43
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Photoku Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Media Untuk Edukasi Bangsa Cedera Otak dan Metode Glenn Doman (Patterning Therapy) 7 Juli 2011 oleh Majalah Anak Spesial pada 01 Maret 2010 jam 9:54 Saat bayi Anda sudah mampu berjalan pada usia seharusnya ia merangkak, janganlah Anda cepat merasa bangga dan senang hati! Bisa jadi anak Anda tersebut potensial mengalami yang namanya cedera otak. Apa itu cedera otak? Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, cedera otak atau lumpuh otak adalah gangguan kendali terhadap fungsi motorik dikarenakan kerusakan pada otak yang sedang berkembang. Sementara itu dalam buku Apa yang Dapat Dilakukan Pada Anak Anda yang Cedera Otak yang ditulis Glenn Doman, definisi anak cedera otak adalah ”setiap anak yang mengalami sesuatu yang mencederai otaknya”. Sesuatu ini dapat terjadi kapan pun, mulai ketika anak masih ada dalam kandungan, selama proses kelahiran, setelah dilahirkan, hingga anak cukup besar.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

teori

Citation preview

Page 1: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating

Diyu

Photoku

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating   Diyu

Media Untuk Edukasi Bangsa

Cedera Otak dan Metode Glenn Doman (Patterning   Therapy)

7 Juli 2011

oleh Majalah Anak Spesial pada 01 Maret 2010 jam 9:54

Saat bayi Anda sudah mampu berjalan pada usia seharusnya ia merangkak, janganlah Anda

cepat merasa bangga dan senang hati! Bisa jadi anak Anda tersebut potensial mengalami

yang namanya cedera otak.

Apa itu cedera otak?

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, cedera otak atau lumpuh otak adalah gangguan kendali

terhadap fungsi motorik dikarenakan kerusakan pada otak yang sedang berkembang.

Sementara itu dalam buku Apa yang Dapat Dilakukan Pada Anak Anda yang Cedera Otak

yang ditulis Glenn Doman, definisi anak cedera otak adalah ”setiap anak yang mengalami

sesuatu yang mencederai otaknya”. Sesuatu ini dapat terjadi kapan pun, mulai ketika anak

masih ada dalam kandungan, selama proses kelahiran, setelah dilahirkan, hingga anak cukup

besar. Sesuatu atau masalah tersebut mempengaruhi kemampuan otak untuk menyerap

informasi (sensorik) atau kemampuan otak untuk merespons informasi (motorik).

Meski seringkali hanya dikaitkan dengan penderita cerebral palsy, cedera otak sebenarnya

juga merupakan inti permasalahan pada anak-anak yang menyandang berbagai label

gangguan perkembangan, seperti autisme, hiperaktif, epilepsi, down

syndrome, serta berbagai gangguan lain yang kian bertambah jumlahnya sekarang ini. Jika

cedera otak pada palsi serebral sebagian besar cenderung mempengaruhi kemampuan

fisiknya, cedera otak pada autisme dan gangguan hiperaktif, misalnya, cenderung

Page 2: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

mempengaruhi penalaran indera mereka, baik inner sense (pancaindera)

ataupun outer sense (vestibular, pro-prioception, dan tactile), dan

gangguan ini mendatangkan pelbagai permasalahan yang menyiksa hidup

mereka setiap detik. Mereka tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri,

bahkan ada yang membenci badannya sehingga kerap melukai badan mereka

sendiri. Derita mereka sering jauh lebih berat dibandingkan derita

orangtua mereka sendiri. Mereka terperangkap pada badan yang penuh masalah dan kendala.

Namun, apapun label yang diberikan pada anak kita, inti permasalahan sebenarnya adalah

bahwa anak kita itu memiliki otak yang cedera atau terluka, karena itu dalam penanganannya

pun haruslah pada bagian yang terluka itu.

Penyebab cedera otak

Seperti sudah disebutkan sebelumnya, cedera otak terjadi dikarenakan suatu masalah atau

kecelakaan yang berakibat pada cederanya otak si anak. Kecelakaan tersebut bisa terjadi

kapan saja, mulai ketika anak masih dalam kandungan, selama proses kelahiran, setelah

dilahirkan, atau saat anak beranjak dewasa.

Selama masa pembuahan, cedera otak bisa terjadi bila ada faktor genetik yang

mempengaruhi, seperti kelainan kromosom yang menyebabkan kelainan otak pada anak

Down Syndrome. Ketidakcocokan rhesus darah pada pasangan suami-istri juga bisa

menyebabkan cedera otak.

Sementara itu, cedera otak juga bisa disebabkan faktor eksternal seperti trauma kepala,

radang, pendarahan otak, serta penyakit yang bisa merusak otak secara progresif seperti

tumor otak. Anak yang mengalami cedera otak kehilangan kemampuan untuk menyerap

informasi (sensorik) dan merespons informasi (motorik).

Contoh kasus yang banyak terjadi adalah cedera otak pada bayi prematur, yang merupakan

akibat dari adanya gangguan saat kehamilan si bayi. Redistribusi aliran darah janin dan tanda-

tanda ketidakcukupan plasenta bisa mengakibatkan volume otak yang lebih kecil pada bayi

prematur. Pada kondisi ini, janin mengarahkan sebagian besar aliran darah ke otaknya.

Para ahli berpendapat bahwa radang plasenta dapat mengakibatkan cedera otak pada bayi

prematur. Sekitar 45% bayi prematur ternyata mengalami radang plasenta. Namun demikian,

radang plasenta bukanlah satu-satunya penyebab utama cedera otak ataupun gangguan

pertumbuhan otak bayi. Tingkat prematurlah yang sebenarnya sangat mempengaruhi tingkat

resiko cedera otak.

Contoh lain adalah cedera otak yang terjadi pada orang dewasa, yakni pada mantan petinju

Page 3: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

dunia, Greg Page. Page mengalami cedera otak ketika bertanding di Louisville. Saat itu, Page

koma selama satu minggu ketika bertanding memperebutkan gelar WBA. Ia mengalami koma

ketika menjalani operasi seusai bertanding dan lemah pada bagian tubuhnya sebelah kiri dan

setelah itu ia sempat menjalani terapi sebelum akhirnya meninggal dunia pada usia 50 tahun.

Ciri-ciri cedera otak

Cedera otak pada anak sebenarnya sudah bisa diketahui gejalanya sejak usia bayi 3-6 bulan,

yakni saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan. Bila orangtua jeli, umumnya gejala

atau ciri tersebut bisa dilihat secara kasat mata, seperti refleks pada bayi yang seharusnya

menghilang tapi masih ada (misal: refleks menggenggam yang harusnya hilang saat bayi

berusia tiga bulan) dan bayi yang berjalan jinjit atau merangkak dengan kaki satu diseret.

Yang terjadi pada anak cedera otak biasanya adalah entah dia tidak dapat berjalan, tidak

dapat berbicara, atau setidak-tidaknya kekurangan salah satu kemampuan itu sebagaimana

halnya anak-anak normal.

Anak yang sehat seharusnya merangkak sebelum ia berjalan, merayap sebelum ia merangkak

dan ia tidak akan berjalan tanpa adanya kesempatan untuk berlatih dengan mengusahakan

untuk maju melalui tahap-tahap itu. Anak cedera otak berada di hampir semua tempat kecuali

di tempat di mana seharusnya ia berada, yaitu di lantai. Anak cedera otak yang hampir tidak

dapat berjalan dan tidak dapat berlari, pola merangkak mereka buruk dan sama sekali tidak

dapat merayap dengan posisi tengkurap. Anak-anak cedera otak yang mampu berjalan dan

berlari tidak pernah mendapat kesempatan merayap dan merangkak karena mereka memiliki

disorganisasi atau cedera pada otak tengahnya.

Selain gejala yang bisa dilihat sejak anak masih bayi, yang perlu diperhatikan adalah gejala

yang terjadi bila seseorang mengalami kecelakaan dan mengalami benturan keras pada

bagian kepalanya dengan sesuatu (seperti jok mobil, aspal, dan sebagainya). Kecelakaan ini

bisa terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Orang tersebut harus diobservasi

setidaknya selama 24 jam dan dilihat apakah ada tanda-tanda terjadinya cedera otak, seperti

sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, pandangan mata kabur atau ganda, kesadaran

menurun, separuh tubuh mengalami kelemahan. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut di atas,

segeralah bawa yang bersangkutan ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.

Jenis-jenis Cedera Otak

Secara umum cedera otak dikelompokkan dalam empat jenis yaitu:

1. Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini

Page 4: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita cedera otak masuk dalam

tipe ini.

2. Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya

mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang aneh.

3. Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.

4. Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh

tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid.

Cedera otak juga bisa berkombinasi dengan gangguan epilepsi, mental, belajar, penglihatan,

pendengaran, maupun bicara.

Menangani Cedera Otak

Ketika seorang anak divonis mengalami cedera otak, sering kali orangtua bingung harus

berbuat apa. Berbagai terapi dilakukan untuk membuat anak-anak mereka normal kembali

seperti terapi fisik, terapi wicara, dan terapi penglihatan. Sayangnya, hasilnya kerap dianggap

kurang memuaskan meskipun pada beberapa kasus terapi semacam ini membawa sedikit

perubahan. Padahal anak yang mengalami cedera otak sebenarnya mempunyai peluang hidup

seperti anak normal. Dengan mendayagunakan bagian otak yang masih sehat, anak cedera

otak bisa dioptimalkan kemampuan motorik maupun intelektualnya. Anak yang mengalami

cedera otak sering dianggap bodoh karena mereka tidak mampu bicara, berdiri, atau berjalan.

Padahal jika kemampuan otaknya bisa dioptimalkan, anak cedera otak bisa memiliki

kemampuan intelektual sama dengan anak normal atau bahkan melebihi anak normal.

Direktur The Institutes for The Achievement of Human Potential dari Philadelphia, Amerika

Serikat, Douglas Doman, mengatakan, terapi yang dilakukan pada anak-anak yang

mengalami cedera otak banyak yang salah sasaran. Anak dengan cedera otak sulit mengalami

kemajuan karena terapi dilakukan hanya untuk mengobati gejalanya, bukan pada sumber

penyebabnya. ”Kalau sumbernya ada di otak, terapi seharusnya dipusatkan pada otak, bukan

pada anggota tubuh yang dianggap bermasalah,” kata Douglas.

Anak yang mengalami cedera otak masih bisa ”diperbaiki” karena biasanya kerusakan tidak

terjadi menyeluruh, tetapi hanya bagian-bagian tertentu saja. ”Masih ada sel otak yang bisa

diformat ulang,” kata Douglas. Format ulang dilakukan dengan menciptakan gerakan dasar

yang seharusnya dilewati seluruh manusia sejak kelahirannya, yaitu bergerak tanpa pindah

tempat, merayap, merangkak, dan berjalan. Gerakan dasar ini diciptakan untuk menstimulasi

otak. ”Lama-lama otak akan menyerap informasi kemudian akan merespons balik informasi

tersebut,” kata Douglas.

Page 5: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Metode Glenn Doman

Mungkin orangtua anak-anak cedera otak mulai dari autisme, adhd, down syndrome, atau

cerebral palsy sudah sangat lelah dan jenuh dengan banyaknya ragam terapi yang mereka

berikan untuk anak-anak mereka itu, namun hanya memberikan hasil yang tak seberapa.

Ditambah lagi biaya terapi yang cukup mahal dan kurang terjangkau sehingga harta orangtua

yang memiliki anak-anak dengan cedera otak umumnya

habis terkuras untuk membiayai terapi anak-anaknya. Dengan terapi Glenn Doman (GD),

orangtua tak perlu mengeluarkan banyak biaya dan terapi ini juga mudah untuk dilakukan

sendiri di rumah. Namun, terapi ini memang mengharuskan orangtua mencurahkan segala

daya dan perhatian pada sang anak, dan hali ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Anak yang mengalami cedera otak pada umumnya perlu napak tilas melewati proses

merayap, merangkak, berjalan, dan berlari, sebab mereka tidak melalui semua ini dengan

sempurna. Tujuannya, untuk mematangkan cerebral cortex (otak bagian atas mereka). Karena

itu, inti metode terapi GD pada prinsipnya adalah menstimulasi otak secara maksimal untuk

membuat jembatan-jembatan baru menutupi bagian otak yang cedera tersebut. Dengan

demikian, perhatian metode GD ini tertuju pada otak anak-anak cedera otak yang sedang

”korsleting” dan kemudian berusaha mengajarkan otak untuk memperbaiki ”korsleting

tersebut.

Metode Glenn Doman dirancang untuk menciptakan kanal-kanal baru pada bagian otak yang

belum terpakai. Kanal baru itu nantinya bisa memotong jalur penyampaian informasi pada

otak yang cedera. Menurut Douglas Doman, sebagian besar manusia menggunakan potensi

otaknya hanya dua sampai tiga persen dan selebihnya belum terpakai.

Metode GD melakukan semacam reformatting pada otak anak-anak, mendayagunakan bagian

otak yang sehat dengan membuka kanal baru di otak sehingga kita bisa mem-bypass bagian

otak yang rusak. Serangkaian gerak dasar yang harus dilakukan merayap dan merangkak

untuk melancarkan aliran darah ke kaki dan tangan yang kerap bertemperatur lebih rendah

dibandingkan suhu di tubuh. Ini juga untuk mempererat sambungan central nervous system

dan peripheral nervous system yang kadang “sekrup” penghubungnya “dol” (too lose) atau

terlalu keras (too tight) sehingga kelenturan geraknya berkurang.

Disiplin dan Tega: Kunci Keberhasilan Glenn Doman

Kasih sayang dan perhatian orangtua sangat penting demi kemajuan perkembangan anak-

anak berkebutuhan khusus, karena dukungan berupa kasih dan kelembutan memang bisa

memberikan motivasi bagi anak-anak kita.

Page 6: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Namun, terlalu sayang juga bisa menjadi kelemahan orangtua bagi kemajuan anaknya.

Karena, dalam beberapa kasus, saking besarnya rasa sayang orangtua pada si anak, si

orangtua menjadi tidak tega saat harus menjalani terapi pada anaknya yang pada akhirnya

akan menghambat kemajuan si anak itu sendiri.

Sikap seperti itulah yang yang harus dibuang jauh-jauh bila ingin sungguh-sungguh

merasakan keberhasilan metode Glenn Doman ini. Karena metode ini memang

mengharuskan peran serta orangtua dan anggota keluarga lainnya di rumah dalam

menerapkannya, alhasil mereka pun harus bisa disiplin menerapkannya. Bahkan, bisa

dibilang, orangtua harus bisa membuang rasa kasihan pada si anak dan menerapkan sikap

keras dan tega.

Jangan sampai saat sedang melakukan terapi pada anak pada waktu yang sudah ditentukan,

orangtua kemudian menghentikan terapi dari waktu yang sudah seharusnya dengan alasan

”tidak tega”, ”kasihan”, ”dia sudah capek”, atau alasan-alasan lainnya yang mengatas-

namakan anak. Padahal, bisa saja si anak masih mampu melakukannya. Sikap seperti ini tentu

saja bisa berdampak buruk pada kemajuan si anak dan menahan potensi diri yang sebenarnya

ada di dalam si anak tersebut.

Salah satu contoh kasus yang bisa dijadikan pembelajaran adalah yang terjadi pada Ibu

Lanneke atau Lanny, yang merupakan ibunda dari Anthony (17 tahun). Anthony yang

dipastikan menyandang CP saat berusia sekitar enam atau delapan bulan itu, hingga kini tidak

bisa menggunakan kakinya untuk berjalan dan hanya bisa mengandalkan kursi roda.

Walaupun Ibu Lanny sudah menerapkan metode Glenn Doman sejak Anthony berusia di atas

satu tahun, namun kemajuan pada Anthony tidak terlalu banyak, meskipun memang ada. Hal

ini dikarenakan sikap sang ibu yang menyayangi anaknya dan tidak secara disiplin

menerapkan metode GD akibat rasa ’tidak tega’ tadi.

”Mungkin kasus saya ini bisa dijadikan pelajaran buat para ibu dari anak penyandang CP

lainnya. Seorang ibu sayang pada anaknya itu adalah sesuatu yang alamiah. Namun, tak

selamanya rasa sayang itu ditunjukkan dengan kelembutan, terkadang kita harus menjadi

keras dan disiplin demi kebaikan anak-anak kita,” tutur Ibu Lanny.

Ibu Lanny kembali menjelaskan bahwa kesalahannya sebagai orangtua adalah bahwa saking

terlalu sayangnya pada anak, sehingga ia menjadi terlalu protektif dan berhati-hati dalam

memperlakukan Anthony. Alhasil, metode GD yang ia lakukan pun tidak terlalu membawa

hasil yang maksimal bagi perkembangan Anthony, dikarenakan ia tidak menerapkan metode

yang ada secara menyeluruh alias setengah-setengah.

