Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ROFIL BUKU
Buku ini diterbitkan oleh:
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC)
Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, Indonesia
Tahun 2019
Penyusunan Buku ini merupakan kerjasama antara Badan Penanggulangan Bencana Aceh
(BPBA) dan Universitas Syiah Kuala melalui Kegiatan Swakelola No.
01/BPBA/SWAKELOLA/III/2019 dengan wilayah kajian Kabupaten Aceh Tenggara.
Pengarah:
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh, Ir. Sunarwardi, M.Si
Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng
Penanggungjawab:
Ketua TDMRC Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Khairul Munadi, ST., M.Eng
Tim Penulis:
Muksin
Irwandi
Yunita Idris
Ibnu Rusydy
Wiwik Ayu Ningsih
Laura Vadzlah
Arifullah
Hak Cipta:
©TDMRC 2019. Hak cipta buku ini dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia.
Foto dan gambar yang dikutip dalam buku ini telah dicantumkan sumber aslinya.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga buku yang berjudul: “SESAR AKTIF DAN KERENTANAN
SEISMIK ACEH TENGGARA”, dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam
kita sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam
kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan buku ini merupakan hasil luaran dari kegiatan “Kajian Sesar Gempa
Kabupaten Aceh Tenggara” yang diusulkan oleh Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center, Universitas Syiah Kuala pada Badan Penanggulangan Bencana Aceh
Tahun Anggaran 2019. Kajian ini dilakukan mengingat kurangnya informasi tentang
sesar aktif detil di sekitar Aceh Tenggara sementara beberapa gempa dirasakan oleh
masyarakat.
Penyelesaian penulisan buku ini tidak terlepas dari dukungan dan Kerjasama berbagai
pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
- Rektor Universitas Syiah Kuala dan Ketua TDMRC Unsyiah
- Pemerintah Aceh dalam hal ini pimpinan Badan Penanggulangan Bencana Aceh
dan para stafnya yang telah mendukung pelaksanaan kajian
- Masyarakat Aceh yang telah membantu para peneliti saat berada di lapangan
untuk pengukuran dan penanaman seismometer untuk beberapa bulan.
Tentu saja buku ini masih banyak kekurangan baik dari sisi substansi atau konten buku,
redaksi maupun dari disainnya.
Tim Penulis
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... viii
PROFIL DAERAH ACEH TENGGARA ........................................................................ 1
SEJARAH KEGEMPAAN ACEH TENGGARA ............................................................ 1
Sesar Aktif dan Potensi Gempa Bumi ............................................................................... 3
Jaringan Seismik dan Lokalisasi Gempa ...................................................................... 3
Relokasi Gempa Bumi .................................................................................................. 4
Pembaruan Peta Geologi Wilayah Tenggara Aceh ....................................................... 9
Kerentanan Seismik Aceh Tenggara ............................................................................... 11
Amplifikasi Wilayah Kuta Cane ................................................................................. 11
Kerentanan Seismik Aceh Tenggara ........................................................................... 13
Pemetaan Potensi Kerugian Akibat Gempa Bumi ...................................................... 14
Hubungan Kerentanan Seismik, Vs dan Kondisi Geologi .......................................... 20
BAHAYA GEMPA BUMI ACEH TENGGARA .......................................................... 22
Model Sumber Gempa ................................................................................................ 22
PSHA Kutacane .......................................................................................................... 23
PSHA Sumber Gempa Subduksi ................................................................................. 23
PSHA Sumber Gempa Fault ....................................................................................... 24
PSHA Sumber Gempa Background ............................................................................ 25
PSHA Sumber Gempa Gabungan ............................................................................... 26
Analisis Kurva Hazard Kutacane ................................................................................ 26
KERENTANAN BANGUNAN TEMPAT TINGGAL .................................................. 28
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara vi
Tipikal Bangunan Aceh Tenggara .............................................................................. 28
Bangunan dengan rangka beton bertulang (C1L) ................................................... 28
Bangunan tembokan rangka beton bertulang minim/Confined Masonry (C3L) .... 29
Bangunan rumah tembokan tanpa rangka beton bertulang (URML) ...................... 30
Tipikal Bangunan Konstruksi Rangka Kayu (W1) ................................................. 31
Bangunan Rangka Kayu yang Masiv (W2) ............................................................ 32
Sebaran Tipikal Bangunan .......................................................................................... 33
Kerentanan Tipikal Bangunan terhadap Bahaya Gempa ............................................ 34
RISIKO GEMPA BUMI ................................................................................................. 38
Peta Bahaya Gempa Bumi .......................................................................................... 38
Peta Exposer Penduduk ............................................................................................... 42
Peta Risiko Gempa Bumi ............................................................................................ 43
PENUTUP ....................................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 47
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kecepatan Rata-Rata gelombang Vs Berdasarkan Hasil
pengukuran mikrotremor Metode SPAC 17
Tabel 2. Tipe kemungkinan probabilitas dari Peta PGA 23
Tabel 3. Segment Sesar Sumatera 24
Tabel 4. Gambaran tahap kerusakan untuk setiap tipikal bangunan yang
ada di Aceh Tenggara 35
Tabel 5. Perkiraan nilai kapasitas bangunan berdasarkan tipe bangunan
(Hazus-FEMA) 37
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Segmen aktif di Tenggara Aceh yang diturunkan dari model
elevasi permukaan bumi serta usulan lokasi pemasangan
seismometer untuk merekam gempa yang terjadi 2
Gambar 2. Lokasi stasiun seismik (segitiga biru) dan lokasi awal gempa
bumi yang direkam oleh jaringan seismik.
Gambar 3. Grafik hasil perhitungan penentuan solusi model kecepatan
dengan rata rata RMS terkecil 5
Gambar 4. Solusi akhir model kecepatan menggunakan inversi 1 dimensi 6
Gambar 5. Sebaran nilai RMS berdasarkan jumlah gempa bumi yang
diperoleh dari hasil relokasi 6
Gambar 6. Distribusi gempa bumi Wilayah Tenggara Aceh hasil relokasi 7
Gambar 7. Peta geologi yang dimodifikasi dari peta sebelumnya dengan
penambahan sesar yang terkonfirmasi oleh data sebaran gempa
wilayah Tenggara Aceh 9
Gambar 8. Peta amplifikasi gelombang seismik berdasarkan hasil
pengukuran mikrotremor metode HVSR di Wilayah Aceh
Tenggara 11
Gambar 9. Peta Kerentanan Seismik berdasarkan hasil pengukuran
mikrotremor metode HVSR di wilayah Aceh Tenggara 14
Gambar 10. Kurva Dispersi Berdasarkan data Mikrotremor metode SPAC di
titik KM25 15
Gambar 11. Kurva Dispersi Berdasarkan data Mikrotremor metode SPAC di
titik KM16 16
Gambar 12. Peta Kecepatan Rata-Rata Gelombang Vs pada kedalaman 5
meter dari permukaan Hasil Pengukuran mikrotremor metode
SPAC di wilayah Aceh Tenggara 18
Gambar 13. Peta Kecepatan Rata-Rata Gelombang Vs pada kedalaman 10
meter dari permukaan Hasil Pengukuran mikrotremor metode
SPAC di wilayah Aceh Tenggara 19
Gambar 14. Peta Sebaran Kecepatan Rata-Rata Gelombang Vs hingga
kedalaman 20 meter Hasil Pengukuran mikrotremor metode
SPAC di Wilayah Aceh Tenggara 20
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara ix
Gambar 15. Sumber gempa untuk perhitungan seismic hazard (a) sumber
fault (b) sumber subduksi 22
Gambar 16. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa subduksi
dengan probabilitas PGA terlampaui 2% dan 10% selama 50
tahun 24
Gambar 17. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa sesar (fault)
dengan probabilitas PGA terlampaui 2% dan 10% selama 50
tahun 25
Gambar 18. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa sesar (fault)
dengan probability PGA terlampaui 2% dan 10% selama 50
tahun 25
Gambar 19. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa gabungan
dengan probability PGA terlampaui 2% dan 10% selama 50
tahun 26
Gambar 20. (a) Hazard curve untuk masing-masing sumber gempa (b) Total
hazard curve 27
Gambar 21. Grafik persentase tipikal bangunan di Aceh Tenggara 33
Gambar 22. Peta sebaran tipe bangunan di Aceh Tenggara berdasarkan data
survey 34
Gambar 23. Model kurva kapasitas bangunan 26
Gambar 24. Peta Intensitas Gempa Bumi dari Segment Tripa dengan Vs30
dari USGS 39
Gambar 25. Sebaran titik pengukuran dan nilai Vs30 berdasarkan hasil
pengukuran lapangan menggunakan metode HVSR 40
Gambar 26. Peta Sebaran Intensitas dalam MMI di permukaan 41
Gambar 27. Sebaran densitas penduduk di dalam Cekungan Aceh Tenggara 42
Gambar 28. Risiko gempa bumi dengan sumber gempa berasal dari patahan
segmen Tripa di Cekungan Aceh Tenggara 43
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 1
PROFIL DAERAH ACEH TENGGARA
Secara geografis Kabupaten Aceh Tenggara terletak antara 30o55’23’’-40o16’37’’ LU
dan 96o043’23’’- 98o010’32 BT dimana sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Gayo Lues, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten
Aceh Singkil, sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Utara, dan sebelah barat dengan
Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Tenggara merupakan daerah pegunungan
dengan ketinggian 25-1000 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi oleh Taman
Nasional Gunung Leuser dan Bukit Barisan.
Secara topografi, Kabupaten Aceh Tenggara ditandai oleh lembah dan lereng dengan luas
4.242,04 Km2 dan terdapat 385 desa, 282 desa terletak di lembah dan selebihnya berada
di lereng. Berdasarkan data tahun 2015 jumlah penduduk Aceh Tenggara adalah sebanyak
200.014 jiwa dengan kepadatan penduduk 47 jiwa per km2. Di Kabupaten Aceh Tenggara
terdapat sebelas sungai yang mengalir yang tidak memiliki garis pantai ini, yaitu Lawe
Alas, Lawe Sempilang, Lawe Luk-Luk, Lawe Mamas, Lawe Pungge, Lawe Nimber,
Lawe Bungki, Lawe Gurah, Lawe Bulan, Lawe Mengkudu dan Lawe Penanggalan. Selain
itu, juga terdapat tiga gunung, yaitu Gunung Leuser, Gunung Pokhkisen dan Gunung
Bendahara (Badan Pusat Statistik – Kabupaten Aceh Tenggara, 2016). Kondisi geologi
daerah Aceh Tenggara terdapat beberapa formasi batuan. Pada area Basin kutacane terdiri
dari Batuan sedimen Aluvium. Beberapa lainnya adalah batuan malihan derajat tinggi,
batuan vulkanik serta batuan terobosan dan beberapa formasi batuan seperti Formasi
Barus, Formasi Kutacane, Formasi Leuser.
