Upload
ngonhu
View
237
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : M. Ridwan Arifin
NIM : 104045201515
Prodi/Konsentrasi : Jinayah Siyasah/Siyasah Syariyyah (Ketatanegaraan Islam)
Judul Skripsi : KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TINJAUAN FIQH
SIYASAH
Dengan surat permohonan ini saya menyatakan akan menyelesaikan perbaikan skripsi
sampai dengan jangka waktu maksimal tiga bulan terhitung dari tanggal 21 Maret
2011. Apabila perbaikan skripsi saya tidak selesai pada waktu tiga bulan dari tanggal
21 Maret 2011, saya siap dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Fakultas Syariah dan Hukum.
Ciputat Timur, 24 Maret 2011
M. Ridwan Arifin Drs. Abu Thamrin, M.Hum NIM : 104045201515 NIP : 19659081995031001
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa Rahmat dan
Inayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih jauh dari
kesempurnaan.
Shalawat beriringan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya,
sahabatnya, yang diutus membawa misi islam keseluruh pelosok dunia sampai ke ahkirat.
Selanjutnya menyadari bahwa penulis skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
bapak :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag selaku ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Bapak Afwan Faidzin,
M.Ag selaku sekertaris Program Studi Siyasah syar’iyyah Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu dan melayani dalam penyelesaian
skripsi dan melengkapi persyaratan administrasi
3. Dr. Jaenal Arifin, M.Ag selaku Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu,
fikiran, dan tenaga untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan nasihat kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
ii
4. Segenap pengurus Perpustakaan Utama, perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya.
5. Yang teristimewa ummi dan abbi tersayang selaku orang tua yang telah memberikan
segalanya baik formil maupun materil serta doa yang tiada hentinya sehingga penulis dapat
menyelesaikan masa studi S1
6. Kakak tersayang a asep, teh neti serta adik-adik tercinta ari, irman, zulham serta keponakan
yang lucu noval, yang telah mendoakan penulis selama ini.
7. Teman-teman SS 2004 yang penulis kagumi: H. Asep, S.Hi yang masih setia menjadi
panglima PKIS(Pecinta Kopi Item Sejati), Bauk si bang doel yang klo udah chating ga
inget waktu, Heri, S.Hi yang sekarang jadi artis FTV, Joko, S.Hi yang suka sama barang
jamur, Arman si teknisi komputer, Jaki penerus Bang Haji Rhoma, Arul yang dah jadi
Manager, Rini, S.Hi si bebek, Atul, S.Hi yang kaya donat, Urwah, S.Hi yang suka mukul
orang, Santi, S.Hi , Putri, Ajay si manusia lobang, mamet yang suka X…, Alex si orok
beduk, Abdi Tsunade sejati, Ipunk si tulang bengkok, Iam si ambon pahite, Onay yang suka
nyendok, Ubay yang pusing sama kuliah, Jae tukang minyak wangi di Kwitang, Ahmed
yang badannya kaya kubah mesjid istiqlal, Rudi tukang rokok asongan, Bani klo dagang
maen mulu, Aji manusia kalong, Nyamuk yang klo dah tidur ga bangun-bangun, Dodon
yang suka dandan kaya wadon, umar si manusia antik,
8. Keluarga besar jama’ah Masjid Nurussalam
9. Bang udin dan keluarga yang sudah penulis anggap Orang tua, yang sering bawain
makanan ke kosan dan selalu memberikan dukungan, motivasi dan nasehat yang tiada
hentinya kepada penulis.
iii
10. Teruntuk kekasih pujaan hati yang selama ini telah memberikan dukungannya baik formil
maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1 ini
11. Buat kampret yang suka maen ps yang klo kalah marah-marah mulu, fendi bos Daihatsu,
ersyad si keling, fahmi yang suka jalan-jalan, ali yang suka turing, uda edi yang udah tua
tapi ngaku muda, eha yang sudah memberikan fasilitas, Dede si embe stress, Jajang gondes
sejati, Ana yang badannya makin lebar kaya tangki pertamina.
Kebaikan yang telah semua berikan kepada penulis, tak mampu penulis membalasnya
hanya Allah SWT yang akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 16 Juni 2011/1432 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….……i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar belakang masalah.........................................................................1
B. Rumusan masalah dan pembatasan masalah……….......................... ..8
C. Tujuan dan manfaat penelitian..............................................................8
D. Metode penelitian..................................................................................9
E. Review Studi Terdahulu……………………………………………...10
F. Sistematika penulisan..........................................................................13
BAB II TEORI KEKUASAAN KEHAKIMAN...............................................14
A. Definisi kekuasaan kehakiman ...........................................................14
1. Kekuasaan kehakiman dalam Konvensional.................................14
2. Kekuasaan Kehakiman dalam islam.............................................18
B. Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum indonesia........25
C. Prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman......................................27
BAB III PROFIL MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH
KONSTITUSI.......................................................................................32
A. Mahkamah Agung.............................................................................32
B. Mahkamah Konstitusi.......................................................................38
v
BAB IV ANALISA TERHADAP MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN
DALAM KONSEPSI NEGARA HUKUM INDONESIA…….….48
A. Model kekuasaan kehakiman di Indonesia……….…………..…..48
B. Model Kekuasaan Kehakiman dalam Islam……………………...56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................72
B. Saran-saran...................................................................................74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu agenda reformasi di bidang hukum yang berkembang adalah
desakan untuk terwujudnya supremasi sistem hukum1 di dalam bingkai konstitusi
yang berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan
negara dan pemerintahan. Reformasi sesungguhnya akan dapat dilakukan lebih
cepat dan terarah jika didahului oleh perubahan mekanisme dan kelembagaan
yang baik dalam konteks kenegaraan maupun sosial. Perubahan mekanisme dan
kelembagaan tersebut dilakukan melalui perubahan Undang-undang Dasar 1945
yang sesungguhnya telah didasari oleh banyak pihak sehingga menjadi salah satu
tuntutan mendasar di awal era reformasi. 2
1 Adapun yang dimaksud dengan tata hukum adalah „keseluruhan norma yang diakui
masyarakat sebagai kaidah-kaidah yang mengikat (demi tercapainya ketertiban dalam kehidupan
masyarakat), dan karena itu dipertahankan berlakunya oleh suatu otoritas yang juga diakui
masyarakat‟. Sementara sistem hukum diartikan „keseluruhan atau prosedur yang spesifik, yang
karena itu dapat dibedakan ciri-cirinya dari kaidah-kaidah sosial yang lain pada umumnya, dan
kemudian secara relatif konsisten diterapkan oleh suatu struktur otoritas yang profesional guna
mengontrol proses sosial yang terjadi di masyarakat. Lihat, Soetandyo Wignjosoebroto, Dari
Hukum Klonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum Di
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hlm.1.
2 Transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis biasanya dilembagakan
dalam konstitusi baru. Misalnya di negara-negar Eropa Timur yang mengalami transisi dari
pemerintahan komunis ke pemerintahan demokrasi liberal. Juga di Afrika Selatan, dari system
apartheid ke sebuah sistem yang menghormati HAM. Demikian pula Filipina setelah Marcos, dan
juga Thailand setelah berakhirnya dominasi militer. Di masa transisi demikian itu, konstitusi baru
menjadi kebutuhan esensial guna mengukuhkan konsolidasi demokrasi, agar elemen-elemen
otoriter pro status quo yang masih eksis tidak berpeluang kembali untuk berkuasa. Biasanya
konstitusi baru ini umumnya mengandung ciri demokrasi partisipatoris yaitu terbukanya akses
rakyat untuk mengontrol pemerintahan secara langsung. Di samping itu, konstitusi juga memuat sistem ketatanegaraan, perlindunan HAM sistem ekonomi, dan sistem peradilan, serta mekanisme.
2
Kekuasaan, merupakan terjemahan dari kata power.3 Kata power sendiri,
bisa berarti authority: wibawa, hak untuk bertindak, ahli, dan wewenang strength:
kekuatan, tenaga, dan daya; and control;4 pengawasan, penilikan, pengaturan,
penguasaan dan pembatasan. Kekuasaan juga berarti “kemampuan orang atau
golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,
wewenang, karisma, atau kekuatan fisik”.5 Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
kekuasaan dalam pelbagai bentuknya tetap sama yaitu, “kemampuan seseorang
untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain”.6
Kekuasaan, memberikan peluang bagi seseorang yang memegang
kekuasaan untuk mendapatkan segala-galanya dalam kehidupannya; kehormatan,
status sosial, uang, dan juga kenikmatan hidup. karena begitu sentralnya
kekuasaan dalam kehidupan masyarakat, Musa Asy‟arie menengarai ada
anggapan bahwa kekuasaan itu pulung, anugerah gaib yang datang dari langit,
yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, dan karenanya bersifat sakral.7
Sehingga, sakralisasi kekuasaan berakibat bahwa, kekuasaan cenderung tidak
pernah salah sehingga kekuasaan bisa melakukan segala-galanya, cenderung
3Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Jakarta, 2005), hlm. 441.
4W.T.Cuningham, Ed. The Nelson Contemporary English Dictionary, (Canada: Thomas
Nelson and Sons Ltd. 1982), hlm. 391.
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005.
6Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Majalah Ilmu Hukum, Padjajaran Nomor 1 Tahun 1979, hlm. 9.
7 Musa Asy‟arie, “Candu Kekuasaan”, Kompas, 22 Januari 2010.
3
bersifat absolut. Dalam konteks inilah, maka kekuasaan harus dibatasi dengan
sebuah aturan hukum.
Sedangkan kehakiman, berasal dari kata hakim dan merupakan terjemahan
dari kata judge atau justice yang sering diartikan sebagai hakim dan atau
peradilan. Dengan demikian, kekuasaan adalah kewenangan atau hak untuk
bertindak.
Suatu kecenderungan yang bersifat mendasar dalam konstitusionalisme
moderen adalah konsep konstitusi sebagai kenyataan normatif (normative reality)
dan bukan sebagai kompromi politik sesaat dari kelompok-kelompok politik, yang
dapat berubah pada setiap saat equilibrium di antara kelompok-kelompok politik
itu berubah.8
Menurut Moh. Mahfud, minimal ada tiga alasan yang mendasari
pernyataan pentingnya Judicial Activition: Pertama, hukum sebagai produk
politik senantiasa mewakili watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik
yang melahirkannya. Kedua, kemungkinan, sering terjadi ketidaksesuain antara
suatu produk peraturan perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang
lebih tinggi, maka muncul berbagai alternatif untuk mengantisispasi dan
mengatasi hal tersebut melalui pembentukan atau pelembagaan mahkamah
konstitusi, mahkamah perundang-undangan, judicial review, uji materil oleh MPR
dan lain sebagainya. Ketiga, dari berbagai alternatif yang pernah ditawarkan,
pelembagaaan judicial review adalah lebih konkrit bahkan telah dikristalkan di
8 AR Brewer-Carias sebagaimana dikutip Gurita, Kewenangan “Judicial Review" MPR,
Kompas, Senin 4 September 2000.
4
dalam berbagai peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas
sehingga sering disebut sebagai judicial review terbatas.9
Pendelegasian perundang-undangan yang diberikan kepada pemerintah
dapat membuka peluang yang besar untuk membuat peraturan pelaksanaan lebih
lanjut dari setiap undang-undang. Hal ini juga akan membuka kemungkinan bagi
diciptakannya peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak sesuai
bahkan bertentangan dengan UU yang diatur lebih lanjut atau lebih tinggi, oleh
sebab itu, untuk menjamin tertib tata hukum, perlu dilembagakan atau
diefektifkan pelaksanaan judicial review atau hak uji materil oleh lembaga yang
berwenang.10
Berdasarkan sistem hukum anglo saxon, secara yuridis terdapat hal-hal
yang perlu ditelaah lebih lanjut karena menjadi permasalahan hukum dalam
pengaturan judicial review yang dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di antara permasalahan tersebut;
Pertama, berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, baik
Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak
memiliki kedudukan yang sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan
kekuasaan yang dimiliki berdasarkan UUD, yaitu kekuasaan kehakiman. Kedua,
Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun
9 Moh. Mahfud. MD, Hukum Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta,
1999, h. 327-328.
10 Moh. Mahfud. MD, Perkembangan Politik Hukum Studi Tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik Produk Hukum, Disertasi Doktor1999, dikutip dari Siti Fatimah, Parktek Judicial Review
di Indinesia, Pilar Media,Yogyakarta, 2005, h. 40-42.
