Upload
others
View
24
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SIFAT KRITIS MODEL MAGNETIK SIMETRI
PADA KISI SEGITIGA (
Diajukan Sebagai Salah Satu Syaratpada Program Studi Fi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
SIFAT KRITIS MODEL MAGNETIK SIMETRI POLYHEDRAL
PADA KISI SEGITIGA (TRIANGULAR)
SKRIPSI
Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjanapada Program Studi Fisika Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin
OLEH
MUHAMMAD JUFRIN
H 211 10 010
PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
i
POLYHEDRAL
Gelar Sarjana Sains
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
ii
iii
iv
ABSTRAK
Sifat kritis model magnetik simetri ikosahedron pada kisi segitiga diteliti menggunakan simulasi Monte Carlo dengan Algoritma Wolff. Parameter-parameter kritis suatu sistem dapat mencirikan perubahan fase yang ada. Pola keteraturan konfigurasi spin dikuantisasi melalui rasio momen dan rasio korelasi. Analisis penyekalan ukuran berhingga dari rasio korelasi menghasilkan estimasi temperatur transisi 0,711(1), yang bersesuaian dengan eksponen panjang korelasi ν= 1,50(1). Dengan menghubungkan rasio korelasi dan ukuran linear kisi terhadap fungsi korelasi dapat diestimasi eksponen peluruhan η pada temperatur transisi yaitu η = 0,147(1).
Kata Kunci : Model Magnetik, Simetri Ikosahedron, Kisi Segitiga, Monte Carlo, Algoritma Wolff, Parameter Kritis.
v
ABSTRACT
We study critical properties of vertices-icosahedron spin model on triangular lattice by using Monte Carlo simulation with Wolff algorithm. The critical parameters of a system characterize the existing phase transition. The existence of ordered phase is characterized using the moment and correlation ratios. We plot the correlation ratio using finite size scaling procedure and estimated transition temperature Tc = 0,711(1), which correspond to the exponent of correlation length ν = 1,50(1). By using correlation ratio and size dependence of correlation function we estimated the decay exponent η for the transition temperature as η = 0,147(1).
Key Words : Magnetic Model, Icosahedron Symmetry, Triangular Lattice, Monte Carlo, Wolff Algorthm, Critical Parameters.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT, yang dengan segala
limpahan rahmat, berkah dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Sifat Kritis Model Magnetik Simetri
Polyhedral Pada Kisi Segitiga (Triangular)”. Shalawat dan salam senantiasa
tercurah bagi junjungan kita, penutup para rasul, Muhammad Shalallahu Alaihi
wa Sallam, beserta segenap keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia
menjalankan sunnahnya hingga akhir zaman.
Ucapan terima kasih dari lubuk hati yang dalam atas bantuan, bimbingan,
motivasi, dan do’a dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana. Teruntuk
keluarga tercinta, Ayahanda Abd. Salam dan Ibunda Asiah, yang selalu
mendukung, membimbing dan mendo’akan penulis selama menjalani hidup dalam
perantauan. Tiada batas budi yang dapat dibalaskan untuk segala pengorbanan
yang telah Ayah dan Ibu persembahkan untuk penulis. Salam rindu untuk
saudaraku Wahyudin, Suryadin dan Zulkarnain, saudariku St. Joharni, S.Kep
serta Almh. Wahida dan Alm. Mahfu yang pernah melengkapi kebahagian kedua
orang tua penulis. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada seluruh keluarga
besar di Nisa.
vii
Dengan segala rasa ikhlas dan tulus penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Tasrief Surungan, M.Sc selaku pembimbing utama dan Bapak
Drs. Bansawang BJ., M.Si selaku pembimbing pertama yang dengan tulus
dan ikhlas memberikan bimbingan, ilmu, dan arahan kepada penulis untuk
selalu memberikan yang terbaik demi terselesainya skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr.rer.nat. Wira Bahari Nurdin, Prof. Dr. Syamsir
Dewang, M.Eng.Sc dan Dr. Paulus Lobo Gareso, M.Sc sebagai tim
penguji skripsi fisika yang telah banyak memberikan masukan dan saran-
saran demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Tasrief Surungan, M.Sc selaku Ketua Jurusan Fisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.
