Upload
duongxuyen
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
38
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENANGGULANGAN
GELANDANGAN DAN PENGEMIS
2.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis
Kata gelandangan dan pengemis sering disingkat dengan “gepeng”.
Masyarakat Indonesia secara umum sudah sangat akrab dengan akronim/singkatan
“gepeng” (gelandangan dan pengemis) tersebut yang mana tidak hanya menjadi
kosakata umum dalam percakapan sehari-hari dan topik pemberitaan media
massa, tetapi juga sudah menjadi istilah dalam kebijakan pemerintah merujuk
pada sekelompok orang tertentu yang lazim ditemui di kota-kota besar.
Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan
gelandangan dan pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma.48
Apabila kita lihat dan bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis
yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang populer
digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis
adalah homeless.49
Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang dimaksud dengan gelandangan
dan pengemis tersebut adalah sebagai berikut:
48Maghfur Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng),Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan: Vol. 7. No. 2, Pekalongan, h. 2.
49Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh PenelitianKualitatif Dengan Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT RemajaRosdakarya, Bandung, h. 88.
38
39
- Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan
hidup mengembara di tempat umum;
- Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk
mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Departemen Sosial Republik Indonesia juga memberikan rumusan yang sama
dengan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis mengenai pengertian gelandangan dan pengemis
tersebut sebagai berikut:
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuaidengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat sertatidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentudan hidup mengembara di tempat umum. Pengemis adalah orang-orang yangmendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagaialasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.50
Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
pengertian gelandangan adalah “orang yang tidak punya tempat tinggal tetap,
tidak tentu pekerjaannya, berkeliaran, mondar-mandir kesana-sini tidak tentu
tujuannya, bertualang”.51 Berikutnya, pengertian pengemis adalah “orang yang
meminta-minta”.52
50Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 2005, Standar Pelayanan MinimalPelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, Depsos RI, Jakarta, h. 2.
51Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisike-3, Balai Pustaka, Jakarta, h. 281.
52Ibid, h. 532.
40
Menurut Parsudi Suparlan, gelandangan berasal dari kata gelandang dan
mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-
pindah. Beliau juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud
dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama
mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang
relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar
masyarakat kecil itu yang merupakan suatu masyarakat yang lebih luas. Tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada
pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan
oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang
mencakup masyarakat kecil itu.53
Berikutnya, khusus untuk kata pengemis lazim digunakan untuk sebutan bagi
orang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal, atau hal lainnya dari
orang yang ditemuinya dengan cara meminta. Berbagai atribut mereka gunakan,
seperti pakaian compang-camping dan lusuh, topi, gelas plastik atau bungkus
permen, atau kotak kecil untuk menempatkan uang yang mereka dapatkan dari
meminta-minta. Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan
berbagai macam alasan, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka karena
lapangan kerja yang sempit.54
Gorris Keeraf mencatat bahwa secara historis asal usul kata pengemis tersebut
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan kebiasaan
53Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang SudahMenetap, FSUI, h. 1
54Dimas Dwi Irawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis,Titik Media Publisher, Jakarta, h. 1.
41
orang jawa yang memiliki kecenderungan menamakan sesuatu berdasarkan
kejadian atau waktu-waktu tertentu. Cerita yang berkembang di daerah Kesunanan
Surakarta Hadiningrat tersebut mengisahkan bahwa dahulu pada suatu hari,
penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja
bernama Pakubuwono X yang pada masa itu memang dikenal sangat dermawan
serta gemar membagi-bagikan sedekah untuk kaum tak mampu terutama
dilakukan menjelang hari Jumat khususnya pada hari Kamis sore.
Pada hari Kamis tersebut diatas, Raja Pakubuwono keluar dari istananya untuk
melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istana menuju Masjid Agung. Perjalanan
dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki dari
istana menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid
Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alun-alun lor
(alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di kanan dan
kiri jalan. Mereka memberikan salam dan menundukkan kepala sebagai tanda
penghormatan kepada pemimpinnya. Pada saat itu sang raja tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya. Kegiatan
yang dilakukan sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya
yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan tersebut yang dilakukan setiap
kamis tersebut berlangsung terus menerus, dan dalam bahasa Jawa Kamis dibaca
kemis, maka lahirlah sebutan untuk orang yang mengharapkan berkah di hari
Kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari Kemis)
42
dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah
pada hari Kemis).55
Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosakata bahasa Indonesia
yang tentunya memiliki kata dasar Kemis (Kamis) bukan emis. Sebutan pengemis
pun lebih sering digunakan daripada kata peminta-minta. Padahal jika diuraikan
dan diambil kata dasarnya kata kemis atau emis tidak dikenal dalam kosakata
bahasa Indonesia kecuali jika ada tambahan awalan pe- sehingga membentuk kata
pengemis. Lain halnya dengan kata peminta-minta yang memiliki kata dasar
minta yang artinya sudah jelas bahkan bisa berdiri sendiri.
