Upload
phamphuc
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEREN TAUN
Tinjauan Sosio-Teologis GKP Jemaat Cigugur
Terhadap Upacara Seren Taun
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian
Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi (S. Si. Teol.)
Program Studi Teologi
Anggara Rudianto Arpani
712010017
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Salatiga
2015
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Setiap orang pasti sukses, tetapi untuk meraih kesuksesan
tersebut setiap orang menjalani proses yang berbeda-beda dan
selalu mengandalkan Tuhan setiap menjalani proses
&
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala
sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi
Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana
Allah
(Roma 8:28)
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat, bimbingan
dan anugerahnya serta kehidupan yang diberikan kepada penulis sehingga melalui berbagai
macam proses yang panjang, pada akhirnya penulisan dapat menyelesaikan penulisan tugas
akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini kiranya dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman dalam penulisan-penulisan tugas akhir berikutnya. Harapan
penulis semoga jurnal ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih banyak kekurangan
karena pengalaman penulis yang dimiliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, penulis
berharap kepada para pembaca untuk memberikan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tugas akhir ini.
Penulis ingin memberikan penghargaan terbesar kepada Tuhan Yesus Kristus yang
selalu menyertai penulis dalam penulisan tugas akhir ini dan yang selalu memberi anugerah-
Nya. Penulis berterima kasih kepada setiap pihak yang sudah memberikan dukungan dari
awal studi di UKSW hingga kini sudah tercapai apa yang diharapkan. Terima kasih juga
dipersembahkan kepada orang tua terkasih (Eddy Slamet Arpani dan Iriani Setiabudi Hastuti
Alm.) dan adik (Anggia Immanuella Arpani) yang selalu memberikan kasih sayang dan
semangat, serta keluarga besar Arpani yang selalu memberikan dukungan dan doa dalam
menempuh studi sebagai mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana. Apresiasi khusus
untuk pembimbing, Dr. David Samiyono, MTS, MSLS. atas bimbingan, pengetahuan, waktu,
dan dorongan yang membesarkan hati penulis untuk segera menyelesaikan studi di Fakultas
Teologi UKSW dan memasuki dunia pelayanan. Terima kasih kepada wali studi terkasih Ibu
Pdt. Dien Sumiyatiningsih yang menjadi orang tua selama penulis menjalankan masa
perkuliahaan di Fakultas Teologi UKSW. Tentu juga untuk seluruh tenaga pengajar dan tata
usaha di Fakultas Teologi UKSW, tanpa bimbingan dan kerja sama mereka pencapaian ini
tidak akan pernah sempurna. Terima kasih kepada Jemaat GKP Cigugur dimana penulis
melaksanakan praktek pendidikan lapangan sekaligus pra-penelitian selama empat bulan serta
penelitian dan terima kasih pula kepada Jemaat GKP Bethesda sebagai asal Gereja penulis
yang dimana selalu mendukung dan memberikan semangat untuk penulis. Terkhusus terima
kasih kepada Sinode Gereja Kristen Pasundan yang selalu mendukung penulis dalam
penulisan jurnal ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-
vii
sahabat yang luar biasa: Jonathan, Kadek Bagus, Manasye, Estron, Arda, Riscky Manafe,
Romi, Beritha, Franklin, Felix, Bambang, Kurniawan, Dekson, Janeman, Josua, J. Sinaga,
Wilson, Made Rai, Carol, Desi, Joshua dan seluruh keluarga besar Fakultas Teologi angkatan
2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu untuk kebersamaan yang telah kita bagi.
Perjalanan baru saja akan dimulai, kiranya Tuhan Yesus Kristus Sang Guru Agung selalu
menganugerahkan kasih-Nya bagi kita.
Atas perhatian, dukungan dan kerjasamanya, penulis ucapkan terima kasih Tuhan
Yesus Memberkati.
Salatiga,
Anggara Rudianto Arpani
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................... ii
PERSETUJUAN AKSES ...................................................................................................... iii
PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................................................................. iv
MOTTO .................................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI......................................................................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................................................... ix
1. Pendahuluan...................................................................................................................................1
2. Landasan Teori..............................................................................................................................6
2.1. Teori Ritual..............................................................................................................................6
2.2. Kebudayaan Menurut Raymond Williams...............................................................................7
2.3. Teori Kebudayaan Richard Neibuhr...................................................................................10
3. Deskripsi Hasil Penelitian Mengenai Upacara Seren Taun Jemaat GKP Cigugur...............11
3.1. Gambaran Umum GKP Jemaat Cigugur................................................................................11
3.2. Sejarah Singkat GKP Jemaat Cigugur...................................................................................12
3.3. Perayaan Upacara Seren Taun...............................................................................................14
3.4. Tanggapan GKP Jemaat Cigugur Terhadap Upacara Seren Taun.........................................16
4. Relevansi Upacara Seren Taun Bagi Jemaat GKP Cigugur...................................................20
5. Kesimpulan dan Saran................................................................................................................23
5.1. Kesimpulan............................................................................................................................23
5.2. Saran......................................................................................................................................23
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................25
ix
Anggara Rudianto Arpani
712010017
SEREN TAUN Tinjauan Sosio-Teologis GKP Jemaat Cigugur Terhadap Upacara Seren Taun
Abstrak
Upacara Seren Taun adalah pesta syukuran yang dilakukan pada awalnya oleh
para petani setelah setahun hiruk-pikuk bekerja. Namun pada saat ini Seren Taun tidak
hanya dilakukan oleh para petani saja tetapi dilakukan oleh semua elemen masyarakat
Sunda. Tujuan diadakannya Upacara Seren Taun ini adalah bermuara dari rasa syukur
kepada Tuhan atas kehidupan yang sudah diterima pada tahun yang sudah lewat dan
menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan harapan.
Selain tujuan di atas, masyarakat Sunda pada umumnya menjalankan Upacara
Seren Taun ini demi membangun keharmonisan antar warga. Hal ini dilakukan karena
masyarakat Sunda memiliki beragam keyakinan yang cukup kuat, untuk tetap
membangun kekerabatan. Hubungan yang terjadi dalam masyarakat Sunda adalah
hubungan yang dinamis yang menyangkut hubungan antar warga, antar kelompok,
maupun antar masyarakat dengan masyarakat lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan dari Upacara Seren Taun yang
dilakukan ini adalah untuk membangun kebersamaan dengan masyarakat maupun
dengan Tuhan yang disembah.
Kata Kunci. Seren Taun. Sunda
1
1. PENDAHULUAN
Upacara Seren Taun adalah pesta syukuran yang dilakukan pada awalnya oleh
para petani setelah setahun hiruk-pikuk bekerja1, tetapi kini upacara Seren Taun tidak
hanya dilakukan oleh para petani saja, melainkan juga oleh masyarakat setempat dan
terlebih oleh para penganut kepercayaan lokal Sunda Wiwitan, yang biasa disebut
penghayat.
Upacara Seren Taun ini biasanya berlangsung selama seminggu dan puncaknya
tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir atau bulan ke- dua belas (12) dalam perhitungan
tahun Sunda (Saka). Tujuan acara ini bermuara pada rasa syukur kepada Tuhan atas
kehidupan yang sudah diterima pada tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun baru
dengan luapan kegembiraan dan harapan2.
Upacara Seren Taun ini merupakan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan,
kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyarakat Sunda dalam menghormati
roh karuhun, nenek moyang. Kepercayaan ini tersebar di daerah Kecamatan Cigugur,
Kuningan, Jawa Barat. Kepercayaan ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang
(tradisi nenek moyang), kepercayaan Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau Agama
Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa
kepercayaan ini adalah bagian dari agama Buhun3, Jumlah pemeluknya di daerah
Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka
jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang,
sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa4. Masyarakat yang memeluk kepercayaan
Sunda Wiwitan disebut juga Penghayat. Namun pada saat yang sama pemeluk ADS juga
ikut membubarkan diri disebabkan karena ada anggapan bahwa ADS bukanlah sebuah
agama dan atau sebagai penyimpangan ajaran agama5.
