Upload
junijingga
View
114
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila kita menggunakan kata sejarah, kita secara naluri berfikir masa
lampau, ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab sejarah sebenarnya adalah sebuah
jembatan yang menghubungkan masa lampau dan masa kini dan sekaligus
menunjukan arah masa depan.
Hadits adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadits
disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah Al-Quran. Didalam ilmu
hadits pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadits pada masa prakodifikasi.
Mudah-mudahan dengan mengetahui sejarah prakodifikasi hadits kita menjadi bijak
dan arif dalam menghadapi zaman yang serba instan dan bisa membawa misi islam
Rahmatan lil’alamin.
Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-
makalah selanjutnya.
1
BAB IIPEMBAHASAN
A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadits pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadits
pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan
pribadi Rasul sebagai sumber hadits.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu
turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini
penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan.
1. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadits
Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka
selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam
perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau selalu direkam dan
dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia.1
Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk
memperoleh patuah-patuah Rosulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di
kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll.
Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari
1 Mushtafa al-Suba’i. Assunnah. (Kairo: Dar-Assalam. 2003) hlm. 66.
2
jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat
kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa
hadir (ikhadz) 2
2. Keadaan Para Sahabat Dalam Menerima Dan Menguasai Hadits
Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits bertanya langsung kepada
Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum
syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin
al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena radla’ (sepersusuan). Tapi
perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah
biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan
istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.3
Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi
Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan
al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-
Quran.4
3. Larangan Menulis Hadits Dimasa Nabi Muhammad SAW
Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum
sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua faktor ;
2 Mushtafa al-Suba’i. Assunnah. (Kairo: Dar-Assalam. 2003) hlm. 66
3 Ibid .hlm. 67.
4 Mana’ al-Qathan. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. (Kairo: Maktabah Wahbah. 1989) hlm. 106
3
a. para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping
alat-alat tulis masih kuarang.
b. karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
شُي�ا كتب ومن القران اال شُي�ا عني تكتبوا ال
فلُيمحه
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis
dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya
hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qur’an, atau larangan khusus
bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi
dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka
penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.
4. Aktifitas Menulis Hadits
Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada
yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka
yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah.5
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara
resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada
5 Subhi al-Shalih. Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. (Beirut: Dar al-Ilmi Li al-malayin. 1997) hlm. 23-30.
4
larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist
yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:
�عنّى كتب فمن القران غُير شُيئا التكتبواعن�ّى
. فلُيمحه القران غُير شُيئا
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis
dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (HR. Muslim dari Abu Sa;id
Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang
membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi
Saw. bersabda
االالحق منه خرج ما بُيده نفسّى الذى فو اكتب
” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku
kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama
mengkompromikannya sebagai berikut:
a. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk
memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu
jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-
Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang
membolehkannya.
5
b. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya
bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga
dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti
Abdullah bin Amr bin Ash.
c. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari
pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang
tidak kuat hafalannya.6
B. Hadits Pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah periode setelah wafatnya
Rasulullah Saw., yang biasa kita kenal dengan masa sahabat, khususnya masa
Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn
Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H. sampai 40 H, masa ini juga disebut
dengan sahabat besar.
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para
sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya
kepada orang lain sebagai mana sabdanya:
علُيه الله صلّى الل/ه. وَل0 ُس� َر0 َأ0ن/ ب0ل0َغ0ه� ن/ه�0 َأ ال.ٍك6 م0 ع0ن8
« اَل0- َق0 ُيك�م8 وُسلم ف. ك8ُت� ا ت0ر0 م0 ل>وا ت0ِض. ل0ن8 ْي8ن. ر0 م8 َأ0
ن0ب.ُي?ه ن/َة0 و0ُس� الل/ه. ك.ت0اَب0 ا م0 ب.ِه. ك8ت�م8 ت0م0س/
6 Muhammad Ajjaj al-Khatib. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. (Kairo: Maktabah wahbah. 1998) hlm. 303-309.
