk (alat pemukul) ditempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka‛. Dibalik kecintaan dan kasih sayang orang tua terhadap
anaknya, Rasulullah tidak menginginkan adanya sikap memanjakan
secara berlebihan. Maksud dari hadits ini bukanlah agar orangtua
sering memukul anggota keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar
mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. Sikap memanjakan
dan memberikan kasih sayang yang berlebihan mengakibatkan anak
tidak pernah dibiasakan taat kepada Allah dan batasan-batasan
hukumNya.93
90 Abu Bakar Ahmad bin Husen bin Ali al-Baihaqi, Sunan Saghir (Beirut:
Da>r al-Kita>b al-Islami>yah, 1998) Jilid 1, 173. 91Musnad Asy-Syamiyyin : II, 355. 92‘Abdul Qa>dir ‘Audah, at-Tashri> al-Jinā‘ī al-Isla>mi>, 516. 93 Hadits riwayat ‘Abdur Razzaq dalam Al-Mus}annaf : 9/477 dan At}-
T}abra>ni dalam Al-Mu’jamul Kabi>r no. 10671.
56
57
BAB III
KEBIJAKAN HUKUM
DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA ANAK
Pada bab ini dijelaskan kebijakan aparat penegak hukum
(Kepolisian, Bapas, Jaksa dan Hakim) dalam mengembangkan dan
mempraktekan konsep keadilan restoratif serta kebijakan menetapkan
suatu hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Dalam bab ini dijelaskan hambatan dan kendala dalam menetapkan
konsep keadilan restoratif serta bagaimana efektifitas keadilan
restoratif terhadap perubahan sikap, mental, prilaku dan menjauhi
tindak kriminal terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Pada
bab ini juga dijelaskan penerapan keadilan restoratif pada pelaku
tindak pidana sebagai praktek keadilan.
A. Arah Kebijakan Restorative Justice sebagai Penanggulangan
Kejahatan
Masalah perlindungan anak yang semakin mendapat perhatian
publik menjadikan Indonesia sangat aktif dalam mempromosikan
realisasi hak-hak anak dan perlindungan anak. Tonggak kebijakan
perlindungan anak merupakan upaya untuk meningkatkan
perkembangan, perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan anak-
anak, serta penetapan sasaran yang jelas dalam mengurangi kekerasan,
dan eksploitasi terhadap anak-anak.1
1 Tinjauan Tengah Waktu (Mid-Term Review) 2008 tentang program
kolaborasi antara UNICEF dan Pemerintah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia (RPJMN) 2010-2014
menggarisbawahi beberapa masalah yang mengkhawatirkan. Hampir setengah (44
persen) dari anak-anak Indonesia yang berusia antara 13 sampai 18 tahun tidak
bersekolah. Sebagian anak-anak (22 persen) yang lulus Sekolah Dasar, tidak
melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama. Sekitar tiga juta anak terlibat dalam
sektor pekerjaan berbahaya. Antara 80.000 hingga 100.000 perempuan dan anak di
Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual atau diperdagangkan untuk tujuan
tersebut setiap tahun. Sekitar 30 persen perempuan korban eksploitasi seksual yang
bekerja sebagai pekerja seks merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun,
bahkanditemukan yang semuda 10 tahun.Sekitar 12 persen anak perempuan
Indonesia dipaksa menikah pada usia 15 tahun atau di bawahnya. RPJMN juga
menyoroti angka hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang memperkirakan bahwa minimal ada 3
juta perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan setiap tahun. Sedangkan
58
Banyak teori ditawarkan dalam upaya memahami sebab-sebab
terjadinya perilaku kenakalan anak. Salah satu teori yang
mengetengahkan sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan anak
adalah Teori Kontrol Sosial dari Travis Hirschi. Hirschi melandaskan
pada pertanyaan berbeda dalam mengetengahkan penjelasan mengapa
anak-anak terlibat kenakalan. Pakar kriminologi anak pada lazimnya
bertanya ‚mengapa seorang anak melakukan kejahatan?‛, sementara
Hirschi berangkat dari pertanyaan dasar ‚mengapa seorang anak patuh
norma‛. Pijakan dasar bukan pada perilaku penyimpangan anak
melainkan pada kepatuhan anak pada norma. Hirschi menyimpulkan
‚semakin anak terikat dengan masyarakatnya, kecil kecenderungannya
terlibat kenakalan, sebaliknya bila ikatan anak dengan masyarakatnya
lemah maka anak akan bebas melakukan kenakalan‛.
Menurut Paulus Hadisuprapto bila pintu masuk seorang anak
melakukan kejahatan adalah lemah atau terputusnya ikatan sosial anak
maka tinggi kecenderungan anak untuk tidak patuh norma (melakukan
kenakalan). Bila hal ini ditanggapi secara tidak proposional maka
besar kemungkinan anak akan mengulangi lagi perbuatan
kenakalannya di masa datang. Hal inilah yang rasanya perlu
diperhatikan dan memperoleh perhatian sebagai salah satu upaya
perlindungan hukum anak-anak yang bermasalah dengan hukum.2
Dalam hal ini perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana
sama pentingnya dengan perlindungan anak sebagai korban. Perbuatan
anak yang melanggar hukum sekiranya dapat dipertimbangkan dan
diperhatikan rasa keadilannya yang berpedoman pada hak-hak asasi
manusia terutama pada anak-anak. Hal ini sangat penting untuk
memberikan gambaran terhadap peradilan pidana anak yang harus
data yang dikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas
Perempuan) menunjukkan bahwa hanya sekitar 20.000 perempuan dan anak korban
kekerasan yang menerima bantuan medis, hukum dan sosial yang layak. Santi
Kusumaningrum, dkk, ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial untuk Anak di
Indonesia‛, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia), 2011, 4.
2Paulus Hadisuprapto, ‚Peradilan Restoratif: Model Alternatif Perlindungan
Hukum Anak Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Internasional‛ di dalam Hukum Pidana dalam Perspektif Editor Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings
(Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 255, http://media.leidenuniv.nl/legacy/hukum-
pidana-criminal-law.pdf (Diakses pada 17 Februari 2014).
59
menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dan
asas diversi.3
Menurut Dewi dan Syukur prinsip dalam keadilan restoratif
yaitu:
1) membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan
masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa tindak pidana.
Menempatkan pelaku, korban dan masyarakat sebagai
‚stakeholders‛ yang bekerja bersama dan berusaha menemukan
penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution);
2) mendorong pelaku/ anak bertanggung jawab terhadap korban atas
peristiwa atau tindak pidana yang telah menimbulkan kerugian pada
korban dan membangun tanggung jawab untuk tidak mengulangi
perbuatan pidana yang pernah dilakukannya;
3) menempatkan peristiwa atau tindak pidana bukan sebagai
pelanggaran antar indvidu, melainkan sebagai pelanggaran oleh
seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok
orang);
4) mendorong untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana
dengan cara yang lebih informal dan personal daripada penyelesaian
dengan cara formal di pengadilan dan inpersonal.4
Perbedaan mendasar restorative justice dengan peradilan
menurut hukum acara KUHAPidana antara lain terlihat pada matrik
dibawah ini5:
3Keadilan Restoratif adalah konsep pidana yang mengedepankan pemulihan
kerugian yang dialami korban dibandingkan memilih untuk menjatuhkan hukuman
penjara bagi pelaku. Asas diversi lebih mengupayakan tindak pidana yang dilakukan
oleh anak tidak harus selalu dibawa ke proses pemidanaan secara formal dan
penyelesaiannya dapat ditempuh di luar pengadilan dengan asas kekeluargaan.
Kompasiana, ‚RUU Peradilan Pidana Anak Lebih Manusiawi Bukan Upaya
Meringankan Hukuman‛, http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ruu-peradilan-
pidana-anak-lebih-manusiawi-bukan-upaya-meringankan-hukuman/, terbit online 02
Juli 2012 (diakses pada 21 November 2013). 4DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia (Depok: Indie Publishing, 2011), 32. 5Kuat Puji Prayitno, ‚Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia‛,
Jurnal Dinamika Hukum Vol 12 No 3 (September 2012), 416,
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/JDHSeptember201
2/3.pdf. (Diakses pada 22 Februari 2014).
60
Matrik 3. Perbedaan KUHAP dan Restorative Justice
No KUHAP Restorative Justice
1 Mendasarkan pada kejahatan
yang dilakukan;
Menunujuk pada kekeliruan yang
disebabkan karena pelanggaran;
2 Menempatkan korban dalam
kedudukan yang sentral;
Menempatkan korban pada posisi
yang sekunder;
3 Tujuannya berpusat pada
gagasan bagaimana
menghukum yang bersalah
dengan adil;
Dasar tujuannya memberi
kepuasan yang dialami para pihak
yang terlibat dalam pelanggaran;
4 Retributive justice System; Restorative Justice System;
5 Result in prison for the accused;
Dialogue, Negotiation and Resolution;
6 Ditentukan oleh professional
hukum.
Ditentukan oleh para pihak
dalam conferencing/
musyawarah.
1. Dasar Hukum perundang-undangan yang mengatur Anak yang
Berhadapan dengan Hukum (ABH)
Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan
pemidanaan terhadap anak, namun pada dasarnya sifat pemidanaan
masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan
yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan
disertai dengan lembaga ‚rumah penjara‛ secara berangsur-angsur
dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan
konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Untuk melaksanakan peradilan pidana anak yang didasarkan
pada konsep keadilan restoratif ada beberapa dasar hukum dan
kebijakan penegak hukum yang digunakan sebagai pedoman untuk
menindak pelaku anak. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur
tentang Anak Berhadapan dengan Hukum diantaranya diatur pada
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat 2 yang menyatakan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Dalam Pasal 28H ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
61
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.6
Ketika seorang anak melakukan tindakan pidana, ada beberapa
kewajiban yang harus diperhatikan demi kesejahteraan anak yang
berhadapan dengan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak. Usaha kesejahteraan anak
harus dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan
kesejahteraan ini dilaksanakan baik di dalam panti maupun di luar
panti. Dalam hal ini pemerintah (para penegak hukum) wajib
mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan
terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.7
Undang-undang No 12 tahun 1995 tentang Kemasyarakatan
menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan menghindari pengulangan tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.8
Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) juga diatur dalam UU
No 23 Tahun 2002 Pasal 16, 17, 18 tentang Perlindungan hukum bagi
anak yang didasari oleh empat prinsip utama yaitu non diskriminasi,
kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta
partisipasi anak. Perlindungan bagi anak ini dimaksudkan agar anak
terhindar dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang
kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat anak.9
6Lihat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 perubahan kedua Bab XA Pasal
28B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2). 7Lihat Undang-Undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Bab
IV Usaha Kesejahteraan Anak Pasal 11. 8
Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang
Kemasyarakatan. 9 Dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa ‚(1) setiap anak berhak memperoleh
perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi; (2) setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum; (3) penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
Isi Pasal 17 adalah ‚ (1) setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan
dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum; (2) setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
62
Undang-undang tentang Peradilan Anak No 3 Tahun 1997
masih menganut pendekatan penghukuman (retributive) dan belum
sepenuhnya menganut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dalam UU ini belum sepenuhnya bertujuan untuk
memberikan perlindungan secara khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum. Dalam pelaksanaan UU ini, anak diposisikan sebagai
objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
cenderung merugikan anak. UU No 3 Th 1997 ini sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara
komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum.
Oleh karena itu perlu adanya perubahan paradigma dalam
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum didasarkan pada
peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga Negara lainnya
yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan
kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum. Penyusunan Undang-Undang
No 11 Tahun 2011 ini merupakan penggantian terhadap UU No 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan
kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai
penerus bangsa.10
Dalam Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak yang
baru No 11 Tahun 2012 dinyatakan bahwa dalam hal tindak pidana
yang dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun harus
diajukan ke sidang pengadilan anak.11
Anak hanya dapat dijatuhi
pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam undang-
undang. Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai
Isi Pasal 18 menyatakan bahwa ‚ Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. 10 Penjelasan atas Undang-Undang RI No 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, http://ngada.org/uu11-2012pjl.htm (Diakses pada 19 Februari
2014). 11 Bab 3 Pasal 20 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang anak
yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Anak yang sudah kawin
dan belum berumur 18 tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai
orang dewasa.
63
tindakan.12
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak dan keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat
dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana.
Tindakan terhadap pelaku anak harus didasarkan dengan
mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.13
Dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
dinyatakan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan
sebagai upaya terakhir.14
Sistem Peradilan Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.15
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, ketika menangani
perkara anak -anak korban dan anak saksi- aparat penegak hukum
seperti lembaga pemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, hakim,
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terjaga dan terpelihara. Hal ini sejalan dengan
12Bab 5 Pasal 69 ayat 1 dan 2 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan catatan hukumonline, dalam pembahasan UU Sistem Peradilan Anak ini
terungkap adanya usulan dari PBB, melalui lembaga Unicef, untuk menaikkan
tanggung jawab pidana ke usia 14 hingga 18 tahun. Dalam hal ini pemerintah dan
DPR bergeming dengan tetap memasukkan usia 12 hingga 18 tahun ke dalam
undang-undang. Akhirnya, sebagai jalan tengah, dimasukkan Pasal 69 ayat (2) ke
undang-undang ini.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt522dd6efdb3fa/pakar--tanggung-jawab-
pidana-tak-bisa-dialihkan terbit online 9 September 2013, (diakses pada 26
September 2013). 13 Lihat Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Bab 5 Pasal 70 Undang-undang
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 14
Pasal 81 ayat 5 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. 15 Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Penyelesaian perkara terhadap Anak yang Berhadapan Hukum (ABH)
dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sejalan dengan UU No. 5
Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan/Hukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan (Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
yang menyatakan bahwa untuk memuat perlindungan terhadap semua orang dari
sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia diperlukan langkah-langkah yang mencakup
perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan
pejabat publik lain untuk mencegah segala bentuk tindak penyiksaan baik jasmaniah
maupun rohaniah.
64
Rancangan Undang-Undang KUHPidana Pasal 54 bahwa pemidanaan
bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, membina
pelaku tindak pidana, menyelesaikan konflik, memulihkan
keseimbangan di masyarakat, membebaskan rasa bersalah pada
terpidana, memaafkan terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan merendakan martabat manusia.16
Dalam RUU KUHPidana juga dijelaskan tentang pedoman
pemidanaan. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan besar atau
kecilnya kesalahan yang diperbuat, motif dan tujuan melakukan
tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan
pelaku sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan
sosial pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, ` pengaruh
tindak pidana terhadap korban, pemaafan dari korban / keluarganya
serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.17
16Lihat RUU KUHPidana 2013 Bab 3 Pemidanaan, Pidana dan Tindakan
Pasal 54 Tujuam Pemidanaan. Lihat Juga Apong Herlina ‚Mengakomodir Hak Anak
Dalam KUHP‛, Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Anak (Aliansi Nasional
Reformasi KUHP). 17RUU KUHP Paragraf 2 Pedoman Pemidanaan Pasal 55.
65
Bagan 1: Sistem Peradilan Pidana Anak
Sesuai dengan UU No 11 Tahun 2012
Anak yang Berkonflik dengan Hukum:
adalah Anak yang berusia 12 (dua belas) tahun
tapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
Penyidik (Kepolisian) – BAPAS (Balai Pemasyarakatan)
Penuntut Umum – BAPAS (Balai Pemasyarakatan)
Anak yang Berkonflik dengan Hukum
yang berusia di bawah 12 tahun
diserahkan kembali kepada orang tua/ wali/ orang tua asuh atau
mengikutsertakan dalam program
pendidikan, pembinaan selama 6 bulan
Pengadilan Pidana Anak – BAPAS (Balai Pemasyarakatan)
Terhadap Anak yang belum
berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan :
-diserahkan kembali kepada
orang tua/ wali/ -
-Perawatan di rumah sakit
jiwa
-Perawatan di LPKS
(Lembaga Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial)
-Kewajiban mengikuti
pendidikan formal atau
pelatihan yang diadakan
pemerintah atau badan swasta
-Pencabutan surat izin
mengemudi
-Perbaikan akibat tindak
pidana
Terhadap Anak yang
dikenakan sanksi pidana penjara/ kurungan di
LPKA (Lembaga
Pembinaan Khusus
Anak):
-Apabila perbuatan anak
membahayakan
masyarakat,
- Pidana penjara bagi
anak ½ dari pidana
dewasa
- Pembinaan di LPKA
sampai anak berumur 18 tahun
Terhadap Anak yang
dikenakan sanksi pidana bersyarat
berupa denda atau
pengawasan dapat
kembali ke
masyarakat.
Apabila dalam hukum
materiil diancam
pidana kumulatif
berupa penjara dan
denda, pidana denda
diganti dengan pelatihan kerja.
66
2. Penyelesaian Sengketa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH)
Perlindungan anak dan akses keadilan bagi anak adalah bagian
dari implementasi nilai-nilai hak asasi manusia.18
Pemenjaraan pada
pelaku tindak pidana anak pada dasarnya tidak menyebabkan anak
lebih baik. Di dalam penjara, anak memperoleh pengalaman dan
pembelajaran kriminal lain, terlebih jika penghuni penjara anak lebih
banyak penghuni orang dewasa. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan
jika LP Anak didominasi napi dewasa dengan kasus narkoba.
Pemenjaraan yang bersifat retributif lebih menekankan anak
menjadi jera jelaslah tidak akan merubah sikap dan perilaku anak ke
arah yang lebih baik dan tidak menimbulkan kesadaran anak akan
perilakunya. Oleh karenanya intervensi lembaga sosial (pemerintah
maupun swasta) semakin dibutuhkan untuk membina sosial psikologis
anak. Konsekuensinya Lembaga sosial yang ada di masyarakat perlu
siap menangani anak berkonflik hukum.19
Consedine memaparkan beberapa fakta menarik tentang
peradilan pidana yang menghukum pelaku dalam penjara. Salah satu
fakta yang ada di dalam penjara dan secara umum berlaku di semua
Negara kebanyakan adalah orang miskin dan lemah yang menghuni
penjara.20
Hal ini juga telah diteliti di Indonesia, menurut Data
18Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak- Tawaran Gagasan Radikal Peradilan
Anak Tanpa Pemidanaan, 116. 19Alit Kurniasari dkk, Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum (Hasil
penelitian Puslitbang Kessos, Departemen Sosial RI, 2007), 118,
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb5c4407e88859dc5a.pdf
(diakses pada & Oktober 2013). 20 Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime
(Lyttelton: Ploughshares Publication, 1995), 30-39. Dikutip dari DS. Dewi dan
Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. 22-23.
Dan beberapa fakta lainnya yang diungkapkan oleh consedine diantaranya:
- penjara menyebabkan kenaikan tingkat kriminalitas karena penjara adalah
tempat utama untuk belajar segala jenis kejahatan, tempat untuk merekrut orang
baru juga untuk merencanakan suatu tindak pidana;
- penjara menyebabkan tahanan menjadi brutal, khususnya bagi tahanan dalam
jangka panjang yang seluruh tanggung jawab pribadinya tercabut. Tahanan
hanya menjalankan apa yang diperintah hingga kehilangan kendali terhadap
hidup mereka sendiri;
- penjara merusak hubungan. Secara otomatis penjara memisahkan tahanan
dengan keluarganya hingga tidak bisa menjalin hubungan baik. Penjara tidak
67
Pusdatin Depsos (tahun 2003) menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi anak melakukan pelanggaran hukum atau melakukan
tindak pidana diantaranya faktor kemiskinan yang menempati urutan
tertinggi yaitu 29,35%.21
Faktor kemiskinan menjadi penyebab utama
kriminalitas juga dinyatakan oleh Makmur dalam kegiatan Sosialisai
Anak Berhadapan Dengan Hukum di PSMP Todopuli Makassar.
Menurut Makmur persoalan yang paling besar dalam mengatasi
permasalahan sosial adalah permasalahan anak, dan juga persoalan
kemiskinan. Faktor kemiskinan mendorong anak melakukan berbagai
tindakan kriminalitas. Persoalan utama seseorang melakukan tindak
pidana karena mereka butuh makan, uang dan kehidupan.22
Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, penyelesaian
dengan cara mediasi merupakan pilihan terbaik dalam menyelesaikan
perkara ABH dibandingkan dengan memasukkan anak ke dalam
hanya merusak hubungan tahanan dan keluarganya tapi juga merusak hubungan
keluarga dengan masyarakat akibat stigma negatif karena mempunyai anggota
keluarga sebagai tahanan;
- penjara adalah tempat maraknya narkoba dan obat terlarang. Banyak tahanan
yang sebelumnya bersih jadi mengenal dan memakai narkoba ketika di penjara;
- efek jera penjara adalah sebuah mitos. Banyak hakim beralasan ketika
menjatuhkan putusan penjara agar pelaku pidana jera atau kapok untuk
mengulangi perbuatan melanggar hukum. Ancaman ini hanya mitos karena
walaupun ancaman hukuman tindak pidana terus ditingkatkan, angka
kriminalitas tetap naik;
- penjara menyebabkan biaya tinggi. Biaya penyelenggaraan kehidupan dan
pemeliharaan gedung penjara adalah mahal. Begitu banyak biaya yang harus
dikeluarkan namun sedikit sekali yang digunakan untuk rehabilitasi atau
pendidikan para tahanan. 21
Faktor kemiskinan menduduki urutan tertinggi penyebab seseorang
(dewasa/ anak) melakukan tindak pidana, disusul oleh faktor lingkungan 18,07%,
salah didik sebesar 11,3%, keluarga tidak harmonis sebesar 8,9% dan minimnya
pendidikan agama 7,28%. Dengan demikian penyebab faktor eksternal seperti
kemiskinan dan faktor lingkungan yang buruk pada anak nakal sampai melakukan
tindak kriminal lebih menonjol dibandingkan faktor disharmonis keluarga. Yanuar
Farida Wismayanti, ‚Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum‛, Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Informasi Vol 12 No 03 (2007),
42,
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/94184bf44dcc60197750f862750921c1.pd
f(Diakses pada 8 Oktober 2013). 22 Makmur, ‚Anak Perlu Mendapat Perlindungan- Kenali, Pahami dan
Lindungi‛, Organisasi Hukum dan Humas (Kementerian Sosial: Rabu, 28 April
2010), http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=743
(Diakses pada 9 Oktober 2013).
68
penjara. Mediator wajib melihat dan menganalisis semua aspek yang
melingkupi perkara tersebut secara komprehensif, tidak sekedar fakta
hukum yang terjadi. Mediasi juga sering dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM) dan merupakan salah satu bentuk keadilan
restoratif.23
Dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai
negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi sebagai
salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Ide
dan prinsip dalam mediasi antara lain24
:
a. penanganan konflik (conflict handling/ konfliktbearbeitung).
Dalam melakukan mediasi, tugas mediator adalah membuat para
pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat
dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa
kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah
yang dituju oleh proses mediasi;
b. berorientasi pada proses (process orientation/ prozessorientierung).
Mediasi lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil,
yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya,
kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari
rasa takut dsb;
c. proses informal (informal proceeding/ informalität). Mediasi
merupakan suatu proses yang informal, tidak mempunyai sifat
birokratis dan menghindari prosedur hukum yang ketat;
d. ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (active and autonomous participation/ parteiautonomie/subjektivierung). Dalam hal ini para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai
objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang
mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat.
Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
23 Mediasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses terstruktur namun
informal, dilakukan oleh beberapa pihak terkait, tidak ada paksaan selama sesi
mediasi, kedua pihak yang terlibat konflik mempresentasikan pandangan mereka dan
mediator bekerja dengan kedua belah pihak secara aktif membantu mereka dalam
merancang sebuah keputusan yang memuaskan diantara kedua belah pihak. Mark S.
Umbreit, ‚Mediation of Youth Conflict :A Multi System Perspective‛, Child and Adolescent Social Work Vol 8 No 2 (April 1991), 142.
http://link.springer.com/article/10.1007%2FBF00757555#page-1 (accessed October 4,
2013). 24 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar
Pengadilan, 6-7.
69
Konsep mediasi (VOM) dalam penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum sangat diperlukan, selain itu partisipasi aktif
dari masyarakat juga dibutuhkan. Dalam hal ini perlu dibentuk
kelompok atau komunitas peduli anak yang melakukan kegiatan
berupa forum pertemuan/ musyawarah dengan masyarakat melalui
Family Group Conference (FGC) oleh Komunitas Peduli Anak.
Melalui forum ini juga didorong munculnya kepedulian komunitas
remaja melalui berbagai upaya diantaranya mendorong munculnya
sebuah kelompok kepemudaan atau kelompok anak yang melakukan
upaya pencegahan atas tindak kriminal oleh anak-anak di
lingkungannya.25
Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak
yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau
suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Melibatkan
anak (ABH) dalam proses hukum harus melalui suatu penanganan yang
khusus dan bukan penjara yang seharusnya mereka hadapi sebagai
keputusan terakhir.26
3. Kebijakan dan Implementasi Aparat Penegak Hukum dalam
Mewujudkan Keadilan yang Restoratif
3.1. Polisi
Polisi berwenang melakukan penyidikan27
dan penahanan
terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan jelas.
25 Yanuar Farida Wismayanti, ‚Model Penanganan Anak Berkonflik
Hukum‛, Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Informasi
Vol 12 No 03 (2007), 44,
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/94184bf44dcc60197750f862750921c1.pd
f(Diakses pada 8 Oktober 2013). 26 Makmur, ‚Anak Perlu Mendapat Perlindungan- Kenali, Pahami dan
Lindungi‛, Organisasi Hukum dan Humas (Kementerian Sosial: Rabu, 28 April
2010), http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=743
(Diakses pada 9 Oktober 2013). 27UU RI no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dalam Bab 3 diatur
Tugas dan Wewenang Kepolisian. Begitu juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Pasal 5 dan Pasal 7
yang menyatakan bahwa penyidik yang karena kewajibannya mempunyai wewenang
untuk: (a) menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana; (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; (c) menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d)
70
Demi kepentingan umum, aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik
profesi kepolisian.28
Dalam menindak anak yang berhadapan dengan hukum, aparat
kepolisian membuat peraturan khusus yang diatur dalam Peraturan
KAPOLRI No 10 Th 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (UP2A). Dalam peraturan ini, UP2A bertugas memberikan
pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak
yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap
pelakunya.29
Dalam hal ruang pelayanan khusus yang diatur dalam
Perkap No 3 Th 2008, dinyatakan bahwa ruangan haruslah aman dan
nyaman dan diperuntukkan khusus bagi saksi atau korban tindak
pidana serta tersangka tindak pidana yang terdiri dari perempuan dan
anak yang patut diperlakukan secara khusus, dan perkaranya sedang
ditangani di kantor polisi.30
Dalam Undang-Undang No 3 Th 1997 tentang penyidikan
anak, polisi (penyidik) mempunyai wewenang untuk melakukan
penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup. Dalam hal ini penyidik juga wajib
memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.31
UU yang baru
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (e) melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan memotret seorang; (g)
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (h)
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara; (i) mengadakan penghentian penyidikan; (j) mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab. 28Hal ini diatur dalam UU RI no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
RI Bab 3 Tugas dan Wewenang Kepolisian Pasal 18. 29Peraturan KAPOLRI No 10 Th 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan
dan Anak Pasal 3. 30Perkap No 3 Th 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus
dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/ atau Korban Tindak Pidana. 31 UU No 3 Th 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 41-42 tentang
Penyidikan.
Dalam UU No 3 Th 1997 tentang penahanan terhadap anak dinyatakan bahwa
‚Penahanan untuk anak berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari, jangka waktu
tersebut diperlukan guna kepentingan pemeriksaan. Jika belum selesai, atas
permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang,
paling lama 10 (sepuluh) hari. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik
sudah harus
71
tentang Peradilan Anak No 11 Th 2012 juga mengatur perihal
penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka pidana anak yang harus
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan
diupayakan konsep diversi.32
Kebijakan diversi inilah yang menjadi
acuan aparat kepolisian untuk mewujudkan keadilan anak yang
restoratif.
Dasar hukum penerapan diversi ini juga diatur dalam pasal 18
ayat 1 huruf L yang diperluas oleh Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang
No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian yang berbunyi ‚Polisi dapat
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
dengan batasan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku, tindakan tersebut selaras dengan kewajiban
hukum/ profesi yang mengharuskan dilakukannya tindakan, tindakan
tersebut harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkup
jabatannya, serta didasarkan pada pertimbangan yang layak
berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi
Manusia‛.
Pada TR Kabareskrim juga terdapat pengertian mengenai
diversi, yaitu ‚suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian
yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam
bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak‛.33
Dalam
hal ini dapat diartikan bahwa pengalihan kasus-kasus yang berkaitan
dengan anak yang berhadapan dengan hukum atau anak sebagai pelaku
tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur diversi.34
menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum. Apabila
jangka waktu dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Namun, proses penahanan ini dianggap terlalu lama, oleh karena itu dalam UU No 11
Th 2012 sebagai pengganti UU No 3 Th 1997 tentang penahanan anak Pasal 33
dinyatakan bahwa ‚Penahanan tersangka anak untuk kepentingan penyidikan
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari. Jangka waktu penahanan atas permintaan
Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hari.
Dalam hal jangka waktu telah berakhir, Anak wajib dikeluarkan demi hukum. 32UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 12. 33TR Kabareskrim No. Pol.: TR/1124/XI/2006, Butir DDD. 2. 34TR Kabareskrim Polri No.Pol.: TR/ 1124/XI/2006 yang memberi petunjuk
dan aturan tentang teknik diversi yang dapat dilakukan terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. TR Kabareskrim Polri yang berpedoman pada Pasal 18
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang membahas masalah Diskresi Kepolisian. Hal ini memberi pedoman dan
wewenang bagi penyidik Polri untuk mengambil tindakan lain yang bertujuan untuk
72
Menurut UU No 11 Th 2012 tentang Peradilan Anak, diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi bertujuan untuk: 1)
mencapai perdamaian antar korban dan Anak; 2) menyelesaikan
perkara Anak di luar proses peradilan; 3) menghindarkan anak dari
perampasan kemerdekaan; dan 4) menanamkan rasa tanggung jawab
kepada Anak.
Diversi hanya dapat dilakukan dalam hal tindak pidana penjara
di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak
pelaku dan orang tua serta korban dan orang tua, petugas pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan
pendekatan keadilan restoratif. Kesepakatan Diversi untuk
menyelesaikan tindak pidana tidak lebih dari nilai upah minimum
provinsi setempat dan dapat dilakukan bersama-sama serta dapat
melibatkan tokoh masyarakat.
Penyidik wajib mengupayakan diversi paling lama 7 hari
setelah melakukan penyidikan. Diversi dilaksanakan paling lama 30
hari setelah dimulainya diversi. Apabila proses diversi berhasil
mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi
beserta kesepakatan kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat
penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib menyampaikan berita
acara diversi dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan
melampirkan berita acara diversi dan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.35
Kewenangan penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana ditentukan oleh Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia yang ditegaskan bahwa dalam melakukan penyidikan
terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau
saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan. Dalam hal dianggap perlu, Penyidik juga
dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog,
psikiater, tokoh agama dan tenaga ahli lainnya.36
Dalam setiap pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan
hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau
kepentingan terbaik bagi anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum. 35UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 29. 36UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 26-27.
73
pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Penyidik dapat menghentikan proses pemeriksaan pada
tahap penyelidikan atau penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti,
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, adanya pencabutan
laporan dari korban atau adanya pemberhentian penyidikan
dikarenakan alasan hukum seperti pelaku meninggal dunia atau karena
asas oportunitas.37
Bagan 2: Implementasi Kebijakan Penyidikan Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Anak
3.3. Balai Pemasyarakatan
Peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) sangat diperlukan dalam
penentuan keputusan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum melalui hasil penelitian masyarakat (Litmas). Hasil olah data
wawancara dengan anak yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh
37Penyidikan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti ini dilakukan
sehubungan dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat yaitu minimal 2 alat bukti.
Terjadi tindak pidana
dengan anak sebagai pelaku
Ada laporan atau aduan
tindak pidana anak kepada
penyidik Bagian Pelayanan Masyarakat
BAPAS Ada proses Restorative
Justice : Musyawarah yang
melibatkan penyidik, pelaku
dan orang tuanya, korban
dan keluarganya,
Pembimbing
Kemasyarakatan, LSM,
masyarakat setempat dan
pihak lain yang terkait.
