Upload
josephine-holland
View
114
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
menggigil
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi
pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian
bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan
penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik/sedasi,
analgesi dan relaksasi otot.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan
menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu
keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya
sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi
umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap
pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan
pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu
anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat
penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obatan dan
macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul
pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada pasca anestesi.
Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat
dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan pengawasan ketat
serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan
komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.
Page 1
BAB II
Pembahasan
Menggigil paska anestesi regional sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil berupa tremor
ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia selama anestesi
regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non termoregulator dan
bersifat involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non
termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih
sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar dari agen
halogen dapat terlihat seperti mengigil demikian juga gerakan klonik spontan yang menyerupai
menggigil juga dapat terlihat.6
FISIOLOGI
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5 0C pada suhu lingkungan
dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur
untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal.
Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu
mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.
Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan
eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada pasien
yang mengalami pembedahan. Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia
perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi
oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output,
takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi hipotermia adalah temperatur
inti 10C lebih rendah di bawah standar deviasi rata‐rata temperatur inti manusia pada keadaaan
istirahat dengan suhu lingkungan yang normal (28‐35C). Kerugian paska operasi yang disebabkan
oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan
fungsi jantung yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.
Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor
sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon eferen. Input temal aferen
datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur
tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi
bila ada peningkatan produksi panas. Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui
sebagai satu‐satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur
Page 2
serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada
daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain, medula
oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai termosensitif,
diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk respon
pertahanan tubuh. Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor dan
jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom
Termosensor dan Jalur Saraf Aferen
Banyak pengetahuan mengenai struktur sistem termoregulasi yang diperoleh dari penelitian
pada hewan. Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Receptor termal terdapat
pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan memberikan kontribusi
terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 25‐300C.
Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ. Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu
45‐500C dan berjalan pada serabut saraf tipe C.
Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan dalam
waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan
dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur
lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Hal ini dibuktikan pada penelitian terhadap
sistem termoregulasi manusia secara kimia. Pada penelitian tersebut, disebutkan bahwa produksi
panas tubuh selalu diukur melalui kebutuhan oksigen tubuh. Termoregulasi terhadap dingin
dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas. Reseptor
dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang
berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus.
Berbeda dengan reseptor dingin perifer, lokasi reseptor dingin sentral tidak begitu jelas
secara anatomis. Produksi panas pada temperatur kulit yang hangat meningkat bila temperatur inti
tubuh menurun kurang dari 360C. Pusat termoreseptor dingin kurang begitu penting bila
dibandingkan input sensoris dingin perifer, akan tetapi suatu penelitian terhadap transeksi korda
spinalis, menyimpulkan bahwa proses di pusat termoregulasi akan aktif bila temperatur inti tubuh
di bawah titik ambang batas set‐point dan kurang sensitif terhadap termoreseptor perifer
Page 3
Alur control termolegulasi
Hipotalamus Pusat Integrasi
Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang berada
di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan
hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik hipotalamus berisi
saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam
saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang
diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas
meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan
panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin
tubuh pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol
oleh hipotalamus posterior, formatio retikularis, dan medula spinalis.
Page 4
Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan
stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan respon efektor.
Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor
dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,5C dibawah nilai normal, neuron preoptik akan menjadi
tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih
banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas. Suatu penelitian terhadap manusia
menyimpulkan bahwa termoregulasi otonom bekerja melalui empat mekanisme saraf yaitu :
deteksi panas sentral, deteksi dingin perifer, pusat inhibisi panas sebagai respon metabolik terhadap
dingin, dan inhibisi termoregulasi keringat terhadap kulit yang dingin.
Temperatur set‐point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐ 37,1C.
Set‐point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan pada manusia
sangat unik. Pada manusia set‐point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,20C sampai
menjelang pagi, meningkat lebih dari 10C menjelang malam. Wanita memiliki nilai set‐point yang
lebih tinggi 10C selama siklus menstruasi pada fase luteal. Pada tumor intrakranial seperti space‐
occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan temperatur set‐point
dengan mekanisme yang belum jelas.
