53
22 BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini dikemukakan kajian pustaka tentang Isi dan Modus Pendidikan Kewarganegaraan Antar Cluster Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bandung. Kajian pustaka ini merupakan bekal bagi penulis untuk memperkuat wawasan, pemahaman, dan mempertajam analisis terhadap masalah yang diteliti, sehingga dapat diperoleh makna alamiah dari setiap data yang diperoleh di lapangan. A. Kajian tantang Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Civic education atau lebih dikenal di Indonesia dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan oleh Cogan (Winataputra, 2001:132) sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Berdasarkan pengertian diatas, dapat terlihat bahwa sasaran dalam pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan dalam suatu negara adalah warga negara muda, atau anak muda. Dimana “anak adalah warga negara hipotetik,

S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dikemukakan kajian pustaka tentang Isi dan Modus

Pendidikan Kewarganegaraan Antar Cluster Sekolah Menengah Atas Negeri di

Kota Bandung. Kajian pustaka ini merupakan bekal bagi penulis untuk

memperkuat wawasan, pemahaman, dan mempertajam analisis terhadap masalah

yang diteliti, sehingga dapat diperoleh makna alamiah dari setiap data yang

diperoleh di lapangan.

A. Kajian tantang Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Civic education atau lebih dikenal di Indonesia dengan istilah Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) diartikan oleh Cogan (Winataputra, 2001:132) sebagai

"...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for

an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu

mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga

negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam

masyarakatnya.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat terlihat bahwa sasaran dalam

pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan dalam suatu negara adalah warga

negara muda, atau anak muda. Dimana “anak adalah warga negara hipotetik,

Page 2: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

23

yakni warga negara yang “belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warga

negara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya” (Budimansyah, 2007:11).

Sedangkan Pendidikan Kewargamegaraan menurut NCSS dalam Numan

Somantri (2001:284) adalah :

Citizenship education is a process compresing all the positive influences which are intended to shape a citizen’s view this role in society. It comes partly from formal schooling, partly from parental influence and partly from learning outside the classroom and the home. Through Citizenship Education, our youth are helped to gain an understanding of our national ideals, the common good, and the process of self government.

Dari defenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa cakupan Pendidikan

Kewarganegaraan lebih luas, karena bahannya selain mancakup program sekolah

juga meliputi pengaruh belajar diluar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya

PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita

nasional /tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang

bertanggung jawab dalam menyelsaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara.

Selain itu, David Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4) dalam kajian

internasionalnya yang dilakukan bersama School Curriculum and Assessment Authority

(SCAA) melalui “National Foundation for Educationnal Research in England and Wales

(NFER)”, mendefinisikan secara operasional istilah “citizenship education” sebagai

berikut:

Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilties as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.

Page 3: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

24

Maksud dari pernyataan di atas bahwa “citizenship or civics education” atau

“Pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses

penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai

warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya

persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara

tersebut” (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4).

Dari kutipan diatas, dapat diketahui bahwa dalam studi tersebut,

“citizenship education” atau pendidikan kewarganegaraan “dilihat sebagai suatu

domain pendidikan yang bersifat multi dimensional dan tersebar secara

programatik dalam keseluruhan tatanan kurikulum” (Winataputra dan

Budimansyah, 2007:4). Karena PKn bersifat multi dimensional, maka bahan

kajian PKn itu meliputi seluruh aspek kehidupan warga negara di segala bidang.

Dimana aspek kehidupan warga negara tersebut diadaptasi ke dalam suatu tatanan

kurikulum yang terprogram secara teratur dengan harapan dapat memberikan

alternatif solusi bagi permasalahan yang dialami oleh warga Negara.

Sementara itu, Margaret S. Branson (1999:4) berpendapat bahwa “civic

education dalam demokrasi adalah pendidikan – untuk mengembangkan dan

memperkuat – dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government)”.

Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa “warga negara aktif terlibat

dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain

atau memenuhi tuntutan orang lain” (Branson,1999:4).

Page 4: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

25

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menurut PUSKUR (2007)

merupakan:

mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Sedangkan Kosasih Djahiri dalam Arnie Fajar (2003:670) mendefinisikan

PKn sebagai berikut:

PPKn sebagai bagian Pendidikan Ilmu Kewarganegaraan atau PKn dimanapun dan kapanpun sama/mirip ialah program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak didik menjadi warganegara yang baik, iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar dan mampu membina serta melaksanakan hak-hak kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat azas/ketentuan (rule of law), demokratis dan partisifatif aktif-kreatif-positif dalam kebhinekaan kehidupan masyarakat-bangsa-negara madani (Civil society) yang menjungjung tinggi hak azasi manusia serta kehidupan yang terbuka mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat, bangsa dan negaranya.

Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan sebagai pendidikan Ilmu Kewarganegaran merupakan suatu

bentuk pendidikan untuk membina warganegara agar menjadi baik, iman dan

takwa kepada Tuhan, memiliki nasionalisme yang kuat/mantap, sehingga dapat

menjadi modal yang kuat dalam membangun bangsa, selain itu dengan adanya

Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan anak didik sadar dan mampu membina

serta melaksanakan hak-hak kewajiban dirinya sebagai individu, warga

masyarakat dan bangsa negaranya dengan tetap menjunjung tinggi jadi diri

masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.

Page 5: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

26

Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS

yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik

dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut

(Somantri,2001:159):

Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS.

Lebih lanjut Numan Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa pengertian

dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah :

PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

Dari kutipan diatas, dinyatakan bahwa dengan adanya Pendidikan

Kewarganegaraan dapat menjadi sebuah usahan untuk membekalil peserta didik

untuk membentuk warga Negara yang dapat diandalkan baik oleh masyrakatnya,

bangsa dan Negara.

Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan Pendidikan

Kewarganegaraan (Somantri, 2001:158), antara lain:

a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.

b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu

Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan

negara serta sejarah perjuangan bangsa. f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS

Page 6: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

27

Beberapa unsur diatas merupakan unsur-unsur yang akan mempengaruhi

pengembangan pendidikan Kewarganegaraan. Dimana perkembangannya selain

dipengaruhi oleh disiplin ilmu, juga dipengaruhi oleh kegiatan dasar manusia,

disiplin ilmu social, disiplin ilmu penididkan yang pada akhirnya akan

mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS.

2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa. Dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tercantum mengenai

fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sebagai berikut:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Hal tersebut senada dengan apa yang menjadi tujuan Pendidikan

Kewarganegaraan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yaitu

sebagai berikut:

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama bangsa-bangsa lainnya.

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara lansung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Dari dua kutipan diatas, dapat diketahui bahwa sebenarnya Pendidikan

Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat mendukung

Page 7: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

28

pada tercapainya tujuan pendidikan nasional, dimana dalam tujuan PKn yang

dikemukakan oleh BSNP tersebut, peserta didik diharapkan memiliki kemampuan

berfikir kritis, rasional, dan kreatif. Sehingga diharapkan akan terbentuk peserta

didik yang memiliki tiga kemampuan kewarganegaraan, yaitu civics knowledge,

civics skills, dan civics disposition.

Namun, Secara umum menurut Maftuh dan Sapriya (2005:320),

menyatakan bahwa tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan

(PKn) adalah:

... agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air

Selain itu, Numan Somantri (2001:279) juga mengungkapkan bahwa

tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga

negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik,

toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis..., Pancasila

sejati”.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, ada beberapa kriteria tentang

warga negara yang baik sebagaimana yang dinyatakan oleh Stanley E. Dimond

dan Pflieger (Suriakusumah dkk, 1999:3.13), yaitu sebagai berikut:

1. The good citizen is loyal 2. The good citizen practices democratic human relationship

3. The good citizen tries to be an well adjusted person 4. The good citizen is learner 5. The good citizen is a thinker 6. The good citizen citizen is doer

Page 8: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

29

Sedangkan menurut Branson (1999:7) bahwa tujuan dari civic education

atau Pendidikan Kewarganegaraan adalah :

Tujuan civics education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik ditingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan (1) Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) Pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) Pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, dan (4) Komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi konstitusional Amerika

Branson mengemukakan bahwa tujuan dari adanya Pendidikan

Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan sikap partisipasi warganegara

dalam kehidupan demokrasi. Sehingga warga Negara memiliki kemampuan untuk

menjadi pemain atau actor baik dalam tataran local maupun nasional.

Menurut panduan pengajaran PKn dalam Fauzi (2003:26) disebutkan

bahwa tujuan PKn adalah:

1) Melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu bahwa nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.

2) Mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3) Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antar sesama warganegara, antar warganegara dan negara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara.

4) Membekali siswa dengan sikap dan prilaku yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Kosasih Djahiri (1995:120) tujuan PKn adalah

sebagai berikut :

Meningkatkan pengetahuan dan pengembangan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berprilaku

Page 9: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

30

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta member bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut.