5
19545, kewenangan untuk melakukan pengujian terletak pada dua lembaga, yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.11
Tidak dapat dioperasionalkannya judicial review menurut Sri Sumantri
justru karena adanya keharusan atau persyaratan “pemeriksaan pada tingkat
kasasi” bagi setiap upaya judicial review. Sebab istilah “kasasi” secara yuridis
telah memiliki pengertian baku sebagai salah satu mata rantai teknis procedural
dalam proses peradilan. Berdasarkan hal tersebut, dirasakan perlu adanya suatu
pembahasan tentang judicial review dalam sistem hukum di Indonesia. Pada
dasarnya pembahasan tentang judicial review dalam skripsi ini bukan merupakan
pekerjaan perintis (pioneering work).12
Buku karangan Siti Fatimah, dalam buku
ini penulis melakukan analisis terhadap proses penyelenggaraan negara
berdasarkan pada hukum tata negara yang dianut oleh Indonesia. Kemudian
melalukan komparasi praktik tersebut di negara-negara yang bisa dijadikan kiblat
demokrasi, penegakan hukum tata negara. Secara runut ia mengkaji proses
pembuatan undang-undang dan memperbandingkan dengan konteks Indonesia
pasca Amandemen UUD 1945.13
Buku karangan Fatmawati, buku ini pada awalnya merupakan tesis dari
Fatmawati yang kemudian dijadikan buku. Dalam buku ini dipaparkan mengenai
hak menguji dalam sistem hukum Indonesia agar tidak terjadi kerancuan
penggunaan istilah Teotsingrecht dan Judicial Review. Buku ini juga memberikan
11
Ibid., hlm. 93.
12 Khuzdaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press,
Surakarta, 2005, hlm. 6
13 Siti Fatimah, op. cit., hlm. 7
6
penjelasan mengenai ketentuan dan pelaksanaan hak menguji dalam sistem
hukum Indonesia yang berkaitan dengan dua lembaga negara, yaitu Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu buku ini juga membahas hak
menguji pada negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental,
Judicial Review pada negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon.14
Penelitian skripsi ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian
yang sebelumnya. Pengembangan yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk
melakukan verifikasi, koreksi, pelengkapan, serta perincian dari penelitian-
penelitian yang sebelumnya untuk menuai kesempurnaan. Karena, Kekuasaan
Kehakiman dalam konteks ke Indonesia merupakan hal yang aktual dan masih
menjadi perdebatan. Penulis menganggap pembahasan ini sangat penting demi
tercapainya pemahaman yang komprehensif tentang “KEKUASAAN
KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945 TINJAUAN FIQH
SIYASAH”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sedangkan pembatasan masalah yang penulis fokuskan adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung pada Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD
1945 dalam ketatanegaraan di Indonesia
2. Untuk mengetahui Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945
apakah yang digunakan dalam tatanan ketatanegaraan Islam
14
Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Grafindo Prasada, Jakarta, 2005.
7
Berdasarkan paparan di atas, masalah yang menjadi fokus penelitian ini
tentang. Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, Adapun masalah
yang diajukan dalam penilitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan:
1. Bagaimana hubungan kewenangan antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung pada kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD
1945?
2. Bagaimana model-model kekuasaan kehakiman pasca Amandemen UUD
1945 dalam ketatanegaraan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan : Mengetahui dan menjelaskan hubungan kewenangan
antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan
Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan di
Indonesia.
2. Mengetahui dan menjelaskan Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen
UUD 1945 yang digunakan di Indonesia.
Penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Secara Teoritis, memberikan penjelasan tentang hubungan kewenangan
antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan
Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan di
Indonesia.
8
2. Secara Praktis, memberikan masukan kepada para peminat hukum tata negara
serta praktisi ketatanegaraan tentang hubungan kewenangan antara
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Kekuasaan Kehakiman
Pasca Amandemen UUD 1945 dalam ketatanegaraan Islam.
3. Secara akademis, penulis ini merupakan syarat untuk meraih gelar Strata 1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif (normative
legal reseach), yaitu penelitian terhadap norma yang terdapat dalam hokum
positif yang memandang hukum sebagai kaidah tertulis atau tidak tertulis ataupun
suatu keputusan dari lembaga yang berwenang. Penelitian hukum normatif
menyoroti hukum sebagai suatu yang dicitacitakan (Das Sollen) hukum yang
dirumuskan dalam perundang-undangan. Penelitian ini akan meneliti ketentuan
tentang judicial review dalam ketatanegaraan Indonesia. Hukum dipahami sebagai
gejala normatif yang bersifat otonom yang terpisah dari gejala sosial. Bersifat
otonom bukan berarti terpisah dari gejala sosial secara dikotomis, karena
penelitian ini berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Struktur hukum
terkait dengan apa yang disebut Hans Kelsen sebagai “grundnorm”. Kaidah
hukum terikat dengan kaidah pokok dan harus terbebas dari pengaruh sosial.
Ajaran ini selanjutnya disebut dengan “Reine Rechtslehre” atau “The pure theory
of Law” karena terikat oleh norma dasar tersebut maka kaidah hukum tersusun
9
dalam suatu susunan yang disebut dengan “stufenbau” dimana grundnorm
merupakan analisis pemikiran yuridis yang dihasilkan oleh pemikiran manusia.
2. Metode pengumpulan data
Sebagai penelitian hukum normatif, alat pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumberdata
diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
1) Norma/aturan dasar (Pembukaan UUD 1945)
2) Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh UUD 1945 dan penjelasannya serta
Ketetapan MPR
3) Peraturan Perundang-undangan
I. UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
II. UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
III. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
IV. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1993 dan Perma
No. 1 Tahun 1999
V. Dan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya yang berkaitan
dengan pembahasan penelitian.
4) Yurisprudensi
b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti: Rancangan undang-undang, hasil penelitian yang sudah
ada, karya ilmiah dari kalangan ahli hukum dan lain sebagainya.
10
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan-bahan
yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti: kamus, ensklopedia, indeks dan seterusnya.
E. Review Studi Terdahulu
Apa yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menunjukkan kehawatiran akan
timbulnya konflik antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih
rendah, bukan hanya menyangkut hubungan antara undang-undang dengan
keputusan pengadilan, tetapi juga menyangkut antara konstitusi dengan
undangundang. Oleh karena itu Kelsen mengemukan sejumlah syarat agar
kepatuhan terhadap konstitusi dapat terjamin, yakni pertama, adanya organ yang
diberi otoritas untuk melakukan pengujian hukum judicial review; dan kedua,
tersedianya mekanisme atau prosedur-termasuk dalam hal ini menyangkut
azasazas dan kaidah-kaidah hokum-untuk melakukan pengujian hukum.15
Pengalaman empiris pengaturan dan pelaksanaan hak uji di berbagai Negara
menunjukkan gejala yang dinamis sesuai dengan karakteristik sistem konstitusi
yang dianut dan kebutuhan hukum akan pranata hak uji pada masing-masing
negara. Di dalam literatur, secara historis hak uji telah ada di Inggris sejak abad ke
XVI. Pengadilan Inggris menetapkan setiap peraturan atau tindakan pemerintah
tidak boleh bertentangan dengan common law. Tetapi hak uji di Inggris ini
kemudian ditinggalkan akibat lahirnya ajaran supremasi atau kedaulatan
parlemen. Pranata hak uji kemudian dikembangkan dalam tradisi ketatanegaraan
Amerika Serikat, yang dimulai pada tahun 1803 dalam kasus Marbrury versus
15
Ibid., hlm. 61.
11
Madison.16
Sementara itu di Republik Prancis yang saat ini adalah Republik yang
kelima, pengaturan tentang judicial review baru dijumpai dalam konstitusi de
Gaulle yang mulai berlaku pada 4 Oktober 1958.17
Dilembagakannya judicial
review menurut teori Hans Kelsen karena peraturan perundang-undangan dari
tingkat yang rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau yang dikenal dengan teori Stufenbauw ades Recht
the Hierarkhy of Law Theory: “The Legal order . . . is therefore nota system of
norms coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same
level, but a hierarkhy of different levels of norms” (sebuah tata hukum bukanlah
merupakan suatu sistem kaidah-kaidah hukum yang berhubungan satu sama lain
dalam kedudukan yang sederajat melainkan merupakan berhirarki dari kaidah-
kaidah yang berada sederajat).18
Mengenai kewenangan Constitutional Council tidak hanya melakukan
judicial review; tetapi juga menjamin/mengamankan pemilihan presiden;
menjamin/mengamankan pemilihan anggota-anggota National Assembly dan
16
Konstitusi AS sebelum kasus Marbrury versus Madison muncul, sebenarnya tidak
mengenal institusi judicial review. Sebagaiman dinyatakan Robert K. Carr dalam buku American
Democracy in Theori and Practice; “there has been much controversy concerning the origin of
judicial review in US. It is vey clear that the constitution itself does not in so many words
authorisethe courts to declare act to congress unconstitutional”. Barulah ketika Jhon Marshal
menjadi ketua Mahkamah Agung (supreme court), di dalam kasus Marbrury versus Madison,
untuk pertama kalinya Mahkamah Agung AS menyatakan, bahwa ketentuan undang-undang
Federal bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional). Lihat Sri Sumantri, Hak Uji Material
Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 26-30.
17 Di dalam Pasal Titel VII konstitusi de Gaulle, dinyatakan:” sebelum suatu undang-
undang organik dinyatakan berlaku, terlebih dahulu harus disampaikan kepada Constitutional
Council.
18 Hans Kelsen, General Theory Of Law, Translated by Andrew Wedberg, Russel&Russel,
New York, 1973, hlm. 124, dikutip dari Sumali, Reduksi Kekusaan Eksekutif Di Bidang Peraturan
Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2002, hlm. 2.
12
Senate; dan menjamin/mengamankan prosedur referendum. penyelenggraan
pemerintahan negara adalah untuk mencegah lembaga tersebut melanggar norma-
norma konstitusi terutama dalam hal membuat undang-undang. Amandemen
UUD 1945 membawa perubahan terhadap system ketatanaegaraan Indonesia.
Selain perubahan yang terjadi pada susunan kedudukan eksekutif, dan legislatif,
kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD 1945 juga mengalami perubahan
yang mendasar. Sebelum amandemen kekuasaan kehakiman hanya dilaksanakan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya setelah UUD 1945
diamandemenkan, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung, tetapi dilaksanakan bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi.
Mahkamah Agung kewenangannya menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi kewenangannya mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.19
Dalam hal ini lembaga
yudikatif (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) diberi kewenangan
untuk melakukan kontrol terhadap lembaga lainnya dengan melakukan judicial
review dan menafsirkan ketentuanketantuan konstitusional serta menjaga agar
tidak bertentangan dengan konstitusi.20
19
Pada awalnya skema di atas adalah hasil dari perkuliahan Hukum Tata Negara di Pasca
Sarjana-UMS yang diampu oleh Aidul Fitri Ciada Azhari dengan beberapa perubahan dari
penulisguna menyesuaikan dengan pembahasan penelitian.
20 Siti Fatimah., op. cit. hlm. 110-111.
13
F. Sistematika penulisan
Seluruh hasil penelitian di atas akan disusun dalam sebuah karya tulis
dengan sistematika:
BAB I memuat pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori dan
kerangka pemikiran, metode penelitian, sistematika
penulisan.
BAB II membahas berbagai teori kekuasaan Kehakiman, pengertian
kekuasaan kehakiman dalam islam dan konvensional,
kekuasaan kehakiman dalam konteks negara hukum
Indonesia, prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman.
BAB III mendeskripsikan tentang profil Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung.
BAB IV memuat analisis terhadap model kekuasaan kehakiman
dalam konsepsi negara hukum Indonesia, melingkupi
model kekuasaan kehakiman dalam islam, dan format ideal
kekuasaan kehakiman di Indonesia
BAB V menutup penelitian ini dengan mengetengahkan simpulan-
simpulan dan saran-saran sebagai sebuah proses dialektika
pemikiran hukum.
14
BAB II
TEORI KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Definisi Kekuasaan Kehakiman
1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman dalam Konvensional
Kekuasaan merupakan terjemahan dari kata power1. Kata power sendiri, bisa
berarti authority: wibawa, hak untuk berindak, ahli, dan wewenang; strength:
kekuatan, tenaga, dan daya; control;2 pengawasan, penilikan, pengaturan,
penguasaan, dan pembatasan. Sedngkan kehakiman, berasal dari kata hakimdan
merupakan terjemahan dari judge, atau justice yang sering diartikan sebagai hakim
dan/atau peradilan. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman dalam operasionalnya,
tidak bisa dipisahkan dari istilah badan peradilan. Bahkan kekuasaan kehakiman
menjadi ciri pokok dari Negara hukum (Rechsstaat) dan implementasi dari prinsip
Rule of law.
Menurut Harun Al-Rasyid, kekuasaan kehakiman ialah “kekuasaan yang
merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus
1 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, jakarta: Gramedia jakarta,
2005 hlm. 441.
2 W.T.Cunningham, Ed. The Nelson Contemporary English Dictionary, Canada: Thomas
Nelson and Sons Ltd. 1982, hlm 391.
