Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
PRODUK HALAL PASCA DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
NURFAIQOH RIDHIYAH
NIM: 11140460000047
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
i
ABSTRAK
Nurfaiqoh Ridhiyah. NIM 11140460000047. SERTIFIKASI HALAL OLEH
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL. Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. VIII + 111 halaman, 8 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persiapan yang telah
dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam
menyelenggarakan jaminan produk halal dan untuk mengetahui apa saja yang
menjadi kendala dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif – empiris
melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan studi kepustakaan
(library research) dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku dan beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan
pembahasan skripsi ini, selain ini penulis juga menggunakan teknik wawancara
untuk mendapatkan data yang diperlukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan yang sudah dilakukan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, yaitu terbitnya Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah
Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH untuk sementara waktu
melakukan kegiatan operasionalnya di Gedung Kementerian Agama, dan sistem
layanan untuk pengajuan permohonan sertifikasi halal akan dilakukan secara
manual. Untuk kendala-kendala yang menghambat proses persiapan
penyelenggaraan Jaminan Produk halal, yaitu proses penerbitan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang membutuhkan waktu
cukup lama dikarenakan terdapat beberapa pihak yang tidak menyetujui penerbitan
undang-undang tersebut dan terlambatnya penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal dikarenakan BPJPH harus menyinkronisasi
dan menyinergikan peraturannya dengan peraturan-peraturan kementerian
dan/lembaga terkait yang bekerja sama dengan BPJPH dalam menyelenggarakan
Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Kata Kunci: Sertifikasi Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal,
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H.
Daftar Pustaka : 1999 s.d 2019
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw sehingga
Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SERTIFIKASI HALAL OLEH
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL”. Banyak pihak yang telah membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak
langsung. Maka dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A. dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku dosen pembimbing skripsi
yang senantiasa meluangkan waktu dan memberikan petunjuk serta masukan
bagi Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku dosen penguji dalam sidang
skripsi yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi.
6. Kepada Ibu Lady Yulia, S. Si, selaku Kepada Subbidang Pengawasan Lembaga
Pemeriksa Halal dan Auditor Halal pada Bidang Pengawasan Jaminan Produk
Halal, Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal pada Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal, terima kasih telah meluangkan waktu
dan bersedia untuk diwawancarai oleh Penulis.
iii
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang senantiasa ikhlas dalam mendidik dan memberikan
ilmunya kepada Penulis selama masa perkuliahan.
8. Seluruh Staf dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum,
Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum.
9. Kepada kedua Orang Tua Penulis Bapak Achmad Supandi dan Ibu Nunung
Nurhayati, terima kasih atas segala pengorbanan tenaga, harta, dan doa yang
selalu dipanjatkan untuk Penulis, sehingga dapat mengantarkan Penulis hingga
sampai tahap ini, dan kepada adik-adik Penulis Izzatunnisa Fadhilah dan Farah
Hafizah terima kasih telah turut serta mendoakan Penulis dan memberikan
semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
10. Terima kasih kepada Imam Dwiky Setyawan dan keluarga yang telah
memberikan bantuan, saran dan doa kepada Penulis selama mengerjakan
skripsi.
11. Kepada sahabat Penulis Nia dan Ola, terima kasih atas segala bantuan, doa, dan
semangat yang diberikan kepada Penulis selama mengerjakan skripsi ini.
12. Kepada teman dekat Penulis, di Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Cipo, Dira,
Ismy, Ii, Wienda, Ifah, terima kasih telah menemani dan membantu Penulis
selama perkuliahan. Serta sahabat-sahabat seperjuangan Hukum Ekonomi
Syariah Tahun 2014 yang telah selalu membantu dan memberikan saran selama
perkuliahan.
13. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh
Penulis, tidak ada yang dapat Penulis berikan kecuali doa dan ucapan terima
kasih untuk segalanya.
Ciputat, 31 Oktober 2019
Nurfaiqoh Ridhiyah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 5
1. Identifikasi Masalah ........................................................................... 5
2. Pembatasan Masalah .......................................................................... 6
3. Perumusan Masalah............................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 7
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .......................................................... 7
F. Kerangka Konseptual ................................................................................ 10
G. Metode Penelitian...................................................................................... 11
H. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................................ 14
BAB II KAJIAN TEORI HALAL ..................................................................... 15
A. Pengertian Halal ........................................................................................ 15
B. Sertifikasi Halal Sebelum Berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal .......................................................................................................... 18
1. Lembaga Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH ....................................... 18
2. Dasar Hukum ...................................................................................... 26
3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal ...................................................... 29
v
BAB III TINJAUAN UMUM BADAN PENYELENGGARA JAMINAN
PRODUK HALAL (BPJPH) .............................................................................. 40
A. Sejarah Berdirinya BPJPH ........................................................................ 40
B. Struktur Organisasi BPJPH ....................................................................... 41
C. Tugas dan Wewenang BPJPH ................................................................... 43
D. Dasar Hukum Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ........................... 44
1. Undang-Undang .................................................................................. 44
2. Hukum Islam ....................................................................................... 50
E. Proses Pembuatan Sertifikasi Halal .......................................................... 53
1. Pendaftaran Sertifikasi Halal............................................................... 53
2. Pembuatan Sertifikat Halal ................................................................. 56
3. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal ....................................................... 59
F. Bentuk Kerja Sama BPJPH dengan Lembaga Terkait Lainnya ................ 64
G. Konsep Ideal Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal ............................. 66
BAB IV ANALISIS SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL
A. Persiapan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam
Menyelenggarakan Jaminan Produk Halal di Indonesia Pasca
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal ............................................................................................. 69
1. Peralihan Kewenangan Sertifikasi Halal dari Majelis Ulama Indonesia
ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ................................. 69
2. Persiapan Sarana dan Prasarana dalam Menyelenggarakan Jaminan
Produk Halal ....................................................................................... 70
3. Perkembangan Terkini Sertifikasi Halal oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal ......................................................................... 93
B. Kendala-Kendala dalam Mempersiapkan Penyelenggarakan Jaminan
Produk Halal Pasca Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal ............................................................... 100
vi
1. Kendala Internal ................................................................................ 100
2. Kendala Eksternal ............................................................................. 102
BAB V PENUTUP .............................................................................................105
A. Simpulan .................................................................................................105
B. Rekomendasi ...........................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................108
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.0 Tata Cara Sertifikasi Halal ............................................................ 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Produk halal saat ini sudah menjadi tren dunia, dan mulai merambah ke
berbagai negara tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang memiliki
mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan tren halal yang sudah
mengglobal ini, membuat masyarakat baik Muslim maupun non-muslim
tertarik dengan hal-hal yang menggunakan istilah halal, seperti makanan halal.
Dalam data laporan Global Islamic Economy tahun 2016/2017
menyebutkan bahwa belanja penduduk Muslim global pada produk dan jasa
dalam sektor ekonomi halal lebih dari 1,9 Triliun dollar Amerika.1 Sedangkan,
pada data laporan Global Islamic Economy 2017/2018, terdapat peningkatan
pada belanja penduduk Muslim global pada produk dan jasa dalam sektor
ekonomi halal lebih dari 2 Triliun dollar Amerika.2 Berdasarkan data tersebut,
sektor ekonomi halal sedang mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor ekonomi halal sedang menjadi sebuah tren global.
Sebagai seorang muslim dalam mengonsumsi suatu produk baik produk
pangan maupun produk pakai penting untuk diketahui kehalalannya.
Mengingat Allah swt melarang kita untuk mengonsumsi sesuatu yang haram,
seperti yang telah disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah ayat 3 hal-hal yang
diharamkan oleh Allah swt untuk kita konsumsi. Selain dari dzatnya yang harus
halal, cara untuk mengolahnya juga harus bisa dipastikan kehalalannya.
Walaupun kita mengetahui produk tersebut terbuat dari bahan-bahan yang
halal, namun kita tidak mengetahui secara pasti proses pengolahan produk
tersebut, apakah tercampur dengan sesuatu yang haram atau tidak.