Menerima hasil
musyawarah dan setuju
dilakukan Diversi
Menolak hasil musyawarah,
perkara dilimpahkan ke
Penuntut Umum dan
berlanjut ke Pengadilan Anak
74
petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dengan cara melihat
riwayat hidup si anak, kondisi keluarga, keadaan ekonomi dan
lingkungan masyarakat tempat tinggal anak tersebut.
Laporan penelitian kemasyarakatan ini berguna sebagai bahan
dasar guna menentukan program pembinaan, baik sebelum maupun
sesudah keputusan Hakim. Dalam hal ini juga diharapkan Hakim dapat
mempertimbangkan pemberian hukuman pidana bersyarat dan bahan
pertimbangan pemberian lepas bersyarat sehingga dapat memutuskan
perkara yang sesuai dengan keputusan terbaik bagi anak.
Dalam hal memberikan rekomendasi atas hukuman yang akan
diberikan kepada pelaku anak, Bapas sudah berupaya semaksimal
mungkin agar pelaku tindak pidana anak dapat diupayakan putusannya
dengan konsep keadilan restoratif. Dalam hal putusan hukuman
pidana, Bapas tidak mempunyai kewenangan karena keputusan
hukuman terhadap anak berada di tangan hakim yang mempunyai
wewenang penuh atas putusan. Faktanya Perlindungan Anak masih
jauh dari memuaskan. Rendahnya pemahaman masyarakat dan aparat
terhadap isu ABH (Anak berhadapan dengan hukum) dan belum
adanya kesamaan persepsi serta kurangnya koordinasi aparat penegak
hukum menyebabkan pidana penjara masih merupakan primadona
pemidanaan. Secara yuridis hal ini menyebabkan peran Bapas pasif.38
Bagan 3: Posisi Bapas dalam Sistem Peradilan Pidana
38Hasil Wawancara Pribadi dengan Ibu Heidy Manurung, S.Pd bagian Badan
Klien Anak (BKA) di Balai PemasyarakatanKelas II Bogor pada 02 September 2013.
M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T
BAPAS M
A
S Y
A
R
A
K
A
T
JAKSA HAKIM RUTAN/ LP POLISI
TINDAKAN
75
Tugas dan Kewajiban Bapas diatur dalam UU No 12 Th 1995
tentang Kemasyarakatan. Dalam Undang-undang ini Balai
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah pranata untuk
melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Sistem pembinaan
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman,
pendidikan, pembimbingan penghormatan harkat dan martabat
manusia serta asas kekeluargaan.39
Pada Pasal 6 UU No 12 Th 1995, bimbingan oleh Bapas
terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan terhadap anak yang
mendapat hukuman terpidana bersyarat, pembebasan bersyarat atau
cuti menjelang bebas, putusan pengadilan yang pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial serta anak yang
mendapat penetapan pengadilan bimbingannya dikembalikan kepada
orang tua atau walinya. Penelitian Kemasyarakatan terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum, dilaksanakan untuk memberikan
bantuan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim guna
kepentingan pemeriksaan dalam proses persidangan. Dalam Pasal 59
UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa
guna kepentingan anak, hakim wajib memperhatikan hasil Penelitian
Kemasyarakatan.
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-
PK.04.10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa tugas Pembimbing
Kemasyarakatan Bapas yaitu:
1) melakukan penelitian kemasyarakatan untuk : a) membantu tugas
penyidik, penuntut umum dan hakim dalam perkara anak nakal
(bermasalah dengan hukum); b) menentukan program pembinaan
narapidana di LAPAS dan anak didik pemasyarakatan di LAPAS
anak; c) menentukan program perawatan tahanan di RUTAN; d)
menentukan program bimbingan dan atau bimbingan tambahan bagi
klien pemasyarakatan;
2) melaksanakan bimbingan kemasyarakatan dan bimbingan kerja bagi
klien pemasyarakatan;
3) memberikan pelayanan terhadap instansi lain dan masyarakat yang
meminta data atau hasil penelitian kemasyarakatan klien tertentu;
4) mengkoordinasikan pekerja sosial dan pekerja sukarela yang
melaksanakan tugas pembimbingan; dan
5) melaksanakan pengawasan terhadap terpidana anak yang dijatuhi
pidana pengawasan dan terhadap terpidana anak didik
39UU No 12 Th 1995 tentang Kemasyarakatan Pasal 5.
76
pemasyarakatan yang diserahkan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh serta memberikan pengawasan terhadap orang tua, wali
dan orang tua asuh yang diberi tugas pembimbingan atas anak
terpidana.
Lahirnya Undang-Undang No 11 Th 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak memberikan peran besar bagi Bapas dalam
penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Melalui
tugas ini, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) tidak hanya menjadi
instansi yang melakukan penelitian masyarakat berkaitan dengan anak
yang terlibat dalam perkara pidana saja, tetapi menjadi salah satu
unsur penting dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan
atau melibatkan anak.
UU SPPA ini mengatur secara jelas dan tegas peran yang harus
dijalankan oleh Bapas. Peran tersebut bergerak sejak tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana dengan mengedepankan upaya pemulihan secara berkeadilan
dan menghindarkan anak dari proses peradilan. Jika dalam hal tertentu
anak harus masuk ke dalam proses peradilan maka Bapas mempunyai
kewajiban untuk memberikan pendamping terhadap anak dalam setiap
tingkat pemeriksaan.40
Dalam proses diversi, Bapas mempunyai peran strategis yaitu:
1) pembimbing kemasyarakatan harus terlibat dalam proses diversi
yang dilakukan pada setiap tingkat pemeriksaan. Keterlibatan
petugas PK Bapas adalah dengan memberikan pertimbangan kepada
penyidik, penuntut umum dan hakim selama proses diversi yang
dimuat dalam penelitian masyarakat;
2) memberikan rekomendasi tentang bentuk kesepakatan diversi yang
dilakukan oleh penyidik untuk menyelesaikan tindak pidana yang
berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa
korban atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah
mínimum provinsi setempat.
3.4. Jaksa
Dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan
tuntutan pidana bagi anak nakal yang paling utama adalah berdasarkan
40 Andi Wijaya Rivai, Bapas Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Anak. http://www.ditjenpas.go.id/pasnew/article/bapas-dalam-perspektif-sistem-
peradilan-pidana-anak,Terbit Online Kamis 15 Agustus 2013. (Diakses pada 6
Desember 2013).
77
hasil penelitian masyarakat. Keputusan Jaksa dalam menuntut
hukuman terhadap anak selain dari penelitian Litmas antara lain:
1. latar belakang anak melakukan tindak pidana tersebut. Hal-hal atau
penyebab seorang anak melakukan tindak pidana adalah salah satu
alasan bagi Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan
pidana;
2. status pendidikan dari anak yang melakukan tindak pidana
tersebut. Bagi Jaksa Penuntut Umum perlu mempertimbangkan
keadaan status pendidikan dari anak tersebut, apakah ia masih
dalam masa pendidikan atau sudah berhenti;
3. kondisi mental/ psikologis anak tersebut. Seorang anak yang
dibawah umur/ belum dewasa masih memiliki sifat yang labil dan
memiliki kesiapan mental yang lebih rendah dibandingkan orang
dewasa;
4. perubahan tingkah laku anak dengan hukuman yang dijatuhkan
terhadapnya. Hukuman yang diberikan kepada anak dapat merubah
tingkah laku, sikap dan sifatnya, seperti merasa minder, malu dan
berkurangnya rasa percaya diri si anak terhadap lingkungan
keluarganya, rumahnya, sekolahnya dan terhadap teman-temannya
akibat hukuman yang diterimanya.
Di dalam Surat Edaran Jaksa Agung dinyatakan apabila
tersangka belum berumur 10 tahun pada saat melakukan perbuatan
tersebut agar Jaksa Peneliti (calon Penuntutan Umum) melakukan
pendekatan kepada penyidik untuk tidak melanjutkan penyidikan
tetapi cukup diberikan bimbingan/ penerangan secara bijaksana kepada
tersangka maupun kepada orangtua/ walinya sehingga perkaranya
tidak perlu dikirimkan ke kejaksaan.41
Kebijakan jaksa dalam menerapkan konsep restorative justice ketika melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana anak
terlihat di dalam Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
tentang petunjuk teknis peuntutan terhadap anak. Sebelum melakukan
penuntutan, ketika menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) jaksa penuntut umum harus memperhatikan usia
dari tersangka. Apabila usia tersangka masih di bawah 16 tahun jaksa
41Surat Edaran Jaksa Agung SE-02/JA/6/1989 tentang Penuntutan terhadap
anak.
78
harus segera mencari bukti-bukti authentik seperti akte kelahiran atau
akte kenal lahir, data di Sekolah, Kelurahan, dll.42
Dalam hal tuntutan terhadap anak dibawah umur jaksa harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) apabila terdakwa anak -dibawah umur- tidak ditahan, supaya
mengajukan tuntutan agar anak tersebut dikembalikan kepada
orangtua/ wali untuk dididik dan kalau orang tua/wali menolak
hendaknya dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah sebagai
anak negara atau diserahkan kepada organisasi/suatu badan tertentu
untuk mendapat pendidikan sebagaimana mestinya tanpa, pidana
apapun atau;
2) dalam hal tersangka ditahan, agar Jaksa Penuntut Umum menuntut
pidana penjara minimum sama dengan masa selama dalam tahanan
atau;
3) dalam hal Jaksa Penuntut Umum memandang perlu menuntut
pidana penjara, agar selalu mempedomani Surat Edaran Jaksa
Agung RI Nomor : SE001/JA/4/1995 tentang pedoman Tuntutan
Pidana.43
3.5. Hakim
Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara anak
dilakukan oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
42Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum tentang petunjuk teknis
peuntutan terhadap anak Nomor B-532/E/11/1995 ditetapkan di Jakarta 9 Nopember
1995. Petunjuk teknis ini guna melengkapi Surat Edaran Jaksa Agung RI. Nomor :
SE-02/JA/6/1989 tanggal 10 Juli 1989 tentang Penuntutan Terhadap anak. 43 Berdasarkan laporan-laporan yang diterima dan hasil pengamatan
berkenaan semakin meningkatnya perkembangan penanganan perkara-perkara tindak
pidana, dimana permasalahan penegakan hukum dihadapkan pada penyelesaian yang
sangat komplek ternyata tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
selama ini masih belum memenuhi harapan maka pedoman tuntutan pidana
sebagaimana Indonesia Nomor: SE-003/J.A/8/1988 disempurnakan dengan maksud
untuk mewujudkan tuntutan pidana yang lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup
dan berkembang didalam masyarakat, membuat jera para pelaku tindak pidana,
mampu menimbulkan dampak pencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang
lainnya, menciptakan kesatuan kebijakan penuntutan sejalan, dengan asas bahwa
Kejaksaan adalah satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan, menghindari adanya
disparitas tuntutan pidana untuk perkara - perkara sejenis antara satu daerah dengan
daerah yang lainnya dengan memperhatikan faktor kastustik pada setiap perkara
pidana. http://www.scribd.com/doc/106433322/SEJA-001-JA-4-1995-PEDOMAN-
TUNTUTAN-PIDANA (Diakses pada 22 Februari 2014).
79
Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi. Dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung No 6 Th 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak
dinyatakan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana di muka sidang
pengadilan yang terdakwanya adalah anak-anak, diperlukan
pendalaman oleh hakim yang memeriksa perkara tersebut baik yang
menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan maupun yang
menyangkut lingkungan pengaruh serta keadaan jiwa anak itu. Dalam
menyidangkan anak yang berhadapan dengan hukum juga dibutuhkan
seorang hakim yang mempunyai perhatian (interesse) terhadap anak.
Dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tua/
wali atau pendamping/ advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi anak. Sidang
bagi anak tertutup untuk umum, hal ini sesuai dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No 6 Th 1959 yang menyebutkan bahwa
persidangan bagi anak haruslah dilakukan secara tertutup.
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim memberikan kesempatan
kepada orang tua/ wali atau pendamping untuk mengemukakan hal
yang bermanfaat bagi anak. Walaupun hakim diberi kebebasan dalam
memutuskan suatu perkara tindak pidana, bukan berarti hakim dengan
sesuka hati menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang
lengkap. Dalam hal ini hakim mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum
mnejatuhkan putusan perkara.
Dalam menentukan hukuman pidana atau tindakan yang dapat
dijatuhkan kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak
pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan.
Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah
tangga orang tua, wali atau orang tua asuh, hubungan antara anggota
keluarga dan keadaan lingkungannya. Dalam hal ini hakim juga wajib
memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan. Dengan
memperhatikan seluruh aspek-aspek tersebut, diharapkan hakim dapat
menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 mewajibkan
hakim menjalankan mediasi terlebih dahulu sebelum memutuskan
hukuman terhadap pelaku tindak pidana. Perdamaian menjadi sesuatu
yang wajib diusahakan pada semua tingkatan pengadilan. Dalam
lapangan hukum pidana, penyelesaian kasus melalui jalur damai seolah
80
masih sulit dijalankan. Oleh karena itu, hakim perlu memahami konsep
atau filosofinya. Model apapun yang dipilih, keadilan restoratif harus
diarahkan pada pemulihan korban, pelaku dan masyarakat sekaligus.44
Hakim Anak tidak berbeda dengan hakim pada umumnya yaitu
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
kepadanya serta tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Terkhusus dalam
menjatuhkan putusan, hakim anak berperan memberikan keadilan
sekaligus melindungi dan mengayomi anak melalui putusannya yang
dilandasi dengan berbagai pertimbangan demi mengusahakan yang
terbaik bagi anak yang bersangkutan.
Dalam menyidangkan perkara pidana dan memutuskan
hukuman pada suatu perkara tindak pidana khususnya dalam tindak
pidana anak, hakim tidak berlaku kaku (maksudnya adalah mengikuti
jalan yang terkait dengan perkara itu sesuai perkembangan pada saat
sidang). Prinsip hakim dalam menyidangkan suatu perkara adalah
sesuai dengan yang terjadi di persidangan. Dalam hal ini hakim diberi
wewenang untuk memutuskan menggunakan konsep keadilan
restoratif apabila kedua belah pihak antara pelaku dan korban berniat
untuk saling berdamai, karena proses pemidanaan berada di tangan
hakim bukan di tangan penuntut umum.
Istilah keadilan restoratif atau yang biasa disebut restorative justice telah sering dilakukan oleh hakim dalam memutuskan suatu
perkara tindak pidana anak dengan memperhatikan situasi dan kondisi
anak. Dalam hal ini misalnya; tindak asusila yang dilakukan oleh anak
dibawah umur (baik pelaku maupun korban) dikenakan hukuman
tindak pidana perkara persetubuhan pasal 81 UU RI No 23 Th 2002,
tetapi hakim memutuskan bahwa pelaku anak ini harus dikembalikan
kepada kedua orang tua karena tindakannya bukanlah pemerkosaan
tetapi atas dasar suka sama suka (bujuk rayu). Apabila pelaku
dihukum, ini tidak menyelesaikan masalah karena korban akan
melahirkan seorang anak tanpa ayahnya, maka hakim memutuskan
baik pelaku maupun korban dikembalikan kepada kedua orang tuanya
44 Muhammad Yasin, dkk, ‚Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif‛,
Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan Komisi Yudisial Vol 4 No 4(Januari-
Februari 2012), 13.
81
untuk diputuskan hal yang terbaik bagi mereka berdua dengan jalan
dinikahkan untuk menutupi aib masing-masing keluarga.45
Kebijakan untuk menerapkan konsep keadilan restoratif juga
tertuang dalam himbauan ketua Mahkamah Agung RI pada tanggal 16
Juli 2007. Dalam himbauan ini dinyatakan untuk menghindari
penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada
penjara bagi anak pelaku tindak pidana. Menurut DS Dewi ada lima
hal dimana seorang hakim berani melakukan terobosan hukum
keadilan restoratif : pertama: pelaku harus mengakui perbuatannya
jangan sampai dia hanya disuruh orang lain untuk mengaku satu
perbuatan yang bukan perbuatannya; kedua: korban mau memaafkan
pelaku; ketiga: masyarakat mendukung terjadinya perdamaian kedua
belah pihak; keempat: pelaku pidana anak bukanlah seorang residivis;
kelima: perkara tersebut kasuistik (bertalian/ sesuai dengan kasus).46
Dalam Undang-Undang Peradilan Anak No 11 th 2012, hakim
atau majelis hakim yang menangani perkara anak wajib mengupayakan
diversi paling lama 7 hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan
negeri sebagai hakim anak. Diversi dapat dilakukan paling lama 30
hari dan proses ini dilaksanakan di ruang mediasi penal. Dalam hal
proses diversi berhasil hakim menyampaikan berita acara diversi
beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk
dibuat penetapan. Jika diversi tidak berhasil maka perkara dilanjutkan
ke tahap persidangan.47
45 Hasil Wawancara Pribadi dengan Hakim Anak Bapak Bambang Budi
Mursitoh, SH di Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 02 Desember 2013. 46 Diah Sulastri Dewi, ‚KY (Komisi Yudisial) Perlu Meriset Hakim yang
Menerapkan Keadilan Restoratif‛, Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan Komisi Yudisial Vol 4 No 4(Januari-Februari 2012), 19.
47 UU No 11 Th 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 52 Bagian
Keenam Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
82
Bagan 4: Skema Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia
192
192 DS Dewi, Proses Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia- Skema
Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia, (Expert Consultant Meeting:
Kuta Bali, Juni 2013).
Laporan
Masyarakat
Berkas Anak
diterima Pengadilan
Negeri
Penyidik/ Polisi Jaksa Penuntut
Umum
Berkas Anak
diterima Pengadilan
Negeri
KPN
menunujuk
Hakim
Anak
Sidang
KUHAP UU
Peradilan
Anak (PA)
Litmas, Dakwaan,
Saksi, Bukti,
Terdakwa
(KUHAP)
Pendekatan
Restorative
Justice/
Mediasi
Penal
Pendekatan
Restorative
Justice (Mediasi
Penal) (Hakim
Anak, JPU, PH,
PK Bapas,
P/Ortu, K/Ortu,
Tokoh
Masyarakat
Berhasil
RJ Kesepakatan
Sidang
KUHAP
PA
Requisitor UUPA
Tindakan
Pledoi Kesepakatan
Putusan
UUPA
Tindakan
Putusan BHT
Tidak Berhasil RJ
Sidang KUHAP PA
REQUISITOR PLEDOI PUTUSAN
HAKIM
83
4. Kebijakan dan Pengembangan Penegak Hukum di Wilayah Bekasi
dalam mewujudkan Keadilan Restoratif
Sepanjang Januari-Mei 2013, 32 anak dibawah umur di wilayah
hukum Kota Bekasi terlibat kejahatan tindak pidana berbagai kasus.
Selama kurun waktu itu pula, sebanyak 11 anak menjadi korban
kejahatan baik sesama anak di bawah umur maupun orang dewasa.
Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Bekasi, Agus Setiadi, mengatakan kasus
kejahatan yang melibatkan anak beragam. Mulai tindak pidana ringan
hingga berat, seperti penganiayaan, pencurian, narkoba maupun tindak
pidana pencabulan.1
Kasus pembunuhan oleh anak di bawah umur yang terjadi di
daerah Bekasi menjadi perhatian aparat kepolisian dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kasus anak membunuh teman
sepermainan ini dikarenakan pelaku (YI- 8th) merasa kesal dengan
korban (NAK- 6th) karena korban mempunyai utang Rp 1.000 yang
belum dibayar, akibatnya terjadi sebuah perkelahian kemudian pelaku
mendorong korban ke galian air Summarecon yang mengakibatkan
kematian korban.
Koni Cut Siti Alimah ibu dari pelaku YI sangat menyesali
perbuatan anaknya, Koni juga menyesali bahwa ia telah menelantarkan
YI sehingga terjadi pembunuhan. Koni dan keluarganya akan segera
mendatangi rumah korban untuk menyampaikan permohonan maaf
kepada pihak korban. Koni mengaku bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh anaknya adalah merupakan kesalahannya sebagai orang
tua karena telah menelantarkan YI. Dalam hal ini Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bekasi Muhammad Syahroni
menuturkan bahwa pihaknya akan berupaya menjadi fasilitator
penyelesaian kasus antara keluarga pelaku dan korban.
Kapolres Bekasi Kota Kombes Pol Priyo Widyanto
menambahkan, meski melanggar Undang-Undang No 23 Th 2002
tentang Perlindungan Anak, namun YI tidak bisa di dakwa melakukan
tindak pidana kejahatan karena masih anak-anak. Dalam masalah ini
YI dititipkan ke panti sosial untuk dibina dan nantinya dikembalikan
kepada orang tua agar dapat dibina pula.2
1 http://m.merdeka.com/peristiwa/januari-mei-32-anak-di-bawah-umur-di-
bekasi-terlibat-kejahatan.html, Reporter Adi Nugroho, Terbit online 08 Juni 2013. 2 http://www.koran-sindo.com/node/311908 Terbit online 10 November
2013.
84
Unit Perlindungan Anak dan Perempuan Kepolisian Resor Kota
Bekasi mencatat telah menangani sedikitnya 89 kasus kekerasan
terhadap anak dan perempuan sepanjang 2013. Berdasarkan data
tersebut, jumlah kasusnya relatif mengalami penurunan bila
dibandingkan kasus yang sama selama periode 2012 (pada periode
2012 tercatat 106 kasus). Menurut AKP Bambang Wahyudi pihaknya
telah menjalin sinergi dengan Komisi Perlindungan Anak dan
Perempuan dalam rangka meredam laju pertumbuhan kasus tersebut di
wilayah hukum setempat. Pihak aparat kepolisian juga melakukan
penyuluhan dan memberikan proses pembelajaran pada saat yang
bersangkutan mengalami perkara.3
Data yang diterima oleh penulis dari Unit Perlindungan
Perempuan dan Anak (UP2A) Polresta Bekasi, kebanyakan pelaku
tindak pidana anak berasal dari lingkungan setempat, jejaring sosial
(kenalan dari facebook), teman sekolah, kenalan melalui telepon
selular. Kasus terbanyak yang ditangani oleh UP2A Polresta Bekasi
adalah kasus tindak asusila (suka sama suka). Faktor terbanyak anak
melakukan tindak pidana adalah faktor kemiskinan dan kurang
perhatian orang tua yang menyebabkan anak salah bergaul. Hal ini
harus menjadi perhatian penting bagi aparat penegak hukum tidak
hanya di Bekasi tetapi juga di Indonesia.
Aparat kepolisian di wilayah hukum Bekasi dalam
menindaklanjuti tersangka tindak pelaku pidana oleh anak bekerjasama
dengan pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak yang
terdapat di Walikota dalam menyelesaikan perkara pidana anak.4
Ketika aparat kepolisian menindak seorang anak yang melakukan
tindak pidana dan masih di bawah umur 18 tahun, hal ini menjadi
sangat dilematis karena disamping polisi harus melaksanakan Gakum
(Penegakan Hukum), polisi juga mempunyai kewajiban untuk
melindungi anak. Dalam penanganan pelaku tindak pidana anak,
3 http://wartakota.tribunnews.com/2013/11/17/polres-bekasi-tangani-89-
kasus-kekerasan-anak-dan-perempuan Terbit online 17 November 2013. 4Dengan menimbang Peraturan Daerah Kota Bekasi No 12 Th 2012 tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak maka ditetapkan Peraturan Walikota Bekasi No
19 Th 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bekasi No 12 Th
2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Adanya Peraturan Walikota ini
dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan pelayanan penanganan perempuan dan
anak dari tindak kekerasan , perdagangan, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya.
Peraturan ini bertujuan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu
dalam rangka perlindungan bagi perempuan dan anak.
85
penyidik atau kepolisian yang berhadapan dengan pelaku anak harus
mempunyai rasa sensitif terhadap psikologi anak, mengutamakan
kepentingan terbaik bagi anak, menyelesaikan perkara tidak dengan
hukuman formal (jika bisa diselesaikan dengan musyawarah antara
korban dan pelaku), mempunyai kreatifitas dalam mencari alternatif
penyelesaian permasalahan anak, menjalin kerjasama dengan pihak
yang memiliki kepedulian terhadap anak dan melakukan penahanan
terhadap anak sebagai langkah terakhir.
Dalam menyelesaikan kasus tindak pidana anak, aparat
kepolisian melihat beberapa kriteria perkara pidana dimana anak
sebagai pelaku bisa diupayakan penyelesaiannya secara diversi dan
restorative justice. Kriteria tersebut antara lain:
1. prioritas perkara pidana dengan sanksi pidana 1 tahun;
2. sanksi pidana diatas 1-5 tahun dapat dipertimbangkan sesuai
dengan usia anak (semakin muda usia sebagai pelaku semakin
dibutuhkan penyelesaian secara diversi dan restorative justice);
3. faktor pendorong anak terlibat dalam kasus pidana / faktor
yang ada di luar kendali anak;
4. kerugian yang diakibatkan bersifat kebendaan tidak terkait
dengan tubuh atau nyawa.
Dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak, polisi boleh
memberikan alternatif. Jika pihak korban dan pelaku ingin melakukan
perdamaian, maka dapat dilakukan dengan model mediasi/ pihak
korban memaafkan pelaku dan mencabut laporannya dengan melihat
situasi dan kondisi korban. Pada saat sudah dilakukan diversi atau
restorative justice dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
serta tidak adanya tuntutan dari korban, maka penyidik kepolisian
berhak memberhentikan perkara demi kepastian hukum dengan surat
perhentian penyidik perkara (SP3).
Beberapa pertimbangan penyidik kepolisian dalam melakukan
tindak diversi/ restorative justice yaitu:
1. diversi langsung (bentuk formil): terhadap kasus-kasus yang
sifatnya ringan, tidak berdampak/ beresiko dikemudian hari;
2. diversi tidak langsung (diskusi- komprehensif): kasus-kasus
biasa yang agak serius, ada maaf dari korban dan keluarga serta
komponen masyarakat baik dengan persyaratan tertentu atau
tidak.
3. undiverted (tidak dapat dilakukan diversi): kasus-kasus yang
berat/ serius dan berhubungan dengan kerugian fisik seperti;
86
pembunuhan, Curas (pencurian/ perampokan dengan
kekerasan), Anirat (Pencurian dengan pemberatan) dan
Pemerkosaan.
Hambatan yang dialami oleh aparat kepolisian ketika
melaksanakan proses restorative justice adalah ketika penyidik
kepolisian menghentikan perkara atau berupaya untuk mendamaikan
kedua belah pihak, masyarakat menganggap bahwa polisi telah
menerima suap dari pihak pelaku dan tidak berlaku adil terhadap
korban. Hal ini disebabkan karena faktor kesan yang sudah melekat
pada masyarakat bahwa polisi mempunyai watak koruptif.5
B. Efektivitas Implementasi Restorative Justice dalam perubahan
sikap mental, prilaku, dan menjauhi tindak kiriminal terhadap anak
Konsep pemidanaan berdasarkan restorative justice merupakan
konsep pemasyarakatan yang dikaitkan dengan konsep hukum
‚pengayoman‛. Menurut Sahardjo penjatuhan pidana hendaknya
memperhatikan tujuan yang bersifat mendidik dan tidak hanya
diarahkan agar mereka bertaubat semata khususnya tindak kejahatan
dimana ‚kerusakan‛ yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut
masih bisa di restorasi.6
Hal diatas sejalan dengan penelitian T. Caputo dan M. Vallee.
Penelitian ini menyatakan bahwa orang-orang yang bekerja sama
dengan anak-anak dan remaja dalam mencegah kejahatan mereka
dengan mengembangkan alternatif berbasis masyarakat menyadari
bahwa mereka harus dipahami secara holistik, sehingga upaya
penegakan hukum yang sedang berlangsung diusahakan untuk
memberikan hukuman dimaksudkan atas dasar pendidikan dan bukan
pembalasan.7
5Hasil Wawancara Pribadi dengan Bpk Sumantri, SH bagian penanganan
permasalahan anak dan perempuan POLRESTA CIKARANG dan AKP Tri Mutri
Rahayu bagian penanganan permasalahan anak dan perempuan di KAPOLRES
Bekasi pada Maret 2013. 6 Heru Susetyo, ‚Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Sistem
Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice‛, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (2012), 15,
http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_7.pdf (Di akses pada 20
Desember 2013). 7 Tullio Caputo and Michel Vallee, ‚A Comparative Analysis of Youth
Justice Approaches‛ (Centre for Initiatives on Children, Youth and Community
Carleton University, 2007)
87
Menurut Ketua MA M. Hatta Ali penerapan restorative justice
harus dilakukan sejak tahap penyidikan sampai pelaksanaan putusan
pengadilan sehingga substansi hukum harus mampu memberikan
peluang penerapan penyelesaian yang mengandung keadilan restoratif
baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan
pelaksanaan putusan.8
Penyidik dan Pembimbing Kemasyarakatan
mempunyai andil besar untuk mendamaikan kedua belah pihak (pelaku
dan korban) dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif
sehingga proses penyidikan bisa dihentikan dan tidak dilanjutkan ke
persidangan. Bagi anak sistem peradilan merupakan suatu keadaan
yang menakutkan. Proses peradilan merupakan proses yang tidak
dikenal dan tidak biasa bagi anak sehingga proses peradilan
menimbulkan stress dan trauma pada anak.9
Dari sisi anak (pelaku), upaya restorative justice ini dinilai
lebih positif karena mereka merasa dilindungi dan dihargai. Melalui
penyuluhan dan bimbingan yang intensif dan hati-hati dari Bapas,
anak-anak pelaku kejahatan ini menyadari serta menerima diri mereka
sebagai pihak yang bersalah, untuk kemudian tidak mengulangi
kejahatan di kemudian hari. Tentu saja ini berbeda ketika yang
diberlakukan adalah upaya retributive justice. Upaya ini dianggap si
pelaku –yang pada kasus-kasus tertentu juga menjadi korban—sebagai
bentuk hukuman semata. Kalaupun dalam penjara mereka mendapat
bimbingan, tetap saja bimbingan tersebut berada dalam lingkup
hukuman.
Bapas selalu berusaha untuk membimbing klien anak dengan
cara memotivasi dan memberikan arahan yang bijak dan baik dengan
pendekatan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan formal
ataupun pendidikan keterampilan kerja agar anak pelaku tindak pidana
dapat merubah prilaku dan kebiasaannya yang buruk untuk menjadi
lebih baik. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat memantapkan
kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta dapat bersikap
optimis akan masa depannya serta mampu berintegrasi dengan baik di
http://www.children.gov.on.ca/htdocs/English/topics/youthandthelaw/roots/volume4/
comparative_analysis.aspx (Accessed January 9, 2013). 8 https://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=3842 Implementasi
Paradigma Restorative Justicedalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. (Diakses pada
08 Februari 2014). 9 Hasil Wawancara Pribadi dengan AKP Tri Mutri Rahayu bagian
penanganan permasalahan anak dan perempuan di KAPOLRES Bekasi pada 01
Maret 2013.
88
masyarakat. Pendekatan restoratif dipandang sebagai alat yang
berharga dalam membantu anak-anak untuk memikirkan dan
mengambil tanggung jawab untuk merubah perilaku mereka.
Perubahan mental dan prilaku yang dialami oleh anak pelaku
tindak pidana dapat dilihat dari tidak adanya pengulangan kesalahan
atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berakibat buruk
kepada orang lain dan dirinya sendiri. Pada saat anak diberi putusan
untuk dikembalikan kepada orang tua, anak tetap berada dibawah
pengawasan Bapas, meskipun ada beberapa anak yang sudah dilakukan
diversi dan mengulangi kesalahannya, hal ini disebabkan karena
kurangnya pengawasan orang tua dan kembalinya anak ke pergaulan
yang salah.10
Tabel di bawah ini adalah beberapa data tentang putusan
diskresi kepolisian terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
dengan bantuan pengawasan dan pengayoman dari Bapas terhadap
anak pelaku tindak pidana dengan menggunakan konsep diversi dan
pendekatan keadilan restoratif.
