Revisi Seminar 2

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Tidur merupakan kebutuhan dasar yang di butuhkan oleh semua manusia yang bersifat fisiologis, atau

kebutuhan paling dasar atau paling bawah dari piramida kebutuhan dasar supaya dapat berfungsi sacara optimal. Satu teori fungsi tidur adalah berhubungan dengan

penyembuhan.

Memperoleh kualitas tidur terbaik adalah

penting untuk peningkatan kesehatan yang baik dan pemulihan individu yang sakit (Perry & Potter, 2006). Keragaman dalam perilaku tidur lansia adalah umum. Keluhan tentang kesulitan tidur pada lansia seringkali terjadi di antara lansia dikarenakan terjadi perubahan fisik dan seringkali akibat keberadaan penyakit kronik yang lain. Kecenderungan untuk tidur siang kelihatannya meningkat secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun pada malam hari.

Dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan di

2

tempat tidur, waktu yang dipakai tidur menurun sejam atau lebih (Perry & Potter, 2006). Gangguan tidur bisa terjadi pada semua tingkat usia sedangkan lanjut usia yang mengalami gangguan tidur akan mengalami peningkatan tidur disiang hari, gangguan atensi dan memori, depresi, sering jatuh, penggunaan hipnotik yang berlebih dan penurunan kualitas tidur. Keluhan gangguan tidur yang sering dialami lanjut usia yaitu insomnia (Rafknowledge, 2004). Penelitian telah membuktikan bahwa orang

menderita insomnia atau sulit tidur lebih sering menderita masalah psikiatris di banding dengan orang normal (Amir, 2007). Insomnia adalah gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus lebih dari 10 hari mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun ditengah malam dan tidak dapat kembali tidur, seringkali penderita terbangun lebih cepat dari yang diinginkannya dan tidak dapat kembali tidur. Penyakit fisik juga menjadi aspek pencetus gangguan insomnia, misalnya asma, rematik, maag, ginjal, dan thyroid. Secara khusus, faktor psikologis juga memegang peran utama terhadap kecenderungan insomnia. Hal ini disebabkan oleh

ketegangan pikiran seseorang terhadap sesuatu yang

3

kemudian

mempengaruhi

sistem

saraf

pusat

(SSP)

sehingga kondisi fisik senantiasa siaga (Rafknowledge, 2004). Menurut Carpenito, (2000) lama waktu tidur yang di butuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi dan

tergantung pada usia. Umumnya lansia banyak yang mengalami gangguan tidur baik kualitas maupun kuantitas, sehingga latihan relaksasi otot progresif sesuai digunakan oleh lansia atau seseorang untuk mengatasi stress. Teknik latihan relaksasi otot progresif merupakan teknik latihan otot, dengan dilakukan latihan relaksasi otot otot progresif yang teratur dan benar maka tubuh seseorang atau lansia menjadi rileks, sehingga lansia akan cepat tidur dan jumlah jam tidur lansia akan meningkat. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tidur pada lansia, diantaranya

adalah dengan relaksasi. Relaksasi merupakan salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali

dikenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang Psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam, diantaranya Miltenberger (2004)

mengemukakan ada lima macam relaksasi, yaitu: (1) relaksasi otot (progressive muscle relaxation), (2)

4

pernapasan

diafragma,

(3)

imagery

training,

(4)

biofeedback, dan (5) hipnosis. Relaksasi progresif sampai saat ini menjadi metode relaksasi termurah, tidak

memerlukan imajinasi, tidak ada efek samping, mudah untuk dilakukan, serta dapat membuat tubuh dan pikiran terasa tenang, rileks, dan lebih mudah untuk tidur

(http//lib.ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.pdf, diakses 21 Mei 2010) Dalam kesempatan menegangkan relaksasi untuk otot, individu akan diberi cara

mempelajari otot

bagaimana tertentu

sekelompok

kemudian

melepaskan ketegangan itu. Bila sudah dapat merasakan keduanya, klien mulai belajar membedakan sensasi pada saat otot dalam keadaan manfaat tegang dan rileks. Untuk

mendapatkan

maksimal,

kemampuan

membedakan tegang dan rileks ini perlu dipelajari. Kazdin (2001) mengatakan pada awalnya individu belajar satu persatu gerakan relaksasi yang diperlukan oleh

sekelompok otot melalui petunjuk tertulis maupun instruksi yang direkam melalui kaset. Setelah tiap gerakan dikuasai dengan baik, relaksasi kondisi dapat rileks dilakukan yang lebih sehingga dalam diakses

menghasilkan

(http//lib.skripsi.ac.id/data/pubdata/relaksasi.pdf, 21 Mei 2010)

5

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Nusa Tenggara Barat di Tahun 2009 menyebutkan jumlah warga lansia kota Bima mencapai 13 persen atau sekitar 16 ribu dari seluruh jumlah kota Bima. Sedangkan jumlah lansia (usia 60 tahun ke atas) di NTB pada tahun 2009 sebanyak 4.503.817 orang, rinciannya laki-laki 1.911.995 orang dan perempuan 2.591.862 orang, sebanyak 80% dari jumlah lansia tersebut. Dari hasil studi pendahuluan didapatkan data bahwa lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima berjumlah 50 orang lansia, berbagai macam keluhan yang dialami lansia di di antaranya adalah gangguan tidur.

Sebelumnya relaksasi otot progresif ini tidak pernah dilakukan oleh lembaga manapun. Atas dasar inilah peneliti terdorong untuk meneliti Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif (PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION)

Terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB.

1.2

Rumusan masalah Rumusan masalah yang di tetapkan dalam penelitian ini adalah Apakah Latihan Relaksasi Otot Progresif

(PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION) Efektif Terhadap

6

Peningkatan Jumlah jam tidur pada lanjut usia (Lansia) di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB?

1.3

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian di bagi menjadi dua adalah tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian untuk mengetahui Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif (PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION) terhadap peningkatan jumlah jam tidur

pada lanjut usia (Lansia) di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian untuk:a. Mengidentifikasi peningkatan jumlah jam tidur pada

lansia b. Mengidentifikasi jumlah jam tidur pada lansia c. Mengetahui Efektivitas latihan relaksasi otot progresif Terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi peneliti

7

Mengetahui sejauh mana efektivitas latihan relaksasi otot progresif pada lansia. 1.4.2 Bagi lansia Sebagai masukan bagi lansia terutama lansia yang mengalami gangguan tidur untuk mengetahui terhadap peningkatan jumlah jam tidur

perkembangan lebih lanjut dari teknik latihan relaksasi otot progresif

1.4.3 Bagi lembaga yang di teliti Sebagai bahan dokumentasi untuk meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia setelah di lakukan teknik latihan relaksasi otot progresif 1.4.4 Bagi peneliti lain Sebagai informasi untuk dijadikan bahan penelitian berikutnya khususnya yeng berhubungan dengan

efektivitas latihan relaksasi otot progresif terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.

