Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
iii
RINGKASAN
Penelitian ini membahas persoalan hukum mengenai karakter bentuk dan isi
pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, dengan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa
berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.
2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah
Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?
3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan
kebijakan tentang Desa tahun 2014?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan
langkah-langkah melakukan studi tekstual terhadap peraturan perundang-
undangan, yang didukung studi empirik untuk mendapatkan pemahaman
bekerjanya Perda tentang SOTK Pemdes, melakukan analisis terhadap data yang
terkumpul, dan penarikan kesimpulan.
Kesimpulan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah: Pertama, karakter bentuk dan isi
Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah
Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 yakni:
1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa
bersifat atribusian, yakni memuat pokok-pokok yang baru.
2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat
diskresioner, dalam hal ini memuat norma diskresi, yakni memberikan
ruang kebebasan kepada Desa untuk menentukan jumlah Perangkat Desa
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat.
3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat
delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tanpa memuat
pokok-pokok yang baru.
4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat imperatif,
yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan Perdes
tentang SOTK Pemerintahan Desa.
5. Praktiknya, Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa tidak dibentuk.
Kedua, faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda
berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan
kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:
1. Terdapat Perda yang memuat faktor yuridis yang menjadi pertimbangan
perlunya menetapkan Perda dan terdapat Perda yang memuat faktor
filosofis. sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya
menetapkan Perda.
2. Perda SOTK yang dibentuk dalam kerangka UU 6/2014 dan PP 43/2014
adalah berkarakter atribusian yang menyebabkan faktor yang menjadi
pertimbangan perlunya menetapkan Perda adalah faktor
iv
3. Secara normatif pembentukan Perda dalam kerangka UU 6/20014 dan PP
43/2014 adalah filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Ketiga, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa
tahun 2014 adalah:
1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat
atribusian, yakni memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi
Daerah.
2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat
diskresioner, dalam pengertian memberikan ruang kebebasan kepada
Desa untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang urusan sebagai
unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi sebagai
pelaksana teknis yang merupakan unsur pembantu kepala desa.
3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat
delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat imperatif,
yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan SOTK
Pemerintah Desa dengan Perdes.
Saran yang diajukan berdasakan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi
pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah:
1. Perda Pedoman SOTK Pemerintah Desa agar memuat norma mengenai
strategi implementasi, yang memastikan Pemerintahan Desa menetapkan
SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.
2. Perda SOTK Pemerintah Desa adalah bersifat atribusian, oleh karena itu
Pemerintahan Kabupaten/Kota dapat segera menetapkan Perda SOTK
Pemerintah Desa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum
dalam penetapan SOTK Pemerintah Desa.
3. Perdes SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam kerangka ini
Pemerintahan Desa agar memanfaatkan sifat diskresioner tersebut dengan
baik, dalam pengertian agar menetapkan nomenklatur dan jumlah bidang
urusan-bidang urusan dan seksi-seksi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan keuangannya.
v
PRAKATA
Atas berkat rahkmat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa,
dan kerja sama yang dari Tim Peneliti, penelitian bertajuk Karakter Bentuk dan Isi
Pengaturan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dapat
diselesaikan.
Terimakasih disampaikan kepada Bapak Rektor, Ketua Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitasi untuk mengadakan
penelitian.
Terimakasih juga disampaikan kepada banyak pihak, yang tidak dapat
disebutkan namanya satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan.
Denpasar, 13 Oktober 2015
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ii
RINGKASAN.........................................................................................................iii
PRAKATA .............................................................................................................v
DAFTAR ISI ..........................................................................................................vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 5
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT ...................................................................... 6
2.1.Tujuan ...................................................................................................... 6
2.2. Manfaat .................................................................................................... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8
3.1. Studi Terdahulu ....................................................................................... 8
3.2. Studi Pendahuluan ................................................................................. 10
3.3. Kerangka Teoritik .................................................................................. 18
3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan ........................................................ 24
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 25
4.1. Pendekatan Penelitian ............................................................................ 25
4.2. Pengumpulan Data ................................................................................. 26
4.3. Analisis Data .......................................................................................... 26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 30
vii
5.1. Hasil Penelitian perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa .......................30
5.2. Pembahasan perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa .......................59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 1077
6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 107
6.2. Saran .................................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 1133
LAMPIRAN ......................................................................................................... 116
• Pedoman wawancara.
• CV Personalia tenaga peneliti.
viii
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Bagan 3.1. Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan
perundang-undangan ................................................................................. 20
Tabel 3.1. Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa .......................................................................... 10
Tabel 3.2. Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa ........................................................................... 17
Tabel 3.3. Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi
Kewenangan Perundang-undangan .............................................................. 19
Tabel 5.1. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP
72/2005 ..................................................................................................... 31
Tabel 5.2. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP
72/2005 ..................................................................................................... 37
Tabel 5.3. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dalam UU 6/2014 ............................................................ 55
Tabel 5.4. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/KotaKabupaten/Kota dalam PP 43/2014 ................................... 57
Tabel 5.5. Kategori Bentuk dan Isi Perda Badung 3/2007 ................................. 60
Tabel 5.6. Kategori Bentuk dan Isi Perda Denpasar 5/2007 ............................... 63
Tabel 5.7. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para
Sarjana Indonesia ...................................................................................... 68
Tabel 5.8. Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-
undangan ................................................................................................... 70
Tabel 5.9. Pertimbangan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan Menurut
UU 12/2011 .............................................................................................. 71
Tabel 5.10. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan
Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011 ................................................... 72
Tabel 5.11. Konsiderans Peraturan Daerah ........................................................ 74
Tabel 5.12. Praktik Penyelenggaraan Perda Badung 3/2007 .............................. 78
Tabel 5.13. Sinkronisasi Perda Badung 3/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014
.................................................................................................................. 83
Tabel 5.14. Sinkronisasi Perda Denpasar 5/2007 dengan UU 6/2014 dan PP
43/2014 .................................................................................................... 92
Tabel 5.15. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Ranperda tentang
Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa................... 99
Tabel 5.16. Materi muatan Peraturan Daerah Menurut UU 12/2011 dan UU
23/2014 .................................................................................................. 100
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 32/2004), mengatur tentang Desa
di dalam Bab XI, mulai dari Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Pasa1 216 ayat
(1) menentukan, “Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan da1am Perda
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”
Berdasarkan ketentuan tersebut ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang Desa (selanjutnya disingkat PP 72/2005). Berkenaan dengan
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, di dalam PP 72/2005 disebut
susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa. Pasal 12 ayat (5) PP 72/2005
menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan
dengan peraturan desa.” Pemerintahan desa dalam menetapkan Peraturan Desa
(Perdes) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa mengacu
pada pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota
(Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005).
Uraian tersebut menunjukkan di masa berlakunya UU 32/2004, PP 72/2005
menentukan adanya 2 (dua) jenis peraturan perundang-undangan mengenai
susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, yakni:
2
hn_risethups_2015
1. Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa,
yang menjadi dasar menetapkan susunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa.
2. Perda Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam penetapan Perdes
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Telah dilakukan penelitian pendahuluan dan ditemukan, pemerintahan
daerah kabupaten/kota di Bali telah menetapkan Perda yang mengatur pemberian
pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, antara lain
adalah:
1. Perda Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya
disingkat Perda Badung 3/2007); dan
2. Perda Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat
Perda Denpasar 5/2007).
Reformasi kebijakan tentang desa tahun 2014 mengubah ketentuan tersebut
di dalam PP 72/2005. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disingkat UU 6/2014) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya
disingkat PP 43/2014) tidak mengatur keharusan membuat Perda dan Perdes
perihal struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa ataupun Pemerintahan
3
hn_risethups_2015
Desa. Berkenaan dengan tema penelitian ini, Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014
menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan
struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Adanya reformasi kebijakan tentang desa yang dituangkan dalam UU
6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014, menempatkan
Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007 pada posisi ketiadaan dasar
hukum dan arah kebijakan (politik hukum) tentang desa.
Di sisi lain, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 yang
menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan
struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, menimbulan persoalan
mengenai:
1. Kepada siapa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan tata
kerja Pemerintah Desa? Asumsinya kepada Badan Permusyawaratan
Desa (BPD), karena BPD adalah lembaga yang melakukan fungsi
pemerintahan di desa, selain Pemerintah Desa, yakni Kepala Desa yang
dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa.
2. Dalam bentuk apa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa? Asumsinya dalam bentuk Rancangan
Perdes, karena kebijakan yang dihasilkan oleh Kepala Desa dan BPD
adalah Perdes.
3. Apa saja isi usulan Kepala Desa tersebut? Asumsinya bagian-bagian
struktur organisasi pemerintah desa (bukan pemerintahan desa) dan
4
hn_risethups_2015
hubungan tata kerja dari bagian-bagian struktur organisasi pemerintah
desa (bukan pemerintahan desa).
Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 khususnya, dan UU 6/2014 dan PP
43/2014 tidak lengkap mengatur perihal struktur organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa.
Berdasarkan atas persoalan-persoalan tersebut, perlu dilakukan penelitian
hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan berkenaan dengan susunan
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa
berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.
2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja
Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?
3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan
kebijakan tentang Desa tahun 2014?.
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Perda tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa
berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004, yang dimaksud dalam penelitian
ini, adalah Perda Kabupaten Badung dan Perda Kota Denpasar. Ini berdasarkan
5
hn_risethups_2015
pertimbangan, Perda Kabupaten Badung mewakili Perda Kabupaten yang ada di
Bali, sedangkan Perda Kota Denpasar mewakili susunan pemerintahan daerah
kota di Bali, yang merupakan satu-satunya Kota di Bali.
Perda Kabupaten Badung yang dimaksud adalah Perda Kabupaten Badung
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa (Perda Badung 3/2007) dan Perda Kota Denpasar yang
dimaksud adalah Perda Kota Dnpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (Perda Denpasar 5/2007).
Perdes tentang tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa,
sepanjang penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya
Perdes dimaksud. Seperti di Kabupaten Badung, pemerintahan desa langsung
menetapkan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa dengan
mendasarkan pada Perda Badung 3/2007.1
1 Mengemuka dalam Sosialisasi Ranperda SOTK Pemdes, Kamis 3 September 2015,
diselenggarakan oleh BPMD Pemdes Kabupaten Badung, di Puspem Badung.
6
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT
2.1. Tujuan
Tujuan penelitian karakter pengaturan stuktur oraganisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa adalah:
1. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan
Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja
Pemerintahan Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa
tahun 2004.
2. Memahami dan menginterpretasi faktor yang menjadi pertimbangan
perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur
organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan
tentang Desa tahun 2014.
3. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan
Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.
2.2. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai
karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi
dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa
tahun 2004. Informasi ini akan menjadi konteks praktik-pengalaman dalam
pembuatan Perda dan Perdes berikutnya.
7
hn_risethups_2015
Selain itu, urgensi penelitian ini, khususnya mengenai pertimbangan
perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan
tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014,
berikut karakter bentuk dan isi dari Perda dan Perdes bersangkutan, adalah dalam
rangka memberikan kontribusi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes
berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan
kebijakan tentang Desa tahun 2014.
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Studi Terdahulu
Studi tentang karakter pengaturan struktur organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa, sepanjang tinjauan pustaka yang telah dilakukan tidak diperoleh
informasi bahwa studi itu telah dilakukan. Beberapa karya studi tentang
pemerintahan desa yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerinah Desa: Politik Hukum
Pemerintahan Desa Di Indonesia, diterbitkan Setara Pers, Malang,
2010. Karya ini berasal dari disertasi, yang kemudian Bab IV, huruf C,
angka 3 berjudul “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Bagian ini ada
membahas Peraturan Desa dalam kaitan dengan (1) kewenangan badan
permusyawaratan desa dalam pembuatan Perdes; dan (2) kewenangan
mengajukan rancangan Perdes. Jadi, tidak membahas karakter
pengaturan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa.
2. H. Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa: Pergulatan
Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa,
diterbitkan Penerbit Alumni, Bandung, 2010. Bab IV berjudul Peraturan
Desa, yang dibahas adalah (1) keberadaan, kedudukan dan fungsi
Perdes; dan (2) proses pembentukan Perdes. Karakter pengaturan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa tidak dibahas dalam bab itu.
9
hn_risethups_2015
3. M. Silahuddin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, diterbitkan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini memuat 2 (dua) materi
pokok, yakni kewenangan desa dan regulasi desa. Kewenangan desa
mencakup: a. Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul; dan b,
Kewenangan Lokal Berskala Desa. Sedangka regulasi desa mencakup:
a. Tahapan Pembuatan Peraturan Desa, b. Tahapan Pembuatan Peraturan
Bersama Kepala Desa, c. Tahapan Pembuatan Peraturan Kepala Desa,
dan d. Musyawarah Desa: Wahana Demokratisasi Desa. Regulasi desa
yang dibahas dalam buku ini tidak mencakup karakter pengaturan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa.
4. Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU
Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini antara
lain membahas perihal ketundukan desa dihadapan hukum sungguh
berbeda dengan ketundukan desa secara langsung dihadapan hirarki
kekuasaan. Wujud ketundukan Desa dihadapan hukum adalah bahwa
Peraturan Desa, termasuk Perdes Desa Adat, harus tunduk pada norma
hukum positif yang ada diatasnya. Pemerintah Daerah akan mengatur
desa berdasarkan hukum (Perda). Meskipun demikian, sesuai dengan
prinsip demokrasi, desa berhak terlibat aktif mempengaruhi perumusan
Perda. Selain itu, membahas pula tentang Perda tentang Pungutan Desa.
10
hn_risethups_2015
Namun, buku ini tidak membahas Perda tentang pedoman struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
5. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi
Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, diterbitkan
Setara Press, Malang, 2015. Buku ini terdiri dari 9 bab. Kedua bab
terakhir, yakni Bab VIII berjudul Dinamika Desa dalam UU Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa, dan Bab IX berjudul Peraturan Desa dan
Pengujian Peraturan Desa. Buku ini, khususnya kedua bab terakhir,
tidak ada pembahasan mengenai Perda dan Perdes berkenaan dengan
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
3.2. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan yang sudah dilaksanakan terkait dengan tema penelitian
ini adalah telah melakukan invetarisasi Perda Kabupaten/Kota se Bali mengenai
susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa. Hasil invetarisasi tersebut
dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 3.1
Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
NO. PERDA TENTANG CATATAN
1 Kabupaten Buleleng
Nomor 8 Tahun 2006
Pedoman Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa
2 Kabupaten Jembrana
Nomor 25 Tahun 2006
Organisasi Pemerintahan Desa
3 Kabupaten Badung
Nomor 3 Tahun 2007
Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa
4 Kabupaten Karangasem
Nomor 3 Tahun 2007
Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa
5 Kota Denpasar
Nomor 5 Tahun 2007
Pedoman Susunan Organisasi
Pemerintahan Desa
6 Kabupaten Gianyar
Nomor 1 Tahun 2008
Pemerintahan Desa Pedoman
Susunan
11
hn_risethups_2015
Organisasi Pemerintahan
Desa dalam
Bab IV
7 Kabupaten Bangli
Nomor 2 Tahun 2008
Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa
8 Kabupaten Klungkung
Nomor 13 Tahun 2010
Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa
9 Kabupaten Tabanan
Nomor 7 Tahun 2012
Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa
Perda yang dijadikan objek penelitian adalah Perda Kabupaten Badung dan
Perda Kota Denpasar, yakni Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007,
dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di dalam Ruang Lingkup Masalah.
Pada dasarnya Perda-Perda tersebut, termasuk Perda Badung 3/2007 dan
Perda Denpasar 5/2007, memuat pedoman struktur organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa. Oleh karena itu perlu diadakan studi pendahuluan mengenai
pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Pertama. Pengertian Pedoman. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,2 mengemukakan beberapa pengertian pedoman. Dua
diantaranya adalah (1) kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana
sesuatu harus dilakukan; dan (2) hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan,
petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.
Pengertian pedoman dapat ditelusuri dari beberapa peraturan perundang-
undangan yang menggunakan judul pedoman, yakni:
1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006
tentang Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup. Di
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 740.
12
hn_risethups_2015
dalam Lampiran I perihal Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), A. Penjelasan
Umum, angka 2 perihal Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL,
dijelaskan: “Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai
dasar bagi penyusunan KA-ANDAL ...”. Dengan melakukan abstraksi,
yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti dasar
bagi penyusunan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa struktur organisasi.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2011 tentang
Pedoman Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lampiran. angka II. perihal
Ruang Lingkup Pedoman Evaluasi LAKIP, huruf A perihal Maksud dan
Tujuan, dijelaskan: “Pedoman Evaluasi LAKIP unit kerja di
Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dimaksudkan sebagai panduan
dalam rangka pelaksanaan evaluasi LAKIP.” Dengan melakukan
abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman
berarti panduan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.
Merujuk pada pengertian-pengertian pedoman tersebut di atas, dalam
penelitian ini, pedoman diartikan sebagai dasar bagi penyusunan struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Kedua, Pengertian Struktur Organisasi. Sondang P. Siagian,3 mendefinisikan
Organisasi sebagai:
setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama
untuk mencapai sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam
suatu ikatan hirakhi dimana selalu terdapat hubungan antara seorang atau
3 Sondang P. Siagian, 1982a, Peranan Staf dalam Managemen, Jakarta: Gunung Agung,
hlm. 20. Lihat juga Sondang P. Siagian, 1984, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, hlm.
7.
13
hn_risethups_2015
sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok
orang yang disebut bawahan.
Pandangan Sondang P. Siagian tersebut tidak jauh berbeda dengan
beberapa pandangan berikut:
1. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa: organisasi adalah sistem hubungan
antara sumber daya (among resources) yang memungkikankan
pencapaian sasaran.
2. James D. Mooney berpendapat bahwa: “Organization is the form of
every human association for the attainment of coomon purpose”
(Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan
bersama.
3. Gitosudarmo, mengemukakan pengertian organisasi adalah suatu sistem
yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur
dan berulang-ulang oleh sekolmpok orang untuk mencapai suatu tujuan.4
Pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur sebagai
berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3)
bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama.
Lazimnya pembahasan tentang organisasi ditinjau dari segi statis dan segi
dinamis. Dikemukakan oleh Sondang P. Siagian,5 berbagai literatur tentang teori
organisasi memberikan petunjuk bahwa para ahli lumrah melakukan pembahasan
tentang organisasi dari dua segi pandangan, yaitu organisasi yang ditelaah dengan
pendekatan struktural dan organisasi yang disoroti dengan pendekatan
4 Terkutip dalam Arifin Tahir, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, Yogyakarta:
Deepublish, hlm. 21-22. 5 Sondang P. Siagian, 1982b, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi,
Jakarta: Gunung Agung, hlm. 9-11. Uraian tersebut terdapat pula dalam Sondang P. Siagian,
1982a, Ibid. Bandingkan dengan Soewarno Handayaningrat, 1985, Pengantar Studi Ilmu
Administrasi dan Managemen, Jakarta: Gunung Agung, hlm. 42.
14
hn_risethups_2015
keperilakuan. Pendekatan yang sifatnya struktural menyoroti organisasi sebagai
wadah. Pendekatan demikian melihat organisasi sebagai sesuatu yang relatif statis.
Berikut dikemukakan, organisasi dalam arti statis adalah wadah tempat
penyelenggaraan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang
hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan
pertanggungjawaban. Pendekatan keperilakuan menyoroti organisasi sebagai
suatu organisme yang dinamik. Pengertian organisasi dari segi dinamikanya
merupakan proses kerjasama yang serasi antara orang-orang di dalam perwadahan
yang sistematis, formal dan hirarkis yang berpikir dan bertindak seirama demi
tercapainya tujuan yang telah ditentukan dengan efisien, efektif, produktif dan
ekonomis yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pertumbuhan baik
dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.
Sebagaimana telah dikemukakan pengertian-pengertian organisasi tersebut
memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat
pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan
bersama. Pada unsur pemimpin dan yang dipimpin menunjukkan adanya hirarki
kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban.
Dengan perkataan lain, di dalam suatu organisasi terdapat susunan hirarkis
kedudukan, jabatan, wewenang, dan pertanggungjawaban. Mengenai hal ini
Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo6, mengemukakan struktur
organisasi atau yang biasa disebut bagan organisasi ialah suatu lukisan yang
dimaksudkan untuk menggambarkan susunan organisasi baik mengenai fungsi-
fungsinya, bidang-bidang pekerjaannya maupun mengenai tingkatan-tingkatannya
6 Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo, (Eds), 2008, Panduan Membentuk
Organisasi Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD), Jakarta: LGSP/Local Governance
Support Program, hlm. 9.
15
hn_risethups_2015
atau eselonering, rentang kendali dan sebagainya. Pengertian tentang sebuah
struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara dimana bagian-bagian disusun
menjadi satu kesatuan.
Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai relevan mengutip
beberapa pengertian berikut:7
1. Organization Chart � Bagan Organisasi. Gambar struktur organisasi
yang ditunjukkan dengan kotak-kotak atau garis-garis yang disusun
menurut kedudukannya masing-masing memuat fungsi tertentu dan satu
sama lain dihubungkan dengan garis-garis saluran wewenang dan
tanggung jawab.
2. Organization Structure � Struktur Organisasi. Kerangka yang terdiri
dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas
serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan serta
hubungan tertentu dalam lingkungan kesatuan yang utuh dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.
3. Structural Organization Chart � Bagan Organisasi Struktur. Bagan
organisasi yang isinya menunjukkan susunan organisasi dari pucuk
pimpinan sampai dengan satuan-satuan organisasi yang berkedudukan
terbawah dengan mencantumkan sebutan satuan organisasi serta nama
masing-masing satuan organisasi.
Dengan demikian struktur organisasi adalah susunan dari satuan-satuan
organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin
dalam hubungan pertanggungjawaban dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
7 Pariata Westra, Sutarto, dan Ibnu Syamsi, (Eds), 1977, Ensiklopedi Administrasi, Jakarta:
Gunung Agung, hlm. 232, 233, 323.