SEJARAH KEGEMPAAN ACEH TENGGARA
Pada 29 Mei 2017, masyarakat di wilayah tenggara Aceh meliputi Gayo Lues dan Aceh
Tenggara merasakan gempa bumi pada dengan skala M 5.0 akibat aktivitas Segmen Tripa
pada 29 Mei 2017. Gempa tersebut mempunyai mekanisme gempa sesuai dengan
karateristik Sesar Sumatera yaitu sesar geser menganan (dextral strike slip). Gempa di
sepanjang Segmen Tripa tersebut dilaporkan ikut merusak beberapa perumahan
masyarakat.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 2
Segmen-segmen aktif di tenggara Aceh belum mengeluarkan energi dengan magnitudo
lebih besar dari M 6.0 dalam satu dekade terakhir namun gempa pernah mengeluarkan
energi dengan magnitudo M 6.0 masing-masing pada tahun 1900 dan tahun 1997 seperti
dilaporkan dalam Buku Peta Gempa 2017. Kedua gempa tersebut merusak beberapa
perumahan masyarakat dan bangunan publik. Potensi terjadi gempa besar yang merusak
di Aceh Tenggara tergolong tinggi mengingat adanya segmen-segmen sesar aktif yang
panjang.
Sesar aktif di tenggara Aceh tergolong kompleks dimana terdapat beberapa segmen aktif
antara lain Segmen Tripa, Lokop-Kutacane, Blangkeujeuren, dan Lawe Alas seperti
ditunjukkan dalam Gambar 1. Namun demikian, karakteristik sesar aktif di wilayah
tenggara Aceh ini belum dikaji secara menyeluruh dan detil. Sesar-sesar aktif tersebut
selama ini dipelajari berdasarkan data model elevasi permukaan bumi (topografi) dan
solusi lokasi gempa menggunakan rekaman stasiun yang terbatas. Hal itu belum cukup
memadai mengingat peta topografi tidak dapat menjelaskan karakteristik sesar secara
menyeluruh seperti mekanisme patahan (faulting). Pola sesar pada kedalaman tertentu
dapat dikaji dari distribusi gempa pada kedalaman dan serta mekanisme gempa.
Mekanisme gempa mengindikasikan pola patahan baik bersifat sesar geser, naik atau
turun (Muksin et al., 2014). Jenis batuan (litologi) dari struktur lapisan bumi serta fitur
Gambar 1. Segmen aktif di
Tenggara Aceh yang diturunkan
dari model elevasi permukaan
bumi serta usulan lokasi
pemasangan seismometer untuk
merekam gempa yang terjadi
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 3
geologi lainya seperti basin dan gunung api di suatu wilayah dapat dipelajari dengan
menggunakan metode tomografi seismik kecepatan gelombang P dan S (tomografi
seismik Vp dan Vp/Vs) (Muksin et al., 2013a) atau dengan tomografi seismik attenuasi
(Muksin et al., 2013b).
Sementara itu, tingkat kerentanan gempa bumi dapat dianalisis dengan cara
membandingkan spektrum seismik dari horizontal terhadap komponen vertikal atau yang
dikenal dengan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR). Suatu wilayah
dikatakan mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap gelombang seismik apabila nilai
HVSR tinggi pada frekuensi resonansi yang rendah (Mucciarelli et al.,1996; Mosidi et
al.,2004). Frekuensi tanah yang rendah menunjukkan tanah di tempat tersebut lunak yang
tebal sehingga apabila terjadi gempa bumi, akan terjadi penguatan gelombang gempa
(amplifikasi) sehingga goncangan yang dirasakan lebih kuat.
Sesar Aktif dan Potensi Gempa Bumi
Upaya mitigasi bencana gempa bumi dalam rangka pengurangan resiko bencana bumi
perlu dibuat dengan mempertimbangkan beberapa aspek antara lain (1) Lokasi dan
karateristik sesar aktif (2) Struktur bawah permukaan, geologi, dan topografi dan (3)
tingkat kerentanan suatu wilayah akibat gempa bumi. Dengan mengetahui lokasi dan
karakteristik, struktur bawah permukaan serta tingkat kerentanan seismik maka dapat
diketahui potensi gempa dengan magnitudo yang merusak, jenis gempa, potensi bencana
lainnya yang dapat dipicu oleh gempa bumi serta tingkat kerusakaan bangunan akibat
gempa bumi. Untuk menyusun skenario mitigasi bencana gempa bumi di wilayah
tenggara Aceh maka perlu dilakukan investigasi karakteristik sesar aktif serta struktur di
bawah permukaan dan tingkat kerentanan seismik.
Jaringan Seismik dan Lokalisasi Gempa
Untuk merekam dan menentukan lokasi gempa bumi di wilayah tenggara Aceh, tim
peneliti memasang jaringan seismik tambahan berupa 3 seismometer jenis short period
dan 4 seismometer broadband. Stasiun seismik dipasang sedemikian rupa sehingga
mengcover wilayah Aceh Tenggara, Gayo Lues dan sekitarnya seperti ditunjukkan dalam
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 4
Gambar 2. Data dari Jaringan Seismik BMKG juga dimasukkan dalam analisis lokalisasi
gempa bumi.
Gambar 2. Lokasi stasiun seismik
(segitiga biru) dan lokasi awal gempa
bumi yang direkam oleh jaringan
seismik.
Proses pengecekan stasiun gempa bumi dan pengambilan data lapangan dilakukan secara
bertahap setiap 2 bulan sekali sampai Juli 2019. Semua komponen dilakukan pengecekan
mulai dari memastikan datalogger dalam keadaan aktif, pengecekan terhadap GPS, kabel
penghubung baterai dan pengecekan kabel seismometer dalam kondisi masih terkoneksi.
Penentuan lokasi gempa bumi dimulai dengan penentuan waktu tiba gelombang P dan S
yang direkam oleh setiap stasiun perekam. Selisih nilai waktu tiba P-S yang kecil yang
akan dipilih sebagai lokasi tebakan. Lokasi gempa awal kemudian ditentukan
menggunakan HYPO71 sesuai dengan Prinsip Geiger.
Lokasi awal gempa bumi yang direkam oleh Jaringan Seismik Aceh Tenggara
ditunjukkan dalam Gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat gempa membentuk beberapa
klaster gempa yang diasosiasikan dengan beberapa sesar aktif yang berbeda. Klaster-
klaster gempa tersebut ditandai dengan elips pada Gambar 3.
Relokasi Gempa Bumi
Gempa darat dalam Gambar 2 mestinya terjadi di sepanjang sesar aktif sehingga distribusi
gempa biasanya membentuk garis sesar tertentu. Distribusi gempa dalam Gambar 2
belum menunjukkan adanya pola sesar yang spesifik hal ini dikarenakan lokasi gempa
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 5
bumi yang belum cukup akurat. Untuk itu gempa bumi tersebut perlu direlokasi sehingga
diperoleh
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk merelokasi gempa bumi. Metode yang
paling mudah adalah metode inversi lokasi dan model kecepatan gelombang seismi
(Kissling et al., 1994) seperti yang telah digunakan oleh Muksin et al. (2014). Gempa
yang cocok untuk direlokasi adalah gempa dengan minimum coverage angle <190º
sehingga solusi lokasinya cukup baik. Jumlah data hasil picking secara keseluruhan
adalah 506 events, setelah dilakukan relokasi diperoleh data sebanyak 264 events. Model
kecepatan gelombang seismik (Gambar 3) direvisi sekaligus saat relokasi gempa
dilakukan. Setelah dilakukan perhitungan dengan 15 iterasi diperoleh model kecepatan
dengan untuk memperoleh rata-rata RMS terbaik sehingga didapatkan velocity model
yang sesusai untuk sebaran gempa di
Wilayah Tenggara Aceh. Solusi
model kecepatan yang baik
ditunjukkan oleh penurunan nilai
RMS pada setiap iterasi. Model
kecepatan yang mempunyai nilai
rata-rata RMS terkecil diambil
sebagai solusi model kecepatan 1-D.
Rata-rata nilai RMS terbaik diperoleh pada nilai 0.47 detik. Kecepatan penjalaran
gelombang seismik dipengaruhi oleh medium yang dilaluinya. Setiap daerah memiliki
atau karakteristik medium yang berbeda-beda sehingga model kecepatan gelombang
seismik juga berbeda.
Gambar 4 merupakan model kecepatan gelombang P dan S terhadap fungsi kedalaman
dengan RMS terkecil berdasarkan penentuan model kecepatan data relokasi
menggunakan VELEST. Gambar 4 juga menunjukkan bahwa gelombang P memiliki nilai
kecepatan lebih besar dibandingkan dengan gelombang S. Bagian kanan Gambar 4 yang
bergaris merah merupakan kecepatan gelombang P pada setiap struktur lapisan bumi.
Model Vp memiliki 7 lapisan dengan kedalam dari 0-50 km. Solusi model kecepatan
gelombang P diperoleh nilai dari 5,5-7,5 km/s. Kedalaman 0-2 km kecepatan gelombang
Gambar 3. Grafik hasil perhitungan penentuan solusi
model kecepatan dengan rata rata RMS terkecil.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 6
P antara 5-6 km/s, kenaikan nilai kecepatan paling besar berada pada kedalaman 15-30
km dengan kecepatan dari 6-7 km/s. Lapisan pada kedalaman diatas 30 km mempunyai
nilai kecepatan 7-7.5 km/s
Bagian kiri Gambar 4 merupakan kecepatan gelombang S pada 6 struktur lapisan bumi
dari kedalaman 0-50 km. Solusi model kecepatan gelombang S diperoleh nilai dari 5.5-
7.5 km/s. Kedalaman 0-1 km mempunyai kecepatan 2 km/s, lapisan pada kedalaman 1-5
km kecepatan rambat gelombang S 3.5 km/s. Pada kedalaman 23-30 km mempunyai
kecepatan 4 km/s dan pada kedalaman di atas 40 km mempunya kecepatan 4.3 km/s. Nilai
kecepatan gelombang P dan S semakin bertambah seiring bertambanya kedalaman.
Gambar 5. Sebaran nilai RMS berdasarkan jumlah event yang diperoleh darihasil relokasi
Gambar 4. Solusi model kecepatan akhir hasil relokasi
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 7
RMS dari data lokalisasi awal dengan hasil relokasi menunjukkan adanya perubahan pada
setiap range RMS (Gambar 5). Sebaran nilai RMS paling banyak berada di bawah 0.6
detik, namun ada beberapa nilai RMS yang berada di atas 0.6 detik namun dengan jumlah
data yang sedikit. Nilai RMS tersebut cukup baik untuk hasil relokasi gempa bumi
Wilayah Tenggara Aceh. Gempa hasil membentuk kelompok gempa dengan arah yang
lebih terpolakan. Relokasi hiposenter ini menghasilkan gambaran liniasi (kemenerusan
hiposenter berbentuk garis) yang merepresentasikan struktur sesar. Distribusi gempa
dengan GAP <220º ditunjukkan oleh Gambar 6.
