Upload
devy-octaviany
View
121
Download
20
Embed Size (px)
Citation preview
Sejarah Wahabi dan Muhammad bin Abdul Wahhab
Posted on Desember 21, 2012 by Admin
Mufti Mekkah Syekh Abdullah Az Zawawi yang Disembelih Wahhabi
SEJARAH WAHABI
Oleh Habib Munzir Al mousawa
Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka
kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah
perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab
yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah
dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain.
Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul
Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang
pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara
yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.
Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris
bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah
dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah
umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini
juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab
Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula
guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang
baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh
orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.
Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun
menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman
bin Abdul Wahab, ulama’ besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan
kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak
ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-
Syafi’i, menulis surat berisi nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah,
tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini
bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia
kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun
madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin
kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena
engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih
dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok
terbesar. Allah berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka
bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam
itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab,
adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid
nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan
dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan
lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun
sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab,
Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan??
Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di
akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan
dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak
mencapai satu person pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang
dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi
bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun
terdiam seribu bahasa.
Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat
ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus
menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya
minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa
Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang
dikemudian hari menjadi mertuanya.
Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah
kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika
dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera
melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600
tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-
nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya
dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari
daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-
Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di
hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik,
begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama2
besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi
pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih
pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya,
sampai-sampai seorang pengikutnya berkata :
“Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan
membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali.
Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan
umatnya.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya
bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat
Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak
mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-
makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan
jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut
dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka
menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-
hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806,
dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan
puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran
Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah
bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil
bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur
bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut.
Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani,
Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan
Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut
kembali.
Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali
mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan
Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu,
hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh
gerakan Wahabi bersifat global.
Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan
ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh
dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan
pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam
sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah)
semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur.
Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan
tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.
Tambahan Ulama Besar yang dibunuh dengan kejam oleh Wahabi:
Kisah Nyata ; Pembantaian Keluarga Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Syafi’i (Pembesar Syafi’iyyah) Oleh
Kaum Wahhabi
Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhasil lolos
dari kejaran Wahhabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah
pembantaian tersebut.
KISAH NYATA : Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-
Bantani (pujangga Indonesia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah
seorang keluarga beliau sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi
datang memasuki rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya
hingga tewas. Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang
dipangku oleh beliau.Sedangkan keluarganya yang lain di golongan laki-laki dikejar-kejar oleh
gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah mereka selamat sampai ke Indonesia dengan
cara menyamar sebagai perempuan.
Syaikh Nawawi Al Bantani ulama Mazhab Syafi’ie yang dibantai keji oleh Wahabi
Syaikh Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi bin ‘Ali al-Tanari al-Bantani al-Syafi’i (Salah seorang
ulama pembesar Syafi’iyyah)
KH Thabari, Keturunan Syaikh Nawawi Al Bantani
KH. Thobari Syadzily Mengenakan Jubah Syaikh Nawawi al-Bantani. Baju jubah Syeikh
Nawawi bin Umar bin ‘Arobi bin Ali, Tanara – Banten masih tersimpan dengan rapih di rumah
saudara sepupu KH. Thobary Syadzily di desa Kampung Gunung Kecamatan Mauk Kabupaten
Tangerang, Banten.
Sumber: http://ashhabur-royi.blogspot.com/2011/07/kisah-nyata-pembantaian-keluarga.html
http://wahabinews.wordpress.com/2012/06/11/kisah-nyata-pembantaian-keluarga-syaikh-
nawawi-al-bantani-al-syafii-pembesar-syafiiyyah-oleh-kaum-wahhabi/
Ulama baru yang dibunuh Wahabi adalah Syekh Al Buthi. Seperti biasa, Wahabi tidak pernah
mau mengaku meski mereka selalu menghina dgn penuh rasa kebencian thd Syekh Al Buthi
dan bergembira ria atas kematiannya.
Al-Buti sendiri yang tahun ini berusia 84 tahun adalah seorang pensiunan dekan dan profesor
Fakultas Hukum Islam di Universitas Damaskus. Ia dikenal keras menentang terorisme dan
pengkritik pihak asing yang didukung kelompok-kelompok militan, yang ia gambarkan sebagai
“para tentara bayaran”.