1 Tren Halal, Peluang Ekonomi yang Seharusnya Diperhatikan, dari
http://www.nu.or.id/post/read/82276/tren-halal-peluang-ekonomi-yang-seharusnya-diperhatikan, 21 Juli 2018. 2 State Of The Global Islamic Economy 2017/2018,
https://www.slideshare.net/EzzedineGHLAMALLAH/state-of-the-global-islamic-economy-20172018, 23 Juli
2018.
http://www.nu.or.id/post/read/82276/tren-halal-peluang-ekonomi-yang-seharusnya-diperhatikanhttps://www.slideshare.net/EzzedineGHLAMALLAH/state-of-the-global-islamic-economy-20172018
2
Anjuran agama untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal
dan baik ini bukan tanpa alasan, dengan mengonsumsi sesuatu yang halal dan
baik bisa menjauhkan kita dari mengonsumsi makanan yang menimbulkan
penyakit, baik penyakit jasmani maupun penyakit rohani. Dengan
perkembangan zaman, produk halal tidak hanya kategori makanan dan
minuman saja, tetapi juga termasuk produk yang dipakai, digunakan dan
dimanfaatkan, seperti kosmetik, obat-obatan, pakaian, dan jasa.
Dengan tren halal yang terus meningkat di berbagai negara di dunia,
menimbulkan suatu kewajiban bagi pemerintah negara tersebut untuk
menjamin kepastian dan ketersediaan produk halal bagi masyarakatnya.
Apalagi di Indonesia dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, sudah
seharusnya pemerintah Indonesia menjamin kepastian dan ketersediaan produk
halal yang beredar.
Kepastian tersebut dapat diwujudkan oleh pemerintah Indonesia dengan
cara memberikan sertifikat terhadap berbagai macam produk halal, dengan cara
inilah masyarakat dapat membedakan mana produk halal dan mana produk
haram dengan pasti. Pemerintah telah membuat peraturan yang mengatur
tentang kehalalan produk, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Agama Nomor 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985
tentang “Pencantuman Tulisan “halal” pada Label Makanan”. Didalamnya
ditegaskan pengertian makanan halal yang mencakup semua jenis makanan
yang tidak mengandung unsur atau bahan yang terlarang / haram atau yang
diolah / diproses menurut hukum agama Islam. Selain itu, Undang-Undang
Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, menyatakan bahwa pencantuman kata atau
tanda halal (label halal) yang menjamin bahwa makanan dan minuman yang
diproduksi dan diproses harus sesuai persyaratan makanan halal. Berdasarkan
peraturan-peraturan tersebut, jelas bahwa pemerintah wajib menyediakan
produk halal.
Namun, ada peraturan yang tidak harmonis dengan peraturan lainnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan Peraturan Pemerintahnya sendiri mengenai
pencantuman label halal yang bertentangan dengan UU tentang Pangan, dalam
3
UU Pangan bersifat wajib, sementara dalam Peraturan Pemerintahnya bersifat
sukarela. Selain itu, ketidakharmonisan dapat terlihat dari masing-masing
instansi yang berwenang merasa lebih berhak untuk menangani sertifikasi
halal.3
Pemerintah sebagai pihak yang menetapkan kebijakan memiliki peranan
penting dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di suatu negara.
Terutama di Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu
memiliki kekhawatiran jika mengonsumsi produk pangan dan produk pakai
yang tidak terjamin kehalalannya. Dalam hal ini pemerintah sudah
mengeluarkan beberapa peraturan terkait sertifikat halal untuk menjamin
kehalalan suatu produk. Peraturan yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Undang-Undang ini sebagai
penyempurna dari peraturan-peraturan sebelumnya yang mengatur tentang
sertifikat halal.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal atau bisa disingkat UU JPH, telah mewajibkan untuk semua produk yang
masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat
halal yang tercantum dalam Pasal 4 UU JPH. Dan ketentuan akan kewajiban
bersertifikat halal ini berlaku 5 (lima) tahun sejak diundangkannya UU JPH.
Dengan begitu kewajiban ini akan berlaku pada bulan Oktober tahun 2019
nanti. Selain itu UU JPH juga mengamanatkan pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) guna melaksanakan
penyelenggaraan jaminan produk halal yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
Dalam melaksanakan suatu peraturan maka penting adanya ditetapkan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut, seperti Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain. Namun, UU JPH ini sejak
diundangkannya hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana yang
diterbitkan. Padahal pada Pasal 65 UU JPH disebutkan bahwa peraturan
3 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.
Pertama), h., 24-28.
4
pelaksana dari UU JPH ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak UU JPH diundangkan. Seharusnya saat ini paling tidak sudah ada
peraturan pemerintahnya sebagai peraturan pelaksana dari UU JPH ini. Jika
peraturan pemerintahnya saja belum ditetapkan, maka peraturan-peraturan
pelaksana di bawahnya pun belum bisa dikeluarkan.
Selain itu, aturan mengenai pembentukan BPJPH juga paling lambat 3
(tiga) tahun terhitung sejak UU JPH diundangkan. Dan tepat 3 (tiga) tahun UU
JPH diundangkan, BPJPH ini didirikan yaitu pada tahun 2017. Terlambatnya
peraturan pelaksana ditetapkan, begitu juga dengan pembentukan BPJPH,
memperlambat rencana yang sudah dibuat oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan jaminan produk halal di Indonesia secara optimal.
Sejak awal diundangkan hingga saat ini, UU JPH belum dapat terlaksana
dengan baik. Mengingat peraturan pelaksananya berupa Peraturan Pemerintah,
belum dikeluarkan hingga saat ini. Tanpa peraturan pelaksana suatu Undang-
Undang tidak akan bisa dijalankan, sehingga dapat menghambat tujuan dari
Undang-Undang itu dibuat. Ditambah lembaga yang berwenang untuk
pengurusan sertifikasi halal, yaitu BPJPH, terlambat untuk didirikan. Hal ini
menyebabkan persiapan dari BPJPH belum matang untuk mengurus proses
sertifikasi halal. Padahal seharusnya badan ini sudah berjalan dengan efektif
pada tahun 2019.
Di Malaysia pelaksanaan dari sertifikasi halal sudah berkembang pesat,
mulai dari segi peraturan-peraturan, infrastruktur, hingga sistem pendaftaran
sertifikat halal yang berbasis internet. Pencapaian tersebut tidak serta merta
didapatkan dengan mudah, perlu adanya sinergi antara lembaga-lembaga
terkait dan dukungan penuh oleh pemerintah. Sehingga mewujudkan
pelaksanaan sertifikasi halal yang optimal.
Sedangkan di Indonesia peraturan pelaksana dari UU JPH sendiri baru
diterbitkan 3 Mei 2019. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pelaksanakan
sertifikasi halal oleh BPJPH. Oleh karenanya dapat disimpulkan perhatian dari
pemerintah Indonesia mengenai sertifikasi halal masih kurang. Padahal
sertifikasi halal ini sangat penting untuk melindungi hak-hak konsumen
5
muslim dalam mengonsumsi produk-produk yang beredar di Indonesia. Selain
itu sertifikat halal juga bisa menjadi nilai tambah bagi pelaku usaha dalam
memperdagangkan produknya.
Beberapa permasalah tersebut merupakan hal yang menjadi penghambat
bagi pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia. Padahal sertifikasi halal sendiri
sangat penting bagi kenyamanan dan keamanan masyarakat untuk
mengonsumsi suatu produk. Agar dapat memberikan kepastian produk halal
kepada masyarakat, maka diperlukan juga aturan yang jelas dan dapat
dilaksanakan. Jika peraturan pelaksananya saja belum pasti, maka Undang-
Undang tidak akan berjalan dengan optimal.
Untuk mewujudkan pelaksanaan sertifikasi halal yang menyeluruh
diperlukan dukungan dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, para pelaku
usaha juga harus memiliki kesadaran untuk melaksanakan kewajiban sertifikasi
halal. Serta masyarakat juga harus berperan aktif dalam penyelenggaraan
sertifikasi halal ini. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk membahas tentang
“PELAKSANAAN SERTIFIKASI HALAL OLEH BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL PASCA
DITERBITKANNYA UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK
HALAL”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya terdapat
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan sertifikasi
halal pasca diundangkannya Undang-Undang jaminan produk halal,
sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan sertifikasi halal?
b. Apa saja peraturan yang mengatur tentang sertifikasi halal?
c. Apa saja lembaga yang terkait dengan BPJPH dalam menjamin
produk halal di Indonesia?
d. Bagaimana proses pembuatan sertifikat halal?