Pola sebaran gempa hasil relokasi pada area yang ditinjau menunjukkan adanya aktivitas
seismik yang terjadi di sepanjang sesar yang belum diketahui dan belum diidentifikasi
sebelumnya (Gambar 6). Identifikasi sesar Batee menggunakan data seismik refleksi oleh
Moore and Karig (1980) menunjukkan arah terusan Sesar Batee yang menuju lepas
pantai. Namun dalam penelitian ini diperoleh pola sebaran gempa yang mengarah ke
daratan (Barat Laut-Tenggara) seperti yang ditunjukkan oleh Segmen 1 dalam Gambar 6.
Gambar 6. Distribusi gempa bumi Wilayah Tenggara Aceh setelah relokasi. Nomor
pada peta menunjukkan segmen-segmen sesar.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 8
Selain itu adanya rekahan yang terlihat pada topografi menunjukkan adanya
kemungkinan bahwa terusan Sesar Batee ada yang mengarah ke daratan yang secara
administrasi melintasi Kabupaten Aceh Selatan. Mekanisme fokal terusan Sesar Batee
didominasi oleh sesar geser menganan (right lateral strike slip) dan sesar normal. Tipe
strike slip berarti terjadi pergerakan bidang patahan secara menganan dan pada area
normal fault terjadi pergerakan ke bawah dari keadaan awalnya.
Pola distribusi gempa bagian tengah (Segmen 2) mengikuti arah rekahan di permukaan
mulai dari arah Tenggara-Barat Laut memanjang hingga arah Utara-Selatan hampir
vertikal. Segmen 2 melintasi daerah Pining Kabupaten Gayo Lues sehingga diberi nama
Segmen Pining. Sebelumnya Segmen Pining telah dibuat berdasarkan topografi wilayah
namun pada penelitian ini Segmen Pining diidentifikasi menggunakan sebaran gempa dan
struktur patahan di permukaan. Secara topografi tergambar jelas adanya rekahan di
sepanjang sebaran gempa segmen Pining.Jenis patahan pada Segmen Pining adalah right
lateral strike slip.
Segmen di bagian utara yang sebelumnya dibuat berdasarkan topografi wilayah (Gambar
1) dikoreksi berdasarkan pola sebaran gempa dan tinjauan kembali terhadap topografi.
Sebaran gempa dibagian paling Utara (Segmen 3) wilayah Lokop-Langsa menjelaskan
hal baru dalam penelitian ini yaitu adanya sebaran gempa di sepanjang area yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya. Sebaran gempa hasil relokasi menunjukkan pola sesar
dibagian utara arah Barat Laut-Tenggara dan memanjang membentuk busur ke arah
Selatan dan segmen ini dinamakan dengan Segmen Lokop. Mekanisme fokal yang
diperoleh untuk Segmen Lokop adalah sesar naik (trust fault) dimana secara teori terjadi
penunjaman pada lapisan bumi.
Segmen 4 bagian Utara yang ditunjukkan dengan garis putus-putus merupakan Segmen
yang masih perlu dilakukan identifikasi secara lebih lanjut. Secara topografi, terdapat
struktur patahan mulai dari percabangan Sesar Pining arah Barat Laut – Tenggara.
Terdapat beberapa gempa di wilayah tersebut, namun belum cukup untuk menjelaskan
bagaimana liniasi seismisitas di area tersebut. Secara topografi Segmen 5 menunjukkan
adanya struktur patahan dari wilayah basin Kutacane hingga ke Sumatera Utara. Segmen
ini dinamakan dengan Segmen Alas. Kelompok gempa cenderung berada di wilayah
percabangan sesar dan tidak ada aktivitas seismik yang terekam di bagian paling Selatan
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 9
Segmen Alas tersebut (Gambar 6). Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu terusan
Segmen Alas sangat jauh dari wilayah sebaran stasiun dan sebagian terusan Sesar Alas
berada jauh diluar batasan wilayah penelitian serta tidak ada aktivitas seismik yang
terekam dalam kurun waktu perekaman oleh Jaringan Seismik. Tipe patahan Segmen
Alas menunjukkan jenis strike slip. Secara umum tipe patahan di Wilayah Aceh Tenggara
menunjukkan mekanisme fokal Strike Slip dan arah strike menunjukkan kesesuaian arah
strike dengan lineasi gempa.
Gambar 7. Peta geologi yang dimodifikasi dari peta sebelumnya dengan penambahan sesar yang
terkonfirmasi oleh data sebaran gempa wilayah Tenggara Aceh.
Pembaruan Peta Geologi Wilayah Tenggara Aceh
Peta geologi wilayah Tenggara Aceh dari Bennet, tahun 1981 dilakukan pembaruan
menggunakan software QGIS. Sebelumnya peta geologi dari Bennet tahun 1981 terpisah
dalam beberapa wilayah dan belum dilakukan georeference, sehingga hasil gabungan
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 10
setiap lebaran peta terlihat kurang jelas informasi yang ditampilkan. Berdasarkan hasil
relokasi gempa dan plot sesar yang didapatkan, maka dilakukan pembaruan terhadap peta
geologi dengan menambahkan informasi sesar dan grid topografi dari USGS yang sudah
dilakukan georeference. Gambar 7 merupakan peta geologi wilayah Tenggara Aceh hasil
modifikasi menggunakan QGIS berdasarkan peta-peta geologi yang sudah dibuat oleh
peneliti sebelumnya.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 11
Kerentanan Seismik Aceh Tenggara
Amplifikasi Wilayah Kuta Cane
Amplifikasi adalah satu titik yang menyatakan amplitudo gelombang memiliki nilai
tertinggi, amplifikasi juga dapat dikatakan sebagai perbesaran amlitudo gelombang
seismik yang terjadi akibat perbedaan densitas antar lapisan permukaan dengan kata lain,
faktor amplifikasi adalah faktor yang menyebabkan terjadinya penguatan gelombang
gempa bumi akibat kondisi tanah setempat. Besaran nilai amplifikasi bisa didapatkan dari
sumbu vertikal puncak H/V pada pengukuran metode HVSR yang sudah dijelaskan pada
Bab sebelumnya. Nilai amplifikasi dipengaruhi oleh kecepatan gelombang dan densitas
batuan, apabila kecepatan gelombang semakin kecil maka nilai amplifikasi semakin
besar.
Berdasarkan densitas batuan, apabila densitas batuan bernilai kecil maka nilai
amplifikasinya akan bernilai besar. Hal ini dikarenakan, batuan atau sedimen merupakan
partikel-partikel yang berosilasi. Partikel pada tanah lunak, bergerak lebih bebas
dibandingkan pada tanah yang padat/keras. Hal ini menyebabkan partikel akan semakin
Gambar 8. Peta amplifikasi gelombang
seismik berdasarkan hasil pengukuran
mikrotremor metode HVSR di Wilayah
Aceh Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 12
bebas bergerak apabila gelombang datang dan membawa energi tambahan. Tanah yang
lunak akan memperkuat gerakan tanah selama terjadinya gempa, hal tersebut yang
menjadi akibat kerusakan parah di daerah yang memiliki lapisan sedimen yang tebal.
Faktor amplifikasi gempa bumi adalah perbandingan percepatan maksimum gempa bumi
di permukaan tanah dengan batuan dasar. Kandungan frekuensi dan amplitudo
gelombang gempa bumi, yang menjalar dari batuan dasar (bedrock) ke permukaan bumi
akan mengalami perubahan saat melewati endapan tanah. Proses ini dapat menghasilkan
percepatan yang besar terhadap struktur dan menimbulkan kerusakan yang parah,
terutama saat frekuensi gelombang seismik sama dengan resonansi frekuensi struktur
bangunan manusia.
Nilai amplifikasi tertinggi berada di beberapa titik yaitu KM9, KM16 dan KM14 yang
berada pada wilayah Barat Daya Aceh Tenggara yaitu di Desa Kuta Lawi Kecamatan
Lawe Alas, Desa Simalem dan Desa Lawe Kuta ria yang berada di Kecamatan Babul
Rahman dengan besar nilai amplifikasinya asalah dari 3.97 sampai 4.99. Sebaliknya nilai
amplifikasi terendah berada pada titik KM1 dan KM20 yang berada di Kecamatan Badar
dengan nilai amplifikasi 1.66 sampai 1.72. Nilai amplifikasi sedang berada hampir
diseluruh wilayah titik pengukuran yaitu pada Desa Semadam, Desa Buah Pala, Lawe
Sigala-Gala, Lawe Ria, Desa Lembah Alas.
Frekuensi dominan adalah frekuensi dimana terjadi amplifikasi gelombang atau juga bisa
diartikan sebagai frekuensi dimana goncangan gelombang horizontal terasa paling
kentara. Frekuensi dan panjang gelombang memilki hubungan, apabila sebuah
gelombang merambat pada kedalaman yang semakin dalam frekuensi gelombang tersebut
akan semakin kecil. Berbeda dengan panjang gelombang yang akan terus bertambah jika
bertambahnya kedalaman. Selanjutnya, nilai frekuensi dominan memiliki hubungan erat
dengan kondisi litologi dan ketebalan sedimen. Tingginya nilai frekuensi dominan
disebabkan oleh tipisnya lapisan material sedimen sedangkan rendahnya nilai frekuensi
dominan dikarenakan oleh tebalnya lapisan material sedimen.
Gempa bumi merupakan peristiwa yang disebabkan oleh rambatan gelombang seismik.
Gelombang seismik yang merambat memiliki beragam frekuensi, untuk gelombang
gempa sendiri yaitu berkisar antara 0 – 15 Hz. Frekuensi dominan juga dapat dikatakatan
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 13
sebagai frekuensi terbanyak yang dibawa gelombang gempa, bahwasannya pada saat
terjadi gempa, dampak yang terjadi adalah pada frekuensi tersebut.
Frekuensi dominan (f0) di wilayah Aceh Tenggara diperoleh dari sumbu horizontal pada
puncak kurva H/V. Secara teoritis nilai frekuensi dominan tanah merupakan cerminan
kondisi fisik tanah tersebut. Batuan lunak memiliki nilai frekuensi dominan yang relatif
rendah. Sedangkan penguatan amplitudo gelombang pada saat gempa bumi sangat
dipengaruhi oleh ketebalan lapisan sedimen dan litologi daerah tersebut. Lapisan sedimen
merupakan lapisan yang tersusun oleh pengendapan batuan sedimen di atas satu sama
lain. Makin besar densitas sedimen dan ketebalan lapisan sedimen, makin besar pula
kemampuan batuan memperbesar amplitudo gelombang.
Kerentanan Seismik Aceh Tenggara
Menurut Nakamura (2000), hasil perhitungan Kg dapat digunakan untuk mendeteksi
wilayah yanng berpotensi akan terjadi kerusakan dan rekahan apabila terjadinya gempa
bumi. Semakin tinggi nilai indeks kerentanan tanah atau Kg di suatu wilayah, maka
tingkat jumlah kerusakan bangunan yang ditimbulkan akibat gempa bumi semakin tinggi.
Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi nilai indeks kerentanan tanah suatu wilayah
maka tingkat kestabilan struktur tanah pada daerah tersebut semakin rendah, sehingga
apabila terjadi goncangan gempa bumi dengan magnitudo yang cukup besar dan dalam
rentang waktu tertentu kemungkinan kerusakan bangunan yang terjadi semakin tinggi.
