40
Pengantar Ilmu Ad-Dilalah Oleh : M Nur, Lc A. Prolog Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap disiplin ilmu tidak serta-merta lahir dengan kesempurnaan laiknya manusia yang mengalami pertumbuhan dari satu fase ke fase lainnya. Demikian juga dengan disiplin ilmu 'Ilmu Ad-Dilalah' yang notabenenya merupakan bagian dari disiplin ilmu 'Ilmu Al- Lughah' mengalami hal yang sama dalam kemunculannya di tengah kerumunan para saintis bahasa. Bermula dari adanya perselisihan antara saintis bahasa yang masih dan senantiasa mempertahankan paham al-ashalah [kemurnian dan keaslian] dan saintis mu'asharah yang ingin melihat adanya perubahan dalam bahasa Arab. Selanjutnya, saintis teloran baru ini berusaha menembus aral dalam penelitian kebahasaannya tanpa menoleh ke arah kemurnian dan kekhususan daya fikir dan daya ucap bahasa Arab. Hasilnya, mengakibatkan kerancuan pengetahuan antara turats arabi ilmi dan kebutuhan ilmiah lughawiah. Olehnya, jikalau kita ingin mendasarkan suatu pemikiran arab mua'sharah yang menggeluti pembahasan bidang bahasa, tentunya kita mesti menghilangkan pemikiran secara lughawi terhadap turats; menelitinya; mengklarifikasi bahasannya dan memilah nilai-nilai positif dan negatifnya dalam cakupan standar tingkatan tema dan metode. Namun hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan melihat kembali sejarah pemikiran arab –secara umum- dan pemikiran bahasa –secara khusus- dan pastinya tuk kembali ke sana ada begitu banyak jalan yang mesti kita lewati dan lalui, kita mesti mengetahui sejarah perkembangan bahasa dalam pemikiran arab. Hal ini tentunya tidak akan terlepas dari beberapa disiplin ilmu lain yang tanpa disadari berhubungan langsung dengan bahasa. Dan pada akhirnya, kita dapat menjaga kemurnian dan keaslian turats, disamping mengetahui metode pemikiran yang layak dan pantas dipergunakan dalam pembahasan kebahasaan. Dan hasilnya, lahirlah teori daya ucap arab yang berbasis mu'asharah dan

Documents

Embed Size (px)

Citation preview

Pengantar Ilmu Ad-Dilalah

Oleh : M Nur, Lc

A. Prolog

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap disiplin ilmu tidak serta-merta lahir dengan kesempurnaan laiknya manusia yang mengalami pertumbuhan dari satu fase ke fase lainnya. Demikian juga dengan disiplin ilmu 'Ilmu Ad-Dilalah' yang notabenenya merupakan bagian dari disiplin ilmu 'Ilmu Al-Lughah' mengalami hal yang sama dalam kemunculannya di tengah kerumunan para saintis bahasa. Bermula dari adanya perselisihan antara saintis bahasa yang masih dan senantiasa mempertahankan paham al-ashalah [kemurnian dan keaslian] dan saintis mu'asharah yang ingin melihat adanya perubahan dalam bahasa Arab. Selanjutnya, saintis teloran baru ini berusaha menembus aral dalam penelitian kebahasaannya tanpa menoleh ke arah kemurnian dan kekhususan daya fikir dan daya ucap bahasa Arab. Hasilnya, mengakibatkan kerancuan pengetahuan antara turats arabi ilmi dan kebutuhan ilmiah lughawiah.

Olehnya, jikalau kita ingin mendasarkan suatu pemikiran arab mua'sharah yang menggeluti pembahasan bidang bahasa, tentunya kita mesti menghilangkan pemikiran secara lughawi terhadap turats; menelitinya; mengklarifikasi bahasannya dan memilah nilai-nilai positif dan negatifnya dalam cakupan standar tingkatan tema dan metode. Namun hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan melihat kembali sejarah pemikiran arab –secara umum- dan pemikiran bahasa –secara khusus- dan pastinya tuk kembali ke sana ada begitu banyak jalan yang mesti kita lewati dan lalui, kita mesti mengetahui sejarah perkembangan bahasa dalam pemikiran arab. Hal ini tentunya tidak akan terlepas dari beberapa disiplin ilmu lain yang tanpa disadari berhubungan langsung dengan bahasa. Dan pada akhirnya, kita dapat menjaga kemurnian dan keaslian turats, disamping mengetahui metode pemikiran yang layak dan pantas dipergunakan dalam pembahasan kebahasaan. Dan hasilnya, lahirlah teori daya ucap arab yang berbasis mu'asharah dan mampu memberikan kontribusi bagi pemikiran manusia yang kian lama kian mengalami perkembangan.

Teori daya ucap arab ini tidak akan ada jikalau kita tidak menggabungkan antara teori daya ucap barat dan daya ucap arab sehingga menghasilkan teori daya ucap arab yang bersifat mu'asharah. Dan dalam penggabungan keduanya ini, ada satu hal yang patut kita ingat, yaitu corak pemikiran arab. ”Sebab untuk memahami metode arab pada setiap disiplin ilmu turas, mesti mengaitkannya dengan kehidupan pemikiran orang arab, disamping mengenal corak berifikir orang arab secara umum yang tumbuh, berkembang dan mengakar dalam naungan AlQur'an. Sebagaimana diketahui bahwa para pemikir Islam dalam menyikapi setiap cabang suatu disiplin ilmu mereka terlebih dahulu memulainya dengan praktek sebelum meletakkan dasar-dasar metode dan teori. Sebagai contoh, membaca AlQur'an dengan cara talaqqi dan musyaafahah adalah jauh lebih dahulu keberadaanya dibandingkan dengan orang yang menyusun buku panduan dan metode membaca AlQuran secara baik dan benar ...”.

Jikalau proses ini telah terealisasi dalam cakupan keilmiahan metodenya, maka sudah barang tentu akan terlahir pemikiran daya ucap baru yang dapat menginterpretasikan dan merangkul secara sempurna segala tingkatan studi baik lughawiah [bahasa], shautiah [philology/suara penyebutan jenis huruf], tarkiibiah [susunan kata dan kalimat] dan dilaaliah [arti dan makna]. Dan dengan cara ini, kita dapat mengaitkan antara pemikiran bahasa sistem ala arab dahulu dengan pemikiran daya ucap sistem ala baru, sebab peralihan teori daya ucap baru -dengan sifatnya yang manusiawi- telah mencakup keseluruhan fenomena bahasa. Juga dengan terealisasinya, perhatian saintis bahasa di masa sekarang dapat terangkul semua olehnya, sebab –dengan beralihnya teori daya ucap ini menjadi suatu disiplin ilmu yang menjadikan bahasa manusia sebagai bahan garapannya- tidak lagi terhalangi oleh batasan pengetahuan yang bersifat spesifik. Dengan demikian, teori ini menjelma menjadi disiplin ilmu yang mencakup seluruh bahasa.

Dan pembahasan ilmu ad-dilalah sendiri masuk dalam pemaparan teori ini sebagai langkah peralihan menuju pembahasan turas dalam garapan disiplin ilmu bahasa. Sebagai contoh, para ahli ushul fiqh memberikan beberapa sampel dalam hal bagaimana mereka berinteraksi dengan bahasa laiknya bentuk aturan dari beberapa simbol daya ucap yang dalam gaya bahasanya tunduk pada aturan bijak dalam menyelesaikan tugas dilalahnya. Mereka juga sejak awal telah menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan bahasa. Menambahkan karya pengetahuan dengan secermat mungkin sebagai hasil dari usaha mereka dengan menjadikan AlQur'an sebagai acuan utama dalam pengistinbatan hukum, dengan tidak melupakan dasar-dasar hukum bahasa yang salah satu keistimewaannya adalah ad-dilalah.

Jadi, pada awalnya pembahasan ad-dilalah dalam kajian turas bermula pada kajian disiplin ilmu lain (baca: ilmu ushul fiqh). Olehnya, tidak salah jikalau ada yang mengatakan ilmu ad-dilalah sangat erat kaitannya dengan ushul fiqh. Sebab, para ulama ushul fiqh pada mulanya seringkali meminjam kebaikan ad-dilalah dalam menyelesaikan suatu masalah. Dan dari situ pula, suatu pemasalahan bahasa dapat terpecahkan. Hal ini dapat kita lihat dalam kitab Al-Ihkaam Fi Ushuul Al-Ahkam, karangan aalim ushuuly, Saifuddin Al-Aamidy.

