39
KEMARITIMAN VS KELAUTAN Jika merujuk ada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata ”Kelautan” berasal dari kata ”laut” yang mempunyai arti hamparan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan didefinisikan sebagai perihal yang berhubungan dengan laut. Dari definisi itu pengertian kelautan lebih dapat dilihat dari segi fisikal atau bentuk fisiknya. Sedangkan Maritim dalam KBBI didefinisikan sebagai berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Jika dibandingkan berdasarkan definisi KBBI itu maka dapat disimpulkan bahwa kemaritiman mempunyai definisi yang tidak terfokus dari segi fisik (physical property) tapi lebih luas lagi, yaitu dengan memasukkan unsur non fisik, seperti pelayaran dan perdagangan di laut. Jika landasan ini yang digunakan dalam penentuan nomenklatur antara Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Menteri Kelautan dan Perikanan maka dapat disimpulkan bahwa makna pemberian nama kemaritiman ingin menyampaikan pesan yang lebih luas, yang menyangkut perhubungan lalu lintas dan perdagangan serta perlayaran dan lainnya. Nomenklatur ini lebih tepat, mengingat fungsi dari kementerian koordinasi kemaritiman yaitu mengkoordinasi empat kementerian lainnya, yaitu Perhubungan menyangkut dengan transportasi laut, Pariwisata menyangkut

sdfsdfd

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dsfsdfdfdq

Citation preview

Page 1: sdfsdfd

KEMARITIMAN VS KELAUTAN

Jika merujuk ada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata ”Kelautan” berasal dari kata ”laut” yang mempunyai arti hamparan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan didefinisikan sebagai perihal yang berhubungan dengan laut. Dari definisi itu pengertian kelautan lebih dapat dilihat dari segi fisikal atau bentuk fisiknya. Sedangkan Maritim dalam KBBI didefinisikan sebagai berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Jika dibandingkan berdasarkan definisi KBBI itu maka dapat disimpulkan bahwa kemaritiman mempunyai definisi yang tidak terfokus dari segi fisik (physical property) tapi lebih luas lagi, yaitu dengan memasukkan unsur non fisik, seperti pelayaran dan perdagangan di laut.

Jika landasan ini yang digunakan dalam penentuan nomenklatur antara Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Menteri Kelautan dan Perikanan maka dapat disimpulkan bahwa makna pemberian nama kemaritiman ingin menyampaikan pesan yang lebih luas, yang menyangkut perhubungan lalu lintas dan perdagangan serta perlayaran dan lainnya.

Nomenklatur ini lebih tepat, mengingat fungsi dari kementerian koordinasi kemaritiman yaitu mengkoordinasi empat kementerian lainnya, yaitu Perhubungan menyangkut dengan transportasi laut, Pariwisata menyangkut ekowisata maupun wisata pesisir, ESDM menyangkut kekayaan energi dan sumber daya yang terkandung di laut, serta Kelautan dan Perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini kita bisa menangkap maksud dan tujuan adanya menteri Koordinasi Kemaritiman adalah untuk merangkul seluruh potensi maritim dalam satu garis koordinasi sehingga akan terciptanya sinergi yang akan mempercepat terealisasinya visi dan misi terkait kemaritiman itu sendiri.

Terlepas dari nomenklatur yang dipilih dan kesesuainnya dengan fungsi dan garis koordinasi yang dijelaskan tadi, kita terlebih dulu mengembalikan definisi kelautan dan kemaritiman dari sudut pandang di luar kontek penyusunan kabinet dan pemilihan nomenklatur untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih komprehensif tentang konsep Kemaritiman dan Kelautan.

Page 2: sdfsdfd

Diplomat senior Prof Hasjim Djalal, menjelaskan tentang perbedaan konsep kemaritiman dan kelautan. Menurutnya kelautan adalah fisikal, contohnya Indonesia adalah negara kelautan karena secara fisik Indonesia adalah laut.

Sedangkan maritim adalah jiwa dan pikiran yang pandai memanfaatkan laut. Pendekatan konsep ini lebih mudah dipahami pada konsep Negara Singapura. Singapura adalah negara maritim, bukan negara kelautan, mengingat singapura adalah negara yang mampu dan pandai memanfaatkan lautnya sebagai lalu lintas pelayaran internasional untuk membangun ekonomi negaranya.

Sedangkan menurut pendekatan konsep ini Indonesia saat ini lebih tepat disebut sebagai negara kelautan, bukannya negara maritim, karena selama ini kita belum mampu sepenuhnya memanfaatkan laut secara maksimal. Selain itu, arah pengembangan yang dilakukan negara ini bukan cerminan dari negara yang mempunyai jiwa dan pemikiran yang pandai memanfaatkan laut secara keseluruhan dan tidak hanya memanfaatkannya secara fisiknya saja.