16
hn_risethups_2015
Ketiga, Pengertian Tata Kerja. Secara etimologis dibentuk oleh kata “tata”
dan kata “kerja”. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,8 mengartikan kata tata,
kerja, dan tata kerja sebagai berikut:
1. tata, merupakan kata benda, berarti aturan (biasanya dipakai dl kata
majemuk); kaidah, aturan, dan susunan; cara menyusun; sistem;
2. kerja, merupakan kata benda, berarti kegiatan melakukan sesuatu;
sesuatu yg dilakukan (diperbuat);
3. tata kerja berarti aturan (sistem dsb) bekerja;
Dari pengertian leksikal tersebut dikaitkan dengan pengertian organisasi,
maka tata kerja dapat diartikan sebagai aturan atau cara melaksanakan tugas dan
wewenang untuk mencapai tujuan organisasi.
Keempat, Pengertian Pemerintahan Desa dan Pemerintah Desa. Di masa
berlakunya UU 32/2004 sebutannya adalah struktur organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa, sedangkan dalam masa berlakunya UU 6/2014 sebutannya
adalah struktur organisasi tata kerja pemerintah desa.Uraian dalam bagian ini
dipusatkan pada pengertian Pemerintah Desa.
Struktur organiasi yang dimaksud adalah struktur organisasi Pemerintah
Desa, dan tata kerja yang dimaksud adalah tata kerja Pemerintah Desa. Oleh
karena itu penting merumuskan pengertian Pemerintah Desa. UU 6/2014 telah
merumuskan pengertian itu di dalam Pasal 1 angka 7, yakni “Pemerintah desa atau
yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa." Perangkat
Desa terdiri atas: a. secretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana
teknis (Pasal 8 UU 6/2014).
8 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 703, 1547.
17
hn_risethups_2015
Kelima, Pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa. Merujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas, yakni
adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Pengertian-pengertian tersebut merupakan definisi. Definisi, menurut JJ. H.
Bruggink, adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Maksud sebuah
definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian secermat
mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan
oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu. 9
Definisi dirumuskan dalam formulasi definiendum dan definien.
Definiendum adalah perkataan yang harus didefinisikan dan definien adalah
perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi.10
Berikut definisi-definisi
berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa
diringkas dalam tabel berikut:
Tabel 3.2 Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa
DEFINIENDUM DEFINIEN
Pedoman adalah dasar bagi penyusunan.
Struktur Organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang
didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang
terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban.
Tata Kerja adalah cara melaksanakan tugas dan wewenang.
Pemerintah Desa
adalah kepala desa dan perangkat desa yang terdiri atas
sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, pelaksana
teknis.
Pedoman Struktur
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa
adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa.
9 JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam
Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 71. 10 JJ. H. Bruggink, 2011, Ibid., hlm. 72.
18
hn_risethups_2015
3.3. Kerangka Teoritik
Teori perundang-undangan membedakan sumber kewenangan perundang-
undangan atas atribusi kewenangan perundang-undangan dan delegasi
kewenangan perundang-undangan.
Atribusi kewenangan perundang-undangan adalah pembentukan
kewenangan (-baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan, yang
diberikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat undang-undang
atau lembaga lain, atau oleh pembuat undang-undang kepada lembaga lain, dan
lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan
kewenangan yang diterimanya.11
Berbeda dengan atribusi kewenangan perundang-undangan, pada delegasi
perundang-undangan terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Delegasi kewenangan perundang-undangan adalah
penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan tanpa
memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, yang diserahkan oleh
pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris),
dan lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.12
Antara atribusi kewenangan perundang-undangan dan delegasi kewenangan
perundang-undangan terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan
11
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi, Malang: Program Doktor
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 277-278. 12
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 278-279.
19
hn_risethups_2015
kewenangan yang diterimanya, dan perbedaannya sebagaimana dapat
diungkapkan dalam tabel berikut:13
Tabel 3.3.
Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan
dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan Kategori Atribusi Kewenangan
Perundang-undangan
Delegasi Kewenangan
Perundang-undangan
Pihak-pihak Kewenangan diberikan oleh
pembentuk UUD kepada pembuat
UU atau lembaga lain, atau oleh
pembuat UU kepada lembaga lain.
Kewenangan diserahkan oleh
pemegang kewenangan atributif
(delegans) kepada lembaga
lainnya (delegataris).
Karakter
kewenangan
Pembentukan kewenangan (-baru)
untuk membuat peraturan
perundang-undangan.
Penyerahan kewenangan untuk
membuat peraturan perundang-
undangan.
Substansi
kewenangan
Kewenangan untuk membuat
peraturan perundang-undangan
memuat inisiatif mengenai pokok-
pokok yang baru.
Kewenangan untuk membuat
peraturan perundang-undangan
tidak memuat inisiatif mengenai
pokok-pokok yang baru.
Salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Daerah,
sehingga layak ditegaskan posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik
sumber kewenangan perundang-undangan.
Penetapan materi muatan Peraturan Daerah berdasarkan kriteria umum dan
kriteria khusus. Kriteria Umum, yakni hal-hal yang digali dari asas pemerintahan
daerah (otonomi dan tugas pembantuan) sebagai materi muatan Peraturan Daerah.
Kriteia Khusus, yakni hal-hal yang secara tegas ditentukan sebagai matei muatan
Peraturan Daeah.14
Kriteria khusus penetapan materi muatan Peraturan Daerah (Perda)
hakikatnya merupakan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. UU 23/2014 (sebelumnya UU 32/2004) menentukan Perda memuat materi
muatan: a. penyelenggaraan Otonomi dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran
13
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 25-26 14
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah
Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II
Denpasar), Tesis Magister, Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, hlm. 168.
20
hn_risethups_2015
lebih lanjut keentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 236
ayat (3) UU 23/2014). Materi muatan pada huruf a tersebut merupakan turunan
dari konstitusi.
Pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945. Dikaitkan dengan teori
sumber kewenangan perundang-undangan, bermakna sumber kewenangan
pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini
dapat juga disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter
atribusi.15
Pembentukan Peraturan Daerah untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tidaklah langsung dapat disebut sumber
kewenangannya adalah atribusi perundang-undangan atau delegasi perundang-
undangan. Oleh karena secara tersurat (eksplisit) tidak ada dasarnya dalam UUD
NRI 1945, namun secara tersirat (implisit) merupakan konsekuensi logis dari
diterapkannya prinsip hierarki peraturan perundang-unangan dalam UUD NRI
1945. Untuk menentukan sumber kewenangannya dapat diamati dari
kemungkinan Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai
pokok-pokok yang baru atau tidak. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan dapat
memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan
pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah atribusi perundang-undangan.
Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah atribusian atau
Peraturan Daerah berkarakter atribusi. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan
15 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 284-285.
21
hn_risethups_2015
tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah delegasi perundang-
undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah
delegasian atau Peraturan Daerah berkarakter delegasi.16
Untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas mengenai posisi Peraturan
Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan, dapat
disimak bagan berikut.
Bagan 3.1.
Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik
sumber kewenangan perundang-undangan
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yang dikenal dalam tradisi
pembentukan peraturan perundang-undang dan yang telah dituangkan dalam UU 12/2011
(sebelumnya UU 10/2004) mengenal teknik merumuskan kewenangan yang bersifat
diskresioner.
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3u) Nomor 267 (Pasal 64
ayat (2) UU 12/2011 jo. Lampiran II) menentukan:
Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan
kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
16
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 285.
PERDA menjabarkan lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi
PERATURAN DAERAH (PERDA)
PERDA melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan
tidak dapat memuat inisiatif
mengenai pokok-pokok yang baru
ATRIBUSI DELEGASI
dapat memuat inisiatif mengenai
pokok-pokok yang baru
22
hn_risethups_2015
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan
usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi
produksi.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28
(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri
terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri
dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada
orang lain.
Sifat diskresioner dari suatu kewenangan, sebagaimana ditunjukkan oleh
ketentuan tersebut di atas, bermakna pilihan. Untuk mendapat pemahaman yang
lebih memadai perlu mengkonfirmasikan dengan teori kewenangan diskresi.
Wewenang terdiri atas wewenang terikat dan wewenang bebas. Wewenang
terikat adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya ditentukan mengenai
waktu (kapan) dan keadaan wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan
dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus
diambil. Wewenang bebas adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya
memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau
peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang
bersangkutan.17
Wewenang bebas dikenal dengan istilah diskresi, yang hakekatnya lawan
dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid), dengan esensi ada pilihan
17
Didasarkan pada Indrohato, 1993, Usaha MemahamiUndang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.hlm. 99-101.
23
hn_risethups_2015
(choise) untuk melakukan tindakan pemerintahan.18
Pemahaman teoritik tentang
diskresi dan implikasinya dalam penormaan adalah:
1. Diskresi memuat esensi pilihan (choise) untuk melakukan tindakan
pemerintahan, yakni memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau
memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan
di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan
tindakan.
2. Implikasinya diskresi dalam penormaan adalah perumusan aturan hukum
yang membolehkan subjek kaidah untuk memilih di antara dua atau lebih
pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk
mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau
tidak melakukan tindakan. Aturan hukum demikian memiliki karakter
diskresioner.
3. Aturan hukum yang berkarakter diskresioner ─ yang memuat wewenang
bebas ─ hakikatnya merupakan lawan dari aturan hukum yang bersifat
imperatif ─ yang tidak memuat memuat pilihan atau dapat juga disebut
memuat wewenang terikat.19
Teori lain yang digunakan adalah validitas hukum, yang dalam tradisi
perundang-undangan digunakan saat merumuskan konsiderans peraturan
perundang-undangan. Pemahaman validitas hukum sebagai berikut:20
18 Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.
35, yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon.
19 Marhaendra Wija Atmaja, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar:
Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 11. 20
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Op.Cit., hlm. 37.
24
hn_risethups_2015
1. Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan norma-
norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai
dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum. Suatu norma hanya
dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke
dalam suatu sistem norma.
2. Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya
hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan,
dan kepastian hukum.
3. Adanya keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar
hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya
hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan
pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian
hukum.
3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan
Kontribusi yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah salah satu sumber
informasi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes berkenaan dengan
struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang
Desa tahun 2014.
25
hn_risethups_2015
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan
langkah-langkah sebagai berikut:21
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU 6/2014
berikut peraturan pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna:
a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu teks hukum dengan
melakukan kontemplasi terhadap pesan dalam teks hukum dan
mencari relasi di antara bagian-bagian dari teks hukum itu;
b. menjelaskan makna teks hukum itu dan implikasinya terhadap
kepala desa dan perangkat desa dalam konstelasi hubungan tata
kerja pemerintah desa.
2. Melakukan studi empirik: (1) dengan melakukan identifikasi dan
analisis bekerjanya Perda-Perda terkait dan UU 6/2014 serta peraturan
pelaksanaannya; dan (2) untuk mendapatkan data empirik tentang
pengalaman dan pemahaman dari para pejabat di lingkungan SKPD
yang membidangi desa dan dari para kepala desa dan perangkat kepala
21 Langkah-langkah penelitian hukum tersebut merujuk pada Metode Penelitian Hukum
berbasis kajian sosio-legal, sebagaimana terangkum dalam Marhaendra Wija Atmaja, 2014,
“Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Perundang-undangan”, Denpasar: Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana, hlm. 12. Risalah ini merujuk pada Soelistyowati Irianto, 2012,
“Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner,
dkk (Eds.), Kajian Sosio-Legal, Denpasar: Pustaka Larasan; dan Soelistyowati Irianto, 2011,
“Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”, dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta,
(Eds.), Metode Penelitian Hukum: Knstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
26
hn_risethups_2015
desa. Studi empirik dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner
(daftar tanya), wawancara, dan dan FGD.
3. Melakukan analisis terhadap data yang terkumpul (baik data peraturan
maupun data empirik) dan penarikan kesimpulan.
4.2. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara pembacaan dan pencatatan data hukum
perundang-undangan, dengan melakukan klasifikasi sesuai masalah penelitian.
Data empirik diperoleh melalui wawancara kepada SKPD terkait.
4.3. Analisis Data
Merujuk pada Miles dan Huberman, yang membedakan empat tahap dalam
proses analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data tekandung
dalam tiga tahapan terakhir. Penggunaannya dalam penelitian hukum ini adalah
sebagai berikut:22
a. reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, penyedehanaan,
abstraksi data berdasarkan tema-tema yang ditentukan berkenaan
dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
b. penyajian data (data display), merupakan proses interpretasi, yakni
proses pemberian makna terhadap unsur-unsur maupun totalitas,
kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian naratif
dan/atau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang diajukan; dan
22
Merujuk pada Miles dan Huberman berdasarkan pemahaman Agus Salim, 2006, Teori &
Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 22-23; dan Nyoman
Kutha Ratna, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada
Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 310-311.
27
hn_risethups_2015
c. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and
verification), proses akhir analisis adalah penarikan kesimpulan, yakni
memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diajukan, yang
dalam proses penelitian berlangsung setiap kesimpulan terus-menerus
diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh kesimpulan yang valid.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyajian data (data
display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna, terhadap unsur-
unsur maupun totalitas. Untuk melakukan interpretasi tersebut dilakukan
interpretasi berbasis hermeneutika hukum.
Hermeneutika hukum merupakan penerapan hermeneutika pada bidang
hukum yang intinya adalah kegiatan menginterpretasi teks hukum, yakni
pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
peraturan kebijakan. Hermeneutika hukum bekerja berdasarkan prinsip-prinsip
dalam aras lingkaran hermeneutika hukum, yakni:23
1. Berkerja dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang (author), horizon
teks, dan horizon pembaca (reader). Direfleksikan di bidang hukum,
horizon pengarang adalah konteks kelahiran teks hukum (aturan
hukum), horizon teks adalah aturan hukum, dan horizon pembaca
adalah konteks penerapan aturan hukum. Dalam penelitian huku ini,
interpretasi atas peraturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja
23
Marhaendra Wija Atmaja, 2014, “Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar
Pertimbangan Hukum Pumk Nomor 50/PUU-XII/2014”, dalam I Gusti Ngurah Parikesit
Widiatedja, (ed.), Bunga Rampai Pemikiran Hukum Di Indonesia, Denpasar, Udayana University
Press, hlm. 115-139; dan Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam
Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor,
Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 17-18. Kedua tulisan ini merujuk
berbagai pandangan tentang hermeneutika hukum dan hermeneutika pada umumnya.
28
hn_risethups_2015
pemerintah desa berbasiskan pada tiga horizon tersebut, paling tidak
horizon teks dan horizon konteks penerapan.
2. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara bagian-bagian dan keseluruhan,
sehingga terbentuknya pemahaman secara lebih utuh, yakni tiap ayat
hanya bisa dipahami berdasarkan pemahaman atas pasalnya dan tiap
pasal hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas undang-
undangnya bahkan dengan sistem hukum yang melingkupinya,
sebaliknya undang-undang (sebagai keseluruhan) hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas pasal atau ayat sebagai bagian dari
undang-undang sebagai keseluruhan.
3. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara kaedah dan fakta, yakni proses
timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Penafsir harus
mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan
menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta. Dengan
perkataan lain, penalaran dilakukan dari fakta-fakta ke kaidah-kaidah
dalam aturan hukum (ia mengkualifikasi), untuk kemudian dari kaidah-
kaidah dalam aturan aturan hukum itu ke fakta-fakta (ia
menginterpretasi), dan hal itu terjadi berulang-ulang sampai
menemukan sebuah penyelesaian. Proses ini dari sisi logika disebut
abduksi. Kaidah-kaidah hukum yang dimaksud di sini adalah kaidah-
kaidah hukum dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, dan
yang dimaksud dengan fakta-fakta di sini adalah data yang diperoleh
dari studi empirik.
29
hn_risethups_2015
4. Interpretasi secara hermeneutikal berlangsung secara holistik dalam
rangkaian keterkaitan satu interpretasi hukum dengan interpretasi
hukum lainnya. Model interpretasi ini digunakan dalam penelitian
hukum ini.
5. Interpretasi secara hermeneutikal memerlukan ketepatan pemahaman
(subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi),
dan ketepatan penerapan (subtilitas applicandi). Tindakan yang
dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah memahami teks hukum
dengan cara menafsirkannya, dan menerapkannya dalam bentuk
rekomendasi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
30
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL PENELITIAN
5.1.1. Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan dengan Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pada Masa Berlakunya
Kebijakan Tentang Desa Tahun 2004 Di Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar.
Bagian ini mengemukakan hasil penelitian tentang bentuk dan isi
pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan
Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar.
Perda Badung 3/2007 dan Perda Dnpasar 5/2007 dibentuk pada masa
berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dalam Pasal
13 ayat (1) menyebutkan Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah (Menimbang huruf a Perda
Badung 3/2007 dan Menimbang huruf c Perda Denpasar 5/2007).
Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005 menentukan, ketentuan lebih lanjut mengenai
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berikutnya pada ayat (2) menentukan,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya memuat: a. tata cara penyusunan struktur organisasi; b.
perangkat; c. tugas dan fungsi; d. hubungan kerja.
31
Materi muatan Perda Badung 3/2007 dipaparkan berikut ini dikonfirmasikan
dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan dalam tabel
berikut:
Tabel 5.1. Materi Muatan Perda Badung 3/2007
Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan
Minimal Berdasarkan
Pasal 13 ayat (2) PP
72/2005
Materi Muatan
Perda Badung 3/2007
Kategori Substansi
Perangkat BAB II
SUSUNAN
ORGANISASI
Pasal 2
(1) Pemerintahan Desa terdiri dari:
a. Pemerintah Desa;
b. BPD.
(2) Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri dari : a. Perbekel;
b. Perangkat Desa.
(3) Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b
terdiri dari:
a. Sekretaris Desa; b. Perangkat Desa lainnya.
(4) Perangkat Desa lainnya sebagimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b
terdiri dari :
a. Sekretariat Desa;
b. Pelaksana Teknis Lapanga;
c. Kelian Banjar Dinas.
(5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi budaya
masyarakat setempat.
(6) BPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Daerah tersendiri.
Tata Cara Penyusunan
Struktur Organisasi
BAB III
TATA CARA
PENYUSUNAN
STRUKTUR
ORGANISASI
Pasal 3
(1) Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa ditetapkan dengan
Peraturan desa.
(2) Bagan Susunan Organisasi
Pemerintahan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran Peraturan daerah ini
dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.
32
Pasal 4 Susunan Organisasi Pemerintahan Desa
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
dilaporkan oleh Perbekel kepada Bupati
melalui Camat.
Tugas dan Fungsi BAB IV
TUGAS,
WEWENANG,
KEWAJIBAN
DAN
LARANGAN
Bagian Kesatu Tugas dan
Wewenang
Perbekel
Bagian Kedua
Kewajiban Perbekel
Bagian Ketiga
Larangan
Perbekel
Bagian Keempat
Perangkat Desa
Bagian Kesatu
Tugas dan Wewenang Perbekel
Pasal 5
(1) Perbekal mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perbekel mempunyai wewenang
sebagai berikut :
a. memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama
BPD; b. mengajukan rancangan Peraturan
Desa;
c. menetapkan Peraturan Desa setelah
mendapat persetujuan dari BPD;
d. menyusun dan mengajukan
rancangan Peraturan desa tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa untuk dibahas dan ditetapkan
bersama BPD;
e. membina kehidupan masyarakat
desa;
f. membina perekonomian masyarakat
desa;
g. mengkoordinasikan pembangunan
desa secara partisipasif;
h. mewakili desa didalam dan diluar
pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan i. melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban Perbekel
Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, Perbekel mempunyai
kewajiban :
a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila,
33
melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memeliha
keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. meningkatkan kesejahteraan
masyarakat; c. memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan
demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata
pemerintahan desa yang bersih
dan bebas dari kolusi, korupsi,
dan nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan
seluruh mitra kerja pemerintah
desa;
g. mentaati dan menegakkan seluruh
peraturan perundang- undangan;
h. menyelenggarakan administrasi
pemerintahan desa yang baik;
i. melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan
pelaksanaan keuangan desa;
j. melaksanakan urusan yang
menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan
masyarakat di desa;
l. membina, mengayomi dan
melestarikan nilai-nilai sosial
budaya dan adat istiadat;
m. memberdayakan masyarakat dan
kelembagaan di desa; n. mengembangkan potensi sumber
daya alam dan melestarikan
lingkungan hidup;
o. membina kerukunan antar umat
beragama di desa.
(2) Selain kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perbekel
mempunyai kewajiban untuk memberi
laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada Bupati,
memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada masyarakat;
(3) Laporan peyelenggaraan
pemerintahan desa sebagaiaman
dimaksud pada ayat (2) disampaikan
34
kepada Bupati melalui Camat 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun dalam musyawarah BPD.
(5) Menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
selebaran yang ditempelkan pada
papan pengumuman atau
diinformasikan secara lisan dalam
berbagai pertemuan masyarakat Desa,
radio komunitas atau media lainnya.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) digunakan oleh Bupati
sebagai dasar melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan desa
dan sebagai bahanpembinaan lebih
lanjut.
(7) Laporan akhir masa jabatan Perbekel
disampaikan kepada Bupati melalui
Camat dan kepada BPD.
Bagian Ketiga
Larangan Perbekel
Pasal 7 Perbekel dilarang :
a. menjadi pengurus partai politik;
b. merangkap jabatan sebagai ketua
dan/atau anggota BPD dan lembaga
kemasyarakatan di desa bersangkutan;
c. merangkap jabatan sebagai anggota
DPRD; d. terlibat dalam kampanye pemilighan
umum, pemilihan presiden, dan
pemilihan kepala daerah;
e. merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat,
dan mendiskriminasikan warga atau
golongan masyarakat lain;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan
nepotisme, menerima uang, barang
dan/atau jasa dari pihak lain yang
dapat mempengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah/janji jabatan.