B. Sejarah Lahirnya Ilmu Ad-Dilalah

Bahasa semenjak lama telah berhasil menarik perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama yang menjalankan kehidupan manusia semenjak diciptakannya, baik dalam berfikir terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar sesama manusia. Peranan bahasa tak seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan bahasa pula sejarah pun tecatatkan dalam buku-buku. Bahkan kita-kitab suci yang dianggap sakral bagi umat-umat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang Hindustan, sebagai contoh, memiliki kitab suci, Weda yang tak lain juga merupakan sumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah, sejarah permulaan bahasa dianggap sebagai mata pelajaran dan studi.

Namun, tak ada yang luput dari perdebatan dan perselisihan terhadap sesuatau yang belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan bahasa, sejarah lahirnya pun menuai pedebatan. Banyak pendapa yang dilontarkan oleh para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari mana awal kemunculan bahasa di tengah manusia. Di antara sederetan pendapat itu, ada yang mengakatakan: ”keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama halnya eratnya hubungan antara api dan asap”. Jadi, Bahasan ad-dilalah pun lebih fokus pada hubungan antara kata dan makna. Olehnya, ada dua sisi yang saling kait-mengait dalam bahasan ini, hubungan antara kosakata dan kalimat dan hubungan lafadz dan makna.

Hal ini nampak pada studi dilalah orang Hindustan dulu yang membagi dilalah kata, dalam empat bagian:

1. dilalah kata yang bemakna umum, seperti: lelaki;

2. dilalah kata yang bermakna bentuk, seperti: tinggi;

3. dilalah kata yang bermakna pesitiwa atau pebuatan, seperti: datang;

4. dilalah kata yang bemakna diri atau person, seperti: Muhammad.

Pembahasan makna dalam bahasa (baca: ilmu ad-dilalah) jauh sebelumnya telah mendapat perhatian baik dan hal ini terbukti dilakukan oleh para saintis Hindustan.

Hal serupa juga terjadi di Yunani, terdapat banyak istilah-istilah pengetahuan yang erat hubungannya dengan ilmu ad-dilalah. ”Platon sendiri pernah berdialog dengan gurunya, Socrates tentang tema hubungan lafadz dengan arti. Platon mengungkapkan pendapatnya bahwa terdapat hubungan natural antara ad-daal (lafadz) dan al-madluul. (arti). Beda halnya sang Guru, ia mengakui bahwa antara keduanya memang terdapat hubungan namun hanya sekedar pengistilahan. Ia membagi kalimat dalam dua bagian, kalimat luar dan kalimat dalam diri. Disamping ia membedakan antara fonem (suara) dan makna yang sesuai dengan gambaran yang ada di akal. Sehingga di saat tenarnya pembahasan ini bermunculanlah aliran-aliran yang membahas studi makna ini, seperti aliran Ar-Ruwaqiyyin dan aliran Iskandaiah”

Di Roma juga demikian, para saintis Roma memiliki peran penting dalam studi bahasa, khususnya berkenaan dengan ilmu An-Nahw (grammer). Dan hingga abada ke 17, buku-buku hasil buah tangan mereka masih menjadi buku utama di sekolahan. Dan puncak keemasan dan kegemilangan studi bahasa di Roma terjadi di masa lahirnya paham Iquest Scola, dimana terjadi perdebatan sengit tentang hubungan kosakata dan arti-artinya. Para pemikir pun terbagi dua dalam perdebatan ini, ada yang berpendapat bahwa hubungan keduanya hanya sekedar hubungan biasa (besifata sementara). Sedang golongan kedua mengatakan bahwa hubungan keduanya bersifat alami.

Sedangkan di jazirah Arab, sejarah muculnya ilmu dilalah ini sudah lama, semenjak awal-awal abad. Hal ini nampak dari adanya perhatian yang amat besar dari para saintis

Arab. Dan sebagai contoh konkrit dan bukti nyata yang masih sempurna dan utuh hingga sekarang pemberian titik dan baris pada AlQur'an. Hal ini dianggap sebagai bagian dari cakupan ilmu dilalah, sebab AlQur'an pada mulanya hadir tanpa ada titik dan baris. Selanjutnya, perubahan suatu kata, baik itu pemberian titik atau baris menjadikannya beralih tugas dan secara otomatis memiliki makna baru. Dan ini peristiwa inilah termasuk salah satu sebab munculnya ilmu Nahw.

Dan tentunya, studi bahasa yang dilakukan oleh para saintis Arab tidak sebatas itu. Berbagai macam disiplin ilmu baru lahir dari keaktifan para saintis Arab menekuni AlQuran sebagai kitab yang kaya akan ilmu pengetahuan. Dan untuk sampai pada disiplin ilmu yang baru itu perlu mengkaji secara cermat dan teliti AlQuran dan pastinya ilmu dilalah salah satu diantara prangkat untuk mengkaji AlQuran. Mulai dari masa Nabi hidup hingga masa sekarang kajian terhadap AlQuran senantiasa ada dan ilmu dilalah salah satu di antara sekian banyak disiplin ilmu yag mesti diketahui sebelum mengkaji AlQuran khususnya dan Bahasa Arab umumnya.

Kemudian, tibalah masa kebangkitan ilmu ini dimana seorang saintis bernama Michelle Breal pada tahun 1883 mengumumkan kelahiran suatu disiplin ilmu baru yang dalam pembahasannya amat memperhatikan "makna/arti". Ia mengistilahkan dengan sebutan semantic.

Defenisi Ilmu Ad-Dilalah

Laiknya disiplin ilmu lain yang defenisinya tiap saintis berbeda satu sama lain tentangnya. Begitupula dengan disiplin ilmu ini, defenisinya pun tak kurang dari satu.

Namun penulis kira dari deretan pendapat tersebut intinya hanya satu sebagaimana yang dikatakan oleh saintis Perancis Michele Breal bahwa akan hadir ilmu yang fokus pembahasannya adalah makna atau arti. Jadi, ilmu ad-dilalah ialah ”ilmu yang mempelajari tentang makna”.

Namun demikian, terdapat defenisi ilmu ad-dilalah yang lebih spesifik dari defenisi sebelumnya. ”Ilmu Dilalah atau Semantic adalah disiplin ilmu bahasa yang baru, membahas tentang dalalah bahasa dan tunduk apada aturan-aturan bahasa dan simbol-simbolnya tanpa selainnya. Bahasannya ialah studi makna bahasa terhadap kosakata (mufradaat)dan kalimat-kalimat (taraakiib)”. Jadi, kedua defenisi memiliki tujuan dan bahasan yang sama, hanya defenisi pertama lebih umum dibandingkan defenisi kedua.

Bahasan-bahasan Ilmu Ad-Dilalah

Dari awal sejarah kemunculan ilmu ini kita dapat mengetahui gambaran bahasan ilmu dilalah secara menyeluruh. Dan setelah mengetahui defenisinya kita lebih yakin bahwa gambaran bahasan ilmu dilalah adalah demikian. Namun penulis rasa tidak ada salahnya jikalau penulis mencoba tuk berusaha berbagi dengan teman-teman pembaca dalam hal

ini. Sebab, init daripada ilmu dilalah itu sendiri adalah bahasannya. Dan setiap ilmu juga demikian bahasan adalah inti dari suatu ilmu.

Diantara sekian banyaknya bahasan ilmu dilalah, penulis akan mencoba mengambil sebagiannya yang penulis rasa amat penting dalam bahasan ilmu dilalah ini. Di antaranya, bahasa itu sendiri, ad-daal wa madluul (kata dan makna), pembagian dilalah, tathawwur dilaly dan hakikat dan majaz.

1. Bahasa

Tak dapat dipungkiri betapa penting dan berharganya bahasa dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali para saintis dalaly. Kemunculan disiplin ilmu ini tidak terlepas dari peranan saintis bahasa yang ingin dan berusaha mengembangkan bahasa. Dan hasilnya, hadirlah satu displin ilmu baru yang akan mewarnai dinamika studi bahasa.

Pada awal mula munculnya ilmu ini, bahasa mengalami pengkajian yang meluas dan yang paling menyibukkan saintis bahasa adalah masalah asal muasal bahasa. Masalah inilah yang membuat para saintis berpikir keras dan pada akhirnya mereka terbagi dalam tiga golongan dari mereka. Pertama, ada yang berpendapat bahwa asal bahasa adalah tauqifiah thabaiyyah. Kedua, golongan ini berpendapat bahwa bahasa adalah 'urfiah isthilahiah. Ketiga, golongan yang berusaha menggabungkan kedua pendapat tersebut itu. Dan sebagian besar saintis bahasa tetap berusaha mencari problem solving dalam hal ini. Namun, masalah ini makin menjadi rumit dan sukar seiring dengan banyaknya pendapat dan teori yang membahas masalah sala muasal bahasa. Sehingga organisasi bidang kebahasan Perancis (la societe de linguistique) mengeluarkan undang-undang larangan memberikan ceramah tentang asal muasal bahasa.

