Upload
fafa-turtle
View
452
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
a. Nama : BP. S
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Usia : 42 tahun
d. Alamat : Brangkal, Karangrejo
e. Pekerjaan : Petani
f. Tanggal Pemeriksaan : 25 September 2012
g. No RM : 2134xx
2. Anamnesis
a. Keluhan Utama : hidung tersumbat pada kedua sisi
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada kedua sisi
yang dirasakan oleh pasien terus menerus sejak 2 bulan yang lalu.
Keluhan ini bertambah berat terutama saat pasien terkena hawa dingin
terutama saat pagi hari dan ketika terpapar asap kendaraan. Pasien merasa
hidung yang sebelah kanan lebih ringan daripada yang kiri. Selain hidung
tersumbat, pasien juga mengeluh pilek yang tidak sembuh-sembuh dengan
keluar ingus bening dari hidung yang juga memberat saat terkena udara
dingin dan asap. Keluhan gatal hidung (-), nyeri pada hidung (-), mimisan
(-), gangguan penghidu pada hidung kiri, namun bisa menghidu ketika
aromanya menyengat. Pasien tidak mengeluh batuk, pasien juga
mengatakan sering pilek kambuh-kambuhan, yang kambuhnya jika
terkena udara dingin dan debu, batuk kambuh-kambuhan (-), sering batuk
1
saat kecil (-), keluhan telinga nyeri (-/-), telinga berdengung (-/-),
penurunan pendengaran (-/-), telinga gatal (-/-), telinga terasa penuh (-/-),
telinga seperti kemasukan air (-/-), keluar cairan dari telinga (-/-), sering
dikorek-korek pakai cutton bud (-/-), kemasukan air saat mandi (-/-),
keluhan nyeri tenggorok (-/-), nyeri telan (-), nyeri telan kambuh-
kambuhan (-), sulit menelan (-), sulit membuka mulut (-), sakit gigi (-),
keluar ludah banyak (-), nafas bau (-), bau mulut (-), bicara seperti orang
sengau (-), seperti ada yang mengganjal ditenggorokan (-), pusing (-),
lemas (-), sesak (-), gatal setelah minum obat tertentu (-), gatal setelah
makan makanan tertentu (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat allergi : ada, dingin dan asap
(bersin, gatal-gatal, hidung tersumbat)
Riwayat benturan kepala : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
Riwayat paparan suara keras : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat merokok : ada
Riwayat penyakit serupa : ya, sering kambuh-kambuhan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
2
Riwayat allergi : disangkal
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Lokalis
Telinga
Inspeksi, palpasi, otoskopi
a. Inspeksi
AD : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),
bengkak (-), hiperemis (-),sekret (-).
AS : bentuk telinga normal, deformitas (-), bekas luka (-),
bengkak (-), hiperemis (-), sekret (-).
b. Palpasi
AD : tragus pain (-), manipulasi aurikula tidak sakit
AS : tragus pain (-), manipulasi aurikula tidak sakit
c. Otoskopi
AD : CAE oedem (-), hiperemis (-), secret (-), serumen (+),
membran timpani tampak utuh, discharge (-).
AS : CAE oedem (-), hiperemis (-), serumen (+),
sekret (-), membran timpani tampak utuh, discharge
d. Garputala
AD : Rinne : positif, webber : tidak terdapat lateralisasi,
schwabach : sama dengan pemeriksa.
AS : Rinne : positif, webber : tidak terdapat lateralisasi,
schwabach : sama dengan pemeriksa
3
Hidung dan Paranasal
Inspeksi, Palpasi
1) Inspeksi : deformitas (-), bekas luka (-), secret (-)
2) Palpasi : krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior
ND : mukosa hiperemis (+), concha media dan inferior hipertrofi (+),
hiperemis (+), secret (+), discharge (-), septum nasi deviasi (-),
oedem (-), massa rongga hidung (-).