”Memang sampai sekarang pun terkadang saya masih melakukan terapi GD pada Anthony,

Page 7: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

tapi sudah agak sulit dikarenakan tubuh Anthony yang cukup besar karena usianya sudah 17

tahun. Saya tidak bisa lagi mengatur dia seenaknya lagi karena dia pun memiliki tenaga yang

lebih besar dari saya.”

Anthony yang sekarang memang sudah mengalami kemajuan dibandingkan beberapa tahun

yang lalu. Meskipun tidak bisa berjalan, ia bangun sendiri dari kasur untuk duduk.

Makanannya pun tidak lagi harus dihaluskan, ia kini sudah bisa mengunyah makanan jenis

apapun, termasuk makanan keras seperti kerupuk atau keripik. Ia juga tidak lagi sering sakit

seperti dulu, dikarenakan ia kini sudah banyak bergerak dan tidak hanya berbaring di tempat

tidur. Namun, Ibu Lanny berharap kasusnya tidak diikuti oleh para ibu lainnya.

”Sebagai orangtua, kita harus selalu aktif untuk kebaikan anak kita. Kita harus rajin

menerapkan terapi dengan disiplin, jangan setengah-setengah. Yang paling penting adalah,

kita harus menganggap anak kita sebagai anak yang normal, bukan anak cacat dan

sebagainya. Jangan pedulikan omongan orang yang mengatakan bahwa anak kita tidak akan

mampu. Yakinlah mereka bisa dan pasti akan bisa, tergantung dari kita sendiri,” pesan Ibu

Lanny.

Karena itu, siapkah Anda para orangtua menjadi orangtua yang ”tega”, ”keras”, dan

”disiplin” saat menerapkan metode ini? Bila tidak, sebaiknya Anda tidak memulainya sama

sekali.

Beberapa Kisah Sukses dengan Glenn Doman

Banyak orangtua yang melihat perubahan yang cukup besar pada anak-anak mereka setelah

menggunakan metode GD. Salah satu contohnya adalah para orangtua yang tergabung dalam

KOACI (Komunitas Orangtua Anak Cidera otak Indonesia) yang berada di Bandung.

Ibu Leti

Ibunda dari Elfa (4 tahun)

”Elfa sudah didiagnosa CP sejak bayi. Sejak menerapkan metode GD sekitar setahun lalu,

sudah banyak kemajuan yang Elfa dapatkan. Misalnya, kini Elfa sudah mulai berani tiduran

di atas lantai, padahal sebelumnya ia sangat takut menyentuh lantai. Selain itu, Elfa juga

sudah bisa minum dengan sedotan dan bergaya dengan cantik ketika di foto. Elfa juga sudah

bisa duduk meskipun masih dibantu. Padahal, sebelum kenal dengan metode GD, Elfa sempat

diterapi selama tiga tahun di sebuah klinik terapi di Bogor, namun tidak memberikan hasil

yang nyata.

Berawal dari hadirnya saya dalam pelatihan Prinsip 2M (Merem-Melek) di sanggar Buah

Page 8: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Hati Bogor, dimana Mami Ling melatih metode GD, sekitar 3 (tiga) bulan yang lalu.

Berbekal pelatihan dan buku Metode GD yang saya punya, Elfa saya latih setiap hari.

Hasilnya sungguh membuat kami sekeluarga melihat titik cerah kehidupan, dan tentu saja

saya sangat bersyukur dengan kemajuan yang Elfa dapatkan. Hal ini membuat saya ingin

sekali berbagi dengan ibu-ibu lain yang memiliki anak dengan kondisi yang sama. Setiap

bertemu para ibu yang senasib dengan saya, saya selalu menyarankan untuk menerapkan

metode ini.”

Ibu Melly

Ibunda dari Aryo (6,5 tahun)

”Sewaktu Aryo dilahirkan, proses kelahirannya memang mengalami beberapa masalah.

Mungkin karena itulah Aryo mengalami kondisi seperti sekarang ini. Sejak usia empat bulan,

Aryo sudah didiagnosa menyandang CP yang cukup parah. Aryo hanya bisa berbaring karena

seluruh tubuhnya lemas, penglihatan Aryo juga mengalami gangguan. Sejak itu, Aryo pun

diikutkan berbagai jenis terapi, misalnya fisioterapi, namun hingga usianya mencapai empat

tahun, tidak ada peningkatan yang berarti pada Aryo.

Suatu ketika, secara tak sengaja saya membaca potongan surat kabar bekas yang saya

dapatkan ketika saya berada di angkot. Isi potongan surat kabar itu menarik perhatian saya

karena menceritakan kisah Ibu Ling-Ling yang berhasil membuat anak temannya yang juga

CP menjadi layaknya anak normal, seperti berjalan dan berlari. Hingga akhirnya, pada saat

Aryo berusia 4,5 tahun, saya bertemu dengan Ibu Ling-Ling yang kemudian mengenalkan

saya dengan metode terapi GD. Saya pun mulai menerapkannya pada Aryo. Hasilnya,

walaupun sedikit, kini Aryo sudah bisa merayap. Matanya pun kini sudah bisa merespon

gerakan yang ada di depannya, walaupun memang masih harus lebih ditingkatkan lagi.

Target saya saat ini fokus pada mata Aryo, karena saya memang ingin sekali setidaknya dia

bisa melihat. Saya juga ingin menyekolahkan Aryo di TK, supaya lebih meningkatkan

sosialisasinya dengan anak-anak lain.”

Ibu Nurhasanah

Ibunda dari Fadel/Aa (7 tahun)

”Aa sebenarnya lahir dan tumbuh sebagai bayi yang sehat. Hingga saat berusia 9 bulan, saya

membawanya ke puskesmas untuk imunisasi walaupun saat itu ia sedang panas tinggi. Sejak

diimunisasi, panasnya bukan turun malah semakin tinggi dan kondisinya memburuk.

Saat usia 1,5 tahun, saya membawa Aa ke rumah sakit untuk di periksa. Setelah menjalani

Page 9: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

EEG, Aa positif didiagnosa CP. Berbagai terapi pun akhirnya saya coba lakukan. Namun,

kurang membawa hasil. Hingga saat usia Aa mencapai 5,5 tahun, akhirnya saya dan teman

saya (Ibu Melly) tak sengaja menemukan artikel surat kabar mengenai Ibu Ling-Ling. Dari

situlah saya kemudian mengenal metode GD yang kemudian aktif saya terapkan pada Aa

selama 1,5 tahun ini..

Alhamdulillah Aa sekarang sudah bisa melakukan banyak hal layaknya anak normal. Ia

sudah bisa berjalan, berlari, makan sendiri, dan berbicara walaupun masih kurang jelas.

Sekarang Aa sudah sekolah kelas dua SD di sebuah SLB dan ia pun sudah bisa membaca.

Target saya saat ini adalah, saya ingin tahun 2010 nanti sudah bisa membuat Aa berbicara

lebih jelas lagi sehingga bisa dimengerti orang lain.”

Patterning Therapi untuk anak-anak

berkebutuhan   khusus

Dipublikasi pada Maret 12, 2012 oleh PUSAT TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN

KHUSUS

Materi Enrichment

Pusat Therapi Rumah Grahita

Lampung 2010

PATTERNING THERAPI

A. PENDAHULUAN.

Patterning therapy adalah suatu bentuk upaya mem”pola”kan (patterning) gerakan-gerakan

motorik yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi dalam otak yang mengalami

cedera atau kerusakan agar dapat berfungsi kembali secara mandiri.

B. SEL OTAK MANUSIA

Perkembangan otak dimulai dari sejak janin berusia 4 bulan sampai umur 2 tahun. Laju

perkembangan otak yang sangat cepat ini dapat terlihat dari adanya penambahan berat otak

janin usia 4 bulan yaitu 50 gram menjadi 400 gram pada waktu lahir dan akan berkembang

menjadi 1000 gram pada usia 18 bulan. Sel otak manusia mengandung bermilyar-milyar sel

otak (neuron) yang akan terus tumbuh sampai usia 2 tahun. Setelah usia 2 tahun sel akan

terus berkembang “nerve cell connection”. Otak adalah bukan organ yang statis tetapi

dinamis yang senantiasa tumbuh dan berkembang membentuk “nerve cell connection” yang

Page 10: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

baru. Pertumbuhan jaringan antar sel ini dipengaruhi oleh rangsangan dari lingkungannya. C.

