28
Politik Agraria Gerakan Serikat Petani Pasundan dalam Perjuangan Reforma Agraria Anugerah Krisnovandi 12/335561/SP/25265 Azizah Noor Laily12/328754/SP/25129 Rahmat Fajri Rinanda 12/328622/SP/25007 Katrin Dian Lestari 12/328707/SP/25082 Oktiviani Primardianti 12/335686/SP/25349 Ridho Nurwantoro 12/335610/SP/25291 Riska Agustin 12/335487/SP/25246 Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217 Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM 2014

Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ugm tugas

Citation preview

Page 1: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Politik AgrariaGerakan Serikat Petani Pasundan dalam Perjuangan Reforma Agraria

Anugerah Krisnovandi 12/335561/SP/25265Azizah Noor Laily 12/328754/SP/25129Rahmat Fajri Rinanda 12/328622/SP/25007Katrin Dian Lestari 12/328707/SP/25082Oktiviani Primardianti 12/335686/SP/25349Ridho Nurwantoro 12/335610/SP/25291Riska Agustin 12/335487/SP/25246Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217

Jurusan Politik dan Pemerintahan

FISIPOL UGM

2014

Page 2: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Gerakan Serikat Petani Pasundan dalam Perjuangan Reforma Agraria

Latar Belakang

Reforma agraria bertujuan untuk mengubah sistem agraria secara kolonial

menjadi sistem agraria secara nasional yang lebih mengakomodasi kebutuhan

masyarakat dan negara. Perbaikan tersebut berupa perbaikan hubungan antara subyek

dengan obyek agraria, hak milik agraria, dan pemanfaatan sumber daya. Salah satu

caranya adalah restrukturisasi, yaitu pendataan kepemilikan, penguasaan, dan penguatan

sumber-sumber agraria, salah satunya tanah. Dalam menjalankan fungsinya ini, sesuai

dengan tataran operasional, reforma agraria dapat dilakukan dengan dua langkah.

Pertama, penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA). Kedua, penyelenggaraan land reform

plus, yaitu mekanisme penataan ulang aset tanah untuk masyarakat terhadap sumber-

sumber ekonomi dan politik yang bertujuan agar masyarakat dapat memanfaatkannya

dengan baik.1

Dalam proses reforma agraria ini banyak sekali diantara kita yang salah kaprah.

Reforma agraria seolah adalah sebuah reforma yang berlangsung bottom up dari negara

kepada masyarakat terutama petani pemilik dan penggarap lahan. Petani dianggap

sebagai entitas yang tidak berdaya, pasrah, lemah secara politik dan intelektualitas.

Sehingga tidak memiliki peran vital dalam reforma agraria. Padahal menurut Clammer

dalam Sadikin kelompok petani adalah kelompok yang tidak mudah ditaklukan dan

berperan penting dalam perubahan politik,2

“proporsi terbesar populasi pedesaan di dunia (dan oleh karena itu populasi

terbesar secara total) adalah “petani”, dan kelompok manusia yang luar biasa

besarnya ini sekalipun merupakan proletariat pasif dan homogen, namun sebaliknya,

telah dibuktikan oleh gerakangerakan petani yang signifikan di Asia Selatan, Amerika

Latin, Afrika, dan bahkan di Eropa (di mana banyak orang telah lupa jika petani masih

eksis di sana). ”

Berangkat pada latar belakang tersebut maka akan menjadi menarik bagi kita

untuk menelaah lebih jauh mengenai gerakan petani di Indonesia. Serikat Petani

1 Sekilas Reforma Agraria, h tt p :/ / ww w . bp n . g o .i d / P ro g r a m - P r i or ita s / R e f o r m a - A g r a r ia yang diakses pada 5 juni 2014.2 Sadikin. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial. Bandung: Akatiga. Jurnal AnalisisSosial Volume 10 No 1 Juni 2005

Page 3: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Indonesia (SPI) dikenal sebagai forum koordinasi serikat petani se-indonesia. Salah satu

anggota dalam SPI yang populer karena perjuangan dan pemberitaannya adalah Serikat

Petani Pasundan (SPP). Oleh sebab itu akan semakin menarik apabila dalam melihat

serikat petani di Indonesia kita berfokus pada SPP.