Seminggu sebelum pembunuhan itu, ia mengatakan dalam ceramahnya, “Kami diserang di
setiap jengkal tanah kami, makanan kami, kesucian dan kehormatan perempuan dan anak-
anak kami Hari ini kami menjalankan tugas yang sah… yakni kebutuhan mobilisasi untuk
melindungi nilai-nilai, tanah air, dan tempat-tempat suci kami, dan dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara tentara nasional dan seluruh bangsa ini”.
Seminggu setelah pembunuhan Al-Buti, ulama Sunni lainnya Syaikh Hassan Saifuddin (80
tahun) secara brutal dipenggal kepalanya di bagian utara Kota Aleppo oleh sekelompok militan
yang dibekingi pihak asing dan menyeret tubuhnya di jalanan. Kepalanya ditanam di menara
sebuah masjid yang biasa digunakan untuk berkhotbah. Syaikh Saifuddin juga dikenal sebagai
seorang anti-milisi, dan penentang perang yang sedang berkecamuk melawan pemerintah
Suriah.
Muhammad bin Abdul WahhabDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Muhammad bin 'Abd al-Wahab
Lahir 1703
Meninggal 1792
Era Era modern
Aliran Sunni Salafi
Minat
utama
Pemurnian syariat Islam sesuai
ajaran Muhammad
Gagasan
penting
Melarang adanya inovasi ibadah (bid'ah)
dan keyakinan adanya kekuatan selain
Allah (syirik)
Dipengaruhi[tampilkan]
Mempengaruhi[tampilkan]
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:محمد
التميمى الوه�اب عب�د (بن adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh
pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah
Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahhabi, namun mereka lebih memilih
untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu
Tuhan".
Daftar isi
1 Genealogi
2 Biografi
o 2.1 Masa Kecil
o 2.2 Kehidupannya di Madinah
o 2.3 Belajar dan berdakwah di Basrah
o 2.4 Perjuangan memurnikan aqidah Islam
o 2.5 Kehidupannya di Dir'iyyah
o 2.6 Berdakwah Melalui Surat-menyurat
o 2.7 Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
o 2.8 Wafat
3 Referensi
Genealogi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-
Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin
Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini
diperoleh silsilah keluarganya.
Biografi
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang berusaha
membangkitkan kembali dakwah tauhid dalam masyarakat dan cara beragama sesuai
dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabat. Para pendukung gerakan ini menolak
disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb adalah
ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih
untuk menyebut diri mereka sebagai Salafiyun (mengikuti jejak generasi salaf) atau
Muwahhidun yang berarti "Mengesakan Allah".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal usul dan
kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya keliru menilai mereka dan
menyangka bahwa mazhab mereka mengikuti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan
alirannya saja, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah
mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dan adapula yang menghubungkan
mereka dengan gerakan teroris, padahal ajaran mereka sangat anti teroris.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatannya dihubung-hubungkan kepada nama
'Abd al-Wahhab yaitu ayahanda penggagas gerakan ini, Syaikh Muhammad bin 'Abd al-
Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, istilah Wahhabi ini tidaklah sah dinisbatkan untuk
nama suatu kelompok, karena sejatinya nama Wahhab adalah nama hanya untuk Allah
Ta'ala. Oleh karena itu mereka menisbatkan diri mereka sebagai golongan al-
Muwahhidun(3) (unitarians) karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid
ke dalam Islam dan cara beragama menurut sunnah Rasulullah yang telah ditinggalkan
masyarakat. Beliau mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang
pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai
pengurus administrasi politik, sementara Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb menjadi
pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi
dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di
kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab
Saudi sekarang. Beliau tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar.
Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya
adalah seorang qadhi (mufti besar), sumber rujukan di mana masyarakat
Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb
sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri
oleh ayahnya, Syeikh ʿAbd al-Wahhāb. Berkat bimbingan orangtuanya, ditambah
dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb
berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau
diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka
mengirimnya untuk belajar ke luar daerah
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa
bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia
pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan
anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb diajak oleh
ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan
rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai
menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap
tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia
pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada
dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh
Muhammad Hayah al-Sindi.