Bagian Keempat
Perangkat Desa
Pasal 13
35
(1) Perangkat Desa bertugas membantu Perbekel dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya,
Perangkat desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
bertanggungjawab kepada Perbekel.
Pasal 9 (1) Sekretaris Desa berkedudukan sebagai
unsur staf pembantu Perbekel dan
memimpin Sekretaris Desa.
(2) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi
persyaratan, yaitu :
a. berpendidikan paling rendah lulusan
SMUatau sederajat;
b. mempunyai pengetahuan tentang
teknis pemerintahan;
c. mempunyai kemampuan dibidang
administrasi keuangan dan
dibidang perencanaan;
d. mempunyai pengalaman dibidang
administrasi keuangan dan
dibidang perencanaan;
e. memahami sosial budaya
masyarakat setempat; dan
f. bersedia tinggal di desa yang
bersangkutan. (3) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Sekretaris Daerah atas nama Bupati.
(4) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai
tugas :
a. memberikan saran dan pendapat kepada Perbekel;
b. memimpin, mengkoordinasikan,
dan mengendalikan serta
mengawasi semua unsur serta
kegiatan Sekretaris Desa;
c. memberikan informasi mengenai
keadaan desa dan Sekretaris Desa;
d. merumuskan kegiatan Perbekel;
e. melaksanakan urusan surat
menyurat, kearsipan, dan laporan;
f. mengadakan dan melaksanakan
persiapan rapat dan mencatat
hasil-hasil rapat; g. menyusun anggaran pendapatan dan
belanja desa;
h. mengadakan kegiatan inventarisasi
(mencatat, mengawasi, dan
memelihara) kekayaan desa;
36
i. melaksanakan kegiatan admimistrasi pemerintahan desa
sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
j. melaksanakan tugas lain yang
diberikan oleh atasan.
Pasal 10
(1) Kepala Urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu Sekretaris Desa dalam
bidang tugasnya.
(2) Kepala Urusan mempunyai tugas
melaksanakan kegiatan kesekretariatan
desa dalam bidang tugasnya.
(3) Kepala Urusan dalam melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan
urusan pemerintahan, umum,
keuangan, pembangunan dan
kesejahteraan rakyat sesuai bidang
tugasnya masing-masing;
b. Memberikan pelayanan
administrasi kepada Sekretaris
desa.
Pasal 11
(1) Pelaksana Teknis Lapangan
berkedudukan sebagai staf teknis
Perbekel dalam bidang tugasnya. (2) Pelaksana Teknis Lapangan
mempunyai tugas membantu perbekel
dalam melaksanakan tugasnya yang
bersifat teknis.
(3) Pelaksana Teknis Lapangan dalam
melaksnakan tugas sebagaiman
dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang bersifat teknis;
b. Memberikan pelayanan dan
pertimbangan teknis kepada
Perbekel.
Pasal 12
(1) Kelian Banjar Dinas berkedudukan
sebagai staf operasional Perbekel di
wilayah kerjanya.
(2) Kelian Banjar Dinas mempunyai tugas
untuk melaksanakan kegiatan Perbekel
dalam kepemimpinan Perbekel di wilayah kerjanya.
(3) Kelian Banjar Dinas dalam
melaksanakan tugas sebagaiamana
dimaksud pada ayat (2) mempunyai
tugas :
37
a. Melakukan kegiatan Pemerintahan, Pembangunan dan ketertiban
masyarakat di wilayah kerjanya;
b. Melaksanakan Peraturan Desa di
wilayah kerjanya;
c. Melaksanakan kebijakan Perbekel
di wilayah kerjanya.
Hubungan Kerja BAB V
HUBUNGAN
KERJA
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya Perbekel
dan Perangkat Desa menerapkan prinsip
koordinasi dan sinkronisasi.
BAB VI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 14
Dengan berlakunya peraturan daerah ini,
susunan organisasi pemerintah desa yang
sudah ada masih tetap berlaku, sepanjang
ditetapkan yang baru sesuai dengan
Peraturan daerah ini.
BAB VI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 15
Hal-hal lain yang belum diatur dalam
Peraturan Daerah ini, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati.
Pasal 16
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai
berlaku, maka Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2001
tentang Susunan Organisasi Pemerintah
Desa dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 17
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Materi muatan Perda Denpasar 5/2007 dipaparkan berikut ini,
dikonfirmasikan dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan
dalam tabel berikut:
Tabel 5.2. Materi Muatan Perda Badung 3/2007
Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005
Materi Muatan
Minimal Berdasarkan
Pasal 13 ayat (2) PP
72/2005
Materi Muatan
Perda Denpasar 5/2007
Kategori Substansi
Perangkat BAB II
SUSUNAN
ORGANISASI
Pasal 2
(1) Pemerintahan Desa terdiri dari:
a. Pemerintah Desa;
b. BPD.
(2) Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a
38
terdiri dari : a. Perbekel;
b. Perangkat Desa.
(3) Perangkat Desa terdiri dari:
a. Sekretaris Desa;
b. perangkat desa lainnya.
(4) Perangkat Desa lainnya terdiri dari :
a. Kepala Urusan; b. Kepala Dusun; dan
c. Pelaksana Teknis Lapangan.
(5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat.
Tata Cara Penyusunan
Struktur Organisasi
dimasukan ke
dalam BAB II
SUSUNAN
ORGANISASI
Pasal 3
(1) Susunan Organisasi Pemerintahan
Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ditetapkan dengan Peraturan
desa. (2) Dalam Peraturan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilampirkan
bagan susunan organisasi
pemerintahan Desa.
Tugas dan Fungsi BAB III
TATA
PEMERINTAHAN
DESA
Bagian Pertama
Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan
Hak Kepala Desa.
Bagian Kedua
Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan
Hak Sekretaris Desa,
Bagian ketiga
Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan
Hak Kepala
Urusan.
Bagian Keempat
Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan
Hak Kepala Dusun
Bagian Pertama
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak
Kepala Desa.
Pasal 4 (1) Kepala Desa mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Kepala Desa mempunyai wewenang:
a. mengajukan rancangan peraturan
desa;
b. menetapkan peraturan desa yang
telah mendapat persetujuan
bersama BPD;
c. memimpin penyelenggaraan
pemerintahan desa berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan
bersama BPD;
d. menyusun dan mengajukan
rancangan peraturan desa
mengenai APBDesa untuk
dibahas dan ditetapkan bersama
BPD;
e. membina kehidupan masyarakat
desa;
39
Bagian Kelima Pengangkatan
Perangkat Desa
f. membina perekonomian desa; g. mengkoordinasikan
pembangunan desa secara
partisipatif:
h. mewakili desanya didalam dan
luar pengadilan dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan;
dan
i. melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 Kepala Desa
mempunyai kewajiban :
a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta
mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kesejahtraan
masyarakat c. memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat
d. melaksanakan kehidupan
demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata
pemerintahan desa yang bersih
dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan
seluruh mitra kerja pemerintahan
Desa;
g. mentaati dan menegakan seluruh
peraturan perundang-undangan;
h. menyelenggarakan administrasi
pemerintahan Desa yang baik;
i. melaksanakan dan
mempertanggung jawabkan
pengelolaan keuangan Desa;
j. melaksanakan urusan yang
menjadi kewenangan Desa; k. mendamaikan perselisihan
masyarakat di Desa;
l. mengembangkan pendapatan
masyarakat dan Desa;
m. membina, mengayomi dan
40
melastarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat;
n. memberdayakan masyarakat dan
kelembagaan di Desa; dan
o. mengembangkan potensi sumber
daya alam dan melestarik
lingkungan hidup;
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa
mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan Desa kepada Walikota
memberikan laporan keterangan
pertanggung jawaban kepada BPD,
dan menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan Desa
kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintah
Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada Walikota
melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu
tahun.
(4) Laporan keterangan pertangung
jawaban kepada BPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1
(satu) kali dalam satu tahun dalam
musyawarah BPD.
(5) Menginformasikan laporan penyelengaraan pemerintah Desa
kepada masyarakat sebagimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa
selebaran yang ditempelkan pada
papan pengumuman atau
diinformasikan secara lisan dalam
berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainya.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) digunakan oleh Walikota
sebagai dasar melakukan evaluasi
penyelenggaraan Pemerintah Desa
dan sebagai bahan pembinaan lebih
lanjut.
(7) Laporan akhir masa jabatan Kepala
Desa disampaikan kepada Walikota
melalui Camat dan kepada BPD
Pasal 6 (1) Kepala Desa diberikan penghasilan
tetap setiap bulan dan /atau tunjangan
lainnya sesuai dengan kemampuan
keuangan Desa.
(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan
lainnya yang diterima Kepala Desa
41
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APB
Desa.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
sama dengan Upah Minimum
Regional Kota
Pasal 7 Kepala Desa dilarang :
a. menjadi pengurus partai politik;
b. merangkap jabatan sebagai Ketua dan/
atau Anggota BPD dan lembaga
kemasyarakatan di Desa
bersangkutan;
c. merangkap jabatan sebagai Anggota
DPRD;
d. terlibat dalam kampanye pemilihan
umum, pemilihan Presiden, dan
pemilihan Kepala Daerah;
e. merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat,
dan mendiskriminasikan warga atau
golongan masyarakat lain;
f. melakukan Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme, menerima uang barang
dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau
tindakan yang akan dilakukannya;
g. menyalahgunakan wewenang; dan
h. melanggar sumpah / janji jabatan.
Pasal 8
Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan dan dapat dipilih kembali
hanya untuk satu kali masa jabatan
berikutnya.
Bagian Kedua Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak
Sekretaris Desa,
Pasal 9
(1) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai
Negeri Sipil memenuhi
persyaratan,yaitu
a. berpendidikan paling rendah lulusan Sekolah Menengah
Umum atasederajat;
b. mempunyai pengetahuan tentang
teknis pemerintahan;
c. mempunyai kemampuan dibidang
42
administrasi perkantoran; d. mempunyai pengalaman dibidang
administrasi keuangan dan
dibidan perencanaan;
e. memahami sosial budaya
masyarakat setempat.
(2) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Sekretaris Kota atas nama
Walikota.
Pasal 10
(1) Sekretaris Desa berkedudukan
sebagai unsur staf pembantu Kepala
Desa dan memimpin Sekretariat
Desa.
(2) Sekretaris Desa dalam membantu
Kepala Desa mempunyai tugas :
a. memberikan saran dan pendapat
kepada Kepala Desa;
b. memimpin, mengkoordinasikan
dan mengendalikan serta
mengawasi semua unsur /
kegiatan Sekretaris Desa;
c. memberikan informasi mengenai
keadaan Sekretariat Desa dan
keadaan Desa;
d. merumuskan program kegiatan Kepala Desa;
e. melaksanakan urusan surat
menyurat, kearsipan dan laporan;
f. mengadakan dan melaksanakan
persiapan rapat dan mencatat
hasilhasil rapat.
g. menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
h. mengadakan kegiatan
inventarisasi (mencatat,
mengawasi, memelihara)
kekayaan Desa;
i. mengadakan kegiatan pencatatan
mutasi tanah dan pencatatan
administrasi tanah;
j. melaksanakan administrasi
kepegawaian aparat Desa;
k. melaksanakan administrasi
kependudukan, administrasi
pembangunan, administrasi kemasyarakatan; dan
l. melaksanakan tugas lain yang
diberikan oleh Kepala Desa;
Pasal 11
43
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2),
Sekretaris Desa mempunyai wewenang:
a. memimpin kesekretariatan Desa dan
atau rumah tangga Desa;
b. mengkoordinasikan pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan Desa
dengan Kepala Urusan;dan c. melaksanakan tugas lain yang
diberikan Kepala Desa;
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11
Sekretaris Desa mempunyai kewajiban :
a. memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indoneia tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. melaksanakan prinsip tata
Pemerintahan Desa yang bersih dan
bebas dari Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme;
c. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan
Desa;
d. mentaati dan menegakkan seluruh
peraturan perundang-undangan;
e. menyelenggarakan administrasi
pemerintahan Desa yang baik;
f. memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di Desa; dan
g. memgembangkan potensi sumber
daya alam dan melestarikan
lingkungan hidup.
Pasal 13 (1) Sekretaris Desa diberikan
penghasilan tetap setiap bulan dan
/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan Desa.
(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan
lainnya yang diterima Sekretaris
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun
dalam APBDesa.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit sama dengan Upah Minimum
44
Regional Kota.
Bagian ketiga Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak
Kepala Urusan.
Pasal 14 (1) Kepala Urusan sebagai unsur
pembantu Kepala Desa dalam
bidang tugasnya.
(2) Kepala urusan mempunyai tugas
melaksanakan kegiatan
kesekretariatan Desa dalam bidang
tugasnya.
(3) Dalam melaksanakan tugas Kepala Urusan bertanggungjawab kepada
Kepala Desa melalaui Sekretaris
Desa.
Pasal 15 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Kepala Urusan mempunyai wewenang :
a. membina kehidupan masyarakat Desa;
b. membina perekonomian Desa;
c. memberikan pelayanan kepada
masyarakat; dan
d. mengkoordinasikan pembangunan
Desa secara partisipatif;
Pasal 16
(1) Kepala Urusan diberikan
penghasilan tetap setiap bulan
dan/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan Desa.
(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan
lainnya yang diterima Kepala
Urusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan setiap tahun
dalam APBDesa.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum
Regional Kota.
Pasal 17 Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15, Kepala Urusan mempunyai kewajiban :
a. memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila melaksanakan Undang-
45
Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. menjalin hubungan kerja dengan
seluruh mitra kerja pemerintahan
Desa;dan c. mentaati dan mengamalkan seluruh
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak
Kepala Dusun
Pasal 18 Kepala Dusun mempunyai tugas:
a. membantu Kepala Desa dalam
melaksanakan kegiatan pemerintah,
pembangunan dan ketertiban
masyarakat;
b. melakukan kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan ketertiban
masyarakat; dan
c. melaksanakan Peraturan Desa dan
Peraturan Kepala Desa.
Pasal 19 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, Kepala Dusun
mempunyai wewenang:
a. membina kehidupan masyarakat
Dusun;
b. membina perekonomian Dusun;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat; dan
d. mengkoordinasikan pembangunan
Dusun secara partisipatif;
Pasal 20 Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 dan Pasal 19, Kepala Dusun
mempunyai kewajiban :
a. menyelenggarakan administrasi
kependudukan masyarakat;dan
b. memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat.
Pasal 21 (1) Kepala Dusun diberikan penghasilan
tetap setiap bulan dan/atau
tunjangan lainnya sesuai dengan
46
kemampuan keuangan Desa. (2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan
lainnya yang diterima Kepala Dusun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan setiap tahun dalam
APBDesa.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum
Regional Kota
Bagian Kelima
Pengangkatan Perangkat Desa
Pasal 22 (1) Untuk dapat diangkat menjadi
perangkat Desa lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
harus memenuhi persyaratan :
a. berpendidikan paling rendah
Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama atau Sederajat;
b. mempunyai kemampuan dan
pengalaman dibidang
administrasi
c. memahami sosial budaya
masyarakat setempat;dan
d. bersedia tinggal di desa.
(2) Perangkat desa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4)
diangkat oleh Kepala Desa dari
penduduk desa.
(3) Pengangkatan perangkat desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan
Kepala Desa. (4) Usia Perangkat Desa lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (4), kecuali Kepala Dusun,
paling rendah 20 (dua puluh) tahun
dan paling tinggi 60 (enam puluh)
tahun.
(5) Masa jabatan Kepala Dusun adalah 6
(enam) tahun terhitung sejak tanggal
penetapan dan dapat diangkat
kembali hanya untuk satu kali masa
jabatan.
Hubungan Kerja tidak ada
pengaturannya.
-
BAB IV
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 23
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
47
Perangkat, sebagai Materi Muatan Minimal Berdasarkan Pasal 13 ayat (2)
PP 72/2005, di dalam Perda Badung 3/2007 disebut Susunan Organisasi.
Demikian pula halnya dengan Perda Denpasar menyebutnya sebagai Susunan
Organisasi.
Tugas dan Fungsi di dalam Perda Badung 3/2007 disebut Tugas,
Wewenang, Kewajiban dan Larangan. Sedangkan di dalam Perda Denpasar
5/2007, Tugas dan Fungsi dicantumkan di bawah Bab Tata Pemerintahan Desa,
yang terdiri dari beberapa bagian dengan judul “Tugas, Wewenang, Kewajiban
dan Hak ...” Di bawah Bab Tata Pemerintahan Desa ini juga dicantumkan Bagian
mengenai Pengangkatan Perangkat Desa.
Hal tersebut tidaklah menyalahi PP 72/2005, karena Pasal 13 ayat (2)
menentukan “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ..., sekurang-kurangnya memuat
....” Jadi, boleh lebih dari yang “sekurang-kurangnya” itu. Namun, perihal
hubungan tata kerja tidak ada pengaturannya di dalam Perda Denpasar 5/2007,
yang menurut PP 72/2005, hubungan tata kerja merupakan pula materi muatan
minimal.
5.1.2. Hasil Penelitian tentang Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan
perlunya pengaturan berkenaan dengan struktur organissi dan tata
kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun
2014.
Bagian ini mengemukakan hasil penelitian tentang faktor-faktor yang
menjadi pertimbangan perlunya pengaturan berkenaan dengan struktur organissi
dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.
48
Validitas norma hukum adalah keabsahan norma hukum supaya norma
hukum bersangkutan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Secara teoritik, pada
dasarnya ada 3 (tiga) aspek yang mesti dipenuhi supaya norma hukum itu absah,
yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang masing-masing berkaitan dengan
nilai-nilai dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 24
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengadopsi validitas tersebut ke dalam konsiderans atau
menimbang. Konsideran memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan,
ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. Ketiga unsur
itu adalah sebagai berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat (angka 18 dan 19 Lampiran UU 12/2011).
24 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti), hlm. 19.
49
Perda Badung 3/2007, sebagaimana tampak pada Menimbang huruf a.
memuat unsur yuridis sebagai pertimbangan membentuk Peraturan Daerah
Kabupaten Badung tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa. Menimbang huruf a sebagai berikut:
bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa, dimana dalam Pasal 13 ayat (1) menyebutkan Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan
Peraturan Daerah;
Perda Badung 3/2007 memuat 2 (dua) pertimbangan, selain dalam huruf a,
juga pada huruf b, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Pertimbangan dalam huruf b ini sejatinya tidak diperlukan, karena bias
diintegrasikan ke dalam pertimbangan huruf a.
Penjelasan Umum Perda Badung 3/2007 menunjukkan, bukan saja
pertimbangan yuridis, tapi juga pertimbangan filosofis dan sosiologis yang
menjadi pertimbangan pembentukan Perda tersebut. Penjelasan Umum itu sebagai
berikut:
Bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan pelaksananya yang mengatur
tentang desa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa serta dalam rangka meningkatkan kelancaran
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan, dan
mutu pelayanan kepada masyarakat maka dipandang perlu mengatur
organisasi dan tata kerja Pemerintahan desa (cetak tebal dari peneliti).
Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas maka dipandang perlu membentuk
pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa dalam
Peraturan Daerah.
50
Perda Denpasar 5/2014 memuat beberapa unsur sebagai pertimbangan
membentuk Perda tentang pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja
Pemerintahan Desa, yakni
a. bahwa pemerintahan Desa mempunyai kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan rumah tangga untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat;
b. bahwa dalam rangka pemerintahan Desa melaksanakan kewenangan
mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya, perlu dibentuk
organisasi dan tata kerja pemerintahan desa;
c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
mengamanatkan pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa;
Unsur-unsur yang terdapat di dalam huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut
diurai kembali di dalam Penjelasan Umum:
Bahwa pemerintahan Desa mempunyai kewenangan untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan rumah tangga untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa dalam rangka pemerintahan desa melaksanakan kewenangan
mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya, perlu dibentuk
organisasi dan tata kerja pemerintahan desa.
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
mengamanatkan pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa diatur dengan Peraturan Daerah.
Sebagai perbandingan, beberapa Perda lain di Bali dikemukakan untuk
mendapat kecendrungan pertimbangan pembentukan Perda tentang SOTK
Pemerintah Desa:
1. Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Menimbang:
a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13, Pasal 26 dan Pasal 28
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, perlu
ditetapkan Peraturan Daerah; b. bahwa untuk meningkatkan daya guna
51
dan hasil guna dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam
rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat demi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat maka diperlukan adanya
pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas dan pasti dari masing-
masing perangkat desa; c. bahwa sesuai dengan Keputusan Gubernur
Bali Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pengembalian Peristilahan sebutan
Kepala Desa, Dusun dan Kepala Dusun perlu disesuaikan istilah Kepala
Desa menjadi Perbekel, Dusun menjadi Banjar Dinas dan Kepala Dusun
menjadi Kelian Banjar Dinas; d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b diatas, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa;
2. Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Menimbang: a. bahwa untuk keserasian dan keseragaman penyusunan
organisasi dan tata kerja pemerintahan desa perlu adanya pedoman; b.
bahwa sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005, pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah; c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa;
3. Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 13 Tahun 2010
Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata Kerja
52
Pemerintahan Desa. Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan
pelaksanaan Pemerintah Desa yang efektif dan efisien berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
serta sebagai tindak lanjut dari Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005 tentang Desa, maka dalam rangka penyusunan
organisasi Pemerintah Desa perlu diatur Pedoman Susunan Organisasi
Pemerintah Desa; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a,perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten
Klungkung tentang Pedoman Penyusunan dan Tata Kerja Pemerintahan
Desa.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 7 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata Kerjapemerintahan Desa.
Menimbang: a. bahwa dengan berlakunya Undang - Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan berdasarkan Pasal 13 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan
Peraturan Daerah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata kerja Pemerintahan Desa.