Hubungan hipotalamus dan hypotermi
Page 5
Respon Efektor
Respon termoregulasi ditandai dengan : pertama, perubahan tingkah laku yang secara
kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan
vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan vasodilatasi dan
berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan peningkatan rata‐rata
metabolisme. Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan
dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat mengindikasikan
adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui
hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini menimbulkan perubahan tingkah
laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai
penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari oleh besarnya signal
panas yang diterima kulit. Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan
untuk mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar
dibawah ini
Mekanisme kontrol termoregulasi
Page 6
PATOFISIOLOGI
Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan anestesi dan
mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan anestesi baik umum maupun
regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus mengetahui management kontrol termoregulasi
pasien. Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan
peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin.
Hampir semua obat‐obat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur inti pada
anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0‐1,50C selama satu jam pertama anestesi yang
diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang
vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi ukurannya kurang dari
0,60C dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok.
Hubungan anestesi dengan penurunan core temperature
Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi dengan
pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada dosis ekuivalen
plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme
gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga
perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade regional pada jalur informasi
termal aferen.
Page 7
Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi)
Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi
Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil dan pada inti hipotermi pada jam
pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1– 20C, hal ini berhubungan
dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer dimana spinal menyebabkan
vasodilatasi.
Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas blokade dari lokal anestesi disebabkan karena
ketidakmampuan kompensasi otot di bawah ketinggian blokade untuk terjadinya menggigil. Sama
seperti pada anestesi umum, hipotermia terjadi pada jam pertama anestesi, atau setelah dilakukan
tindakan anestesi spinal. Hal ini terjadi karena proses redistribusi panas inti tubuh ke perifer oleh
vasodilatasi yang disebabkan blokade anestesi spinal.
Page 8
Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi juga
karena faktor lain seperti cairan infus atau cairan irigasi yang dingin, temperature ruangan operasi
dan tindakan pembedahan. Pasien akan mengalami penurunan temperatur tubuh oleh karena terjadi
redistribusi panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian cairan dengan suhu yang rendah
akan memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien yang menjalani pembedahan terutama
pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk mempertahankan temperatur tubuh pada keadaan
stress sudah menurun.
Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan kejadian
menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya, tetapi penghangatan ini tidak berlaku
pada pasien yang tidak hamil karena tidak ada perbedaan jika diberikan dalam keadaan dingin atau
hangat. Menggigil selama anestesi regional dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan
yang optimal, pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat.
Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi terhadap dingin.
Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin secara subjektif tergantung pada
input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi perifer yang disebabkan oleh regional anestesi.
Setelah terjadi redistribusi panas tubuh ke perifer pada induksi anestesi umum dan regional,
hipotermia selanjutnya tergantung pada keseimbangan antara pelepasan panas pada kulit dan
metabolisme panas yang akan melepas panas tubuh. Selama anestesi spinal terdapat dua faktor
yang akan mempercepat pelepasan panas dan mencegah timbulnya perubahan temperatur inti yang
terlihat setelah anestesi : pertama, dengan menurunkan ambang vasokonstriksi yang digabungkan
dengan vasodilatasi pada tungkai bawah selama blok terjadi. Oleh karena itu kehilangan panas
terus berlangsung selama anestesi spinal meskipun mekanisme aktivitas efektor berlangsung di atas
ketinggian blok. Hal ini terlihat khususnya pada kombinasi antara anestesi umum dan epidural.
Kedua, anestesi spinal menurunkan ambang vasokonstriksi selama tindakan anestesi dan
meningkatkan rata‐rata sensasi dingin bila dibandingkan hanya dengan anestesi umum saja karena
vasokonstriksi yang secara kuantitatif terpenting pada ekstremitas bawah dihambat oleh blokade
itu sendiri.
Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme
kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Rangsangan
dingin akan diterima afektor diteruskan ke hipothalamus anterior dan memerintahkan bagian
efektor untuk merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan bersifat
involunter serta dapat menghasilkan panas sampai dengan 600% diatas basal. Mekanisme ini akan
dihambat oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada lingkungan yang dingin dan dapat
Page 9
meningkat pada saat penghentian anestesia. Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh
hipotermia dapat memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan
meningkatkan konsumsi oksigen 100% ‐ 600% , dan meningkatkan resiko angina dan aritmia pada
pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Morbiditas yang mungkin terjadi dan telah dilaporkan
cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan metabolik (hal ini dapat membahayakan pada
pasien dengan cadangan hidup yang terbatas dan yang berada pada resiko kejadian koroner),
menimbulkan nyeri pada luka, meningkatkan produksi CO2, denyut jantung, memicu
vasokonstriksi dan dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan darah, dan volume
jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial. Sebagai
tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat pada pasien hipotermik.
Karena alasan‐alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu normal merupakan baku
perawatan.