2. Ad-daal wa Al-madluul (kata dan makna)

Di antara bahasan penting yang dibahas oleh ulama Alsun (fonology) dan Dilalah (Semantic) adalah masalah kata dan makna. Pada mulanya, bahasan studi bahasa hanya menyoal hubungan antara lafadz dan makna. Setelah ilmu dilalah mengalami perkembangan, bahasannya pun meluas dan mencakup daal wa madluul, baik daal itu adalah lafadz atau bukan lafadz. Dan pada akhirnya bahasa tak lain adalah hubungan yang mengikat antara daal dan madluulnya dalam lingkup network yang teratur. Hal itu karena daal sendiri tidak mengusung makna yang ia bawa sendiri melainkan sebagai sumber dalalah yang menghubungkan daal dan madluulnya. Pendapat ini sendiri yang dipegang oleh DR. Abdul Salam Al-Masdy dalam bukunya Al-Lisaniyyaat wa Ususuha.

Beda lagi dengan pendapat Souser mengenai daal dan madluul, ia mengistilahkanna dengan Ad-dalil Al-lisany. Ad-Daal -menurutnya- adalah kualitas suara atau bentuk acoustic. Sedangkan al-madluul adalah ide pokok.

3. Pembagian Dilalah

Ada beberapa makna dalalah bila ditinjau dari sisi daal dan madluul. Para saintis dalali

pun membedakan makna-makna tersebut, antaralain;

a. Makna Asaasi atau Gambaran, yaitu makna utama yang mengandung satu arti dalam sistem perkamusan;

b. Makna Idhafi, yaitu makna tambahan atas makna utama yang hanya dapat diketahui dari gaya bahasa kalimat tersebut;

c. Makna Usluubi, yaitu makna yang membatasi nilai-nilai ungkapan yang khusus dalam bidang budaya dan sosial;

d. Makna Nafsi, yaitu makna yang mengandung secara khusus bidang psychology/kejiwaan dalam diri seorang;

e. Makna Iihaai, yaitu makna isyarat yang berkaitan dengan kosakata yang dapat digambarakan dan diungkapnkan dengan isyarat.

Kajian Balaghoh I

Historisitas dan Perkembangan Ilmu Balaghah

(Masa Jahiliyah – Abad 8 H.)[1]

Kata albadi’ secara etimologi menunjukkan sesuatu yang indah dan tidak ada semisal dengannya. Allah berfirman [QS. Albaqarah (2) : 117]:

Artinya: “ Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak(untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “jadinlah”. Lalu jadilah ia”.

Maka kata واألرض السموات berarti menciptakan keduanya dan إبداعmemperindah tidak seperti asal mula keduanya, seperti hanya kita mengatakan sesuatu baru yang baru dan diperbaharui, atau sesuatu yang menakjubkan.

Para ulama balaghah mangatakan kata sebagai بديع sinonim daripada atau بالغة seni dan بالغة permasalahannya, seperti halnya mereka mengatakan فصاحة . dan istilah بديع bukan bagian daripada sebagai بالغ��ة ilmu. Sampai dating masa Assakaki[2]dalam kitabnya العلوم ketika membahasa ilmu balaghah, ia , مفتاحmembaginya menjadi 3 bagian; ma’âni, bayân dan badi’.

Dari sini, kita ketahui bahwa tidak terbagi البالغة menjadi tiga macam sebelum masa Assakaki atau sebelum pada abad ke-7 H. Pertanyaannya adalah, apakah para ulama terdahulu, mulai masa Jahiliyah[3], Islamiyah[4] dan Umawiyah[5] mengenal balaghah sebagai ilmu atau sebatas seni keindahan bahasa dalam masyarakat Arab?

Lantas apa yang membedakan antara badi’ pada masa sebelum Assakaki dengan masa setelahnya, serta latar belakang Assakaki membagi ilmu balaghah menjadi tiga bagian dalam bukunya Miftah Alulum sehingga menjadi rujukan pendapat ulama yang dating setelahnya.

Dalam makalah ini, saya sampaikan bahwa untuk mengetahui posisi Badi’ dalam diskursus kajian balaghah, perlunya mengetahui sejarah asal mula ilmu balaghah dan varian yang mempengaruhi pertumbuhannya.

Albadi’ Abad 2 H.

Keindahan syiir pada jaman jahiliyah tidak terlepas dari keindahan bahasa yang timbul dari al-badi’. Secara tabi’I (natural), orang arab umumnya dan para santrawan yang berprofesi sebagai penyair mengetahui keindahan dari syiirnya. Tetapi belum bisa mendefinisikan dan indentifikasi dimana letak keindahan serta namanya.

Orang yang pertama kali menyebut istilah al-badi’ adalah Muslim bin Walid. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah[6]. Jahihz sendiri lebih cenderung pada Basyar bin Burd dikarenakan keindahan bahasa dalam syiirnya[7].

Al-badi’ juga sudah menempel pada lidah orang Arab, bagaikan dua mata uang yang tidak terpisahkan. Kealamiahan inilah yang menjadikan ciri khas dari setiap perkataan dan karya buku yang dicetak pada masa abad ke-2 ini.

Albadi’ Abad 3 H.

Menurut Asma’I[8] (w. 216 / 211 H.)

Alasma’I adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah albadi, ia memakai badi’ dalam membedakan dua penyair besar,

basyar bin Burd dan Marwan bin Abi Hafshah, dengan badi’ ini, ia memilih penyair yang pertama daripada yang kedua. Dalam pandangannya, basyar bin burd memiliki penyusunan syiir yang belum pernah dilakukan oleh para syuara dan sastrrawan sebelumnya, yaitu membubuhi syiirnya dengan seni badi’.[9]

Pada masa Asma’I, badi tidak diartikan sebagai ilmu yang berfungsi memperindah kata-kata sebagaimana yang diartikan oleh ulama muttaakhirin yang sekarang mengalami penyempitan makna dan arti. Tapi lebih diartikan dengan sesuatu yang baru lagi menarik dan indah. Hal ini lebih dekat jika badi’ sinonim daripada balaghah bukan salah satu bagian ilmu dalam balaghah.

Sedangkan macam-macam badi’ dalam pandangan Asma’I, sebagian macam-macamnya adalah baru, penemuannya sendiri dan sebagian yang lain, ia mengikuti ulama sebelumnya, adalah sebagai berikut;

1. Alistiarah

2. Altasybih

3. Aljinas

4. Atthibaq

5. Alighal

6. Almubalaghah

7. Aliltifat

8. Attaghlib

9. Husnuttaqsim

10. Shihhatul muqabalah

11. husnul ibtida`

Dalam penjelasan ini, Asmai menjelaskan macam-macam badi’ ini setelah melalui perenungan dan pembelajaran yang sangat

lama dan teliti pada sastra maupun syiir. Pembahasan aljinas dan althibaq tidak hanya dilakukan oleh asmai, tetapi sudah ada pada ulama sebelumnya, khalil bin ahmad, dalam bukunya Mu’jamul Ain, meskipun kholil bin ahmad sendiri, membahas kedua tema di atas secara singkat. Sedangkan pembahasan lainnya adalah hasil jerih payah dan usahanya sendiri.

Menurut Jahidz[10]

Di atas telah disebutkan, bahwa muslim bin walid adalah orang pertama yang mengatakan badi. Sedangkan ulama sebelumnya menyebutnya dengan kata allatif. Dan unsure seni ini banyak terdapat pada syiir basyar bin burd dan abu nuwas dan muslim dan penyair sertta satrawan yang dating setelah mereka.

Berbeda dengan Asmai, Jahidz berpendapat bahwa badi’ hanya terdapat pada bahasa orang Arab, oleh karena itu, bahasa arab menjadi lebih unggul di atas semua bahasa dan terpelihara orisinalitas dan keindahannya.[11] Beberapa para khotib yang penyair, mereka memperindah perkataan mereka dengan badi’ diantaranya kaltsum bin ‘Amr Al’ittabi (abu Amr) yang mengikuti jejak basyar bin burd.[12]

Al-Badi’ Abad 4 H.

Qudamah bin Jakfar (w. 337 H.)

Qudamah membahas panjang lebar tentang badi sebagai standarisasi keidahan syiir Arab dalam bukunya Naqd Asy-Syiir. Hal ini dilakukan sebagai usaha ilmiah dalam menerapkan ilmu mantiq dalam syiir Arab. Dalam bukunya, ia menyebutkan macam-macam badi’ yang terbagi menjadi 20 macam.