2.2 Peraturan Perundang-Undangan Terkait Penanggulangan Gelandangan
dan Pengemis
Dalam penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis
di Indonesia, khususnya yang terjadi pula di Kota Denpasar, maka terdapat
beberapa aturan hukum yang relevan dan dapat dijadikan pedoman/landasan
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia
55Ibid, h. 4.
43
Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.
5294);
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3177);
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kota Daerah
Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994 Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota
Denpasar No. 4 Tahun 2000).
1. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
ini gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang
mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS). Sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka
Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi masyarakat yaitu yang diprioritaskan kepada mereka
yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki
kriteria masalah sosial: kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan,
keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban
tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi (Pasal 2 dan 5 UU RI No. 11 Tahun
2009). Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok
44
masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga kegiatan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan
dan pengemis.
Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ditegaskan
bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a. Rehabilitasi sosial yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat;
b. Jaminan sosial yaitu skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;
c. Pemberdayaan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan
warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya;
d. Perlindungan sosial yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan
menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.
Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut diatas
yang relevan dan penting diperhatikan dalam rangka penanggulangan
gelandangan dan pengemis adalah rehabilitasi sosial, apalagi diperuntukkan
kepada gelandangan dan pengemis yang terjaring razia oleh petugas/instansi
terkait sehingga upaya rehabilitasi sosial tersebut nantinya diharapkan dapat
memulihkan dan mengembangkan kemampuan gelandangan dan pengemis yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar. Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang RI No. 11
45
Tahun 2009 ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial tersebut dapat dilaksanakan
secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun
panti sosial. Kegiatan rehabilitasi sosial tersebut diberikan dalam bentuk:
a. Motivasi dan diagnosis psikososial;
b. Perawatan dan pengasuhan;
c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. Bimbingan mental spiritual;
e. Bimbingan fisik;
f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. Pelayanan aksesibilitas;
h. Bantuan dan asistensi sosial;
i. Bimbingan resosianlisasi;
j. Bimbingan lanjut; dan atau
k. Rujukan.
2. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
RI No. 11 Tahun 2009 yang mana dalam ketentuan Pasal 6 huruf (e) dan (f)
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa terhadap
gelandangan dan pengemis patut mendapatkan rehabilitasi sosial dalam rangka
kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia.
Rehabilitasi sosial ini ditujukan untuk mengembalikan keberfungsian secara fisik,
46
mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan bagi
gelandangan pengemis.
Dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut
ditegaskan pula bahwa rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif,
motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran,
dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia
direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan,
pemberian semangat, pujian, dan atau penghargaan agar seseorang tergerak secara
sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah berupa
tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses rehabilitasi sosial.
Berikutnya, dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012
dijelaskan bahwa kegiatan rehabilitasi sosial tersebut dapat diberikan dalam
bentuk: motivasi dan diagnosis psikosional; perawatan dan pengasuhan; pelatihan
vokasional dan pembinaan kewirausahaan; bimbingan mental spiritual; bimbingan
fisik; bimbingan sosial dan konseling psikosional; pelayanan aksesibilitas;
bantuan dan asistensi sosial; bimbingan resosialisasi; bimbingan lanjut; dan atau
rujukan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tersebut diatas,
maka kegiatan rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada gelandangan dan
pengemis dapat diupayakan melalui upaya-upaya anjuran maupun ajakan sampai
yang sifatnya dipaksakan agar gelandangan dan pengemis tersebut bersedia
melakukan rehabilitasi sosial. Melalui kegiatan rehabilitasi sosial tentu diharapkan
47
gelandangan dan pengemis dapat segera melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar dan tidak mengulangi kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut.
3. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis
Pasal 58 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
menegaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3039) yang ada pada saat diundangkannya UU No. 11
Tahun 2009 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti
berdasarkan Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 ini. Berdasarkan ketentuan
pasal ini, maka Peraturan Pemerintah RI No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis tetap berlaku dan dapat dijadikan
dasar atau pedoman dalam rangka penanggulangan atau penanganan masalah
gelandangan dan pengemis karena belum diganti dan tidak bertentangan dengan
Undang-Undang RI No. 11 tahun 2009 tersebut diatas.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan
pengemis tersebut tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan
usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, represif dan
rehabilitasi.
a. Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, yang
48
ditujukan baik kepada perorangan maupun kelompok masyarakat yang
diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan dan pengemis, yang
mana berdasarkan Pasal 6 upaya tersebut meliputi: penyuluhan dan bimbingan
sosial, latihan, pendidikan, pemberian bantuan, perluasan kesempatan kerja,
pemukiman lokal, peningkatan derajat kesehatan, pengawasan serta
pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan
pergelandangan dan pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya:
- Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga
terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;
- Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan
di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan
pada umumnya;
- Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan
pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah
pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
b. Upaya represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang dimaksudkan untuk
mengurangi dan/atau meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan
baik kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan
pergelandangan dan pengemisan. Dalam Pasal 9 diuraikan mengenai upaya
represif tersebut meliputi: razia, penampungan sementara untuk diseleksi, dan
pelimpahan.