NEUROGENESIS Neurogenesis adalah pertumbuhan sel neuron baru. Paradigma lama

mengatakan bahwa otak memproduksi sel neuron baru sampai umur 2 tahun, oleh karena itu

sering dikenal dengan istilah “golden age”karena pada periode pertumbuhan otak ini

berpeluang memberikaan modal jumlah sel otak pada anak. Paradigma baru mengatakaan

bahwa ternyata sel neuron dapat terus tumbuh sampai usia berapapun. Oleh karena itu upaya

optimalisasi potensi otak seolah tidak terbatas. Umur berapapun, stimulasi pada anak akan

memberikan kontribusi pada peningkatan kecerdasannya. D. CEDERA OTAK (BRAIN

DAMAGE) Anak dengan cedera otak akan mengalami gangguan pada satu atau beberapa

fungsi sensori dan atau gangguan fungsi motorik. Untuk mengetahui bagian mana dari otak

yang cedera dan sejauh mana berat ringannya cedera perlu dilakukan pemeriksaan klinis

(Clinical Asessment). Gambaran beberapa keadaan cedera otak yang umum dikenal adalah

kerusakan otak, keterbelakangan mental (mental retarded), cerebral palsy, epilepsi, Autisme,

ADHD, ADD, down syndrome.

Materi Enrichment

Pusat Therapi Rumah Grahita

Lampung 2010

E. PENYEBAB CEDERA OTAK Cedera otak dapat terjadi kapan saja, saat pembuahan, saat

pertumbuhan dalam kandungan, saat lahir atau setelah lahir sampai saat dewasa. Cedera otak

disebabkan oleh :

1. Cedera otak akut akibat trauma kepala, radang otak

2. Malformasi atau kelainan bentuk otak (genetika/kromosom)

3. Gangguan neurodegenerative : penyakit yang merusak sel-sel otak secara progresif

E. ALTERNATIF PENATALAKSANAAN PENANGANAN CEDERA OTAK Patterning

therapy merupakan alternatif penanganan yang dapat diberikan pada keadaan cedera otak.

Manusia melewati 5 tahapan perkembangan (motorik development) yaitu :

Pada bayi baru lahir dapat menggerakkan anggota tubuh, namun tidak dapat berpindah

tempat (movement without mobility).

Bayi belajar bergerak dengan lengan dan tungkainya dengan perut yang menempel pada

lantai yang disebut dengan merayap (crawling).

Bayi belajar menentang gravitasi dengan bergerak menggunakan tangan dan lututnya yang

disebut dengan merangkak (creeping).

Bayi belajar bangkit dengan tungkai bawah dan berjalan, disebut berjalan (walking).

Bayi mulai mempercepat jalannya, berlari (running). Keseimbangan dan koordinasi anak

Page 11: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

bertambah baik,, sehingga anak seolah-olah terbang (flies).

Urutan tahap-tahap perkembangan yang hilang atau terlewati akan mengakibatkan terjadinya

masalah. Ada empat tingkat perkembangan otak yang esensial dan penting yaitu terbentuknya

area dalam otak yang memiliki fungsi-fungi tertentu yaitu :

1. Terbentuknya batang otak awal dan sumsum tulang belakang.

Akar otak ini mengatur fungsi-fungi dasar kehidupan seperti bernafas dan metabolisme , juga

mengendalikan reaksi dan gerakan dengan pola yang sama. Dari akar yang paling primitif ini

terbentuklah pusat emosi (akan dibahas dalam makalah yang lain). Area ini berkaitan dengan

fungsi menggerakkan badan, lengan, tungkai tanpa berpindah tempat.

Materi Enrichment

Pusat Therapi Rumah Grahita

Lampung 2010

2. Terbentuknya batang otak dan area sub kortikal awal. Tingkat ini berfungsi untuk merayap

dengan perut (reptil).

3. Terbentuknya otak tengah dan area sub kortikal, area ini merupakan area fungsional

termasuk ganglia basal, thalamus, otak kecil. Tingkat ini berfungsi untuk merangkak

(Aligator).

4. Terbentuknya korteks yang merupakan puncak otak, yang berkaitan dengan fungsi

pergerakan motorik yang lebih kompleks yaitu berjalan berlari.

Pada korteks terdapat 6 fungsi yaitu : Kemampuan berjalan tegak Kemampuan identifikasi

objek dengan perabaan Kemampuan untuk memahami bahasa verbal Kemampuan berbicara

Kemampuan membaca Kemampuan untuk menjepit objek dengan ibu jari dan telunjuk

sehingga anak mampu untuk menulis.

Penatalaksanaan patterning therapy. Mempolakan gerakan. Gerakan pola satu sisi

(homolateral) dan gerakan pola dua sisi (heterolateral). (Gambar terlampir). Apabila cedera

otak terdapat pada area otak tengah dan subkortikal dapat ditambahkan dengan merangkak.

Bila cedera ada pada batang otak dan area subkortikal awal ditambahkan gerakan merayap.

Perlu diberikan program untuk dilakukan dengan prinsip sebagai berikut :

1. Semua anak yang belum bisa berjalan, setiap hari merayap dengan perut dan merangkak

2. Semua anak diberikan pola gerakan tertentu, bila perlu dengan bantuan

3. Anak dengan gangguan sensoris, diberikan stimulasi sensoris (dibahas pada makalah

Integrasi Sensoris).

4. Anak yang ambidekstral ; masih menggunakan kedua tangannya untuk aktivitas dapat

diberikan program untuk menetapkan dominasi hemispher.

Page 12: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Perlu diingat bahwa keberhasilan therapi ini tergantung pada frekuensi, intensitas dan

lamanya program yang dilakukan .

Categories: Uncategorized | Meninggalkan komentar

DETEKSI DINI ADHD (ATTENTION DEFICIT

HYPERACTIVE DISORDERS) Dr Widodo

Judarwanto   SpA,

Dipublikasi pada Maret 12, 2012 oleh PUSAT TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN

KHUSUS

Pendahuluan

Sejak dua puluh tahun terakhir Gangguan Pemusatan Perhatian ini sering disebut sebagai

ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders. Gangguan ini ditandai dengan adanya

ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga

rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia, Biasanya

disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat

mengganggu perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun

komunikasi.

Gangguan hiperaktif merupakan salah satu kelainan yang sering dijumpai pada gangguan

perilaku pada anak. Dalam tahun terakhir ini gangguan hiperaktif menjadi masalah yang

menjadi sorotan dan menjadi perhatian utama di kalangan medis ataupun di masyarakat

umum.. Angka kejadian kelainan ini adalah sekitar 3 – 10%, di Ameriksa serikat sekitar 3-7%

sedangkan di negara Jerman, Kanada dan Selandia Baru sekitar 5-10%. Diagnosis and

Statistic Manual (DSM IV) menyebutkan prevalensi kejadian ADHD pada anak usia sekolah

berkisar antara 3 hingga 5 persen. Di indonesia angka kejadiannya masih belum angka yang

pasti, meskipujh tampaknya kelainan ini tampak cukup banyak terjadi. Terkadang seorang

anak hanya dianggap ‘nakal’ atau ‘bandel’ dan ‘bodoh’, sehingga seringkali tidak ditangani

secara benar, seperti dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua dan guru akibat dari

kurangnya pengertian dan pemahaman tentang ADHD. Terdapat kecenderungan lebih sering

pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Secara epidemiologis rasio kejadian

dengan perbandingan 4 : 1. Namun tampaknya semakin lama tampaknya kejadiannya

Page 13: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

semakin meningkat saja. Sering dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah,

terdapat kecenderungan keluhan ini akan berkurang setelah usia Sekolah Dasar. Meskipun tak

jarang beberapa manifestasi klinis tersebut dijumpai pada remaja atau orang dewasa. ADHD

adalah gangguan perkembangan yang mempunyai onset gejala sebelum usia 7 tahun. Setelah

usia anak, akan menetap saat remaja atau dewasa. Diperkirakan penderita ADHD akan

menetap sekitar 15-20% saat dewasa. Sekitar 65% akan mengalami gejala sisa saat usia

dewasa atau kadang secara perlahan menghilang. Angka kejadianADHD saat usia dewasa

sekitar 2-7%. Predisposisi kelainan ini adalah 25 persen pada keluarga dengan orang tua yang

membakat.

Deteksi dini gangguan ini sangat penting dilakukan untuk meminimalkan gejala dan akibat

yang ditimbulkannya dikemudian hari. Hal ini harus melibatkan beberapa lapisan masyarakat.

Baik dikalangan medis maupun nonmedis. Dokter umum, dokter spesialis anak dan klinisi

lainnya yang berkaitan dengan kesehatn anak harus bisa mendeteksi sejak dini faktor resiko

dan gejala yang terjadi. Manifestasi klinis yang terjadi dapat timbul pada usia dini namun

gejalanya akan tampak nyata pada saat mulai sekolah melakukan anamnesa terhadap orang

tua dan guru, guna mengevaluasi perkembangan dan mengarahkan pola pendidikan dan

pengasuhan anak dengan hiperaktif bila dapat dilakukan deteksi dini dan penatalaksanaan

pada tahap awal.