4. Ibu Dr. Nurlaela Rauf, M.Sc sebagai penasehat akademik yang telah
memberikan banyak bantuan baik dalam maupun luar lingkup kampus.
5. Bapak/ibu dosen Jurusan Fisika FMIPA UNHAS atas ilmu yang diberikan
kepada penulis selama melaksanakan studi di Jurusan Fisika.
6. Seluruh karyawan FMIPA dan terkhusus (Pak Ambo/Aji, Pak Latif, Pak
Ali, Pak Syukur, Pak Mus, Pak Suardi, Pak Bahtiar, Pak Rahmat dan
Pak Sangkala) yang telah memberikan banyak bantuan selama proses
adminisitrasi.
7. Kanda Muh. Nur Musa, S.T dan Azwar Sutiono, S.Si yang telah
meluangkan waktu untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
viii
8. Partner pergaulan selama studi di Jurusan Fisika FMIPA UNHAS
(H21110008 & H21110271).
9. Saudari saya Hadria Zakaria, S.Si yang telah membantu perlengkapan
”Laptop” dalam menyelesaikan penelitian penulis.
10. Saudara-saudariku Fisika 2010 : Hadria (S.Si), Eka, Deby (S.Si), Diana
(S.Si), Lina (S.Si), Adri (S.Si), Dipa (S.Si), Tanto (S.Si), Urhi, Tiwi,
Ani, Hari (S.Si), Satriyani (Satti), Cica (S.Si), Wawan, Gazali, Willi
(S.Si), Dewi, Ical, Edi, Dira (S.Si), Yulis, Inno, Muti, Tuti (S.Si), Nomo,
Uzi (S.Si), Satriana, Lili, Inchi (S.Si), Olive, Tenri, Sri (S.Si), Ayu,
Ippank, Angga, Arlin, Pai, Reza, Muslim, Fira, I’in, Ana (Azalia),
Bustam (S.Si), Nusu’ (S.Si), Sinar (S.Si), Rizal, cica (maros), syahreza,
dan selvi serta saudara-saudariku Geoph’10. Terima kasih atas semangat
dan motivasi serta kebersamaanya. Good luck for us!
11. Kanda-kanda dan Adik-adik Jurusan Fisika FMIPA UNHAS.
12. Teman-teman KKN UNHAS Gel. 86 Tematik Pemilu.
13. Semua pihak yang telah membantu selama penyusunan skripsi, penulis
ucapkan terima kasih.
Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu. Aamiin.
