18
Laporan Kasus Rinitis Alergi Disusun oleh : MOHAMMAD SATRIO AKBAR DOKTER PEMBIMBING: Dr!itria S SpTHT KEPANITERAAN KLINIK ILM" PENTAKIT THT RSISLAM #AKARTA PONDOK KOPI PROGRAM ST"DI KEDOKTERAN !AK"LTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN "NI$ERSITAS M"HAMMADI%AH #AKARTA

rhinitis Alergika .doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rhinitia Alergika

Citation preview

STATUS MEDICUS THT

Laporan Kasus

Rinitis Alergi

Disusun oleh:

MOHAMMAD SATRIO AKBAR

DOKTER PEMBIMBING:

Dr.Fitria S Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENTAKIT THT

RS.ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

STATUS MEDICUS THT

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. Sodiq

Jenis Kelamin: Laki-laki

Usia

: 43 tahun

Alamat

: Pd. Bambu Jakarta Timur

Pekerjaan: buruh pabrik besi pulogadung

Agama

: Islam

Tgl Berobat: 11 november 2009

ANAMNESIS

Keluhan Utama: pilek beringus sejak 4 jam yang lalu

Keluhan Tambahan:

bersin-bersin dan hidung gatal

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan pilek beringus banyak jernih sejak 4 jam yang lalu. Keluhan ini disertai bersin-bersin dan rasa gatal di hidung. Pasien mengaku gejala seperti ini sudah sering sejak kecil.. Semua keluhan ini pasti timbul jika pasien menghirup uap yang berbau merangsang terutama uap bumbu masakan dan debu. Keluhan hidung tersumbat (-),keluhan di telinga (-), terbangun karena sesak di malam hari (-), batuk (-), pusing (-), sakit kepala (+), pilek beringus di pagi hari (-),sakit tenggorokan (-), mual(-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Maag (-)

Hipertensi (-)Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah kandung pasien memiliki Asma

Riwayat Kebiasaan

Jarang berolah raga

Merokok (+)

Alkohol (-)

Riwayat Sosial

Tempat tinggal pasien perkampungan pasien tinggal bersama 1 orang isteri dan 2 orang anak usia 5 dan 8 tahun. Dapur dan ruang keluarga yang menyatu dan kurang ventilasi PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum: sakit ringan

Kesadaran

: Komposmentis

Tanda-tanda Vital:

TD

:120/80 mmhg

Nadi: 80x/ menit

Suhu: 36.5 0C

Napas: 20x/ menit

Status Generalis

Kepala: Normochepal

Mata: Skelera ikterik -/-, anemis -/-

Mulut: sianosis -, bibir kering

Thorax: Simetris, Retraksi -/-, massa -/-

Abdomen: Cembung -, massa

Ekstremitas: udem -/-

Kulit: scar

Status Lokalis THT

Telinga kananTelinga kiri

Helik Sign (-)

Tragus Sign (-)AurikulaHelik sign (-)

Tragus Sign (-)

Lapang, Sekret (-), serumen (+)Canalis Akustikus eksternusLapang, Sekret (-), serumen (+)

Intak, jernih, reflek cahaya +Membrana TimpaniIntak, jernih, reflek cahaya +

+Rinne+

Lateralisasi -weberLateralisasi -

Sama dgn pemeriksaSwabachSama dgn pemeriksa

Kesimpulan : Pendengaran kedua telinga normal

HIDUNG

Cavum Nasi : kanan / kiri sempitMukosa : Edema (+)/(+), sekret (+)/(+), livid.

Concha : hipertrofi (+)/(+)

Septum : Deviasi Septum (-)

Nasopharynx : Sekret (-), Massa (-)

FARINGMukosa : Hiperemis (-), sekret (-)

Uvula : Ditengah

Tonsil : T1 T1, hiperemis - , edematosa - , kripta (-)

LEHERTrakea : letak simetrisKGB : pembesaran kelenjar (-)Tiroid : pembesaran (-), bergerak saat menelan RESUME

Pasien datang dengan pilek beringus banyak jernih sejak 4 jam yang lalu. Keluhan ini disertai bersin-bersin dan rasa gatal di hidung. Pasien mengaku gejala seperti ini sudah sering sejak kecil.. Semua keluhan ini pasti timbul jika pasien menghirup uap yang berbau merangsang terutama uap bumbu masakan dan debu. Pasien juga mengeluh sakit kepala (+) karena sering bersin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran komposmentis, suhu 36.50C. pada pemeriksaan cavum nasi kanan / kiri sempit Mukosa Edema (+)/(+), sekret (+)/(+), berwarna livid, Concha hipertrofi (+)/(+) ,Septum Deviasi Septum (-), Nasopharynx Sekret (-), Massa (-)

DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja

Rinitis Alergi

Diagnosis Banding: -

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Eosinofil darah tepi.

Tes cukit.

Terapi

Terapi edukasi

Jaga daya tahan tubuhBila tidur jangan langsung berhadapan dengan kipas anginRutin berolah raga

Menggunakan masker bila keluar rumah

Memperbaiki ventilasi dan kebersihan rumah

Menghindari faktor pencetus

medikamentosa.