Tabel 1. Pemberian Diskresi oleh Kepolisian Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Anak (Bapas Bogor Th 2011-2013)
Undang-Undang 2011 2012 2013
Undang-Undang Perlindungan Anak
No 23 Th 2002 (Pasal 80-81)
4 4 7
Pasal 363 (Pencurian) 3 2 7
Pasal 351 (Penganiayaan) 2 3 1
Pasal 378 (Perbuatan Curang) - - 2
Pasal 480 (Pemudahan) - - 1
Pasal 359 (Menyebabkan Mati atau
Luka-luka karena Kealpaan)
- - 1
Pasal 365 (Perampokan) - 2 -
Undang-Undang Darurat No 12 Th
1951 (Kepemilikan Senjata Tajam)
- 5 2
JUMLAH 9 16 21
10Hasil Wawancara Pribadi dengan Ibu Heidy Manurung, S.Pd bagian Badan
Klien Anak (BKA) di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas II Bogor pada 02
September 2013.
89
Data di atas menunjukkan bahwa wacana mengenai keadilan
restoratif diantara aparat penegak hukum semakin meningkat.
Beberapa kebaikan dari sistem restorative justice diantaranya: bagi
korban konsep ini lebih mampu memberi atau memenuhi lebih baik
kebutuhan dan rasa puas dibandingkan dengan proses peradilan pidana
biasa; bagi pelaku konsep ini memberi kesempatan meraih kembali
rasa hormat masyarakat daripada terus menerus dicaci; sedangkan bagi
masyarakat menjadikan pelaku tidak berbahaya lagi.
Dalam konsep restorative justice system ada dua segi tindakan
yang dapat dilakukan yaitu:
a) segi represif : dengan diterapkannya konsep restorative justice system, maka yang diutamakan adalah kepentingan pelaku, korban
dan masyarakat. Tindakan represif yang dapat dilakukan dalam hal
ini adalah diberikannya fasilitas bagi pelaku untuk direhabilitasi,
diberikannya kompensasi bagi korban sebagai permohonan maaf
dari pelaku dan dijaminnya keamanan bagi masyarakat sendiri;
b) segi preventif : dalam pelaksanaan atau praktek konsep restorative justice system ini mengupayakan agar si pelaku dan korban saling
bertemu di hadapan anggota masyarakat yang lain. Pelaku
diharuskan untuk meminta maaf kepada korban dan masyarakat
setempat. Setelah adanya kesepakatan dari anggota masyarakat
maka dapat ditentukan hukuman untuk pelaku yang sesuai dengan
perbuatannya. Hukuman terhadap pelaku dapat berupa rehabilitasi,
atau kompensasi yaitu pelaku diwajibkan untuk membayar kerugian
si korban, sehingga keseimbangan masyarakat pun tetap terjaga.
Dengan dihadapkannya si pelaku kepada masyarakat, pada
prinsipnya konsep restorative justice system mempunyai tujuan agar si
pelaku merasa malu untuk melakukan perbuatan kejahatan lagi, dan
untuk anggota masyarakat pun otomatis akan merasa malu dalam
melakukan kejahatan serupa.11
Dalam hal ini pendekatan restorative justice membawa partisipasi antara pelaku, korban dan masyarakat
dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana.
11Lihat Nuryana Sumekar ‚Restorative Justice System Sebagai Alternatif
Penegakan Hukum Di Indonesia Dikaitkan Dengan UU No 3 Th 1997 Tentang
Pengadilan Anak‛, Laporan Penelitian Universitas Padjajaran Bandung (2010).
90
C. Hambatan dan Kendala dalam menerapkan konsep Restorative Justice
Bagi banyak sistem peradilan saat ini dipandang gagal untuk
mengurangi kejahatan dan untuk mengurus kebutuhan para korban,
pelaku atau masyarakat. Banyak klaim telah dibuat tentang
kemampuan keadilan restoratif untuk mengatasi masalah ini. Kritik
keterbatasan dan kekhawatiran dalam mengadopsi pratek restorative justice ke dalam hukum formil juga diragukan. Dalam menerapkan
konsep restorative justice terdapat beberapa hambatan dan kendala
yang dialami oleh penindak hukum.12
1. Aspek tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur 18
tahun akan menjadi sangat dilematis, disamping para penegak
hukum harus menegakan hukum demi keadilan, para penindak
hukum juga harus melindungi anak yang berhadapan dengan
hukum.
2. Belum ada kesepakatan antara para penegak hukum sendiri
maupun dengan masyarakat dalam menerapkan konsep restorative justice.
3. Keseriusan para penegak hukum dalam menangani kasus anak yang
berhadapan dengan hukum belum merata.
4. Masih banyak orang tua dari pihak korban bersifat emosional puas
dengan balas dendam dan tidak mau mendengarkan ajuan
perdamaian dari pihak pelaku sehingga kurang mendukung fungsi
pembinaan.
5. Belum memadai sarana dan prasarana yang dapat memfasilitasi
proses perlidungan anak/ tahanan anak.
Hambatan yang dialami oleh para penegak hukum dalam
menerapkan konsep restorative justice di antaranya pada pelanggaran
yang sangat serius yang dilakukan oleh anak. Pelaksanaan restorative justice yang dilaksanakan dengan kurangnya pelatihan dalam
mengatasi konflik dan teknik mediasi yang kurang sempurna dapat
menyebabkan kurangnya keberhasilan dalam pelaksanaan restorative justice. 13
Kegagalan konsep restorative justice juga dikarenakan
gagalnya pelaksanaan kesepakatan restitusi oleh pelaku serta
12Hasil Wawancara dengan Penegak hukum (Kepolisian, Bapas, dan Hakim)
dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum. diolah. 13 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia- Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice, 229.
91
kurangnya peran keluarga dan masyarakat dalam menjaga pelaku
(anak) untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.14
Kathleen Daly dalam tulisannya ‚The Limits of Restorative Justice‛ juga menambahkan ada beberapa keterbatasan dalam
melakukan konsep keadilan restoratif, diantaranya:15
pertama: tidak
adanya kesepakatan dalam mendefinisikan konsep keadilan
restorative; kedua: RJ harus berkaitan dengan hukuman bukan fakta
tahap proses pidana; dan ketiga: permintaan maaf yang tulus sulit
untuk diterima. Salah satu permasalahan ketidaksepakatan adalah apakah
konsep keadilan rerstoratif harus dipandang sebagai suatu proses atau
hasil. Johnstone menunjukkan bahwa pendukung keadilan restoratif
telah terlalu sempit terfokus pada upaya mempromosikan konsep
restorative justice dengan mengklaim efek positif dalam mengurangi
pengulangan kejahatan terhadap pelaku dan meningkatkan kepuasan
korban. Daly juga membatasi penggunaan istilah RJ dengan tidak
menetapkan bahwa RJ adalah konsep untuk perubahan sosial
melainkan konsep praktek keadilan secara konkrit bukan sebagai
aspirasi atau nilai-nilai.
Dalam hal ini Daly berpendapat bahwa RJ tidak membahas
bagaimana kejahatan terjadi atau apakah tersangka mengakui
kesalahannya, sebaliknya RJ berfokus pada apa yang harus kita
lakukan setelah orang mengakui bahwa ia telah melakukan
pelanggaran. Fokus RJ pada hukuman dapat dilihat sebagai kekuatan
yang memungkinkan kita untuk menjadi lebih imajinatif dalam
pembuatan konsep yang tepat untuk merubah perilaku dan membuka
jalur potensial komunikasi dan pemahaman antar pelaku, korban dan
antar keluarga. Komunikasi dan interaksi antara keluarga pelaku dan
korban sangat penting karena korban ingin jawaban atas pertanyaan
yang diberikan kepada pelaku.
Menurut Dally ada dua jenis permintaan maaf, pertama adalah
pengampunan dari korban untuk pelaku dan kedua adalah permintaan
maaf yang tulus di mana ada saling pengertian antara kedua belah
pihak. Penyelesaian permasalahan yang paling diinginkan oleh korban
14 Hasil wawancara dengan Hakim Anak Bapak Bambang Budi Mursitoh,
S.H di Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 02 Desember 2013. 15 Kathleen Daly, ‚The Limits of Restorative Justice‛, 15 January 2005,
http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0013/50314/rj_paper3_the_limits_
of_rj.pdf (Accessed December 18, 2013).
92
adalah reparasi/ perbaikan terutama permintaan maaf dari pelaku. Pada
dasarnya korban ingin para pelaku berhenti merugikan dan menyakiti
mereka (korban) atau orang lain. Hasil dari penelitian ini
mengungkapkan bahwa terdapat sebuah kegagalan dalam komunikasi
antara korban dan pelaku ketika permintaan maaf diucapkan. Korban
menganggap bahwa pelaku tidak benar-benar menyesal atas apa yang
telah mereka lakukan.
Memasukkan peraturan restorative justice dalam sistem hukum
secara lengkap terasa amat sulit karena keberhasilan dari proses ini
sangat tergantung dari pihak keluarga yang menjadi tempat anak
dikembalikan. Banyak orang yang menganggap restorative justice
adalah keadilan yang lunak (soft justice). Restorative Justice dapat
dilaksanakan secara teori untuk semua kasus tapi sangat sulit untuk
kasus-kasus yang serius hal ini yang menjadi sangat sulit untuk
menghindarkan anak dari pemidanaan secara retributive apabila
melakukan pelanggaran yang sangat serius.16
Pakar hukum pidana Andi Hamzah juga menjelaskan beberapa
hambatan penerapan keadilan restoratif di Indonesia. Hambatan
pertama adalah ketiadaan payung hukum yang mengaturnya karena
perkara kriminal diambil alih oleh Negara yang diwakili jaksa, maka
walaupun kedua belah pihak berdamai, perkara tetap berjalan kecuali
delik aduan. Hambatan lain juga muncul dari aspek kultural dimana
masayarakat cenderung sulit untuk memaafkan dan mempunyai jiwa
pendendam. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan di beberapa
Negara lain seperti di Den Haag Belanda 60% perkara pidana
diselesaikan di luar pengadilan dengan ganti rugi dan denda,
sedangkan di Norwegia lebih tinggi lagi sekitar 74%.17
D. Restorative Justice dan Ta‘zi>r sebagai Praktek Keadilan dalam
Hukum Pidana
Prinsip dasar keadilan restoratif bukan hanya berakar dari kitab
hukum kuno. Beberapa ahli hukum mengulas konsep dasar agama
sebagai sumber dari model keadilan restoratif. Landasan filosofis,
16 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia- Pengembangan Konsep
Diversi dan Restorative Justice, 232. 17Hukum Online, ‚Keadilan Restoratif Dalam Putusan-Putusan MA‛, Terbit
online Jum’at 27 April 2012.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9ac62885275/keadilan-restoratif-
dalam-putusan-putusan-ma (Diakses pada 21 Desember 2013).
93
doktrin, tradisi, dan pengalaman praktik penerapan pendekatan
keadilan restoratif telah lama ada dan diberlakukan umat Hindu,
Budha, Islam, Yahudi, Sikh, Tao dan Kristen.18
Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan hukuman minimum
untuk pelaku tindak pidana merupakan konsep utama dalam hukuman
ini. Ta‘zi>r merupakan kekuatan diskresi hakim (kebijakan aparat
penegak hukum) dalam memberikan hukuman terhadap pelaku tindak
pidana.
Konsep ta‘zi>r adalah klasifikasi hukuman yang paling bisa
menerima pendekatan rekonsiliasi korban dan pelaku, resolusi konflik,
meredam kemarahan, dan kompensasi. Sebagai hukuman, ta‘zi>r juga
mengandung banyak unsur keadilan restoratif termasuk menghormati
dan menjaga martabat pelaku. Satu-satunya unsur keadilan restoratif
dalam Hukum Islam adalah gagasan tentang perbaikan/ pemulihan. Hal
ini menjadikan hukuman ta‘zi>r sangat restoratif.19
Penerapan keadilan restoratif dalam masyarakat Islam bukanlah
tugas yang sulit. Interpretasi Islam yang memungkinkan untuk
mempertemukan antara pelaku dan korban serta partisipasi masyarakat
dalam menyelesaikan suatu permasalahan menjadikan konsep keadilan
restoratif pada tingkat teoritis bukanlah hal yang baru dalam Islam
sebagai penyelesaian konflik. Komunitas muslim sudah terbiasa
melakukan praktek mediasi, diskresi, kompensasi, pengampunan/
pemaafan (al-‘afwu). Oleh karena itu konsep keadilan restoratif
bukanlah hal asing dalam hukum Islam baik secara teori maupun
praktek.20
Dalam hukum pidana Islam yang berlaku hukum qis}as}-diyat. Hukuman bagi pelakunya adalah setimpal sesuai perbuatannya (qis}as}) dan ini sesuai rasa keadilan korban, tetapi perbuatan memaafkan dan
perdamaian dari korban/ keluarganya dipandang sebagai sesuatu yang
lebih baik. Pihak pelaku bisa dijatuhi sanksi diyat (yaitu ganti rugi
sejumlah harta tertentu untuk korban dan keluarganya). Hal ini
membawa kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada lagi dendam
antara kedua pihak itu. Pihak korban mendapat perbaikan dari sanksi
18Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 198. 19Nawal H. Ammar, ‚ Restorative Justice in Islam: Theory and Practice ‚
The Spiritual Roots of Restorative Justice edt by Michael L. Hadley,(Albany: State
University of New York Press, 2001), 175. 20Nawal H. Ammar, ‚ Restorative Justice in Islam, 178.
94
yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses
peradilan pidana.21
Disinilah sebenarnya aspek penting dalam hukum
pidana Islam, yaitu aspek restorative justice. Jika pelanggar bisa
direhabilitasi dengan cara selain hukuman berat, tujuan akan tercapai.
Hukuman harus dihapus, namun korban harus selalu memiliki
kemungkinan untuk mendapatkan obat yang efektif.
Syariah Islam menginginkan kemudahan kepada pemeluknya
dan hukuman itu dibuat untuk kemudahan dan kebaikan serta terhindar
dari berbagai kerusakan agar tercapai kemaslahatan.22
Syari’at
ditegakan untuk mewujudkan mas}lah}ah dan menolak mafsadah.
Mas}lah}ah adalah mengambil suatu manfaat dan menolak kerugian
(mud}arrah) atau kerusakan (mafsadah) bagi individu dan masyarakat.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa mas}lah}ah adalah
pertimbangan kepentingan publik. Kecenderungan fukaha untuk kasus-
kasus baru, terutama untuk utilitas akhirnya memunculkan pengakuan
konsep mas}lah}ah sebagai istilah teknis dalam pembahasan hukum
Islam.23
Dalam Islam hukuman untuk kejahatan yang ringan atau biasa
disebut (minor felonies) tidak ditentukan secara tegas dalam al-Qur’an
maupun Sunnah, sehingga para hakim bebas menetukan bentuk
hukumannya sesuai dengan situasi dan keadaan yang ditemui. Dalam
menentukan bentuk hukuman yang akan ditimpakan kepada para
pelaku kejahatan, hakim biasanya akan mendasarkan keputusannya
pada prinsip-prinsip keadilan sesuai dengan besar kecilnya kejahatan
yang dilakukan.24
Sanksi pidana bukanlah satu-satunya mekanisme untuk
menegakkan moralitas dan kemaslahatan umum. Dalam menentukan
ruang lingkup pidana, suatu tingkat toleransi tertentu dan niat baik
21Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syariat
dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 93. 22 Mas}lah}ah secara harfiah adalah "kesejahteraan, kepentingan umum,"
dipandang sebagai tujuan dasar Shari’ah dan juga sebagai sumber independen
hukum. Farhat J. Ziadeh, ‚Usu>l al Fiqh‛, Journal Oxford Islamic Studies, http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0831?_hi=3&_pos=3#match.
(accessed, July 11, 2013). 23 Nik Abdul Rahim NikAbdulGhani,Hayatullah Laluddin , Amir Husin
MatNor, Mas}lah}ah as a Source of Islamic Transactions (Mu'amalat), http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/1012196427/13F4615F5FC7739BB8D/1?a
ccountid=25704. (accessed, May 11, 2012). 24Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, 97.
95
harus ada dalam perdebatan tersebut jika ingin menghasilkan
kebijakan legislatif dan penerapan yang adil dan diterima secara luas.25
Pada kejahatan kategori ta‘zi>r kita bisa menemukan logika kemajuan
dalam sistem pidana Islam. Hukuman tidak lagi didasarkan pada
pernyataan kitab suci yang kaku tapi lebih kepada kebutuhan untuk
mengikuti rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat.26
Meskipun dalam kerangka normatif proses keadilan restoratif
banyak dipertanyakan, namun dalam kenyataannya terdapat pula
praktek penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana,
utamanya oleh lembaga pengadilan adat. Keadilan restoratif berakar
dari nilai-nilai tradisional dalam masyarakat seperti nilai
keseimbangan, keharmonisan serta kedamaian dalam masyarakat. Oleh
karena itu di beberapa negara tercatat bahwa lembaga peradilan adat
tetap dipertahankan sebagai sarana bagi masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa atau permasalahan yang dialaminya termasuk
didalamnya perkara pidana.27
Sasaran akhir konsep peradilan restoratif ini mengharapkan
berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara, menghapuskan
stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia
normal, menyadarkan pelaku kejahatan atas kesalahannya sehingga
tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi,
jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas, menghemat keuangan Negara,
tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh
korban dan korban cepat mendapatkan ganti rugi, memberdayakan
masyarakat dalam mengatasi kejahatan serta mengintegrasikan
kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.28
25Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, 198. 26Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, 73-74. 27Eva Achjani Zulfa, ‚Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di
Indonesia‛, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol 6 No 2 (Agustus 2010), 184,
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1114/1022 (diakses pada 1 Mei
2013). 28Setyo Utomo, ‚Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang Berbasis
Restorative Justice‛, Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur vol V no 01 (2010), 25,
http://repository.unsur.ac.id/unggah.php?file=berkas/7.%20SISTEM%20PEMIDAN
AAN%20DALAM%20HUKUM%20PIDANA%20YANG%20BERBASIS%20REST
ORATIVE%20JUSTICE.pdf (accessed June 12, 2013).
96
97
BAB IV
PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DAN TA‘ZI>R DALAM PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA ANAK DI
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Pada bab ini dijelaskan beberapa kasus tindak pidana anak yang
diselesaikan dengan konsep restorative justice oleh beberapa aparat
penegak hukum. Dalam pembahasannya dianalisis sesuai dengan
hukum positif yang berlaku di Indonesia dan dalam perspektif hukum
Islam.
A. Kasus Pembunuhan
Tingkat kenakalan anak/ remaja yang semakin meningkat
disebabkan bukan hanya karena anak tersebut bandel, namun ada sebab
lain seperti orang tua yang salah mendidik atau terlalu keras, terlalu
memanjakan, pengaruh lingkungan dan ada penyebab lain pula seperti
anak yang sering bermain game online dan sering menonton film di
warnet tanpa pengawasan orang tua.1
Pada prinsipnya pendekatan hukum pada kasus Anak yang
Berhadapan dengan Hukum didasari dua asumsi. Asumsi pertama:
anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah
diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan
hukuman. Dalam hal ini diharuskan adanya pembedaan pemberian
hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa. Asumsi
kedua: apabila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak
diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.2
Jika anak belum ba>ligh (dewasa), anak tidak dapat dihukum
dengan hukuman seperti orang dewasa. Hal ini dikarenakan asas
dalam pemberian hukuman tersebut adalah pelakunya mesti memiliki
maksud dan tujuan yang jelas dan sempurna (benar-benar disengaja).
Anak kecil tidak memiliki tujuan atau maksud yang jelas dari tindak
pidananya, karena akalnya belum sempurna. Kesadaran dan
1Hj. Ciptaningsih Utaryo, ‚Sosialisasi Kabupaten Layak Anak‛ (Bantul 14
Agustus 2013), dikutip dari http://thesaintsrow19.blogspot.com/2013/05/beberapa-
kasus-kenakalan-remaja.html (Diakses pada 25 Januari 2014). 2Arini Retnaningsih, ‚Batas Tanggung Jawab Pidana Anak‛, http://hizbut-
tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-anak/ (Diakses pada 25 Januari
2014).
98
pemahamannya pun belum lengkap, termasuk pemahamannya tentang
hakekat kejahatan.
Meskipun dalam Islam belum ada ketentuan yang jelas
bagaimana ketetapan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana anak,
namun sangat dibutuhkan sistem peradilan pidana anak yang dapat
memberikan manfaat demi kepentingan terbaik bagi anak karena
sistem peradilan pidana anak yang saat ini banyak menimbulkan
permasalahan disebabkan ketidaksesuaian dengan hak-hak anak. Oleh
karenanya harus diciptakan aturan perundang-undangan tentang sistem
peradilan pidana anak yang berhadapan dengan hukum dengan
memfasilitasi adanya diversi untuk mencapai suatu keadilan yang
restoratif dengan konsep restorative justice.
Dibawah ini adalah contoh kasus pembunuhan yang dilakukan
oleh anak di bawah umur yang masih berusia 8 tahun.
Kronologi Peristiwa
Hari Rabu tanggal 24 Maret 2013 pukul 16.00, YI (8 tahun)
dan AB (12 tahun) selesai berenang di danau galian Summarecon
Bekasi, Margamulya, Bekasi Utara, Kota Bekasi, Jawa Barat. Mereka
berpapasan dengan NAK (6 tahun) yang datang bersama LH (7 tahun)
dan MAS (7 tahun) menuju danau galian untuk memancing. YI yang
tinggal di Harapan Jaya, Bekasi Utara, memang pernah bermain
dengan NAK warga Harapan Mulya, Medan Satria. Pelaku mengenal
korban saat orangtua korban mengontrak di dekat rumah pelaku.
Saat berpapasan, YI menyatakan bahwa NAK pernah
berhutang padanya Rp 1.000 dan YI menagihnya. NAK
menyanggahnya sehingga berujung perkelahian. Saat YI dan NAK
berkelahi, ketiga teman mereka menghindar dan menjauh. Dalam
perkelahian itu, NAK sempat mencakar YI. YI mendorong NAK ke
danau galian yang dalamnya sekitar 80 sentimeter. YI bahkan
menceburkan diri lalu beberapa kali menenggelamkan NAK.
Akibat ditenggelamkan, NAK kehabisan napas sehingga mulut
mengeluarkan ludah berbusa bercampur darah. Melihat itu, YI
menghentikan aksinya. YI kemudian mengangkat korban dan berusaha
menyelamatkan NAK dengan menekan dada guna memicu jantung dan
memberi napas buatan. Pada saat NAK tidak bereaksi, YI pun panik
dan menceburkan NAK ke danau galian lalu melarikan diri.
YI tertangkap seusai bermain playstation di tempat persewaan
di Pasar Kranji, Bekasi Barat, Jumat pukul 02.30. YI didakwakan
99
dengan UU No 3 Tahun 1997 ayat 4 tentang anak-anak yang dapat
diajukan ke sidang peradilan sekurang-kurangnya berusia 8 tahun dan
Pasal 80 ayat 3 UU RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengenai kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.3
Analisis Kasus
Kejahatan terhadap nyawa diatur dalam KUHP Bab XIX Pasal
338-340. Kejahatan terhadap nyawa dapat diartikan sebagai kejahatan
yang menyangkut kehidupan seseorang. Kejahatan terhadap nyawa
dapat dikelompokkan menjadi 2 dasar yaitu:
(a) atas dasar unsur kesalahan :
1. Dilakukan dengan sengaja. Hal ini diatur dalam pasal 338
KUHP: "Barang siapa yang sengaja menghilangkan jiwa orang lain, karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun‛. Adapun pembunuhan yang
dilakukan karena direncanakan, diatur pasal 340 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan yang direncanakan dengan hukuman penjara seumur hidup/penjara selama-lamanya 20 tahun‛.
2. Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan. Hal ini diatur dalam
pasal 359 KUHP: ‚Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun‛.
3. Disebabkan oleh tindak pidana lain yang mengakibatkan
kematian. Hal ini diatur dalam pasal 339 KUHP: ‚Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana bila tertangkap tangan ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun‛.
3 http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/27/08455736/Terinspirasi.Fil
m..Anak Reporter Ambrosius Harto, Terbit Online Sabtu 27 April 2013.
100
(b) atas dasar obyeknya (nyawa) : kejahatan terhadap nyawa orang
terdapat pada pasal 338, 339, 340, 344 dan 345 KUHP. Adapun
kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan terdapat pada pasal 341, 342 dan 343 KUHP. Kejahatan
terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya
(janin) terdapat pada pasal 346, 347, 348 dan 349 KUHP.4
Dalam hal menyebabkan seorang anak meninggal maka pelaku
dikenakan tuntutan pasal 80 Undang-Undang Perlindungan anak No 23
Th 2002 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap
anak dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan. Apabila anak
sebagaimana diatas mengalami luka berat maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Apabila anak tersebut mati
maka pelaku dipidana dengan pidana 10 tahun.5
Dalam hukum Pidana Islam pembunuhan diatur dalam al-Qur’an surat
al-Isra’ ayat 33 yaitu :6
Menurut Wahbah Zuhaili>, dalam Islam membunuh merupakan
dosa besar karena menghilangkan nyawa seseorang dan mengusik rasa
4Kitab Undang-Undang Hukum PidanaBab XIX Pasal 338-349. 5Pasal 80 Undang-Undang No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak. 6 ‚Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar, dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan‛. Maksudnya yang
dibenarkan oleh syara' seperti qiṣaṣ membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
Maksud dari kekuasaan di sini ialah hak ahli waris yang terbunuh atau penguasa
untuk menuntut qis}a>s} atau menerima diyat.
101
keamanan masyarakat. Pembunuhan dalam Islam dibagi menjadi 2
macam: pertama: pembunuhan yang diharamkan yaitu semua jenis
pembunuhan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang;
kedua: kewajiban untuk membunuh. Menurut Syafi’iyyah ada 5
macam hukum dalam membunuh, yaitu (a) membunuh menjadi wa>jib
kepada orang murtad yang tidak mau bertaubat7 dan musuh perang jika
belum masuk Islam; (b) membunuh menjadi hara>m jika yang dibunuh
adalah orang yang darahnya terjaga seperti orang mu’min dan turis/
orang kafir yang tidak memerangi kaum muslim dan yang mendapat
jaminan keamanan dari Negara; (c) membunuh menjadi makru>h jika
yang yang dibunuh seorang kafir yang tidak menghina Allah dan
Rasulnya; (d) membunuh menjadi mandu>b jika yang dibunuh adalah
seseorang yang hampir kafir dan menghina Allah dan RasulNya; (e)
membunuh menjadi muba>h yaitu membunuh orang yang dikenai qis}a>s}, membunuh karena melakukan pembelaan.
8
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10/MUNAS
VII/MUI/14/2005 tentang hukuman mati dalam tindak pidana tertentu
menyatakan bahwa Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan
memberlakukannya dalam jari>mah h}udu>d, qis}a>s} dan ta‘zi>r. Fatwa ini
sekaligus memberikan legalitas bahwa Negara boleh melaksanakan
hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu.9
YI adalah anak dari satu keluarga yang tidak harmonis (broken home). YI jarang tinggal di rumah bersama ibunda dan ayahanda
tirinya. YI kerap menghabiskan waktu di jalanan dengan mengamen
dan mengemis bersama anak-anak sebaya. Uang yang didapat YI dari
hasil mengamen dan mengemis digunakan untuk jajan dan bermain
playstation.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Bekasi Kota Komisaris
Besar Priyo Widyanto, pelaku mengaku pada awalnya ingin memberi
pelajaran, tetapi ternyata malah berujung kematian korban. Menurut
7Dalam Islam hukuman terhadap orang murtad adalah wajib dibunuh setelah
diberi kesempatan taubat dan ia tidak mau kembali kepada Islam. Hukuman berat ini
dijatuhkan atasnya karena setelah mengetahui kebenaran ia meninggalkan kebenaran
dan menentangnya. Semakin dibenarkannya membunuh orang yang murtad apabila ia
terang-terangan berani menghina dan mencerca Allah dan Rasulnya dan ajaran Islam. 8Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5616. 9 Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, ‚Fatwa Tentang
Hukuman Mati Dalam Tindak Pidana Tertentu‚
http://id.wikisource.org/wiki/Fatwa_Majelis_Ulama_Indonesia_Nomor_10/MUNAS
_VII/MUI/14/2005, ditetapkan di Jakarta 28 Juli 2005.
102
Priyo, pelaku juga mengaku menenggelamkan korban karena
terinspirasi dari film dan game atau permainan. Hal ini juga terlihat
dari cara pelaku mencoba menyelamatkan korban yang juga dilihatnya
dari film.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka
Sirait mengatakan, sekeji apa pun tindakan bocah adalah kenakalan.
Dalam kasus YI, tindakan yang dilakukan olehnya terhadap korban
ternyata merupakan pengaruh dari tontonan yang menampilkan adegan
perkelahian dengan teknik membunuh seseorang yang sering dilihat
oleh YI. Kenakalan anak yang luar biasa ini merupakan bukti
hilangnya perhatian dari keluarga dan masyarakat.10
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota
Bekasi M Syahroni menduga kenakalan yang dilakukan oleh YI
disebabkan orangtuanya yang tak peduli terhadap perkembangan
anaknya. Syahroni juga menyatakan bahwa perbuatan kasar yang
dilakukan YI terhadap temannya diduga ada perlakuan kasar yang
sering diterima anak itu di rumah.
Menurut Syahroni, pelaku tidak mengerti akibat perbuatannya
yang menghilangkan nyawa teman mainnya, sehingga diberi hukuman
atau dipenjara sekalipun ia tidak akan mengerti dan tidak akan
menimbulkan efek jera pada pelaku. Hal ini disebabkan karena YI
hanya ingin uang yang dipinjam oleh temannya itu harus
dikembalikan. Dalam masalah ini KPAI masih terus melakukan
pendampingan terhadap YI pelaku pembunuhan.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun
2010, anak berusia di bawah 12 tahun belum bisa dihukum.11
Ketua
10 http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/27/08455736/Terinspirasi.Fi
lm..Anak Reporter Ambrosius Harto, Terbit Online Sabtu 27 April 2013. 11Dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang dimohonkan oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak
Medan. Pemberian kategori ‚Anak Nakal‛ merupakan justifikasi yang dapat
dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan
dibuktikan di muka hukum. Dengan perubahan batasan usia minimal
pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka Mahkamah
berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum
(minimum age floor) bagi Anak Nakal (deliquent child) sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan, ‚Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin‛. Oleh karenanya,
Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pasal a quo tidak dimintakan pengujiannya
103
Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, menilai anak 8
tahun tersebut bisa diserahkan ke negara atau kepada orangtuanya. Hal
ini dikarenakan anak usia 8 tahun belum bertanggung jawab secara
hukum.12
Aparat kepolisian mengaku kesulitan menangani kasus ini,
karena tindakan YI memenuhi unsur dengan sengaja menghilangkan
nyawa. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dinyatakan bahwa anak berusia kurang dari
delapan tahun tidak bisa didakwa telah melakukan kejahatan.
Dalam hukum pidana Islam diatur tentang masalah
pembunuhan dan sanksi-sanksi yang pantas untuk diberikan kepada
pelaku. Pembunuhan yang termasuk dalam jari>mah qis}a>s}-diyat ini
adalah pembunuhan dengan sengaja (qatl al-‘amd), pembunuhan semi
sengaja/ menyerupai sengaja (qatl shibhu al-‘amd), pembunuhan
dengan cara penganiayaan yang dilakukan dengan sengaja dan
pembunuhan yang menyebabkan kematian seseorang karena suatu
kesalahan (qatl al-khot}o>’).13
Menurut mazhab Hanafiyah pembunuhan dibagi menjadi 5
macam: pertama: qatl al-‘amd (membunuh dengan sengaja) yaitu
menghilangkan nyawa seseorang dengan benda tajam seperti pedang,
pisau, alat panah, atau dengan sesuatu yang dapat menyebabkan
kematian seseorang secara langsung seperti besi yang berat/ tajam, api
(membakar) dan jarum yang menyebabkan kematian dan disertai niat
untuk membunuh; kedua: qatl shibhu al-‘amd (membunuh dengan
menyerupai sengaja) yaitu membunuh tanpa menggunakan benda
tajam seperti memukul menggunakan tongkat, batu, kayu, dan tidak
berniat untuk membunuh hanya berniat untuk memberi pelajaran yang
mengakibatkan kematian; ketiga: qatl al-khot}o>’ (membunuh karena
kealpaan/ kesalahan) yaitu tidak bermaksud untuk membunuh;
keempat: ma ajr mujr al-khot}o>’ (membunuh hampir mirip dengan
kealpaan/ kesalahan) seperti berbalik ketika tidur dan menindih yang
lainnya dan menyebabkan kematian yang ditindih; kelima: qatl bi
oleh para Pemohon, namun Pasal a quo merupakan jiwa atau ruh dari Undang-
Undang Pengadilan Anak, terutama Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU
pengadilan Anak, sehingga batas umur minimum juga harus disesuaikan agar tidak
bertentangan dengan UUD 1945, yakni 12 (dua belas) tahun. 12 http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=325705 Reporter Dwi
Putro, Terbit Online 1 Mei 2013. 13Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, 34.