Hasil analisis Nilai indeks kerentanan seismik untuk wilayah Aceh Tenggara berkisar
antara 0.67 sampai dengan 37. Gambar 9 menunjukkan wilayah yang memiliki nilai
indeks kerentanan seismik yang tinggi terdapat pada pada Kecamatan Tanoh Alas
Kutalawi. Wilayah yang memiliki indeks kerentanan seismik tinggi harus lebih
memperhatikan struktur bangunan yang sesuai dengan kondisi geologi setempat agar
kerusakan yang ditimbulkan saat terjadinya gempa bumi dapat diminimalisir. Pada Desa
Semadam, Desa Lawe Bekung dan sebagian sebagian Lawe Sigala-Gala nilai indeks
kerentanan seismik rendah. Sedangkan pada desa-desa lain memiliki nilai indeks
kerentanan seismik bernilai rendah hingga sedang.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 14
Nilai indeks kerentanan seismik sangat dipengaruhi oleh nilai frekuensi dominan dan nilai
amplifikasi. Lokasi dengan nilai frekuensi rendah dan nilai amplifikasi tinggi dapat
didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki indeks kerentanan tinggi. Pada penelitian
ini nilai frekuensi rendah, nilai amplifikasi tinggi, dan nilai indeks kerentanan tinggi, rata-
rata berada pada bagian barat daya wilayah Aceh Tenggara. Tingkat resiko gempa bumi
sangat ditentukan oleh faktor kegempaan dan kondisi lingkungan wilayah itu sendiri,
seperti kondisi geologi dan litologi. Variasi nilai indeks kerentanan seismik sangat
berkaitan dengan kondisi geologi daerah sekitar. Indeks kerentanan seismik tinggi
terdapat di daratan alluvial yang memiliki ketebalan sedimen relatif tebal.
Pemetaan Potensi Kerugian Akibat Gempa Bumi
Tahapan dalam metode Spatial Auto Correlation (SPAC) diawali dengan melakukan
akuisisi data di 27 titik pengukuran dari 33 titik perencanaan. Enam titik tidak dilakukan
akuisisi data dikarenakan kondisi lapangan dan akses menuju titik tersebut tidak
memungkinkan. Akuisisi data dilapangan dilakukan selama 10 menit di setiap
Gambar 9. Gambar 9. Peta Kerentanan Seismik
berdasarkan hasil pengukuran
mikrotremor metode HVSR di wilayah
Aceh Tenggara.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 15
pengukuran. Data yang didapatkan berupa gelombang permukaan, yang kemudian
dilakukan pemisahan gelombang mikrotremor. Setelah itu maka di setiap titik
pengukuran akan didapatkan sejumlah segmen data. Besar segmen data adalah 6 detik,
supaya data yang didapatkan lebih banyak. Rekaman data yang diperoleh pada saat
pengukuran dan setelah pemisahan dengan noise masih berupa sinyal dalam domain
waktu (time domain). Data domain waktu tersebut selanjutnya ditransformasikan menjadi
sinyal dalam domain frekuensi dengan menggunakan transformasi fourier dan dilanjutkan
ke tahap inversi. Hasil dari proses inversi tersebut akan diperoleh garis radius yang
diartikan sebagai kedalaman dalam bentuk kurva dispersi yang merupakan hubungan
perbandingan kecepatan fase dengan frekuensi penjalaran gelombang. Gambar 10a dan
Gambar 10 dan 11 merupakan kurva dispersi di titik KM25 dan titik KM16. Hasil tersebut
menunjukkan hubungan antara frekuensi dengan kecepatan fase gelombang Vs, proses
selanjutnya adalah mennentukan nilai kecepatan rata-rata gelombang geser berdasarkan
garis radius.
Gambar 10. Kurva Dispersi
Berdasarkan data Mikrotremor
metode SPAC di titik KM25
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 16
Terdapat beberapa garis radius, mulai dari gari 5r,10r, 20r sampai dengan garis radius
150r (Gambar 10 dan Gambar 11). Penentuan besar nilai kecepatan rata-rata gelombang
Vs dilakukan dengan cara mengambil satu titik pada garis radius yang berpotongan
dengan kecepatan gelombang pada frekuensi tertentu. Berdasarkan hasil keseluruhan,
dari 27 titik pengukuran kurva disperse menunjukkan garis radius yang berpotongan
adalah garis 5r,10r dan 20r. Hal tersebut menandakan nilai kecepatan fase yang didapat
sampai dengan radius 20r. Radius dalam pengukuran mikrotremor metode SPAC adalah
1 meter, jadi 5r, 10r dan 20r diartikan dengan kedalam 5 meter, 10 meter, 20 meter dari
permukaan.
Pada titik pengukuran KM25 nilai yang didapat adalah 70 m/s pada garis 5r, 120 m/s
untuk garis 10r dan pada garis 20r adalah 200 m/s. Sedangkan pada titik KM16 nilai
kecepatan pada garis 5r adalah sebesar 80 m/s dan pada garis 10r sebesar 110 m/s dan
140 m/s pada garis 20r.
Tabel 1 menunjukkan keseluruhan hasil penentuan kecepatan gelombang geser dari
radius 5m, 10m dan 20m. Radius 5m kecepatan rata-rata gelombang Vs berkisar diantara
70 m/s sampai dengan 100 m/s. Kecepatan terendah berada pada titik KM 25 yaitu desa
Bukit Merdeka kecamatan Lawe Sigala-Gala Kecepatan tertinggi yaitu 100 m/s berada di
tiga titik pengukuran yaitu titik KM10 KM12 dan KM15 Ketiga titik pengukuran tersebut
berada di Kecamatan Darul Hasanah.
Gambar 11. Kurva Dispersi
Berdasarkan data Mikrotremor
metode SPAC di titik KM16
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 17
Pada kedalaman 10m kecepatan rata-rata gelombang Vs lebih besar daripada kecepatan
rata-rata gelombang Vs di kedalaman 5m yaitu dari 90 m/s sampai dengan 190 m/s.
Kecepatan tertinggi yaitu di titik KM 21 dan terendah di titik KM 22. Titik KM 21 berada
di kecamatan Lawe Alas dan titik KM22 berada di kecamatan Semadam. Radius yang
paling dalam yang didapat yaitu 20m dengan nilai kecepatan rata-rata berkisar antara 120
m/s sampai dengan 220 m/s. Selanjutnya semua hasil penentuan nilai kecepatan rata-rata
gelombang Vs digunakan sebagai parameter untuk pembuatan peta mikrozonasi.
Tabel 1. Kecepatan Rata-Rata gelombang Vs Berdasarkan Hasil pengukuran
mikrotremor Metode SPAC
TiTik
Pengukuran Longitude Latitude
AVs (m/s)
5
meter
10
meter 20 meter
KM 1 97.89918 3.39777 80 120 120
KM 2 97.868612 3.452924 80 100 120
KM 3 97.81419 3.45408 80 150 180
KM 4 97.82935 3.45741 80 100 120
KM 5 97.85161 3.46258 70 120 120
KM 6 97.80564 3.48739 80 130 130
KM 7 97.81277 3.49283 80 100 130
KM 8 97.83617 3.49683 80 100 130
KM 9 97.78983 3.50918 80 110 140
KM 10 97.76254 3.53282 100 180 210
KM 11 97.78383 3.52994 90 180 210
KM 12 97.75243 3.54311 100 160 190
KM 13 97.78526 3.54713 90 180 210
KM 14 97.74104 3.56179 90 180 220
KM 15 97.76037 3.54724 100 180 210
KM 16 97.80543 3.51515 80 110 140
KM 17 97.872498 3.441787 80 130 170
KM 18 97.83275 3.42794 80 120 200
KM 19 97.85868 3.40623 70 110 160
KM 20 97.83775 3.46353 80 120 120
KM 21 97.82129 3.40168 90 190 220
KM 22 97.88439 3.3914 70 80 110
KM 23 97.86374 3.3792 80 120 180
KM 24 97.85246 3.37213 90 180 220
KM 25 97.9063 3.37588 70 120 140
KM 29 97.81829 3.42806 90 170 200
KM 30 97.88216 3.41939 80 120 120
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 18
Gambar 12 memperlihatkan bagaimana sebaran hasil nilai kecepatan rata-rata gelombang
Vs di wilayah Aceh Tenggara pada kedalaman 0 sampai 5 meter. Sepanjang Basin
Kutacane nilai kecepatan rata-rata hingga kedalaman 5 meter lebih rendah daripada nilai
kecepatan rata-rata di luar Basin Kutacane. Daerah yang nilai kecepatan rata-rata lebih
rendah di tandai dengan wilayah yang berwarna biru. Beberapa kecamatan yang memiliki
nilai kecepatan rata-rata yang lebih rendah yaitu Kecamatan Bukit Tusam, Kecamatan
Bambel, Kecamatan Bukit Tusam, kecamatan Lawe Bulan, serta Kecamatan Babussalam.
Sebagian wilayah Kecamatan Badar dan Darul Hasanah memiliki nilai kecepatan rata-
rata Vs yang tergolong tinggi.
Selain kecepatan rata-rata gelombang Vs pada kedalaman 5 m, pada kedalaman 10 m
Kecamatan Lawe Bulan, Kecamatan Semadam, Kecamatan Bukit Tusam, Kecamatan
Bambel serta Kecamatan Babussalam juga memiliki nilai kecepatan rata-rata yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan Kecamatan Badar, Darul Hasanah dan Kecamatan
Lawe Alas (Gambar 11). Besar nilai kecepatan rata-rata tersebut berkisar diantara 100
m/s sampai dengan 200 m/s. Nilai kecepatan rata-rata gelombang Vs paling tinggi berada
Gambar 12. Gambar 12.Peta Kecepatan Rata-
Rata Gelombang Vs pada
kedalaman 5 meter dari permukaan
Hasil Pengukuran mikrotremor
metode SPAC di wilayah Aceh
Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 19
di titik KM24 yaitu desa Kute Mejile, Kecamatan lawe Alas. Sebaliknya, nilai kecepatan
rata-rata gelombang Vs yang paling rendah tersebar di beberapa titik di beberapa
kecamatan di Wilayah Aceh Tenggara, salah satunya berada di titik KM19 yaitu Desa
mbak Sako Kecamatan Bukit tusam.
Nilai kecepatan rata-rata Vs di kedalaman 20 meter juga memiliki pola sebaran yang
hampir sama dengan kecepatan rata-rata gelombang Vs di kedalaman 5 meter dan 10
meter. Kecamatan Lawe Bulan, Kecamatan Bukit Tusam, Kecamatan Semadam,
Kecamatan Bambel serta Kecamatan Babussalamam memiliki nilai yang lebih rendah
dibandingkan dengan kecamatan Lawe Alas dan sebagian dari Kecamatan Badar dan
Kecamatan Darul Hasanah. Kecamatan yang nilai kecepatan rata-rata gelombang Vs
lebih tinggi pada Gambar 14 yaitu yang berwarna merah sebaliknya yang lebih rendah
berwarna biru.