NS : mukosa hiperemis (+), concha media dan inferior hipertrofi (+),
hiperemis (+), secret (-), discharge (-), septum nasi deviasi (+),
oedem (-), massa dirongga hidung (-).
Nasofaring (Rinoskopi posterior)
Dinding belakang : tidak ada kelainan
Muara tuba eustachii : tidak ada kelainan
Adenoid : tidak ada kelainan
Tumor : tidak ada
4
Tenggorokan dan Laring
Inspeksi dan palpasi
1) Inspeksi : mukosa faring hiperemis (-), granulasi (-), tonsil tidak
membesar (-), tonsil hiperemis (-), uvula tidak
membengkak, palatum mole tidak membengkak (-).
2) Palpasi : limfadenopati (-), nyeri tekan (-)
Laring (Laringoskopi Indirek)
Epiglotis : Dbn
Aritenoid : Dbn
Gerak plika vokalis : Dbn
Subglotis : Dbn
Tumor : Dbn
Kepala dan Leher
5
Kepala : dbn
Leher : dbn
4. Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen sinus paranasal
5. Usulan Pemeriksaan
Laboratorium : darah rutin.
6. Differensial Diagnosis
Rhinitis kronis ec rhinitis vasomotor dengan septum deviasi kiri
7. Terapi
R/ Efedrin Hcl Tab No IX
S3dd1
R/ Prednison Tab No IX
S3dd1
R/CTM Tab No VI
S2dd1
R/Amoxycilin Tab No IX
S3dd1
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hidung
1. Anatomi hidung
Hidung terdiri dari hidung luar atau pyramid hidung dan rongga
hidung dengan perdarahan dan persarafannya (Balengger, 1994 ; Soetjipto
Mangun kusumo, 2002)
a. Hidung luar
Bagian puncak hidung bisaanya disebut apeks. Agak keatas dan
kebelakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang
berlanjut sampai ke pangkal hidung dan menyatu dengan dahi.
Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian
tengah bibir dan terletak disebelah distal kartilago septum. Titik
pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung.
Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal dengan
memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah menyebelah
kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung kanan) dan
kiri, disebelah latero superior dibatasi ala nasi dan disebelah inferior
oleh dasar hidung.
Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus
frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago
lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi ventral (anterior)
kartilago septum nasi. Kerangka utama adalah keempat tulang yang
disebut diatas. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan
kartilago septum nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan
bawah os nasal.
7
Tepi bawah (kaudal) kartilago lateralis superior terletak dibawah
tepi atas (kranial) kartilago lateralis inferior. Bila kartilago lateralis
inferior diangkat dengan retractor barulah akan terlihat batas bawah
kartilago lateralis superior ini atau yang disebut limen nasi. Ada kalanya
kedua tepi kartilago lateralis superior dan inferior tidak melekat dengan
dibagian medial, sehingga menyebabkan kerangka hidung luar kurang
kuat. Disebelah lateral, antara kartilago lateralis superior dan inferior
terdapat beberapa kartilago sesamoid. Kartilago lateralis inferior
berbentuk ladam. Krus lateralnya lebar dan kuat, merupakan kerangka
ala nasi. Bagian medialnya lemah, sebagian meluas sepanjang tepi
kaudal kartilago septum nasi yang bebas dan sebagian lagi ada di di
dalam kolumela membranosa.
Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk disebut
arpetura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal
dan prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus
alveolaris maksila. Di garis tengah ada penonjolan (prominentia) yang
disebut spina nasalis anterior.
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
dilator yang terdiri dari m. dilator nares (anterior dan posterior), m.
proserus, kaput angulare m. kuadratus labii superior dan kelompok
konstriktor yang terdiri dari m. nasalis dan m.depreser spetil (Ballenger,
1994).
b. Rongga hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari
depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum
nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut
8
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi,
tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini
dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior, dan superior. Dinding medial hidung ialah
septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan bagian
tulang adalah :
1. Lamina perpendikularis os etmoid
2. Vomer
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan adalah :
1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
2. Kolumela
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh
mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi
dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengi sebagian besar
dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah yaitu konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema.