8

1.5 Keaslian PenelitianTeknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan (Jacobson & Wolpe dalam Utami, 2002), membantu orang yang mengalami insomnia (Friedman et.al. 1991), dan asma (Huntley, et.al., 2002). Di Indonesia, penelitian tentang relaksasi ini juga sudah cukup banyak dilakukan. Prawitasari (1988) , melaporkan bahwa relaksasi

bermanfaat untuk mengurangi keluhan fisik. Utami (1991) mengukur efektivitas latihan relaksasi dan terapi kognitif untuk mengurangi kecemasan berbicara di muka umum, selanjutnya relaksasi juga efektif dalam menurunkan

tekanan darah pada penderita hipertensi ringan (Karyono, 1994), dan menurunkan ketegangan pada siswa penerbang (Dewi, 1998).

9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Tekhnik Relaksasi Otot Progresif Pada Lansia Teknik relaksasi berguna dalam berbagai situasi,

misalnya nyeri, cemas dan kurangnya kebutuhan tidur, marah yang ditunjukan. Dengan relaksasi memelihara reaksi tubuh terhadap respon fight of flight, penurunan respirasi, nadi, dan jumlah metabolic, tekanan darah dan energi yang digunakan. Relaksasi khususnya dapat dilakukan pada itu individu perlu atau

sangat

berguna

karena

kontrol

perasaan dan lingkungan. Variasi teknik digunakan, tetapi dilakukan pernapasan secara teratur, pengendoran

kekuatan otot dan kesadaran (Taylor 1997). Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem syaraf simpatis dan parasimpatis ini. Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan (Jacobson & Wolpe dalam Utami, 2002), membantu orang yang mengalami insomnia (Friedman, 1991).

10

2.1.1 Batasan Menurut relaksasi benson (1975) relaksasi adalah suatu prosedur untuk membantu individu berhadapan pada situasi yang penuh stress. Sedangkan Gosana (2001) mengatakan relaksasi merupakan cara untuk mengatasi rasa nyeri, menghilangkan ketegangan otot dan dapat memperbaiki gangguan tidur. Turf dan Nirschl (1993) relaksasi adalah strategi kognitif yang memberikan

kesembuhan secara fisik dan mental atau mengurangi nyeri sampai ambang nyeri. Sedangkan relaksasi otot progresif menurut Edmund Jacobson tahun 1929 dengan buku Progresif Relaxation (Davis et all, 1995) Merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada klien dengan menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian relaksasi. Relaksasi progresif adalah salah satu cara dari teknik relaksasi yang mengkombinasikan latihan nafas dalam & serangkaian seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu.

2.1.2 Fisiologi Relaksasi Pada kondisi relaksasi seseorang berada dalam keadaan sadar namun rileks, tenang, istirahat pikiran, otot-

11

otot rileks, mata tertutup, dan pernapasan dalam yang teratur. Keadaan ini menurunkan rangsangan dari luar. (Khare, 2000; area Udjiati, dalam 2002). Perangsangan dan yang

diberbagai

hipotalamus

penurunan

tekanan arteri serta peningkatan dan penurunan denyut jantung (Guyton, 1997).

2.1.3 Peran

Neutransmitter

Terhadap

Pemenuhan Kebutuhan Tidur : 2.1.3.1 Endorphin

Endorphin dihasilkan oleh kelenjar pituitary (hipofise) anterior dan Central Nervus Sistem (CNS). Endorphin berfungsi sebagai morfin yaitu dapat menimbulkan perasaan senang dan menekan nyeri, dapat membantu regulasi pertumbuhan sel, dan membantu proses

pembelajaran memori (Solomon, 1995). 2.1.3.2 Enkephalin

Enkephalin berasal dari columna dorsalis medulla spinalis, bersifat inhibisi, merupakan neuropeptida yang dapat menghambat impuls nyeri dengan cara

12

menghambat

terbentuknya

substansi

prostaglandin

yang bersifat eksitasi (Idayanti, 1995).2.1.3.3

GABA (gamma-aminobutyric acid) acid) Merupakan

GABA

(gamma-aminobutyric

neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf. GABA akan membuka gerbang ion chlorine yang bermuatan negatif sehingga serabut saraf akan bermuatan sangat negatif. Dengan begitu impuls sulit untuk dihantarkan melalui serabut saraf.

2.1.4 Manfaat Relaksasi Otot Progresif Menurut Martha, (1995) manfaat relaksasi otot

progresi diantaranya adalah a) Mengatasi insomnia b) Mengatasi kecemasan c) Meredakan stress d) Membantu tidur nyenyak e) dapat membangun emosi positif dari emosi negatif f) tidak menimbulkan efek samping.

2.1.5 Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi Otot Progresif Tidur Ketika seseorang merasakan adanya suatu ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi Dalam Memenuhi Kebutuhan

13

melalui system saraf simpatis dan endoktrin (Garmezy, 1983; Taylor, 1991). Di dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang

dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Jika sistem saraf simpatis meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya menimbulkan denyut jantung dan pernafasan, darah serta tepi

penyempitan

pembuluh

(peripheral) dan pembesaran pembuluh darah pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis menstimulasi

turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatis dan menaikkan semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis (Utami, 2002). Pada saat individu mengalami ketegangan dan

kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan saat rileks yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis. Jadi relaksasi dapat menekan rasa tegang

14

dan cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan (Prawitasari, 1988).

2.1.6 Tipe Tehnik Relaksasi 2.1.6.1 Progressive Muscle Relaxation

Sesuatu yang diharapkan disini adalah individu secara sadar untuk belajar merilekskan otot-ototnya sesuai dengan keinginannya melalui suatu cara yang sistematis. Subjek juga belajar menyadari otot-ototnya dan berusaha untuk sedapat mungkin mengurangi atau menghilangkan ketegangan otot tersebut. 2.1.6.2 Teknik Relaksasi Benson

Merupakan tehnik latihan napas. Dengan latihan napas yang teratur dan dilakukan dengan benar, tubuh akan menjadi rileks, menghilangkan ketegangan schat mengalami stress dan bebas dari ancaman. 2.1.6.3 Autogenic training

Tekhnik ini menggunakan baik gambaran visual dan body awareness, seseorang mencapi relaksasi yang dalam (deep state of relasation). Dimana orang tersebut membayangkan kemudian sebuah tempat pada yang sensasi tenang fisik dan yang

memfokuskan

berbeda, mulai dari kaki sampai kepala. Contohnya

15

disatu sisi mungkin memfokuskan pada rasa berat pada kaki, ringan, natural breathing atau denyut jantung yang pelan. 2.1.6.4 Bentuk Meditation yang sangat popular di U.5

meditasi

termasuk transcendental (mengulang sebuah kata atau phrase) dan mindfulness meditasi (perhatian pada kejadian-kejadian pada pikiran dan sensasi).