Kecendrungannya, pertimbangan yang dominan mendasari pembentukan Perda
adalah pertimbangan yuridis, dalam pengertian untuk melaksanakan PP 72/2005. Selain
itu, digunakan juga pertimbangan lain, seperti:
1. “mewujudkan pelaksanaan Pemerintah Desa yang efektif dan efisien”
2. “ keserasian dan keseragaman”
53
3. “meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada
masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat”
5.1.3. Hasil Penelitian Tentang Karakter Bentuk dan Isi Perda dan Perdes
Berkenaan Dengan Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa Berdasarkan Kebijakan Tentang Desa Tahun
2014.
Bagian ini mengemukakan hasil penelitian tentang karakter bentuk dan isi
Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja
Pemerintahan Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disebut UU 6/2014) mencantumkan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukannya. Penjelasan Umum UU 6/2014
memperjelas penggunaan kedua pasal itu sebagai dasar hukum pembentukan UU
6/2014:
tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
2) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada
dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
3) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia;
4) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Desa;
5) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
6) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab;
7) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
54
8) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna
mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial
sebagai bagian dari ketahanan nasional;
9) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
10) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dapat tampil dalam 2 (dua) bentuk,
yakni (1) koeksistensi desa dan desa adat; dan (2) integrasi desa dan desa adat,
yang memuat pilihan:
a. pola integrasi desa ke dalam desa adat; atau
b. pola integrasi desa adat ke dalam desa.
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1) UU 6/2014 menunjukkan pada
dianutnya pola koeksistensi desa dan desa adat. Kedua ketentuan itu adalah
sebagai berikut:
1. Pasal 1 angka 1 UU 6/2014: Desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pasal 6 ayat (1) UU 6/2014: Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
Penjelasan Pasal 6 UU 6/2014, sebaliknya menunjukkan dianutnya pola
integrasi desa dan desa adat. Penjelasan ini memuat dua hal berikut:
55
1. Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah,
kewenangan, duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam
1 (satu) wilayah maka dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau
Desa Adat.
2. Untuk yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat
dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Di Bali terdapat perbedaan penafsiran terhadap Pasal 6 UU 6/2014 berikut
penjelasannya. Di satu pihak, berpendapat dan menganut pola koeksistensi desa
dan desa adat sebagaimana diamanatkan Pasal ayat (1) UU 6/2014, di lain pihak
berpendapat dan menganut pola integrasi desa dan desa adat, yang mengarah pada
pada dianutnya pola integrasi desa ke dalam desa adat.
Sesuai dengan Pasal 5 UU 6/2014: “Desa berkedudukan di wilayah
Kabupaten/Kota.” dan pasal-pasal lainnya menunjukkan kewenangan pengaturan
tentang desa berada pada kabupaten/kota. Kabupaten/Kota berwenangan
mengeluarkan Peraturan Daerah untuk mengatur lebih lanjut keberadaan desa.
Tabel 5.3. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dalam UU 6/2014
Ketentuan Substansi
Pasal 8
ayat (2)
Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)25 ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat,
kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi
Desa.
Pasal 14
Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,26 Pasal
25
Pasal 8 ayat (1) UU 6/2014: Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada. 26 Pasal 8 UU 6/2014 perihal Pembentukan Desa.
56
9,27
Pasal 10,28
dan Pasal 1129
atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1230 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Pasal 31
ayat (2)
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan
pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 33
Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau
sederajat;
e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat
paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai
menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan
terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan
yang telah mwempunyai kekuatan hukum tetap;
k. berbadan sehat;
l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan;
dan
m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.
Pasal 50
ayat (1)
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4831 diangkat dari
warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang
sederajat;
b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua)
tahun;
c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa
paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan
27
Pasal 9 UU 6/2014: Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan
program nasional yang strategis. 28
Pasal 10 UU 6/2014: Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa
baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini. 29
Pasal 11 UU 6/2014 perihal Desa dapat berubah status menjadi kelurahan. 30 Pasal 12 UU 6/2014 perihal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status
kelurahan menjadi Desa. 31
Pasal 48 UU 6/2014: Perangkat Desa terdiri atas:
a. sekretariat Desa;
b. pelaksana kewilayahan; dan
c. pelaksana teknis.
57
d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 50
ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48, Pasal 49,32
dan Pasal 50 ayat (1)33
diatur dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 65
ayat (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 84
ayat (3)
Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan
pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 98
ayat (1)
Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.34
Pasal 101
ayat (2)
Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)35 ditetapkan
dalam Peraturan Daerah.
PP 43/2014 merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa. Pertanyaan yang penting diajukan adalah apakah PP
43/2014 mengatur mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa
diatur dengan atau dalam peraturan daerah?. Untuk itu perlu ditelusuri pasal-pasal
PP 43/2014 berkenaan dengan peraturan daerah dan materi muatannya.
Tabel 5.4. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/KotaKabupaten/Kota dalam PP 43/2014
Ketentuan Substansi
Pasal 5 ayat (4) pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis
bagi kepentingan nasional.
Pasal 13 ayat (5) pembentukan Desa persiapan menjadi Desa
Pasal 18 ayat (3) Pembentukan Desa melalui penggabungan beberapa Desa menjadi 1
(satu) Desa baru
Pasal 22 ayat (7) perubahan status Desa menjadi kelurahan
Pasal 26 ayat (7) perubahan status desa adat menjadi desa
Pasal 29 ayat (3) menetapkan desa dan desa adat hasil inventarisasi Desa yang ada
yang telah mendapatkan kode Desa yang dilakukan oleh Pemerintah
daerah kabupaten/kota.
Pasal 31 ayat (2)
menetapkan desa adat yang telah memenuhi syarat berdasarkan
hasil identifikasi dan kajian yang dilakukan pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota bersama majelis
32 Pasal 49 UU 65/2014 perihal tugas dan pengangkatan Perangkat Desa. 33
Pasal 50 ayat (1) UU 6/2014 perihal persyaratan Perangkat Desa. 34
Penjelasan Pasal 98 ayat (1) UU 6/2014: Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat”
adalah penetapan untuk pertama kalinya. 35
Pasal 101 ayat (1) UU 6/2014: Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa Adat.
58
adat atau lembaga lainnya yang sejenis.
Pasal 31 Penetapan desa adat (penetapan desa menjadi desa adat).
Pasal 65 ayat (2) Syarat lain pengangkatan perangkat Desa
Pasal 72 ayat (4) Penetapan mekanisme pengisian keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa
Tabel di atas menunjukkan tidak ada ketentuan dalam PP 43/2014 mengenai
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa diatur dengan atau dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ketentuan yang berkenaan dengan pemerintah desa diatur dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota adalah Pasal 65 ayat (2) PP 43/2014, yang menentukan
syarat lain pengangkatan perangkat Desa ditentukan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Ketentuan yang terkait dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah
desa, terdapat dalam Bagian Kedua perihal Perangkat Desa, Paragraf 1 perihal
Umum, yakni:
1. Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa; b. pelaksana
kewilayahan; dan c. pelaksana teknis. Perangkat Desa berkedudukan
sebagai unsur pembantu kepala Desa (Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) PP
43/2014).
2. Sekretariat Desa dipimpin oleh sekretaris Desa dibantu oleh unsur staf
sekretariat yang bertugas membantu kepala Desa dalam bidang
administrasi pemerintahan. Sekretariat Desa paling banyak terdiri atas 3
(tiga) bidang urusan. Ketentuan mengenai bidang urusan diatur dengan
Peraturan Menteri (Pasal 62 ayat (1) - ayat (3) PP 43/2014).
3. Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala Desa sebagai
satuan tugas kewilayahan. Jumlah pelaksana kewilayahan ditentukan
59
secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan dan
kemampuan keuangan Desa. (Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) PP 43/2014).
4. Pelaksana teknis merupakan unsur pembantu kepala Desa sebagai
pelaksana tugas operasional. Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas 3
(tiga) seksi. Ketentuan mengenai pelaksana teknis diatur dengan
Peraturan Menteri (Pasal 64 ayat (1) - ayat (3) PP 43/2014).
5.2. PEMBAHASAN
Bagian ini membahas hasil penelitian tentang Karakter Bentuk dan Isi
Pengaturan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa, yang meliputi:
1. Pembahasan tentang Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan
Dengan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pada
Masa Berlakunya Kebijakan Tentang Desa Tahun 2004.
2. Pembahasan tentang Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Perlunya
Pengaturan Berkenaan Dengan Struktur Organissi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa Berdasarkan Kebijakan Tentang Desa Tahun 2014.
3. Pembahasan tentang Karakter bentuk dan isi pengaturan berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa
berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014
5.2.1. Pembahasan Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan Dengan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pada Masa
Berlakunya Kebijakan Tentang Desa Tahun 2004
Bagian ini mengemukakan pembahasan tentang karakter bentuk dan isi
pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan
Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar.
60
Pertama, karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan
Desa. Studi dokumen terhadap Perda Badung 3/2007 dan PP 72/2005
menunjukkan karakter bentuk dan isi sebagai berikut sebagai berikut:
Tabel 5.5.
Kategori Bentuk dan Isi Perda Badung 3/2007 NO. KATEGORI URAIAN
I Aspek Bentuk
1 Kewenangan
pengaturan
(Sumber kewenangan,
tujuan kewenangan)
1. Sumber kewenangan dari Perda Badung 3/2007
Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005, yang menentukan
“Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” Ayat (2) menentukan,
Perda Kabpaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a.
tata cara penyusunan struktur organisasi; b.
perangkat; c. tugas dan fungsi; d. hubungan kerja.
Dengan demikian, Perda SOTK Pemdes
berkarakter atribusian, karena memungkinkan
memuat hal yang baru. Hal ini diindikasikan oleh
kata-kata “sekurang-kurangnya memuat”.
2. Tujuan penggunaan kewenangan menetapkan
Perda tersebut adalah untuk memberikan
pedoman bagi Pemerintahan Desa menetapkan
Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
3. Tidak ditemukan Perdes tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
4. Secara normatif sumber kewenangan penetapan
Perdes dimaksud adalah bersifat delegasian,
yakni melaksanakan Pasal 12 ayat (5) PP
72/2005, yang menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan
dengan peraturan desa” dan tidak ada indikasi
boleh memuat hal yang baru.
5. Tujuan penggunaan kewenangan tersebut, secara
normatif, adalah sebagai dasar menetapkan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan
Desa.
2 Struktur pengaturan
(Judul, pembukaan,
batang tubuh dan
penutup. Batang
tubuh, menyangkut ketentuan tentang
definisi, ketentuan
materi pokok yang
diatur, dan ketentuan
strategi implementasi)
1. Judul Perda Badung 3/2007 adalah Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa, selain telah mencerminkan
kesesuaian dengan amanat Pasal 13 ayat (1) PP
72/2005 yang menentukan “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Penyusunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
2. Pembukaan Perda Badung 3/2007, khususnya
“Menimbang” tidak mencerminkan pertimbangan
61
penetapan Perda yang mencakup pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Hanya
mencantumkan perlunya membentuk Perda untuk
melaksanakan amanat Pasal 13 ayat (1) PP
72/2005.
3. Pembukaan Perda Badung 3/2007, khususnya
“Mengingat” mencantumkan peratuan perundang-
undangan yang bukan merupakan merupakan dasar hukum formal dan dasar hukum materiil
penetapan Perda, seperti mencantumkan
Permendagri Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Beberapa Peraturan Menteri Dalam
Negeri, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri mengenai
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa.
4. Batang tubuh Perda Badung 3/2007, menyangkut
ketentuan tentang definisi. Tidak ada
pendefinisian berkenaan dengan judul Perda,
yakni Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa. Hal ini dapat menjadi
factor ang menyebabkan kesulitan memahami si
Perda.
5. Batang tubuh Perda Badung 3/2007, menyangkut
ketentuan materi pokok yang diatur. Materi pokok
yang diatur dituangkan dalam Bab II-Bab V.
Namun terdapat materi muatan dalam Bab IV
perihal Tugas, Wewenang, Kewajiban, dan Larangan. Perihal larangan dituangkan dalam
Bagian Ketiga perihal Larangan Perbekel. Materi
ini tidak diikuti oleh sanksi dalam hal larangan itu
dlanggar. Lagi pula perihal larangan Perbekel itu
diatur dalam Pasal 16 PP 72/2005 dan sanksi atas
pelanggaran larangan itu adalah pemberhentian
yang diatur dalam Pasal 17 PP 72/2005. Jadi, tidak relevan mengatur larangan bagi Perbekel
dalam Perda Badung 3/2007.
6. Batang tubuh Perda Badung 3/2007, menyangkut
ketentuan strategi implementasi. Ketentuan
strategi implementasi adalah ketentuan yang dapat
menjamin terlaksananya suatu peraturan
perundang-undangan. Contoh, dalam Perda
Badung 3/2007 terdapat ketenuan bahwa Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
ditetapkan dengan Peraturan Desa (Pasal 3 ayat
(1) Perda Badung 3/2007). Namun, tidak ada
ketentuan dalam Perda Badung 3/2007 yang
memastika ketentuan itu dilaksanakan, yakni dietapkannya Perdes tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Juga tidak ada
ketentuan tentang sumber pembiayaan
pelaksanaan Perda.
62
II Aspek Isi
3 Ruang lingkup materi
muatan pengaturan
1. Batang Tubuh Perda Badung 3/2005 terdiri dari
15 (lima belas) bab. Bab I perihal Ketentuan
Umum, Bab VI perihal Ketentuan Peralihan dan
Bab VII perihal Ketentuan Penutup. Materi
Pokok Yang Diatur dituangkan dalam Bab II
sampai dengan Bab V, yakni:
• Bab II perihal Susunan Organisasi.
• Bab III perihal Tata Cara Penyusunan
Struktur Organisasi.
• Bab IV Tugas, Wewenang, Kewajiban, dan
Larangan.
• Bab V perihal Hubungan Kerja.
2. Materi Pokok Yang Diatur itu, per judul bab,
berkesesuaian dengan Pasal 13 ayat (2) PP
72/2005 yang menentukan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa,
sekurang-kurangnya memuat:a. tata cara
penyusunan struktur organisasi; b. perangkat; c.
tugas dan fungsi; d. hubungan kerja.
3. Perkataan “sekurang-kurangnya” berarti dapat
lebih dari itu. Ini menjadi peluang untuk memuat
ketentuan strategi implementasi, yang dapat
memastikan pelaksanaan Perda.
4 Kesesuaian materi
pasal dan/atau ayat
dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
1. Perda Badung 3/2005, dari sudut pandang PP
72/2005, tidak menimbulkan problem yuridis.
Perangkat, sebagai Materi Muatan Minimal Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, di
dalam Perda Badung 3/2007 disebut Susunan
Organisasi. Tugas dan Fungsi di dalam Perda
Badung 3/2007 disebut Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan Larangan. Ini tidaklah menyalahi
PP 72/2005, karena Pasal 13 ayat (2) menentukan
“Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ..., sekurang-
kurangnya memuat ....” Jadi, boleh lebih dari
yang “sekurang-kurangnya” itu.
2. Perda Badung 3/2005, dari sudut pandang UU
6/2014 dan PP 43/2014, menimbulkan problem
yuridis, berupa ketidaksinkronan. Sudut pandang
ini perlu dilakukan, yang hasilnya menjadi dasar untuk melakukan reformasi terhadap Perda
bersangkutan. Hasil sinkronisasi ini dituangkan
dalam tabel tersendiri.
5 Sifat materi muatan 1. Pasal 2 ayat (5) menentukan, Jumlah Perangkat
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
budaya masyarakat setempat. Ketentuan tersebut
menunjukkan karakter diskresioner dari Perda
Badung 3/2007;
2. Pasal 3 ayat (1) menentukan, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa
63
ditetapkan dengan Peraturan desa. Ketentuan tersebut menunjukkan karakter
imperatif dari Perda Denpasar 5/2007.
Selanjutnya dikemukakan studi dokumen tentang karakter bentuk dan isi
pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan
Desa di pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 di Kota
Denpasar. Berikut dikemukakan karakter bentuk dan isi Perda Denpasar 5/2007.
Tabel 5.6.
Kategori Bentuk dan Isi Perda Denpasar 5/2007 NO. KATEGORI URAIAN
I Aspek Bentuk
1 Kewenangan
pengaturan
(Sumber
kewenangan, tujuan
kewenangan)
1. Menimbang huruf c Perda Denpasar 5/2007,
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa mengamanatkan pedoman
penyusunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (PP
72/2005), Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005
menentukan “Ketentuan lebih lanjut mengenai
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.” Ayat (2) menentukan,
Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a.
tata cara penyusunan struktur organisasi; b.
pearangkat; tugas dan fungsi; hubungan kerja,
3. Dengan demikian, Perda itu berkarakter
atribusian, karena memungkinkan memuat hal
yang baru, selain dari materi muatan minimal
tersebut.
4. Tujuan penggunaan kewenangan menetapkan
Perda tersebut adalah untuk memberikan
pedoman bagi Pemerintahan Desa menetapkan
Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa.
5. Sumber kewenangan penenetapan Perdes
dimaksud adalah bersifat delegasian, yakni
melaksanakan Pasal 12 ayat (5) PP 72/2005, yang
menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan
desa.”
6. Tujuan penggunaan kewenangan tersebut adalah sebagai dasar menetapkan Susunan Organisasi
64
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
2 Struktur pengaturan
(Judul, pembukaan,
batang tubuh dan
penutup. Batang
tubuh, menyangkut
ketentuan tentang
definisi, ketentuan
materi pokok yang
diatur, dan ketentuan
strategi
implementasi)
1. Judul Perda Denpasar 5/2007 adalah Pedoman
Organisasi Pemerintahan Desa, tidak
mencerminkan amanat Pasal 13 ayat (1) PP
72/2005 yang menentukan “Ketentuan lebih
lanjut mengenai Pedoman Penyusunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” Selain itu,
tidak mencerminkan substansi Perda, yang di
dalamnya tidak saja mengatur susunan organisasi
juga mengatur tata kerja pemerintahan desa (di
dalam Perda diatur dalam Bab III dengan judul
Tata Pemerintahan Desa), dan tidak sesuai dengan Menimbang huruf d Perda itu sendiri.
2. Pembukaan Perda Denpasar 5/2007, khususnya
“Menimbang” tidak memuat pertimbangan
sosiolgis penetapan Perda. Pertimbangan huruf a
dapat dimasukan sebagai pertimbangan filosofis,
yakni berkenaan dengan “meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat”. Pertimbangan huruf c Perda dapat dimasukan
sebagai pertimbangan yuridis, yakni berkenaan
dengan amanat PP 72/2005 perihal pedoman
penyusunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa diatur dengan Perda.
3. Pembukaan Perda Denpasar 5/2007, khususnya
“Mengingat” telah mencerminka dasar hukum
formal dan dasar hukum materiil pembentukan
Perda.
4. Batang tubuh Perda Denpasar 5/2007,
menyangkut ketentuan tentang definisi. Tidak ada
pendefinisian berkenaan dengan judul Perda,
yakni Pedoman Susunan Organisasi
Pemerintahan Desa. Hal ini dapat menjadi faktor
yang menyebabkan kesulitan memahami isi
Perda.
5. Batang tubuh Perda Denpasar 5/2007,
menyangkut ketentuan materi pokok yang diatur.
Materi pokok yang diatur dituangkan dalam Bab
II-Bab III. Namun terdapat materi muatan dalam Bab III terdapat pasal larangan bagi Kepala Desa.
Materi ini tidak diikuti oleh sanksi dalam hal
larangan itu dlanggar. Lagi pula perihal larangan
Kepala Desa itu diatur dalam Pasal 16 PP
72/2005 dan sanksi atas pelanggaran larangan itu
adalah pemberhentian yang diatur dalam Pasal 17
PP 72/2005. Jadi, tidak relevan mengatur larangan bagi Perbekel dalam Perda Denpasar
5/2007.
6. Batang tubuh Perda Denpasar 5/2007,
menyangkut ketentuan strategi implementasi.
Ketentuan strategi implementasi adalah ketentuan
65
yang dapat menjamin terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan. Contoh, dalam
Perda Denpasar 5/2007 terdapat ketenuan bahwa
Susunan Organisasi Pemerintahan Desa
ditetapkan dengan Peraturan Desa (Pasal 3 ayat
(1) Perda Denpasar 5/2007). Namun, tidak ada
ketentuan dalam Perda Denpasar 5/2007 yang
memastikan ketentuan itu dilaksanakan, yakni dietapkannya Perdes tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Juga tidak
ada ketentuan tentang sumber pembiayaan
pelaksanaan Perda.
II Aspek Isi
3 Ruang lingkup
materi muatan
pengaturan
1. Batang Tubuh Perda Denpasar 5/2007 terdiri dari
4 (empat) bab. Bab I perihal Ketentuan Umum,
Bab IV perihal Ketentuan Penutup. Materi Pokok
Yang Diatur dituangkan dalam Bab II sampai
dengan Bab III, yakni:
• Bab II perihal Susunan Organisasi.
• Bab III perihal Tata Pemerintahan Desa.
� Bagian Pertama perihal Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan Hak Kepala Desa.
� Bagian Kedua Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan Hak Sekretaris Desa,
� Bagian ketiga Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan Hak Kepala Urusan. � Bagian Keempat Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan Hak Kepala Dusun.
� Bagian Kelima Pengangkatan Perangkat
Desa.
2. Rujukan Materi Pokok Yang adalah Pasal 13 ayat
(2) PP 72/2005 yang menentukan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota tentang Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa, sekurang-kurangnya
memuat:a. tata cara penyusunan struktur
organisasi; b. perangkat; c. tugas dan fungsi; d.
hubungan kerja.
3. Perkataan “sekurang-kurangnya” berarti dapat
lebih dari itu. Ini menjadi peluang untuk memuat
ketentuan strategi implementasi, yang dapat
memastikan pelaksanaan Perda.
4 Kesesuaian materi
pasal dan/atau ayat
dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
1. Perda Denpasar 5/2007, dari sudut pandang PP
72/2005, tidak menimbulkan problem yuridis.