DEFINISI

Pada anak normal seringkali menunjukkan tanda-tanda: kurang perhatian, mudah teralihkan

perhatiannya, emosi yang meledak-ledak bahkan aktifitas yang berlebihan. Hanya saja pada

anak dengan kelainan ADHD, gejala-gejala ini lebih sering muncul dan lebih berat

kualitasnya dibandingkan anak normal seusianya.

Pola perhatian anak terhadap suatu hal terbagi menjadi beberapa klasifikasi. Kelompok yang

paling berat adalah over exklusif dimana seorang anak hanya terfokus pada sesuatu yang

menarik perhatiannya tanpa mempedulikan hal lain secara ekstrem (misalnya pada bayi yang

sedang memperhatikan kancing bajunya dan tidak mempedulikan rangsangan lain), pola ini

disebut autisme. Kelompok dengan derajat sedang terjadi fokus perhatian anak mudah

teralihkan. Perhatian hanya mampu bertahan beberapa saat saja oleh suatu rangsangan lain

yang mungkin tidak adekuat. Hal ini dinamakan kesulitan perhatian (attention deficit

hyperactivity disorder). Kondisi normal adalah pola yang paling baik karena anak mampu

memperhatikan sesuatu dan mengalihkannya terhadap yang lain pada saat yang tepat tanpa

Page 14: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

kehilangan daya konsentrasi, pola ini merupakan pola normal perkembangan mental anak

secara matang.

Definisi hiperaktifitas adalah suatu peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan

tertentu yang menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat dan

suasana yang berbeda. Aktifitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan yang

ditandai dengan gangguan perasaan gelisah, selalu menggerak-gerakkan jari-jari tangan, kaki,

pensil, tidak dapat duduk dengan tenang dan selalu meninggalkan tempat duduknya meskipun

pada saat dimana dia seharusnya duduk degan tenang.. Terminologi lain yang dipakai

mencakup beberapa kelainan perilaku meliputi : perasaan yang meletup-letup, aktifitas yang

berlebihan, suka membuat keributan, membangkang dan destruktif yang menetap.

Temperamen seorang anak adalah suatu karakteristik yang hidup dan dinamis, meski

terkadang pada seorang anak lebih dinamis dibandingkan anak lain. Bila terjadi peningkatan

aktifitas motorik yang berlebihan pada seorang anak dibandingkan anak lain sebayanya, maka

sering kali ‘si-anak’ dikeluhkan sebagai hiperaktif oleh orang tuanya. Penilaian semacam ini

sangat subyektif dan tergantung dari standar yang dipakai oleh orang tua dalam menilai

tingkat aktifitas normal seorang anak. Anggapan bahwa si-anak ‘hiperaktif’ mungkin tidak

tepat jika hanya karena si-anak menunjukkan tanda-tanda ‘nakal’ dan ‘bikin ribut’ pada saat

tertentu tetapi secara keseluruhan menunjukkan aktifitas yang normal. Dalam hal ‘anak-ini’

justru kepada orang tuanya yang harus diberikan pengertian dan pengetahuan tentang

bagaimana membimbing dan mengarahkan secara benar seorang anak dengan pola perilaku

yang ‘menurut orang tua’ berlebihan

PENYEBAB

Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara jelas. Seperti halnya

gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan yang bersifat multi faktorial. Banyak

faktor yang dianggap sebagai peneyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,

perkembangan otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat kecerdasan

(IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidak teraturan hormonal, lingkungan fisik, sosial

dan pola pengasuhan anak oleh orang tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di

sekitarnya.

Banyak penelitian menunjukkan efektifitas pengobatan dengan psychostimulants, yang

memfasilitasi pengeluaran dopamine dan noradrenergic tricyclics. Kondisi ini mengungatkan

sepukalsi adanya gangguan area otak yang dikaitkan dengan kekuirangan neurotransmitter.

Sehingga neurotransmitters dopamine and norepinephrine sering diokaitkan dengan ADHD..

Page 15: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Faktor genetik tampaknya memegang peranan terbesar terjadinya gangguan perilaku ADHD.

Beberapa penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa hiperaktifitas yang terjadi pada

seorang anak selalu disertai adanya riwayat gangguan yang sama dalam keluarga setidaknya

satu orang dalam keluarga dekat. Didapatkan juga sepertiga ayah penderita hiperaktif juga

menderita gangguan yang sama pada masa kanak mereka. Orang tua dan saudara penderita

ADHD mengalami resiko 2-8 kali lebih mudah terjadi ADHD, kembar monozygotic lebih

mudah terjadi ADHD dibandingkan kembar dizygotic juga menunjukkan keterlibatan fator

genetik di dalam gangguan ADHD. Keterlibatan genetik dan kromosom memang masih

belum diketahui secara pasti. Beberapa gen yang berkaitan dengan kode reseptor dopamine

dan produksi serotonin, termasuk DRD4, DRD5, DAT, DBH, 5-HTT, dan 5-HTR1B, banyak

dikaitkan dengan ADHD.

Penelitian neuropsikologi menunjukkkan kortek frontal dan sirkuit yang menghubungkan

fungsi eksekutif bangsal ganglia. Katekolamin adalah fungsi neurotransmitter utama yang

berkaitan dengan fungsi otak lobus frontalis. Sehingga dopaminergic dan noradrenergic

neurotransmission tampaknya merupakan target utama dalam pengobatan ADHD.

Teori lain menyebutkan kemungkinan adanya disfungsi sirkuit neuron di otak yang

dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmitter pencetus gerakan dan sebagai kontrol

aktifitas diri. Akibat gangguan otak yang minimal, yang menyebabkan terjadinya hambatan

pada sistem kontrol perilaku anak. Dalam penelitian yang dilakukan dengan menggunakan

pemeriksaan MRI didapatkan gambaran disfungsi otak di daerah mesial kanan prefrontal dan

striae subcortical yang mengimplikasikan terjadinya hambatan terhadap respon-respon yang

tidak relefan dan fungsi-fungsi tertentu. Pada penderita ADHD terdapat kelemahan aktifitas

otak bagian korteks prefrontal kanan bawah dan kaudatus kiri yang berkaitan dengan

pengaruh keterlambatan waktu terhadap respon motorik terhadap rangsangan sensoris.

Beberapa peneliti lainnya mengungkapkan teori maturation lack atau suatu kelambanan

dalam proses perkembangan anak-anak dengan ADHD. Menurut teori ini, penderita akhirnya

dapat mengejar keterlambatannya dan keadaan ini dipostulasikan akan terjadi sekitar usia

pubertas. Sehingga gejala ini tidak menetap tetapi hanya sementara sebelum keterlambatan

yang terjadi dapat dikejar.

Banyak peneliti mengungkapkan penderita ADHD dengan gangguan saluran cerna sering

berkaitan dengan penerimaan reaksi makanan tertentu. Teori tentang alergi terhadap

makanan, teori feingold yang menduga bahwa salisilat mempunyai efek kurang baik terhadap

tingkah laku anak, serta teori bahwa gula merupakan substansi yang merangsang

hiperaktifitas pada anak. Disebutkan antara lain tentang teori megavitamin dan ortomolecular

Page 16: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

sebagai terapinya

Kerusakan jaringan otak atau ‘brain damage yang diakibatkan oleh trauma primer dan trauma

yang berulang pada tempat yang sama. Kedua teori ini layak dipertimbangkan sebagai

penyebab terjadinya syndrome hiperaktifitas yang oleh penulis dibagi dalam tiga kelompok.

Dalam gangguan ini terjadinya penyimpangan struktural dari bentuk normal oleh karena

sebab yang bermacam-macam selain oleh karena trauma. Gangguan lain berupa kerusakan

susunan saraf pusat (SSP) secara anatomis seperti halnya yang disebabkan oleh infeksi,

perdarahan dan hipoksia.

Perubahan lainnya terjadi gangguan fungsi otak tanpa disertai perubahan struktur dan

anatomis yang jelas. Penyimpangan ini menyebabkan terjadinya hambatan stimulus atau

justru timbulnya stimulus yang berlebihan yang menyebabkan penyimpangan yang signifikan

dalam perkembangan hubungan anak dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya.

Penelitian dengan membandingkan gambaran MRI antara anak dengan ADHD dan anak

normal, ternyata menghasilkan gambaran yang berbeda, dimana pada anak dengan ADHD

memiliki gambaran otak yang lebih simetris dibandingkan anak normal yang pada umumnya

otak kanan lebih besar dibandingkan otak kiri.

