Click here to load reader
Upload
koassunja
View
56
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tes
Citation preview
LAPORAN KASUS
*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A108010/ 25 Mei 2013
** Pembimbing/ dr. Alkrisno, Sp.An
ANESTESI UMUM PADA OBSTRUKSI JAUNDICE E.C TUMOR
CAPUT PANKREAS
Torangdo RFB* dr. Alkrisno, Sp.An**
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ANESTESI RUMAH SAKIT RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
2013
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
ANESTESI UMUM PADA OBSTRUKSI JAUNDICE E.C TUMOR
CAPUT PANKREAS
Oleh:
TORANGDO RFB
G1A 108010
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ANESTESI RUMAH SAKIT RADEN MATTAHER
PROVINSI JAMBI
2013
Jambi, 25 Mei 2013
DOSEN PEMBIMBING
dr. Alkrisno, Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikterus pada umumnya adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan
fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah meningkat melebihi 2mg%
maka ikterus akan terlihat. Ia dapat terjadi pada peningkatan bilirubin indirect (unconjugated) ataupun
direct(conjugated).
Ikterus (icterus) berasal dari bahasa Greek yang berarti kuning. Nama lain ikterus adalah
“jaundice” yang berasal dari bahasa Perancis “jaune” yang juga berarti kuning. Ada 3 tipe ikterus
yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika (parenkimatosa) dan ikterus post hepatika
(obstruksi). Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran
empedu antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran
empedu ekstra hepatika.
Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipunhasil akhir jangka panjang
bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice.Jaundice adalah gambaran fisik sehubungan
dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini biasanya disertai dengan gambaran fisik
abnormal lainnyadan biasanya berhubungan dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat
pemeriksaan darah dan pencitraan, memberikan perbaikan lebih lanjut padadiagnosa banding.
Umumnya, jaundice non-obstruktif tidak membutuhkanintervensi bedah, sementara jaundice
obstruktif biasanya membutuhkanintervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan
Secara epidemiologi, ikterus terjadi pada 1/2500 kelahiran hidup, dan daripada jumlah
tersebut, sebanyak 68% adalah intrahepatik dan 32% adalah ektrahepatik. Dan dari sejumlah kasus
ektrahepatik pula, sebanyak 72-86% adalah kasus hepatitis neonatal, atresia biliaris dan defisiensi αl-
antitripsin (gangguan metabolisme).
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 50
Alamat : Jambi
Diagnosis : Obstruksi Joundice e.c tumor caput pankreas
Tidakan : Bypass Biliodigestiv + Laparotomi
B. Hasil Kunjungan Pre Anastesi
Anamnesis
- Keluhan Utama :Os. Mengeluhkan nyeri di seluruh bagian perut disertai pusing
- Riwayat Penyakit Sekarang : ± 2 bulan yang lalu nyeri di ulu hati hilang timbul disertai
demam yang naik turun, mata kuning (+), pusing, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan (+), perut semakin membesar disertai kencing seperti teh pekat dan buang air besar
seperti dempul
- Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat Batuk lama (TB) disangkal
Riwayat Operasi disangkal
Riwayat alergi obat disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran : Compos Mentis (GCS:15)
- Tanda Vital :
TD = 110/80
Nadi = 100x/menit
RR = 22x/menit
- Kepala :
Mata : Konjungtiva Anemis(-/-), Sklera Ikterik (+/+)
THT : Tidak ada keluhan
Leher : Pembesaran KGB (-)
- Thorax :
Paru : Inspeksi : Simetris, kulit tampak kuningPalpasi : krepitasi (-) atau nyeri tekan (-)Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)Perkusi : dbn
Jantung :Inspeksi : Tampak kuning, Asites (+)Palpasi : nyeri tekan (+)Perkusi : redupAuskultasi : Tidak dapat dinilai
- Genitalia : Tidak diperiksa
- Ekstremitas : Akral Hangat
Pemeriksaan Penunjang
HB : 12Leukosit : 4,6Eritrosit : 4HCT : 36.00Trombosit : 110MCV : 89,3MCH : 30,3RDW-CV : 20,3Limfosit : 16,5Neutrofil : 76,7
Bilirubin total : 60 mmol/lSGOT : 173u/LSGPT : 55 u/LUreum : 18,2 mg/dlCreatinin : 0,7 mg/dlPerdarahan : 2 menitPembekuan : 4 menit
Rontgen:Sinus dan diafragma normalCor : bentuk dan ukuran membesarPulmo : Corakan bronhovascular ramai, tampak infiltrat pada kedua paru, trahea ditengah, hilus dan mediastinum normalPleura : normalKesan : Kardiomegali/LVH
CT Scan:Hepar : bentuk dan ukuran membesar dengan densitas normal, permukaan rata tidak tampak lesi fokal, vasculer normalKesan : adanya hepatomegalia dengan choleductusectasia dengan tumor kandung empedu/ cholelitiasis, adanya splenomegali.