2.1.7 Prosedur tehnik Latihan progresif

Relaksasi otot

1. Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Klien diminta membuat kepalan ini semakin kuat, sambil merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali

sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.

16

2. Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang. Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada

pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari

menghadap ke langit-langit

3. Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot Biceps. Otot biceps adalah otot besar yang terdapat di bagian atas pangkal lengan (lihat gambar 3). Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot biceps akan menjadi tegang.

17

4. Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa hingga menyentuh kedua telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan leher.

18

5. Gerakan kelima adalah gerakan-gerakan yang ditujukan untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai ototototnya terasa dan kulitnya keriput. 6. Gerakan yang ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali dengan menutup keras-keras mata

sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata 7. Gerakan ketujuh bertujuan untuk mengendurkan

ketegangan yang dialami oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit

19

gigi-gigi rahang.

sehingga

ketegangan

di

sekitar

otot-otot

8. Gerakan kedelapan ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-

kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.

9. Gerakan kesembilan ditujukan untuk merilekskan otototot leher bagian depan maupun belakang. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru

kemudian otot leher bagian depan. Klien dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat,

kemudian diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga

20

klien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung atas. 10. Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot

leher bagian depan. Gerakan ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian klien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka. 11. Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot

punggung. Gerakan ini dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh punggung dari sandaran kursi, kemudian lalu busungkan dada

dilengkungkan,

sehingga tampak seperti pada gambar 6. Kondisi tegang dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas. 12. Gerakan keduabelas, dilakukan untuk melemaskan

otototot dada. Pada gerakan ini, klien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, klien dapat bernafas normal dengan lega. Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan ini

21

diulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan rileks.

13.

gerakan ketigabelas bertujuan untuk melatih otot-

otot perut. Gerakan ini dilakukan dengan cara menarik kuat-kuat perut ke dalam, kemudian menahannya sampai perut menjadi kencang dank eras. Setelah 10 detik dilepaskan bebas, kemudian diulang kembali seperti gerakan awal untuk perut ini. Gerakan 14 dan 15 adalah gerakan-gerakan untuk otot-otot kaki. Gerakan ini dilakukan secara berurutan. 14. Gerakan keempatbelas bertujuan untuk melatih otot-

otot paha, dilakukan dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki (lihat gambar delapan) sehingga otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan dengan

22

mengunci lutut (lihat gambar delapan), sedemikian sehingga ketegangan prosedur pidah ke otot-otot otot, klien betis. harus

Sebagaimana

relaksasi

menahan posisi tegang selama 10 detik baru setelah itu melepaskannya. masing dua kali. Setiap gerakan dilakukan masing-

2.2

Kebutuh an Istrahat Tidur Pada Lansia

2.2.1 Pengertian tidur Menurut Hayter (1980) tidur adalah keadaan tidak sadar, dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menururn, aktivitas fisik menururn, tingkat kesadaran bervariasi, penurunan tanggapan terhadap stimulasi eksternal. Sedangkan Hobson (1989)

mengatakan tidur adalah aktifitas aktif khusus otak, dikelola oleh mekanisme yang rumit dan tepat.

23

Tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik. Tidur bukan berarti rutinitas kesibukan, tidur penting bagi kesehatan, fungsi emosional, mental dan keselamatan. Semakin bertambahnya usia terdapat penurunan tidur, kebutuhan tidur berkurang dari bayi sampai lanjut. Ratarata dewasa sehat membutuhkan tidur 7 jam dimalam hari, kekurangan tidur pada lanjut usia memberikan pengaruh terhadap fisik, kemampuan kognitif dan juga kualitas hidup (Amir, 2007).

2.2.2 Kebutuhan Tidur Pada umumnya waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk tidur tidaklah sama, tidak saja akan menjadi semakin berkurang seiring dengan perjalanan atau pertumbuhan usianya tetapi juga karena pola atau lama tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi (bisa dipengauruhi oleh situasi dan kondisi atau tergantung pada keadaan yang sedang di alami atau dihadapi). Hal ini akan tergantung pula pada bagaimana keadaan parasaan atau kesehatan tubuhnya. Bahkan bias juga dipengaruhi atau tertpengaruh oleh faktor usia (Diahwati, 2001).

24

Dalam

satu

malam

katika

ia

masih

bayi

membutuhkan waktu tidur sekitar 13-16 jam, tetapi ketika tumbuh menjadi seorang anak kebutuhan tidur sedikit menurun sekitar 8-12 jam. Kebutuhan waktu dan lama tidurnya akan terus menurun atau berkurang seiring dengan berjalannya waktu atau usia dirinya sehingga dewasa hanya sikitar 6-9 jam. Begitu juga bila seseorang menjadi semakin lanjut atau tua usianya, umurnya akan menjadi semakin berkurang kemampuan untuk tetap tidur 6-8 jam (Lumbantobing, 2004).

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur Banyak sekali yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sedangkan kecemasan, tidur. Faktor fisik meliputi: rasa nyeri,

faktor

psikologis dan

meliputi: tekanan jiwa.

depresi, Faktor

katakutan

lingkungan meliputi: kebisingan, polusi, berkurangnya kebebasan pribadi dan terlalu ramai (Priharjo, 1996).

2.2.4 Siklus Tidur Menurut Guyton (1997) mengatakan bahwa di dalam kita tidur ternyata terdapat dua tahap yang di lalui yaitu: tidur gerakan mata cepat disebut Rapid Eye Movement Sleep (REMS) dan tidur gerakan mata lambat disebut

25

Non Rapid Eye Movement Sleep (NREMS). NREMS mempunyai 4 tahap yaitu: a. Tahap tidur pertama sesuai dengan keadaan dimana seseorang baru saja terlena, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutupi mata, kedua bola mata bergerak bolak-balik (EEG) dengan kedua sisi,

elektroensefalogram penurunan voltase

memperlihatkan adanya gelombang-

gelombang alfa yang makin menurun. b. Tahap tidur kedua, kedua otot bola mata berhenti

bergerak,

tetapi

tonus

masih

terpelihara,

frekuensi nafas dan jantung menurun dengan jelas. c. Tahap tidur ketiga, EEG memperlihatkan perubahan gelombang dasar yang berfrekuensi 3-6 siklus

perdetik menjadi 1-2 siklus perdetik yang yang sekalisekali timbulnya sleep spindles dan sulit menjadi sulit dibangunkan. d. Tahap tidur keempat, EEG memperlihatkan hanya irama gelombang lambat yang berfrekuensi 1-2 siklus perdetiik tanpa munculnya Sleep Spindles. Keadaan fisik pada tahap tidur ketiga dan keempat ialah lemah lunglai, karena tonus otot lenyap secara menyeluruh sedangkan dalam REMS terdapat adanya tonus otot meninggi kembali terutama otot-otot rahang bawah,

26

bola mata mulai bergerak-gerak kembali dengan kecepatan lebih tinggi, maka tahap tidur REMS bias disebut juga dengan paradoxical sleep karena sifat tidurnya nyanyak sekali tetapi sifat fisiknya dapat dicerminkan pada gerakan kedua bola mata sangat aktif.