Anti histamin : loratadin 10 mg 2x 1Dekongestan: pseudoefedrin HCL 120mg 2x 1

Anti inflamasi: dexametason 0.5 mg 3x/hari

Prognosis

Et vitam : ad bonam

Et functionam: ad bonam

Et sanactionam: dubia ad malamBAB II

Pembahasan Teori

2.1 Definisi

Definisi yang dituliskan oleh Von Pirquet, 1986, rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

Sedangkan definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinintis and Impact on Asthma) tahun 2001 adalah selainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang terperantarai oleh Ig E.

2.2Anatomi Hidung

Anatomi dan Embriologi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1) pangkal hidung (bridge),

2) dorsum nasi,

3) puncak hidung,

4) ala nasi,

5) kolumela dan

6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.2.Perdarahan Hidung

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

.

5 Fisiologi Hidung

Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara dan refleks nasal.Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (mgdg air, mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan protein pengikat bau (G-protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium. syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :

- Harus mudah menguap (mudah masuk ke liang hidung

- Sedikit larut dalam air (mudah melalui mukus

- mudah larut dalam lemak(sel-sel rambut olfaktoria dan

ujung luar sel-sel olfaktoria td dari zat lemak .

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket).2.3 EtiologiEtiologi dibagi berdasarkan pembagian jenis Rinitis Alergi. Beberapa pasien sensitif terhadap multipel alergen dan bisa memiliki Rinitis alergi musiman dan sepanjang tahun secara bersamaan. Alergi makanan juga dapat menyebabkan Rinitis Alergi, terutama pada anak, tetapi hal tersebut jarang terjadi kecuali simtom pada gastrointestinal atau kulit.

1. Rinitis Alergi Musiman, dapat disebabkan karena adanya serbuk sari dari pohon, rumput liar, dan tanaman (bunga, dll). Pohon contohnya pada pohon ek, maple, cedar, dan zaitun. Sedangkan pada tanaman biasanya disebabkan oleh Kentucky bluegrass, tanaman buah, redtop, timothy, vernal, meadow fescue, Bermuda, dan perennial rye.

2. Alergi sepanjang tahun biasanya disebabkan karena adanya alergen di dalam rumah tetapi dapat juga diakibatkan alergen di luar rumah. Pada iklim yang lebih hangat, paparan terhadap serbuk sari dari tanaman liar dapat terjadi sepanjang tahun. Alergen lainnya adalah debu di dalam rumah, binatang peliharaan, kecoa, tikus.

2.4 Patofisiologi

Rinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktif) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig E). Ig E disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukosit D4 (LT D4). Leukotrien C4 (LT C4), bradikin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll, yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan terus berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derivided Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Perixidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.

2.5Pembagian Rinitis Alergi

Dahulu Rinitis Alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (parenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu atau kurang dari 4 minggu

2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolah raga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang atau berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.6Rinitis Alergi Musiman

Di Indonesia tidak dikenal Rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal, disertai lakrimasi).

Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan usia dan biasanya mulai timbul pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen diudara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.

2.7Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (Perenial)

Etiologi

Penyebab tersering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alegen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomis tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (kucing, anjing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.

Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtkaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibsndingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan

Gejala Klinik

Gejala khas ialah serangan bersin berulang, terutama pagi hari atau apabila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain ialah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung (karena gatal) dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.

2.8Diagnosis Rinitis Alergi

Anamnesis sangat penting karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Pada pemerksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livide disertai adanya sekret encer yang banyak.

Pemeriksaan Sitologi Hidung. Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan penunjang. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/ lap) mungkin di sebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

Hitung Leukosit Dalam Darah Tepi. Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari satu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbet Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbet Assay Test).

Dengan uji kulit, alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Kuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitasi dapat diketahui.2.9Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen pennyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

a.Medikamentosa

Pemakaian antihistamin yaitu antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan Rinitis Alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

b.Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

c. ImunoterapiDesensitasi dan hiposensitisasi, cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

2.10Komplikasi

Komplikasi Rinitis Alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media yang residif, terutama pada anak-anak

Faktor Risiko Otitis Media

Faktor risiko terhadap tuan rumah (host) diantaranya usia, prematuritas, ras, alergi, abnormalitas craniofasial, refluks gastroesophageal, adanya adenoid, dan predisposisi genetik.

Faktor risiko karena lingkungan terdiri dari infeksi saluran napas atas, level sosial ekonomi, perawatan kesehatan harian, dan lain-lain.

Riwayat Infeksi Saluran Napas Atas.

Insiden meningkat pada saat musim gugur dan musim dingin

Riwayat keluarga adanya penyakit pada telinga tengah dapat meningkatkan insiden.

3. Sinusitis paranasal.

Faktor predisposisi Sinusitis

Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasikan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuh bakteri.

Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahn pada mukosa serta kerusakan silia.

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainase.

Daftar Pustaka

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Alergi Hidung. Dalam: Soeparti EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ke Lima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 101-106.2. Mangunkusumo E, Rifki N. Sinusitis. Dalam: Soeparti EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ke Lima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 120.3. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung. Dalam: Soeparti EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ke Lima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 88-90.4. www.emedicine.com