Dari kutiapan diatas, menjadi inti dari tujuan PKn adalah memberi bekal

kepada warganegara agar menjadi warganegara yang bertanggungjawab, menuju

manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi negara

kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan landasan nilai-

nilai Pancasila baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka

harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi:

a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, concept dan generalisasi teori. b. Keterampilan intelektual:

1) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;

2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.

d. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Somantri, 1975:30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) concept dasar, generalisasi, concept atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

Page 10: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

31

3. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan yang termuat dalam proyek PKn &

BP Depdiknas (2000:21) adalah sebagai berikut :

a. Mengembangkan dan melestarikan nilai dan moral Pancasila secara dinamis dan terbuka. Dinamis dan terbuka dalam arti bahwa nilai dan moral yang dikembangkan mampu menjawab tatangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat.

b. Mengembangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dilandaskan Pancasila dan UUD 1945.

c. Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antar warganegara dan negara, antar warganegara dengan sesama warganegara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui serta mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dari fungsi PKn tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa PKn

merupakan salah satu alat untuk membentuk kemampuan, sikap, dan karakter

warganegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dimana warganegara

diarahkan agar mampu menjawab perubahan dan tantangan yang terjadi dalam

kehidupan masyarakat dunia, tanpa kehilangan jati diri bangsa Indonesia. selain

itu diharapkan terciptanya warga Negara yang memiliki kemampuan untuk

berpolitik, sadar akan konstitusi Negara Indonesia, serta memiliki kemampuan

untuk membina hubungan baik antar sesama, sehingga akan mampu

melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warganegara yang baik.

Sekjen Center for Indonesian Civic Education (CICED) Udin S Winataputra

(2007: tanpa halaman ), mengemukakan bahwa:

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan “salah satu wahana yang dapat dipergunakan untuk belajar hidup bersama dalam perbedaan. Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada

Page 11: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

32

bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, menunjukan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan

selain berfungsi sebagai wahana pembentuk warga Negara yang cerdas, terampil

dan berkarakter, juga berfungsi sebagai salah satu wahana pemersatu dalam

keragaman baik budaya, bahasa, agama, ras dan golongan.

Kosasih Djahiri (2007:18) mengemukakan bahwa PKn berfungsi sebagai

Pendidikan Nilai-Moral Pancasila dan UUD 1945 NKRI yang memiliki target

hasil belajar harapan sebagai berikut:

a. Klarifikasi nilai-moral (isi pesan) dan norma Pancasila serta konstitusi NKRI (tersurat dan tersirat).

b. Klarifikasi peringkat keberadaan sub.1. dalam diri dan astagatra kehidupan masyarakat dan bangsa-negara kita.

c. Internalisasai dan personalisasi Concept, Nilai, moral dan norma Pancasila secara nalar dan penuh keyakinan.

d. Pelatihan pelakonan pengalaman hal-hal di atas di sekolah, rumah, dan lingkungan sekitar serta kehidupan umum.

Dari kutipan diatas, dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan

berfungsi sebagai pendidikan nilai-nilai moral, dimana siswa diupayakan agar

mampu menginternalisasi dimulai dari concept, nilai, moral dan norma yang

terdapat dalam Pancasila dengan penuh keyakinan serta mampu

mengaplikasikannya baik dilingkungan sekoalah, rumah, dan dalam masyarakat.

Sebagai Pendidikan Politik, Suriakusumah dkk, (1999:10.28)

mengungkapkan bahwa:

PKn merupakan program pengajaran yang membina peserta didik menjadi warga negara Indonesia yang melek politik (political literacy), melek hukum dan konstitusi, melek dan peduli akan pembangunan, melek dan peduli akan masalah yang sedang dan akan dihadapi dirinya dan bangsa

Page 12: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

33

negaranya. Dalam fungsi perannya sebagai pendidikan politik, materi PKn ditopang oleh disiplin ilmu sosial seperti ilmu antara lain politik, hukum, sosiologi, psikologi sosial, dan ekonomi. Dengan demikian, melalui PKn warga negara diharapkan mampu melek

politik, mampu menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan politik dengan cerdas,

selain itu, diharapkan pula memiliki kemampuan untuk sadar serta mengetahui

akan hukum, dan konstitusi. Melalui PKn juga, diharapkan warga negara mampu

memposisikan dirinya sebagai warga negara yang berpartisipasi aktif dalam

bidang politik, hukum, dan dimensi kehidupan lainnya.

4. Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Tiga komponen penting dalam Pendidikan Kewarganegaraan menurut

Margaret S. Branson (1999:8), yaitu “Civic Knowledge (pengetahuan

kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic

Dispositions (watak-watak kewarganegaraan)”. Komponen pertama, Civic

Knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya

diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999:8). Aspek ini menyangkut

kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau

concept politik, hukum dan moral.

Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi

pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung

jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi,

lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan

Page 13: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

34

berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak,

konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills)

dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam

merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD.

Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan

kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas

terjadinya kejahatan yang diketahui.

Ketiga, Civic Disposition (Watak-watak kewarganegaraan), komponen ini

sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata

pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai

"muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan

visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai

dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang

bersifat afektif.

Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi

aspek-aspek sebagai berikut (Depdiknas, 2006:49) :

a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan Jaminan keadilan

b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan

Page 14: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

35

bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional

c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, Penghormatan dan perlindungan HAM

d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara

e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi

f. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

g. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka

h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesiadi era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

Lebih lanjut Murray Print (1999:12) mengungkapkan mengenai prinsip

utama yang harus dimiliki dalam Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:

The principal features of this ‘new’ civic education (Print,1996), sometimes called civics and citizenship education (CEG,1994) when related to a particular country, include:

• Rights and responsibilities of citizens; • Government and institutions; • History and constitution; • National identity; • Legal system and rule of law; • Human, political, economic and social rights; • Democratic principles and processes; • Active citizen participation in civic issues; • International perspectives; and • Values of democratic citizenship.

Page 15: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

36

B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran menurut pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 yaitu ” Proses

interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan

belajar.” Dalam hal ini, dinyatakah bahwa yang menjadi pusat perhatian dalam

pembelajaran adalah siswa (peserta didik), guru (peserta didik), sumber belajar,

dan lingkungan belajar.

Memperkuat pernyataan diatas, Kosasih Djahiri (2007:1) mengemukakan

bahwa, “pembelajaran secara prosedural, dilihat dari komponen/instrumental

inputs adalah proses interaksi/interradiasi antara kegiatan belajar siswa (KBS)

dengan kegiatan mengajar guru (KMG) serta dengan lingkungan belajarnya

(learning environments).” Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa yang

menjadi pusat perhatian pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pada siswa,

akan tetapi siswa, guru, dan lingkungan belajar (learning environments) harus

menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran. Sehingga akan terbentuk suatu

interaksi yang komunikatif antara guru dan siswa. Interaksi yang dimaksud di

dalam suatu pembelajaran adalah “interaksi edukatif”. Interaksi edukatif menurut

Surakhmad (1980:7) adalah “interaksi yang berlangsung dalam ikatan tujuan

pendidikan”.

Sebagai pembanding, pendapat Udin S. Winataputra (1997:14) yang

mengemukakan bahwa, “Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan

belajar yang terdiri dari komponen atau unsur: tujuan, bahan pelajaran, strategi,

alat, siswa dan guru.” Dari pengertian tersebut kita dapat mengetahui bahwa

Page 16: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

37

terdapat enam unsur penting dalam pembelajaran, yaitu: tujuan, bahan pelajaran,

strategi, alat, siswa, dan guru. “Semua unsur atau komponen tersebut saling

berkaitan, saling mempengaruhi; dan semuanya berfungsi dengan berorientasi

kepada tujuan” (Winataputra, 1997:16).

Hal ini, senada dengan apa yang diutarakan oleh, Hamalik (2001:57) yang

memberikan arti Pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi

unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling

mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Dari kutipan tersebut,

menyatakan bahwa yang mempengaruhi pembelajaran tidak hanya unsur

manusiawi (siswa dan guru), akan tetapi hal-hal lain yang berada disekitar pun

akan mempengaruhi (material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur).

Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik, maka pembelajaran

yang dilaksanakan haruslah merupakan pembelajaran yang bermutu dan ideal.

Charles B. Myers (Kosasih Djahiri, 2007: 23-24) berpendapat bahwa:

Proses pembelajaran yang ideal adalah proses KBS yang active – powerful (aktif dan berkekuatan) - demokratis dan humanistik serta menyenangkan. Aktif dan powerful karena bahan ajar, kegiatan, media dan sumber mampu mengundang, melibatkan dan memberdayakan (empowering) seluruh potensi diri dan lingkungan belajarnya serta mampu membina siswa menjadi independent and self-regulated learners.

