65
BAB I LAPORAN KASUS 1. Identitas Pasien a. Nama : BP. S b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. Usia : 42 tahun d. Alamat : Brangkal, Karangrejo e. Pekerjaan : Petani f. Tanggal Pemeriksaan : 25 September 2012 g. No RM : 2134xx 2. Anamnesis a. Keluhan Utama : hidung tersumbat pada kedua sisi b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada kedua sisi yang dirasakan oleh pasien terus menerus sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan ini bertambah berat terutama saat pasien terkena hawa dingin terutama saat pagi hari dan ketika terpapar asap kendaraan. Pasien merasa hidung yang sebelah kanan lebih ringan daripada 1

Rhinitis Vasomotor

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Rhinitis Vasomotor

BAB I

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

a. Nama : BP. S

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Usia : 42 tahun

d. Alamat : Brangkal, Karangrejo

e. Pekerjaan : Petani

f. Tanggal Pemeriksaan : 25 September 2012

g. No RM : 2134xx

2. Anamnesis

a. Keluhan Utama : hidung tersumbat pada kedua sisi

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada kedua sisi

yang dirasakan oleh pasien terus menerus sejak 2 bulan yang lalu.

Keluhan ini bertambah berat terutama saat pasien terkena hawa dingin

terutama saat pagi hari dan ketika terpapar asap kendaraan. Pasien merasa

hidung yang sebelah kanan lebih ringan daripada yang kiri. Selain hidung

tersumbat, pasien juga mengeluh pilek yang tidak sembuh-sembuh dengan

keluar ingus bening dari hidung yang juga memberat saat terkena udara

dingin dan asap. Keluhan gatal hidung (-), nyeri pada hidung (-), mimisan

(-), gangguan penghidu pada hidung kiri, namun bisa menghidu ketika

aromanya menyengat. Pasien tidak mengeluh batuk, pasien juga

mengatakan sering pilek kambuh-kambuhan, yang kambuhnya jika

terkena udara dingin dan debu, batuk kambuh-kambuhan (-), sering batuk

1

Page 2: Rhinitis Vasomotor

saat kecil (-), keluhan telinga nyeri (-/-), telinga berdengung (-/-),

penurunan pendengaran (-/-), telinga gatal (-/-), telinga terasa penuh (-/-),

telinga seperti kemasukan air (-/-), keluar cairan dari telinga (-/-), sering

dikorek-korek pakai cutton bud (-/-), kemasukan air saat mandi (-/-),

keluhan nyeri tenggorok (-/-), nyeri telan (-), nyeri telan kambuh-

kambuhan (-), sulit menelan (-), sulit membuka mulut (-), sakit gigi (-),

keluar ludah banyak (-), nafas bau (-), bau mulut (-), bicara seperti orang

sengau (-), seperti ada yang mengganjal ditenggorokan (-), pusing (-),

lemas (-), sesak (-), gatal setelah minum obat tertentu (-), gatal setelah

makan makanan tertentu (-).

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat allergi : ada, dingin dan asap

(bersin, gatal-gatal, hidung tersumbat)

Riwayat benturan kepala : disangkal

Riwayat trauma sebelumnya : disangkal

Riwayat paparan suara keras : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat merokok : ada

Riwayat penyakit serupa : ya, sering kambuh-kambuhan.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat DM : disangkal

2

Page 3: Rhinitis Vasomotor

Riwayat allergi : disangkal

3. Pemeriksaan Fisik

a. Status Lokalis

Telinga

Inspeksi, palpasi, otoskopi

a. Inspeksi

AD : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),

bengkak (-), hiperemis (-),sekret (-).

AS : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),

bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-).

b. Palpasi

AD : tragus pain (-), manipulasi aurikula tidak sakit

AS : tragus pain (-), manipulasi aurikula tidak sakit

c. Otoskopi

AD : CAE oedem (-), hiperemis (-), secret (-), serumen (+),

membran timpani tampak utuh, discharge (-).

AS : CAE oedem (-), hiperemis (-), serumen (+),

sekret (-), membran timpani tampak utuh, discharge

d. Garputala

AD : Rinne : positif, webber : tidak terdapat lateralisasi,

schwabach : sama dengan pemeriksa.