15
diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.3 Dalam
pasal 1 undang-undang No.4 Tahun 2004 pengertian kekuasaan kehakiman
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ”Jaminan
tentunya tidak hanya di berikan kepada hakim, tetapi juga kepada seluruh kekuasaan
kehakiman, terutama lembaga-lembaga peradilan dengan tujuan agar dapat
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Latar Belakang Kemunculan Kekuasaan Kehakiman
Perumusan Undang-Undang Dasar 1945 tentang penganutan prinsip
kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan
organisatoris antara organisasi kekuasaan yudikatif dan organisasi kekuasaan
eksekutif. Yang disebutkan hanyalah prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus
bebas merdeka dan itu bisa diartikan berlaku hanya bagi fungsi peradilannya. Oleh
sebab itu, sejak pembentukan kabinet pertama dilingkungan eksekutif telah di bentuk
departemen kehakiman yang eksistensinya berlanjut sampai sekarang4
3 Jose Maria Maravall and Adam Prrzeworski, Democracy and The Rule of law, (London:
Cambridge University press, 2003), hlm. 242.
4 Harun Al-Rasyid, Himpunan peraturan hukum tata negara, edisi kedua, jakarta:
Universitas Indonesia press, 1996, hlm. 18.
16
Bila ditilik dari sejarahnya, memang pasal 24 UUD 1945 (sebelum
amandemen) menurut Purwoto Gandasubrata tidak secara tegas mengatur kekuasaan
lembaga peradilan. Karena itu ia mengusulkan pentingnya penjabaran lebih lanjut
tentang pasal tersebut, yangtidak boleh mengurangi dan membatasi kekuasaan
lembaga peradilan dan mempertegas kedudukannyasederajat dengan kekuasaan
pemerintah/negara. Berbeda dengan itu, Ismail Saleh (mantan Menteri Kehakiman
Orde Baru ) membenarkan campur tangan atau keterlibatan kekuasaan pemerintah
negara dalam mengatur kekuasaan lembaga peradilan dengan mengajukan 3 (tiga)
alasan.
Pertama, campur tangan tesebut merupakan konsekuensi dari paham negara
kekeluargaan yang dianut dalam UUD 1945. Kedua, ampur tangan tersebut
dibenarkan karena sesuai dengan bunyi pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR”. Denngan demikian Presiden juga mengatur kekasaan kehakiman.
Ketiga, dengan pasal 5, maka kekuasaan lembaga peradilan bisa dikontrol sehingga
tidak berat sebelah dalam melaksanakan tugasnya. Gagasan tersebut kemudian
ditolak oleh Moch Koesno dan Purwoto yang menyatakan bahwa ; “ketentuan pasal 5
di atas tidak bermaksud mengurangi atau membatasi kekuasaan lembaga peradilan
yang merdeka atau untuk membenarkan adanya intervensi kekuasaan pemerintah
terhadap kekuasaan kehakiman.
17
Selain itu, untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum, sebuah
reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalm perubahan
ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 pada pasal 1 Ayat (3). Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka, badan peradilan bebas dari penngaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum an keadilan. Sejalan dengan
semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan khususnya kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut
ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan di bawahnya; yakni Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945 , memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil
pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan
18
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar UUD
1945.5
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan umum
bahwa, kekuasaan kehakiman merupakan elemen penting dalam sebuah negara,
karena kekuasaan kehakiman tesebut merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan
negara-terutama modern.
Pengertian Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam
Kekuasaan Kehakiman dalam islam sering di padankan dengan istilah sulthah
qadhaiyah. Kata sulthah/sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-qudrah yang berarti
kekuasaan, kerajaan, pemerintahan. Menurut louis Ma‟luf sulthah berarti al-malik al-
qudrah, yakni kekuasaan pemerintah. Sedangkan al-qadha-iyyah yaitu putusan,
penyelesaian perselisihan, atau peradilan.jadi sulthah qadhaiyyah secara etimologis
yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman. Sedangkan
terminologi sulthatun bi mana al-qudrah yakni :
“kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan
atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan”6
5 Tentang wewenang Mahkamah Konstitusi secara lengkap bisa dilihat pada. Abdul Latif,
Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta:
total media kreasi, 2007, hlm 165-241.
19
Maksudnya yaitu kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses
perundang-undangan sejak penyusunannyasampai pelaksanaannya serta mengadili
perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Salah
satu prinsip dasar dari sistem pemrintahan/negara yang ditekankan dalam islam
adalah Negara Hukum. Tahir Azhari menyebutnya dengan istilah nomokrasi islam,
yakni suatu sistem pemintahan yang didasarkan pada asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum islam dan merupakan rule of islamic law. Sebagai negara hukum, maka
tegaknya keadilan merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan di dalam
kehidupan bernegara.
Untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dapat dicapai tanpa
adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua
ketentuan hukum secara konsekuen. Karenanya, kehadiran lembaga yudikatif dalam
sistem kenegaraan islam merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak
yang harus dipenuhi. Begitu urgennya sulthah qadhaiyyah (lembaga yudiatif), maka
tidak heran kalau sejak awal kehadiran negara dalam khazanah sejarah islam,
lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi meskipun masih dalam bentuknya yang
sangat sederhana.
6 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta,
Kencana, 2008 hlm. 146.
20
1. Sejarah dan Praktik Kekuasaan Kehakiman
Untuk melihat secara jelas perkembangan kekuasaan kehakiman dalam islam
bisa dilacak dari awal munculnya istilah atau bentuk peradilan sejak masa Rasulullah
SAW, sampai pada periode Dinasti Abbasiyah dan sesudahnya. Periode pertama pada
masa awal islam, Rasulullah di samping sebagai kepala negara juga sekaligus sebagai
hakim tunggal. Dalam piagam madinah beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi,
yang berarti pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena itu,
segala urusan yang menjadi kewenangan kekuasaan kehakiman pun, semuanya
tertempu di di tangan beliau. Dan baru kemudian setelah wilayah islam meluas,
beliau mulai mengizinkan sejumlah sahabat bertindak sebagai hakim.7
Pada periode kedua, yakni pasca Rasulullah SAW.wafat, tampuk dan roda
pemrintahan dpegang oleh al-Khulafa al-Rasyidin. Masa khalifah Abu Bakar as-
Shiddiq, kekuasaan yudikatif masih di pegang oleh penguasa atau pihak eksekutif dan
belum ada perubahan yang berarti, kecuali perubahan ketika Abu Bakar mengangkat
Umar bin Khattab sebagai Hakim Agung untuk melaksanakan tugas yudikatif.
Meskipun demikian, secara keseluruhan belum ada pemisahan tegas antara kekuasaan
eksekutif dan yudikatif.
Hal tersebut ditunjukkan oleh kenyataan bahwa, pada masa Abu Bakar
wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi beberapa provinsi, dan setiap
7 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi………., hlm. 148.
21
provinsi ia menugaskan seorang amir atau wali. Para amir tersebut juga bertugas
sebagai pemimpin agama (seperti imam dalam shalat), menetapkan hukum dan
melaksanakan undang-undang. Artinya, seorang amir di samping sebagai pemimpin
agama dan sebagai hakim, juga pelaksana tugas kepolisian.
Karena perluasan daerah terjadi begitu cepat, Umar segera mengatur
administrasi Negara dengan mencontoh admnistrasi yang sudah berkembang terutama
di Persia. Salah satu departemen yang dipandang perlu untuk didirikan yaitu
pengadilan dimana berfungsi untuk memisahkan lembaga yudikatif dan lembaga
eksekutif.8
Pada masa ini mulai diatur tata laksana peradilan antara lain dengan
mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah hakim,dan atas nama khalifah
menyelesaikan sengketa antara anggota masyarakat bersendikan Al-Quran,
Sunnah,dan Qiyas.9 Khalifah Umar juga dijuluki sebagai Bapak Peradilan, karena
beliau menggagaskan beberapa prinsip mengenai peradilan yang sampai sekarang
masih relevan untuk dipakai. Yaitu sebagai berikut:10
a. Memutuskan perkara di pengadilan adalah kewajiban yang harus dikokohkan dan
sunah yang harus diikuti.
8 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004 hlm. 37.
9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, UI Press, 1993 hlm. 38.
10 Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Bani Quraisy. 2004. hlm. 50.
22
b. Sebelum sebuah perkara diputuskan, ia harus dipahami terlebih dahulu agar hakim
dapat bertindak adil.
c. Pihak-pihak yang berperkara haus diperlakukan sama, baik dalam persidangan
maupun dalam menetapkan keputusan.
d. Alat bukti dibebankan kepada penggugat, sedangkan sumpah dibebankan kepada
pihak tergugat.
e. Damai sebagai jalan keluar dari persengketaan dibolehkan selama tidak
menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Pada masa pemerintahan Umar pula lembaga kehakiman mengalami
perubahan yaitu:
1. Menetapkan syarat-syarat pelantikan qadhi atau hakim yang ketat. Seperti
berilmu, berpribadian yang tinggi, dikenali oleh masyarakat
2. Gaji qadhi atau hakim dibayar tinggi (500 dirham sebulan) agar dapat berlaku
adil
3. Qadhi atau hakim haruslah terbuka kepada masyarakat agar keadilan
perundangan terjamin11
11
http://fastnote.wordpress.com/pentadbiran-umar-al-khattab/diunduh pada hari
senin/14/februari/22.33Wib.
23
Sedangkan pada masa Usman bin Affan, mulai diadakan pembenahan
terhadap pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni menyangkut sarana dan prasarana.
Diantaranya; pertama, membangun gedung khusus untuk lembaga yudikatif, kedua,
menyempurnakan admnistrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang
mengurusi admnistrasi peradilan. Ketiga, memberi gaji kepada hakim dan stafnya dan
keempat, mengangkat naib kadi, semacam panitera yang membatu tugas-tugas Qadhi.
Masa Ali bin Abi Thalib tidak mengalami perkembangan yang berarti. Ia
lebih banyak meneruskan kebijakan yang telah diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Khattab sebagai halifah pendahulunya. Perubahan hanya pada prosedur dan proses
pengangkatan hakim yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat (khalifah),
diserahkan kepada pemerintah daerah (gubernur).
Adapun periode ketiga yakni masa Dinasti Umayyah, ketatalaksanaan
peradilan makin disempurnakan. Badan peradilan mulai berkembang menjadi
lembaga yang mandiri. Dalam menangani perkarapara hakim tidak terpengaruh oleh
sikap atau kebijaksanaan politik penguasa Negara. Mereka bebas dalam mengambil
keputusan, dan keputusan mereka juga berlaku terhadap para pejabat tinggi Negara.
Khalifah Umar bin Abdul Azis, kepala Negara yang kedelapan belas dari dinasti
umayyah menentukan lima keharusan bagi para hakim “ harus tahu apa yang terjadi
sebelum dia, harus tidak mempunyai kepentingan pribadi, harus tidak mempunyai
rasa dendam, harus mengikuti jejak para imam, dan harus mengikutsertakan para ahli
dan cerdik pandai. Pada waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan, selain itu
24
disamping badan peradilan dibentuk pula badan peradilan mazhalim yang menangani
pengaduan masyarakat terhadap tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh
pejabat Negara, termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya diketuai oleh
khalifah sendiri”.12
Perkembangan yang signifikan bagi kekuasaan kehakiman adalah terjadi pada
masa Dinasti Abbasiyah (periode keempat). Tidak hanya pembenahan terhadap
sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai disusun hukum materiil yang akan
digunakan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusannya. Awalnya yang di
gunakan kitab Al-muwatha karya imam Malik. Namun imam Malik sendiri menolak
dengan alasan masih banyka Hadis Rasulullah SAW yang tersebar dibeberapa kota.
Atas usul Ibnu al-muqaffa kepada Khalifah al-Mansur maka disusunlah Kompilasi
Hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim dalam memutuskan perkara.
Periode kelima yakni masa Turki Usmani, pada awal abad ke 13 H Turki
membentuk Nizhamiyah (pengadilan umum), dan beberapa perkara khusus dari
peradilan agama dilimpahkan kepadanya. Akan tetapi, hakim dipengadilan umum
mengalami kesulitan dalam mengambil hukum-hukum fiqh. Akhirnya sultan atas
desakan para penguasa menyusun kodifikasi hukum-hukum agar mudah dirujuk dan
diambil hukumnya. Sehingga pada tahun 1285 H/1869 M dibentuklah panitia yang
dipimpin oleh Menteri Kehakiman dengan anggota dari para fuqaha. Selain
12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm39.
25
perubahan yang terjadi pada kekuasaan yudikatif pada masa ini, disamping terdapat
lembaga yang khusus menangani orang-orang muslim, juga didirikan peradilan yang
khusus menangani orang-orang non muslim (kafir dzimmi) dan orang-orang yang
tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-
masing dan undang-undang asing.
B. KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM
INDONESIA
Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
Pasal 1 menyebutkan bahwa “Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan
berdasarkan kekuasaan (machtstaat)”.13
Artinya, segala sesuatu yang dilakukan baik
oleh negara maupun seluruh elemennya dapat dipertanggungjawabkan oleh hukum.