6
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah
berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku ” (H.R
Malik).7
Perlu diketahui oleh kita, walaupun ini bukan pembahasan dalam makalah ini,
tapi untuk sekedar informasi untuk teman-teman bahwa hadist ada dua jalan sahabat
dalam meriwayatkan hadist dari Rasul saw
1. Abu Bakar
Imam Hakim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad dari siti ‘Aisyah ra.,
ia berkata:” Ayahku telah mengumpulkan hadist dari Nabi Saw. sejumlah lima ratus
hadist, setiap malam ia mengulang-ulang beberapa kali, setelah itu ia membakarnya. 8
2. Umar bin khatab
Umar bin Khatab ra. Pernah ingin mengumpulkan dan menulis hadist, beliau
bermusyawarah dengan para sahabat Rasul lainya dan mereka menyetujui ide
tersebut. Kemudian Umar beristikharah selama sebulan. Namun, rupanya Allah
belum menghendaki.9 Kemudian ia berkata:” Aku ingin menulis sunnah, setelah itu
aku ingat kaum sebelum kamu sekalian menulis kitab, mereka memfokuskan pada
tulisan itu, kemudian ia meninggalkan kitab Allah. Demi Allah sesungguhnya aku
tidak akan mencampur kkitab Allah (al-Quran) dengan yang lain selamanaya.10
7 Imam Malik. Muatha’. Maktabah Syamilah. Vol 2 hlm. 900.
8 Muhammad Ajjaj al-Khatib. hlm 309-310.
9 .M Abu Syuhbah. Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman. 1999. Surabaya: Pustaka Progressif. hlm. 23
10 Muhammad Ajjaj al-Khatib.
7
Masih banyak sahabat-sahabat lain yang bersikap penuh kehati-hatian,
diantaranya Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abu Thalib, abu Musa dll, penulis tidak akan
menjelaskan itu semua dalam makalah yang singat ini.
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
1. Pengertian Tabi'in
Di dalam kitab al-Hadits wa al-Muhadditsuun, menyetir pendapat al-Khatib,
dikatakan bahwa Tabi'in adalah orang yang menyertai sahabat, tidak cukup hanya
bertemu saja seperti batasan arti sahabat, mereka cukup dengan hanya bertemu saja
dengan Nabi Muhammad SAW, karena nilai kemuliaan, ketinggian budi Nabi.
Berkumpul sebentar dengan Nabi bisa berpengaruh terhadap Nur Ilahi seseorang,
sedangkan bertemu dengan orang lainnya tidak (termasuk dengan para sahabat)
meskipun waktunya lebih lama.11
Sedangkan kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa, Tabi'in adalah orang
yang bertemu sahabat meskipun tidak berguru kepadanya. Oleh karena itu Imam
Muslim dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa al-A'masy termasuk dalam golongan
Tabi'in, karena ia bertemu sahabat dan dan penghafal hadits. Al-Hafidz Abdul Ghany
memberikan batasan bahwa Yahya Ibn Abi Katsir adalah termasuk golongan Tabi'in,
karena ia bertemu dengan Anas Ibn Malik. Juga Musa Ibn Abi 'Aisyah, karena ia
bertemu dengan Amr Ibnu Harits.
11 Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsuun, Daar al-Kitab al-'Araby, (Beirut, Libanon, 1984) hlm. 172
8
Ibnu Hibban mensyaratkan adanya tamyiz (mumayyiz) ketika bertemu
sahabat. Jika mereka masih kecil, maka tidak termasuk kategori tabi'in, seperti kholaf
Ibn Kholifah. Ibnu Hibban melihat bahwa ia termasuk golongan tabi'it tabi'in,
meskipun ia bertemu dengan Amr Ibn Harits.