6
e. Bagaimana kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha?
f. Bagaimana pelaksanaan sertifikasi halal pasca diundangkannya
Undang-Undang Jaminan Produk Halal?
g. Bagaimana peranan pemerintah dalam menyelenggarakan jaminan
produk halal di Indonesia?
h. Bagaimana kesiapan lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses
sertifikasi halal pasca diundangkannya Undang-Undang Jaminan
Produk Halal?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
Penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas agar lebih fokus pada
masalah yang akan diteliti oleh Penulis. Dari segi waktu, Penulis akan
membatasi pasca diterbitkanya Undang-Undang Jaminan Produk Halal
yaitu pada tahun 2014. Dari segi materi, Penulis hanya akan membahas
mengenai pelaksanaan sertifikasi halal, lebih tepatnya mengenai kesiapan
BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan produk halal serta kendala-
kendala yang menghambat penyelenggaraan jaminan produk halal di
Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
dibahas sebelumnya, berikut adalah rumusan masalah yang akan diteliti
oleh Penulis:
a. Bagaimana kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan
produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk
Halal?
b. Apa yang menjadi kendala dalam menyiapkan penyelenggaraan
jaminan produk halal?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
7
1. Untuk menganalisis kesiapan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan
produk halal pasca diterbitkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
2. Untuk menganalisis kendala-kendala yang menghambat dalam
menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
berbagai hal baik yang bersifat praktis maupun teoritis, antara lain yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Pembahasan yang ada dalam skripsi ini, diharapkan bisa menambah
pemahaman dan pengetahuan kepada semua pihak, yang bergerak di
bidang hukum maupun bidang lainnya yang sesuai dengan tema bahasan
penelitian, seperti pemerintah dan lembaga instansi terkait.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Regulator dan Praktisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang
bermanfaat dan referensi untuk meninjau dan mengalalisis
pelaksanaan sertifikasi halal oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal.
b. Bagi Akademisi
Diharapkan penelitian ini bisa menjadi bahan untuk penelitian
lebih lanjut yang berkaitan dengan tema penelitian. Sehingga
pembahasan mengenai jaminan produk halal ini bisa lebih
berkembang nantinya.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan pada penelitian ini dengan penelitian
lainnya, maka Penulis melakukan penelusuran dengan meninjau kajian-kajian
terdahulu yang memiliki tema pembahasan serumpun dengan yang dibahas
oleh Penulis. Adapun penelitian-penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:
8
Pertama, skripsi oleh M. Ade Septiawan, mahasiswa dari UIN Jakarta
tahun 2013, dengan judul Kewenangan LPPOM-MUI dalam Penentuan
Sertifikasi Halal Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal. Skripsi ini membahas tentang kewenangan
dari LPPOM-MUI pasca berlakunya UU JPH, serta perkembangan kedepannya
mengenai sertifikasi halal di Indonesia. Pada skripsi ini terdapat persamaan
dengan yang akan dibahas Penulis yaitu mengenai kewenangan atas suatu
lembaga dalam hal pelaksanaan sertifikasi halal, serta meninjau berdasarkan
UU JPH. Namun terdapat perbedaan juga dengan bahasan Penulis, yaitu dalam
hal lembaga yang dibahas LPPOM-MUI, serta perkembangan dari pelaksanaan
sertifikasi halal sendiri di Indonesia kedepannya seperti akan apa. Sedangkan
yang akan dibahas Penulis adalah pelaksanaan dari sertifikasi halal saat ini.
Kedua, skripsi oleh Syamsudin Syamsudin, mahasiswa dari Universitas
Islam Negeri Gunung Djati Bandung tahun 2017, dengan judul Pelaksanaan
Sertifikasi Halal Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal Ditinjau dari Siyasah Dusturiyah. Skripsi ini
membahas tentang pelaksanaan Undang-Undang jaminan produk halal ditinjau
dari siyasah dusturiyah, prosedur pengajuan sertifikasi halal dan kewenangnan
MUI dalam pembuatan sertifikat halal sebelum dan sesudah diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Ketiga, skripsi oleh Panca Basuki Rahmat, mahasiswa dari Universitas
Brawijaya Malang tahun 2018, dengan judul Pelaksanaan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 33 Tahu 2014 Tentang Jaminan Produk Halal Terkait Depot
Air Minum Isi Ulang yang Tidak Memiliki Sertifikat Halal (Studi Empiris di
Dinas Kesehatan, MUI, dan Depot Air Minum Isi Ulang di Kota Malang).
Skripsi ini membahas tentang hambatan-hambatan bagi pelaku usaha DAM isi
ulang untuk memiliki sertifikat halal, serta hambatan dan upaya yang dilakukan
MUI Kota Malang dalam pelaksanaan pasal 4 Undang-Undang JPH terkait
DAM isi ulang yang tidak memiliki sertifikat halal.
Keempat, jurnal oleh Syafrida, dari Universitas Tama Jagakarsa, dengan
judul Sertifikat Halal Pada Produk Makanan dan Minuman Memberi
9
Perlindungan dan Kepastian Hukum Hak-hak Konsumen Muslim. Jurnal ini
membahas tentang proses pemberian sertifikat halal atau prosedur dari
sertifikasi halal, serta manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat
khususnya konsumen muslim melalui sertifikat halal yang ditetapkan pada
produk-produk. Persamaan dengan Penulis, dalam jurnal ini menjelaskan
tentang pelaksanaan sertifikasi halal dalam hal prosedur sertifikasi halal.
Sedangkan perbedaannya adalah pada jurnal ini tidak membahas mengenai
kendala yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dalam
mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Kelima, jurnal oleh Nidya Waras Sayekti pada tahun 2014, dari P3DI
Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, dengan judul Jaminan Produk Halal
Dalam Persprektif Kelembagaan. Jurnal ini membahas tentang sistem
Jaminan Produk halal yang telah berjalan selama ini di Indonesia, kelembagaan
dalam pelaksanaan Jaminan Produk Halal sebelum dan sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014, serta potensi permasalahan dalam
implementasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. Dalam hal ini,
persamaan dengan Penulis, yaitu membahas pelaksanaan Jaminan Produk
Halal yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Perbedaannya adalah jurnal ini tidak membahas mengenai kendala dalam
persiapan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal oleh Badan Jaminan Produk
Halal.
Keenam, jurnal oleh Meta Suryani, dari Universitas Samudra, tahun
2019, dengan judul Pergeseran Kewenangan MUI dalam Memberikan
Jaminan Produk Halal Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014. Jurnal ini membahas tentang pelaksanaan Jaminan Produk Halal sebelum
lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, serta pergeseran kewenangan
MUI dalam memberikan Jaminan Produk Halal pasca lahirnya Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014. Persamaan dengan Penulis, yaitu penulis juga
membahas mengenai pergeseran kewenangan MUI dalam hal sertifikasi halal.
Sedangkan, perbedaaannya adalah dalam jurnal ini tidak membahas mengenai
pelaksanaan Jaminan Produk Halal saat ini atau setelah Undang-Undang
10
Nomor 33 Tahun 2014 diterbitkan, serta kendala yang harus dihadapi BPJPH
dalam mempersiapkan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Persamaan antara skripsi-skripsi sebelumnya dengan penelitian yang
sedang diteliti Penulis adalah pembahasan mengenai pelaksanaan sertifikasi
halal menurut Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Perbedaannya adalah pada penelitian ini lebih membahas secara khusus
tentang kesiapan dari lembaga-lembaga yang terkait dengan proses pembuatan
sertifikat halal serta secara umum pelaksanaan sertifikasi halal pasca
diundangkannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan kendala-kendala
yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal.
F. Kerangka Konseptual
11
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan ini
dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Hasil dari
telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi.4
Dalam penelitian ini isu hukum yang akan diteliti adalah
pelaksanaan dari Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH),
khususnya pada sertifikasi halal. Dengan begitu, Penulis akan menelaah
Undang-Undang yang berkaitan dengan sertifikasi halal.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Normatif-
Empiris. Normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, dapat dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan.5
Menurut Ronny Hanitijo yang dikutip dalam buku dualisme
penelitian hukum normatif dan empiris, penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang
diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Dan penelitian empiris yaitu
penelitian yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang
diperoleh langsung dari masyarakat.6
Oleh karena itu, dalam penelitian ini data yang akan diperoleh oleh
Penulis berdasarkan bahan pustaka dan hasil wawancara dengan lembaga
yang terkait dengan proses sertifikasi halal.
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet.
Keempat), h., 93. 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2011, Cet. Ketigabelas), h., 14. 6 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015, Cet. Ketiga), h., 154.
12
3. Bahan Hukum
Berdasarkan jenis penelitian normatif-empiris ini, maka data atau
bahan-bahan hukum yang diperlukan berupa data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil
penelitian kepada masyarakat atau data yang bisa diperoleh langsung dari
sumber utamanya. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh
dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi
penelitian.7
Dalam hal ini data primer yang akan digunakan Penulis yaitu berupa
hasil wawancara dengan lembaga terkait yang menyelenggarakan jaminan
produk halal. Sedangkan, data sekunder yang akan digunakan Penulis
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer (Bahan-bahan hukum yang mengikat) antara
lain, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2015 Tentang Kementerian Agama.
b. Bahan Hukum Sekunder (Memberikan penjelasan dari bahan hukum
primer) berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan pokok
masalah dalam Penulisan skripsi ini, baik berupa buku, makalah,
jurnal penelitian, artikel, berita internet, surat kabar ataupun pendapat
para ahli.
c. Bahan Hukum Tersier (Bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder), seperti
kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 156.