Serikat Petani Pasundan sebagai Pelaku Reforma Agraria

Serikat Petani Pasundan (SPP) dideklarasikan di Garut pada tanggal 24 Januari

2000. Serikat ini diprakarsai oleh para aktivis dari berbagai kelompok di Garut, yaitu

Forum Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Garut (FPPMG), Forum Pemuda dan

Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di Tasikmalaya, dan Forum Aspirasi Rakyat dan

Mahasiswa Ciamis (Farmaci) adalah tiga organisasi gerakan mahasiswa yang

mengorganisasi penduduk desa untuk melakukan perlawanan di kasus-kasus konflik

agraria yang Jawa Barat. SPP sangat identik dengan tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu

Garut, Tasik, dan Ciamis. Ketiga kabupaten tersebut memiliki anggota dan fokus

terhadap berbagai aktivitasnya.3

Serikat Petani Pasundan lahir karena mayoritas rakyat Indonesia hidup dari

sektor agraria dan khususnya bermatapencaharian sebagai petani. Namun, perhatian dan

kemampuan pemerintah untuk mengakomodasi nasib kehidupan petani sangat rendah.

Peran yang tidak maksimal dari pemerintah bisa dilihat dari minimnya kontribusi APBN

dan APBD di masing-masing kabupaten yang mayoritas rakyatnya bergantung pada

sektor agraria. Adanya ketimpangan penguasaan kepemilikan dan pemanfaatan sumber

daya agraria, seperti tanah, hutan, laut dan sebagainya. Perlu dilakukan upaya untuk

mengubah keterpurukan rakyat dengan membangun ‘kekuatan pelopor’ di kalangan

petani maupun aktivis gerakan sosial dari kalangan akademis lainnya. Melalui serikat

ini, dilakukan upaya penyebaran gagasan melalui kampanye dan bimbingan kepada

petani.

Dalam makalah ini, kami akan memaparkan lebih jauh bagaimana gerakan

reforma agraria yang dilakukan oleh SPP. Kami juga akan menganalisis seberapa

berhasilnya serikat ini dalam menjalankan reforma agraria dan bagaimana relasinya

dengan negara.

3 Faizah, Nurul. 2004. Serikat Petani Pasundan (SPP): Advokasi Petani dengan Berdikari. Jakarta :

Piramedia

Page 4: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Terbentuknya Serikat Petani Pasundan4

Reforma agraria yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan berawal dari

5 Ibid

adanya konflik yang terjadi di Desa Dangiang, Desa Sukamukti, dan Desa Mekarmukti.

Konflik ini melibatkan dua pihak, yaitu petani ketiga desa dengan Perkebunan Teh

PTPN VIII Nusantara Dayeuh Manggung. Ketegangan antara dua aktor tersebut muncul

karena PTPN masuk dan menguasai lahan-lahan yang digarap oleh petani dari tiga desa.5

Sesungguhnya, peristiwa penguasaan tanah tersebut sudah terjadi sejak tahun

1958. Namun, kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak mereka baru muncul setelah

reformasi 1998. Munculnya gerakan itu membuat kondisi ekonomi masyarakat di ketiga

desa tersebut berubah. Awalnya dengan bekerja menggarap lahan pertanian, warga

sekitar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, semua berubah ketika HGU

dimiliki oleh PTPN. Untuk membuat dapur mereka ngebul, petani harus bekerja ekstra

keras dengan mencari mata pencaharian lain di desa tetangga. Menjajakan kayu bakar

dan daun pembungkus merupakan usaha yang dilakoni masyarakat ketiga desa untuk

sekadar membeli beras.

Pada tahun 1997, ketika Indonesia dilanda krisis moneter, petani dipaksa untuk

menggarap lahan yang diokupasi PTPN tanpa memperoleh izin. Akhirnya, PTPN

memberikan izin dengan sistem sewa per 6 bulan atau 1 musim. Lahan PTPN digarap

sejak Mei 1998 hingga Juni 1999, dengan jumlah penggarap penyewa tanah sebanyak

77 orang. Pertengahan 1999, PTPN mereklaim tanah yang tadinya telah disewakan

kepada warga. Warga merasa dikhianati, namun mereka masih segan untuk melakukan

perlawanan besar atas nasib yang menimpa mereka. Perjuangan warga sekitar

memperoleh titik terang ketika warga bertemu dengan FPPMG (Forum Pemuda Pelajar

Mahasiswa Garut) dan YAPEMAS yang membantu untuk memperjuangkan hak atas

tanah. Kedua organisasi masyarakat sipil tersebut memberikan penyadaran sistem

4 Sub-bab ini merupakan review singkat dari tulisan Nissa Wargadipura “Bekerja Bersama Anggota Serikat Petani Pasundan dalam Mempengaruhi Kebijakan Reforma Agraria: Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan di Desa Mekarmukti, Sukamukti, dan Dangiang, Cilawu Garut” diunduh dari<http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/Serikat%20Petani%20Pasundan.pdf.> diakses tanggal 7 Juni 2014 pukul 13:45 WIB

Page 5: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

pertanahan Indonesia dan menyebarluaskan isi UU Pembaruan Agraria tahun 1960. Tak

luput juga kedua organisasi tersebut memaparkan analisis kedudukan perkebunan dan

8 Ibid

analisa HGU, yang menyatakan bahwa negara harus menyediakan tanah perkebunan

untuk masyarakat meskipun korporasi telah mengantongi HGU dari negara. Pada bulan

yang sama, warga mendirikan SPP (Serikat Petani Pasundan) sebagai alat perjuangan.