AS : Rinne : positif, webber : tidak terdapat lateralisasi,

schwabach : sama dengan pemeriksa

3

Page 4: Rhinitis Vasomotor

Hidung dan Paranasal

Inspeksi, Palpasi

1) Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-), secret (-)

2) Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-)

Rhinoskopi anterior

ND : mukosa hiperemis (+), concha media dan inferior hipertrofi (+),

hiperemis (+), secret (+), discharge (-), septum nasi deviasi (-),

oedem (-), massa rongga hidung (-).

NS : mukosa hiperemis (+), concha media dan inferior hipertrofi (+),

hiperemis (+), secret (-), discharge (-), septum nasi deviasi (+),

oedem (-), massa dirongga hidung (-).

Nasofaring (Rinoskopi posterior)

Dinding belakang : tidak ada kelainan

Muara tuba eustachii : tidak ada kelainan

Adenoid : tidak ada kelainan

Tumor : tidak ada

4

Page 5: Rhinitis Vasomotor

Tenggorokan dan Laring

Inspeksi dan palpasi

1) Inspeksi : mukosa faring hiperemis (-), granulasi (-), tonsil tidak

membesar (-), tonsil hiperemis (-), uvula tidak

membengkak, palatum mole tidak membengkak (-).

2) Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)

Laring (Laringoskopi Indirek)

Epiglotis : Dbn

Aritenoid : Dbn

Gerak plika vokalis : Dbn

Subglotis : Dbn

Tumor : Dbn

Kepala dan Leher

5

Page 6: Rhinitis Vasomotor

Kepala : dbn

Leher : dbn

4. Pemeriksaan Penunjang

Foto rontgen sinus paranasal

5. Usulan Pemeriksaan

Laboratorium : darah rutin.

6. Differensial Diagnosis

Rhinitis kronis ec rhinitis vasomotor dengan septum deviasi kiri

7. Terapi

R/ Efedrin Hcl Tab No IX

S3dd1

R/ Prednison Tab No IX

S3dd1

R/CTM Tab No VI

S2dd1

R/Amoxycilin Tab No IX

S3dd1

6

Page 7: Rhinitis Vasomotor

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hidung

1. Anatomi hidung

Hidung terdiri dari hidung luar atau pyramid hidung dan rongga

hidung dengan perdarahan dan persarafannya (Balengger, 1994 ; Soetjipto

Mangun kusumo, 2002)

a. Hidung luar

Bagian puncak hidung bisaanya disebut apeks. Agak keatas dan

kebelakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang

berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi.

Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian

tengah bibir dan terletak disebelah distal kartilago septum. Titik

pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung.

Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal dengan

memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah menyebelah

kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung kanan) dan

kiri, disebelah latero superior dibatasi ala nasi dan disebelah inferior

oleh dasar hidung.

Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus

frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago

lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior)

kartilago septum nasi. Kerangka utama adalah keempat tulang yang

disebut diatas. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan

kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan

bawah os nasal.

7

Page 8: Rhinitis Vasomotor

Tepi bawah (kaudal) kartilago lateralis superior terletak dibawah

tepi atas (kranial) kartilago lateralis inferior. Bila kartilago lateralis

inferior diangkat dengan retractor barulah akan terlihat batas bawah

kartilago lateralis superior ini atau yang disebut limen nasi. Ada kalanya

kedua tepi kartilago lateralis superior dan inferior tidak melekat dengan

dibagian medial, sehingga menyebabkan kerangka hidung luar kurang

kuat. Disebelah lateral, antara kartilago lateralis superior dan inferior

terdapat beberapa kartilago sesamoid. Kartilago lateralis inferior

berbentuk ladam. Krus lateralnya lebar dan kuat, merupakan kerangka

ala nasi. Bagian medialnya lemah, sebagian meluas sepanjang tepi

kaudal kartilago septum nasi yang bebas dan sebagian lagi ada di di

dalam kolumela membranosa.

Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk disebut

arpetura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal

dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus

alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang

disebut spina nasalis anterior.

Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok

dilator yang terdiri dari m. dilator nares (anterior dan posterior), m.

proserus, kaput angulare m. kuadratus labii superior dan kelompok

konstriktor yang terdiri dari m. nasalis dan m.depreser spetil (Ballenger,

1994).

b. Rongga hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari

depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya

menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum

nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut

8

Page 9: Rhinitis Vasomotor

nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi,

tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini

dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-

rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding

medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah

septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan bagian

tulang adalah :

1. Lamina perpendikularis os etmoid

2. Vomer

3. Krista nasalis os maksila

4. Krista nasalis os palatine

Bagian tulang rawan adalah :

1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)

2. Kolumela

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh

mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi

dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengi sebagian besar

dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan

letaknya paling bawah yaitu konka inferior, kemudian yang lebih kecil

ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang

terkecil disebut konka suprema.

9

Page 10: Rhinitis Vasomotor

Kedua inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada

os maksila dan labirin etmoid konka media, superior, dan suprema

merupakan bagian dari labirin etmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga

meatus yaitu: meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior

terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral

rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

nasolakrimalis.

Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral

rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus

unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus

semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.

c. Perdarahan hidung

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang

a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan

a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama

n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior

konka media.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang

a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-

cabang a.sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.labialis superior, a. palatina

mayor, yang disebut pleksus kieselbach (little area). Pleksus kieselbach

letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering

menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar

10

Page 11: Rhinitis Vasomotor

hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus. Vena–vena dihidung tidak memiki katup, sehingga

merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi

sampai ke intracranial.

Gambar 1 perdarahan hidung

d. Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan

sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n

nasosiliaris yang berasal dari n oftalmikus (n. V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum.

Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan

sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk

mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari

n.maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superficialis

mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion

11

Page 12: Rhinitis Vasomotor

sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior

konka media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-

sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas

hidung.

Gambar 2. Persarafan hidung

e.Mukosa hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan

fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan

mukosa penghidu (olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga

hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu

(pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai sillia dan

diantaranya terdapat sel goblet.

12

Page 13: Rhinitis Vasomotor

Pada bagian yang terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan

kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel squamosal. Dalam

keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena

diliputi palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir

ini dihasilkan oleh kelenjar ukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi

yang penting. Dengan gerakan sillia teratur palut lendir di dalam kavum

nasi akan didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa

mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk

mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Ganguan pada fungsi sillia akan menyebankan banyak secret

terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan

gerakan sillia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan,

radang secret kental dan obat-obaran.

Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung

pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang

khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria

dan tersususn secara parallel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan

perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel.pembuluh

eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena yang

besar dindingnya dilapisi oleh jaringan elastis dan otot polos. Pada

bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya

sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam

lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai

suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan

mengerut. vasodilatasi dan vase konstriksi pembuluh darah ini

dipengaruhi oleh saraf otonom.

13

Page 14: Rhinitis Vasomotor

Pada bagian bawah mukosa melekat erat pada periosteum atau

perikordium (Ballenger, 1994 ; Soetjipto Mangunkusumo, 2002).

f. Fisiologi hidung

Fungsi hidung ialah untuk :

1) Jalan nafas

2) Pengatur kondisi udara (air conditioning)

3) Penyaring udara

4) Indra penghidu

5) Resonansi suara

6) Turut membantu proses suara

7) Reflex nasal (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra, 2007)

1. Jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik

ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah

nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau

arkus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002)

Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian

mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi,

dibagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares

anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran

dan bergabung dengan aliran dari nasofaring (Soetjipto,

Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra, 2007)

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru.

Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaan udara dan

mengatur suhu.

14

Page 15: Rhinitis Vasomotor

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut

lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh

uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim

dingin akan terjadi keadaan sebalikya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya

pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan

septum yang luas, sehingga dapat berlangsung secara optimal.

Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih

370 C (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra, 2007).

3. Penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari

debu dan bakteri dan dilakukan oleh :

a) Rambut (vibrise) pada vestibulum nasi

b) Silia

c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan

melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar

akan dikeluarkan dengan refleks bersin, Palut lendir ini akan

dialirkan ke nasofaring oleh karena gerakan sillia.

d) Enzim yang dapat mengancurkan beberapa jenis bakteri yang

disebut lysosim (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra,

2007).

4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan

sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai derah ini

dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas

dengan kuat.

15

Page 16: Rhinitis Vasomotor

5. Resonansi suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika

berbicara atau menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan

resonansi berkurang/hilang sehingga terdengar suara sungao

(rhinolalia).

6. Proses bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata

dibentuk oleh lidah, bibir, dan pallatum mole. Pada pembentukan

konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,

palatum turun naik untuk aliran udara.

7. Reflek nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubugan

dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Contoh: iritasi

mukosa hidung menyebabkan reflek bersin dan nafas terhenti.

Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,

lambung, dan pancreas.

.

B. Rhinitis

16

Page 17: Rhinitis Vasomotor

Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 ).

Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa.

Rhinitis adalah suatu inflamasi membran mukosa hidung dan mungkin

dikelompokan baik sebagai rhinitis alergik atau nonalergik. Rhinitis non-alergik

paling sering disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas, termasuk rhinitis viral

(Common cold) dan rhinitis nasal dan bacterial. Terjadi sebagai akibat masuknya

benda asing kedalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa.

Rhinitis mungkin suatu menifestasi alergi, dimana kasus ini disebut sebagai

rhinitis alergik. ( Smeltzer, Suzanne C. 2002. Hal 547-548 ).

Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:

1. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran

mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus

dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu

waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi

pada awal musim hujan dan musim semi.

2. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang

disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rhinitis

vasomotor.

1. Rhinitis Allergi

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2001, rhinitis allergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala

bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung

terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu:

1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).

17

Page 18: Rhinitis Vasomotor

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir sama,

hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. (Irawati, Kasakeyan,

Rusmono, 2008).

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi

dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih

dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi

dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang

mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut

diatas (Bousquet et al, 2001).

1) Etiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan

predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan

herediter sangat berperan pada ekspresi rhinitis alergi (Adams, Boies,

Higler, 1997). Penyebab rhinitis alergi tersering adalah alergen inhalan

pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai

gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab

rhinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien

sensitif terhadap beberapa allergen. Alergen yang menyebabkan rhinitis

alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi

18

Page 19: Rhinitis Vasomotor

perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies

utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides

pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang

pengerat (Becker, 1994).

Faktor risiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta

sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.

Kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk tumbuhnya

jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah

beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau

aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,

misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta

jamur.

2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,

misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,

misalnya penisilin atau sengatan lebah.

4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau

jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan,

2003).

2) Patofisiologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali

dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi

alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi

fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam

19

Page 20: Rhinitis Vasomotor

(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48

jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,

makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen

Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di

permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II

membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).

Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)

yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.

Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-

13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel

limfosit B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut

sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila

mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua

rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya

mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama

histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators

antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien

C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai

sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CS (Granulocyte Macrophage Colony

20

Page 21: Rhinitis Vasomotor

Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi

Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin

juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain

histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan

pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion

Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul

kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di

jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala

akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada

RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte

Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret

hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah

akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),

Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada

fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,

Rusmono, 2008)

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular

bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat

21

Page 22: Rhinitis Vasomotor

juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta

ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar

keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat

terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama

kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi

jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung

menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi

yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak

berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon

sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga

kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau

keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,

reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari

sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi

ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya

eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu

tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau

reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi

tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan

22

Page 23: Rhinitis Vasomotor

jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rhinitis

alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

3) Gejala rhinitis alergi

Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada

pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self

cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5

kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga

sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah

keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung

dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata

keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata,

telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung

melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat

sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic

salute), pucat dan edem mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.

Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda

di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar

hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk

retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari

hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler

akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk

suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev,

ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat

berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada

sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami

23

Page 24: Rhinitis Vasomotor

lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur

(Harmadji, 1993).