2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Kerr (1999:16) dijelaskan bahwa

di negara-negara Asia Tenggara “citizenship education” lebih mencerminkan

kategori “ Minimal” sebagai education About citizenship, sementara itu di negara-

negara Eropa tengah, selatan, dan timur serta Australia dinilai berada ditengah

Page 17: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

38

kontinum sebagai education Through citizenship, sedangkan negara-negara di

Eropa Utara, Amerika Serikat dan Selandia Baru dinilai lebih mendekati titik

“Maksimal” sebagai education For citizenship.

Indonesia sebagai salah satu bagian dari Negara yang berada di kawasan

Asia Tenggara, termasuk dalam Negara yang berada pada kontium minimum. Hal

ini, diperkuat dengan apa yang diungkapkan oleh Winataputra dan Budimansyah

(2007:118) yaitu:

Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruiksional (Instructional effect) yang terbatas pada penguasaaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kkognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effect) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhaitan sebagaimana mestinya.

Hasil di atas diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Udin S.

Winataputra sebagaimana yang dikutip oleh Sapriya (2001:58) yang menunjukkan

bahwa adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada Pendidikan

Kewarganegaraan, salah satunya adalah keterisolasian proses pembelajaran dari

konteks keilmuan dan lingkungan sosial budaya.

Untuk itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu academic endeavor

(CICED:1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan disiplin

ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue

dan civic culture atau keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks

pengembangan civic intelligence dan civic participation (Quigley:1991,

Cogan:1999).

Page 18: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

39

Kondisi seperti ini, dipengaruhi oleh beberapa hal, tidak hanya

kemampuan mengajar yang dimiliki oleh guru, akan tetapi dipengaruhi pula oleh

rezim yang sedang memegang tampu kekuasaan di Negara kita, hal ini seperti apa

yang dikatakan oleh Djahiri CICED (1999: 56)

Pola prosedurnya pun, benar-benar terkontrol terkendali menjurus pada proses “penjinakan“ (domesticating) potensi dan kehidupan siswa/ masyarakat, jadi bukan kearah memberi kemudahan, kelancaran, berhasilan (facilitating) proses internalisasi, personalisasi substansi serta pembinaan dan pengembangan potensi diri atau kemampuan belajar (conditioning learning skills).

Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk strategi pembelajaran yang baru,

dimana pola atau strategi pembelajarannya bukan hanya belajar tentang hal ikhwal

materi Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga belajar ber-PKn atau

praktek, dilatih uji coba dan mahir serta mampu membakukan diri. Fungsi guru

tidak lagi sebagai orang inti di kelas, akan tetapi fungsi guru lebih diarahkan

sebagai fasilitator, seperti apa yang disampaikan oleh Djahiri (2002: 93), yaitu:

Guru hendaknya berperan sebagai fasilitator yang membelajarakan siswa melalui bahan ajar, sumber, media, dan lingkungan ajar bahkan melalui kegiatan evaluasinya. Proses ini akan berjalan mulus, mantap, mausiawi dan meggairahkan apabila semua komponen pengajaran (buku, bahan ajar, media, sumber dan polea evaluasi)a serta suasana belajar sesuai dengan kemauan siswa, sarat dengan kebermaknaan, demokratis serta mengundang dan mendorong mereka untuk terlibat.

Dari strategi yang diungkapkan diatas, apabila dapat dilaksanakan saat

pembelajaran Pendidiakan Kewarganegaraan, bukan tidak mungkin, siswa akan

merasa bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang paling

disukai, sehingga perbaikan baik secara kognitif, afektif serta psikomotorik siswa

sebagai indikasi pembelajaran, akan dapat dioptimalkan dengan baik.

Page 19: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

40

Strategi pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru,

menurut Djahiri (CICED, 1999:6) adalah sebagai berikut:

a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan aksesoris kelas/ sekolah), kondisional (suasana proses KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan)

b. Membiasakan/ membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas-sekolah-rumah- dan lingkungan belajar.

c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya.

Strategi seperti itu dioperasionalkan melalui berbagai metode seperti

ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving),

bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya

3. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Metode menurut Wesley (Somantri, 2001:301) diartikan sebagai “a

formalized or sistematized procedure for carrying on instruction”. Jadi metode di

sini diartikan sebagai prosedur yang sistematis untuk tujuan mengajar.

Disistematiskan mempunyai arti yang penting, karena “filsafat pendidikan,

psikologi, dan kurikulum harus dipola dalam metode mengajar” (Somantri,

2001:301).

Sedangkan metode menurut Hatimah (2003:29) adalah “ Langkah-langkah

operasional dari strategi pembelajaran yang dipilih dalam mencapai tujuan belajar,

sehingga sumber belajar dalam menggunakan suatu metode pembelajaran harus

disesuaikan dengan jenis strategi yang digunakan”.

Disisi lain Kosasih Djahiri (1985:28) menyebutkan bahwa “metode

merupakan kumpulan sejumlah teknik. Dan teknik adalah taktik atau cara kerja”.

Page 20: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

41

Dari dua kutipan pengeritan diatas, dinyatakan bahwa metode merupakan

suatu cara yang harus disesuaikan dari strategi yang telah dipilih, kemudian harus

dilaksanakan oleh guru dengan teknik-teknik tertentu. Hal ini dilaksanakan agar

materi dapat tersampaikan dengan optimal kepada siswa, sehingga tujuan yang

telah dirancang dapat tercapai dengan baik.

Untuk mencegah kemungkinan terburuk yang akan dialami ketika

pelaksanaan pembelajaran, maka guru harus memiliki dan menguasai berbagai

metode pembelajaran. Pemilihan metode tersebut hendaknya dilakukan dengan

berdasar kepada beberapa aspek, diantaranya adalah dengan memerhatikan aspek

kognetif, afektif, dan psikomotor. Karena ketiga aspek inilah yang harus diasah

oleh siswa. Terdapat berbagai metode pembelajaran, yaitu:

Tabel 2.1 Alternatif Metode Pembelajaran PKn

Kawasan Kognetif Kawasan Afektif Kawasan

Psikomotor 1. Ceramah murni/

lecturing. 2. Tanya Jawab 3. Diskusi 4. Studi Kepustakaan/

dokumenter 5. Ekspositori 6. Inkuiri 7. Studi Proyek 8. Simulasi 9. Catat dan tulis 10. Dll.

1. Bermain peran 2. VCT 3. Simulasi 4. Permainan/games 5. Studi Proyek 6. Tanya Jawab Nilai 7. Inkuiri Nilai 8. Percontohan/

Eksamploritorik 9. Pesertaan/

Partisipatorik 10. Sosio Drama 11. Dll.

1. Simulasi 2. Latihan 3. Percontohan/

Modeling 4. Demonstrasi 5. Studi Proyek 6. Sosio Drama 7. Karya Wisata 8. Inkuiri 9. Dll.

Sumber: (Kosasih Djahiri, 1985:55)

Beberapa penjelasan tentang metode pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan, yaitu:

a. Ceramah (lecturing)

Page 21: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

42

Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga

tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi,

yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam

pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif,

monoton dan bersifat normatif imperatif.

Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain:

1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah (lepas dari

benar – salah)

2) Merupakan kiprah umum bahkan “membudaya” di kalangan

perguruan/sekolah

3) Bersifat praktis, mudah, murah, dan cepat menyampaikan substansi

sehingga target waktu bisa dikejar

4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan

5) Tidak dapat membutuhkan persiapan pengembangan media

6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasikan isi atau pesan dalam bahasa

yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara

verbal

7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga

8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki

9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metode ini adalah:

a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain

b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan dan bicara

Page 22: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

43

10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum diungkap

sumber atau pihak lain.

Kelemahan metode ceramah, antara lain:

1) Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis

2) Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat

menyebabkan pembelajaran yang melelahkan, membosankan dan

mengantuk.

3) “melanggar” kemampuan daya belajar manusia, karena tidak semua siswa

mampu menyimak dan menangkap ‘pesan lisan’ serta menulisnya dengan

cepat

4) Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur menyebabkan

hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir, bereaksi dan berekspresi.

5) Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah satu

penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa.

b. Ekspositorik

Ekspositorik berasal dari kata ‘ekspose’ yang berarti menunjukkan,

memperagakan dan atau memperlihatkan. Metode belajar ekspositori adalah

metode belajar yang memperagakan sesuatu untuk menciptakan KBM dan

khususnya KBS yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru atau

pengajar.

Page 23: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

44

c. Metoda Pengajaran Concept (Teaching Concept)

Sebelum menggunakan metoda pengajaran concept, seorang pengajar

terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. A. Kosasih Djahiri

(1995/1996:44), bahwa:

1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik – non fisik, materiil – immateril, dan personal – kondisional.

2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu concept.