Al-'Iraqy mengatakan bahwa apa yang disyaratkan oleh Ibnu Hibban
mempunyai kriteria tertentu seperti pada sahabat, yakni mereka melihat Nabi pada
waktu mereka sudah mumayyiz. Ia menambahkan bahwa Nabi Muhammad Saw telah
memberikan isyarat kepada para sahabat dan Tabi'in dengan mengatakan:
"Beruntunglah orang yang melihat dan beriman kepadaku, juga beruntunglah orang
yang melihat orang lain yang melihatku… al-Hadits. Jadi, kriteria keduanya hanya
cukup dengan melihat saja. (al-Tadrib, hlm. 212). Lain halnya dengan batasan al-
Hakim, ia mendefinisikan tabi'in sebagai orang yang menjumpai sahabat dan pernah
meriwayatkan daripadanya.12
2. Perkembangan Dan Penyebaran Hadits
Seperti kita ketahui bahwa hadits difungsikan sebagai penyebar nilai-nilai
yang terkandung al-Qur'an, maka usaha para sahabat dan tabi'in dalam
menyebarluaskan hadits bisa dinilai sebagai usaha yang punya nilai positif
implementatif. Pembelaan umat Islam terhadap keontetikan hadits bisa terlihat dari
sikap Abu Bakar ash-Shiddiq ketika menolak periwayatan al-Mughirah perihal hak
waris nenek 1/6 bagian, sampai ia minta didatangkan saksi. Periwayatan sama sekali
12 M. Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm 165.
9
tidak mempengaruhi pemasyarakatan hadits itu sendiri, bahkan dia sendiri yang rujuk
dan menetapkan seperti kandungan hadits.13
Dari berbagai fakta sejarah, kita mengakui bahwa masa khulafaurrasyidin,
sahabat dan tabi'in-lah masa di mana mereka dengan gigih membela kebenaran al-
Hadits. Mereka dengan hati-hati menyebarluaskannya, sehingga sikap inilah yang
oleh para sejarahwan dinilai kurang semarak. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kenyataan ini seperti yang dituturkan oleh Suhudi Ismail, yaitu:
a. Kesibukan masa transisi kekholifahan Abu Bakar
b. Kebutuhan hadits tidak sebanyak masa sesudahnya
c. Tenggang waktu yang relatif singkat.
d. Pada masa Abu Bakar, umat Islam dihadapkan berbagai ancaman.14
Sikap Umar Ibn Khattab kepada Abu Hurairah dan lainnya juga bukan dalam
konotasi menghambat penyebarluasan hadits, melainkan karena kehatihatian mereka
dalam menjaga keaslian dan/atau keontetikan hadits. Oleh karena itu umat pada
waktu itu lebih memfokuskan pada kajian al-Qur'an.
Demikian halnya dengan penyebaran di masa Utsman dan Ali, di mana
banyak tersebar sahabat yang melancong ke beberapa negara, seperti Muadz Ibn Jabal
dan Musa al-Asy'ari ke Yaman, Musa Ibnu Nushair ke Andalusia, Uqbah ibn Amir ke
Mesir, Umar Ibn Khattab ke Palestina dan banyak lagi yang lainnya. Dari sejumlah
120.000 sahabat, ada 12.000 jenazah yang dimakamkan di Baqi' (Madinah), 8.000 di
13 Ibnu Taimiyah, Raf'ul Malam 'an Aimmatil A'lam, (Riyadh: Darul Ifta', tt), hlm. 7
14 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 40.
10
Ma'la (Makkah), dan selebihnya tersebar di muka bumi Allah untuk terlibat langsung
dalam penyebarluasan as-Sunnah.