Dengan pemeriksaan radiologis otak PET (positron emission tomography) didapatkan

gambaran bahwa pada anak penderita ADHD dengan gangguan hiperaktif yang lebih

dominan didapatkan aktifitas otak yang berlebihan dibandingkan anak yang normal dengan

mengukur kadar gula (sebagai sumber energi utama aktifitas otak) yang didapatkan

perbedaan yang signifikan antara penderita hiperaktif dan anak normal.

FAKTOR RESIKO

Dalam melakukan deteksi dini gangguan perilaku ini maka perlu diketahui faktor resiko yang

bisa mengakibatkan gangguan ADHD. Banyak bukti penelitian yang menunjukkan peranan

disfungsi Susunan saraf pusat (SSP). Sehingga beberapa kelainan dan gangguan yang terjadi

sejak kehamilan, persalinan dan masa kanak-kanak harus dicermati sebagai faktor resiko.

Selama periode kehamilan, disfungsi SSP disebabkan oleh gangguan metabolik, genetik,

infeksi, intoksikasi, obat-obatan terlarang, perokok, alkohol dan faktor psikogenik. Penyakit

diabetes dan penyakit preeklamsia juga harus dicermati.

Pada masa persalinan, disebabkan oleh: prematuritas, post date, hambatan persalinan, induksi

persalinan, kelainan letak (presentasi bayi), efek samping terapi, depresi sistem immun dan

trauma saat kelahiran normal. Sedangkan periode kanak-kanak har5uis dicermati gangguan

Page 17: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

saluran cerna kronis, infeksi, trauma, terapi medikasi, keracunan, gangguan metabolik,

gangguan vaskuler, faktor kejiwaan, keganasan dan terjadinya kejang. Riwayat kecelakaan

hingga harus dirawat di rumah sakit,kekerasan secara fisik, verbal, emosi atau merasa

diterlantarkan. Trauma yang serius, menerima perlakuan kasar atau merasa kehilangan

sesuatu selama masa kanak-kanak, tidak sadar diri atau pingsan.

DETEKSI DINI GEJALA HIPERAKTIF

Untuk dapat disebut memiliki gangguan ADHD, harus ada tiga gejala utama yang nampak

dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.Inatensi atau pemusatan

perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan

perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya

terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.

Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang

merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana

kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan

menimbulkan suara berisik.

Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam

dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali.Dorongan tersebut

mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari

gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang

menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab

sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti

antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan

aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa

syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak

berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah

dan di sekolah.

Manifestasi klinis yang terjadi sangat luas, mulai dari yang ringan hingga berat atau bisa

terjadi dengan jumlah gejala minimal hingga lebih banyak gejala. Tampilan klinis ADHD

tampaknuya sudah bisa dideteksi sejak dini Sejas usia bayi. Gejala yang harus lebih dicermati

pada usia bayi adalah bayi yang sangat sensitive terhadap suara dan cahaya, menangis,

menjerit, sulit untuk diam, waktu tidur sangat kurang dan sering terbangun, kolik, sulit makan

Page 18: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

atau minum susu baik ASI atau susu botol., tidak bisa ditenangkan atau digendong, menolak

untuk disayang, berlebihan air liur, kadang seperti kehausan sering minta minum, Head

banging (membenturkan kepala, memukul kepala, menjatuhkan kepala kebelakang) dan

sering marah berlebihan.

Keluhan lain pada anak besar adalah anak tampak Clumsy (canggung), impulsif, sering

mengalami kecelakaan atau jatuh, perilaku aneh/berubah-ubah yang mengganggu, gerakan

konstan atau monoton, lebih ribut dibandingkan anak lainnya. Agresif, Intelektual (IQ)

normal atau tinggi tapi pretasi di sekolah buruk, Bila di sekolah kurang konsentrasi, aktifitas

berlebihan dan tidak bisa diam, mudah marah dan meledak kemarahannya, nafsu makan

buruk. Koordinasi mata dan tangan jelek., sulit bekerjasama, suka menentang dan tidak

menurut, suka menyakiti diri sendiri (menarik rambut, menyakiti kulit, membentur kepala dll)

dan gangguan tidur.

Tanda dan gejala pada anak yang lebih besar adalah tindakan yang hanya terfokus pada satu

hal saja dan cenderung bertindak ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran sekolah dan tugas

di rumah, kesulitan mengerjakan tugas di sekolah maupun di rumah, kesulitan dalam

menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah, sering keceplosan bicara, tidak

sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak berlebihan, terburu-buru,

banyak omong dan suka membuat keributan, dan suka memotong pembicaraan dan ikut

campur pembicaraan orang lain

Gejala-gejala diatas biasanya timbul sebelum umur 7 tahun, dialami pada 2 atau lebih suasana

yang berbeda (di sekolah, di rumah atau di klinik dll), disertai adanya hambatan yang secara

signifikan dalam kehidupan sosial, prestasi akademik dan sering salah dalam menempatkan

sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan terjadinya kelainan perkembangan,

skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya20).

Tampilan lainnya pada anak dengan hiperaktif terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol

diri dan aktifitas yang berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak ‘nekat’ dan

impulsif, kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain.

Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam

mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya

konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah marah, sulit

bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya. Tidak jarang mereka dengan kelainan ini

disertai adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan

otak yang spesifik. Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder.

Mereka sering menunjukkan tidakan anti sosial dengan berbagai alasan sehingga orangtua,

Page 19: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

guru dan lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan

masalah.

Sekitar 50-60% penderita ADHD didapatkan sedkitnya satu gangguan perilaku penyerta

lainnya. Gangguan perilaku tersebut adalah gangguan belajar, restless-legs syndrome,

ophthalmic convergence insufficiency, depresi, gangguan kecemasan, kepribadian antisosia,

substance abuse, gangguan konduksi dan perilaku obsesif-kompulsif.

Penderita ADHD terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri dan aktifitas yang

berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak ‘nekat’ dan impulsif, kurang sopan, dan

suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain. Sering kurang

memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam mengerjakan

sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya konsentrasi tinggi,

tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah marah, sulit bergaul dan sering

tidak disukai teman sebayanya. Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai adanya

gangguan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yang

spesifik. Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder. Mereka

sering menunjukkan tidakan anti sosial dengan berbagai alasan sehingga orangtua, guru dan

lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.

Resiko terjadi ADHD semakina meningkat bila salah satu saudara atau orang tua mengalami

ADHD atau gangguan psikologis lainnya. Gangguan posikologis dan perilaku tersebut

meliputi gangguan bipolar, gangguan konduksi, depresi, gangguan disosiatif, gangguan

kecemasan, gangguan belajar, gangguan mood, gangguan panic, obsesif-kompulsif, gangguan

panic disertai goraphobia. Juga kelainan perilaku lainnnya seperti gangguan perkembangan

perfasif termasuk gangguan Asperger, Posttraumatic stress disorder (PTSD), Psychotic,

Social phobia, ganggguan tidur, sindrom Tourette dan ticks.

DIAGNOSIS ADHD

Diagnosa hiperaktifitas tidak dapat dibuat hanya berdasarkan informasi sepihak dari orang

tua penderita saja tetapi setidaknya informasi dari sekolah, serta penderita harus dilakukan

pemeriksaan meskipun saat pemeriksaan penderita tidak menunjukkan tanda-tanda hiperaktif,

dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi saat pemeriksaan dan kemungkinan hal lain

yang mungkin mejadi pemicu terjadinya hiperaktifitas. Pada beberapa kasus bahkan

membutuhkan pemeriksaan psikometrik dan evaluasi pendidikan. Hingga saat ini belum ada

suatu standard pemeriksaan fisik dan psikologis untuk hiperaktifitas. Ini berarti pemeriksaan

Page 20: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

klinis haruslah dilakukan dengan sangat teliti meskipun belum ditemukan hubungan yang

jelas antara jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan proses terjadinya hiperaktifitas.

Beragam kuesioner dapat disusun untuk membantu mendiagnosa, namun yang terpenting

adalah perhatian yang besar dan pemeriksaan yang terus-menerus, karena tidak mungkin

diagnosa ditegakkan hanya dalam satu kali pemeriksaan.

Bila didapatkan seorang anak dengan usia 6 hingga 12 tahun yang menunjukkan tanda-tanda

hiperaktif dengan prestasi akademik yang rendah dan kelainan perilaku, hendaknya dilakukan

evaluasi awal kemungkinan

Untuk mendiagnosis ADHD digunakan kriteria DSM IV yang juga digunakan, harus terdapat

3 gejala : Hiperaktif, masalah perhatian dan masalah konduksi.

