83

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

  • Upload
    others

  • View
    50

  • Download
    13

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

ii

Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri

Bagi sanak-kadang yang berkumpul di “Padepokan” gagakseta Naskah ini diupload di

http://cersilindonesia.wordpress.com, dan

http://tamanbacaanmbahman.blogspot.co.id/ boleh saja

didownload dan dikoleksi, tetapi tidak untuk dikomersilkan

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES

DARAH

JILID 06

OLEH

paneMBAHan MANdaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Mbah Man

Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

iv

Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Maret 2017

Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta Serta handai taulan semua

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

“GILA!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur. Dengan segera diperiksanya kulit lengannya yang tersentuh sisi telapak tangan Ki Jayaraga. Ternyata sebagian kulitnya telah melepuh dan berwarna merah kehitaman.

“Setan, iblis laknat jahanam!” umpat Ki Brukut tak habis habisnya sambil menyeringai menahan pedih yang menyengat kulit lengannya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Jayaraga kemudian begitu melihat lawannya sedang sibuk memeriksa lukanya, “Silahkan beristirahat sebentar untuk mengobati luka Ki Sanak. Jika Ki sanak tidak membawa obat, aku ada sedikit yang dapat dipakai sementara untuk menahan pedih di luka Ki Sanak.”

“Persetan!” geram Ki Brukut dengan wajah merah padam, “Jangan engkau sangka aku sudah habis sampai di sini. Aku masih mempunyai bermacam-macam ilmu yang lain yang cukup untuk membuatmu bertekuk lutut. Aku peringatkan sekali lagi, jangan mencoba bergurau dengan Ki Brukut, nyawamu sudah berada di ujung rambutmu.”

Namun Ki Jayaraga menanggapi ancaman Ki Brukut dengan sebuah senyuman, senyuman yang tampak sangat menyakitkan hati lawannya.

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

2

Dengan cepat Ki Brukut segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong ikat pinggangnya. Setelah menaburkan bubuk yang berwarna putih di atas lukanya, Ki Brukut pun kemudian menyimpan kembali sisa obat dalam bungkusan itu ke kantong ikat pinggangnya kembali.

“Nah,” berkata Ki Brukut kemudian, “Sekarang bersiaplah untuk menerima hukuman. Aku sudah tidak akan bermain-main lagi. Ungkapan ilmu yang akan aku tunjukkan mungkin akan sangat membingungkanmu. Tapi percayalah, jika Ki Sanak menyerahkan diri secara baik-baik, aku akan mempercepat kematianmu tanpa merasakan sakit sama sekali.”

Guru Glagah Putih itu menarik nafas dalam-dalam. Menilik dari ucapannya, lawannya itu sangatlah sombong sekali. Namun Ki Jayaraga berpendapat, jika tidak memiliki bekal yang lebih dari cukup, tentu lawannya itu tidak akan berani berkata seperti itu.

“Baiklah Ki Brukut,” berkata Ki Jayaraga kemudian menanggapi, “Kita akan bertempur kembali. Namun kali ini kita harus membuat sebuah perjanjian terlebih dahulu. Selama pertempuran berlangsung, tidak diperkenankan untuk mengambil istirahat, makan atau minum misalnya. Bahkan mengobati luka pun juga termasuk dilarang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Brukut dengan wajah yang merah padam. Giginya terdengar bergemelutuk menahan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun.

“Aku peringatkan sekali lagi. jangan menghina Ki Brukut!” geram Ki Brukut kemudian sambil tangan kirinya menunjuk ke arah wajah lawannya, “Aku dapat berbuat apa saja bahkan diluar batas kewajaran seorang manusia sekalipun.”

Diam-diam Ki Jayaraga tersenyum dalam hati. Pancingannya ternyata berhasil. Lawannya menjadi waringuten dan tentu saja Ki Jayaraga berharap penalaran lawannya pun akan menjadi buram serta pengetrapan ilmunya menjadi tumpang suh.

Maka kata Ki Jayaraga kemudian, “Ki Sanak aku menjadi tidak sabar lagi. Sedari tadi engkau selalu mengancam dan mengancam.

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

3

Aku benar-benar sudah bosan dan muak mendengar ancamanmu itu.”

Belum selesai Ki Jayaraga mengatupkan bibirnya, serangan lawan telah meluncur deras mengarah ke dada.

Demikianlah akhirnya, setelah Ki Brukut dikejutkan dengan kemampuan lawannya yang mampu melontarkan kekuatan api melalui telapak tangannya, kedua orang itu pun kemudian kembali terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Masing-masing telah meningkatkan ilmu dan tenaga cadangan yang tersimpan dalam diri mereka.

Dalam pada itu di halaman depan Ki Rangga terlihat sedang bertempur melawan pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai Damar Sasangka.

Ternyata pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu langsung menyerang ki Rangga pada tataran tinggi ilmunya, walaupun belum merambah sampai ke puncak. Namun serangan-serangannya benar-benar dilambari tenaga cadangan dengan kekuatan yang dahsyat dan nggegirisi.

Sejauh itu Ki Rangga masih mampu melayani serangan-serangan lawannya, baik dalam hal kecepatan maupun tata gerak. Ketika lawannya semakin meningkatkan kecepatan geraknya, Ki Rangga pun mulai mengungkapkan ilmu yang mampu menghilangkan bobot tubuhnya.

“Ternyata nama besar Ki Rangga Agung Sedayu hanyalah sebuah omong kosong,” desis Kiai Damar Sasangka sambil terus meningkatkan serangannya, “Bagiku ilmu loncat-loncatan ini tak ubahnya permainan kanak-kanak yang baru belajar berjalan. Mereka senang meloncat-loncat karena ingin menirukan polah tingkah seekor katak.”

Sekilas Ki Rangga terlihat tersenyum. Dia menanggapi ejekan pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dengan senyum dikulum. Ki Rangga sudah terbiasa menghadapi berbagai macam perangai lawan dalam setiap pertempuran.

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

4

Tiba-tiba lawan Ki Rangga itu meloncat ke belakang beberapa langkah untuk mengambil jarak. Sekejap dia terlihat seperti meraba kantong ikat pinggangnya. Belum sempat Ki Rangga mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh lawannya, serangan Kiai Damar Sasangka telah meluncur kembali dengan membadai.

Berbagai dugaan timbul dalam benak ki Rangga. Senapati pasukan khusus yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu menduga tentu lawannya telah mengambil sebuah senjata rahasia yang disimpan di dalam kantong ikat pinggangnya.

“Mungkin sebuah paser kecil atau jarum yang sangat beracun,” berkata Ki Rangga dalam hati menduga-duga.

Walaupun pada dasarnya tubuh Ki Rangga telah dikaruniai kemampuan untuk menolak segala jenis racun, namun Ki Rangga tidak mau tubuhnya terluka hingga mengeluarkan darah.

“Dengan lontaran kekuatan yang dahsyat serta jarak yang sangat dekat, apapun jenis senjata rahasia itu, tentu akan mampu menembus kulitku,” berpikir Ki Rangga sambil terus mengawasi setiap gerakan tangan kanan lawannya yang tampak menggenggam sesuatu.

Maka sejenak kemudian, Ki Rangga pun mulai melindungi tubuhnya dengan meningkatkan ilmu kebalnya selapis demi selapis walaupun belum sampai ke puncak. Ki Rangga benar-benar tidak mau lengah walaupun hanya sekejap.

Namun untuk beberapa saat lawannya tidak menampakkan perubahan yang berarti. Serangannya tetap melanda Ki Rangga bagaikan ombak yang bergulung-gulung menerjang pantai. Sementara tangan kanannya tetap dalam keadaan menggenggam tanpa terlihat usaha untuk melemparkan sesuatu ke arah Ki Rangga.

Ki Rangga benar-benar sempat dibuat gelisah. Dia sedang menantikan lawannya menyerang dengan senjata rahasianya itu sehingga dia lebih banyak menunggu dan menghindar. Dengan

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

5

loncatan-loncatan panjang dan kadang meloncat tinggi sekali, semua serangan lawannya dapat dihindarkan dengan mudah.

Namun lama kelamaan Ki Rangga menjadi tidak telaten. Ki Rangga tidak mau dirinya hanya menjadi sasaran serangan lawan, sementara senjata rahasia yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung tiba.

“Mungkin dia tidak benar-benar menggenggam sebuah senjata rahasia,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting tinggi, “Aku hanya dibayangi ketakutanku sendiri. Lebih baik aku balas menyerang. Bukankah aku dapat mengandalkan ilmu kebalku?”

Berpikir sampai disitu Ki Rangga segera mengambil keputusan untuk balas menyerang.

Demikianlah akhirnya, ketika kesempatan itu terbuka, serangan Ki Rangga pun datang melanda lawannya bagaikan angin puting beliung yang melanda apa saja yang dilewatinya.

Namun ternyata saat-saat itulah yang sedang ditunggu oleh lawannya. Begitu tubuh Ki Rangga meluncur deras ke depan, Kiai Damar Sasangka tampak mengangkat tangan kanannya dan membuka telapak tangan yang sedari tadi selalu tergenggam.

Ki Rangga terkejut. Ternyata sama sekali tidak ada senjata paser atau jarum dan sejenisnya dalam genggaman tangan lawannya. Yang meluncur deras menyambar wajah Ki Rangga adalah segumpal serbuk berwarna kekuning-kuningan yang segera menebar bercampur dengan udara malam.

Dalam keadaan yang sedemikian cepat itu Ki Rangga masih sempat memalingkan wajahnya. Namun tak urung serbuk yang telah bercampur dengan udara malam itu telah terhirup oleh pernafasan Ki Rangga.

Dengan cepat ki Rangga segera meloncat ke belakang mengambil jarak. Untuk sejenak Ki Rangga belum merasakan pengaruh serbuk yang ikut terhirup pernafasannya itu. Namun lambat laun Ki Rangga merasakan tubuhnya menjadi lemah dan lemas. Pandangan matanya menjadi kabur dan mulai berkunang-

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

6

kunang serta pernafasannya menjadi sedikit sesak dan tersengal. Agaknya serbuk berwarna kekuning-kuningan itu sejenis racun yang sangat kuat dan jahat.

Perlahan tapi pasti, racun itu mulai meresap melalui paru-parunya dan selanjutnya beredar mengikuti aliran darahnya.

Agaknya di dalam tubuh Ki Rangga telah terjadi pertarungan yang dahsyat antara racun itu dengan darah Ki Rangga yang telah mengandung penawar terhadap segala racun. Betapa dahsyatnya pergolakan itu sehingga telah membuat tubuh Ki Rangga menggigil keras seperti orang kedinginan. Perlahan-lahan Ki Rangga pun kemudian terjatuh pada kedua lututnya.

“Kakang..!” terdengar teriakan Glagah Putih beberapa tombak dari tempat Ki Rangga terjatuh. Dengan sekuat tenaga Glagah Putih mencoba melepaskan diri dari pusaran pertempuran itu. Namun lawannya tidak membiarkannya keluar dari lingkaran pertempuran.

Sejenak Kiai Damar Sasangka hanya berdiri diam sambil bertolak pinggang. Sebuah senyum kemenangan telah menghiasi bibirnya.

“Ternyata agul-agulnya Mataram ini hanya sampai disini saja kehebatannya,” seru Kiai Damar Sasangka sambil tertawa terkekeh-kekeh, “Alangkah mudahnya melawan orang sesakti Ki Rangga Agung Sedayu yang namanya telah kawentar dari ujung sampai ke ujung tanah ini. Aku yakin, sebenarnya Kakang Pideksa pun tidak mungkin dapat dikalahkan kecuali dengan sebuah kecurangan.”

Ki Rangga Agung Sedayu yang mendengar suara tertawa lawannya itu tidak mengambil sikap apapun. Ki Rangga tetap berdiri pada kedua lututnya. Justru sekarang kepala Ki Rangga terlihat tertunduk dalam-dalam.

Sebenarnyalah racun yang terdapat dalam serbuk kekuning-kuningan itu sangat kuat dan dahsyat. Darah di tubuh Ki Rangga memerlukan waktu beberapa saat untuk mengendapkan kekuatan racun itu.

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

7

Untunglah Kiai Damar Sasangka tidak menyadari hal itu. Jika di saat tubuh Ki Rangga melemah karena pengaruh racun itu kemudian lawannya menyerang, tentu dengan sebuah serangan yang sangat sederhana pun Ki Rangga akan tumbang.

Namun ternyata Ki Rangga masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung. Perlahan tapi pasti pengaruh racun itu mulai menghilang dan Ki Rangga pun merasakan tubuhnya sehat kembali seperti sedia kala.

“Nah Ki Rangga,” berkata Kiai Damar Sasangka begitu melihat lawannya terlihat masih menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Engkau harus mengakui kehebatan perguruan Sapta Dhahana. Sekarang tataplah langit dan peluklah bumi untuk terakhir kali. Jangan rindukan lagi Matahari terbit di esok hari.”

Selesai berkata demikian Kiai Damar Sasangka segera mengerahkan tenaga cadangan di kepalan tangan kanannya. Sambil berteriak nyaring, tubuhnya melesat ke depan sambil mengayunkan kepalan tangannya untuk meremukkan kepala Ki Rangga Agung Sedayu.

Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Disaat serangannya hampir mencapai sasaran, dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata Ki Rangga telah menyilangkan kedua tangannya tepat di atas kepala. Benturan yang dahsyat pun tak terelakkan lagi.

Yang terjadi kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Udara malam terasa bergetar dengan dahsyat. Getarannya telah merontokkan dedaunan serta menghamburkan debu di sekitar lingkaran pertempuran itu. Bahkan getaran udara itu terasa menghentak dada Glagah Putih dan Raden Surengpati yang sedang bertempur tidak jauh dari tempat itu.

“Gila!’ teriak Glagah Putih dan Raden Surengpati hampir bersamaan. Dengan cepat kedua anak muda itu pun segera meloncat mundur sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan getaran yang telah menyesakkan dada.

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

8

Dalam pada itu, Kiai Damar Sasangka yang sama sekali tidak menduga jika lawannya masih mampu memberikan perlawanan telah terlontar ke belakang hampir satu tombak jauhnya. Tubuhnya melayang tanpa terkendali sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah yang berdebu.

Sedang Ki Rangga yang mempunyai kedudukan lebih menguntungkan ternyata telah terdorong surut beberapa langkah ke belakang dengan tetap bertumpu pada kedua lututnya. Rasa-rasanya berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit telah menimpa dadanya.

Ki Rangga segera bangkit berdiri sambil mengibas-kibaskan debu yang melekat di kain panjangnya. Ketika pandangan matanya kemudian melihat ke arah depan. Tampak lawannya telah bangkit berdiri sambil mengumpat tak habis-habisnya.

“Syetan, iblis, gendruwo, tetekan..!” geram Kiai Damar Sasangka sambil mengusap wajahnya yang penuh debu, “Syetan mana yang merasuki tubuhmu, he?!”

Ki Rangga tersenyum mendengar umpatan lawannya. Jawabnya kemudian sambil tetap tersenyum, “Aku tidak pernah berkawan dengan syetan, Kiai. Aku selalu memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung.”

“Omong kosong!” sergah Kiai Damar Sasangka, “Ternyata tubuhmu kebal terhadap serbuk racunku. Baiklah pertempuran belum berakhir. Aku masih mempunyai segudang ilmu untuk membunuhmu.”

Namun sebenarnyalah telah terlintas sebuah penyesalan dalam benak pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu.

“Sekebal apapun seseorang itu terhadap pengaruh racun, dia pasti memerlukan waktu untuk menawarkannya. Dan aku ternyata telah menyia-nyiakan kesempatan itu,” sesalnya kemudian dalam hati.

Kiai Damar Sasangka benar-benar telah menyesali kesempatan yang terbuka di hadapannya. Pada saat Ki Rangga

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

9

sedang berjuang menawarkan racun yang masuk ke dalam aliran darahnya melalui pernafasannya, tentu pertahanan Ki Rangga menjadi sangat lemah.

“Jika pada saat dia terjatuh itu aku menyerangnya kembali, tentu nama besar agul-agulnya Mataram itu kini hanya tinggal kenangan,” berkata Kiai Damar Sasangka dalam hati kemudian.

Demikianlah, sejenak kedua orang itu pun segera memulai lagi pertempuran yang dahsyat mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit.

Dalam pada itu, udara malam terasa semakin dingin menusuk kulit dan meremas tulang. Dalam keremangan malam tampak beberapa bayangan berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu dan sesekali mereka meloncati parit dan meniti pematang.

“Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya, aku harap kita sudah sampai di rumah Nyi Gede,” berkata salah seorang di antara mereka yang berbadan tegap dan kekar.

“Ki Jagabaya,” sahut seorang yang berperawakan tinggi dan kurus, “Apakah Nyi Gede akan percaya bahwa kita adalah utusan Ki Gede Matesih untuk menjemput mereka?”

Orang yang dipanggil Ki Jagabaya itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Nyi Gede sudah sangat mengenal aku sebagai Jagabaya perdikan Matesih. Dengan seribu satu macam alasan, kita pasti dapat memboyong Nyi Gede dan putranya.”

Sejenak suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah deru nafas orang-orang itu yang sedang berpacu dengan waktu.

“Ki Jagabaya,” kembali terdengar orang yang tinggi kurus itu menyeletuk, “Menurut berita telik sandi kita menjelang sirep uwong tadi, Ki Wiyaga dan beberapa pengawal telah berangkat untuk menjemput Nyi Gede atas perintah Ki Gede. Aku khawatir jika rombongan kita ini nantinya justru akan berjumpa dengan mereka di rumah yang ditempati Nyi Gede.”

“Apa engkau takut?” tiba-tiba terdengar suara mirip burung hantu memotong, “Jika engkau takut, masih ada kesempatan

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

10

untuk kembali. Sebenarnya cukup aku sendiri saja untuk melakukan tugas ini. Apakah susahnya membawa seorang perempuan dan anak yang masih kecil? Walaupun mereka dilindungi pasukan segelar sepapan, sendirian saja aku sanggup mengatasinya.”