Terlepas dari definisi secara harfiah maupun konseptual tentang kemaritiman atau kelautan, alangkah baiknya jika saat ini kita menyadari secara komprehensif tentang visi kemaritiman. Kita tidak usah terlalu membuang energi hanya untuk mendefinisikan kedua hal tersebut. Yang terpenting saat ini yang diperlukan adalah energi lebih untuk mencapai satu tujuan bersama, yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Kita harus lebih memahami secara komprehensif bagaimana memanfaatkan potensi Indonesia sebagai negara kelautan secara fisik menjadi sebuah negara maritim sepenuhnya secara jiwa dan pikiran. Dengan memanfaatkan segala potensi yang ada maka pembangunan ekonomi maritim sebagai media tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia bukanlah hanya sebatas konsep belaka.

DEWAN KELAUTAN INDONESIA

Tentang DEKIN

Page 3: sdfsdfd

Latar Belakang

Dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, diperlukan langkah langkah penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi, efektif, dan efisien.

Kebijakan publik di bidang kelautan merupakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal.

Dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 161 tahun 1999, namun nomenklatur Dewan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut, sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengubah Dewan Maritim Indonesia dibentuk Dewan Kelautan Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2007 tentang Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN).

--------------------------------------------------------------------------------

Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan.

Organisasi

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, Ketua Harian dijabat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, dan anggotanya terdiri dari 14 Kementerian dan Lembaga yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perhubungan, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi, KAPOLRI,

Page 4: sdfsdfd

KSAL, dan 27 perwakilan dari pakar, perguruan tinggi, asosiasi dunia usaha, serta LSM. Sekretaris: Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut.

Tugas

Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan.

Fungsi

Pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden;

Konsultasi dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah serta wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan penyelesaian masalah di bidang kelautan;

Pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi dan pembangunan kelautan;

Hal-hal lain atas permintaan Presiden.

Visi

"INDONESIA MENJADI NEGARA MARITIM YANG KUAT, MAJU DAN MANDIRI"

Misi

"MENGINTEGRASIKAN KEBIJAKAN DI BIDANG KELAUTAN"

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Page 5: sdfsdfd

Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampaidengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian [1] Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi.

Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan (disingkat KKP) adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan kelautan dan perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin oleh seorang Menteri Kelautan dan Perikanan yang pertama kali dijabat oleh Sarwono Kusumaatmadja dan sejak 27 Oktober 2014 dijabat oleh Susi Pudjiastuti.

Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Dimasa Orde Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan

Page 6: sdfsdfd

Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi sumberdaya tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui, seperti sumberdaya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.

Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.

Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.

Page 7: sdfsdfd

Kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Tugas dan fungsi

Tugas

Kementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Fungsi

Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan fungsi:

perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan

pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan

pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan

pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kelautan dan Perikanan di daerah

pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional

Struktur organisasi

Berikut ini adalah struktur organisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010[2] :

Sekretariat Jenderal Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya

Page 8: sdfsdfd

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Inspektorat Jenderal Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Staf Ahli Bidang Kebijakan Publik Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga Staf Ahli Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman adalah kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang membidangi koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan, serta sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang kemaritiman. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dipimpin oleh seorang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang sejak tanggal 27 Oktober 2014 dijabat oleh Indroyono Soesilo.

PERIKANAN

Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.

Page 9: sdfsdfd

Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.

Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).

Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan yang terus menerus.

Penangkapan ikan

Penangkapan ikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal penangkapan ikan untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, atau mengawetkannya. Usaha perikanan yang bekerja di bidang penangkapan tercakup dalam kegiatan perikanan tangkap (wild fishery).

Pembudidayaan ikan

Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan, dan memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Usaha perikanan yang berupa produksi hasil perikanan melalui budi daya dikenal sebagai perikanan budi daya atau budi daya perairan (aquaculture).

Page 10: sdfsdfd

ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil laut akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil laut yang diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.

Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil tempat di jarak 200 mil laut dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.

Page 11: sdfsdfd

Batas luar

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi kelautan 200 mil laut dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil laut adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil laut, karena kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil laut menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil laut tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil laut dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil laut dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil laut, tapi disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil laut, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil laut.

Batasan

Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil laut penuh, karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional.

Pulau-pulau

Page 12: sdfsdfd

Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."

Wilayah yang tidak berdiri sendiri

Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada wilayah yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan perkembangan mereka.

Antartika

Akhirnya, ini harus dicatat bahwa efek dari artikel IV dari Traktat Antartika 1959 nampaknya menunjukkan ZEE tidak dapat diklaim oleh wilayah yang berada di dalam area tempat traktat tersebut dibuat, yang dinamakan sebagai area selatan dari selatan 60 derajat.

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU PULAU KECIL INDONESIA

Wilayah pantai Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan jasajasa

lingkungan yang sangat penting untuk dikembangkan

(ekosistem pantai )

Diperkirakan 60% atau 150 juta dari penduduk Indonesia bermukim di

wilayah pesisir.

Diperkirakan 80% lokasi industri di Indonesia terletak di wilayah pesisir,

Page 13: sdfsdfd

karena akses transportasinya lebih mudah ke pusat perdagangan.

Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan

ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada

beberapa wilayah, potensi sumberdaya belum dimanfaatkan secara

optimal.