Wassalamu ’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Mei 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… ii
PERNYATAAN .......................................................................................... iii
ABSTRAK ……………………………………………………………….. iv
ABSTRACK ……………………………………………………………... v
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………...... xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
I.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1
I.2 Ruang Lingkup ………………………………………………… 4
I.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………... 5
II.1 Perubahan Fase dan Eksponen Kritis …………………………. 5
II.1.1 Perubahan Fase Orde Pertama …………………………. 6
II.1.2 Perubahan Fase Orde Kedua …………………………... 7
II.2 Universalitas dan Hubungan Penyekalan ……………………... 10
II.2.1 Penyekalan Ukuran Berhingga (FSS) …………………... 11
II.3 Fenomena Magnetik …………………………………………... 12
II.4 Model Magnetik ………………………………………………. 12
x
II.4.1 Model Ising …………………………………………….. 12
II.4.2 Model Spin Vertices-Icosahedron ……………………… 13
II.4.3 Panas Jenis dan Magnetisasi …………………………… 15
II.5 Metode Monte Carlo ………………………………………….. 16
II.5.1 Algoritma Metropolis …………………………………... 16
II.5.2 Algoritma Wolff (Single-Cluster) ……………………… 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………… 20
III.1 Alat dan Bahan ………………………………………………. 20
III.2 Model ………………………………………………………... 20
III.3 Prosedur Simulasi ……………………………………………. 21
III.4 Bagan Alir Penelitian ………………………………………... 22
III.5 Bagan Prosedur Simulasi …………………………………….. 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………... 24
IV.1 Panas Jenis (Cv) ……………………………………………… 24
IV.2 Momen Rasio (UL) dan Korelasi Rasio (QL) ………………… 25
IV.3 Penyekalan Ukuran Hingga (FSS) …………………………… 27
IV.4 Estimasi Temperatur dan Eksponen Kritis …………………... 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 31
V.1 Kesimpulan …………………………………………………… 31
V.2 Saran …………………………………………………………... 32
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 33
LAMPIRAN ………………………………………………………………. 35
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perubahan Fase Orde Pertama Pada Air …………………….. 6
Gambar 2.2 Perubahan Fase Orde Kedua ……………………………….... 7
Gambar 2.3 Ikosahedron ………………………………………………….. 14
Gambar 3.1 Kisi Segitiga (a) dan Persegi (b) ……………………………... 21
Gambar 3.2 Bagan Alir Penelitian ……………………………………….... 22
Gambar 3.3 Bagan Prosedur Simulasi …………………………………….. 23
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Perubahan Temperatur Terhadap Panas
Jenis ………………………………………………………….. 24
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Perubahan Temperatur Terhadap Momen
Rasio …………………………………………………………. 26
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Perubahan Temperatur Terhadap Korelasi
Rasio …………………………………………………………. 26
Gambar 4.4 Plot FSS Model Korelasi Rasio Untuk Ikosahedron ………… 27
Gambar 4.5 Plot g(L/2) vs L ………………………………………………. 28
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Eksponen-Eksponen Kritis Suatu Sistem magnetik ……................ 8
Tabel 2. Nilai eksponen-eksponen kritis untuk beberapa system ………….. 11
Tabel 3 Karakteristik Model Simetri Polihedron …………………………. 13
Tabel 4 Perbandingan Tc Untuk Sistem Kisi Yang Berbeda …………….... 29
Tabel 5 Estimasi Temperatur dan Eksponen Kritis Model Ikosahedron …. 30
Tabel 6 Perbandingan Tc Untuk Ukuran Linear Kisi Yang Berbeda …….. 31
Tabel 7 Estimasi Temperatur dan Eksponen Kritis Model Ikosahedron …. 32
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Program Utama ………………………………………………. 35
Lampiran 2 Program Pembangkit Bilangan Acak ………………………… 46
Lampiran 3 Data Pengukuran Untuk 20 Sampel …………………………. 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Fenomena perubahan fase terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kondensasi
uap air menjadi air dan air membeku menjadi es merupakan dua contoh lazim.
Perubahan fase juga terjadi dalam sistem magnetik dan sistem lainnya. Magnet
merupakan benda yang dapat menarik benda-benda lain disekitarnya seperti besi,
baja dan kobalt. Spin-spin magnetik dari bahan magnetik berinteraksi satu sama
lain. Di atas suhu Curie, rata-rata setengah spin berorientasi dalam satu arah dan
setengah lainnya dalam arah yang berlawanan. Sehingga momen magnetiknya
saling meniadakan, ini terjadi pada sistem paramagnetik. Tetapi ketika suhu mulai
diturunkan hingga temperatur kritis Tc maka semua spin memiliki orientasi yang
seragam. Kemudian pada temperatur kritis Tc suatu bahan mengalami perubahan
dari tidak memiliki momen magnetik menjadi memiliki momen magnetik. Hal ini
merupakan perubahan kualitatif mendadak. Di sini perubahan fase terjadi ketika
momen magnetik berubah dari nol menjadi tidak nol. Sistem mengalami
perubahan dari fase paramagnetik ke fase feromagnetik1,2.