1. Al-Tasybih

2. Shihhatu al-taqsim

3. Shihhatu al-Muqabalah

4. Shihhatu al-Tafsir

5. Al-Tatmim

6. Al-Mubalaghah

7. Al-takâfu`

8. Al-Iltifat

9. Al-Musawat

10. Al-Isyarah

11. Al-Irdaf

12. Al-Tamtsil

13. Al-Muthabiq

14. Al-Mujanis

15. Al-tarshi’

16. I`tilaf al-Qafiyah

17. Al-Tausyih

18. Al-Iqhal

19. Al-Isti’arah

20. Al-Tashri’[13]

Sekalipun Qaddamah bin Jakfar membagi badi’ dalam 20 macam, tetapi makna badi’ tidak berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh para ulama pada abad ke-2 dan ke-3. Artinya, badi’ merupakan sinonim balaghah. Begitu juga dengan Abu Hilal Askari yang masih menjaga makana badi sebagai sinonim dari balaghah. Meskipun demikian, ia membagi bbadi’ menjadi 36 macam yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “al-Shinâ’atain”.

Albadi’ Abad 5 H.

Abdul Qahir Al-Jurjani (w. 471 H.)

Al-Badi’ dalam pandangan abdul Qahir al-Jurjani masih sejalan dengan pendapat para ulama sebelumnya. Dalam ilmu balaghah, ia bukan orang baru, hal ini bisa kita ketahui dengan 2 buku karyanya yang nomumental sampai sekarang ini, yaitu Dalail al-I’jaz dan Asrar al-balaghah.

Abdul Qahir menjadikan isti’arah bagian dari badi’. Adapun badi’ yang dimaksud oleh Abdul Qahir dalam Asrar Al-Balaghah sebagai berikut;

1. Al-tajnis

2. Al-Saja’

3. Al-I’tiradh

4. Al-tathbiq

5. Al-Isti’arah[14]

6. Husnu al-Ta’lil

7. Al-tajrid

8. Al-Muzawajah

9. Al-Taqsim[15]

Pembahasan badi oleh abdul Qahir dibahas di bukunya Asrar al-Balaghah, sedangkan dalam dalail al-I’jaz lebih banyak membahas ilmu maani, seperti yang kita ketahui sekarang[16].

Albadi’ pandangan ulama Mutaakhirin

Assakaki (w. 626 H.)

Adalah salah satu ulama di abad ke-7 H dengan karyanya yang nomumental di bidang ilmu bahasa dan balaghah yang bernama “miftahul ulum”. Buku ini terbagi menjadi tiga disiplin ilmu berbeda; pertama, ilmu sharaf, bagian kedua ilmu nahwu, ketiga ilmu balaghah[17].

Dari sinilah awal mula pembagian ilmu balaghah menjadi tiga bagian , seperti yang kita ketahui sekarang, Ma’âni, bayân dan keindahan kata yang sekarang kita ketahui dengan sebutan badi’.

Tiga macam bagian ilmu balaghah ini berkembang diantara ulama mutaakhirin, setelah assakaki dan sampai masa sekarang. Pengembangan 3 disiplin ilmu ini, juga dilakukan oleh badr addin bin Malik di bukunya “Al-Misbah” dan menyebutkan pembagian ilmu balaghah menjadi alma’âni, albayân dan albadi’. Begitu juga dengan alkhotib alqozwini.[18]

Dalam diskursus balaghah, assakaki dikenal sebagai pendiri “madrasah assakaki”, dan para ulama setelahnya mengikuti metode yang dipakai oleh assakaki di sebut “althariqah altaqririyah”. Metode ini lebih cenderung pada metode filosofis, mempunyai banyak macamnya dan setiap macam disertai contoh-contoh, terkadang terkesan dipaksakan ada contoh, beberapa kaidah baru dan berlebihan dalam pemakaian istilah mantiq dan falsafat yang begitu berkembang disetiap karya-karya ulama mutaakhhirin dan ini tidak baik dalam meningkatkan perkembangan taste dan malakah bayâniyah.

Ilmu balaghah menjadi pembahasan inti dalam buku miftah al-Ulum ini. Yaitu dengan menjadikan badi’ sebagai istilah sepadan dengan ma’âni dan bayân. Tidak salah ketika assakaki mendefinisikan al-Balaghah sebagai kepiwaian pembicara dalam melahirkan ungkapan sampai pada tahapan khusus dengan menampilkan tasybih, majaz dan kinayahnya[19]. Kemudian ia membagi fashahah dalam dua hal. Pertama kembali pada pada makna, tidak ada unsure ta’kid [20], dan kedua kembali pada kata. Dengan catatan, yang dimaksud dengan kalimat fashih jika kalimat tersebut asli bahasa arab[21].

Dengan demikian, ilmu badi menjadi bagian dari balaghah di masa ini, sedangkan dahulunya merupakan sinonim daripada balaghah. Artinya, badi’ sendiri mengalami penyempitan dan keterbatasan makna. Abdul Qahir Al-Jurjani memposisikan badi’ sebagai cabang ilmu seperti balaghah pada posisi yang agung jika terpenuhi kelengkapan bagian dari pada an-nadzm, kuat hubungan antar permulaan dengan akhirnya, dan alami tidak dipaksakan.

Al-badi’ menurut Assakaki

Ulama assakaki membagi badi’ menjadi dua macam. Bagian pertama kembali kepada kata dan keduanya kembali kepada makna[22]. Semua macam badi’ yang disebutkan oleh Assakaki dalam bukunya, sudah disinggung dan mejadi bahasa para ulama sebelumnya dalam karya dan kitab-kitabnya, kecuali 2 dari 25 macam. Yaitu Tajâhu Al-‘Ârif dan Sûq Al-Ma’lûm Masâqu ghairu. Yang dimaksud dengan 25 macam di atas adalah 20 macam kembali pada keindahan makna dan 5 macam kembali pada keindahan kata.

Adapun 20 macam pertama yang kembali pada keindahan makna adalah;

1. Al-Muthâbaqah

2. Al-Muqâbalah

3. Al-Musyârakah

4. Al-Muzâwajah

5. Murâ’atu an-Nadzar

6. Al-Laffu wa al-Nasyr

7. Al-Jam’u

8. Al-Tafrîq

9. Al-Jam’u ma’a al-tafrîq

10. Al-Taqsîm

11. Al-jam’u ma’a al-taqsîm

12. Al-Jam’u ma’a al-Tafrîq wa al-Taqsim

13. Al-Îhâm (al-tauriyah)

14. Ta’kid al-Madhu bima Yusybihu al-dzam

15. Al-Taujîh

16. Sûq Al-Ma’lûm Masâqu ghairu

17. Al-Istittbâ’

18. Al-I’tirâdl

19. Al-Iltifât

20. Taqlil al-Alfadz wala taqliluhu[23]

Assakaki membahas 20 macam baadi di atas secara ringkas dengan menyebutkan definisi disertai satu atau dua contoh sebagai penjelas, tanpa ada analisa keindahan bahasa terhadap setiap contoh yang dipilih pada tiap pembahasannya.

Sedangkan 5 macam badi yang kembali pada kata sebagai berikut;

1. Al-Tajnîs

2. Raddu al-‘ajzi ‘ala al-Shadr

3. Al-Qalbu

4. Al-Asjâ’ wa al-Fawâsil al-Qur’âniyah

5. Al-Tarshî’[24]

Dalam pemabahasan ini, ia menjelaskan tiap macamnya dan menyebutkan pembagian tiap macam jika ada disertai dengan beberapa contoh dari syiir arab sebagai penjelasan tambahan.

Pembagian macam badi’ menjadi 25 macam bukan sesuatu yang berlebihan. Abu Hilâl al-‘Askarî membagi badi menjadi 30 macam, Ibnu Rasyîq membaginya menjadi 35 macam, Ibnu Abu al-Isba’ dalam buku Tahriru al-Tahbîr menjadi 90 macam, bahkan Shofiyu Al-din (w. 750 H.) sampai pada 140 macam badi’.

Dari pembagian badi’ yang disebutkan Assakaki, badi’ mengalami penyempitan makna dan keterbatasan pembahasan. Macam dan bentuk pembagiannya juga berbeda dengan ulama balaghah lainnya. Badi sendiri, menurut assakaki dalam bukunya, terkadang masuk dalam ma’âni dan terkadang ke

bayân. Seperti al-Tasybîh, al-Tatmîm, al-Isyârah dan al-tamstsîl dan sejenisnya, terkadang masuk pembahasan ma’âni dan terkadang masuk dalam bayân.