1 Nana Gumilang, Seren Taun – Pesona Budaya dan Rafleksi Rohani Masyarakat Cigugur (Cileungsi-
Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013), 19 2 Gumilang, Seren Taun, 19
3 Buhun yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat
Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dan lain-lain
4 http://www.tabloidpodium.com/berita-agama-sunda-wiwitan.html, diunduh pada tanggal 04
Agustus 2015 pukul 22:45 5 Pernyataan ini dikemukakan oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat), Katalog
Dalam Terbitan (KDT), Cigugur, 40-41
2
Kepercayaan Sunda atau kepercayaan Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh
Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais
belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920
untuk melanjutkan ajarannya6.
Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan dari
Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah
Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur7. Sang
pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi
Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat
pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya
dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya
menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda8.
Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan asal mula terbentuknya Gereja Kristen
Pasundan (GKP). Gereja Kristen Pasundan (GKP) adalah sebuah Gereja yang berada di
tataran pasundan (Sunda-Jawa Barat) dan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat
Cigugur merupakan bagian dari GKP secara luas. GKP Jemaat Cigugur terletak di
Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Hal ini bagi penulis menarik
untuk diteliti karena ritual Upacara Seren Taun merupakan upacara yang masih
dilakukan sampai sekarang, ditengah-tengah keberagamaan agama terutama oleh
masyarakat yang telah memeluk agama Kristen, oleh sebab itu penulis ingin meneliti
lebih dalam tentang bagaimana tinjauan sosio-teologis GKP Jemaat Cigugur mengenai
ritual Upacara Seren Taun tersebut.
Menurut informasi yang penulis terima dari jemaat GKP Cigugur mengenai
upacara Seren Taun, bahwa upacara Seren Taun ini memiliki sisi sosiologis dan teologis.
Adapun sisi sosiologis menurut jemaat diantaranya memper-erat tali persaudaraan, rasa
menghormati yang tinggi terhadap tetua adat dan tidak membeda-bedakan agama, suku
serta latar belakang. Sedangkan dari sisi teologis menurut informasi jemaat GKP Cigugur
mengenai upacara Seren Taun bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat
6 Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Cigugur – Miniatur Pluralisme Indonesia
(Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), Agustus 2013), 38 7 Katalog Dalam Terbitan (KDT), Cigugur, 24
8 Katalog Dalam Terbitan (KDT), Cigugur, 36
3
setempat (terlebih penghayat) kepada sang Pemberi Berkat dan masyarakat menunjukan
penghormatan kepada alam sebagai ciptaan dari Sang Pencipta.
Upacara Seren Taun dilaksanakan setiap tahunnya yang diikuti oleh penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan, masyarakat sekitar (termasuk jemaat GKP Cigugur), tamu
dari luar daerah dan terlebih tamu dari mancanegara. Seren Taun ini dilakukan selama
tujuh (7) hari yang di dalamnya terdapat banyak kegiatan yang dilakukan; dalam tujuh
(7) hari tersebut ada tarian-tarian daerah, salah satunya adalah Tari Buyung; ada
perlombaan-perlombaan bagi masyarakat sekitar, contohnya membuat irama musik
dengan media air; Puncak dari acara Seren Taun ini adalah pada hari yang ke-tujuh (7)
dimana pada hari tersebut masyarakat mendapat giliran untuk menumbuk padi di gedung
Paseban, dimulai dari tamu undangan sampai pada yang terakhirnya kepada masyarakat
sekitar; setelah acara menumbuk padi, semua masyarakat yang terlibat melakukan pawai
mengelilingi daerah Cigugur, terlebih lagi mengelilingi Kabupaten Kuningan dengan
membawa patung-patung hewan yang terbuat dari bahan sterofoam yang mereka buat
sendiri.
Secara sosiologis upacara Seren Taun dapat mempererat hubungan masyarakat
tanpa harus melihat latar belakang agama, budaya, ekonomi, politik, dan lain-lain.
Sedangkan secara teologis upacara Seren Taun berarti suatu penghormatan kepada
leluhur dan budaya yang dilakukan oleh Jemaat GKP Cigugur sebagai ungkapan rasa
syukur.
Upacara Seren Taun yang penulis tulis ini merupakan salah satu kebudayaan di
Indonesia. Oleh sebab itu, ada tiga (3) teori yang akan penulis gunakan di dalam tulisan
ini, diantaranya:
Teori tentang ritual menurut Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan
Koentjaraningrat. Kebudayaan menurut Raymond Williams. Kebudayaan (culture) dekat
pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation) yang berarti pemeliharaan ternak,
hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Namun dalam pemaknaannya, kebudayaan
mengalami perubahan-perubahan sehingga definisinya menjadi sangat kompleks.
Raymond Williams berpendapat bahwa kebudayaan merupakan penggambaran
keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah
4
orang, kelompok, atau masyarakat9. Teori kebudayaan menurut Richard Niebuhr yang
mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan kebudayaan yaitu: Kristus melawan
kebudayaan, Kristus dari kebudayaan, Kristus di atas kebudayaan, Kristus dan
kebudayaan, dan Kristus pembaharu kebudayaan.
Menurut penulis, penggunaan tiga (3) teori tersebut sangat tepat karena upacara
Seren Taun merupakan salah satu ritual dan kebudayaan yang ada di Indonesia dan
seperti apa yang telah dikatakan oleh Raymond Williams, bahwa kebudayaan berarti
pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Sedangkan teori yang
diungkapkan oleh Richard Niebuhr bertujuan untuk melihat pandangan iman Kristen
(Gereja) terhadap kebudayaan itu sendiri. Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan
Koentjaraningrat memaparkan tentang teori ritual.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka fokus permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap GKP Jemaat Cigugur melihat Upacara
Seren Taun secara sosio-teologis?
Dari rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan
sikap GKP Jemaat Cigugur melihat upacara Seren Taun secara sosio-teologis.
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran
bagi masyarakat Indonesia yang multi etnis, agama, dan budaya yang bertitik tolak dari
sebuah tradisi lokal yang telah lama dimiliki masyarakat untuk menciptakan kehidupan
yang harmonis dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan kualitatif
dengan metode diskriptif. Metode kualitatif diskriptif adalah pencarian fakta dengan
intepretasi yang tepat dengan jalan mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat,
serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk
tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-
proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena10
.
9 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
8 10
Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 63-64
5
Jenis dan Pengambilan Data
1. Primer
Data primer di dapatkan melalui wawancara. Wawancara ditujukan kepada
informan kunci seperti: Ketua adat (Sunda Wiwitan), Pendeta Jemaat, Tetua
Jemaat (Jemaat paling tua), Masyarakat pada umumnya.
2. Sekunder
Selain metode wawancara, penulis juga menggunakan teknik dokomentasi.
Dokumentasi merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian,
baik dari sumber dokumen, gambar, buku, koran, dan majalah11
. Teknik ini
dilakukan untuk memperoleh referensi yang relevan seperti konsep, gagasan, teori
yang relevan dan berkaitan dengan penelitian baik dalam proses pengumpulan
data dan pengolaan data.
3. Unit Amatan
Jemaat GKP Cigugur
4. Unit Analisis
Jemaat yang mengikuti ritual Seren Taun
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang akan dilakukan penulis bertempat di daerah Kecamatan
Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Cigugur terletak di sebelah Barat
Kabupaten Kuningan yang merupakan daerah pegunungan, dengan puncaknya
Gunung Ciremai (3.076 m) di perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Penulis
sendiri akan lebih memfokuskan penelitian kepada GKP Jemaat Cigugur dan
daerah Kecamatan Cigugur itu sendiri.
Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis membaginya menjadi lima bagian pokok
bahasan. Bagian pertama berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian
kedua berisi teori tentang ritual menurut Agus Bustanuddin, Imam Suprayogo, dan
Koentjaraningrat, teori Raymond Williams: kultivasi (cultivation), dan Richard Niebuhr:
Kristus dan Kebudayaan. Pada bagian ketiga penulis akan melakukan studi lapangan ke
Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Cigugur, guna mencari informasi tentang ritual
upacara Seren Taun. Bagian keempat berisikan analisa yang akan penulis lakukan guna
11
Hadiri Nawawi, Instrumen Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), 74
6
melihat relevansi ritual upacara Seren Taun bagi GKP Jemaat Cigugur dengan
menggunakan teori-teori yang ada dibagian kedua. Bagian kelima berisi kesimpulan
yang merupakan inti dari bagian pertama sampai bagian keempat.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Teori Ritual
Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang
dilakukan oleh kelompok umat beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam
unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-
alat dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara12
. Pada dasarnya ritual
adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda,
peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan memakai pakaian tertentu
pula13
.
Ritual atau ritus dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki
yang banyak dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak balak dan upacara karena
perubahan atau siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan dan
kematian14
. Upacara ritual sering disebut juga upacara keagamaan. Upacara yang tidak
dipahami alasan konkretnya dinamakan rites dalam bahasa Inggris yang berarti tindakan
atau upacara keagamaan. Upacara ritual merupakan kegiatan yang dilakukan secara rutin
oleh sekelompok masyarakat yang diatur dengan hukum masyarakat yang berlaku15
. Hal
ini sesuai dengan pendapat Koentjaningrat dimana upacara ritual adalah sistem aktifasi
atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat
yang berhubungan dengan bagaimana macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada
masyarakat yang bersangkutan16
. Adapun penggunaan kata ritus yang menurut
Bustanuddin ritus berhubungan dengan kekuatan supranatural dan kesakralan. Karena itu
istilah ritus atau ritual dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali
dengan yang natural, profan, dan aktivitas ekonomis rasional sehari-hari. Ritual
dilakukan sebagai salah satu sarana mencari keselamatan dan bukti nyata dari sebuah
12
Koentjaraningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967),56 13
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 41 14
Bustanuddin, Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 95 15
Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 96 16
Koentjaraningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 190
7
keyakinan yang dimiliki oleh kelompok atau anggota masyarakat tentang adanya
kekuatan yang maha dahsyat di luar kemampuan manusia17
.
Ritual juga merupakan bentuk rasa hormat kepada Tuhan, Dewa, Leluhur, dan
Roh-Roh. Menurut Koentjaningrat, upacara religi atau ritual adalah wujudnya sebagai
sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, Dewa-Dewa, Roh-Roh halus, Neraka,
Surga dan sebagainya, tetapi mempunyai wujud yang berupa upacara-upacara, baik yang
bersifat musiman maupun yang kadangkala18
. Ritual selalu berhubungan dengan sebuah
kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus rasa hormat luhur kepada
yang dipercayainya. Ritual dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap (roh)
leluhur dan sebuah permohonan keselamatan, rezeki (berkat) kepada Tuhan yang mereka
yakini. Setiap ritual dilakukan dengan sakral karena kegiatan tersebut merupakan
kegiatan suci.
Upacara ritual menurut Koderi (1991 : 109) adalah upacara yang berkaitan
dengan kepercayaan terhadap kekuatan benda alam dan roh halus atau kekuatan gaib
biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti Suran, Sadranan, Sedhekah Laut,
dan Sedhekah Bumi. Sisa-sisa kepercayaan semacam itu juga menyertai dalam kegiatan
menuai padi, mendirikan rumah, dan memelihara benda-benda yang dianggap keramat.
Menurut Supanto dalam Sunyata (1996 : 2) ritual merupakan kegiatan sosial yang
melibatkan para warga dalam mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tradisional
ataupun ritual adalah bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud
karena fungsi upacara tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara
tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya.
2.2. Kebudayaan Menurut Raymond Williams
Kebudayaan menurut Raymond Williams. Kebudayaan (culture) dekat
pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation) yang berarti pemeliharaan ternak,
hasil bumi, dan upacara-upacara religius. Namun dalam pemaknaannya, kebudayaan
mengalami perubahan-perubahan sehingga definisinya menjadi sangat kompleks.
Raymond Williams berpendapat bahwa kebudayaan merupakan penggambaran
17
Bustanuddin, Agama Dalam Kehidupan Manusia, 97 18
Koentjaraningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 204
8
keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah
orang, kelompok, atau masyarakat19
.
Raymond Williams mengatakan bahwa kebudayaan merupakan terminologi yang
paling “rumit” dalam sebuah bahasa. Rumitnya menafsir dan memahami kata tersebut
disebabkan adanya keterlibatan prasangka (apriori) yang kuat sebagai paradigma
kebudayaan (cultural paradigm). Sebuah tulisan dari Rene Char menyatakan bahwa
kebudayaan adalah “warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat” (notre heritage
n’est precede d’aucun testament – Prancis). Dengan mengutip tulisan Rene Char ini,
Ignas Kleden menjelaskan setiap pembaharuan suatu budaya. Bahwa pada mulanya
kebudayaan adalah “nasib”, dan baru kemudian kita menanggungnya sebagai tugas. Pada
mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita
yang menanggung beban kebudayaan tersebut sebelum kita bangkit dalam kesadaran
untuk turut membentuk dan mengubahnya. Pada dasarnya kita adalah “pasien”
kebudayaan sebelum kita cukup kuat untuk menjadi “agen”-nya20
.
Oleh sebab itu menurut Raymond Williams, kata budaya atau culture adalah satu
diantara tiga kata yang paling sulit untuk didefinisikan di dalam bahasa Inggris. Wiliams
menyarankan tiga pengertian yang dapat digunakan untuk mengerti apa yang dimaksud
dengan budaya, diantaranya: Pertama, A general process of intellectual, spiritual, and
aesthetic development (Sebuah proses umum dari intelektual, spiritual, dan
perkembangan estetika). Kedua, A particular way of life, whether of a people, a period
or a group (Cara hidup yang khusus baik dari seseorang manusia, suatu periode, atau pun
suatu kelompok). Ketiga, Refer to a works and practices of intellectual and especially
artistic activity21
(Mengacu kepada karya-karya atau praktek-praktek intelektual dan
khususnya kegiatan-kegiatan yang bersifat seni).
Dari ketiga pengertian yang telah disarankan oleh Raymond Williams ini, akan
didapatkan tiga wujud dari kebudayaan tersebut, selaras dengan yang dikemukakan oleh
J.J. Hoenigman (dalam Koentjaraningrat, 1986), diantarnya: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
19
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 8
20 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
19 21
John Storey, Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Sixth Edition, (New York: Routledge, 2013), 1-2
9
1. Gagasan (Wujud Ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya
abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut
menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3. Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret
diantara ketiga wujud kebudayaan. Pada kenyataannya, kehidupan bermasyarakat,
antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan
yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah
kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Berdasarkan wujudnya
tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama, yaitu
kebudayaan material dan kebudayaan non- material. Kebudayaan material
mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam
kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat
terbang, stadion olah raga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan non material adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian
tradisional.
10
2.3. Teori Kebudayaan Richard Neibuhr
Richard Neibuhr mengajukan lima tipologi tentang Kristus dan Kebudayaan
yaitu Kristus lawan Kebudayaan, Kristus dari Kebudayaan, Kristus di atas Kebudayaan,
Kristus dan Kebudayaan, dan Kristus Pembaharu Kebudayaan.