9
Kedua inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
os maksila dan labirin etmoid konka media, superior, dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu: meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.
c. Perdarahan hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang
a.maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior
konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang
a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.labialis superior, a. palatina
mayor, yang disebut pleksus kieselbach (little area). Pleksus kieselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
10
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena–vena dihidung tidak memiki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke intracranial.
Gambar 1 perdarahan hidung
d. Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n
nasosiliaris yang berasal dari n oftalmikus (n. V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superficialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
11
sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior
konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-
sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas
hidung.
Gambar 2. Persarafan hidung
e.Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan
mukosa penghidu (olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu
(pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai sillia dan
diantaranya terdapat sel goblet.
12
Pada bagian yang terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel squamosal. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar ukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi
yang penting. Dengan gerakan sillia teratur palut lendir di dalam kavum
nasi akan didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa
mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Ganguan pada fungsi sillia akan menyebankan banyak secret
terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan sillia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan,
radang secret kental dan obat-obaran.
Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang
khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria
dan tersususn secara parallel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel.pembuluh
eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena yang
besar dindingnya dilapisi oleh jaringan elastis dan otot polos. Pada
bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam
lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai
suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. vasodilatasi dan vase konstriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom.
13
Pada bagian bawah mukosa melekat erat pada periosteum atau
perikordium (Ballenger, 1994 ; Soetjipto Mangunkusumo, 2002).
f. Fisiologi hidung
Fungsi hidung ialah untuk :
1) Jalan nafas
2) Pengatur kondisi udara (air conditioning)
3) Penyaring udara
4) Indra penghidu
5) Resonansi suara
6) Turut membantu proses suara
7) Reflex nasal (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra, 2007)
1. Jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik
ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002)
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi,
dibagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares
anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring (Soetjipto,
Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra, 2007)
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru.
Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaan udara dan
mengatur suhu.
14
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir (mucous blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh
uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi keadaan sebalikya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah dibawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga dapat berlangsung secara optimal.
Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih
370 C (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra, 2007).
3. Penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari
debu dan bakteri dan dilakukan oleh :
a) Rambut (vibrise) pada vestibulum nasi
b) Silia
c) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan
melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin, Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh karena gerakan sillia.
d) Enzim yang dapat mengancurkan beberapa jenis bakteri yang
disebut lysosim (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002 ; Dhingra,
2007).
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai derah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.
15
5. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara atau menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang/hilang sehingga terdengar suara sungao
(rhinolalia).
6. Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata
dibentuk oleh lidah, bibir, dan pallatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,
palatum turun naik untuk aliran udara.
7. Reflek nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubugan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Contoh: iritasi
mukosa hidung menyebabkan reflek bersin dan nafas terhenti.
Rangsangan bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung, dan pancreas.
.
B. Rhinitis
16
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 ).
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa.
Rhinitis adalah suatu inflamasi membran mukosa hidung dan mungkin
dikelompokan baik sebagai rhinitis alergik atau nonalergik. Rhinitis non-alergik
paling sering disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas, termasuk rhinitis viral
(Common cold) dan rhinitis nasal dan bacterial. Terjadi sebagai akibat masuknya
benda asing kedalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa.
Rhinitis mungkin suatu menifestasi alergi, dimana kasus ini disebut sebagai
rhinitis alergik. ( Smeltzer, Suzanne C. 2002. Hal 547-548 ).
Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:
1. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus
dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu
waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi
pada awal musim hujan dan musim semi.
2. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang
disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rhinitis
vasomotor.
1. Rhinitis Allergi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rhinitis allergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
17
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir sama,
hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. (Irawati, Kasakeyan,
Rusmono, 2008).
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi
dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih
dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi
dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas (Bousquet et al, 2001).
