15

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

  • Upload
    vukiet

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin
Page 2: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin
Page 3: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Page 4: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

Kasie West

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Page 5: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

Love, Life, and the List

By Kasie West

Copyright © 2017 Kasie West

Published by the arrangement with HarperTeen and Maxima Creative Agency

Love, Life, and the List

Alih Bahasa: Serly Octavia

Penyunting: Grace Situngkir

Penata Letak: Kum@rt

Hak Cipta Terjemahan Indonesia

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali pada tahun 2018 oleh

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

718031422

ISBN: 978-602-04-8015-2

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Page 6: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

SATU

“Panas atau dingin?”

“Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-

buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin itulah

maksud pertanyaan Cooper. Panas. Begitu panasnya sampai keringat berbulir-

bulir di balik lututku. Kami telah mengantre untuk menonton film di pantai

selama dua puluh menit, dan aku sedang menanti-nanti matahari terbenam

dan embusan angin datang menerpa.

Dia menggeleng. “Aku tahu itu, tapi maksudku, kau lebih memilih mati

kedinginan atau kepanasan?”

“Sinting.” Aku mengerutkan bibir. “Tapi kau benar, itu per ta nya an yang

berbeda. Kudengar mati kedinginan adalah kebahagiaan.”

“Dari siapa kau mendengarnya? Apa arwah orang-orang yang mati

kedinginan mendatangimu?”

“Ya. Setiap hari. Ngomong-ngomong, kau lebih memilih di ku tuk melihat

hantu atau zombi?”

“Dikutuk? Dikutuk?” Dia mencengkeram bahuku dan meng gun cangnya.

“Tak satu pun dari keduanya merupakan kutukan bagiku. Luar biasa. Aku pilih

dua-duanya.”

Page 7: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

2

“Bukan begitu aturannya. Kau mesti memilih salah satu.”

“Hantu. Semoga mereka bisa memberitahuku tentang masa depanku.”

“Hantu tidak bisa membaca masa depan,” ujarku selagi kami bergeser ke

depan antrean, beringsut lebih dekat ke loket. Pasir menyelip di antara kaki

dan sandal jepitku, dan aku mengibas kannya.

“Kata siapa?”

“Kata semua orang, Cooper. Kalaupun ada, hantu hanya me nge tahui masa

lalu.”

“Yah, mungkin tidak untuk hantumu, Abby, tapi hantu-hantuku adalah

hantu peramal masa depan. Itu akan luar biasa.”

Gadis yang berdiri di antrean depan kami berbalik dan ter senyum kepada

Cooper. Mungkin dia pikir Cooper sangat meng gemaskan. Dan begitulah

kenya ta an nya. Gadis itu sebaya dengan kami. Rambutnya ditarik ke atas

membentuk sanggul berantakan yang disengaja dan aku bertanya-tanya

bagaimana orang-orang menganggap penampilan itu tampak disengaja dan

bukannya se kadar berantakan.

“Hei,” Cooper menyapa gadis itu. “Apa kabar?”

“Sekarang lebih baik,” jawabnya sambil cekikikan, lalu berbalik.

Aku menggelengkan kepala. “Jangan pedulikan aku. Kau tahu, cewek yang

berdiri di depan cowok yang menggodanya.”

Aku yakin dari nada bicaraku gadis itu tahu aku sedang bercanda, tapi

Cooper tetap meletakkan tangannya di atas mulutku dan berujar, “Sahabat si

cowok berdiri di sini. Cuma teman. Cowok itu masih jomlo.”

Aku membebaskan mulutku dari tangan Cooper dan tertawa, meskipun

bagian “cuma teman” tadi tidak disengaja. Sebetulnya, aku sudah menyatakan

cintaku pada Cooper tepat satu tahun lalu persis pada bulan ini. Kentara

sekali dari reaksinya bahwa pe ra saanku tidak berbalas. Makanya aku harus

bersandiwara seolah ini lelucon. Lelucon yang tanpa ragu ikut dimainkannya.

Dan aku membiarkannya, karena aku tidak mau kehilangan dirinya sebagai

teman. Dia adalah sahabat terbaik di dunia.