104
attasabib (membunuh karena sebab kealpaan/ kesalahan) seperti
menggali lubang di jalan atau ditempat yang bukan miliknya tanpa izin
Negara atau pemiliknya dan menyebabkan orang lain jatuh dan
meninggal.14
Menurut pendapat Ulama seperti Syafi’iyyah dan Hanabilah
bahwa pembunuhan dibagi menjadi 3 macam: qatl al-‘amd (pembunuhan sengaja), qatl shibhu al-‘amd (pembunuhan menyerupai
sengaja) dan qatl khoto>’. Adapun qatl al-‘amd/ pembunuhan sengaja
menurut hukum pidana Islam adalah bermaksud sungguh-sungguh
membunuh. Pembunuhan sengaja dapat berupa spontan atau adanya
perencanaan dan dengan menggunakan benda-benda tajam yang dapat
membunuh seperti pedang, pisau dll.
Sanksi bagi pembunuhan sengaja ada beberapa jenis yaitu
hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok pembunuhan adalah qis}a>s}. Jika keluarga korban
memaafkan pelaku maka hukuman penggantinya adalah diyat. Jika
sanksi qis}a>s} atau diyat dimaafkan maka hukuman penggantinya adalah
ta‘zi>r. Hukuman tambahan bagi jari>mah ini adalah terhalangnya hak
atas warisan dan wasiat.15
Menurut Malikiyah, jika tidak diwajibkan atas pelaku hukuman
qis}a>s} maka wajib bagi pelaku dikenakan hukuman ta‘zi>r dengan
memberikan hukuman 100 kali dera dan di penjara selama 1 tahun.
Menurut Hanafiyah hukuman ta‘zi>rnya adalah di penjara seumur
hidup. Adapun menurut Jumhu>r , tidak diwajibkan atas pelaku
dikenakan hukuman ta‘zi>r. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan
untuk memilih hukuman yang lebih maslahat bagi pelaku.16
14Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5618. 15 Qis}a>s} ialah mengambil pembalasan yang sama yaitu memberlakukan
seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain, karena pelaku
menyebabkan kematian korban maka dia harus dihukum sesuai perbuatannya yaitu
dengan dibunuh (qatlu). Qis}a>s} itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat
maaf dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang
wajar. Pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak
yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,
umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Apabila ahli waris si korban
membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima
diyat, maka terhadapnya di dunia diambil qis}a>s} dan di akhirat dia mendapat siksa
yang pedih. 16 Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5717
105
Dasar hukum qis}a>s} terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 178-179: 17
Unsur jari>mah pembunuhan sengaja diantaranya adalah : (1)
korban merupakan orang yang hidup; (2) perbuatan si pelaku
menyebabkan kematian korban; dan (3) ada niat bagi si pelaku untuk
menghilangkan nyawa korban.18
Adapun syarat diberlakukannya
hukum qis}a>s} bagi pelaku pembunuhan adalah : (1) pelaku pembunuhan
haruslah seorang yang mukallaf. orang gila atau anak-anak tidak wajib
baginya dikenakan hukum qis}a>s}; (2) pelaku pembunuhan haruslah
mempunyai niatan/ sengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang
(muta’ammidan fi al-qatl) dan bukanlah pembunuhan karena
17‚Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qis}a>s} berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qis}a>s} itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa‛.
18‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 12. Lihat juga Topo
Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, 37.
106
kesalahan; (3) pelaku pembunuhan haruslah dalam keadaan sadar dan
bukan karena paksaan seseorang.19
Gugurnya pelaksanaan hukuman qis}a>s} disebabkan oleh 3 (tiga)
hal; pertama: hilangnya si pelaku seperti meninggal dunia sebelum
dijatuhkan qis}a>s} kepadanya; kedua: adanya pengampunan (al-‘afwu) dari pihak korban terhadap pelaku; ketiga: adanya perdamaian (s}ulh}) antara kedua belah pihak (pelaku dan korban).
Adapun sebab pertama, apabila si pelaku meninggal dunia
maka keluarganya tidak berkewajiban melaksanakan hukuman itu,
karena qis}a>s} tidak dapat diwariskan. Jika seorang pelaku pembunuhan
meninggal dan mempunyai anak tidak wajib bagi anak itu untuk
melaksanakan hukuman qis}a>s} orang tuanya. Dalam hal ini fuqaha>
sepakat apabila telah hilang kewajiban qis}a>s} pada pelaku maka tidak
wajib menggantinya dengan diyat. Adapun sebab kedua, Jumhu>r fuqaha> sepakat bahwa jika sudah
ada pengampunan dari keluarga korban maka tidak wajib bagi pelaku
mendapat hukuman qis}a>s}. Dalam hal ini memberikan maaf lebih utama
daripada melaksanakan qis}a>s}. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
pengampunan adalah menghilangkan kewajiban qis}a>s} secara cuma-
cuma. Barangsiapa dihilangkan kewajiban qis}a>s} atasnya dengan cuma-
cuma disebut pengampunan, begitu juga apabila dihilangkan
kewajiban qis}a>s} atasnya dengan cara membayar diyat disebut juga
pengampunan. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mensyaratkan
pengampunan harus dengan persetujuan keluarga korban.
Adapun sebab ketiga, Jumhu>r fuqaha> sepakat bahwa boleh
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (pelaku dan korban)
untuk tidak dilaksanakannya hukuman qis}a>s}. Dalam hal ini perdamaian
dapat berupa ganti rugi sesuai dengan jumlah diyat atau lebih sedikit
dari diyat. Apabila pelaku dan keluarga pelaku tidak mempunyai harta,
maka perdamaian dilakukan dengan musyawarah antara kedua belah
pihak dan hakim menetapkan ganti rugi sesuai kemampuan pelaku dan
kesepakatan keduanya.20
Qatlu shibhu al-‘amd atau pembunuhan semi sengaja
(menyerupai sengaja) adalah perbuatan penganiayaan terhadap
seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi
mengakibatkan kematian. Pembunuhan yang dilakukan dengan alat
19Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5665. 20‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 155.
107
yang tidak biasa digunakan untuk membunuh juga termasuk dalam
jenis ini. Perbuatan ini adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk
memberi pelajaran tetapi mengakibatkan kematian seseorang.
Unsur-unsur dalam pembunuhan semi sengaja adalah (1)
adanya pelaku yang mengakibatkan kematian; (2) adanya maksud
penganiayaan disebabkan pertikaian antara kedua belah pihak (jadi
bukan niat untuk membunuh); dan (3) adanya hubungan sebab akibat
antara perbuatan pelaku dengan kematian korban.
Hukuman pokok pada pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kaffarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‘zi>r, sedangkan hukuman tambahannya adalah terhalang menerima warisan
dan wasiat.21
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hanbal, diyat untuk pembunuhan semi sengaja ini
dibebankan pada ‘aqilah (keluarga pelaku) dan tidak dibebankan pada
si pelaku. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, dia berkata: ‚Dua orang perempuan dari Hudzail berkelahi, salah seorang melempar lawannya dengan batu dan menewaskan orang yang dilempar, maka Rasul menghukum dengan membebankan diyatnya wanita itu pada keluarganya, (yakni keluarga wanita yang menganiaya itu). Mereka mengatakan bahwa pembunuhan sengaja berbeda dengan pembunuhan semi sengaja, pembunuhan jenis pertama ada unsur sengaja berbuat dan sengaja menewaskan sehingga hukumannya harus diperberat sedang pada jenis pembunuhan kedua si pelaku hanya bermaksud menganiaya korban dan tidak bermaksud membunuh.22
Menurut Jumhu>r fuqaha> (Hanafiyah Syafi’iyyah dan
Hanabilah), pembayaran diyat pada pembunuhan semi sengaja dengan
cara tolong menolong antar keluarga yaitu diangsur (dimudahkan/
diringankan). Dalam hal diwajibkannya diyat pada pembunuhan semi
21 Hukumandiyat pada pembunuhan semi sengaja sama halnya seperti
hukuman diyat pada pembunuhan sengaja . Jika hukuman pelaku pembunuhan
merasa tidak mampu untuk melaksanakan hukuman diyat, maka dikenakan hukuman
kafarat yaitu dengan memerdekan hamba sahaya yang mukmin. Jika pelaku
pembunuhan merasa tidak mendapatkan hamba sahaya maka hukumannya diganti
dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dalam hukuman pengganti berupa ta‘zi>r, hakim harus memilih hukuman yang sesuai dengan perbuatan pelaku dan pihak
kelurga korban diberikan kesempatan oleh hakim untuk bersikap dalam memilih
hukuman atau memaafkan pelaku pembunuhan. 22 ‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 191. Lihat juga
Nurrohman, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka al-Kasyaf, 2007), 57.
108
sengaja berbeda dengan diyat pembunuhan sengaja. Pembayaran diyat pada pembunuhan sengaja dibebankan pada si pelaku dan disegerakan
tidak boleh ditunda-tunda, sedangkan pembayaran diyat pada
pembunuhan semi sengaja dibebankan pada ‘aqilah (keluarga pelaku)
dan dapat diangsur/ pembayarannya dapat dicicil selama 3 tahun.
Dalam hal ini mazhab Malikiyah berbeda pendapat dengan
mazhab Jumhu>r fuqaha>. Menurut mazhab Malikiyah kewajiban untuk
membayar diyat pembunuhan semi sengaja disamakan dengan diyat pembunuhan sengaja yaitu dibebankan atas harta pelaku dan harus
disegerakan. Hal ini di karenakan menurut Malikiyah pembunuhan
hanya ada 2 jenis yaitu qatlu al-‘amd (pembunuhan sengaja) dan qatlu al-khoto>’ (pembunuhan karena kesalahan/ kealpaan).
23
Jika tidak diwajibkan hukuman diyat atas si pelaku dengan
suatu sebab, maka hukuman diyat digantikan dengan hukuman ta‘zi>r. Menurut Malikiyah, dalam hukuman ta‘zi>r hakim harus memberikan
hukuman yang sesuai terhadap pelaku. Adapun menurut Jumhu>r
Fuqah>a’ hukuman ta‘zi>r diserahkan kepada kebijakan hakim dalam
menentukan hukuman terhadap pelaku untuk kemaslahatan bersama.24
Qatl al-Khot}o>’ atau pembunuhan karena kealpaan/ kesalahan
adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain
tetapi tidak berniat sama sekali untuk menciderai orang tersebut, yang
dituju adalah makhluk lain. Dalam hal ini, misalnya seseorang
bermaksud menembak rusa tetapi yang terkena adalah manusia
sehingga menyebabkan kematian orang tersebut.25
Sanksi pokok pembunuhan karena kealpaan (kesalahan) adalah
diyat dan kaffarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‘zi>r, sedangkan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak
wasiat. Dasar hukum qatl al-khot}o>’ terdapat dalam surat an-Nisā ayat
92:26
23Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5722. 24 Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5733. 25Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, 96. 26‚Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diyat). Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
109
Menurut mazhab Hanafiyah dan Hanabilah ukuran diyat qatl al-khoto>’ (pembunuhan karena kesalahan) adalah 1/5 dari ukuran diyat qatl al-‘amd (pembunuhan sengaja). Dalam sebuah hadits Rasul yang
diriwayatkan oleh Ibnu mas’ūd, Rasulullah SAW bersabda: ‚Diyat qatl al-khoto>’ adalah 20 hiqqah, 20 jaz‘ah, 20 bintu makha>d}, 20 bintu labu>n, 20 bani makha>d}‛.27
Dalam hal pembunuhan dengan menenggelamkan dan
membakar seseorang, Ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’ī
dan Imam Ahmad, menenggelamkan seseorang ke dalam air atau
memasukkannya ke dalam api yang tidak memungkinkan bagi korban
untuk keluar dari air atau api merupakan qatl al-‘amd, begitu juga
apabila pelaku melarang korban untuk keluar dari air dengan cara
menenggelamkannya terus menerus juga merupakan pembunuhan
sengaja karena menyebabkan kematian. Jika korban dimasukkan ke
dalam air/ api yang memungkinkan korban bisa keluar, namun ia tetap
berada di dalam air/ api sampai meninggal maka pelaku tidak
bertanggung jawab atas kematian korban.
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana‛.
27Wahbah Zuhaili>, Fiqh al-Isla>mi> wa adlillatuh, 5709.
110
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah membedakan antara
menenggelamkan dan membakar. Membakar seseorang sama seperti
membunuh dengan pedang karena api merupakan alat pembunuhan
yang menyebabkan seseorang langsung meninggal. Apabila orang yang
dibakar langsung meninggal maka perbuatannya disebut dengan qatl al-‘amd. Jika hanya menyebabkan luka bakar maka perbuatannya
dinamakan dengan qatl shibhu al-‘amd. Dalam hal pembunuhan korban
dengan cara dibakar Imam Abu Hanifah sepakat dengan Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad. Adapun dengan menenggelamkan, Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa korban yang dimasukkan ke dalam air
merupakan perbuatan qatl shibhu al-‘amd karena seperti melempar
seseorang dengan batu berat yang tidak langsung menyebabkan korban
itu meninggal. Imam Malik berpendapat bahwa membakar dan
menenggelamkan seseorang merupakan perbuatan qatl al-‘amd dengan
syarat ada niat melakukan pembunuhan tersebut dan bukan main-main
(karena kesalahan).
Perbedaan pendapat fuqaha dalam hal diatas adalah perbedaan
dengan melihat alat pembunuhannya. Pembunuhan dengan cara
membakar atau menenggelamkan apakah sesuai dengan qatl al-‘amd yang mensyaratkan bahwa alat dari pembunuhan sengaja adalah alat
yang dapat langsung membunuh korban disertai dengan niat untuk
membunuh, atau sesuai dengan qatl shibhu al-‘amd yang merupakan
alat yang tidak dapat membunuh secara langsung dan tidak diniatkan
untuk membunuh tetapi hanya ingin memberi pelajaran.28
Perbuatan pelaku yang terinspirasi dari film dan game
permainan yang sering dilihatnya menandakan bahwa selain anak
menjadi pelaku tindak pidana, anak juga menjadi korban kurangnya
perhatian dan pengawasan orangtuanya dan juga korban salah
pergaulan. Dalam hal ini kesalahan pelaku tidak dapat dibebankan atas
dirinya saja, tetapi orangtua juga harus bertanggung jawab atas
kesalahan anaknya.
Dalam hal kasus pembunuhan yang dilakukan oleh YI anak
berusia 8 tahun yang membunuh temannya adalah akibat dari suatu
perkelahian diantara keduanya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
pembunuhan yang dilakukan oleh YI adalah pembunuhan menyerupai
sengaja (qatl shibhu al-‘amd) dan bukanlah merupakan pembunuhan
sengaja (qatl al-‘amd) seperti yang diungkapkan oleh kepolisian pada
pernyataan diatas.
28‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>,69-70.
111
Dalam hal ini pelaku YI yang hanya ingin memberikan
pelajaran kepada korban, dia hanya berniat untuk memukul yang
dilanjutkan dengan perkelahian antara keduanya. Penyebab kematian
korban bukanlah merupakan niatan pelaku untuk membunuh.
Adapun, jika dilihat dari segi umur, anak yang berumur 8 th
belum termasuk mukallaf. Dalam hukum Islam salah satu syarat
seseorang dikenai hukuman adalah mukallaf (sudah dewasa dan
berakal). Apabila seorang anak melakukan tindak pidana maka tidak
wajib bagi dia dikenai hukuman. Dalam perundang-undangan di
Indonesia, jika seorang melakukan tindak pidana hukumannya diatur
dalam Undang-Undang Peradilan Anak yang mana hukumannya
setengah dari hukuman dewasa.
Bagi anak pelaku tindak pidana yang belum berumur 14 tahun
hanya dapat dikenai tindakan. Melihat kondisi orangtua YI yang tidak
dapat menjaga dan membina YI dikarenakan harus bekerja untuk
menghidupi anak-anaknya, oleh karena itu diserahkannya YI kepada
dinas sosial untuk dibimbing dan dibina merupakan hal yang tepat
untuk kebaikan anak.
Dalam forum mediasi yang telah dilakukan oleh aparat
kepolisian keluarga korban sudah mengikhlaskan kejadian ini.
Mardiana –Ibunda korban- sudah memaafkan pelaku dan menyerahkan
semuanya kepada proses hukum yang berlaku.29
Kesimpulan
Pembunuhan yang dilakukan oleh YI dalam perspektif hukum
Islam merupakan pembunuhan shibhu al-‘amd jika dilihat dari unsur-
unsur pembunuhan semi sengaja yang telah disebutkan diatas yaitu ada
maksud penganiayaan dan adanya hubungan sebab akibat antara
perbuatan pelaku dengan kematian korban yang disebabkan oleh
perkelahian keduanya. Dalam hal tindakan anak yang masih dibawah
umur dan setelah dilakukan mediasi antara keluarga pelaku dan
keluarga korban, maka putusan menempatkan YI ke dinas sosial
merupakan keputusan terbaik bagi YI untuk dibina dan dibimbing.
Adanya pemaafan dari pihak korban merupakan konsep restorative justice dalam hukum pidana.
B. Kasus Pencurian
29Koran Sindo, ‚Kasus Pembunuhan Anak di Bawah Umur‛, http://m.koran-
sindo.com/node/311726 Terbit online 08 November 2013.
112
Pakar Hukum Pidana Indonesia, Andi Hamzah dari
kunjungannya ke Belanda, berpendapat bahwa ternyata 60% perkara
yang ada di tangan jaksa di Belanda diselesaikan melalui afdoening buiten process atau settlement out of judiciary (penyelesaian perkara
di luar pengadilan) atau dengan kata lain dengan menerapkan
restorative justice. Menurut Andi Hamzah, Indonesia yang menganut
asas legalitas, Lembaga Pemasyarakatannya semakin sesak karena
banyak perkara-perkara pidana ringan yang dilimpahkan ke
pengadilan, salah satunya pencurian ringan. Penjatuhan pidana penjara
kepada pelaku belum tentu menimbulkan efek jera dan diduga menjadi
pembelajaran yang negatif bagi seorang narapidana, sebagaimana
dikatakan ‚too short for rehabilitation, too long for corruption‛ (di
dalam penjara, terlalu singkat untuk pemulihan dan terlalu lama untuk
pembusukan).30
Fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak mengalami peningkatan dari waktu
ke waktu termasuk kasus pencurian. Faktor anak melakukan tindak
pidana disebabkan karena adanya keinginan untuk memiliki, hal ini
dikarenakan faktor ekonomi yang kurang, tidak adanya pendidikan
moral dalam keluarga, atau sekedar menarik perhatian, dan lingkungan
pergaulan yang salah.
Pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur mungkin
dapat diartikan sebagai pencurian khusus atau pencurian yang bersifat
lebih ringan, namun tidak menutup kemungkinan dapat diancam
dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yang
diancamkan dalam Pasal 362 KUHP.31
Dalam pemeriksaan terhadap
anak pelaku tindak pidana harus diperhatikan tujuan peradilan dengan
melakukan koreksi dan rehabilitasi sehingga anak dapat kembali ke
kehidupan yang normal dan tidak merusak masa depannya.
Kronologi Peristiwa
30 Albert Aries, ‚Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan
Restoratif‛,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt519065e9ed0a9/penyelesaian-perkara-
pencurian-ringan-dan-keadilan-restoratif, Terbit Online Kamis 13 Juni 2013 (Diakses
pada 8 Oktober 2013). 31Pingkan F. Tambalean, ‚Penegakan Hukum atas Tindak Pidana Pencurian
yang dilakukan oleh Anak di bawah Umur‛, Lex et Societatis Vol 1 No 2 (April-Juni
2013).
113
Dalam kasus ini bahwa terdakwa ARK pada hari Jum’at
tanggal 15 Februari 2013 sekitar pukul 11.00 WIB atau setidak-
tidaknya dalam waktu lain pada bulan Februari 2013 bertempat di Kel.
Sukamaju Kec. Cilodong Depok ‚mengambil suatu barang berupa
handphone yang seluruhnya kepunyaan saksi korban RIN dengan
maksud untuk memiliki dan menjual kembali HP tersebut guna dipakai
terdakwa jajan dan ke warnet‛. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
sebagai berikut:
Bahwa pada hari Jum’at 15 Februari 2013 sekitar pukul 06.00
WIB terdakwa dan kedua orang temannya RIN dan HF pulang pagi
dari Pasar Agung Depok. Mereka pulang kerumah terdakwa lalu
mereka tidur di rumah terdakwa di Depok. Sekitar pukul 11.00 WIB
terdakwa bangun dan melihat di dekat RIN tergeletak sebuah HP merk
Cross lalu terdakwa mengambil dan menyimpannya di lemari pakaian.
Sekitar pukul 13.00 RIN dan HF menanyakan pada terdakwa tentang
HP nya namun terdakwa mengatakan tidak mengetahui dan tidak
mengambilnya. Setelah sore hari ketika teman terdakwa pulang dari
rumah terdakwa, terdakwa langsung menjual HP tersebut ke tetangga
terdakwa seharga Rp.50.000. Pada saat terdakwa menyetel lagu-lagu
HP terdakwa di dengar oleh korban dan kawa-kawannya, akhirnya
korban mengetahui bahwa terdakwa yang mencuri HP korban ketika
tidur di rumah terdakwa.
Perbuatan terdakwa mengambil sebuah handphone tidak
memiliki izin dari pemilik sehingga saksi korban RIN mengalami
kerugian atas kehilangan handphonenya dan rugi waktunya dijadikan
saksi Korban. Perbuatan terdakwa diancam Pasal 362 KUHP dan Pasal
26 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.32
Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa saat melakukan tindak pidana terdakwa
masih merupakan anak dibawah umur yaitu tepatnya berusia 17 tahun.
Dalam melakukan tindak pidana ini, anak tersebut belum dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya atas pidana yang dilakukan
karena anak sebagai pelaku tindak pidana bukanlah sebagai pelaku
murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga korban.
32Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas PK
Bapas Kelas II Bogor, No Register 14/Lit.PN/II/2013 memenuhi surat permintaan
dari Ka. Polsek Sukmajaya No. B/…/II/2013Sek SKJ 22 Pebruari 2013.
114
Dalam hal ini anak sebagai korban ekonomi (kemiskinan
keluarga) dan korban kurang perhatian dari orang tua karena kedua
orang tua terdakwa bercerai. Ibu terdakwa bekerja sebagai pembantu
rumah tangga, sedangkan ayah terdakwa tidak bertanggung jawab atas
biaya kehidupan terdakwa dan keluarga, sehingga dapat dikatakan
anak melakukan suatu perbuatan tindak pidana bukanlah atas
kehendak pribadi akan tetapi adanya faktor dorongan eksternal.
Dalam hal ini anak tidak seharusnya bertanggung jawab
sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukannya. Anak pelaku tindak
pidana haruslah dilindungi hak-haknya, haruslah dipulihkan menjadi
anak bangsa yang memiliki masa depan sebagai harapan bangsa.
Menimbang, bahwa adanya keterangan dari orang tua/ ibu
kandung terdakwa bahwa orang tua terdakwa masih mampu mendidik
dan membimbing anak tetapi tidak mampu menyekolahkan anak
karena faktor ekonomi. Untuk mencari nafkah ibu terdakwa bekerja
sebagai pembantu rumah tangga.
Dalam hal ini, sebagai orang tua akan berusaha meneruskan
niat terdakwa untuk mendukung cita-cita terdakwa yang ingin sukses
dibidang Informatica Telecomunication (IT) walaupun harus belajar
secara otodidak (belajar sendiri) karena tidak ada biaya untuk
bersekolah. Dalam permohonannya, orang tua terdakwa mengharapkan
agar terdakwa dikembalikan kepada orang tua.
Menimbang, bahwa dalam forum mediasi di kepolisian telah
ditandatangani kesepakatan perdamaian pada hari Selasa tanggal 19
Februari 2013 oleh pihak-pihak terkait dengan tujuan pemulihan dan
keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat yang pada pokoknya
klausul-klausul kesepakatan tersebut sebagai berikut:
1. Bahwa korban telah mencabut laporannya kepada polisi.
2. Bahwa terdakwa dan orang tua telah meminta maaf kepada
korban, dan sebaliknya korban telah memafkan perbuatan
terdakwa.
3. Bahwa korban berharap terdakwa tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
4. Bahwa orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum
lagi.
Menimbang, bahwa lebih lanjut ada beberapa hal yang
meringankan bagi terdakwa, yaitu:
115
1. Terdakwa bersikap sopan, mengaku terus terang dan menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2. Terdakwa masih muda dan besar harapan dapat memperbaiki
dirinya demi masa depan yang lebih baik.
3. Terdakwa dan orangtua terdakwa telah meminta maaf kepada
korban dan keduanya telah saling bermaafan.
4. Bahwa terdakwa baru pertama kali berhadapan dengan hukum
dan belum pernah berbuat yang meresahkan masyarakat
dilingkungan tersebut.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta hukum
tersebut di atas, maka aparat kepolisian memberhentikan penyidikan
terhadap anak pelaku tindak pidana didasarkan oleh adanya
pencabutan laporan dari korban, serta adanya kesepakatan mediasi
antara kedua belah pihak. Dalam hal ini terdakwa dapat dibebaskan
dan dapat segera mencari pekerjaan untuk membantu ekonomi ibunya
dan menjadi warga negara yang baik.33
Putusan
1. Dengan adanya pencabutan laporan korban atas terdakwa dan
adanya kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak,
maka perkara diberhentikan dan tidak dilanjutkan ke
persidangan.
2. Dalam forum mediasi juga telah ditandatangani kesepakatan
perdamaian pihak-pihak terkait dengan tujuan pemulihan dan
keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat dengan pokok
kesepakatan seperti yang telah disebutkan diatas.
3. Putusan Diskresi Kepolisian kepada terdakwa untuk
dikembalikan kepada orang tuanya berdasarkan pencabutan
laporan yang dilakukan oleh korban di tempat korban
melapor.
Analisis Kasus
Menurut Undang-undang yang berlaku bagi tindak pidana di
Indonesia pada kasus pencurian mengacu pada pasal 362- 367
33Hasil Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian yang dilakukan oleh PK
Bapas Kelas II Bogor.
116
KUHP.34
Adapun dalam sistem peradilan Anak apabila ia melakukan
tindakan pidana maka diberi putusan pidana mengacu pada pasal 26
ayat 1 UU No 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU RI No 23
Th 2002 tentang Perlindungan Anak.35
Dalam Hukum Islam pencurian termasuk jari>mah h}udu>d. Dasar
hukum penjatuhan sanksi bagi jari>mah as-Sari>qoh adalah firman Allah
al-Maidah ayat 38:36
Jika sudah ditetapkan seseorang sebagai pencuri wajib baginya dikenai
hukuman h}ad potong tangan, atau dikenai denda ganti rugi apabila
tidak wajib baginya dikenakan h}ad potong tangan.37
34‚Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah‛. Dalam hal perkara pencurian ringan
sangatlah tidak tepat apabila di dakwa dengan menggunakan pasal 362 yang
ancaman pidananya 5 tahun. Dalam hal pencurian ringan seharusnya masuk ke dalam
kategori tindak pidana ringan dengan ancaman pidananya 3 bulan penjara dan denda
250,00. Sedangkan dalam masalah pidana denda diatur dalam Perma dalam hal
pidana denda, Mahkamah Agung menyatakan bahwa untuk penyesuaian nilai rupiah
berpedoman pada harga emas. Pada tahun 1960 harga emas murni perkilogram
adalah 50.510,80, sementara itu harga emas per 2012 adalah 509.000. Berdasarkan
perbandingan ini maka MA menetapkan bahwa pidana denda dikali 10.000 dari
jumlah denda yang ditetapkan di undang-undang. Hal ini dimaksudkan agar para
penegak hukum mudah dalam memutuskan perkara. 35
Pasal 26 ayat 1 UU no 3 Th 1997 menyatakan ‚Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa‛.
36‚Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛
37Ulama sepakat apabila barang yang dicuri masih ada ditangan pencuri
maka wajib untuk dikembalikan kepada pemiliknya, namun apabila barang tersebut
sudah tidak ada pada si pencuri, ada beberapa perbedaan pendapat. :
- Menurut Hanafiyah: apabila barang sudah tidak ada di tangan pencuri, maka
pencuri wajib dikenai hukuman h}ad potong tangan atau denda sesuai nilai barang
tersebut, apabila pencuri memilih untuk membayar denda ganti rugi maka tidak
wajib baginya hukuman h}ad potong tangan.
إذا قطع انسازق فال غسو عهي
117
Mencuri berarti mengambil hak orang lain yang menyebabkan
kerugian sepihak. Ketentuan potong tangan bagi para pencuri
menunjukkan bahwa pencuri yang dikenai sanksi hukum potong
tangan adalah pencuri yang profesional bukan pencuri iseng atau
bukan karena keterpaksaan.38
Dalam Islam hukuman potong tangan dapat dilaksanakan
apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Adapun syarat pertama: barang/
harta yang diambil/ dicuri oleh pelaku dilakukan secara diam-diam
dengan tanpa diketahui dan sudah berpindah dari penguasaan si
pemilik ke penguasaan si pencuri; kedua: barang/ harta yang dicuri
harus memiliki nilai. Hukuman potong tangan tidak akan dijatuhkan
bagi pencuri rumput atau pasir atau juga barang-barang yang tidak
legal seperti minuman atau makanan; ketiga: barang/ harta yang dicuri
berasal dari tempat yang aman; keempat: barang/ harta yang dicuri
merupakan milik orang lain; kelima: barang/ harta yang dicuri haruslah
mencapai nilai mínimum tertentu (nis}a>b).39
Jumhur Fuqaha> (Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal), sepakat bahwa mencuri barang
yang tidak berharga (tidak mempunyai nilai) tidak dikenai h}ad potong
tangan. Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanbali, yang dimaksud
dengan benda berharga adalah benda yang dimuliakan syara’ dan
bukanlah benda yang diharamkan oleh syara’ seperti mencuri anjing,
babi, khamr (minum-minuman keras) karena menurut Islam dan kaum
muslimin benda tersebut tidak ada harganya, maka tidak wajib bagi si
pencuri dikenai h}ad potong tangan. Menurut Imam Abu Hanifah yang
‚Jika sudah dikenai hukuman potong tangan maka ia tidak wajib membayar ganti
rugi‛.
- Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabillah: wajib bagi pencuri dikenakan
hukuman h}ad potong tangan dan ganti rugi barang yang dicurinya karena ganti
rugi merupakan hak wajib terhadap manusia sedangkan potong tangan merupakan
hak terhadap Allah.
- Menurut Wahbah Zuhaili> pendapat Syafi’iyyah dan Hanabillah adalah pendapat
yang ra>jih karena hadits yang dipakai oleh Hanafiyah adalah hadits d}o‘ i>f. Wahbah
Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, 5425-5426. 38Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 67. 39 Menurut Imam Malik nis}a>b/ batasan minimum barang curian adalah
sebesar harga ¼ dinar atau lebih. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah nis}a>b
pencurian senilai 10 dirham atau 1 dinar. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam- Penegakan Syari’at Dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani,
2003), 28-29.
118
dimaksud dengan benda berharga adalah benda yang dapat
menyebabkan si pencuri menjadi kaya dengan hasil curiannya.40
Seorang pencuri dapat dikatakan mencuri apabila dia
mengambil barang curiannya dari tempat penyimpanan harta (h}irz).