4) Penatalaksanaan rhinitis alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya

(avoidance) dan eliminasi.

2. Simptomatis

a) Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1,

yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel

target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering

dipakai sebagai inti pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian

dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan

secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu

golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non

sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat

menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan

plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat

simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal

hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya

rhinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala

trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil

diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid

tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,

mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik

topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi

rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel

efektor (Mulyarjo, 2006).

24

Page 25: Rhinitis Vasomotor

b) Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu

dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau

troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c) Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.

Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.

Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung

lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,

2006).

5) Komplikasi rhinitis alergi

a) Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous

glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar bisa banyaknya (lebih

eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,

dan metaplasia skuamosa.

b) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c) Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus

para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam

mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi

penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut

akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob

dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain

akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel

eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah

(Durham, 2006).

2. Rhinitis non alergi

Rhinitis non alergi adalah suatu peradangan pada selaput lendir

hidung tanpa latar belakang alergi. Rhinitis non alergi disebabkan oleh :

25

Page 26: Rhinitis Vasomotor

infeksi saluran nafas (rhinitis viral dan rhinitis bacterial, masuknya benda

asing kedalam hidung, deformitas structural, neoplasma, dan masa,

penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain,

dan anti hipertensif).

Gejala

1. Kongesti nasal

2. Rabas nasal (purulent dengan rhinitis bakterialis)

3. Gatal pada nasal

4. Bersin-bersin

5. Sakit kepala

Terapi medik

1. Pemberian antihistamin

2. Dekongestan

3. Kortikosteroid topical

4. Natrium kromolin

Berdasarkan penyebabnya, rhinitis non allergi digolongkan sebagai berikut:

a. Rhinitis Vasomotor

1) Pengertian

Rhinitis vasomotor adalah infeksi kronis lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf

parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan

sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di

hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus

yang encer (Soepardi, E.A, 2008).

Rhinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah

yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan

hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi (Stefen,

2005).

26

Page 27: Rhinitis Vasomotor

2) Etiologi

Etiologi pasti rhinitis vasomotor belum diketahui dan diduga

akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh

zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan

vasomotor:

a) Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,

seperti : ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat

vasokonstriktor opikal.

b) Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,

kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.

c) Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian

pil anti hamil dan hipotiroidisme.

d) Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue. (Kasakeyan,

1997)

3) Patogenesis

Rhinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular

pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem

saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik

seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi. Keadaan ini merupakan

refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan

dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu (Sunaryo,

Soepomo S, Hanggoro S, 1999).

1. Latar belakang

Adanya paparan terhadap suatu iritan → memicu

ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam mengontrol

pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung →

vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung →

hidung tersumbat dan rinore.

27

Page 28: Rhinitis Vasomotor

Disebut juga “ rhinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “

Merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan –

perubahan lingkungannya, berbeda dengan rhinitis alergi

yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada

zat allergen nya.

Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai

oleh IgE ( IgE-mediated hypersensitivity ).

2. Pemicu (triggers)

Alkohol

Perubahan temperatur / kelembapan

Makanan yang panas dan pedas

Bau – bauan yang menyengat ( strong odor )

Asap rokok atau polusi udara lainnya

Faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas

Penyakit – penyakit endokrin

Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral

(Becker W, Naumann H H, Pfaltz C, 1994)

4) Gejala Klinis

Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang

sulit dibedakan dengan rhinitis alergi seperti hidung tersumbat dan

rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering

dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat

bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan

posisi (Bernstein JM, 1994). Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata

bila dibandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di

hidung dan mata (Cody DTR, Kern EB, Pearson BW, 1986). Gejala

dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena

28

Page 29: Rhinitis Vasomotor

adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh

karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai

keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip )

(Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R, 1994).

Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor

dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi

(blockers) dan golongan rinore (runners / sneezers). Prognosis

pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore.

Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi perlu

anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan

diagnosisnya.