1) Etiologi Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rhinitis alergi (Adams, Boies,
Higler, 1997). Penyebab rhinitis alergi tersering adalah alergen inhalan
pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai
gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rhinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien
sensitif terhadap beberapa allergen. Alergen yang menyebabkan rhinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rhinitis alergi
18
perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies
utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat (Becker, 1994).
Faktor risiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.
Kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk tumbuhnya
jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan,
2003).
2) Patofisiologi Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi
alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
19
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48
jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-
13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien
C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai
sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CS (Granulocyte Macrophage Colony
20
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008)
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular
bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
21
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi
yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu
tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau
reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
22
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rhinitis
alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
3) Gejala rhinitis alergi
Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5
kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata,
telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung
melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic
salute), pucat dan edem mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan.
Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda
di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk
retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler
akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk
suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev,
ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami
23
lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur
(Harmadji, 1993).
4) Penatalaksanaan rhinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a) Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai inti pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rhinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil
diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik
topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor (Mulyarjo, 2006).
24
b) Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c) Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,
2006).
5) Komplikasi rhinitis alergi
a) Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar bisa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.
b) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c) Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus
para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam
mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi
penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob
dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah
(Durham, 2006).
2. Rhinitis non alergi
Rhinitis non alergi adalah suatu peradangan pada selaput lendir
hidung tanpa latar belakang alergi. Rhinitis non alergi disebabkan oleh :
25
infeksi saluran nafas (rhinitis viral dan rhinitis bacterial, masuknya benda
asing kedalam hidung, deformitas structural, neoplasma, dan masa,
penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain,
dan anti hipertensif).
Gejala
1. Kongesti nasal
2. Rabas nasal (purulent dengan rhinitis bakterialis)
3. Gatal pada nasal
4. Bersin-bersin
5. Sakit kepala
Terapi medik
1. Pemberian antihistamin
2. Dekongestan
3. Kortikosteroid topical
4. Natrium kromolin
Berdasarkan penyebabnya, rhinitis non allergi digolongkan sebagai berikut:
a. Rhinitis Vasomotor
1) Pengertian
Rhinitis vasomotor adalah infeksi kronis lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh terganggunya keseimbangan sistem saraf
parasimpatis dan simpatis. Parasimpatis menjadi lebih dominan
sehingga terjadi pelebaran dan pembangkakan pembuluh darah di
hidung. Gejala yang timbul berupa hidung tersumbat, bersin dan ingus
yang encer (Soepardi, E.A, 2008).
Rhinitis vasomotor adalah kondisi dimana pembuluh darah
yang terdapat di hidung menjadi membengkak sehingga menyebabkan
hidung tersumbat dan kelenjar mukus menjadi hipersekresi (Stefen,
2005).
26
2) Etiologi
Etiologi pasti rhinitis vasomotor belum diketahui dan diduga
akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh
zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan
vasomotor:
a) Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis,
seperti : ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat
vasokonstriktor opikal.
b) Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin,
kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang.
c) Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian
pil anti hamil dan hipotiroidisme.
d) Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue. (Kasakeyan,
1997)
3) Patogenesis
Rhinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular
pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem
saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik
seperti yang dijumpai pada rhinitis alergi. Keadaan ini merupakan
refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non – spesifik. Serangan
dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu (Sunaryo,
Soepomo S, Hanggoro S, 1999).
1. Latar belakang
Adanya paparan terhadap suatu iritan → memicu
ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam mengontrol
pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung →
vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung →
hidung tersumbat dan rinore.
27
Disebut juga “ rhinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) “
Merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan –
perubahan lingkungannya, berbeda dengan rhinitis alergi
yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada
zat allergen nya.
Tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai
oleh IgE ( IgE-mediated hypersensitivity ).