3) Concept adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi – pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, concept merupakan sesuatu yang memiliki ciri esensil tertentu.

d. Metoda Tanya Jawab

Metode tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi,

karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.

e. Partisipatori

Partisipatori sebagai metode dalam kegiatan belajar mengajar,

membelajarkan siswa mengenai kehidupan atau kegiatan nyata ataupun yang

simulatif. Sarana untuk berpartisipatorik adalah kehidupan keluarga atau

masyarakat, instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium, atau pusat

modeling. Jenis partisipatorik antara lain, studi lapangan, kegiatan bakti sosial,

magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek.

f. Diskusi dan Kelompok Belajar

Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar, yakni

demokratis. Metoda diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak

ada dominasi seseorang, memiliki indikator CBSA yang tinggi karena meminta

daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan

Page 24: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

45

sanggahan terhadap orang lain. A. Kosasih Djahiri (1995/1996:53)

mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik secara

intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan

kehidupan.

Ciri esensial dari diskusi, antara lain:

1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan

afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau

dengan dunia nyata serta keilmuan.

2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang

benar dan memiliki landasan), ada proses berproduksi dan berekspresi.

3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkan sesuatu

4) Adanya proses sosialisasi diri.

Bentuk-bentuk diskusi menurut A. Kosasih Djahiri (1995/1996:58), antara

lain:

1) Diskusi kelas 2) Diskusi kelompok 3) Diskusi panel 4) Seminar 5) Loka karya 6) Diskusi penjaring

Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan

kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. A. Kosasih Djahiri (1996:20),

mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran PKn

adalah kelompok belajar kooperatif”.

Page 25: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

46

Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok

belajar dan pola kegiatan kooperatif. Hakekat ini kooperatif ialah kebersamaan

dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan

kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, dalam arti

persaingan yang ada, tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.

g. Metoda Inkuiri dan Pemecahan Masalah

Kedua metode ini pada hakekatnya sama, perbedaannya bahwa dalam

metoda pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif

pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan

keputusan yang terbaik.

Keunggulan kedua metode ini menurut A. Kosasih Djahiri

(1995/1996:58), antara lain:

1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar 2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata 3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas 4) Mensosialisasikan siswa 5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar

Jenis inkuiri adalah inkuiri sederhana, lengkap dan nilai. Inkuiri sederhana

tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja,

yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap

merupakan metode khusus yang langkah dan prosesnya telah baku. Sedangkan,

inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang fokus substansinya pada nilai –

moral.

Page 26: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

47

4. Media Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Media pembelajaran menurut McLuhan (Djahiri,2002:95) yaitu “the

medium is the message” yang bermakna bahwa media merupakan wakil atau

mewakili isi pesannya. Selain itu, menuru Djahiri (2002), media adalah sesuatu

yang bersifat materil-imateriil ataupun behavioral atau personal yang dijadikan

wahana kemudahan, kelancaran seta keberhasilan proses dan hasil belajar.

Dari kedua pengertian diatas, dapat diketahui bahwa media ada untuk

menyampaikan materi agar lebih mudah diterima oleh siswa dan juga

memudahkan untuk guru dalam melangsungkan kelancaran porses dan hasil dari

pembelajaran.

Kosasih Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya

media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real

b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif – reaktif

c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan

keberhasilan pengajaran e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien

dan optimal f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar

Adapun jenis dan bentuk media, yang dapat digunakan saat proses

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Djahiri, 2002: 95), antara lain:

a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll) b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll c. Personal, yaitu tokoh, nama, foto, gambar tokoh/ pahlawan, nama tokoh

masyarakat , nama atau tokoh raja dan narasumber, serta lain-lain. d. Tradisional, yaitu suasana simulasi yang diciptakan sebelum atau pada

saat Porses Belajar Mengajar (di kelas atau di luar kelas maupun di tempat kejadian ).

e. Audio visual

Page 27: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

48

f. Gerak atau penampilan seperti simulasi, permainan (games)

Penggunaan media dalam Kegiatan Belajar Mengajar hendaknya

memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metode

pembelajaran yang akan digunakan.

5. Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam suatu proses pembelajaran, tidak dapat dihindarkan keberadaan

penilaian, karena dengan penilaian akan diketahui seberapa besar atau seberapa

jauh keberhasilan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti

pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan suatu bentuk penilaian yang ideal,

dimana prinsip yang diterapkan dalam penilaian seperti yang dikemukakan oleh

Wahab, et. al., (2000: 2.15), dibedakan kedalam menjadi dua sifat, yaitu prinsip

penilaian yang bersifat umum dan prinsip penilaian yang bersifat khusus. Yang

termasuk prinsip penilaian bersifat umum adalah: (1) menyeluruh, (2)

berkesinambungan, (3) berorientasi pada tujuan, (4) objektif, (5) terbuka, (6)

kebermaknaan, (7) kesesuaian dan (8) mendidik. Sedangkan yang termasuk

penilaian yang bersifat khusus, adalah (1) kepentingan siswa jauh lebih besar dari

pada guru, maksudnya pelaksanaan penilaian bobotnya lebih besar kepada

kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru, (2) hasil evaluasi tidak bersifat

final, (3) soal yang dikembangkan sebaiknya dimulai dari yang mudah, sedang

baru ke yang sukar.

Oemar Hamalik (2003: 159) berpendapat bahwa penilaian adalah

keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan,

Page 28: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

49

penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tengatang tingkat hasil

belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Disamping itu, terdapat beberapa hal yang perlu diterapkan dalam

penilaian PKn, seperti yang diungkapkan oleh A. Kosasih Djahiri (1995:53) yaitu:

a. Penilaian tidak hanya berfungsi untuk pengukuran tingkat keberhasilan belajar siswa melainkan juga tingkat keberhasilan/kegagalan mengajar, serta program reduksi, dan momentum membaca kualifikasi atau jati dirinya (siswa), keluarga dan lingkungan kehidupannya.

b. Penilaian jangan hanya diartikan THB/TPB atau ulangan yang cenderung administratif formal yakni mencari dan menentukan nilai/angka melainkan momentum pengukuran diri untuk reduksasi atau remedial.

Beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa penilaian adalah suatu

kegiatan pengukuran atas hasil belajar siswa, yang dapat digunakan oleh guru

untuk mengukur tingkat keberhasilan serta tingkat penguasaan belajar siswa,

dengan menggunakan prinsip dasar penilaian. Proses penilaian sendiri, tidak

hanya memiliki fungsi untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, akan tetapi

dapat pula mengukur tingkat kegagalan mengajar.

Sri Rumini (1991: 121) menambahkan bahwa terdapat beberapa fungsi

dalam pembelajaran, yaitu: (1) penilaian sebagai insentif untuk meningkatkan

belajar, (2) penilaian sebagai umpan balik bagi peserta didik, (3) peserta didik

sebagai umpan balik bagi guru, (4) penilaian sebagai informasi bagi orang tua,

dan penilaian sebagai informasi untuk keperluan seleksi

Sejalan dengan pandangan di atas, diungkapkan pula oleh Nana Sudjana

(2005: 3–4) bahwa penilaian berfungsi sebagai:

alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan Instructional (ketercapaian kompetensi), dengan fungsi ini maka penilaian harus mengacu kepada rumusan-rumusan tujuan Instructional (pengalaman belajar yang harus dicapai), (b) umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar, (c) dasar

Page 29: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

50

dalam menyusun laporan kemajuan siswa kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi dalam bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya.

Sedangkan Wina Sanjaya (2005: 183) membedakan dua fungsi penilaian,

yaitu fungsi sumatif dan penilaian dalam fungsi formatif. Penilaian dalam fungsi

sumatif, adalah: (1) sebagai laporan kepada orang tua siswa yang telah

mempercayakan kepada sekolah, untuk membelajarkan kepada putra/putri

mereka, (2) sebagai pertanggungjawaban (akuntabilitas) penyelenggara

pendidikan kepada masyarakat yang telah mendorong dan membantu pelaksanaan

pendidikan di sekolah. Sedangkan penilaian dalam fungsi formatif adalah sebagai

umpan balik tentang proses pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga melalui

informasi dari pelaksanaan penilaian, guru akan selalu memperbaiki proses

pembelajaran.

Penilaian yang dilaksanakan oleh guru dalam proses belajar mengajar,

merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi serta hasil

belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru untuk menetapkan tingkat

pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan dalam kurikulum. Maka tujuan penilaian yang dimaksud adalah untuk

mengetahui kemajuan belajar siswa, untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan

belajar siswa dan sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan

kegiatan belajar (Depdikbud, 1994: 41). Menurut Keputusan Mendiknas No.

012/U/2002, bahwa penilaian secara sistematis dan berkelanjutan bertujuan untuk:

(1) menilai hasil belajar siswa di sekolah, (2) mempertanggungjawabkan

penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, (3) mengetahui mutu pendidikan

Page 30: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

51

di sekolah. Penilaian akan lebih bersifat koreksi, jika bertujuan untuk

mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan atau kesulitan belajar siswa, dan

sekaligus memberi umpan balik yang lebih tepat (Nitko, 1996: 39). Diungkapkan

pula oleh Welton, et al., (1992: 289) bahwa dengan suatu penilaian dapat

mengetahui kualitas kinerja siswa, baik sosial maupun intelektual.