Pada umumnya, perubahan fase berkaitan dengan fenomena kerusakan
simetri sistem. Simetri merupakan invariansi beberapa besaran fisis terhadap
pengenaan operasi tertentu. Sebuah sistem biasanya digambarkan oleh
Hamiltonian, sehingga simetri berkaitan erat dengan invariansi Hamiltonian
terhadap transformasi. Ketika kondisi makroskopik berubah, misalnya suhunya
2
diturunkan atau tekanan dinaikkan, maka satu atau dua elemen simetri akan
menghilang. Hal ini merupakan gejala rusaknya simetri. Rusaknya simetri
menunjuk pada situasi dimana keadaan sistem tidak memiliki simetri penuh yang
dimiliki oleh Hamiltonian untuk menggambarkan sistem. Sebagai contoh sebuah
sistem magnetik, pada suhu diatas suhu Curie sistem memiliki magnetisasi nol
dalam medan nol atau magnetisasi tidak mengarah pada arah tertentu. Ketika suhu
diturunkan dibawah suhu Curie, magnetisasi spontan mengarah ke arah tertentu.
Dengan demikian, simetri arah pada magnetisasi rusak. Untuk perubahan fase
yang disebabkan oleh fluktuasi termal, sistem berada pada derajat simetri tinggi
pada temperatur tinggi karena semua ruang konfigurasi dibolehkan. Penurunan
suhu akan mengurangi fluktuasi termal dan mengakibatkan sistem berada pada
keadaan stabil3,4.
Salah satu fenomena penting dalam perubahan fase adalah terjadinya
magnetisasi spontan. Pada sistem feromagnetik, ketika suhu diturunkan hingga
mencapai temperatur tertentu yang disebut temperatur kritis maka akan terjadi
magnetisasi spontan. Sistem mengalami perubahan fase dari sistem paramagnetik
menjadi sistem feromagnetik. Temperatur kritis Tc untuk sistem feromagnetik
dinamakan temperatur Curie. Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji karena
melibatkan interaksi spin, yaitu faktor mikroskopik.
Ernst Ising (1925) memperkenalkan model yang dapat menjelaskan
fenomena magnetisasi spontan dari sistem feromagnetik (FM). Model Ising
merupakan bentuk sederhana dari model Heisenberg untuk menyelesaikan model
3
yang diusulkan oleh Lenz (1920) dalam mempelajari perubahan fase FM pada
temperature Curie. Model ini berisi variabel diskrit yang menyajikan momen
magnetik dari spin atom yang bernilai s = +/- 1. Spin tersebut dimodelkan dalam
sebuah kisi, dimana setiap spin dapat berinteraksi dengan spin terdekatnya
(nearest-neighbors). Model Ising kisi 2D adalah salah satu contoh model statistik
sederhana untuk menunjukkan magnetisasi spontan pada suatu sistem5.
Dalam thesisnya, pada tahun 1925 Ernst Ising mengkaji perubahan fase
pada ferromagnetik 1 dimensi. Namun sayangnya, untuk kasus ferromagnetik 1
dimensi tidak terjadi perubahan fase. Ilmuwan lain, Onsanger (1944), mencoba
mengembangkan dan ternyata model tersebut berhasil digunakan untuk
menyelesaikan kasus ferromagnetik pada 2 dimensi. Model ini dapat dikenakan
pada 2 dimensi karena pada kekisi 2 dimensi atau lebih, transisi fase baru akan
terjadi. Mencoba mengulas keberhasilan tersebut, Jurusan Fisika Universitas
Hasanuddin melakukan studi simulasi perubahan fase model Ising 2D dan 3D
yang telah dilakukan oleh Lukman dan Sumardin. Barulah pada tahun 2013
dilakukan penelitian yang mengkaji sistem feromagnetik pada model spin simetri
polihedral pada kisi berlapis (square lattice)8. Namun pada penelitian model spin
simetri polihedral, sebelumnya Tasrief Surungan dkk pernah meneliti model spin
edge-cubic pada kisi persegi (jurnal internasional). Sedangkan pada penelitian ini
akan mengkaji sistem dengan model spin dan kisi berbeda, yaitu model spin
ikosahedron pada kisi segitiga untuk kasus 2D.