Para ulama sepakat bahwa tempat penyimpanan harta (h}irz)
dikategorikan menjadi 3 macam: pertama: h}irz bi al maka>n yaitu
tempat penyimpanan harta yang berbentuk bangunan seperti rumah,
gedung, toko, kandang dan sebagainya yang berbentuk bangunan;
kedua: h}irz bi nafsihi yaitu penyimpanan harta yang dijaga oleh diri
sendiri seperti cincin yang sedang dipakai; ketiga: h}irz bi al h}a>fiẓ atau
h}irz bi goirihi yaitu suatu tempat yang bukan untuk menyimpan
barang tetapi tempat itu bisa dijadikan h}irz jika ada yang menjaganya
seperti di tempat parkiran, lapangan, masjid dan lain-lain.41
Ketentuan yang mengatur masalah pengembalian anak sebagai
pelaku tindak pidana kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya
diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam pasal ini dinyatakan
bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah
mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh. Adapun
aturan lebih lanjutnya tidak diatur sehingga dalam prakteknya aparat
penegak hukum masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.
Pengembalian seorang anak kepada orang tua, wali atau orang
tua asuhnya harus dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Bahwa pada waktu melakukan penuntutan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana haruslah belum berumur 18 tahun ataupun
belum pernah menikah sebelum umur 18 tahun.
2. Bahwa tujuan dikembalikan anak kepada orang tua, wali atau
orang tua asuhnya adalah agar anak dapat dididik sendiri dengan
memperhatikan tindakan-tindakan lain yang perlu diambil agar
jangan sampai anak melakukan tindakan pidana kembali.
Undang-undang tidak mengatur jenis tindak pidana yang
membolehkan anak pelaku tindak pidana dikembalikan kepada orang
tua, wali atau orang tua asuh. Dalam hal ini bukan merupakan suatu
hambatan bagi aparat penegak hukum untuk memerintahkan agar anak
dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh. Aparat
40‘Abdul Qa>dir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 547. 41 Muhammad Idris as-Shafi‘i> , al-Um (Cairo: al- Faniyah Muttahidah,
1961), juz 6, 148.
119
penegak hukum haruslah memiliki keyakinan bahwa pendidikan untuk
membentuk kembali pribadi dan kepribadian dari anak tersebut dapat
dipercayakan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya.
Dalam kasus ini terdakwa ARK dan korban RIN (pelaku dan
korban) saling mengenal karena mereka adalah teman main band.
Keputusan pelaku untuk memaafkan kesalahan korban yang telah
mencuri Hp miliknya adalah putusan yang tepat setelah mendapat
pengarahan dari para penegak hukum (Polisi dan PK Bapas). Korban
juga telah memaafkan dan telah mengadakan perdamaian dengan
pelaku dihadapan kepolisian, bapas dan masyarakat setempat. Apabila
korban tidak memaafkan pelaku, hal ini bisa mengakibatkan pelaku
masuk ke dalam sel penjara hanya karena urusan yang kecil. Pelaku
juga sudah mengakui kesalahannya dan merasa malu dengan teman-
teman pelaku lainnya karena ketahuan mencuri barang milik temannya
sendiri.
Pencurian yang dilakukan oleh ARK adalah termasuk pencurian
kecil. Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah pencurian kecil adalah
mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi. Kategori
hukuman bagi pencuri ada 2 macam yaitu pencurian yang diancam
dengan hukuman ta‘zi>r apabila syarat-syarat pelaksanaan hukuman h}ad tidak terpenuhi dan hukuman h}ad potong tangan bagi pencuri yang
mencapai nis}a>b barang curiannya.
Rukun pencurian adalah sesuatu yang sangat penting karena
apabila salah satu rukunnya tidak terpenuhi maka hukuman h}ad potong
tangan tidak akan dilaksanakan. Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah rukun
pencurian ada 4 (empat) yaitu: (a) barang yang dicuri harus diambil
secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam; (b) barang yang
diambil adalah harta; (c) barang/ harta tersebut milik orang lain; (d)
adanya maksud/ niat jahat atau niat berbuat tindakan pencurian.42
Menurut Sayid Sabiq syarat seorang pencuri dikenai hukuman
h}ad potong tangan adalah sebagai berikut:
a. takli>f (cakap hukum) yaitu pencuri tersebut sudah ba>ligh dan
berakal. Apabila pencuri tersebut adalah seorang yang gila atau
anak kecil, maka tidak wajib baginya hukuman h}ad potong tangan.
Adapun bagi anak kecil yang mencuri dapat dikenakan sanksi yang
bersifat mendidik;
b. kehendak sendiri/ kemauan sendiri dan bukan karena paksaan.
Apabila ia terpaksa mencuri maka tidak dianggap sebagai pencuri,
42‘Abdul Qa>dir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 517-518.
120
karena paksaan meniadakan ikhtia>r tidak adanya ikhtia>r menggugurkan takli>f. Apabila seseorang mencuri karena suatu
paksaan maka dia tidak dijatuhi hukuman h}ad karena pencurian
yang dia lakukan adalah bukan kehendak sendiri melainkan suatu
paksaan;
c. sesuatu yang dicuri bukan merupakan barang yang syubhat. Jika
yang dicuri adalah barang syubhat maka pencuri tidak divonis
potong tangan.43
Sanksi potong tangan dalam tindak pidana pencurian menurut
ulama merupakan sanksi maksimal. Dengan demikian, tidak setiap
pencurian dikenakan sanksi potong tangan. Hal ini dibuktikan dengan
ditentukannya syarat dan rukum pencurian, apabila salah satu syarat
atau rukunnya tidak dipenuhi maka sanksi potong tangan diganti
dengan alternatif sanksi lainnya. Dalam hal pencurian yang dilakukan
oleh anak disini termasuk kategori jari>mah ta‘zi>r dan bukanlah jari>mah h}udu>d. Pencurian yang dilakukan oleh ARK tidak mencapai nis}a>b.
Hukuman ta‘zi>r merupakan hukuman yang tidak ditetapkan
ketentuannya dalam syari’at. Ketentuan hukuman ta‘zi>r diserahkan
kepada Wali> al ‘Amr/ Negara. Hukuman ta‘zi>r ditentukan sesuai
dengan tujuan pencegahan dan perbaikan dilihat dari besar kecilnya
perbuatan jari>mah. Hukuman ta‘zi>r terdapat pada setiap jari>mah yang
tidak ada hukuman h}adnya dan tidak juga ada kaffarah, meskipun
menyangkut hak Allah (seperti makan pada siang hari di bulan
Ramadhan tanpa alasan yang jelas, riba, meninggalkan shalat, dll),
maupun hak adami (seperti berkhalwat, mencuri suatu barang yang
tidak mencapai nis}ab, mencuri barang yang tidak dijaga, berbuat
curang/ penipuan, dll).44
Dalam kasus pencurian ini ARK masih berusia 17 tahun. Dalam
hukum yang berlaku di Indonesia, ARK masuk ke dalam kategori
peradilan anak dan kesalahannya belum dapat dipertanggungjawabkan
sepenuhnya atas pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. Anak
sebagai pelaku tindak pidana bukanlah sebagai pelaku murni akan
tetapi anak sebagai pelaku juga korban. Dalam hal ini ARK termasuk
sebagai korban ekonomi (kemiskinan keluarga) dan korban kurang
perhatian dari orang tua karena kedua orang tua ARK bercerai.
43Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1998), Juz 2, 441. 44 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, 5300-5301.
121
Dalam hukum Islam, ARK tetaplah sebagai pelaku pencurian,
karena dia mengambil barang dengan cara diam-diam dan dengan niat
jahat. Pengertian niat jahat adalah terpenuhinya unsur niat jahat
apabila si ja>ni> (pencuri) mengambil sesuatu dan ia mengetahui bahwa
mengambilnya itu diharamkan. Jika mengambil sesuatu yang telah
dibuang maka hukumnya muba>h dengan syarat si pengambil
mengetahui bahwa pemiliknya telah membuang benda tersebut dan
yakin bahwa si pemilik akan ridho jika ia mengambil barang yang
telah dibuang oleh si pemilik.45
Dalam putusannya aparat penegak hukum melihat bahwa
sistem peradilan pidana anak yang dilakukan dengan mengadili anak
oleh badan-badan peradilan anak tidak mengutamakan pidananya saja
tetapi juga ikut serta memikirkan bagaimana tindak lanjutnya bagi
kesejahteraan anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian
putusan aparat penegak hukum untuk mengembalikan pelaku ARK
kepada orang tua dirasa lebih baik, karena pelaku sudah mendapatkan
sanksi untuk menjalani hukumannya di penjara selama masa
penyidikan. Hal ini dirasa oleh pihak kepolisian sudah cukup membuat
pelaku sadar atas kesalahannya. Aparat penegak hukum juga sudah
melihat bahwa korban sudah mencabut laporannya serta memaafkan
pelaku.
Pemaafan yang diberikan korban kepada pelaku merupakan
salah satu konsep restorative justice. Keputusan diskresi dari
kepolisian kepada pelaku juga merupakan suatu konsep restorative justice yang sesuai dengan sistem peradilan pidana anak.
Kesimpulan
Dalam hukum Islam pencurian yang dilakukan oleh ARK
merupakan pencurian ringan. Kategori jari>mah yang dilakukan oleh
ARK juga merupakan jari>mah ta‘zi>r karena barang curiannya tidak
mencapai nis}a>b.
Perbuatan pencurian yang dilakukan oleh ARK karena ingin
memiliki barang tersebut dan dijual kembali agar bisa mendapatkan
uang, menyebabkan terdakwa harus berurusan dengan aparat penegak
hukum. Adanya mediasi antara keluarga kedua belah pihak (terdakwa/
pelaku dan korban) dan adanya maaf dari korban maka pelaku/
terdakwa dapat dibebaskan dan dikembalikan kepada orang tuanya.
45‘Abdul Abdul Qa>dir ‘Audah, at-Tashri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mī, 589.
122
Dalam hal ini pelaku/ terdakwa berjanji untuk mengembalikan
barang curiannya yang sudah ia jual kepada tetangganya. Pelaku sudah
mengakui kesalahannya dan merasa malu kepada teman-temannya
terkhusus kepada korban karena telah mencuri barang korban.
Pemaafan yang diberikan dari korban kepada pelaku
menghapuskan hukuman ta‘zi>r yang ditetapkan oleh aparat penegak
hukum. Pemberian maaf dari korban merupakan salah satu konsep
restorative justice yang sesuai dengan sistem peradilan anak.
C. Kasus Penipuan dan Penggelapan
Secara yuridis, suatu hubungan hukum yang dilakukan
seseorang dengan orang lain yang semula sangat bersifat keperdataan
(individual contract), seringkali dapat berkembang menjadi problem
yang kompleks karena mengandung aspek yuridis lain, misalnya
dimensi kepidanaan. Perjanjian atau hubungan hutang piutang yang
dilakukan antara dua orang ketika realisasi dari perjanjian atau
hubungan hukum hutang piutang tersebut tidak sesuai rencana semula
atau terjadi "pengkhianatan" di antara mereka, seringkali berubah
menjadi kasus-kasus pidana sebagai penipuan, penggelapan, dan
sebagainya. Jika sudah demikian, maka pengetahuan dan kehati-hatian
tentang aspek-aspek hukum dalam suatu tindakan hukum menjadi
sangat penting untuk dipahami oleh setiap manusia sebagai subyek
hukum.46
Islam melarang dan mengharamkan seluruh bentuk penipuan
baik dalam jual beli maupun dalam seluruh macam muamalat
(hubungan antara individu). Dalam hukum Islam kontrak perjanjian
(akad) dalam penipuan adalah fa>sid (rusak). Penipuan dipandang
sebagai moral yang salah dan tidak terpuji. Kejujuran dan i’tikad baik
dalam setiap transaksi antar individu juga ditekankan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah.47
46M. Abdul Kholiq, ‚Tinjauan Yuridis Tentang Perbedaan Wan Prestasi,
Penipuan, Penggelapan‛, http://pkbh.uii.ac.id/analisa-hukum/analisa-
hukum/tinjauan-yuridis-tentang-perbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-
penggelapan.html Terbit online 23 Januari 2011 (Diakses pada 1 Februari 2014). 47Yu>suf al-Qard}a>wi>, The Lawful and The Prohibited in Islam (London: al-
Bīr Foundation, 2003), 239.
‚Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
123
Perbuatan menipu dapat mengakibatkan hilangnya rasa
kepercayaan di antara masyarakat dan rasa tolong menolong pun akan
lenyap. Tolong menolong adalah faktor terpenting bagi
terselenggaranya hubungan muamalah yang sehat. Dibawah ini adalah
salah satu kasus penipuan dan penggelapan suatu barang yang
dilakukan oleh anak di bawah umur.
Kronologi Peristiwa
Dalam kasus ini bahwa terdakwa RAR pada hari Rabu tanggal
6 Februari 2013 sekitar pukul 07.30 WIB atau setidak-tidaknya dalam
waktu lain pada bulan Februari 2013 bertempat di Kp. Baru kaum
Desa/Kec. Cileungsi Kab. Bogor ‚melakukan tindak pidana penipuan
dan penggelapan sebuah sepeda motor temannya untuk dijual dan
uangnya digunakan terdakwa untuk kebutuhannya‛. Perbuatan
tersebut dilakukan terdakwa sebagai berikut :
Peristiwa penipuan dan penggelapan sepeda motor bermula dari
profesi terdakwa yang sehari-hari sebagai montir Elektronik (Service
HP Free lane). Pada hari Rabu 6 Februari 2013 sekitar pukul 07.30
WIB terdakwa mendatangi rumah temannya yang bernama BNA yang
bermaksud menservice HP ber-merk Nokia type 5130. Untuk
memperbaiki HP tersebut membutuhkan onderdil dan onderdilnya
berada di Counter miliknya di Plaza Cibubur. Plaza Cibubur dengan
rumah korban BNA sangat jauh, oleh karena itu terdakwa berpura-pura
meminjam sepeda motor merek Yamaha Jupiter milik temannya untuk
mengambil onderdil di Plaza Cibubur. Terdakwa menjual sepeda motor
milik korban melalui bantuan seorang temannya BR dan berhasil
menjual kedua barang tersebut seharga Rp.1.600.000- dan sebuah
Handphone seharga Rp. 150.000.-
Perbuatan terdakwa membawa sebuah sepeda motor untuk
pergi ke Plaza Cibubur dengan tujuan mengambil onderdil handphone
yang akan diservice memiliki izin dari pemilik tetapi kedua barang
tersebut disalahgunakan oleh terdakwa dengan dijual kembali dan
uangnya digunakan untuk keperluan pelaku tanpa seizin korban.
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.‛
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ل غشرا فهيلس يرا ي الح فهيلس يرا م عهيلا انسن ل ح ي
‚Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami maka dia bukan dari golongan
kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.‛ (HR.
Muslim no. 101).
124
Korban mengalami kerugian berupa satu unit Sepeda Motor dan
sebuah Handphone.
Perbuatan terdakwa diancam Pasal 378 dan 372 KUHP serta
Pasal 26 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.48
Pertimbangan Hukum
Menimbang, bahwa saat melakukan tindak pidana terdakwa
masih merupakan anak dibawah umur yaitu tepatnya berusia 15 tahun.
Dalam melakukan tindak pidana, kategori umur 15 tahun masuk ke
dalam kategori peradilan anak karena masih di bawah umur 18 tahun.
Perbuatan yang dilakukan oleh anak belum dapat
dipertanggungjawabkan sepenuhnya atas pidana yang dilakukan
karena anak sebagai pelaku tindak pidana bukanlah sebagai pelaku
murni akan tetapi anak sebagai pelaku juga korban. Dalam hal ini anak
sebagai korban salah pergaulan dan kurangnya pendidikan terhadap
diri terdakwa.
Kondisi ekonomi keluarga terdakwa tergolong keluarga yang
cukup mampu dan kedua orangtua terdakwa mempunyai pekerjaan
masing-masing. Ayah terdakwa bekerja sebagai penyedia jasa jual beli
kendaraan bermotor/ mobil, sedangkan Ibu terdakwa sebagai pengelola
salon dan sekaligus pemilik salon kecantikan di kawasan Cileungsi-
Cibubur.
Terdakwa hanya mengikuti pendidikan formil sampai kelas III
MTs dan tidak melanjutkan ke SLTA dikarenakan terdakwa lebih suka
menggeluti dan menggandrungi tekhnik elektronik terutama tehnik
electronik telepon genggam/ seluler. Hal ini menunjukkan bahwa anak
mendapatkan pergaulan yang salah karena kurangnya pendidikan yang
didapatnya. Anak pelaku tindak pidana haruslah dilindungi hak-
haknya, haruslah dipulihkan menjadi anak bangsa yang memiliki masa
depan sebagai harapan bangsa.
Menimbang, bahwa adanya keterangan dari orang tua kandung
terdakwa bahwa orang tua terdakwa masih mampu mendidik dan
membimbing anak dan akan menyekolahkan terdakwa ke jenjang SMK
sesuai dengan keinginan terdakwa apabila permasalahan hukumnya
48Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas PK
BapasKelas II Bogor, No Register 11/Lit.PN/II/2013 memenuhi surat permintaan
dari Kepolisian Sektor Cileungsi Kab. Bogor No. B/22/II/2013/ Reskrim 20 Pebruari
2013.
125
telah selesai. Terdakwa telah menyadari bahwa kesenangan dan
kegandrungannya terhadap tehnik electronik tanpa diikuti dengan
pendidikan formal menyebabkan terdakwa memilih teman yang salah
dan berhadapan dengan hukum.
Menimbang, bahwa adanya pengampunan/ pemaafan dari pihak
korban dan tidak adanya tuntutan yang memberatkan dari pihak
korban serta adanya perdamaian antara kedua belah pihak yang
diselesaikan dengan cara kekeluargaan oleh pihak-pihak terkait dengan
tujuan pemulihan dan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat.
Kesepakatan perdamaian tersebut terdapat pada klausul-klausul
sebagai berikut:
1. Bahwa korban telah memaafkan terdakwa dan bersedia
berdamai dengan diselesaikan secara kekeluargaan.
2. Bahwa terdakwa dan orang tua telah meminta maaf kepada
korban, dan sebaliknya korban telah memafkan perbuatan
terdakwa.
3. Bahwa korban berharap terdakwa tidak mengulangi
perbuatannya lagi.
4. Bahwa orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum
lagi.
Menimbang, bahwa lebih lanjut ada beberapa hal yang
meringankan bagi terdakwa, yaitu:
1. Terdakwa bersikap sopan, mengaku terus terang dan menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2. Terdakwa masih muda dan besar harapan dapat memperbaiki
dirinya demi masa depan yang lebih baik.
3. Terdakwa dan orangtua terdakwa telah meminta maaf kepada
korban dan keduanya telah saling bermaafan.
4. Bahwa terdakwa baru pertama kali berhadapan dengan hukum
dan belum pernah berbuat yang meresahkan masyarakat
dilingkungan tersebut.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta hukum
tersebut di atas dihubungkan dengan dakwaan alternatif tersebut maka
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang di dukung oleh Sidang Team
Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Balai Pemasyarakatan Kelas II
Bogor pada hari Kamis tanggal 28 Februari 2013 merekomendasikan
126
agar kepada terdakwa diberi putusan untuk dikembalikan kepada orang
tua.49
Putusan
1. Menyatakan terdakwa RAR terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana ‚Penipuan dan Penggelapan‛.
2. Menjatuhkan tindakan terhadap terdakwa dikembalikan kepada
orang tuanya dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor sampai
terdakwa dewasa.
Analisis Kasus
Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana
atau kejahatan terhadap harta benda. Tindak pidana ini diatur dalam
pasal 378-395 bab XXV KUHP. Penipuan tidak menggunakan paksaan
akan tetapi dengan tipu muslihat seseorang untuk mempengaruhi
orang lain sehingga orang tersebut bertindak tanpa kesadaran penuh.
Unsur-unsur penipuan pokok dalam pasal 378 KUHP dapat
dirumuskan menjadi: unsur- unsur objektif yang meliputi perbuatan
menggerakan atau membujuk, perbuatan yang bertujuan agar orang
lain menyerahkan suatu benda dengan tipu muslihat dan rangkaian
kebohongan dan unsur- unsur subjektif dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
Adapun penggelapan diatur pada pasal 372 KUHP.
Penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain
dimana penguasaan barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan
itu terjadi secara sah. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang
atau uang yang ada dalam penguasaannya yang mana barang/uang
tersebut milik orang lain. Jika dilihat dari obyek dan tujuannya,
penipuan lebih luas daripada penggelapan. Jika penggelapan terbatas
pada uang atau barang, penipuan termasuk juga untuk memberikan
hutang maupun menghapuskan hutang..50
49Hasil Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian yang dilakukan oleh PK
Bapas Kelas II Bogor. 50 Isi pasal 372 dan 378 KUHP:
- Pasal 372 Penggelapan ‚Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.‛
127
Akad/ perjanjian yang terjadi antara pelaku dan korban
merupakan akad yang sah dimana diantara keduanya terdapat kontrak /
ijab qabul yang disetujui oleh keduanya.51
Dalam hal ini pelaku telah
menyalahgunakan perjanjian yang telah disepakatinya dengan
melakukan penipuan.
Kategori penipuan merupakan jari>mah ta‘zi>r yang
menyinggung hak adami (individu).52
Oleh karena itu ta‘zi>r didasarkan
pada pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada
prinsip keadilan masyarakat.
Dalam kasus ini pelaku tindak pidana (terdakwa) adalah teman
korban dan keduanya sudah saling mengenal. Dengan demikian hakim
anak sebelum menjatuhkan hukuman telah memperhatikan Laporan
Hasil Penelitian Kemasyarakatan atas nama terdakwa. Hakim juga
telah mempertimbangkan kondisi orangtua terdakwa yang pada
pokoknya orangtua terdakwa masih mampu mendidik dan
membimbing anak dengan kondisi ekonomi yang cukup mampu untuk
menyekolahkan terdakwa.
Dengan demikian hakim memberikan kesempatan kepada
korban, orang tua korban, pelaku (terdakwa) dan orang tua terdakwa
untuk melakukan forum mediasi untuk mencapai suatu kesepakatan
dan menjadikan hukuman penjara adalah hukuman terakhir dan
bukanlah hukuman utama. Kesepakatan perdamaian bertujuan untuk
pemulihan dan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat dengan
pokok kesepakatan bahwa terdakwa dan orang tua telah meminta maaf
kepada korban, dan sebaliknya korban telah memafkan perbuatan
terdakwa. Korban berharap terdakwa tidak mengulangi perbuatannya
- Pasal 378 Penipuan ‚Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau
supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.‛ 51Secara etimologi akad (al-aqd) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Ikatan antara dua perkara baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara
maknawi dari satu segi maupun dari dua segi. Adapun al-ahd secara etimologis
berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian. Secara terminology
akad merupakan perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan
syara; yang berdampak pada objeknya. Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, jilid 4, 2919.
52Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh , 5301.
128
lagi dan orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum lagi.
Perbuatan terdakwa menipu dan menggelapkan barang milik
orang lain yang dilakukan terdakwa semata-mata karena terdakwa
ingin membantu temannya yang mengalami kesulitan ekonomi. Hal ini
berkaitan dengan sifat dan kepribadian terdakwa serta rasa sosial dan
setia kawan yang tinggi, namun belum dapat mempertimbangkan
dampak dari perbuatannya. Perbuatan terdakwa dengan menolong
temannya bisa dianggap suatu kebaikan apabila dengan cara yang baik.
Allah selalu memerintahkan agar manusia tolong menolong dalam
ketaatan dan ketakwaan dan bukan menolong dalam kejahatan.
Dengan proses musyawarah/ mediasi yang berlangsung antara
pelaku dan korban. Pelaku sudah mengakui kesalahannya dan berjanji
mengembalikan motor yang telah dijualnya dan juga mengembalikan
Hp milik korban yang telah dijualnya dengan perjanjian tertulis diatas
materai. Pelaku dijatuhi putusan agar dikembalikan kepada orang tua
dibawah pengawasan Polisi dan Bapas dan wajib untuk melaporkan
kegiatannya serta perkembangan perubahan dirinya kepada Bapas.
Kesimpulan
Penipuan yang dilakukan oleh terdakwa termasuk kategori
jari>mah ta‘zi>r. Perbuatan pelaku/ terdakwa yang melakukan tindak
pidana penipuan dan penggelapan barang korban telah menimbulkan
kerugian terhadap korban. Perbuatan terdakwa yang ingin menolong
temannya dengan cara yang salah menyebabkan terdakwa harus
berurusan dengan para penegak hukum.
Dengan adanya proses mediasi yang dilakukan antara korban
dan terdakwa yang menghasilkan suatu kesepakatan bahwa terdakwa
dan orang tua terdakwa berjanji akan mengembalikan barang-barang
korban yang telah dijualnya, maka korban memaafkan terdakwa,
disamping itu terdakwa dan korban sudah saling mengenal.
D. Kasus Asusila/ Persetubuhan
Perilaku generasi muda yang semakin banyak melanggar etika
dan kurangnya moral serta kurangnya pendidikan agama harus menjadi
perhatian serius bagi kita semua. Perbuatan persetubuhan yang
dilakukan antara pasangan yang belum menikah merupakan salah satu
perbuatan asusila yang layak dijauhi. Berita tentang tindak pidana
persetubuhan anak di bawah umur yang banyak kita jumpai di media
129
televisi maupun media cetak baik yang dilakukan secara terpaksa
maupun atas dasar suka sama suka disebabkan oleh pergaulan bebas
yang berkembang dan sangat memprihatinkan disekitar kita.
Dibawah ini adalah kasus tindak pidana asusila (persetubuhan)
yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang sudah pernah melakukan
proses mediasi namun tidak berhasil dan dilanjutkan ke proses
peadilan.
Kronologi Peristiwa
Dalam kasus ini bahwa terdakwa SYH pada hari Sabtu tanggal
23 Februari 2013 pergi menjemput korban AK di sekolahnya. Setelah
Terdakwa dan korban pergi kerumah teman korban di daerah Bekasi
yang berdekatan dengan rumah terdakwa. Korban diajak oleh terdakwa
untuk bermain di rumahnya. Pada saat dirumah terdakwa, terdakwa
dan korban menonton TV diruang tamu sambil mengobrol. Tidak
berapa lama terdakwa mencium kening korban, saat dicium keningnya
korban diam saja, kemudian terdakwa langsung mencium pipi korban
dan bibir korban, karena tidak ada perlawanan dari korban maka
terdakwa mengajak korban untuk melakukan persetubuhan.
Pada pertengahan bulan Mei 2013 terdakwa menjemput korban
di gang tempat mereka biasa bertemu. Pada hari itu korban sedang
tidak masuk sekolah, kemudian terdakwa membawa korban
kerumahnya. Korban bercerita kepada terdakwa bahwa orang tua
korban tidak setuju dengan hubungan mereka. Terdakwa memeluk
korban untuk menenangkan hati korban dan mengajak korban untuk
kembali melakukan persetubuhan.
Pada bulan Juni 2013 ketika korban bermain kerumah
terdakwa, korban bercerita bahwa korban positif hamil karena sudah
tidak menstruasi sejak bulan Maret 2013. Pada bulan Juli, datang
orang tua korban kerumah terdakwa untuk meminta pertanggung
jawaban terdakwa karena korban telah hamil 7 bulan atas perbuatan
terdakwa. Pada hari Jum’at tanggal 26 Juli 2013 terdakwa menikahi
korban di KUA Pabayuran dengan dihadiri oleh keluarga inti pelaku
dan keluarga inti korban, ketua RT setempat dan petugas KUA.
Setelah menikah terdakwa dan korban mengontrak rumah di
dekat rumah orang tua korban, namun karena tidak ada biaya lagi
terdakwa mengajak korban untuk tinggal dirumah terdakwa. Hal ini
tidak disetujui oleh orang tua korban, sehingga akhirnya terdakwa
130
kembali ke rumah orang tuanya dan korban tinggal bersama orang
tuanya di Karawang.
Pada pertengahan bulan Agustus terdakwa dipanggil oleh
Komnas Anak untuk dimintai keterangan atas perbuatannya kepada
korban. Terdakwa sudah menjelaskan bahwa terdakwa sudah berusaha
untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dengan menikahi korban.
Pihak Komnas Anak menyarankan kepada orang tua terdakwa dan
orang tua korban untuk mengadakan mediasi.
Pada tanggal 8 Oktober 2013 datang 4 orang petugas dari
Polresta kerumah terdakwa, terdakwa saat itu tidak berada dirumah,
petugas Polresta memberitahukan kepada orang tua terdakwa agar
terdakwa datang ke Kantor Polisi Polres Kota Bekasi. Pada tanggal 10
Oktober 2013 terdakwa datang untuk dimintai keterangan dan
diperiksa lebih lanjut.
Terdakwa dan korban sudah berpacaran sejak bulan Februari
2013, persetubuhan yang dilakukan keduanya di dasari atas suka sama
suka. Terdakwa dan korban melakukan persetubuhan sebanyak 3 kali
pada bulan Februari, Mei dan Juni 2013 sehingga mengakibatkan
korban hamil 7 bulan (keterangan kehamilan berdasarkan hasil USG Bidan).
Terdakwa diduga melakukan tindak pidana Persetubuhan
sebagaimana dimaksud Pasal 81 UU RI No. 23 Th 2002 dan Pasal 26
ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.53
Pertimbangan Hukum
Berdasarkan dari data yang berhasi dihimpun dan dianalisa
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa saat melakukan tindak pidana
terdakwa masih merupakan anak dibawah umur yaitu tepatnya berusia
17 tahun. Terdakwa merupakan anak sulung dari dua bersaudara yang
dibesarkan dalam kondisi ekonomi yang kurang sehingga kedua orang
tua terdakwa sangat sibuk dan jarang berada dirumah. Hal ini
menyebabkan terdakwa kurang perhatian dan pengawasan dari orang
tua dan tidak adanya didikan agama pada diri terdakwa.
Menimbang, tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa
dilatarbelakangi atas dasar suka sama suka antara terdakwa dan korban
dan tidak ada paksaan (pemerkosaan) terhadap korban. Terdakwa
53Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas PK
BapasKelas II Bogor, No Register 17/Lit.PN/X/2013 memenuhi surat permintaan
dari Kepolisian Resor Kota Bekasi No. B/960/X/2013/ Resta BKS 16 Oktober 2013.
131
mengakui bahwa ketika terdakwa melakukan persetubuhan terhadap
korban karena terdakwa merasa sayang kepada korban.
Menimbang, bahwa terdakwa baru pertama kali menjalani
proses hukum dan terdakwa sudah berusaha bertanggung jawab
terhadap korban dengan menikahi korban dan terdakwa berjanji akan
merubah prilaku terdakwa dan sangat menyesali perbuatannya dan
berjanji akan memperhatikan korban sebagai istrinya dan bertanggung
jawab penuh terhadap korban dan anak-anaknya kelak.
Menimbang, bahwa berdasarkan data diatas maka diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa terdakwa masih mempunyai kedua orang tua yang utuh
untuk mengarahkan terdakwa ke jalan yang benar.
2. Bahwa terdakwa mengaku sangat menyesali perbuatannya dan
berjanji tidak akan mengulangi pelanggaran hukum.
3. Masyarakat setempat masih memberikan tanggapan yang
positif terhadap diri terdakwa. Terdakwa selalu berperilaku
baik kepada tetangga dan tidak pernah berbuat sesuatu yang
meresahkan.
4. Bahwa orangtua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan
membina terdakwa untuk tidak melakukan pelanggaran hukum
lagi.
Menimbang, bahwa lebih lanjut ada beberapa hal yang
meringankan bagi terdakwa, yaitu:
1. Terdakwa bersikap sopan, mengaku terus terang dan menyesali
perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
2. Terdakwa masih muda dan besar harapan dapat memperbaiki
dirinya demi masa depan yang lebih baik.
3. Terdakwa dan orangtua terdakwa telah meminta maaf kepada
korban dan bertanggung jawab atas semua kesalahan terdakwa.
4. Bahwa terdakwa tidak pernah berbuat yang meresahkan
masyarakat dan perilakunya dinilai baik dan sopan oleh
masyarakat setempat.
Hal yang memberatkan terdakwa adalah orang tua korban tidak
mau memaafkan terdakwa. Orang tua terdakwa sudah beberapa kali
menemui orang tua korban dengan maksud musyawarah namun
pembicaraan tidak mempunyai titik temu.