Konsep Negara Hukum dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain di Eropa Kontinental dengan menggunakan
istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang
disebutnya dengan istilah „rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:14
Perlindungan hak asasi manusia, Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan
undang-undang, Peradilan Tata Usaha Negara.
13
Lihat Penjelasan UUD 1945 sebelum amademen tentang “Sistem Pemerintahan Negara”,
butir 1 dalam Harun Al rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara . Jakarta : UI Press. 1983 hal
15.
14 Hasan Zaini.Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Alumni : Bandung, 1971. hal 154-
155.
26
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara Hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.
Beliau menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum, yaitu: 15
Supremacy of Law, Equality before the law. Due Process of Law.
Seiring dengan perkembangan zaman, “The International Commission of
Jurist” menambahkan bahwa dalam negara hukum memerlukan peradilan yang bebas
dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). Oleh karena itu,
selain prinsip-prinsip negara hukum rechstaat dan The Rule of Law,prinsip-prinsip
yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission
of Jurists” itu adalah: Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati
hak-hak individu, Peradilan yang bebas dan tidak memihak. Menurut Prof Jimly
Asshiddiqie, prinsip negara hukum Indonesia dapat dibagi menjadi 12 (dua belas)
macam:16
Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality
before the Law), Asas Legalitas (Due Process of Law), Pembatasan Kekuasaan
Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan Hak
15
A.V Dicey.Introduction to the study of the Constitution, Hal 202 dan 203 dalam Azhary,
Negara Hukum Indonesia”Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya”, UI Press 1995. Hal
20-21.
16 Jimly Asshidiqie. Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer. Orasi Ilmiah pada Wisuda
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang. 23 Maret 2006.
27
Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), Berfungsi sebagai
Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat), Transparansi dan
Kontrol Sosial:
Dalam perkembangannya ajaran pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai
modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (Machtsverdeling atau
Distribution of Power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan
pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya
hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, akan
tetapi esensi kekuasaan negara itu harus dibagi atau dipisah masih relevan hingga
kini.17
C. PRINSIP-PRINSIP POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN
Secara umum dapat dikemukakan ada dua prinsip yang biasa dipandang
sangat pokok dalam peradilan yaitu pertama, the principle of judicial independence,
kedua, the principle of judicial impartiality. Kedua prinsip ini diakui sebagai
prasyarat pokok sistem disemua negara yang disebut hukum modern
Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap
para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu
tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
17
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. 2003. UII Press. Yogyakarta, hal. 9.
28
pengangkatan, masa keja, pengembangan karir, sistem penggajian, dan
pemberhentian hakim. Sementara itu, prinsip kedua yang sangat penting adalah
ketidakberpihakan. Dalam praktek, ketidakberpihakan itu sendiri mengandung makna
dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial tetapi juga terlihat
bekeja secara imparsial (to appear to be impartial).18
1. Independensi
Independensi dalam hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan
keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi
melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan
pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi
pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya.
Inependensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan
hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dan berbagai pengaruh yang
berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan
halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik
atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan dengan ancaman, penderitaan atau keruugian tertentu atau dengan
imbalan berupa keuntungan jabatan, kleuntungan ekonomi dan bentuk lainnya.
18
Lihat kasus McGonnell vs United Kingdom (2000), 30 E.H.R.R, hlm.241.
29
2. Ketidakberpihakan
Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang sangat melekat dalam hakikat
fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral,
menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak
mengutamakan salah satu pihak manapun disertai penghayatan yang mendalam
mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip
ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam setiap tahapan
proses pemeriksaan perkra sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga
putusan pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi
semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada umumnya.19
3. Integritas
Integritas hakim merupakan sikap bathin yang mencerminkan keutuhan dan
keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara
dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur,
setia, dn tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya disertai ketangguhan bathin
untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan,
popularitas, ataupun godaan –godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian
mencakup keseimbangan rohani dan jasmani atau mental dan fisik, serta
19
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia hlm, 532.
30
keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
intelektual dalam pelaksanaan tugasnya
4. Kepantasan dan Sopan Santun
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan dalam perilaku pribadi yang
berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai
tempat, waktu, tata busana, tata suara atau kegiatan tertentu. Seangkan kesopanan
terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan
antar pribad, baik dalam tutur bahasa tubuh ataupun dalam tutur kata lisan dan
tulisan; dalam berindak, bekerja, dan beringkah laku; dalam bergaul dengan sesama
hakim, dengan karyawan atau pegawai pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak
dalam persidangan atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.20
5. Kesetaraan
Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap
semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan
satu dengan yang lain atas dasar agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi
fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik atau alasan-alasan yang serupa.
Prinsip kesetaran ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk
senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai
kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.
20
Ibid hlm. 533.
31
6. Kecakapan dan Keseksamaan
Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam
pelaksana peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam
kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau
pengalamandalam pelaksanaan tugas; sedangkan keseksamaan merupakan sikap
pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian,ketekunan,
dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.
Disamping itu, sebagaimana telah dijelaskan diatas Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004.21
menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan
keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Indonesia yang
tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.22
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, diuraikan bahwa
kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa
kekuasaan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra
yudisial kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
21
LN-RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN-RI Nomor 4358,
22 Perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001.
32
BAB III
PROFIL MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Mahkamah Agung
Penjajahan atas Ibu pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi roda
pemerintahan yang berlaku pun pula sangat berpenagruh besar terhadap peradilan
Indonesia, sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tiak dapat dilepaskan
daripada penjajahan di bumi Indonesia ini, ini terbukti dengan adanya kurun-kurun
waktu, dimana bumi pertiwi indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan
sebagian lagi oleh pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di
Indonesia pun tak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut
Upaya memperjuangkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesungguhnya
tidak pernah berhenti dilakukan baik melalui upaya memperkuat kemandirian
kekuasaan kehakiman melalui amandemen Undang-undang kekuasaan kehakiman
maupun melalui serangkaian kegiatan diskusi dan seminar.perjalanan sejarah
memperlihatkan terjadinya pembelokan pelaksana kekuasaan kehakiman dimasa
pemerintahan Soeharto, terutama sejak memasuki dekade 1970-an. Intervensi
eksekutif mulai terlihat sejak periode tersebut sebagai bagian dari warna
politikpemerintahan Soeharto yang bercorak otoriter. Dalam kedudukannya sebagai
kepala pemerintahan, Soeharto berhasil mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan
kehakiman melalui pola-pola pembuatan peraturan perundang-undangan yang
memberi keuntungan eksekutif
33
Gerakan reformasi yang mengiringi berakhirnya pemerintahan orde baru
menjadi suatu „kesempatan‟ bagi Mahkamah Agung untuk kembali menyuarakan
tuntutannya terhadap indepedensi kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung ingin
memisahkan diri secara utuh dan mandiri dari campur tangan atau kontrol pihak
eksekutif pemerintah. Dengan kata lain, menyatukan antara „kepala dan perut hakim‟
di Mahkamah Agung. Gerakan reformasi pertama-tama langsung berpengaruh
kepada struktur ketatanegaraan yang menandai terjadinya reformasi atau peralihan
kekuasaan eksekutif, Mahkamah Agung telah membuktikan dirinya selalu menjadi
cabang kekuasaan negara yang menjaga agar setiap peralihan kekuasaan berlangsung
secara konstitusional. Pada prinsipnya gerakan reformasi di Indonesia memang
diawali dengan reformasi politik yang kemudian menimbulkan desakan-desakan
untuk melakukan reformasi di segala bidang, antara lain bidang ekonomi dan
hukum, termasuk institusi pengadilan dan Mahkamah Agung.
Untuk mencegah intervensi eksekutif dalam urusan peradilan maka
pembinaan badan peradilan diletakan pada di bawah satu atap yakni Mahkamah
Agung.Mahkamah Agung dibentuk berdasarkan ketetapan Pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai landasan Konstitusional. Mahkamah Agung dalam sejarahnya
merupakan kelanjutan dari “Het Hooggerechts Hof Vor Indoesia” (Mahkamah
Agung Pemerintah Hindia Belanda Di Indonesia) yang didirikan berdasarkan RO
tahun 1824, diubah, Het Hooggerecthshof (HGH) merupakan Hakim Kasasi
terhadap putusan-putusan Raadvan Justitie(RVJ= pengadilan sehari-hari bagi orang-
34
orang Eropadan disamakan bagi mereka). Het Hoogerecthshof berkedudukan di
Jakarta1. Setelah Indonesia merdeka keberadaan lembaga Het Hoogerecthshof
(Mahkamah Agung) ini telah dipertahankan dan diberlakukan sebagai lembaga
negara Republik Indonesia berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menetapkan bahwa”segala badan negara dn peraturan yang ada
masih langsung berlaku, sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar 19452
Ketua Mahkamah Agung yang pertama waktu itu Alm. Mr Kusuma Atmadja
yang diangkat langsung oleh Presiden Ir. Soekarno bersamaan dengan dengan
pengangkatan menteri-menteri kabinet yang pertama pada bulan September 1945.
Pada waktu itu negara Indonesia belum mempunyai undang-undang tentang
Mahkamah Agung. Barulah pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dibuat
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung Indonesia3 yang
merupakan undang-undang pertama. Kemudian pada tahun 1965 dikeluarkan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung dan Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Umum namun kemudian, undang-undang tersebut oleh
1 Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hlm 10-11.
2Saafrodin Bahar, Nannie Hudwatie Sinaga dan Ananda B. Kusuma, Risalah Sidang Badan
Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Jakarta, 1998, hlm 328.
3 Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, IKHI Cabang Mahkamah Agung, Jakarta,
1998, hlm 10.
35
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak
berlakunya ditetapkan pada saat undang-undang yang menggantikannya mulai
berlaku. Kemudian pada tahun 1985 dikeluarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung yang menggantikan Undang-undang Nomor 13
Tahun 1965.4 Barulah kemudian diubah lagi menjadi Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1985.
Visi Mahkamah Agung yaitu:
Mewujudkan Supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri,
efektif, dan efisien serta mendapatkan kepercayaan publik. Profesional dalam
memberi layanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan berbiaya rendah bagi
masyarakat serta mampu menjawab panggilan layanan publik
Misi Mahkamah Agung yaitu :
1. Pemberian rasa keadilan yang cepat dan jujur
2. Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak luar
3. Memerbaiki kualitas input eksternal pada proses peradilan
4. Institusi peradilan yang efisien, efektif dan berkualitas
5. Melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dengan bermartabat, integritas,
bisa dipercaya dan transparan
4 A. Mukti Arto, Konsep Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah
Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2001, hlm 181.
36
Mahkamah Agung memiliki kewenangan yang meliputi
1. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung
2. Berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang
3. Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang
Terhadap perumusan pemisahan antara kegiatan pengujian materi (judicial
review) undang-undang dan materi peraturan dibawah undang-undang dapat di
ajukan empat kritik.5 Pertama, pemberian kewenangan pengujian (judicial review)
materi undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi yang
baru dibentuk mengesankan hanya sebagai tambahan perumusan terhadap materi
Undang-undang Dasar secara mudah dan tambal sulam seakan-akan hak uji materi
peraturan yang ada ditangan Mahkamah Agung tidak turut terpengaruh dengan
adanya hak uji yang di berikan kepada Mahkamah Konstitusi. Perumusan demikian
terkesan seakan-akan kurang didasarkan atas pendalaman konsep berkenaan dengan
konsepsi hak uji itu sendiri secara komprehensif.
5 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Materi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, makalah
disampaikan pada kuliah perdana pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
yogyakarta, kamis 13 September 2001.
37
Kedua, pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem
kekuasaan yang dianut masih didasarkan atas dasar prinsip pembagian kekuasaan dan
bukan prinsip pemisahan kekuasaan yang mengutamakan mekanisme checks and
balance sebagaimana yanng diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 telah resmi dan
tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal. Ketiga, dalam
praktek pelaksanaannya nanti, secara hipotitis dapat timbul pertentangan subtantif
antara putusan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Keempat,
pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dijadikan sarana yang dapat
membantu mengurangi beban Mahkamah Agung, sehingga reformasi dan
peningkatan kinerja Mahkamah Agung sebagai rumah keadilan bagi setiap warga
negara segera dapat diwujudkan jika kewenangan penguji materi peraturan di bawah
Undang-undang Dasar sepenuhnya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi,
sehingga Mahkamah Agung dapat menyelesaikan banyaknya tumpukan perkara yang
dari waktu kewaktu terus bertambah tanapa mekanisme penyelesaian yang jelas6
Dalam hal kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Agung dan peradilan yang ada dibawahnya, tentunya kedudukan, tugas, dan
kewenangan diatur dalam undang-undang tersendiri. Mahkamah Agung sebagai
Lembaga Tinggi Negara melaksanakan kekuaasaan kehakiman dan merupakan
peradilan tertinggi mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
2006, hlm 240.