Page 8: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

3

Terdengar suara dari belakang kami. “Yang menerbitkan per tanyaan, kau

lebih memilih menghabiskan waktu bersama sa ha bat mu satu malam lagi atau

berkemas semalaman untuk per ja lanan yang dipaksakan orangtuamu selama

musim panas?”

Aku berputar, senyuman menghiasi wajahku. “Jangan gunakan istilah

menerbitkan, Rachel. Kakekku yang berusia delapan puluh tahun menggunakan

istilah itu,” ujarku.

Rachel berdiri di sana dengan tangan di atas pinggang dan mata gelapnya

berkilat-kilat. “Dari situlah aku mengambilnya. Dan usianya baru enam puluh

delapan tahun.”

Aku menubrukkan pinggangku ke pinggangnya, lalu meme luk nya. “Dari

mana kau tahu kami sedang bermain kau pilih yang mana?”

“Bukankah kita selalu melakukannya?”

“Kukira kau takkan sempat malam ini,” ujarku.

Ada empat orang dalam kelompok persahabatan kami: Cooper, Rachel,

Justin, dan aku. Justin sudah bertolak minggu lalu dan akan pergi selama musim

panas untuk sebuah misi ke Amerika Selatan bersama gerejanya. Rachel

akan pergi besok untuk sebuah tur keliling Eropa bersama orangtuanya. Jadi

selama sisa musim panas hanya akan ada aku dan Cooper.

“Kukira juga begitu. Sekarang, kembali ke pertanyaanku tadi,” ujar Rachel.

“Berkemas atau sahabat?”

“Itu pertanyaan yang sulit, Rach,” ujar Cooper. “Mungkin ber kemas.”

Rachel menyikut lengan Cooper. “Lucu.”

Akhirnya kami mencapai bagian depan antrean. Cooper me lang kah ke

meja tertutup yang berfungsi sebagai stan tiket setiap Jumat malam sepanjang

musim panas. Seorang pria yang berdiri di balik kotak uang berkata, “Apa kau

Cooper?”

“Yaaaa,” jawab Cooper lambat-lambat.

“Gadis itu membayar bagianmu.” Pria itu mengangguk ke arah si Sanggul

Berantakan, yang berdiri di depan kami dan saat ini sedang berjalan menuju

pintu masuk. Dia pasti telah men dengarku menyebut nama Cooper barusan.

Page 9: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

4

“Bagaimana dengan kami?” aku memanggilnya seraya meng gandeng

lengan Rachel.

Gadis itu melemparkan senyum dari balik bahunya lalu me lambai.

“Kau brengsek,” ucapku pada Cooper. “Di mana orang-orang yang

bersedia membayarkan hiburan Jumat malamku?” Aku mengaduk-aduk

isi tas pantaiku, melewatkan handuk dan sweter, sampai aku menemukan

dompetku. Aku mengulurkan uang pada kasir dan menerima tiket. Rachel

melakukan hal yang sama.

“Kau harus mengasah pesonamu,” ujar Cooper.

“Aku orang yang paling memesona di sini.” Aku menyandang tasku

kembali dan tasku bergoyang maju mundur seperti pendulum. “Pesona

memancar keluar dari pori-poriku.”

“Jorok,” ujarnya. “Kalau begitu maksudmu, caramu salah.”

“Ayo dapatkan pancaran pesona kalian, cowok-cowok!” Aku berteriak

pada barisan di belakang kami.

“Minggir dari sana,” seseorang menyahut.

Rachel menarikku menjauhi antrean, mungkin dia malu. Coo per pergi ke

kiri, menuju stan makanan, persis di sebelah pem batas.

“Kita makan makanan mewah malam ini?” tanyaku.

“Sepertinya aku punya uang lebih. Aku bisa membeli popcorn sepuluh

dolar sekarang.”

“Aku benci kau. Aku akan makan semua popcorn-mu,” ujarku.

Dia tertawa. “Kau benar-benar memancarkan pesona, Abby Turner.

Banyak sekali.”