Dalm pembahasan badi’ semakin jelas bagaimana Assakaki memposisikan badi yang tidak sesuai pada porsinya dalam pandangan Abdul Qahir Al-Jurjani[25].

Albadi’ Menurut khotib Al-Qozwini (w. 739 H.)

Badi’ menurutnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Sakaki, ia tetap menempatkan badi’ bagian dari pada baalaghah bukan sinonimnya. Oleh karena itu, ulama mutaakhirin, mulai masa Sakaki sampai pada masa khotib, mempunyai kesamaan dalam persepsi definisi ilmu badi’ sebagai alat untuk menghiasai dan memperindah kalimat dalam bahasa Arab.

Pengaruh pemikiran Sakaki pada pembagian ilmu balaghah menjadi tiga bagian berlanjut pada masa Khotib di abad ke 8 H. Tetapi, Khotib lebih sistmatis dalam pembahasan dan penyuguhannya daripada Sakaki. Dengan penjelasan yang tidak panjang, meletakkan beberapa kaidah yang dianggap perlu dan relevan untuk dipakai.

Kekagumannya terhadap karya Sakaki dalam bukunya Miftahu Al-Ulum memberikan inspirasi padanya untuk meringkas bagian ketiga dalam kitab miftah yang diberi nama Talkhîs al-Miftâh. Adalah ringkasan dari bagian ketiga dalam buku al-Miftah yang konsentrasi di ilmu balaghah.

Sesuai dengan namanya, Talkhîs al-Miftah, buku ini lebih sistematis dan mengumpulkan masalah yang terkait dengan ilmu balaghah. Yang masih tertinggal di sini adalah metode penyusunannya yang mengikuti madhab Sakaki, yaitu taqririyah. Adalah dengan membuat kaidah-kaidah dan meletakkan batas-batasan untuk diperhatikan sebagai penguat daripada kaidah di atas. Nuansa pemikiran filsafat juga tidak sepi dalam setiap kalimatnya.

Buku Talkhîs al-Miftâh, terdiri pembukaan (mukaddimah), 3 pembahasan ilmu balaghah dan penutup. Dalam pembukaan, pembahasannya meliputi penjelasa al-Fashahah dan al-

Balaghah.Tentang ilmu badi’, sedangkan 3 pembahasan ilmu balaghah meliputi;

Pertama; ilmu maâni

Kedua ; ilmu bayaân

Ketiga ; ilmu badi’

Dan ditutup dengan al-Sariqât al-Syi’riyah.

Buku al-Idhâh karya Khotib al-Qazwini

Setelah menulis buku ini, Khatib mendapatkan kejanggalan dalam karnyanya. Perlu adanya penjelasan dari buku Talkhis untuk memudahkan pemahaman para pembacanya. Oleh karena itu, ia menulis al-Idhâh sebagai penjelas dari talkhis. Dengan demikian, bahwa al-Idhâh adalah syarh dari talkhis yang tidak hanya memuat ilmu balaghah dari sakaki, juga mengambil pendapat Abdul Qahir Jurjani yang dipandang perlu untuk ditambahkan sebagai pelengkap.

Sistematika penyusunan buku ini tidak berbeda dengan buku Talkhis, yang meliputi pembukaan, pembahasan 3 pembagian balaghah dan penutup. Ini berarti bahwa pembahasan ilmu badi’[26] setelah 2 ilmu lainnya, ilmu maâni dan bayân.

Seperti dengan Sakaki dalam pembagian badi’, Khotib juga melakukan hal yang sama, ia membagi ilmu badi’ menjadi 2 macam. Pertama kembali pada keindahan makna dan kedua pada kata.

Adapun yang kembali pada keindahan makna sebagai berikut;

1. Al-Muthâbaqah

2. Murâ’atu an-Nadzir

3. Al-Irshâd atau al-Tashîm

4. Al-Musyâkalah

5. Al-Istithrâd

6. Al-Muzâwajah

7. Al-‘Aksu wa al-Ta’dîl

8. Al-Rujû’

9. Al-Tauriyah atau al-Îhâm

10. Al-Istikhdâm

11. Al-Laffu wa al-Nasyru

12. Al-Jam’u

13. Al-Tafrîq

14. Al-Taqsîm

15. Al-Jam’u ma’a al-Tafrîq

16. Al-Jam’u ma’a al-taqsîm

17. Al-Jam’u ma’a al-tafrîq wa al-Taqsîm

18. Al-tajrîd

19. Al-Mubalaghah al-Maqbûlah

20. Al-Madzhab al-kalâmi

21. Husnu al-ta’lil

22. Al-tafrî’

23. Ta’kid al-Madh bima yushbihu al-dzam

24. Ta’kid al-dzam bima syushbihu al-madh

25. Al-Istitbâ’

26. Al-Idmâj

27. Al-Taujih

28. Al-Hazl

29. Tajahul al-arif

30. Al-qaul bil mujab

31. Al-Ithrad[27]

Sedangkan keindahan bahasa yang kembali pada kata (lafdzi) sebagai berikut;

1. Al-Jinas

2. Raddu al-‘Ajzi ‘ala al-Shadr

3. Al-Saja’

4. Al-Muwazanah

5. Al-Qalbu

6. Al-Tasyri’

7. Luzûmu ma yulzam[28]

Setelah memaparkan panjang lebar pembagian dan definisi serta contoh-contoh dari ilmu badi’, ia mengatakan bahwa kata (lafadz) itu mengikuti makna[29].

Dalam mensikapi husnu al-Ibtida[30]`, Khotib tidak memasukkannya dalam ilmu badi’ begitu juga dengan husnu al-takhallush, husnu al-intihâ`, dan barâ’atu al-muqaththa’[31].

Dalam ilmu balaghah, Khotib lebih banyak terpengaruh dengan karya para ulama sebelumnya seperti; al-badi’ karya ibnu Mu’taz, al-Shina’atain karya Abu hilal al-Askari, Naqd al-Syi’ir karya Qudamah, al-‘umdah karya Ibn rasyiq, Asrar al-balaghah dan Dalail al-I’jaz karya Abdul Qahir al-Jurjani, Miftah al-ulum karya Sakaki, Al-badi’ karya Abu al-Isba’ dan al-Matsalu al-sair karya Ibnu al-Atsîr.

Penutup

Demikianlah historisitas dan perkembangan badi’ yang awalnya sebagai seni keindahan dan estetika bahasa dalam bahasa Arab, menempati posisi sejajar dengan balaghah. Perkembangan dan perjalanan masa yang silih berganti seiring dengan lahirnya para ulama setiap masanya menjadikan al-badi bagian dari pada ilmu balaghah setelah mengalami penyempitan makna dan pembahasannya.

Maka ada dua fase penting yang telah dilewati ;

Pertama, al-Badi sebagai sinonim daripada balaghah yang berupa istilah dan bersifat umum, seperti yang ada pada masa al-Asma’I, al-Jahizh, Ibn Mu’taz, Qadamah, Abu Hilal al-Askari, Ibn Rasyif dan Abdul Qahir Al-Jurjani. Pada fase ini, badi’ mendapatkan posisi mulia dalam standarisasi estetika bahasa Arab (nazham).

Sedangkan pada masa Sakaki dan Khotib serta para ulama yang dating setelah mereka berdua, badi’ masuk pada bagian daripada balaghah. Artinya, badi’ pada masa ini mengalami degradasi makna dan ruang lingkup yang semakin sempit, yang awalnya standard an barometer utama dalam penentuan estetika bahasa, selanjutnya menjadi pelengkap atau sekender[32] dari pada primer[33]. Karena posisinya setelah kesesuaian kondisi dengan keadaannya[34]. Dan ini adalah fase kedua dari perkembangan ilmu balaghah.

Sedangkan dalam diskursus balaghah yang dilakukan oleh para ulama yang dating setelah abad ke-8 tidak memberikan sesuatu baru dalam perkembangan balaghah. Mereka lebih menekankan pada syarh (penjelasan) dari karya para ulama sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Sa’ad al-Din al-Tiftazani dalam bukunya al-Muthawwal. Allhu A’lam

Daftar Pustaka

1. Ibnu Qutaibah, Al-Syi’ru wa al-Syu’ara

2. Al-Jahihz, al-Bayân wa al-Tabyîn.

3. Al-Asma’I,fuhûl al-Syu’arâ.

4. Al-Marzabani, Almuwassyakh, Dar kutub Ilmiah, Beirut.

5. Abu al-Faraj al-Ashfahani, Al-Aghani , penerbit Bulaq 1305 M.

6. Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin wa almuaakhirin, cet. I, Al-Azhar litturats, 2008.