Page 10
BAB V
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis G2P1A0 hamil 40 minggu, bekas SC, dengan ASA I, yakni pasien sehat organik,
fisiologik , psikiatrik dan biokimia. Pasien dianjurkan untuk melakukan operasi Sectio Caesaria
karena posisi janin tunggal hidup persentasi kepala dengan CPD dan bekas Secsio Caesaria.
Menjelang operasi pasien tampak sakit ringan, tenang, kesadaran compos mentis. Pasien sudah
dipuasakan selama lebih dari 8 jam. Jenis anestesi yang dilakukan yaitu anestesi spinal.
Pada pasien diberikan bupivacaine 15 mg sebagai obat anesesia regional, cara kerja dari
bupivacaine adalah sebagai inhibitor perubahan ionic pada saat neuron menghantarkan impuls.
Kemajuan anesteia berubungan dengan semakin lambatnya hantaran serat saraf yang terkena
dengan kehilangan fungsi yang berurutan: (1) otonomik, (2)nyeri, (3) suhu, (4) raba,
(5)propriosepsi dan (6) tonus otot skelet. Namun perlu diperhatikan terjainya hipotensi seperti
anestesi spinal dan epidural yang lain karena hal ini disebabkan oleh hilangnya tonus simpatik.
Bupivacain juga dikenal sebagai kardiotoksisitas, hal ini disebabkan oleh blockade dari saluran
natrium yang menyebabkan depresi kontraktilitas dan hantaran jantung yang lebih besar.
Pada saat tekanan darah pasien 86/54mmHg diberikan efedrin 25mg iv. Efedrin merupakan
golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan di tumbuhan efedra
sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang
peranan dalam “efek secara langsung” pada sel efektor. Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja
pada reseptor α, α1, α2. Efek pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil
siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1
berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan
TD. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Efedrin yang
diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek
kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama.
Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh
stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut
jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah.
Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rekat.
Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.
Page 11
Pada Pasien diberikan oxytocyn 10 IU dan methergin 0.2mg. Oxytosin dan methergin sama-
ama ditujukan untuk kotraksi uterus yang diharapkan dapat menekan perdarahan yang merupakan
salah satu faktor yang mempersulit pasien dengan Hb yang rendah. Oxytosin ditujukan untuk
meningkatkan kekuatan maupun frekuensi kontraksi ritmik yang ada dan meningkatkan tonus
perototan uterus. Disamping itu methergin adalah suatu alkaloid ergot semisintetik yang berfungsi
untuk meningkatkan tonus, kecepatan, dan amplitude kontraksi ritmik uterus. Kombinasi antara
oxytosin dan methergin sering digunakan pada persalinan disebabkan efek obat yang saling
membantu, oxytosin yang memiliki efek short acting dan konstriksi kuat uterus dan methergin
yang memiliki efek yang lebih long acting namun mempertahankan amplitudo kontraksi uterus
untuk mencegah perdarahan uterus.
Pada pasien diberikan Tramadol 100 mg sebagai analgetik kuat bekerja pada reseptor opiat,
bekerja secara steriospesifik pada reseptor di system saraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri
dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari
saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang sehingga impuls nyeri terhambat.
Pada saat pasien dibangunkan pada 17.45 WIB, pasien mengeluh dingin dan menggigil pada
seluruh tubuh. Pada pasien diberikan petidine 2mg iv. a. Mekanisme pethidin sebagai antishivering
mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic monoamine,
antagonis reseptor NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α2. Meperidin
(petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor μ. Seperti halnya morfin, meperidin
(petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya.
Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih
tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan
morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. Absorbsi meperidin dengan cara
pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah
suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai
antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma
menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat.
Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam
hati. Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra
kranial. Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang
menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi..
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tiap 5 menit secara efisien dan terus
menerus, dan pemberian cairan intravena Asering. Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi
Page 12
dilanjutkan pada pasien postoperatif di Recovery Room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital
meliputi tekanan darah, nadi dan respirasi
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK
Letak posisi janin tunggal hidup persentasi kepala dengan CPD dan bekas Secsio Caesaria
akan menyulitkan persalinan secara spontan pervaginam, sehingga dilakukan kembali Sectio
Caesaria.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan).