2. Pemicu (triggers)
Alkohol
Perubahan temperatur / kelembapan
Makanan yang panas dan pedas
Bau – bauan yang menyengat ( strong odor )
Asap rokok atau polusi udara lainnya
Faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas
Penyakit – penyakit endokrin
Obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral
(Becker W, Naumann H H, Pfaltz C, 1994)
4) Gejala Klinis
Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang
sulit dibedakan dengan rhinitis alergi seperti hidung tersumbat dan
rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering
dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan
posisi (Bernstein JM, 1994). Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata
bila dibandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di
hidung dan mata (Cody DTR, Kern EB, Pearson BW, 1986). Gejala
dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena
28
adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh
karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai
keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip )
(Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R, 1994).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor
dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi
(blockers) dan golongan rinore (runners / sneezers). Prognosis
pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore.
Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.
5) Diagnosis
Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rhinitis vasomotor
Riwayat penyakit a. Tidak berhubungan dengan
musim.
b. Riwayat keluarga (-)
c. Riwayat alergi sewaktu
anak-anak (-)
d. Timbul sesudah dewasa
e. Keluhan gatal dan bersin
Pemeriksaan THT 1. Struktur abnormal (-)
2. Tanda-tanda infeksi (-)
3. Pembengkakan pada
mukosa (+)
4. Hipertrofi konka inferior
sering dijumpai.
Radiologi x-Ray/ CT a) Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan sinus.
29
b) Umumnya dijumpai
penebalan mukosa.
Bakteriologi Rhinitis bakterial (-)
Tes Alergi IgE total Normal
Prick test Negatif atau positif lemah
RAST Negatif atau positif lemah
(Jones AS, 1997)
6) Penatalaksanaan rhinitis vasomotor
Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :
a) Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
b) Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
1. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
2. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
3. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal
yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Bisaanya digunakan
paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang
memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone,
Flunisolide atau Beclomethasone.
4. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai
keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal
spray)
30
c) Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :
a. Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara
elektrik ( electrical cautery ).
b. Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of
the inferior turbinate ).
c. Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
d. Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection).
e. Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).
f. Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas
tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien
dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan,
dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai komplikasi (Jones AS, 1997).
7) Komplikasi rhinitis vasomotor
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
(Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R, 1994)
8) Prognosis rhinitis vasomotor
Prognosis dari rhinitis vasomotor bervariasi. Penyakit
kadang-kadang dapat membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga
resisten terhadap pengobatan yang diberikan (Becker W,
Naumann H H, Pfaltz C R, 1994).
31
b. Rhinitis Medikamentosa
1) Pengertian
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa
gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung) dalam
waktu yang lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap (Nadel JA. Murray dan Nadel’s, 2005).
2) Etiologi
Dekongestan yang menyebabkan rhinitis medikamentosa :
a) Nasal Decongestan
1. Sympathomimetic:
a. Amphetamine
b. Benzedrine
c. Caffeine
d. Ephedrine
e. Mescaline
f. Phenylephrine
g. Pheniylpropanolamine
h. Pseudoephedrine
2. Imidazoline
a. Clonidine
b. Naphazoline
c. Oxymetazoline
d. Xylometazoline
(Sheikh J, Najib U, 200
32
3) Patofisiologi
3.
4)Gejala
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.
Pada pemeriksaan tampak edema dan hipertrofi konka dengan secret
hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka
tidak berkurang (Restuti A D, 2007).
5) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rhinitis medika mentosa adalah
1. Hentikan pemakaian obat tetes/semprot hidung.
2. Untuk mengatasi sumbatan hidung berulang (rebound congestion)
berikan kortikosteroid tappering off dengan penurunan dosis 5
mg/hari.
3. Dekongestan oral : pseudoefedrin.
4. Operatif bila tidak ada perbaikan selama tiga minggu : cauterisasi
konka inferior, conchotomi konka inferior.
33
Pemakaian topical vasokonstriktor yang berulang dan dalam jangka waktu yang lama
Vasodilatasi berulang
(rebound dilatation) setelah vasokonstriksi
Timbul gejala obstruksi
Rhinitis medikamentosa
(rebound dilatation)
Menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut
c. Rhinitis Atrofi
1) Pengertian
Rhinitis atrofi yaitu penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan
pembentukan krusta (Endang M dan Nusjirawan, 2006).