7. Qadamah bin Jakfar, Naqd as-Syi’ir

8. Abdul Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balaghah

9. Abu Ya’kub Yusuf bin Muhammad bin Ali Assakaki, Miftah Al-Ulum, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut Lebanon. Cet. 1 tahun 2008.

10. Ibnu Sinan Al-Khoffaji , Sirru Al-Fashahah.

11. Dr. Syauqi Dhoif , Albalaghoh Tathawwur wa Tarikh

12. Ahmad Mustafa Almaraghi, Tarikh Ulum Al-balaghah

[1] Makalah ini ditulis oleh Talqis Nurdianto, Mahasiswa Pasca Sarjana, Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Balaghah dan Kritik, Al-Azhar University, disampaikan pada kajian regular Ilmu Balaghah di Sekretariat Senat Bahasa Arab tanggal 6 Agustus 2009.

[2] Sakaki adalah penulis buku Miftah al-Ulum termasuk hazanah islam dalam bidang ilmu balaghah dan menjadi rujukan para ulama yang dating setelahnya.

[3] Masa jahiliyah adalah masa sebelum kedatangan risalah islamiyah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., sekitar 150-200 tahun sebelumnya. Disebut jahiliyah (yang berarti bodoh) bukan karena kebodohan masyarakat pada waktu itu dengan perkembangan ilmu pengetahuan, melainkan kejahiliyahan mereka dalam menyembah berhala, yang tidak bisa bergerak, tidak mampu memberi dan menerima serta mengabulkan permintaan mereka.

[4] Masa Islamiyah atau disebut sebagai awal kedatangan islam adalah masa yang terhitung sejak diutusnya Muhammad sebagai utusan Allah, menyampaikan risalah ilahiyah di bumi, sampai berakhirnya masa khulafaur arrasyidin (para pemimpin yang cerdas), tahun 40 H., mereka adalah; Abu Bakar Assidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

[5] Masa Umawiyah adalah masa kepemimpinan Khilafah Islamiyah dipegang orang-orang keturunan Umayah bin Abi Sofyan, mulai tahun 40 H.- 132 H.)

[6] Ibnu Qutaibah, Al-Syi’ru wa al-Syu’ara

[7] Al-Jahihz, al-Bayân wa al-Tabyîn.

[8] Dalam bukunya yang berjudul fuhûl al-Syu’arâ.

[9] Lihat di kitab Almuwassyakh hal. 292 dan kitab AlAghani karya Alasfhani vol.3 hal.147

[10] Tokoh daripada ulama Muktazilah pada abad ke-2 H. dengan karyanya yang ada sampai sekarang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin, al-Hayawan dan sebagainya.

[11] Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin dan almuaakhirin, cet. I, Al-Azhar litturats, 2008.

[12] Aljahidz, Bayan wa Tabyin vol.1 hal. 51

[13] Qadamah bin Jakfar, Naqd as-Syi’ir

[14] Dalam bab isti’arah ini, Abdul Qahir membagi dalam dua bentuk yaitu tashrihiyyah dan makniyyah.

[15] Abdul Qahir al-Jurjani, Asrar al-Balaghah

[16] Pendapat abdul Qahir juga seperti ulama sebelumnya semisal Ibn Rasyiq Al-Qirwani (w. 456 H.) dalam bukunya al-‘Umdah yang membagi al-badi’ mencapai 30 macam dan Ibn Sinan Al-Khaffaji (w. 466 H.) membagi al-badi’ dalam bukunya Sirru al-fashahah menjadi 35 macam.

[17] Abu Ya’kub Yusuf bin Muhammad bin Ali Assakaki, Miftah Al Ulum, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut Lebanon. Cet. 1 tahun 2008.

[18] Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin dan almuaakhirin, hal. 146. cet. I, Alazhar litturats, 2008.

[19] Dalam bukunya Miftâh al-‘Ulûm, Sakaki mendefinisikan balaghah sebagai berikut;

حقها التراكيب خواص بتوفية اختصاص له حدا المعاني تأدية في المتكلم بلوغ هي البالغةوجهها على والكناية والمجاز التشبيه أنواع وايراد

[20] Ta’kid adalah kerancauan makna yang ditimbulkan dari susunan redaksi kalimat yang tidak beraturan, hal bisa terjadi karena terjadi fasl antar kata dengan urutan yang sulit dipahami oleh mukhotob atau pendengar.

[21] Op. Cit.

[22] Ibnu Sinan Al-Khoffaji dalam bukunya “Sirr Al-Fashahah” lebih awal berbicara tentang pembagian yang kembali pada kata dan makna.

[23] Lihat buku Miftahu al-Ulum karya Assakaki

[24] Ibid

[25] Abdul Qahir al-Jurjani memposisikan badi’ pada martabat yang tinggi dalam posisinya sejajar dengan nadzm . Sedangkan Assakaki sebatas pemoles keindahan makna dan kata dalam kalimat Arab saja. Terlihat ketika membahas al-Tajnis, keduanya berbeda pandangan dan sitematika penjabarannya. Yang pertama membahasa dan panjang lebar menerangkan rahasia kalimat dalam bentuk tajnis ini, dengan menyebutkan rahasia dan keindahan maknanya. Sedangkan ulama yang kedua, sebatas menerangkan arti dari istilah tajnis, menyebutkan pembagiannya dan contoh setiap bagian tanpa menyebutkan rahasia dan keindahan bahasanya.

[26] Khotib mendefinisikan ilmu badi’ dalam bukunya al-Idhâh sebagai berikut;

الداللة ووضوح الحال لمقتضى المطابقة رعاية بعد الكالم تحسين وجوه به يعرف علم هو

[27] Lihat di bukunya al-Idhâh

[28] Ibid

[29] Ibid

[30] Sedangkan Ibnu Mu’taz menjadikan husnu al-ibtida` bagian daripada ilmu badi’, begitu juga dengan husnu al-takhallush (husnu al-khurûj), juga Tsa’lab dalam bukunya Qawâ’id al-Syi’ir, dan ibn Sinan dalam Sirru al-fashahah dengan nama Shihhatu al-nasq wa an-nadzm. Pendapat Khotib ini sesuai dengan pendapat Abu Hilal al-Askari.

[31] Ibrahim Abdul Hamid Al-Sayyid Altilb, Albadi baina almutaqaddimin dan almuaakhirin, cet. I, Al-Azhar litturats, 2008

[32] Menjadi tabi’(pengikut)

[33] Menjadi al-matbu’ (yang diikuti)

makalah KIBAالقياس في اللغة

في نظر البصريين والكوفيين وابن مضاء القرطبي

التمهيد:

ال شك فيه أن اللغة مّن أعظم النعم التي مّن� الله بها علي مما يتمي�ز االنسان علي سائر ما سواه مّن بني البشر , فبها

للناس زادا لهم عند المخلوقات. خلق الله اللغة و خص�صها استخالفهم في األرض , و بها يفكرون وينشؤون حضاراتهم و

. ثقافتهم و يحللون مشاكلهم

علوم اللسّن العربي أربعة: وهي اللغة و النحو و البيان و أركان يتحصل أن األهم المقدم منها النحو, اذ به يتبيّن األدب, و الذي

فيعرف الفاعل مّن المفعول والمبتدأ مّن أصول المقاصد بالداللة [ 1 ].الخبر, ولواله لجهل أصل االفادة

وفي هذا البحث المتواضع, اراد الباحث ان يعرض بعض األراء في القياس, لالستيالء علي أراءهم حتي يظهر لنا وجهة نظر كل

.واحد منهم

 القياس في اللغة و االصطالح

القياس في اللغة

التقدير, جاء في لسان العرب: قاس الشيء يقيسه قيسا و هو وقيسه اذا قدره علي مثاله. و في القاموس, قياسا, واقتاسه

قيسا وقياساواقتاسه قدره المحيط : قاسه بغيره و عليه يقيسه بالكسر علي مثاله فانقاس, و المقدار مقياس, وقيس رمح

وقاسه قدره. وفي المعجم الوسيط : القياس – )في اللغة( : رد.الي نظيره الشيء

ايضا التسوية بيّن شيئيّن, ألن تقدير الشيء بما يماثله وهو فالن يقاس بفالن أي يساويه وفالن ال تسوية بينهما, يقال

.يقاس بفالن أي ال يساويه

:القياس في االصطالح

اصطالح األصولييّن: اختلف األصوليون في تعريف القياس في نظرهم في اعتبار القياس, فمنهم مّن يعده تبعا الختالف وجهات

اللذي يجريه و منهم مّن يعده عمل مّن أعمال المجتحد, ألنه هو وال دخل للمجتحد مّن عمل الله تعالي, فهو دليل كالقران الكريم