Kehidupannya di Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak
menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam
seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan
penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan
manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu
ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, akan
berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah
Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, ataubidah.
Belajar dan berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah
ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu yang
diperolehnya, terutama di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta
ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memulai dakwahnya di Basrah, tempat di
mana beliau bermukim dan untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di
sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan
para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang
bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb
bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang
menuduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke
beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, lalu beliau kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh
Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang ilmu tertentu yang
selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim beberapa waktu,
kemudian kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/ 1726M, ayahandanya pindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan
beliau ikut serta dengan ayahandanya sambil menuntut ilmu dari ayahnya. Tetapi beliau
masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd.
Hal ini yang menyebabkan ayahnya gusar karena banyak tekanan dari beberapa ulama
yang takut kehilangan jama'ahnya. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga pada tahun
1153H/1740M, ayahandanya meninggal dunia.
Perjuangan memurnikan aqidah Islam
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-
akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan
agama yang dilakukan umat islam saat itu dengan sikap toleransi dan saling
menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan
untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai
gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan
ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah.
Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin
Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan
beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman
untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-
Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-
Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut
pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan
yang mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh
penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang
tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam
yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur
sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-
Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka
belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan)Yamamah yang
dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang
lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa
itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di
dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian
menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal
ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek
peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah
mahupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab
mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka
kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini
rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh
Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-
Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin
mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir
al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di
capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah
dan mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,Da'watuhu
Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata:
"Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di
samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan
negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan
kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah
pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz,
Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh
Muhammad mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman
bin Mu’ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat
mengundurkan diri dari percaturan pergerakan karena alasan politik (besar
kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak
atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang
sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian,
Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab kemudian pergi ke wilayah Dir’iyyah.
Kehidupannya di Dir'iyyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah yang tidak
berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah
Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut
bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Bin Suwailim ini adalah seorang yang
dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal
bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada
awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan
sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan
dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu
hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah
Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri
kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir
Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari
Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka
gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun
menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud
mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan
itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah
kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke
negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama
Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan SunnahRasulNya. Inilah suatu
keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu
perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil
datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk
dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari
beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain
sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di
rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah
baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di
mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi
salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata:
"Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut
kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk
menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah
kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan,
kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta
untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan
menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya
Allah!"
Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah
negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini
kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan
siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah
kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah
seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela
dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung
sendiri yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati,
dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi
Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar
ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan
kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu
terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-
negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah
untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan
kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai
membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi
perjuangan beliau yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh,
hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang
hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang
ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang
bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu
membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian,
Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh
tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau
sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi
syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal
pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya
kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya,
sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui
lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika
perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya,
salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada
para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu
ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau
menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh
dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan
luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani
di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh
berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan
pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika
Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu
itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya,
meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Demikian banyaknya surat-menyurat di antara Syeikh dengan para ulama baik di dalam
dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-
akhir ini semua tulisan beliau yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang
dihimpun untuk dicetak dan sebagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelosok
dunia Islam, baik melalui Rabithah al-`Alam Islami, maupun dari pihak kerajaan Saudi
sendiri (pada masa mendatang). Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera
dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-
pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau
sudah tersebar luas ke seluruh pelosok dunia Islam.
Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum
Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran
Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia
dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini
tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat
cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak
memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya
perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-
tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh
dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap
pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam,
Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka
mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir)
untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah,
bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di
zamannya. Beliau dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula
imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin
Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah
II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti
nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang
didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang)
pada tahun 1319 H hingga kini.
Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat
dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang
lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan
pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah
Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak
muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di
tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin,
beliau ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Selain perlawanan sengit dari mereka yang mengatasnamakan Islam, para pengikut
dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab juga dimusuhi oleh pihak kafir. Imperialis Inggris
yang menjajah banyak negeri kaum muslimin kala itu pun khawatir terhadap dampak
buruk penyebaran dakwah Syaikh Ibnu Abdil Wahhab bagi eksistensi mereka. Sebab
beliau menghidupkan kembali ajaran tauhid dan berjihad melawan berbagai bentuk
syirik dan bid'ah, sedangkan Inggris justeru mempertahankan hal tersebut karena di
situlah titik kelemahan kaum muslimin. Artinya, bila kaum muslimin kembali kepada
tauhid dan meninggalkan semua bentuk syrik dan bid'ah, niscaya mereka akan angkat
senjata melawan para penjajah. Karenanya, Inggris memunculkan istilah 'Wahhabi' dan
merekayasa berbagai kedustaan dan kejahatan yang mereka lekatkan pada pengikut
dakwah Syaikh Ibn Abdil Wahhab, sehingga banyak dari kaum muslimin di negeri-
negeri jajahan Inggris yang termakan hasutan tersebut dan serta merta membenci
mereka.
Alhamdulillah, masa-masa tersebut telah berlalu. Umat Islam kini lebih faham tentang
apa dan siapa kaum pengikut dakwah Rasulullah yang diteruskan Muhammad bin
Abdul Wahhab (yang dijuluki Wahabi) tersebut. Satu persatu kejahatan dan kebusukan
kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam semenjak
awal, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam
yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini,
namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd
saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua
Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala
kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan
perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan
tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun
pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah
melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang
lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut,
serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab
dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah SyeikhMuhammad
Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473
seperti berikut:
"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab
sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin
Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis
bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh
membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid,
bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah,
Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah
mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam
Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari
kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian
agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau
orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
`Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai
ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti
berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus
Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama
Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti
mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang)
seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami
tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab
empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak
membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa
mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami
tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke
tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang
berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang
kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan
setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang
mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi
pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami
meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang
menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian
mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau
berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk
menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang
banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami,
tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama,
menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dan dengan perkataan
`bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa
tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, dan Nabi tidak mengerti makna "La ilaha
illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa’lam annahu La
ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami
tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab
karangan para ulama mazhab, karena didalamnya bercampur antara yang hak dan
batil. Malah kami dianggap mujassimah(menjasmanikan Allah), serta kami
mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti
kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mahu menerima bai’ah seseorang sehingga
kami menetapkan atasnya `bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu-bapaknya juga
bukan musyrik.’
Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian
dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami,
maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan
tanggungan atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mahu mengakui kebenaran para ahlul Bait Radiyallahu 'anhum. Dan
kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang
tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, karena akan
dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti
apa yang harus kami katakan sebagai jawaban, kecuali yang dapat kami katakan hanya
"Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh
karena itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi,
mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa
mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami,
maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami yang
dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaithan dari menjauhkan
manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan
beribadah kepadaNya.
Kami beri’tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan
pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti
berzina, riba’ dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya
tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap
bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad
Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat
makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang
lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena
Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya.
Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh
hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun Sunat juga berziarah ke masjid
Nabi dan melakukan salat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan
barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke
atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat
kebahagiaan di dunia dan akhirat."
Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan ,
maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan
dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah
Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-
buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke
segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-
ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah
diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk
buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah
kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa
buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika
beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua
bentuk:
Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung
kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan,
sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai
macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang,
sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan
celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan
yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas
kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana
dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan
meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada
orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi
adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci
auliya’ dan orang-orang soleh yang bererti musuh mereka yang harus segera
diperangi.
Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid
belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang
disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam
perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa
mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu
menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti
Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka.
Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan.
Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan
oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan
oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang
digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan
dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak
yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka
menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi pada masa
hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana
anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya.
Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan
seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin
Saud, penguasa Dar’iyah.
Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun
1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak didukung
oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap
pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara
beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah
dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang
dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan
mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah
perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang
hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa
yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya
dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan
kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya
terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan.
Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil,
demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh
kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an al-Hadid fihi basun syadid
yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat. yaitu berupa senjata tajam, senjata
api, peluru, senapan, meriam, kapal perang, nuklir dan lain-lain lagi yang
pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana
al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya bagi
umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan
menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima
ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama.
Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang diperhambakan oleh
hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya,
melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah
memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada
agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh
Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158
Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
Wafat
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di
Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah
dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah
Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada
tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.
Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).