13
4. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan
atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut
dilakukan dalam membaca, melihat, mendengarkan, maupun dengan
melalui media internet.8
Selain itu, Penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk
memperoleh data. Wawancara yang dimaksud melakukan tanya jawab
secara langsung antara Penulis dengan responden atau narasumber atau
informan untuk mendapatkan informasi.9 Dalam hal ini, Penulis
melakukan wawancara dengan lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan jaminan produk halal di Indonesia yaitu Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode analisis data
yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sifat
analisis deskriptif maksudnya adalah, bahwa Penulis dalam menganalisis
berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek
dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya.10
Sedangkan, kualitatif adalah metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang
mengumpulkan dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun
tulisan) dan perbuatan-perbuatan manusia serta peneliti tidak berusaha
menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah
diperoleh.11 Pendekatan kualitatif adalah suatu cara analisis hasil
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang
8 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 160. 9 Ibid, h., 161. 10 Ibid, h., 183. 11 Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif
dalam Berbagai Disiplin Ilmu), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016, Cet. Ketiga), h., 13.
14
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.12
H. Rancangan Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” terbitan tahun 2017
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing Bab terdiri
atas beberapa sub Bab sesuai dengan pembahasan dan materi yang ditulis
dalam skripsi ini. Adapun perinciannya, yaitu:
BAB I Pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan (review) studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Pada bab ini menjelaskan mengenai pelaksanaan sertifikasi halal,
yang di dalamnya berisi tentang penjelasan sertifikasi halal, proses pembuatan
sertifikasi halal pasca terbitnya UU JPH, peran masing-masing lembaga yang
berwenang dalam proses pembuatan sertifikat halal, aturan-aturan yang
mengatur sertifikasi halal pasca terbitnya UU JPH, kesiapan dari masing-
masing lembaga yang terlibat dalam pembuatan sertifikasi halal.
BAB III Pada Bab ini menjelaskan mengenai lembaga Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Yang di dalamnya berisi
sejarah berdirinya BPJPH, tujuan dan manfaat berdirinya BPJPH, prosedur
memperoleh sertifikat halal, tugas dan wewenang dari BPJPH.
BAB IV Pada Bab ini menjelaskan tentang analisis kesiapan dari BPJPH
dalam menyelenggarakan jaminan produk halal dan analisis kendala-kendala
yang menghambat dalam menyiapkan penyelenggaraan jaminan produk halal
di Indonesia.
BAB V Pada Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi.
12 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, h., 192.
15
BAB II
KAJIAN TEORI HALAL
A. Pengertian Halal
Makanan yang bersertifikat halal dapat menjadi penting di negara mana
pun, khususnya di negara yang bermayoritas muslim. Masyarakat muslim akan
tertolong karena dengan mudah ia dapat memilih makanan-makanan yang baik
yang seharusnya ia konsumsi sesuai syariat Islam.
Melihat pentingnya makanan bersertifikat halal bagi seorang muslim itu
menunjukkan adanya sebuah kepedulian yang besar. Masyarakat muslim
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan makanan yang halal sebagaimana
ia memiliki hak untuk hidup.1 Dan ini merupakan kewajiban dari pemerintah
untuk menyediakan makanan dan minuman yang terjamin kehalalannya bagi
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan cara memberikan
sertifikat halal bagi produk-produk yang memang terjamin kehalalannya, mulai
dari bahan-bahannya, proses pengolahan, hingga alat-alat dan cara yang
digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.
Pemerintah sendiri saat ini sudah memulai untuk menyelenggarakan
jaminan produk halal di Indonesia, untuk memahami penjelasan selanjutnya
perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sertifikat halal.
Sertifikasi halal terdiri dari dua kata yaitu sertifikasi dan halal. kata
“sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “Certificate” yang mempunyai tiga arti
yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah. Kata “certificate” kemudian
diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi “sertifikat” yang merupakan kata
benda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa
sertifikat itu berarti tanda atau surat keterangan atau pernyataan tertulis atau
tercetak yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang dapat digunakan
sebagai bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau
proses menjadikan sertifikat.
1 Mesraini, dkk, Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jum’at), (Jakarta: Departemen Agama RI,
2007), h., 198.
16
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Halal” adalah diizinkan atau
tidak dilarang oleh syarak.2 Dalam hal ini halal berarti segala sesuatu yang
diperbolehkan oleh agama.
Sedangkan, “haram” adalah terlarang (oleh agama Islam); tidak halal;
terlarang oleh Undang-Undang; tidak sah.3 Dengan kata lain “haram” adalah
larangan atau hal yang tidak diizinkan untuk kita melakukan atau
mengonsumsinya yang ditentukan oleh Allah swt agar menghindarkan kita dari
kesengsaraan. Tidak hanya dalam agama Islam istilah “haram” ini juga
ditujukan untuk segala hal yang dilarang oleh aturan-aturan yang ditetapkan
pemerintah.
Menurut KH. Ma’ruf Amin dalam bukunya yang berjudul Fatwa Dalam
Sistem Hukum Islam, “halal” adalah sesuatu yang jika digunakan tidak
mengakibatkan mendapat siksa (dosa). Sedangkan “haram” adalah sesuatu
yang oleh Allah swt dilarang dilakukan dengan larangan tegas dimana orang-
orang yang melanggarnya diancam siksa oleh Allah di akhirat.4
Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang berkaitan dengan hukum
halal dan haram. Menurut Ibn Manzhur, halal itu berasal dari kata “al-hillu”
yang berarti tidak terikat (al-thalq). Oleh karena itu, al-muhillu berarti orang
kafir yang boleh diperangi karena tidak terikat perjanjian damai dengan kita.
Lafazh halal merupakan lawan dari kata “haram”. Sedangkan lafazh “haram”
itu pada asalnya berarti mencegah atau merintangi. Oleh karena itu, setiap yang
diharamkan itu menjadi tercegah atau terlarang.
Selanjutnya. Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti segala
sesuatu yang diharamkan Allah swt. Atas dasar itu, al-Munawi memberikan
definisi halal sebagai “sesuatu yang tidak diharamkan”. Maka di dalamnya
terkandung sesuatu yang dimakruhkan dan yang tidak dimakruhkan atau
diperbolehkan. Definisi ini masih kabur karena belum memberikan batasan
yang jelas dan spesifik.
2 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. 3 Ibid. 4 KH. Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008, Cet. Pertama), h., 319.
17
Al-Jurnani memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang jika
digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa”. Definisi ini mulai mencoba
menghubungkan substansi yang terdapat cakupan halal dengan efek atau
pengaruh dalam perbuatan mukallaf. Pengaruh yang ditimbulkannya adalah
“tidak mengakibatkan mendapat siksa”. Pengaruh tersebut sebenarnya dapat
timbul dari dua kategori perbuatan yaitu makruh dan mubah. Oleh karena itu,
definisi ini juga masih kabur.Menurut Qal’aji dan Qunaibi, lafazh halal itu
berasal dari halla al-syay’i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh
karena itu, pengertian halal identik dengan “mubah” yang terdapat dalam
ahkam al-khamsah. Atas dasar itu, maka wajar apabila al-Qardhawi secara
eksplisit mengidentikkan keduanya seperti tercermin dalam definisi halal yang
diberikannya yaitu “sesuatu yang mubah yang diizinkan oleh Syar’i untuk
dikerjakan”.
Dalam definisi yang dikemukakan oleh al-Qardhawi tersebut terdapat
dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam dzat atau ‘ain.
Dengan demikian secara substantif benda tersebut dzatnya adalah mubah.
Kedua, “yang diizinkan oleh Syar’i untuk dikerjakan” berkaitan dengan
perbuatan mukallaf yaitu mengerjakan. Oleh karena itu, cakupan
“mengerjakan” ini sangat luas termasuk di dalamnya mengonsumsi pangan
dalam upaya memenuhi kebutuhan jasmani mukallaf.5
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sertifikasi halal merupakan proses kegiatan pembuatan surat keterangan halal
(fatwa halal) atas suatu produk baik pangan maupun pakai yang dibuat secara
tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
Maka sebagai hasilnya adalah sertifikat halal yang dapat dijadikan bukti
bagi perusahaan untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada
kemasan produknya dari instansi pemerintah yang berwenang dalam hal ini
yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).6
5 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2013, Cet. Pertama), h., 13. 6 Ibid, h., 14.