KRITERIA A –MASING-MASING (1) ATAU (2)

(1) Enam atau lebih dari gejala

(1) Enam atau lebih gejala dari kurang perhatian atau konsentrasi yang tampak paling sedikit

6 bulan terakhir pada tingkat maladaptive dan tidak konsisten dalam perkembangan

INATTENTION

a. Sering gagal dalam memberi perhatian secara erat secara jelas atau membuat kesalahan

yang tidak terkontrol dalam :

1. sekolah

2. bekerja

3. aktifitas lainnya

b. Sering mengalami kesulitan menjaga perhatian/ konsentrasi dalam menerima tugas atau

aktifitas bermain.

c. Sering kelihatan tidak mendengarkan ketika berbicara secara langsung

1. Menyelesaikan pekerjaan rumah

2. Pekerjaan atau tugas

3. Mengerjakan perkerjaan rumah (bukan karena perilaku melawan)

4. Gagal untuk mengerti perintah

d. Sering kesulitan mengatur tugas dan kegiatan

e. Sering menghindar, tidak senang atau enggan mengerjakan tugas yang membutuhkan

usaha (seperti pekerjaan sekolah atau perkerjaan rumah)

f. Sering kehilangan suatu yang dibutuhkan untuk tugas atau kegiatan ( permainan, tugas

sekolah, pensil, buku dan alat sekolah lainnya ))

Page 21: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

g. Sering mudah mengalihkan perhatian dari rangsangan dari luar yang tidak berkaitan

h. Sering melupakan tugas atau kegiatan segari-hari

(2) Enam atau lebih gejala dari hiperaktivitas/impulsifitas yang menetap dalam 6 bulan

terakhir

HIPERAKTIFITAS

a. Sering merasa gelisah tampak pada tangan, kaki dan menggeliat dalam tempat duduk

b. Sering meninggalkan tempat duduk dalam kelas atau situasi lain yang mengharuskan tetap

duduk.

c. Sering berlari dari sesuatu atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak

seharusnya (pada dewasa atau remaja biasanya terbatas dalam keadaan perasaan tertentu atau

kelelahan )

d. Sering kesulitan bermain atau sulit mengisi waktu luangnya dengan tenang.

e. isering berperilaku seperti mengendarai motor

f. Sering berbicara berlebihan

IMPULSIF

a.Sering mengeluarkan perkataan tanpa berpikir, menjawab pertanyaan sebelum

pertanyaannya selesai.

b. Sering sulit menunggu giliran atau antrian

c. Sering menyela atau memaksakan terhadap orang lain (misalnya dalam percakapan atau

permainan).

KRITERIA B: Gejala hiperaktif-impulsif yang disebabkan gangguan sebelum usia 7 tahun.

KRITERIA C : Beberapa gangguan yang menimbulkan gejala tampak dalam sedikitnya 2

atau lebih situasi ( misalnya di kelas, di permainan atau di rumah )

KRITERIA D : Harus terdapat pengalaman manifestasi bermakna secara jelas mengganggu

kehidupan sosial, akademik, atau pekerjaan )

KRITERIA E : Gejala tidak terjadi sendiri selama perjalanan penyakit dari Pervasive

Developmental Disorder, Schizophrenia, atau gangguan psikotik dan dari gangguan mental

lainnya (Gangguian Perasaan, Gangguan kecemasan, Gangguan Disosiatif atau gangguan

kepribadian)

Diagnosis ADHD, Tipe kombinasi jika terdapat pada A1 dan A2 yang didaptkan dalam 6

bulan terakhir. ADHD tipe Inatentif redominan jika dalam kriteria didapatkan A1, tetapi tidak

didapatkan gejala pada A2 dalam 6 bulan terakhir. ADHD Hiperaktif Predominan -Tipe

Impulsif): jika kriteria didapatkan A2 tapi tidak dijumpai kriteria A1 dalam 6 bulan terakhir.

Kriteria diagnostik hiperaktifitas adalah ditemukannya 6 gejala atau lebih yang menetap

Page 22: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

setidaknya selama 6 bulan. Gejala-gejala diatas biasanya timbul sebelum umur 7 tahun,

dialami pada 2 atau lebih suasana yang berbeda (di sekolah, di rumah atau di klinik dll),

disertai adanya hambatan yang secara signifikan dalam kehidupan sosial, prestasi akademik

dan sering salah dalam menempatkan sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan

terjadinya kelainan perkembangan, skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya.

PENANGANAN DINI HIPERAKTIFITAS

Melihat penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan adanya beberapa teori

penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara dalam penanganannya sesuai

dengan landasan teori penyebabnya.

Terapi medikasi atau farmakologi adalah penanganan dengan menggunakan obat-obatan.

Terapi ini hendaknya hanya sebagai penunjang dan sebagai kontrol terhadap kemungkinan

timbulnya impuls-impuls hiperaktif yang tidak terkendali. Sebelum digunakannya obat-obat

ini, diagnosa ADHD haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan terapi okupasi lainnya

secara simultan juga harus dilaksanakan, sebab bila penanganan hanya diutamakan obat maka

tidak akan efektif secara jangka panjang.

Terapi nutrisi dan diet banyak dilakukan dalam penanganan penderita. Diantaranya adalah

keseimbangan diet karbohidrat, penanganan gangguan pencernaan (Intestinal Permeability or

“Leaky Gut Syndrome”), penanganan alergi makanan atau reaksi simpang makanan lainnya.

Feingold Diet dapat dipakai sebagai terapi alternatif yang dilaporkan cukup efektif. Suatu

substansi asam amino (protein), L-Tyrosine, telah diuji-cobakan dengan hasil yang cukup

memuaskan pada beberapa kasus, karena kemampuan L-Tyrosine mampu mensitesa

(memproduksi) norepinephrin (neurotransmitter) yang juga dapat ditingkatkan produksinya

dengan menggunakan golongan amphetamine.

Beberapa terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen nutrisi, defisiensi mineral,

essential Fatty Acids, gangguan metabolisme asam amino dan toksisitas Logam berat. Terapi

inovatif yang pernah diberikan terhadap penderita ADHD adalah terapi EEG Biofeed back,

terapi herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan tradisional Cina seperti akupuntur.

Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh.

Penanganan ini hendaknya melibatkan multi disiplin ilmu yang dilakukan antara dokter,

orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita secara bersama-sama.

Penanganan ideal harus dilakukan terapi stimulasi dan terapi perilaku secara terpadu guna

menjamin keberhasilan terapi.

Page 23: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Untuk mengatasi gejala gangguan perkembangan dan perilaku pada penderita ADHD yang

sudah ada dapat dilakukan dengan terapi okupasi. Ada beberapa terapi okupasi untuk

memperbaiki gangguan perkembangan dan perilaku pada anak yang mulai dikenalkan oleh

beberapa ahli perkembangan dan perilaku anak di dunia, diantaranya adalah sensory

Integration (AYRES), snoezelen, neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifukasi

Perilaku, terapi bermain dan terapi okupasi lainnya

STIMULASI DINI

Terapi modifikasi perilaku harus melalui pendekatan perilaku secara langsung, dengan lebih

memfokuskan pada perunahan secara spesifik. Pendekatan ini cukup berhasil dalam

mengajarkan perilaku yang diinginkan, berupa interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri

sendiri. Selain itu juga akan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan, seperti agrsif, emosi

labil, self injury dan sebagainya. Modifikasi perilaku, merupakan pola penanganan yang

paling efektif dengan pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan

frustrasi, marah, dan berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri.

Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan gerak, minat

dan terbiasa dalam suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan kegiatan kelompok.

Bermain juga dapat dipakai untuk sarana persiapan untuk beraktifitas dan bekerja saat usia

dewasa. Terapi bermain digunakan sebagai sarana pengobatan atau terapitik dimana sarana

tersebut dipakai untuk mencapai aktifitas baru dan ketrampilan sesuai dengan kebutuhan

terapi.

Dengan bertambahnya umur pada seorang anak akan tumbuh rasa tanggung jawab dan kita

harus memberikan dorongan yang cukup untuk mereka agar mau belajar mengontrol diri dan

mengendalikan aktifitasnya serta kemampuan untuk memperhatikan segala sesuatu yang

harus dikuasai, dengan menyuruh mereka untuk membuat daftar tugas dan perencanaan

kegiatan yang akan dilakukan sangat membantu dalam upaya mendisiplinkan diri, termasuk

didalamnya kegiatan yang cukup menguras tenaga (olah raga dll) agar dalam dirinya tidak

tertimbun kelebihan tenaga yang dapat mengacaukan seluruh kegiatan yang harus dilakukan.