“Ah, sombongnya!” geram orang tinggi kurus itu, “Sesekali aku memang ingin mencoba untuk membuktikan kesombonganmu itu!”

“Ah, sudahlah!” potong Ki Jagabaya yang melihat orang yang mempunyai suara mirip burung hantu itu akan menjawab, “Jangan bertengkar karena hal-hal yang sepele. Kita mempunyai sebuah kerja besar malam ini. Jika Nyi Gede dan putranya dapat kita kuasai, aku yakin Ki Gede Matesih dengan suka rela akan menyerah dan mendukung perjuangan kita.”

Tampak kedua orang yang sedang bertengkar itu menarik nafas dalam-dalam. Keduanya berusaha untuk menahan diri sejauh dapat mereka lakukan. Namun tanpa terasa bibit-bibit dendam itu mulai tumbuh di hati mereka.

“Kita tetap lewat jalan pintas,” berkata Ki Jagabaya kemudian ketika mereka keluar dari sebuah pategalan dan mendapatkan sebuah jalur jalan yang membujur kearah timur dan barat, “Kita lewat padang perdu itu kemudian membelok ke timur. Setelah melewati belakang pasar dukuh Salam, kita akan sampai di rumah Nyi Selasih, janda anak satu yang telah dinikahi Ki Gede hampir setahun yang lalu.”

Orang-orang yang mengikuti Ki Jagabaya itu tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Demikian mereka menaiki tanggul di sisi selatan jalan itu, mereka pun kemudian menyeberangi jalan untuk kemudian melintasi sebuah padang perdu yang cukup luas.

Dalam pada itu, di kedalaman hutan sebelah timur gunung Tidar, tampak Ki Ajar Mintaraga sedang duduk di atas sebuah batu yang terletak di tengah-tengah padang rumput yang tidak seberapa

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

11

luas. Di hadapannya duduk seorang anak muda dengan kepala yang ditundukkan dalam-dalam.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar kemudian dengan sareh, “Aku memang sempat kecewa dengan keputusanmu yang menolak ajakan Ki Rangga untuk mengadakan penyelidikan di perguruan Sapta Dhahana. Namun aku dapat menyadari keputusanmu itu. Engkau memang berhak untuk memilih jalan hidupmu sendiri.”

Anak muda yang tak lain adalah Sukra itu tampak menarik nafas dalam-dalam. Sambil membungkukkan badannya sedikit ke depan dia pun berkata, “Guru, aku memang telah memutuskan untuk menghindari setiap kekerasan yang terjadi di atas muka bumi ini, sesuai dengan ajaran Kanjeng Sunan yang telah disampaikan kepadaku beberapa saat yang lalu.”

Sejenak Ki Ajar Mintaraga mengerutkan keningnya. Bertanya Ki Ajar kemudian dengan nada suara yang terdengar tetap sareh, “Pelajaran apakah yang dapat engkau petik dari ajaran Kanjeng Sunan itu?”

Sukra tidak langsung menjawab. Digeser duduknya beberapa jengkal ke depan sebelum menjawab pertanyaan gurunya.

“Guru,” jawab Sukra kemudian, “Kanjeng Sunan mengajarkan sebuah laku yang harus kita jalani dengan ikhlas jika kita ingin bergaul dan hidup di antara kawula dalam bebrayan agung.”

Ki Ajar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai murid dan sekaligus sahabat Kanjeng Sunan, tentu saja Ki Ajar sudah paham betul dengan ajaran itu. Namun Ki Ajar tetap saja melanjutkan pertanyaannya.

“Apakah engkau dapat menjelaskan kepadaku tentang laku itu?”

Untuk beberapa saat Sukra terdiam. Berbagai tanggapan hilir mudik dalam benaknya. Ada sedikit keseganan yang timbul dalam hatinya jika harus menjelaskan kepada gurunya tentang ajaran Kanjeng Sunan itu.

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

12

“Apakah guru hanya ingin mengujiku sejauh mana aku memahami ajaran Kanjeng Sunan itu?” pertanyaan itu bergejolak di dalam dadanya.

“Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar kemudian begitu melihat muridnya hanya diam saja, “Jika seorang guru bertanya kepada muridnya, bukan berarti guru itu belum mengetahui persoalan yang sebenarnya. Namun ada kalanya seorang guru ingin mengetahui sejauh mana seorang murid telah memahami persoalan yang sedang mereka hadapi.”

Sukra menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Ajar. Dengan suara yang sedikit sendat, dia pun segera berkata, “Guru, Kanjeng Sunan mengajarkan kepadaku sebuah laku yang disebut Tapa Ngeli.”

Ki Ajar tersenyum mendengar keterangan Sukra. Bertanya Ki Ajar kemudian, “Gatra Bumi, apakah engkau dapat menjelaskan makna dari Tapa Ngeli itu?”

Kembali Sukra terdiam beberapa saat. Namun akhirnya Sukra pun menjawab, “Maafkan aku Guru. Sejauh yang aku pahami tentang laku Tapa Ngeli, adalah sebuah sikap diri untuk menerima segala keadaan, pasrah kepada Yang Maha Agung tentang takdir yang akan berlaku pada diri kita. Kita ikuti saja aliran air ke mana kita dibawanya.”

Tampak kerut merut di dahi Ki Ajar semakin dalam. Sambil menarik nafas panjang, Ki Ajar pun kemudian bertanya, “Apakah dengan dasar pemikiran seperti itu engkau telah menolak ajakan Ki Rangga untuk menemaninya mengadakan penyelidikan di padepokan Sapta Dhahana?”

Sejenak Sukra ragu-ragu. Namun akhirnya dia menjawab perlahan, “Guru, memang aku merasa bahwa apa yang akan dilakukan Ki Rangga adalah sikap yang tidak pasrah dan kurang percaya terhadap apa yang akan berlaku sesuai kehendak Yang Maha Agung. Aku merasa usaha Ki Rangga dalam mengadakan penyelidikan adalah sebuah usaha mencurigai sekaligus rasa ketidak percayaan kita terhadap sesama.”

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

13

“Ah,” Ki Ajar berdesah perlahan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepasang mata tua namun yang terlihat masih sangat jernih itu memandang Sukra dengan penuh rasa belas kasih.

Berkata Ki Ajar kemudian, “Gatra Bumi, Tapa Ngeli memang sebuah laku kepasrahan diri. Namun itu bukan berarti bahwa kita ibaratnya hanyalah sebuah batang pisang yang terhanyut oleh aliran sebuah sungai. Makna Ngeli dan Keli itu sangat berbeda. Ngeli mempunyai makna sengaja menghanyutkan diri namun tidak sampai keli atau terhanyut. Ngeli ning aja nganti keli. Dalam menyikapi sebuah kejadian di masyarakat, kita ikuti apa kemauan mereka, namun jika ada hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang telah diturunkan oleh Yang Maha Agung melalui utusaNYA, kita tidak boleh terhanyut dan terseret oleh kemauan mereka.”

Sukra tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Pemahamannya tentang Tapa Ngeli itu memang sedikit berbeda.

“Selain itu,” berkata Ki Ajar selanjutnya, “Tapa Ngeli mengajarkan kita untuk selalu rendah hati, mengalir wajar dan tidak neko-neko. Membuat kita peka terhadap kejadian apa saja yang kita lihat sepanjang aliran sungai, sepanjang aliran kehidupan masyarakat yang selalu berubah dan bergolak bagaikan aliran sebuah sungai.”

Untuk kali ini tampak kepala Sukra terangguk-angguk. Ketika dia kemudian menengadahkan wajahnya, Ki Ajar pun sedang memandang ke arahnya dengan sebuah senyum yang tersungging di bibir, sebuah senyum yang sareh.

“Nah, Gatra Bumi,” berkata Ki Ajar selanjutnya, “Kita bersama telah mengetahui bahwa sekarang ini Ki Rangga dan kawan-kawannya sedang mendekati padepokan Sapta Dhahana. Segala sesuatunya bisa saja terjadi. Kita berdua sengaja dikirim oleh Kanjeng Sunan untuk membantu Ki Rangga, namun bukan bantuan berupa tenaga untuk menghadapi sebuah pertempuran, namun bantuan pemikiran atau usaha agar apa yang dilaksanakan oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya itu berhasil.”

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

14

“Jadi, apa yang harus aku lakukan, Guru?” sahut Sukra dengan nada sedikit meragu.

“Beri tahu Ki Gede Matesih bahwa kemungkinannya sekarang ini Ki Rangga dan kawan-kawannya sedang berada di padepokan Sapta Dhahana. Tidak menutup kemungkinan mereka sedang terlibat dalam sebuah pertempuran yang dahsyat,” jawab Ki Ajar cepat.

Tergetar hati Sukra mendengar penjelasan gurunya. Tanpa sadar dia beringsut setapak sambil bertanya, “Bagaimana Guru bisa menduga jika sekarang ini Ki Rangga sedang terlibat dalam sebuah pertempuran?”

Kembali Ki Ajar Mintaraga tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Aku telah menerima aji pameling dari Ki Tanpa Aran,” Ki Ajar berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah engkau mengenal Ki Tanpa Aran?”

“Ya Guru,” jawab Sukra kemudian, “Ki Tanpa Aran dan Guru ibaratnya saudara seperguruan.”

Ki Ajar tertawa. Katanya kemudian, “Bukan ibaratnya saja, Gatra Bumi. Kami memang saudara seperguruan.”

Sukra tanpa sadar menengadahkan wajahnya sambil mengulang, “Saudara seperguruan?”

“Ya, kami memang saudara seperguruan,” jawab Ki Ajar dengan senyum yang penuh teka-teki.

“Ah sudahlah,” berkata Ki Ajar selanjutnya mengalihkan pembicaraan, “Menurut aji pameling yang baru saja aku terima, telah terjadi pertempuran di perguruan Sapta Dhahana. Ki Tanpa Aran telah menebar sirep yang sangat tajam sehingga pertempuran yang sedang berlangsung sekarang hanyalah antara Ki Rangga dan kawan-kawannya melawan para petinggi perguruan Sapta Dhahana.”

“Apakah Ki Tanpa Aran ikut terlibat dalam pertempuran?” bertanya Sukra kemudian.

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

15

Sejenak Ki Ajar termenung. Namun akhirnya Ki Ajar menjawab, “Ki Tanpa Aran memang terlibat dalam sebuah pertempuran namun jauh di luar lingkungan padepokan Sapta Dhahana.”

“Mengapa?” bertanya Sukra dengan serta merta, “Apakah Ki Tanpa Aran tidak membantu Ki Rangga dan kawan-kawannya di dalam padepokan?”

Ki Ajar menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu siapa lawan Ki Tanpa Aran. Yang jelas dalam aji pameling tadi Ki Tanpa Aran berpesan bahwa sebelum Matahari terbit, Ki Gede Matesih dan pasukan pengawal harus sudah sampai di padepokan Sapta Dhahana.”

Sejenak Sukra termangu-mangu. Kemudian sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam dia mengajukan sebuah pertanyaan yang kelihatannya masih mengganjal dalam hatinya.

Bertanya Sukra kemudian, “Untuk apa sepasukan pengawal jika para cantrik padepokan Sapta Dhahana sudah terlelap dalam sirep?”

“Itulah permasalahannya,” sahut Ki Ajar cepat, “Kekuatan sirep akan pudar seiring dengan terbitnya Matahari. Yang dikhawatirkan oleh Ki Tanpa Aran adalah jika pertempuran Ki Rangga dan kawan-kawannya belum berakhir dan Matahari keburu terbit di langit Timur.”

“Dan para cantrik, manguyu, jejanggan serta Putut yang terpengaruh sirep akan sadar bersamaan dengan terbitnya Matahari,” Sukra kemudian menyahut dengan dada yang berdebaran, “Begitu menyadari apa yang sedang terjadi di padepokan mereka, mereka akan berduyun-duyun mengeroyok Ki Rangga dan kawan-kawannya.”

“Dugaanmu sangat tepat, Gatra Bumi,” Ki Ajar menimpali, “Jika itu yang terjadi, maka Ki Rangga dan kawan-kawannya akan mengalami kesulitan.”

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

16

“Ya, kami memang saudara seperguruan,” jawab Ki Ajar dengan senyum yang penuh teka-teki.

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

17

Sukra termenung. Sejenak suasana menjadi sunyi. Keduanya telah tenggelam dalam lamunan masing-masing.

“Guru,” berkata Sukra kemudian setelah beberapa saat keduanya terdiam, “Aku akan menghadap Ki Gede Matesih sekarang juga. Namun aku mohon bantuan Guru. Jarak hutan tempat kita ini dengan perdikan Matesih cukup jauh. Aku khawatir tidak bisa sampai di perdikan Matesih sebelum fajar,” Sukra berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Demikian juga Ki Gede memerlukan waktu untuk mengumpulkan para pengawalnya serta perjalanan menuju ke gunung Tidar.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti maksudmu Gatra Bumi. Marilah aku antar menghadap Ki Gede Matesih.”

Sukra cepat-cepat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan senyumnya. Dia benar-benar merasa lega jika Ki Ajar berkenan mengantarkannya ke perdikan Matesih. Perjalanan dari tempat mereka sekarang ini ke perdikan Matesih memerlukan waktu yang cukup lama, namun dengan aji pangrupak jagad yang diajarkan oleh Kanjeng Sunan kepada Ki Ajar, tentu perjalanan mereka dapat dipersingkat.

Demikianlah sejenak kemudian Sukra segera membantu gurunya berdiri dari tempat duduknya. Dengan bertelekan pada tongkatnya, Ki Ajar yang sudah sangat sepuh sekali itupun berjalan tertatih-tatih dituntun muridnya menembus pekatnya malam dan lebatnya hutan menuju ke perdikan Matesih.

Dalam pada itu di regol penjagaan depan kediaman ki Gede Matesih, tampak seorang anak muda berjalan dalam gelapnya malam mendekati regol.

Serentak para penjaga segera berloncatan menghadang jalan.

Ketika sinar oncor yang disangkutkan di sebelah menyebelah regol itu menerangi wajahnya, tampak wajah seorang anak muda dengan warna kulit kehitam-hitaman.

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

18

“Selamat malam,” berkata anak muda itu kemudian sesampainya di depan para pengawal yang berdiri berjajar-jajar di depan regol, “Namaku Sukra atau cantrik Gatra Bumi. Jika diperkenankan aku ingin menghadap Ki Gede Matesih.”

Sejenak para pengawal penjaga regol itu saling pandang. Adalah sangat aneh jika ada seseorang ingin menghadap Ki Gede di waktu seperti itu.

“Anak muda,” berkata pengawal tertua di antara mereka kemudian, “Malam sudah melewati tengah malam. Sebaiknya kepentinganmu untuk menghadap Ki Gede itu engkau tunda sampai besok pagi saja.”

Tampak kerut merut di dahi Sukra. Tanpa sadar dilayangkannya pandangan matanya ke arah pendapa. Dari tempatnya berdiri Sukra dapat melihat melalui regol yang terbuka, tampak beberapa orang sedang duduk-duduk berbincang di pendapa.

Agaknya pengawal tertua itu mengikuti arah pandang Sukra. Maka katanya kemudian, “Mereka adalah para bebahu perdikan Matesih. Sejak sore tadi mereka telah mengadakan pertemuan dan agaknya pertemuan itu sudah selesai. Sebentar lagi mereka akan pulang ke rumah masing-masing.”

Tampak Sukra menelan ludah beberapa kali untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Sukra memang belum terbiasa berbicara panjang lebar dengan orang yang lebih tua dan belum dikenalnya.

Akhirnya dengan memberanikan diri, Sukra pun kemudian menyampaikan maksudnya, “Maafkan aku sebelumnya Ki Sanak, aku ingin menghadap Ki Gede sehubungan dengan pesan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Ki Rangga Agung Sedayu?” hampir bersamaan orang-orang yang hadir di regol depan itu mengulang. Sukra memang dengan sengaja menggunakan nama Ki Rangga agar menarik perhatian. Berbeda jika dia menyebut nama Ki Tanpa Aran, kemungkinannya tidak ada seorang pun di antara mereka yang akan mengenalnya.

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

19

Sejenak wajah-wajah para pengawal itu terlihat ragu-ragu. Namun akhirnya pengawal tertua itu pun bertanya, “Apakah engkau mempunyai saksi atau dapat membuktikan bahwa pesan yang engkau bawa itu benar-benar dari Ki Rangga Agung Sedayu.”

Belum sempat Sukra menjawab, tiba-tiba terdengar suara menjawab, “Akulah saksinya Ki Sanak.”

Serentak mereka berpaling ke arah suara itu berasal. Tampak dari kegelapan malam muncul sesosok orang yang sudah sangat sepuh yang berjalan tertatih-tatih bertelekan pada tongkatnya.

“Guru,” desis Sukra kemudian sambil menarik nafas panjang. Dengan kemunculan gurunya itu dia menganggap dirinya telah gagal dalam menjalankan tugas untuk meyakinkan para pengawal.

“Sudahlah Gatra Bumi. Engkau masih mempunyai banyak kesempatan di lain waktu,” berkata Ki Ajar kemudian sambil tersenyum sareh begitu melihat wajah Sukra yang kecewa.

Kemudian kepada para pengawal, Ki Ajar pun kemudian berkata, “Tolonglah Ki Sanak semua. Sampaikan maksud kami untuk menghadap kepada Ki Gede. Kami membawa berita yang sangat penting yang harus segera ditindak lanjuti malam ini juga.”

Entah mengapa, begitu para pengawal menatap sepasang mata sepuh itu, hati mereka telah tergetar dan tidak kuasa untuk menolak permintaannya.

Dalam pada itu, di pendapa perdikan Matesih, Ki Gede baru saja akan beranjak memasuki pintu pringgitan ketika seorang pengawal yang bertugas jaga di regol depan tampak berlari-larian menuju ke pendapa.

“Ada apa?” hampir bersamaan para bebahu yang sudah bersiap meninggalkan pendapa itu bertanya.