USG :Hepar, pancreas, ginjal, buli-buli dan uterus normal, adanya tumor kandung empedu/cholelithiasis dan splenomegali
D. Anestesi
Tanggal : 27 mei 2013
Ahli Anestesi : dr. Alkrisno, Sp.An
Ahli Bedah : dr.Deden, Sp.B
Asisten anestesi : Lorensius
1. Tindakan Anestesi
Metode Anestesi : General Anestesi
Premedikasi :
Ranitidine 50mg
Ondancetron 4 mg
Medikasi Analgesia:
Midazolam 2,5 mg
Fentanyl 100 mg
Atrakurium 30 mg
Recofol 80 mg
Dexamethason 10 mg
Kalnex 10 mg
Medikasi analgetik :
Buvanest (infiltrasi sub cutan)
Ketorolac 30 mg
Novalgin
2. Keadaan Intra Operasi
Letak Pasien : Terlentang
Lama operasi : ±120 menit
Jumlah cairan :
Asering II Kolf
HES II Kolf
PRC I Kolf
Manitol 125 ml
Jumlah cairan asites :
± 2000ml
3. Monitoring
Jam (WIB) Tekanan darah (mmHg)
Nadi (x/menit)
Saturasi oksigen
08.00 76/53 74 9508.15 97/69 75 9708.30 122/87 77 9808.45 137/94 74 9809.00 93/67 72 9809.15 92/71 67 9809.30 99/70 70 9809.45 100/70 72 98
Status Fisik ASA: II
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jaundice (Ikterus)
2.1.1. Definisi Jaundice
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sclera akibat
akumulasi pigmen dalam darah dan jaringan jaundice berasal dari Perancis ‘jaune’ artinya kuning atau
ikterus bahasa latin untuk jaundice adalah perwarnaan kuning pada sclera dan membrane mukosa oleh
deposit bilirubin (pigmen empedu kuning oranye pada jaringan tersebut.
2.2 Obstruksi jaundice
2.2.1 Obstruksi jaundice
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan saluran
empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya tumor atau penyempitan
karena trauma ( iatrogenic). Batu empedu dan cacing askaris sering dijumpai sebagai penyebab
sumbatan dalam saluran lumen. Pankreatitis, tumor kaput pancreas, tumor kandung empedu atau anak
sebar tumor ganas di daerah ligamentum hepatoduodenale dapat menekan saluran empedu dari luar
menimbulkan gangguan aliran empedu
2.2.2 Etiologi
Etiologi obstruksi ekstra hepatal dapat berasal dari intra luminer, intra mural dan ekstra
luminer. Sumbatan intra luminer karena kelainan yang terletak dalam lumen saluran empedu .Yang
paling sering menyebabkan obstruksi adalah batu empedu.Pada beberapa kepustakaan menyebutkan
selain batu dapat juga sumbatan akibat cacing ascaris.Sumbatan intra mural karena kelainan terletak
pada dinding saluran empedu seperti kista duktus koledokus, tumor Klatskin, stenosis atau striktur
koledokus atau striktur sfingter papilla vater.Sumbatan ekstra luminer karena kelainan terletak diluar
saluran empedu yang menekan saluran tersebut dari luar sehingga menimbulkan gangguan aliran
empedu. Beberapa keadaan yang dapat m,enimbulkan hal ini antara lain pankreatitis, tumor kaput
pancreas, tumor vesika fellea atau metastasis tumor di daerah ligamentum hepatoduodenale. Pada
beberapa kepustakaan disebutkan bahwa etiologi ikterus obstruksi terbanyak oleh keganasan. Hatfield
et al, melaporkan bahwa etiologi ikterus obstruksi terbanyak adalah 70% oleh karsinoma kaput
pankreas diikuti oleh 8% batu CBD (common bile duct) dan 2% karsinoma kandung empedu
sedangkan Little, juga melaporkan hal yang sama dimana etiologi ikterus obstruksi 50% oleh
keganasan, 17% oleh batu dan 11% oleh trauma.