5) Diagnosis

Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rhinitis vasomotor

Riwayat penyakit a. Tidak berhubungan dengan

musim.

b. Riwayat keluarga (-)

c. Riwayat alergi sewaktu

anak-anak (-)

d. Timbul sesudah dewasa

e. Keluhan gatal dan bersin

Pemeriksaan THT 1. Struktur abnormal (-)

2. Tanda-tanda infeksi (-)

3. Pembengkakan pada

mukosa (+)

4. Hipertrofi konka inferior

sering dijumpai.

Radiologi x-Ray/ CT a) Tidak dijumpai bukti kuat

keterlibatan sinus.

29

Page 30: Rhinitis Vasomotor

b) Umumnya dijumpai

penebalan mukosa.

Bakteriologi Rhinitis bakterial (-)

Tes Alergi IgE total Normal

Prick test Negatif atau positif lemah

RAST Negatif atau positif lemah

(Jones AS, 1997)

6) Penatalaksanaan rhinitis vasomotor

Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor

penyebab dan gejala yang menonjol.

Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :

a) Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )

b) Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

1. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk

mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :

Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta

Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).

2. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.

3. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,

rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal

yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Bisaanya digunakan

paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang

memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,

Flunisolide atau Beclomethasone.

4. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai

keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal

spray)

30

Page 31: Rhinitis Vasomotor

c) Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :

a. Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%

atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara

elektrik ( electrical cautery ).

b. Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of

the inferior turbinate ).

c. Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )

d. Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate

resection).

e. Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).

f. Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan

melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas

tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien

dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan,

dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat

menimbulkan berbagai komplikasi (Jones AS, 1997).

7) Komplikasi rhinitis vasomotor

1. Sinusitis

2. Eritema pada hidung sebelah luar

3. Pembengkakan wajah

(Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R, 1994)

8) Prognosis rhinitis vasomotor

Prognosis dari rhinitis vasomotor bervariasi. Penyakit

kadang-kadang dapat membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga

resisten terhadap pengobatan yang diberikan (Becker W,

Naumann H H, Pfaltz C R, 1994).

31

Page 32: Rhinitis Vasomotor

b. Rhinitis Medikamentosa

1) Pengertian

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa

gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian

vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung) dalam

waktu yang lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan

hidung yang menetap (Nadel JA. Murray dan Nadel’s, 2005).

2) Etiologi

Dekongestan yang menyebabkan rhinitis medikamentosa :

a) Nasal Decongestan

1. Sympathomimetic:

a. Amphetamine

b. Benzedrine

c. Caffeine

d. Ephedrine

e. Mescaline

f. Phenylephrine

g. Pheniylpropanolamine

h. Pseudoephedrine

2. Imidazoline

a. Clonidine

b. Naphazoline

c. Oxymetazoline

d. Xylometazoline

(Sheikh J, Najib U, 200

32

Page 33: Rhinitis Vasomotor

3) Patofisiologi

3.

4)Gejala

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.

Pada pemeriksaan tampak edema dan hipertrofi konka dengan secret

hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka

tidak berkurang (Restuti A D, 2007).

5) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada rhinitis medika mentosa adalah

1. Hentikan pemakaian obat tetes/semprot hidung.

2. Untuk mengatasi sumbatan hidung berulang (rebound congestion)

berikan kortikosteroid tappering off dengan penurunan dosis 5

mg/hari.

3. Dekongestan oral : pseudoefedrin.

4. Operatif bila tidak ada perbaikan selama tiga minggu : cauterisasi

konka inferior, conchotomi konka inferior.

33

Pemakaian topical vasokonstriktor yang berulang dan dalam jangka waktu yang lama

Vasodilatasi berulang

(rebound dilatation) setelah vasokonstriksi

Timbul gejala obstruksi

Rhinitis medikamentosa

(rebound dilatation)

Menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut

Page 34: Rhinitis Vasomotor

c. Rhinitis Atrofi

1) Pengertian

Rhinitis atrofi yaitu penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai

adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan

pembentukan krusta (Endang M dan Nusjirawan, 2006).