Selain itu, terdapat beberapa tujuan dari penilaian. Colin Conner (1991:

10) mengemukakan beberapa tujuan pokok penilaian yaitu: (1) memberikan guru

yang ada dan memungkinkannya untuk menetapkan hal yang harus dilakukan

selanjutnya, (2) memberi informasi kepada siswa tentang kemajuan mereka, (3)

memberi informasi kepada pihak lain tentang kemajuan masing-masing siswa

(misalnya: orang tua, guru berikutnya), (4) menyampaikan informasi kepada

umum

Nana Sudjana (2005: 4) menambahkan bahwa tujuan penilaian adalah: (1)

untuk mendiskripsikan kecakapan belajar siswa, sehingga dapat diketahui

kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai mata pelajaran yang ditempuhnya.

Dengan pendeskripsian kecapakan tersebut dapat diketahui tingkat perbedaan/

posisi kemampuan diantara siswa satu dengan yang lainnya, (2) untuk mengetahui

tingkat keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, dalam arti

seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa kearah

tujuan pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pengajaran

penting artinya mengingat peranannya sebagai upaya memanusiakan atau

membudayakan manusia, dalam arti menjadikan siswa sebagai manusia yang

berkualitas dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral dan ketrampilan, (3)

Page 31: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

52

untuk menentukan tindak lanjut hasil penilaian yaitu melakukan perbaikan dan

penyempurnakan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi

pelaksanaannya. Kegagalan para siswa dalam hasil belajar yang dicapainya

hendaknya tidak dipandang sebagai kekurangan pada diri siswa semata-mata,

tetapi juga bisa disebabkan oleh program pengajaran yang diberikan kepadanya

atau adanya kesalahan strategi dalam melaksanakan progran tersebut. Misalnya

kekurangan dalam memilih dan menggunakan metode mengajar dan alat bantu

pengajaran, (4) memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak

sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud adalah

pemerintah, masyarakat, dan para orang tua siswa. Guna

mempertanggungjawabkan hasil-hasil yang telah dicapaianya, sekolah

memberikan laporan berbagai kekuatan atau kelemahan pelaksanaan sistem

pendidikan dan pengajaran serta kendala yang dihadapinya. Laporan tersebut

disampaikan kepada pihak yang berkepentingan, misalnya: Kanwil Depdiknas,

melalui petugas yang menanganinya. Sedangkan pertanggungjawaban kepada

masyarakat dan orang tua disampaikan melalui laporan kemajuan belajar siswa

(rapor) pada setiap akhir program dan semester.

Suharsimi (2001: 10) mengemukakan, bahwa tujuan penilaian juga dapat

dilihat dari berbagai fungsi atau maksud dari penilaian yang dilaksanakan, yaitu:

(1) penilain berfungsi selektif, (2) penilaian berfungsi diagnostik, (3) penilaian

berfungsi penempatan, dan (4) penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan.

Adapun penilaian yang digunakah dalam pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan menurut Budimansyah (2004:15) adalah bentuk penilaian

Page 32: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

53

proses dan hasil. Penilaian proses dilakukan pada saat proses pembelajaran

berlangsung. Penilaian proses dilakukan pada saat proses pembelajaran

berlangsung. Hasil penilaian proses dipergunakan untuk memperbaiki proses

pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan penilaian proses adalah mencari umpan

balik (feedback) untuk memperbaiki pembelajaran yang sedang berlangsung.

Penilaian proses dapat dilakukan pada kegiatan intra dan ekstrakurikuler.

Selanjutnya kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah dkk, 2004

: 18 - 20).

1. Intrakurikuler

Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan belajar mengajar di kelas. Selama

berlangsungnya proses belajar mengajar perlu dilakukan penilaian proses yang

meliputi penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

a. Penilaian Kognitif

Penilaian kognitif untuk menilai proses belajar mengajar di kelas dapat

menggunakan tes formatif. Sebagai penilaian proses, tes formatif dapat digunakan

untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut

dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang sedang atau

sudah dilaksanakan.

b. Penilaian Afektif

Tipe proses belajar afektif berkenaan dengan minat dan perhatian terhadap

pelajaran, motivasi dan keinginan untuk berprestasi, penghargaan terhadap guru

dan teman sekelas, disiplin, dan hubungan sosial. Untuk menilai proses belajar

afektif dapat digunakan berbagai alat, di antaranya adalah Catatan Anekdot

Page 33: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

54

(Anecdotal Record). Catatan anekdot adalah catatan yang menggambarkan sikap

dan/perilaku seorang siswa atau sekelompok siswa dalam situasi apa adanya.

Gambaran ini diambil secara sistematis dan diharapkan tidak bercampur baur

dengan berbagai macam interpretasi.

c. Penilaian Psikomotorik

Tipe proses belajar psikomotorik berkenaan dengan perilaku dan

kebiasaan siswa belajar, misalnya perilakunya ketika bel masuk berbunyi,

kebiasaannya dalam mencatat bahan pelajaran, perilakunya pada saat guru

menjelaskan pelajaran, kebiasaannya pada waktu istirahat, dan sebagainya. Untuk

menilai proses belajar psikomotorik dapat digunakan berbagai alat, diantaranya

adalah Catatan Anekdot (Anecdotal Record).

2. Ekstrakurikuler

a. Penilaian Kognitif

Penilaian kognitif untuk menilai proses pembelajaran di luar kelas

(ekstrakurikuler) dapat menggunakan Daftar Ceklis Penguasaan Materi. Daftar ini

digunakan untuk mengecek tingkat penguasaan para siswa terhadap substansi

kegiatan ekstrakurikuler.

b. Penilaian Afektif

Penilaian proses belajar afektif dalam kegiatan pembelajaran

ekstrakurikuler berkenaan dengan minat dan perhatian terhadap kegiatan

pembelajaran, motivasi dan keinginan untuk menghasilkan karya yang bermutu,

penghargaan terhadap guru dan teman sekelas, disiplin, dan hubungan sosial. Alat

penilaian yang dapat digunakan adalah Daftar Ceklis Sikap Belajar.

Page 34: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

55

c. Penilaian Psikomotorik

Tipe proses belajar psikomotorik dalam kegiatan pembelajaran

ekstrakurikuler berkenaan dengan perilaku dan kebiasaan siswa bekerja

melakukan tugas-tugas, misalnya kebiasaan datang ke tempat kegiatan,

keseriusannya dalam mengerjakan tugas, kerjasama dalam kelompok, dan

sebagainya. Alat penilaian yang dapat digunakanadalah lembar observasi.

Untuk memperoleh data atau informasi sampai di mana pengusaan atau

pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama

jangka waktu tertentu, dilakukan hasil belajar (Budimansyah dkk, 2004:21).

Penilaian hasil dapat dilakukan pada kegiatan intra dan ekstrakurikuler.

Selanjutnya kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah dkk, 2004:

21 - 23).

1. Intrakurikuler

a. Penilaian Kognitif

Untuk menilai hasil belajar aspek kognitif digunakan tes sumatif, yaitu tes

yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan

atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya

selama jangka waktu tertentu. Fungsi dan tujuan penilaian sumatif ialah untuk

menentukan apakah dengan nilai yang diperolehnya itu seorang siswa dinyatakan

lulus atau tidak lulus. Alat penilaian sumatif untuk menilai penguasaan kognitif

yang lazim dipergunakan adalah tes.

Page 35: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

56

b. Penilaian Afektif

Tipe hasil belajar afektif berkenaan dengan sikap siswa pada waktu belajar

di sekolah, terutama pada waktu guru mengajar maupun setelah pelajaran selesai.

Salah satu teknik penilaian hasil belajar afektif adalah dengan skala sikap.

Penilaian hasil belajar afektif harus menjadi bagian integral dari penilaian

kognitif. Fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang siswa naik kelas

dan dinyatakan lulus dalam ujian.

c. Penilaian Psikomotorik

Tipe hasil belajar psikomotorik sebenarnya merupakan tahap lanjutan dari

hasil belajar afektif yang baru tampak dalam kecenderungan-kecenderungan untuk

berperilaku. Salah satu teknik penilaian hasil belajar psikomotorik adalah dengan

Daftar Gejala Kontinum. Penilaian hasil belajar psikomotorik harus menjadi

bagian integral dari penilaian kognitif dan afektif. Fungsinya sama seperti pada

penilaian afektif.

2. Ekstrakurikuler

a. Penilaian Kognitif

Penilaian kognitif untuk menilai hasil pembelajaran di luar kelas

(ekstrakurikuler) dapat menggunakan Daftar Ceklis Penguasaan Materi pada saat

gelar kompetensi. Daftar ini digunakan untuk menilai tingkat penguasaan para

siswa terhadap substansi pada saat gelar kompetensi.

