9

Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Apakah Praktik Psikologi atau Praktik Psikologis identik dengan Praktik Psikolog? Temukan jawabnya dalam artikel ini.

Citation preview

Page 1: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009
Page 2: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009
Page 3: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009
Page 4: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

Rethinking Praktik Psikologi

Juneman

* Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta. “Di mana ada manusia, di situ psikologi berperan.” Ungkapan ini menggambarkan kelenturan psikologi dalam memasuki berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya, guna memainkan perannya dalam rangka kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Tidak mengherankan bahwa fakultas-fakultas dan program-program studi psikologi di Indonesia tumbuh dengan pesat, antara lain untuk menjawab kebutuhan riil dari masyarakat itu. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, masyarakat sudah mulai mengenal dan para pakar sudah fasih bicara mengenai, misalnya, psikologi forensik, psikologi politik, psikolinguistik, psikoneuroimunologi, psikologi olahraga, psikologi film, psikologi lesbian & gay, psikologi perdamaian, psikologi ruang-siber, psikologi bisnis, psikologi adiksi, psikologi arsitektur, rural psychology, dan seterusnya. Namun demikian, yang sudah jelas adalah bahwa jumlah psikolog yang dilahirkan oleh program studi profesi psikolog (dulu, Drs/Dra atau S1+) atau magister psikolog (sekarang) tidak mampu mengimbangi kebutuhan praktis masyarakat akan jasa/layanan/praktik psikologi. Hal ini di samping disebabkan karena jumlah program studi psikologi itu sendiri terbatas (terlebih prodi S2 Psikolog), sebagaimana nampak pada Gambar 1, juga karena dalam realitanya, psikolog tidaklah serba-mumpuni dalam segala bidang/pekerjaan, sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (dalam buku Dialog Psikologi Indonesia: Doeloe, Kini, dan Esok, Penerbit Himpsi Jaya, 2007), sebagai berikut (hlm. 180):

“Sekarang dengan sistem penerimaan S2 yang terbuka seperti ini, ada arsitek belajar psikologi, jadilah dia magister psikologi lingkungan, atau yang lainnya.… Ada salah satu mahasiswa saya yang kebetulan dosen arsitektur Trisakti. Dia mencoba menyusun kembali lingkungan Kebayoran. Belajar psikologi sampai S2, dia menjadi paham bidang psikologi lingkungan. Sekarang, bisakah seorang psikolog merancang Kebayoran? Kan tidak bisa. Tetapi planolog itu bisa belajar psikologi.”

Psikologi Plus 64ISSN 1907-5715 IV/2/Agustus 2009, 64-69

Page 5: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/2/Agustus 2009, 64-69

65

Gambar 1. Persebaran Program Studi Psikologi pada Institusi di Indonesia. Sumber: Presentasi Direktur Akademik Ditjen Pendidikan Tinggi pada Kolokium Psikologi Indonesia XIX di Padang, Sumatera Barat, 1 Mei 2009 Jelas, bahwa planolog yang belajar di S2 psikologi lingkungan di atas tidak dapat disebut ”psikolog” di Indonesia (mengacu pada Kode Etik Psikologi Indonesia yang berlaku saat ini), karena ia bukan lulusan Magister Psikolog, melainkan alumnus Magister Sains Psikologi. Tetapi juga, ia bukan hanya sekadar ”ilmuwan psikologi”, karena ”menyusun kembali lingkungan Kebayoran” tentunya sudah mencakup aktivitas diagnosis, prognosis, dan intervensi/pemecahan masalah psikologis (sudah tergolong praktik psikologi). Tulisan ini mencoba mengajak kita semua untuk berpikir kritis dan agak lebih presisif dalam mengartikan terminologi ”praktik psikologi”. Pertanyaan utamanya adalah: ”Apakah benar bahwa praktik psikologi hanya dapat dilakukan oleh psikolog”? Sudah tepatkah sosialisasi yang dilakukan oleh sebagian komunitas psikologi bahwa, misalnya, ”Sarjana Psikologi dan Magister Sains Psikologi (yang S1-nya bukan berasal dari S1 Psikologi) nggak boleh praktik, nggak boleh melakukan intervensi psikologis”? Harapan penulis, tulisan ini di samping bermanfaat untuk membuka mata kita dan memberikan pemahaman yang lebih utuh kepada masyarakat mengenai istilah ”praktik psikologi”, juga salah satunya dapat dijadikan masukan sehubungan dengan revisi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga serta revisi Kode Etik Psikologi Indonesia yang menurut rencana akan dilaksanakan pada Kongres XI Himpunan Psikologi Indonesia di Surakarta pada April 2010. Menurut Kode Etik Psikologi Indonesia, Bab I (Pedoman Umum) Pasal 1 (Pengertian):

1. Ilmuwan Psikologi adalah para lulusan perguruan tinggi dan universitas di dalam maupun di luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan dapat memberikan jasa psikologi tetapi tidak berhak dan tidak berwenang untuk melakukan praktik psikologi di indonesia.