18
Menurut LPPOM MUI, Sertifikat Halal MUI adalah fatwa tertulis
Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai
dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk
mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi
pemerintah yang berwenang.
Sertifikasi Halal MUI pada produk pangan, obat-obatan, kosmetika dan
produk lainnya dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan,
sehingga dapat meneteramkan batin konsumen dalam mengkonsumsinya.
Kesinambungan proses produksi halal dijamin oleh produsen dengan cara
menerapkan Sistem Jaminan Halal.7
B. Pelaksanaan Sertifikasi Halal Sebelum Berlakunya Undang-Undang
Jaminan Produk Halal
1. Lembaga Sertifikasi Halal Sebelum BPJPH
Sebelum terbentuknya BPJPH lembaga yang berwenang untuk
menyelenggarakan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kewenangan MUI untuk melakukan sertifikasi halal dapat dilihat dari
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut diberikan
sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap kiprah MUI dalam
melakukan kegiatan sertifikasi halal selama ini. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
disebutkan bahwa pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh
Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga
keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa lembaga keagamaan dimaksud adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan demikian, MUI diakui sebagai
lembaga keagamaan yang berkompeten dalam memutuskan kehalalan
7 Sertifikasi Halal MUI,
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1, 1 April 2019.
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/55/1360/page/1
19
pangan. Maka, fatwanya yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu Fatwa
Halal diakui oleh pemerintah.
Pemberian kewenangan tersebut sebenarnya sudah lama diberikan
oleh pemerintah. Hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 924/MenKes/SK/VIII/1996 tentang “Perubahan atas Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 82/MenKes/SK/I/1996 tentang
“Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan”. Dalam pasal 10
ditegaskan pengakuan terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan
sekaligus pemberian wewenang kepada MUI untuk melakukan sertifikasi
halal. Di dalamnya disebutkan bahwa hasil pemeriksaan dan hasil
pengujian laboratorium dievaluasi lebih lanjut oleh Tim Ahli MUI
(Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan Kosmetika-MUI). Selanjutnya,
hasil evaluasi tersebut disampaikan kepada Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia untuk memperoleh fatwa dalam bentuk Sertifikat Halal bagi
yang memenuhi syarat.
Selanjutnya, dalam pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa labelisasi
halal itu hanya dapat dilakukan berdasarkan pada Sertifikasi Halal yang
dikeluarkan oleh MUI. Di dalamnya disebutkan bahwa labelisasi halal
diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Berdasarkan fatwa tersebut Direktur Jenderal memberikan persetujuan
labelisasi halal bagi yang memperoleh Sertifikat Halal dan penolakan bagi
yang tidak memperoleh Sertifikat Halal.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut
jelaslah bahwa MUI diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan
sertifikasi halal di negara Indonesia. Dengan perkataan lain, MUI berfungsi
juga sebagai lembaga sertifikasi halal di Indonesia.
Sementara itu, secara doktriner, MUI sebagai organisasi
perkumpulan ulama juga berwenang melakukan sertifikasi halal. Sebab,
menurut ajaran Islam, ulama menjadi tumpuan bertanya umat tentang
berbagai persoalan keagamaan karena mereka dinilai sebagai pihak yang
paling berkompeten dalam menjawab berbagai persoalan keagamaan. Atas
20
dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka lahirlah produk baru dalam
pemikiran hukum Islam yaitu fatwa ulama. Hal ini terjadi karena secara
doktriner ulama merupakan ahl al-dzikr yang menjadi tumpuan umat untuk
bertanya menanyakan berbagai persoalan keagamaan. Dengan perkataan
lain, ulama menjadi mufti yang menjadi tumpuan para mustafti
sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah swt dalam al-Anbiya [21]: 7.
Tugas sebagai mufti bukanlah tugas yang ringan, melainkan berat
dan sulit karena kelak di akhirat akan dipertanggungjawabkan kepada Allah
swt. Hal ini mengingatkan tujuan dan tugas tersebut adalah menjelaskan
hukum-hukum Allah swt kepada masyarakat yang akan mempedomani dan
mengamalkannya.8
a. Lembaga Sertifikasi Halal MUI Pusat
Karena struktur MUI terdapat dari pusat sampai ke daerah-daerah
maka diperlukan pembagian wilayah kerja dalam kegiatan sertifikasi
tersebut. Hal ini dilakukan agar kewenangan yang merupakan amanah
tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tidak
menimbulkan kesimpangsiuran yang akan berdampak buruk terhadap
citra dan kinerja MUI.
Pembagian wilayah kerja antara MUI Pusat dan MUI Daerah
dilakukan berdasarkan kewenangan masing-masing dalam menetapkan
fatwa. Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI Bab VI
tentang Kewenangan dan Wilayah Fatwa dijelaskan bahwa MUI Pusat
berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan
yang dihadapi umat Islam yang bersifat nasional dan masalah-masalah
keagamaan yang pada awalnya lokal tetapi kemudian dapat meluas ke
daerah lain. Sementara itu, MUI daerah berwenang menetapkan fatwa
mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal dan
kedaerahan. Hal ini berlaku untuk semua jenis fatwa termasuk juga
Fatwa Halal untuk produk pangan, obat-obatan dan kosmetika.
8 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 44.
21
Fatwa yang dihasilkan mempunyai kedudukan yang sederajat
sehingga tidak dapat saling membatalkan. Begitu juga dalam Fatwa
Halal yang selanjutnya diproses menjadi Sertifikat Halal oleh MUI
Daerah.
Berdasarkan pembagian kewenangan tersebut, maka MUI Pusat
berwenang untuk memproses permohonan sertifikasi halal dari
perusahaan-perusahaan berskala nasional dan multinasional. Ada tiga
kriteria yang dibuat oleh MUI dalam menentukan suatu perusahaan itu
termasuk perusahaan nasional atau multinasional, yaitu:
1) Perusahaan yang kantor pusatnya terdapat di suatu daerah dan
memiliki cabang di daerah lain atau merupakan cabang dari suatu
perusahaan yang berada di luar negeri;
2) Perusahaan yang produknya dipasarkan secara meluas ke daerah
lain atau untuk keperluan ekspor;
3) Restoran atau rumah makan yang menganut sistem waralaba.
Demikian juga perusahaan-perusahaan luar negeri yang bergerak
di bidang ekspor dan impor.
Kegiatan auditnya dilakukan oleh LPPOM-MUI pusat yang
berkantor di Gedung Majelis Ulama Indonesia Jakarta Pusat dan Global
Halal Center Building Bogor. Di samping itu, perusahaan luar negeri
tersebut dapat juga mengajukan auditnya kepada lembaga-lembaga
sertifikasi di mancanegara yang telah diakui keberadaannya oleh
LPPOM-MUI.9
b. Lembaga Sertifikasi Halal MUI Daerah
Produsen yang usahanya berskala lokal cukup mengajukan
sertifikat halalnya kepada MUI Daerah. Ada tiga kriteria yang dibuat
oleh MUI dalam menentukan suatu perusahaan itu termasuk
perusahaan lokal, yaitu:
1) Perusahaan Pemotongan Hewan (RPH) yang berada di daerah;
9 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 45.
22
2) Perusahaan yang domisili dan kantornya hanya berada di suatu
daerah, tidak memiliki cabang di daerah lain atau bukan merupakan
cabang dari suatu perusahaan yang berada di daerah lain;
3) Restoran atau rumah makan yang hanya berada di suatu daerah dan
tidak menggunakan sistem waralaba.
Pembagian kewenangan tersebut dimaksudkan untuk
memberikan ketenangan batin bagi umat Islam di berbagai daerah di
seluruh Indonesia terhadap kehalalan produk makanan yang
dikonsumsi. Di samping itu, dimaksudkan juga untuk memberi
kemudahan bagi industri rumah tangga dari segi waktu dan biaya untuk
mendapatkan sertifikat halal dengan biaya yang terjangkau.
Kewenangan melakukan sertifikasi halal tersebut diberikan
kepada MUI Daerah yang sudah mempunyai tenaga ahli sebagai
pendukungnya dari LPPOM MUI Daerah tersebut. Pembentukan
LPPOM MUI Daerah dilakukan oleh MUI Daerah Tingkat I dan bisa
juga dibentuk oleh LPPOM MUI Pusat berdasarkan rekomendasi dari
MUI Daerah Tingkat I. Pembentukan LPPOM MUI Daerah baru dapat
dilakukan apabila terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:
1) Tersedianya tenaga ahli (S-1, S-2, dan S-3) di bidang pangan, kimia
atau biokimia, teknik industri, pertanian, syariah dan administrasi
yang bertindak sebagai auditor.