2.2.3 Patogenesis
Hiperbilirubinemia adalah tanda nyata dari ikterus. Kadar normal bilirubin dalam serum
berkisar antara 0,3 – 1,0 mg/dl dan dipertahankan dalam batasan ini oleh keseimbangan antara
produksi bilirubin dengan penyerapan oleh hepar, konyugasi dan ekskresi empedu.
Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada sklera dan
mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak berwarna kuning .
Ikterus obstruksi terjadi bila :
1. Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke sinusoid. Hal ini disebut
ikterus obstruksi intra hepatal.Biasanya tidak disertai dengan dilatasi saluran empedu.Obstruksi ini
bukan merupakan kasus bedah.
2. Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal. Hal ini disebut sebagai ikterus obstruksi
ekstra hepatal. Oleh karena adanya sumbatan maka akan terjadi dilatasi pada saluran empedu . Karena
adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi refluks bilirubin direk (bilirubin terkonyugasi
atau bilirubi II) dari saluran empedu ke dalam darah sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
kadar bilirubin direk dalam darah. Bilirubin direk larut dalam air, tidak toksik dan hanya terikat lemah
pada albumin.Oleh karena kelarutan dan ikatan yang lemah pada albumin maka bilirubin direk dapat
diekskresikan melalui ginjal ke dalam urine yang menyebabkan warna urine gelap seperti teh pekat.
Urobilin feses berkurang sehingga feses berwarna pucat seperti dempul (akholis) . Karena terjadi
peningkatan kadar garam-garam empedu maka kulit terasa gatal-gatal (pruritus).
2.2.4 Menifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul antara lain:
Ikterus
Hal ini disebabkan penumpukkan bilirubin terkonjugasi yang ada dalam
darahyang merupakan pigmen warna empedu.
Nyeri perut kanan atas
Nyeri yang dirasakan tergantung dari penyebab dan beratnya obstruktif.Dapat ditemui nyeri
tekan pada perut kanan atas maupun kolik bilier.
Warna urin gelap (Bilirubin terkonjugasi)
Urin yang berwarna gelap karena adanya bilirubin dalam urin.
Feses seperti dempul ( pucat/akholis)
Hal ini disebabkan karena adanya sumbatan aliran empedu ke usu yang mengakibatkan
bilirubin di usus berkurang atau bahkan tidak ada sehingga tidak terbentuk urobilinogen yang
membuat feses berwarna pucat.
Pruritus yang menetap
Adanya pruritus menunjukan terakumulasinya garam empedu di subkutan yang
menyebabkan rasa gatal.
Anoreksia, nausea dan penurunan berat badan
Gejala ini menunjukkan adanya gangguan pada traktus gastrointestinal.
Demam dan rigor
Pembesaran hepar dan kantung empedu.
2.2 Obat-obatan Anestesi
2.2.1 Farmakokinetik dan farmakodinamik
A. Anesthesi Inhalasi
1. N2O
- Sifatnya tidak berwarna, tidak berbau, tidak mudah meledak dan tidak mudah
terbakar
- N2O berbentuk gas pada suhu ruangan
- N2O memiliki berat molekul rendah, berpotensi rendah dan kelarutan didalam
darah yang rendah
- Efek analgesic bersifat prominen, menimbulkan relaksasi minimal dari otot
skelet
- Efek terhadap kardiovaskuler : N2O cenderung menstimulasi sistem saraf
simpatis . N2O secara langsung mendepresi kontraktilitas miokard, tetapi
tekanan darah arterial, cardiac output dan denyut jantung tidak berubah atau
meningkat sedikit akibat stimulasi katekolamin
- Efek terhadap respirasi : N2O meningkatkan frekuensi pernafasan dan
menrunkan volume tidal akibat stimulasi sistem saraf pusat dan aktifasi reseptor
regangan paru
- efek terhadap neuromuskuler : N2O tidak menyebabkan otot skelet relaksasi,
tidak memiliki efek penghambat neuromuskular dan merupakan pencetus
hipertermia maligna yang lemah
- Efek terhadap renal : N2O menurunkan RBF melalui peningkatan resistensi
vaskuler ginjal.
- Efek terhadap hepar : Aliran darah hepar berkurang selama pemberian N2O.