Aku mendaratkan ciuman padanya. “Kami akan mencari tem pat. Kau

carilah makanan.”

“Siap.”

Aku baru saja berniat untuk melangkah pergi bersama Rachel saat aku

melihat gadis yang membelikan tiket untuk Cooper se karang sedang meng-

antre di depan food truck. Aku hampir saja berubah pikiran dan meminta

Page 10: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

5

Rachel untuk pergi duluan mencari tempat agar aku bisa bergabung dengan

Cooper. Tapi aku membatalkannya. Aku tidak ingin menyaksikan seluruh

rayuan gombalnya. Sudah cukup aku melihatnya.

“Jadi kau tidak akan pernah menebak apa yang orangtuaku putuskan,”

ujar Rachel ketika aku mengeluarkan beberapa buah handuk dari dalam tas

dan kami membentangkannya di sisi kanan pembatas.

“Bahwa kau tidak perlu pergi bersama mereka dan sebagai gantinya kau

akan tinggal bersamaku sepanjang musim panas?” tebakku.

“Kuharap begitu.”

“Kau tahu betapa menyebalkannya dirimu mengeluhkan perja lanan ke

Eropa selama sembilan minggu?”

“Bersama orangtuaku. Orangtuaku. Ini bukan seperti per ja lanan back-

packing ala anak muda bersama teman-teman. Kami akan pergi mengunjungi

makam-makam leluhur dan sembarang petak tanah yang mereka pikir pernah

dipipisi saudara kakek buyutku atau semacam itu.”

“Tunggu, leluhurmu orang Eropa?”

“Beberapa. Kau kira di Eropa tidak ada orang kulit hitam? Oh, Abby.”

“Bukannya aku tidak mengira … kau benar, aku bodoh. Jadi, ngomong-

ngomong, apa keputusan orangtuamu?”

“Ini adalah perjalanan bebas teknologi.”

“Apa maksudnya?” Aku duduk di atas handuk dan melepaskan sandal

jepitku. “Tanpa Google Maps?”

“Tanpa ponsel.”

Mataku melebar. “Kau tidak boleh membawa ponsel?”

“Mereka bilang itu detoks.”

“Itu penyiksaan.”

“Aku setuju!” Dia menjatuhkan diri di sampingku. “Kau tidak diizinkan

melakukan hal-hal yang menyenangkan musim panas ini, karena aku takkan

bisa mendengarnya.”

“Jangan khawatir. Saat kau kembali, semuanya akan kembali sama,” ujarku.

Persis. Sama.

Page 11: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

6

“Sebaiknya begitu.”

Aku menggali pasir dengan jari-jari kakiku dan mengamati Cooper ber-

jalan menuju ke arah kami sambil membawa popcorn dan sebotol air. Rambut

pirangnya sedikit berombak malam ini dan memantulkan secercah cahaya

terakhir bagaikan sebuah halo. Mata birunya, diterangi oleh senyumnya, ber-

temu dengan mata ku dan aku tidak bisa menahan senyum yang menjalar di

wajahku.

“Bagaimana truk konsesinya?” tanyaku.

“Konsesi? Dan kau mengolok-olok Rachel karena menggunakan istilah

kakek-kakek?”

“Bla bla bla, terserah.”

Dia duduk di atas handuk bergaris-garis kuning dan putih di sebelah

kananku dan mengulurkan botol air kepadaku.

“Apa ini sampah? Aku mau kafein.”

“Baru kemarin kau bilang padaku kau tidak minum soda lagi. Bahkan kau

mengatakannya dengan cukup dramatis. Lalu kau bilang, jaga aku agar tetap

berada di jalan yang benar, Cooper.”

“Apa?” tanya Rachel dari sisi kiriku. “Kau menghabiskan satu setengah liter

Mountain Dew di rumahku kemarin malam.”

“Sttt.” Aku menekankan jariku pada bibirnya. “Kita tidak sedang

membicarakan hal itu.”

Copper bersungut-sungut dan Rachel menepis tanganku.

“Memangnya kalian pikir aku siapa? Wonder Woman? Oh, ya ampun.”