“Ada tamu yang ingin menghadap Ki Gede,” jawab pengawal itu dengan nafas sedikit memburu.

Ki Gede yang sudah berada di depan pintu pringgitan dan mendengar kata-kata pengawal itu segera melangkah kembali ke pendapa.

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

20

“Siapakah tamu yang datang malam-malam begini?” bertanya Ki Gede kemudian sesampainya dia di hadapan pengawal itu.

Sejenak pengawal itu mengatur pernafasannya. Jawabnya kemudian, “Ki Gede, kedua orang itu mengaku sahabat Ki Rangga Agung Sedayu dan membawa berita yang sangat penting.”

Hampir setiap orang yang hadir di tempat itu mengerutkan kening dalam-dalam. Nama Ki Rangga Agung Sedayu memang telah mereka dengar dan merupakan harapan bagi mereka untuk mengeluarkan perdikan Matesih dari kemelut yang sedang terjadi. Namun sebagian dari mereka belum pernah bertemu.

Namun Ki Gede yang sudah pernah bertemu dengan mereka di banjar padukuhan Klangon itu segera tanggap. Katanya kemudian kepada pengawal itu, “Bawa mereka kemari!”

“Baik, Ki Gede,” jawab pengawal itu kemudian sambil berlari menuju regol kembali.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian mempersilahkan para bebahu yang sedianya sudah mau meninggalkan tempat itu, “Agaknya malam ini kita harus bersiaga semalam suntuk. Semoga perjuangan kita ini tidak sia-sia.”

Para bebahu tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil mengambil tempat duduk kembali di atas tikar pandan di tengah-tengah pendapa.

Sejenak kemudian mereka yang hadir di pendapa itu segera melihat seorang yang sudah sangat sepuh berjalan tertatih-tatih berpegangan pada sebatang tongkat dan dituntun oleh seorang anak muda.

Serentak mereka yang berada di pendapa itu segera berdiri menyambut.

“Silahkan. Silahkan.” berkata Ki Gede kemudian dengan ramah sambil mempersilahkan kedua tamunya untuk mengambil tempat duduk.

“Terima kasih, mohon dimaafkan telah merepotkan semuanya,” jawab orang yang sudah sangat sepuh itu.

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

21

Sejenak kemudian semuanya telah duduk kembali di atas tikar pandan yang dibentangkan di tengah-tengah pendapa.

“Sebelumnya, perkenankan kami memperkenalkan diri,” berkata ki Gede kemudian, “Aku sendiri adalah kepala tanah perdikan Matesih.”

Tampak kepala kedua tamunya itu terangguk-angguk. Kemudian selanjutnya satu persatu Ki Gede memperkenalkan para bebahu yang hadir di pendapa itu.

“Mohon maaf Ki Gede,” berkata orang yang sudah sangat sepuh itu, “Aku adalah Ki Ajar Mintaraga salah seorang murid dan sekaligus juga sahabat dari Kanjeng Sunan Muria,” Ki Ajar berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra dia melanjutkan, “Dan ini adalah Cantrik Gatra Bumi, salah seorang muridku.”

Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di pendapa itu mengangguk-anggukkan kepala. Nama Kanjeng Sunan Muria sudah tidak asing bagi mereka. Kanjeng Sunan Muria adalah putra dari seorang Wali yang waskita, Kanjeng Sunan Kalijaga.

“Maafkan kami sebelumnya, Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian, “Apakah memang benar bahwa kedatangan Ki Ajar berdua ini ada hubungannya dengan Ki Rangga Agung Sedayu?”

“Benar Ki Gede,” jawab Ki Ajar dengan serta merta, “Keadaan di padepokan Sapta Dhahana sekarang sedang terjadi pertempuran dahsyat. Ki Gede dimohon memberikan bantuan para pengawal untuk membantu Ki Rangga dan kawan-kawannya.”

Kemudian secara singkat Ki Ajar segera menceritakan Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang telah berangkat ke gunung Tidar sejak waktu sepi uwong tadi.

Untuk sejenak Ki Gede mengedarkan pandangan matanya ke arah para bebahu. Betapa wajah-wajah para bebahu itu menjadi tegang.

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

22

“Agaknya pertempuran sudah tidak dapat dielakkan lagi,” desis Ki Gede sambil menarik nafas dalam-dalam, “Jika semenjak sore tadi kita menyusun rencana jika padepokan Sapta Dhahana menyerang perdikan ini, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Malam ini kita akan menyerang padepokan di gunung Tidar itu.”

Wajah-wajah di pendapa itu pun menjadi semakin tegang.

“Berhubung Ki Wiyaga sedang mengemban tugas khusus, aku mohon Ki Kamituwa mengumpulkan para pengawal, khususnya pengawal padukuhan induk perdikan Matesih ini terlebih dahulu. Untuk selanjutnya pengawal dari padukuhan yang lain dapat menyusul kemudian.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil menegakkan badannya, “Apakah diperkenankan untuk melemparkan isyarat?”

Sejenak Ki Gede tertegun. Sambil berpaling ke arah Ki Ajar, Ki Gede pun meminta pertimbangan.

“Bagaimanakah sebaiknya, Ki Ajar?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Tidak ada masalah Ki Gede,” jawab Ki Ajar kemudian, “Namun sebaiknya isyarat yang dilontarkan jangan menimbulkan bunyi yang dapat memancing perhatian lawan atau bahkan meresahkan para kawula yang tidak mengetahui duduk permasalahannya. Lemparkan saja panah berapi sesuai dengan kesepakatan yang telah diketahui oleh para pengawal Matesih.”

Ki Gede tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berpaling ke arah Ki Kamituwa, Ki Gede pun kemudian berkata, “Lontarkan panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Sesuai kesepakatan kita, para pengawal harus segera berkumpul di banjar padukuhan induk secepat mungkin. Usahakan lontaran isyarat itu jangan hanya sekali. Jika para pengawal di gardu-gardu perondan melihat, mereka akan segera menghubungi kawan-kawannya.”

“Baik Ki Gede, aku mohon diri untuk mengumpulkan para pengawal,” jawab Ki Kamituwa kemudian sambil bangkit berdiri.

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

23

Setelah menganggukkan kepalanya kepada semua yang hadir di pendapa itu, Ki Kamituwa pun segera bergerak menuju regol depan. Beberapa pengawal jaga segera diperintahkan untuk melontarkan isyarat panah berapi sesuai dengan yang telah disepakati..

Sepeninggal Ki Kamituwa, Ki Gede segera membagi tugas di antara para bebahu Matesih.

Berkata Ki Gede kemudian, “Mohon maaf Ki Ajar. Apakah Ki Ajar akan ikut ke gunung Tidar?”

Ki Ajar tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku hanya akan merepotkan saja. Lebih baik aku tinggal di sini bersama muridku untuk ikut mengawasi keadaan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Biarlah aku bangunkan perempuan-perempuan yang bekerja di dapur. Mungkin Ki Ajar berdua memerlukan semangkuk minuman panas sekedar untuk menghangatkan diri dan mencegah kantuk.”

“Ah,” desah Ki Ajar dan Sukra hampir bersamaan.

Jawab Ki Ajar kemudian, “Janganlah keberadaan kami berdua menjadikan beban bagi keluarga Ki Gede.”

“Kalian berdua adalah tamu-tamuku. Sudah sewajarnya jika aku menghormati tamu-tamuku,” potong Ki Gede sambil tersenyum.

Demikianlah akhirnya, Ki Gede telah minta diri sejenak untuk masuk ke dalam sekedar mengambil senjata serta membangunkan perempuan yang bekerja di dapur.

Dalam pada itu Ratri yang gelisah di dalam biliknya semenjak sore tadi telah bangkit dari pembaringan dan mencoba keluar bilik. Ketika dia kemudian membuka pintu bilik, tampak ayahnya sedang bergegas keluar dari biliknya sambil menjinjing senjata kebesaran perdikan Matesih Kiai Singkir Geni, sebuah tombak bermata tiga.

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

24

“Ayah,” desis Ratri begitu melihat ayahnya berpaling ke arahnya.

“Ada apa Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian sambil berjalan mendekat.

“Ayah akan pergi kemana?” bertanya Ratri kemudian sambil memandang ke arah tangan kanan ayahnya yang menjinjing senjata pusakanya.

“Aku akan nganglang sebentar, Ratri,” jawab Ki Gede yang kemudian berdiri selangkah saja di hadapan anak perempuannya itu.

“Malam-malam begini?”

“Ya, Ratri. Apa salahnya?”

Sejenak Ratri termangu-mangu. Ada sedikit rasa segan untuk bertanya lebih jauh karena Ratri sudah mendengar berita yang terjadi siang tadi antara ayahnya dengan Raden Surengpati.

“Apakah pertemuan para bebahu di pendapa sudah selesai?” bertanya Ratri kemudian mengalihkan pembicaraan.

Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil memandang putri satu-satunya itu dengan tajam sehingga Ratri telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Ratri,” berkata Ki Gede kemudian sambil menepuk pundak putrinya dengan tangan kirinya, “Sudahlah. Kembalilah ke bilikmu. Masih cukup waktu untuk beristirahat. Biarlah mbok Pariyem saja yang mengurusi kedua tamu yang berada di pendapa itu.”

“Tamu?” tanpa sadar Ratri mengulang dengan nada sedikit terkejut sambil mengangkat wajahnya.

Ki Gede menarik nafas panjang. Ada sedikit penyesalan atas keterlanjurannya menyebut tentang kedua tamunya itu. Namun semua sudah terlanjur dan Ki Gede pun menyadari sifat anak perempuan satu-satunya itu, dia pasti ingin mengetahui siapa kedua tamunya itu.

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

25

Namun Ki Gede tidak begitu khawatir dengan keberadaan kedua tamunya itu. Maka jawabnya kemudian, “Ya, Ratri. Ada dua orang tamu yang sekarang sedang berada di pendapa. Aku sudah memberi tahu mbok Pariyem untuk sekedar menjamu mereka dengan minuman hangat.”

“Aku akan membantu mbok Pariyem,” sahut Ratri cepat tanpa meminta persetujuan ayahnya sambil keluar biliknya. Sebelum melangkah menuju dapur, Ratri pun telah menutup biliknya terlebih dahulu.

Untuk beberapa saat Ki Gede hanya dapat berdiri termangu-mangu sambil mengikuti langkah anak perempuan satu-satunya itu dengan pandangan kosong. Setelah bayangan Ratri kemudian hilang di balik pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur, barulah Ki Gede melanjutkan langkahnya.

Dalam pada itu, para pengawal bersama anak-anak muda yang berjaga di gardu-gardu perondan hampir di seluruh padukuhan induk memang telah melihat panah berapi itu melesat di udara tiga kali berturut-turut.

Seorang pengawal berjambang lebat di sebuah gardu perondan di ujung lorong padukuhan induk dekat pasar telah melihat panah berapi itu.

“He?” seru pengawal yang berjambang lebat itu, “Apa aku tidak salah lihat. Ada yang melontarkan panah berapi di udara tiga kali berturut-turut!”

Kawan-kawannya yang sedang bermain mul mulan dan tidak sempat melihat panah berapi itu telah mendongakkan kepala mereka. Namun mereka sudah tidak melihat lagi panah berapi itu di langit yang gelap.

“Ah mungkin matamu saja yang salah,” desis pengawal yang bertubuh pendek, “Itu mungkin lampor atau ilu-ilu banaspati yang dengan sengaja telah menunjukkan diri kepadamu. Hati-hati, kamu bisa dimakannya.”

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

26

“Omong kosong!” sergah pengawal berjambang lebat itu sambil tetap mengawasi langit.

“He lihat!” tiba-tiba pengawal yang berjambang itu berseru kembali, “Mereka melempar panah berapi lagi!”

Serentak kawan-kawannya memandang ke langit. Dan memang benar apa yang dikatakan oleh kawannya itu. Tampak tiga larik sinar kemerah-merahan menghiasi langit yang buram.

“Kita segera berkumpul di banjar padukuhan induk!” hampir bersamaan mereka telah berseru sambil bangkit berdiri. Permainan mul mulan itu pun dengan sendirinya telah terhenti.

“Bangunkan mereka!” perintah pengawal yang tertua di antara mereka sambil menunjuk ke dalam gardu. Tampak beberapa orang sedang terlelap berselimutkan kain panjang mereka.

Seorang pengawal segera meloncat ke dekat gardu. Diguncang-guncangnya kaki-kaki para pengawal dan anak-anak muda yang sedang tidur itu.

Sambil berdesis dan menggeliat, satu persatu mereka pun kemudian dengan malasnya membuka mata. Namun beberapa di antara mereka telah menarik kain panjangnya dan meringkuk lagi.

Pengawal itu menjadi tidak sabar. Ditariknya kain-kain panjang yang digunakan untuk selimut itu sambil berteriak, “He! Bangunlah. Ada isyarat panah berapi tiga kali berturut-turut. Kita harus segera berkumpul di banjar padukuhan induk!”

Barulah para pengawal dan anak-anak muda itu terkejut. Serentak mereka segera bangkit dan kemudian duduk.

“Sisakan dua orang untuk menjaga di gardu ini,” perintah pengawal tertua itu begitu melihat mereka sudah terbangun semua, “Yang lainnya menuju ke banjar padukuhan induk. Sambil berjalan menuju padukuhan induk, jika kalian melewati rumah kawan-kawan kita yang sedang tidak bertugas, bangunkan mereka dan beri tahu untuk segera berangkat dan berkumpul di banjar padukuhan induk.”

Perintah itu sangat jelas dan tidak perlu diulangi sekali lagi.

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

27

“Bagaimana dengan kami?” tiba-tiba seorang anak muda yang berambut keriting bertanya.

Pengawal tertua itu sejenak memandang ke arahnya. Bertanya pengawal itu kemudian, “Berapa jumlah kawanmu yang ikut berjaga?”

Sejenak anak muda itu berpaling ke arah kawan-kawannya. Jawabnya kemudian, “Tiga orang.”

Pengawal tertua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bertanya kembali pengawal tertua itu kemudian, “Apakah kalian membawa senjata?”

“Kami membawanya,” hampir serentak ketika anak muda itu menjawab.

“Baiklah kalian bertiga ikut kami. Sedangkan dua pengawal di antara kita akan tinggal menjaga keadaan di gardu ini.” berkata pengawal tertua itu kemudian.

Demikianlah para pengawal bersama ketiga anak muda itupun kemudian segera berangkat menyusuri jalur jalan utama padukuhan induk menuju ke banjar.

Di tengah perjalanan tampak seorang pengawal keluar dari jalur jalan utama padukuhan induk dan kemudian berbelok ke kiri ke arah jalan yang lebih sempit. Sesampainya di ujung lorong itu, dia segera memasuki halaman sebuah rumah yang kecil namun terlihat asri.

Untuk beberapa saat pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya diketuknya pintu rumah itu.

Sekali dua kali belum ada jawaban. Barulah ketukan yang ketiga kalinya terdengar suara seseorang bergumam dari dalam rumah.

“Siapa?” terdengar suara seorang laki-laki bertanya dari dalam rumah.

“Aku kakang, Badrun,” jawab pengawal itu yang ternyata bernama Badrun.

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

28

Sejenak terdengar langkah-langkah mendekati pintu. Ketika terdengar bunyi selarak di angkat, pintu pun terbuka dan seraut wajah laki-laki tampak muncul dari balik pintu.

“Ada keperluan apa malam-malam begini?” bertanya laki-laki itu kemudian dengan suara sedikit serak.

“Maaf kakang, ada perintah untuk berkumpul di banjar padukuhan induk sekarang juga,” jawab Badrun kemudian.

Sejenak laki-laki itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Aku sedang tidak bertugas.”

“Panah berapi itu tiga kali berturut-turut, kakang. Tidak ada pengecualian, semua pengawal harus berkumpul, apapun keadaannya.”

“Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” laki-laki itu kembali bertanya.

“Aku tidak tahu, kakang,” jawab Badrun sambil menggelengkan kepalanya, “Mungkin ada hubungannya dengan kejadian siang tadi.”

“Kejadian apa?” kembali laki-laki itu bertanya dengan raut wajah keheranan.

Badrun mengerutkan keningnya sambil balik bertanya, “Apakah kakang belum mendengarnya?”

Laki-laki itu menggeleng. Katanya kemudian, “Seharian aku di rumah saja. Menunggu istriku yang sedang sakit.”

Badrun menarik nafas panjang sambil berdesis perlahan. Seolah-olah takut suaranya di dengar oleh orang selain mereka berdua, “Ki Gede telah bertempur melawan Raden Surengpati siang tadi di bulak sewaktu nganglang.”

“He?!” laki-laki itu benar-benar terkejut mendengar berita dari Badrun.

“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” bertanya laki-laki itu selanjutnya.

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

29

Untuk beberapa saat pengawal itu ragu-ragu. Namun akhirnya diketuknya pintu rumah itu.

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

30

Badrun menggeleng. Jawabnya kemudian, “Entahlah. Aku juga tidak begitu jelas peristiwa sebenarnya yang telah terjadi. Namun yang pasti Ki Gede telah membuat Raden Surengpati itu jatuh pingsan.”

Wajah laki-laki itu sejenak menegang. Namun ketika dia memandang wajah Badrun, tampak Badrun justru telah tersenyum.

Laki-laki itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Ternyata adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu bukan orang yang tak terkalahkan. Ternyata Ki Gede Matesih mampu mengalahkannya.”

Badrun sekali lagi tersenyum. Katanya kemudian, “Nah, kakang. Aku diberi tugas untuk memberi tahu kakang. Sekarang juga seluruh pengawal padukuhan induk Matesih segera berkumpul di banjar.”

Untuk beberapa saat laki-laki itu tampak mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Istriku sedang tidak enak badan dan tidak ada saudara yang menemaninya jika aku pergi. Tolong sampaikan kepada Ki Wiyaga kepala pengawal perdikan Matesih, aku ijin tidak dapat mengikuti kegiatan ini.”