38
1. Fungsi bidang peradilan
2. Fungsi bidang pengawasan
3. Fungsi bidang pemberi nasehat
4. Fungsi bidang pengaturan
5. Fungsi bidang administrasi
6. Fungsi bidang tugas dan kewenangan lainnya
B. Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Mahkamah Konstitusi ditergaskan dalam pasal 24 ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945, amandemen ketiga dengan Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung sederajat sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Rumusan
pasal tesebut berbunyi “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara
dan oleh sebuah Mahkamah konstitusi
Dari sinilah landasan hukum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai
pegangan dalam menjalankan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir dan putusannya bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara,
memutus pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum, dan
memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil presiden terhadap Undang-undang Dasar.
39
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga baru yang diintrodusir oleh perubahan
ketiga Undang-undang Dasar 1945 peranannya sangat strategis, terlebih setelah
Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi bikameral dan tidak lagi sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Namun kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi,
yang membagi kekuasaan kehakiman ke dalam dua cabang, yaitu cabang peradilan
biasa yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang pengadilan Konstitusi
yang dijalankan oleh Mahkamah konstitusi.7
1. Visi Mahkamah Konstitusi
Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
2. Misi Mahkamah Konstitusi adalah :
a. Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman
yang terpercaya
b. Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi
Mahkamah Konstitusi disamping mempunyai kedudukan yang sejajar dengan
Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan yang diatur dalam pasal 24C ayat
7 Fathurohman, Dian Aminundin, Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi
Di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti Bandung, 2004. Hlm 62.
40
(1) Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-undang Dasar
c. Memutus pembubaran partai politik
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
e. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
peresiden
Adapun kejelasan kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah constitutional court yang ke
78 di dunia, dibentuk berdasarkan pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Jo Pasal 24C yang diputuskan dalam rapat paripurna Majelis
41
Permusyawratan Rakyat ke-7, tanggal 9 November 2001, sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.8
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di
Indonesia yang kedudukannya sejajar dengan Mahkamah Agung. Namun sebelumnya
pengujian undang-undang tidal dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.9
Keberadaan judicial Review sangat dibutuhkan, baik secara yuridis, politik maupun
pragmatis. Secara yuridis sesuai dengan Stuffen Theory bahwa peraturan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ( lex superiori
derogat legi inferiori). Oleh sebab itu, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang Dasar. Untuk mengetahui suatu undang-undang bertentangan
atau tidak maka diperlukan judicial review.
Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan
misi serta materi muatan suatu Undang-Undang tidak bertentangan dengan Undang-
undang Dasar . secara pragmatis, kebutuhan judicial review ini sangat diperlukan
untuk mencegah praktek penyelenggaraan pemerintah negara yang tidak sesuai atau
8 Laica Marzuki, Judicial Review Di Mahkamah Konstitusi, Berita Mahkamah Konstitusi,
Edisi. No. 07 Oktober-November 2004, hlm. 24.
9 Dahlan Thalib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi Kedua
Cetakan Pertama, Liberty Yogyakarta. 1993, hlm 66.
42
menyimpang dari Undang-undang Dasar. Tanpa judicial review sulit menegakkan
Undang-undang Dasar.10
Proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi ada 2 (dua) macam,
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yakni :
a. Pengujian undang-undang secara formal yakni pengujian terhadap suatu
Undang-Undang dilakukan karena proses pembentukan Undang-Undang
tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-undang Dasar
b. Pengujian Undang-Undang secara materiil yakni pengujian terhadap suatu
undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan
menjadi dua. Yaitu kewenangan utama, dan kewenangan tambahan. Kewenangan
utama meliputi : (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b) memutus keluhan
konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak
memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi), sebaiknya Mahkamah
Konstitusi diberi Kewenangan utamanya yaitu untuk memutus Constitutional
10
Mukti Arto, Mengutip Amir Mahmud, Demokrasi, Undang-Undang dan Peran Rakyat,
Dalam PRISMA No. 8, jakarta LP3ES, 1984 hlm. 345-346.
43
Complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah Konstitusi
Austria, Italy, Jerman dan lainnya. (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan
yang lainnya.
b. Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum adanya perubahan ketiga
Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai
mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Maka barulah setelah adanya perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yang
mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.11
Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, lembaga negara kerap kali melakukan
kerjasama atau hubungan. Hubungan antar lembaga-lembaga negara sangat
dimungkinkan terjadinya konflik kepentingan yaitu manakala suatu lembaga negara
yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan, bekerja tidak sebagaimana
mestinya. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan sebagai lembaga
negara yang mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa lembaga negara.
Kewenangan ini diberikan oleh Undang-undang Dasar dalam kerangka mekanisme
checks and balances dalam menjalankan kekuasaan negara.
11
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitutional Lembaga Negara, Konstitusi
Press, Cet Ke-3 Jakarta, 2006 hlm 2.
44
c. Pembubaran Partai Politik
Di negara yang menganut sistem demokrasi, keberadaan partai politik
merupakan “condition sine quanon” partai politik mutlak diperlukan dalam
pemerintahan demokratis, partai politik dapat mempunyai fingsi menyelenggarakan
pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan persyaratan yang harus
diselenggarakan dalam pemerintahan yang bersistem politik demokrasi. Dalam
negara demokrasi sangat dibutuhkan pemilihan umum yang mengikut setakan partai
politik sebagai peserta pemilihan umum. Dewasa ini tidak ada lagi negara
demokratis tanpa partai poltik, dukungan partai-partai politik terhadap pemimpin
sangat diperlukan tetapi seringkali terjadi suatu perbedaan ideologi yang
menyebabkan perlawanan terhadap pemimpin.12
Pembubaran partai politik pada dasarnya dan apapun alasannya bertentangan
dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Namun dalam
prakteknya pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alasan idiologi dan
pelanggaran hukum.13
Memang ada suatu dilema, di satu sisi keberadaan
parpolharus dipertahankan karena alasan hak asasi manusia namun disisi lain tidak
ada manfaatnya mempertahankan partai politik yang diduga menghambat proses
12
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui perubahan Konstitusi,
diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur Bekerjasama Dengan In-trans, Malng,
2004 hlm 27.
13 Tanpa nama, “Mahkamah Konstitusi Berwenang Bubarkan Parpol”. Dalam
www.hukumonline.,Tanggal 8 Agustus 2003.
45
pembaharuan. Persoalan pembubaran parpolsangat bertentangan dengan prinsip
demokraasi dan HAM.14
Pembubaran dan pembekuan partai politik dilakukan oleh Mahkamah Agung
melalui proses peradilan setelah terlebih dahulu mendengar dan memperimbangkan
keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan, jika melanggar tujuan
partai politik, kewajiban partai politik dan larangan partai politik. Larangan yang
tercantum dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah :
a. Menganut atau mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/ marxisme/ lenisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan
pancasila
b. Menerima sumbangan atau bantuandalam bentuk apapun dari pihak asing
baik langsung ataupun tidak langsung
c. Memberi sumbangan atau bantuan dalam bentuk apapun kepada pihak
asing, baik langsung atau pun tidak langsung yang dapat merugikan
kepentingan bangsa dan negara
d. Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah
Republik Indonesia dalam memelihara persahabatan dengan negara lain
14
Soewoto Mulyosudarmo, pembaharuan ketatanegaraan......Op.,Cit., hlm.28.
46
d. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat memutuskan penggunaan sistem perwakilan bikameral,
maka itu pemilihan umum tahun 2004, pemilih tidak hanya memilih Dewan
Perwakilan Rakyat namun juga anggota Dewan Perwakilan Daerah. Inilah
komposisi yang diharapkan benar-benar mewakili rakyat Indonesia. Dewan
Perwakilan Rakyat adalah wujud keterwakilan gagasan (representation ideas),
sedangkan Dewan Perwakilan Daerah adalah keterwakilan dalam kehadiran
(representation in presence).15
Mahkamah Konstitusi membatasi siapa saja yang berhak mengajukan
permohonan dalam sengketa pemilihan umum, seperti dalam pasal 74 ayat (1)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu :
a. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum
b. Pasangan calon Presiden dan atau Wakil Presiden peserta pemilihan umum
c. Partai politik peserta pemilihan umum
e. Pendapat DPR mengenai Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden
Disamping kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, ada juga
kewajiban Mahkamah Konstitusi memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
15
Joko J. Prihatmoko. Pemilu 2004 Dan Konsolidasi Demokrasi. LP21 Press, Semarang,
2003.hlm.28.
47
mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden
berdasarkan pasal24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment terhadap
presiden dan wakil presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan
merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan dari
ketatanegaraan yang di kembangkan di Indonesia. Selain itu keinginan untuk
memberikan pembatasan agar seorang presiden dan wakil presiden diberhentikan
bukan karena alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan
pertimbangan hukum yang dipertimbangkan.16
Kekhawatiran itu sebenarnya hanya dapat dipahami dalam batas sistem
parlementer. Kekhawatiran itu tidak akan terjadi jika mekanisme pemberhentian
presiden harus di dasarkan pada proses peradilan yang berada dalam Mahkamah
Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden
atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kasus pelanggaran konstiusi
lainnya, yang berkaitan dengan prinsip presidensiil.17
16
Fathurohman, Dian Aminundin, Sirajudin, memahami......Op.,Cit.,hlm 53.
17 Suewoto Mulyosudarmo,.. pembaharuan Ketatanegaraan......Op.,Cut.,hlm 107.
48
BAB IV
ANALISA TERHADAP MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM
KONSEPSI NEGARA HUKUM INDONESIA
A. MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Saat ini masyarakat mendambakan agar kekuasaan kehakiman lebih independen, lebih
lurus dan lebih peka pada tuntutan zaman. Independen maksudnya bebas dari tekanan, dan
pengaruh ekstra yudisial.Dambaan masyarakat tersebut muncul karena dalam sejarah kekuasaan
kehakiman pada masa lalu menunjukkan banyaknya intervensi dari eksekutif dan ekstra yudisial
dalam pelaksaanaan kekuasaan kehakiman sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan
tidak mandiri.1
Secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan Kehakiman di Indonesia belum
menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat susunan lembaga
peradilan masih diatur di dalam Undang-undang No. 34 Tahun 1942 tentang susunan peradilan
sipil dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah
Agung dan Kejaksaan Agung.1 Perubahan mulai nampak pasca disahkannya UU Nomor 19
Tahun 1948 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1947 sebagai keharusan untuk
merealisasikan pasal 24 UUD 1945. Dalam pasal 6 UU No 19 tahun 1948 dinyatakan adanya tiga
lembaga peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan
Peradilan Ketentaraan. Dan dalam pasal 10 ayat (2) UU tersebut juga diakui keberadaan Hakim
1 Pulus Efendie Lotulung, “Membangun Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim, makalah Lokakarya “Membangun
Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim”, Jakarta, KHN, 5 Juli 2005.
49
perdamian desa sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang bertugas untuk memeriksa
dan memutus perkara berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa.2
Era reformasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru menjadi tonggak awal kemandirian dan
kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini ditandai dengan diamandemennya
UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan kehakiman bersifat
merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”.3
Dalam rangka mewujudkan prinsip kemandirian dan kemerdekaan tersebut maka lahirlah
UU No. 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah kebijakan
penyatuatapan lembaga peradilan atau yang lebih populer dengan istilah kebijakan satu atap (one
roof system) dimana segala urusan peradilan baik yang menyangkut teknis yustisial maupun non
yustisial (organisasi, administrasi dan finansial) berada satu atap di bawah Mahkamah Agung.
Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi UU tersebut kemudian dirubah menjadi UU
No. 4 Tahun 2004 dan perubahan terakhir adalah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman.
Hampir bersamaan dengan UU No. 48 Tahun 2009 juga ada beberapa UU yang berkaitan
dengan dunia peradilan yang disahkan pada tahun 2009 yaitu UU No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2 Uraian tentang dinamika peradilan pada masa kolonial dan awal kemerdekaan bisa dibaca dalam buku Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang Perkembangan Sosial Politik,
Jakarta, Grasindo, 1994 3 Anwar Kariem, Undang-undang Dasar 1945: dari Awal Dibentuk Sampai Perubahan Era Reformasi, Jakarta,
Pustaka Bintang, 2004, hal. 33.
50
Sejarah kekuasaan kehakiman mulai dari awal kemerdekaan sampai masa reformasi di
atas menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman itu dinamis selalu terkait dengan dinamika sosial
dan politik hukum bangsa. Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang
sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor
X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas
antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.
Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman
yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Perubahan pokok dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap
kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala
urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di
bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris,
administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di
bawah departemen.
Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan
perubahan dengan adanya Amandemen Undang-undang Dasar 1945 menjadi Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di
51
bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang
KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian
berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya Undang-undang yang mengatur tentang
kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula karena harus disesuaikan dengan
Undang-undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih
rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang
semula diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.4
4 Moh. Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta 1993,
hlm 44.