Laju kerusakan sumberdaya pantai telah mencapai tingkat yang sangat

Mengkhawatirkan

PERMASALAHAN DI WP3-K

DEGRADASI EKOSISTEM DAN SDA

- 42% terumbu karang rusak berat,

29% rusak, 23% baik dan hanya

6% sangat baik

- Kerusakan 40% hutan mangrove

- Berkurangnya stok sumberdaya

ikan

KERAWANAN BENCANA ALAM

- Abrasi. erosi, tsunami, perubahan

iklim, dll.

PENCEMARAN LAUT DAN PESISIR

- Akibat aktivitas di daratan

maupun di laut

PENGELOLAAN KONSERVASI LAUT BELUM OPTIMAL

Page 14: sdfsdfd

Punahnya sejumlah spesies SDI

Eksploitasi sumber daya kurang sesuai daya dukung lingkungan

KETIDAKPASTIAN DAN KEKOSONGAN HUKUM

- Konflik antar beberapa produk hukum

KONFLIK PEMANFAATAN RUANG

KEBIJAKAN MASIH BERSIFAT SEKTORAL

KURANG KETERPADUAN

RENDAHNYA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA

LEMAH PERANAN MASYARAKAT ADAT

DASAR HUKUM POKOK PENGELOLAAN WP3K :

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau

Kecil

AMANAH PENGELOLAAN WP3K

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Pasal 5 UU27/2007):o Perencanaano Pemanfaatano Pengawasano Pengendalian

Perencanaan Pengelolaan WP3K (Pasal 7, Ayat 1, UU27/2007): Rencana Strategis, Rencana zonasi, Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi Pengelolaan

• Pasal 7 ayat 3, UU27/2007:

Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud sesuai dengan kewenangan masingmasing.

TUJUAN UU PWP-3-K

Page 15: sdfsdfd

melindungi,mengonservasi,merehabilitasi,memanfaatkan,dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;.

• menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

• memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan.

• meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

PENGATURAN PWP-3-K

PENYUSUNAN RENCANA ZONASI :

Membagi wilayah pesisir ke dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible);

Sbg arahan pemanfaatan ruang di WP3K yg terintegrasi dng RTR daratan;

Mewujudkan keterpaduan, ketrkaitan dan keseimbangan dlm pembangunan wilayah kab/kota;

Sbg alat koordinasi perencanaan dan pemanfaatan ruang wilayah kab/kota;

Implementasi dari kesepakatan antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan khususnya pemanfaatan SDA WP-3-K.

Sbg pedoman pengendalian pemanfaatan ruang

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL UNTUK HUKUM LAUT

Page 16: sdfsdfd

A. Latar Belakang

Penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum dilaksanakannya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi peradilan internasional yang ada, seperti Mahkamah Internasional. Dalam penyelesaian sengketa hukum laut ini masih dilakukan secara umum dan hal tersebut dirasakan oleh masyarakat internasional tidak mencukupi kebutuhan mengingat perselisihan dalam hukum laut ini memerlukan keahlian dan karakteristik yang lebih kompleks sehingga membutuhkan pengetahuan yang lebih mendalam di bidang hukum laut.

Mengingat pentingnya proses penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dalam implementasi UNCLOS 1982 maka Konvensi itu telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang sangat kreatif. Melalui UNCLOS 1982, dibentuklah Tribunal Internasional tentang Hukum Laut yang berkedudukan di Hamburg pada tanggal 1 Agustus 1996. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme Konvensi ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa (compulsory procedures).

Dengan sistem Konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak Konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena Konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme konvensi. Negara-negara pihak Konvensi dapat membiarkan suatu sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju maka mekanisme prosedur memaksa konvensi akan diberlakukan.

Dalam menentukan penyelesaian sengketa hukum laut UNCLOS 1982 membuat aturan yang sangat fleksibel dimana negara yang berselisih diberi kebebasan yang besar dalam menentukan cara penyelesaian sengketa mereka. Diantaranya ada proses penyelesaian yang tidak mengikat para pihak dan penyelesaian perselisihan yang mengikat para pihak. Selain itu juga terdapat

Page 17: sdfsdfd

beberapa batasan dan pengecualian bagi negara peserta Konvensi atas pilihan penyelesaian mengikat.

B. Penyelesaian Perselisihan Tidak Mengikat

Menurut mekanisme Konvensi, negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh pasal 33 paragraf 1 Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai kesepakatan maka para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa yang disepakati. Jika pada tahap ini masih tidak disepakati maka para pihak diwajibkan menjalankan prosedur sesuai dengan lampiran VI Konvensi yaitu melalui Konsiliasi.

1. konsiliasi

S alah satu upaya penyelesaian yang dapat diikuti oleh peserta konvensi ialah konsiliasi[1] dan konsiliasi ini diatur di dalam Annex V (Section 1) dari Konvensi.