SPP lahir disebabkan oleh jalur-jalur formal tak lagi efektif.6

SPP hadir untuk merespon permasalahan petani dari segi eksternal, maupun

internal. Dari segi eksternal, SPP melakukan reforma agraria melalui dua aspek, yaitu

aspek landreform dan aspek non-landreform. Aspek landreform membahas mengenai

penataan ulang dan penguasaan kembali tanah petani. Aspek ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor, seperti demografi, hukum (negara atau adat), dan ekonomi.

Permasalahan yang sering dihadapi oleh SPP dalam aspek ini adalah inkonsistensi

hukum dan lemahnya penguasaan petani terhadap tanah. Sedangkan, aspek non-

landreform membahas mengenai segala hal yang mendukung terjadinya landreform,

seperti dukungan sarana prasarana, teknologi, dan pendampingan organisasi petani.7

Dari segi internal, SPP menghadapi minimnya kesadaran petani terhadap hak-hak

mereka atas penguasaan tanah.

Dalam UUD 1945 pasal 3 ayat 3, disebutkan bahwa “bumi, air, udara, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh pemerintah, sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sayangnya, hingga saat ini peraturan ini hanya

sekadar wacana. Tanah kini dikuasai oleh para kapitalis dan rakyat tidak mendapat

kesejahteraan dari bumi Indonesia yang kaya. Di sisi lain, kesadaran petani terhadap

pentingnya reforma agraria juga masih minim. Oleh karena itu, SPP hadir untuk

memperjuangkan kepentingan petani dalam hal agraria.

Bentuk-Bentuk Perjuangan Serikat Petani Pasundan

Sebagai bentuk penguatan internal dan juga penguatan petani, SPP memiliki

beberapa agenda, antara lain8:

6 Ibid7 Sosiologi Pertanian – Serikat Petani Pasundan dalam Gerakan Pembaruan Agraria

Page 6: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

9 Ibid

1. Memberikan dorongan kepada petani agar dapat lebih aktif menjaga

lingkungannya, seperti Poskamling dan kerja bakti.

2. Memberikan pendidikan kepada petani, mengenai peningkatan produksi

pertanian.

3. Dukungan moral kepada petani yang diwujudkan dengan diadakannya syukuran

atas hasil panen petani.

Poin-poin di atas adalah bentuk sistem pertanian SPP yang dilakukan secara

kebersamaan. Walaupun sifat kebersamaan diutamakan, SPP tidak melupakan tata

kelola produksi. SPP menyatukan sistem pengelolaan lahan, pembudidayaan tanaman,

pemanfaatan hasil pertanian dengan sistem lain, seperti peternakan dan pengolahan hasil

produk pertanian menjadi produk lain. Harapannya, simbiosis mutualisme dapat terjalin.

Selain itu, penjualan hasil panen dilakukan melalui sistem koperasi. Hal ini dilakukan

agar stabilitas harga terjaga dan petani terhindar dari rugi.9

Selain itu, SPP juga melakukan berbagai bentuk upaya demi memperjuangkan

hak-hak mereka, beberapa upaya yang paling masif yang pernah dilakukan diantaranya:

1. Pada tahun 2000, SPP mendatangi DPRD I Jawa Barat untuk mempertanyakan

status 5 perkebunan di Garut karena HGU dari perkebunan tersebut sudah

melewati waktu tenggang.

2. Pada peringatan Hari Agraria, SPP mendesak DPRD untuk segera mengeksekusi

Tap MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan SDA dengan

melakukan demonstrasi besar-besaran.

3. Melakukan long-march bersama LSM dan Organisasi Petani lainnya akibat

disahkannya RUU Perkebunan yang nyatanya merugikan pihak para petani.

Walaupun pada akhirnya RUU tersebut berhasil di sahkan.

Dengan menggunakan prinsip ‘senasib dan sepenanggungan’, SPP

menggunakan strategi-strategi dalam memperjuangkan nasib petani dan reforma agraria.