52
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.5
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur
dengan peraturan perUndang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini.
a. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya
Peraturan perUndang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut:
a) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
b) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum.
5 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001,
hlm 77
53
c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah
menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-
undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
d) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
e) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan masalah internal institusional dan substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga
masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam
kekuasaankehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan
kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mempengaruhi dan/atau terpengaruh atas
berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun
ekonomis.6
Asumsi Dasar Reformasi Kebebasaan Kekuasaan Kehakiman adalah bahwa Tujuan
utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI
yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi
dibidang kekuasaan kehakiman ditujukan untuk : pertama: menjadikan kekuasan kehakiman
sebagai sebuah institusi yang independen; kedua: mengembalikan fungsi yang hakiki dari
6 Moh. Mahful MD, op. cit., hal 52
54
kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum; ketiga:menjalankan
fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya keempat: mendorong dan
memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna
mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima: melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk
yang paling kongkrit.
Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan mandiri, tidak
hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi juga dimaksudkan untuk
memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara organisatoris Mahkamah Agung
dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala intervensi dan
pengaruh kekuasaan negara lainnya dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak
boleh menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik pemerintah. Secara politik, kekuasaan
kehakiman harus didukung oleh pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Indonesia juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekwen prinsip-prinsip universal
dari kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman Karena itu harus direvisi dan diamandemen
segala peraturan perundang-undangan kebijakan dan lembaga -lembaga yang bertentangan
dengan jiwa dan prinsip dari kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Terdapat
beberapa alasan mengapa harus ada penegasan bahkan jaminan dan perlindungan kemerdekaan
atau kebebasan kekuasaan kehakiman.7
Pertama: secara natural, kekuasaan kehakiman tidak sekuat bahkan lemah dibandingkan
dengan cabang kekuasaan lain. Tanpa penegasan, jaminan dan perlindungan, kekuasaan
kehakiman tidak berdaya menghadapi kekuasaan-kekuasaan lain.
7 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Manda Maju ,Bandung,1995, hlm 6.
55
`Kedua: kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ”impartiality”
dan ”fairness” dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak
langsung melibatkan kepentingan cabang kekuasaan yang lain.
Ketiga: kekuasaan kehakiman yang merdeka, dipandang sebagai unsure penting bahkan
sebagai ciri substantif sebuah negara hukum dan demokrasi atau negara hukum demokratis
(democratische rechtsstaat).
Kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU No.4 tahun 2004 yang menggantikan UU
No.14 tahun 1970. Pasal 1 UU No.4 tahun 2004 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya Negara Hukum RI. Ini
berarti bahwa hakim itu bebas dari pihak ekstra yudisiil dan bebas menemukan hukum dan
keadilannnya. Akan tetapi kebebasannya tidak mutlak , tidak ada batas, melainkan dibatasi dari
segi makro dan mikro. Dari segi makro dibatasi oleh system pemerintahan, sistem politik, sistem
ekonomi dan sebagainya, sedangkan dari segi mikro kebebasaan hakim dibatasi atau diawasi
oleh Pancasila, UUD, UU, kesusilaan dan ketertiban umum. Dibatasinya kebebasan hakim
tidaklah tanpa alasan, karena hakim adalah manusia yang yang tidak luput dari kekhilafan. Untuk
mengurangi kekeliruan dalam menjatuhkan putusan maka kebebasan hakim perlu dibatasi dan
putusannya perlu dikoreksi. Oleh karena itu asas peradilan yang baik (principle of good
judicature) antara lain ialah adanya pengawasan dalam bentuk upaya hukum.8
Seperti halnya materi hukum yang lain, maka kekuasaan kehakiman juga memiliki asas
yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum agar
terciptanya peradilan yang independen dari campur tangan pihak luar.
8 Ismail Suny, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistim Hukum Nasional
56
“Asas-asal hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik diantaranya meliputi hal-
hal sebagai berikut :9
a. Asas Kebebasan Hakim.
b. Hakim bersifat Menunggu;
c. Pemeriksaan Berlangung Terbuka;
d. Hakim Aktif;
e. Asas Hakim bersiat Pasif (Tut Wuri);
f. Asas Kesamaan (Audi Et Alteram Partem);
g. Asas Objektivitas;
h. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)
i. Asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada
j. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
k. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis
l. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat
Untuk lebih jelasnya, asas-asas hukum umum peradilan yang baik akan diuraikan secara singkat
sebagai berikut :
a. Asas Kebebasan Hakim
asas ini dimiliki oleh setiap badan peradilan, kebebasan di sini maksudnya adalah tidak
boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penanganan suatu perkara oleh
pengadilan/majelis hakim. Ikut campur dapat berupa pemaksaan, directive atau rekomendasi
yang datang dari pihak ekstra yudisial, ancaman dan lain sebagainya. Menurut Yahya Harahap,
kekuasaan kehakiman adalah “kekuasaan negara”. Dia adalah milik negara dan bangsa
Indonesia, bukan milik swasta atau milik golongan tertentu. Karena itu, setiap lingkungan
9 Tresna,, Peradilan di Indonesia, , Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, hlm. 88.
57
peradilan yang dilimpahi fungsi dan kewenangan menyelenggarakan peradilan adalah
lembaga”kekuasaan negara” dan sekaligus milik negara dan rakyat Indonesia.10
Asas mengenai kebebasan hakim ini dijamin oleh peraturan perundang-undangan.
Disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang nomor 4 tahun 2004, “Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan keadialn berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Apabila kita lihat, maka ketentuan seperti di atas juga terdapat di dalam pasal 2 undang-
undang tentang Mahkamah Agung yang berbunyi : “Mahkamah Agung adalah Pengadilan
negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas
dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.
Karena itulah dalam melaksankan tugasnya seorang hakim harus bebas dari segal
acampur tangan para pihak yang dapat mempengaruhi keputusan hakim, baik intern maupun
ekstern sehingga hakim dapat dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
b. Hakim Bersifat Menunggu
Asas ini mempunyai arti bahwa inisiatif untuk berperkara di pengadilan terdapat pada
pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkanhakim hanya menunggu datangnya tuntutan hak
yang diajukan kepadanya. Oleh karenaitu dalam perkara perdata, selama para pihak yang merasa
dirugikan tidakmeminta hakim untuk turut campur tangna maka, sang hakim tidak berhak untuk
turut campur menangani dan memutuskan perkaranya.
Berbeda dengan hukum acara pdiana, dalamhukum acara pidana, inisiatif untuk
berperkara dilakukan oleh pemerintah yang diwakilkan oleh seoran gjaksa sebagai penntunt
10
Oemar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, hlm. 179
58
umum serta alat-alat kelengkapan negar alainnya seperti kepolisian. Hal ini dikarenakan di dalam
hukum secara pidan amengatur cara-cara mempertahankan kepentingan publik.
c. Pemeriksaan Berlangsung Terbuka
Asas ini terdapat dalam pasal 19 ayat (1) undang-undangan nomor 4 tahun 2004 yang
menyebutkan : “sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuak untuk umum, kecuali apabila
Undang-undang menentukan lain”. Dalam hal ini berati seitap orang diperoblehkan hadir untuk
mendengar dan melihat langsung jalannya pemeriksaan perkara yang dilakukan di pengadilan.
Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang baik dan tidak tejadi
penyimpangan proses pemeriksaan, seperti berat sebelah, halim bertindak sewenang-wenang.
Dengan demikian persidangan terbuka untuk umum itu diharapkan: a) dapat menjamin adanya
sosial control atas tugas-tugas yang dilaksanakan oleh hakim, sehingga hakim dapat
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak, b) untuk memberikan
edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa, c) masyarakat dapat menilai
mana yang baik dan mana yang buruk
d. Hakim Aktif
Hakim sebagai pimpinan di dalam persidangan haruslah aktif dalam memimpin jalannya
persidangan sehingga persidangan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini hakimlah
yang berwenang untuk memanggil para pihak, menentukan hari persidangan serta
memerintahkan agar alat-alat bukti yang perlu disampaikan dalam persidangan.
Selain hal itu hakim juga mempunyai wewenang untuk memberikan nasihat,
mengupayakan perdamaian, serta mengupayakan upaya-upaya hukum dan memberikan
keterangan kepada para pihak yang berperkara. Asas bahwa pengadilan harus aktif member
bantuan kepada para pihak yang sedang bersengketa ini dapat ditemukan dalam ketentuan pasal
59
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yaitu bahwa pengadian membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
e. Asas Hakim Bersifat Pasif (Tut Wuri)
“Dalam hukum acara perdata, ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada hakim untuk
diperiksa, ditentukan oleh para pihak yang berperkara”. Disini dapat kita lihat bahwa hakim
hanya membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan agar dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya yang
ringan, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) undang-undang nomor 4 tahun 2004.
f. Asas Kesamaan (Audi et Alteram Partem)
Di dalam proses peradilan, para pihak yang berperkara atau bersengketa berhak untuk
mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama demi untuk membela dan melindungi hak-
hak yang bersangkutan. Asas ini juga menghendaki adanya keseimbangan prosessuil dalam
pemeriksaan. Oleh karena itu hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah saut pihak saja,
hakim harus memberikan kesempatan pihak lain untuk menyampaikan keterangan atau
pendapatnya. Keberadaan asas ini dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yaitu bahwa pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
Tidak membeda-bedakan dalam hukum istilahnya dalam system Anglo Saxon adalah
equality before the law yang artinya bahwa setiap orang mempunyai persamaan kedudukan di
bawah hukum. Sedangkan lawan dari asas tersebut adalah “diskriminasi” yang berarti membeda-
bedakan hak dan kedudukan dalam sidang pengadilan.
60
Mempertahankan persamaan perlakuan antara pihak berpekara di pengadilan juga
dituntut bahkan dalam hal tempat duduk mereka diruang pengadilan. Tidak boleh ada salah satu
pihak yang duduk lebih dekat dengan hakim dari pihak yang lain. Jika salah satu pihak duduk
sejajar dengan hakim atau lebih dekat dengannya, pihak yang lainya akan meragukan ketidak
berpihakan hakim dalam menangani kasusnya. Oleh karena itu penting bagi hakim untuk
meyakinkan bahwa kedua pihak telah disediakan tempat duduk yang sama bagi mereka di
pengadilan.
g. Asas Objektivitas
Asas objektivitas inid apat kit alihat di dala pasal 5 ayat (1) undang-undang nomor 4
tahun 2004, pasal ini menegaskan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan-bedakan orang”. Dengan kata lain hakim tidak boleh memmbeirkan keputusan
yang memihak kepada salah satu pihak yang berperkara, hakim harus objektif dalam memeriksa
dan memberikan putusan.
Salah satu upaya untuk mewujudkan keobjektivitasan seorang hakim, undang-undang
menyediakan hak bagi pihak yang diadili, hak tersebut adalah hak ingkar, yaitu hak seseorang
yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap seorang hakim
yang akan mengadili perkaranya, hal ini terdapat di dalam pasal 29 ayat (1) undang-undang
nomor 4 tahun 2004.
h. Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)
Pasal 25 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 menegaskan bahwa segala putusan
pengaidlan selainmemuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dair
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. Oleh sebab itu hakim dalam memutuskan suatu perkara harus
61
membeirkan pertimbangna yang cukup, hal ini dimaksudkan agar hakim tidak berbuat sewenang-
wenang.
Dengan memperhatikan asas-asas umum peradilan, maka diharapkan agar proses
peradilan dapat tercapai, yaitu membeirakn keadilan dan kepastian hukum terhadap suutu
peristiwa yang disengketakan para pihak dengan putusan pengadilan. Dan diharapkan pula
dengan putusan pengadilan yang baik, para pihak yang berperkara akan mendapatkan keadilan
serta hak-hak dan kepentingannya yang dilanggar dapat dipulihkan kembali sebagaimana
mestinya.
i. Asas tidak menolak perkara hukumnya tidak jelas atau tidak ada
Penerapan asas ini karena hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami
hukum, sehingga apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis (peraturan perundang-
undangan), maka ia wajib berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memuuskan
hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dasar hukum mengenai asas ini di jumpai dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini dalam bahasa latin
dikenal dengan ius curia novit yang artinya hakim dianggap tahu akan hukum, sehingga apapun
permasalahan yang diajukan kepadanya maka ia wajib mencarikan hukumnya. Ia wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan kata lain hakim disini berperan sebagai
pembentuk hukum dan padanya tidak di perkenankan hanya sebagai corong Undang-Undang.
j. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
Asas bahwa beracara di pengadilan harus sederhana, cepat dan biaya ringan tertuang
dalam ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004tntang kekuasaan
62
kehakiman. Beracara sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan dambaan bagi setiap pencari
keadilan, sehingga apabila peradilan kurang optimal dalam arti mewujudkan asas ini biasanya
maka seseorang akan enggan beracara di pengadilan, mereka justru enggan untuk berurusan
dengan lembaga peradilan.
k. Asas dilakukan dengan hakim majelis
Asas ini secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 pasal
17 ayat (1), (2), dan (3) yang menyatakan bahwa aemua pengadilan memeriksa, mengadili, dan
memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim, kecuali Undang-Undang menentukan
lain. Diantara tiga hakim tersebut satu bertindak sebagai ketua majelis hakim dan berwenang
untuk memimpin jalannya persidangan.