2) Tenaga ahli tersebut memiliki wawasan Islami yang luas dan selalu
mendahulukan kepentingan umat dari kepentingan pribadi.
3) Tersedianya laboratorium pengujian milik sendiri atau bekerjasama
dengan pihak lain.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut mau tidak mau MUI
Daerah harus menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam hal ini
adalah Perguruan Tinggi yang mempunyai tenaga ahli sesuai
kualifikasi yang dibutuhkan oleh laboratorium yang memadai
sebagaimana yang telah dilakukan MUI Pusat yang telah melakukan
kerjasama dengan IPB. Di samping itu, pembentukannya juga harus
23
mendapat dukungan dari instansi-instansi lain yang terkait yang
nantinya menjadi mitra kerja LPPOM MUI Daerah seperti Kanwil
Depkes, Balai POM atau Balai Besar POM dan Kanwil Depag.
LPPOM MUI Daerah baik yang berada di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota mempunyai tugas melakukan pemeriksaan
(audit) atas produk perusahaan lokal berdasarkan pedoman auditing
yang berlaku di lingkungan LPPOM MUI secara nasional. Hasil audit
tersebut kemudian disampaikan kepada Komisi Fatwa MUI Daerah
untuk dibahas secara seksama sampai diputuskan Fatwa Halalnya yang
selanjutnya diproses menjadi Sertifikat Halal. Di samping itu, LPPOM
MUI Daerah juga bersama-sama LPPOM MUI Pusat melakukan audit
terhadap produk terhadap produk nasional dan internasional yang
lokasi pabriknya terletak di daerah tersebut.
LPPOM MUI Daerah juga bertugas melakukan pembinaan.
Pembinaan dilakukan terhadap perusahaan yang terkait dengan produk
pangan seperti internal auditor perusahaan yang telah memperoleh
Sertifikat Halal di daerah masing-masing dan RPH yang berada di
daerah. Di samping itu, LPPOM MUI Daerah juga melakukan advokasi
dan edukasi kepada masyarakat luas dengan cara menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat di daerahya tentang: perlunya
mengonsumsi pangan halal, tatacara pemeriksaan pangan halal dan
ketentuan-ketentuan lainnya. Yang terakhir ini perlu ditingkatkan
pelaksanaannya agar informasi tentang kehalalan pangan yang meliputi
berbagai aspek dapat tersosialisasikan dengan baik di tengah-tengah
masyarakat.10
c. Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari
Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif
10 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 49.
24
dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1989.
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan
pemeriksaaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM
MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996
ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen
Agama, Departemen Kesehatan dan MUI.
Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan
Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519
Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal
serta melakukan pemeriksanaa/audit, penetapan fatwa, dan
menerbitkna sertifikat halal.
Dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI
melakukan kerjasama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian,
Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan
Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor
(IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda,
UIN, Universitas Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslimin
Indonesia Makassar.
Sedangkan kerjasama dengan lembaga telah terjalin dengan
Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur
Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion (Blackberry). Khusus
dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam
pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di
Indonesia.
Kini, dalam usianya yang ke-30 tahun, LPPOM MUI menjadi
Lembaga Sertifikasi Halal Pertama dan Terpercaya di Indonesia serta
semakin menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga sertifikasi halal
yang kredibel, baik di tingkat nasional maupun internasional. Pada
25
Tahun 2017 dan 2018 LPPOM MUI memperoleh Sertifikat Akreditasi
SNI ISO / IEC 17025 : 2008 untuk Laboratorium Halal dan SNI ISO /
IEC 17065 : 2012 dan DPLS 21 untuk Lembaga Sertifikasi Halal dari
Komite Akeditasi Nasional (KAN). Standar ini tidak hanya diakui di
Indonesia, namun juga diakui oleh Badan Akreditasi Uni Emirat Arab
atau ESMA.
Pada Januari 2019 LPPOM MUI, bekerja sama dengan berbagai
pihak, telah membangun dan meresmikan laboratorium halal di dua
lokasi, yakni di kawasan Industry Modern Cikande, Banten, dan di
kawasan Deltamas, Cikarang, Jawa Barat. Laboratorium halal tersebut
diharapkan semakin meningkatkan layanan LPPOM MUI kepada
kalangan industri yang memerlukan jasa laboratorium.
Sistem sertifikasi dan sistem jaminan halal yang dirancang serta
diimplementasikan oleh LPPOM MUI telah pula diakui bahkan juga
diadopsi oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri, yang kini
mencapai 45 lembaga dari 26 negara.
LPPOM MUI memiliki visi yaitu menjadi lembaga sertifikasi
halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan
ketenteraman bagi umat Islam serta menjadi pusat halal dunia yang
memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara
nasional dan internasional. Sedangkan, untun misinya yaitu sebagai
berikut:
1) Menetapkan dan mengembangkan standar halal dan standar audit
halal.
2) Melakukan sertifikasi produk pangan, obat dan kosmetika yang
beredar dan dikonsumsi masyarakat.
3) Melakukan edukasi halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat
untuk senantiasa mengkomsumsi produk halal.
26
4) Menyediakan informasi tentang kehalalan produk dan berbagai
aspek.11
2. Dasar Hukum
Sebelum ada atau berlakunya Undang-Undang tentang Jaminan
Produk Halal, sertifikasi halal memiliki beberapa peraturan perundang-
undangan yang terkait, seperti Undang-Undang tentang Pangan dan
Undang-Undang tentang Kesehatan. Berikut adalah peraturan perundang-
undangan yang menjadi landasan hukum dari sertifikasi halal sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
d. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan
e. Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991
f. Keputusan Menteri yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
82/Menkes/SK/I/1996 jo Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
924/Menkes/SK/VIII/1996, Surat Keputusan Menteri Pertanian RI
Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 jo. Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 306/Kpts/TN.330/4/1994, Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 295/Kpts/TN.240/5/1989, Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor
427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985, Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 76/Menkes/Per/III/78, dan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 280/Menkes/Per/XII/76.12
11 Tentang LPPOM MUI,
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1 , 1 April 2019. 12 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 27.
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/130/1511/page/1
27
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
menyinggung secara sepintas persoalan halal. Pasal 21 ayat 2 Undang-
Undang tersebut menyatakan bahwa label itu berisi bahan yang dipakai,
komposisi setiap bahan, tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa dan
ketentuan lainnya. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang
dimaksud “ketentuan lainnya” adalah pencantuman kata atau tanda halal
(label halal) yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud
diproduksi dan diproses sesuai persyaratan makanan halal.13
Dengan kata lain, pasal 21 ayat 2 Undang-Undang tentang kesehatan
itu menyatakan bahwa pencantuman kata atau tanda halal pada label
menjadi keharusan. Karena masyarakat, khusunya masyarakat muslim
akan merasa lebih aman dan nyaman dalam mengonsumsi obat-obatan
yang sudah memiliki label halal.
Kemudian pada tahun 1996 lahirlah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Di dalamnya disebutkan antara lain bahwa
keterangan tentang halal merupakan bagian integral dari label, tetapi di
dalam penjelasannya hal tersebut terkesan seperti “dianulir” kembali.
Dengan demikian, labelisasi halal yang tadinya “wajib” menjadi tidak
wajib atau bersifa suka rela. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang “Label dan Iklan
Pangan” yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pangan.
Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 dinyatakan, “pencantuman tulisan halal
pada dasarnya bersifat sukarela”.
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
Pasal 58 disertakan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan halal.
Sanksi tersebut berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda paling banyak Rp360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah).
Sanksi tersebut dikenakan kepada siapa saja yang memberikan pernyataan
13 Ibid, h., 24.
28
atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label sebagaimana
dimaksud dalam pasal 34 ayat 1.
Di samping denda dan sanksi hukum kurungan tersebut terdapat juga
sanksi administratif sebagaimana ditetapkan oleh PP Nomor 69 Tahun
1999. Adapun sanksi administratif tersebut meliputi: a) peringatan secara
tertulis; b) larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan satu perintah
untuk menarik produk pangan dari peredaran; c) pemusnahan pangan jika
terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d) penghentian
produk untuk sementara waktu; e) pengenaan denda paling tinggi
Rp50.000.000,- dan f) pencabutan izin produksi atau izin usaha.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) diatur juga persoalan halal yang
senada dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Persoalan tersebut
berkaitan erat dengan hak dan kewajiban konsumen dan produsen.