Kristus lawan Kebudayaan
Dalam tipologi ini ditekankan bahwa otoritas penuh Kristus atas orang Kristen
dengan tegas menolak tuntutan kebudayaan. Kristus dengan karakternya yang
suci dan kudus sangat bertolak belakang dengan keberadaan masyarakat yang
berbudaya. Kebudayaan dianggap sebagai sumber dosa. Jadi dapat dikatakan
bahwa keyakinan dan ketaatan akan Kristus dalam tipologi ini bersifat ekslusif22
.
Tipologi Kristus lawan Kebudayaan ini dapat dikatakan sebagai sikap radikal
yaitu sikap yang sama sekali tidak mengakui hubungan antara iman dan budaya.
Iman berasal dari Tuhan sedangkan budaya datang dari manusia23
.
Kristus dari Kebudayaan
Tipologi yang kedua yaitu Kristus dari Kebudayaan menjelaskan bahwa
pemahaman akan Kristus dapat dilihat melalui kehidupan dalam kebudayaan
dengan memilih ajaran dan tindakan Kristus yang masih cocok dengan apa yang
terbaik di dalam peradaban24
. Jadi dapat dikatakan bahwa tipologi ini adalah
sikap yang akomodatif yaitu melihat adanya keselarasan antara Kristus dan
Kebudayaan terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sesuai dengan kehidupan
Kristus. Sehingga sikap ini sangat bertentangan dengan sikap radikal25
.
Kristus di atas Kebudayaan
Kristus di atas Kebudayaan berarti bahwa manusia dengan sifat alami dan
keberadaan dalam kehidupan budayanya wajib untuk taat kepada Allah26
.
Tipologi ini disebut sebagai sikap yang sintetik atau sikap perpaduan dimana
manusia tidak harus memilih antara Kristus atau Kebudayaan karena dalam sikap
ini kedua hal tersebut diakui. Kristus dianggap relevan dalam kebudayaan tetapi
Ia mempunyai otoritas terhadap kebudayaan tersebut karena kebudyaan berasal
22
H. Richard Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta Pusat: Petra Jaya, 1989) 75 23
Gerrit E. Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, (Jakarta: Persetia, 1995) 137
24 Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan, 94
25 Malcom, Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,
1989), 185 26
Neibuhr, Kristus dan Kebudayaan, 133
11
dari Allah dan dari manusia. Sehingga dapat disebutkan bahwa kedua-duanya
merupakan satu kesatuan yang saling mengisi27
.
Kristus dan Kebudayaan
Tipologi yang keempat adalah Kristus dan Kebudayaan dimana dalam tipologi ini
tergolong dalam sikap dualistik. Sikap dualistik berarti sikap yang mengakui dan
hidup di dunia yang berbeda. Dunia yang pertama adalah Kerajaan Allah, dan
dunia yang kedua adalah masyarakat. Manusia adalah warga Kerajaan Allah dan
masyarakat juga merupakan warga Kerajaan Allah. Tetapi antara Kerajaan Allah
dan masyarakat tidak ada sangkut paut apapun28
.
Kristus Pembaharu Kebudayaan
Kristus pembaharu kebudayaan berarti bahwa Kristus hadir sebagai penebus yang
memperbaharui masyarakat. Tipologi ini termasuk dalam sikap transformatif
dimana ketika kebudayaan yang diciptakan oleh manusia telah dicemari oleh
dosa, tetapi Kristus telah menang atas dosa manusia dan Roh Kudus bekerja
untuk memperbaharui kebudayaan dan adat istiadat yang telah dicemari oleh dosa
tersebut. Oleh karena itu iman harus selalu menjadi warna atau nafas dari
kebudayaan. Jadi yang terpenting dalam sikap transformatif ini adalah tetap
menerima bagian tertentu dari budaya yang sesuai dengan ajaran Kristus dan
menolak bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus29
.
3. Deskripsi Hasil Penelitian Mengenai Upacara Seren Taun Jemaat GKP Cigugur
3.1. Gambaran Umum GKP Jemaat Cigugur
GKP Jemaat Cigugur terletak di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Kabupaten Kuningan, adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Ibu kotanya
adalah Kuningan. Letak astronomis Kabupaten ini di antara 108°23" - 108°47" Bujur
Timur dan 6°45" - 7°13" Lintang Selatan. Kabupaten ini terletak di bagian timur Jawa
Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cirebon di utara, Kabupaten Brebes (Jateng) di
timur, Kabupaten Ciamis di selatan, serta Kabupaten Majalengka di barat. Kabupaten
Kuningan terdiri atas 32 Kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 361 Desa dan 15
Kelurahan. Pusat pemerintahannya di Kecamatan Kuningan. Bagian timur wilayah
Kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian Barat berupa pegunungan, dengan
27
Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, 190 28
Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, 139 29
Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, 139
12
puncaknya Gunung Ciremai (3.076 m) yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka.
Gunung Ciremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat.
Kabupaten Kuningan terbagi dalam beberapa wilayah kecamatan, yaitu
Kecamatan Darma, Kadugede, Nusaherang, Ciniru, Hantara, Selajambe, Subang,
Cilebak, Ciwaru, Karangkancana, Cibingbin, Cibeureum, Luragung, Cimahi, Cidahu,
Kalimanggis, Ciawi Gebang, Cipicung, Lebakwangi, Maleber, Garawangi, Sindang
Agung, Kuningan, Cigugur, Kramatmulya, Jalaksana, Japara, Cilimus, Cigandamekar,
Mandirancan, Pancalang, dan Pasawahan.
3.2. Sejarah Singkat GKP Jemaat Cigugur
Kehidupan jemaat GKP Cigugur masih tidak jauh berbeda dengan pada masa
awal jemaat di awal perkembangan jemaat ini. Sebagian besar pekerjaan jemaatnya
adalah petani, buruh tani dan peternak. Hal ini sangat terkait pada lingkungan alam dan
GKP Cigugur. Kecamatan Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, dimana di daerah ini
merupakan area pertanian dan area peternakan serta dekat dengan gunung Ciremai.
Sebagian yang lain adalah tukang bangunan, meski penghasilan yang diperoleh
digunakan jemaat untuk memenuhi biaya hidup dan pendidikan anggota keluarga.
Rata-rata jemaat disini sebagain besar hanya lulusan SMA atau se-derajat. Tetapi
ada pula beberapa pemudinya yang melanjutkan kuliah ke luar kota. Pemuda-Pemudi di
sini sangat memiliki keterampilan, tetapi dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan hidup,
mereka banyak yang pergi ke luar kota untuk bekerja. Sehingga, di jemaat ini sangat
sedikit Pemuda-Pemudinya. Hal tersebut menimbulkan permasalahan seperti terkikisnya
jumlah jemaat dan minimnya generasi penerus gereja, karena banyak anggota jemaat
yang menempuh pendidikan, bekerja dan berkeluarga di kota dan daerah lain.
Cikal bakal berdirinya GKP Cigugur, dimulai sekitar tahun 1964. Pada tahun
1964 munculah suatu kebijaksanaan dari pemerintah; khususnya dari Kepala Kejaksaan
Tinggi Jawa Barat; mengenai larangan bagi Agama Djawa Sunda (ADS) untuk
mengembangkan kegiatan ajaran agamanya. Sehingga pada tahun itu, bisa dikatakan
aktivitas keagamaan dari para penganut ADS mulai terhambat atau terhenti. Pemerintah
hanya mengakui 5 agama saja, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha.
Situasi dan keadaan yang kurang berpihak memposisikan para penganut ADS untuk
masuk pada salah satu agama yang telah diakui oleh Pemerintah Indonesia. Menurut
13
salah satu anggota jemaat GKP Cigugur, Bapak Sukana, pada saat itu ada semacam
pewahyuan dari salah seorang tokoh ADS yang beredar mengenai agama mana yang
harus mereka ikuti. Isi dari pewahyuan itu: “ulah muntang ka caringin, muntangmah ka
camara bodas”.(jangan berlindung di pohon beringin, berlindunglah kepada cemara
putih). Kata-kata tersebut diartikan oleh para pengikut ADS supaya mereka berlindung
pada ajaran yang dibawa oleh orang-orang kulit putih (Kristen Katolik)30
.