Beban yang diemban oleh kalangan Tabi'in tidak seberat yang dipikul oleh
para sahabat, artinya karena al-Qur'an pada waktu itu sudah menjadi satu mushaf
yang sudah dibukukan, maka komitment mereka lebih tertuju pada usaha pemurnian
al-Kitab dan as-Sunnah. Penyebarluasan hadits pada masa ini terlihat lebih marak
lagi. Hal itu terbukti dengan adanya kegiatan ar-Rihlah yang menyebar di
masyarakat.15
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam
sudah meliputi Mekkah, Madinah, Bashrah, Syam, Khurasan, Mesir, Persia, Irak,
Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah
kekuasaan Islam itu, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus
meningkat, yang berarti juga meningkatkan penyebaran hadits. Oleh sebab itu, masa
ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits. Hadits-hadits yang
diterima para tabi'in, seperti yang telah disebutkan, ada yang dalam bentuk catatan-
catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, di samping dalam bentuk yang
sudah terpolakan dalam bentuk ibadah dan amaliyah para sahabat yang mereka
saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi sehingga tidak ada
satu haditspun yang tercecer dan terlupakan.16
3. Pusat-pusat Pembinaan Hadits
15 Muhammad Ajjaj al-Khatib, as-Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: Darul Fikr, 1971), hlm. 485.
16 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 61-62
11
Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadis, sebagai
tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah al-
Munawarrah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalus, Yaman dan Khurasan. Beberapa orang yang meriwatyatkan hadis cukup
banyak,antara lain Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, Aisyah,
Abdullah ibn Abbas, Jaabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudri.17
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah ,karena di sinilah Rasul SAW
menetap setelah Hijrah. Di sini pula Rasul membina masyarakat Islam yang di
dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku dan kabilah.
Di antara para sahabat yang membina hadis di Makkah yaitu,Mu’adz ibn
Jabal, ‘Atab ibn Asid, Haris ibn Hisyam, Ustman ibn Thalhah dan ‘Utbah ibn Al-
Haris.18 Di antara para Tabi’in yaitu, Mujtahid ibn Jabbar,Atha’ ibn Abi Rabah,
Thawus ibn Kaisan dan Ikrimah maulana ibn Abbas.19
Di antara para sahabat yang membina hadis di Kufah yaitu, Ali bin Abi
Thalib,Sa’ad ibn Abi Waqas, dan Abdullah ibn Mas’ud. Di antara para tabi’in yaitu,
Al-Rabi’ ibn Qosim, Kamal ibn Zaid Al-Nakha’i dan Abu Ishaq Al-Sa’bi.20
Di antara sahabat yang membina hadis di Basrah yaitu,Anas ibn
Malik,Abdullah ibn Abbas,’Imran ibn Husain, Ma’qal ibn Yasar,Abdurrahman ibn
Samrah dan Abu Sa’id Al-Anshari. Di antara para Tabi’in yaitu,Hasan Al-Bishri,
17 Ajjaj Al-Khathib, hlm.130. Lihat juga Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t) hlm.111
18 Al-Hakim, hlm.19219 ‘Ajjaj Al-Khatib,hlm.111-11820 Al-Hakim,hlm.243
12
Muhammad ibn Sirrin,Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibn ‘Ubaid, Abdullah ibn
‘Aun,Kahatadah ibn Du’amah Al-Sudusi dan Hisyam ibn Hasan.21
Di antara para sahabat yang membina hadis di Syam yaitu,Abu Ubaidah Al-
Jarrah,Bilal ibn Rabbah, Ubadah ibn Shamid, Mu’adz ibn Jabal,Sa’ad ibn
Ubaidah,Abu Darda’ Surahbil ibn Hasanah,Khalid ibn Walid dan Iyad ibn Ghanam.