Cara penyelesaian perselisihan menurut prosedur ini dimulai dengan pemberitahuan dari salah satu pihak yang berselisih kepada pihak lainnya.[2] Sekretaris Jenderal PBB akan memegang nama-nama dari konsiliator (juru damai) yang ditunjuk oleh negara-negara peserta Konvensi di mana setiap negara dapat menunjuk empat konsiliator dengan persyaratan bahwa orang-orang tersebut mempunyai reputasi tinggi, kompeten dan memiliki integritas.[3]

Komisi Konsiliasi (the Conciliation Commission) terdiri dari lima anggota, dua dipilih oleh masing-masing pihak, sebaiknya dari nama-nama yang ada dalam daftar, dan yang kelima dipilih dari daftar oleh keempat anggota dan akan menjadi Ketua Komisi (Chairman). Dalam hal penunjukan ini tidak dapat terlaksana, Sekretaris Jenderal PBB akan menunjuknya dari daftar, setelah mengadakan konsultasi dengan pihak-pihak yang bersangkutan.[4]

Keputusan-keputusan tentang masalah prosedural, laporan-laporan dan rekomendasi dari Komisi, dilaksanakan dengan pemungutan suara terbanyak.[5] Komisi dapat meminta perhatian dari pihak-pihak yang berselisih terhadap upaya-upaya yang memberikan jalan bagi suatu penyelesaian damai.[6] Komisi akan mendengar pihak-pihak yang berselisih, memeriksa klaim mereka, serta

Page 18: sdfsdfd

keberatan-keberatan yang diajukan dan menyiapkan usul-usul untuk penyelesaian secara damai.[7]

Komisi akan memberikan suatu hasil telaahan (report) dalam waktu 12 bulan sejak Komisi dibentuk. Hasil telaahan akan mencatat setiap persetujuan yang dicapai, persetujuan yang gagal, kesimpulan-kesimpulan atas semua fakta dan hukumnya, yang penting bagi masalah yang diperselisihkan dan rekomendasi yang dipandang Komisi bermanfaat untuk penyelesaian perdamaian. Hasil telaahan tersebut akan disimpan di kantor Sekretaris Jenderal PBB dan akan segera diteruskannya kepada pihak-pihak yang berselisih. Hasil telaahan dari komisi termasuk kesimpulan-kesimpulan dan rekomendasinya tidak mengikat pihak-pihak bersangkutan.[8]

Penyelesaian perselisihan dengan memakai prosedur konsiliasi akan berakhir apabila penyelesaian telah tercapai, pada waktu pihak-pihak bersangkutan menerima atau salah satu pihak menolak rekomendasi hasil telaahan dengan nota tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris jenderal PBB, atau apabila jangka waktu tiga bulan telah lewat, sejak hasil telaahan disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.[9]

Uang jasa dan pengeluaran-pengeluaran Komisi dibebankan kepada pihak-pihak yang berselisih.[10] Pihak-pihak yang bersengketa dapat dengan persetujuan yang diterapkan untuk perselisihantertentu tersebut, menyederhanakan ketentuan-ketentuan dari Annex V ini.[11]

C. Penyelesaian Perselisihan mengikat

Akhirnya jika melalui prosedur di atas, para pihak tetap belum dapat menyelesaikan sengketanya maka diterapkan prosedur selanjutnya yaitu menyampaikannya ke salah satu badan peradilan yang disediakan oleh Konvensi, yaitu:

1. Arbitrase

2. Arbitrase Khusus

3. Tribunal Internasional untuk hukum laut

4. Mahkamah Internasional

Negara-negara pihak pada waktu menandatangani, meratifikasi, atau menerima Konvensi, atau pada waktu kapan saja, melalui suatu deklarasi dapat

Page 19: sdfsdfd

memilih badan-badan peradilan di atas untuk mengadili sengketanya. Jika tidak ada deklarasi dimaksud maka negara pihak tersebut dianggap memilih Arbitrasi.

1. Arbitrase

Arbitrase diatur oleh Annex VII dan VIII dari UNCLOS 1982, Arbitrase menurut Annex VII dimulai dengan pengiriman nota tertulis oleh satu pihak kepada pihak lainnya dengan menyebutkan klaim serta dasar-dasar hukum dari klaim tersebut.[12]Setiap negara mengajukan empat arbiter, dengan kualifikasi berpengalaman di dalam masalah kelautan, kompeten dan memiliki integritas.[13]

Arbitrase untuk setiap kasus mempunyai lima orang anggota, masing-masing pihak bersengketa memilih satu orang anggota dan ketiga anggota lainnya adalah warga negara dari negara ketiga (kecuali kalau ditentukan lain oleh pihak-pihak bersangkutan) dipilih dengan persetujuan pihak-pihak. Pihak-pihak bersengketa akan menunjuk Ketua Arbitrase dari tiga orang anggota tersebut. Dalam hal tidak tercapai permufakatan Ketua atau Anggota Senior Mahkamah Hukum Laut akan melakukan penunjukan.[14] Kecuali kalau pihak-pihak bersengketa menyetujui hal lainnya, Arbitrase akan menetapkan prosedurnya sendiri dan memberikan jaminan bahwa masing-masing pihak diberi kesempatan penuh untuk didengar dan mengemukakan kasusnya.[15]