- Efek terhadap gastrointestinal : penyebab mual dan muntah paska operasi akibat
aktivasi dari chemoreseptor trigger zone dan pusat muntah di medulla.
2. Halotan
- Derivat alkana terhalogenasi.Tidak mudah terbakar dan meledak. Pada suhu
ruangan berbentuk cairan bening. Bentuk uap dari halotan memiliki bau manis
dan tidak menyengat.
- Efek terhadap kardiovaskuler : Halotan dengan MAC 2 menyebabkan penurunan
tekanan darah dan cardiac output sampai 50%, karena depresi miokard langsung.
Halotan merupakan vasodilator arteri coronaria, tetapi aliran darah koroner
berkurang karena tekanan arterial sistemik menurun. Halotan juga menurunkan
kecepatan konduksi impuls nodus AV dan sistem his – purkinje. Halotan tidak
meningkatkan heart rate. Halotan memperpanjang interval QTc pada ECG Efek
terhadap respirasi : Halotan menimbulkan pernapasan cepat dan dangkal.
Halotan merupakan bronkhodilator poten. Halotan melemahkan reflek saluran
pernapasan dan relaksasi otot polos bronkhus melalui penghambatan mobilisasi
kalsium intrasel. Halotan menekan pembersihan mukus dari saluran pernapasan
(fungsi mukosiliar) menyebabkan atelektasis dan hipoksia paska operasi
- Efek terhadap serebral : Halotan menurunkan resistensi vaskuler serebral dan
meningkatkan CBF. Peningkatan TIK dapat dicegah melalui hiperventilasi
sebelum pemberian halotan. Aktivitas serebral akan menurun pada pemberian
halotan.
- Efek terhadap neuromuskuler : Halotan menghasilkan relaksasi otot skelet.
Halotan mempotensiasi efek obat penghambat neuromuskuler. Halotan
merupakan pencetus hipertermia maligna yang paling poten.
- Efek terhadap renal : Halotan menurunkan RBF, GFR, dan output urin.
Penurunan RBF lebih besar dari GFR, sehingga fraksi filtrasi meningkat.
- Efek terhadap hepar : Halotan menyebabkan penurunan aliran darah hepar sesuai
dengan depresi cardiac output. Halotan mengganggu proses metabolisme dan
pembersihan dari beberapa obat (fentanil, fenitoin, verapamil).
- Kontra indikasi : Pasien dengan disfungsi hepar harus dipertimbangkan.
Pemberian halotan pada pasien dengan lesi massa intra kranial harus dengan
pengawasan ketat karena dapat menyebabkan hipertensi intra kranial. Pasien
dengan hipovolemia dan beberapa pasien dengan penyakit jantung berat tidak
dapat mentolerir efek inotropik negatif halotan
3. Enfluran
- Metil etil eter terhalogenasi yang pada suhu ruangan berbentuk cairan bening.
- Mudah menguap dan tidak mudah terbakar.
- Memiliki bau menyengat. Derajat kelarutan dalam darah sedang, potensi
tinggi, sehingga memiliki onset dan pemulihan anestesi yang cepat.
4. Isofluran
- Metil etil eter terhalogenasi berbentuk cairan bening
- Mudah menguap dan tidak mudah terbakar.
bau menyengat
- Derajat kelarutan dalam darah sedang, potensi tinggi, sehingga memiliki
onset dan pemulihan anestesi yang cepat.
- Efek terhadap kardiovaskuler : Depresi cardiac minimal. Isofluran
meningkatkan tekanan atrial kanan dan aliran darah cutaneus. Isofluran
memperpanjang interval QTc pada ECG. Isofluran merupakan vasodilator
koroner.
- Efek terhadap respirasi : Depresi respirasi terjadi selama anestesi. Penurunan
pada ventilasi semenit. Isofluran merupakan bronkhodilator yang baik tetapi
tidak sebaik halotan
- Efek terhadap serebral : Pada konsentrasi > 1 MAC, meningkatkan CBF dan
TIK, mengurangi kebutuhan O2 metabolik serebral, dan pada 2 MAC
menghasilkan electrical silent dari EEG.
- Efek terhadap neuromuskuler : merelaksasikan otot skelet, menghasilkan
peningkatan efek obat penghambat neuromuskuler dan dapat mencetuskan
hipertermia maligna.
- Efek terhadap renal : menurunkan RBF, GFR, dan output urin.