4
Pada penelitian ini akan dikaji model spin ikosahedron, yaitu model spin
diskrit dengan simetri polihedral. Simetri polihedral untuk model spin diperoleh
dengan membagi sama besar sudut ruang 4π dari struktur bola. Ada lima
kemungkinan tipe model dari struktur polihedral yang dapat diperoleh yaitu:
tetrahedron, oktahedron, heksahedron, ikosahedron dan dodecahedron. Spin
tersebut dimodelkan dalam suatu kisi yang saling berinteraksi seperti halnya pada
model spin Ising. Dengan menggunakan metode simulasi Monte Carlo, dapat
dihitung order parameter dan memperkirakan temperatur kritis dari setiap model3.
Motivasi studi ini adalah untuk melihat bilangan koordinasi yang lebih besar
(sistem lebih stabil) karena memiliki tetangga spin yang lebih banyak. Untuk
penelitian ini, dikhususkan untuk mempelajari model Ising 6 tetangga terdekat.
I.2 Ruang Lingkup
Penelitian ini melingkupi penentuan temperatur kritis dari model magnetik
spin ikosahedron pada kisi segitiga (triangular) dengan menggunakan metode
simulasi Monte Carlo. Ukuran linear kisi L, dengan jumlah spin adalah N = LxL;
dimana akan diambil L=12,24 dan 48. Diharapkan dapat diperoleh temperatur
kritis untuk masing-masing harga L.
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menentukan temperatur kritis dalam perubahan fase model magnetik
simetri ikosahedron pada kisi segitiga (triangular).
2. Menentukan pengaruh ukuran linear kisi terhadap perubahan fase sistem
magnetik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Perubahan Fase dan Eksponen Kritis
Keadaan suatu benda dipengaruhi oleh peubah termodinamik, antara lain
temperatur, volume dan tekanan. Misalnya air jika dipanaskan (temperatur
dinaikkan) dapat berubah menjadi uap. Keadaan suatu sistem dapat digambarkan
dalam diagram keadaan, dimana sumbu-sumbunya adalah peubah termodinamik.
Fase adalah himpunan titik keadaan yang memiliki sifat-sifat homogen dan dapat
digambarkan dalam berbagai diagram misalnya PT, PV ataupun PVT, dimana P,
V dan T adalah peubah termodinamik. Suatu fase sebagai kumpulan titik keadaan
homogen memiliki sifat-sifat tertentu yang membedakannya dengan fase lainnya.
Fase cair dari air berbeda dengan fase gas (uap) dan fase padat (es). Setiap fase
bersesuaian dengan suatu fungsi termodinamik yang kontinu, dalam hal ini energi
bebas. Energi bebas bergatung pada peubah termodinamik10.
Perubahan fase merupakan perubahan drastis dari fase yang satu ke fase
lainnya berdasarkan perubahan parameter sistem seperti temperatur, tekanan dan
magnetisasi. Perubahan fase menandakan perubahan struktur dan dapat dikenali
dari perubahan drastis dari sifat-sifat fisiknya. Perubahan fase dapat disebabkan
oleh fluktuasi termal dan non-termal. Namun kebanyakan yang terjadi di alam
disebabkan oleh fluktuasi termal dan terjadi pada temperatur tertentu. Tipe transisi
ini biasanya disebut sebagai perubahan fase klasik11. Berdasarkan sifat fungsi
6
energi bebas, perubahan fase dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu perubahan fase
orde pertama (FO) dan orde kedua (SO).