2.2.5 Proses Tidur Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata 7 jam, kedua macam tidur yaitu REMS dan NREMS bergantian selama 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup menjalani jenis tidur REMS maka esok harinya akan menunjukkan kecenderungan untuk hiperaktif, kurang dapat mengendalikan diri dan emosinya, nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREMS yang kurang cukup, maka esok harinya keadaan fisik akan menjadi kurang gesit. Secara farmakologi dapat dinyatakan bahwa REMS dan NREMS mempunyai kaitan dengan metabolisme anime terutama 5 hydroxy trytamine (setorin) dan norepinephrine. NREMS dibina oleh mekanisme

seratoninergik dan REMS dipelihara oleh mekanisme adrenergik. Dari adanya peran tidur maka manusia dapat mengembangkan aktifitas sesuai dengan kualitas tidur

27

yang dialaminya serta dengan siklus tidur bangun ini manusia akan dapat memelihara kesegarannya,

kebutuhan dan metabolisme seluruh tubuhnya (Prigina, 1994).

2.2.6 Perubahan system Fisiologik Utama Yang dipengaruhi Tidur a. Fungsi Kardiovaskuler 1. Penurunan tekanan darah dan nadi selama NREMS dan terutama selama tidur gelombang lambat. 2. Selama tidur REMS, aktifitas fasis (gerakan mata) dihubungkan dengan variabilitas pada nadi dan tekanan darah yang secara prinsip diperantai oleh vagus. 3. Distrimia jantung dapat terjadi secara selektif selama tidur REMS. b. Fungsi pernapasan 1. Kecepatan menurun pernapsan selama tidur dan ventilasi dan nyaeri menjadi

NREMS

bervariasi selama tidur REMS fasik. 2. Respon ventilasi terhadap karbon dioksida

melemah selama tidur NREMS, yang menyebabkan PCO2 lebih tinggi.

28

3. Selama tidur REMS, respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia memperlihatkan

variabilitas yang nyata. 4. Otot pernapasan termasuk yang bertanggung

jawab untuk jalan nafas atas adalah hipotonik sepanjang tidur dan selama tidur REMS, yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas. c. Fungsi Endokrin 1. Perubahan paling utama tampak pada parameter neuroendokrin2. Tidur

gelombang lambat dihubungkan dengan

sekresi hormon pertumbuhan pada laki-laki muda, sementara tidur pada umumnya dihubungakn

dengan sekresi prolaktin yang bertambah. 3. Tidur mempunyai efek kompleks pada sekresi LH pada Luteinizing Hormone (LH) 4. Selama tidur pubertas dihubungkan dengan

peningkatan sekresi LH, sedangkan tidur pada perempuan matang menghambat fase folikuler awal siklus menstruasi. 5. Awitan lambat) tidur (dan mungkin dengan (TSH) tidur gelombang Thyroid Hormone

dihubungkan Hormone

inhibisi dan

Stimulating

Adrenokortokotropik (ACTH) aksis kortisol, suatu

29

efek yang tidak tergantung pada irama sirkandian dalam dua system. d. Fungsi termoregulasi 1. Tidur NREM dihubungkan dengan perubahan

respons termoregulasi terhadap stress dingin.2. Tidur

REM

dihubungkan

dengan yang

baik

adanya yang

respons

termoregulasi

lengkap,

menyebabkan poikilotermi. (Guyton, 1997).

2.2.7 Jenis Tidur Ada dua macam cara terjadinya Tidur (Guyton, 1997) yaitu: a. Tidur Gelombang Lambat (Slow Wave Sleep) Dikarenakan oleh menurunnya kegiatan di dalam system pengaktivasi retikularis karena

gelombang otak sangat lambat. Kebanyakan tidur tiap malam adalah dari jenis gelombang lambat, ini adalah tidur nyenyak dan menyegarkan yang dialami orang setelah tetap bangun selama 24 sampai 48 jam. Tidur gelombang lambat sering disebut dengan berbagai nama, seperti tidur nyenyak menyegarkan, tidur tanpa mimpi, tidur gelombang delta, atau tidur normal.

30

Perubahan-perubahan

Elektroensefalografik

ketika orang tidur. Mulai dengan keadaan waspada dan diteruskan sampai tidur nyenyak gelombang lambat, berikut : 1. Kewaspadaan penuh Gelombang beta frekuensi tinggi, bervoltase elektroensefalogram berubah sebagai

rendah, yang memperlihatkan desinkronisasi. 2. Istirahat tenang Terutama gelombang alfa, suatu jenis gelombang otak yang disinkronisasikan 3. Tidur renger Perlambatan gelombang alfa ke jenis teta atau delta yang bervoltase rendah, tetapi diselingi oleh spindle gelombang alfa yang disebut sleep spindle yang berlangsung selama beberapa detik pada suatu waktu. 4. Tidur nyenyak gelombang lambat : gelombang delta voltase tinggi terjadi dengan kecepatan 1 sampai 2 per detik. b. Tidur paradox (tidur REM) Tidur paradoks adalah jenis tidur, seat otak benar-benar aktif. Pada tidur malam yang normal, masa tidur paradoks berlangsung 5 sampai 20 menit,

31

rata-rata timbale setiap 90 menit, periode pertama terjadi 80 sampai 100 menit setelah orang tersebut tertidur. Bila orang tersebut sangat lelah, lama tiap masa tidur paradoks sangat singkat, dan bahkan mungkin tidak ada. Sebaliknya, ketika orang itu telsh beristirahat semalaman, lamanya masa paradoks sangat meningkat. Beberapa sifat sangat penting dari tidur paradoks: 1. Biasanya disertai dengan mimpi aktif. 2. Orang tersebut bahkan lebih sulit untuk

dibangunkan daripada selama tidur nyenyak gelombang lambat. 3. Tonus otot diseluruh tubuh sangat tertekan, yang menunjukan inhibisi kuat proyeksi spinal atas system pengaktivitasi retikularis. 4. Frekuensi jantung dan pernapasan biasanya menjadi tidak teratur, yang merupakan cirri keadaan mimpi.5. Meskipun ada inhibisi hebat sekali pada otot-

otot perifer, terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur. Ini terutama meliputi

gerakan mata yang cepat. Maka dari itu, tidur paradoks sering disebut tidur Rapid Eye

Movement (REM).

32

6. Elektroensefalogram

memperlihatkan

suatu

pola desinkronisasi gelombang bte voltase rendah yang mirip dengan yang terjadi selama keadaan waspada.