Dalam ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980
diuraikan bahwa gelandangan dan pengemis yang terkena razia ditampung
49
dalam penampungan sementara untuk diseleksi. Seleksi dimaksudkan untuk
menetapkan kualifikasi para gelandangan dan pengemis dan sebagai dasar
untuk menetapkan tindakan selanjutnya yang terdiri dari:
- Dilepaskan dengan syarat;
- Dimasukkan dalam Panti Sosial;
- Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya;
- Diserahkan ke Pengadilan;
- Diberikan pelayanan kesehatan.
c. Upaya rehabilitasi adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha
penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, sehingga
dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai
Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini dilaksanakan
melalui Panti Sosial.
Usaha penampungan tersebut diatas ditujukan untuk meneliti/menyeleksi
gelandangan dan pengemis yang dimaksukkan dalam Panti Sosial. Seleksi
dimaksud bertujuan untuk menentukan kualifikasi pelayanan sosial yang akan
diberikan. Selanjutnya, usaha penyantunan ditujukan untuk mengubah sikap
mental gelandangan dan pengemis dari keadaan yang non produktif menjadi
keadaan yang produktif. Dalam melaksanakan usaha penyantunan tersebut
diatas para gelandangan dan pengemis diberikan bimbingan, pendidikan dan
latihan baik fisik, mental maupun sosial serta keterampilan kerja sesuai
dengan bakat dan kemampuannya. Berikutnya adalah usaha-usaha tindak
50
lanjut yang bertujuan agar mereka tidak kembali menjadi gelandangan dan
pengemis. Usaha tindak lanjut tersebut diatas dilakukan dengan:
- Meningkatkan kesadaran berswadaya;
- Memelihara, menetapkan dan meningkatkan kemampuan sosial ekonomi;
- Menumbuhkan kesadaran hidup bermasyarakat.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Bahwa disamping upaya-upaya penanggulangan sebagaimana ditegaskan UU
No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah RI No.
39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan
Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan
Pengemis tersebut diatas, maka dalam rangka penanggulangan atau penanganan
masalah gelandangan dan pengemis juga dapat diterapkan upaya-upaya
penanggulangan melalui penerapan hukum pidana (upaya penal) yaitu berupa
pemberian sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana
dibedakan menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran.
Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam buku kedua KUHP, dan tindak pidana
pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat dua pandangan mengenai
kriteria perbedaan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, yaitu
pandangan yang bersifat kualitatif dan pandangan yang bersifat kuantitatif.56
56Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco,Bandung, h. 26.
51
1. Pandangan yang bersifat kualitatif menyatakan bahwa:
Kejahatan adalah rechtsdelict yaitu perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu Undang-
undang atau tidak, jika benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
bertentangan dengan keadilan, misalnya: pembunuhan, pencurian.
Pelanggaran adalah wetsdelict yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari
sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang menyebutkan sebagai
tindak pidana, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan
hukuman pidana.
2. Pandangan yang bersifat kuantitatif, yaitu hanya meletakkan kriteria pada
perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih
ringan dari pada kejahatan.
Larangan untuk mengemis atau menggelandang diatur secara jelas dalam
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Kegiatan pergelandangan dan
pengemisan tersebut dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu sebagai
pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana).
Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:
1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan
pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;
2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas
enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan.
52
Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut:
1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karena melakukan
pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan;
2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di
atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam
bulan.
Ketentuan KUHP tersebut diatas menegaskan kegiatan pergelandangan dan
pengemisan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah hanya pergelandangan
dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum yang mana dapat
menimbulkan gangguan ketertiban umum. Ini berarti tidak semua gelandangan
dan pengemis dapat dikenakan sanksi pidana, melainkan hanya gelandangan dan
pengemis yang terbukti atau tertangkap basah melakukan kegiatan
menggelandang dan mengemis di tempat-tempat umum.
5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000
tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum
Khusus untuk wilayah Kota Denpasar, larangan dan saksi pidana bagi
kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut juga diatur di dalam Pasal 35
ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993
jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang
menegaskan sebagai berikut:
- Pasal 35 ayat (4): “Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-
minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”;
53
- Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)”.
Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang khususnya di wilayah Kota
Denpasar tersebut menurut hukum adalah dilarang dan merupakan suatu tindak
pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana secara umum untuk kegiatan
pergelandangan dan pengemisan diatur dalam KUHP, namun Pemerintah Daerah
Kota Denpasar melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula menetapkan
peraturan soal larangan tersebut. Sama halnya dengan sanksi pidana bagi
gelandangan dan pengemis yang diatur KUHP, kegiatan pergelandangan dan
pengemisan di wilayah Kota Denpasar yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah
hanya pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan di tempat-tempat umum.