2) Etiologi

Penyebab rhinitis atrofi belum diketahui sampai sekarang. Namun

ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan

terjadinya rhinitis atrofi:

a) Infeksi setempat/kronik spesifik.

b) Defisiensi Fe dan vitamin A

c) Infeksi sekunder (sinusitis kronik)

d) Kelainan hormone (estrogen)

e) Penyakit kolagen

(Asnir, A.R, 2004).

3) Gejala klinis

a) Hidung tersumbat

b) Gangguan penciuman (anosmia)

c) Ingus kental berwarna hijau

d) Adanya krusta berwarna hijau

e) Epistaksis

f) Hidung terasa kering. (Arif, 2006)

4) Diagnosis

Diagnosis rhinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal,

pemeriksaan Fe serum, mantoux test, pemeriksaan hitopatologi

dan tes serologi untuk menyingkirkan sifilis (Asnir, A.R, 2004).

34

Page 35: Rhinitis Vasomotor

5) Diagnosis banding

a) Rhinitis kronis TBC

b) Rhinitis kronis lepra

c) Rhinitis kronis sifilis

d) Rhinitis sika

6) Komplikasi

a) Perforasi septum

b) Faringitis

c) Sinusitis

d) Miasis hidung

e) Hidung pelana

7) Penatalaksanan

Hingga kini pengobatan medis terbaik untuk rhinitis

atrofi hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan

membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal

dengan endokrin, steroid, dan antibiotik, vasodilator, pemakaian

iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol dan salep pelumas.

Penekanan terapi utama adalah pembedahan (Asnir, A.R, 2004).

35

Page 36: Rhinitis Vasomotor

C. Deviasi Septum

1. Pengertian

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi

dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh

(Mangunkusumo, Endang, Nisar, N.W, 2006).

2. Etiologi

Penyebab paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah

lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa intrauterine.

Ketidakseimbangan pertumbuhan menyebabkan tulang rawan septum nasi

terus menerus tumbuh meskipun batas superior dan inferior sudah menetap.

Trauma juga dapat disebabkan berupa pukulan ke wajah (Iskandar, Nurbaiti,

2001).

3. Insidensi

Obstruksi nasal adalah masalah yang sering dijumpai. Pada tahun

1974, Vainio-Mattila menemukan 33% insiden dari obstruksi jalan nafas

hidung diantara sampel dewasa acak. Deviasi septum ditemukan lebih

sering berupa malformasi struktural yang menyebabkan obstruksi hidung.

Pada klinis ditemukannya 26% untuk kasus deviasi septum (Iskandar,

Nurbaiti, 2001).

4. Klasifikasi

Deviasi septum dibagi atas bebebrapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi,

yaitu:

1. Tipe I, benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.

2. Tipe II, benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun

masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.

3. Tipe III, deviasi pada konka media (area osteometal dan turbinasi

tengah).

4. Tipe IV, “septum” (posterior kesisi lain, dan anterior kesisi lainnya).

36

Page 37: Rhinitis Vasomotor

5. Tipe V, tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi

lain ,masih normal.

6. Tipe VII, tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga

menunjukkan rongga asimetri.

7. Tipe VII, kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipeVI

37

Page 38: Rhinitis Vasomotor

Bentuk – bentuk dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya

berbentuk C atau S, dislokasi/bagian bawah kartilago septum keluar

dari krista maksila, dan masuk ke dalam rongga hidung, penonjolan

tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke

belakang disebut krista (seperti gambaran pegunungan), dan bila

sangat runcing dan pipih disebut spina (gambaran seperti gunung),

sinekia bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan

konka dihadapannya.

5. Diagnosis

Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi

langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga

pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari

pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke

arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil

pemeriksaan bisa normal.

Deviasi deptum yang ringan tidak akan mengganggu, akan

tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada

satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung

dan menyebabkan komplikasi.

38

Page 39: Rhinitis Vasomotor

Gejala yang sering timbul bisaanya sumbatan hidung, yang

unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri dikepala

dan disekitar mata selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila

terdapat pada bagian atas septum (Kartika, Henry, 2007).