2.2.8 Gangguan pola tidur secara umum Gangguan pola tidur secara umum merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami atau mempunyai resiko perubahan dalam jumlah dan kualitas pola

istirahat yang menyebabkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan (Carpenito, LJ, 1995).

2.2.9 Macam-macam gangguan tidur menurut

Perry & Potter (2006): a. Insomnia Insomnia adalah ketidakmampuan untuk

mencukupi kebutuhan tidak baik kualitas maupun kuantitasnya. b. Hipersomnia Hipersomnia adalah tidur yang berlebihan

terutama pada siang hari. c. Narkolepsi

33

Narkolepsi

adalah

serangan

mengantuk

yang

terjadi secara mendadak pada siang hari sedang pada malam hari terganggu. d. Somnabulisme Somnabulisme adalah suatu keadaan dimana

seseorang pada saat tidur. e. Sleep Talking Sleep talking adalah berbicara waktu tidur

(mengigau). f. Sleep Bruxisme Sleep bruxisme adalah gigi gemeretak pada waktu tidur. g. Parasomnia Parasonia adalah gangguan perilaku bangun yang tampak selama tidur dan mempengaruhi tidur.

2.3

Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur

Pada

umumnya

menua

adalah

suatu

proses

menghilangnya secara pelahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2002).

34

Teori proses menua diantaranya teori biologi dan teori sosiologi. Pada lansia terjadi perubahan-perubahan pada system tubuh yaitu dari perubahan fisis dan

perubahan mental. Dan terkadang pada lansia sering dijumpai kesulitan untuk tidur (insomnia), dimana pada umumnya waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang tidaklah sama, tidak saja akan menjadi berkurang seiring dengan perjalanan atau pertumbuhan usia nya tetapi juga karena pola atau lama tidur yang dibutuhkan oleh setiap orang sangat bervariasi ( biasa dipengaruhi oleh situasi

dan kondisi atau tergantung pada keadaan yang sedang dialami atau di hadapi). Hal ini akan tergantung pula pada bagaimana keadaan perasaan atau kesehatan tubuhnya. Bahkan bisa dipengaruhi oleh faktor usia (Darmojo, 2000).

Pada lansia membutuhkan teknik yang dapat membatu mereka supaya tidak mengalami kesulitan untuk tidur. Teknik relaksasi otot progresif sangat membatu dalam proses tidur, teknik relaksasi berguna dalam

berbagai situasi misalnya nyeri, cemas, stress, dan sulit tidur. Dalam relaksasi memelihara reaksi tubuh terhadap respon fight or flight, penurunan respirasi, nadi, dan jumlah metabolic, tekana darah dan energy yang digunakan.

35

Relaksasi dapat dilakukan kepada individu atau kelompok dan khususnya sangat berguna karena itu perlu control perasaan dan lingkungan. Variansi teknik digunakan tetapi dilakukan kekuatan pernapasan otot dan secara teratur, Para pengendoran lansia akan

kesadaran.

mendapatkan manfaat dari teknik tersebut yaitu lansia dapat menghilangkan kecemasan, menghilangkan stress, mengatasi insomnia, dapat menbangun emosi positif dari emosi negatif, membantu tidur efek nyenyak, dan tidak

menimbulkan

samping

(http//lib.ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.pdf, diakses 21 Mei 2010 Pada lansia diajarkan teknik relaksasi otot progresif yang merupakan teknik latihan otot. Dengan latihan otot yang teratur dan dilakukan dengan benar tubuh akan menjadi rileks, menghilangkan ketegangan dan stress sehingga membantu lansia dalam memenuhi kebutuhan istirahat tidurnya. Lansia dapat menggunakan macammacan teknik relaksasi diantaranya autogenic training, progressive muscle relaxsatioan, meditation, dan benson. Pada lansia dijarkan teknik relaksasi otot progresif

(http//lib.ugm.ac.id/data/pubdata/relaksasi.pdf, diakses 21 Mei 2010).

36

Relaksasi otot progresif Sistem syaraf pusat Sistem syaraf ototnom

Mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki. Misal : gerakan tangan, kaki,

Mengendalikan gerakan-gerakan yeng otomatis. Misal :fungsi digesti,proses

Saraf simpatis (keadaan cemas dan tegang)

Saraf parasimpatis (keadaan Menstimulasi turunnya semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis dan menaikkan semua

Menungkatkan rangsangan, memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya denyut jantung dan pernapasan. Menekan rasa tegang dan cemas Rileks

Perasaan rileks diteruskan kehipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF) CRF merangsang kelenjar pituitary u/ mrningkatkan produksi

37

B endorfin sbg neurotransmiter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks

Produksi enkephalin oleh medulla adrenal

Peningkatan jumlah jam tidurGambar : 2.1 Skema pengaruh relaksasi otot progresif terhadapap pemenuhan kebutuhan tidur

Di dalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang

dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, proses kardiovaskuler dan gairah seksual. Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Jika sistem saraf simpatis meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh, memacu meningkatnya menimbulkan denyut jantung dan pernafasan, darah serta tepi

penyempitan

pembuluh

(peripheral) dan pembesaran pembuluh darah pusat, maka sebaliknya sistem saraf parasimpatis menstimulasi

turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatis dan menaikkan semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis (Utami, 2002).

38

Pada

saat

individu

mengalami

ketegangan

dan

kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan saat rileks yang bekerja adalah sistem

saraf para simpatis. Jadi relaksasi dapat menekan rasa tegang dan cemas dengan cara resiprok, sehingga rileks

timbul counter conditioning dan dan

(Prawitasari, 1988). Kemudian perasaan rileks akan di diteruskan ke hipotalamus untuk (CRF) untuk menghasilkan dan CRF

Cortocotropin Releasing merangsang kelenjar

Factor pituitary

meningkatkan

produksi propioidmelanicortin dan akan menghasilakn b endorfin sebagai neurotransmiter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks serta produksi enkephalin oleh medula meningkat yang pada akhirnya pemenuhan

kebutuhan tidur pada lansia terpenuhi. 2.4 Peran Perawat Dalam Pemenuhan

Kebutuhan Istrahat Tidur Pada Lansia Nugroho (2008) mengatakan Peran perawat dalam memenuhi kebutuhan istrahat tidur pada lansia

diantaranya adalah :a) Menyiapkan tempat tidur yang nyaman, b) Menciptakan lingkungan yang tenang, nyaman dan aman, c) Membantu penggunaan waktu istrahat/tidur, d) Berikan minuman hangat sebelu tidur atau latihan fisik

39

untuk melenturkan otot dan memperlancara peredaran darah. Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan

istirahat tidur pada lansia dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung perawat dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien yang

mengalami masalah terkait dengan kebutuhan istirahat dan tidur pada lansia. Adapun peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan keamanan adalah sebagai berikut: 1. Pemberi perawatan langsung (care giver); perawat memberikan bantuan secara langsung pada lansia dan keluarga yang mengalami masalah terkait

dengan kebutuhn istirahat dat tidur. 2. Pendidik, perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada lansia dan keluarga agar lansia dan keluarga melakukan program asuhan kesehatan keluarga terkait dengan kebutuhan istirahat dan tidur secara mandiri. 3. Pengawas kesehatan, perawat harus melakukan

home visit atau kunjungan rumah yang teratur untuk mengidentifikasi atau melakukan pengkajian tentang kebutuhan istirahat dan tidur pada lansia.