.فيه, فهو موجود سواء أوجد المجتحد أم لم يوجد

 

ايا ما كان األمر فقد عرفه البعض : مساواة فرع ألصل في علة و التعريف قاله اآلمدي وابّن الحاجب, كما ذكره ابّن حكمه, وهذا

وعرفه الفخر الرازي والقاضي . [ 2 ]عبد الشكور في مسلم الثبوت البيضاوي بأنه اثبات مثل حكم معلوم في معلوم آخر الشتراكهما

.في علة الحكم عند المثبت

االصطالح النحوي : عرفه األنبري بتعريفات مختلفة فهو: في األصل, و حمل فرع علي أصل بعلته, واجراء تقدير الفرع بحكم

باألصل بجامع, واعتبار الشيء األصل علي الفرع, والحاق الفرع.بالشيء بجامع

هو حمل غير المنقول علي المنقول [ 3 ]و عرف –كذالك- في جدله المفعول في كل مكان اذا كان في معناه, كرفع الفاعل ونصب

المنقول وان لم يكّن كل ذالك مقوال عنهم, وانما لما كان غير عنهم مّن ذالك في معني المنقول كان محموال عليه, وكذالك كل

.صناعة االعراب مقيس في

وهذا التعريف قد اختاره السيوطي ونقله عّن األنبري في كتابه.االقتراح

أركان القياس

للقياس أربعة أركان : أصل وهو المقيس عليه, و فرع وهو.المقيس وحكم وعلة جامعة

و هذه األركان األربعة بنفسها هي أركان القياس الفقهي عند األصولييّن مما يؤكد علي أن النحاة حملو أصولهم علي أصول

.الفقهي

وضع األنبري مثاال لذالك و نقله السيوطي في االقتراح وقد تركب قياسا في الاللة علي رفع ما لم فيقول: وذالك مثل أن

اليه مقدما عليه, فوجب يسمي فاعله فتقول : اسم أسند الفعل.أن يكون مرفوعا قياسا علي األصل

.فاألصل هو الفاعل

. ما لم يسمي فاعله والفرع هو

.والحكم هو الرفع

.والعلة الجامعة هي االسناد

و األصل في الرفع أن يكون لألصل الذي هو الفاعل, وانما أجري علي الفرع الذي هو ما لم يسمي فاعله بالعلة الجامعة التي هي

[ 4 ]االسناد

نلحظه علي هذا المثال أن العرب نطقو نائب الفاعل والذي نطقهم واستعمالهم, ولم ينطق به مرفوعا, فهذا هو األصل في

اذن- فرعا عّن –منصوبا أو مجرورا, فليس ما لم يسم فاعله الفاعل ألن كليهما مرفوع بحسب استعمال العرب, وبذا يمكننا

أن نقول : اننا لم نفد هذا الحكم اي الرفع, مّن هذا القياس, [ 5 ].أفادنا ذالك هو االستعمال العربي الفصيح وانما الذي

يري الدكتور حمودة- فإن األحكام النحوية انما ثبتت واذن-وكما العرب ولم تثبت لنا عّن طريق هذا أوال عّن طريق النقل عّن

تحصيل حاصل في اثبات القياس, ولذا فان هذا القياس ليس اال الثبات الحكم, ولكّن النحاة يذكرونه للتنبيه علي علة الحكم ال

.الحكم نفسه

االتساع فى الرواية والقياس في الكوفة

أهم ما يميز المدرسة الكوفية مّن المدرسة البصرية اتساعها لعل وعبارات اللغة عّن جميع العرب بدويهم فى رواية األشعار

تتشدد تشددا جعل وحضريهم ، بينما كانت المدرسة البصرية أئمتها ال يثبتون فى كتبهم النحوية إال ما سمعوه مّن العرب

الفصحاء الذيّن سلمت فصاحتهم مّن شوائب التحضر وآفاته ، والحجاز وتهامة مّن )) قياس وتميم وأسد وهم سكان بوادى نجد

أخذ ومعظمه وعليهم اتكل فى فإن هؤالء هم الذيّن عنهم أكثر ما كنانة وبعض الغريب وفى اإلعراب والتصريف ، ثم هذيل وبعض

الطائييّن ، ولم يؤخذ عّن غيرهم مّن سائر قبائلهم . وبالجملة لم يؤخذ عّن حضري فقط وال عّن سكان البرارى ممّن كان فإنه

[ 6 ] )).المجاورة لسائر األمم الذيّن حولهم يسكّن أطراف بالدهم

معنى ذلك أن أئمة الكوفة لم يكونوا يرحلون إلى هذه وليس كانوا يكثرون مّن الرحلة إليها ، على نحو القبائل الفصيحة ، فقد

فقد قالوا إنه خرج إلى نجد ما يحدثنا الرواة عّن الكسائي ، حبر فى وتهامة والحجاز ))ورجع وقد أنفذ خمس عشرة قنينة

الكتابة عّن العرب سوى ما حفظ (( . ولكّن معناه أن الكوفييّن مقدمتهم إمامهم الكسائي كانوا ال يكتفون بما يأخذون عّن وفى

كانوا يأخذون عمّن سكّن مّن العرب فى فصحاء األعراب ، إذ

ال يأخذون عنهم وال حواضر العراق ، وكثير منهم كان البصريون عّن قبائلهم المقيمة فى مواطنها األصلية مثل تغلب وبكر لمخالطتهما الفرس ومثل عبد القيس النازلة فى البحريّن

. والهند لمخالطتها الفرس

حمل البصريون على الكوفييّن حمالت شعواء حيّن وجدوهم وقد هذه الشاكلة ، وخصوا الكسائي بكثير يتسعون فى الرواية على

يسمع الشاذ الذى ال يجوز ، مّن هذه الحمالت ، قائليّن )) إنه كان والضرورات ، مّن الخطاء واللحّن وشعر غير أهل الفصاحة

فيجعل ذلك أصال ، ويقيس عليه حتى أفسد النحو (( وقالوا إنه لقي عشيرة مّن بنى عبد القيس تسمى الحطمة كانت نازلة

كثيرا مّن الخطأ واللحّن ، مما اتضح أثره فى ببغداد ، فأخذ عنها سيبويه تمسك فيها بما سمعه مناظرته المشهورة لسبويه ، فإن

العقرب أشد عّن العرب الفصحاء فى مثل : )) قد كنت أظّن أن لسعة مّن الزنبور فإذا هو هي (( حتى إذا قال الكسائي إنه يجوز

فإذا هو إياها (( أنكر ذلك إنكارا شديدا . وسرعان ما استعان(( الكسائي بأعراب عشيرة الحطمة ، فأيدوه ، وتأييدهم ال عليه

سيبويه ومدرسته ، ألنهم ليسوا مّن الفصحاء قيمة له فى رأى والحجاز ، ممّن يؤخذ عّن لسانهم المتبديّن فى قيعان نجد وتهامة

. النحو واللغة

ذلك بدءا لخالف واسع بيّن المدرستيّن ، فالبصرة تتشدد وكان تأخذ عنه اللغة والشعر، والكوفة فى فصاحة العربي الذي

حواضر العراق ، مما تتساهل ، فتأخذ عّن األعراب الذيّن قطنوا نأخذ جعل بعض البصرييّن بفخر على الكوفييّن بقوله : )) نحّن

اللغة عّن حرشة ) أكلة ( الضباب وأكلة اليرابيع ) أي البدو الخلص وأنتم تأخذونها عّن أكله الشواريز وباعة الكواميخ ) أي عرب)

) )).المدن

تقف المسألة عند حد االتساع فى الرواية ، بل امتدت إلى ولم وضبط القواعد النحوية ، ذلك أن البصرييّن االتساع فى القياس

القياس أن تكون جارية اشترطوا فى الشواهد المستمد منها اللهجة على ألسنة العرب الفصحاء وأن تكون كثيرة بحيث تمثل وبذلك . الفصحى وبحيث يمكّن أن تستنتج منها القاعدة المطردة

أحكموا قواعد النحو وضبطوها ضبطا دقيقا ، بحيث أصبحت علما بيxّن الحدود والفصول . وجعلهم ذلك يرفضون ما واضحا المعالم

لسبب طبيعي ، وهو ما ينبغي شذ على قواعدهم ومقاييسهم الجزئيات للقواعد فى العلوم مّن اطرادها وبسط سلطانها على

المختلفة المندرجة فيها . ولم يقفوا عند حد الرفض أحيانا ، إذ

وصفوا بعض ما شذ على قواعدهم مما جرى على ألسنة بعض وهم ال يقصدون اتهامهم بذلك حسب العرب بأنه غلط ولحّن ،