132
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta hukum
tersebut di atas dihubungkan dengan dakwaan alternatif tersebut maka
Pembimbing Kemasyarakatan (PK) merekomendasikan agar kepada
terdakwa diberi putusan ‚Pidana Penjara seringan-ringannya‛ mengacu
pada pasal 26 ayat 1 UU No 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak dan
UU RI No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak sehingga terdakwa
dapat kembali bekerja dan menjadi warga Negara yang baik
dikemudian hari.54
Tuntutan Jaksa
Terdakwa dituntut pidana penjara 3 tahun dan denda
Rp60.000.000,- yang kemudian pidana denda diganti menjadi wajib
bekerja di Dinas Sosial selama 60 hari (3 jam setiap harinya).
Putusan
1. Menyatakan terdakwa SYH terbukti secara sah dan menyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana persetubuhan.
2. Menjatuhkan tindakan pidana penjara selama 2 tahun dan denda
Rp40.000.000,- yang kemudian pidana denda diganti menjadi wajib
bekerja di Dinas Sosial selama 40 hari (2 jam setiap harinya).55
Analisis Kasus
Di dalam KUHP diatur berbagai jenis tindak pidana atau delik,
termasuk diantaranya delik kesusilaan namun KUHP tidak mengatur
secara eksplisit tentang tindak pidana/ kejahatan kesusilaan, melainkan
hanya mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. KUHP
membagi delik kesusilaan menjadi dua kelompok tindak pidana
yaitu:kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Buku II dan
pelanggaran kesusilaan yang diatur dalam Bab IV Buku III. Delik-delik
yang termasuk kejahatan kesusilaan diatur pada Pasal 281 sampai
dengan Pasal 303 KUHP. Adapun delik-delik yang termasuk
pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 532 sampai dengan Pasal
547.
Di dalam Pasal 27 BW, seseorang dianggap oleh hukum telah
melakukan perzinaan apabila bersetubuh dengan orang lain selain isteri
54 Hasil Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian yang dilakukan oleh PK
Bapas Kelas II Bogor. 55 Penulis mengikuti sidang anak di Pengadilan Negeri Bekasi pada 11
Desember 2013.
133
atau suaminya sendiri (berlaku asas monogami), sedangkan hubungan
seksual di luar suatu pernikahan antara dua orang yang masih berstatus
lajang sama sekali bukan merupakan tindakan perzinaan.56
Jika hukum
ini digunakan di Indonesia jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan masyarakat Indonesia yang religius dan mayoritas beragama
Islam.
Dalam hukum Islam kasus asusila/ persetubuhan disebut
dengan zina yang berarti fahishah (tindakan yang tidak terpuji). Zina
dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang
lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat
dalam hubungan perkawinan, melakukan hubungan yang dinyatakan
haram bukan karena syubhat dan atas dasar syahwat.57
Menurut Jumhur Ulama> pelaku zina yang dapat dikenai sanksi
h}ad dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu: yang sudah menikah
disebut juga muh}s}an /muh}s}anah dan yang belum menikah disebut
dengan goiru muh}s}an /muh}s}anah. Hukuman bagi pelaku zina yang
belum menikah di dasarkan pada ayat al-Qur’an surat An-Nu>r ayat 2:58
Adapun bagi orang yang sudah menikah (muh}s}an /muh}s}anah)
hukumannya adalah rajam59. Hukuman ini disandarkan pada sunah
56Laila Mulasari, ‚Kebijakan Formulasi Tentang Tindak Pidana Kesusilaan
Di Dunia Maya Dalam Perspektif Hukum Islam‛, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41 No 1 (Januari 2012), 103.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/4165 (Diakses pada 28
Januari 2014). 57Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 37. 58‚Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman‛
59Menurut para ahli hukum Islam rajam adalah dilempari batu sampai mati.
134
Nabi SAW ketika beliau merajam seorang laki-laki bernama Maiz
yang telah berbuat zina dan hal ini disaksikan oleh para sahabat lalu
disyariatkan.60
Hukuman h}ad pada zina lebih berat dibanding dengan jari>mah h}udu>d lainnya karena zina merupakan dosa besar.
61 Seseorang dapat
dikenai hukuman h}ad zina dengan beberapa syarat, diantaranya:
a. orang yang melakukan zina haruslah dewasa, bagi anak-anak yang
belum dewasa maka tidak wajib baginya h}ad zina menurut
kesepakatan ulama;
b. orang yang berzina haruslah orang berakal, dan tidak wajib dikenai
h}ad zina bagi orang gila;
c. orang yang berzina haruslah orang Islam. Dalam hal ini beberapa
ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyah, orang yang
60
سة قال جاء ياعص ل أبي سيل ت ع ل أبي سه س ع ل ع د بل ر ل يح او ع ر ع انل أبي شيلبت حدرثا عبرا بل س بل حدرثا أب بكل
ل ثىر قال إني سض ع ل ثىر قال إني قدل شيلج فأعل سض ع سهرى فقال إني شيلج فأعل عهيل يانك إنى انربين صهرى هللار بل
ا أصابخل انلحجازة ر جى فه ل يسل أ اث فأيس ب بع يسر ل حخرى أقسر أزل سض ع ل ثىر قال قدل شيلج فأعل سض ع شيلج فأعل
يسرخل انلحجازة سهرى فساز حي عهيل م فضسب فصسع فركس نهربين صهرى هللار ي ج نحل خد فهقي زجم بيد بس يشل أ ل
خ فقال فالر حسكل
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Abbad bin Al Awwam dari Muhammad bin Amru dari
Abu Salamah dari Abu Hurairah, ia berkata; "Maiz bin Malik datang menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah aku telah berzina.' Akan
tetapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengacuhkannya. Lalu ia berkata
kembali, "Aku telah berzina." Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun
mengacuhkannya. Kemudian ia berkata lagi, "Aku telah berzina." Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tetap mengacuhkannya. Lalu ia berkata kembali, "Aku
telah berzina." Namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tetap tidak
memperdulikannya sampai ia mengikrarkan perihal tersebut sebanyak empat kali.
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar ia dihukum rajam.
Di saat tubuhnya terkena lemparan batu, ia pun melarikan diri karena kesakitan.
Kemudian bertemu dengan seorang yang membawa tulang rahang unta di tangannya,
laki-laki ini akhirnya memukul Maiz sampai pingsan. Perihal larinya Maiz saat
terkena lemparan batu itu diceritakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
lalu beliau bersabda: "Tidakkah sebaiknya kalian membiarkannya?" (Hadist Ibnu
Majjah:2544) 61 Dalam surat Al-Isra> ayat 32 dijelaskan bahwa perbuatan zina merupakan
perbuatan yang keji dan merupakan dosa besar.
‚Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk.‛
135
dikenai h}ad zina adalah orang Islam, karena berzina dengan orang
kafir dinamakan juga zina shubhat dan tidak menjadi
disyariatkannya h}ad zina. Menurut Jumhur Ulama orang kafir yang
melakukan zina juga wajib dikenai h}ad tetapi tidak dikenai
hukuman rajam hanya dikenai hukuman dera (cambuk) saja;
d. orang yang melakukan zina dikenai h}ad zina apabila
mengerjakannya bukan karena unsur paksaan;
e. orang yang diajak melakukan berzina (baik laki-laki atau
perempuannya) haruslah sudah dewasa, apabila berzina dengan
anak kecil maka tidak dikenai h}ad zina.62
Sanksi terhadap pelaku zina demikian berat mengingat dampak
negatif yang ditimbulkan akibat perbuatan zina baik terhadap diri
sendiri, keluarga dan masyarakat. Di antara dampak negatif melakukan
zina, antara lain sebagai berikut:
a. dapat terinfeksi penyakit kelamin seperti HIV / AIDS, penyakit
gonorchoo atau siphilis, penyakit tersebut berjangkit melalui
hubungan kelamin; b. perbuatan zina menjadikan seseorang enggan melakukan
pernikahan sehingga dampak negatif akibat keengganan seseorang
untuk menikah cukup kompleks baik terhadap kondisi mental
maupun fisik seseorang;
c. keharmonisan hubungan keluarga sebagai suami isteri berkurang
lantaran salah satu pihak yaitu suami atau isteri telah mengadakan
hubungan lawan jenis yang bukan suami/ istrinya yang sah.63
Dalam Undang-undang sistem peradilan anak, apabila seorang
anak melakukan tindakan persetubuhan dengan seseorang yang juga
masih dibawah umur maka pasal yang disangkakan terhadap tersangka
anak adalah pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya paling sedikit 3 tahun dan
paling lama 15 tahun.64
Dalam putusannya aparat penegak hukum
62Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, jilid 7, 5360-5361. 63Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 51. 64Pasal 81 UU Perlindungan Anak berbunyi sebagai berikut:
‚(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
136
memperhatikan bahwa tersangka masih dibawah umur menurut
batasan umur dalam Undang-Undang Peradilan Anak, maka penegak
hukum memperhatikan UU RI No. 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak.
Dalam kasus ini terdakwa SYH melakukan tindak pidana
Persetubuhan terhadap AK yang didasarkan atas suka sama suka. Hal
ini menyebabkan perbuatan yang dilakukan oleh SYH bermasalah
dengan hukum. Dalam kasus ini SYH dituntut oleh jaksa penuntut
dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda wajib Rp60.000.000,-
Kasus persetubuhan yang dilakukan SYH meskipun menurut
pengakuan SYH kasus itu dilakukan secara ‚suka sama suka‛ tapi ia
tetap dipidanakan. Demikian pula ketika kasus ini dibawa ke ranah
mediasi, keluaga korban menolak untuk berdamai. Keluarga pelaku
telah berulangkali meminta berdamai dengan keluarga korban, namun
keluarga korban tetap tidak mau memaafkan dengan alasan bahwa
pelaku tidak dapat bertanggung jawab.65
Dalam hal in SYH sudah
berusaha untuk bertanggung jawab dengan menikahi AK.
Dalam Hukum Islam kasus persetubuhan atau zina yang
dilakukan oleh SYH dan AK termasuk kategori goiru muh}s}an /muh}s}anah (belum menikah, masih berstatus lajang). Dalam kategori
bulu>gh, SYH dan HK termasuk orang yang sudah dewasa jika dilihat
dari syarat-syarat bulu>gh dalam Islam yaitu bisa menghamili wanita
(bagi laki-laki) dan bisa hamil (bagi perempuan).
Jika seorang bikr (perawan/ perjaka) melakukan zina maka
hukumannya adalah dengan di dera 100 kali (jild) dan diasingkan
(taghri>b). Hukuman jild merupakan hukuman yang ditetapkan
ukurannya dan bagi hakim tidak boleh untuk mengurangi atau
menambahkannya dengan sebab apapun. Dalam hukuman jild tidak
ada kompensasi pengganti hukum dan tidak ada pengampunan.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.‛
Dengan adanya Undang-undang Perlindungan anak khususnya Pasal 81 maka dapat
dikatakan bahwa Pasal 287 KUHP sudah tidak dapat diterapkan lagi bagi pelaku
persetubuhan yang dilakukan terhadap anak, sebab dalam Pasal 81 Undang-undang
Perlindungan Anak telah diatur secara khusus mengenai ketentuan pidana materiil
delik persetubuhan yang dilakukan terhadap anak. 65 Hasil wawancara dengan terdakwa di Pengadilan Negeri Bekasi 11
Desember 2013.
137
Selain hukuman jild seorang pezina bikr juga dikenai hukuman
pengasingan, namun fuqaha> berbeda pendapat dalam kewajiban
melaksanakannya. Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan hukuman
pengasingan tetapi membolehkan untuk menghukum dengan keduanya
(jild dan taghri>b). Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad hukuman wajib bagi pezina bikr adalah menggabungkan
hukuman jild dan pengasingan (taghri>b) karena pengasingan (taghri>b) merupakan hukuman had seperti jild. Menurut ‘Abdul Qadir ‘Audah
pengasingan (taghri>b) termasuk hukuman h}ad seperti jild.66 Menurut mazhab Hanafiyah, hukuman taghri>b (diasingkan) dan
jild (dera) tidak bisa dilakukan dalam satu hukuman. Menurut Imam
Hanafi taghri>b bukanlah h}ad, namun jika menurut Imam/ hakim
taghri>b mendatangkan kebaikan, boleh dilakukan. Menurut mazhab
Syafi’i>yah dan Hanabilah, membolehkan untuk menggabungkan
hukuman jild dan taghri>b dalam satu hukuman. Menurut Malikiyah
bagi laki-laki hukuman taghri>b atau dimasukkan ke dalam penjara
selama 1 tahun, sedangkan bagi perempuan tidak wajib baginya
hukuman taghri>b.67
Dalam hal ini hakim menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara
dan wajib kerja di Dinas Sosial selama 40 hari setelah keluar dari
penjara kepada pelaku. Hukuman yang diterima oleh terdakwa adalah
hukuman ta‘zi>r yang bersifat penjara (h}abs). Maksud dari h}abs disini
adalah menahan pelaku tindak pidana dan mencegahnya dari perbuatan
maksiat terhadap Allah.68
Pidana penjara merupakan suatu pidana yang berupa
pembatasan kebebasan seseorang untuk bergerak dengan mewajibkan
orang tersebut untuk menaati peraturan tata tertib yang berlaku.
Dengan dibatasinya kebebasan bergerak, jelas pidana penjara membuat
SYH tidak dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai Kepala
Keluarga dan tidak dapat menafkahi kebutuhan isteri dan anak-
anaknya.
Dengan demikian dalam penjatuhan pidana terhadap SYH
terdapat dua kepentingan yang bertentangan yakni kepentingan
Negara untuk menjalankan hukum dan menghukum orang-orang yang
melanggar hukum dan kepentingan korban dan anak korban yang akan
66‘Abdul Qadir ‘Audah, at-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi>, 379-380. 67 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, 5363-5364. 68 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuh, 5593.
138
mengalami penderitaan apabila SYH menjalani pidana penjara karena
tidak dapat mencari nafkah dan tidak dapat menghidupi keluarganya.
Kesimpulan
Dalam persidangan telah menjadi alasan umum terdakwa
bahwa persetubuhan yang dilakukan terhadap korban atas dasar suka
sama suka. Apa yang mereka lakukan didasari kehendak dan kemauan
masing-masing meski terdakwa menyadari bahwa korban masihlah di
bawah umur dan belum layak untuk dikawini begitu juga dengan
pelaku yang belum cukup umur untuk melakukan pernikahan apabila
melihat Undang-undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dimana bagi laki-laki harus berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Hukuman yang diterima oleh terdakwa adalah hukuman ta‘zi>r yang bersifat penjara (h}abs) yaitu hukuman 2 tahun penjara dan wajib
kerja di Dinas Sosial selama 40 hari setelah keluar dari penjara kepada
pelaku. Putusan majelis hakim terhadap terdakwa di dalamnya juga
sedikit mengandung keadilan restoratif dengan dikurangi hukuman
atas tuntutan jaksa terhadap pelaku, dan mengganti hukuman denda
dengan wajib bekerja di dinas sosial.
E. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana Anak
Berikut adalah laporan singkat terhadap hasil penelitian
terhadap anak pelaku tindak pidana. Laporan ini diteliti berdasarkan
aspek kondisi pelaku, kondisi keluarga pelaku, kondisi lingkungan
pelaku, jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, pasal yang
disangkakan terhadap pelaku, modus operandi pelaku, motivasi
pelakumelakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan pelaku, tuntutan keluarga korban, reaksi masyarakat atas
perbuatan pelaku, putusan aparat penegak hukum, pertimbangan dan
putusan yang dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini dapat dilihat pada
matrik di bawah ini:
139
Matrik 4: Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana
Anak
Perihal Pelaku
Pembunuhan.
Pelaku Pencurian Pelaku Penipuan
dan Penggelapan
Pelaku Tindak
Asusila
Inisial Pelaku YI ARK RAR SYH
Umur Pelaku 8 tahun. 17 tahun. 16 tahun. 17 tahun.
Jenis Kelamin Laki-Laki. Laki-Laki. Laki-Laki. Laki-Laki
Kondisi Pelaku Tidak bersekolah,
dan sering
menghabiskan
waktunya di
warnet dan
mengamen
dijalanan.
Berhenti sekolah
saat duduk di
kelas 2 SMK
karena kurang
biaya sekolah
sebab ayah pelaku
menikah lagi dan
tidak bertanggung
jawab terhadap
anak-anaknya.
Pelaku bernah
bekerja di sebuah
warnet dengan
gaji Rp 500.000
per bulan untuk
tambahan biaya
sekolah.
Belakangan ini
pelaku berhenti
bekerja di warnet
dan menganggur.
Sudah tidak
bersekolah lagi
sejak berhenti di
kelas 3 SMP.
Pelaku
mendalami tehnik
Electronic Hand
Phone dan sempat
kursus
Operasional
Bongkar Pasang
Telepon Selular
di Jakarta.
Pada saat
melakukan tindak
pidana pelaku
masih duduk di
kelas II SMEA.
Kondisi
Keluarga
Tidak harmonis
(Kedua Orangtua
bercerai). Ibu
pelaku menikah
lagi. Ibu pelaku
bekerja mencari
nafkah sehingga
pelaku kurang
mendapat
perhatian dan
kasih sayang.
Tingkat sosial
ekonomi keluarga
sangat minim.
Kedua Orangtua
bercerai. Ibu
pelaku bekerja
sebagai pembantu
rumah tangga.
Tingkat sosial
ekonomi keluarga
sangat minim
untuk membiayai
2 orang anak,
sedangkan ayah
pelaku tidak ada
tanggung jawab.
Kedua Orangtua
utuh. Kondisi
ekonomi keluarga
pelaku tergolong
keluarga cukup
mampu dan kedua
orangtua pelaku
mempunyai
pekerjaan masing-
masing. Ayah
pelaku bekerja
sebagai penyedia
jasa jual beli
kendaraan
bermotor. Ibu
pelaku bekerja
Kedua Orangtua
utuh. Ayah pelaku
bekerja sebagai
sopir pada Toko
Furniture,
sedangkan ibunya
bekerja di kuwait
untuk membantu
memenuhi
kebutuhan sehari-
hari dan biaya
sekolah anak-
anaknya.
140
sebagai pengelola
salon dan
sekaligus pemilik
salon kecantikan/
pengrias
pengantin.
Kondisi
Lingkungan
Penduduk
setempat
mayoritas adalah
pendatang serta
merupakan
keluarga dengan
kondisi ekonomi
menengah
kebawah.
Mata pencaharian
penduduk setempat
terdiri dari
berbagai usaha
seperti PNS,
karyawan swasta,
buruh serabutan,
usaha dagang, dll.
Sosial ekonomi
keluarga rata-rata
golongan
menengah
kebawah.
Penduduk
setempat
mayoritas adalah
pendatang dari
berbagai daerah
serta merupakan
keluarga dengan
kondisi ekonomi
menengah
kebawah.
Penghasilan
masyarakatnya
didapat dari
pekerjaan sebagai
karyawan,
wiraswasta dan
buruh.
Warga sekitar
rumah tinggal
orangtua pelaku
mayoritas bekerja
sebagai buruh
harian. Latar
belakang
pendidikan
masyarakat
setempat beragam
dari tingkat SD
sampai dengan
SLTA. Mayoritas
tamatan SLTP.
Jenis Tindak
Pidana
Pembunuhan. Pencurian. Penipuan dan
Penggelapan.
Tindakan Asusila.
Pasal yang
disangkakan
terhadap pelaku
Pasal 80 ayat 3
UU RI No 23 Th
2002 tentang
Perlindungan
Anak mengenai
kesengajaan
menghilangkan
nyawa orang lain.
Pasal 362 KUHP. Pasal 378 KUHP. Pasal 81 UU RI
No 23 Th 2002.
Modus
Operandi
YI yang berumur
8 tahun berkelahi
dengan NAK
yang berumur 6
tahun. YI
menyatakan
bahwa NAK
pernah berhutang
padanya sebesar
Rp 1.000 kepada
YI, ketika ditagih
NAK
menyanggah.
Dalam
ARK mengambil
HP milik
temannya yang
sedang tidur dan
menyimpan- nya
di lemari
pakaiannya.
Korban RIN tidak
mengetahui
bahwa Hpnya
telah dicuri oleh
terdakwa ARK.
Pelaku menjual
HP korban kepada
Korban meminta
tolong kepada
pelaku untuk
menservice Hp
pelaku.
Dikarenakan
pelaku harus
mengambil
onderdil di
Counter Plaza
Cibubur. Pelaku
berpura-pura
meminjam motor
korban. Sepeda
Pelaku berpacaran
dengan korban
sejak bulan
Februari 2013.
Atas dasar suka
sama suka pelaku
dan korban
melakukan
persetubuhan
dirumah pelaku
sebanyak 3 kali
pada bulan
Februari, Mei dan
Juni 2013
141
perkelahian YI
mendorong NAK
ke danau galian
yang dalamnya
sekitar
80sentimeter dan
sempat
menenggelamkan
korban sehingga
menyebabkan
kematian korban.
tetangganya
seharga Rp
50.000,-. Pada
saat pelaku
menyetel lagu-
lagu di HP
pelaku, hal ini
didengar oleh
korban. Korban
merasa lagu-lagu
tersebut mirip
dengan lagu di
memory card
yang ada di HP
korban. Akhirnya
RIN (korban)
mengetahui
bahwa ARK
(pelaku) yang
telah mencuri HP
korban ketika
sedang tidur
dirumahnya.
motor yang
dipinjam pelaku
dari korban
dijualnya melalui
bantuan seorang
temannya. Pelaku
berhasil menjual
HP dan motor
korban. Pada saat
pelaku bermain di
sekitar SHC,
pelaku bertemu
dengan korban.
Pada saat
pertemuan pelaku
sempat cekcok
mulut dengan
korban dan
sempat dipukuli
korban. Pelaku
dijemput oleh
aparat kepolisian
untuk diamankan
dan diminta
keterangan
sehubungan
dengan adanya
laporan korban
atas kehilangan
sepeda motor dan
Hand Phonenya.
sehingga
mengakibatkan
korban hamil 7
bulan (keterangan kehamilan berdasarkan hasil USG bidan).
Motivasi
melakukan
tindak pidana
Menuntut hak
utang piutang dan
memberi
pelajaran
terhadap korban,
namun berujung
kematian.
Ingin memiliki
Handphone
tersebut untuk
dijual guna
dipakai pelaku
untuk jajan dan
ke warnet.
Ingin membantu
temannya yang
mengalami
kesusahan dan
membutuhkan
biaya. Hal ini
berkaitan dengan
sifat dan
kepribadian rasa
sosial serta setia
kawan yang
tinggi, namun
belum dapat
mempertimbangk
an dampak dari
perbuatannya.
Pelaku melakukan
hal tersebut
terhadap korban
atas dasar suka
sama suka.
142
Akibat yang
ditimbulkan
oleh perbuatan
pelaku
Menyebabkan
kematian korban.
Pelaku harus
menghadapi
proses penyidikan
kepolisian.
Keluarga korban
merasa sedih dan
kecewa. Keluarga
pelaku sangat
menyesal atas
kejadian yang
menimpa pelaku
dan korban.
Pelaku ditahan di
Kepolisian
setempat.
Sebelum ditahan
pelaku sempat
dipukul oleh
teman-temannya
dan juga diarak
keliling kampung.
Orang tua pelaku
sangat merasa
malu dan susah
memikirkan
pelaku. Korban
merasa rugi
dengan
kehilangan
Handphone dan
merasa rugi
waktunya
dijadikan saksi
korban.
Pelaku menjalani
pemeriksaan dan
penahanan di
kepolisian
setempat. Pihak
keluarga merasa
sedih dan prihatin
atas tindakan
yang telah
dilakukan oleh
pelaku dan
merasa tidak
berdaya untuk
membinanya.
Korban
mengalami
kerugian berupa
satu buah motor
dan sebuah
Handphone.
Pelaku harus
menjalani
penahanan di
Rutan Polres Kota
Bekasi dan untuk
sementara waktu
tidak dapat
bekerja. Keluarga
pelaku malu
terhadap tetangga,
merasa sangat
sedih dan terpukul.
Korban merasa
malu terhadap
lingkungan sekitar
serta tidak dapat
melanjutkan
sekolah karena
telah hamil.
Tuntutan
Keluarga
Korban
Putusan hukum
diserahkan
kepada pihak
yang berwajib.
Korban meminta
agar Handphone
yang dicurinya
dapat
dikembalikan lagi
kepada korban.
Korban meminta
ganti rugi
terhadap pelaku.
Menyerahkan
kepada pihak yang
berwajib.
Reaksi
Masyarakat
Masyarakat
setempat
menyerahkan
semuanya kepada
pihak yang
berwajib.
Masyarakat
dilingkungan
TKP sempat
mendamaikan
kedua belah pihak
sebelum diurus ke
kantor kepolisian.
Masyarakat
setempat sudah
memaafkan
perbuatan pelaku
karena dinilai
bahwa pelaku
tidak pernah
berbuat yang
meresahkan
masyarakat
sebelumnya.
Hubungan
Masyarakat
menyesalkan atas
perbuatan pelaku
yang seharusnya
tidak perlu
dilakukan, karena
pelaku tergolong
keluarga yang
mampu dari segi
ekonomi.
Masyarakat
menyangka
bahwa hal ini
terjadi
kemungkinan
pengaruh
perasaan sosial
yang peka dan
solidaritas sesama
Masyarakat di
tempat tinggal
orang tua pelaku
menyatakan ikut
prihatin dengan
pelanggaran
hukum yang telah
dilakukan oleh
pelaku. Menurut
para tetangga di
lingkungan
tinggalnya, selama
ini perilaku pelaku
dinilai baik dan
sopan serta
menurut kepada
orangtua.
143
masyarakat
setempat dengan
keluarganya
(Ibunya) biasa
saja.
teman yang tinggi
dengan tanpa
melihat dampak
akibat yang telah
diperbuatnya.
Hubungan
keluarga pelaku
juga sangat baik
terhadap
masyarakat
setempat. Ibu
pelaku saat
sebelum kejadian
sedang
dicalonkan
sebagai Kepala
Desa setempat
yang
pemilihannya
akan berlangsung
pada bulan
berikutnya.
Putusan Aparat
Penegak Hukum
Dibina dan
dibimbing di
Dinas Sosial.
Dikembalikan
kepada orangtua
dengan putusan
dikresi kepolisian.
Pembinaaan
mental dan
spiritual di Panti
Rehabilitasi
Sosial.
Menjatuhkan
hukuman terhadap
pelaku dengan
tindakan penjara
selama 2 tahun
dan bekerja di
Dinas Sosial
selama 40 hari 2
jam setiap harinya.
Pertimbangan
Putusan
Dengan
dilakukannya
sebuah mediasi
dan adanya
pemaafan dan
pengampunan
dari pihak korban,
maka keputusan
yang disepakati
antara kedua
belah pihak
adalah pelaku
dibina dan
dibimbing di
Dinas Sosial demi
kepentingan
Dengan adanya
maaf dari korban
terhadap pelaku
serta adanya
pencabutan
laporan dari
korban agar
permasalahan-nya
tidak dilanjutkan
ke persidangan.
Oleh karena itu
kepolisian
memberhentik-an
penyidikan dan
melepaskan
pelaku dari
Pihak korban
telah memaafkan
pelaku dan
bersedia untuk
berdamai dengan
diselesaikan
secara
kekeluargaan.
Pihak pelaku
bersedia
memberikan ganti
rugi kepada
korban.
Pelaku mengakui
kesalahannya dan
sangat menyesali
perbuatannya.
Pelaku bersikap
sopan di dalam
persidangan.
Tidak ada
tuntutan yang
memberatkan dari
masyarakat karena
pelaku tidak
pernah berbuat
yang meresahkan.
Oleh karena itu
Hakim
144
terbaik bagi
pelaku. Hal ini
dikarenakan
pelaku adalah
anak dibawah
umur yaitu 8
tahun.
tahanan
kepolisian.
memberikan
peringanan hukum
dari tuntutan yang
diberikan oleh
jaksa yaitu pidana
penjara 3 tahun
dan bekerja di
Dinas Sosial 60
hari ( dengan 3
jam setiap
harinya).
Dari paparan data diatas maka dapat dijelaskan bahwa
partisipasi antara pelaku/ keluarga pelaku, korban/ keluarga korban
serta keikut sertaan masyarakat dalam memutuskan hukuman bagi
anak sangat diperlukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Adanya
maaf dan pengampunan yang diberikan dari pihak korban kepada
pelaku merupakan prinsip restorative justice yang telah diupayakan
oleh aparat penegak hukum untuk mendamaikan kedua belah pihak.
145
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian kasus pada bab-bab lalu tesis ini
berkesimpulan bahwa kebijakan aparat penegak hukum dalam hal
penanganan masalah kenakalan anak dengan mengedepankan keadilan
restoratif telah membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban
dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa tindak pidana.
Pemberian hukuman ta‘zi>r pada tindak pidana ringan terhadap anak
pelaku tindak pidana dengan pengampunan dan pemberian hukuman
minimum mengandung banyak unsur keadilan. Konsep ini sejalan
dengan prinsip-prinsip restorative justice. Penelitian ini mendukung pernyataan Nawal H. Ammar (2001)
dan Mutaz M. Qafisheh (2012) yang mengatakan bahwa keadilan
restoratif bertujuan untuk mendamaikan pihak yang berkonflik. Jika
pelanggar bisa direhabilitasi dengan langkah-langkah lain yang lebih
baik maka hukuman harus dihindari. Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan pemberian hukuman minimum merupakan sistem
peradilan pidana Islam yang dapat merubah sistem pidana dari
retributif menjadi restoratif. Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross
(1975), John Rawls (1980) dan Kathleen Daly (2001) yang
menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban,
ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang melakukan
kesalahan dan sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan
kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.
Aparat penegak hukum yang menangani permasalahan
kenakalan anak selalu berusaha untuk menggunakan konsep keadilan
restoratif dalam menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban.
Dalam hal ini Penelitian Kemasyarakatan (Bapas) juga ikut dihadirkan
sebagai mediator (penengah) guna memberikan pengarahan untuk
menghasilkan keputusan terbaik bagi pelaku tindak pidana yang
dilakukan oleh anak di bawah umur, dengan melihat kepentingan
terbaik bagi pelaku dan korban.
Pemberian hukuman yang dimaksudkan membuat anak menjadi
jera dan tidak mengulangi perbuatannya tidak jarang menurunkan
harga diri anak, menimbulkan dendam dan kebencian pada anak. Oleh
karena itu, hukuman berupa retributif atas kejahatan yang diberikan
146
kepada anak-anak telah diupayakan menjadi restoratif dan
mengedepankan azaz kepentingan terbaik bagi anak.
Berbagai kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang
berakhir di pengadilan disebabkan karena pemahaman masyarakat
yang sangat kurang mengenai keadilan restoratif. Dalam banyak kasus,
masyarakat yang menjadi korban lebih banyak yang tidak bersedia
memakai jalur restoratif. Masih banyak korban yang bersifat
emosional puas dengan balas dendam dan tidak mau mendengarkan
ajuan perdamaian dari pihak korban sehingga kurang mendukung
fungsi pembinaan.
Setiap perundang-undangan yang ditentukan oleh Negara
dalam menghukum pelaku tindak pidana didasarkan pada kebijakan
untuk menghasilkan suatu mas}lahah/ kebaikan untuk masyarakatnya.
Undang-Undang yang dibuat oleh Negara juga bisa dikatakan dengan
hukuman ta‘zi>r . Menurut Wahbah Zuhaili>, hukuman ta‘zi>r diserahkan
semuanya kepada kebijakan Negara dengan melihat kemas}lahatan
penduduknya. Hukuman yang ditetapkan oleh Undang-Undang (qanu>n al-wad}i>) masuk kedalam kategori ta’zi>r.
Pemberian hukuman minimum serta adanya pengampunan dan
pemaafan di dalam hukuman ta‘zi>r terhadap pelaku tindak pidana
dalam hukum Islam, menjadikan hukuman ta’zi>r mengandung prinsip-
prinsip keadilan restoratif. Tujuan pemberian hukuman ta‘zi>r diantaranya untuk mencegah seseorang dari berbuat maksiat dan
memberikan hukuman sesuai kebutuhan kemaslahatan masyarakat.