Kecepatan rata-rata gelombang Vs pada kedalam 5 meter, 10 meter serta dikedalaman 20
meter dari permukaan memiliki nilai yang makin tinggi seiiring dengan bertambahnya
kedalaman. Semakin dalam dari permukaan maka semakin padat atau semakin rapat
Gambar 13. Gambar 13.Peta Kecepatan Rata-
Rata Gelombang Vs pada
kedalaman 10 meter dari
permukaan Hasil Pengukuran
mikrotremor metode SPAC di
wilayah Aceh Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 20
struktur tanah atau batuan yang ada. Jika Semakin rapat struktur tanah atau batuan di
kedalaman tertentu maka gelombang yang merambat memiliki kecepatan yang besar.
Gambar 12, Gambar 13 dan Gambar 14 menunjukkan sebagian wilayah Aceh Tenggara
yang berada di Basin Kutacane memiliki kecepatan rata-rata gelombang Vs lebih rendah
yang ditandai dengan warna merah. Hal tersebut menandakan bahwa kerapatan tanah atau
batuan pada daerah tersebut tidak rapat (densitas rendah) atau bisa dikatakan dengan
tanah lunak. Keadaaan tersebut tidaklah bagus dikarenakan di wilayah Basin Kutacane
merupakan pusat dari perumahan penduduk, kegiatan pemerintahan dan kegiatan sehari-
hari lainnya.
Hubungan Kerentanan Seismik, Vs dan Kondisi Geologi
Basin Kutacane merupakan pusat aktivitas penduduk di wilayah Aceh Tenggara, juga
sebagai pusat pemerintahan wilayah Aceh Tenggara. Wilayah tersebut dilalui oleh Sesar
Sumatera segmen Tripa dan juga Segmen Renun yang hingga saat ini masih aktif. Bisa
dikatakan wilayah Aceh Tenggara jika terjadi bencana gempa bumi tingkat kerusakan
yang terjadi akan lebih besar. Kondisi geologi wilayah Aceh Tenggara menggambarkan
Gambar 13. Gambar 14.Peta Sebaran Kecepatan
Rata-Rata Gelombang Vs hingga
kedalaman 20 meter Hasil Pengukuran
mikrotremor metode SPAC di Wilayah
Aceh Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 21
bahwa di wilayah Basin Kutacane sebagian besar adalah Batuan Aluvial yang nilai
densitas batuannya rendah. Kondisi geologi ini diperkuat dengan hasil analisis frekuensi
dominan Wilayah Aceh Tenggara memiliki frekuensi dominan dari 0.6 Hz sampai dengan
7 Hz, hal tersebut jika menurut Tabel 1 wilayah Aceh Tenggara memiliki tanah jenis II
dan jenis III yaitu batuan alluvial, tanah terdiri dari pasir kerikil serta tanah liat.
Kerentanan seismik wilayah Aceh Tenggara menginformasikan bahwa di bagian wilayah
Basin Kutacane memiliki nilai atau pun tingkat kerentanan seismik dari sedang ke tinggi.
Nilai tertinggi berada di Kecamatan Lawe alas, Kecamatan Bambel serta Kecamatan
Semadam. Jika Indeks kerentanan tinggi maka nilai amplifikasi gelombang pada daerah
tersebut juga tinggi (persamaan). Nilai amplifikasi gelombang tinggi menyatakan bahwa
pada wilayah tersebut ada gelombang yang terjebak di lapisan lunak, sehinggala
mengalami superposisi antar gelombang, jika antara gelombang memilki frekuensi yang
sama maka terjadi proses resonansi gelombang gempa. Selanjutnya dari nilai amplifikasi
gelombang yang tinggi juga menyatakan adanya kesamaan frekuensi natural antara
geologi setempat dengan bangunan. Ini akan menyebabkan resonansi antara bangunan
dan tanah di wilayah Aceh Tenggara. Akibatnya, getaran tanah pada bangunan akan
semakin besar.
Nilai kecepatan rata-rata gelombang Vs Tabel 1 juga bisa dijadikan referensi lebih lanjut
untuk mengklasifikasikan jenis tanah di wilayah Aceh Tenggara. Berdasarkan Klasifikasi
Tanah SNI, analisis kecepatan rata-rata gelombang Vs menunjukkan bahwa wilayah
Aceh Tenggara memiliki dua jenis tanah yaitu Kelas Tanah SD dan Kelas Tanah SE yaitu
tanah jenis sedang dengan nilai Vs anatar 175m/s sampai 350 m/s dan jenis tanah lunak
yang memilkiki nilai kecepatan Vs dibawah 175 m/s.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 22
BAHAYA GEMPA BUMI ACEH TENGGARA
Model Sumber Gempa
Untuk perhitungan seismic hazard secara PSHA diperlukan 3 tipe gempa, yaitu sumber
sesar (fault source), sumber subduksi, dan sumber latar belakang (background) yang
tidak masuk dari keduanya. Untuk sumber gempa dari sesar di darat dan subduksi
diperlihatkan pada Gambar 15. Untuk menghitung PGA PSHA diperhatikan sumber
gempa yang lebih luas dari area yang akan diinvestigasi. Dan dalam dalam perhitungan
sitenya tentu areanya yang lebih kecil lagi sesuai dengan area yang diinginkan khusus
kabupaten Aceh Tenggara seperti yang diperlihatkan pada Gambar 15.a.
(a) (b)
Gambar 15. Sumber gempa untuk perhitungan seismic hazard (a) sumber fault (b) sumber subduksi.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 23
PSHA Kutacane
Pada kajian ini dibahas peta seismic hazard untuk parameter PGA dari ketiga tipe sumber
tersebut dan gabungan ketiga sumber gempa tersebut. Peta PGA yang dihasilkan akan
dibuat 2 tipe kemungkinan probabilitas terlampau yaitu seperti yang ditunjukkan oleh
Tabel2.
Tabel 2. Tipe kemungkinan probabilitas dari Peta PGA
No Annual rate of
exceedance
Probability of
exceedance in for
spesific year
Equivalen
return periode String symbol
1 2.105e-3 10% in 50 years 475 10pc50
2 4.04e-4 2% in 50 years 2475 2pc50
PSHA Sumber Gempa Subduksi
Pertama sekali dilakukan komputasi untuk gempa subduksi dengan sumber yang
diperlihatkan pada gambar 1. Sumber gempa terdiri dari 2 yaitu Andaman-Aceh dan
Simeulue-Nias dengan masing-masing terdiri dari type characteristic dan type Gutherber
Richter, sehingga totalnya ada 4 inputan sumber gempa.
Nama input sumber Pembobotan
cane.andaman.sub.char.pga 0.66
cane.andaman.sub.gr.pga 0.34
cane.simelue.sub.char.pga 0.66
cane.simelue.sub.gr.pga 0.34
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 24
PSHA Sumber Gempa Fault
Kedua dilakukan komputasi untuk sumber gempa patahan yang merupakan sistem sesar
besar Sumatra. Karena sesar Sumatra terdiri dari banyak segmen maka dalam perhitungan
ini diperhatikan 12 segment dengan seperti tabel berikut.
Tabel 3. Segment Sesar Sumatera
Aceh-Central_pga.char 0.66 Renun-A_pga.char 0.66
Aceh-Central_pga.gr 0.34 Renun-A_pga.gr 0.34
Aceh-North_pga.char 0.66 Renun-B_pga.char 0.66
Aceh-North_pga.gr 0.34 Renun-B_pga.gr 0.34
Aceh-South_pga.char 0.66 Renun-C_pga.char 0.66
Aceh-South_pga.gr 0.34 Renun-C_pga.gr 0.34
Batee-A_pga.char 0.66 Tripa-2_pga.char 0.66
Batee-A_pga.gr 0.34 Tripa-2_pga.gr 0.34
Batee-B_pga.char 0.66 Tripa-3_pga.char 0.66
Batee-B_pga.gr 0.34 Tripa-3_pga.gr 0.34
Batee-C_pga.char 0.66 Tripa-4_pga.char 0.66
Batee-C_pga.gr 0.34 Tripa-4_pga.gr 0.34
Gambar 4.19. Gambar 16. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa subduksi dengan probabilitas
PGA terlampaui 2% dan 10% selama 50 tahun
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 25
PSHA Sumber Gempa Background
Ketiga dilakukan komputasi untuk gempa-gempa yang tidak termasuk dalam gempa
subduksi dan gempa sesar. Gempa tersebut dinamakan gempa background yang
diklasifikasikan berdasarkan kedalaman.
Gambar 4.20. Gambar 17.Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa sesar (fault) dengan probabilitas
PGA terlampaui 2% dan 10% selama 50 tahun
Gambar 4.21. Gambar 18. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa sesar (fault) dengan probability PGA
terlampaui 2% dan 10% selama 50 tahun
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 26
PSHA Sumber Gempa Gabungan
Terakhir semua hazard dari sumber gempa Subduksi, Fault, dan Background
digabungkan menjadi satu yang merupkan peta hazard final. Hasilnya ditunjukan pada
Gambar 19.
Gambar 19. Nilai PGA Aceh Tenggara untuk sumber gempa gabungan dengan probability PGA terlampaui
2% dan 10% selama 50 tahun
Analisis Kurva Hazard Kutacane
Selain menampilkan data dalam peta untuk persentasi probability terlampau tertentu,
maka dibuat juga kurva hazard untuk suatu tempat tertentu. Dipilih Kutacane yang
berkoordinat 3.48oN 97.81oE yang merupakan ibukota kabupaten dari Aceh Tenggara
merupakan kawasan yang paling padat penduduk. Kurva Hazard untuk Kutacane
diperlihatkan pada Gambar 20. Garis biru pada Gambar 20b menunjukkan probabilitas
level mean annual frequency of exceedance yang setara dengan probability terlampaui
10% dan 2% untuk periode 50 tahun. Kedua probabilitas terlampaui tersebut yang
digunakan untuk memetakan PGA di atas.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 27
a b
Gambar 20.(a) Hazard curve untuk masing-masing sumber gempa (b) Total hazard curve
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 28
KERENTANAN BANGUNAN TEMPAT TINGGAL
Kerugian dan korban jiwa akibat gempa dihitung biasanya berdasarkan efek yang
ditimbulkan dari kerusakan infrastruktur. Korban jiwa terbesar akibat gempa adalah
akibat tertimpa keruntuhan bangunan, sebagian lagi adalah akibat longsor yang
ditimbulkan dari pengaruh gempa dan ketidakstabilan tanah. Untuk itu upaya memetakan
kerentanan wilayah kabupaten ini adalah dengan melakukan kajian kerentanan bangunan
berdasarkan skenario potensi bahaya gempa dan faktor amplifikasi wilayah yang
mungkin terjadi. Sebelum itu, pemetaan jenis bangunan adalah penting. Karena
kerentanan bangunan bergantung pada tipikal bangunan yang ada baik itu dari tipe
konstruksi dan materialnya.