40

4. Konsultan,

perawat

sebagai

nara

sumber

bagi

keluarga dalam mengatasi masalah gangguan tidur lansia dan keluarga. Agar keluarga mau meminta nasehat kepada perawat maka hubungan perawatkeluarga harus dibina dengan baik, perawat harus bersikap terbuka dan dapat dipercaya. 5. Kolaborasi, perawat juga harus bekerja sama dengan lintas program maupun secara lintas sektoral dalam pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pada lansia dan keluarga untuk mencapai kesehatan dan

keamanan keluarga yang optimal. 6. Fasilitator, perawat harus mampu menjembatani dengan baik terhadap pemenuhan kebutuhan

isatirahat pada lansia dan keluarga sehingga faktor risiko dalam ketidakpemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur dapat diatasi. 7. Penemu kasus/masalah, perawat mengidentifikasi masalah gangguan tidur secara dini, sehingga tidak terjadi gangguan yang berkepanjangan. 8. lingkungan baik lingkungan rumah maupun

lingkungan masyarakat agar tercipta lingkungan yang sehat dalam menunjang pemenuhan kebutuhan

41

istirahat dan tidur.(www.http//Artikel Terkini Perawat Dan Dokter Thursday.pdf, diakses 15 Juni 2010)

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1

Kerangka Konsep Penelitian konsep merupakan abstraksi yang

Kerangka

terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal kasus. Oleh karena konep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati atau diukur malalui konstruk atau yang lebih dikenal denagn nama variable (Notoatmodjo, 2005)

42

Gambar 3.2 : Kerangka Konseptual Penelitian Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Perubahan pada system Lansia Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia tubuh : fisik dan mrntal

Manfaat Relaksasi Otot Progresif Stres Biologi : Rasa Nyeri Stres Psikologis :Depresi.Kecemasa n,Ketakutan, tekana jiwa Stres lingkungan : Kebisingan, polusi, berkurangnya kebebasan pribadi, - Mengatasi - Membantu tidur nyenyak - Meredakan stress - Mengatasi insomnia - Dapat membangun emosi positif dari emosi negative Macammacam gangguan tidur : Insomnia, Hipersomnia, Narkolepsi, Somnabulism e, sleep Gangguan tidur - Teknik Relaksasi otot Progresif Autogenic Training, Relaksasi - Tidak menimbulkan efek samping

43

Perasaan rileks diteruskan ke Hiptalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF)

CRF merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin

Menghasilkan Endorphin sebagai Neurotransmitter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks Produksi Enkephalin oleh medulla

Pemenuhan kebutuhan

44

Pada lansia terjadi perubahan pada system tubuh yaitu pada fisik dan mental. Lansia yang sulit memulai tidur akan sulit sekali memenuhi kebutuhan tidurnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya stressor biologi (rasa nyeri), stressor psikologis (depresi, kecemasan, ketakutan, dan tekanan jiwa) dan stressor lingkungan (kebisingan, polusi, berkurangnya kebebasan pribadi dan terlalu ramai), sehingga menyebabkan sulit untuk memulai tidur. Latihan relaksasi otot progresif yang dilakukan secara efektif akan memudahkan mengatasi tidur. Macam-macam gangguan tidur yaitu insomnia,hipersomnia, narkolepsi, somnabulisme, sleep talking, sleep bruxisme dan parasomnia. Hal tersebut dapat diatasi dengan teknik

Progressive Muscle Relaxation, relaksasi benson, Autogenic Training, dan Meditation. Dari gangguan tidur dicegah dengan teknik relaksasi otot progresif, yaitu latihan relaksasi otot yang teratur dan dilakukan dengan benar, tubuh akan menjadi rileks, menghilangkan ketegangan yang mengalami stress dan bebas dari ancaman. Hal ini akan mempengaruhi proses pikir yang diteruskan ke hipotalamus Faktor untuk menghasilkan CRF

Corticotropin

Releasing

(CRF),

selanjutnya

merangsang kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi proopioidmelanocortin (POMC) sehingga produksi enkephalin oleh medula adrenal meningkat. Kelenjar pituitary juga

45

menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang dapat mempengaruhi suasana senang hati menjadi rileks. Dan untuk

menimbulkan memulai tidur.

perasaan

sehingga

mudah

3.2 Hipotesis PenelitianH0 = Latihan relaksasi otot progresif tidak efektif terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia H1 = Latihan relaksasi otot progresif efektif terhadap peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.

46

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1

Desain Penelitian

Jenis penelitian merupakan teknik rancangan yang digunakan dalam melakukan preosedur penelitian (Alimul, 2003). Jenis Penelitian ini menggunakan metode Pra

Eksperimen tanpa kelompok kontrol One Group Pretest-Posttest satu sebanyak

dengan pendekatan Rancangan sampel yaitu ini yang

Design.

menggunakan diwawancara sebelum

kelompok dua (01) kali,

wawancara dan

eksperimen

disebut

pretest,

wawancara sesudah eksperimen (02) disebut post test.

47

Pre test dan post test dilakukan dengan menggunakan kuisioner .

4.2 Kerangka PenelitianKerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang akan dilakukan, siapa saja yang akan diteliti (subyek penelitian), variable yang akan diteliti dan variabel yang mempengaruhi penelitian (Alimul, 2003).

Populasi : Lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi BIMA -NTB Teknik Sampling : Simpel Random Sampling Sample : 44 orang lansia Pre test untuk mengetahui jumlah

48

Relaksasi 15-20 menit 1 kali sehari dalam 1

Post test

Analisa Data : T. test

Hasil

Penyajian Data

Kesimpulan dan Saran Gambar : 4.2 Kerangka Kerja Penelitian

4.3

Populasi, Sampel, dan Sampling

4.3.1 Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian atau obyek yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB

sebanyak 50 orang lansia. 4.3.2 Sampel penelitian

49

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005). 4.3.2.1 kriteria inklusi adalah karakteristik responden

umum suatu subjek penelitian dari populasi target yang terjankau yang akan diteliti (Nussalam, 2003). Criteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werhda Meci Angi Kota Bima-NTB 2. Masih mampu beraktivitas 3. Komunikatif dan kooperatif 4. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan 5. Bersedia untuk dijadikan subyek penelitian 4.3.2.2 Kriteria eksklusi adalah karakteristik umum

yang tidak dimasukkan dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:1. Lansia tidak berdomisili di Panti Sosial Tresna

Werhda Meci Angi Kota Bima-NTB2. Tidak mampu beraktivitas 3. Tidak komunikatif dan kooperatif 4. Tidak

bersedia

untuk

dijadikan

subyek

penelitian. Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan rumus :

50

n= ket : n=besar sampel N=Besar Populasi d=tingkat kepercayaan (0,05) n= n= n= n= n= 44. Besar Sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 44 orang lansia. 4.3.3 Teknik sampling Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Penelitian ini menggunakan simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak dan ini berarti setiap anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel (Nursalam, 2003).