أنه شاذ على القياس المدلول الظاهر للكلمتيّن ، إنما يقصدون الموضوع وخارج عليه فال يلتفت إليه . وتوقف كثير مّن

المعاصريّن الذيّن يخوضون فى المباحث النحوية عند هذيّن على البصرييّن غير متنبهيّن لمدلول اللفظيّن وحاولوا الرد

. [ 7 ] الكلمتيّن عندهم ومقصدهم منهما

رأى ابّن مضاء فى فكرة القياس

ابّن مضاء طويل النفس فى رأيه عّن القياس ، فليس فى ليس ومواجهة احتماالتها كما فعل فى آرائه رأيه عنه تقليب الفكرة

فقد ذكر رأيه فى القياس األخرى عّن العامل أو التأويل مثال ، عنه متناثرة عرضا اثناء حديثه عّن التعليل ، كما أن له جزئيات

بيّن دفتي كتابه ) الرد على النحاة ( فإذا أضيف هذا لذلك ، [ 8 ] .اتضحت فكرة تقريبية عّن رأيه فى ذلك الموضوع

األحكام النحوية التى تصدق على النصوص هو القياس النحوي منها القاعدة ، ثم تعمم تلك اللغوية الواردة بطريقة واحدة أخذت

.القاعدة على النصوص التى لم ترد

نوع أخر مّن القياس يتردد أيضا فى كتب النحو، وهو وهناك لنوع مّن المشابهة ، فهذا الحكم كذا ألنه قياس أحكام على أحكام

القياس يطلق عليه ) القياس مشابه أو قياس على كذا، وهذا وإقامة الصلة العقلي ( ألن للعقل فيه دورا فى عقد المشابهة

.بيّن األحكام

وهذا بيان موقف ابّن مضاء مّن فكرة القياس بمعنييها [ 9 ] .السابقيّن

أما النوع األول فلم يتعرض له ابّن مضاء نصا ، لكّن يعرف رأيه : مع ما ورد فى كتابه مّن جزئيات عنه

كان ( وأخواتها ، فإن ) كان ( منها تجرى مجرى األفعال ( وأما - تقول ) كنت وكان زيد قائما ( و ) كنت وكانه المقتضية مفعوال ،

:وقال الفرزدق زيد قائما ( فقائما خبر كنت ،

.وأبي فكان ، وكنت غير غدور إنى ضمنت لمّن أتانى ما جنى

ليس ( تقول ) لست وليس زيد قائما ( و ) لست وليس ( وكذلك واألظهر أن يوقف فيما عدا ) كان ( على ) – زيد إياه قائما

. فيها ، وأضمر خبرها السماع مّن العرب ، ألن ) كان ( اتسع

فكرة ابّن مضاء عّن هذا النوع مّن القياس ترتبط ارتباطا إن النصوص اللغوية، فهو يجيزه إن ورد له مّن اساسيا بفكرته عّن

.لم ترد له نصوص تؤيده النصوص ما يصححه ، وهو يرفض إذا

النموذج السابق توقف األمر فى قياس ما عدا ) كان ( على وفى واألظهر أن يوقف فيما عدا ) كان ( على (( السماع مّن العرب

مّن بقية األفعال اتساعا ، ) السماع مّن العرب (( وأدخل ) كان : وإلضمار خبرها

القياس العقلي (( فقد واجهه بصراحة ، مبينا أن النحاة لم (( أما فى هذا النوع مّن القياس ، وذلك ألنهم يحملون يتحروا الدقة

تكون هناك صلة كاملة بيّن األمريّن ، األشياء على األشياء دون أن أنهم فى ذلك تابعون هذا مّن ناحية ، ومّن ناحية أخرى يدعون

.للعرب ، وأن العرب قد أرادت ذلك

فى كال األمريّن قد جانبهم التوفيق )) والعرب أمة حكية ، وهم بشيء وتحكم عليه بحكمه ، وعلة حكم األصل فكيف تشبه شيئا

واحد مّن النحوييّن ذلك جهل غير موجودة فى الفرع ، وإذا فعل به بعضهم ولم يقبل قوله ، فلم ينسبون إلى العرب ما يجهل

بعضا ، وذلك أنهم ال يقيسون الشيء ويحكمون عليه بحكمه إال كانت علة حكم األصل موجودة فى الفرع ، وكذلك فعلوا فى إذا

فى العمل ، وتشبيههم ) إن وأخواتها ( تشبيه اإلسم بالفعل .باألفعال المتعدية فى العمل

: فإبّن مضاء يرفض هذا النوع مّن القياس معتمدا على أساسيّن

أحدهما : عقلي بلخصة أن المشابهة غير كاملة بيّن المقيس .والمقيس عليه

واآلخر : لغوي ، وهو إنكار أن العرب أرادت ذلك ، أو بعبارة أخرى .، إنكار أن يكون هذا مما له صلة ينطق العرب واستعماالتهم

ولقد التزم ابّن مضاء هذا الرفض فى األمثلة التى وردت لهذا : وهذا بعضها القياس فى ثنايا الكتاب

اإلسم الذى ال ينصرف – قال : فإن كان فى اإلسم علتان أو فى - العلتيّن ، فإن كل واحدة مّن العلتيّن تجعله واحدة تقوم مقام

والتنويّن ...... والوجه فرعا منع ما منع الفعل وهو الخفض اإلسم أكثر عندهم لسقوط التنويّن مّن الفعل ثقله ، وثقله ألن

استعماال منه ، والشيء إذا عاوده اللسان خف ، وإذا قل ثقل ، وهذه األسماء غيرها أكثر استعماال منها ، فثقلت استعماله

.الفعل مّن التنويّن ، وصار الجر تبعا له !! فمنعت ما منع

يحتاج مّن هذه إال إلى معرفة تلك العلل التى تالزم عدم وليس ذلك ففضل ، هذا لو كان بينا ، فكيف به اإلنصراف ، وأما غير

أن العرب أرادته !! وال دليل وهو ما هو فى الضفع !! ألنه ادعاء إنما هما على ذلك إال سقوط التنويّن وعدم الخفض ، وهذان

لألفعال ، فلو ال شبه األفعال ، لما سقط منها ما يسقط مّن .األفعال

اإلقتباس األول تأييد للفكرة مع اإلرتباط بمنهجه فى ففى النحاة مشابهة بيّن األسماء التى ال احترام النصوص فقد عقد

الخفض والتنويّن ، تنصرف واألفعال فى أن كال منهما يمنع وراحوا يلتمسون لذلك الوسائل مّن الثقل والخفة والمشابهة

.فى علل الفروع

.وابّن مضاء يرفض هذا القياس معتمدا على أساسيّن لغوييّن

األول : معرفة تلك الصفات التى توجد فى األسماء غير.المنصرفة )) للعلل (( بصرف النظر عّن تلك المشابهة المدعاة

أن النحاة يدعون أن العرب أرادت هذا القياس ، والعرب : الثاني بعبارة قريبة : العرب لم تستعمل ذلك ، وهل لم ترد ذلك أو

[ 10 ] !!.على اإلرادة أعطينا مفاتيح الغيب حتى نحكم

الخاتمة

القياس ثروة ثمينة, لكّن الخالف يحيط حوله, بعض العلماء ان وبعضهم يبلغ في رده, وما لنا اال التفحص يبلغ في اخذه

.الخطاء والمبالغة لنستخرج منه الصواب و نبعد عّن

] 1 [ , , , القاهرة للتراث الفجر دار الطاهر أحمد حامد تحقيق مقدمة خلدون بن الرحمن عبد. 700ص , 2004س:

بالهند ] 2 [ بهار أصل من الهندي البهاري الشكور عبد بن الدين محب هو الشكور عبد ابنسنة .1119توفي , : الثبوت ومسلم المنطق في العلوم سلم مصنفاته من و

] 3 [ . االعراب جدل في االغراب

] 4 [ : , , , ص الجامعية المعرفة دار ياقوت سليمان الدكتور علقه االقتراح السيوطي الدين جالل208.

] 5 [ , , المصرية الهيئة التطبيق و النظرية بين السيوطي عند النحو أصول فهمي عيد عصام- للكتاب .261ص , 2006العامة

] 6 [ , , , ص المعارف دار النحوية المدارس ضيف 159شوقي

] 7 [ , ص السابق .161المرجع

] 8 [ , اللغة\ علم وضوء مضاء ابن ورأي النحاة نظر في العربي النحوي أصول عيد محمد د: , ص, الكتب عالم 83الحديث

ص : ] 9 [ السابق 84المرجع

] 10 [ , السابق المرجع