Tujuan bahwa sidang peradilan harus majelis adalah untuk menjamin pemeriksaan yang
seobjektif mungkin guna memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan. Dalam
hal terjadi kesepakatan dalam rapat permusyawaratan hakim maka diambil voting. Sementara
terdapat hakim yang berbeda pendapat, maka pendapat tersebut tetap dilampirkan dalam putusan
yang bersangkutan.
l. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat
Bahwa pemeriksaan terhadap suatu perkara dilakukan dalam dua tingkat. Pemeriksaan
dalam dua tingkat ini menyangkut fakta hukumnya. Adapun dalam lingkungan peradilan,
pemeriksaan tingkat pertama dilakukan oleh pengadilan yang ada di kabupaten/kota. Sedangkan
apabila para pihak tidak puas terhadap putusan hakim pada tingkat pertama ini, maka dapat
mengajukan pemeriksaan di tingkat kedua atau banding kepada pengadilan yang terdapat di
tingkat provinsi. Tujuan dari adanya asas pemeriksaan dua tingkat ini adalah untuk kepentingan
63
koreksi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama yang mungkin dianggap tidak adil bagi
salah satu atau kedua belah pihak.
B. MODEL KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM ISLAM
Dalam masyarakat pra-Islam, tidak ada kekuasaan politik dan sistem peradilan yang
terorganisir. Namun demikian, jika terjadi persengkataan mengenai hak milik, hak waris dan
pelanggaran hukum selain pembunuhan maka persengkataan tersebut di selesaikan melalui
bantuan juru damai atau wasit yang di tunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa.
Untuk itu tidak ada pejabat resmi, melainkan lebih bersifat ad-hoc. Artinya jika terjadi
persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus tersebut. Juru
damai ini sering disebut hakam.
Dalam sejarah dicatat, bahwa Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul pernah bertindak
sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah. Perselisihan itu
berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar aswad pada tempat semula. Di
kalangan suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas yang mulia itu.
Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama suku Quraisy. Untunglah
mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat untuk memberikan kehormatan
kepada orang yang pertama datang ke Ka‟bah melalui pintu Syaibah. Kebetulan Muhammad
datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian mereka berseru. “inilah al-Amin. Kami setuju dia
menyelesaikan perselisihan ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad peristiwa
yang telah terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan
pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang dilakukan oleh
Muhammad itu.
64
Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad sebagai figur yang ideal pada
saat itu untuk menyelesaikan perselisihan dikalangan sukunya. Kegiatan seperti ini terus berjalan
hingga beliau mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah SWT. Pada dirinya
terkumpul beberapa fungsi diantaranya, sebagai Nabi dan Rasul sebagai kepala negara, sebagai
hakim yang menyelesaikan sengketa dikalangan ummat Islam. Semula Nabi Muhammad SAW
bertindak sebagai hakim tunggal, namun setelah ummat Islam mulai tersebar ke berbagai daerah,
maka beliau memberikan kewenangan kepada sahabat lainnya untuk menjadi hakim yang
menyelesaikan persengkataan diantara para sahabat ditempat mereka berada. Hal itu dilakukan
karena tempat mereka jauh dari kediaman Nabi. Sebagai konsekuensi dari pemberian
kewenangan itu maka beliau juga mengizinkan para sahabat untuk “berijtihad“, dalam kasus-
kasus yang tidak diatur dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Masalah kehakiman dalam Islam tidaklah
dapat dipisahkan dari maksud untuk menertibkan jalannya pelaksanaan hukum. Dan hukum
Islam dilaksanakan adalah mempunyai kandungan tujuan yang amat luas juga berinti ada satu
rumus: untuk menjaga ketertiban hubungan antara makhluk sesama makhluk, dan hubungan
antara makhluk dengan Khaliknya.
Berhubung daerah yang diatur oleh hukum Islam sangat luas dan lapangan kerjanya
bermacam-macam, dapatlah kiranya dimengerti betapa pentingnya masalah kehakiman ini
menurut pandangan Islam. Untuk mengetahui bagaimana luas lapangan kerja yang menjadi
urusan kehakiman dapatlah kiranya di maklumi dari pada tujuan-tujuan pokok dari hukum-
hukum Islam itu sendiri. Tujuan-tujuan pokoknya dalam garis besarnya tersimpul dalam 4
sektor:
1. Mengatur kesempurnaan pergaulan hidup antara manusia sesamanya;
65
2. Menjamin kebebasan manusia menjalankan ibadat sebagai pengakuan atas adanya
hubungan keyakinan antar Khalik (Tuhan) dan makhluk (manusia);
3. Memelihara dan menjamin keselamatan hidup tiap-tiap mansuia dari perbuatan-perbuatan
yang melanggar hukum yang berlaku;
4. Memelihara hak dan hak milik yang sah dari tiap-tiap manusia.11
Karena itu sungguh amat kelirulah orang yang mengira bahwa masalah kehakiman dalam
Islam hanya meliputi masalah perselisihan antara suami-isteri soal nikah, talak-rujuk, soal
pewarisan, dan tidak lebih dari itu.
Hakim sebagai salah satu atribut terpenting dalam kehakiman adalah sangat populer
sekali dalam hukum Islam. Hakim adalah sebagai pemegang amanat hukum dan sebagai
pelaksanaannya. Juga hakim ditunjuk untuk menjadi wali bagi wanita yang tidak punya wali
nikah.
Menjadi hakim mengikut Perundangan Islam mestilah memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Islam, bukan orang kafir
2. Baligh, sudah dewasa menurut perhitungan syara
3. Berakal, bukan orang bodoh
4. Merdeka, bukan hamba sahaya
5. Adil, bukan orang yang fasiq atau zalim
6. Memahami mksud-maksud ayat Qur‟an dan hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan
dengan kehakiman
7. Mengetahui ijma „ ulama‟ dan perselisihan faham antara mereka
8. Mengetahui bahasa arab sekedar untuk memahami ayat Quran dan hadits mengenai
hukum syara
11
Bustanul Arifin, Hukum Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001. Hlm.63
66
9. Pandai menjalankan Qiyas (perbandingan)
10. Mempunyai pendengaran an penglihatan yang cukup dan bukan orang yang lalai
Peradilan (al-Qadha') adalah kebutuhan vital masyarakat (dharury lil mujtami') artinya
seluruh manusia butuh kepada peradilan tanpa terkecuali baik yang beragama Islam maupun
tidak. Justru itu Islam memerintahkan untuk membentuk lembaga peradilan, Untuk mewujudkan
peradilan yang baik harus didukung oleh beberapa hal :
1. Hakim yang shalih, berdedikasi yang harus memenuhi persyaratan yang dibutuhkan.
2. Menghukum dengan adil.
3. Kemerdekaan Hakim.
4. Putusan hakim adalah putusan Negara.
5. Hakim harus dilindungi oleh Negara.
Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim harus mempunyai moral
yang tinggi, berbudi luhur, dan menegakan hukum secara benar dan adil. Sehingga peranan
hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dapat dilihat dari tugasnya: Penggali Hukum,
Pemutus Perkara. Pemberi Nasehat
Sebagai salah satu bentuknya adalah dengan adanya kode etik profesi hakim yang
tujuannya untuk kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan tersebut tercantum dalam azas-azas
yang dituangkan dalam syariat hukum Darury yaitu hal yang pokok dalam kehidupan manusia,
hukum Hajjiy yaitu hukum yang menselaraskan dengan hajat dan kebutuhan manusia, dan
hukum Tahsiny yaitu merupakan keindahan hidup yang merupakam pelengkap dalam kehidupan
manusia12
. Dengan demikian tujuan penegakkan keadilan dan kebenaran dapat tercapai, dan
kode etik profesi hakim benar-benar membawa maslahat bagi manusia.
12
Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam,cet. ke-1, Surabaya : al-Ikhlas, 1994, hlm.20
67
Pelaksana dan wewenang kekuasaan kehakiman dalam tradisi Islam terbagi dalam empat
lembaga yaitu: al-qadha, al-hisbah, al-madzalim, dan al-mahkamah al-asykariyyah. Semua
lembaga tersebut mempunyai tugas dan wewenang masing-masing untuk mengatur jalannya
peradilan yang bersih dan sesuai dengan syariat Islam. Untuk lebih jelasnya penulis akan
menjelaskan lebih rinci lagi
1. Al-Qadha
Kata Al-Qadha secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan
menurut istilah fikih Al-Qadha berarti menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau
sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Qadha adalah lembaga yang vertugas
memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan
masalah wakaf. Secara spesifik, Salam Makdur memberi pengertian lembaga yang bertugas
memutuskan sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang telah di tetapkan oleh
Allah SWT dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka
sama di hadapan hukum Allah. Lembaga ini telah dirintis sudah sejak masa Rasulullah SAW dan
disempurnakan pada masa-masa sesudahnya
Taqliyuddin an-Nabhani menyebutnya Qadha biasa yakni yang mengurusi penyelesaian
perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal muamalah (transaksi yang dilakukan antara
satu orang dengan yang lainnya) dan uqubat (sanksi hukum). Badan ini dipimpin oleh seorang
qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari Al-
Quran, Sunah Rasul, ijma, ataupun berdasarkan ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa
dalam menetapkan keputusan hukum sekalipun tehadap penguasa. Dalam konteks Indonesia,
Qadha ini dapat disamakan dengan badan peradilan agama dan peradilan umum
68
Sedangkan bila dilihat dari perfektif kontemporer, fungsi lembaga Qadhi dapat
dikatakan mirip dengan fungsi badan yudikatif dan legislatif. Pada satu sisi, qadhi mengurusi
kasus yang membutuhkan penyelesaian secara hukum Islam, dan mengadili perkara-perkara
perdata dan pidana berdasarkan hukum Islam. Pada sisi lain, qadhi juga memiliki kewajiban
untuk melakukan ijtihad dalam rangka legislasi, termasuk mengeluarkan fatwa yang
diderivasikan dari syariah. Namun demikian, menurut Rifyal Ka‟bah fungsi legislasi qadhi
sangat terbatas karena terbatas pada hal-hal yang disebut al-mubah (lapangan kebolehan)
Oleh karena itu dalam Islam, tidak boleh ada pengaruh apapun dan dari siapapun atas
kedudukan para hakim dan mereka sendiripun tidak boleh terpengaruh kecuali oleh kebenaran
dan keadilan. Para hakim haruslah membersihkan diri dari hawa nafsu dan harus memperlakukan
semua manusia sama di depan hukum atau pengadilannya.
2. Al-Hisbah
Al-Hisbah secara etimologis berarti menghitung, berfikir, memberikan opini, pandangan
dan lain-lain. Sedangkan secara secara istilah Ibnu Taimiyah mendefinisikan Al-Al-Hisbah
sebagai lembaga yang bertujuan untuk memerintahkan apa yang disebut sebagai kebaikan (al-
ma’ruf) dan mencegah apa yang secara umum disebut sebagai keburukan (al-munkar) didalam
wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya, mengadili dalam wilayah
umum-khusus lainnya, yang tidak bisa dijangkau oleh institusi biasa.13
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang
bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Al-Mawardi mendefinisikan al-
hisbah dengan menegakkan kebajikan jika terlihat diabaikan, dan mencegah kebathilan yang
terbukti dilakukan. Pejabat hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani kriminal yang perlu
penyelesaian segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, menyelesaikan masalah-
13
Acep Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta, Kencana. 2003, hlm. 45.
69
masalah kriminal, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, serta menghukum orang
yang mempermainkan hukum syariat. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah
pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang
yang melebihi kapasitas kendaraan
Ia ditunjuk oleh sultan dan/atau khalifah untuk mengawasi pasar-pasar dan para
pedagang agar tidak terjadi kecurangan. Ia juga bertugas memelihara sopan santun dan
kesusilaan di tengah-tengah masyarakat. Intinya menurut An-Nabhani, qadhi muhtasib adalah
orang yang mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bias membahayakan hak
jamaah, atau amar ma‟ruf nahi munkar dalam istilah al-Mawardi. Mengingat fungsinya tersebut,
maka seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada
pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman melalui proses
pengadilan. Dalam konteks sekarang, fungsi muhtasib sama dengan polisi pasar di zaman
sekarang, hanya saja perbedaannya polisi tidak dapat menghukum tedakwa tanpa diajukan ke
pengadilan terlebih dahulu.