Pengikut ADS yang beralih menjadi penganut agama Kristen Protestan, mula-
mula di Cigugur: Bapak Maskum dan Isteri, Bapak Kiming dan Isteri, Bapak Sukana31
.
Tiga keluarga tersebut dalam perjalanan imannya bertemu dengan seorang pelaut
yang bernama Bapak Stefanus. Bapak Stefanus mengajak mereka untuk mencari gereja
di Cirebon. Pencarian mereka akhirnya tertuju pada Gereja Kristen Pasundan Jemaat
Cirebon, yang pada saat itu dipimpin oleh Pendeta Kesa Yunus32
. Keempat keluarga
tersebut mendapatkan pelayanan dari GKP Cirebon33
. Awal mula kebaktian dirintis di
rumah keluarga Bapak Maskum, Cigugur, ada pula pelayanan yang dilaksanakan pada
saat itu di antaranya adalah kebaktian Umum Minggu dan pelayanan sakramen. Beberapa
Pendeta yang memberikan pelayanan kepada anggota jemaat GKP Cirebon yang berada
di Cigugur diantarnya adalah: Pdt. Kesa Yunus, Pdt. Yosua Anirun dan Pdt. K.
Suryanata. Adanya suatu bentuk persekutuan dan pelayanan di wilayah Cigugur, dalam
perjalanannya mengalami penambahan dalam jumlah keanggotaannya. Mereka yang
tertarik pada persekutuan ini, bukan hanya berasal dari wilayah Cigugur saja, melainkan
juga dari Kuningan yang mayoritas merupakan warga keturunan Tionghoa. Keluarga-
keluarga yang berasal dari Cigugur serta Kuningan dan menggabungkan dirinya dalam
persekutuan GKP Jemaat Cirebon di Cigugur, kurang-lebihnya ada 13 keluarga yang ikut
dalam persekutuan GKP Jemaat Cirebon di Cigugur pada saat itu.
30 Yayan Heryanto, S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur
31 Hasil Wawancara dengan Bapak S., bersama-sama dengan Bapak S., dalam mencari gereja di
Cirebon
32 Yayan Heryanto, S.Si, Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur
33
PPTG GKP 2003 Bab. VI Pasal 32 Adanya persekutuan di wilayah Cigugur pada saat itu masih merupakan Pos Pelayanan dari GKP Cirebon dan belum berbentuk Pos Kebaktian
14
Pada sekitar tahun 1974, terjadilah penambahan anggota yang masuk dan
bergabung. Ada 11 keluarga yang tadinya beragama Katolik mendaftarkan diri menjadi
anggota dari persekutuan jemaat GKP Cirebon di Cigugur34
.
Seiring dengan berjalannya waktu, pertengahan tahun 2004, diangkatlah suatu
gagasan mengenai pendewasaan bagi Pos Kebaktian Cigugur menjadi jemaat yang
mandiri. Melalui pertemuan di rumah salah satu anggota Majelis GKP Jemaat Cirebon,
Bapak Guusye H. Runtukahu yang pada saat itu menjabat sebagai ketua dua Majelis
Jemaat GKP Cirebon, dibicarakanlah dengan khusus mengenai rencana pendewasaan Pos
Kebaktian Cigugur35
. Sebelum menjadi jemaat, Pos Kebaktian perlu menempuh proses
menjadi Bakal Jemaat. Dalam rangka upaya peningkatan status dari Pos Kebaktian
menjadi Bakal Jemaat, maka dibuatlah pembinaan bagi Pos Kebaktian Cigugur.
Pembinaan berlangsung selama 4 bulan, dimulai pada bulan Agustus 2004 dan
berakhir pada bulan November 2004. Tepatnya pada tanggal 21 November 2004 dalam
sebuah kebaktian Minggu yang dipimpin oleh Pdt. Budi T. Kaidun, S.Th, yang pada saat
itu menjadi Pendeta di GKP Juntikebon dan sebagai Pendeta Konsulen di GKP Jemaat
Cirebon, Pos Kebaktian Cigugur diresmikan menjadi Bakal Jemaat Cigugur36
.
Pada tahun 2007, Pdt. Yayan Heryanto, S.Si ditahbiskan menjadi Pendeta jemaat
di GKP Jemaat Cirebon dan ditugaskan melayani di GKP Bakal Jemaat Cigugur. Seiring
berjalannya waktu dan dengan perjuangan dari seluruh anggota di Bakal Jemaat Cigugur,
akhirnya pada bulan Oktober 2010, Bakal Jemaat Cigugur menjadi jemaat mandiri.
Tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2010, Bakal Jemaat Cigugur diresmikan menjadi
GKP Jemaat Cigugur.
3.3. Perayaan Upacara Seren Taun
Sebelum melakukan Ucapara Seren Taun sebagai puncak dari kegiatan di jemaat
Cigugur, masyarakat setempat biasanya melakukan beberapa rangkaian kegiatan, untuk
menyambut puncak acara yakni Upacara Seren Taun. Rangkaian kegiatan tersebut
34 Rasimah TEF Manalu, SS., Laporan Masa Vikariat di Cirebon - Yayan Heryanto, S.Si., Laporan Masa
Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur
35 Pertemuan tersebut merupakan salah satu usaha realisasi atas ide pendewasaan Pos Kebaktian
Cigugur. Y. H. S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur
36 PPTG GKP 2003 Bab. Vi Pasal 30 No.4 - Yayan Heryanto, S.Si., Laporan Masa Vikariat di GKP Jemaat
Cirebon Bakal Jemaat GKP Cigugur
15
biasanya dilakukan enam hari lamanya. Misalnya; Wayang Semalam Suntuk, Pasar
Rakyat, dan sebagainya.
Upacara Seren Taun yang dilakukan oleh masyarakat atau jemaat GKP Cigugur
adalah pesta syukuran yang dilakukan oleh para petani setelah setahun hiruk-pikuk
bekerja. Hal ini dimaksudkan sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas hidup dan
kehidupan yang sudah diterima dalam tahun yang sudah lewat dan menyambut tahun
baru dengan luapan kegembiraan dan harapan. Anggapan masyarakat Cigugur adalah
bahwa Tuhan Maha Agung telah memberi hidup dan kehidupan lewat apa yang kita
makan dan minum, dan lewat udara yang dihirup, dan karenanya patut disyukuri. Ada
nilai-nilai simbolis yang di ambil dari angka 22 Rayagung yang merupakan tanggal
diadakannya ucapara Seren Taun. Maknanya adalah Rayagung diartikan sebagai bulan
akhir yang berarti batas akhir aktifitas setahun yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Sedangkan angka 22 menunjukan arti tertentu. Angka 22 terdiri dari 20 dan 2; Bilangan
dua mengandung makna bahwa di dunia ini selalu berpasangan seperti siang-malam, baik
buruk, pria wanita dan hal berpasnagan lainnya. Sedangkan angka 20 menunjukan organ-
organ yang ada pada tubuh manusia37
. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
upacara ini bertujuan untuk menyatukan dan tidak membeda-bedakan antara satu dengan
yang lain. Menurut masyarakat setempat, Ucapara Seren Taun ini tidak dibatasi hanya
pada golongan tertentu, tetapi untuk semua golongan yang ada dalam masyarakat
Cigugur.
Menurut salah satu majelis jemaat GKP Cigugur Upacara Seren Taun adalah
ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena masyarakat telah tuntas
menyelesaikan setiap tanggung jawab dari awal bulan (Muharam38
) sampai pada bulan
terakhir yakni Rayagung. Menurut beliau, masyarakat perlu bersyukur karena telah
diberikan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memperoleh hasil panen yang
dijadikan sebagai makanan pokok bagi masyarakat setempat39
.