Bertitik tolak dari uraian-uraian mengenai Peraturan Perundang-undangan
terkait penanggulangan gelandangan dan pengemis tersebut diatas, maka dapat
dilihat bahwa secara garis besar ada 2 (dua) cara/upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut
yaitu melalui cara penal (hukum pidana) dan cara non-penal (bukan/diluar hukum
pidana). Upaya-upaya penanggulangan melalui cara non-penal tersebut dapat kita
lihat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang menegaskan adanya upaya-
54
upaya penanggulangan berupa preventif, persuasif, dan rehabilitasi. Berikutnya,
cara penal yaitu upaya penanggulangan yang sifatnya represif berupa penerapan
sanksi pidana terhadap gelandangan dan pengemis sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 504 KUHP, Pasal 505 KUHP dan khusus di wilayah Kota Denpasar diatur
dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No.
15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.
2.3 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan dan Pengemis di
Indonesia
Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau
penyakit masyarakat (patologi sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-
gejala sosial yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat
istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku
umum dikategorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat.57
Gelandangan dan pengemis hidup dengan serba keterbatasan, cenderung
bergantung pada belas kasihan atau pemberian orang lain, berkeliaran di tempat-
tempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, traffic light, dan perempatan jalan,
yang mana keberadaannya dalam kehidupan masyarakat dirasa sangatlah
mengganggu dan meresahkan.
Pada dasarnya melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut
tidaklah mudah. Sepanjang hari para gelandangan dan pengemis harus berjalan
menelusuri sudut-sudut kota dan keramaian, berdiri dibawah panas sinar matahari,
57Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 4.
55
kehujanan ataupun bersentuhan langsung dengan lingkungan yang kotor.
Terkadang mereka juga harus mempertaruhkan nyawa ketika menggelandang dan
mengemis di jalanan yang ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan
rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan menggelandang dan
mengemis karena kegiatan tersebut selama ini dianggap masyarakat sebagai
kegiatan yang memalukan dan tidak memiliki harga diri bagi yang
melakukannya.58
Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, kegiatan menggelandang dan
mengemis ini ternyata masih menjadi primadona tersendiri bagi orang-orang yang
malas apalagi bagi orang-orang yang tinggal di desa dan berencana mengadu
nasib ke kota tanpa dibekali dengan keterampilan ataupun kemampuan yang
cukup. Hal tersebut membuktikan bahwa menggelandang dan mengemis tersebut
tidaklah mudah dan memerlukan kemampuan serta jiwa yang berani untuk
menggelandang dan mengemis, akan tetapi bagi sebagian orang yang tidak
memiliki rasa malu, maka kegiatan menggelandang dan mengemis merupakan hal
yang mudah dan paling enak untuk dijalani.
Secara umum ada beberapa faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:
1. Tingginya tingkat kemiskinan yang menyebabkan seseorang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum
sehingga tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga
secara layak.
58Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis, Penerbit Sabil, Jakarta, h. 9.
56
2. Rendahnya tingkat pendidikan dapat menjadi kendala seseorang untuk
memperoleh pekerjaan yang layak.
3. Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat memenuhi
tuntutan pasar kerja.
4. Faktor sosial budaya, hal ini didukung oleh lingkungan sekitar dan para
pemberi sedekah. Terdapat beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi
seseorang menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu:
a. Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan tidak
dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.
b. Sikap pasrah pada nasib, menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi
mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak
ada kemauan untuk melakukan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang, ada kenikmatan
tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan pengemis yang hidup
menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh aturan atau
norma yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis
menjadi salah satu mata pencaharian.59
Uraian diatas menunjukkan adanya beberapa faktor sosial budaya yang juga
menjadi penyebab munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Artidjo Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan
gelandangan menguraikan bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat
59Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Op.cit, h 7-8.
57
dibedakan menjadi dua faktor penyebab yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak
kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan faktor eksternal meliputi
faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama dan letak
geografis.60
Berikutnya, menurut Dimas Dwi Irawan ada beberapa faktor yang
menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis
tersebut yaitu merantau dengan modal nekad, malas berusaha, disabilitas
fisik/cacat fisik, tidak adanya lapangan kerja, tradisi yang turun temurun,
mengemis daripada menganggu, harga kebutuhan pokok yang mahal, kemiskinan
dan terlilit masalah ekonomi yang akut, ikut-ikutan saja, disuruh orang tua, dan
menjadi korban penipuan.61
1. Merantau dengan modal nekad
Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliaran dalam kehidupan
masyarakat khususnya di kota-kota besar, banyak dari mereka yang
merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan
ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka mencoba dan
berusaha meskipun hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi
kerasnya hidup di kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang
terbatas, modal nekad, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal membuat ia
tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga mereka memilih untuk menjadi
gelandangan dan pengemis;
60Artidjo Alkotsar, 1984, Advokasi Anak Jalanan, Rajawali, Jakarta, h. 14.
61Dimas Dwi Irawan, Op.cit, h. 6.