Konsumen berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengonsumsi pangan. Ia juga berhak untuk mendapatkan informasi
yang benar, jelas dan jujur tentang pangan yang dikonsumsinya.
Bersamaan dengan itu, produsen berkewajiban untuk mempunyai
iktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk pangan yang
dihasilkannya. Di samping itu, pada Pasal 8 Undang-Undang tersebut
produsen juga dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan produk
pangan yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana pernyataan halal yang telah dicantumkannya dalam label.
Apabila melanggar ketentuan tersebut, ia akan dikenai hukuman penjara
maksimal 5 (lima) tahun dan atau denda maksimal Rp2.000.000.000,- (dua
miliar rupiah).14
Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara garis besar
menyatakan, bahwa pencantuman kata atau label halal tidak diwajibkan,
14 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI Terhadap Produk
Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetika), h., 26.
29
namun jika produsen sudah mencantumkan label halal maka hal tersebut
harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Karena apabila
melanggar, produsen dapat dikenakan sanksi pidana.
Secara keseluruhan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang telah dijelaskan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum
berlakunya Undang-Undang Jaminan Produk Halal, ketentuan mengenai
pencantuman label halal bersifat suka rela atau tidak diwajibkan.
3. Proses Pembuatan Sertifikat Halal
Dalam proses memperoleh sertifikasi halal, Penulis membagi
menjadi tiga tahapan, yaitu sebelum pembuatan sertifikat halal, proses
pembuatan sertifikat halal dan setelah pembuatan sertifikat halal. Sebelum
pembuatan sertifikat halal, produsen harus memenuhi beberapa persyaratan
dan formulir yang harus diisi, serta menyertakan dokumen-dokumen untuk
kepentingan sertifikat halal.
Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM
MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong
Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran
sertifikasi halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. berikut ini
adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses
sertifikasi halal:15
1. Memahami
persyaratan
sertifikasi
halal dan
mengikuti
pelatihan SJH
Perusahaan harus memahami persyaratan
sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS (Halal
Assurance System) 23000. Selain itu, perusahaan
juga harus mengikuti pelatihan SJH yang diadakan
LPPOM MUI, baik berupa pelatihan reguler
maupun pelatihan online (e-training).
2. Menerapkan
Sistem
Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum
melakukan pendaftaran sertifikasi halal, antara
lain: penetapan kebijakan halal, penetapan Tim
15 Prosedur Sertifikasi Halal,
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1, 10 Januari 2019.
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/go_to_section/56/1362/page/1
30
Jaminan Halal
(SJH)
Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH,
pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait
SJH, pelaksanaan internal audit dan kaji ulang
manajemen.
3. Menyiapkan
dokumen
sertifikasi
halal
Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang
diperlukan untuk sertifikasi halal, antara lain:
daftar produk, daftar bahan dan dokumen bahan,
daftar penyembelihan (khusus RPH), matriks
produk, Manual SJH, diagram alir proses, daftar
alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi
kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan bukti
audit internal.
4. Melakukan
pendaftaran
sertifikasi
halal (upload
data)
Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara
online di sistem CEROL melalui website www.e-
lppommui.org . Perusahaan harus membaca user
manual CEROL terlebih dahulu untuk memahami
prosedur sertifikasi halal yang dapat di unduh di
website LPPOM MUI. Perusahaan harus
melakukan upload data sertifikasi sampai selesai,
baru dapat diproses oleh LPPOM MUI.
5. Melakukan
monitoring pre
audit dan
pembayaran
akad sertifikasi
Setelah melakukan upload data sertifikasi,
perusahaan harus melakukan monitoring pre audit
dan pembayaran akad sertifikasi. Monitoring pre
audit disarankan dilakukan setiap hari untuk
mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre
audit. Pembayaran akad sertifikasi dilakukan
dengan mengunduh akad di CEROL, membayar
biaya akad dan menandatangani akad, untuk
kemudian melakukan pembayaran di CEROL dan
http://www.e-lppommui.org/http://www.e-lppommui.org/
31
disetujui oleh Bendahara LPPOM MUI melalui
email ke: [email protected] .
6. Pelaksanaan
audit
Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah
lolos pre audit dan akad sudah disetujui. Audit
dilaksanakan di semua fasilitas yang berkaitan
dengan produk yang disertifikasi.
7. Melakukan
monitoring
pasca audit
Setelah melakukan upload data sertifikasi,
perusahaan harus melakukan monitoring pasca
audit. Monitoring pasca audit disarankan dilakukan
setiap hari untuk mengetahui adanya
ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat
ketidaksesuaian agar dilakukan perbaikan.
8. Memperoleh
sertifikat halal
Perusahaan dapat mengunduh Sertifikat Halal
dalam bentuk softcopy di CEROL. Sertifikat halal
yang asli dapat diambil di kantor LPPOM MUI
Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat
perusahaan. Sertifikat halal berlaku selama dua
tahun.
a. Pasca Pembuatan Sertifikat Halal (pengawasan, perpanjang
sertifikasi halal, sanksi)
Setelah perusahaan mendapatkan sertifikat halal, perusahaan
memiliki kewajiban untuk melakukan pelaporan ke LPPOM MUI
apabila terjadi perubahan terkait bahan, produk, fasilitas maupun sistem
jaminan halal untuk menjamin bahwa perusahaan menerapkan proses
produksi halal selama memiliki sertifikat halal masih berlaku,
diantaranya:
1) Meminta persetujuan penggunaan bahan baku baru yang akan
digunakan untuk produk yang disertifikasi halal (termasuk bahan
mailto:[email protected]
32
yang sama dari produsen yang berbeda) melalui CEROL SS-23000
(menu: Inquiry Material Approval).
2) Melaporkan secara berkala hasil audit internal terkait penerapan
SJH setiap 6 (enam) bulan sekali melalui CEROL SS-23000
(menu: Regular Report).
3) Memperbaharui data pada bahan baku yang sudah terdaftar melalui
CEROL SS-23000 (menu: Registered Materials).
4) Memperbaharui data personel apabila terjadi perubahan personel
di perusahaan (menu: Edit Customer).
5) Mengganti password secara berkala untuk menjaga kerahasiaan
data perusahaan (menu: Change Password).16
Setelah memperoleh sertifikat halal masih ada beberapa
ketentuan yang harus dilakukan oleh perusahaan. Perusahaan harus
memonitoring produk yang sudah diberikan sertifikat halal tersebut
secara berkala, baik secara internal perusahaan maupun eksternal yang
dilakukan oleh LPPOM MUI. Jika ada penambahan atau perubahan
baik bahan baku maupun bahan tambahan harus segera dilaporkan ke
LPPOM MUI. Hal ini bertujuan untuk menjamin kehalalan dari produk
tersebut tetap terjaga dan tidak tercampur dengan bahan-bahan yang
haram. Selain itu perlu dilakukan beberapa hal yang berkaitan dengan
pasca diterbitkannya sertifikat halal, antara lain:
1) Pengawasan Sertifikasi Halal
Adapun sistem pengawasan adalah sebagai berikut: Pertama,
Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim
Sidak LPPOM MUI. Kedua, Perusahaan berkewajiban
menyerahkan laporan audit internal setiap 6 (enam) bulan setelah
terbitnya Sertifikat Halal.17
Setelah memperoleh Sertifikat Halal, perusahaan harus
mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi
16 LPPOM-MUI, Sistem Pelayanan Sertifikasi Halal Online (CEROL-SS23000), 2017, h., 64. 17 Mashudi, Konstruksi Hukum dan Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk Halal, h., 93.
33
sistem produksi halal pada produk mereka. Auditor tersebut
haruslah berasal dari karyawan tetap perusahaan dan berasal dari
bagian yang terkait dengan proses produksi, seperti bagian QA/QC
(Quality Assurance/Quality Control), R&D (Research and
Development), Purchasing, Produksi dan Pergudangan. Di
samping itu, ia juga harus beragama Islam dan taat dalam
mengamalkan ajaran Islam. Lebih dari itu, ia juga memahami betul
titik kritis keharaman produk secara keseluruhan baik ditinjau dari
bahan yang digunakan maupun pada proses produksinya. Oleh
karena itu, ia harus memiliki bekal pengetahuan keislaman yang
memadai terutama dalam masalah kehalalan pangan.
Pengawasan produk halal pertama dilakukan secara internal.