51

4.4

Identifikasi Variabel

4.4.1 Variablel Independen Variabel independen adalah suatu stimulus aktivitas yang dimanipulasi oleh peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada dependen variabel. Dalam ilmu keperawatan keperawatan mempengaruhi 2001). Yang merupakan yang stimulus atau intervensi untuk Pariani, dalam

diberikan

kepada

klien &

tingkah menjadi

laku. (Nursalam variabel

independen

penelitian ini adalah teknik relaksasi otot progresif. 4.4.2 Variabel Dependen Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah peningkatan jumlah jam tidur pada lansia.

4.5

Definisi Operasional operasional variabel adalah definisi

Definisi

berdasarkan karakteristik yang di amati dari sesuatu yang didefinisiakan tersebut. (Nursalam, 2003). Tabel: 4.1 Definisi operasional Variabel Definisi Variabel Indepen den Operasional Pelaksanaan latihan Parameter Lansia dapat melakukan latihan ukur Prose dur a Alat Skal Skor

52

Latihan Relaksasi otot progresif

relaksasi otot secara teratur mulai dari otot tangan, wajah, dada dan otot paha untuk menurunkan ketegangan selama 1 minggu yaitu 7 kali intervensi. (15-20 menit) Teknik latihan relaksai otot progresif: terlampir

relaksasi otot progresif. a. Tahap persiapan Peneliti memposisikan tubuh lansia secara nyaman. Lansia diinstruksikan untuk berbaring terlentang dengan rileks, mata tertutup, melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. b. Tahap pelaksanaan Pada tahapan ini responden melaksanakan latihan relaksasi

kerja

Obse rvasi atau wawa mcar a terstr uktur

Rasi o

Jawaba n: 1=6ja m 2=68jam

Depende n Peningkat an Jumlah jam tidur Jumlah jam tidur lansia selama 24 jam di PSWT Meci

otot progresif dengan dibimbing langsung oleh peneliti sendiri. c. Tahap penutupan Pada tahapan ini responden

53

Angi yang dilakukan 2 kali pengukuran (pretest & postest)

bersiap-siap untuk istirahat Peningkatan jumlah jam tidur lansia dengan criteria : Kuantitas : 6-8 jam semalam

4.6

Tempat penelitian

Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB. 4.7 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada Bulan Agustus Tahun 2010 4.8 Instrumen penelitian

Instrument yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah melalui kuesioner. sehingga semua dan

Kuesioner atau angket dibuat terstruktur memungkinkan pertanyaan responden diajukan dapat menjawab

yang

mengenai

demografi

lembar observasi.

4.9

Prosedur pengumpulan data data adalah proses pendekatan

Pengumpulan

kepada subyek dan proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2003)

54

Sebelum pelaksanaan latihan relaksasi otot progresif a. Responden dibagi dalam 2 kelompok masing-masing jumlahnya 22 responden, dimana kelompok 1 diberikan intervensi pada minggu pertama dan kelompok 2 diberikan intervensi pada minggu ke 2.b. Tahap

pengukuran

kebutuhan

tidur

Setelah dilakukan

mendapat

persetujuan,

kemudian

pengukuran jumlah jam tidur responden yang dilakukan di Panti Sosial Tresna Meci Angi Bima. c. Pengkondisian responden 1) Peneliti menyarankan agar pakaian yang

digunakan lansia tidak terlalu ketat dan lansia juga dianjurkan untuk buang air kecil terlebih dahulu. 2) Dilakukan dalam keadaan konsentrasi,

sehingga keadaan tegang dan rileks lebih dapat dirasakan. 3) Peneliti memposisikan tubuh lansia secara

nyaman. Lansia diinstruksikan untuk duduk tegak dengan rileks, mata tertutup, melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang 4) Lansia di bimbing untuk melakukan latihan

relaksasi otot progresif. Pelaksanaan latihan relaksasi otot progresif

55

a. Tahap persiapan Peneliti memposisikan tubuh lansia secara nyaman. Lansia diinstruksikan untuk berbaring terlentang atau duduk dengan rileks, mata tertutup, melonggarkan pakaian disekitar leher dan pinggang. b. Tahap pelaksanaan Pada tahapan ini responden melaksanakan latihan relaksasi otot progresif dengan dibimbing langsung oleh peneliti sendiri. c. Tahap penutupan Pada tahapan ini responden bersiap-siap untuk

istirahat. Sesudah latihan relaksasi otot progresif a. Tahap pengukuran kebutuhan istirahat dan tidur Pengukuran dilakukan di panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB setelah dilakukan intervensi

latihan relaksasi otot progresif selama satu minggu yaitu setelah 7 kali latihan relaksasi otot progresif. b. Tahap evaluasi Pada tahapan ini peneliti menanyakan kembali

perasaan responden dan menjelaskan bahwa intervensi telah selesai dilakukan.

56

4.10 Analisa data Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian dengan melakukan analisa data yang meliputi persiapan, tabulasi dan aplikasi data (Aural, 2003). Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan statistik t test yang menggunakan pretest dan post-tes one group design.

Dengan rumus : t= Keterangan : md xd = mean dari perbedaan pre test dan post test = deviasi masing-masing subyek md=

x2d = jumlah kuadrat deviasi N d.b = subyek pada sampel = ditentukan dengan N-1

Cara menganalisis data t1 dibandingkan dengan nilai tabel dari t denga tingkat kepercayaan 95% (0,05) kesimpulan :1. Apabila t1t maka Ho diterima, berarti antara ada hubungan yang signifikan

variabel yang di uji (ada efek).

