Upload
syarah-mutia-dewi
View
227
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
blok integumen
Citation preview
SESI 1
Skin prick test adalah pemeriksaan dengan mendeteksi IgE spesifik pada sel kulit. Uji ini
biasa dilakukan jika alergen yang dicurigai berasal dari inhalan (alergen yang dihirup)
atau alergi makanan. Sebelum melaksanakan uji ini, obat antihistamin harus dihentikan.
Hubungan dengan orang tua yg rhinitis alergi .
Berdasarkan kasus di atas, dapat dilihat adanya hubungan genetik orang tua dengan anak. Hal ini
diperkuat dengan ibu yang memiliki rhinitis alergi. Apabila salah satu orang tua memiliki alergi
maka akan diturunkan ke anak sebebsar 17%-20%. Jika dua-duanya mempunyai alergi, maka
akan diturunkan ke anak sebesar 50%-70%. Dermatitis atopik pada umur kurang dari 2 tahun
akan melanjut menjadi asma dan semakin meningkat jika ada keluarga yang mempunyai riwayat
alergi.
Mengapa diberi obat kortikosteroid dan anti histamine ?
Pemberian kortikosteroid topikal sebagai anti inflamasi dan mengurangi sintesis kolagen.
Krotikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi eritema. Selain
itu, juga berefek sebagai anti mitosis yang dapat mempengaruhi sintesis DNA. Efek samping
penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan atrofi pada kulit. Keberhasilan
penggunaan kortikosteroid topikal dapat dilihat dari 5 hal, yaitu diagnosis yang tepat, letak, dan
jenis lesi, bahan dasar obat yang dipakai, zat aksis dan metode pemakaian obat. Sedangkan
pemberian antihistamin oral berfungsi untuk menghilangkan rasa gatal yang timbul dengan cara
menutup reseptor dari histamin.
DERMATITIS KONTAK ALERGI
A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,
derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-
tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap
tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison
sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly
antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan
logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),
tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
(Trihapsoro, 2003).
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya
antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null
pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,
2009).
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing –
masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat keadaan
imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan didukung status
gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang
seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan
perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang
rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak alergik
adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu, misalnya dermatitis
statis (Baratawijaya, 2006).
C. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang oleh
suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan
seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut bila
terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum
corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir
dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan terbentuk
bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak
selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan
timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin
(Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi yang
akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan mediator-
mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya, sebagai respon
terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut
akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis
lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu
yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif
rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai
wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan
sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan.
Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata
(Price, 2005).
Skema Patogenesis DKA
Kontak Dengan Alergen secara Berulang
Alergen kecil dan larut dalam lemak disebut
hapten
Menembus lapisan corneum
Difagosit oleh sel Langerhans dengan
pinositosis
Hapten + HLA-DR
Membentuk antigen
Dikenalkan ke limfosit T melalui CD4
Sel langerhans keluarkan sitokin
IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-7, MHC I dan II
Sitokin akan memproliferasi sel T
dan menjadi lebih banyak dan memiliki
sel T memori
Sitokin akan keluar dari getah bening
Beredar ke seluruh tubuh
Individu tersensitisasiFase Sensitisasi (I)
2-3 minggu
Fase Elitisasi (II)24-48 jam
Pajanan ulang
Sel T memori
Aktivasi sitokin inflamasi lebih kompleks
Proliferasi dan ekspansi sel T di kulit
IFN – γ → keratinosit → LFA -1, IL-1, TNF-α
Eikosanoid (dari sel mast dan keratinosit
Dilatasi vaskuler dan peningkatan
permeabilitas vaskuler
Molekul larut (komplemen dan klinin) → ke epidermis
dan dermis
Faktor kemotaktik, PGE2 dan OGD2, dan leukotrien B4 (LTB4) dan eiksanoid
menarik → neutrofil, monosit ke dermis
Respons klinis DKA
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 11 November
2012.
Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: FK UI