Perangkat, sebagai Materi Muatan Minimal berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, di
dalam Perda Denpasar 5/2007 disebut Susunan
Organisasi. Tugas dan Fungsi di dalam Perda
Denpasar 5/2007 disebut Tugas, Wewenang,
Kewajiban dan Hak. Ini tidaklah menyalahi PP
72/2005, karena Pasal 13 ayat (2) menentukan
“Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ..., sekurang-
66
kurangnya memuat ....” Jadi, boleh lebih dari yang “sekurang-kurangnya” itu.
2. Perda Denpasar 5/2007, dari sudut pandang UU
6/2014 dan PP 43/2014, menimbulkan problem
yuridis, berupa ketidaksinkronan. Sudut pandang
ini perlu dilakukan, yang hasilnya menjadi dasar
untuk melakukan reformasi terhadap Perda
bersangkutan. Hasil sinkronisasi ini dituangkan dalam tabel tersendiri.
5 Karakter materi
muatan
1. Pasal 2 ayat (5) menentukan, Jumlah Perangkat
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat. Ketentuan tersebut menunjukkan karakter
diskresioner dari Perda Badung 3/2007;
2. Pasal 3 ayat (1) menentukan, Susunan
Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan dalam
Peraturan Desa.
Ketentuan tersebut menunjukkan karakter imperatif dari Perda Denpasar 5/2007.
Sesuai dengan Teori Sumber Kewenangan, bahwa atribusi adalah
kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang memuat
inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, sedngkan delegasi adalah kewenangan
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang tidak boleh memuat inisiatif
mengenai pokok-pokok yang baru dan sekedar melaksanakan amanat peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, maka karakter bentuk kedua Perda
tersebut berkarakter atribusian, mengingat Perda ini dimungkinkan oleh Pasal 13
ayat (2) PP 72/2005 untuk memuat materi lebih dari materi muatan minimal.
Sedasar dengan teori tersebut pula, maka karakter Perdes SOTK Pemdes itu
berkarakter delegasian, melaksanakan Perda tentang Pedoman SOTK Pemdes dan
tidak memuat hal pokok-okok yang baru. Itu secara normatif, namun dalam
praktiknya, penetapan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa
dilakukan tidak dengan Perdes, tapi langsung mendasarkan pada Perda.
67
Secara teoritik dikenal aturan hukum yang bersifat imperatif, yang tidak
memuat memuat pilihan atau dapat juga disebut memuat wewenang terikat.
Ketentuan tentang susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan
dengan Perdes yang terdapat dalam kedua Perda tersebut menunjukkan kedua
Perda itu berkarakter imperatif, yakni wajib melaksanakan amanat Perda.
Selain wewenang terikat, secara teoritik dikenal pula wewenang bebas, yang
tiada lain adalah diskresi. Diskresi memuat esensi pilihan (choise) untuk
melakukan tindakan pemerintahan, yakni memilih di antara dua atau lebih pilihan,
atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan di
antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan tindakan.
Perumusan aturan hukum, dengan demikian, memungkinkan subjek kaidah
untuk memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau memberikan kebebasan
kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan
yang mungkin atau tidak melakukan tindakan, maka aturan hukum tersebut
bersifat diskresioner.
Sejalan dengan teori tersebut, maka karakter isi Perda tentang Pedoman
SOTK Pemerintahan Desa bersifat diskresioner, dalam hal ini memuat norma
diskresi, yakni memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menentukan
jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat (Pasal 12 ayat (4) PP 72/2005, Pasal 2 ayat (5) Perda
Badung 3/2007, dan Pasal 2 ayat (5) Perda Denpasar 5/2007). Karakter ini
berimplikasi pada karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa, yakni
bersifat diskresioner, dalam pengertian Desa memiliki ruang kebebasan untuk
68
mementukan jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat dengan Peraturan Desa.
5.2.2. Pembahasan tentang Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Perlunya
Pengaturan Berkenaan Dengan Struktur Organissi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa Berdasarkan Kebijakan Tentang Desa Tahun 2014
Pembahasan tentang faktor yang menjadi pertimbangan perlunya pengaturan
berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja pemerintah desa berdasarkan
kebijakan tentang desa tahun 2014 menggunakan teori tentang validitas norma
hukum atau landasan keabsahan peraturan perundang-undangan, yang mencakup
faktor filosofis, sosiologis, dan yuridis. Teori ini juga digunakan untuk
mendeskripsikan hasil penelitian tentang tematik tersebut.
Uraian tentang validitas hukum atau landasan keabsahan hukum dalam
kaitannya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditemukan
dalam sejumlah buku yang ditulis oleh sarjana Indonesia, antara lain Jimly
Assiddiqie, 36
Bagir Manan, 37
dan Solly Lubis.38
Pandangan ketiga sarjana itu
dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.7. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan
menurut Para Sarjana Indonesia
LANDASAN JIMLY
ASSHIDDIQIE
BAGIR
MANAN
M. SOLLY
LUBIS
Filosofis
Bersesuaian dengan
nilai-nilai filosofis
yang dianut oleh
suatu Negara.
Contoh, nilai-nilai
filosofis Negara
Mencerminkan nilai
yang terdapat dalam
cita hukum
(rechtsidee), baik
sebagai sarana yang
melindungi nilai-
Dasar filsafat atau
pandangan, atau ide
yang menjadi dasar
cita-cita sewaktu
menuangkan hasrat
dan kebijaksanaan
36 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press), hlm. 169-
174, 240-244. 37
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-
Hill.Co), hlm. 14-17. 38
M. Solly Lubis, 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit
CV Mandar Maju), hlm. 6-9.
69
Republik Indonesia terkandung dalam
Pancasila sebagai
“staatsfunda-
mentalnorm”.
nilai maupun sarana mewujudkannya
dalam tingkah laku
masyarakat.
(pemerintahan) ke dalam suatu rencana
atau draft peraturan
Negara.
Sosiologis Mencerminkan
tuntutan kebutuhan
masyarakat sendiri
akan norma hukum.
[Juga dikatakan,
keberlakuan
sosiologis berkenaan dengan
(1) kriteria
pengakuan terhadap
daya ikat norma
hukum; (2) kriteria
penerimaan
terhadap daya ikat norma hukum; dan
(3) kriteria
faktisitas
menyangkut norma
hukum secara
faktual memang
berlaku efektif
dalam masyarakat].
Mencerminkan
kenyataan yang
hidup dalam
masyarakat.
Kenyataan itu dapat
berupa kebutuhan
atau tuntutan atau masalah-masalah
yang dihadapi yang
memerlukan
penyelesaian.
-
Yuridis Norma hukum itu
sendiri memang
ditetapkan (1)
sebagai norma
hukum berdasarkan
norma hukum yang
lebih tinggi; (2)
menunjukkan
hubungan
keharusan antara
suatu kondisi
dengan akibatnya;
(3)
menurut prosedur
pembentukan
hukum yang
berlaku; dan (4)
oleh lembaga yang
memang
berwenang untuk
itu.
Keharusan (1)
adanya kewenangan
dari pembuat
peraturan perundang-
undangan;
(2) adanya
kesesuaian bentuk
atau jenis peraturan
perundang-undangan
dengan materi yang
diatur;
(3) tidak
bertentangan dengan
peraturan perundang-
undangan yang lebih
tinggi; dan
(4) mengikuti tata
cara tertentu dalam
pembentukannya.
Ketentuan hukum
yang menjadi dasar
hukum bagi
pembuatan suatu
peraturan, yaitu:
(1) segi formal, yakni
landasan yuridis
yang memberi
kewenangan untuk
membuat peraturan
tertentu; dan (2) segi
materiil, yaitu
landasan yuridis
untuk mengatur hal-
hal tertentu.
Politis Harus tergambar
adanya cita-cita dan
Garis kebijaksanaan
politik yang menjadi
70
norma dasar yang terkandung dalam
UUD NRI 1945
sebagai politik
hukum yang
melandasi
pembentukan
undang-undang [juga dikatakan,
pemberlakuannya
itu memang
didukung oleh
faktor-faktor
kekuatan politik
yang nyata dan
yang mencukupi di
parlemen].
dasar bagi kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan
pengarahan
ketatalaksanaan
pemerintahan.
Misalnya, garis
politik otonomi dalam GBHN (Tap
MPR No. IV Tahun
1973) memberi
pengarahan dalam
pembuatan UU
Nomor 5 Tahun
1974.
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut tentang landasan keabsahan
peraturan perundang-undangan, maka landasan keabsahan filosofis, sosiologis,
dan yuridis dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut:39
Tabel 5.8. Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan
LANDASAN URAIAN
Filosofis Mencerminkan nilai-nilai filosofis atau nilai yang terdapat dalam cita
hukum (rechtsidee).
Diperlukan sebagai sarana menjamin keadilan.
Sosiologis Mencerminkan tuntutan atau kebutuhan masyarakat yang
memerlukan penyelesaian.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kemanfaatan.
Yuridis Konsistensi ketentuan hukum, baik menyangkut dasar kewenangan
dan prosedur pembentukan, maupun jenis dan materi muatan, serta
tidak adanya kontradiksi antar-ketentuan hukum yang sederajat dan
dengan yang lebih tinggi.
Diperlukan sebagai sarana menjamin kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mengadopsi validitas tersebut sebagai:
2. Konsideran atau menimbang, yang memuat uraian singkat mengenai
pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan
39 Gede Marhaendra WiJa Atmaja, Politik Pluralisme Hukum ...., hlm. 28-29.
71
Peraturan Perundang–undangan, ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis, dan yuridis; dan
3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yurudis dalam naskah akademis
rancangan peraturan perundang-undangan;
sebagaimana dikemukakan dalam table berikut:
Tabel 5.9. Pertimbangan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan
Menurut UU 12/2011 KATEGORI DALAM
NASKAH AKADEMIS
DALAM KONSIDERAN
(MENIMBANG)
Landasan
Filosofis
Landasan filosofis merupakan
pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945.
Unsur filosofis menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945.
Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alas an yang
menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai
aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta
empiris mengenai
perkembangan masalah dan
kebutuhan masyarakat dan
negara.
Unsur sosiologis menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai
aspek.
Landasan
Yuridis.
Landasan yuridis merupakan
pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum
atau mengisi kekosongan
hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna
Unsur yuridis menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang
telah ada, yang akan diubah,
atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
72
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan
dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara
lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang
tindih, jenis peraturan yang
lebih rendah dari Undang-
Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya
sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang
sama sekali belum ada.
Merujuk pada pandangan teoritik dari para sarjana yang telah dikemukakan
di atas, dikaitkan dengan ketentuan tentang teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan40
dan teknik penyusunan naskah akademik41
yang diadopsi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No 12/2011), ketiga aspek dari
validitas tersebut dapat disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 5.10. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan
Teoritik dan UU No. 12/2011
LANDASAN URAIAN
Filosofis Menggambarkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, pada dasarnya
berkenaan dengan keadilan yang mesti dijamin dengan adanya
peraturan perundang-undangan.
Sosiologis Menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek yang
memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut fakta
empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.
Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan
kemanfaatan adanya peraturan perundang-undangan.
Yuridis Menggambarkan upaya mengatasi permasalahan hukum yang
40
Angka 18 dan 19 TP3 (vide Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
41 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
73
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa
permasalahan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Permasalahan hukum yang akan diatasi itu, dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, guna menjamin kepastian hukum.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menunjukkan ada
Perda yang memuat satu pertimbangan yang menyatakan perlu membuat Perda
untuk melaksanakan PP 72/2005, Perda lainnya memuat pertimbangan filosofis,
sosiologis, dan yuridis.
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004), yang berlaku sebelum berlakunya
UU 12/2011, Perda yang hanya memuat satu pertimbangan, bahwa Perda perlu
dibuat, tidak dapat dibenarkan. UU 10/2004, melalui Nomor 19 Lampiran
menyatakan:
Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-
undangan dianggap perlu dibuat adalah kurang tepat karena tidak
mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan
perundang-undanga tersebut.Lihat juga Nomor 24.
Nomor 19 Lampiran UU 10/2004 menyatakan: “Konsiderans Peraturan
Pemerintah cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal (-
pasal) dari Undang-Undang yang memerintahkan pembuatannya. ...”
Substansi Nomor 19 Lampiran UU 10/2004, di dalam UU 12/2011
dituangkan dalam Nomor 20 Lampiran II. Di sisi lain, UU 12/2011 memberikan
kaidah dan contoh yang berbeda, yakni:42
42
Marhaendra Wija Atmaja, “Permusan Konsiderans Peraturan Daerah: Teori, Kaidah,
Praktik”, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2015, hlm. 10.
74
Tabel 5.11.
Konsiderans Peraturan Daerah NOMOR 19 LAMPIRAN II UU 12/2011 NOMOR 27 LAMPIRAN II UU 12/2011
Pokok pikiran pada konsiderans Undang-
Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat
unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang
menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya
ditempatkan secara berurutan dari filosofis,
sosiologis, dan yuridis. .... Contoh:
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2009
tentang Sistem Kesehatan Daerah
Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan
masyarakat yang semakin tinggi merupakan investasi
strategis pada sumber daya
manusia supaya semakin
produktif dari waktu ke
waktu;
b. bahwa untuk meningkatkan
derajat kesehatan
masyarakat perlu
diselenggarakan
pembangunan kesehatan
dengan batas-batas peran,
fungsi, tanggung jawab,
dan kewenangan yang jelas, akuntabel,
berkeadilan, merata,
bermutu, berhasil guna dan
berdaya guna;
c. bahwa untuk memberikan
arah, landasan dan
kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembangunan
kesehatan, maka
diperlukan pengaturan
tentang tatanan
penyelenggaraan
pembangunan kesehatan;
Konsiderans Peraturan Daerah cukup
memuat satu pertimbangan yang berisi
uraian ringkas mengenai perlunya
melaksanakan ketentuan pasal atau
beberapa pasal dari Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah yang memerintahkan
pembentukan Peraturan Daerah tersebut
dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan
Pemerintah yang memerintahkan
pembentukannya.
Contoh:
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Hutan Kota
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 63
Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang
Hutan Kota;
Tampak adanya perbedaan ketentuan antara yang tertuang dalam Nomor 19
dan Nomor 27 Lampiran II perihal Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-
75
undangan dari UU 12/2011. Perbedaan tersebut semestinya dipahami dari segi
sumber kewenangan pembuatan Perda atau dari segi ruang lingkup materi muatan
Perda. Ketentuan Nomor 19 Lampiran II UU 12/2011 berlaku untuk Perda yang
berkarakter atribusian, dalam pengertian menyelenggarakan otonomi daerah dan
tugas pembantuan, sedangkan Ketentuan Nomor 27 Lampiran II UU 12/2011
berlaku untuk Perda yang berkarakter delegasian, dalam pengertian menjabarkan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.43
Pertimbangan yang lengkap, yang memuat unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis, diperlukan dalam pembuatan Perda yang atribusian. Berikut
dielaborasikan ketiga unsur tersebut.
Pertama, landasan filosofis menggambarkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu, teruraikan dalam
Pembukaan UUD 1945, pada alinia keempat:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
43 Marhaendra Wija Atmaja, “Permusan Konsiderans ..”, Op. Cit., hlm. 11.
76
Pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum itu berkenaan tujuan
dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Hukum Tata Negara Indonesia menganut paham bahwa Pemerintah Negara
Indonesia tidak hanya Pemerintah Pusat, tapi juga mencakup pemerintahan
daerah. Ini ditunjukkan oleh Pasal 18 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang (Pasal 18 ayat (1) UUD 1945).
2. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah Pusat (Pasal 18 ayat (5) UUD 1945).
Sekalipun Pasal 18 UUD 1945 tidak menentukan Desa sebagai Daerah
Otonom, namun praktik pembentukan undang-undang mengenai pemerintahan
daerah dan desa serta konteks kelahiran Pasal 18 UUD 1945 menunjukkan Desa
merupakan satuan pemerintahan terendah yang berada di kabupaten/kota, yang
dicakup dalam Pasal 18 ayat (7) UUD 1945.
Desa, yang memiliki pemerintahan desa dalam sistem pemerintahan Negara
Indonesia, memiliki hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan tujuan dibentuknya Pemerintah Negara
77
Indonesia. Ini sejalan dengan dasar pertimbangan UU 6/2014, yang dalam
Menimbang huruf a dan huruf menyatakan:
a. bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah
berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur,
dan sejahtera;
Intinya, pemerintahan desa memiliki peran mewujudkan cita-cita
kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yakni tujuan dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana dirumuskan
dalam Pembukaan UUD 1945. Pemerintahan desa diselenggarakan oleh
Pemerintah Desa. Artinya, Pemerintah Desa memiliki tanggung jawab untuk
berperan mewujudkan tujuan dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam kerangka inilah diperlukan
pengaturan komponen-komponen pemerintah desa, yakni kepala desa dan
perangkat desa, tepatnya diperlukan pengaturan struktur organisasi dan tata kerja
pemerintah desa menurut prinsip professional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab.
78
Pemerintahan Kabupaten Badung perlu memberikan pedoman kepada Desa
dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah, sehingga dapat mengarahkan penyusunan
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa dalam upaya berperan serta
mewujukan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yakni tujuan dibentuknya Negara Indonesia
sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kedua, landasan sosiologis menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek yang memerlukan penyelesaian, yang sesungguhnya menyangkut
fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan
negara. Kebutuhan masyarakat pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan
adanya peraturan perundang-undangan.
Suatu kebijakan publik ditetapkan adalah untuk dilaksanakan. Berikut
dikemukakan praktik penyelenggaraan Perda Badung 3/2007 yang diperoleh
melalui wawancara dengan SKPD terkait di Kabupaten Badung.
Tabel 5.12. Praktik Penyelenggaraan Perda Badung 3/2007
44
PERTANYAAN JAWABAN ANOTASI
1. Praktik
penyelenggaraan
Perda Badung
3/2007.
1) Pasal 2 ayat (5) Perda
Badung 3/2007: Jumlah Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud
pada ayat (4)
disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi
budaya masyarakat
Jumlah perangkat desa di
Kabupaten Badung adalah sama, yg terdiri dari: 1 (satu) orang
Kepala Desa; 1 (satu) orang
Sekretaris Desa; dan 5 (lima)
orang Kepala Urusan sebagai
pelaksana teknis yang terdiri atas
Kaur Umum, Kaur Keuangan,
Pelaksanaan sesuai
dengan Perda Badung 3/2007
44
Wawancara dengan pejabat di BPMD Kabupaten Badung minggu kedua bulan Oktober
2015.
79
setempat.
Berapa jumlah
perangkat desa di setiap
desa di Badung dan
rinciannya?; Apa yang
dimaksud dengan
Pelaksana Teknis
Lapangan di Badung?;
Apakah setiap Desa
memiliki Pelaksana
Teknis Lapangan?;
Kaur Pembangunan, Kaur Kesra, dan Kaur Pemerintahan.
Sedang untuk Kelian Banjar
Dinas, jumlahnya berbeda sesuai
dengan jumlah Banjar Dinas yang
ada pada masing-masing desa.
2) Pasal 3 ayat (1)
Perda Badung 3/2007:
Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Pemerintah
Desa ditetapkan dengan
Peraturan Desa. Apakah
setiap Desa telah
memiliki Perdes tentang
Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Pemerintah
Desa dan sejak kapan?;
Desa di Kabupaten Badung belum
memiliki Peraturan Desa tentang
Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintahan Desa.
Dalam pelaksanaannya langsung
mengacu pada Perda No. 3/2007.
Pelaksanaan tidak
sesuai dengan Perda
Badung 3/2007,
karena Organisasi
dan Tata Kerja
Pemerintah Desa
tidak ditetapkan
dengan Peraturan
Desa. Akan tetapi
langsung
mendasarkan Perda
Badung 3/2007.
3) Pasal 4 Perda Badung
3/2007: Susunan
Organisasi
Pemerintahan Desa
sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3
dilaporkan oleh
Perbekel kepada Bupati
melalui Camat. Apakah ada Perbekel yang tidak
melaporkan Susunan
Organisasi
Pemerintahan Desa
kepada Bupati melalui
Camat?
Perbekel melaporkan Susunan
Organisasi Pemerintahan Desa
kepada Bupati melalui Camat.
Semua Perbekel melaporkan
Susunan Organisasi Pemerintahan
Desa kepada Bupati melalui
Camat.
Telah sesuai dengan
Perda 3/2007. Perlu
dipertimbangkan
tentang pengaturan
bentuk dan tata cara
pelaporannya untuk
diatur dalam perda
yang akan dibentuk.
4) Hal lainnya:
Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Perbekel?;
Kewajiban Perbekel?;
Larangan Perbekel?;
tugas Perangkat Desa?; tugas Kepala Urusan?;
tugas Kelian Banjar
Dinas?
[tidak ada jawaban] Perlu dipertegas
pengaturan tentang
tugas, wewenang,
dan larangan
Perbekel dan Kelian
Banjar Dinas dalam perda yang akan
dibentuk.
5) Dalam melaksanakan
tugasnya Perbekel dan
Perangkat Desa
menerapkan prinsip
koordinasi dan
Koordinasi dan sinkronisasi
belum sepenuhnya dapat
dilakukan secara optimal,
khususnya antara Perbekel dengan
Kelian Banjar Dinas.
Perlu pendalaman
tentang
“ketidakloyalan
Kelian Banjar Dinas
kepada Perbekel”
80
sinkronisasi; bagaimana pelaksanaannya?
Salah satu penyebabnya adalah ada pada ketidak loyalan Kelian
Banjar Dinas kepada Perbekel,
karena Kelian Banjar Dinas
merasa bahwa duduknya sebagai
Kelian Banjar Dinas adalah
karena melalui pemilihan
langsung oleh warganya.
Walaupun pengangkatannya
diusulkan oleh Perbekel.