Page 36: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

57

b. Penilaian Afektif

Penilaian hasil belajar afektif dalam kegiatan pembelajaran ekstrakurikuler

berkenaan dengan sikap para siswa yang dibentuk setelah proses pembelajaran

berlangsung. Alat penilaian yang digunakan adalah daftar skala sikap.

c. Penilaian Psikomotorik

Tipe hasil belajar psikomotorik dalam kegiatan pembelajaran

ekstrakurikuler berkenaan dengan perilaku kebiasaan siswa yang terbentuk setelah

melalui proses pembelajaran.

C. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

1. Kontinum Pendidikan Kewarganegaraan

Hasil kajian internasional tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang

dilakukan oleh “School Curriculum and Assessment Authority (SCAA)” melalui

“National Foundation for Educational Research in England and Wales (NFER)”

dengan salah satu tugasnya untuk mengadakan “international review of

curriculum and assessment framework” di 16 negara yakni: Australia, Kanada,

Inggris, Prancis, Jerman, Hungaria, Italia, Jepang, Korea, Belanda, Selandia Baru,

Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Amerika Serikat. Studi ini dirancang

untuk memperkaya pengertian dan wawasan para pengambil keputusan

pendidikan di Inggris tentang “citizenship education”, khususnya mengenai

“curriculum aims, organisation, and structure; teaching and learning

approaches; teacher specialisation and teacher training; use of textbooks and

other resources; assessment arangements; and current and future developments”

Page 37: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

58

(Kerr,1999:1), pada jenjang pendidikan anak usia lima belas sampai enam belas

atau delapan belas tahun, atau sama dengan pendidikan TK sampai dengan SMU.

Secara operasional istilah “citizenship education” dalam studi itu

didefinisikan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk

mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara

khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan

belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut.

Menurut penelitian Kerr ditemukan bahwa cara pengorganisasian

Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum di berbagai negara sampel

tersebut bervariasi mengikuti alternatif pendekatan, yitu:

1. Separate, dalam pendekatan “separate”, Pendidikan Kewarganegaraan

diajarkan sebagai suatu mata pelajaran atau suatu aspek. Dimana Negara-

negara yang menerapkan pengorganisasian seperti ini adalah Jepang,

Korea, dan Singapura untuk SD.

2. Integrated, dalam pendekatan “integrated”, Pendidikan Kewarganegaraan

diajarkan sebagai bagian dari suatu mata pelajaran terpadu “sosial

sciences” atau “sosial studies”, atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain,

pengorganisasian seperti ini dilaksanakan dibeberapa Negara, yaitu

Australia (semua tingkat), Kanada (semua tingkat), Perancis (semua

tingkat), Jerman (semua tingkat), Hongaria (semua tingkat), Italia (semua

tingkat), Jepang (semua tingkat), Negeri Belanda (semua tingkat),

Zelandia Baru (semua tingkat), Singapura (semua tingkat), Spanyol

Page 38: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

59

(semua tingkat), Swedia (semua tingkat), Swiss (semua tingkat), dan

USA:Kentucky (semua tingkat),

3. Cross-curricular. Dalam pendekatan Cross-curricular, Pendidikan

Kewarganegaraan tidaklah secara khusus sebagai suatu mata pelajaran atau

suatu topik, melainkan secara sistemik dimasukkan ke dalam keseluruhan

tatanan kurikulum dengan memasukkannya ke dalam mata pelajaran yang

ada. Pengorganisasian seperti ini hanya dipraktekkan di Negara Inggris.

Selain itu, ditemukan pula bahwa perbedaan yang terjadi dibeberapa

Negara, dipengaruhi oleh beberapa hal (Kerr: 1999:5-7), yaitu:”historical

tradition, geographical position, socio-political structure, economic system, and

global trends”. Yaitu “sejarah suatu Negara, letak geografis Negara, struktur

social-politik negara, system ekonomi dan trend global”

Temuan lain dari hasil penelitian David Kerr adalah “citizenship education

continum” MINIMAL dan MAKSIMAL (Kerr,1999:14). Lebih lanjut

pengelompokkan tersebut dapat kita lihat pada bagan di bawah ini:

MINIMAL

___________________ MAXIMAL

Thin ___________________ thick Exclusive ___________________ inclusive Elitist ___________________ activist civics education ___________________ citizenship education Formal ___________________ participative contentt led ___________________ process led knowledge based ___________________ values based

didactic transmission ___________________ interactive

interpretation

easier to achieve and measure in practice

___________________ more difficult to achieve and measure in practice

Bagan 2.1 Citizenship education continuum (David Kerr, 1999:14)

Page 39: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

60

Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh “thin, exclusive,

elitist, civics education, formal, contentt led, knowledge based, didactic

transmission, easier to achieve and measure in practice (Kerr, 1999:14)”.

Maksudnya adalah “didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi

tertentu, bentuk pengajaran kewarga-negaraan, bersifat formal, terikat oleh isi,

berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya

mudah diukur”(Winataputra dan Budimansyah,2007:5-6).

Sedangkan yang bersifat maksimal ditandai oleh “thick, inclusive, activist,

citizenship education, participative, process led, values based, interactive

interpretation, more difficult to achieve and measure in practice” (Kerr, 1999:14).

Maksudnya adalah:

Didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label ”citizenship education”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar (Winataputra dan Budimansyah,2007:6).

a. Isi Pendidikan Kewarganegaraan (Knowledge Based- value based)

1. Knowledge Based

David Kerr menerjemahkan Knowledge based (1999:7) sebagao

Pendidikan Kewarganegaraan yang hanya mencakup kemahiran pengetahuan dan

pemahaman saja. Dimana pembelajaran PKN hanya dibelajarkan pada ranah

kognitif saja. Menurut Bloom indikator dari ranah kognitif itu sendiri adalah

kemampuan yang mencakup :

Page 40: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

61

Tabel 2.2 Kawasan Kognitif dan taksonominya

TAKSONOMI KATA KUNCI TUJUAN

C1 pengamatan/ perseptual - dapat menunjukan/membandingkan

C2 hafalan/ingatan - dapat menyebutkan/ menjunjukan lagi

C3 pengertian/pemahaman - dapat menjelaskan/ mendefinisikan dengan kata-

kata sendiri

C4 aplikasi/ penggunaan - dapat memberikan contoh/menggunakan dengan

tepat

C5 analisis - dapat menguraikan / mengklasifikasikan

C6 sintesis - dapat menghubungkan/ menyimpulkan

C7 evaluasi - dapat memberikan kritik/ memberikan

pertimbangan

Djahiri (1985:14)

2. Value based (berbasis pada nilai/value).

Value menurut Jack R. Fraenler (1997) merupakan idea atau concept yang

bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan sesoringa atau dianggap penting oleh

seserang. Dan biasanya mengacu pada estetika (keindahan), etika (pola laku

lampah), dan logika (benar salah) atau keadilan. Dalam bukunya Djahiri (1985),

istilah nilai disamakan dengan afekitif. Dimana menurut Bloom indikator dari

ranar afektif ini adalah kemampuna yang mencakup:

Tabel 2.3 Kawasan Afektif dan Taksonominya

A1 penerimaan - bersikap menerima/menyetujui atau

sebaliknya

A2 sambutan - bersedia terlibat/berpartisipasi

A3 penghargaan/apresiasi - memandang penting/ bernilai

A4 internalisasi/pendalaman - mengakui/ mempercayai/ meykini

A5 karakterisasi - membiasakan/ melembagakan

Djahiri (1985:15)

Page 41: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

62

b. Penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan (Exclusive- inclusive)

1. Exclusive

Diartikan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan tidak dikaitkan dengan

ilmu-ilmu social yang lain yang relevan dengan materi pokok yang diajarkan.

(Kerr :1999). Dimana ciri-ciri atau indikator dari PKN yang bersifat exclusive,

menurut Soemantri (2001:307) yaitu:

a. Bahan pelajaran tidak diambil dari disiplin ilmu sosial

b. PKN tidak diajarkan dengan memperhatikan bahan ajar yang diambil dari

lingkungan masyarakat

c. PKN kurang mampu untuk melihat respon siswa baik formal dan informal

contentt.

2. inclusive

Diartiakan bahwa PKN merupakan ilmu pengetahuan sosial atau studi

sosial yang dihubungkan dengan subjek dan area kurikulum lainnya sehingga ilmu

sosial dapat mendukung mata pelajaran PKN. Dengan demikian, memberikan

jalan untuk PKN yang lebih khusus dalam kurikulum (Kerr, 1999:29). Adapun

ciri-ciri atau indikator dari PKN yang bersifat inclusive, dapat dilihat dari

penjelasan Paul R. Hanna dan Jhon R. Lee (Suriahkusumah, 1992:36) yaitu:

a. Bahan pelajaran PKN diambil dari disiplin ilmu sosial

b. PKN diajarkan dengan memperhatikan bahan ajar yang diambil dari

lingkungan masyarakat

c. PKN mampu melihat respon siswa baik formal dan informal contentt

.