Aku membuka tutup botol dan meminum isinya.

“Namanya Iris,” Cooper mengangguk ke arah food truck dan gadis yang

sudah membelikannya tiket.

“Oh tidak,” ujar Rachel.

Aku mendengungkan simpati palsu. “Kegagalan telak—nama yang tidak

bisa disingkat. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memberitahukan namanya

padamu akan menjadi akhir baginya.”

Page 12: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

7

“Itu tidak bisa disingkat sama sekali. I. Apa seharusnya ku panggil dia I?”

tanya Cooper.

“Kau bisa mengatasi sifat pemalasmu dan panggil saja dia dengan nama

lengkapnya.”

“Ini bukan tentang malas. Ini tentang harapan percintaanku. Aku ingin bisa

memanggil pacarku dengan versi singkat namanya.”

Aku mendengkus. “Aku tahu kau berpikir bahwa itu mem buatmu tampak

seksi atau apa pun, tapi sungguh itu tidak seksi.”

Dia mencomot segenggam popcorn dan mengangkat bahu. “Masa bodoh.”

Aku berpikir sejenak. “Bagaimana kalau Ris?” Aku tidak yakin kenapa aku

berusaha membantunya dengan gadis baru ini ter le pas dari fakta bahwa hal

itu membuat perasaanku remuk. Perasaan yang tidak diketahui orang lain

selain aku … dan ibuku … dan mungkin Cooper, meskipun aku cukup yakin

telah meyakinkan dia bahwa aku hanya bercanda musim panas lalu.

“Ris kedengarannya imut,” Rachel mengambil segenggam penuh popcorn

bagiannya dari ember Cooper.

“Huh,” ujarnya. “Boleh juga. Untung aku punya nomornya.”

“Harusnya dia membelikan aku tiket nonton. Aku baru saja me nye-

lamatkan peluangnya.” Aku menyaksikan matahari ber teng ger di atas tepi

lautan sebelum ia mencelupkan diri ke ba wah nya.

“Bagaimana dengan kalian berdua?” tanya Cooper. “Apa ha rap an

percintaan kalian?”

“Harapanku dalam waktu dekat ini,” ujar Rachel, “adalah ber temu

seorang cowok Italia dengan rambut panjang berombak dan aksen yang

kental sampai-sampai aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya, tapi dia

memiliki bibir yang luar biasa, jadi itu bukan masalah.”

Aku tertawa. “Apakah ini sebelum atau sesudah kau dan orang tuamu

menemukan petak tanah yang dipipisi paman buyutmu?”

“Pastinya sebelum … dan sesudahnya juga. Bagaimana dengan mu, Abby?”

tanya Rachel. “Harapan percintaanmu?”

Page 13: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

8

Aku duduk dan mulai menggambar di atas pasir dengan jari telunjukku.

“Pastinya seorang seniman. Seseorang yang bisa melukis atau menggambar

sesuatu.”

“Tapi bagaimana kalau dia lebih baik darimu? Kenapa kau menginginkan

seseorang yang memiliki bakat yang sama seperti dirimu?” tanya Rachel.

Ya,” Cooper setuju. “Itu akan berubah menjadi kompetisi.”

“Hanya karena kau mengubah segalanya menjadi sebuah kompetisi,

Coop, bukan berarti orang lain juga melakukannya.”

“Lihat, namaku sempurna. Bisa disingkat dengan hasil yang epik.”

“Aku tidak tahu itu bisa disebut epik atau tidak, tapi itu manis,” ujarku.

“Sebenarnya, itu mengingatkanku,” ucap Rachel. “Seseorang menanyakan

tentang salah satu karyamu baru-baru ini. Dia ingat pernah melihatnya di

ruang seni sebelum sekolah bubar dan belum bisa menghilangkannya dari

kepalanya.”

“Siapa yang menanyakannya?”

“Aku tidak mengenalnya. Dia menghentikanku di Starbucks. Kurasa dia

tahu kita berteman.”

“Keren,” ujar Cooper.