Nasehat untuk orangtua, sebaiknya orang tua selalu mendampingi dan mengarahkan kegiatan

yang seharusnya dilakukan si-anak dengan melakukan modifikasi bentuk kegiatan yang

menarik minat, sehingga lambat laun dapat mengubah perilaku anak yang menyimpang. Pola

pengasuhan di rumah, anak diajarkan dengan benar dan diberikan pengertian yang benar

tentang segala sesuatu yang harus ia kerjakan dan segala sesuatu yang tidak boleh dikerjakan

Page 24: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

serta memberi kesempatan mereka untuk secara psikis menerima petunjuk-petunjuk yang

diberikan.

Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin, hal ini merupakan pokok dari upaya

perbaikan perilaku anak dengan memberikan umpan balik agar anak bersedia melakukan

sesuatu dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan bahwa dia mampu

mengerjakan, pada akhirnya bila ia mampu mengerjakannya dengan baik maka harus

diberikan penghargaan yang tulus baik berupa pujian atupun hadiah tertentu yang bersifat

konstruktif. Bila hal ini tidak berhasil dan anak menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak

terkendali harus segera dihentikan atau dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai.

Strategi di tempat umum, terkadang anak justru akan terpicu perlaku distruktifnya di tempat-

tempat umum, dalam hal ini berbagai rangsangan yang diterima baik berupa suasana ataupun

suatu benda tertantu yang dapat membangkitkan perilaku hiperaktif / destruktif haruslah

dihindarkan dan dicegah, untuk itu orang tua dan guru harus mengetahui hal-hal apa yang

yang dapat memicu perilaku tersebut. Modifikasi perilaku, merupakan pola penanganan yang

paling efektif dengan pendekatan positif dan dapat menghindarkan anak dari perasaan

frustrasi, marah, dan berkecil hati menjadi suatu perasaan yang penuh percaya diri.

PENUTUP

ADHD atau Attention Deficite Hyperactivity Disorder pada anak yang merupakan gangguan

perilaku yang semakin sering ditemukan. Seringkali karena kurang pemahaman dari orangtua

dan guru serta orang-orang disekitarnya anak diperlakukan tidak tepat sehingga cenderung

memparah keadaan. Terdapat beberapa pegangan dalam mendiagnosa ADHD, gejala

hiperaktifitas harus dapat dilihat pada setidaknya di dua tempat yang berbeda dengan kondisi

(setting) yang berbeda pula.

Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan menyeluruh.

Penanganan ini harus melibatkan multi disiplin ilmu yang dikoordinasikan antara dokter,

orangtua, guru dan lingkungan yang berpengaruh terhadap penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1. APA: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 4th ed. Washington, DC:

American Psychiatric Association Press; 1994: 78-85.

2. Brown TE: Brown ADD Scales. San Antonio, TX: Psychological Corp; 1996: 5-6.

3. Elia J, Ambrosini PJ, Rapoport JL: Treatment of attention-deficit-hyperactivity disorder. N

Page 25: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Engl J Med 1999 Mar 11; 340(10): 780-8

4. Hunt RD, Paguin A, Payton K: An update on assessment and treatment of complex

attention-deficit hyperactivity disorder. Pediatr Ann 2001 Mar; 30(3): 162-72.

5. Ramchandani P, Joughin C, Zwi M: Attention deficit hyperactivity disorder in children.

Clin Evid 2002 Jun; 262-71.

6. Reeves G, Schweitzer J: Pharmacological management of attention-deficit hyperactivity

disorder. Expert Opin Pharmacother 2004 Jun; 5(6): 1313-20

7. Wilens TE: Straight Talk about Psychiatric Medications for Kids. New York, NY: Guilford

Press; 2002.

8. American Psychiatric Association: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

(DSM-IV-TR). 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2000. 78-85.

9. Baving L, Laucht M, Schmidt MH: Atypical frontal brain activation in ADHD: preschool

and elementary school boys and girls. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1999 Nov;

38(11): 1363-71

10. Biederman J, Faraone SV, Milberger S: Is childhood oppositional defiant disorder a

precursor to adolescent conduct disorder? Findings from a four-year follow-up study of

children with ADHD. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1996 Sep; 35(9): 1193-204

11. Bush G, Frazier JA, Rauch SL: Anterior cingulate cortex dysfunction in attention-

deficit/hyperactivity disorder revealed by fMRI and the Counting Stroop. Biol Psychiatry

1999 Jun 15; 45(12): 1542-52

12. Casey BJ, Castellanos FX, Giedd JN: Implication of right frontostriatal circuitry in

response inhibition and attention-deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc

Psychiatry – Sarfatti SE; 36(3): 374-83

13. Dulcan M: Practice parameters for the assessment and treatment of children, adolescents,

and adults with attention-deficit/hyperactivity disorder. American Academy of Child and

Adolescent Psychiatry. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1997 Oct; 36(10 Suppl): 85S-

121S

14. Faraone SV, Sergeant J, Gillberg C, Biederman J: The Worldwide Prevalence of ADHD:

Is it an American Condition? World Psychiatry 2003;2:104-113.

15. Faraone SV, Perlis RH, Doyle AE, et al: Molecular genetics of

attention-deficit/hyperactivity disorder. Biol Psychiatry 2005 Jun 1; 57(11): 1313-23

16. Green WH: Child and Adolescent Clinical Psychopharmacology. Baltimore, Md:

Williams & Wilkins; 1995: 56-77.

17. Greenhill LL: Diagnosing attention-deficit/hyperactivity disorder in children. J Clin

Page 26: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Psychiatry 1998; 59 Suppl 7: 31-41

18. Jensen PS: Fact versus fancy concerning the multimodal treatment study for attention-

deficit hyperactivity disorder. Can J Psychiatry 1999 Dec; 44(10): 975-80

19. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA: Kaplan and Sadock’s Synposis of Psychiatry. 7th ed.

Baltimore, Md: Williams & Wilkins; 1994: 1063-8.

20. MTA Cooperative Group: A 14-month randomized clinical trial of treatment strategies

for attention-deficit/hyperactivity disorder. The MTA Cooperative Group. Multimodal

Treatment Study of Children with ADHD. Arch Gen Psychiatry 1999 Dec; 56(12): 1073-86

21. Multimodal Treatment Study: Moderators and mediators of treatment response for

children with attention-deficit/hyperactivity disorder: the Multimodal Treatment Study of

children with Attention-deficit/hyperactivity disorder. Arch Gen Psychiatry 1999 Dec;

56(12): 1088-96

22. Rugino TA, Samsock TC: Modafinil in children with attention-deficit hyperactivity

disorder. Pediatr Neurol 2003 Aug; 29(2): 136-42

23. Rutter M, Taylor E, Hersov L: Child and Adolescent Psychiatry: Modern Approaches.

3rd ed. Oxford, UK: Blackwell Science; 1994: 285-307.

24. Spencer T, Biederman J, Wilens T: Nonstimulant treatment of adult

attention-deficit/hyperactivity disorder. Psychiatr Clin North Am 2004 Jun; 27(2): 373-83

25. Vaidya CJ, Austin G, Kirkorian G: Selective effects of methylphenidate in attention

deficit hyperactivity disorder: a functional magnetic resonance study. Proc Natl Acad Sci U S

A 1998 Nov 24; 95(24): 14494-9

26. Daruna JH, Dalton R, Forman MA. Attention deficit hyperactifity disorder. Behrman RE,

Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. 16th ed. WB Saunders Co. USA.

2000;29.2:100-3.

27. Laufer MW. Brain disorder. Ed. Freedman AM, Kaplan HI. Dalam: Comprehensive

textbook of psychiatry. The Williams and Wilkins Co. Maryland, USA.1973;42:1142-52.

28. Child development institute. About Attention Deficit Hyperactivity Disorder

ADD/ADHD. Child Development Institute 2003:

ttp://www.childdevelopmentinfo.com/disorders/adhd.shtml.

29. IMH. Attention Deficit Hyperactivity Disorder. NIMH Public Inquiries Bethesda, U.S.A

dapat dilihat di: http://www.nimh.nih.gov/publicat/ adhd.cfm diakses pada: 27 April 2003.

30. American academy of pediatrics. Clinical Practice Guideline: Treatment of the School-

Aged Child With Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Pediatrics Vol. 108 No. 4. USA.

2001;1033-44

Page 27: Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Categories: Uncategorized | Meninggalkan komentar