Pihak-pihak diharuskan untuk memberikan bahan-bahan bagi pekerjaan arbitrase dengan jalan menyediakan dokumen-dokumen, fasilitas dan informasi-informasi serta dimungkinkan untuk memanggil saksi-saksi dan tenaga ahli serta kunjungan ke tempat kasus terjadi.[16] Pengeluaran-pengeluaran dari Arbitrase dipikul sama rata oleh pihak-pihak bersengketa, kecuali kalau Arbitrase menentukan lainnya.[17] Keputusan akan diambil berdasarkan suara terbanyak, dengan Ketua Arbitrase memberikan suara yang menentukan, apabila terdapat hasil pungutan suara yang sama banyak.[18]

Jikalau salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul di depan sidang arbitrase. atau gagal mempertahankan kasusnya, pihak Iainnya dapat meminta proses pemeriksaan kasus untuk diteruskan dengan pemberian suatu keputusan oleh Arbitrase. Sebelum memberikan keputusan Arbitrase harus meyakini dirinya atas yurisdiksinya untuk kasus tersebut dan juga bahwa klaim tersebut mempunyai dasar di dalam fakta dan menurut hukum.[19] Keputusan Arbitrase akan dibatasi kepada subyek dari kasus dan menyebutkan alasan-alasan yang

Page 20: sdfsdfd

menjadi dasar keputusan.[20] Keputusan bersifat keputusan terakhir tanpa dapat dimintakan banding kecuali kalau pihak-pihak bersangkutan sebeIumnya menyetujui suatu prosedur banding.[21]

Setiap kesalahpahaman yang mungkin terjadi di antara pihak-pihak yang bersengketa tentang interpretasi dan cara implementasi dari keputusan arbitrase dapat diajukan oleh masing-masing pihak kepada Arbitrase yang akan memberikan keputusan mengenai hal tersebut.[22] Kesalahpahaman tersebut dapat juga diajukan kepada mahkamah lainnya (court atau tribunal) menurut pasal 287 dari Konvensi, dengan persetujuan pihak-pihak bersengketa. Ketentuan-ketentuan tentang Arbitrase ini juga berlaku untuk badan-badan yang bukan negara.[23]

2. Arbitrase Khusus

Arbitrase khusus, prosedurnya ditentukan dalam Annex VIII serta diperuntukkan bagi perselisihan tentang:

a. Perikanan

b. Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan kelautan

c. Riset ilmiah lautan

d. Navigasi termasuk polusi dari kapal dan dari dumping.

Cara penyelesaian dengan Arbitrase khusus ini ialah dengan mengirimkan nota tertulis kepada pihak lain. Nota harus dilampiri dengan statement dari hal apa yang dituntut dan dasar-dasar mengajukan klaim tersebut.[24]

Suatu daftar tenaga ahli untuk keempat bidang tersebut di atas akan dibentuk berdasarkan penunjukan tenaga ahli oleh masing-masing negara anggota konvensi yang dapat menunjuk dua orang untuk masing-masing bidang tersebut di atas yang mempunyai kemampuan di bidang hukum, ilmiah atau teknis dan bidang-bidang tersebut di atas dan yang secara umum dikenal dan mempunyai reputasi tinggi dalam kejuruan dan integritasnya.[25] Arbitrase Khusus terdiri dari lima orang anggota, masing-masing pihak memilih dua orang, seyogyanya dari daftar ahli-ahli yang tersedia, sedangkan anggota yang kelima biasanya diambil dari warga negara ketiga yang akan menjadi Ketua Arbitrase

Page 21: sdfsdfd

Khusus dan dipilih oleh pihak-pihak bersangkutan. Apabila hal ini gagal, penunjukan dilakukan oleh Sekretaris Jenderal PBB.[26]

Adapun prosedur untuk Arbitrase biasa, yaitu pasal-pasal 4 sampai 13 dari Annex VII, berlaku sebagai prosedur untuk Arbitrase Khusus ini.[27] Pihak-pihak yang berselisih dapat meminta kepada Arbitrase Khusus untuk melakukan fact finding yaitu untuk melakukan penyelidikan dan menunjukkan fakta-fakta yang menimbulkan perselisihan tersebut. Findings dari Arbitrase Khusus dapat dipandang mengakhiri perselisihan, kecuali kalau pihak-pihak bersangkutan berpendapat lain.

Apabila dikehendaki oleh pihak-pihak berselisih, Arbitrase Khusus dapat menyusun suatu rekomendasi, yang tidak memiliki kekuatan yang mengikat, akan tetapi dapat menjadi dasar dari peninjauan kembali oleh pihak-pihak bersangkutan tentang masalah yang menimbulkan perselisihan.[28]

3. Mahkamah Internasional Hukum Laut

Statuta dari Mahkamah Internasional Hukum laut terdapat di dalam Annex VI UNCLOS 1982 dengan ketentuan-ketentuan tentang organisasi, kompetensi dan prosedur serta termasuk Kamar Perselisihan Dasar Laut (Sea-Bed Disputes Chamber).