“Ah,” desis Badrun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kakang, bukankah engkau telah mengambil ijin sewaktu menikah dua pekan yang lalu? Sekarang masih minta ijin lagi. Bagaimana aku harus menyampaikannya kepada Ki Wiyaga.”

Tampak wajah laki-laki itu penuh kebimbangan. Namun tiba-tiba terdengar suara perempuan dari dalam bilik, “Pergilah kakang. Aku tidak apa-apa sendirian di rumah. Pagi hari nanti ayah sudah berjanji akan datang menjengukku sekalian membuatkan kandang ayam di belakang rumah.”

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Badrun.

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

31

Badrun pun tersenyum. Kemudian sambil melangkah pergi dia berkata, “Aku berangkat dulu, kakang. Kita bertemu di banjar padukuhan induk.”

”Baiklah,” jawab laki-laki itu kemudian sambil menutup pintu rumahnya.

Demikianlah sejenak kemudian, di malam menjelang dini hari itu berbondong-bondong para pengawal dari gardu-gardu perondan dan juga dari rumah-rumah berjalan menuju ke Banjar padukuhan induk.

Dalam pada itu beberapa pengawal telah berkumpul di banjar padukuhan induk yang terletak tidak jauh dari kediaman Ki Gede. Ternyata Ki Gede telah berkenan untuk memimpin para pengawal itu sendiri. Sebagian pengawal yang sedang bertugas jaga di banjar padukuhan induk itu pun telah dibawa serta.

“Kekuatan jaga kalian memang berkurang,” berkata Ki Gede memberi pesan kepada kepala pengawal jaga malam itu, “Namun itu bukan berarti kalian boleh lengah. Tidak ada yang istirahat sampai menjelang pagi hari nanti. Semua tetap dalam keadaan siap siaga.”

“Baik Ki Gede,” jawab kepala pengawal jaga itu sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

Demikianlah ketika para pengawal yang berkumpul itu sudah mencapai tiga puluh orang, Ki Gede segera membawa mereka berangkat menuju ke gunung Tidar.

“Ki Kamituwa,” pesan Ki Gede sebelum berangkat, “Tunggulah beberapa saat lagi. Jika para pengawal sudah terkumpul lagi sekitar tiga puluh orang, kalian dapat berangkat menyusul aku.”

“Baik Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa kemudian.

Dalam pada itu, Ki Waskita yang bertempur di halaman belakang padepokan mulai merasakan tekanan lawannya yang bertubi-tubi. Lawannya yang masih muda itu mampu bergerak dengan kecepatan yang kadang tidak dapat dinalar. Pada satu kesempatan lawannya yang bertubuh tinggi besar itu menyerang

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

32

dari depan, namun ketika Ki Waskita mencoba bergerak menghindar ke arah kiri, tiba-tiba lawannya justru telah menghadangnya dengan serangan yang lain dari arah yang berbeda.

“Orang ini mampu menguasai tata geraknya dengan begitu sempurna,” desis Ki Waskita dalam hati sambil terus berloncatan menghindar, “Karena kecepatannya bergerak itulah, orang ini seakan-akan mampu berada di beberapa tempat sekaligus.”

Menyadari hal itu Ki Waskita segera mengungkapkan ilmu yang selama ini sangat akrab digunakannya untuk mengelabuhi lawan. Walaupun pada kenyataannya jika lawannya itu mempunyai ilmu pada tataran yang tinggi, dia dengan mudah akan segera dapat mengenali ilmu itu.

Demikianlah sejenak kemudian, tiba-tiba saja Ki Waskita telah meloncat ke dua arah yang berbeda. Sejenak lawannya tertegun ketika mendapatkan lawannya telah berubah ujud menjadi dua.

Namun akhirnya Putut Sambernyawa pun dengan cepat segera mengenali bayangan semu Ki Waskita.

“Permainan yang memuakkan,” geram Putut kepercayaan perguruan Sapta Dhahana itu, “Jika Ki Sanak mempertontonkan ilmu ini di halaman pasar, tentu Ki Sanak akan dikagumi banyak orang dan tentu saja akan mendapatkan banyak uang,” Putut itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun bagiku, bayangan semu Ki Sanak ini tidak banyak berarti.”

Selesai berkata demikian Putut Sambernyawa segera menerjang ujud Ki Waskita yang asli.

Namun Ki Waskita ternyata telah menggunakan ilmu semunya itu dengan sangat cerdik. Betapapun tinggi ilmu lawannya, namun lawannya tetap memerlukan waktu sekejap untuk mengenali ujud Ki Waskita yang asli.

Demikanlah, sambil menghindari serangan lawan, ujud Ki Waskita kadang berubah jadi dua, tiga atau bahkan sampai lima sekaligus. Tentu saja ini sangat menjengkelkan lawannya.

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

33

Walaupun Putut Sambernyawa itu dengan mudah menemukan ujud yang asli, namun tetap membutuhkan waktu sekejap, dan waktu yang sekejap itu telah digunakan oleh Ki Waskita untuk balas menyerang.

“Syetan, demit, gendruwo, tetekan..!” umpat Putut itu tak habis habisnya sambil mencoba menghindari serangan Ki Waskita yang datang membadai.

Dalam pada itu pertempuran di halaman depan padepokan semakin dahsyat. Raden Surengpati mulai merambah pada tataran tinggi ilmunya. Telapak tangannya bagaikan membara dan mengeluarkan asap tipis. Setiap sentuhan akan sangat membahayakan lawannya. Bukan hanya kulit saja yang dapat terkelupas, daging pun akan hangus terbakar.

Glagah Putih memang tidak mempunyai sejenis ilmu kebal seperti kakak sepupunya. Namun anak laki-laki Ki Widura itu mempunyai kecepatan gerak yang mengagumkan. Kedua aliran ilmu dari sumber yang berbeda telah luluh di dalam dirinya, ilmu dari jalur Ki Sadewa maupun dari Ki Jayaraga.

Pengalamannya semasa bergaul dengan Raden Rangga juga telah menambah perbendaharaan ilmu di dalam diri Glagah Putih. Ilmu Glagah Putih pun semakin lengkap ketika dia dan istrinya tanpa sengaja telah menemukan sebuah kitab peninggalan Kiai Namaskara.

Sedangkan Raden Surengpati bukanlah anak kemarin sore yang hanya mampu bermain loncat-loncatan. Kekalahannya dari Ki Gede Matesih beberapa saat yang lalu disebabkan oleh keragu-raguan yang sempat menyelinap di sudut hatinya. Wajah Ratri yang cantik dan manja itu telah membuatnya ragu-ragu menghadapi Ki Gede Matesih, ayah kandung Ratri sendiri.

Demikianlah, kedua anak muda itu telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Glagah Putih yang menyadari betapa berbahayanya jika kulitnya sempat tersentuh oleh telapak tangan lawannya telah memilih untuk meningkatkan kecepatan

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

34

geraknya. Sejalan dengan itu Glagah Putih pun mulai mengungkapkan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga.

Sejenak kemudian, serangan-serangan Glagah Putih berikutnya bagi lawannya rasa-rasanya bagaikan menebarkan udara yang mengandung uap air yang sangat panas. Ternyata Glagah Putih telah mengungkapkan ilmu yang dapat menyerap kekuatan api dan air sehingga setiap serangannya bagaikan mengandung uap air yang mendidih.

“Gila..!” teriak lawannya sambil meloncat menghindar, “Dari mana engkau dapatkan ilmu syetan ini, he?!”

“Tentu saja dari guruku!” jawab Glagah Putih sambil terus mendesak lawannya, “Kalau Raden sudah tidak mampu meningkatkan ilmu Raden lagi, silahkan mengambil jalan terbaik. Menyerahlah, kami akan memperlakukan setiap tawanan dengan baik. Raden akan tetap kami beri makan, minum, dan cukup istirahat, kecuali..”

Glagah Putih tidak meneruskan kata-katanya sehingga telah membuat Raden Surengpati penasaran.

“Kecuali apa?” bertanya Raden Surengpati kemudian sambil tetap bertempur.

Glagah Putih tersenyum. Jawabnya kemudian sambil lalu, “Kecuali dijenguk oleh Ratri, putri Ki Gede Matesih.”

“Cukup..!” potong Raden Surengpati sambil menerjang ke depan dan memutar tangan kanannya ke atas. Seleret cahaya api menyambar mulut Glagah Putih.

“Hampir saja,” desis Glagah Putih sambil melontarkan dirinya ke samping. Namun belum sempat kedua kaki Glagah Putih tegak dengan sempurna di atas tanah, selarik cahaya api pun kembali mengejarnya.

Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih selain merambah pada tataran tinggi ilmunya. Demikianlah sejenak kemudian ketika Glagah Putih melihat sebuah kesempatan terbuka untuk menyerang, tanah sejengkal di hadapan Raden Surengpati pun

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

35

meledak dengan dahsyatnya. Tanah bercampur dengan uap air panas pun berhamburan ke udara.

“Anak iblis..!” umpat Raden Surengpati sambil berloncatan menghindar. Ketika Glagah Putih mencoba memburu, selarik cahaya api menyambar dadanya.

Demikianlah kedua anak muda itu pun kemudian saling serang dengan kekuatan ilmu yang nggegirisi. Silih ungkih singa lena.

Dalam pada itu, beberapa tombak dari lingkaran pertempuran antara Glagah Putih melawan adik orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen, Ki Rangga Agung Sedayu sedang menyabung nyawa melawan Kiai Damar Sasangka dengan dahsyatnya.

Selapis demi selapis Ki Rangga telah meningkatkan ilmu kebalnya. Namun Ki Rangga menganggap belum saatnya untuk mencapai puncak ilmu kebalnya sehingga udara di sekitar arena pertempuran itu pun belum terasa menghangat.

Namun agaknya lawannya telah meningkatkan ilmunya selapis lagi. Tata gerak lawannya semakin rumit dan cepat. Bahkan kini pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tampak semakin mempercepat gerakan kedua tangannya. Tubuhnya pun ikut berputaran seperti sebuah kitiran. Udara di sekitar lingkaran pertempuran itu pun bagaikan ikut berputaran.

Sejenak kemudian Ki Rangga merasakan keseganan udara di sekitar arena pertempuran perlahan-lahan menyusut. Tidak dirasakannya lagi udara malam yang dingin dan segar. Udara terasa pepat dan pengap bahkan perlahan-lahan udara yang bertiup pun terasa sangat kering.

“Aneh,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil berusaha menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam. Namun yang terjadi justru sebaliknya, udara terasa sangat kering dan sama sekali tidak dapat membuat tubuhnya menjadi segar.

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

36

“Apakah ini pengaruh lontaran ilmu pemimpin perguruan Sapta Dhahana ini?” bertanya Ki Rangga dalam hati sambil memperhatikan tubuh lawannya yang bergerak berputaran dengan kedua tangannya bagaikan sebuah kitiran.

Untuk beberapa saat Ki Rangga belum dapat mengambil sebuah kesimpulan apapun. Dia tetap bertempur menghindari serangan lawan yang berputaran. Semakin lama putaran lawannya semakin cepat sejalan dengan udara yang terasa semakin kering.

Udara yang sangat kering itu terasa telah mencekik leher Ki Rangga. Beberapa kali dicobanya untuk menarik nafas panjang, namun usahanya itu selalu gagal. Semakin lama dadanya terasa semakin pepat dan nafasnya pun menjadi pendek dan tersengal-sengal.

“Gila,” geram Ki Rangga dalam hati, “Orang ini mampu menyerap air yang terkandung dalam udara. Udara menjadi sangat kering di sekitar arena pertempuran ini. Aku benar-benar kesulitan untuk memenuhi rongga dadaku dengan udara segar.”

Disaat udara terasa semakin kering itulah, tiba-tiba di benak Ki Rangga terlintas sebuah ilmu yang mungkin dapat digunakan untuk melawan ilmu lawannya.

“Semoga ilmu dari kitab peninggalan Empu Windujati ini akan mampu mengurangi keringnya udara,” berkata Ki Rangga dalam hati.

Sejenak kemudian, tanpa diketahui dari mana datangnya, selembar kabut tipis tampak turun di arena pertempuran Ki Rangga melawan Kiai Damar Sasangka.

Pada awalnya pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu mengira kabut tipis yang turun di tempat itu adalah kabut sewajarnya. Malam memang sangat dingin di bukit Tidar. Adalah sangat wajar jika di saat-saat seperti itu ada kabut yang turun di tempat itu.

“Walaupun kabut turun di tempat ini, tidak akan mempengaruhi ilmuku untuk membuat udara di sekitar ini

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

37

menjadi sangat kering,” berkata Kiai Damar Sasangka dalam hati sambil terus menyerang lawannya dengan putaran udara yang aneh.

Namun Kiai Damar Sasangka menjadi berdebar debar ketika kabut yang turun itu semakin banyak. Kabut yang banyak mengandung uap air itu ternyata telah membuat udara di sekitar arena pertempuran menjadi segar kembali. Ki Rangga pun tidak lagi merasakan tenggorokannya seperti tercekik.

“Luar biasa..!” seru Kiai Damar Sasangka kemudian sambil meloncat mundur mengambil jarak.

Ki Rangga yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha untuk mengejar. Dibiarkan saja lawannya itu menilai keadaan.

“Sekarang aku benar-benar mengakui nama besar senapati agul-agulnya Mataram,” berkata Kiai Damar Sasangka kemudian sambil bertolak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, “Pada tingkatan ilmuku ini, biasanya lawan sudah tidak akan mampu lagi untuk bertahan. Udara yang sangat kering akan mencekiknya sehingga dia tidak akan mampu bernafas lagi dengan sempurna. Dengan sebuah serangan kecil saja, aku akan mudah untuk melumpuhkannya.”

“Terima kasih atas pujian Kiai,” sahut Ki Rangga sambil tersenyum, “Ilmu Kiai benar-benar sudah jarang ada duanya. Aku hampir berputus-asa untuk mengatasi udara yang sangat kering tadi.”

Kiai Damar Sasangka tersenyum kecut. Katanya kemudian, “Jangan berbangga dulu Ki Rangga. Agaknya kali ini aku harus melepaskan ilmu pamungkasku.”

Sejenak pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tampak mendongakkan kepalanya melihat ke langit. Gumamnya kemudian perlahan seperti ditujukan kepada diri sendiri, “Sayang bulan tua masih muncul sehingga ilmuku tidak benar-benar pada puncaknya.”

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

38

“O,” sahut Ki Rangga yang mendengar gumam lawannya itu sambil ikut menengadahkan wajahnya. Di antara mendung tipis yang berpencaran, tampak bulan tua yang melengkung tipis.

“Apakah Kiai bermaksud untuk menunda pertempuran ini sambil menunggu malam benar-benar gelap tanpa bulan?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Persetan!” geram Kiai Damar Sasangka, “Jangan engkau mengira ilmuku tergantung keadaan bulan. Ilmuku adalah ilmu yang memerlukan laku khusus yang tidak ada duanya di muka bumi ini. Dengan demikian ilmuku sudah sempurna dan tidak tergantung dengan keadaan apapun juga.”

Selesai berkata demikian, Kiai Damar Sasangka segera meloncat mundur lagi untuk mengambil jarak. Hanya sekejab pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tampak menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Sekejap tampak asap putih menyelimuti sekujur tubuhnya, semakin lama semakin tebal.

“He?” seru Ki Rangga dalam hati dengan penuh keheranan menyadari perubahan yang mencolok pada tubuh lawannya, “Mungkinkah ini ilmu pamungkas Kiai Damar Sasangka?”

Ki Rangga pun segera meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak. Sejenak kemudian udara di sekitar itu mulai terasa panas.

Tiba-tiba asap tebal yang menyelimuti tubuh Kiai Damar Sasangka terlihat mulai membara. Sekejap kemudian, didahului dengan suara ledakan kecil, tiba-tiba tubuh pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu tampak menyemburkan api ke segala arah. Tubuh Kiai Damar Sasangka itu tidak lagi diselimuti oleh asap tebal, melainkan api yang dahsyat berkobar-kobar.

“Luar biasa!” seru Ki Rangga dalam hati dengan penuh takjub, “Ternyata inilah ilmu Sapta Dhahana itu. Ilmu yang berlandaskan pada kekuatan api yang berasal dari alam kegelapan. Ilmu yang bersumber pada kepercayaan terhadap api sebagai sumber dari segala sumber kekuatan.”

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

39

Menyadari hal itu Ki Rangga segera mengurai cambuk yang melilit pinggangnya. Dia harus menggunakan senjata yang mempunyai jangkauan jauh untuk menyentuh tubuh lawannya yang telah berubah menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan itu. Ki Rangga harus menjaga jarak karena dia belum mengetahui sejauh mana pancaran api dari tubuh lawannya itu dapat menembus ilmu kebalnya.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Raden Surengpati yang menyaksikan kedahsystan ilmu Sapta Dhahana telah berloncatan mundur mengambil jarak. Mereka berdua telah terpesona dengan kemampuan Kiai Damar Sasangka untuk mengungkapkan sejenis ilmu yang sudah sangat langka. Tubuh pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu benar-benar telah berubah ujud menjadi hantu api sebesar gardu perondan.

“Semoga kakang Agung Sedayu mampu mengatasi hantu api itu,” berkata Glagah Putih dalam hati dengan jantung yang berdebaran.

Sedangkan Raden Surengpati yang berdiri beberapa langkah dari Glagah Putih telah tersenyum penuh kebanggaan.

“Tidak salah kakanda Wirasena memilih perguruan Sapta Dhahana sebagai kawan seperjuangan,” berkata Raden Surengpati kemudian dalam hati, “Malam ini benar-benar akan menjadi malam terakhir bagi agul-agulnya Mataram itu.”

Namun tiba-tiba terselip sebuah keraguan di hati adik orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.

“Apakah ilmu Kiai Damar Sasangka ini akan mampu melawan ujud semu Ki Rangga?” bertanya Raden Surengpati kemudian dalam hati dengan jantung yang berdebaran. Tidak menutup kemungkinan Ki Rangga akan segera mengetrapkan ilmu semunya.