- Efek terhadap hepar : Total aliran darah hepar (aliran arteri hepatica dan vena
porta) berkurang selama anestesi dengan isofluran. Suplai O2 hepar lebih
terjaga dengan isofluran di banding halotan. Fungsi hepar sedikit dipengaruhi
- Kontra indikasi : Pasien dengan hipovolemia berat tidak dapat mentolerir
efek vasodilatasi.
5. Sevoflluran
- Metil isopropil eter terfluorinasi
- Tidak berbau menyengat, menghasilkan bronkhodilatasi dan menyebabkan
iritasi saluran pernapasan minimal.
- Koefisien partisi gas : darah menyebabkan induksi dan pemulihan anestesi
cepat setelah penghentian pemberian anestetik.
- Efek terhadap kardiovaskuler : secara lemah mendepresi kontraktilitas
miokard. Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial menurun
sedikit di banding isofluran.
- Efek terhadap respirasi : Mendepresi respirasi dan melawan bronkhospasme.
- Efek terhadap serebral : Menyebabkan peningkatan ringan pada CBF dan
TIK dan dapat mengganggu autoregulasi dari CBF, yang mengakibatkan
penurunan CBF selama hipotensi hemoragik.
- Efek terhadap neuromuskuler : Menghasilkan relaksasi otot yang adekuat
untuk intubasi anak secara induksi inhalasi.
- Efek terhadap renal : Menurunkan RBF.
- Efek terhadap hepar : Menurunkan aliran darah vena porta, tetapi
meningkatkan aliran darah arteri hepatica, sehingga dapat memelihara total
aliran darah hepatica dan penghantaran O2.
- Kontra indikasi : Hipovolemia berat dan individu yang rentan terhadap
hipertermia maligna, dan hipertensi intra cranial.
6. Eter
Kelarutan eter dalam darah relatif tinggi dengan koefisien 12, sehingga keseimbangan
dalam udara inspirasi alveoli cukup lama. Eter dapat mengiritasi jalan nafas, sehingga
konsentrasi inspirasi harus dinaikkan secara perlahan. Induksi dan pemulihan dari
anestesi cukup lama. Sementara dari metabolisme 85-90% eter dikeluarkan dalam
bentuk asli lewat paru, 15% eter dimetabolisme dihati dengan hasil akhir CO2 dan
H2O dan 4% diubah menjadi aseltahid dan etanol. Eter dapat meninggikan kadar gula
sehingga tidak dianjurkan pada kasus diabetes melitus dan penyakit hepar.
B. Anesthesi Intravena
1. Premedikasi
- Ondancetron : Ondansetron bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor
5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan terjadinya refleks
muntah. Pemberian sitostatika (kemoterapi) dan radiasi dapat menyebabkan pelepasan 5HT dalam
usus halus yang merupakan awal terjadinya refleks muntah karena terjadi aktivasi aferen-aferen vagal
melalui reseptor 5 HT3. Aktivasi aferen-aferen vagal juga dapat menyebabkan pelepasan 5HT pada
daerah psotrema otak yang terdapat di dasar ventrikel 4. Hal ini merangsang terjadinya efek muntah
melalui mekanisme sentral. Jadi efek ondansentron dalam pengelolaan mual muntah yang disebabkan
sitostatika (kemoterapi) dan radioterapi bekerja sebagai antagonis reseptor 5HT3 pada neuron-neuron
yang terdapat pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf tepi.
- Ranitidine : Ranitidine suatu penghambat aktivitas histamine yang kompetitif dan reversible pada
reseptor H2 histamin, termasuk reseptor pada sel-sel lambung dan bukan suatu zat antikolonergik.
Ranitidine bekerja dengan cara menghambat sekresi asam lambung basal dan nocturnal melalui
penghambatan kompetitif terhadap kerja histamine pada reseptor H2 di sel-sel parietal.
Ranitidine juga menghambat sekresi asam lambung yang dirangsan oleh makanan, betazole,
penttagastrin, kafein, insulin, dan reflek vagal fisiologis.
- Sulfas Atropin : Termasuk golongan antikolinergik yang bekerja pada reseptor
muskarinik (antimuskarinik), menghambat transmisi asetilkolin yang dipersyarafi oleh
serabut pascaganglioner kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot rangka serta pada tempat
asetilkolin.Penghambatan oleh atropine hanya terjadi pada dosis sangat besar. Pada dosis kecil
(sekitar 0,25mg) atropine hanya menekan sekresi air liur, mucus, bronkus dan keringat.
