10
SESI 1 Skin prick test adalah pemeriksaan dengan mendeteksi IgE spesifik pada sel kulit. Uji ini biasa dilakukan jika alergen yang dicurigai berasal dari inhalan (alergen yang dihirup) atau alergi makanan. Sebelum melaksanakan uji ini, obat antihistamin harus dihentikan. Hubungan dengan orang tua yg rhinitis alergi . Berdasarkan kasus di atas, dapat dilihat adanya hubungan genetik orang tua dengan anak. Hal ini diperkuat dengan ibu yang memiliki rhinitis alergi. Apabila salah satu orang tua memiliki alergi maka akan diturunkan ke anak sebebsar 17%-20%. Jika dua-duanya mempunyai alergi, maka akan diturunkan ke anak sebesar 50%-70%. Dermatitis atopik pada umur kurang dari 2 tahun akan melanjut menjadi asma dan semakin meningkat jika ada keluarga yang mempunyai riwayat alergi. Mengapa diberi obat kortikosteroid dan anti histamine ? Pemberian kortikosteroid topikal sebagai anti inflamasi dan mengurangi sintesis kolagen. Krotikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi eritema. Selain itu, juga berefek sebagai anti mitosis yang dapat mempengaruhi sintesis DNA. Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan atrofi pada kulit. Keberhasilan penggunaan kortikosteroid topikal dapat dilihat dari 5 hal, yaitu diagnosis yang tepat, letak, dan jenis lesi, bahan dasar obat yang dipakai,

Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

blok integumen

Citation preview

Page 1: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

SESI 1

Skin prick test adalah pemeriksaan dengan mendeteksi IgE spesifik pada sel kulit. Uji ini

biasa dilakukan jika alergen yang dicurigai berasal dari inhalan (alergen yang dihirup)

atau alergi makanan. Sebelum melaksanakan uji ini, obat antihistamin harus dihentikan.

Hubungan dengan orang tua yg rhinitis alergi .

Berdasarkan kasus di atas, dapat dilihat adanya hubungan genetik orang tua dengan anak. Hal ini

diperkuat dengan ibu yang memiliki rhinitis alergi. Apabila salah satu orang tua memiliki alergi

maka akan diturunkan ke anak sebebsar 17%-20%. Jika dua-duanya mempunyai alergi, maka

akan diturunkan ke anak sebesar 50%-70%. Dermatitis atopik pada umur kurang dari 2 tahun

akan melanjut menjadi asma dan semakin meningkat jika ada keluarga yang mempunyai riwayat

alergi.

Mengapa diberi obat kortikosteroid dan anti histamine ?

Pemberian kortikosteroid topikal sebagai anti inflamasi dan mengurangi sintesis kolagen.

Krotikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi eritema. Selain

itu, juga berefek sebagai anti mitosis yang dapat mempengaruhi sintesis DNA. Efek samping

penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan atrofi pada kulit. Keberhasilan

penggunaan kortikosteroid topikal dapat dilihat dari 5 hal, yaitu diagnosis yang tepat, letak, dan

jenis lesi, bahan dasar obat yang dipakai, zat aksis dan metode pemakaian obat. Sedangkan

pemberian antihistamin oral berfungsi untuk menghilangkan rasa gatal yang timbul dengan cara

menutup reseptor dari histamin.

Page 2: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

DERMATITIS KONTAK ALERGI

A. Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul

setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).

B. Etiologi dan Predisposisi

1. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan

kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia

sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,

derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).

Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-

tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap

tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison

sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly

antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan

logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),

formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),

tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)

(Trihapsoro, 2003).

2. Predisposisi

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya

antara lain:

a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):

1) Potesi sensitisasi allergen

2) Dosis per unit area

3) Luas daerah yang terkena

4) Lama pajanan

5) Oklusi

6) Suhu dan kelembaban lingkungan

7) Vehikulum

Page 3: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

8) pH

b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):

1) Keadaan kulit pada lokasi kontak

Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.

2) Status imunologik

Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.

3) Genetik

Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null

pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,

2009).

4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing –

masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat keadaan

imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan didukung status

gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang

seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan

perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang

rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik

adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis

statis (Baratawijaya, 2006).

C. Patofisiologi

Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang oleh

suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan

seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila

terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum

corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang

terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir

dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk

bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak

selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan

Page 4: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin

(Price, 2005).

Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi yang

akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan mediator-

mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon

terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut

akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis

lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu

yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).

Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan

penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif

rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai

wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan

sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan.

Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata

(Price, 2005).

Page 5: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

Skema Patogenesis DKA

Page 6: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

Kontak Dengan Alergen secara Berulang

Alergen kecil dan larut dalam lemak disebut

hapten

Menembus lapisan corneum

Difagosit oleh sel Langerhans dengan

pinositosis

Hapten + HLA-DR

Membentuk antigen

Dikenalkan ke limfosit T melalui CD4

Sel langerhans keluarkan sitokin

IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-7, MHC I dan II

Sitokin akan memproliferasi sel T

dan menjadi lebih banyak dan memiliki

sel T memori

Sitokin akan keluar dari getah bening

Beredar ke seluruh tubuh

Individu tersensitisasiFase Sensitisasi (I)

2-3 minggu

Page 7: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

Fase Elitisasi (II)24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi lebih kompleks

Proliferasi dan ekspansi sel T di kulit

IFN – γ → keratinosit → LFA -1, IL-1, TNF-α

Eikosanoid (dari sel mast dan keratinosit

Dilatasi vaskuler dan peningkatan

permeabilitas vaskuler

Molekul larut (komplemen dan klinin) → ke epidermis

dan dermis

Faktor kemotaktik, PGE2 dan OGD2, dan leukotrien B4 (LTB4) dan eiksanoid

menarik → neutrofil, monosit ke dermis

Respons klinis DKA

Page 8: Sesi 1 Dan 2 Blok13s4

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta :

EGC.

Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC

Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji

Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11 November

2012.

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: FK UI