2. Psikolog adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau Sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau Kurikulum Nasional (SK Mendikbud No. 18/D/O/1993) yang meliputi pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikolog); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikolog Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan berhak dan berwenang untuk melakukan praktik psikologi di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Sarjana Psikologi menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai psikolog. Untuk melakukan praktik psikologi maka Sarjana Psikologi yang tergolong kriteria ini diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jasa Psikologi adalah jasa kepada perorangan atau kelompok/ organisasi/institusi yang diberikan oleh ilmuwan psikologi Indonesia sesuai kompetensi dan kewenangan keilmuan psikologi di bidang pengajaran, pendidikan, pelatihan, penelitian, penyuluhan masyarakat.

Page 6: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

4. Praktik Psikologi adalah kegiatan yang dilakukan oleh psikolog dalam memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan diagnosis, prognosis, konseling, dan psikoterapi.

Apabila definisi-definisi di atas diterapkan, maka terdapat beberapa implikasi menarik: Pertama, Universitas Indonesia (UI) tidak akan pernah lagi melahirkan psikolog sosial, karena, sebagaimana nampak pada Gambar 2, tidak ada program profesi psikologi sosial di UI. Gambar 2. Surat Keputusan Rektor UI No. 236/SK/R/UI/2009 tentang Biaya Pendidikan Mahasiswa Baru Universitas Indonesia Tahun Akademik 2009/2010, Program Magister Kedua, nyata bahwa terdapat banyak pelaku praktik psikologi walau tidak disebut psikolog. Contohnya:

a. Dalam bukunya, Arsitektur dan Perilaku Manusia (Penerbit Grasindo, 2005), Ir. Joyce Marcella Laurens, M.Arch., menyebutkan (hlm. 2):

”... Setiap kali merancang, arsitek membuat asumsi-asumsi tentang kebutuhan manusia, membuat perkiraan aktivitas dan/atau perkiraan bagaimana manusia berperilaku, bagaimana manusia bergerak dalam lingkungannya. Kemudian, arsitek memutuskan bagaimana lingkungan tersebut akan dapat melayani manusia pemakai

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/2/Agustus 2009, 64-69

66

Page 7: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

sebaik mungkin. Yang harus dipertimbangkan ... lingkungan juga harus dapat mengakomodasi kebutuhan pengguna akan ekspresi emosionalnya termasuk bersosialisasi dengan sesama.”

Berdasarkan pernyataan di atas, sungguh jelas bahwa aktivitas diagnosis, prognosis, dan bahkan konseling terlibat di situ (dalam hal mana tergolong praktik psikologi), dan bukan hanya dapat dilakukan oleh psikolog. Hal-hal sejenis ini terjadi juga, misalnya, dalam perancangan furniture yang ergonomis oleh non-psikolog, aktivitas intervensi sosial (ini adalah intervensi psikologis) dalam rangka penyelesaian konflik antar-kelompok masyarakat (seperti yang dilakukan oleh Bapak Ichsan Malik dengan gerakan Baku Bae-nya), dan sejenisnya.

b. Dalam portal The Indonesian Board of Hypnotherapy (http://www.ibhcenter.org/id/), dapat kita ketahui bahwa yang dapat menjadi anggota organisasi profesi IBH adalah siapa saja yang telah memperoleh pelatihan Hypnosis & Hypnotherapy dari IBH Certified Instructor. Sungguh jelas bahwa hypnotherapy merupakan salah satu jenis psikoterapi (dalam hal mana tergolong praktik psikologi), dan bukan hanya dapat dilakukan oleh psikolog.

c. Berdasarkan Hasil Sidang Kolokium Psikologi Indonesia ke-19 di Padang (yang dapat diunduh dari http://fip.unp.ac.id/download/kolokium/Hasil_Sidang_Komisi.zip), dinyatakan bahwa Sarjana Psikologi (S.Psi) boleh menggunakan alat tes psikologis kategori A dan B, serta boleh melakukan konseling walau terbatas pada masalah yang tidak terkait dengan hal-hal patologis menurut PPDGJ/DSM. Bila kita menggunakan salah satu rujukan dari dunia internasional, misalnya http://www.ldcsb.on.ca/schools/cfe/elearning/gifted/pdf/Section%208.pdf, maka alat-alat tes psikologis yang dapat digunakan untuk diagnosis dalam kategori level A dan B cukup banyak, seperti Culture Fair Intelligence Test (CFIT), Raven's Progressive Matrices (RPM), Differential Aptitude Tests (DAT), dan seterusnya.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka penulis hendak menunjukkan dua hal:

Pertama, perlu dibedakan antara ”praktik psikologi” dengan ”praktik psikolog”. Kegiatan yang dilakukan oleh dosen arsitektur yang merancang Kebayoran, oleh seorang ergonomikus, oleh Bapak Ichsan Malik di atas dapat disebut sebagai praktik psikologi. Jadi, praktik psikologi bukan hanya milik psikolog saja, tetapi juga milik sarjana psikologi, magister sains psikologi, dan bahkan milik profesi lain dan masyarakat umum. Sekiranya terdapat praktik-praktik tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh psikolog (seperti, misalnya, kompetensi menggunakan alat tes psikologis kategori level C, dan sebagainya), maka kita sebut saja dengan tegas kegiatan-kegiatan tersebut sebagai “praktik psikolog“. Forum Kolokium Psikologi Indonesia bersama Himpunan Psikologi Indonesia hendaknya memiliki naskah kajian akademik yang kuat mengenai batasan praktik psikolog. Berdasarkan uraian di atas, nampak sekali bahwa praktik psikolog hanya merupakan sebagian saja dari praktik psikologi, dengan gambaran sebagaimana Gambar 3.