II.1.1 Perubahan Fase Orde Pertama
Perubahan fase orde pertama secara umum ditandai oleh keberadaan kalor
laten. Kalor laten adalah kalor yang diserap atau dilepas selama perubahan. Laten
artinya tetap, digunakan untuk menandai temperatur yang tetap selama proses
perubahan. Selain kalor laten, perubahan fase orde pertama juga ditandai oleh
kehadiraan fase secara bersamaan (co-existence). Fase asal (A) dan fase tujuan (B)
selama perubahan fase hadir bersamaan. Saat bagian tertentu telah berada dalam
fase B, bagian lain masih dalam fase A. Es yang sedang mencair merupakan
contoh perubahan fase orde pertama, kalor laten 334kJ/kg dan Tc = 0o C, dan ada
koeksitensi antara es dan air10.
(a) (b)Gambar 2.1 Perubahan Fase Orde Pertama pada Air5.
Karakterisasi perubahan fase sebagai perubahan sifat makroskopis
dijelaskan secara teoritis sebagai kemunculan singularitas pada fungsi yang
merepresentasikan kuantitas fisik dari sistem tersebut. Pada Gambar 2.1, entropi S
dan volume V, memperlihatkan singularitas yang bersifat discontinuous. Ketika
air dipanaskan, dan berubah menjadi uap air, volume V berubah secara
7
discontinuous (pada Gambar 2.1.b, terdapat lompatan pada kurva di titik Pc);
sama halnya ketika air didinginkan, dan berubah menjadi es (padat) entropi S
berubah secara discontinuous (pada Gambar 2.1.a, terdapat lompatan pada kurva
di titik Tc).
Penyebab terjadinya perubahan fase, karena adanya pengaruh dari energi
(internal) E dan entropi sistem S, yang keduanya bersama-sama menentukan
energi bebas F = E – TS. Ketika turunan pertama energi bebas discontinuous,
perubahan ini disebut perubahan fase orde pertama5.
II.1.2 Perubahan Fase Orde Kedua
Pada perubahan fase orde kedua, tidak ada kalor laten, sebab itu pula tidak
dijumpai co-existence fase. Perubahan fase jenis kedua sering pula disebut sebagai
perubahan fase kontinu. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa sifat
sistem berubah secara kontinu5.
Gambar 2.2 Perubahan Fase Orde Kedua5
Perubahan fase bersifat continuous jika turunan pertama energi bebas
continuous dan ini disebut perubahan fase orde kedua. Pada gambar 2.2 dapat
8
dilihat model perubahan fase orde kedua dimana pada perubahan entropi berifat
continuous5.
Parameter keteraturan merupakan konsep penting dalam membahas
perubahan fase orde kedua (SO). Nilai parameter keteraturan pada fase teratur
berhingga, sedangkan dalam fase yang lain nilainya lenyap. Contoh yang analog
dengan perubahan fase dari cair ke gas adalah perubahan fase dari paramagnet ke
feromagnet, dimana magnetisai merupakan parameter keteraturan. Pada
temperatur tinggi (fase paramagnet) magnetisasi lenyap, sedangkan pada
temperatur rendah (di bawah temperatur Curie), magnetizasi berhingga. Beberapa
fungsi termodinamik di sekitar titik kritis bersifat homogen dan dipengaruhi oleh
parameter-parameter makroskopik seperti dimensi ruang dan simetri dari sistem.
Fungsi termodinamik merupakan fungsi ekponensial dari parameter temperatur
|T- T|. Eksponen kritis merupakan parameter yang menjadai karakteristik dari
suatu fenomena kritis10.