Perlu pengaturan
tentang bentuk
koordinasi dan
sinkronisasi antara
Perbekel dan
Perangkat Desa
dalam menjalankan
tugasnya.
2. Kondisi yang ada
pada penyelengga-raan
pemerintahan desa
setelah Perda Badung
3/2007 kehilangan dasar
hukumnya, sebagai
akibat adanya reformasi
kebijakan desa.
1) Apakah Perda
Badung 3/2007 masih
digunakan dalam
penyusunan organisasi
dan tata kerja
pemerintahan desa?
2) Dalam hal masih digunakan, apakah
disesuaikan dengan UU
6/2014 dan peraturan
pelaksanaannya?
Oleh karena belum ada Perda
yang baru maka Perda 3/2007
masih tetap diberlakukan.
Dalam pelaksanaannya, apabila ada hal yang bertentangan dengan
UU No. 6/2014, PP No. 43/2014,
dan Permendagri yang
berhubungan dengan itu, maka
disesuaikan dengan UU, PP, dan
Permendagri dimaksud.
Sesuai dengan Pasal
119 UU 6/2014 dan
Pasa 157 PP 43/2014.
Perlu dibentuk Perda
untuk menjabarkan
perintah dari UU
6/2004 dan PP No.
43/2014.
Perlu pendalaman
tentang “apabila ada
hal yang
bertentangan dengan
UU No. 6/2014, PP
No. 43/2014,” dan
“maka disesuaikan
dengan UU, PP,”
3) Apakah kondisi
tersebut menimbulkan
masalah dalam
penyelenggaraan
pemerintahan desa?
Permasalahan yang ada adalah,
adanya keinginan dari beberapa
Perbekel yang mengusulkan agar
dalam pengangkatan Sekretaris
Desa dapat diisi oleh salah
seorang Kepala Urusan yang
paling berkompeten (dilihat dari
umur, masa kerja, dan
pengalaman). Usulan ini masih
memerlukan pertimbangan untuk dapat diatur dalam Perda yang
akan dibentuk.
Jawaban tidak
termasuk dalam
ruang lingkup materi
muatan Perda
Badung 3/2007, akan
tetapi perlu
pendalaman untuk
mengetahui
kemungkinan diatur
dalam Perda lain.
3. Permasalahan yang
dihadapi masyarakat
sebagai akibat Perda Badung 3/2007
81
kehilangan dasar hukumnya.
1) Apakah kondisi
tersebut menimbulkan
masalah dalam
masyarakat, khususnya masyarakat desa?.
Adanya keinginan dari beberapa
desa untuk tetap mempertahankan
Kelian Banjar Dinas yang telah
habis masa jabatannya dan tidak dapat diangkat kembali mengingat
batasan umurnya telah melebihi
43 tahun
Jawaban tidak
termasuk dalam
ruang lingkup materi
muatan Perda Badung 3/2007, akan
tetapi perlu
pendalaman untuk
mengetahui
kemungkinan diatur
dalam Perda lain.
2) Apakah kondisi
tersebut menyebabkan
pemerintahan desa tidak
optimal memberikan
pelayanan kepada
masyarakatnya?
Permasalahan seperti
dikemukakan di atas
mengakibatkan tidak optimalnya
pelayanan kepada masyarakat,
karena Kelian Banjar Dinas
tersebut tidak tidak memiliki
dasar hukum untuk menjalankan
tugas sebagai Kelian Banjar
Dinas.
Jawaban tidak
termasuk dalam
ruang lingkup materi
muatan Perda
Badung 3/2007, akan
tetapi perlu
pendalaman untuk
mengetahui
kemungkinan diatur
dalam Perda lain.
3) Apakah masyarakat pernah mengajukan
keluhan terhadap
kondisi tersebut?
Ada keluhan dari masyarakat yang disampaikan dalam rapat-
rapat koordinasi Perbekel dengan
Camat ke BPMD Pemdes.
Sedangkan keluhan dari Kelian
Banjar Dinas, dilakukan melalui
protes/demo yang pernah
dilakukan ke Kantor Bupati, yang selanjutnya ditindak lanjuti
dengan mengajak perwakilan
Kelian Banjar Dinas berkonsultasi
ke Dirjen PMD pada Kementerian
Dalam Negeri.
Jawaban tidak termasuk dalam
ruang lingkup materi
muatan Perda
Badung 3/2007, akan
tetapi perlu
pendalaman untuk
mengetahui
kemungkinan diatur
dalam Perda lain.
Masalah tersebut
menyangkut
pengangkatan
perangkat desa.
Praktik penyelenggaraan dan kondisi yang ada adalah tidak bekerjanya
Pasal 3 ayat (1) Perda Badung 3/2007 yang menentukan Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Sekaligus ini
merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya.
Permasalahannya adalah Desa di Kabupaten Badung belum � tepatnya
adalah tidak � memiliki Peraturan Desa tentang Susunan Organisasi dan Tata
82
Kerja Pemerintahan Desa. Sekalipun tidak memiliki Peraturan Desa, Desa-desa di
Badung langsung mengacu pada Perda No. 3/2007 dan menetapkan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Permasalahan tersebut kemungkinan akan terulang lagi dalam periode
berlakunya pengaturan yang baru. Oleh karena itu perlu dirumuskan ketentuan
berkenaan dengan mekanisme pelaksanaan dan evaluasi atau strategi
implementasi dalam peraturan yang baru.
Data penting lainnya baik di Badung maupun di Denpasar adalah tentang
belum ada Perda yang baru, maka Perda 3/2007 masih tetap diberlakukan. Ini juga
menjadi faktor sosiologis yang pendorong perlunya dibuat Perda yang baru tentang
Pedoman SOTK Pemdes, sehingga penyelenggaraan pemerintahan daerah memiliki
koherensi dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat kebutuhan untuk menyesuaikan
Peraturan Daerah tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa (yang selama ini ditetapkan dengan Perda Badung 3/2007)
dengan UU 6/2014 berikut peraturan pelaksanaannya. Kebutuhan itu pada
dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat agar dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil
guna, maka perlu adanya pengaturan tentang penyusunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa.
Hal tersebut menimbulkan kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa, yakni kebutuhan akan adanya pengaturan tentang pedoman struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
Ketiga, landasan yuridis menggambarkan upaya mengatasi permasalahan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
83
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru guna menjamin kepastian
hukum. Beberapa permasalahan hukum itu, antara lain:
a. peraturan yang sudah ketinggalan;
b. peraturan yang tidak sesuai lagi dengan peraturan yang baru;
c. peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih;
d. peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai;
e. jenis peraturan yang lebih rendah dari yang seharusnya sehingga daya
berlakunya lemah;
f. peraturan yang menjadi dasar pembentukannya telah tidak berlaku; atau
g. peraturannya memang sama sekali belum ada.
Permasalahan hukum yang dihadapi adalah Perda Badung 3/2007 dan Perda
Denpasar 5/2007 adalah peraturan yang menjadi dasar hukum pembentukannya
(UU 32/2004 dan PP 72/2005) telah tidak berlaku, dan substansi dari Perda
tersebut tidak sesuai lagi dengan peraturan yang baru, UU 6/2014 dan PP 43/2014.
Persoalan tersebut perlu dicermati dengan melakukan studi sinkronisasi (sinkron
atau tidak sinkron) dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014.
Tabel 5.13. Sinkronisasi Perda Badung 3/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014
ISI PERDA BADUNG 3/2007 ANOTASI
BAB II SUSUNAN
ORGANISASI
Pasal 2
(1) Pemerintahan Desa terdiri
dari: a. Pemerintah Desa;
b. BPD.
(2) Pemerintah Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a terdiri dari :
a. Perbekel;
b. Perangkat Desa.
(3) Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b
1. Pasal 2 ayat (1) Perda 3/2007 tidak sinkron
dengan UU 6/2014, yang dalam Pasal 23
menentukan: “Pemerintahan Desa
diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
2. Pasal 2 ayat (2) Perda 3/2007 tidak sinkron dengan UU 6/2014, yang dalam Pasal 25
menentukan: Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala
Desa atau yang disebut dengan nama lain
dan dibantu oleh perangkat Desa atau
disebut dengan nama lain.
3. Pasal 2 ayat (3) Perda 3/2007 tidak sinkron
dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014, karena:
a. Perangkat Desa menurut Pasal 48 UU
84
terdiri dari: a. Sekretaris Desa;
b. Perangkat Desa lainnya.
(4) Perangkat Desa lainnya
sebagimana dimaksud pada ayat
(3) huruf b terdiri dari :
a. Sekretariat Desa;
b. Pelaksana Teknis Lapangan; c. Kelian Banjar Dinas.
(5) Jumlah Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) disesuaikan dengan kebutuhan
dan kondisi budaya masyarakat
setempat.
(6) BPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Daerah
tersendiri.
6/2014 terdiri dari: secretariat Desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana
teknis;
b. Sekretaris Desa tidak merupakan
perangkat Desa, akan tetapi memimpin
sebuah perangkat Desa yang bernama
Sekretariat Desa (Pasal 62 ayat (1) PP
43/2014). c. UU 6/2014 dan PP 43/2014 tidak
mengenal istilah Perangkat Desa
lainnya sebagai bagian dari Perangkat
Desa (Pasal 25, Pasal 48 UU 6/2014,
Pasal 61 PP 43/2014).
4. Pasal 2 ayat (4) Perda 3/2007 tidak sinkron
dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014, lihat
catatan 3c di atas.
5. Pasal 2 ayat (5) Perda 3/2007 tidak sinkron
dengan PP 43/2014, sepanjang Perangkat
Desa dimaksudkan sebagai “Pelaksana
teknis” disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi budaya masyarakat setempat. Karena
menurut Pasal 64 ayat (2) PP 43/2014:
Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas 3
(tiga) seksi.
6. Pasal 2 ayat (6) Perda 3/2007, lihat catatan 1
di atas.
BAB III TATA CARA
PENYUSUNAN STRUKTUR
ORGANISASI
Pasal 3
(1) Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa ditetapkan
dengan Peraturan desa.
(2) Bagan Susunan Organisasi
Pemerintahan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran
Peraturan daerah ini dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah
ini.
Pasal 4
Susunan Organisasi Pemerintahan
Desa sebagaimana dimaksud
dalam pasal 3 dilaporkan oleh Perbekel kepada Bupati melalui
Camat.
1. Pasal 3 Perda Badung 3/2007, tidak disebut
dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014. Pasal 26
ayat (3) huruf a UU 6/2014 menentukan
dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa
berhak mengusulkan struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa. Tafsirnya adalah
usul dituangkan dalam bentuk Rancangan
Peraturan Desa dan disampaikan Kepala
Desa kepada BPD untuk dibahas dan
disepakati bersama sebagai Peraturan Desa
(Pasal 26 ayat (3) huruf b UU 6/2014 dan
Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa).
2. Pasal 4 Perda Badung 3/2007, tidak disebut
dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014.
Sekalipun demikian, hal itu dapat
diakomodasi dalam kerangka UU 6/2014 dan
PP 43/2014, tepatnya merujuk pada Pasal 27
huruf a UU 6/2014, Pasal 48 huruf a dan Pasal 49 ayat (1) PP 43/2014, yang
menentukan dalam melaksanakan tugas,
kewenangan, hak, dan kewajibannya, kepala
Desa wajib menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap
85
akhir tahun anggaran kepada bupati/walikota melalui camat paling lambat 3 bulan setelah
berakhirnya tahun anggaran.
BAB IV TUGAS, WEWENANG,
KEWAJIBAN DAN
LARANGAN
Bagian Kesatu
Tugas dan Wewenang Perbekel
Pasal 5
(1) Perbekal mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. (2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Perbekel mempunyai
wewenang sebagai berikut :
a. memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
b. mengajukan rancangan
Peraturan Desa;
c. menetapkan Peraturan Desa
setelah mendapat persetujuan dari
BPD;
d. menyusun dan mengajukan
rancangan Peraturan desa tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa untuk dibahas dan
ditetapkan bersama BPD;
e. membina kehidupan
masyarakat desa;
f. membina perekonomian
masyarakat desa;
g. mengkoordinasikan
pembangunan desa secara
partisipasif;
h. mewakili desa didalam dan
diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
dan
i. melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban Perbekel
Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan tugas
1. Pasal 5 Perda Badung 3/2007 tidak sinkron
dengan Pasal 26 UU 6/2014, karena
beberapa ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2)
UU 6/2014 tidak dipenuhi. Pasal 26
dimaksud adalah sebagai berikut (dan yang
tidak dipenuhi adalah yang cetak tebal):
Pasal 26
(1) Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan Desa,
melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa; b. mengangkat dan memberhentikan
perangkat Desa; c. memegang kekuasaan pengelolaan
Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat
Desa;
g. membina ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
h. membina dan meningkatkan
perekonomian Desa serta
mengintegrasikannya agar mencapai
perekonomian skala produktif untuk
sebesar-besarnya kemakmuran
masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima
pelimpahan sebagian kekayaan
negara guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial
budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi tepat
guna; m. mengoordinasikan Pembangunan
Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar
pengadilan atau menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai
86
dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, Perbekel
mempunyai kewajiban :
a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta mempertahankan dan memeliha
keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. meningkatkan kesejahteraan
masyarakat;
c. memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat;
d. melaksanakan kehidupan
demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata
pemerintahan desa yang bersih
dan bebas dari kolusi, korupsi,
dan nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja
dengan seluruh mitra kerja
pemerintah desa;
g. mentaati dan menegakkan
seluruh peraturan perundang-
undangan;
h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa
yang baik;
i. melaksanakan dan
mempertanggungjawab-kan
pelaksanaan keuangan desa;
j. melaksanakan urusan yang
menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan
masyarakat di desa;
l. membina, mengayomi dan
melestarikan nilai-nilai sosial
budaya dan adat istiadat;
m. memberdayakan masyarakat
dan kelembagaan di desa;
n. mengembangkan potensi
sumber daya alam dan
melestarikan lingkungan hidup;
o. membina kerukunan antar umat
beragama di desa.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel
mempunyai kewajiban untuk
memberi laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada Bupati,
memberikan keterangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan wewenang lain yang
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Pasal 6 ayat (1) Perda Badung 3/2007 tidak
sinkron dengan Pasal 26 UU 6/2014, karena
beberapa ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4) UU 6/2014 tidak dipenuhi. Pasal 26
dimaksud adalah sebagai berikut (dan yang
tidak dipenuhi adalah yang cetak tebal):
Pasal 26 ayat (4) UU 6/2014: Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa;
c. memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f. melaksanakan prinsip tata Pemerintahan
Desa yang akuntabel, transparan,
profesional, efektif dan efisien, bersih,
serta bebas dari kolusi, korupsi, dan
nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di
Desa;
h. menyelenggarakan administrasi
Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan perselisihan masyarakat di
Desa;
l. mengembangkan perekonomian
masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial
budaya masyarakat Desa; n. memberdayakan masyarakat dan lembaga
kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya
alam dan melestarikan lingkungan hidup;
dan
87
pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan
desa kepada masyarakat;
(3) Laporan peyelenggaraan
pemerintahan desa sebagaiaman
dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bupati melalui Camat 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun.
(4) Laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun dalam
musyawarah BPD.
(5) Menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan
desa kepada masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat berupa selebaran yang
ditempelkan pada papan
pengumuman atau diinformasikan
secara lisan dalam berbagai
pertemuan masyarakat Desa, radio
komunitas atau media lainnya.
(6) Laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh Bupati sebagai dasar
melakukan evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan
desa dan sebagai bahanpembinaan
lebih lanjut.
(7) Laporan akhir masa jabatan
Perbekel disampaikan kepada Bupati melalui Camat dan kepada
BPD.
Bagian Ketiga
Larangan Perbekel
Pasal 7
Perbekel dilarang :
a. menjadi pengurus partai
politik;
b. merangkap jabatan sebagai
ketua dan/atau anggota BPD dan
lembaga kemasyarakatan di desa
bersangkutan; c. merangkap jabatan sebagai
anggota DPRD;
d. terlibat dalam kampanye
pemilighan umum, pemilihan
presiden, dan pemilihan kepala
p. memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
3. Pasal 6 ayat (2) Perda Badung 3/2007
sinkron dengan Pasal 27 UU 6/2014, yang
menentukan: Dalam melaksanakan tugas,
kewenangan, hak, dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa setiap akhir tahun
anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa pada akhir masa
jabatan kepada Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan
penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada Badan Permusyawaratan
Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan
informasi penyelenggaraan pemerintahan
secara tertulis kepada masyarakat Desa
setiap akhir tahun anggaran.
4. Perda Badung 3/2007, khususnya BAB IV
TUGAS, WEWENANG, KEWAJIBAN
DAN LARANGAN, tidak memuat materi
hak kepala Desa. UU 6/2014, Pasal 26 (3)
menentukan: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala
Desa berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan tata
kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan menetapkan
Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang
sah, serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas
kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas
dan kewajiban lainnya kepada perangkat
Desa.
5. Pasal 7 Perda Badung 3/2007 tidak sinkron
dengan Pasal 29 UU 6/2014, karena
beberapa ketentuan dalam Pasal 26 ayat (4)
UU 6/2014 tidak dipenuhi. Pasal 29
dimaksud adalah sebagai berikut (dan yang
tidak dipenuhi adalah yang cetak tebal): Pasal 29
Kepala Desa dilarang:
a. merugikan kepentingan umum;
b. membuat keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, anggota
88
daerah; e. merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok
masyarakat, dan
mendiskriminasikan warga atau
golongan masyarakat lain;
f. melakukan kolusi, korupsi,
dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak
lain yang dapat mempengaruhi
keputusan atau tindakan yang
akan dilakukannya;
g. menyalahgunakan wewenang;
dan
h. melanggar sumpah/janji
jabatan.
Bagian Keempat
Perangkat Desa
Pasal 8
(1) Perangkat Desa bertugas
membantu Perbekel dalam
melaksanakan tugas dan
wewenangnya.
(2) Dalam melaksanakan
tugasnya, Perangkat desa
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggungjawab kepada Perbekel.
Pasal 9
(1) Sekretaris Desa berkedudukan
sebagai unsur staf pembantu
Perbekel dan memimpin
Sekretariat Desa. (2) Sekretaris Desa diisi dari
Pegawai Negeri Sipil yang
memenuhi persyaratan, yaitu :
a. berpendidikan paling rendah
lulusan SMU atau sederajat;
b. mempunyai pengetahuan
tentang teknis pemerintahan;
c. mempunyai kemampuan
dibidang administrasi keuangan
dan dibidang perencanaan;
d. mempunyai pengalaman
dibidang administrasi keuangan
dan dibidang perencanaan; e. memahami sosial budaya
masyarakat setempat; dan
f. bersedia tinggal di desa yang
bersangkutan.
(3) Sekretaris Desa sebagaimana
keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak,
dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan diskriminatif
terhadap warga dan/atau golongan
masyarakat tertentu;
e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan
nepotisme, menerima uang, barang,
dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan
yang akan dilakukannya;
g. menjadi pengurus partai politik;
h. menjadi anggota dan/atau pengurus
organisasi terlarang;
i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau
anggota Badan Permusyawaratan Desa,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang
ditentukan dalam peraturan perundangan-
undangan;
j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau
pemilihan kepala daerah;
k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan tugas selama 30 (tiga
puluh) hari kerja berturut-turut tanpa
alasan yang jelas dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. 6. Semestinya dalam Perda tentang Pedoman
Penyusunan Struktur Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa tidak memuat
kewajiban dan larangan yang
pelanggarannya dapat dikenakan sanksi,
mengingat kewenangan pengenaan sanksi
berada pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (lihat Pasal 115 huruf n UU
6/2014).
7. Pasal 8 Perda Badung 3/2007 sinkron dengan
Pasal 61 ayat (2) PP 43/2014 yang
menentukan perangkat Desa berkedudukan
sebagai unsur pembantu kepala Desa, namun tidak menentukan perangkat Desa
bertanggung jawab kepada kepala Desa,
8. Pasal 9 Perda Badung 3/2007 tidak sinkron
dengan Pasal 65 ayat (2) PP 43/2014 yang
tidak mensyaratkan “Sekretaris Desa diisi
89
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Sekretaris Daerah atas nama
Bupati.
(4) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas :
a. memberikan saran dan
pendapat kepada Perbekel; b. memimpin,
mengkoordinasikan, dan
mengendalikan serta mengawasi
semua unsur serta kegiatan
Sekretaris Desa;
c. memberikan informasi
mengenai keadaan desa dan
Sekretaris Desa;
d. merumuskan kegiatan Perbekel;
e. melaksanakan urusan surat
menyurat, kearsipan, dan laporan;
f. mengadakan dan melaksanakan
persiapan rapat dan mencatat
hasil-hasil rapat;
g. menyusun anggaran
pendapatan dan belanja desa;
h. mengadakan kegiatan
inventarisasi (mencatat,
mengawasi, dan memelihara)
kekayaan desa; i. melaksanakan kegiatan
admimistrasi pemerintahan desa
sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
j. melaksanakan tugas lain yang
diberikan oleh atasan.
Pasal 10
(1) Kepala Urusan berkedudukan
sebagai unsur pembantu
Sekretaris Desa dalam bidang
tugasnya.
(2) Kepala Urusan mempunyai
tugas melaksanakan kegiatan
kesekretariatan desa dalam bidang
tugasnya.
(3) Kepala Urusan dalam
melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
mempunyai fungsi : a. Melaksanakan kegiatan-
kegiatan urusan pemerintahan,
umum, keuangan, pembangunan
dan kesejahteraan rakyat sesuai
bidang tugasnya masing-masing;
dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan”. Pasal 65 ayat (2) juga
menentukan untuk menjadi perangkat Desa
(termasuk Sekretaris Desa) memenuhi
persyaratan “berusia 20 (dua puluh) tahun
sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun”
dan “terdaftar sebagai penduduk Desa dan
bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran”.