6. Penatalaksanan

Apabila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan tidak

diperlukan dilakukan tindakan koreksi septum. Ada dua jenis tindakan

operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata

yaitu reseksi submukosa dan septoplasti (Iskandar Nurabaiti, 2001).

a. Reseksi Submukosa (Submucous septum resection SMR)

Pada operasi ini mukosa perikondium dan

mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan

tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum

kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan

mukoperistium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di

garis tengah.

Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi

seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya

39

Page 40: Rhinitis Vasomotor

puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum

terlalu banyak diangkat (Iskandar Nurabaiti, 2001).

b. Septoplasti atau reposisi septum

Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi.

Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan

cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul

pada operasi reseksi mukosa, seperti terjadinya perforasi septum

dan hidung pelana (Iskandar Nurabaiti, 2001).

40

Page 41: Rhinitis Vasomotor

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosis rhinitis kronis yang disebabkan rhinitis

vasomotor dengan septum deviasi. Diagnosis itu ditegakkan berdasarkan hasil

anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari hasil anamnesa didapatkan pasien datang

dengan keluhan hidung tersumbat pada kedua sisi yang dirasakan pasien terus

menerus sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan ini bertambah berat terutama saat pasien

terkena hawa dingin terutama saat pagi hari dan ketika terpapar asap kendaraan.

Keadaan tersebut hingga menyebabkan pasien merasa sesak nafas. Pasien merasa

bahwa hidung yang sebelah kanan lebih ringan daripada yang kiri. Selain hidung

tersumbat, pasien juga mengeluh pilek yang tidak sembuh-sembuh dengan keluar

ingus bening dari hidung yang juga memberat saat terkena udara dingin dan asap

keluhan gatal pada hidung (-), nyeri pada hidung (-), mimisan (-), gangguan

penghidu pada hidung kiri, namun masih bisa menghidu ketika aroma kuat. Pasien

tidak mengeuh batuk. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya sering pilek kambuh-

kambuhan yang kambuhny jika terkena udara dingin dan debu, batuk kambuh-

kambuhan (-), sering batuk saat kecil (-), pasien tidak memiliki gangguan telinga.

Pada pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan mukosa hiperemis (+), concha

media dan inferior hipertrofi (+), hiperemis (+), secret (+) pada kedua sisi. Namun

terdapat deviasi pada rongga hidung sebelah kiri. Hal ini semakin diperkuat dengan

adanya perasat coutel (+) pada sisi sebelah kiri.

Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada vaktor penyebab dan

gejala yang menonjol. Secara garis besar. Pengobaatan dibagi dalam:

1. Menghindari penyebab/pencetus

2. Pengobatan konservatif (farmakoterapi)

41

Page 42: Rhinitis Vasomotor

3. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan

hidung tersumbat, rinore, dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi

local yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.

4. Antikoliergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan.

5. Analgesik : untuk mengurangi rasa sakit.

6. Dekongestan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.

.

DAFTAR PUSTAKA

42

Page 43: Rhinitis Vasomotor

A s n i r , A . R .   2 0 0 4 .  Rinitis Atrofi.Available from :http://www.kalbe.co.id .

Accessed : 2012, September 22. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,

2004.2 .

S o e d a r j a t n i . 1 9 7 7 .  FoetorEx Nasi. Available from :http://www.kalbe.co.id . Accessed: 2012, September 22. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 19

Al –fatih, M. 2007. R i n i t i s   A t r o f i   ( O z a e n a ) . A v a i l a b l e f r o m : http://hennykartika.wordpress.com. Acces sed   :   2012 ,Sep t embe r12 .  Sumber :  Buku A ja r   Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta :Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

Arif, M., et al. 2006. Rhinitis Atrofi (Ozaenea) : Available From : http://www.geocities.com : 2012, September 22. Sumber : Buku Kapita SelektaKedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.

Adams. L. G., et al. 1997.  Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta Ed. ke-6. Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta

E n d a n g , M . & N u s j i r w a n , R . 2 0 0 6 .  Rinorea, Infeksi Hidung dan SinusBuku A jar   I lmu  Keseha tan  Te l i nga ,  H idung ,Tenggorok ,  Kepa la  &  Leher .   E d .   k e - 5 . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

    

43