37
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, SEREN TAUN: Pesona dan Refleksi Rohani Masyarakat Cigugur, (PT Rana Genta Nusantara, 2013) 19-20.
38 Muharam merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat untuk menyebut awal bulan dalam
kalender suku Sunda, yang juga adalah awal tahun atau dalam kalender masehi disebut sebagai awal bulan (Januari). Sedangkan Rayagung adalah bulan terakhir dalam kalender suku Sunda yang dalam kalender Masehi berarti bulan Desember
39 Hasil wawancara dengan Ibu C., Selasa 14 Juli 2015, Cigugur
16
3.4. Tanggapan GKP Jemaat Cigugur Terhadap Upacara Seren Taun
GKP Jemaat Cigugur memiliki tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan.
Tradisi tersebut adalah Upacara Adat Seren Taun yang merupakan tradisi dari
kepercayaan lokal, yaitu kepercayaan ADS atau biasa dikenal Sunda Wiwitan. Setiap
diadakannya Upacara Seren Taun, semua elemen anggota jemaat ikut terlibat dan sangat
antusias mengikutinya, tetapi menurut penuturan salah satu responden yang mengatakan,
meskipun semua jemaat ikut terlibat dan antusias dalam Upacara Seren Taun, jemaat
tetap harus mengingat bahwa Upacara Seren Taun hanyalah bagian dari kebudayaan
masyarakat lokal (Sunda)40
. Menurut salah satu responden, masyarakat menyambut
dengan antusias kegiatan yang dilakukan ini, oleh karenanya kegiatan ini tidak hanya
dilakukan oleh masyarakat yang beragama Kristen, melainkan masyarakat non-Kristen
pun ikut berpartisipasi dan antusias mengikuti acara ini. Keterlibatan masyarakat dalam
hal ini GKP Jemaat Cigugur dan anggota masyarakat non-Kristen dalam acara ini
menunjukan bahwa masyarakat benar-benar ingin menghayati dan mengucap syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga masyarakat benar-benar menjaga keamanan dan
ketertiban dari awal kegiatan ini sampai pada puncak kegiatan. Kegiatan ini dikatakan
berjalan dengan baik, karena semua jemaat ikut mendukung acara ini. Selain tidak ada
hal-hal yang menghambat acara ini, GKP Jemaat Cigugur benar-benar berpartisipasi,
baik ikut menyumbangkan makanan dan memberikan tumpangan bagi tamu-tamu yang
ada, semua jemaat berusaha untuk memeriahkan kegiatan ini. Menurut beliau, Upacara
Seren Taun ini tidak dapat ditiadakan karena akan terkesan jemaat melupakan jati diri
mereka, dan dalam banyak hal akan ada banyak pihak yang begitu kecewa. Budaya harus
diangkat dan dilestarikan karena banyak budaya yang hilang karena pengaruh
perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan keagamaan, kegiatan ini bertujuan untuk
menyatukan umat beragama yang satu agama dengan umat beragama lainnya, saling
terikat satu dengan yang lain, hidup rukun antar umat beragama, dalam saling berbagi
pengalaman. Sedangkan dalam hubungannya dengan Yang Maha Esa, manusia
mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan karena Tuhan telah memberikan
kehidupan melalui makanan dan minuman, sebagai bentuk kedekatan manusia dengan
Tuhan yang dapat digambarkan melalui kegiatan Upacara Seren Taun. Kegiatan ini
merupakan sebuah tradisi, maka kegiatan ini tidak dapat digantikan oleh kegiatan
40 Hasil wawancara dengan Ibu C., Selasa 14 Juli 2015, Cigugur
17
keagamaan lain. Karena apabila hal itu terjadi maka dapat menimbulkan perpecahan dan
menimbulkan permasalahan dalam jemaat.
Adapun pernyataan tersebut diperkuat oleh Bapak Sukana yang mengatakan
bahwa Seren Taun adalah sebuah tradisi asli masyarakat lokal (Sunda) yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat Sunda dan ini merupakan ungkapan syukur yang
disampaikan oleh masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hidup itu harus
selaras dengan cara hidupnya. Hal ini disebabkan karena Upacara Seren Taun adalah
yang menyatukan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, sehingga tidak ada
permasalahan yang begitu berarti dalam acara ini. Menurut bapak Sukana pemerintah
ikut mendukung acara ini karena kegiatan ini menyatukan masyarakat. Bukan hanya
agama Kristen atau GKP Jemaat Cigugur yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini,
tetapi agama lain juga ikut berpartisipasi. Menurut beliau juga ada anggapan dari salah
satu anggota DPRD pada saat itu bahwa Bhinneka Tunggal Ika tercermin dalam Upacara
Seren Taun yang berada di Cigugur. Menurut beliau, adanya GKP Jemaat Cigugur
sekarang ini bermula dari orang-orang yang memeluk kepercayaan ADS atau yang biasa
dikenal Sunda Wiwitan, oleh sebab itu upacara Seren Taun yang setiap tahunnya
diadakan tidak dapat lepas dari jatidiri jemaat41
. Inti dari perayaan Seren Taun
(pergantian tahun) adalah sebagai bentuk ungkapan syukur yang di lakukan oleh
masyarakat setempat kepada yang Ilahi atas hidup dan kehidupan yang telah di terima
dalam tahun yang akan segera berakhir, dan menyatakan kegembiraan atas datangnya
tahun baru42
.
Dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, maka salah satu responden
menyatakan secara sosiologi GKP Jemaat Cigugur tidak akan mengambil jarak dari
Seren Taun, karena Seren Taun sudah menjadi akar kuat yang dimiliki oleh jemaat dari
nenek moyang dan juga menjadi sebuah keungtungan warga GKP Jemaat Cigugur
dikenal oleh orang lain, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jemaat lebur menjadi
bagian dari komunitas masyarakat dan adat yang secara khusus terlibat dalam Seren
Taun. Secara sosiologi Seren Taun sebuah keuntungan bagi jemaat GKP Cigugur dalam
hal bermasyarakat43
.
41 Hasil wawancara dengan Bapak S., Selasa 14 Juli 2015, Cigugur
42 Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, SEREN TAUN: Pesona dan Refleksi Rohani Masyarakat
Cigugur. (PT Rana Genta Nusantara, 2013) 11-12
43 Hasil wawancara dengan Pdt. Y. H. S.Si, Rabu 15 Juli 2015, Cigugur
18
Secara sosiologis juga, Upacara Seren Taun adalah acara budaya Sunda atau
disebut sebagai pesta rakyat. Oleh karena itu, masyarakat mempercayainya sebagai
sarana untuk membangun relasi antar kelompok yang satu dengan kelompok lain, satu
keluarga dengan keluarga lain, dan satu anggota dengan anggota lain dalam masyarkat.
Menurut responden masyarakat seperti menyatu ketika acara ini diadakan. Tidak ada
kepentingan pribadi yang ditonjolkan dalam Upacara Seren Taun karena kepentingan
bersama lebih diutamakan. Selain tanggapan sosiologis yang telah dikemukakan oleh
responden, ada juga tanggapan secara teologis44
.