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi yang
aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi perdarahan. Pada
pasien ini teknik sectio caesaria yang digunakan adalah diseksi thermal menggunakan electocauter
dimana perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit karena pemotongan jaringan
maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
Pada kasus ini, pada saat pasien dibangunkan sempat terjadi shivering (menggigil). Etiologi
menggigil masih belum jelas, tetapi diperkirakan bahwa hipotermia selama pembedahan dan
gangguan pada pusat termoregulator merupakan faktor penyebab yang utama. Penelitian
elektromiografi menunjukkan bahwa menggigil paska tindakan anestesi berbeda dengan menggigil
yang disebabkan oleh flu. Faktor lain yang diperkirakan sebagai modulator menggigil meliputi
penggunaan obat anestesi, dan respon febril. Menggigil merupakan respon terhadap hipotermia
selama pembedahan dengan anestesi regional dan general yang terjadi karena perbedaan antara
suhu darah dan kulit dengan suhu inti tubuh. Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada
dalam resiko untuk mengalami hipotermia. Ahli anestesi menempatkan menggigil pada posisi ke‐8
sebagai yang sering terjadi dan ke‐21 sebagai komplikasi yang perlu dicegah. Pada manusia suhu
inti tubuh dipertahankan dalam batas 36.5 ‐ 37.5°C. Walaupun literatur yang ada saat ini tidak
memberikan definisi yang jelas tentang normotermia ataupun hipotermia tetapi para ahli
menyatakan bahwa normotermia berada pada temperatur inti yang berkisar antara 36ºC‐38ºC
(96.8ºF‐100.4ºF). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 36ºC (96.8ºF). Hipotermia
Page 13
dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien mengeluh merasa kedinginan atau menampilkan
gejala hipotermia seperti menggigil, vasokonstriksi perifer, dan piloereksi.
Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi.2 Yang mana anestesi spinal
menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer panas antar
kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi, meliputi berikut ini :
1. Suhu ruangan
2. Lama dan jenis prosedur bedah
3. Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll)
4. Status hidrasi
5. Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin
Untuk mengatasinya diberikan petidine 25 mg.
Fungsi petidine pada shivering (menggigil)
Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang rangsang
menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi. Mekanisme pethidin sebagai
antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi re-uptake biogenic
monoamine, antagonis reseptor NMDA(N-methyl d-aspartate) atau stimulasi dari reseptor-α2.
Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor-μ dan reseptor-k dan
merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya, pethidin hampir sama
dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine. Petidin intratekal akan berikatan dengan
reseptor-μ dan reseptor-k di mana reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang rangsang
menggigil. Petidin intratekal juga akan menstimuli reseptor-α2 dimana jika reseptor ini distimuli
akan meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan mengantagonis reseptor
NMDA (N-methyl d aspatartate).
Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin pada
hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan mennyebabkan terjadinya menggigil dan
vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu untuk terjadinya menggigil.
Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk meningkatkan jumlah norepinefrin pada
medulla spinalis dimana hal ini akan memodulasi ambang suhu yang datang dari perifer menuju
hypothalamus.
Page 14
Struktur kimiawi dari pethdin
FARMAKOKINETIK
Morfin kurang lebih 10 kali lebih poten dari pethidine. Dimana 80-100mg IM dari pethidin
memiliki efek yang sama dengan 10 mg morfin IM. Durasi dari pethidin 2-4 jam, sedikit lebih
pendek dibandingkan morfin. Pada rentang dosis analgetik, pethidin menghasilkan efek sedasi,
euphoria, mual,muntah dan depresi pernafasan sama seperti morfin. Tidak seperti morfin, pethidin
baik diabsorpsi di saluran cerna,tetapi jika dibandingkan dengan IM hanya ½ kali efektiviatasnya.
Waktu paruh penggunaan pethidin intrathecal pada manusia pendek; 6 jam setelah penyuntikan
pethidin intrathecal hanya 0,4 % dari dosis awal yang terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi
pethidin pada C7-T1 turun dengan cepat,hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed
depresi respirasi. Efek sistemik lama timbul pada pemberian pethidin intrathecal karena sifat
pethidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efflux pethidin kedalam
sistem vena dan limphatik.
Page 15
BAB VI
KESIMPULAN
Shivering dapat disebabkan oleh beberapa sebab antara lain suhu ruangan, lama dan jenis
prosedur bedah, kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll), status
hidrasi dan penggunaan cairan dan irigasi yang dingin. Pada kasus ini yang terjadi pada pasien
dapat disebabkan oleh suhu ruangan, kehamilan, dan penggunaan cairan yang dingin.
Page 16