Pemberian hukuman pada orang yang melakukan kejahatan
dimaksudkan bukan untuk membalas dendam melainkan untuk
kemaslahatan. Pemberian hukuman adalah upaya terakhir dalam
menjaga seseorang agar tidak jatuh ke dalam suatu maksiat. Hal ini
sejalan dengan prinsip restorative justice yang juga ditentukan oleh
kebijakan aparat penegak hukum dengan melihat keputusan terbaik
bagi pelaku dan korban. Salah satu unsur keadilan restoratif dalam
hukum Islam adalah gagasan tentang perbaikan dan pemulihan.
Ta‘zi>r dalam pengertian hukum Islam adalah hukuman yang
bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenakan
sanksi h}ad dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum
Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‘zi>r diserahkan semuanya kepada kesepakatan manusia. Hukuman ta‘zi>r terdapat dalam setiap jari>mah, baik dari segi hukuman yang
menyinggung hak Allah seperti makan siang pada bulan Ramadhan
147
tanpa alasan yang jelas, meninggalkan shalat, riba; maupun hukuman
yang menyinggung hak adami> seperti berkhalwat, mencuri sesuatu
yang tidak sampai nis}ab, mencuri barang yang tidak dijaga, berbuat
curang/ melakukan penipuan dan lain sebagainya.
Jika kita cermati terdapat unsur-unsur persamaan konsep
restorative justice yang terdapat dalam pengertian hukum Islam dan
dalam pengertian hukum positif. Konsep keadilan restoratif dalam
hukum positif yang merupakan pembentukan kembali keadilan melalui
sebuah kesepakatan yang melibatkan pelaku, masyarakat serta korban
dalam menyelesaikan konflik permasalahan, sejalan dengan konsep
keadilan restoratif dalam Islam yang juga bertujuan untuk
mendamaikan pihak yang berkonflik dan merehabilitasi pelaku dengan
langkah-langkah lain yang lebih baik serta menghindari hukuman yang
retributif.
Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan dengan kebijakan
restorative justice telah membawa partisipasi masyarakat dan
mediator sebagai salah satu kumponen penting selain aparat penegak
hukum. Gagasan yang digunakan dalam konsep restorative justice
merupakan gagasan tradisional seperti pemulihan dan pencegahan
kejahatan untuk menjadikan hukuman pidana lebih demokratis dan
manusiawi. Hal ini membuktikan bahwa keadilan restoratif lebih
mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahannya.
Dalam penulisan tesis ini juga ditemukan hambatan para
penegak hukum dalam menindak pelaku tindak pidana anak yang
masih dibawah umur. Masih banyaknya orang tua dari pihak korban
bersifat emosional puas dengan balas dendam dan tidak mau
mendengarkan ajuan perdamaian dari pihak pelaku, menyebabkan
inisiatif aparat penegak hukum dalam melaksanakan konsep ini justru
khawatir melanggar hukum. Hal ini dikarenakan, disamping aparat
penegak hukum harus menegakkan hukum demi keadilan, aparat
penegak hukum juga harus melindungi ABH.
Dengan adanya Undang-Undang Sistem Peradilan Anak yang
baru No 11 Th 2012 tentang peradilan pidana anak, maka dengan
demikian dapat menjadi pedoman sistem peradilan yang baru bagi
anak dengan mengubah konsep retributif menjadi konsep keadilan
restoratif.
148
B. Saran
Pertama, upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan
hukum apabila diberlakukan secara konkrit baik substansi, struktural
maupun kultural diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan maka
akan menciptakan mekanisme sistem peradilan pidana anak yang
bernuansa restoratif, bervisikan penyelesaian konflik dan mempunyai
misi keadilan bagi semua kepentingan, terutama the best interest of child.
Kedua, untuk para penegak hukum sangat diperlukannya
koordinasi atau persamaan resepsi dengan masyarakat setempat (yang
sedang berurusan dengan hukum baik orang tua pelaku maupun orang
tua korban, ketua RT atau orang yang dianggap penting untuk bisa
mendamaikan keduanya). Dalam menentukan hukuman yang terbaik
bagi anak seharusnya diadakan forum mediasi/ musyawarah, karena
perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana menjadi
suatu permasalahan yang wajib untuk diperhatikan mengingat anak
dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan masih memiliki
sifat labil. Ketiga, apabila forum mediasi tidak berhasil dan putusan sudah
berlanjut ke dalam ruang sidang maka di dalam forum sidang
seharusnya orang tua diikut sertakan baik orang tua pelaku maupun
orang tua korban. Keduanya harus mengikuti persidangan sampai
adanya putusan hakim atas pelaku anak. Hal ini sangat dibutuhkan
pada psikologi anak, agar dia tidak merasa menanggung beban
kesalahnnya sendirian, karena perbuatan pidana yang dilakukan oleh
anak tidak sepenuhnya murni kesalahan anak. Orang tua juga harus
bertanggung jawab atas kesalahan anaknya.
Keempat, sistem restorative justice dalam Islam seperti
kompensasi (diyat), konsiliasi (s}ulh}) dan pengampunan (‘afwu)
merupakan klasifikasi hukuman yang paling bisa menerima pendekatan
rekonsiliasi korban dan pelaku, resolusi konflik, meredam kemarahan,
dan kompensasi mengandung banyak unsur keadilan restoratif. Hal ini
dapat menjadi inspirasi bagi hukum pidana positif yang berlaku di
Indonesia.
Penulis menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang
sifatnya konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Hasil yang digagas
tentang kebijakan dan implementasi restorative justice pada kasus
149
pidana anak perlu untuk dilanjutkan dan dibuktikan dengan penelitian
lainnya dan semoga penelitian ini bisa menjadi inspirasi bagi peneliti
selanjutnya dalam kajian hukum.
150
151
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abu Yasid. Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum Islam- Hukum Barat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Ami>r, ‘Abdul Azi>s. at-Ta‘zi>r fi as-Shari’ah al-Islamiyyah. Beirut : Da>r
al-Fikr al-‘Arabi>, 1976.
Ammar, Nawal H. Restorative Justice in Islam: Theory and Practice - The spiritual Roots of Restorative justice, edited by Michael
L. Hadley. Albany: State University of New York Press,
2001.
al-Andalusy, Imam al-Qa>ḍi Abu> al-Wali>d Muh}ammad ibn Aḥmad ibn
Muh}ammad ibn Aḥmad ibn Rushd al-Qurṭubi>. Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtas}id. Beirut : Da>r al-Fikr,
1995.
Anshori, Ibnu. Perlindungan Anak dalam Agama Islam. Jakarta: KPAI
2006.
Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan. Semarang: Penerbit Pustaka Magister Semarang,
2010.
‘Audah, ‘Abdul Qa>dir. at-Tashri>‘ al-Jina>’i> al-Isla>mi> Muqa>rana>n bi al-Qanu>n al-Wad}‘i>. Beirut: ar-Risa>lah, 1997.
al-Bahu>t}i>, Mansu>r ibn Yu>nu>s. Ar Raud} al-Murbi’ bi Sharh}Za>d al- Mustaqni>. Beirut : Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1996.
Baidhawy, Zakiyuddin.Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
al-Baihaqi,Abu Bakar Ahmad bin Husen bin Ali. Sunan Saghir. Beirut:
Da>r al-Kita>b al-Islami>yah, 1998.
Braithwaite, John. Restorative Justice and Responsive Regulation. Oxford: University Press, 2002.
Chawazi, Adami. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2001.
Del Carmen, Rolando V and Chald R. Trulson. Juvenile Justice: The System, Process and Law. Thomson: Wadsworth, 2006.
152
Dewi, DS. dan Fatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. Depok:
Indie Publishing, 2011.
Hosen, Ibrahim. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: CV
Putra Harapan, 1990.
Ibn Farhu>n, Burha>n ad-Di>n Abi> ar-Rifa>’i> Ibra>him. Tabshirrah al-Hukka>m fi Us}u>l al-Aqd}i>yah wa Mana>hij al-Ah}ka>m. Beirut:
Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Ibn Hanbal, Imam Ahmad. Musnad. Cairo: Darussalam, 2008.
al-Jarda>ni>, Muhammad ‘Abdulla>h. Fath al-‘Alla>m bi Syarh} Mursyid al-Ana>m. Cairo: Da>r al-Sala>m, 1990.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia.
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008.
. Tradisi Hukum Indonesia. Cianjur: IMR Press, 2012.
Marlina. Peradilan Pidana anak di Indonesia- Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT Refika
Aditama, 2009.
Mufti>, Muh}ammad Ah}mad dan Sa>mi> S}a>lih} al-Waki>l.H}uqu>q al-Insa>n fi> al-Fikr as-Siya>si> al-Gharbi> wa ash-Shar‘i> al-Isla>mi>. Beirut:
Da>r an-Nahd}ah al-Islami>yah, 1992.
Mukhaimar, Fua>d ‘Ali>.ash-Shaba>b wa Qada>ya> al-‘As}r. Cairo: al-
Jam’i>yah ash-Shar’i>yah ar-Rai>si>yah, 1993.
Muladi, ‚Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan
Pidana dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak‛. Materi Kuliah Program Magister Hukum Universitas Diponegorodan Universitas Semarang. November 2013.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
an-Na’im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Terj. Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right and International Law. Penerjemah Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany.
Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2004.
Nurrohman. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Al-Kasyaf, 2007.
153
Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana. Bandung:Nusa
Media, 2011.
Perlindungan Anak dan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Jakarta: Permata Press, 2013.
Ramzy, Ahmad. ‚Perdamaian dalam Hukum Pidana Islam dan
Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaruan
Hukum Pidana di Indonesia‛. Tesis Hukum Universitas
Indonesia, 2012.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah juz 2. Beirut: Dār al-Fikr, 1998.
Santoso, Topo.Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema
Insani, 2003.
Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2009.
as-Shafi’ī, Muhammad Idris. al-Um juz 6. Cairo: al- Faniyah
Muttahidah, 1961.
Sinaga, Ali Imran. ‚Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Hukuman
Ta’zīr Umar ibn al-Khattab‛. Disertasi Program Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
Suma, Muhammad Amin. Dkk. Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Supeno, Hadi.Kriminalisasi AnakTawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito,
1980.
Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Pustaka
Mahardika, 2013.
Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti,
2009.
Zakaria, Mulyadi. ‚Sistem Peradilan Anak di Indonesia dalam
Perspektif Hukum Islam‛ (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011), 190-191.
Zernova, Margarita. Restorative Justice : Ideals and Realities.
England: Ashgate Publishing, 2007.
Zuhaili>, Wahbah.al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh. Beirut: Da>r al-Fikr,
2007.
154
JURNAL :
Ammar, Nawal H. and Robert R. Weaver. ‚Crime, Punishment, and
Justice Among Muslim Immates‛. African Journal of Criminology and Justice Studies Vol 2 No 2. November 2006.
http://www.umes.edu/assets/0/22/910/9CB2417A-689E-
4A57-9397-AC2DF9A271A8.pdf.
Arief, Barda Nawawi. ‚Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di
Luar Pengadilan‛. Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance. Inter Continental Hotel. Jakarta: 27 Maret 2007.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=
web&cd=1&cad=rja&ved=0CCYQFjAA&url=http%3A%2F
%2Fbardanawawi.files.wordpress.com%2F2009%2F12%2Fm
ediasi-penal-edit-30-10-
20081.doc&ei=c2NOUumHB4a3kAXW-
IHgDA&usg=AFQjCNHZyYYFgEfZyai7huKwaMRKN5ki-
Q&bvm=bv.53537100,d.dGI. Asgart, Sofian Munawar. Dkk. ‚Keadilan Restoratif Bagi Anak
Berhadapan Dengan Hukum (Kasus Jakarta, Surabaya,
Denpasar dan Medan)‛. Laporan Penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. 2011.
https://www.academia.edu/4453465/YLBHI_Keadilan_Restor
atif_bagi_Anak_yang_Bermasalah_dengan_Hukum_ABH_La
poran_Penelitian_2011_.
Barnsdale Lee and Moira Walker. ‚Examining The Use and Impact of
Family Group Conference‛. Social Work Research Center University of Stirling. March 2007.
http://www.scotland.gov.uk/Resource/Doc/172475/0048191.p
df.
Bazemore, Gordon and Mark Umbreit. ‚A Comparison of Four
Restorative Conferencing Models‛. Juvenile Justice Bulletin. Office of Justice Programs: February 2001.
https://www.nttac.org/views/docs/jabg/balancedRestoreJustic
e/comparison_four_rc_models.pdf.
. ‚Conferences, Circles, Boards, and Mediations: Restorative Justice
and Citizen Involvement in the Response to Youth Crime‛.
OJJDP Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention Bulletin. September, 1999.
155
http://www.cehd.umn.edu/ssw/rjp/resources/rj_dialogue_resou
rces/Other_Approaches/Conferences_Circles_Boards_Mediati
ons.PDF.
Bazemore, Gordon. ‚Crime Victims and Restorative Justice in
Juvenile Courts: Judges as Obstacle or Leader?‛. Western Criminology Review. 1998.
http://wcr.sonoma.edu/v1n1/bazemore.html.
Caputo, Tullio and Michel Vallee. ‚A Comparative Analysis of Youth
Justice Approaches‛. Centre for Initiatives on Children, Youth and Community Carleton University, 2007.
http://www.children.gov.on.ca/htdocs/English/topics/youthan
dthelaw/roots/volume4/comparative_analysis.aspx.
Daly, Kathleen. ‚The Limits of Restorative Justice‛. 15 January 2005.
http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0013/50314/
rj_paper3_the_limits_of_rj.pdf.
. ‚Restorative Justice: The Real Story‛. School of Criminology and Criminal Justice, Griffith University,
Brisbane, Queensland, Australia (Version Revised, 12 July
2001)
http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/50321/
kdpaper12.pdf.
Dewi, DS. Restorative Justice Diversionary Schemes and Special
Children’s Court in Indonesia. http://www.general-
files.org/go/139189414500.
. ‚KY (Komisi Yudisial) Perlu Meriset Hakim yang
Menerapkan Keadilan Restoratif‛. Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan Komisi Yudisial Vol 4 No 4. Januari-
Februari 2012.
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-
februari-2012.pdf.
Dzur, Albert W. ‚Civic Implications of Restorative Justice Theory:
Citizen Participation and Criminal Justice Policy‛. Journal of Social Deliberation : The Practice of Restorative Justice, Vol
36 Issue 3/4. Dec 2003. http://e-
resources.pnri.go.id:2058/docview/221329511?accountid=257
04.
Fox, Darrell James. ‚Restorative Justice The Current Use of Family
Group Conferencing in the British Youth Justice System‛.
IUC Journal of Social Work Theory and Practice, issues
156
10.2004/2005.
http://www.bemidjistate.edu/academics/publications/social_w
ork_journal/issue10/articles/3_justice.htm.
George, Ronald M. ‚Balanced and Restorative Justice‛. Council of California Administratif Office of The Courts, 2006.
http://www.courts.ca.gov/documents/BARJManual3.pdf.
Ghani, Nik Abdul Rahim NikAbdul. Dkk.Mas}lah}ah as a Source of Islamic Transactions (Mu'amalat).http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/10121
96427/13F4615F5FC7739BB8D/1?accountid=25704.
Greenwood, Jean. ‚The Circle Process : A Path for Restorative
Dialogue‛. Center for Restorative Justice and Peacemaking.
October 2005.
http://www.cehd.umn.edu/ssw/rjp/resources/rj_dialogue_resou
rces/Peacemaking_Healing_Circles/The_Circle_Process.pdf.
Hadisuprapto, Paulus. Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang
Kriminologi pada Fakultas Hukum UNDIP Semarang.
‚Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Datang‛. 18 Februari 2006.
http://eprints.undip.ac.id/336/1/Paulus_Hadisuprapto.pdf.
Hanson, Melisa and others, eds. Family Group Conference Facilitators Manual.http://www.nrcpfc.org/webcasts/archives/05/training
manualnov04.pdf.
Hascall, Susan C. ‛Restorative Justice in Islam: Should Qiṣaṣbe
Considered a Form of Restorative Justice‛. Berkeley Journal of Middle Eastern and Islamic Law no 11. 2012.
http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1005&c
ontext=susan_hascall.
Her Majesty’s Inspectorate of Constabulary (HMIC), Her Majesty’s
Inspectorate of Probation (HMI Probation), Her Majesty’s
Crown Prosecution Service Inspectorate (HMCPSI) and Her
Majesty’s Inspectorate of Prisons (HMIP). ‚Facing Up to
Offending: Use of Restorative Justice in The Criminal
Justice‛. Criminal Justice Joint Insepction.September 2012
http://www.hmic.gov.uk/media/facing-up-to-offending-
20120918.pdf#page=4&zoom=auto,0,726.
Huntsman, Leone. ‚Family Group Conferencing in a Child Welfare
Context‛. NSW Department of Community Service. July
2006. http://www.community.nsw.gov.au.
157
Iksan, Mokhamad. Dkk. ‚Perlindungan Hukum Terhadap Tahanan
Anak yang Melakukan Tindak Pidana‛. 2013.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=
web&cd=1&ved=0CCkQFjAA&url=http%3A%2F%2Fhuku
m.ub.ac.id%2Fwp-
content%2Fuploads%2F2013%2F05%2FJURNAL-
IKHSAN2.docx&ei=hZcyUsO-
NJCurAfG9IBg&usg=AFQjCNEi6PkHGpvm1VPMZXoqGzc
y1FlS0A&bvm=bv.52164340,d.bmk.
Kholiq, M. Abdul. ‚Tinjauan Yuridis Tentang Perbedaan Wan
Prestasi, Penipuan, Penggelapan‛.
http://pkbh.uii.ac.id/analisa-hukum/analisa-hukum/tinjauan-
yuridis-tentang-perbedaan-wan-prestasi-penipuan-dan-
penggelapan.html. Terbit online 23 Januari 2011.
Kurniasari, Alit. Dkk. ‚Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum‛.
Hasil penelitian Puslitbang Kessos. Departemen Sosial RI,
2007.
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb
5c4407e88859dc5a.pdf.
Kusumaningrum, Santi. dkk. ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial
untuk Anak di Indonesia‛. Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia, 2011.
Latimer, Jeff and others, eds. ‚The Effectiveness of Restorative Justice
Practices‛. The Prison Journal, Vol. 85 No. 2. June 2005.
http://www.d.umn.edu/~jmaahs/Correctional%20Assessment/rj
_meta%20analysis.pdf.
Lewis, Ted Gordon. ‚A Partnership Model for Balancing Community
and Government Resources for Juvenile Justice Service‛.
Journal of Juvenile Justice, Vol 1 Issue 1. Fall 2011.
http://www.journalofjuvjustice.org/JOJJ0101/article02.htm.
Mardiah, Ainal. Dkk. ‚Mediasi Penal sebagai Alternatif Model
Keadilan Restoratif dalam Pengadilan Anak‛. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syia Kuala vol. 1, no. 1.
Agustus 2012.
http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2012/A
gustus/MEDIASI%20PENAL%20SEBAGAI%20ALTERNA
TIF.pdf.
158
Ministry of Children and Family Development (Child and Family
Development Division). Family Group Conference Reference Guiede. British Columbia, August 2005.
http://www.mcf.gov.bc.ca/child_protection/pdf/fgc_guide_int
ernet.pdf.
Mulasari, Laila. ‚Kebijakan Formulasi Tentang Tindak Pidana
Kesusilaan Di Dunia Maya Dalam Perspektif Hukum Islam‛.
Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41 No 1 (Januari 2012).
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/4165
(Diakses pada 28 Januari 2014).
Mulyadi, Mahmud. ‚Perlindungan Terhadap Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum : Upaya Menggeser Keadilan Retributif
Menuju Keadilan Restoratif‛. Jurnal Equality vol 13 no 1,
Februari 2008.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18419/1/equ-
feb2008-13%20%284%29.pdf.
,‚Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam
Penegakan Hukum Pidana Indonesia‛. 2006.
http://library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf.
Priyatno, Dwidja. ‚Pemidanaan Untuk Anak Dalam Konsep
Rancangan KUHP (Dalam Kerangka Restorative Justice)‛.
Makalah disampaikan dalam Rangka Kuliah Umum di
Pascasarjana UNSUR, Cianjur, 18 Juli 2009.
www.unsur.ac.id/file/Jurnalrestoratif2005%20R004.doc. Patton, William Wesley. ‚Contemporary Juvenile Justice System And
Juvenile Detention Alternatives‛. Juvenile Justice System. http://education.stateuniversity.com/pages/2141/-.
Peebles, David. Community Reparative Boards.
https://www.ncjrs.gov/html/ojjdp/2001_2_1/page2.html
(accessed June 10, 2013).
Posner, Richard A. Retribution and Related Concepts of Punishment.
The journal of Legal Studies Vol 9 no 1 (Jan 1980 –jstor.org).
Qafisheh, Mutaz M. ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A
Contribution to the Global System‛. International Journal of Criminal Justice Sciences vol 7 issue 1, January-June 2012.
http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/mutazaicjs2012istissue.pdf.
al-Qara>d}awi>, Yu>su>f. The Lawful and The Prohibited in Islam. London:
al-Biir Foundation, 2003.
159
Rideout, Glenn and others, eds. ‚Measuring the Effect of Restorative
Justice Practices: Outcomes and Contexts‛. Journal of Educational Administration and Foundation Vol 21 Issue 2,
2010.
http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/896272633/13DC3
B704F5BE73CD5/9?accountid=25704.
Ross, Alf. On Guilty, Responsibility and Punishment. Steven and Sons
Ltd., London, 1975.
Sambas, Nandang. ‚Kebijakan Legislatif Sistem Pemidanaan Sebagai
Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Indonesia‛.
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol 19 No 3. Juli 2012.
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/JurnalNo
-3-Vol-19-JULI-2012/Nandang-SMBS-Full-Text-No-3-Vol-
19-JULI-2012.pdf.
Shabir, M. ‚Relevansi Hukuman Takzir Dalam Fikih Dengan
Hukuman Sebagai Alat Pendidikan‛. Jurnal Lentera Pendidikan Vol 11 no 2, Desember 2008. http://ejurnal.uin-
alauddin.ac.id/artikel/06%20Relevansi%20Hukuman%20Takz
ir%20dalam%20Fikih%20-%20M%20Shabir%20U.pdf.
Soeharno. ‚Benturan Antara Hukum Pidana Islam Dengan Hak-hak
Sipil dalam Perspektif Hak Asasi Manusia‛. Lex Crimen Vol
1 No 2. April- Juni 2012.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/4
17.
Takagi, Paul and Gregory Shank. ‚Critique of Restorative Justice‛.
Social Justice Vol 31 No 3. 2004.
http://www.socialjusticejournal.org/pdf_free/97Takagi.pdf.
Tambalean, Pingkan F. ‚Penegakan Hukum atas Tindak Pidana
Pencurian yang dilakukan oleh Anak di bawah Umur‛, Lex et Societatis Vol 1 No 2 (April-Juni 2013).
Umbreit, Mark S. ‚Mediation of Youth Conflict :A Multi System
Perspective‛. Child and Adolescent Social Work Vol 8 No 2.
April 1991.
http://link.springer.com/article/10.1007%2FBF00757555#page
-1.
. ‚Victim Sensitive Victim Offender Mediation Training Manual‛. An International Resource Center in Support of Restorative Justice Dialogue, Research and Training Center for Restorative Justice and Mediation, 1998.
160
http://www.cehd.umn.edu/ssw/rjp/resources/rj_dialogue_resou
rces/Training_Resources/VOM.
Utomo, Setyo. ‚Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana yang
Berbasis Restorative Justice‛. Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur vol V no 01. 2010.
http://repository.unsur.ac.id/unggah.php?file=berkas/7.%20SI
STEM%20PEMIDANAAN%20DALAM%20HUKUM%20PI
DANA%20YANG%20BERBASIS%20RESTORATIVE%20J
USTICE.pdf.
Van Ness, Daniel W. ‚An Overview of Restorative Justice Around the
World‛. International Journal Workshop Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice. Bangkok,
Thailand, 22 April 2005.
http://www.icclr.law.ubc.ca/publications/reports/11_un/dan%
20van%20ness%20final%20paper.pdf.
Weatherburn, Don and Megan Macadam. ‚A Review of Restorative
Justice Responses to Offending‛. Evidence Base, issue 1,
2013 (NSW Bureau of Crime Statistics and Research)
http://journal.anzsog.edu.au/publications/4/EvidenceBase2013
Issue1.pdf.
Wenzel, Michael and others, eds. ‚Retributive and Restorative
Justice‛. Law and Human Behavior issue 5 vol 32. 24
October 2007.
http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/204150778/abstract
/14066C48066625370D7/2?accountid=25704.
Wismayanti, Yanuar Farida. ‚Model Penanganan Anak Berkonflik
Hukum‛. Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Informasi Vol 12 No 03. 2007.
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/94184bf44dcc601
97750f862750921c1.pdf.
Yasin, Muhammad. Dkk. ‚Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif‛.
Buletin Media Informasi Huukm dan Peradilan Komisi Yudisial Vol 4 No 4. Januari-Februari 2012.
http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-
februari-2012.pdf.
Zehr, Howard. ‚Doing Justice Healing Trauma : The Role of
Restorative Justice in Peacebuilding‛. South Asian Journal of Peacebuilding Vol 1 No 1, Spring 2008.
http://www.wiscomp.org/pp-v1/Howard_Zehr_Paper.pdf.
161
Ziadeh, Farhat J. ‚Uṣūl al Fiqh‛. Journal Oxford Islamic Studies,
http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0831?
_hi=3&_pos=3#match.
Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga
Adat di Indonesia. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol 6 No II. Agustus 2010.
http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/viewFile/1114/102
2.
WEBSITE :
,Center for Restorative Justice and Peacemaking. ‚Restorative
Justice and Islam‛.
www.cehd.umn.edu/ssw/RJP/PDFs/PowerPoint/Islam-and-
Restorative-Justice.ppt (Accessed November 28, 2013).
,Kamus Besar Bahasa Indonesia,
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (diakses 15 Juni
2013).
,Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi
Pada Korban Dalam Bidang Hukum Pidana Formil.
http://eprints.undip.ac.id/35224/3/HasilPenelitian.pdf (diakses
10 Maret 2013).
,Komisi Nasional Perlindungan Anak.
‛Menggugat Peran Negara, Pemerintah, Masyarakat Dan
Orang Tua Dalam Menjaga Dan Melindungi Anak‛, 21
Desember 2011.
http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-
tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/ (diakses 19
Oktober 2012).
,Batas Usia Anak Dapat Dipidana Naik,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/b
atas-usia-anak-dapat-dipidana-naik, Terbit Online 25 Februari
2011 (Diakses pada 19 Oktober 2012).
,YWCA Madison Racial Justice Resource Guide.
http://www.ywcamadison.org/atf/cf/%7B2487BD0F-90C7-
49BC-858D-CC50637ECE23%7D/Restorative. (accessed
May 14, 2013).
Aries, Albert. ‚Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan
Restoratif‛,
162
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt519065e9ed0a9/
penyelesaian-perkara-pencurian-ringan-dan-keadilan-
restoratif, Terbit Online Kamis 13 Juni 2013 (Diakses pada 8
Oktober 2013).
Dewi, DS. ‚Restorative Justice, Diversionary Schemes and Special
Children Courts in
Indonesia‛.http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInfor
masi/Attachments/61/Restorative%20Justice,%20Diversionary
%20Schemes%20and%20Special%20Children%E2%80%99s%
20Courts%20in%20Indonesia.pdf (Diakses pada 8 Februari
2014).
Gatra, Sandro. ‚Undang-Undang Sistem Peradilan Anak Disahkan‛.
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/14574571/UU.Sis
tem.Peradilan.Pidana Terbit Online 3 Juli 2012 (Diakses pada
19 Oktober 2012).
https://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=3842.
Implementasi Paradigma Restorative Justicedalam Sistem
Pemidanaan di Indonesia. (Diakses pada 8 Februari 2014).
http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ruu-peradilan-pidana-anak-
lebih-manusiawi-bukan-upaya-meringankan-hukuman/, terbit
online 02 Juli 2012 (diakses pada 21 November 2013).
http://oxforddictionaries.com/us/definition/american_english/retributiv
e%2Bjustice (accessed July 30, 2013).
http://www.cscsb.org/restorative_justice/retribution_vs_restoration.ht
ml. (accessed May 14, 2013).
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt522dd6efdb3fa/pakar--
tanggung-jawab-pidana-tak-bisa-dialihkan terbit online 9
September 2013, (diakses 26 September 2013).
http://www.nij.gov/topics/courts/restorative-justice/promising
practices/victim-offender-mediation.htm, 5 desember, 2007
(accessed March 6, 2013).
http://www.wisegeek.org/what-is-retributive-justice.htm (accessed
July 30, 2013).
http://yustisi.com/2012/04/indonesia-sudah-waktunya-punya-
peradilan-restoratif/ Terbit Online 4 Maret 2013 (Diakses 2
Desember 2013).
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/27/08455736/Terinspiras
i.Film..Anak Reporter Ambrosius Harto. Terbit Online Sabtu
27 April 2013.
163
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=325705 Reporter
Dwi Putro. Terbit Online 1 Mei 2013.
Hukum Online, ‚Keadilan Restoratif Dalam Putusan-Putusan MA‛,
Terbit online Jum’at 27 April 2012.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9ac62885275/ke
adilan-restoratif-dalam-putusan-putusan-ma (Diakses pada 21
Desember 2013).
Majidah, Alfi. Hukum Pidana dan Perdata Bagi Anak.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/29/hukum-pidana-
dan-perdata-bagi-anak-64125.html (Diakses pada 10 Oktober
2012).
Makmur. ‚Anak Perlu Mendapat Perlindungan- Kenali, Pahami dan
Lindungi‛. Organisasi Hukum dan Humas. Kementerian
Sosial: Rabu, 28 April 2010.
http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=pri
nt&sid=743 (Diakses 9 Oktober 2013).
Rivai, Andi Wijaya. Bapas Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Anak. http://www.ditjenpas.go.id/pasnew/article/bapas-
dalam-perspektif-sistem-peradilan-pidana-anak. Terbit Online
Kamis 15 Agustus 2013 (Diakses pada 6 Desember 2013).
Sihite, Ezra. Kompas, 06 januari 2012.
http://www.beritasatu.com/mobile/nasional/24715-kasus-
sandal-bukti-mendesaknya-aturan-sistem-peradilan-
anak.html. (Diakses pada 16 Oktober 2012).
Susetyo, Heru. ‚Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Sistem
Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice‛. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. 2012.
http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_7.pdf (Di
akses pada 20 Desember 2013).
Yurnaldi. Pengadilan Anak Bawah Umur di PN Tanggerang. Kompas,
31 juli 2009.
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/07/31/18511995/J
anggal. (Diakses pada 16 Oktober 2012).
Zulfa, Eva Achjani. ‚Restorative Justice di Indonesia-Peluang dan
Tantangan Penerapannya‛.
http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-
indonesia.html (diakses pada 13 Juni 2013).
164
,Komparasi Penyelesaian Sengketa Alternatif di Asia Pacific.
http://www.pembaruanperadilan.net/v2/2012/10/komparasi-
penyelesaian-sengketa-alternatif-di-asia-pacific/. Terbit
Online 05 Oktober 2012 (Diakses pada 16 Februari 2014).
, Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, ‚Fatwa
Tentang Hukuman Mati Dalam Tindak Pidana Tertentu‚
http://id.wikisource.org/wiki/Fatwa_Majelis_Ulama_Indonesia
_Nomor_10/MUNAS_VII/MUI/14/2005, ditetapkan di Jakarta
28 Juli 2005.
165
GLOSSARIUM
A
‘Aqila : adalah keluaga yang membantu dalam kompensasi
terhadap korban dan menahan terjadinya konflik. Hal ini
dapat diartikan sebagai keluarga inti seperti: orang tua,
anak-anak, anak perempuan, saudara laki-laki dan
perempuan, paman, sepupu, seluruh suku dan mertua.
ABH : singkatan dari Anak Berhadapan dengan Hukum,
maksudnya adalah seorang anak yang sedang terlibat
dengan masalah hukum atau sebagai pelaku tindak pidana,
sementara anak tersebut belum dianggap mampu untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya, mengingat
usianya yang belum dewasa dan sedang bertumbuh, dan
berkembang.