Page 42: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

63

c. Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( didactic transmision-

interactive interpretation).

1. Didactic Ttransmision

Menurut Kerr (1999:14-15) diartikan sebagai Pembelajaran yang menitik

beratkan pada proses pengajaran. Salah satu indikasinya, bahwa dalam proses

pembelajaran PKN tidak seharusnya memposisikan peserta didik sebagai

pendengar ceramah guru atau dosen (Budimansyah, 2004:4). Dimana karakteristik

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat didactic transmission

menurut David Kerr (1999:15) adalah :

a. Pengajaran berpusat pada guru,

b. pengajaran hanya terbatas di kelas

c. kelas dijadikannya sebagai media yang dominan, serta

d. terdapat sedikit kesempatan atau dukungan untuk inisiatif dan interaksi

siswa”

2. interactive interpretation

Diartikan bahwa proses pembelajaran PKN menitikberatkan pada

partisipasi siswa melalui pencapaian konten dan proses interaktif di dalam

maupun di luar kelas (Kerr, 1999). PKN hendaknya merupakan sebuah kombinasi

dari partisipasi, kooperatif dan usaha untuk mendorong usaha ingin tau siswa,

Winataputra,(2007). Selain itu, Charles B. Myers (dalam Kosasih Djahiri,

2007:23-24), mengatakan bahwa proses pembelajaran PKN yang ideal adalah

proses KBS yang active dan powerful karena bahan ajar, kegiatan, media dan

sumber mampu mengundang, melibatkan dan memberdayakan seluruh potensi

Page 43: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

64

dan lingkungan belajarnya serta mampu membina siswa menjadi independent dan

self-regulated leaners.

Dari urayan diatas, dapat ditarik beberapa ciri dari penilaian PKN yang

interactive interpretation, adalah:

a. adanya proses pembelajaran PKN yang partisiparif

b. adanya proses pembelajaran PKN yang kooperatif

c. adanya proses pembelajaran PKN yang mendorong siswa untuk ingin tau.

d. Terdapatnya bahan ajar, kegiatan, media dan sumber yang mengundang,

melibatkan dan memberdayakan seluruh potensi dan lingkungan belajar

siswa.

d. Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan (easier to achieve and measure in

practice- more difficult to achieve and measure in practice)

1. easier to achieve and measure in practice

Menurut Kerr (1999:14) diartikan sebagai hasil dari Penilaian PKN mudah

untuk diukur. Diungkapkan oleh Budimansyah (2004:7), bahwa “Pembelajaran

dan penilaian PKN lebih menekankan pada dampak Instructional yang terbatas

pada penguasaan materi atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi

kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi afektif dan psikomotorik

serta perolehan dampak pengiring sebagai hidden curriculum belum mendapatkan

perhatian”.

Page 44: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

65

Dari uraian diatas, dapat dilihat beberapa ciri dari indicator easier to

achieve and measure in practice, yaitu:

a. penilaian PKN lebih menekankan pada dampak insturksional yang terbatas

pada penguasaan materi atau dimensi kognitif saja

b. penilaian dimensi afektif dan psikomotorik belum optimal.

c. Belum diperhatikannya dampak pengiring sebagai hidden curriculum.

2. more difficult to achieve and measure in practice

Diartikan bahwa penilaian hasil dalam PKN lebih sukar dicapai dan

diukur, karena kompleknya hasil belajar (Kerr, 1999:14). Agar diperoleh hasil

belajar yang objektif dalam pengertian menggambarkan prestasi dan kemampuan

siswa sebagaimana adanya, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian

dan sifatnya komprehensif, maksudnya segi atau abilitas yang dinilainya tidak

hanya aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik (Sudjana, 2005:8).

Selain itu, menurut Budimansyah (2004:5) bahwa “penilaian dalam PKN harus

menerapkan prinsip penilaian porses dan Hasil”.

Dimana penilalian proses ialah upaya pemberian nialai terhadap kegiatan

pembelajaran yang dilakukan oelh guru da perserta didik, sedangkan penilaian

hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang

dicapai dengan menggunakan criteria tertentu. Hasil belajar tersebut pada

hakikatnya merupakan pencapaina kompetensi-kompetensi yang mencakup aspek

pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam

kebiasaan berfikir dan bertindak.

Page 45: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

66

Dari uraian diatas, dapat beberapa ciri dari indicator more difficult to

achieve and measure in practice , yaitu:

a. Aspek penilaian tidak hanya ranah kognitif akan tetapi ranah afektif serta

psikomotorik juga

b. Prinsip penilaian PKN tertuju pada bentuk penilaian proses dan Hasil.

2. Pendidikan Kewarganegaraan di Beberapa Negara Asia Dan Afrika

a. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara Pakistan

Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dan

umumnya sistem pendidikan di Pakistan tidak dapat dipisahkan dari konteks

sejarah politik dari Negara tersebut. Dean (2000:75-96) membagi periode sejarah

politik Negara Pakistan kedalam enam periode, yiatu: periode 1947-1958; periode

1971-1977; periode 1977-1988; periode 1988-1999; dan periode 1999- sekarang

Selain itu, sistem pendidikan nasional Pakistan juga tidak dapat dipisahkan

dari konflik antara yang menginginkan Islam sebagian dasar dan tujuan

pendidikan nasional, dan yang menghendaki nilai-nilai sekuler demokrasi liberal.

Dalam perkembangannya, kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar

sistem pendidikan Nasional menjadi kelompok dominan dan menentukan

kurikulum, materi dan arah pendidikan di Pakistan.

Sebagai sebuah Negara pascakolonial, Pakistan mengakui peran penting

civic education dalam pembentukan warga Negara yang patriotik. Secara

paradoksial, sebagimana kurikulum civic education di sekola-sekolah pemerintah

yang menekankan pembentukan sebuah identitas warga Negara Muslim, ia juga

Page 46: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

67

telah menghindari transmisi nilai-nilai universal demokrasi seperti kebebasan

individu, kesetaraaan jender, pemikiran kritis, dan menghormati keragaman

agama dan cultural. Maka Pakistan menderita kehilangan yang tak dapat

diperbaiki: Pakistan terbagi menjadi dua Negara, kehilangan persatuan nasional

(Ahmad, 2004a: 12).

Lebih lanjut Ahmad (2004a:13) menjelaskan adanya empat aspek untuk

melihat konteks perkembangan civic education di Pakista, yaitu: Negara-bangsa

yang militeristik, keadaan darurat perang dingin, ekstrimisme agama, dan

feodalisme. Tanggunjawab utama pendidikan kewarganegaraan di sekolah

Pakistan berada pada mata pelajaran-mata pelajaran seperti civic, Pakistan studies,

dan global studies. Untuk siswa menengah, ketiga mata pelajaran itu wajib

ditempuh sebagai bagian dari pelajaran sejarah Pakistan yang bersifat teoritis dari

kerangka “ideologi Islam” (Setiawan, 2007: 73)

Pada tahun 2002 Pemerintah Pakistan melalui kementerian Pendidikan,

telah menerbitkan kurikulum nasional untuk mata pelajaran Civics untuk kelas IX

hingga XII. Sebelumnya, kajian civics termasuk bagian dari pelajaran social

studies. Mata pelajaran tersebut merupakan bagian dari kurikulum nasional

sebagai hasil akumulatif dari berbagai dokumen, seperti Proceedings Of The

Pakistan Education Conference (1947), Repport Of National Education (1959),

The New Education Policy ()1972-1980, National Educational And

Implementation Programme (1979) (Dean, 2000; 87-96)

Kurikulum serta bahan ajar Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah-

sekolah sangat dipengaruhi pemrintahan militer Pakistan. Pengaruh yang sangat

Page 47: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

68

kuat ini, berdampak pada kultur kelas civic education. Dimana model pendidikan

di sana, menggunakan model pendidikan Madrasah, yang cenderung

menggunakan pendekatan bank. Pembelajaran lebih banyak menyimpan dan

menghafal informasi-informasi yang diberikan oleh guru di kelas. Guru hanya

membacakan satu bab dari buku teks dan memberikan siswa pertanyaan untuk

dijawab (Dean, 2000: 242-243).

b. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara Jepang

Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminology

social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi

pada pengalaman, pengetahuan, dan kemamupan warga Negara berkaitan dengan

upaya untuk membangun bangsa Jepang.

Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat dilihat setelah

perang dunia kedua (1945). Pada masa itu, pendidikan menjadi pusat perhatian

dari pemerintah (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan telah bergeser dari penekanannya dari pendidikan untuk para

warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu social yagn terkait dengan uupaya

untuk membangun bangsa Jepang, kea rah Pendidikan Kewarganegaraan untuk

semua warganegara (Ikeno, 2005:93)

Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia kedua dapt

digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93), yaitu: “periode pertama, pada

tahun 1947-1955 yang memiliki orientasi pada pengalaman, periode kedua tahun

Page 48: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

69

1955-1985, yang berorientasi pada pengetahuan, dan periode ketiga pada tahun

1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.

Dimana landasan pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang

tidak dapat dilepaskan dari concept warganegara (komin, citizen) dan

Kewarganegaraan (citizenship). Otsu (1988:53), menjabarkan bahwa hubungan

antara citizen dan citizenship di Jepang dapat memiliki arti luar dan dapat

digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda.

Pada tahun 1970, Kementrian Pendidikan menggambarkan Tujuh inti

Pendidikan Kewarganegaraan Jepang, yaitu:

1. To develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the

principle of sovereignty. Maksudnya adalah untuk mengembangkan

kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah Negara dan

prinsip kedaulatan.

2. To develop a concept of local community and the state and ways in which

the individual can contribute to the work of the community and the state.

Maksudnya adalah untuk mengembangkan suatu concept tentang

masyarakat lokal dan Negara serta cara bagaimana setiap individu dapat

berkontribusi dalam suatu pekerjaan di masyarakat dan Negara.

3. To appreciate rights and responsibilities duties of the individual in the

community and wider society, maksudnya untuk menghargai hak dan

tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan

masyarakat yang lebih luas.

Page 49: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

70

4. To develop an ability to act positively in relation to rights and duties,

maksudnya untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara

positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban.

Selain itu, teknis yang digunakan, pendekatan yang dikembangkan, dan

jumlah jam perminggu, baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan

menengah terdapat dalam tabel berikut ini (Kerr, 1999; Winataputra, 2007)

Tabel 2.4. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase

Coutry Terminology Approach Hour per week

Japan Social studies, living experiences and moral education

Statutory core separate and integrated

175 x 45 minutes per year

Kerr (1999:18)

Dari tabel diatas dapat dijabarkan bahwa di Jepang terminology yang

digunakan adalah Social studies, living experiences and moral education.

Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai

materi inti yang terintegrasi atau berdiri sendiri. Dengan beban belajar perminggu

adalah 175 x 45 menit per tahun.

Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan

lanjutan pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.5. Organization of Citezenship Education in the Lower and Upper Secondary Phase

Coutry Terminology Approach Hour per week Japan Social studies, living

experiences and moral education

Statutory core integrated and specific

175 x 45 minutes per year (grade 7 & 8) 140 x 50 per year (grade 9) 140 x 50 minutes per year (upper secondary)

Kerr (1999:19)

Page 50: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

71

Untuk sekolah lanjutan pertama dan atas, kedudukannya bersifat wajib

yang dikemas sebagai materi inti yang terintegarasi atau berdiri sendiri. Beban

belajar per minggu adalah: 175 x 45 menit per tahun bagi tingkat 7 & 8. Serta 140

x 50 menit pertahun untuk tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x

50 menit pertahun.

Sedangkan isi kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan pada sekoalah

menengah terdiri atas:

1. Contemporary social Life (kehidupan social kontemporer)

2. Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional

dan ekonomi)

3. Democratic government and international community (Pemerintahan

demokratis dan masyarakat internasional)

Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan

sub mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit

dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri dari : masyrakat kontemporer

(4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2 jam).

c. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara China

Pendidiakn Kewarganegaraan (civic education) khas Cina terletak secara

melekat dalam bentuk pendidikan moral. Pendidikan moral ini berkaitan erat

dengan sistem politik di Cina. Menurut On Lee dan Chi Hang Ho (2005:413)

serta Limin Bai (1998: 5250, istilah Pendidikan moral (daode jiaoyu) disebut juga

dengan istilah pendidikan ideology (sixiang jiaoyu) atau pendidikan politik

(zengzhi jiaoyu).

Page 51: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

72

Pendidikan Kewarganegaraan di China menjadi sesuatu yang sangat

esensial sebagai alat sosialisasi politik, dan mentrasmisikan nilai-nila ideologi dan

politik, tidak hanya kepada para siswa, tetapi pada masyarakat luas (Lee dan Ho,

2005: 413). Hal ini terlihat dari dokumen yang dikeluarkan oleh partai Komunis

Cina (1988), Notice on Reforming and Sterngthening the Moral Education Work

in Secondary and Primary Schools, dinyatakan bahwa “moral education is

ideological and political the school” (Lee dan Ho, 2005:413), maksudnya adalah

pendidikan moral mencerminkan perubahan politik.

Keberadaan pendidikan Kewarganegaraan dalam bentuk pendidiakn

moral di sekolah-sekolah Cina dimulai pada tahun 1949, dimana kurikulumnya

disekolah tidak lengkap, terlalu abstrak dan terlepas dari kehidupan social serta

bentuk pedagoginya menekan inisiatif, kreativitas dan kompetensi siswa serta

bentuk evaluasi menekankan pada aspek kognitif. Sehingga pada tahun 1992

terjadi reformasi pendidikan Kewarganegaraan yang sifatnya lebih terbuka (Zhan

Wansheng dan Ning Wujie, 2004:512). Dimana kurikulum terbaru hasil dari

reformasi tersebut dijelaskan dalam Tabel 3. Pada bagian lain, di Tabel 4, dapat

dicermati bagaimana hubungan antara tahap-tahap perkembangan social dan

tujuan serta isi materi mata pelajaran ideology dan Moralitas di sekolah

menengah Pertama.

Page 52: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

73

Tabe 2.6. Kurikulum Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Pertama China 1977-1992.

Grade One Age 12-13 Grade Two Age 13-14 Grade Three Age 14-

15

1977-79 Brief History of Social Development

Scientific Socialism

1980-85 Youth and Adolescent Development

Brief History of Social Development

Legal Knowledge

1986-92 Citizenship Brief History of Socia

Development knowledge of Building

Socialism in China

1992 Ideology and Politics for junior High School

Ideology and Politics for Junior High School

Ideologi and politics for Junior High School History of social Development and national

Sumber: Zhan Wansheng dan Ning Wujie, 2004: 513

Tabel 2.7. Hubungan antar tahap-tahap perkemabangan social dan tujuan serta isis materi mata pelajaran Ideologi dan Moralitas di sekolah menengah pertama.

Mental Health Morality Law National Conditions Growing self

knowing Self-esteem and self-encouragement

Legal learning and application

Cultural identitiy/ commitment to Chinese culture

Relation berween self and others

Communication and understanding

Morality in communication

Rights and obligation

Common ideals

Relations between self, collective, state and society

Positive attitudes towards social development and progress

Responsibility to the Motherland, society and Natural environment

Law and social order

Understand National Conditions and love china

PRCMOE, 2003 (dalam Zhan Wansheng dan Ning Wujie, 2004:519)

Zhu Xiaoman dan Liu Cilim (2004) menyatakan bahwa secara umum ada

dua pendekatan pengajaran moral di sekolah-sekolah Cina. Pertama, pendekatan

pengajaran dengan berbasis mata pelajaran (Subject-based moral education).

Pendekatan ini menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral tersendiri, dimana guru-

guru khusus mengajar tentang ideology, politik, hukum, moralitas dan kesehatan

mental, sebagaimana kurikulum mata pelajaran lainnya. Kedua pendekatan

Page 53: S PPK 050313 Chapture3a-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050313_chapture...bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara

74

pengajaran melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler (Extra-curricular

activities). Kegiatan ekstra-kurikuler ini dilakukan dalam bentuk morning

meeting, class meeting, atau kegiatan-kegiatan partai, Youth League (liga pemuda)

dan Young Pioneers (pemuda pelopor). Kegiatan ekstra-kurikuler ini dirancang,

direncanakan, dikoordinasikan dan diawasi oleh organisasi di bawah Partai

Komunis Cina, Youth League (Liga Pemuda) dan Young Pioneers (Pemuda

Pelopor) sama seperti guru-guru kelas (Xiaoman dan Cilin, 2004: 481-404).

Oleh karena itu, di Cina model pendekatan pendidikan yang digunakan

dan dikembangkan bersifat indoktrinatif dan sarat akan ideologi partai penguasa.

Sikap kritis sangat tertutup dikembangkan dalam pendidikan kewarganegaraan di

bawah sisem politik otoriter.

d. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara Afrika Selatan.

Di Afrika Selatan “Citizenship” diajarkan secara khusus dalam mata

pelajaran “life Orientation” dan secara terintegrasi diajarkan dalam mata pelajaran

“ Human and social Sciences (HSS)”, Language and Communication, and

Economi and Management. Semua mata pelajaran tersebut diajarkan di semua

tingkat. (Winataputra dan Budimansyah, 2007:127).