Melakukan demonstrasi sebesar-besarnya; melakukan pendidikan melalui diskusi-

diskusi dari satu kampung ke kampung yang lain; serta mempererat kesolidan SPP itu

Page 7: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

sendiri merupakan strategi yang diterapkan. Pada awalnya, masyarakat masih

menggunakan jalur-jalur formal untuk mendapatkan legalitas hukum atas tanah garapan.

Perjuangan SPP dilakukan mulai dari pemerintahan desa, camat, Pemda, baik DPRD

kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI hingga ke BPN Pusat. Namun, perjuangan ini tidak

memberikan hasil hingga pada akhirnya jalur informal yang dipilih. Tekanan-tekanan

dilancarkan oleh SPP untuk mendapatkan legitimasi hukum atas tanah garapan terutama

DPRD Jawa Barat. Pada akhirnya, melalui lobi hingga aksi besar-besaran, SPP berhasil

mendesak Tap MPR RI No. IX/2001 yang menjadi alat hukum kedua bagi para

penggarap setelah UUPA tahun 1960.

Dalam melakukan berbagai perjuangannya. SPP memiliki manajemen aksi yang

tertata raih. Misal ketika SPP hendak melakukan aksi ke BPN Pusat, maka SPP akan

melakukan konsolidasi aksi massa mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota,

provinsi, DPR RI hingga ke BPN Pusat. Koordinasi ini dapat dilakukan karena SPP

selalu berusaha menjalin hubungan baik dengan beberapa kepala desa, pejabat birokrat,

pejabat eksekutif dan legislatif di berbagai jenjang.

Koodinasi juga dapat berjalan dengan baik sebab SPP merupakan induk dari

OTL-Organisasi Tani Lokal yang berkedudukan di lingkup wilayah yang lebih kecil.

Total setidaknya pada tahun 2004 telah berdiri 70 OTL dengan jumlah 120.000 petani

terdaftar sebagai anggota. Jumlah ini meningkat berlipat-lipat pada tahun 2008 dengan

jumlah 420.000 petani sebagai anggota dari SPP.

Kontrak dengan Pemerintah yang Sering Berujung pada Kekecewaan

Kerja keras SPP sempat membuahkan hasil dengan terbentuknya Tim Terpadu

Penanganan Masalah Tanah Perkebunan dan Kehutanan di Kabupaten Garut. Tim ini

terbentuk setelah SPP bersusah payah berkonsultasi dan memberikan aspirasi kepada

DPRD Garut, DPRD Jawa Barat hingga BPN Pusat.10 Tim ini bertugas untuk :

10 Tim tersebut terdiri atas ketua Direktur Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, BPN Pusat, Wakil Ketua I, Direktur Pengukuran dan Pemetaan, BPN Pusat, Wakil II, Direktur Pengurusan Hak Atas Tanah, BPN Pusat. Sekretaris I, Kasubdit Penyelesaian Sengketa Hukum, Dit PTIP, BPN Pusat, Sekretaris II, Kasi HGU Perkebunan Besar, Subdit HGU, Dit.PHAT, BPN Pusat, Anggotanya : Bupati Ciamis, Asisten Tata Praja Sekda Kabupaten Ciamis, Kasi HHT, Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis , Kasubsi Penyelesaian Masalah Pertanahan, Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis, Staff Khusus Bidang Agraria, Direksi Perum Perhutani Jakarta, Kasi Hukum dan Perundang – undangan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Ciamis, Ketua Komisi A dan Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Ciamis, Anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Barat, Kepala Bagian Ketertiban Setda Garut, Anggota DPRD Kabupaten Garut, Sekretaris Jendral Serikat Petani Pasundan - SPP , Depkeuc.q Biro TU BUMN, Kasubdit Kelembagaan Usaha Wilayah B, Dirjen Perkebunan. Kasubdit Kelembagaan Wilayah B, Dirjen

Page 8: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

1. Melakukan peninjauan lokasi pada daerah – daerah yang ditetapkan.

2. Melakukan pertemuan dengan warga masyarakat setempat dengan tetap

mengupayakan terwujudnya ketenangan dan ketertiban.

3. Melakukan penelitian berkas/alas hak baik warga masyarakat maupun pada

kantor pertanahan kabupaten Ciamis dan Kabupaten Garut.

4. Membuat evaluasi dan merumuskan kebijakan berdasar peraturan perundangan

yang berlaku.11

Sayangnya, tim tersebut tidak berfungsi dengan baik. Akhirnya di tahun 2001

dibentuklah Tim Penanganan Masalah Pertanahan Buni Sari Lendradan Dayeuh

Manggung

Kabupaten Garut. Tim bertugas untuk mengumpulkan data sekunder yang meliputi, a)

Data Fisik penggunaan dan penguasaan tanah, b) Data sosial ekonomi, c) Data hukum,

dan d) Riwayat tanah.12 Dan sangat disayangkan, tim kedua ini juga tidak terlalu

memberikan efek berarti.