Di antara para tabi’in yaitu Salim ibn Abdillah al-Muharibi,Abu Idris Al-Khaulani,
Abu Sulaiman Al-Darani dan Umar ibn Hana’i.22
Para sahabat yang membina di Mesir yaitu,Amr ibn Al-‘Ash,Uqbal ibn Amr,
Kharisah ibn Huzafah dan Abdullah ibn Al-Haris. Para tabi;in diantaranya Amr ibn
Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-Hadrami,Yazid ibn Abi Habib,Abdullah ibn Abi Jafar
dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil.23
Di Maghribi dan Andalus yaitu,Mas’ud ibn Al-Aswad Al-Balwi,Bilal ibn
Haris ibn ‘Ashim Al-Muzani,Salamah ibn Al-Akwa dan Walid ibn ‘Uqbah ibn Abi
Muid. Para tabi’in yaitu, Ziyad ibn An’am Al-Mu’arif,Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid
ibn Abi Mansyur,Al-Mughirah ibn Abi Burdah,Rifa’af ibn Rafi’ dan Muslim ibn
Yasar.24
Para sahabat yang terjun di Yaman yaitu,Mu’adz ibn Jabal,dan Abu Musa Al-
As’ari. Para Tabi’in diantaranya yaitu, Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn
21 Al-Hakim., hlm.192 dan 242.22 Ibid., hlm.193 dan 24223 Ibid., hlm.193 dan 24124 ‘Ajjaj Al-Khthib
13
Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid.25 Sedang para tabi’in yaitu, Muhammad
ibn Ziyad, Muhammad ibn Tsabit Al-Anshari dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.26
4. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat,setelah terjadinya perang
Jamal dan perang Siffin yaitu ketika kekuasaan di pegang oleh Ali bin Abi Thalib.
Langsung atau tidak dari pergolakan politik di atas,cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadis berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat
negatif ialah dengan munculnya hadis-hadis palsu(maudhu’) untung mendukung
kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi
lawan-lawannya.
25 ‘Ajjaj Al-Khthib26 Al-Hakam, hlm.249
14
BAB IIISIMPULAN
Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih
mudah memahaminya, berikut uraiannya.
1. Hadist Pada Masa Rasul SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:
a. Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah
dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti pasar, dan lain-lain.
b. Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.
2. Hadist Pada Masa Sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu
belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya
adalah :
a. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
b. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke
berbagai daerah kekuasaan Islam.
c. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan
pendapat.
3. Hadist pada masa tabi’in
Pada masa ini juga kejadianya seperti pada masa sahabat, sehingga belum ada
hadist yang terkodifikasi. karena para tabi’in mengangggap bahwa nabi masih tidak
15
secara jelas menyuruh untuk menulis hadis, sehingga ap yang dilakukan para tabi’n
sama dengan para sahabat.
Jadi, para sahabat maupun tabii’in sama-sama mengandalkan hafalan, tetapi
masih ada yang menulis hadis tapi itu Cuma sebagai perantara saja, yaitu untuk
menunjang hafalan tapi setelah itu disuruh membakarnya.begitulalh perjalanan
prakodifikasi baik pada masa sahabat maupun tabi’in tidak banyak perubahan, merka
masih ,mengandalkan hafalan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ajjaj Al-Khathib,op.cit.,hlm.130.Lihat juga Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li
Akhlak Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Misiriyah,t.t.
Ibnu Taimiyah, Raf'ul Malam 'an Aimmatil A'lam, Riyadh: Darul Ifta', tt.
Imam Malik. Muatha. Maktabah Syamilah. Vol 2.
Imam malik,al-Muwattha’,j.2.
Khathib, ,. A.-M. 1997. 'Ajjaj al- Sunnah Qabla At-Tadwin. Beirut: Dar Al- Fikr.
M. Hasbi ash-Shiddiqy,1974, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan
Bintang.
Muhammad Ajjaj al-Khatib. 1998. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Kairo: Maktabah
wahbah.
, 1971. as-Sunnah Qabla Tadwin, Beirut: Darul Fikr.
Muhammad Abu Zahw,1984, al-Hadits wa al-Muhadditsuun, Daar al-Kitab
al-'Araby, Beirut, Libanon.
Mushtafa as-Suba’i. 2003 Assunnah. Kairo: Dar-Assalam.
Mana’ al-Qathan. 1989. Tarikh al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Maktabah Wahbah.
Subhi al-Shalih. 1997.Ulum al-hadist wa Mushtalahuhu. Beirut: Dar al-Ilmi Li al-
malayin.
Syuhbah M.M Abu Syuhbah. 1999.Kutubus Sittah.Terjemahan oleh Ahmad Usman.
Surabaya: Pustaka Progressif.
17
Syuhudi Ismail, 1988, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan
Dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang.
Utang Ranuwijaya, 1996, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama.
18