Sebagai orang yang melihat sendiri kedahsyatan ujud semu Ki Rangga ketika melawan Ki Kebo Mengo, hati Raden Surengpati menjadi sedikit ragu-ragu.

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

40

Namun keraguan itu segera ditepisnya sendiri. Berkata Raden Surengpati itu selanjutnya dalam hati, “Tentu Kiai Damar Sasangka akan dapat memecahkan rahasia ilmu semu Ki Rangga, atau justru Ki Rangga akan segera terbunuh sebelum sempat mengetrapkan ilmu semunya itu.”

Berpikir sampai disitu, Raden Surengpati segera berpaling ke arah Glagah Putih yang tampak masih tertegun keheranan melihat ujud Kiai Damar Sasangka.

“Nah, Glagah Putih,” berkata Raden Surengpati kemudian sambil tertawa kecil, “Kita tidak usah ikut campur urusan mereka itu. Kita selesaikan saja urusan kita sendiri.”

“Baiklah Raden,” jawab Glagah Putih sambil beringsut setapak mempersiapkan diri, “Aku sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini. Aku masih banyak urusan di Perdikan Matesih.”

“Tutup mulutmu!” bentak Raden Surengpati dengan wajah memerah darah, “Jangan mengigau. Engkau tidak akan pernah keluar dari padepokan ini dalam keadaan hidup.”

Tetapi Glagah Putih justru telah tertawa. Sebuah tawa yang terdengar sangat menyakitkan hati di telinga lawannya.

Namun lawannya tidak membiarkan Glagah Putih menyelesaikan tawanya. Sebuah serangan yang dahsyat segera melandanya.

Dalam pada itu Kiai Damar Sasangka agaknya sudah bersiap menyerang lawannya. Sejenak kemudian terdengar suara tawa yang berkepanjangan. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu bagaikan telah menjelma menjadi hantu bertubuh api. Ketika dia kemudian menggerakkan tangannya, seleret api meluncur dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata menerjang Ki Rangga.

Ki Rangga terkejut bukan alang kepalang. Dengan mengerahkan kemampuan untuk mengurangi bobot tubuhnya, Ki Rangga pun berloncatan untuk menghindari serangan lawan.

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

41

Namun serangan itu kemudian datang beruntun tidak ada putus-putusnya. Sambil berdiri tegak di tempatnya, hantu bertubuh api itu tak henti-hentinya menggerakkan kedua tangannya mengeluarkan sinar api yang meluncur susul-menyusul menyerang lawannya.

Ki Rangga benar-benar harus mengerahkan kelincahannya untuk menghindari serangan lawan. Ki Rangga belum berani mencoba sejauh mana ilmu kebalnya dapat menahan panasnya ilmu api lawannya.

Dalam pada itu, di antara rumah-rumah yang berjajar-jajar di depan pasar dukuh Salam, beberapa laki-laki yang sebagian berwajah keras tampak sedang mendekati regol sebuah rumah yang tidak seberapa besar.

“Diselarak dari dalam,” desis orang yang berperawakan tinggi dan kurus sambil mencoba mendorong pintu regol.

“Minggirlah!” tiba-tiba terdengar suara yang mirip burung hantu menghardiknya, “Serahkan kepadaku. Membuka pintu yang di selarak adalah sebuah permainan kanak-kanak. Aku akan membukanya hanya dengan sekali sentuhan.”

Berdesir dada orang tinggi kurus itu. Ada rasa ketersinggungan mendengar kata-kata orang itu. Namun dia segera surut selangkah, membiarkan orang itu melakukannya.

Sejenak orang yang suaranya mirip burung hantu itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dengan membusungkan dadanya, telapak tangan kanannya pun kemudian mendorong daun pintu regol yang diselarak dari dalam itu.

Sejenak kemudian terdengar suara kayu yang mulai berderak patah. Dengan menghentakkan tenaganya, orang yang suaranya mirip burung hantu itu pun kemudian mendorong daun pintu regol sehingga terbuka lebar.

Beberapa orang yang melihat kejadian itu telah menarik nafas dalam-dalam. Sebuah pameran kekuatan yang cukup

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

42

mengejutkan, namun bagi Ki Jagabaya perdikan Matesih, itu hanyalah pameran kekuatan untuk menakut-nakuti kanak-kanak.

“Marilah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah masuk, “Kita akan bertamu secara baik-baik dan membawa Nyi Selasih dan putranya secara baik-baik pula.”

Ketika mereka kemudian menaiki tlundak pendapa kecil di rumah itu, dengan sedikit keras Ki Jagabaya pun mulai mengetuk pintu.

Ki Jagabaya harus mengulang beberapa kali sampai terdengar suara seorang laki-laki tua yang terbatuk-batuk.

Sejenak terdengar seseorang berjalan tertatih-tatih sebelum akhirnya orang itu berkata dari balik pintu, “Siapa?”

“Aku, Ki Jagabaya perdikan Matesih,” jawab Ki Jagabaya sedikit keras.

“O, Ki Jagabaya kiranya,” terdengar suara itu sedikit terkejut. Sejenak kemudian terdengar selarak pintu dibuka dan muncullah seraut wajah tua di hadapan mereka, wajah tua ayah Nyi Selasih

Untuk beberapa saat orang tua itu justru telah terkejut sehingga hanya dapat berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu. Dia benar-benar tidak menyangka di tengah malam menjelang dini hari yang sepi itu akan mendapat tamu beberapa laki-laki yang tidak dikenalnya kecuali Ki Jagabaya perdikan Matesih dan seseorang yang rasa-rasanya dia pernah mengenalnya.

“Apakah kami tidak dipersilahkan masuk?” tiba-tiba Ki Jagabaya menyeletuk sehingga membuat orang tua itu terkejut bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk.

Sejenak orang tua itu mengerutkan keningnya. Setelah berpaling ke belakang, barulah dia menjawab, “Sebaiknya kita berbicara di pendapa saja.”

Ki Jagabaya sejenak berpaling ke arah kawan-kawannya untuk meminta pertimbangan. Namun sama sekali tidak ada kesan yang tergores di wajah mereka.

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

43

“Apakah kami tidak dipersilahkan masuk?” tiba-tiba Ki Jagabaya menyeletuk sehingga membuat orang tua itu terkejut bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk.

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

44

Demikianlah sejenak kemudian Ki Jagabaya dan kawan-kawannya segera menempatkan diri duduk di pendapa di atas sehelai tikar pandan yang agak usang. Lampu dlupak yang redup tergantung di tengah-tengah pendapa menyinari wajah Ki Jagabaya dan kawan-kawannya yang terlihat buram.

Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, barulah ayah Nyi Selasih itu kemudian menanyakan maksud kedatangan mereka.

“Aku benar-benar tidak menyangka malam-malam begini akan mendapat tamu sebanyak ini,” berkata orang tua Nyi Selasih kemudian, “Tentu ada sesuatu yang sangat penting yang telah membawa Ki Jabagaya dan semua Ki Sanak ini ke gubukku.”

“Maafkan kami sebelumnya yang telah menggangu istirahat keluarga ini,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “Kedatangan kami ke rumah ini adalah atas perintah Ki Gede Matesih.”

Orang tua itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanyanya kemudian, “Sedemikian pentingkah sehingga harus disampaikan dalam keadaan seperti ini?”

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga hatinya sedikit tergetar setiap memandang wajah tua itu. Wajah yang sederhana dan tidak neko-neko.

“Maafkan kami sekali lagi,” jawab Ki Jagabaya kemudian sambil mengeraskan hatinya, “Kami diutus oleh Ki Gede untuk menjemput Nyi Gede dan putranya.”

“He!” seru orang tua itu dengan suara sedikit tertahan. Dia benar-benar tidak menyangka jika tujuan orang-orang itu datang ke rumahnya adalah untuk menjemput anak perempuan dan cucunya.

“Mengapa?” hanya pertanyaan itu yang terucap dari bibir yang sudah keriput. Selebihnya hanya tampak wajah yang murung dan memelas.

“Keadaan sudah sedemikian gawatnya Ki,” berkata Ki Jagabaya berusaha memberi penjelasan, “Orang-orang yang

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

45

mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu agaknya akan berusaha menguasai perdikan Matesih sebagai pancadan perjuangan mereka. Dengan dukungan penuh padepokan Sapta Dhahana, mereka akan menggulingkan Mataram.”

Kerut merut orang tua itu semakin dalam. Berkata orang tua itu sambil menghela nafas panjang, “Ketamakan hati manusia yang ternyata justru membuat sengsara manusia yang lain. Anak dan cucuku tidak mengetahui dan sama sekali tidak berurusan dengan orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen. Aku sebagai ayahnya hanya ingin melihat anak dan cucuku dapat menggapai kebahagiaan menjadi bagian dari rumah tangga Ki Gede Matesih.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam lamunan mereka. Betapa sesungguhnya harapan orang tua itu sangat sederhana dan tidak muluk-muluk.

“Maafkan aku sekali lagi, Ki,” berkata Ki Jagabaya kemudian memecah kesunyian, “Apapun yang terjadi, perintah Ki Gede adalah jelas. Kami berempat harus membawa Nyi Gede sekarang juga.”

Ayah Nyi Selasih itu kembali tertegun. Tanpa sadar diedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Wajah-wajah itu sama sekali tidak dikenalnya kecuali Ki Jagabaya perdikan Matesih dan seseorang yang rasa-rasanya pernah dikenalnya, namun entah di mana.

Tiba-tiba jantung orang tua itu berdesir tajam. Betapa wajah-wajah itu terlihat di mata ayah Nyi Selasih bagaikan batu-batu padas di gerojokan, wajah-wajah yang kasar dan terlihat sedikit liar.

“Siapakah sebenarnya mereka itu?” pertanyaan itu yang bergelayut di dalam dada Ayah Nyi Selasih.

“Bagaimana Ki?” desak Ki Jagabaya membangunkan orang tua itu dari lamunannya.

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

46

“Ki Jagabaya,” jawab orang tua itu kemudian, “Bukannya aku tidak percaya dengan Ki Jagabaya, namun dulu pada saat Ki Gede meminang anakku, Ki Gede sendiri yang datang kemari. Sekarang aku harap Ki Gede sendirilah yang datang untuk memboyong anak dan cucuku.’

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah kawan-kawannya. Ketiga orang itu pun telah menampakkan wajah yang tegang.

“Apakah tidak ada jalan lain, Ki?’ bertanya Ki Jagabaya kemudian.

“Maksud, Ki Jagabaya?” sahut orang tua itu cepat.

“Ki Gede sangat sibuk mengatur para pengawal serta para bebahu perdikan Matesih,” Ki Jagabaya berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menyadari kesibukannya, Ki Gede telah mengutus aku untuk menjemput Nyi Gede. Jika alasan ini memang tidak dapat diterima, sebaiknya Ki Prana beserta Nyi Selasih dan putranya sekalian kami boyong bersama-sama.”

Tawaran itu sebenarnya terdengar sangat wajar. Namun entah mengapa panggraita Ki Prana, ayah Nyi Selasih telah memberikan isyarat yang mendebarkan.

Namun akhirnya Ki Prana pun harus memberikan tanggapannya. Maka berkata Ki Prana kemudian, “Terima kasih Ki Jagabaya atas tawaran tersebut. Namun entah mengapa aku lebih senang menunggu Ki Gede sendiri yang akan menjemput anak cucuku.”

“Persetan!” tiba-tiba mereka yang duduk di pendapa itu terkejut ketika salah satu kawan Ki Jagabaya itu mengumpat. “Kita tidak usah berputar-putar, Ki Jagabaya. Kita sudah terlalu lama membuang waktu. Sebaiknya kita cekik saja orang tua yang banyak cakap ini sampai mampus. Kemudian Nyi Gede dan anaknya segera kita bawa sebagai sandera.’

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

47

Jika saja ada guntur meledak di langit saat itu, tentu tidak akan membuat Ayah Nyi Selasih sekaget itu. Tanpa sadar dia telah bergeser setapak mudur dari tempat duduknya.

Agaknya Ki Jagabaya pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. maka katanya kemudian, “Baiklah Ki Prana. Sebenarnya kami telah berlaku cukup baik untuk membawa Nyi Gede dan anaknya malam ini. Namun karena tingkah polahmu sendiri yang rewel, terpaksa kami menempuh jalan kekerasan.”

Berdesir dada orang tua itu. Ternyata panggraitanya cukup tajam menghadapi keberadaan orang-orang tak dikenal itu. Namun permasalahannya sekarang adalah, di rumah itu hanya ada tiga laki-laki, dirinya sendiri, Gandhung pembantu rumah tangganya yang berbadan seperti raksasa namun agak dungu dan cucu laki-lakinya yang masih kanak-kanak.

Di saat yang menggelisahkan itulah, tiba-tiba dari samping rumah terdengar seseorang bergumam. Ketika mereka yang berada di pendapa itu kemudian berpaling, tampak seseorang yang bertubuh raksasa muncul sambil menjinjing tombak pendek di tangan kanannya dan sebilah pedang di tangan kirinya.

“Gandhung!” seru Ki Prana dengan nada gembira. Hatinya yang tinggal semenir itu bagaikan mengembang kembali karena tersiram banyu sewindu.

“He, kau gajah dungu!” tiba-tiba Ki Jagabaya yang mengenal Gandhung telah ikut berseru, “Apa kerjamu di sini, he?”

Gandhung yang berjalan tersuruk-suruk di sisi pendapa itu tidak menjawab. Setelah menaiki tlundak samping pendapa, barulah dia menjawab, “Aku di sini atas perintah Ki Gede untuk menjaga Ki Prana dan keluarganya.”

Jawaban itu telah membuat wajah Ki Jagabaya dan kawan-kawannya merah padam menahan kemarahan yang menghentak dada. Sebaliknya bagi Ki Prana, jawaban Gandhung itu telah menguatkan dugaannya sejak semula bahwa Ki Gede memang dengan sengaja telah menempatkan Gandhung di rumahnya dengan suatu tujuan.

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

48

Melihat Gandhung sudah menaiki pendapa, dengan cepat Ki Prana segera meloncat berdiri dan kemudian setengah berlari menghampiri Gandhung.

Gandhung yang melihat Ki Prana melangkah ke arahnya segera mengulurkan pedang di tangan kirinya.

“Ini senjatamu, Ki Prana,” berkata Gandhung sambil mengulurkan pedang di tangan kirinya, “Kita harus berhati-hati menghadapi ular kepala dua. Jika patukan salah satu kepalanya sudah dapat kita hindari, tidak menutup kemungkinan kepala yang satunya telah bersiap menggigit kita pula.’

“Tutup mulutmu Gandhung!” geram Ki Jagabaya sambil meloncat berdiri yang serentak diikuti oleh kawan-kawannya.

“Kita akan bertempur!” geram kawan Ki Jagabaya yang bersuara mirip seekor gagak yang telah melangkah mendekati Ki Prana, “Dan jangan pernah berbelas kasihan kepada musuh-musuh kita. Sudah menjadi kebiasan kita untuk tidak memberikan ampun kepada lawan-lawan kita!”

Sadarlah Ki Prana sekarang bahwa yang dihadapinya adalah sekelompok orang-orang yang sudah terbiasa hidup dalam dunia kelam.

Ki Prana yang menyadari kalah jumlah segera berbisik kepada Gandhung, “Gandhung, kita turun ke halaman agar lebih leluasa. Kita bertempur berpasangan beradu punggung.”

Gandhung segera tanggap maksud Ki Prana. Dengan sebuah bentakan nyaring tiba-tiba saja ujung tombaknya bergerak mematuk dada salah seorang lawannya yang berdiri paling dekat.

Orang itu terkejut mendapat serangan tiba-tiba dari Gandhung. Tanpa berpikir panjang dia segera meloncat mundur.

Melihat kesempatan yang terbuka lebar, Ki Parana dan Gandhung pun segera meloncat menghambur ke halaman.

Ketika Ki Jagabaya dan kawan-kawannya menyadari apa yang telah terjadi, mereka pun kemudian segera berlari menyusul dan

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

49

mengepung Ki Prana dan Gandhung yang terlebih dahulu telah berada di halaman.

Sejenak kemudian Ki Jagabaya dan kawan-kawannya segera mencabut senjata masing-masing. Tanpa memberi kesempatan kepada Ki Prana dan Gandhung, serangan mereka pun segera datang silih berganti.

“Kita selesaikan kedua orang ini secepat mungkin!” teriak Ki Jagabaya sambil memutar senjatanya menerjang lambung Gandhung.

Namun raksasa itu walaupun orang-orang menganggapnya dungu, ternyata sangat tangkas menyambut serangan Ki Jagabaya. Dengan landeyan tombak pendeknya dia menangkis senjata lawannya. Ketika benturan itu kemudian terjadi, dengan cepat landeyan tombak itu bergerak menghantam wajah Ki Jagabaya.

Tentu saja Ki Jagabaya tidak ingin wajahnya remuk. Dengan menarik kaki depannya selangkah mundur, landeyan tombak itu meluncur sejengkal di depan wajahnya. Ketika Gandhung mencoba memburu lawannya yang melangkah mudur, sebuah ujung pedang lawannya yang berdiri di kanan Ki Jagabaya telah terjulur lurus mengarah dada.

Gandhung yang sudah bersiap melangkah maju segera mengurungkan serangannya. Dengan memutar tubuhnya ke kiri, ujung tombak pendeknya mencoba menggores lengan lawannya yang sedang menjulurkan senjata ke arahnya.

Agaknya lawan tidak ingin mengurungkan serangannya. Untuk menghindari goresan ujung tombak itu dia hanya merendahkan dirinya serendah-rendahnya. Sementara ujung senjatanya tetap meluncur mengarah dada.

Pada saat yang gawat itulah pedang Ki Prana kemudian dengan kerasnya menangkis senjata yang terjulur ke arah dada Gandhung. Terdengar dentingan keras dua senjata yang beradu. Bunga api pun memancar menerangi gelapnya malam.