a. Komposisi, penunjukan dan pemilihan

Mahkamah berkedudukan di Hamburg, Republik Federasi Jerman dan terdiri dari 21 anggota independen (independent member) yang dipilih dari orang-orang yang bereputasi atas kejujuran dan integritasnya dan memiliki kernampuan dalam hukum laut. Termasuk sekurang-kurangnya tiga anggota dari kelompok utama geografi yang ditentukan oleh Majelis Umum PBB. Tidak diperkenankan dua orang anggota Mahkamah yang merupakan warga negara dari negara yang sama. Sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum tanggal pemilihan Sekretaris Jenderal PBB mengundang negara-negara anggota untuk mengajukan penunjukannya untuk anggota Mahkamah dalam jangka waktu dua bulan. Pemilihan pertama dilakukan di dalam enam bulan setelah berlakunya konvensi ini.

b. Masa kerja

Anggota-anggota dari Mahkamah dipilih untuk sembilan tahun dan dapat dipilih kembali. [29] Anggota-anggota Mahkamah tidak diperkenankan

Page 22: sdfsdfd

melaksanakan fungsi-fungsi politik atau administratif, atau secara aktif sedang menjalankan usaha atau mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu perusahaan tertentu tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber laut, dasar laut, atau penggunaan komersiil dari dasar laut.

Anggota-anggota Mahkamah tidak diperbolehkan bertindak sebagal agen, penasehat atau pengacara dan di dalam melaksanakan tugas Mahkamah diberikan kekebalan diplomatik. Mahkamah akan memilih Ketua (President), Wakil Ketua (Vice president) untuk tiga tahun serta dapat dipilih kembali. Mahkamah akan menunjuk Registrar beserta staff yang diperlukan.

c. Quorum

Diperlukan quorum dari sebelas orang anggota untuk membentuk Mahkamah. [30] Semua perselisihan dan permohonan-permohonan yang di-ajukan kepada Mahkamah akan didengar dan diputuskan oleh Mahkamah, kecuali untuk masalah-masalah yang ditangani oleh Kamar Perselisihan Dasar Laut atau oleh Kamar Khusus (Special Chambers).

d. Kamar khusus

Mahkamah dapat membentuk Kamar-kamar Khusus yang terdiri dari tiga atau lebih dari anggota-anggotanya yang dipilih, apabila dipandang perlu untuk menangani perselisihan-perselisihan khusus. atas permintaan pihak-pihak berkepentingan guna menangani perselisihan-perselisihan khusus dan keputusan dari Kamar-kamar Khusus akan dipertimbangkan oleh Mahkamah.

Mahkamah akan menentukan aturan-aturan untuk melaksanakan fungsinya dan menetapkan aturan-aturan pelaksanaannya.[32] Setiap pihak yang berselisih di depan Mahkamah dapat memilih seseorang untuk berpartisipasi sebagai anggota Mahkamah, dengan hak partisipasi di dalam keputusan dengan kualitas penuh, apabila seseorang dari kebangsaan pihak yang berselisih belum lagi menjadi anggota Mahkamah.[33] Pengeluaran-pengeluaran dari Mahkamah akan dipikul oleh negara-negara yang merupakan pihak-pihak yang berselisih dan Otorita Dasar Laut Internasional, menurut ketentuan-ketentuan yang akan ditentukan oleh negara-negara tersebut.[34]

e. Kompetensi

Mengenai kompetensi Mahkamah, ditentukan bahwa Mahkamah terbuka untuk negara-negara anggota konvensi dan badan-badan lainnya yang bukan

Page 23: sdfsdfd

negara, Yurisdiksi Mahkamah meliputi semua perselisihan dan permohonan-permohonan yang diajukan kepadanya menurut ketentuan-ketentuan konvensi serta semua hal yang ditetapkan di dalam persetujuan lainnya yang memberikan yurisdiksi kepada Mahkamah.[35]

Dengan persetujuan pihak-pihak bersangkutan perselisihan tentang interpretasi atau penerapan dari perjanjian-perjanjian internasional Iainnya tentang masalah-masalah hukum laut dapat diajukan kepada Mahkamah. Mengenai hukum yang akan diterapkan, Mahkamah akan memutuskan semua perselisihan dan permohonan menurut ketentuan pasal 293 UNCLOS 1982, yaitu menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi dan aturan hukum internasional lainnya yang sesuai dengan konvensi.

f. Prosedur

Mengenai prosedur, perselisihan dapat diajukan dengan nota tentang persetujuan khusus (special agreement) atau dengan permohonan tertulis. Mahkamah dapat menetapkan upaya-upaya sementara untuk menjaga hak-hak dari pihak-pihak atau mencegah kerusakan serius terhadap lingkungan maritim. Hearing atas kasus terbuka untuk umum, kecuali Mahkamah memutuskan lain atau pihak-pihak meminta tidak terbuka untuk umum. Tidak hadirnya pihak-pihak yang berselisih atau kegagalannya untuk mempertahankan kasusnya, tidak menjadi halangan bagi pemeriksaan kasus tersebut.

g. Keputusan berdasarkan suara terbanyak

Keputusan Mahkamah diambil berdasarkan suara terbanyak dari anggota-anggota Mahkamah yang hadir, dengan ketentuan bahwa Ketua Mahkamah dapat memberikan suara penentu dalam hal terdapat suara sama banyak. [36] Keputusan menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan tersebut dan setiap anggota berhak memberikan pendapat tersendiri. Mahkamah dapat memutus atas permohonan dari negara peserta konvensi lainnya, untuk diizinkan sebagai pihak tambahan dalam kasus tersebut, di mana negara tersebut mempunyai kepentingan hukum. Dalam hal ini keputusan Mahkamah akan mengikat negara tersebut mengenai masalah di mana negara tersebut turut sebagai pihak yang tersangkut.