58
2. Malas berusaha
Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa susah
payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin
enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu;
3. Disabilitas fisik/cacat fisik
Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga mendorong seseorang untuk
memilih menjadi gelandangan dan pengemis dibanding bekerja. Sulitnya
lapangan kerja dan kesempatan bagi penyandang cacat fisik untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan
hidup dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis;
4. Tidak adanya lapangan kerja
Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak bersekolah atau memiliki
keterbatasan kemampuan akademis akhirnya membuat langkah mereka
seringkali salah yaitu menjadikan meminta-minta sebagai satu-satunya
pekerjaan yang bisa dilakukan;
5. Tradisi yang turun temurun
Mengemis dan menggelandang merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari
zaman kerajaan dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak
cucunya;
6. Mengemis daripada menganggur
Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang
sulit untuk mendapatkan pekerjaan menbuat beberapa orang mempuyai mental
59
dan pemikiran daripada menggangur maka lebih baik mengemis dan
menggelandang;
7. Harga kebutuhan pokok yang mahal
Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok
dan memenuhi kebutuhannya adalah dengan giat nekerja tanpa
mengesampingkan harga diri, namun ada sebagian yang lainnya lebih
memutuskan untuk mengemis karena berpikir tidak ada cara lagi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya;
8. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut
Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang tidak mampu yang tidak
berdaya dalam menghadapi masalah ekonomi yang berkelanjutan.
Permasalahan ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang hidup
dalam krisis ekonomi dihidupnya sehingga menjadi gelandangan dan
pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup;
9. Ikut-ikutan saja
Kehadiran pendatang baru sebagai gelandangan dan pengemis sangat sulit
dihindari, apalagi didukung oleh adanya pemberitaan tentang pengemis dan
gelandangan yang begitu mudahnya mendapatkan uang di kota yang akhirnya
membuat mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-ikutan dan mengikuti
jejak teman-temannya yang sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan
pengemis;
60
10. Disuruh orang tua
Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang masih anak-anak.
Mereka bekerja karena diperintahkan oleh orang tuanya dan dalam kasus
seperti inilah terjadi eksploitasi anak;
11. Menjadi korban penipuan
Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak tertutup
kemungkinan dapat disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi
korban penipuan. Hal ini biasanya dapat terjadi di kota besar yang memang
rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang baru yang baru
sampai di kota. Pendatang baru ini sering mengalami penipuan seperti yang
disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat
trauma bagi yang mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya
mereka pun memutuskan untuk menjadi peminta-minta untuk bisa pulang atau
bertahan hidup di kota.
Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor penyebab tersebut diatas, maka tidak
dapat dipungkiri bahwa faktor kemiskinan adalah menjadi faktor yang dominan
menyebabkan munculnya gelandangan dan pengemis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Tidak hanya di Indonesia, fenomena gelandangan dan pengemis ini juga
terjadi dan dapat ditemukan di luar negeri. Terdapat banyak faktor penyebab
timbulnya permasalahan gelandangan dan pengemis tersebut. Sama halnya
dengan di Indonesia, faktor kemiskinan ini ternyata juga menjadi penyebab utama
61
munculnya fenomena gelandangan dan pengemis di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat.
Faktor kemiskinan tersebut diatas yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
politik dan sosial dapat menyebabkan munculnya permasalahan gelandangan dan
pengemis di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Seperti yang dikemukakan
oleh Judith Goode dan Jeff Maskovsky sebagai berikut: “People become homeless
for a variety of reasons. Homelessness is primarily an economic problem, and is
also affected by a number of social and political factors”62 (terjemahan peneliti:
Masyarakat menjadi tunawisma karena beragam alasan. Alasan utama adalah
kesulitan ekonomi, yang bisa juga dipengaruhi berbagai permasalahan politik dan
sosial).
Disamping itu, faktor kemiskinan yang disebabkan oleh menurunnya kondisi
dunia industri di Amerika Serikat juga dapat mempengaruhi perkembangan
gelandangan dan pengemis di Amerika Serikat. Vincent Lyon-Callo
mengemukakan adanya korelasi hal tersebut sebagai berikut “Poverty caused by
the bad situation of industry in United States has a high potentiality to increase
homelessness in United States”63 (terjemahan peneliti: faktor kemiskinan yang
disebabkan oleh situasi dunia industri di Amerika Serikat yang terpuruk
berpotensi besar menyebabkan meningkatnya tunawisma di Amerika Serikat).
62Judith Goode and Jeff Maskovsky, 2007, The New Poverty Studies: The Ethnography ofPower, Polities and impoverished People in The United States, New York University Press, NewYork, page 210.
63Vincent Lyon-Callo, 2004, Inequality, Poverty, and Neoliberal Governance: ActivistEthnography in the Homeless Sheltering Industry, University of Toronto Press, Ontario-Canada,page 2-3.