Hal ini memerlukan tekad dan komitmen serta dukungan dari
perusahan untuk merealisasikannya. Di samping itu, ketersedian
SDM yang qualified juga tidak kalah pentingnya. Sebab, menurut
Aisyah Girindra, mantan direktur LPPOM MUI, keterbatasan
SDM sangat mempengaruhi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal
terutama pada perusahaan kecil dan perusahaan internasional.
Ternyata, pengawasan yang dilakukan secara internal ini
cukup efektif. Hal ini terbukti pada kasus Ajinomoto yang telah
memperoleh sertifikat halal. kemudian perusahaan tersebut
merubah proses produksi dengan menggunakan bactosoyton yang
dicurigai berasal dari pangkreas babi tanpa melakukan konsultasi
terlebih dahulu dengan pihak LPPOM MUI. Akibatnya, MUI
membatalkan sertifikat halal yang telah dikeluarkannya dan
mengeluarkan “Fatwa Haram” terhadap produk Ajinomoto yang
menggunakan bactosoyton dalam proses produksinya. Adanya
perubahan proses produksi tersebut diketahui MUI berdasarkan
laporan dari Auditor Internal Halal perusahaan Ajinomoto.
Di samping itu, perusahaan juga wajib menandatangani
perjanjian untuk menerima Tim Sidak (inspeksi mendadak)
34
LPPOM MUI yang akan melakukan inspeksi mendadak bila
diperlukan. Juga, perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan
audit internal setiap enam bulan setelah terbitnya Sertifikat Halal.
Dengan demikian, pengawasan yang dilakukan oleh LPPOM MUI
dilakukan secara berlapis. Selain melalui laporan rutin yang
disampaikan oleh auditor halal perusahaan, juga melalui sidak yang
dilakukan sewaktu-waktu bila diperlukan.
Di samping itu, pengawasan juga dilakukan oleh Pemerintah
dan konsumen. Pengawasan oleh Pemerintah dilakukan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengawasan yang
dilakukan oleh Badan POM dapat dilakukan melalui: 1) pengaturan
dan standarisasi; 2) evaluasi mutu dan keamanan produk pangan
sebelum diizinkan beredar di masyarakat (skim registerasi); 3)
pembinaan dan penyuluhan; 4) sampling dan pengujian
laboratorium; 5) pemeriksanaan sarana produksi dan distribusi; 6)
penyidikan kasus khusus; dan 7) publik warning yang ditujukan
kepada masyarakat luas.
Pengawasan oleh Badan POM dapat dilakukan sebelum
berproduksi dengan cara regulasi dalam bentuk peraturan-
peraturan dan standarisasi yang berkaitan dengan sertifikasi dan
label halal. Kemudian dilanjutkan dengan cara memberikan
pembinaan dan penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan dalam
rangka sosialisasi. Kedua jenis pengawasan ini dilakukan dalam
rangka pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran.
Di samping itu, pengawasan juga dapat dilakukan melalui
skim registerasi. Pengawasan ini dilakukan pada saat berproduksi.
Pengawasan melalui skim ini cukup efektif dengan sanksi yang
konkrit apabila terjadi pelanggaran. Sebab, semua produk pangan
sebelum diizinkan beredar di Negara kita terlebih dahulu harus
terdaftar pada Badan POM. Dalam proses registerasi tersebut
dilakukan evaluasi atas mutu, keamanan dan kemanfaatannya.
35
Untuk produk pangan olahan yang menggunakan gelatin,
emulsifier, shortening dan stabilieser, produsen harus melampirkan
dokumen-dokumen yang menunjukkan asal Bahan Tambahan
Pangan (BTP) tersebut apakah berasal dari tumbuh-tumbuhan
(nabati) atau hewan (hewani). Apabila BTP tersebut berasal dari
hewan, maka harus disebutkan asal hewan tersebut. Bila berasal
dari babi, maka produsen tersebut harus mencantumkan logo atau
keterangan “MENGANDUNG BABI” pada labelnya.
Di samping itu, obat-obatan dalam bentuk kapsul yang
berasal dari impor harus menyertakan certificate of analysis yang
menyatakan bahwa kapsul tersebut berasal dari sapi. Sementara itu,
untuk kapsul produksi dalam negeri harus berasal dari sapi. Lebih
dari itu, gelatin yang diimpor dari luar negeri harus dilengkapi
dengan Sertifikat Halal dari Islamic Center negara yang
bersangkutan.
Pengawasan dapat juga dilakukan pasca produksi.
Pengawasan pasca produksi dapat dilakukan apabila terjadi
pelanggaran dengan melakukan penyidikan kasus. Hal tersebut
dapat dilakukan melalui pengambilan sampling dan pengujian
laboratorium atau bahkan pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi sesuai dengan kasus pelanggaran yang terjadi. Hasilnya
kemudian disampaikan kepada masyarakat sebagai public warning
dan advokasi. Di samping dapat diproses ke pengadilan bila
menyangkut unsur pidana.
2) Perpanjangan Sertifikasi Halal
Sertifikat halal berlaku selama dua tahun, kecuali untuk
daging impor sertifikasi halal hanya berlaku untuk setiap kali
pengapalan. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya
sertifikat, LPPOM MUI akan mengirim surat pemberitahuan
kepada produsen yang bersangkutan. Satu bulan sebelum berakhir
masa berlakunya sertifikat, produsen harus mendaftar kembali
36
untuk mendapat sertifikat tahun berikutnya. Produsen yang tidak
memperbaharui sertifikat halal, maka untuk itu produsen tidak
diizinkan lagi untuk menggunakan label halal berdasarkan
sertifikat yang tidak berlaku dan akan diumumkan di berita berkala
LPPOM MUI. Pada saat berakhir masa berlakunya sertifikat,
produsen harus segera mengembalikan sertifikat halal yang
dipegangnya kepada LPPOM MUI.18
Beberapa ketentuan masa berlaku sertifikat produk halal
adalah sebagai berikut: Pertama, Sertifikat Halal hanya berlaku
selama dua tahun. Surat Keterangan Halal diberikan untuk setiap
pengapalan. Kedua, tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya
sertifikat, LPPOM MUI akan mengirimkan surat pemberitahuan
kepada produsen yang bersangkutan. Ketiga, dua bulan sebelum
berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar kembali
untuk Sertifikat Halal yang baru. Keempat, produsen yang tidak
memperbarui Sertifikat Halalnya, tidak diizinkan lagi
menggunakan sertifikat halal tersebut dan dihapus dari daftar yang
terdapat dalam majalah resmi LPPOM MUI, Jurnal Halal. Kelima,
jika sertifikat halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya
ke LPPOM MUI. Keenam, sertifikat halal yang dikeluarkan oleh
MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu, jika karena sesuatu hal
diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib
menyerahkannya. Ketujuh, keputusan MUI yang didasarkan atas
fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.
Untuk prosedur perpanjangan sertifikat halal ditentukan
prosedur sebagai berikut: Pertama, produsen yang bermaksud
memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus mengisi
formulir pendaftaran yang telah tersedia. Kedua, pengisian
formulir disesuaikan dengan pengembangan terakhir produk.
18 Sekretaris LPPOM MUI Jawa Tengah, dalam presentasi tentang “Pedoman Sertifikasi Halal”, h., 12.
37
Ketiga, perubahan bahan baku, bahan tambahan dan bahan
penolong, serta jenis pengelompokkan produk harus
diinformasikan kepada LPPOM MUI. Keempat, Produsen
berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi,
sertifikat halal dan bagan alir proses.19
3) Sanksi Bagi Pelaku Usaha Pasca Pembuatan Sertifikat Halal
Pada dasarnya sebelum berlakunya Undang-Undang Jaminan
Produk Halal, sertifikasi halal masih bersifat volunter atau
sukarela, sehingga tidak adanya keharusan bagi pelaku usaha untuk
mendaftarkan produknya memperoleh sertifikat halal. kecuali jika
pelaku usaha tersebut menyebutkan bahwa produk yang
dikeluarkannya halal, maka pelaku usaha tersebut harus
mencantum kan label halal pada produknya. Dengan cara
mendaftarkan produknya untuk mendapatkan sertifikat halal dari
LPPOM MUI. Setelah pelaku usaha memperoleh sertifikat halal,
ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha
diantaranya terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan.
Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999, memberikan larangan bagi pelaku usaha dalam
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.20
Jika pelaku usaha mencantumkan label halal pada produknya
berupa barang dan/atau jasa, maka pelaku usaha berkewajiban
untuk mengikuti ketentuan mengenai berproduksi secara halal
yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Sebaliknya,
19 Mashudi, Konstruksi Hukum d