2) Etiologi
Penyebab rhinitis atrofi belum diketahui sampai sekarang. Namun
ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan
terjadinya rhinitis atrofi:
a) Infeksi setempat/kronik spesifik.
b) Defisiensi Fe dan vitamin A
c) Infeksi sekunder (sinusitis kronik)
d) Kelainan hormone (estrogen)
e) Penyakit kolagen
(Asnir, A.R, 2004).
3) Gejala klinis
a) Hidung tersumbat
b) Gangguan penciuman (anosmia)
c) Ingus kental berwarna hijau
d) Adanya krusta berwarna hijau
e) Epistaksis
f) Hidung terasa kering. (Arif, 2006)
4) Diagnosis
Diagnosis rhinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal,
pemeriksaan Fe serum, mantoux test, pemeriksaan hitopatologi
dan tes serologi untuk menyingkirkan sifilis (Asnir, A.R, 2004).
34
5) Diagnosis banding
a) Rhinitis kronis TBC
b) Rhinitis kronis lepra
c) Rhinitis kronis sifilis
d) Rhinitis sika
6) Komplikasi
a) Perforasi septum
b) Faringitis
c) Sinusitis
d) Miasis hidung
e) Hidung pelana
7) Penatalaksanan
Hingga kini pengobatan medis terbaik untuk rhinitis
atrofi hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan
membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal
dengan endokrin, steroid, dan antibiotik, vasodilator, pemakaian
iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol dan salep pelumas.
Penekanan terapi utama adalah pembedahan (Asnir, A.R, 2004).
35
C. Deviasi Septum
1. Pengertian
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh
(Mangunkusumo, Endang, Nisar, N.W, 2006).
2. Etiologi
Penyebab paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah
lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa intrauterine.
Ketidakseimbangan pertumbuhan menyebabkan tulang rawan septum nasi
terus menerus tumbuh meskipun batas superior dan inferior sudah menetap.
Trauma juga dapat disebabkan berupa pukulan ke wajah (Iskandar, Nurbaiti,
2001).
3. Insidensi
Obstruksi nasal adalah masalah yang sering dijumpai. Pada tahun
1974, Vainio-Mattila menemukan 33% insiden dari obstruksi jalan nafas
hidung diantara sampel dewasa acak. Deviasi septum ditemukan lebih
sering berupa malformasi struktural yang menyebabkan obstruksi hidung.
Pada klinis ditemukannya 26% untuk kasus deviasi septum (Iskandar,
Nurbaiti, 2001).
4. Klasifikasi
Deviasi septum dibagi atas bebebrapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi,
yaitu:
1. Tipe I, benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II, benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III, deviasi pada konka media (area osteometal dan turbinasi
tengah).
4. Tipe IV, “septum” (posterior kesisi lain, dan anterior kesisi lainnya).
36
5. Tipe V, tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain ,masih normal.
6. Tipe VII, tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga asimetri.
7. Tipe VII, kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipeVI
37
Bentuk – bentuk dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya
berbentuk C atau S, dislokasi/bagian bawah kartilago septum keluar
dari krista maksila, dan masuk ke dalam rongga hidung, penonjolan
tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke
belakang disebut krista (seperti gambaran pegunungan), dan bila
sangat runcing dan pipih disebut spina (gambaran seperti gunung),
sinekia bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan
konka dihadapannya.
5. Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi
langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga
pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari
pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke
arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil
pemeriksaan bisa normal.
Deviasi deptum yang ringan tidak akan mengganggu, akan
tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada
satu sisi hidung. Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung
dan menyebabkan komplikasi.
38
Gejala yang sering timbul bisaanya sumbatan hidung, yang
unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri dikepala
dan disekitar mata selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila
terdapat pada bagian atas septum (Kartika, Henry, 2007).