Pandangan secara teologi GKP Jemaat Cigugur terhadap Upacara Seren Taun
pada awalnya tidak memiliki sebuah landasan teologi, karena Seren Taun merupakan
sebuah kultur masyarakat yang masih melekat. Jemaat GKP Cigugur sendiri sekarang ini
adalah generasi ke 2 dan ke 3 dari orang tua mereka yang benar-benar memeluk ADS
atau dikenal sebagai kepercayaan Sunda Wiwitan. Tetapi dengan seiring berjalannya
waktu dan perubahan pola pikir serta kepemimpinan, GKP Jemaat Cigugur mempunyai
landasan teologi. Secara teologi, GKP Jemaat Cigugur membuat propaganda45
yang
dipaparkan kepada masyarakat ADS bahwa kami46
adalah Gereja Kristen Pasundan
untuk wilayah Cigugur. Jemaat GKP Cigugur 90% masyarakat sunda yang ketika
menjadi Kristen, jemaat tercabut dari akar budaya. Jemaat harus menggunakan pakaian,
tradisi yang asing untuk mengenal Kristus. Maka, jemaat menyadari bahwa hubungan
sejarah akar jemaat ada di masyarakat ADS, orang tua jemaat merupakan orang ADS,
maka ketika jemaat ingin belajar kesundaan, yang paling mungkin adalah jemaat belajar
ke komunitas ADS, karena masyarakat ADS atau Sunda Wiwitan yang di dalamnya
terdapat Upacara Seren Taun adalah orang tua jemaat47
.
Selain pandangan teologis di atas, ada pandangan teologis lain yang diungkapkan
oleh salah satu responden bahwa Upacara Seren Taun merupakan suatu tradisi atau
sarana membangun hubungan dengan Yang Maha Esa. Upacara Seren Taun merupakan
tempat yang tepat bagi masyarakat dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa karena tahun yang sudah lewat dan kegembiraan dalam menyambut
44
Hasil wawancara dengan Bapak O. M., Kamis 16 Juli 2015, Cigugur
45 Teologi propaganda= Bahasa teologi yang dimengerti dan diterima oleh masyarakat ADS
46
Kami= Jemaat GKP Cigugur
47 Hasil wawancara dengan Pdt. Y. H. S.Si, Rabu 15 Juli 2015, Cigugur
19
tahun yang akan datang. Masyarakat percaya bahwa Tuhan sudah memberikan berkat
hasil berupa hasil tani yakni padi, pisang, singkong, umbi-umbian dan lain sebagainya48
.
Responden lain, yang juga turut memperkuat tanggapan-tanggapan di atas,
menyatakan bahwa Upacara Seren Taun merupakan tradisi lokal masyarakat Sunda,
tradisi ini sejak dulu sudah ada dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat
Sunda. Tradisi ini sudah mendarah daging bagi jemaat asli dan jemaat pendatang. Pada
awalnya Upacara Seren Taun hanya dilakukan oleh msyarakat ADS (Agama Djawa
Sunda) tetapi pada zaman sekarang tradisi ini adalah milik semua orang Sunda. Saat ini,
Upacara Seren Taun telah dan sering mengalami perkembangan, tetapi juga mengalami
pasang surut artinya Upacara Seren Taun ini mengalami krisis pengunjung, sehingga
untuk menarik minat dari para pengunjung maka dibuatlah undangan dan poster untuk
mengundang masyarakat di luar GKP jemaat Cigugur. Para undangan tersebut
diantaranya masyarakat pada umumnya dan para tokoh agama maupun orang-orang dari
pemerintahan. Hal ini dimaksudkan agar lebih menarik perhatian dan minat dari
kalangan di luar masyarakat Sunda. Upacara Seren Taun sudah diakui mancanegara, dan
Upacara Seren Taun yang diakui ini terlebih yang berada di Cigugur49
.
Menurut responden pada saat melakukan praktek pendidikan lapangan VI yang di
lakukan di GKP Jemaat Cigugur, mendapati bahwa beberapa bulan sebelum puncak
Upacara Seren Taun, banyak jemaat sudah mempersiapkan segala pernak-pernik untuk
perayaan Upacara Seren Taun. Ini merupakan suatu hal positif yang dilakukan oleh GKP
Jemaat Cigugur, karena pada saat sekarang ini, jemaat ingin melestarikan budaya atau
Upacara Seren Taun ini.
Alasan untuk tetap mengembangkan atau melestarikan Upacara Seren Taun ini
adalah karena GKP Jemaat Cigugur merasa bertanggung jawab untuk tetap
mempertahankan dan mengembangkan tradisi ini. Alasan lain yang dikemukakan adalah
karena GKP Jemaat Cigugur merupakan orang-orang asli Sunda dari generasi kedua
sampai pada generasi ketiga yang akan terus mengingat hal ini sebagai bentuk
membangun hubungan yang baik dengan orang-orang terdahulu yang telah
mengembangkan tradisi ini. Orang-orang terdahulu tersebut adalah orang-orang yang
memeluk Agama Djawa Sunda (ADS) atau yang sering disebut Sunda Wiwitan. Tradisi
48
Hasil wawancara dengan Rama Anom, Kamis 16 Juli 2015, Cigugur 49
Hasil Wawancara dengan Saudara P. D. A., Pada Rabu 15 Juli 2015, Cigugur
20
ini adalah merupakan jati diri yang dijadikan patokan dalam mengembangkan budaya
yang ada di Cigugur50
.
Dengan demikian makna sebenarnya dari Upacara Seren Taun menurut
responden adalah sebuah tradisi asli masyarakat Sunda yang mana masyarakat setempat
dalam hal ini GKP Jemaat Cigugur mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pemberi
berkat51
.
4. Relevansi Upacara Seren Taun Bagi GKP Jemaat Cigugur
Tanggapan GKP Jemaat Cigugur terhadap Upacara Seren Taun adalah bahwa
Upacara tersebut merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat dan juga merupakan wujud dari rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas hidup dan Kehidupan yang sudah diterima dari tahun yang sudah lewat
dan menyambut tahun baru dengan luapan kegembiraan dan penuh harapan.
Dari tanggapan di atas, jelas bahwa GKP Jemaat Cigugur menganggap Upacara
Seren Taun sebagai sebuah ungkapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana ada
ungkapan syukur, dan pesta panen. Perasaan bersyukur yang diungkapkan merupakan
sebuah dorongan psikologis orang-orang religius dan bukan merupakan ritus sebuah
agama, GKP Jemaat Cigugur hidup dalam suatu ikatan kekerabatan yang begitu kuat.
Hubungan-hubungan sosial ini terjadi antara orang-perorang, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia yang terjadi diantara
warga masyarakat Cigugur. Tanggapan yang dikemukakan ini sangat berkaitan atau
sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Koentjaningrat yang mengatakan bahwa
upacara ritual adalah sistem aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau
hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan bagaimana macam
peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada masyarakat yang bersangkutan52
.
Tanggapan GKP jemaat Cigugur yang menyatakan bahwa Upacara Seren Taun
adalah wujud rasa syukur jemaat menunjukan suatu aktifitas yang dilakukan secara
turun-temurun oleh masyarakat setempat dan mengindikasikan bahwa sebagai
masyarakat atau GKP Jemaat Cigugur yang religius, mereka dipanggil untuk bersyukur.