Setiap negara peserta konvensi atau perjanjian internasional mempunyai hak untuk turut sebagai pihak yang berkepentingan, dalam hal Mahkamah mengadakan suatu interpretasi atau penerapan dari konvensi atau suatu

Page 24: sdfsdfd

perjanjian dan dalam hal tersebut, interpretasi dari Mahkamah akan mengikat terhadap negara tersebut. Keputusan Mahkamah merupakan keputusan terakhir dan semua pihak yang berselisih seyogyanya mentaatinya. Keputusan hanya mengikat pihak-pihak mengenai perselisihan tertentu tersebut.

h. Amandemen terhadap statuta mahkamah

Amandemen terhadap statuta Mahkamah dapat dilaksanakan menurut “simplified procedure” untuk amandemen konvensi[37] atau melalui konsensus pada konferensi yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuan konvensi. [38] Amandemen atas Kamar Sengketa Dasar Laut harus mengikuti prosedur untuk amandemen ketentuan-ketentuan tentang dasar laut dan konvensi. [39] Mahkamah dapat mengusulkan amandemen. [40]

4. Mahkamah Internasional

International Court of Justice (ICJ) atau yang lebih dikenal dengan Pengadilan Dunia (world court) merupakan badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki tempat kedudukan di Den Haag didirikan tahun 1945 berdasarkan Piagam PBB. Organ peradilan utama PBB ini mulai bekerja tahun 1946 sebagai successor dari Permanent Court of International Justice. Yurisdiksi yang dimiliki Mahkamah Internasional yang diatur dalam Piagam PBB, antara lain :

1. untuk memutus sengketa (contentious issues) sesuai dengan hukum internasioal permasalahan-permasalahan hukum yang diajukan oleh negara-negara ;

2. memberikan advisory opinions dalam hal permasalahan-permasalahan yang berkenaan hukum yang diajukan oleh negara atau pihak lain (e.g. individu, negara bagian, Non-Governmental Organizations/ NGOs, organ-organ PBB) melalui rekomendasi dari Dewan Keamanan dan diputus dalam Majelis Umum PBB.

Negara peserta UNCLOS 1982 dapat membawa perselisihan mereka ke Mahkamah Internasional. Namun untuk organisasi internasional yang menjadi pihak pada Konvensi tidak dapat memilih Mahkamah Internasional karena menurut Statutanya, Mahkamah hanya memiliki jurisdiksi untuk mengadili negara. Pasal 34 ayat 1 Statuta secara kategoris menyatakan “hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka Mahkamah Internasional.

Page 25: sdfsdfd

D. Batasan-Batasan dan Pengecualian

UNCLOS 1982 juga memberikan pengecualian terhadap jenis-jenis perselisihan tertentu dari prosedur penyelesaian mengikat dan memberikan memberikan hak kepada negara-negara untuk mengecualikan hal-hal lainnya.

Hal-hal yang dikecualikan meliputi:[41]

1. Perselisihan tentang pelaksanaan kedaulatan dan yurisdiksi dari negara pantai, kecuali untuk tuduhan pelanggaran oleh negara pantai atas:

a. Kebebasan dan hak-hak navigasi, penerbangan di atas laut, penempatan kabel-kabel laut dan pipa-pipa, atau hal-hal yang bertalian dengan pemakaian secara sah dari lautan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 58 UNCLOS 1982.

b. Tindakan-tindakan yang bertentangan dengan UNCLOS 1982 dan aturan-aturan hukum internasional lainnya.

c. Tindakan-tindakan yang bertentangan dengan aturan-aturan internasional dan staNdar untuk perlindungan dan pemeliharaan lingkungan maritim.

2. Perselisihan tentang pelaksanaan hak atau keputusan negara pantai untuk tidak menyetujui riset ilmiah kelautan di dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya atau pada Landas Kontinen[42] atau keputusan untuk memerintahkan pembatalan atau penghentian dari suatu proyek riset.[43]

3. Perselisihan tentang hak kedaulatan dari negara pantai atas sumber-sumber hayati dari Zona Ekonomi Eksklusifnya, termasuk untuk menentukan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan, jumlah musim menangkap ikan yang diperkenankan, penyediaan surplus untuk negara-negara lain, serta persyaratan dan aturan-aturan perlindungan serta pengelolaannya, kecuali konsiliasi mengikat akan diterapkan atas:

a. Perselisihan karena tuduhan kegagalan negara pantai memenuhi kewajibannya mencegah kerusakan serius terhadap sumber-sumber hayati di dalam zona tersebut.

b. tuduhan penolakan negara pantai untuk menentukan jumlah tangkapan ikan yang diperkenankan, untuk mana negana-negara lain juga berminat dan terhadap tuduhan penolakan yang absolut untuk menyediakan suatu surplus bagi negara lain.