Konflik Serikat Petani Pasundan dengan Negara13

Sebagai sebuah bentuk gerakan ekstra parlemen yang tidak menjadi bagian dari

negara. Tentunya dalam keberlangsungannya SPP sering kali bergesekan/berkonfil

dengan negara. Banyak sekali terjadi konflik antara SPP dengan pihak lain terutama

dengan perusahaan negara atau perusahaan swasta yang berlindung dibalik negara.

Setidaknya ada tiga konflik hebat yang terjadi antara SPP dengan negara sejak

berdirinya SPP sampai sekarang. Yaitu adalah peristiwa tahun 1999 mengenai

penyerobotan lahan garapan petani oleh Perhutani, tahun 2003 mengenai operasi

Wanalaga Lodaya, dan tahun 2008 mengenai Operasi Cigugur oleh Polda Jawa Barat.

Perkebunan. Kasubdit Ketertiban Daerah, Dir, Pemerintahan Umum Daerah, Depdagri. Kasudit Penyelesaian Sengketa Hukum, Direktorat Pengurusan Hak Atas Tanah BPN Pusat. Kasubdit Pendaftaran Tanah, Dir, HAT, BPN Pusat. Kasubdit Perencanaan Teknis, Bina Program, BPN Pusat, Kasubdit Perencanaan Program, Bina Program BPN Pusat, Kasi Keagrariaan, Subdit Ketertiban Daerah, Dir. Pemerintahan Umum Daerah, Depdagri. Kasi Kerangka Dasar Kadasteral, Subdit Pengukuran dan Pemetaan Terrestris, BPN Pusat. Kasi Kerangka Dasar Fotogrametris, Subdit Pengukuran dan Pemetaan Fotogrametris, BPN Pusat. Dan tiga orang wakil dari Serikat Pekerja Perkebunan (SP_BUN) Wilayah Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.11Ibid.12 Ibid. Hal 1613 Noer Fauzi . Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria : Konteks dan Konsekuensi dari SerikatPetani Pasundan (SPP) di Garut, Jawa Barat . dalam Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola PenguasaanTanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa.(2008) Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Page 9: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Mengenai konflik tahun 1999 kiranya telah dijelaskan diatas. Konflik inilah

yang kemudian melahirkan gerakan dari SPP itu sendiri pada tahun 2000.

Sedangkan pada tahun 2003, SPP harus berurusan dengan “Operasi Wanalaga

Lodaya”14. Operasi ini berlangsung sejak 11 Agustus 2003 hingga 23 September 2003

dan terdiri atas 320 polisi serta 67 polisi hutan. Konflik ini adalah konflik

berkepanjangan yang terjadi antara petani Pasundan dengan Perhutani, perkebunan-

perkebunan besar, dan pengelola kawasan konservasi. Perhutani mengklaim bahwa

petani yang tergabung dalam SPP telah menggarap tanah yang telah dikuasai oleh

Perhutani, yaitu Talagabodas, Papandayan, dan Sancang. Operasi ini menuai kritik dari

pemerhati HAM karena banyak petani ditangkap dan ditahan aparat keamanan. Yang

dianggap melakukan pembalakan liar.15

Operasi Wanalaga Lodaya dapat disebut sebagai aksi okupasi tanah atau

reclaiming. Reclaiming dilakukan atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah garapan

penduduk, tapi akibat praktek penindasan, tanah tersebut menjadi bagian dari hutan

Perhutani, perkebunan besar, atau perusahaan. Aksi rakyat yang ingin mengambil

kembali tanah tersebut biasanya disebut dengan aksi “penjarahan”. Penjarahan ini

dianggap sebagai perilaku negatif dan dianggap hanya menimbulkan kerugian negara.

Oleh karena itu, dengan kekuasaan yang dimilikinya, negara menganggap aksi Operasi

Wanalaga Lodaya sebagai jalan formal yang digunakan untuk “menertibkan” rakyat.

Operasi Wanalaga Lodaya ini di provokasikan juga oleh Solihin GP, mantan Gubernur

Jawa Barat pada masa Orde Baru. Solihin GP memprakararasi dibentuknya DPKLTS

(Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tataran Sunda). SPP menganggap

bahwa Solihin GP yang sejak Orde Baru selalu memarjinalkan petani, tidak hentinya

menyurutkan perjuangan gerakan petani di Jawa barat.