6. Penatalaksanan
Apabila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan tidak
diperlukan dilakukan tindakan koreksi septum. Ada dua jenis tindakan
operatif yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan yang nyata
yaitu reseksi submukosa dan septoplasti (Iskandar Nurabaiti, 2001).
a. Reseksi Submukosa (Submucous septum resection SMR)
Pada operasi ini mukosa perikondium dan
mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan
tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum
kemudian diangkat, sehingga mukoperikondrium dan
mukoperistium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di
garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi
seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya
39
puncak hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum
terlalu banyak diangkat (Iskandar Nurabaiti, 2001).
b. Septoplasti atau reposisi septum
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi.
Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan
cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul
pada operasi reseksi mukosa, seperti terjadinya perforasi septum
dan hidung pelana (Iskandar Nurabaiti, 2001).
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini didiagnosis rhinitis kronis yang disebabkan rhinitis
vasomotor dengan septum deviasi. Diagnosis itu ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari hasil anamnesa didapatkan pasien datang
dengan keluhan hidung tersumbat pada kedua sisi yang dirasakan pasien terus
menerus sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan ini bertambah berat terutama saat pasien
terkena hawa dingin terutama saat pagi hari dan ketika terpapar asap kendaraan.
Keadaan tersebut hingga menyebabkan pasien merasa sesak nafas. Pasien merasa
bahwa hidung yang sebelah kanan lebih ringan daripada yang kiri. Selain hidung
tersumbat, pasien juga mengeluh pilek yang tidak sembuh-sembuh dengan keluar
ingus bening dari hidung yang juga memberat saat terkena udara dingin dan asap
keluhan gatal pada hidung (-), nyeri pada hidung (-), mimisan (-), gangguan
penghidu pada hidung kiri, namun masih bisa menghidu ketika aroma kuat. Pasien
tidak mengeuh batuk. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya sering pilek kambuh-
kambuhan yang kambuhny jika terkena udara dingin dan debu, batuk kambuh-
kambuhan (-), sering batuk saat kecil (-), pasien tidak memiliki gangguan telinga.
Pada pemeriksaan status lokalis hidung didapatkan mukosa hiperemis (+), concha
media dan inferior hipertrofi (+), hiperemis (+), secret (+) pada kedua sisi. Namun
terdapat deviasi pada rongga hidung sebelah kiri. Hal ini semakin diperkuat dengan
adanya perasat coutel (+) pada sisi sebelah kiri.
Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada vaktor penyebab dan
gejala yang menonjol. Secara garis besar. Pengobaatan dibagi dalam:
1. Menghindari penyebab/pencetus
2. Pengobatan konservatif (farmakoterapi)
41
3. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan
hidung tersumbat, rinore, dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi
local yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.
4. Antikoliergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan.
5. Analgesik : untuk mengurangi rasa sakit.
6. Dekongestan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
.
DAFTAR PUSTAKA
42
A s n i r , A . R . 2 0 0 4 . Rinitis Atrofi.Available from :http://www.kalbe.co.id .
Accessed : 2012, September 22. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004.2 .
S o e d a r j a t n i . 1 9 7 7 . FoetorEx Nasi. Available from :http://www.kalbe.co.id . Accessed: 2012, September 22. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 19
Al –fatih, M. 2007. R i n i t i s A t r o f i ( O z a e n a ) . A v a i l a b l e f r o m : http://hennykartika.wordpress.com. Acces sed : 2012 ,Sep t embe r12 . Sumber : Buku A ja r Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta :Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
Arif, M., et al. 2006. Rhinitis Atrofi (Ozaenea) : Available From : http://www.geocities.com : 2012, September 22. Sumber : Buku Kapita SelektaKedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
Adams. L. G., et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta Ed. ke-6. Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta
E n d a n g , M . & N u s j i r w a n , R . 2 0 0 6 . Rinorea, Infeksi Hidung dan SinusBuku A jar I lmu Keseha tan Te l i nga , H idung ,Tenggorok , Kepa la & Leher . E d . k e - 5 . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
43