62
Perhatian tentang permasalahan gelandangan dan pengemis secara umum
dapat dilihat pula dari pendapat atau pandangan yang disampaikan oleh Teresa
Gowan yang pada pokoknya menegaskan:
There are many different causes of homelessness. Poverty and the inability toafford adequate housing are central to the causes of homelessness. Thesecircumstances may result from a number of different experiences, includinglong-term or short-term unemployment, debt and other financial pressures,and housing market pressures, such as rising rental and house prices and thelack of public housing. Financial difficulty is often accompanied by otherpersonal or family problems, such as family breakdown, domestic violence,poor physical and mental health, substance and other addictions. The inabilityto cope with combinations of these problems can push individuals and familieseven closer to the edge.64
(terjemahan peneliti: Terdapat banyak sekali penyebab adanya tunawisma.Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan dan ketidakmampuanmasyarakat untuk membeli tempat tinggal yang layak. Keadaan ini disebabkanoleh banyak hal, antara lain penggangguran dalam jangka waktu pendek danpanjang, hutang dan tekanan finansial yang lain, tekanan dari pasar perumahanseperti biaya sewa dan harga rumah yang terus meninggi dan sedikitnyajumlah rumah susun atau rumah untuk publik lain yang bisa disewa.Kesulitan finansial seringkali disertai oleh masalah peribadi dan keluarga,seperti kehancuran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatanjiwa dan raga yang buruk, ketergantungan atau kecanduan zat-zat adiktif.Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut akanmenyebabkan orang-orang dan keluarga-keluarga semakin terpuruk danrumah tangga mereka mendekati kehancuran)
Selanjutnya, Zimmerman, Larry J. dan Jessica Welch menguraikan pendapatnya
sebagai berikut: “Homelessness affects a wide range of people from different
regions, of different ages and different cultural backgrounds. Some groups,
however, are particularly at risk of becoming homeless”65 (terjemahan peneliti:
Masyarakat dari daerah-daerah yang berbeda-beda, dengan usia dan latar belakang
64Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Backsliders: Homeless In San Francisco,University Minnesota Press, Minneapolis, page 18.
65Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch, 2011, Displaced and Barely Visible: Archaeologyand Material Culture of Homelessness, Historical Archaeologies of Engagement, Representation,and Identity: Vol. 45. No. 1, New York, page. 67.
63
budaya berbeda bisa saja menjadi tunawisma. Beberapa kelompok masyarakat
bahkan sangat beresiko menjadi tunawisma).
Secara garis besar gelandangan dan pengemis tersebut terbagi menjadi dua
tipe yaitu gelandangan pengemis miskin materi dan gelandangan pengemis miskin
mental. Gepeng yang miskin materi adalah mereka yang tidak mempunyai uang
atau harta sehingga memutuskan untuk melakukan kegiatan menggelandang dan
mengemis. Berbeda jauh dengan gepeng miskin materi, dalam hal ini gepeng
miskin mental masih mungkin memiliki harta benda namun mental yang dimiliki
membuat atau mendorong mereka menggelandang dan mengemis. Maksud dari
mental disini adalah mental malas untuk melakukan sesuatu. Malas adalah sebuah
sikap dan sifat apabila lama dipendam dan diikuti akan mempengaruhi mental,
karena terbiasa malas atau mendapat kemudahan secara instan membuat
seseorang bermental seperti ini.66
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga membagi tipe atau kategori
gelandangan dan pengemis tersebut menjadi dua kelompok utama yaitu primer
dan sekunder sebagaimana dikemukakan oleh P. Lynch sebagai berikut:
The United Nations identifies homeless people under two broad groups:- Primary homelessness (or rooflessness). This category includes persons
living in the streets without a shelter that would fall within the scope ofliving quarters;
- Secondary homelessness. This category may include persons with no placeof usual residence who move frequently between various types ofaccommodations (including dwellings, shelters and institutions for thehomeless or other living quarters).This category includes persons living inprivate dwellings but reporting ‘no usual address’ on their census form.67
66Engkus Kuswarno, Op.cit, h. 91.
67P. Lynch, 2004, Begging for Change: Homelessness and the Law, Melbourne University LawReview: Vol 26, Melbourne, page 694.
64
(terjemahan peneliti: Perserikatan Bangsa Bangsa/PBB mengidentifikasi tunawisma dalam dua kelompok utama:- Tuna wisma primer: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang
yang hidup di jalanan tanpa memiliki tempat penampungan atau tempatlain yang bisa ditinggali;
- Tuna wisma sekunder: yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap namun secaraberkelanjutan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat ke tempat yanglain (bisa berupa penampungan tuna wisma atau tempat lain yangtergolong tempat yang bisa ditinggali). Kategori ini juga mencakup orangyang tinggal di tempat tinggal sendiri namun tidak memiliki tempat tinggaltetap yang tertulis dalam form sensus.)
Uraian-uraian diatas jelas menunjukkan adanya hubungan erat antara
permasalahan gelandangan dan pengemis dengan faktor kemiskinan karenanya hal
tersebut tentu harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk melakukan
upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat agar dapat menekan laju
perkembangan gelandangan dan pengemis tersebut di Indonesia. Kemiskinan di
Indonesia telah terjadi sejak dahulu dan terus mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia sampai dengan sekarang.