50
Hasil wawancara dengan Saudara A. R. A. Pada Selasa 14 Juli 2015, Cigugur 51
Hasil wawancara dengan Bapak A. K. A., Pada Minggu 19 Juli 2015, Cigugur 52
Koentjaraningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 190
21
Ungkapan syukur yang GKP Jemaat Cigugur ekspresikan adalah wujud nyata dari
kehidupan yang telah diterima. Ungkapan syukur ini dilakukan oleh GKP Jemaat
Cigugur dengan hiasan janur, nyanyian dan tarian, acara menumbuk padi bersama,
persembahan hasil bumi, yang bernafaskan keagamaan merupakan ungkapan
sebagaimana yang disebutkan dalam oleh Raymond Williams bahwa kebudayaan
merupakan penggambaran keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan,
dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat53
. Kebudayaan ini
diwujudkan dalam sebuah aktivitas (tindakan) berpola dari manusia dalam masyarakat
itu sendiri. Wujud dari aktifitas ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Tanggapan lain yang juga dikemukakan adalah bahwa Upacara Seren Taun
merupakan bagian dari tradisi luhur masyarakat Sunda. Ini berarti bahwa GKP Jemaat
Cigugur menjadikan Upacara Seren Taun sebagai pengikat antara satu masyarakat
dengan masyarakat lain, dan antara satu golongan dengan golongan lain atau dengan kata
lain, Upacara Seren Taun adalah pemersatu dari masyarakat setempat baik Kristen
maupun non-Kristen. Sebagai makluk sosial, manusia sadar bahwasanya hidup di dunia
adalah hidup bersama dengan yang lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalani
kehidupannya, manusia harus senantiasa menjalin hubungannya yang baik dengan yang
lainnya, hidup rukun antar sesama, saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Dengan demikian maka hal ini dapat dikatakan sama dengan apa yang diungkapkan oleh
Supanto dalam Sunyata (1996 : 2) bahwa ritual merupakan kegiatan sosial yang
melibatkan para warga dalam mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tradisional
ataupun ritual adalah bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud
karena fungsi upacara tradisional bagi kebudayaan masyarakat. Penyelenggaraan upacara
tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian
Upacara Seren Taun ini juga merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh GKP Jemaat
Cigugur.
53
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 8
22
Selain dari beberapa tanggapan yang telah di kemukakan di atas, ada tanggapan
lain yang dikemukakan bahwa Upacara Seren Taun ini merupakan sebuah formasi
budaya yang menekankan pentingnya mempertimbangkan tradisi serta kebudayaan
supaya penghayatan agama itu bersifat kontekstual. Hal ini sangat berkaitan dengan apa
yang dikemukan oleh Richard Neibuhr yang mengajukan lima tipologi tentang Kristus
dan Kebudayaan yaitu Kristus lawan Kebudayaan, Kristus dari Kebudayaan, Kristus di
atas Kebudyaan, Kristus dan Kebudayaan, dan Kristus Pembaharu Kebudayaan. Dan
salah satu yang cocok untuk tanggapan seperti di atas adalah Kristus Pembaharu
Kebudayaan. Kristus pembaharu kebudayaan berarti bahwa Kristus hadir sebagai
penebus yang memperbaharui masyarakat. Tipologi ini termasuk dalam sikap
transformatif dimana ketika kebudayaan yang diciptakan oleh manusia telah dicemari
oleh dosa, tetapi Kristus telah menang atas dosa manusia dan Roh Kudus bekerja untuk
memperbaharui kebudayaan dan adat istiadat yang telah dicemari oleh dosa tersebut.
Oleh karena itu iman harus selalu menjadi warna atau nafas dari kebudayaan. Jadi yang
terpenting dalam sikap transformatif ini adalah tetap menerima bagian tertentu dari
budaya yang sesuai dengan ajaran Kristus dan menolak bagian kebudayaan yang tidak
sesuai dengan ajaran Kristus54
.
GKP Jemaat Cigugur mencoba untuk menghayati bagaimana latar belakang etnis
dan kebudayaan mereka melalui Ucapara Seren Taun. Hal ini bukan menyangkut
keberadaan yang ilahi tetapi merupakan sebuah formasi pengalaman GKP Jemaat
Cigugur terhadap Tuhan, hidup dalam lingkungan tertentu, dan mengembangkan
kebudayaan tertentu yang pada akhirnya melahirkan sebuah persepsi tentang bagaimana
ungkapan syukur kepada Tuhan. Hal inilah yang terjadi dengan GKP Jemaat Cigugur
mencoba mengungkapkan rasa syukur mereka dengan mengadakan Upacara Seren Taun.
Apa yang telah dikemukakan ini sesuai yang dikatakan bahwa ritual merupakan tata cara
dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh kelompok umat
beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu
adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta
orang-orang yang menjalankan upacara55
.
Dengan demikian, dari semua tanggapan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah
satu manifestasi terima kasih atau ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
54
Singgih, Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah, 139 55
Koentjaraningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1967),56
23
apa yang telah diterima oleh GKP Jemaat Cigugur adalah melalui Upacara Adat Seren
Taun.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Ungkapan Syukur atau pesta panen budaya yang dilakukan oleh GKP Jemaat
Cigugur adalah bentuk dari melestarikan nilai-nilai toleransi dengan semangat Bhinneka
Tunggal Ika. Pelaksanaan pesta panen ini dilakukan oleh semua warga Cigugur tanpa
memandang agama dan suku. “Baik yang beragama Kristen, Khatolik, Islam atau
kepercayaan, semuanya sukarela menyiapkan Upacara Seren Taun”. Bukan hanya orang
Cigugur yang sibuk. Orang-orang di luar Cigugur juga ikut membantu. Sikap saling
membantu dalam tugas dan tidak ada pengotak-ngotakan peran berdasarkan keyakinan
juga merupakan bentuk toleransi yang tetap terpelihara. Tidak pernah ada perselisihan
karena latar belakang agama akibat salah satu pihak merasa dirugikan. Sebab, semua
masalah diselesaikan bersama-sama tanpa memandang muka.
Hal di atas merupakan sikap atau tanggapan GKP Jemaat Cigugur yang dianggap
sebagai suatu hal positif, bahwa GKP Jemaat Cigugur menghayati atau mengungkapkan
rasa terima kasihnya melalui Upacara Seren Taun yang dilakukan pada setiap tanggal 22
Rayagung. harapan dan permohonan di tahun yang akan datang turut dipanjatkan dalam
kegiatan ini. Ada beberapa tanggapan atau sikap yang dapat diambil adalah: Pertama,
Sikap Pelestarian budaya dalam masyarakat untuk meningkatkan. Kedua, Toleransi antar
umat beragama atau sikap kekerabatan melalui Upacara Seren Taun.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disimpulkan di atas dan dalam upaya
mengembangkan Upacara Seren Taun, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.
Dalam Upacara Seren Taun, khususnya kepada semua orang baik itu masyarakat
maupun GKP Jemaat Cigugur, pertahankanlah nilai-nilai luhur yang ada di dalam
masyarakat karena dengan begitu, budaya yang ada dapat menyatukan berbagai macam
perbedaan yang ada dalam masyarakat.
Bagi gereja, dukunglah terus kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat dan
turut ambil bagian dalam kegiatan dalam masyarakat tersebut.
24
Bagi fakultas, sebaiknya fakultas meningkatkan kualitas untuk penelitian
lapangan sehingga mahasiswa benar-benar melihat bagaimana masyarakat
mempertahankan dan menjaga budaya yang ada di Indonesia yang begitu beragam.
25
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia, 1989.
Bungin, Burham, H. M. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Effendi, Djohan. Pluralisme dan Kebebasan Beragama. Yogyakarta: Institut
DIAN/interfidei, 2010.
Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
-------------------. Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Girimukti Pasaka, 1984.
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Gumilang, Nana. Pikukuh Tilu – Pemaparan Budaya Spiritual. Cileungsi-Bogor:
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 2013.
--------------------. Seren Taun – Pesona Budaya dan Rafleksi Rohani Masyarakat
Cigugur. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN),
2013.
Indrawardana, Ira. Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman. Bandung: Gedung Merdeka,
2011.
Knitter, Paul. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung –jawab
global. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Kobong, Th. Iman dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosia. Jakarta: Dian Rakyat, 1967.
Kruyt, A.C. Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1986.
26
Nawawi, Hadiri. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996.
Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Niebuhr, H. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Pusat: Petra Jaya, 1989.
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Cigugur – Miniatur
Pluralisme Indonesia. Cileungsi-Bogor: Lembaga Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (LPKN), 2013.
Singgih, Gerrit E. Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya Yang Sedang
Berubah. Jakarta: Persetia, 1995.
Storey, John. Cultural Theory and Populer Culture An Introduction Sixth Edition. New
York: Routledge, 2013.
Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto, (editor). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.