Pada kajian ini akan dipaparkan pemetaan tipikal bangunan dan potensi kerentanan
bangunan pada setiap tipe dan jenis materialnya mengacu pada asesmen yang telah ada
yaitu Metode Hazus dari Federal Emergency Management Agency (FEMA) USA yang
dimodifikasi berdasarkan data pengamatan lapangan.
Tipikal Bangunan Aceh Tenggara
Survey dilakukan terhadap 1087 bangunan termasuk di dalamnya bangunan tempat
tinggal, ruko, sekolah, kantor pemerintahan, dan tempat ibadah (masjid dan gereja).
Berdasarkan data tersebut maka disimpulkan beberapa kriteria tipe bangunan yang berada
di Kabupaten Aceh Tenggara yang tersebar di setiap kecamatannya. Adapun tipikal
bangunan Aceh tenggara adalah sebagai berikut:
Bangunan dengan rangka beton bertulang (C1L)
Bangunan dengan tipe ini adalah bangunan yang memiliki konstruksi penahan beban
berupa rangka beton bertulang dengan atau tanpa dinding pengisi. Dinding pengisi dapat
berupa bata merah yang terbuat dari tanah liat maupun bata yang terbuat dari mortar beton
(beton cetak). Metode pembangunan untuk tipe bangunan ini adalah dengan cara
membangun rangka portal beton bertulang terlebih dahulu baik itu berupa balok dan
kolom bangunan yang kemudian baru dilanjutkan mengisi rangka dengan dinding
pengisi. Konstruksi yang menahan beban bangunan adalah rangka beton bertulangnya.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 29
Untuk daerah Kabupaten Aceh Tenggara, jenis bangunan ini adalah untuk bangunan yang
memiliki atau bangunan yang nantinya akan dikembangkan menjadi dua atau tiga lantai.
Beberapa bangunan yang memakai tipe konstruksi ini adalah bangunan rumah, tempat
ibadah yang luas, dan rumah toko (ruko).
Beberapa model bangunan yang memakai konstruksi ini di Aceh Tenggara adalah sebagai
berikut:
Bangunan beton bertulang Ruko Bangunan beton bertulang tempat tinggal
Bangunan beton bertulang untuk tempat
ibadah Pembangunan bangunan beton bertulang
Bangunan tembokan rangka beton bertulang minim/Confined Masonry
(C3L)
Bangunan tembokan dengan rangka beton bertulang yang minim adalah tipikal konstruksi
untuk bangunan berlantai satu yang menjadi mayoritas tipe bangunan non-engineer
seperti rumah tinggal. Tipikal bangunan ini juga menjadi tipikal bangunan-bangunan
pemerintahan seperti bangunan sekolah, puskesmas dan juga kantor pemerintahan yang
berlantai satu.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 30
Metode pembangunan adalah dengan cara menyusun lapisan dinding yang biasanya
terbuat dari material batu bata merah atau batako dan kemudian pengecoran tiang-tiang
kolom dan ring balok kecil sebagai rangka pengekang dilakukan setelahnya. Pembebanan
bangunan tipe ini adalah apa yang terdapat di konstruksi atap ataupun beban lateral akibat
gempa dan pergerakan tanah lainnya. Semua beban itu ditahan sebagian besar oleh
dinding, sehingga bangunan ini disebut bangunan tembokan atau dalam bahasa asing
disebut sebagai bangunan confined masonry.
Beberapa bangunan yang memakai konstruksi tipe ini di Aceh Tenggara adalah sebagai
berikut:
Bangunan Rumah Tipe Confined Masonry (C3L) di Kabupaten Aceh Tenggara
Bangunan rumah tembokan tanpa rangka beton bertulang (URML)
Bangunan tipe ini masih terdapat di beberapa wilayah di kabupaten Aceh Tenggara.
Tipikal bangunan ini adalah bangunan yang terdiri dari dinding bata tanpa ada
kolom/tiang praktis di sudut bangunan sebagai pengekang seperti layaknya bangunan tipe
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 31
confined masonry (C3L). Pembebanan bangunan murni dipikul oleh dinding dan
kemudian diteruskan ke pondasi bangunan yang berbentuk pondasi menerus.
Bangunan ini merupakan bangunan lama yang biasanya berdinding rendah dan peralihan
dari bangunan kayu. Karakteristik bangunan ini biasanya tidak begitu tinggi dan tidak
memakai tombak layar sebagai penahan atap. Atap yang dipakai adalah tipe atap sedikit
datar atau atap perisai, bukan atap pelana. Bangunan ini sudah jarang ditemui semenjak
masyarakat mulai memakai tipikal bangunan confined masonry yang setidaknya lebih
tahan di daerah gempa.
Tipikal bangunan ini di Aceh Tenggara adalah bangunan-bangunan tempat tinggal, yang
dapat dilihat pada ilustrasi berikut:
Rumah tinggal peralihan dinding kayu ke
bata (tanpa menggunakan kolom)
Rumah tinggal yang minim sambungan
konstruksi beton bertulang di sudut
bangunan
Tipikal Bangunan Konstruksi Rangka Kayu (W1)
Tipikal bangunan dengan konstruksi kayu adalah bangunan yang umum dapat ditemui di
kabupaten Aceh Tenggara. Konstruksi kayu terdiri dari rangka kayu yang kemudian diisi
dengan dinding papan. Sebagian tipe rangka kayu adalah bangunan yang terdiri dari
seperempat dinding bata yang kemudian untuk rangka yang menopang atap terbuat dari
kayu, begitu juga dindingnya. Sebagian besar beban bangunan ditopang oleh rangka kayu.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 32
Pembangunan tipikal bangunan rangka kayu
Tipe bangunan ini dapat ditemui pada bangunan-bangunan perumahan dan bangunan
Taman Kanak-kanak serta sebagian bangunan tempat ibadah.Beberapa contoh bangunan
konstruksi rangka kayu dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Bangunan rangka kayu dengan
seperempat dinding tembok
Bangunan rangka kayu
Bangunan Rangka Kayu yang Masiv (W2)
Bangunan rangka kayu yang masiv tergolong bangunan dengan luasan yang besar dan
menopang beban yang lebih besar dibandingkan bangunan rangka kayu tipikal W1.
Termasuk didalamnya adalah bangunan-bangunan tempat tinggal yang terdiri dari rumah
panggung dan rumah rangka kayu berlantai dua. Bangunan rangka kayu yang ditujukan
untuk publik seperti bangunan pasar, dimana luasannya memang direncanakan untuk
publik maka dikategorikan tipe bangunan rangka kayu masif juga. Beberapa contoh
bangunan rangka kayu tipe W2 ini adalah sebagai berikut:
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 33
Rumah panggung Rumah rangka kayu berlantai
dua
Sebaran Tipikal Bangunan
Persentase bangunan tipikal untuk Kabupaten Aceh Tenggara berdasarkan hasil survey
dapat dideskripsikan pada grafik berikut ini:
Dari Gambar 21 terlihat persentase tipikal bangunan di Aceh Tenggara dapat disimpulkan
adalah mayoritas bangunan adalah tipe bangunan rangka kayu dimana sebagian besar
adalah bangunan tempat tinggal. Persentase bangunan tipe W1 ini hampir mencapai lima
puluh persen. Bangunan tembokan dengan rangka penguat dari beton bertulang atau
kategori C3L menempati urutan kedua, menunjukkan daerah ini mulai membangun
bangunan tempat tinggal yang terbuat dari tembokan atau bangunan berdinding bata.
00
10
20
30
40
50
C1L C3L URML W1 W2
Per
senta
se B
angunan
(%
)
Jenis Konstruksi Bangunan
Persentase Tipikal Bangunan di Aceh Tenggara
Gambar 21. Grafik persentase tipikal bangunan di Aceh Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 34
Bangunan C1L adalah bangunan-bangunan yang bertingkat, dimana persentasenya tidak
terlalu besar dibandingkan bangunan W1, C3L, dan URML, ini menunjukkan bangunan
bertingkat tidak begitu banyak di Aceh Tenggara, dimana jumlahnya juga terbagi ke
bangunan W2 atau bangunan bertingkat berangka kayu.
Adapun penyebaran tipikal bangunan berdasarkan wilayah survey dapat dilihat pada
pemetaan berikut:
Kerentanan Tipikal Bangunan terhadap Bahaya Gempa
Kerentanan bangunan terhadap bahaya gempa dapat dinilai berdasarkan kurva kerapuhan
untuk setiap tipe bangunan. Kurva kerapuhan ini akan menunjukkan peluang terjadinya
kerusakan bangunan. Pada kurva ini kerusakan bangunan diprediksikan dalam empat
tahap yaitu : Kerusakan ringan (slight damage), Kerusakan sedang (moderate),
Kerusakan Berat (extensive) dan Kerusakan total (complete).Berikut adalah gambaran
tahap kerusakan untuk setiap tipikal bangunan yang ada di Aceh Tenggara:
Gambar 22. Peta sebaran tipe
bangunan di Aceh Tenggara
berdasarkan data survey
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 35
Tabel 4. Gambaran tahap kerusakan untuk setiap tipikal bangunan yang ada di Aceh
Tenggara
Tingkat Kerusakan Karakteristik Kerusakan
C1L
Slight Terdapat retak-retak halus pada sebagian konstruksi kolom
dan balok di daerah sambungan antara keduanya
Moderate Terdapat retak-retak rambut pada seluruh rangka struktur
bangunan. Pada sebagian struktur bangunan yang tergolong
daktail akan terdapat tanda-tanda telah mencapai luluh
berupa retak yang lebih besar dan selimut beton
mengelupas. Untuk konstruksi yang tidak daktail maka
akan terdapat retak geser dan pengelupasan beton yang
lebih luas.
Extensive Pada sebagian rangka bangunan telah mencapai puncak
kapasitasnya ditandai dengan retakan lentur yang lebar dan
tulangan baja di dalamnya mulai bengkok. Ini untuk
bangunan yang direncanakan dengan bagus. Untuk
bangunan yang tidak direncanakan untuk menahan beban
gempa akan mengalami keruntuhan akibat geser dan
sebagian besar tulangan keluar, dan sambungan gagal
sehingga mengakibatkan keruntuhan sebagian.
Complete Hampir seluruh struktur bangunan akan mengalami
kerusakan atau runtuh.
C3L
Slight Terdapat retak diagonal terkadang horizontal pada dinding
Moderate Hampir seluruh dinding mengalami retak yang cukup lebar,
bahkan sebagian material pengisi dinding (bata) di daerah
sambungan antara kolom dan balok mengalami kehancuran.
Retak diagonal kemungkinan terjadi pada kolom dan balok
beton.
Extensive Hampir seluruh dinding mengalami retak yang cukup lebar,
sebagian bata jatuh atau lepas (out-of-plane), sebagian
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 36
dinding bangunan runtuh. Kolom dan balok rangka
bangunan mengalami kegagalan geser sehingga mengalami
pergeseran bahkan sebagian runtuh.
Complete Bangunan runtuh
URML
Slight Retak halus berbentuk tangga dan diagonal pada dinding
terutama pada sekitar bukaan pintu dan jendela. Pergeseran
balok lintel.