3. Al-Madzalim
Kata al-madzalim adalah jama‟ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama
bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di
bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-
mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk
diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).Al-madzalim adalah
salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi
penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan Negara.selain itu, ia juga
menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan,
70
atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional, qadhi madzalim bertugas
menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadha dan muhtasib, meninjau kembali
putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.14
Badan tesebut memiliki Mahkamah Madzalim. Sidangnya selalu diselenggarakan di
masjid dan dihadiri oleh lima unsure sebagai anggota siding; 1) para pembela dan pembantu
sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan peyimpangan-penyimpangan hukum, 2)
para hakim memertahankan wibawa hukumdan mengembalikan hak kepada yang berhak, 3) para
fuqaha tempat rujukan qadhi madzalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah
yang musykil dari sedi hukum syariat, 4) para katib mencatat pernyataan-pernyataan dalam
siding dan keputusan siding, dan 5) para saksi memberikan kesaksian terhadap masalah yang
diperkarakan, dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.
Wilayah al-madzalim merupakan lembaga kehakiman tingkat tinggi, yang sejak masa
khalifah Abdul Malik (685-705 M) untuk pusat dipegang langsung oleh khalifah. Dalam
penanganan ini khalifah menyediakan waktu khusus untuk menyelesaikan perkara yang masuk.
Sedangkan untuk daerah, jabatn ini di pegang oleh qadhi madzalim. Wilayat al-madzalim ini
juga menangani tindakan pejabat-pejabat Negara termasuk hakim yang berbuat sewenang-
wenang terhadap rakyat. Kalau dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang bisa
dipadankan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung sebagai tempat bagi orang yang
kalah tak puas mengajukan kembali perkaranya. Dengan adanya Mahkamah Agung dan ketuanya
ini, kekuasaan Negara di bidang pengadilan bertambah lengkap. Di bawah Mahkamah Agung
ada pengadilan tinggi dan di bawahnya ada pengadilan Negara.
14
http://www.muslimdaily.net/opini/7045/mesir-dan-dar-al-%E2%80%98adl /diunduh pada hari senin
04/april/22.30
71
4. Al-Mahkamah al-Asykariyyah
Selain tiga bidang yaitu hisbah, al-qadha, dan al-madzalim pada masa pemerintahan
Bani Abbas juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-mahkamah al-asykariyyah dengan
hakimnya adalah qadhi al-asykar atau qadhi al-jund) Posisi ini sudah ada sejak Sultan
Salahuddin Yusuf ibn Ayyub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-adl terutama
ketika persidangan tersebut menyangkut tentang anggota militer/tentara.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. kekuasaan Kehakiman dari Orde Lama ke Orde Baru masih menyisihkan
terjadinya dualisme kekuasaan kehakiman karena di satu sisi tetap memberikan
kepada pemerintah untuk mengurus masalah-masalah administrasi,
keorganisasian, dan keuangan dalam pihak lain memberikan kepada Mahkamah
Agung wewenang mengurus masalah-masalah tekhnis yuridis. Dualisme
semacam ini membawa konsekuensi bahwa hakim sebagai pegawai departemen
merupakan aparatur pemerintah (birokrasi) yang mempunyai kewajiban dan
tangggung jawab pula untuk mensukseskan program-program pemerintah.
Pembagian kekuasaan pada poros-poros tertentu itu tercakup pula gagasan
fundamental tentang perlunya kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka dan
aman dari pengaruh dan intervensi dari kekuatan-kekuatan lain.
Didalam implementasinya prinsip kebebasan merdeka ini memang tidak
harus dengan membentuk organisasi yang secara struktural terpisah dari
eksekutif, sebab yang dipentingkan adalah fungsinya yang betul-betul bebas
merdeka. Namun gagasan untuk melepaskan pembinaan dunia peradilan dari
kekuasaan eksekutif yang telah disuarakan selama puluhan tahun masih tetap
relevan dan perlu dijadikan bagian dari politik hukum nasional untuk masa-masa
mendatang.
73
2. Badan-badan peradilan dilepaskan dari departemen pemerintahan dan semua
hakimnya dijadikan pejabat negara yang seluruhnya dibina oleh Mahkamah
Agung. Sebab meskipun pemisahan struktural itu tidak diharuskan oleh konstitusi
namun peletakan pembinaan badan peradilan di bawah departemen pemerintahan
bertendensi mengurangi atau setidak-tidaknya mempengaruhi kebebasan hakim,
meskipun berdasarkan undang-undang pembinaan itu hanya terbatas pada bidang
organisatoris dan administratif finansial.
Tendensi keterpengaruhan atau pengurangan kebebasan itu menjadi ada
karena faktor psikologis, watak korps dan birokrasi, serta budaya paternalistik
bangsa indonesia yang membiasakan orang memihak pada kepentingan atasan
atau organisasinya. Memang pembentukan struktur bukan satu-satunya cara
yang dapat ditempuh untuk lebih menjamin berlangsungnya kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka. Selain itu masalah-masalah lain yang
dapat dilakukan secara simultan seperti sistem rekuitmen bagi calon hakim,
sistem pengawasan, pembangunan budaya peradilan dan sebagainya.
Mahkamah Agung adalah puncak kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Militer. Dengan perkataan lain Mahkamah Agung secara tegas hanya
diamati oleh dua kewenangan konstitusional yaitu (i) mengadili pada tingkat
kasasi, dan (ii) menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang.
74
Sedangkan kewenangan lainnya merupakan kewenangan tambahan
yang secara konstitusional didelegasikan kepada pembentuk undang-undang
untuk menentukannya sendiri, artinya kewenangan tambahan ini tidak
termasuk kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang
Dasar melainkan diadakan atau ditiadakan hany oleh undang-undang.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi secara tegas diberikan lima kewenangan
atau sering disebut empat kewenangan ditambah satu kewajiban yaitu (i)
menguji konstitusionalitas undang-undang, (ii) memutus sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara, (iii) memutus perselisihan
mengenai hasil pemilihan umum, (iv) memutus pembubaran partai politik,
dan (v) memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa presiden
melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau
wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
B. Saran-saran
Dalam kekuasaan kehakiman perlu dilakukan amandemen terhadap Undang-
Undang Dasar 1945 agar kewenangan yang ada pada lembaga Mahkamah Konstitusi
bukan hanya menguji undang-undang tetapi kewenangannya tersebut diperluas
untuk melakukan pengujian terhadap peraturan daerah dan bukan kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-
undang diberikan Mahkamah Agung apalagi kewenangan tersebut bersifat
didelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya sendiri
75
Agar terciptanya kehakiman yang diimpikan oleh masyarakat maka
penegakan hukum di lembaga peradilan haruslah terbebas dari campur tangan pihak
penguasa. Tidak ada pembedaan dalam hukuman antara masyarakat biasa dan
masyarakat dari kalangan atas yang mempunyai kekuasaan untuk membayar dan
membeli hukum demi kebebasannya. Dengan peradilan yang bersih dan terpercaya
maka diharapkan bisa mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat indonesia
yang selama ini kecewa dengan keberadaan perdilan yang hanya membela
kepentingan orang-orang kaya dan juga penguasa
72
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1985.
Boestomi, H.T. Fungsi Dan Peranan Mahkamah Agung Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Bappenas, 1998.
Ghai, Yosh. The Rule of Law and Human Rights in Malaysia and Singapore,
Kehmas 2 Grael, Selangor 1989.
Hartono, CFG. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Bandung: Alumni, 1991.
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada
University Press, 2002.
Konijnenbelt/Van Wijk. Hoofdstukken Van Administratif Reacht, Vuga, S
Gravenhage 1984.
Mahfud, Moh MD. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia. Studi Politik Dan
Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Liberty, 1993.
________. Politik Hukum Di Indonesia, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta,
1998.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik. Jakarta: Presco,
1991.
Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta:
Sekretariat Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
___________. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: konstitusi
press, 2006.
73
___________. Pengantar Ilmu Hukum tata Negara Jilid II. Jakarta: Konstitusi
Press, 2006.
___________. Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah.
Jakarta: UI Press, 1996.
Anshari, Abdul Ghafur. Peradilan Agama Di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun
2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan). Yogyakarta: UUI Press,
2006.
Abdullah, Abdul Gani. Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan
Peradilan Agama. Jakarta: Intermasa, 1986.
___________. Perkembangan Reformasi Kekuasaan Kehakiman,
DEPKUMHAM, Yogyakarta 2006.
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Alkostar, Artidjo,. Pembangunan Hukum Dalam Persfektif Kebijakan Dalam
Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta: Universitas Hukum Indonesia,
1997.
Azhari, 1995. Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur-Unsurnya. Jakarta: UI Press, 1995.
Asrun, A. Muhammad. Krisis Peradilan Mahkamah Agung dibawah Soeharto,
Jakarta: tanpa penerbit, 2004.
Fadjar, A. mukthie. Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik.
Malang: In-Trans, 2003.
Arto, A. Mukti. Konsep Ideal Mahkamah Agung Redifinisi peran Dan Fungsi
Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru. Yogyakarta
Pustaka Pelajar, 2001.
74
Manan, Bagir 1993. Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Sejak Kembali Ke UUD
1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia: 30 Tahun Kembali Ke UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
___________. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Bandung: LPP
UNISBA, 1995.
___________. Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri, Mimbar Hukum. Jakarta:
Alhikmah, 1999.
____________. dan Magnar Kuntana. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung: Alumni Bandung 1997.
Sutiyoso, Bambang, dkk. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Benny K. Harman. Konfigurasi Politik Dan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia.
Jakarta: Elsam, 1997.
Saragih, Ragen Bintan. Politik Hukum. Bandung: CV Utomo, 2006.
C.S.T Kansiel. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara,
1986.
Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Rajawali Press,
2000.
Thaib, Dahlan, dkk. Teori dan Hukum Konstitusi. Yogyakarta: Rajawali Press,
2006.
____________. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, edisi
kedua cetakan pertama. Yogyakarta: Liberty.
Daniel S.Lev. Hukum Dan Politik Di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan.
Jakarta: LP3ES, 1990.
75
_____________. Kegagalan Menciptakan System Politik Dalam Poltik Indonesia
Persfektif Sejarah. Jakarta: Gama Pustaka Utama, 2001.
Yunus, Didi Nazmi. Konsep Negara Hukum. Padang: Angkasa Raya, 1992.
Erman Rajagukguk, et.al. Perubahan Hukum Indonesia (1998-2004) Harapan
2005, Legal Development Facility-Fakultas Hukum. Jakarta: UI, 2004.
Fathurohman. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti,Bandung, 2004.
Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden, Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif. Jakarta: Rundi Press, 1975.
Harjono. Kedudukan Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Kekuasaan
Kehakiman Dan Ketatanegaraan Indonesia, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2003.
Panagaribuan, Luhut, Dkk. Keindependenan Kekuasaan Kehakiman. Jakarta
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Moko, Haryat. Etika Politik Dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas, 2004.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2004
TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
b. bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 3
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Pasal 4
(1) Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.
Pasal 5
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 6
(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pasal 7
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 8
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.
BAB II
BADAN PERADILAN DAN ASASNYA
Pasal 10
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Pasal 11
(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
(3) Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 12
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 13
(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
(3) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Pasal 14
(1) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.
(2) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.
Pasal 15
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.
(2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Pasal 16
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 17
(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
(3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.
(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 18
(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Pasal 19
(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(5) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.
Pasal 20
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 21
(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
(2) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 22
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 23
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Pasal 24
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 25
(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
(3) Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.
Pasal 26
Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.
BAB III
HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA
Pasal 27
Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.
BAB IV
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA
Pasal 28
(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pasal 29
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
(2) Sumpah atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Sumpah:
”Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Janji:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
(3) Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
BAB V
KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN
Pasal 31
Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 32
Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Pasal 33
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
Pasal 34
(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang.
(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 35
Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan dan pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam undang-undang.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 36
(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.
(3) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
(4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 37
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 38
Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
Pasal 39
Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Pasal 40
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undang-undang.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN
Pasal 41
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan lain diatur dalam undang-undang.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.
(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(3) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(4) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat:
a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir;
b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.
Pasal 43
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1):
a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;
b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;
c. semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke Mahkamah Agung.
Pasal 44
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):
a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;
b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.
Pasal 45
Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3):
a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer;
b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung.
Pasal 46
Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 48
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 49
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 15 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 8
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2004
TENTANG
KEKUASAAN KEHAKIMAN
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban
memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.
Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.
Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.
Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud ”dipidana” dalam ayat ini adalah bahwa unsur-unsur tindak pidana dan pidananya ditentukan dalam undang-undang.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (4).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”pengawasan tertinggi” dalam ketentuan ayat ini meliputi pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan dibawahnya.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Ayat (2)
Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ketentuan ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”derajat ketiga” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan ”kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”dipimpin” dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “organisasi, administrasi, dan finansial pada ayat ini adalah organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah militer agung atau pengadilan militer utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan militer tinggi, dan mahkamah militer atau pengadilan militer.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada selama aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.
Pasal 44
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 43 huruf c.
Pasal 45
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4358