Secara historis masalah kemiskinan di Indonesia telah berlangsung sejak
zaman kerajaan-kerajaan, kemudian berlanjut semakin kompleks pada masa
penjajahan kolonial Belanda yang mana politik tanam paksa dan eksploitasi
komoditas perkebunan, pertanian telah menimbulkan penurunan
kemakmuran/kesejahteraan rakyat. Kebijakan ini telah menjadikan masyarakat
dipekerjakan secara paksa (kerja rodi) bahkan penangkapan masyarakat yang
melawan terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda untuk
dijadikan pekerja. Pada masa inilah Indonesia mengalami kemiskinan bukan
sekedar sebagai gejala nasional, tetapi sudah terintegrasi ke dalam sistem dunia
yang sedang bergerak cepat, yakni kapitalisme yang diikuti kolonialisme dan
65
imperialisme. Kemiskinan di sekitar perkebunan tersebut bukan sekedar
manifestasi lebih lanjut dari lapisan dan formasi sosial yang tidak adil, melainkan
juga akibat kebijakan penjajah Belanda yang dipengaruhi oleh sistem kapitalisme
global yang sedang ganas-ganasnya berkembang.68
Menurut para ahli, kemiskinan tidaklah semata-mata diartikan sebagai
kekurangan secara ekonomi saja. Kemiskinan juga dianggap meliputi aspek-aspek
non-ekonomi, seperti kesehatan, keamanan/kerentanan, penghargaan
diri/identitas, keadilan, akses terhadap layanan masyarakat, hak suara secara
politik, kebebasan, hubungan sosial dan lain sebagainya.69
Terdapat banyak orang dan organisasi yang memandang kemiskinan
berdasarkan ukuran-ukuran ekonomi, seperti yang ditegaskan oleh Bank Dunia
sebagai berikut “Poverty as lack of prosperity that is conspicuous”70 (terjemahan
peneliti: kemiskinan adalah kekurangan kesejahteraan yang mencolok). Menurut
J. Haughton dan S. Khandker pandangan seperti tersebut diatas adalah sangat
konvensional, hal itu dapat dilihat dari pendapat mereka yang menegaskan
“Conventional view is essentially connecting welfare with the ability to have
something. Therefore, the poor are definied as those who do not have enough
68Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (DinamikaSosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,h. 5.
69Scott Todd, 2010, Kemiskinan Seri Filosofi Pelayanan Compassion, CompassionInternational, Jakarta, h. 10.
70The World Bank, 2004, Voice of the poor: Can anyone hear us?, Oxford University Press,New York, page 32.
66
income to be in possession of something”71 (terjemahan peneliti: Pandangan
konvensional pada dasarnya menghubungkan kesejahteraan dengan kemampuan
untuk memiliki sesuatu. Oleh sebab itu, orang miskin diartikan sebagai mereka
yang tidak memiliki cukup pendapatan untuk dapat memiliki sesuatu).
Pengetahuan tentang faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan dan
pengemis di masyarakat seperti faktor kemiskinan tersebut diatas adalah sangat
penting dalam rangka upaya penanggulangan terhadap gelandangan dan pengemis
di Indonesia khususnya di kota-kota besar. Pemikiran tersebut sangat sejalan
dengan apa yang ditegaskan oleh ilmu Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek dan salah satu obyek kajiannya
adalah tentang faktor-faktor yang menjadi sebab musabab terjadinya kejahatan
ataupun perbuatan yang menyimpang.
Menurut Edwin H. Sutherland, “Criminology is the body of knowledge
regarding crime and delinquency as social phenomena. It includes within its
scope the processes of making laws, breaking laws, and reacting to the breaking
of laws”72 (terjemahan peneliti: Kriminologi adalah keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala sosial dan
mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas
pelanggaran hukum). Sebagaimana yang telah peneliti uraikan sebelumnya bahwa
kegiatan menggelandang dan mengemis tersebut adalah merupakan tindak pidana
71J. Haughton and S. Khandker, 2009, Handbook on Poverty and Inequality, The World Bank,Washington, D.C., page 12.
72Edwin H. Sutherland, Donald Ray Cressey and David F. Luckenbill, 1992, Principles ofCriminology, Eleventh Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Boston, United States ofAmerica, page 3.
67
atau pelanggaran hukum atau perbuatan yang menyimpang karenanya dengan
mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor penyebab munculkan gelandangan
dan pengemis di masyarakat, maka tentu akan dapat dilakukan upaya-upaya
penanggulangan yang lebih tepat dan terarah.