Moderate Retak diagonal pada seluruh dinding, dan sebagian bata
mulai jatuh.
Extensive Terdapat retak serius pada dinding berupa bukaan yang
cukup lebar. Tombak layar mulai runtuh
Complete Bangunan runtuh akibat in-plane atau pun out-plane
W1 dan W2
Slight Terjadi sedikit perpindahan pada jendela atau pintu serta
koneksi antara rangka.
Moderate Retakan pada ujung pintu dan jendela dan dinding mulai
merekah
Extensive Dinding yang mulai terbuka dan hancur, lantai yang
bergeser, serta pergeseran yang cukup terlihat pada koneksi
atau sambungan antar rangka. Baut yang terlepas.
Complete Lepas sambungan antar rangka yang mengakibatkan
keruntuhan
Untuk memprediksikan kerusakan
yang akan terjadi seperti yang
disebutkan di atas maka setiap tipe
bangunan dapat dimodelkan
kapasitasnya dengan model seperti
yang terlihat di Gambar 23.
Gambar 23.Model kurva kapasitas bangunan
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 37
Kurva kapasitas ini dibangun untuk metodologi yang berlandaskan penilaian dan
parameter desain. Tiga titik kontrol pada kurva adalah titik kapasitas desain, titik
kapasitas luluh, dan titik kapasitas unlimit. Kapasitas desain menunjukkan nominal
kekuatan suatu bangunan baik yang direncanakan berdasarkan standar bangunan tahan
gempa atau tidak. Titik kapasitas luluh menunjukkan nilai kekuatan lateral bangunan
yang sebenarnya tidak hanya kekuatan material. Kapasitas ultimit adalah ketika seluruh
bangunan sudah mencapai titik plastis atau sudah mencapai titik maksimum kekuatannya.
Tabel 5 berikut adalah perkiraan nilai kapasitas bangunan berdasarkan tipe bangunan
(Hazus-FEMA)
Tabel 5. perkiraan nilai kapasitas bangunan berdasarkan tipe bangunan (Hazus-FEMA)
Tipe
Bangunan
Titik Kapasitas Luluh Titik Kapasitas Ultimit
Dy (in.) Ay (g) Du (in.) Au (g)
W1 0.36 0.300 6.48 0.900
W2 0.24 0.150 3.52 0.375
URML 0.36 0.300 4.32 0.600
C3L 0.18 0.150 2.43 0.338
C1L 0.15 0.094 2.64 0.281
Nilai kapasitas diatas menunjukkan kapasitas bangunan kayu jauh lebih lentur
dibandingkan bangunan lainnya dimana bangunan mampu menahan percepatan gempa
hingga 0.9g. Akan tetapi bangunan mengalami dislokasi hingga 6.48 in. Perkiraan ini
masih harus ditelaah dengan menampilkan kurva kerapuhan bangunan atau fragility
curve.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 38
RISIKO GEMPA BUMI
Penentuan indeks risiko bencana dilakukan dengan menggabungkan nilai indeks bahaya,
kerentanan, dan kapasitas atau dengan mengabungkan peta bahaya dan peta keterpaparan
(exposer). Proses ini dilakukan dengan menggunakan kalkulasi secara spasial sehingga
dapat menghasilkan peta risiko dan nilai grid dari risiko. Dalam penyelidikan ini, peta
bahasa gempa bumi dibuat berdasarkan persamaan atenuasi gempa dangkal dari patahan
yang dibuat oleh Allen dkk (2012). Peta exposer dibuat berdasarkan nilai kerapatan
penduduk per-kecamatan yang tinggal di cekungan Aceh Tenggara.
Peta Bahaya Gempa Bumi
Di Aceh Tenggara, patahan segmen Tripa yang merupakan bagian patahan Sumatra
membentang sepanjang 75 Km. Berdasarkan Buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa
Indonesia Tahun 2017, patahan Tripa diperkirakan mampu memicu gempa sebesar 7.3
Mw. Berdasarkan informasi tersebut, model gempa bumi menggunakan persamaan IPEs
(Intensity Prediction Equations) yang dibuat oleh Allen dkk (2012) digunakan
(persamaan 1). Persamaan Allen dkk (2012) memperkirakan nilai intensitas goncangan
gempa dibatuan dasar dan permukaan. Nilai intensitas permukaan dilihat dari nilai S, dan
nilai tersebut bisa didapatkan berdasarkan nilai Vs30 menggunakan persamaan 2 dan 3.
𝐼 (𝑀, 𝑅𝑟𝑢𝑝) = 𝑐0 + 𝑐1𝑀 + 𝑐2 ln √𝑅𝑟𝑢𝑝2 + [1 + 𝑐3𝑒(𝑀−5)]2 + 𝑆 (1)
𝑆 = 3.48 log (𝐹𝑣) (2)
𝐹𝑣 = [1050
𝑉𝑠]
𝑚𝑣
(3)
Nilai Vs30 bisa didapatkan dari nilai perkiraan Vs30 global yang dikeluarkan oleh USGS
atau pengukuran langsung di lapangan. Pada gambar 1 di bawah dapat dilihat model
sebaran nilai intensitas (goncangan) gempa bumi yang bersumber dari patahan segmen
Tripa dengan magnitude 7 mw. Nilai sebaran intensitas gempa bumi melemah seiring
dengan berkurangnya jarak terhadap patahan dan nilai maksimal intensitas gempa bumi
dalam MMI adalah 10.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 39
Pada Gambar 24 dapat dilihat bahwa intensitas yang paling tinggi berada di cekungan
Aceh Tenggara. Hal tersebut dikerenakan cekungan Aceh Tenggara terbentuk dari
endapan alluvium muda yang terdiri dari kelikil, pasir, lanau dan lempung. Endapan
alluvium ini cenderung lunak dan akan menyebabkan effek amplifikasi. Efek amplifikasi
merupakan fenomena penguatan goncangan gempa bumi akibat tanah lunak. Nilai Vs30
yang digunakan pada Gambar 24 adalah Vs30 prediksi dari USGS (United States
Geological Survey) dan harus didetailkan dengan pengukuran langsung.
Gambar 24. Peta Intensitas Gempa Bumi dari Segment Tripa dengan Vs30 dari USGS
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 40
Pengukuran Vs30 langsung dilakukan di dalam cekungan Aceh Tenggara menggunakan
metode HVSR. Sebaran titik pengukuran Vs30 dan sebaran nilai Vs30 di dalam cekungan
Aceh Tenggara dapat dilihat pada Gambar 25. Nilai Vs30 yang didapatkan dalam
cekungan Aceh Tenggara berkisar antara 135 - 210 km/detik. Pengukuran Vs30 hanya
difokuskan pada cekungan karena kawasan cekungan merupakan kawasan tanah lunak,
sedangkan kawasan lain merupakan perbukitan yang kondisi tanahnya lebih keras. Selain
itu, sebaran penduduk di Kabupaten Aceh Tenggara lebih banyak tinggal di dalam
cekungan.
Pada Gambar 25 dapat dilihat bahwa sebaran tanah lunak yang ditandai dengan rendahnya
nilai Vs30 mendominasi hampir di seluruh cekungan Aceh Tenggara. Nilai paling rendah
berada di sisi timur laut cekungan, hal ini dikarenakan di sisi timur laut terdapat
Gambar 25. Sebaran titik pengukuran dan nilai Vs30 berdasarkan hasil
pengukuran lapangan menggunakan metode HVSR
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 41
perbukitan yang sangat curam. Curamnya perbukitan tersebut menyebabkan tingginya
tingkat erosi di kawasan tersebut dan semua sedimen hasil erosi akan terendapkan di sisi
bawah permukitan. Pada akhirnya endapan yang terbentuk di dalam cekungan relative
lebih lunak karena proses pengendapan yang lebih cepat di bandingkan dengan sisi
tenggara cekungan.
Berdasarkan nilai sebaran Vs30, sebaran nilai faktor amplifikasi di dalam cekungan Aceh
Tenggara dapat dihitung. Faktor amplifikasi ini selanjutnya dimasukkan ke dalam
intensitas goncangan pada batuan dasar dan hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 26. Peta intensitas tersebut sudah mempertimbangkan dampak tanah di atas
permukaan.
Gambar 26. Peta Sebaran Intensitas dalam MMI di permukaan
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 42
Peta Exposer Penduduk
Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Aceh Tenggara.
Sebagian besar penduduk kabupaten Aceh Tenggara tinggal di dalam cekungan sehingga
dalam laporan ini kami mencoba menghitung jumlah penduduk yang tinggal di dalam
cekungan. Jumlah penduduk yang tinggal di dalam cekungan digunakan untuk
menghitung densitas penduduk berdasarkan luasan kecamatan dalam cekungan Aceh
Tenggara. Peta sebaran densitas penduduk pada tahun 2018 dapat dilihat pada Gambar
2.7.
Gambar 27. Sebaran densitas penduduk di dalam Cekungan Aceh Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 43
Peta Risiko Gempa Bumi
Berdasarkan peta bahaya gempa bumi yang sudah dibuat sebelumnya (lihat Gambar 26)
dan peta densitas penduduk (lihat Gambar 27). Selanjutnya dilakukan perhitungan risiko
gempa bumi berdasarkan persamaan 4 berikut ini.
Peta Risiko = Peta Bahaya Gempa x Peta (exposer) Densitas Penduduk (4)
Hasil perhitungan risiko berdasarkan pertimbangan bahaya dan kerapatan penduduk
(exposer) dapat dilihat pada Gambar 28. Tinggi dan rendahnya nilai risiko yang diberikan
pada Gambar 28 berdasarkan pada perbandingan nilai risiko masing-masing kecamatan
yang ada di dalam cekungan Aceh Tenggara. Berdasarkan hasi perhitungan dapat
Gambar 28. Risiko gempa bumi dengan sumber gempa berasal dari patahan
segmen Tripa di Cekungan Aceh Tenggara
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 44
simpulkan bahwa kecamatan Babussalam memiliki tingkat risiko paling tinggi
dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Beberapa Kecamatan yang dekat sekali
dengan sumber patahan memiliki tingkat risiko yang lebih walaupun secara bahaya tinggi.
Hal ini disebabkan densitas penduduk di kecamatan-kecamatan tersebut lebih rendah
sehingga tingkat exposernya lebih rendah.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 45
PENUTUP
Gempa di Wilayah Tenggara Aceh sebanyak 506 events terekam oleh Jaringan Seismik
dan membentuk klaster tertentu. Lokasi awal gempa bumi telah direlokasi sehingga nilai
RMS akhir sangat kecil yaitu dengan rata-rata 0.47 s dan diperoleh sebaran gempa yang
lebih akurat pada segmen aktif yang belum diidentifikasi sebelumnya. Distribusi gempa
membentuk klaster di segmen aktif, yaitu Sesar Sumatera terusan Sesar Batee, Segmen
Tripa dan beberapa segmen yang belum diidentifikasi sebelumnya. Adanya klaster gempa
pada terusan Sesar Batee, Segmen Pining, Segmen, Lokop dan Segmen Alas. Pola dan
arah strike menunjukkan kesesuaian dengan lineasi gempa dan topografi wilayah
Tenggara Aceh.