Aku menggigit bibirku dan tersenyum. Aku ingin berteriak, lihat, Cooper,

aku punya kemampuan. Aku cewek yang tidak buruk-buruk amat. Aku seorang

seniman.

“Jadi soal harapan percintaan barusan,” ujar Rachel. “Apakah mengagumi

senimu sebanding dengan menjadi seorang seniman? Karena jika demikian,

kau harus mengajak cowok misterius itu kencan.”

“Ya! Harus,” ujar Cooper.

“Mengagumi karya seni adalah nomor dua setelah menjadi seniman.

Untunglah kau punya begitu banyak informasi terperinci tentang siapa dia,

Rachel.”

“Itu masalah kecil.”

Film dimulai pada layar lebar di hadapan kami, musik yang memekakkan

telinga terdengar dari pelantang suara.

Page 14: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

9

Rachel mendekat ke telingaku. “Aku harus ke kamar mandi. Aku akan

segera kembali.” Dia bergegas pergi.

Cooper bergerak tengkurap, memosisikan dirinya di sampingku sehingga

pundak kami saling bersentuhan. Dia mulai menggambar manusia-manusia

tongkat di pasir di sebelah gambar yang kubuat. “Hanya kau dan aku musim

panas ini,” ujarnya.

Jantungku melonjak mendengar kata-kata itu. Kita sudah sele sai dengan

Cooper, aku mengingatkan jantungku. Bagai manapun juga, dia adalah salah

satu sahabat baikmu. Kita bisa mengatasi musim panas sendirian bersama

Cooper Wells. “Yap.” Aku men jangkau dan menambahkan roda pada bagian

bawah salah satu manusia tongkatnya. “Kau balapan di bukit pasir minggu ini?”

Cooper membalapkan ATV-nya di sebuah liga amatir yang diben tuk oleh

beberapa pecinta ATV.

“Hari Rabu nanti. Aku mengharapkan kehadiranmu di sana dengan

spanduk besar bertuliskan, ‘Cooper nomor satu’.”

“Tapi bagaimana kalau kau jadi nomor dua? Pasti rasanya akan canggung.”

Dia membenturkan bahunya ke bahuku.

“Aku akan datang. Memangnya aku pernah tidak datang?”

“Yah, kau biasanya datang bersama Rachel dan Justin, jadi aku tidak yakin.”

“Aku biasa datang tanpa mereka selama ini.” Aku bertemu dengan

Cooper lebih dulu saat kelas delapan. Kami berteman sejak saat itu. Rachel

dan Justin bergabung bersama kami di tahun pertama SMA.

“Itu benar. Dan aku memutuskan bahwa kau adalah jimat keberuntunganku,

jadi kau harus terus datang selamanya.”

“Pasti.” Selamanya aku akan menjadi penggemar setia Cooper. Gagasan

menyedihkan itu hampir membuatku kabur saat itu juga dan mendapatkan

kembali sedikit martabatku. Tapi kemudian dia tersenyum kepadaku.

Page 15: Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin

DUA

Selama musim panas, aku biasa tidur selama yang kubisa. Tetapi pagi berikutnya

segaris cahaya dari jendela merayap ke dalam kamarku melalui kerai yang

terbuka sebagian dan tak mau pergi. Aku berdiri, melintasi kamarku, dan

menutup kerainya. Aku me nyusup kembali ke balik selimutku, menariknya

sampai ke te linga. Hal tersebut tidak menghentikanku mendengar dengung

ponsel di atas meja di sampingku. Aku bermaksud menga bai kan nya, tapi saat

benda itu berdengung lagi, aku tidak dapat me nahan rasa penasaranku. Pesan

dari Rachel menerangi layar ponselku.

Ini akan menjadi pesan terakhir yang kukirimkan selama sembilan

minggu.

Pesan itu diikuti oleh: Apa yang akan kau lakukan tanpaku?

Mungkin lebih banyak tidur.

Benar. Aku juga. Apa yang terjadi kalau aku suka hidup tanpa ponsel?

Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Bahkan kalaupun aku menyukainya, aku

takkan pernah membiarkan orangtuaku mengetahuinya. Mereka ba­

kal ke le wat senang.