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

50

Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Keempat orang pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu dengan dahsyatnya berusaha menggempur pertahanan Ki Prana dan Gandhung. Namun kedua orang itu bukanlah anak kemarin sore yang silau dan menangis melihat kilauan senjata. Mereka berdua telah kenyang makan asam garamnya pertempuran. Ki Prana adalah bekas prajurit Demak yang telah purna. Sedangkan Gandhung adalah pengawal khusus Ki Gede Matesih yang sengaja ditempatkan di rumah Ki Prana untuk menjaga segala kemungkinan.

Semakin lama pertempuran itu terlihat semakin berat sebelah. Bagaimana pun juga tenaga Ki Prana sudah jauh menyusut. Dia bukan lagi prajurit wira tamtama yang gagah perkasa seperti di masa mudanya. Semakin lama pertempuran berlangsung, semakin terasa tenaga Ki Prana semakin melemah dan pernafasannya pun mulai terganggu.

“Gila!” geram Ki Prana dalam hati sambil merunduk menghindari sambaran senjata lawannya, “Aku bisa mati kehabisan nafas. Aku tidak boleh terpancing dengan gerakan lawan. Kelihatannya mereka sengaja memancing aku untuk bergerak terus sehingga tenagaku akan cepat terkuras habis.”

Berpikir sampai disitu, Ki Para segera mendekat ke arah Gandhung sambil berbisik, “Gandhung, kita bertukar senjata. Aku memerlukan senjata panjang agar tidak terpancing untuk banyak bergerak.”

Gandhung segera menyadari akan maksud Ki Parana. Maka jawabnya kemudian juga sambil berbisik, “Baiklah Ki Prana. Dalam hitungan ketiga, kita bertukar senjata.”

Sejenak kemudian tiba-tiba saja Gandhung telah memutar ujung tombaknya sambil berteriak, “Satu..!”

Mendengar Gandhung telah memulai menghitung, Ki Prana segera meloncat mendekat sambil memutar pedangnya bagaikan kitiran untuk menahan serangan lawan.

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

51

“Dua..!” teriak Gandhung kemudian sambil bergeser ke kanan. Ujung tombaknya pun bergerak ke atas dan ke bawah dengan sangat cepat bagaikan sebuah pagar yang tak tertembus.

Ki Jagabaya dan kawan-kawannya untuk beberapa saat belum mampu menangkap maksud dari rencana lawannya. Mereka hanya menunggu sambil terus memberikan serangan-serangan dari segala arah.

“Tiga..!”

Begitu suara teriakan Gandhung lenyap, kedua senjata itu sudah berpindah tangan. Sebelum lawan-lawannya menyadari apa yang terjadi, tombak di tangan Ki Prana telah terjulur dan menggores dada lawan yang berada di dekatnya.

Lawannya benar-benar tidak mengira bahwa senjata Ki Prana telah berganti menjadi sebuah tombak pendek. Tentu saja sebuah tombak pendek mempunyai jangkauan yang berbeda dengan sebuah pedang. Begitu ujung tombak itu terjulur ke arah dadanya, lawan Ki Prana sangat terkejut bukan buatan. Namun dia masih sempat meloncat menjauh. Walaupun begitu ujung tombak itu masih sempat menggores lengan kirinya.

“Iblis..!” teriak lawan Ki Prana itu sambil sekali lagi meloncat menjauh. Ketika Ki Prana mencoba maju selangkah sambil menjulurkan tombaknya sejauh-jauh jangkauan tangannya, sebuah pedang ternyata telah menangkisnya.

Demikianlah, kedua orang itu telah berganti senjata. Ki Prana tidak perlu lagi berloncat-loncatan menghindari serangan lawan-lawannya. Dengan senjata yang mempunyai jangkauan lebih panjang, Ki Prana mempunyai banyak kesempatan untuk menghemat tenaga dan mengatur pernafasannya.

Pertempuran pun kemudian berlangsung dengan cukup seimbang. Salah satu lawan yang telah tergores ujung tombak Ki Prana itu ternyata telah sempat menaburkan sejenis serbuk obat di atas luka itu. Sejenak kemudian, orang itu pun telah terlibat lagi dalam pertempuran.

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

52

Menyadari keseimbangan pertempuran telah berubah, Ki Jagabaya menggeram keras-keras. Hatinya benar-benar gelisah. Dia dan kawan-kawannya harus berpacu dengan waktu sebelum Ki Wiyaga dan para pengawal utusan Ki Gede Matesih sampai di tempat itu.

Tiba-tiba suatu akal licik terlintas dalam benak Ki Jagabaya. Maka katanya kemudian setengah berbisik kepada kawannya yang bertempur di sebelahnya, “Tinggalkan tempat ini. Masuki rumah itu dan cari Nyi Gede dan putranya. Kita jadikan mereka sebagai sandera agar mereka segera menyerah.”

Perintah itu tidak perlu diulang lagi. Dengan sekali loncat orang itu segera melepaskan diri dari pusaran pertempuran. Sambil menyarungkan senjatanya, dia segera berlari menyeberangi pendapa untuk kemudian memasuki rumah itu.

“Gila!” teriak Ki Prana keras-keras, “Apa yang akan engkau lakukan, he?!”

Namun orang yang berlari menuju rumah itu sudah membuka pintu pringgitan dan kemudian menghilang.

Menggelegak darah Ki Prana sampai ke ubun-ubun. Dengan menghentakkan segenap kekuatannya dia mencoba lolos dari pertempuran itu untuk menyusul lawan yang telah memasuki rumah.

“Tenanglah Ki Prana,” berkata Ki Jagabaya sambil terus berusaha menahan lawannya agar tidak meninggalkan medan, “Bukankah engkau masih ingat orang itu? Kawanku itu sangat paham bagaimana caranya memperlakukan seorang perempuan. Apalagi sebelum dinikahi oleh Ki Gede, anak perempuanmu itu sudah cukup lama menjanda. Dan akhir-akhir ini pun Ki Gede agaknya jarang mengunjunginya. Bukankah sudah sewajarnya jika anak perempuanmu itu mendapat perhatian dan perlakuan yang khusus dari kawanku tadi?”

“Gila! Gila..! Gilaa!” teriak Ki Parana dengan dada yang pepat karena menahan kegelisahan yang sangat.

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

53

Sedang Gandhung yang bertempur di sebelah Ki Prana tak kalah gelisahnya. Dia telah diberi kepercayaan oleh Ki Gede untuk melindungi keluarga itu. Namun sekarang dia benar-benar tidak berdaya menghadapi serangan-serangan lawan-lawannya.

Sebenarnya ada niat dari Gandhung untuk lolos meninggalkan lingkaran pertempuran. Namun hal itu tentu saja tidak mungkin dilakukannya. Jika dia nekat meninggalkan pertempuran, dalam hitungan yang tidak lebih banyak dari jumlah jari-jari tangannya, Ki Prana tentu akan mengalami tekanan yang tak tertahankan.

Dalam pada itu, kawan Ki Jagabaya yang masuk rumah melalui pintu pringgitan segera menerobos ruang tengah. Ketika dia sedang mencari-cari bilik Nyi Gede dan putranya, tiba-tiba telinganya yang sangat tajam lamat-lamat mendengar isak tangis yang tertahan-tahan dari arah ruang dalam.

Orang itu tersenyum, sebuah senyum yang mirip seringai serigala. Dengan langkah yang mantap diayunkan kakinya menuju ke ruang dalam.

Ketika dia kemudian membuka pintu ruang tengah yang berbatasan dengan ruang dalam, suara isak tangis itu terdengar semakin jelas namun tetap tertahan-tahan.

“Hem,” orang itu berdesah dalam hati sambil berkali-kali menelan ludah. Entah mengapa tiba-tiba saja darah yang mengalir di sekujur tubuhnya telah menghangat dan membuat nafasnya menjadi sedikit memburu.

“Inilah kesempatan bagiku untuk membalas dendam,” desis orang itu dalam hati sambil terus berjalan berjingkat menuju ke arah satu-satunya bilik yang terdapat di ruang dalam. Dari bilik itulah suara tangis yang tertahan itu terdengar.

Tiba-tiba dalam benak orang itu telah terlintas sebuah pikiran yang sangat kotor. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk dia segera mengetuk pintu bilik yang tampaknya diselarak dengan rapat dari dalam.

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

54

Ketukan itu memang sangat perlahan namun telah membuat jantung Nyi Selasih bagaikan copot dari tangkainya.

Namun dengan sekuat tenaga dicobanya untuk bertanya, walaupun suaranya terdengar parau dan tercekat di tenggorokan.

“Siapa..?” bertanya Nyi Selasih kemudian dengan suara perlahan dan sedikit parau sambil mendekap anak laki-lakinya yang tertidur lelap di atas amben.

Mendengar suara perempuan yang sedikit serak itu, darah kawan Ki Jagabaya itu terasa mendidih dan menggelegak membakar sekujur tubuhnya. Ada desakan dahsyat yang ingin segera dituntaskan menggelepar-gelepar di dalam dadanya.

“Aku Nyi,” orang itu mencoba menjawab dengan suara tersamar agar tidak menimbulkan kecurigaan Nyi Gede.

“Aku siapa?” kembali terdengar suara dari dalam bilik. Kali ini suara itu agak sedikit tenang.

Untuk sejenak tidak terdengar jawaban. Agaknya orang itu sedang mereka-reka jawaban untuk meyakinkan Nyi Gede. Akhirnya terdengar jawaban dari balik pintu dengan nada suara yang datar dan pelan, “Aku Nyi, pengawal dari Matesih. Semuanya sudah berakhir dan aku diperintah untuk menjemput Nyi Gede.”

Nyi Gede yang sedang memeluk anaknya itu sejenak tertegun. Namun setelah berpikir sesaat, dia segera bangkit dan kemudian duduk di bibir pembaringan. Dibenahinya kain dan baju serta sanggulnya terlebih dahulu sebelum bangkit berdiri dan menuju ke pintu.

“Siapa tahu orang ini benar-benar pengawal Matesih yang dikirim kemari,” demikian pikir Nyi Selasih mencoba menghilangkan kecurigaan sambil berjalan mendekati pintu.

Namun ternyata panggraita seorang perempuan sangatlah tajam. Begitu langkahnya tinggal sejengkal dari pintu bilik dan tangan kanannya sudah meraba selarak pintu, dia mendengar sesuatu yang aneh. Sesuatu yang telah membuat bulu kuduknya berdiri.

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

55

Dari balik pintu bilik itu Nyi Selasih dengan sangat jelas dapat mendengar deru nafas yang memburu. Nafas dari seorang laki-laki yang sedang dalam puncak gairahnya. Nyi Selasih yang telah mengalami berumah tangga sebanyak dua kali itupun sudah sangat paham dengan deru nafas seperti itu.

Menyadari bahaya yang mungkin dapat menyergapnya setiap saat, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Keringat dingin segera saja membasahi sekujur tubuhnya. Kedua lututnya lemas dan rasa-rasanya sudah tidak bertulang lagi. Degup jantungnya yang melonjak-lonjak tak terkendali ternyata telah membuat kepalanya menjadi pening dan matanya berkunang-kunang.

Ketika Nyi Selasih kemudian mencoba melangkah mundur, kedua kakinya benar-benar tidak mampu untuk digerakkan sama sekali. Dengan demikian hanya tubuhnya saja yang condong ke belakang tanpa ada tumpuan sama sekali. Sejenak kemudian dengan sebuah jeritan kecil yang tertahan, Nyi Selasih pun jatuh terjerembab di lantai bilik yang dingin.

Tepat pada saat Nyi Selasih jatuh terjerembab, sesosok bayangan ramping yang berpakaian serba gelap dengan penutup wajah meloncat masuk melalui jendela yang telah dibuka paksa.

Sejenak orang bertubuh ramping dengan penutup wajah itu termangu-mangu. Namun begitu didengarnya suara gedoran di pintu bilik, dia segera menyelinap ke arah sisi pintu yang berlawanan dengan arah selarak pintu.

“Nyi? Nyi Selasih? Engkau tidak apa-apa?” terdengar suara bergetar dari balik pintu. Namun tidak terdengar jawaban sama sekali.

Agaknya orang itu sudah benar-benar tidak sabar. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, pintu bilik itu dihentakkan sekuat tenaga. Sejenak kemudian terdengar suara selarak pintu yang berderak-derak patah.

Begitu pintu bilik terbuka sejengkal, dengan bergegas orang itu segera mendorong pintu bilik dan melangkah masuk.

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

56

Namun alangkah terkejutnya orang itu begitu mendapatkan Nyi Selasih tergolek diam di atas lantai yang dingin.

“Alangkah malang nasibmu Nyi Selasih,” desis orang itu dengan nafas yang semakin memburu melihat Nyi Selasih tergolek diam, “Sudah lama aku memimpikan saat-saat seperti ini. Saat kita dapat berduaan dan melampiaskan hasrat yang terpendam ini.”

Selesai berkata demikian orang itu memandang ke depan. Tampak anak laki-laki Nyi Selasih yang masih kanak-kanak tetap tertidur lelap berselimutkan kain panjang.

“Tidurlah yang nyenyak, Nak,” berkata laki-laki itu sambil tersenyum, “Aku akan bermain kuda-kudaan sejenak dengan biyungmu. Seharusnya memang akulah yang mendapatkan biyungmu ini, bukan Ki Gede.”

Tidak mau membuang waktu lagi, orang itu segera maju selangkah sambil membungkuk untuk mengangkat tubuh Nyi Selasih yang tergeletak di lantai. Dalam benaknya sudah terpikir untuk membawa Nyi Selasih yang masih tidak sadarkan itu ke bilik yang lain sehingga dengan bebasnya dia akan mempermainkan korbannya.

Namun agaknya dia tidak menyadari bahwa sedari tadi seseorang sedang bersembunyi di balik pintu bilik. Begitu orang itu membungkukkan badannya, secepat kilat orang yang bersembunyi di balik pintu itu meloncat sambil mengayunkan sisi telapak tangannya yang terbuka tepat ke arah tengkuk.

Hanya terdengar sebuah keluhan tertahan sebelum akhirnya tubuh orang itu jatuh terjerembab menimpa Nyi Selasih.

Dengan cepat orang yang memakai penutup wajah itu segera menyeret tubuh laki-laki itu keluar bilik. Setelah mendudukkan laki-laki itu di sebuah tiang yang berada di tengah-tengah ruang dalam, dia segera mengikat tangan laki-laki itu ke belakang dengan menggunakan ikat kepala laki-laki itu sendiri.

Agaknya orang yang memakai penutup wajah itu masih belum merasa puas. Dia segera masuk ke bilik lagi. Ketika terpandang

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

57

olehnya sebuah kain panjang untuk selimut anak laki-laki Nyi Selasih, segera saja kain panjang itu diambilnya.

“Maaf, nak,” bisik orang dengan penutup wajah itu sambil dengan sangat hati-hati dan perlahan menarik selimut itu, “Aku pinjam sebentar untuk mengikat penjahat itu.”

Demikianlah setelah mengikat erat-erat laki-laki yang pingsan itu dengan kuat pada tiang yang terdapat di ruang dalam, orang dengan penutup wajah itu segera mengangkat tubuh Nyi Selasih ke atas amben.

“Beristirahatlah Nyi,” bisik orang itu, “Aku akan melihat pertempuran di halaman.”

Selesai berkata demikian sambil berjingkat orang yang memakai penutup wajah itu beranjak keluar bilik untuk seterusnya menuju ke pringgitan. Namun sebelumnya dia telah menutup kembali jendela yang telah dibukanya paksa serta menutup pintu bilik.

Dalam pada itu pertempuran di halaman rumah Ki Prana semakin sengit. Ki Jagabaya dan kedua kawannya belum menyadari apa yang telah terjadi pada kawan mereka yang telah memasuki rumah. Sedangkan Ki Prana dan Gandhung telah bertempur dengan mencurahkan segenap tenaga mereka karena menyadari bahaya yang sedang mengancam Nyi Selasih dan putranya.

Pedang di tangan Gandhung berputar cepat sambil sesekali menyambar-nyambar lawannya yang mencoba mendekat. Sementara Ki Prana yang telah tua lebih menghemat tenaga. Dia tidak terpancing gerakan lawannya yang berloncat-loncatan. Namun tombak pendek di tangan Ki Parana benar-benar bergerak sangat lincah mematuk-matuk bagian-bagian tubuh lawannya yang berbahaya.

“Menyerahlah,” berkata Ki Jagabaya kemudian sambil menghindari sambaran pedang lawannya, “Aku membayangkan kawanku sekarang ini mungkin sedang bersenang-senang dengan Nyi Selasih. Bukankah sewaktu Nyi Selasih masih menjanda,

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

58

kawanku itu telah mencoba melamarnya namun telah engkau tolak dengan mentah-mentah?”

Mendengar ucapan Ki Jagabaya itu, barulah Ki Prana teringat siapa sebenarnya orang yang rasa-rasanya pernah dikenalnya itu. Segera saja darah di sekujur tubuhnya menggelegak sampai ke ubun-ubun.

“Persetan!” geram Ki Prana kemudian dengan kegelisahan yang tiada taranya menghentak dada, “Semoga kawanmu itu mati dicekik setan!”

“Ah,” terdengar Ki Jagabaya dan kedua kawannya tertawa pendek.

Berkata salah satu kawan Ki Jagabaya itu kemudian, “Tentu saja tidak. Justru setan itulah yang sekarang mengajak mereka berdua bersenang-senang tak ubahnya seperti pengantin baru.”

“Tutup mulutmu!” teriak Ki Prana. Dadanya terasa panas dan degup jantungnya pun semakin melonjak-lonjak. Dia benar-benar sangat mengkhawatirkan keselamatan anak perempuan semata wayangnya itu.

Namun selagi mereka yang berada di halaman itu sedang bertempur dengan sengitnya, pendengaran mereka telah menangkap derap langkah beberapa orang yang berlari-larian menuju ke tempat itu. Agaknya orang-orang itu telah mendengar denting senjata beradu pertanda adanya sebuah pertempuran.