Sedangkan pada kasus tahun 2008, pola dan motif kasusnya kurang lebih

sama.16 Pada tanggal 14 Juni 2008, Kapolda Jawa Barat menurunkan tiga kompi Brimob

untuk turun ke lapangan menangkap beberapa anggota SPP yang dianggap melakukan

pembalakan liar di Cigugur. Aktor yang terlibat kali ini tidak lepas juga dari Solihin GP,

mantan Gubernur Jawa Barat. Namun kali ini Solihin berkaloborasi dengan Kapolda

14 Operasi ini terdiri atas Polisi Daerah Jawa Barat, satuan Brigade Mobil, Polisi Resor Garut, Polisi HutanPerhutani, dan aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam.15 Noer Fauzi . Op Cit hal 434-43616 http://indoprogress. com/2010/07/hari-hari-operasi-cigugur.html

Page 10: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Jawa Barat yaitu Susno Duadji. Penyergapan satuan Brimob di Cigugur inipun sangat

membabi buta. Mereka melakukan razia/operasi dengan memeriksa semua warga di

daerah-daerah strategis Cigugur. Satuan Brimob akan segera menahan semua warga

yang memiliki KTA SPP, lebih-lebih anggota SPP yang masuk dalam daftar DPO.

Beberapa hari kemudian, operasi Cigugur semakin membabi buta. Sekjen SPP,

Agustiana ditetapkan sebagai DPO karena dianggap sebagai dalang dari pembalakan liar

di Cigugur. Agustianapun sangat kaget atas statusnya tersebut, ia meminta bantu dari

LBH dan Komnas HAM mengenai kasus hukumnya. Agustiana bersikeras bahwa

pembalakan liar yang terjadi adalah bukan dilakukan oleh anggota SPP tetap yang

terdaftar. Adapula para warga yang melakukan pembalakan hanyalah menjadi tersuruh

dari otak pelaku yang dilakukan oleh pengusaha dan bahkan pejabat pemerintah sendiri.

Agustiana juga menyebutkan bahwa operasi ini adalah sebuah pengalihan isu dari isu

manajemen Perhutani yang tidak becus dalam mengelola hutan. Hal ini dikuatkan

dengan pernyataan dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang mendatangi posko

SPP di desa Jayasari.

Agustianapun sempat di tahan beberapa hari oleh Polda Jawa barat hingga

akhirnya dibebaskan setelah adanya mediasi dari Komnas HAM dan LBH. Lagipula

tuduhan atas Agustianapun tidak cukup bukti, sehingga statusnya tidak dapat

dilanjutkan. Bahkan pada saat pembebasannya tersebut, Sekjen SPP tersebut berjanji

akan membentuk 6000 laskar penyelamat hutan dari anggota-anggota SPP. Sedangkan

beberapa petani juga dibebaskan dengan alasan salah tangkap dan tidak cukup bukti.

Adapula beberapa warga diproses kasus hukumnya karena memiliki indikasi kuat

terlibat dalam pembalakan liar.

Selain dari tiga kasus tersebut apabila kita kuantifikasi dan rekapitulasi lebih

lanjut, ada banyak sekali konflik dan reclaiming antara SPP dengan Perhutani. Hal itu

dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:17

17 Bachriadi, Dianto. Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma Agraria. 2005. Bandung: Akatiga. Jurnal Analisis Sosial Vol 15 No 1 Juni 2010

Page 11: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Reforma Agraria yang Digagas Negara VS Reforma Agraria yang Dimotori

Kesadaran Kolektif : Sebuah Perbandingan

Reforma A gr aria ya n g D il akukan N e ga ra

Reforma agraria oleh negara melibatkan aktor dari beberapa lembaga. Reforma

agraria oleh negara dapat berbentuk sebuah kebijakan atau regulasi yang di dalamnya

memuat pembatasan, pengambilalihan, restitusi dan redistribusi. Maksud dari

pembatasan adalah membatasi kepemilikan tanah. Untuk restitusi dapat diartikan

sebagai kompensasi atau ganti kerugian atau pembayaran kembali terhadap korban yang

dirampas tanahnya. Redistribusi diartikan sebagai pembagian tanah. Reforma agraria

yang dilakukan oleh negara merupakan pengimplementasian dari kebijakan reforma

Page 12: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

agraria atau Tap MPR No IX/ MPR/ 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan

sumberdaya alam. Reforma agraria oleh negara yang menghasilkan output kebijakan

berarti diakui secara legal. Secara legal, reforma agraria juga disebut sebagai

pembaruan agraria atau proses restrukturisasi kepemilikan, penguasaan dan penggunaan

sumber agraria, khususnya tanah18

Dari pernyataan di atas, adapun karakteristik reforma agraria yang dilakukan

oleh negara adalah: 1. Output berupa kebijakan; 2. Legalitas terjamin karena berbentuk

kebijakan; 3.dilakukan oleh kerjasama antar lembaga pemerintah; 4. Adanya

ketimpangan peraturan antara lembaga pemerintah yang satu dengan yang lain; 5.