2. Medikasi analgesia
- Midazolam : Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah
otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari
obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang
tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi
yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan
yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat. Waktu paruh midazolam adalah antara
1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien
tua dan gangguan fungsi hati.
- Propofol : Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh
cytochrome P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga
ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi
obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal.
- Atracurium : merupakan neuromuscular blocking agent yang sangat selektif dan kompetitif (non-
depolarising) dengan lama kerja sedang. Non-depolarising agent bekerja antagonis terhadap
neurotransmitter asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat
digunakan pada berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Atracurium
tidak mempunyai efek langsung terhadap tekanan intraocular
2.3 Jenis Tindakan Anestesi
BAB IV
DISKUSI
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan saluran
empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya tumor atau penyempitan
karena trauma ( iatrogenic). Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat
warna kuning pada sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak
berwarna kuning .
Ikterus obstruksi terjadi bila :
1. Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke sinusoid.
2. Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal.
Pada kasus ini diagnosa klinis sebagai obstruksi jaundice dikarenakan tumor caput pankreas,
didapat dari anamsesis dimana pasien mengaku buang air besar seperti dempul dan buang air kecil
berwarna merah teh dari pemeriksaan fisik juga didapatkan kuning pada mukosa hingga kulit tubuh
pasien, perut asites, dan nyeri tekan, di pemeriksaan lab juga dibuktikan dengan peningkatan kadar
bilirubin dan SGOT juga SGPT. Pada kasus ini penderita juga sudah mengalami hepatomegali dan
splenomegali dari pemeriksaan radiologi, oleh karena itu tindakan yang perlu dilakukan pada kasus
ini adalah melakukan bypass biliodigestiv dengan menggunakan general anastesi, dikarenakan fungsi
hepar dari pasien terganggu maka perlu pemilihan obat-obat anastesi yang tidak memperberat kerja
hati, pada kasus ini digunakan gas anestesi yaitu sevofluran karena dinilai lebih aman karena
Menurunkan aliran darah vena porta, tetapi meningkatkan aliran darah arteri hepatica, sehingga dapat
memelihara total aliran darah hepatica dan penghantaran O2, tidak seperti gas anestesi yang lain yang
menurunkan aliran darah ke hepar. Sementara untuk obat-obatan anestesi yang digunakan disini pada
dasarnya hampir sama dengan penggunaan obat-obatan anestesi pada general anestesi pada umumnya,
hanya pelumpuh otot disini yang digunakan adalah atrakurium karena dimetabolisme di plasma
sehingga tidak memperberat fungsi hati. Pemilihan cairan juga disini digunakan manitol dikarenakan
Cara kerja Manitol (Diuretic Osmotik) itu sendiri ialah meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik
cairan normal dari dalam sel yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang osmolar tinggi, untuk
menurunkan oedema atau penumpukan cairan, hal ini dilakukan karena pada pasien didapatkan tanda-
tanda asites, sehingga perlu menarik cairan keluar.
KESIMPULAN
Obstruksi jaundice dapat terjadi akibat adanya hambatan saluran empedu. Sumbatan saluran
empedu dapat terjadi karena kelainan pada dinding saluran misalnya adanya tumor atau penyempitan
karena trauma ( iatrogenic). Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat
warna kuning pada sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak
berwarna kuning .
Ikterus obstruksi terjadi bila :
1. Terjadinya gangguan ekskresi bilirubin dari sel-sel parenkim hepar ke sinusoid.
2. Terjadi sumbatan pada saluran empedu ekstra hepatal.
Jadi pada penderita gangguan hepar atau pun ginjal perlu diperhatikan dalam pemberian obat-
obatan anestesi , karena dapat memperberat kerja hepar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Podolsky D.K, Issel B.K,. 2000. Penyakit Kandung Empedu dan Duktus Biliaris, Harrison;
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4, Edisi 13.Jakarta:EGC, Hal. 1688-1693
2. Price S.A, Wilson L.M,. 1994.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,.
Jakarta:EGC. Hal. 453
3. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of
Surgery).Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
4. Sherly, dkk. 2008. Peran Biopsi Hepar Dalam Menegakkan Diagnosis Ikterus Obstruktif
Ekstrahepatik .http://fkunud.com/ penyakitdalam.pdf
5. Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principle’s of InternalMedicine
16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890
6. Lesmana L.A, Batu Empedu.1996. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi III.
Jakarta: FKUI, Jakarta, Hal. 380-90