“Ki Jagabaya!” seru orang yang bersuara mirip burung hantu itu kemudian dengan nada yang gelisah, “Mereka telah datang!”

Ki Jagabaya pun segera tanggap bahwa yang di maksud kawannya itu tentu Ki Wiyaga dan para pengawal Matesih.

Tanpa membuang waktu lagi, Ki Jagabaya segera bersuit nyaring memanggil salah satu kawan mereka yang beberapa saat tadi telah memasuki rumah Ki Prana.

Namun ternyata tidak terdengar jawaban sama sekali. Ketika Ki Jagabaya kemudian berpaling ke arah regol, tampak beberapa

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

59

orang telah berloncatan memasuki regol dengan senjata tergenggam di tangan kanan.

Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Jumlah orang yang memasuki regol itu terlihat dua kali lipat dari jumlah Ki Jabagaya dan kawan-kawannya. Maka sejenak kemudian terdengar suitan dua kali berturut-turut. Bersamaan dengan hilangnya suara suitan yang membelah malam itu, Ki Jagabaya dan kedua kawannya telah berloncatan menghindar dari tempat itu.

Ki Prana dan Gandhung berusaha mengejar mereka selangkah dua langkah. Namun ketika Ki Jagabaya dan kedua kawannya itu kemudian berhasil mencapai gerumbul-gerumbul dan pepohonan lebat di halaman samping, Ki Prana dan Gandhung pun segera menghentikan langkah. Adalah sangat berbahaya mengejar lawan yang telah memasuki gerumbul dan semak belukar. Lawan dapat saja menjebak mereka sewaktu mereka memasuki gerumbul.

“Ki Prana!” tiba-tiba terdengar seruan panggilan dari arah belakang. Ketika Ki Prana kemudian berpaling, tampak Ki Wiyaga dan para pengawal berlari mendekat.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Wiyaga kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Prana.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Ki Prana bagaikan baru tersadar dari sebuah mimpi buruk. Tanpa menjawab pertanyaan Ki Wiyaga dia segera meloncat berlari sambil berteriak nyaring.

“Selasih..? Selasih..? Engkau tidak apa-apa?” teriak Ki Prana bagaikan orang kesurupan sambil menerobos pintu pringgitan menuju ruang tengah.

Ketika disadarinya ruang tengah itu kosong, Ki Prana pun segera berlari menuju ke ruang dalam.

Namun langkahnya tertegun ketika mendapatkan seseorang sedang duduk terikat pada salah satu tiang yang terdapat di ruang dalam itu. Tampaknya orang itu sedang tidak sadarkan diri. Ki Prana pun segera mengenali orang itu sebagai salah satu kawan Ki Jagabaya yang telah memasuki rumahnya beberapa saat tadi.

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

60

“Kau..?” geram Ki Prana dengan suara serak. Tanpa berpikir panjang, tombak pendek di tangan kanannya telah diangkat tinggi-tinggi. Siap untuk dihunjamkan ke dada orang itu.

“Ki Prana tunggu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang tepat di belakangnya. Dengan segera tangan orang itu menahan tombak di tangan Ki Prana yang sudah diangkat tinggi-tinggi.

Ki Prana berpaling sekilas. Ternyata ki Wiyaga yang telah menahan tombaknya.

“Biarkan aku Ki Wiyaga!” geram Ki Prana, “Biar aku bunuh sekalian orang yang telah menghancurkan anak perempuanku ini.”

“Apakah engkau yakin, Ki Prana?” bertanya Ki Wiyaga kemudian sambil tetap menahan tombak yang sudah terangkat tinggi-tinggi itu.

“Maksud Ki Wiyaga?” sahut Ki Prana dengan nada sedikit keheranan. Namun terasa di tangan Ki Wiyaga tombak yang terangkat tinggi-tinggi itu menjadi sedikit mengendur.

“Sudahlah Ki Prana,” jawab Ki Wiyaga kemudian sambil menarik tombak itu perlahan, “Aku yakin semuanya masih dalam keadaan seperti sediakala, tidak kurang suatu apapun.”

Ki Prana memandang Ki Wiyaga dengan heran sambil membiarkan saja tombak di tangannya diambil alih oleh kepala pengawal perdikan Matesih itu.

“Dari mana Ki Wiyaga tahu?” bertanya Ki Prana kemudian.

Ki Wiyaga tersenyum. Jawabnya kemudian sambil menunjuk orang yang masih dalam keadaan pingsan dan terikat pada tiang itu, “Bersyukurlah Ki, kemungkinannya seseorang telah menolong Nyi Gede dari niat jahat orang ini.”

Begitu mendengar nama Nyi Gede disebut, Ki Prana segera teringat kembali akan keselamatan anak perempuan satu-satunya itu.

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

61

Maka sambil berlari menuju bilik satu-satunya yang berada di ruang dalam itu, orang tua itu kembali berteriak-teriak memanggil manggil nama anak perempuannya.

“Selasih... Selasih? engkau selamat, nduk?”

Begitu kakinya menginjak lantai bilik, pandangan Ki Prana segera tertuju pada dua sosok tubuh yang tergeletak diam di atas amben bambu.

“Selasih..?” teriak Ki Prana kemudian. Dengan sekali lompatan saja Ki Prana telah berada di samping amben.

Nyi Selasih yang sedang tidak sadarkan diri itu agaknya mulai menyadari keadaannya. Lamat-lamat telinganya mendengar seseorang sedang memanggil-manggil namanya serta tubuhnya terasa diguncang-guncang.

Ketika dia kemudian membuka mata, seraut wajah tepat berada beberapa jengkal saja dari wajahnya. Walaupun masih terlihat remang-remang, namun wajah itu sangat dikenalnya.

“Ayah!” seru Nyi Selasih bercampur isak tangis.

“Selasih, engkau tidak apa-apa, nduk?” bertanya Ki Prana kemudian sambil membantu anak perempuannya itu bangkit.

Agaknya anak laki-laki yang tidur lelap di sebelah biyungnya itupun mulai terusik. Sambil menggeliat dan membuka matanya, dia mulai merengek memanggil biyungnya.

Nyi Selasih yang sudah duduk di bibir amben itu segera memeluk anaknya sambil berdesis, “Biyung di sini, nak. Biyung di sini.”

Ki Wiyaga dan para pengawal yang telah sampai di depan pintu bilik itu segera menarik nafas dalam-dalam. Hati mereka telah tersentuh. Betapa Nyi Selasih yang telah menjadi istri Ki Gede hampir setahun yang lalu itu lebih memilih hidup sederhana di rumah ayahnya sendiri dari pada harus menahan hati setiap hari dan bersitegang dengan seorang anak tiri.

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

62

“Syukurlah,” berkata Ki Prana kemudian sambil mengelus-elus kepala cucunya, “Semua telah berlalu dan kita wajib bersyukur bahwa Yang Maha Agung telah berkenan menolong kita semua.”

“Melalui perantara orang yang telah menolong Nyi Selasih,” sahut Ki Wiyaga sambil memandang Nyi Gede. Agaknya kepala pengawal Matesih itu ingin segera mendengar cerita Nyi Selasih.

Namun tampak raut wajah Nyi Gede kebingungan. Tanpa sadar pandangan matanya diedarkan ke sekelilingnya. Sepertinya Nyi Selasih sedang mencari sesuatu.

“Apa yang engkau cari, nduk?” bertanya ayahnya kemudian.

Sejenak Nyi Selasih ragu-ragu. Namun jawabnya kemudian, “Orang yang mengetuk pintu itu.”

“O,” desis Ki Prana kemudian sambil memberi isyarat kepada orang-orang yang berkerumun di depan bilik untuk menyingkir.

Serentak mereka yang berkerumun di depan pintu bilik itu pun segera menyingkir.

“Nah,” berkata Ki Prana kemudian, “Apakah engkau mengenali orang itu, nduk?”

Selesai berkata demikian, Ki Prana segera menunjuk ke arah orang yang terikat di ruang dalam itu.

Untuk sejenak Nyi Selasih mengerutkan keningnya. Dari pintu bilik yang terbuka itu, Nyi Selasih dapat melihat dengan jelas wajah orang yang sedang pingsan dan duduk terikat di tiang ruang dalam.

Alangkah terkejutnya Nyi Selasih. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan terlepas dari tangkainya. Wajah itu adalah wajah yang pernah dikenalnya namun sekaligus juga yang sangat dibencinya.

“Ayah,” desis Nyi Selasih kemudian dengan suara bergetar sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam, “Mengapa orang itu ada di sini?”

“Engkau masih mengenalinya?” ayahnya balik bertanya.

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

63

Nyi Selasih tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terangguk kecil.

Ki Prana menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang pepat. Katanya kemudian, “Selasih, kami sangat mengkhawatirkan keselamatanmu. Ketika aku dan Gandhung sedang bertempur melawan Ki Jagabaya dan kawan-kawannya di halaman depan, orang itu telah meninggalkan medan dan memasuki rumah ini. Apakah engkau sempat bertemu dengannya?”

Dengan tetap menundukkan wajahnya, terlihat kepala Nyi Selasih menggeleng lemah.

Ki Prana menarik nafas dalam sambil memandang wajah-wajah di sekelilingnya yang menegang. Bertanya Ki Prana kemudian, “Selasih, apakah engkau masih ingat apa yang telah terjadi?”

Nyi Selasih tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya. Untuk sejenak dia terlihat mengumpulkan ingatannya. Baru sejenak kemudian dia menjawab lirih, “Ayah, aku hanya ingat seseorang telah mengetuk pintu bilik ini dan dia mengaku pengawal dari Matesih yang diutus untuk menjemput kita. Aku mencoba mendekati pintu bilik untuk mengetahui siapa dia sebenarnya. Namun aku begitu ketakutan sehingga ketika melangkah, aku telah terjatuh dan tidak ingat lagi apa yang terjadi.”

Orang-orang yang hadir di situ menjadi bertambah tegang. Tanpa sadar Ki Wiyaga maju selangkah untuk memungut pecahan kayu selarak pintu yang terjatuh di lantai. Kemudian dengan tangan sedikit gemetar kepala pengawal itu menyambung pecahan kayu selarak itu dengan sisa kayu selarak yang masih tersangkut di pegangan pintu.

“Orang itu telah mematahkan selarak,” desis Ki Wiyaga dengan jantung yang berdebaran.

“Gila!” tiba-tiba Ki Prana menggeram membayangkan kemungkinan yang terjadi saat anak perempuannya jatuh pingsan, “Katakan kepadaku, Selasih! Apa yang telah diperbuat orang gila

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

64

itu kepadamu? Jika dia telah berbuat kurang ajar, aku sudah siap untuk memenggal lehernya!”

Sejenak suasana menjadi sangat mencekam. Mereka semua menunggu jawaban Nyi Selasih.

Namun suasana mencekam itu menjadi cair kembali ketika Nyi Selasih berkata perlahan sambil merangkul lengan ayahnya, “Sebagaimana yang ayah lihat, aku tidak kurang suatu apapun.”

Orang-orang yang hadir di situ tampak menarik nafas lega, demikian juga Ki Prana. Memang ketika pertama kali Ki Prana memasuki bilik itu, dia menyaksikan anak perempuannya itu masih berpakaian lengkap. Tidak tampak bekas-bekas adanya suatu usaha dari seseorang yang telah memaksakan kehendaknya untuk melakukan sebuah perbuatan kotor terhadapnya.

“Sudahlah Ki Prana,” berkata Ki Wiyaga kemudian untuk mencairkan ketegangan, “Kami datang ke sini atas perintah Ki Gede untuk menjemput Nyi Gede dan putranya.”

Ki Prana menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Nyi Selasih. Beberapa saat yang lalu Ki Jagabaya juga telah mengatakan sebagai utusan Ki Gede. Untunglah panggraitanya sebagai seorang ayah sangat peka sehingga keluarga kecil itu masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.

“Baiklah Ki Wiyaga,” jawab Ki Prana, “Biarlah anak dan cucuku berkemas terlebih dahulu,” Ki Prana berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bagaimana dengan orang itu?’

Selesai berkata demikian Ki Prana menunjuk ke arah orang yang masih dalam keadaan pingsan dan terikat di salah satu tiang ruang dalam.

“Kita akan membawanya sebagai tawanan,” jawab Ki Wiyaga kemudian, “Jika terpaksa kita akan membawanya dalam keadaan terikat.”

Orang-orang yang hadir di situ mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Gandhung yang sedari tadi berdiri agak

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

65

jauh dari bilik Nyi Selasih segera melangkah mendekat untuk membantu menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan.

Dalam pada itu, di pendapa rumah Ki Gede Matesih, Ki Ajar dan Sukra tampak duduk terkantuk-kantuk sambil menahan hawa dingin yang terasa semakin menggigit tulang. Mereka berdua tidak berani beranjak dari pendapa dan kemudian pindah ke ruang pringgitan yang lebih hangat. Bagaimanapun juga, mereka berdua merasa tetap diawasi oleh para pengawal yang berjaga dari regol depan. Dalam keadaan seperti ini, segala sesuatunya memang bisa saja terjadi.

Ketika kedua orang itu merasa semakin berat menahan dingin dan kantuk, tiba-tiba saja terdengar derit pintu pringgitan terbuka. Begitu kedua orang itu berpaling, tampak seorang perempuan tua membawa nampan berisi minuman hangat dan beberapa penganan. Di belakangnya berjalan sambil menengadahkan wajahnya seorang gadis cantik yang sedang beranjak dewasa.

Berdesir dada Sukra begitu memandang seraut wajah cantik namun terkesan sedikit tinggi hati itu. Sejenak dua pasang mata itu beradu dengan kesan masing-masing. Namun dengan cepat Sukra segera menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Sedang Ki Ajar yang melihat kedua orang perempuan itu melangkah mendekat segera membungkukkan badan sedikit ke depan sambil berkata, “Terima kasih, terima kasih. Mohon kehadiran kami tidak merepotkan.”

“O, tentu saja tidak, Ki,” jawab perempuan tua itu, “Sudah menjadi kewajiban kami untuk mempersiapkan hidangan sekedarnya bagi tamu-tamu Ki Gede.”

Selesai berkata demikian, perempuan tua itu segera berlutut. Sedangkan gadis cantik di sebelahnya juga ikut berlutut. Kemudian dengan cekatan jari-jemari yang terlihat halus dan lentik itu menurunkan dua mangkuk minuman dan sepiring penganan.

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

66

Berdesir dada Sukra begitu memandang seraut wajah cantik namun terkesan sedikit tinggi hati itu. Sejenak dua pasang mata itu beradu dengan kesan masing-masing...........

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

67

“Silahkan, Ki,” berkata perempuan tua itu kemudian sambil bangkit berdiri diikuti oleh gadis di sebelahnya. Sejenak kemudian keduanya pun telah kembali ke pringgitan.

Namun sebelum menutup pintu pringgitan, gadis cantik itu sempat berpaling ke arah Sukra. Akan tetapi yang diharapkannya ternyata sia-sia belaka. Gadis itu berharap anak muda yang berkulit kehitam-hitaman itu menengadahkan wajahnya dan kemudian memandang ke arahnya, mengagumi kecantikannya. Namun yang terjadi ternyata diluar apa yang diharapkannya. Anak muda itu tetap diam sambil menundukkan wajahnya.

“Anak gila!” geram gadis itu sambil sedikit membanting pintu pringgitan sehingga membuat perempuan tua itu terkejut dan berpaling.

“Ada apa Ratri?” bertanya perempuan tua itu kemudian sambil terheran-heran.

Namun gadis cantik yang ternyata adalah Ratri putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu hanya menggeleng lemah sambil berlalu.

Mbok Pariyem perempuan tua itu tampak hanya dapat meggeleng-gelengkan kepalanya mendapatkan kelakuan aneh momongannya itu.

Ketika dilihatnya Ratri yang setengah berlari itu kemudian memasuki ruang dalam dan hilang masuk ke dalam biliknya, mbok Pariyem pun segera kembali ke dapur.

Dalam pada itu Ratri yang gelisah segera menghempaskan tubuhnya ke pembaringan. Sejenak sepasang mata yang ndamar kanginan itu menatap langit-langit biliknya. Terdengar bibirnya yang bak manggis karengat itu berkali-kali berdesah.

“Anak muda yang sombong!” desis Ratri kemudian sambil menarik nafas panjang. Ada rasa jengkel yang menyelinap di sudut hati gadis itu.

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

68

“Mengapa dia tidak memandang sebelah mata pun padaku?” kembali gadis itu berangan-angan, “Semua anak muda di perdikan Matesih ini tidak ada yang tidak mengagumiku, itu bisa aku lihat dari cara mereka memandang kepadaku,” sejenak Ratri berhenti berangan-angan. Kemudian dia melanjutkan angan-angannya, “Namun anak muda setengah gila tadi sangat memandang rendah padaku. Seolah-olah aku ini sesuatu yang menjijikkan. Begitu melihatku, cepat-cepat dia membuang muka.”

Entah mengapa Ratri gadis cantik putri kepala tanah perdikan Matesih itu benar-benar telah dibuat penasaran dengan sikap Sukra. Sikap yang cenderung mengacuhkannya justru di saat keduanya berjumpa pada pandangan pertama.

Tiba-tiba Ratri teringat kepada Raden Mas Harya Surengpati, anak muda trah bangsawan yang telah jatuh hati kepadanya.

Bibir tipis bak manggis karengat itu tersenyum manis begitu teringat akan kekasihnya. Betapa segala perhatian, sanjungan dan pujian selalu tertumpah kepadanya setiap kali mereka berdua bertemu.

Namun senyuman kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba saja Ratri teringat saat pertemuan mereka yang terakhir. Jantung Ratri pun rasa-rasanya berdetak semakin cepat.

“Apa sebenarnya maksud kakangmas Raden Surengpati itu?’ bertanya Ratri dalam hati sambil mengingat-ingat kejadian beberapa saat yang lalu.

Namun sampai sejauh ini Ratri belum dapat menarik sebuah kesimpulan apapun atas kejadian itu.