9. Pasal 10 Perda Badung 3/2007 berkenaan
dengan Kepala Urusan, tentang hal ini Pasal
62 ayat (3) PP 43/2014 menentukan
ketentuan mengenai bidang urusan diatur
dengan Peraturan Menteri. Sampai saat
naskah akademik ini dibuat belum ditemukan
Peraturan Menteri tersbut. Selebihnya, Pasal
10 ayat (1) Perda Badung 3/2007 tidak
sinkron dengan Pasal 62 ayat (1) PP 43/2014
yang menentukan Sekretariat Desa dipimpin
oleh sekretaris Desa dibantu unsur staf
secretariat, yakni bidang urusan, yang
bertugas membantu kepala Desa dalam
bidang administrasi pemerintahan (dan
bukan sebagai unsur pembantu Sekretaris
Desa dalam bidang tugasnya).
10. Pasal 11 Perda Badung 3/2007 berkenaan
dengan pelaksana teknis, tentang hal ini Pasal 64 ayat (3) PP 43/2014 menentukan
ketentuan mengenai pelaksana teknis diatur
dengan Peraturan Menteri. Sampai saat
naskah akademik ini dibuat belum ditemukan
Peraturan Menteri tersbut. Selebihnya, Pasal
11 ayat (1) Perda Badung 3/2007 tidak
sinkron dengan Pasal 64 ayat (1) PP 43/2014 yang menentukan pelaksana teknis
merupakan unsur pembantu kepala Desa
sebagai pelaksana tugas operasional (dan
bukan sebagai staf teknis Perbekel dalam
bidang tugasnya).
12. Pasal 12 Perda Badung 3/2007 berkenaan
dengan Kelian Banjar Dinas (pelaksana
kewilayahan), tidak sinkron dengan Pasal 63
ayat (1) PP 43/2014 yang menentukan
pelaksana kewilayahan merupakan unsur
pembantu kepala Desa sebagai satuan tugas
kewilayahan (dan bukan berkedudukan
sebagai staf operasional Perbekel di wilayah kerjanya).
13. Tugas-tugas sekretaris Desa, bidang urusan,
pelaksana teknis, dan pelaksana
kewilayahan, yang dalam kerangka UU
6/2014 belum ada pengaturannya,
90
b. Memberikan pelayanan administrasi kepada Sekretaris
desa.
Pasal 11
(1) Pelaksana Teknis Lapangan
berkedudukan sebagai staf teknis
Perbekel dalam bidang tugasnya.
(2) Pelaksana Teknis Lapangan mempunyai tugas membantu
perbekel dalam melaksanakan
tugasnya yang bersifat teknis.
(3) Pelaksana Teknis Lapangan
dalam melaksnakan tugas
sebagaiman dimaksud pada ayat
(2) mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang bersifat teknis;
b. Memberikan pelayanan dan
pertimbangan teknis kepada
Perbekel.
Pasal 12
(1) Kelian Banjar Dinas
berkedudukan sebagai staf
operasional Perbekel di wilayah
kerjanya.
(2) Kelian Banjar Dinas
mempunyai tugas untuk
melaksanakan kegiatan Perbekel dalam kepemimpinan Perbekel di
wilayah kerjanya.
(3) Kelian Banjar Dinas dalam
melaksanakan tugas
sebagaiamana dimaksud pada ayat
(2) mempunyai tugas :
a. Melakukan kegiatan Pemerintahan, Pembangunan dan
ketertiban masyarakat di wilayah
kerjanya;
b. Melaksanakan Peraturan Desa
di wilayah kerjanya;
c. Melaksanakan kebijakan
Perbekel di wilayah kerjanya.
pengaturan tugas-tugas dimaksud yang dirumuskan dalam Perda Badung 3/2007
dapat dipertimbangkan menjadi bahan
pengaturan dalam Perda Badung yang baru,
antara lain dengan melakukan FGD dengan
SKPD terkait dan para pemangku
kepentingan.
BAB V HUBUNGAN KERJA
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya
Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan prinsip koordinasi
dan sinkronisasi.
1. Dalam hal yang dimaksud dengan
“hubungan kerja” itu adalah hubungan kerja
antara komponen-komponen Pemerintah
Desa, maka hubungan kerjanya adalah hubungan subordinasi atau atas-bawahan.
2. Berdasarkan Pasal 4 huruf e UU 6/2014 yang
menentukan pengaturan Desa bertujuan
“membentuk Pemerintahan Desa yang
professional, efisien dan efektif, terbuka,
91
serta bertanggung jawab”, maka hubungan kerja dimaksud hendaknya menerapkan
prinsip professional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab.
BAB VI KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 14
Dengan berlakunya peraturan
daerah ini, susunan organisasi
pemerintah desa yang sudah ada
masih tetap berlaku, sampai
ditetapkan yang baru sesuai
dengan Peraturan daerah ini.
Pasal 14 Perda Badung 3/2007 sinkron dengan
kaidah teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan, sebagaimana ditentukan dalam angka
127 Lampiran II UU 12/2011, perihal Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
(vide Pasal 64 UU 12/2011), yakni:
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian
pengaturan tindakan hukum atau hubungan
hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang
bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak
yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional
atau bersifat sementara.
Meski demikian, sebaiknya diberikan batas
waktu ditetapkannya “susunan organisasi
pemerintah desa” yang sesuai dengan Perda
yang baru.
BAB VI KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 15
Hal-hal lain yang belum diatur
dalam Peraturan Daerah ini, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 16
Pada saat Peraturan Daerah ini
mulai berlaku, maka Peraturan
Daerah Kabupaten Badung
Nomor 7 Tahun 2001 tentang
Susunan Organisasi Pemerintah
Desa dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 17
Peraturan Daerah ini mulai
berlaku pada tanggal
diundangkan.
1. Pasal 15 Perda Badung 3/2007 menyalahi
kaidah teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan, sebagaimana
ditentukan dalam angka 210 Lampiran II UU
12/2011, perihal Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-Undangan (vide Pasal
64 UU 12/2011). Angka 210 tersebut
menentukan:
Dalam pendelegasian kewenangan mengatur
tidak boleh adanya delegasi blangko.
Contoh 1:
Pasal …
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh 2:
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun
2010 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah
Pasal 24
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini
sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur
92
dengan Peraturan Bupati.
2. Pasal 16 dan Pasal 17 Perda Badung 3/2007
sinkron dengan kaidah teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan, sebagaimana
ditentukan dalam angka 137 Lampiran II
UU 12/2011, perihal Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-Undangan (vide Pasal 64 UU 12/2011), yakni:
Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat
ketentuan mengenai:
a. penunjukan organ atau alat kelengkapan
yang melaksanakan Peraturan
Perundang-undangan;
b. nama singkat Peraturan Perundang-
undangan;
c. status Peraturan Perundang-undangan
yang sudah ada; dan
d. saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
Sumber: Diolah dari Perda Badung 3/2007, UU 6/2014, UU 12/2011, dan PP
43/2014.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, Perda Badung 3/2007 telah tidak
sesuai dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014, oleh karena itu Perda Badung 3/2007
perlu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan dan pernyataan tidak
berlaku itu dirumuskan dalam Perda Badung yang hendak dibentuk ini.
Berikut studi sinkronisasi (sinkron atau tidak sinkron) dengan UU 6/2014
dan PP 43/2014 untuk mencermati persoalan tersebut.
Tabel 5.14.
Sinkronisasi Perda Denpasar 5/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014
ISI PERDA DENPASAR 5/2007 ANOTASI
BAB II SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 2
(1) Organisasi Pemerintahan Desa
terdiri dari:
a. Pemerintah Desa;
b. BPD.
(2) Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari :
a. Kepala Desa; dan
b. Perangkat Desa.
(3) Perangkat Desa sebagaimana
1. Pasal 2 ayat (1) Perda Denpasar 5/2007
tidak sinkron dengan UU 6/2014, yang
dalam Pasal 23 menentukan:
“Pemerintahan Desa diselenggarakan
oleh Pemerintah Desa.
2. Pasal 2 ayat (2) Perda Denpasar 5/2007
tidak sinkron dengan UU 6/2014, yang
dalam Pasal 25 menentukan: Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dan dibantu oleh
perangkat Desa atau disebut dengan
93
dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. Sekretaris Desa; dan
b. Perangkat Desa lainnya.
(4) Perangkat Desa lainnya terdiri
dari :
a. Kepala Urusan;
b.Kepala Dusun; c. Pelaksana Teknis Lapangan.
(5) Jumlah Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi sosial budaya masyarakat
setempat.
Pasal 3
(1) Susunan Organisasi Pemerintah
Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ditetapkan dalam Peraturan
desa.
(2) Dalam Peraturan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampirkan bagan susunan
organisasi Pemerintahan Desa..
nama lain. 3. Pasal 2 ayat (3) Perda Denpasar 5/2007
tidak sinkron dengan UU 6/2014 dan PP
43/2014, karena:
a. Perangkat Desa menurut Pasal 48
UU 6/2014 terdiri dari: sekretariat
Desa, pelaksana kewilayahan, dan
pelaksana teknis; b. Sekretaris Desa tidak merupakan
perangkat Desa, akan tetapi
memimpin sebuah perangkat Desa
yang bernama Sekretariat Desa
(Pasal 62 ayat (1) PP 43/2014).
c. UU 6/2014 dan PP 43/2014 tidak
mengenal istilah Perangkat Desa
lainnya sebagai bagian dari
Perangkat Desa (Pasal 25, Pasal 48
UU 6/2014, Pasal 61 PP 43/2014).
4. Pasal 2 ayat (4) Perda Denpasar 5/2007
tidak sinkron dengan UU 6/2014 dan PP
43/2014, lihat catatan 3c di atas.
5. Pasal 2 ayat (5) Perda Denpasar 5/2007
tidak sinkron dengan PP 43/2014,
sepanjang Perangkat Desa dimaksudkan
sebagai “Pelaksana teknis” disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi budaya
masyarakat setempat. Karena menurut
Pasal 64 ayat (2) PP 43/2014: Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas 3 (tiga)
seksi.
6. Pasal 3 Perda Denpasar 5/2007, tidak
disebut dalam UU 6/2014 dan PP
43/2014. Pasal 26 ayat (3) huruf a UU
6/2014 menentukan dalam melaksanakan
tugasnya, Kepala Desa berhak mengusulkan struktur organisasi dan tata
kerja Pemerintah Desa.
Tafsirnya adalah usul dituangkan dalam
bentuk Rancangan Peraturan Desa dan
disampaikan Kepala Desa kepada BPD
untuk dibahas dan disepakati bersama
sebagai Peraturan Desa (Pasal 26 ayat (3)
huruf b UU 6/2014 dan Pasal 6 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan Di
Desa).
BAB III TATA PEMERINTAHAN
DESA
Bagian Pertama perihal Tugas,
Wewenang, Kewajiban dan Hak
1. Pasal 4 Perda Denpasar 5/2007 tidak
sinkron dengan Pasal 26 UU 6/2014,
karena beberapa ketentuan dalam Pasal
26 ayat (2) UU 6/2014 tidak dipenuhi.
Pasal 26 dimaksud adalah sebagai berikut
94
Kepala Desa. Pasal 4
(1) Kepala Desa mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan
pemerintahan, pembangunan, dan
kemasyarakatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai wewenang:
a. mengajukan rancangan peraturan
desa;
b. menetapkan peraturan desa yang
telah mendapat persetujuan bersama
BPD;
c. memimpin penyelenggaraan
pemerintahan desa berdasarkan
kebijakan
yang ditetapkan bersama BPD;
d. menyusun dan mengajukan
rancangan peraturan desa mengenai
APB Desa untuk dibahas dan
ditetapkan bersama BPD;
e. membina kehidupan masyarakat
desa;
f. membina perekonomian desa;
g. mengkoordinasikan pembangunan
desa secara partisipatif:
h. mewakili desanya didalam dan luar pengadilan dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
i. melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 Kepala Desa
mempunyai kewajiban :
a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta mempertahankan
dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kesejahtraan
masyarakat
c. memelihara ketentraman dan
ketertiban masyarakat
d. melaksanakan kehidupan
(dan yang tidak dipenuhi adalah yang cetak tebal):
Pasal 26
(1) Kepala Desa bertugas
menyelenggarakan Pemerintahan
Desa, melaksanakan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa berwenang:
a. memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
b. mengangkat dan memberhentikan
perangkat Desa;
c. memegang kekuasaan pengelolaan
Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan Peraturan Desa;
e. menetapkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa;
f. membina kehidupan masyarakat
Desa;
g. membina ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
h. membina dan meningkatkan
perekonomian Desa serta
mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala
produktif untuk sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan sumber
pendapatan Desa;
j. mengusulkan dan menerima
pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan kehidupan sosial
budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan teknologi tepat
guna;
m. mengoordinasikan Pembangunan
Desa secara partisipatif;
n. mewakili Desa di dalam dan di luar
pengadilan atau menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan o. melaksanakan wewenang lain yang
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Pasal 5 ayat (1) Perda Denpasar 5/2007
95
demokrasi; e. melaksanakan prinsip tata
pemerintahan desa yang bersih dan
bebas dari Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan
seluruh mitra kerja pemerintahan
Desa; g. mentaati dan menegakan seluruh
peraturan perundang-undangan;
h. menyelenggarakan administrasi
pemerintahan Desa yang baik;
i. melaksanakan dan
mempertanggung jawabkan
pengelolaan keuangan Desa;
j. melaksanakan urusan yang menjadi
kewenangan Desa;
k. mendamaikan perselisihan
masyarakat di Desa;
l. mengembangkan pendapatan
masyarakat dan Desa;
m. membina, mengayomi dan
melastarikan nilai-nilai sosial budaya
dan adat istiadat;
n. memberdayakan masyarakat dan
kelembagaan di Desa; dan
o. mengembangkan potensi sumber
daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;
(2) Selain kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa
mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan Desa
kepada Walikota memberikan laporan keterangan pertanggung
jawaban kepada BPD, dan
menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan Desa
kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan
pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Walikota melalui Camat 1
(satu) kali dalam satu tahun.
(4) Laporan keterangan pertangung
jawaban kepada BPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam
musyawarah BPD.
(5) Menginformasikan laporan
penyelengaraan pemerintah Desa
kepada masyarakat sebagimana
tidak sinkron dengan Pasal 26 UU 6/2014, karena beberapa ketentuan dalam
Pasal 26 ayat (4) UU 6/2014 tidak
dipenuhi. Pasal 26 dimaksud adalah
sebagai berikut (dan yang tidak dipenuhi
adalah yang cetak tebal):
Pasal 26 ayat (4) UU 6/2014: Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta
mempertahankan dan memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa;
c. memelihara ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan;
e. melaksanakan kehidupan demokrasi
dan berkeadilan gender;
f. melaksanakan prinsip tata
Pemerintahan Desa yang akuntabel,
transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi,
korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin kerja sama dan koordinasi
dengan seluruh pemangku
kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan administrasi
Pemerintahan Desa yang baik; i. mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan perselisihan
masyarakat di Desa;
l. mengembangkan perekonomian
masyarakat Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial
budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan masyarakat dan
lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan potensi sumber daya
alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p. memberikan informasi kepada
masyarakat Desa.
3. Pasal 5 ayat (2) Perda Denpasar 5/2007
96
dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada
papan pengumuman atau
diinformasikan secara lisan dalam
berbagai pertemuan masyarakat
Desa, radio komunitas atau media
lainya.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan oleh
Walikota sebagai dasar melakukan
evaluasi penyelenggaraan Pemerintah
Desa dan sebagai bahan pembinaan
lebih lanjut.
(7) Laporan akhir masa jabatan
Kepala Desa disampaikan kepada
Walikota melalui Camat dan kepada
BPD
Pasal 6
(1) Kepala Desa diberikan
penghasilan tetap setiap bulan dan
/atau tunjangan lainnya sesuai
dengan kemampuan keuangan Desa.
(2) Penghasilan tetap dan/atau
tunjangan lainnya yang diterima
Kepala Desa sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap
tahun dalam APB Desa. (3) Penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
sama dengan Upah Minimum
Regional Kota
Pasal 7
Kepala Desa dilarang: a. menjadi pengurus partai politik;
b. merangkap jabatan sebagai Ketua
dan / atau Anggota BPD dan lembaga
kemasyarakatan di Desa
bersangkutan;
c. merangkap jabatan sebagai
Anggota DPRD;
d. terlibat dalam kampanye
pemilihan umum, pemilihan
Presiden, dan pemilihan Kepala
Daerah;
e. merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau
golongan masyarakat lain;
f. melakukan Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme, menerima uang barang
dan/atau jasa dari pihak lain yang
sinkron dengan Pasal 27 UU 6/2014, yang menentukan: Dalam melaksanakan
tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa
setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota;
b. menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa
pada akhir masa jabatan kepada
Bupati/Walikota;
c. memberikan laporan keterangan
penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada Badan
Permusyawaratan Desa setiap akhir
tahun anggaran; dan
d. memberikan dan/atau menyebarkan
informasi penyelenggaraan
pemerintahan secara tertulis kepada
masyarakat Desa setiap akhir tahun
anggaran.
4. Perda Denpasar 5/2007, tidak memuat
materi hak kepala Desa. UU 6/2014,
Pasal 26 (3) menentukan: Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
berhak:
a. mengusulkan struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan rancangan dan
menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan
lainnya yang sah, serta mendapat
jaminan kesehatan;
d. mendapatkan pelindungan hukum atas
kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan mandat pelaksanaan tugas
dan kewajiban lainnya kepada
perangkat Desa.
4. Semestinya dalam Perda tentang Pedoman
Penyusunan Struktur Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa tidak memuat
kewajiban dan larangan yang pelanggarannya dapat dikenakan sanksi, mengingat
kewenangan pengenaan sanksi berada pada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (lihat
Pasal 115 huruf n UU 6/2014).Jadi, tidak
relevan sebagai pedoman bagi pemerintahan
97
dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g. menyalahgunakan wewenang; dan
h. melanggar sumpah / janji jabatan.
Pasal 8
Masa jabatan Kepala Desa adalah 6
(enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali
hanya untuk satu kali masa jabatan
berikutnya.
desa dalam membuat Perdes.
Bagian Kedua
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan
Hak Sekretaris Desa,
Pasal 9
(1) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai
Negeri Sipil memenuhi
persyaratan,yaitu: a. berpendidikan paling rendah
lulusan Sekolah Menengah Umum
atau sederajat;
b. mempunyai pengetahuan tentang
teknis pemerintahan;
c. mempunyai kemampuan dibidang
administrasi perkantoran;
d. mempunyai pengalaman dibidang
administrasi keuangan dan dibidang
perencanaan;
e. memahami sosial budaya
masyarakat setempat.
(2) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Sekretaris Kota atas nama Walikota.
1. Pasal 9 Perda Denpasar 5/2007 tidak sinkron dengan Pasal 65 ayat (2) PP
43/2014 yang tidak mensyaratkan
“Sekretaris Desa diisi dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi
persyaratan”.
2. Pasal 65 ayat (2) juga menentukan untuk
menjadi perangkat Desa (termasuk Sekretaris Desa) memenuhi persyaratan
“berusia 20 (dua puluh) tahun sampai
dengan 42 (empat puluh dua) tahun” dan
“terdaftar sebagai penduduk Desa dan
bertempat tinggal di Desa paling kurang 1
(satu) tahun sebelum pendaftaran”.
Bagian ketiga
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan
Hak Kepala Urusan.
Pasal 14
(1) Kepala Urusan sebagai unsur
pembantu Kepala Desa dalam bidang
tugasnya.
(2) Kepala urusan mempunyai tugas
melaksanakan kegiatan
kesekretariatan Desa dalam bidang
tugasnya.
(3) Dalam melaksanakan tugas
Kepala Urusan bertanggungjawab
kepada Kepala Desa melalaui
Sekretaris Desa.
1. Pasal 14 Perda Denpasar 5/2007
berkenaan dengan Kepala Urusan,
tentang hal ini Pasal 62 ayat (3) PP
43/2014 menentukan ketentuan mengenai
bidang urusan diatur dengan Peraturan
Menteri. Sampai saat ini belum
ditemukan Peraturan Menteri tersbut.
2. Selebihnya, Pasal 14 ayat (1) Perda
Denpasar 5/2007 tidak sinkron dengan
Pasal 62 ayat (1) PP 43/2014 yang
menentukan Sekretariat Desa dipimpin
oleh sekretaris Desa dibantu unsur staf
secretariat, yakni bidang urusan, yang
bertugas membantu kepala Desa dalam
bidang administrasi pemerintahan (dan
98
bukan sebagai unsur pembantu Kepala Desa dalam bidang tugasnya).
Bagian Keempat
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan
Hak Kepala Dusun
Pasal 18
Kepala Dusun mempunyai tugas:
a. membantu Kepala Desa dalam
melaksanakan kegiatan pemerintah,
pembangunan dan ketertiban
masyarakat;
b. melakukan kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan ketertiban masyarakat; dan
c. melaksanakan Peraturan Desa dan
Peraturan Kepala Desa.
Pasal 18 Perda Denpasar 5/2007 berkenaan
dengan Kelian Banjar Dinas (pelaksana
kewilayahan), tidak sinkron dengan Pasal 63
ayat (1) PP 43/2014 yang menentukan
pelaksana kewilayahan merupakan unsur
pembantu kepala Desa sebagai satuan tugas
kewilayahan.
Sumber: Diolah dari Perda Denpasar 5/2007, UU 6/2014, UU 12/2011, dan PP
43/2014.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, Perda Denpasar 5/2007 telah tidak
sesuai dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014, oleh karena itu Perda Denpasar 5/2007
perlu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan dan pernyataan tidak
berlaku itu dirumuskan dalam Perda Denpasar 5/2007 yang hendak dibentuk ini.