ADR : singkatan dari Alternative Dispute Resolution adalah
alternatif penyelesaian sengketa yang banyak dikenal pada
ranah hukum privat atau hukum perdata. Apabila dikaji
lebih lanjut alternatif penyelesaian ini tidak hanya
dilakukan di ranah hukum perdata melainkan juga di ranah
hukum pidana. ADR menjadi pedoman bagi penyidik untuk
memberlakukan alternatif penyelesaian perkara sebelum
dilakukan proses pidana.
Advokat : secara bahasa berasal dari bahasa latin yaitu advocare,
yang berarti to defend (mempertahankan), dalam bahasa
Inggris pengertian advokat diungkapkan dengan kata
advocate yang berarti to defend by argument (mempertahankan dengan argumentasi). Dalam kamus
hukum advokat diartikan sebagai pembela, seorang ahli
hukum yang pekerjaannya mengajukan dan membela
perkara di dalam atau di luar sidang pengadilan. Sedangkan
menurut UU advokat Indonesia menerangkan bahwa
advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan undang-undang ini.
Afdoening buiten process atau settlement out of judiciary: adalah
alternatif proses penyelesaian perkara di luar pengadilan
yang dilakukan pada masa kolonial belanda.
166
al-‘Afwu : secara etimologi al-‘afwu berarti memaafkan atau memberi
maaf kepada orang lain, juga dapat berarti menahan diri,
menghapuskan dan menggugurkan kesalahan orang lain
padanya. Secara terminologi adalah sikap memberi maaf
dengan lapang dada yakni meringankan dan menggugurkan
kesalahan orang lain pada dirinya, serta tidak menyimpan
rasa dendam atau sakit hati dalam pergaulan antar
manusia.
Asas Oportunitas: merupakan salah satu asas hukum acara pidana
yaitu asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum
memiliki hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah
perkara.
B
al-Baghyu: menurut bahasa adalah memilih sesuatu atau minta sesuatu
yang tidak halal atau melanggar hak. manusia tanpa alasan
yang benar. al-Baghyu disebut juga pemberontakan yaitu
orang-orang yang menyalahi imam/ pemimpin dengan cara
tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya.
Bapas : adalah Balai Pemasyarakatan yaitu unit pelaksana teknis
pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi
penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan,
dan pendampingan.
Bulu>gh : adalah jama’ dari ba>ligh, merupakan istilah dalam hukum
Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai
kedewasaan. Ba>ligh diambil dari bahsa arab yang secara
bahasa memiliki arti ‚sampai‛ maksudnya telah sampainya
usia seseorang pada tahap kedewasaan.
BKA : adalah singkatan dari Bimbingan Klien Anak. Klien Anak
adalah Anak yang berada di dalam pelayanan,
pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan
Pembimbing Kemasyarakatan.
BHT : adalah singkatan dari Berkuatan Hukum Tetap maksudnya
adalah putusan hakim yang merupakan proses terakir
dalam proses perkara perdata maupun pidana di
pengadilan.
C
Circles : adalah salah satu model keadilan restorative dengan cara
berbicara bersama-sama, dihormati dan diperlakukan sama.
167
Peserta didorong untuk berbagi rasa tanggung jawab
bersama untuk kesejahteraan masyarakat dan individu di
dalamnya, dan pemahaman bahwa apa yang terjadi pada
seseorang mempengaruhi semua.
CRC : adalah singkatan dari Convention on the Right of the Child
atau Konvensi Hak Anak (KHA) adalah konvensi
internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan cultural anak-anak. Negara-negara
yang meratifikasi konvensi internasional ini terikat untuk
menjalankannya sesuai dengan hukum internasional.
D
Diskresi : adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang
menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan
meneruskan perkara atau menghentikan perkara,
mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakannya.
Diversi : atau pengalihan adalah proses yang telah diakui secara
internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam
menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Diyat : merupakan ganti rugi dalam bentuk uang dengan jumlah
yang banyak yang diberikan pelaku terhadap korban untuk
melakukan jalan damai dalam sebuah permasalahan
peradilan.
E
Efektivitas: pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan
yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan
menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya.
Efektifitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditentukan.
F
Fahishah : artinya keji atau jelek merupakan perlakuan yang dianggap
sangat jelek dan keji oleh Syari’at, oleh akal sehat dan
fitrah manusia karena mengandung pelanggaran terhadap
hak Allah, hak wanita, hak keluarganya atau suaminya, dan
merusak kehidupan rumah tangga serta tercampurnya
(kacaunya) nasab keturunan.
168
Fairness : merupakan salah satu tipe aliran retributif yang
menyatakan bahwa penjatuhan pidana dimaksudkan
sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota
masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang
merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari
orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima
ganjarannya.
FGC : adalah singkatan dari Conferencing/ Family Group Conferencing, merupakan proses perencanaan penetapan
hukuman di mana anggota anak atau keluarga dekat
pemuda korban datang bersama-sama dengan kerabat dan
anggota masyarakat anak yang terlibat (pelaku/ terdakwa)
untuk mengembangkan sebuah rencana untuk memutuskan
kepentingan terbaik untuk anak yang melakukan tindak
kriminal.
G
Gara>r : adalah keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan
untuk merugikan pihak lain. Gara>r merupakan suatu akad
yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya
kepastian baik mengenai ada atau tidak adanya objek akad,
besar kecilnya jumlah maupun kemampuan menyerahkan
objek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Seperti
melakukan jual beli terhadap burung yang masih di udara
atau ikan yang masih di air.
Gonorchoo: atau Gonorea adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang
menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum,
tenggorokan dan bagian putih mata.
H
Hira>bah : adalah salah satu bentuk perkara kriminal (jarīmah) yang
lebih dahsyat dari pembunuhan semata. Secara tata bahasa
hirabah artinya perang, secara istilah adalah suatu
perbuatan yang dimurkai oleh Allah yaitu melakukan
gabungan dari perampasan, penteroran, pembunuhan dan
juga merusak di muka bumi.
169
H}irz bi al Maka>n: yaitu tempat penyimpanan harta yang berbentuk
bangunan seperti rumah, gedung, toko, kandang dan
sebagainya yang berbentuk bangunan.
H>{irz bi Nafsihi: yaitu penyimpanan harta yang dijaga oleh diri sendiri
seperti cincin yang sedang dipakai.
H}irz bi al H}a>fiz} atau H}irz bi goirihi: yaitu suatu tempat yang bukan
untuk menyimpan barang tetapi tempat itu bisa dijadikan
h}irz jika ada yang menjaganya seperti di tempat parkiran,
lapangan, masjid dan lain-lain.
I
Ihtila>m : adalah keluarnya air mani ketika tidur atau ketika bangun.
J
Jari>mah : berasal dari bahasa arab yang artinya perbuatan dosa atau
tindak pidana. Dalam terminologi hukum Islam jari>mah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang
menurut syara’ dan ditentuka hukumannya oleh Tuhan,
baik dalam sanksi-sanksi yang sudah ditetapkan
hukumannya maupun sanksi-sanksi yang belum ditetapkan
hukumannya.
Jari>mah H}udu>d: adalah jari>mah yang diancam hukuman h}ad yaitu
hukuman yang telah ditentukan oleh syara’dan menjadi
hak Allah, artinya bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban
atau keluarganya).
Jarimah Qis}a>s}: adalah jari>mah yang diancam dengan hukuman qis}a>s}
atau diyat dan keduanya adalah hukuman yang ditentukan
oleh syara’. Perbedaan dengan hukuman h}ad adalah bahwa
h}ad merupakan hak Allah, sedangkan qis}a>s} dan diyat
adalah hak manusia dalam artian bahwa hukuman tersebut
bisa dihapuskan dan dimaafkan oleh korban atau
keluarganya.
Jari>mah Ta‘zi>r: adalah jarīmah yang diancam dengan hukuman ta‘zi>r.
Menurut bahasa adalah ta’di>b atau memberi pelajaran,
sedangkan menurut istilah adalah hukuman pendidikan
atas dosa yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’
dan hukuman diserahkan kepada ulil amri / pemimpin/
170
pihak yang berwenang baik penentuannya maupun
pelaksanaannya.
Jawa>bir : adalah penebus dosa. Hukuman jawa>bir ditetapkan dalam
al-Qur’an dan merupakan hukum yang tetap. Hukum
syari’ah Islam ketika diterapkan kepada orang-orang yang
melakukan tindak kriminal dan ketika pada mereka
diberlakukan hukum syari’ah maka dosa mereka di dunia
telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai jawa>bir.
Jild : adalah hukuman dera sanksi bagi pelaku zina yang belum
menikah/ masih bujang.
JPU : adalah singkatan dari Jaksa Penuntut Umum yaitu jaksa
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
K
Kaffarah : artinya adalah penutup suatu kesalahan/ dosa, maksudnya
adalah denda yang dikenakan kepada orang-orang yang
membatalkan puasanya karena melakukan hubungan suami
isteri di siang hari pada saat bulan ramadhan.
Kasuistik : adalah sebab-sebab timbulnya sesuatu.
Keadilan restoratif: atau yang biasa dikenal dengan restorative justice
merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana
yang melbatkan masyarakat, korban, dan pelaku kejahatan
dengan tujuan agar tercapainya keadilan bagi seluruh pihak
sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama
seperti sebelum terjadi kejahatan dan mencegah terjadinya
kejahatan lebih lanjut.
Keadilan retributif: atau yang biasa dikenal dengan retributive justice
adalah teori keadilan yang menganggap hukuman itu
merupakan respon yang diterima secara moral sebagai
kejahatan dengan penglihatan untuk manfaat kepuasan dan
psikologis yang dapat dilimpahkan kepada pihak yang
dirugikan, teman-teman dan masyarakat. Penekanan utama
pada keadilan retributif adalah penghukuman pelaku atas
apa yang mereka lakukan.
Keadilan distributif: penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi
pelaku kejahatan.
Kompensasi: adalah ganti rugi atau pencarian kepuasan dalam suatu
bidang untuk memperoleh keseimbangan dari kekecewaan
171
dalam bidang lain. Menurut Peraturan Pemerintah No 3 Th
2002 Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan
oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
L
LPAS : adalah Lembaga Penempatan Anak Sementara tempat
sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
LPKA : adalah singkatan dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak,
yaitu merupakan lembaga atau tempat anak menjalani
hukuman. Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila
keadaaan dan perbuatan anak akan membahayakan
masyarakat, pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai
anak berumur 18 tahun.
LPKS : adalah singkatan dari Lembaga Penyelenggara
Kesejahteraan Sosial, fungsinya adalah sebagai lembaga
yang menyelenggarakan proses-proses rehabilitasi
perubahan prilaku khusus terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum.
M
Mas}lah}ah : adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
(keselamatan, dsb). Menurut istilah umum mas}lah}ah
mendatangkan segala bentuk kemanfaatan tau menolak
segala kemungkinan yang merusak. Mas}lah}ah tidak
didasarkan pada penilaian akal manusia yang bersifat
relatif- subyektif dan dibatasi ruang dan waktu tetapi harus
sesuai petunjuk syara’ yang mencakup kepentingan dunia
dan akhirat.
Mediasi : adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan
pihak ketiga yang netral yang tidak berpihak pada salah
satu pihak manapun dan mengambil keputusan yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai
penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.
Minor felonies: perbuatan tindak pidana/ bentuk kejahatan ringan.
Morally justifed: merupakan pembenaran secara moral karena pelaku
kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas
kejahatan yang sudah diperbuatnya.
172
Mud}arrah : atau yang biasa disebut dengan mudarat dalam KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sesuatu yang tidak
menguntungkan atau kerugian.
Mafsadah : yaitu kebinasaan, kejahatan atau perbuatan jahat.
Mukallaf : adalah orang yang dipertanggungjawabkan dengan
kewajiban dan perintah untuk menjalankan hukum
tuntutan agama Islam serta menjauhi laranganNya atas
dasar orang tersebut sudah mencapai usia dewasa dan
mempunya akal (‘a>qil ba>ligh) serta telah sampai seruan
agama (syariat Islam) kepadanya. Orang yang tidak waras
atau gila tidak termasuk mukallaf begitu juga anak kecil
yang belum dewasa (ba>ligh).
N
Nis}a>b : dalam bahasa artinya adalah batasan. Menurut Hukum
Islam dalam hal pencurian seseorang dapat dikenai
hukumanh}ad jika barang yang diambilnya mencapai nis}a>b
(batas minimal pencurian) yaitu ¼ dinar emas atau 3
dirham perak.
P
Proportionality: salah satu aliran retributif yang menyatakan bahwa
pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan
pidana yang dijatuhkan.
Penyidik : adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidikan :adalah kegiatan polisi dalam membuat terang suatu kasus
yang terjadi dengan mengumpulkan alat bukti yang sah,
baik berupa barang bukti, keterangan saksi, keterangan
saksi ahli, surat, dsb.
PH : adalah singkatan dari Penasehat Hukum yaitu mereka yang
memberikan bantuan atau nasihat hukum, baik dengan
bergabung atau tidak dalam suatu persekutuan Penasihat
Hukum, baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang
disebut sebagai Pengacara/Advokat dan Pengacara
Praktek.
173
Pledoi : adalah Pembelaan terhadap tuntutan jaksa penuntut umum.
Kata pledoi berasal dari bahasa Belanda, yaitu Pleidooi
yang artinya pembelaan. Pledoi merupakan upaya terakhir
dari seorang terdakwa atau pembela dalam rangka
mempertahankan hak-hak dari kliennya, membela
kebenaran yang diyakininya, sesuai bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan. Upaya terakhir maksudnya,
upaya dari terdakwa/pembela dalam persidangan perkara
tersebut, sebelum dijatuhkan putusan oleh Pengadilan
Negeri.
Q
Qadhaf : atau tuduhan palsu zina secara bahasa yaitu ramyu shai berarti melempar sesuatu. Menurut istilah syara’ adalah
melempar tuduhan zina kepada orang lain yang karenanya
mewajibkan hukuman had bagi tertuduh. Hukum Islam
juga mengancamkan hukuman yang tak kalah beratnya
bagi seseorang yang melakukan tuduhan berzina kepada
orang lain. Hukuman tersebut tidak dijatuhkan ketika
tuduhannya mengandung kebohongan. Apabila tuduhannya
dapat dibuktikan kebenarannya, maka jari>mah qadzhaf itu
tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang menuduh.
Artinya, bila si penuduh tak dapat membuktikan
tuduhannya karena lemahnya pembuktian atau
kesaksiannya, hukuman qadhaf dijatuhkan bagi si penuduh.
Qatl al-‘amd : pembunuhan dengan sengaja adalah suatu perbuatan
dimana perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa
disertai dengan niat untuk membunuh korban atau
pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang dengan
sengaja dengan menggunakan alat yang dipandang layak
untuk membunuh.
Qatl shibhu al-‘amd : pembunuhan dengan menyerupai sengaja adalah
perbuatan yang sengaja dilakukan oleh seseorang kepada
orang lain dengan tujuan untuk mendidik tanpa diniati
untuk membunuh. Dikatakan pembunuhan semi sengaja
karena mempunyai dua unsur: yang pertama unsur
kesengajaan dilihat dari sengaja berbuat pukul, yang kedua
unsur kekeliruan dalam ketiadaan niat membunuh.
174
Qatl al-khot}o>’ : pembunuhan karena kealpaan penganiayaan, dan
menimbulkan luka/ sakit akibat kealpaan yaitu
pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum
baik dalam perbuatannya maupun objeknya. Pembunuhan
karena kelalaian atau kekeliruan tidak mengandung unsur
sengaja apabila terjadi pembunuhan.
R
Reintegrative Shaming: adalah salah satu teori keadilan restoratif
dengan cara mempermalukan pelaku yaitu dengan cara
pelaku harus mengakui kesalahannya dan diikuti dengan
permintaan maaf dan pertobatan. Dalam hal ini pelaku
akan malu menghadapi korban atas kesalahan yang telah
diperbuatnya dan biasanya mereka meminta maaf dan
berjanji untuk memperbaiki kesalahan serta berniat akan
mengganti kerugian korban apabila korban meminta, tetapi
dalam hal ini pelaku tetap membutuhkan perawatan dan
perlindungan.
Reparative : usaha perawatan untuk merubah perilaku buruk pelaku
tindak pidana menjadi lebih baik. Fungsi reparatif yaitu
fungsi yang memperbaiki atau mencegah terjadinya
kerusakan.
Represif : merupakan upaya pengendalian sosial setelah terjadinya
pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat sehingga
keadaan pulih kembali seperti sediakala.
Requisitor: adalah kesimpulan proses pemeriksaan mulai dari awal
persidangan sampai dengan pembuktian.
Residivis : adalah orang yang pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana dan mengulangi kembali tindak pidana
kejahatan yang mengakibatkan orang tersebut harus
kembali berurusan dengan para penegak hukum dan
persidangan.
Restitusi : Menurut KBBI adalah ganti rugi yaitu memperbaiki
kesalahan dengan mengganti atau memperbarui. Restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian
untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya
untuk tindakan tertentu.
175
Restorative Board/Youth Panel: adalah pertemuan para penegak
hukum berdiskusi dengan pelaku, membicarakan sanksi
yang pantas untuk para pelaku dan berdiskusi dengan
pelaku sampai tercapai kesepakatan tindakan yang akan
ditentukan untuk pelaku. Selanjutnya, pelaku
mendokumentasikan kemajuannya dan petugas
menyampaikan laporan kepada pengadilan atas kepatuhan
pelaku dengan disepakati sanksi.
Riddah : artinya keluar dari agama (kembali kekufuran). Orang yang
semula telah memeluk agama islam dan kemudian ia keluar
dari agama Islam orang yang demikian disebut murtad.
Sebab-sebab orang menjadi murtad adalah karena dua
faktor: Pertama , faktor dari dalam dirinya dan kedua ,
faktor dari luar dirinya.
S
Sari>qah : artinya adalah pencurian yaitu mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi dari tempat yg semestinya.
pengambilan harta selain pada definisi sariqoh di atas tidak
terkategorikan sari>qoh, misal mengambil uang yg
berserakan di jalanan umum, mengambil jam tangan atau
dompet yg tertinggal olh pemiliknya di kamar mandi
umum atau tempat wudhu, mengambil harta secara paksa
pada pemiliknya/ merampok, menjambret, memeras,
korupsi, semua itu tidak memenuhi kriteria sari>qoh yg
kemudian pelakunya tidak dijatuhi h}ad sari>qoh betapapun
harta yg diambilnya mencapai nis}a>bnya.
Shrub al-khamr : atau meminum khamar atau mabuk-mabukan
merupakan kejahatan mengerikan dalam hukum Islam
hukuman yang dianggap hudud dan disampaikan dalam
bentuk 80 cambukan.
SP3 : Surat Perhentian Penyidik Perkara adalah surat yang
dikeluarkan oleh Penyidik Polri yang menetapkan
dihentikannya suatu penyidikan perkara pidana.
Siphilis : adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri spirosetTreponema pallidum sub-spesies pallidum.
Rute utama penularannya melalui kontak seksual; infeksi
ini juga dapat ditularkan dari ibu ke janin selama
kehamilan atau saat kelahiran, yang menyebabkan
176
terjadinya sifilis kongenital. Penyakit lain yang diderita
manusia yang disebabkan oleh Treponema pallidum
termasuk yaws (subspesies pertenue), pinta(sub-spesies
carateum), dan bejel (sub-spesies endemicum).
Stakeholders: adalah kelompok atau individu yang dukungannya
diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup
organisasi.
S}ulh} : secara bahasa berarti menghentikan sengketa. Secara syar’i
adalah kesepakatan yang diperoleh dengan menghilangkan
persengketaan di antara dua orang yang bermusuhan. S}ulh}
hanya dapat dilakukan atas hak-hak manusia yang dimiliki
sebagiannya atas sebagian yang lain, yang mana hak
tersebut dapat digugurkan atau dijual. Adapun hak-hak
Allah yang seperti hukuman had dan zakat, maka tidak
bisa menerima s}ulh}}. Sebab s}ulh} dalam hak Allah caranya
ialah dengan menunaikannya secara sempurna.
SKB : adalah singkatan dari Surat Keputusan Bersama.
T
Ta‘a>quli> : adalah yang bisa diketahui dengan akal. Perbuatan taāqulī
bisa dianalisis secara rasional.
Ta’di>b : Lafal ta’dib setidaknya memiliki empat macam arti, yaitu:
education- pendidikan, discipline- ketertiban, punishment,
chastisement- hukuman, disciplinary punishment-hukuman
demi ketertiban. Pendidikan (ta’di>b) adalah pengisian dan
penanaman adab ke dalam diri manusia, ta’di>b merupakan
bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’di>ban, yang
berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut
istilah ta’dīb diartikan sebagai proses mendidik yang di
fokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak
atau budi pekerti pelajar. Nampaknya, lafal ini lebih
mengarah kepada perbaikan tingkah laku.
Tadli>s : adalah transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak, biasa disebut dengan
penipuan.
Takli>f : penetapan beban atas penerima titah (al-Mukhat}ab). Dalam
arti lain, takli>f ialah tuntutan yang mengandung
pembebanan dan keperberatan. Takli>f merupakan Khit}ab
syara' yang isinya tuntutan ( طهب) yang mengandung
177
pembebanan atas penerima khit}ab (al-Mukhat}ab). Unsur-
unsur yang terkandung dalam konsep atau pengertian taklif
tersebut ialah: titah syara' (khit}ab al-syara'), penerima titah
(al-Mukhat}ab), dan pembebanan (al-Katfah).
U
Ulil Amri : adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati
yaitu penguasa dan pemerintah.
Ultimatum remedium: Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan
manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya.
Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi
pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah
sanksi perdata, maupun sanksi administratif. Mekanisme
ini dipergunakan agar selain memberikan kepastian hukum
juga agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat
memberikan keadilan baik terhadap korban maupun
terhadap pelaku itu sendiri. Dalam perkembangan ilmu
hukum pidana yang sudah jauh maju, upaya ‚ultimum
remedium’ merupakan senjata terakhir dipergunakan.
V
Vindicative: salah satu tipe aliran retributif yang menyatakan dengan
dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas
dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya,
temannya, maupun keluarganya.
VOM : adalah singkatan dari Victim Offender Mediation yaitu
proses yang menyediakan korban berkesempatan untuk
bertemu pelaku dalam lingkungan yang aman dan
terstruktur serta terlibat dalam diskusi mediasi kejahatan
yang dipimpin oleh seorang mediator.
W
Wagga wagga: Proses yang dilakukan masyarakat bangsa Maori ketika
pelaku tindak pidana kejahatan adalah anak- anakbahwa
perawatan dan pengambilan keputusan bagi anak-anak
adalah tanggung jawab keluarga dan masyarakat.
178
Z
Zawa>jir : adalah pencegah dari kejahatan. Hukuman zawa>jir
merupakan sanksi atau hukuman yang diberikan oleh
Imam/ Khalifah / Pemimpin / diberikan kepada yang
berwenang untuk menetapkan suatu hukuman.
Zina : adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan
(perkawinan). Secara umum, zina bukan hanya di saat
manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala
aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan
manusia termasuk dikategorikan zina.
Zinā ghoiru muh}s}an/ muh}s}anah: yaitu zina yang dilakukan oleh orang
yang belum bersuami/ istri. Hukuman bagi seorang pezina
yang ghoiru muh}s}an/ muh}s}anah adalah dicambuk 100 kali
lalu keduanya diasingkan selama 1 tahun. Setelah itu boleh
menikah, bagi wanita yang hamil di luar nikah maka dia
tidak boleh menikah dalam keadaan hamil karena
pernikahan tersebut tidak sah.
Zinā muh}s}an/ muh}s}anah: yaitu zina yang taubatnya adalah sama
dengan taubat pelaku dosa maksiat dan harus ditambah
hukumannya dengan rajam- dilempari batu sampai mati,
melempar batu sebesar kepalan tangan kearah ulu hati
bukan kearah kepala. Melemparnya tidak boleh kasian dan
tidak boleh benci. Ucapan ketika melempar adalah
Bismillahi Allahuakbar.
179
INDEX
‘
‘Afwu · 43, 166
A
ABH · 1, 5, 21, 23, 35, 60, 61,
63, 66, 67, 69, 74, 146, 147,
154, 165
Adat · 31, 95, 161
ADR · 165
Advokat · 63, 165, 172
Alf Ross · 15, 145
Anak · 1, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12,
15, 17, 21, 22, 23, 24, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 34, 36, 37, 38,
39, 45, 47, 58, 59, 60, 61, 62,
63, 64, 65, 66, 67, 69, 70, 71,
72, 73, 74, 75, 76, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 88, 89, 90, 91, 92,
93, 97, 99, 100, 102, 103,
110, 111, 112, 113, 115, 118,
123, 129, 130, 131, 135, 136,
146, 147, 151, 152, 153, 154,
156, 157, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 165, 166, 167, 171
Anak Korban · 63
Anak Saksi · 63
Anak yang Berhadapan dengan
Hukum · 1, 60, 97
Aqila · 42, 165
Asusila · 128
B
Bapas · 17, 57, 73, 74, 75, 76,
87, 88, 90, 113, 115, 118,
123, 125, 128, 130, 132, 145,
163, 166
Berkonflik · 23, 27, 28, 66, 67,
69, 157, 158, 160
BHT · 166
BKA · 74, 88, 166
C
Circle · 38, 39, 156
CRC · 21, 167
D
Diskriminasi · 61
Diversi · 6, 15, 72, 76, 81, 82,
85, 90, 92, 152, 167
Diyat · 41, 42, 109, 167
F
Fairness · 168
FGC · 37, 38, 69, 168
180
G
Gara>r · 168
H
H}udu>d · 169
Hak · 5, 21, 53, 61, 64, 71, 86,
152, 159, 163, 167
Hakim · 7, 17, 57, 74, 75, 78,
79, 80, 81, 90, 91, 127, 138,
155, 160
Hambatan · 86, 90, 92
Hirschi · 58
Hukum Islam · 8, 10, 11, 12,
16, 17, 24, 26, 50, 93, 116,
127, 132, 136, 151, 152, 153,
158, 172, 173
Hukum Pidana · 6, 8, 10, 11,
12, 17, 23, 26, 28, 29, 34, 42,
45, 46, 50, 52, 58, 92, 94, 95,
100, 103, 105, 107, 111, 116,
117, 118, 127, 133, 135, 151,
152, 153, 158, 159, 160, 161,
163
Hukuman · 41, 50, 51, 53, 54,
59, 63, 93, 95, 101, 104, 107,
108, 117, 133, 134, 136, 153,
159, 164, 170, 173, 178
I
Ihtila>m · 169
Implementasi · 11, 12, 69, 73,
86, 87, 162
J
Jaksa · 23, 57, 76, 77, 78, 132,
170
Jari>mah · 127, 169
Jawa>bir · 170
Jild · 170
John Rawls · 15, 145
Justice · 3, 4, 6, 7, 8, 9, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 24, 26, 27, 28,
29, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 38,
39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47,
48, 49, 57, 59, 60, 66, 82, 86,
87, 89, 90, 91, 92, 93, 95,
151, 152, 153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 161, 162,
163
K
Kaffarah · 170
Kasuistik · 170
Kathleen Daly · 16, 91, 145
Keadilan · 1, 3, 4, 5, 7, 11, 13,
24, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34,
40, 59, 69, 80, 81, 83, 92, 95,
112, 153, 154, 155, 157, 158,
160, 161, 163, 170
Kebijakan · 6, 11, 12, 34, 57,
69, 71, 73, 77, 81, 83, 132,
158, 159, 161
Kejahatan · 28, 33, 46, 50, 57,
99, 151
Kenakalan · 33, 102
Kendala · 90
181
Kepolisian · 17, 24, 57, 69, 70,
71, 72, 84, 88, 90, 101, 115,
123, 130
Keseimbangan · 40
Kesejahteraan · 61, 67, 69, 160,
171
Kesepakatan · 72, 127
Kewajiban · 53, 75, 101
Khot}o>’ · 108
Kompensasi · 41, 42, 170
Konflik · 68, 152
Konsiliasi · 43
Korban · 6, 33, 35, 36, 40, 42,
46, 70, 113, 118, 123, 161
Kriminologi · 3, 29, 31, 95,
156, 161
L
LPAS · 171
LPKA · 171
LPKS · 171
M
Maaf · 43
Manusiawi · 59, 63
Mas}lah}ah · 94, 156, 171
Masyarakat · 5, 49, 161
Mazhab · 25
Mediasi · 3, 6, 24, 34, 36, 45,
47, 48, 49, 59, 66, 68, 151,
152, 154, 157, 171
Mukallaf · 172
Musyawarah · 46, 101, 164
Mutaz M. Qafisheh · 8, 15, 40,
44, 145
N
Nawal H. Ammar · 15, 93, 145
P
Partisipasi · 61
Pasal · 21, 22, 23, 24, 48, 60,
61, 62, 63, 64, 69, 70, 71, 72,
75, 81, 88, 99, 100, 102, 112,
113, 116, 118, 123, 126, 130,
132, 135
Pelaku · 33, 34, 35, 40, 73, 88,
98, 118, 121, 128
Pelanggaran · 47
Pembelaan · 173
Pembunuhan · 97, 99, 100, 103,
104, 106, 108, 111, 174
Pencurian · 86, 88, 111, 112,
117, 119, 159, 161
Penegak Hukum · 69, 83
Pengadilan Anak · 22, 82, 102,
116
Pengampunan · 43, 44
Penggelapan · 122, 125, 126,
157
Penipuan · 122, 125, 126, 157
Penjara · 66, 67, 131
Penyidikan · 70, 73, 77, 172
Perkembangan · 45
182
Perlindungan · 4, 5, 17, 24, 27,
28, 30, 37, 58, 61, 66, 67, 69,
74, 83, 84, 88, 99, 100, 102,
103, 116, 131, 135, 151, 153,
157, 158, 159, 161, 163
Pidana · 6, 7, 15, 17, 22, 23, 24,
29, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 45,
47, 50, 51, 59, 62, 63, 64, 65,
68, 69, 70, 73, 74, 76, 77, 78,
82, 88, 90, 92, 97, 100, 101,
108, 112, 116, 131, 132, 152,
153, 154, 157, 158, 159, 162,
163, 164
Pledoi · 173
Proportionality · 172
Q
Qatl · 104, 108, 173, 174
Qis}a>s} · 104, 169
R
Represif · 89, 174
Residivis · 174
Restitusi · 35, 174
Restorasi · 35
Restoratif · 1, 3, 4, 7, 11, 27,
28, 31, 33, 34, 40, 58, 59, 69,
80, 81, 83, 92, 95, 112, 153,
154, 155, 156, 157, 158, 160,
161, 163
Restorative · 3, 6, 7, 8, 9, 11,
12, 13, 14, 15, 16, 24, 27, 28,
29, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 38,
39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47,
48, 49, 57, 59, 60, 66, 82, 86,
87, 89, 90, 91, 92, 93, 95,
151, 152, 153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 161, 162,
163, 175
Retribusi · 35
Retributif · 27, 28, 33, 158
Retributive · 7, 26, 27, 30, 60,
160
S
S}ulh} · 43, 176
Sanksi · 53, 85, 94, 104, 108,
119, 135
Syari’at · 117, 167
T
Ta‘zi>r · 11, 50, 52, 92, 93, 146,
151, 169
Teori · 5, 27, 31, 58
Terdakwa · 114, 124, 125, 129,
130, 131, 132
U
Ulil Amri · 177
V
Vindicative · 177
183
VOM · 30, 35, 36, 47, 48, 68,
69, 160, 177
Y
Yurispudensi · 9
Z
Zawa>jir · 178
Zina · 133, 178
184
185
RIWAYAT HIDUP
Nama : Chindya Pratisti Puspa Devi
Kelahiran : Jakarta 24 September 1987
Alamat : Perumahan Duren Jaya Jl. Eboni 3 Blok C no 409 Rt
08 Rw 10 Bekasi Timur 17111
Telepon : 082124341551
e-mail : [email protected]
Pendidikan Formal :
Sekolah Dasar Bani Saleh 1 (1993-1998)
Kulliyatu al-Mu’allima>t al-Isla>mi>yah (KMI) (1999-2005)
S1 Universitas Al-Azhar Cairo Mesir (2006-2010)
S2 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta (2011-2014)