2.4 Upaya Penanggulangan Tindak Pidana
Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari rasa takut
terhadap gangguan tindak pidana atau kejahatan, maka untuk itu sangat
diperlukan adanya upaya-upaya penanggulangan dari pemerintah dan aparat
penegak hukum terkait. Upaya penanggulangan tindak pidana adalah masuk
dalam lingkup kebijakan kriminal (penal policy/criminal policy) yaitu suatu usaha
untuk menanggulangi tindak pidana atau kejahatan melalui penegakan hukum
pidana yang rasional. Secara garis besar, upaya penanggulangan tindak pidana
atau kejahatan ataupun pelanggaran hukum di masyarakat tersebut dapat ditempuh
melalui 2 (dua) cara yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non-
penal (bukan/diluar hukum pidana).73
Agar supaya penanggulangan tindak pidana di masyarakat dapat berlangsung
dengan lebih efektif dan maksimal, maka sangat diperlukan adanya keseimbangan
penerapan upaya melalui jalur penal maupun non-penal tersebut. Upaya
penanggulangan dengan menggunakan jalur penal ini lebih menitikberatkan pada
sifat represif (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif
73Barda Nawawi Arief, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra AdityaBakti, Badung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 42.
68
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.74 Upaya-
upaya tersebut diatas tentu dapat diterapkan pula dalam rangka penanggulangan
masalah tindak pidana pergelandangan dan pengemisan di masyarakat Indonesia,
termasuk yang terjadi di Kota Denpasar.
Berikutnya, G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup upaya
penanggulangan kejahatan (criminal policy) tersebut sebagai berikut:
a. penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing view society on crime and punishment by
mass media).75
Ruang lingkup kebijakan kriminal diatas menegaskan bahwa penerapan hukum
pidana (criminal law application) adalah merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana atau kejahatan. Penerapan hukum
pidana ini merupakan bentuk implementasi upaya penanggulangan melalui jalur
penal (hukum pidana) dan pada proses inilah berlangsung penegakan hukum
pidana in concreto di masyarakat.
Upaya penegakan hukum pidana yang dapat berupa pemberian hukuman atau
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut diatas
ternyata perlu ditunjang atau didukung pula oleh upaya-upaya yang sifatnya
preventif/pencegahan dalam rangka menanggulangi tindak pidana atau kejahatan
74Mohammad Kemal Dermawan, 1994, Strategi Pencegahan Kejahatan, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, h. 7.
75Barda Nawawi Arief II, Op.cit, h. 41.
69
tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat dapat terhindar dari
merajalelanya kejahatan atau sekurang-kurangnya dapat membatasi
perkembangan kejahatan. Menurut Sutherland, bahwasanya usaha
penanggulangan kejahatan yang sebaik-baiknya harus meliputi reformasi bagi
perbaikan narapidana dan pencegahan terhadap kejahatan yang pertama kali akan
dilakukan seseorang (pencegahan adanya penjahat baru).76
Selanjutnya menurut Kaiser, strategi pencegahan kejahatan adalah suatu usaha
yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk
memperkecil lingkup dari kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan
kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan, ataupun melalui usaha-
usaha pemberian pengaruh-pengaruh kepada orang-orang yang secara potensial
dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. Terdapat pembagian
strategi pencegahan kejahatan menurut Kaiser yaitu meliputi:
1. Pencegahan primer, merupakan strategi pencegahan kejahatan melalui bidang
sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum sebagai usaha
mempengaruhi faktor-faktor kriminogen. Tujuan pencegahan primer yaitu
untuk menciptakan kondisi sosial yang baik bagi setiap anggota masyarakat
sehingga masyarakat merasa aman dan tentram;
2. Pencegahan sekunder, hal yang mendasar dari pencegahan sekunder dapat
ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Sasaran dari
kejahatan ini ialah orang-orang yang sangat mungkin melakukan pelanggaran;
76Soedjono Dirdjosiswono, 1970, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha PenanggulanganKedjahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, h. 55.
70
3. Pencegahan tersier, yaitu memberikan perhatian pada pencegahan terhadap
residivisme, dengan orientasi pada pembinaan. Sasaran utamanya ialah pada
orang-orang yang telah melanggar hukum.77
Soedjono Dirdjosiswono juga mengemukakan pendapatnya mengenai upaya
penanggulangan tindak pidana atau kejahatan tersebut yaitu dapat dilakukan
dengan cara:
1. Cara moralistik, dilaksanakan dengan penyebar luaskan ajaran-ajaranagama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lainyang dapat mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan;
2. Cara abolionistik, berusaha memberantas; menanggulangi kejahatandengan memberantas sebab-musababnya umpamanya kita ketahui bahwafaktor tekanan ekonomi (kemelaratan) merupakan salah satu faktorpenyebab kejahatan maka usaha mencapai kesejahteraan untukmengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakanCara Abolisionistik.78
Kedua cara diatas juga dapat dijadikan acuan dan diterapkan oleh pemerintah dan
aparat penegak hukum secara langsung apabila tingkat kriminalitas atau
pelanggaran hukum di masyarakat tinggi.
77Mohammad Kemal Dermawan, Op.cit., h. 12.
78Soedjono Dirdjosiswono, Op.cit, h. 15.