Lobbying ada, namun tidak terlalu intes seperti yang dilakukan oleh gerakan reforma

agraria yang dilakukan oleh masyarakat/LSM; 6. Rentan memunculkan berbagai

kepentingan elit untuk menguasai sumber daya alam yang ada.

Reforma A gr aria ya n g D il akukan Atas Das ar K esadaran Kolekti f

Ada perbedaan mendasar antara reforma agraria yang dimotori oleh negara

dengan yang digagas oleh kesadaran kolektif masyarakat. Input reforma agraria yang

digagas oleh kesadaran kolektif masyarakat berasal dari keinginan-keinginan di akar-

rumput, bukan berasal dari pertimbangan-pertimbangan rasional para teknokrat

layaknya pada reforma agrarian negara. Realita serupa dapat dijumpai pada kasus desa

Sukamukti, Mekarmukti, dan Dangiang. Masyarakat yang sebagian besar bermata

pencaharian sebagai petani merasa tak memperoleh haknya ketika PTPN mengantongi

HGU dikarenakan semakin sempitnya bahkan hilangnya lahan pertanian mereka.19

Adanya sebuah nilai kolektif yang menjadi pemererat. Semboyan “senasib

sepenanggungan” yang menjadi prinsip utama Serikat Petani Pasundan merupakan nilai

kolektif yang menjaga ikatan antar anggota SPP tetap erat.

Kriteria kedua yang dapat ditemui ialah adanya sifat kritis ataupun pengawasan

pelaksanaan reforma agraria oleh masyarakat sebagai pemasok input kebijakan. Sikap

kritis SPP, pihak yang dalam konteks ini adalah pemasok input kebijakan, menentang

RUU perkebunan. Pihak mereka menganggap bahwa RUU tersebut tidak pro terhadap

18 Sekilas Reforma Agraria dalam h t t p :/ / ww w . bp n . g o .i d / P ro g r a m - P r i or ita s / R e f o r m a - A g r a r ia akses tgl 7Juni 201419NisaWargadipura. Op Cit Hal 8

Page 13: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

petani dikarenakan RUU tersebut mungkinkan petani dipenjarakan dalam sebuah

sengketa tanah.20 Selain itu, SPP juga mengingikan pembaruan dalam UU Agraria

khususnya dalam bidang penguasaan dan tata guna lahan. Singkatnya, reforma agraria

yang digagas oleh kesadaran kolektif masyarakat secara tidak langsung memperingan

kerja dari teknokrat selaku perumus kebijakan.

Kriteria ketiga adalah memungkinkan terlahirnya lembaga-lembaga yang

bertugas mengawal jalannya kebijakan di bidang pertanahan. SPP mengajak pemerintah

lebih concern terhadap isu-isu agraria. Kerja keras SPP membuahkan hasil dengan

terbentuknya Tim Terpadu Penanganan Masalah Tanah Perkebunan dan Kehutanan di

Kabupaten Garut.

SPP sebagai Gerakan Petani Akar Rumput

Dari penjelasan mengenai SPP sebagai gerakan yang sering bergesekan dengan

negara. Maka meminjam argumen Sadikin, bahwa di sini kelompok tani setidaknya

berperan dalam tiga hal. Pertama, perlawanan petani dalam menentang bentuk kebijakan

pemerintah yang mengakibatkan hilangnya hak penguasaan/pemilikan lahan mereka

merupakan salah satu bentuk gerakan sosial. Gerakan sosial ini adalah upaya yang

dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan atau setidaknya

mempertahankan keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, dan politik

petani. Kedua, konflik agraria menampilkan gejala dan peristiwa yang timbul dari

perlawanan petani dan masyarakat yang mendukungnya terhadap pihak yang

bertentangan yaitu pemerintah, aparat keamanan, militer, pengusaha dan masyarakat

yang bertentangan. Ketiga, jika kita meletakkan konflik agraria dalam kerangka

reformasi agraria. Maka konflik agraria adalah merupakan bagian dari proses

berlangsungnya reformia agraria tersebut.