Page 26: sdfsdfd

Hak untuk mengecualikan hal-hal lainnya yang diberikan oleh konvensi ini kepada negara-negara sebagai pengecualian terhadap prosedur keputusan yang mengikat, ialah bahwa negara peserta konvensi dapat menyatakan secara tertulis bahwa negara tersebut tidak dapat menerima penyelesaian mengikat tentang salah satu atau semua jenis perselisihan sebagai berikut:[44]

1. perselisihan tentang batas-batas laut menurut pasal-pasal 15, 74 dan 83 dan Konvensi baru ini dengan syarat tetap terikat kepada konsiliasi mengikat dalam hal tidak tercapainya suatu persetujuan antara pihak-pihak yang berkepentingan.

2. perselisihan tentang kegiatan-kegiatan militer dan perselisihan tentang kegiatan penegakan hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan kedaulatan atau yurisdiksi atas riset ilmiah kelautan dan perikanan.

3. perselisihan dalam hubungan dengan Dewan Keamanan PBB melaksanakan fungsinya sesuai dengan Piagam PBB, kecuali Dewan Keamanan memutuskan untuk mengeluarkan masalah tersebut dari acara sidangnya atau menghimbau pihak-pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan upaya-upaya yang disediakan konvensi ini.

Jenis-jenis perselisihan yang dikecualikan menurut pasal 297 dan dikesampingkan dengan deklarasi menurut pasal 298 dari konvensi ini, dan prosedur penyelesaian mengikat, dapat diajukan untuk menggunakan prosedur mengikat, hanya atas persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan dan pihak-pihak bersangkutan mempunyai hak untuk menyetujui prosedur lainnya atau menempuh suatu penyelesaian damai.[45]

E. Perkiraan Bidang Yang Mungkin Menjadi Arena Perselisihan Antar Negara

Kemungkinan-kemungkinan perselisihan dalam implementasi UNCLOS 1982 dapat terjadi pada masalah penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif dan masalah pencemaran laut pada umumnya, pengaruh pencemaran laut terhadap kegiatan-kegiatan landas kontinen serta masalah dumping. Dikemukakan juga tentang kemungkinan perselisihan lainnya, seperti dalam hal penegakan hukum oleh negara pantai atas dasar standar internasional, seperti negara pantai yang mengenakan denda terhadap kapal yang ditarik.

Kemungkinan perselisihan lainnya ialah antara negara pantai dengan Otorita mengenai prosedur penetapan batas-batas wilayah yang termasuk yurisdiksi Otorita serta masalah kegiatan pertambangan di laut dalam (deep

Page 27: sdfsdfd

ocean mining). Mengenai kemungkinan timbulnya perselisihan pada zona ekonomi eksklusif, dapat terjadi dalam perbedaan penafsiran atas hak yang berhubungan dengan eksploitasi dari zona di satu pihak dan kebebasan di laut lepas di pihak lain.

Selama masalahnya bertalian dengan eksploitasi ekonomi dan zona ekonomi eksklusif, masalah ini berada di dalam yurisdiksi dari negara pantai, tetapi dalam hal yang menyangkut dengan hak-hak lainnya yang berkaitan dengan tiga macam kebebasan di laut lepas yang diterapkan pada zona ekonomi eksklusif, masalah ini berada di dalam yurisdiksi negara lain.

F. Penutup

Pembentukan Tribunal ini mencerminkan bahwa sengketa hukum laut ditempatkan pada suatu sistem sistem tersendiri mengingat hukum laut memiliki karakter khusus. Sejak pembentukannya, Tribunal ini telah menangani beberapa kasus hukum laut dan telah mengeluarkan beberapa keputusan. Keputusan pertama yang dikeluarkan oleh Tribunal ini adalah pada tanggal 1 Juli 1999 dalam kasus antara Saint Vincent and the Grenadines dan Guinea tentang penangkapan kapal the M/V Saiga.

Selain tribunal, Konvensi juga memungkinkan untuk terbentuknya suatu Tribunal Khusus yang dimaksudkan untuk menangani masalah-masalah yang sangat teknis seperti perikanan, perlindungan dan pelestarian laut, riset, pelayaran dan pencemaran. Para Arbitrator untuk Tribunal Khusus ini memiliki keahlian yang tinggi di bidangnya.

Khusus untuk masalah-masalah tentang delimitasi batas maritim seperti landas kontinen dan ZEE, Konvensi dalam pasal 74 dan 83 secara khusus mengatur bahwa para pihak harus menyelesaikannya dalam waktu yang layak (within reasonable time) namun tidak dijelaskan berapa lama waktu yang layak tersebut. Jika tidak ada penyelesaian dalam waktu dimaksud maka para pihak harus tunduk pada prosedur memaksa seperti diatur oleh Bab XV Konvensi. Selama periode sengketa, para pihak harus berupaya membuat suatu persetujuan sementara (provisional agreement) sampai menunggu suatu penyelesaian tuntas.