Dalam pada itu di halaman belakang padepokan Sapta Dhahana, Ki Waskita telah berhasil mengurangi tekanan lawannya. Dengan berbekal ilmu semunya walaupun tidak sesempurna ilmu semu Ki Rangga, namun dengan sangat cerdiknya Ki Waskita mampu mengelabuhi lawannya walaupun hanya sesaat.

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

69

“Orang gilaa..!” tiba-tiba Putut Sambernyawa mengumpat sambil meloncat mundur mengambil jarak.

“Orang tua!” geram Putut itu kemudian dengan gigi bergemeretakan, “Aku terpaksa mengeluarkan ilmu pamungkasku. Engkau akan segera terpanggang hidup-hidup tanpa seorang pun yang akan dapat menyelamatkanmu.”

Selesai berkata demikian, tanpa menghiraukan lawannya, Putut Sambernyawa segera mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sekejap kemudian di kedua tangan Putut itu telah tergenggam beberapa bumbung kecil.

Belum sempat Ki Waskita menebak apa yang akan dilakukan oleh lawannya, dengan cepat lawannya itu membuka sumbat bumbung-bumbung itu dan kemudian menuangkan isinya ke sekujur tubuhnya. Ternyata bumbung-bumbung itu berisi serbuk berwarna hitam pekat.

Sejenak kemudian Putut itu tampak menyalakan sebuah titikan. Dalam sekejap api pun telah berkobar membakar sekujur tubuhnya. Ternyata serbuk itu terbuat dari semacam bahan yang sangat mudah terbakar.

Ki Waskita terkejut bukan alang kepalang. Walaupun ayah Rudita itu sudah mendengar keterangan dari Ki Jayaraga bahwa perguruan Sapta Dhahana itu senang bermain-main dengan api. Namun tak urung jantungnya berdetak semakin cepat.

“Ilmu Sapta Dhahana yang belum sempurna,” desis Ki Waskita dalam hati, “Jika orang ini sudah menguasai ilmunya dengan sempurna, dia tidak memerlukan bantuan apapun untuk mengetrapkan ilmu apinya itu.”

Namun Ki Waskita tidak sempat berangan-angan terlampau jauh. Lawannya terlihat sudah siap melontarkan serangannya.

Tanpa membuang waktu lagi. Ki Waskita segera melepas ikat pinggangnya. Ternyata Ki Waskita mengenakan dua buah ikat pinggang. Ikat pinggang yang pertama adalah ikat pinggang kebanyakan yang lebar dan mempunyai beberapa kantong tempat

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

70

menyimpan sesuatu. Sedangkan ikat pinggang satunya yang membelit di depan ikat pinggang yang lebar, sebuah ikat pinggang yang kecil hanya selebar tiga jari. Ikat pinggang khusus terbuat dari kulit yang sangat lentur dan bertimangkan besi baja pilihan.

Sejenak kemudian serangan pertama Putut Sambernyawa pun meluncur dengan dahsyatnya. Seberkas api yang terlontar dari telapak tangan kanannya melesat menerjang Ki Waskita.

Ki Waskita yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran itu segera bergeser setapak ke samping. Sebelum lawannya sempat mengirim serangan susulan, ikat pinggang di tangan kanan Ki Waskita pun meluncur mematuk dada.

Demikianlah selanjutnya, kedua orang yang mempunyai ilmu ngedab-edabi itu segera terlibat kembali dalam perkelahian yang sengit.

Dalam pada itu di halaman samping padepokan, Ki Bango Lamatan bertempur dengan dahsyatnya melawan Ki Kebo Mengo. Kedua-duanya telah merambah pada tataran tinggi ilmu mereka.

Tandang Ki Kebo Mengo ternyata telah mendebarkan jantung Ki Bango Lamatan. Lawannya itu tidak hanya menyerang menggunakan tangan dan kaki. Namun selebihnya Ki Kebo Mengo telah menggunakan kepalanya juga untuk menyerang.

Ki Bango Lamatan yang pada awalnya tidak menyangka bahwa lawan akan menggunakan kepala untuk menyerang, benar-benar terkejut dan tidak siap. Ketika kedua tangan Ki Bango Lamatan sibuk menangkis serangan lawannya yang datang bertubi-tubi, tiba-tiba saja Ki Kebo Mengo yang melihat dada lawannya terbuka telah membenturkan kepalanya ke dada lawan.

Akibatnya adalah sangat diluar dugaan. Ki Bango Lamatan yang sama sekali tidak pernah menduga serangan lawan seperti itu telah terpental ke belakang beberapa langkah. Tubuhnya jatuh bergulingan beberapa kali sebelum akhirnya dengan tangkas melenting berdiri.

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

71

Untunglah Ki Bango Lamatan mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun tak urung dadanya terasa sesak dan nafasnya menjadi agak tersumbat.

“Gila!” geram Ki Bango Lamatan kemudian dalam hati, “Orang ini benar-benar berkelahi seperti seekor kerbau. Menyeruduk lawan dengan kepalanya.”

Namun belum sempat Ki Bango Lamatan berangan-angan lebih jauh, serangan lawan berikutnya telah menerjangnya.

Untuk beberapa saat Ki Bango Lamatan memang dibuat kerepotan dengan serangan-serangan lawannya. Ki Kebo Mengo telah menggunakan seluruh anggota tubuhnya untuk menyerang. Dua tangan dan dua kaki serta sebuah kepala benar-benar telah membuat Ki Bango Lamatan terdesak hebat.

“Tidak ada pilihan lain,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati sambil berusaha mengambil jarak, “Tekanan ini sudah melampaui batas. Terpaksa aku mengetrapkan ilmu simpananku.”

Memang kenyataannya beberapa serangan Ki Kebo Mengo berhasil menyentuh tubuhnya, walaupun belum membahayakan keselamatannya. Namun jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan Ki Bango Lamatan akan dapat mengalami cidera yang membahayakan keselamatannya.

Berpikir sampai disitu, Ki Bango Lamatan sudah tidak dapat menunda lagi. Ketika sekali lagi tanpa diduga kepala lawannya menanduk pundaknya, tubuh Ki Bango Lamatan pun terdorong ke samping beberapa langkah sambil terhuyung-huyung. Belum sempat dia memperbaiki kedudukannya, serangan salah satu kaki lawannya meluncur menghentak lambung.

Ki Bango Lamatan benar-benar dalam keadaan yang sulit. Demikian tumit kaki lawannya menyentuh lambung, Ki Bango Lamatan kembali terdorong beberapa langkah. Ketika lawannya kemudian memburunya, tiba-tiba saja tubuh Ki Bango Lamatan hilang dari pandangan bagaikan embun pagi yang menguap ketika tertimpa sinar Matahari pagi.

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

72

Lawannya terkejut bukan buatan sehingga telah menghentikan langkahnya.

“He?!” teriak Ki Kebo Mengo kemudian kebingungan.

Kesempatan ini ternyata telah dipergunakan oleh lawan sebaik-baiknya. Belum sempat Ki Kebo Mengo menyadari apa yang sedang terjadi terasa sebuah desir angin yang sangat deras menyambar tengkuknya.

Terkejut Ki Kebo Mengo. Dengan cepat dia segera membungkukkan badannya. Serangan lawan yang tidak kasat mata itu memang dapat dihindarinya. Namun serangan berikutnya telah menghajar punggungnya.

“Iblis, syetan, demit, gendruwoo..!” umpat Ki Kebo Mengo sambil bergulingan ke depan beberapa kali.

Ki Kebo Mengo memang sengaja mengambil jarak dari lawannya sejauh mungkin. Setelah dirasa cukup jauh, Ki kebo Mengo pun segera melenting berdiri tegak dengan kedua kaki yang renggang.

Dengan cepat Ki Kebo Mengo segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengetahui keberadaan lawan. Namun untuk beberapa saat ki Kebo Mengo belum berhasil.

Di saat Ki Kebo Mengo masih belum mendapat titik terang tentang keberadaan lawannya, tiba-tiba kembali sebuah desir angin yang cukup deras menerpanya dari samping kiri.

Ki Kebo Mengo segera tanggap. Walaupun lawannya mampu melenyapkan diri dari penglihatannya, namun desir angin yang mendahului serangannya tidak dapat disembunyikan.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Ki Kebo Mengo pun kemudian memutar tubuhnya sambil menyambut serangan lawan dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Benturan yang terjadi ternyata sangat dahsyat. Getarannya telah mampu mengguncang tempat itu. Daun-daun pun

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

73

berguguran dari pepohonan di sekitar arena pertempuran. Debu pun berhamburan bagaikan diterjang angin lesus.

Ternyata kedua-duanya telah terlempar ke belakang. Demikian pemusatan nalar dan budi Ki Bango Lamatan terganggu akibat benturan itu, ujud wadagnya pun perlahan muncul kembali.

Sedangkan Ki Kebo Mengo yang sekali lagi terlempar ke belakang, merasakan dadanya bagaikan rontok dan tulang-tulang iganya berpatahan. Cepat-cepat dikerahkan tenaga cadangannya untuk mengurangi nyeri di dalam dadanya.

“Luar biasa..!” seru Ki Kebo Mengo sambil menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya, “Sebuah pameran ilmu yang sudah sangat langka. Aku tahu aji halimunan sekarang sudah hampir punah karena tidak ada yang ingin menekuninya lagi. Aji halimunan memang memerlukan laku yang sangat berat.”

“Terima kasih Ki Sanak,” berkata Ki Bango Lamatan yang merasakan dadanya bagaikan retak, “Aku tidak tahu ilmu apa yang Ki Kebo Mengo tunjukkan. Namun sejujurnya aku mengakui, aku belum pernah menjumpai seseorang yang bertempur sebagaimana Ki Kebo Mengo lakukan. Menggunakan seluruh bagian tubuh untuk menyerang, termasuk kepala.”

Ki Kebo Mengo tertawa bangga mendengar pujian lawannya. Jawabnya kemudian, “Ketahuilah, ilmu yang sedang aku ungkapkan ini aku beri nama aji Mahesa kurda.”

Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya dalam-dalam. Rasa-rasanya dia pernah mendengar nama aji itu. Namun dia belum mengetahui jika salah satu kedahsyatan aji Mahesa kurda itu terletak pada penggunaan kepala sebagai senjata.

“Nah, sebut namamu sebelum aku membunuhmu!” berkata Ki Kebo Mengo kemudian dengan penuh percaya diri, “Aku tidak peduli lagi apakah Ki Sanak mau menggunakan ilmu petak umpet lagi atau ilmu yang lain. Aku pasti dapat menghancurkannya.”

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

74

Berdesir dada Ki Bango Lamatan. Dia memang belum mengetrapkan aji halimunan itu sampai ke puncak. Jika itu yang terjadi, dia yakin lawannya tidak akan mampu lagi untuk mengetahui keberadaan dirinya.

Dalam pada itu Ki Rangga yang bertempur melawan pemimpin perguruan Sapta Dhahana di halaman depan benar-benar harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindari serangan lawan yang datang beruntun tak henti-hentinya. Hampir tidak ada kesempatan maupun celah bagi Ki Rangga untuk balas menyerang.

“Aku belum berani menjajagi panas api yang memancar dari tubuh Kiai Damar Sasangka ini,” batin Ki Rangga sambil terus berloncatan menghindari sambaran lidah api yang tak habis-habisnya, “Apakah cambukku mampu bertahan menghadapi panasnya aji sapta Dhahana ini?”

Ki Rangga benar-benar diliputi oleh keragu-raguan untuk menghentakkan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya. Jika ujung cambuk itu tidak tahan mengatasi panas aji sapta Dhahana, tentu juntai cambuk itu akan hangus terbakar dan tentu saja lilitan cambuk itu akan rusak.

Namun untuk mengetrapkan ilmu puncak cambuknya Ki Rangga benar-benar tidak medapatkan kesempatan. Setiap kali dia berusaha memutar cambuknya di atas kepala untuk mengungkapkan puncak ilmu cambuknya, serangan lidah api yang menjulur dari kedua tangan lawannya sudah mendahului meluncur ke arahnya.

Tidak ada jalan lain bagi ki Rangga selain mengungkapkan ilmu yang dapat memecah perhatian lawan sehingga memberi kesempatan baginya untuk balas menyerang.

Demikianlah akhirnya, bersamaan dengan loncatan Ki Rangga menghindari terjangan lidah api yang panas membara itu, lawannya telah dikejutkan oleh ujud Ki Rangga yang meloncat ke tiga arah sekaligus. Ki Rangga telah mengetrapkan aji kakang pembarep dan adi wuragil.

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

75

“Anak iblis!” geram Kiai Damar Sasangka dari balik ujudnya yang telah berubah menjadi gumpalan api sebesar gardu perondan itu, “Dari mana engkau dapatkan ilmu itu, he?”

Ki Rangga tidak menjawab. Dipusatkan segala nalar dan budinya untuk mengetrapkan ilmu puncak cambuknya yang dipelajari dari kitab warisan Empu Windujati.

Dalam pada itu, Raden Surengpati yang bertempur agak jauh dari arena pertempuran Ki Rangga telah terkejut bukan alang kapalang. Dengan cepat dia segera meloncat mengambil jarak. Dengan jantung berdebaran serta keringat dingin yang membasahi punggung, dipandanginya ketiga ujud Ki Rangga itu dari kejauhan.

“Gila!” geram Raden Surengpati dalam hati, “Sewaktu melawan Ki Kebo Mengo, ujud semu Ki Rangga hanya satu, itu saja Ki Kebo Mengo sudah mengalami kesulitan untuk menghadapinya. Apalagi sekarang ini Ki Rangga justru telah menjadi tiga.”

Melihat lawannya seperti orang kebingungan memandangi ketiga ujud Ki Rangga, Glagah Putih telah tersenyum geli. Dia sudah mengetahui serba sedikit ilmu kakak sepupunya itu sehingga tidak menjadi terlalu terkejut. Namun tetap saja ada rasa kekaguman terhadap kakak sepupunya itu.

Berkata Glagah Putih kemudian, “Raden, apakah Raden sudah puas mengagumi ilmu Ki Rangga?”

“Persetan!” geram Raden Surengpati sambil memutar tubuhnya menghadap Glagah Putih kembali, “Aku yakin Kiai Damar Sasangka pasti akan mampu mengatasinya.”

“Apakah Raden yakin?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Kenapa tidak? Kiai Damar Sasangka memiliki ilmu yang tak terukur. Jangankan hanya melawan tiga orang, melawan pasukan segelar sepapan pun Kiai Damar Sasangka pasti akan dapat mengatasinya.”

“Bagaimana kalau kita bertaruh?” sahut Glagah Putih kemudian.

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

76

“Apa maksudmu?” sergah Raden Surengpati

“Kita bertaruh. Aku yakin Ki Rangga akan keluar sebagai pemenang.”

“Tidak mungkin. Kiai Damar Sasangka lah yang akan keluar sebagai pemenang!”

Glagah Putih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Baiklah kita memegang jago kita masing-masing. Sekarang yang penting adalah taruhannya.”

“Baik. Apa yang akan engkau pertaruhkan?”

Glagah Putih tersenyum menggoda. Jawabnya kemudian perlahan namun sangat jelas di telinga Raden Surengpati, “Bagaimana kalau putri Matesih itu?”

“Tutup mulutmu..!” bentak Raden Surengpati menggelegar sambil tangannya diputar di atas kepala. Segera saja tercipta sebuah badai kecil yang berputar dan kemudian meluncur melibas Glagah Putih.

Glagah Putih terkejut. Agaknya lawan telah meningkatkan ilmunya selapis lebih tinggi lagi. Maka dengan tangkasnya Glagah Putih pun meloncat menghindar sambil mempersiapkan ilmu yang dipelajarinya dari Ki Jayaraga, aji sigar bumi.

Dalam pada itu, diam-diam Ki Rangga telah bersyukur dalam hati. Agaknya lawan telah tertarik dengan aji kakang kawah dan adi wuragil itu. Waktu yang sekejap itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Rangga untuk mempersiapkan puncak ilmu cambuknya.

Melihat Ki Rangga tidak menjawab pertanyaannya, hantu api sebesar gardu perondan itu tertawa. Katanya kemudian, “Tidak akan banyak berarti bagiku. Ki Rangga akan berubah menjadi tiga, empat, sepuluh atau seribu sekalipun, aku tidak akan gentar. Aku akan dengan mudahnya menemukan ujud aslimu.”

Selesai berkata demikian, kembali hantu api itu menggerakkan kedua tangannya. Dua lidah api yang membara pun meluncur bagaikan tatit di udara menerjang ujud Ki Rangga yang asli.

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

77

Namun Ki Rangga sudah menduga sebelumnya. Maka dengan tangkasnya ujud Ki Rangga yang asli meloncat menghindar. Bersamaan dengan itu, kedua ujud Ki Rangga yang lain telah memutar cambuknya di atas kepada beberapa kali. Sejenak kemudian dengan hentakan sendal pancing, dari masing-masing ujung cambuk itu meluncur selarik cahaya kebiru-biruan menerjang lawannya.

Kiai Damar Sasangka terkejut. Dia sama sekali tidak menduga bahwa kedua ujud semu Ki Rangga akan mampu melakukan serangan sebagaimana ujud aslinya.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah umpatan yang sangat kotor. Bersamaan dengan itu, gumpalan api sebesar gardu perondan itu tersentak surut beberapa langkah ke belakang.

Ki Rangga terkejut bukan alang kepalang mendapatkan puncak ilmunya yang terlontar dari ujung cambuk kedua ujud semunya itu hanya membuat lawan surut beberapa langkah ke belakang. Ki Rangga pun segera menyadari bahwa lawannya selain memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, juga memiliki kekebalan yang tidak sewajarnya. Kekebalan yang didapatkan dari laku yang menghambakan diri kepada penguasa kegelapan.

Bersambung ke jilid 7

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

78

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · 2019. 6. 22. · Gambar sampul & Gambar dalam Mbah Man Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas . SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH iv Cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

79