Uraian tersebut menegaskan bahwa Perda Badung 3/2007 dan Perda
Denpasar 5/2007 berada dalam persoalan hukum, yakni peraturan yang tidak
sesuai lagi dengan peraturan yang baru dan peraturan yang menjadi dasar
pembentukannya telah tidak berlaku sehingga kehilangan validitasnya. Oleh
karena itu perlu ada Perda yang baru untuk memberi landasan dan kepastian
hukum bagi kegiatan penetapan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
Keseluruhan uraian mengenai landasan keabsahan berkenaan dengan unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis peraturan daerah tersebut di atas, dapat diringkas
dalam tabel berikut:
99
Tabel 5.15. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Ranperda tentang Pedoman Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
KATEGORI URAIAN
Filosofis Perlu memberikan pedoman kepada Desa dalam menyusun struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa yang dituangkan dalam
Peraturan Daerah, sehingga dapat mengarahkan penyusunan struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa pada upaya berperan serta
mewujukan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni tujuan
dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945.
Sosiologis Adanya kebutuhan untuk menyesuaikan Peraturan Daerah tentang
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
(yang selama ini ditetapkan dengan Perda Badung 3/2007) dengan
UU 6/2014 berikut peraturan pelaksanaannya.
Kebutuhan itu pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan dalam
rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar dapat
dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna, perlu adanya
pedoman penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah
desa.
Yuridis Dalam rangka memberikan landasan dan kepastian hukum bagi bagi
pemerintah desa dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja
pemerintah desa, perlu adanya pedoman penyusunan struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
Simpulan Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam kategori-
kategori di atas, perlu menetapkan peraturan daerah tentang pedoman
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
5.2.2. Pembahasan tentang Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan
Dengan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
Berdasarkan Kebijakan Tentang Desa Tahun 2014
Bagian ini membahas karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan
tentang Desa tahun 2014.
UU 6/2014 maupun PP 43/2014 tidak memerintahkan dibentuknya
Peraturan Daerah tentang organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. Akan tetapi,
pembuatan Perda tidaklah semata-mata dilakukan dalam rangka menjabarkan
100
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tapi juga ntuk
menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Perlu memahami UU 12/2011 dan UU 23/2014 berkenaan dengan materi
muatan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, untuk kemudian memahami dasar
kewenangan pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa diatur
dengan atau dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) dan UU 23/2014
mengatur tentang materi muatan Peraturan Daerah sebagai berkut.
Tabel 5.16. Materi muatan Peraturan Daerah Menurut UU 12/2011 dan UU 23/2014
PASAL 14 UU 12/2011 PASAL 236 AYAT (3) DAN
AYAT (4) UU 23/2014
ANOTASI
Materi muatan Perda
Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka:
a. penyelenggaraan
otonomi daerah; dan
b. penyelenggaraan tugas
pembantuan; serta
c. menampung kondisi
khusus daerah;
dan/atau
d. penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-
undangan yang lebih
tinggi.
Perda memuat materi
muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
lebih tinggi.
c. dapat memuat materi
muatan lokal sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan
1. Menampung kondisi
khusus daerah dan
materi muatan lokal merupakan bawaan
dari asas otonomi
daerah, jadi termasuk
materi muatan yang
digali dari asas
otonomi daerah.
2. Penjabaran lebih
lanjut Peraturan
Perundang-undangan
yang lebih tinggi
merupakan materi
muatan obyektif-
normatif.
Secara obyektif-normatif tidak ada ketentuan yang menentukan struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa diatur dengan atau dalam Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Artinya, dari sudut “penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi” UU 23/2014 dan PP 43/2014 tidak
101
menentukan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa diatur dengan atau
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Materi muatan peraturan daerah tidaklah semata-mata penjabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”, melainkan juga �
bahkan lebih utama � penyelenggaraan Otonomi Daerah (termasuk menampung
kondisi khusus daerah atau materi muatan lokal) dan Tugas Pembantuan.
UU 23/2014 di dalam Bab IV perihal Urusan Pemerintahan mengatur urusan
pemerintahan dengan klasifikasi urusan pemerintahan absolut, urusan
pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan
absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan
yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah
menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan umum
sebagaimana dimaksud pada adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9 UU 23/2014).
Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri
atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan
Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan
Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan
Pelayanan Dasar (Pasal 11 UU 23/2014).
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
102
meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c.
pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian
penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan
informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m.
kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q.
perpustakaan; dan r. kearsipan (Pasal 12 ayat (2) UU 23/2014) (cetak tebal dari
peneliti).
Pasal 15 ayat (1) UU 23/2014 menentukan, pembagian urusan
pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta
Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari UndangUndang ini.
Lampiran huruf M. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, Sub Urusan 1. Penataan Desa, menentukan
“Penyelenggaraan penataan Desa.” menjadi kewenangan Kabupaten/Kota.
Penataan desa bertujuan: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan
Pemerintahan Desa; b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas
tata kelola Pemerintahan Desa; dan e. meningkatkan daya saing Desa (Pasal 7 ayat
(3) UU 6/2014).
Tujuan penataan desa tersebut pada dasarnya merupakan tujuan pula dari
pemberian pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
Berdasarkan pemahaman ini, maka pemberian pedoman struktur organisasi dan
tata kerja pemerintah desa merupala pula kewenangan Kabupaten/Kota yang
103
beada di bawah urusan pemerintahan “pemberdayaan masyarakat dan Desa”,
dengan perkataan lain tercakup dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka eksistensi Perda SOTK
Pemerintah Desa mendapat pembenaran oleh Pasal 236 ayat (3) huruf a UU
23/2014, yakni Perda memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah.
PengertianOtonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1
angka 6 UU 23/2014). Kewenangan mengatur adalah kewenangan yang melekat
pada Otonomi Daerah.
Ilmu Hukum Perundang-undangan mengenal sumber kewenangan
perundang-undangan yang terbagi atas atribusi dan delegasi. Atribusi adalah
penciptaan kewenangan dan pemberiannya kepada suatu organ. Kewenangan
atribusi adalah kewenangan asli, yang diberikan oleh pembentuk UUD atau
pembentuk UU.45
Berbeda dengan delegasi, yang tidak memuat inisiatif membuat
peraturan mengenai pokok-pokok yang baru, inisiatif untuk membuat peraturan
mengenai pokok-pokok semacam tadi tetap dalam tangan yang mendelegasi:
delegasi, yaitu ”menyelenggarakan”, tidak lain dari pada mengatur untuk
selanjutnya, 46
maka atribusi memuat inisiatif membuat peraturan mengenai
pokok-pokok yang baru.
45
I.C. van de Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan,
terjemahan (judul asli: Handboek Wetgeving), Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta. 46
E. Utrecht, 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi.
104
Dikaitkan dengan sumber kewenangan peraturan perundang-undangan
tersebut, maka kewenangan pembuatan Perda untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah merupakan kewenangan atribusi, dan bukan delegasi. Jadi, Perda SOTK
Pemerintah Desa memiliki karakter atribusian.
Pembenaran eksisten Perda SOTK Pemerintah Desa tersebut diperkuat oleh
Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014, “Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah
untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.” Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014, “Yang dimaksud dengan
“kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini adalah Perda, Perkada, dan keputusan
kepala daerah.”
Eksistensi Perda SOTK Pemerintah Desa adalah memberikan pedoman
kepada Desa dalam menetapkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah
Desa dengan Perdes. Oleh karena itu, di dalam Perda SOTK Pemerintah Desa
perlu ada ketentuan penetapan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa
dengan Perdes dan mengindikasikan adanya keharusan untuk membuat Perdes.
Tanpa, itu maka praktik sebelumnya akan terulang, yakni Desa langsung
menetapkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa dengan tidak
didasarkan pada Perdes.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka karakter bentuk Perdes tentang
SOTK Pemerintah Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan
penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dalam hal ini penjabaran Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa.
Selain itu juga bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban
untuk menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.
105
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Pasal 13 PP 72/2005
menentukan ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Penyusunan Organisasi
dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a. tata cara penyusunan struktur organisasi;
b. perangkat; c. tugas dan fungsi; dan d. hubungan kerja.
PP 72/2005 telah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekali pun
demikian, ketentuan tentang ruang lingkup materi muatan Perda SOTK
Pemerintah Desa tidaklah bertentangan dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014, yang
bertentangan adalah isi dari masing-masing unusr materi muatan itu. Hal ini telah
dikemukakan dalam uraian sebelumnya. Dengan demikian, ketentuan tentang
ruang lingkup materi muatan akan dijadikan acuan dalam penyusunan Perda
SOTK Pemerintah Desa. Namun, dengan mengadakan penyesuaian unsur materi
muatan itu dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014.
Salah satu unsur materi muatan Perda SOTK Pemerintah Desa adalah
perangkat. PP 43/2014 menentukan:
1. Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa; b. pelaksana
kewilayahan; dan c. pelaksana teknis. Perangkat Desa berkedudukan
sebagai unsur pembantu kepala Desa (Pasal 61 PP 43/2014).
2. Sekretariat Desa dipimpin oleh sekretaris Desa dibantu oleh unsur staf
sekretariat yang bertugas membantu kepala Desa dalam bidang
administrasi pemerintahan. Sekretariat Desa paling banyak terdiri atas
3 (tiga) bidang urusan (Pasal 61 PP 43/2014).
106
3. Pelaksana kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala Desa sebagai
satuan tugas kewilayahan. Jumlah pelaksana kewilayahan ditentukan
secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan dan
kemampuan keuangan Desa (Pasal 63 PP 43/2014).
4. Pelaksana teknis merupakan unsur pembantu kepala Desasebagai
pelaksana tugas operasional. Pelaksana teknis paling banyak terdiri atas
3 (tiga) seksi. (Pasal 64 PP 43/2014).
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka karakter isi Perda tentang Pedoman
SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam pengertian memberikan
ruang kebebasan kepada Desa untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang
urusan sebagai unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi
sebagai pelaksana teknis yang merupakan unsur pembantu kepala desa (Pasal 62
ayat (2) Pasal 64 ayat (2) PP 43/2014). Selain itu, jumlah pelaksana kewilayahan
ditentukan secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang dibutuhkan
dan kemampuan keuangan Desa (Pasal 63 ayat (2) PP 43/2014).
Karakter diskresioner tersebut berimplikasi pada karakter isi Perdes tentang
SOTK Pemerintah Desa, yakni bersifat diskresioner, dalam pengertian memiliki
ruang kebebasan untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang urusan sebagai
unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi sebagai pelaksana
teknis yang merupakan unsur pembantu kepala desa, serta jumlah pelaksana
kewilayahan ditentukan secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang
dibutuhkan dan kemampuan keuangan Desa.
107
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan uraian mengenai karakter bentuk dan isi
pengaturan tentang struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan
susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya
kebijakan tentang Desa tahun 2004 adalah:
1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa
berkarakter atribusian, yakni memuat materi muatan penjabaran
lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dalam hal ini penjabaran PP 72/2005 dan memuat pokok-
pokok yang baru.
2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa
berkarakter diskresioner, dalam hal ini memuat norma diskresi,
yakni memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menentukan
jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
sosial budaya masyarakat setempat (Pasal 12 ayat (4) PP 72/2005,
Pasal 2 ayat (5) Perda Badung 3/2007, dan Pasal 2 ayat (5) Perda
Denpasar 5/2007). Karakter ini berimplikasi pada karakter isi Perdes
tentang SOTK Pemerintahan Desa, yakni bersifat diskresioner,
dalam pengertian Desa memiliki ruang kebebasan untuk
mementukan jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan
108
dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dengan Peraturan
Desa.
3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa
berkarakter delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran
lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dalam hal ini penjabaran:
1) Pasal 12 ayat (5) PP 72/2005, yang menentukan “Susunan dan
organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan
peraturan desa.”
2) Peraturan Daerah, sebagai contoh Pasal 3 ayat (1) Perda
Badung 3/2007, yang menentukan “Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan desa.”
dan Pasal 3 ayat (1) Perda Denpasar 5/2007, yang menentukan
“Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ditetapkan dalam Peraturan Desa.”
tanpa memuat pokok-pokok yang baru.
4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa berkarakter
imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk
menetapkan Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa.
5. Praktiknya, Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa tidak pernah
dibentuk.
Kedua, faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan
Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa
berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:
109
1. Perda Badung 3/2007 ditetapkan berdasarkan pertimbangan yuridis,
dalam pengertian untuk melaksanakan PP 72/2005, dan Perda Denpasar
5/2007 ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
a. filosofis, bahwa pemerintahan Desa mempunyai kewenangan
untukmengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga
untukmeningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat;
b. sosiologis, bahwa dalam rangka pemerintahan desa melaksanakan
kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah
tangganya, perlu dibentuk organisasi dan tata kerja pemerintahan
desa;
c. yuridis, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa mengamanatkan pedoman penyusunan organisasi dan tata
kerja pemerintahan desa diatur dengan Peraturan Daerah.
2. Secara normatif pembentukan Perda dalam kerangka UU 6/20014 dan
PP 43/2014 adalah berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis:
a. Pertimbangan filosofis, berkenaan dengan mengarahkan
penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa agar
berperan serta mewujukan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yakni tujuan dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.
b. Pertimbangan sosiologis, berkenaan dengan adanya kebutuhan
untuk menyesuaikan Peraturan Daerah tentang Pedoman
110
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
sebelumnya dengan UU 6/2014 berikut peraturan pelaksanaannya.
Pemenuihan kebutuhan dapat memberikan kemanfaatan dalam
rangka pelayanan kepada masyarakat agar dapat ditingkatkan
pelaksanaannya secara berdaya guna dan berhasil guna.
c. Pertimbangan yuridis, berkenaan dengan memberikan landasan dan
kepastian hukum bagi bagi pemerintah desa dalam menyusun
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
Ketiga, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa
tahun 2014 adalah:
1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa
bersifat atribusian, yakni memuat materi muatan penyelenggaraan
Otonomi Daerah dan memuat pokok-pokok yang baru.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam pengertian Kabupaten dan
Kota memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
“pemberdayaan masyarakat dan Desa”, sub urusan Penataan Desa,
yakni penyelenggaraan penataan Desa (Pasal 15 ayat (1) UU
23/2014). Penataan desa bertujuan: a. mewujudkan efektivitas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa; c. mempercepat peningkatan
kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola
Pemerintahan Desa; dan e. meningkatkan daya saing Desa (Pasal 7
ayat (3) UU 6/2014). Hal ini diperkuat oleh Pasal 17 ayat (1) UU
111
23/2014, “Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah.” Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014, “Yang dimaksud
dengan “kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini adalah Perda,
Perkada, dan keputusan kepala daerah.”
2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat
diskresioner, dalam pengertian memberikan ruang kebebasan kepada
Desa untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang urusan
sebagai unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi
sebagai pelaksana teknis yang merupakan unsur pembantu kepala
desa (Pasal 62 ayat (2) Pasal 64 ayat (2) PP 43/2014). Karakter ini
ini berimplikasi pada karakter isi Perdes tentang SOTK
Pemerintahan Desa, yakni bersifat diskresioner, dalam pengertian
memiliki ruang kebebasan untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga)
bidang urusan sebagai unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak
3 (tiga) seksi sebagai pelaksana teknis yang merupakan unsur
pembantu kepala desa, serta jumlah pelaksana kewilayahan
ditentukan secara proporsional antara pelaksana kewilayahan yang
dibutuhkan dan kemampuan keuangan Desa.
3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa berkarakter
delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam
hal ini penjabaran Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa
dan tanpa memuat pokok-pokok yang baru.
112
4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa berksrskter
imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk
menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.
6.2. Saran
Berdasarkan keseluruah uraian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan
tentang struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa dan kesimpulan tersebut
di atas, diajukan saran sebagai berikut:
4. Sekalipun dari segi isi Perda SOTK Pemerintah Desa dan Perdes SOTK
Pemerintah Desa bersifat diskresioner, namun dari segi bentuk Perdes
SOTK Pemerintah Desa bersifat imperatif, oleh karena itu di dalam
Perda Pedoman SOTK Pemerintah Desa perlu dirumuskan norma
mengenai strategi implementasi, yang memastikan Pemerintahan Desa
menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.
5. Perda SOTK Pemerintah Desa adalah bersifat atribusian dalam rangka
menyelenggarakan otonomi daerah, oleh karena itu Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota dapat segera menetapkan Perda SOTK
Pemerintah Desa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum
dalam penetapan SOTK Pemerintah Desa.
6. Perdes SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam kerangka
ini Pemerintahan Desa agar memanfaatkan sifat diskresioner tersebut
dengan baik, dalam pengertian agar menetapkan nomenklatur dan
jumlah bidang urusan-bidang urusan dan seksi-seksi sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan keuangannya.
113
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press.
Attamimi, A. Hamid S., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis
Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun
Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Jakarta: Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia.
Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 1995, “Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan
Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
──────, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor,
Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
──────, 2014a, “Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan”, Denpasar: Progran
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
──────, 2014b, “Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar
Pertimbangan Hukum PUMK Nomor 50/PUU-XII/2014”, dalam I Gusti
Ngurah Parikesit Widiatedja, (ed.), Bunga Rampai Pemikiran Hukum Di
Indonesia, Denpasar, Udayana University Press.
──────, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar: Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
──────, 2015b, “Permusan Konsiderans Peraturan Daerah: Teori, Kaidah,
Praktik” , Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Bruggink, JJ. H., 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar
dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Eko, Sutoro, 2015, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa,
diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta.
Handayaningrat, Soewarno, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan
Managemen, Jakarta: Gunung Agung.
Huda, Ni’matul, 2015, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi Indonesia
Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, diterbitkan Setara Press, Malang.
Indrohato, 1993, Usaha MemahamiUndang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
114
Irianto, Soelistyowati, 2011, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal”,
dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian Hukum:
Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
──────, 2012, “Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi
metodologisnya”, dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.), Kajian Sosio-Legal,
Denpasar: Pustaka Larasan.
Lubis, M. Solly, 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung:
Penerbit CV Mandar Maju.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta:
Penerbit Ind-Hill.Co.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Ratna, Nyoman Kutha, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-
Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII
Press.
Salim, Agus, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sukriono, Didik, 2010, Pembaharuan Hukum Pemerinah Desa: Politik Hukum
Pemerintahan Desa Di Indonesia, diterbitkan Setara Pers, Malang.
Syafrudin, H. Ateng dan Suprin Na’a, 2010, Republik Desa: Pergulatan Hukum
Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa, diterbitkan
Penerbit Alumni, Bandung.
Silahuddin, M., 2015, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, diterbitkan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia, Jakarta.
Siagian, Sondang P., 1982a, Peranan Staf dalam Managemen, Jakarta: Gunung
Agung, hlm. 20. Lihat juga Sondang P. Siagian, 1984, Filsafat Administrasi,
Jakarta: Gunung Agung.
Siagian, Sondang P., 1982b, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku
Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Tahir, Arifin, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Deepublish.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Utrecht, E., 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Edisi Fotografi.
Vlies, I.C. van de, 2005, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-
undangan, terjemahan (judul asli: Handboek Wetgeving), Jakarta: Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI.
115
Wijaya, Prayudha; Adam Nugroho; Sugeng Rahardjo, (Eds), 2008, Panduan
Membentuk Organisasi Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD),
Jakarta: LGSP/Local Governance Support Program.
Westra, Pariata; Sutarto; dan Ibnu Syamsi, (Eds), 1977, Ensiklopedi Administrasi,
Jakarta: Gunung Agung.
116
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Pedoman Wawancara
PERTANYAAN JAWABAN ANOTASI
1. Praktik penyelenggaraan
Perda Badung 3/2007.
1) Pasal 2 ayat (5) Perda Badung
3/2007: Jumlah Perangkat Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi budaya
masyarakat setempat.
Berapa jumlah perangkat desa di setiap desa di Badung dan
rinciannya?; Apa yang
dimaksud dengan Pelaksana
Teknis Lapangan di Badung?;
Apakah setiap Desa memiliki
Pelaksana Teknis Lapangan?;
2) Pasal 3 ayat (1) Perda
Badung 3/2007: Susunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa ditetapkan
dengan Peraturan Desa. Apakah
setiap Desa telah memiliki
Perdes tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa dan sejak
kapan?;
3) Pasal 4 Perda Badung 3/2007:
Susunan Organisasi
Pemerintahan Desa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3
dilaporkan oleh Perbekel kepada
Bupati melalui Camat. Apakah
ada Perbekel yang tidak
melaporkan Susunan Organisasi
Pemerintahan Desa kepada
Bupati melalui Camat?
4) Hal lainnya: Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang
Perbekel?; Kewajiban
Perbekel?; Larangan
Perbekel?; tugas Perangkat
Desa?; tugas Kepala Urusan?;
tugas Kelian Banjar Dinas?
5) Dalam melaksanakan
tugasnya Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan
prinsip koordinasi dan
117
sinkronisasi; bagaimana pelaksanaannya?
2. Kondisi yang ada pada
penyelengga-raan pemerintahan
desa setelah Perda Badung
3/2007 kehilangan dasar
hukumnya, sebagai akibat
adanya reformasi kebijakan
desa.
1) Apakah Perda Badung 3/2007
masih digunakan dalam
penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa?
2) Dalam hal masih digunakan,
apakah disesuaikan dengan UU
6/2014 dan peraturan
pelaksanaannya?
3) Apakah kondisi tersebut menimbulkan masalah dalam
penyelenggaraan pemerintahan
desa?
3. Permasalahan yang dihadapi
masyarakat sebagai akibat Perda
Badung 3/2007 kehilangan dasar
hukumnya.
1) Apakah kondisi tersebut
menimbulkan masalah dalam
masyarakat, khususnya
masyarakat desa?.
2) Apakah kondisi tersebut
menyebabkan pemerintahan
desa tidak optimal memberikan
pelayanan kepada
masyarakatnya?
3) Apakah masyarakat pernah
mengajukan keluhan terhadap
kondisi tersebut?
118
Lampiran 3 : Kontrak dan SK Penelitian