Pemahaman tentang kerentanan seismik di Wilayah Kutacane yang memiliki populasi
yang tinggi sangat penting karena perumahan warga sangat rapat dan antar desa serta
kecamatan jaraknya tidak jauh. Survei mikrotremor sudah dilakukan di Wilayah Aceh
Tenggara untuk mengkaji bagaimana tingkat kerentanan seismik di area sekitar Segmen
Tripa. Gelombang mikrotremor direkam di sepanjang Basin Kutacane sebanyak 25 titik
pengukuran dengan menggunakan metode Horizontal to vertical Spectral Rasio (HVSR)
dan 27 titik pengukuran dengan menggunakan metode Spatial Auto Correlation (SPAC).
Hasil pengukuran HVSR menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki nilai indeks
kerentanan seismik sekitar 0.67 sampai 101, dengan nilai frekuensi dominan sekitar 0,61
Hz sampai 7.78 Hz dan nilai amplifikasi berkisar antara 1.6 sampai 7.8. Sedangkan hasil
dengan menggunakan metode SPAC yaitu nilai kecepatan rata-rata gelombang Vs di
kedalaman ~9 sampai dengan ~36 meter dari permukaan, dengan nilai kecepatan rata-rata
gelombang Vs terendah adalah 110 m/s dan 400 m/s. Berdasarkan klasifikasi jenis tanah
yang diperoleh, Wilayah Aceh Tenggara memiliki kelas tanah padat batuan lunak dan
berdasarkan nilai frekuensi dominan tanah terdiri dari batuan alluvial, tanah liat dan
lempung.
Nilai frekuensi dominan di wilayah Aceh Tenggara berkisar antara 0.61 sampai dengan
Hz sampai dengan 7.782 Hz. Besar nilai puncak H/V atau amplifikasi di wilayah Aceh
Tenggara yang paling tinggi adalah 7.86594 yaitu di Kecamatan Lawe Sigala-Gala dan
terendah di Lawe Bekung dengan nilai 1.66085.Hasil analisis nilai indeks kerentanan
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 46
seismik pada penelitian ini, menunjukkan Wilayah Aceh Tenggara memiliki nilai indeks
kerentanan seismik sekitar 0,6711 sampai 101,063.Berdasarkan Kecepatan rata-rata
gelombang Vs Wilayah Kecamatan yang berada di dalam Basin Kutacane memiliki nilai
Vs yang tinggi mencapai 400 m/s pada kedalaman ~36 meter dari permukaan.Jika
dikaitkan dengan kondisi geologi, jenis tanah di Wilayah Aceh Tenggara berdasarkan
nilai kecepatan rata-rata gelombang Vs adalah tanah padat batuan lunak dan berdasarkan
frekunsi dominan tanah yang terdiri batuan alluvial, tanah liat dan lempung.
Berdasarkan analisis risiko gempa bumi dengan mempertimbangkan peta bahaya gempa
bumi, exposer berupa kerapatan pendudukan di Kabupaten Aceh Tenggara dapat
disimpulkan bahwa Kecamatan Babussalam memiliki tingkat risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan Kecamatan yang lain. Hal ini disebabkan kerena Kecamatan
Babussalam memiliki kerapatan penduduk lebih tinggi dan kondisi geologi setempat juga
masih berupa tanah lunak dan tidak begitu jauh dengan Patahan Tripa.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 47
DAFTAR PUSTAKA
Allen, T. I., Wald, D. J., & Worden, C. B. (2012). Intensity attenuation for active crustal
regions. J Seismol, 16, 409–433.
Badan Standar Nasional. (2012). Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Bangunan gedung dan non gedung. Rethinking Marxism, 15(3), 316–325.
https://doi.org/10.1080/0893569032000131613
Chatelain, J. L., Guillier, B., Cara, F., Duval, A. M., Atakan, K., Bard, P. Y., … Wassner,
J. (2008). Evaluation of the influence of experimental conditions on H/V results
from ambient noise recordings. Bulletin of Earthquake Engineering, 6(1), 33–74.
https://doi.org/10.1007/s10518-007-9040-7
Cho, I., Tada, T., & Shinozaki, Y. (2006). A generic formulation for microtremor
exploration methods using three-component records from a circular array.
Geophysical Journal International, 165(1), 236–258.
https://doi.org/10.1111/j.1365-246X.2006.02880.x
Delfebriyadi. (2009). Riwayat Waktu Percepatan Sintetik Sumber Gempa Subduksi
Untuk Kota Padang Dengan Periode Ulang Desain Gempa 500 Tahun, 1(32), 90–
95.
Eker, A. M., Koçkar, M. K., & Akgün, H. (2015). Evaluation of site effect within the
tectonic basin in the northern side of Ankara. Engineering Geology, 192(June),
76–91. https://doi.org/10.1016/j.enggeo.2015.03.015
Elnashai, A. S., & Sarno, L. Di. (2008). Fundamentals of Earthquake Engineering: From
Source to Fragility. Engineering Geology (Vol. 43). https://doi.org/10.1016/0013-
7952(95)00070-4
Gosar, A. (2007). Microtremor HVSR study for assessing site effects in the Bovec basin
(NW Slovenia) related to 1998 Mw5.6 and 2004 Mw5.2 earthquakes. Engineering
Geology, 91(2–4), 178–193. https://doi.org/10.1016/j.enggeo.2007.01.008
Herak, M. (2008). ModelHVSR-A Matlab® tool to model horizontal-to-vertical spectral
ratio of ambient noise. Computers and Geosciences, 34(11), 1514–1526.
https://doi.org/10.1016/j.cageo.2007.07.009
Huang, H. C., & Tseng, Y. S. (2002). Characteristics of soil liquefaction using H/V of
microtremors in Yuan-Lin area, Taiwan. Terrestrial, Atmospheric and Oceanic
Sciences, 13(3), 325–338. https://doi.org/10.3319/TAO.2002.13.3.325(CCE)
Ifsttar, P. B., Alpes, G., View, E. U. N., & Bard, P. (2014). Microtremor measurements :
A tool for site effect estimation ?, (January 1999).
Mardiana. (2016). Estimasi indeks kerentanan seismik di sekitar kantor gubernur provinsi
sulawesi tenggara menggunakan metode hvsr skripsi.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 48
Mirzaoğlu, M., & Dikmen, Ü. (2003). Application of microtremors to seismic
microzoning procedure. Journal of the Balkan …, 6(3), 143–156. Retrieved from
http://www.balkangeophysoc.gr/online-
journal/2003_V6/aug2003/Mirzaoglu_final.PDF
Muksin, U., Bauer, K., Muzli, M., Ryberg, T., Nurdin, I., Masturiyono, M., & Weber, M.
(2019). AcehSeis project provides insights into the detailed seismicity distribution
and relation to fault structures in Central Aceh, Northern Sumatra. Journal of
Asian Earth Sciences, 171(September 2018), 20–27.
https://doi.org/10.1016/j.jseaes.2018.11.002
Muzli. (2014). Hubungan kecepatan relatif pergerakan lempeng dengan tingkat
seismisitas di zona subduksi, 187–192.
Muzli, M., Wei, S., Nurdin, I., Bradley, K. E., Jousset, P., Erbas, K., … Widiyantoro, S.
(2018). The 2016 Mw 6.5 Pidie Jaya, Aceh, North Sumatra, Earthquake:
Reactivation of an Unidentified Sinistral Fault in a Region of Distributed
Deformation. Seismological Research Letters, 89(5), 1761–1772.
https://doi.org/10.1785/0220180068
Nakamura, Y. (2000). Clear identification of fundamental idea of Nakamura’s technique
and its applications. Proceedings of the 12th World Conference on Earthquake
Engineering (12WCEE), 1–8.
Nakamura, Y., Sato, T., & Nishinaga, M. (2000). Local Site Effect of Kobe Based on
Microtremor. Proceedings of the Sixth International Conference on Seismic
Zonation (6ISCZ) EERI, November 12-15, 2000/ Palm Springs. California, 3–8.
Natawidjaja, D., & Triyoso, W. (2007). the Sumatran Fault Zone — From Source To
Hazard. Journal of Earthquake and Tsunami, 01(01), 21–47.
https://doi.org/10.1142/S1793431107000031
Reynolds, J. M. (1997). An introduction to applied and environmental geophysics. An
introduction to applied and environmental geophysics.
Rohadi, S. (2008). Studi seismotektonik sebagai indikator potensi gempabumi di wilayah
indonesia, 111–120.
Shearer, P. M. (2009). Introduction to SEISMOLOGY.
Sieh, K., & Natawidjaja, D. (2000). Neotectonic of the Sumateran fault, Indonesia.
Journal of Geophysical Research.
Simanjuntak, A. V. H., Muksin, U., & Sipayung, R. M. (2018). Earthquake relocation
using HypoDDMethod to investigate active fault system in Southeast Aceh.
Journal of Physics: Conference Series, 1116(3). https://doi.org/10.1088/1742-
6596/1116/3/032033
Sunarjo, Gunawan, T., & Pribadi, S. (2012). Gempabumi. Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika.
Sesar Aktif dan Kerentanan Seismik Aceh Tenggara 49
Tada, T., Cho, I., & Shinozaki, Y. (2007). Beyond the SPAC method: Exploiting the
wealth of circular-array methods for microtremor exploration. Bulletin of the
Seismological Society of America, 97(6), 2080–2095.
https://doi.org/10.1785/0120070058
vand der Pluijm, B. A., & Marshack, S. (2004). Earth structure. An introduction to
structural geology and tectonics. Nature. https://doi.org/10.1038/471573a
Xia, J. (2006). Delineating Subsurface Features with the MASW Method at Maxwell
AFB in Montgomery , Alabama Report to, 37. Retrieved from
http://www.kgs.ku.edu/Geophysics/OFR/2006/OFR06_01/ofr2006-1.pdf
Kissling, E., Ellsworth, W., Eberhart‐Phillips, D. & Kradolfer, U., (1994). Initial
reference models in local earthquake tomography, Journal of Geophysical
Research: Solid Earth (1978–2012), 99, 19635-19646.
Muksin, U., Bauer, K. & Haberland, C., (2013a). Seismic Vp and Vp/Vs structure of the
geothermal area around Tarutung (North Sumatra, Indonesia) derived from local
earthquake tomography, Journal of Volcanology and Geothermal Research, 260,
27-42.
Muksin, U., Haberland, C., Bauer, K. & Weber, M., (2013b). Three-dimensional upper
crustal structure of the geothermal system in Tarutung (North Sumatra, Indonesia)
revealed by seismic attenuation tomography, Geophysical Journal International,
195, 2037-2049.
Muksin, U., Haberland, C., Nukman, M., Bauer, K. & Weber, M., (2014). Detailed fault
structure of the Tarutung Pull-Apart Basin in Sumatra, Indonesia, derived from
local earthquake data, Journal of Asian Earth Sciences, 96, 123-131.