4.11 Etika penelitian 4.11.1 Infermed Consent

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapat rekomendasi dari Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang, kemudian diserahkan kepada pihak (tempat) yang akan dilakukan penelitian dengan menekankan masalah etika sebagai berikut : a. Lembar permohonan menjadi responden Lembar permohonan diedarkan sebelum penelitian dilaksanakan agar responden maksud dan tujuan penelitian b. Lembar persetujuan menjadi responden Jika responden bersedia diteliti, responden harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. 4.11.2 Anonymity (kerahsiaan) dapat mengetahui

58

Kerahasiaan mengacu pada tanggug jawab peneliti untuk menjaga kerahasiaan responden pada lembar pengumpulan data, cukup hanya dengan member kode atau inisial pada masing-masing lembar pengumpulan data. 4.11.3 Confidentiality (kejujuran) Confident atau kejujuran merujuk pada suatu

kebenaran dalam memberikan informasi yang akurat tentang studi atau memberikan responden informasi yang akurat mengenai partisipasi mereka dalam prokek riset. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti. Hanya kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau di laporkan sebagai hasil riset. 4.11.4 Righ to self Detemination (hak untuk tidak ikut menajadi responden) Yaitu responden diminta menjadi responden partisipan dalam penelitian ini dan apabila responden setuju, responden persetujuan. dipersilahkan Adapun menandatangani surat

penandatanganan

responden

dalam keadaan tenang, cukup waktu untuk berfikir dan memahaminya (Nursalam, 2003).

59

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Penelitian Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB pada bulan Agustus 2010. Dari data yang diperoleh dari Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota BimaNTB pada bulan Agustus 2010 didapatkan data terdapat 50 orang lansia. Beragam masalah yang dkeluhkan lansia di Panti

60

tersebut dan diantaranya adalah masalah kebutuhan tidur yang kurang dari kebutuhan normal. Perubahan fisik dan fungsi akibat proses menua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tidak terpenuhinya kebutuhan tidur pada lansia. Dalam

penelitian ini upaya yang dilakukan untuk meningkatkan jumlah jam tidur pada lansia adalah dengan memberikan latihan relaksasi otot progresif, dimana latihan relaksasi otot ini

bertujuan untuk merilekskan otot-otot mulai dari otot tangan, otot bahu, otot wajah, dan otot paha. Dengan melakukan latihan relaksasi otot progresif yang teratur dapat membantu lansia untuk meningkatkan jumlah jam tidur.

5.2 Hasil Penelitian 5.2.1 Data karakteristik responden Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 44 orana lansia. Sampel diambil secara simple random sampling. Berikut adalah data tentang karakteristik responden

berdasarkan pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan umur lansia. 5.2.1.1 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan,

pekerjaan, jenis kelamin dan umur lansia. Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, pendidikan, jenis kelamin, dan pekerjaan di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota BimaNTB

61

N o 1

Karakteristik Pendidikan SD SMP Jumlah Umur 60-69 Tahun 70-79 Tahun Jumlah Pekerjaan Pensiun Swasta Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah

Frekuensi

Prosentase (%)

30 14 44 22 22 44 12 32 44 29 15 44

68,18% 31,82% 100 50% 50% 100 27,27% 72,73% 100 65,91% 34,09% 100

2

3

4

Dari tabel 5.1 diketahui bahwa dari 44 responden sebagian besar pendidikan responden adalah SD sebanyak 30 responden (68,18%), sedangkan berdasarkan umur lansia rata-rata 60-69 dan 70-79 karena masing-masing berjumlah 22 responden (50%), berdasarkan pekerjaan sebagian besar pekerjann

responden adalah swasta sebanyak 32 responden (72,27%) dan berdasarkan jenis kelaminsebagian besar jenis kelamin

responden adalah laki-laki sebanyak 29 responden (65,91%).

62

5.2.2 Data Khusus 5.2.2.1 Perubahan Jumlah jam tidur lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB setelah diberikan Latihan Relaksasi Otot Progresif Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Perubahan Jumlah Jam Tidur Pada Lansia Setelah diberikan Latihan Relaksasi Otot Pogresif Perubahan jam Frekuensi Prosentase (%) tidur Meningkat 44 100% Tetap Menurun Total 0 0 44 0% 0% 100%

Dari tabel 5.2 diketahui bahwa dari 44 responden bahwa setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif jumlah jam tidur lansia meningkat sebanyak 44 responden (100%), ini berarti bahwa setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif jumlah jam tidur lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB mengalami peningkatan 100%.

5.2.2.2 Perbandingan Data Lama Tidur Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif .

63

Tabel 5.3: Perbandingan Data Lama Tidur Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif Karakteristik Sebelum (pre) Sesudah (post) Mean 4,9 6,2 Standar Deviasi Nilai min-max 0,88 4-7 0,79 5-8

Dari tabel 5.3 diketahui bahwa lama tidur lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha Meci Angi Bima-NTB sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif rata-rata lama tidur responden adalah 4,9 (5) jam sedangkan setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif lama tidur lansia meningkat menjadi 6,2 (6) jam, ini berarti sebelum dan sesudah diberikan latihan relaksasi otot progresif ada peningkatan jumlah jam tidur. Berdasarkan standar deviasi diketahui bahwa sebelum latihan relaksasi diberikan otot progresif sebesar otot 0,87 sedangkan menjadi setelah 0,79.

latihan

relaksasi

progresif

Berdasarkan jumlah jam tidur lansia sebelum diberikan latihan relaksasi otot adalah 4-7 jam sedangkan jumlah jam tidur lansia setelah diberikan latihan relaksasi otot progresif meningkat menjadi 5-8 jam.

5.2.3.2 Uji Efektivitas Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Peningkatan Jumlah Jam Tidur Lansia di Panti Sosia Tresna Werdha Meci Angi Kota Bima-NTB

64

Berdasarkan

jawaban

mengenai

jumlah

jam

tidur

responden sebelum dan sesudah diberkan latihan relaksasi otot progresif menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah jam tidur, dimana pada saat sesudah diberikan latihan relaksasi oto progresif jumlah jam tidur pada lansia meningkat dibandingkan denga sebelum diberikan latihan relaksasi otot progresif. Namun untuk mengetahui bahwa jam latihan tidur relaksasi lansia, efektif maka untuk perlu

meningkatkan

jumlah

pada

dilakukan pengujian secara statistik dengan menggunakan uji t yang berpasangan (paired sampel t test). Adapun hasil pengujian dengan uji t berpasangan (paired sampel t test) secara manual dapat diperlihatkan sebagai berikut: d post test Total d Rata-rata d (d) Total d =-61,4 =729 =-27 = selisih total skor antara jumlah jam tidur pre dan

simpangan baku (standar deiasi) dari d = n-1 = 729 - (-27)/44 44-1 = 16,57

d - (d) / n

65

Dengan demikian hasil perhitungan untuk uji t berpasangan adalah : t= d std.dev / n = 16,57/ -61,4 44 = -24,56

= t/2 (n-1) = t0,025(49) =2,010

Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa nilai t hitung (-24,57) secara absolut (tidak memperhatikan nilai negatifnya) ternyata lebih besar dari nilai t tabel (2,010),dan didukung dengan menggunakan software SPSS release 16 yang menunjukkan nilai siginfikansi sebesar 0,000 (p