Masih meminjam argumen Sadikin, mengingat bahwa konflik agraria adalah

bagian dari proses reformis agraria. Hal itu berartikan konflik agraria bukanlah sekadar

primordial matter namun pada dasarnya adalah Manufactured product. Oleh sebab itu

konflik agraria tidaklah semestinya diredam ketika konflik benar-benar bersambut.

Namun konflik harus terus dikobarkan sampai reforma agraria itu telah tercapai. Pada

konteks ini tentu saja konflik memiliki makna yang sangat luas. Konflik tidak hanya

20 Ibid.

Page 14: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

terbatas pada hukum pidana atau perseturuan fisik. Namun berdemonstrasi, judicial

review, bahkan perang opini publik/propagandapun termasuk dalam konflik.

Apabila kita telaah lebih jauh, akan kita dapati pula bahwa SPP sebagai sebuah

gerakan tidak terlalu relevan untuk dinilai menjadi gerakan sosial lama ataupun gerakan

sosial baru. Pada sisi gerakan sosial lama, kita dapat melihat dari latar belakang

munculnya SPP adalah karena represi negara oleh Perhutani. Kemudian kita juga dapat

melihat bagaimana operasi Wanaloga Lodaya dan Operasi Cigugur yang dilakukan oleh

satuan kepolisian hingga militer yang disponsori juga oleh Perhutani. Namun pada sisi

yang lain kita dapat cermati bahwa pada beberapa kesempatan, SPP juga sangat serius

dalam menjalin relasi dengan beberapa pejabat negara, mulai dari kepala desa, bupati,

anggota DPRD, dan Gubernur Jawa Barat (Ahmad Heryawan). SPP juga saat serius

dalam negosiasi pembuatan kebijakan pemerintah mengenai HGU. Hal ini cukup

berbuah manis dengan diperolehnya pendudukan lahan 600 Ha eks HGU Perhutani

yang diberikan Pemda Garut. SPP juga berperan penting dalam bernegoisasi dalam

PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional). Bahkan pada penyelesaian Operasi

Cigugur, Agustiana juga berikrar akan membantu aparat dalam pengawasan pembalakan

liar dengan membentuk 6000 laskar dari anggota SPP.

Kesimpulan

Pemaparan diatas membawa kita pada kesimpulan bahwa gerakan serikat petani

seperti SPP telah menjadi gerakan yang sangat strategis perjuangannya. Ia berkeyakinan

bahwa konflik agraria merupakan bagian dari reforma agraria. Sebab itu konflik (dalam

arti luas) dengan negara sebagai pengampu kebijakan merupakan sebuah keniscayaan.

Demi memperoleh hak-hak dan reforma agraria yang adicita-citakan SPP bergerak

dengan cara sangat taktis. Ia tidak menjadikan negara sebagai aktor tunggal yang vis a

vis dengan dirinya. Namun ia menganggap negara sebagai multi aktor yang harus

bermain dengannya secara taktis sehingga apa yang diperjuangkan dapat membuahkan

hasil.

Page 15: Serikat Petani Pasundan Sebuah Kajian Re

Daftar Pustaka

Bachriadi, Dianto. Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma

Agraria. 2005. Bandung: Akatiga. Jurnal Analisis Sosial Vol 15 No 1 Juni 2010

Faizah, Nurul. 2004. Serikat Petani Pasundan (SPP): Advokasi Petani dengan Berdikari.

Jakarta : Piramedia

Sadikin. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, dan Gerakan Sosial. Bandung: Akatiga.

Jurnal Analisis Sosial Volume 10 No 1 Juni 2005

Sekilas Reforma Agraria, ht t p: / /ww w .bpn. g o.id /P ro g r a m - P rio r i t a s/ R e fo r m a - A g raria

diakses pada 5 juni 2014.

Tjondronegoro (ed) . 2008 . Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah

Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Wargadipura, Nissa . 2005 . Bekerja Bersama Anggota Serikat Petani Pasundan dalam

Mempengaruhi Kebijakan Reforma Agraria: Studi Kasus Organisasi Tani Lokal Serikat

Petani Pasundan di Desa Mekarmukti, Sukamukti, dan Dangiang, Cilawu Garut.

(Diunduh dari

<ht t p: / /w e b.iain c ir e bon. a c .id / e book/ m oon/ R ur a l & Vil l a g e / S e ri k a t%20P e ta n i%20P a sund

a n.pd f .> diakses tanggal 7 Juni 2014 pukul 13.45 WIB.

w w w.kp a .or.id/.../ N F - R a c hman - 2012 - D a ri - Ko n fli k - A g rari a- k e - R e fo r m a diakses pada 7

juni 2014.