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/2/Agustus 2009, 64-69

67

Gambar 3. Hubungan antara praktik psikologi/psikologis dengan praktik psikolog.

Praktik Psikolog

Semesta Praktik Psikologi/Praktik Psikologis

Page 8: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

Jadi, apabila kita ditanya, apakah Sarjana Psikologi boleh melakukan praktik psikologi, maka sudah terang-benderang jawabnya. Apabila Prof. Dr. Singgih Dirga Gunarsa dalam buku Dialog Psikologi Indonesia (2007) menyatakan, sbb (hlm. 197):

“... Saya kembali mengingatkan pendidikan S1 adalah sesuatu yang sangat membingungkan. Seorang telah dinyatakan lulus tetapi masih banyak dibatasi. Bukankah hal tersebut malah menimbulkan salah paham dan pengertian serta salah-langkah dan macam-macam lagi. Di satu sisi sudah selesai, di sisi lain tidak boleh melakukan kegiatan praktik psikologi ....“

maka, menurut hemat penulis, persoalan utamanya mungkin terletak pada penggunaan bahasa. Sebagaimana diutarakan oleh banyak filsuf bahasa, banyak persoalan manusia timbul akibat bahasa yang kacau dan salah-pakai, sehingga perumusan kembali bahasa dengan teliti dan mestinya dapat mengatasi soal-soal itu. Selama ini mungkin kita telah terjebak dalam permainan bahasa (language game), dalam hal mana praktik psikologi disamakan saja dengan praktik psikolog, padahal tidak identik. Hal ini mungkin disebabkan karena power relations tertentu yang belum imbang. Kedua, kategorisasi “ilmuwan psikologi“ dan ”psikolog” dalam AD/ART Himpsi dan Kode Etik Psikologi Indonesia dengan demikian menjadi usang (obsolete), terlampau menyederhanakan (simplistic). Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka penulis mengusulkan digunakannya istilah “ahli psikologi“ bagi mereka yang telah lulus pendidikan formal psikologi (S1/S2/S3 Psikologi), dalam hal mana, sebagian dari ahli psikologi itu adalah psikolog (yang menempuh pendidikan Magister Psikolog dan wajib memiliki ijin praktik psikolog), sebagaimana nampak pada Gambar 4.

Semesta Ahli Psikologi

Psikolog

Gambar 4. Hubungan antara ahli psikologi dengan psikolog. Akhirnya, pendapat penulis di atas kiranya tepat sesuai dengan definisi praktik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Departemen Pendidikan Nasional, sebagai berikut:

Praktik n 1 pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori; 2 pelaksanaan pekerjaan (tt dokter, pengacara, dsb); 3 perbuatan menerapkan teori (keyakinan dsb); pelaksanaan.

Dalam kaitannya dengan tulisan ini, definisi praktik nomor 1 dan 3 terkait dengan “praktik psikologi“ sedangkan definisi nomor 2 terkait dengan “praktik psikolog“, dalam hal mana pelakunya disebut “psikolog praktik“ (practicing psychologist). Demikianlah tulisan ini mengajak kita memikirkan ulang mengenai terminologi praktik psikologi. Praktik psikologi hendaknya dapat menjangkau masyarakat seluas mungkin, sehingga perlu cara pandang yang lapang dan matang dalam melihat siapa sajakah yang boleh melakukannya.

Psikologi Plus ISSN 1907-5715 IV/2/Agustus 2009, 64-69

68

Page 9: Rethinking Praktik Psikologi Aug 2009

Catatan Penulis (23 Oktober 2010): Tulisan “Rethinking Praktik Psikologi“ di atas dibuat pada Agustus 2009. Tak dinyana, pada 21 Oktober 2010, dr. Sofwan Dahlan, Sp.F.(K). dalam milis Forensik menyampaikan pernyataan yang senada dengan pikiran penulis akan tetapi dalam bidang Kedokteran, sebagai berikut: Sofwan Dahlan Oct 21 03:22PM -0700 wrote: Itulah akibatnya ...... kalau kita bikin definisi yuridis praktek kedokteran tidak cermat. Praktek kedokteran itu tidak sama dengan praktek dokter. Praktek kedokteran adalah suatu jenis pekerjaan dan ......... any person (dokter maupun orang awam) shall be deemed to be practicing medicine ....who holds himself of being able to out as being able to diagnose, treat, operate or prescribe for any human desease, pain, injury, deformity or physical condition, or who shall offer or undertake by any means or methods, to diagnose, treat, operate or prescribe for any human desease, pain, injury, deformity, or physical condition. Definisi yuridis kita berbeda dan.....sulit saya fahami.