Dengan memperkenalkan suatu variabel baru t (reduced temperature),
yang didefenisikan sebagai t = −
, eksponen-eksponen kritis suatu sistem
magnetik dituliskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Eksponen-eksponen kritis suatu sistem magnetik12
Eksponen Definisi Deskripsi
Α CH ~ |t|-α Panas jenis pada H=0
Β M ~ |t|β Magnetisasi pada H=0, t < 0
Γ χ ~ |t|-γ Suseptibilitas pada H=0
Δ M ~ ℎ1Isotermal kritis
Ν ξ ~ |t|-ν Panjang korelasi
Η G(r) ~ |r|-(d-2+η) Fungsi korelasi
9
Sifat mikro sistem tidak nampak pada besaran CH, M, χ, dan ξ, melainkan
melebur pada nilai t. Pada kasus T > Tc, nilai t (reduced temperature) yang besar
menyebabkan besaran CH memiliki nilai yang kecil, karena memiliki fungsi
pangkat negatif. Begitu pula sebaliknya untuk T < Tc, nilai besaran CH semakin
besar untuk nilai t yang semakin kecil. Berbeda dengan besaran magnetisasi M,
nilai t berbanding lurus dengan nilai magnetisasi M, karena memiliki fungsi
pangkat positif. Untuk T > Tc, diperoleh nilai M yang besar untuk nilai t yang
besar. Untuk T < Tc, magnetisasi memiliki nilai yang kecil sebagai akibat dari
nilai t yang kecil. Untuk besaran fisis χ dan ξ, memiliki definisi kasus yang sama
dengan besaran panas jenis CH. Suseptibilitas χ dan panjang korelasi ξ memiliki
fungsi pangkat negatif, sehingga nilai χ dan ξ berbanding terbalik dengan nilai t.
Pada kasus T > Tc, besaran χ dan ξ memiliki nilai yang kecil karena nilai t yang
besar. Sedangkan untuk T < Tc, t memiliki nilai yang kecil sehingga χ dan ξ
bernilai besar. Besaran fisis CH, M, χ, dan ξ, masing-masing memiliki variabel
eksponen kritis. Eksponen-eksponen kritis α, β, γ, dan ν menggambarkan variasi
dari masing-masing besaran yaitu CH, M, χ, dan ξ terhadap pengaruh temperatur12.
Secara umum, eksponen kritis bukanlah bilangan rasional sederhana dan secara
teratur menunjukkan universalitas.
II. 2 Universalitas dan Hubungan Penyekalan
Universalitas adalah nilai parameter kritis yang bersifat universal. Sistem
dalam kelas universalitas yang sama memiliki eksponen kritis yang sama tetapi
bisa memiliki temperatur transisi yang berbeda. Nilai eksponen dari suatu sistem
10
menjadi sifat khas dari sistem tersebut. Jika dua buah sistem yang berbeda
memiliki parameter atau eksponen kritis yang sama maka dua sistem tersebut
berada pada kelas yang sama. Salah satu contoh dalam kelas universalitas sama
diperliahatkan dalam Tabel 2. Menurut kelompok renormalisasi dua sistem hanya
memerlukan beberapa fitur-fitur umum untuk berada dalam kelas universalitas
yang sama. Hal demikian harus memiliki kesamaan
Dimensi spasial
Simetri orde parameter
Jarak dan simetri Hamiltonian
Tabel 2. Nilai eksponen-eksponen kritis untuk beberapa sistem12
Sistem T < Tc T = Tc T > Tc
Β δ η α γ ΝFluidaCO2 0,34 4,2 - ~0,1 1,35 -Xe 0,35 4,4 - - 1,3 -MagnetNi 0,42 4,22 - 0 1,35 -EuS 0,33 - - 0,05 - -CrBr3 0,368 4,3 - - 1,215 -Model Larut
Klasik 2 3 0 0(disc) 1 2Ornstein-Zernike - 5 0
αs = -1 2 1
Model Bola 3D 2 5 0 αs = -1 2 1
Model Ising 2D 8 ~15 4 0 (log) ~ 74 1PendekatanModel Ising 3D (Fluida?) ~
56 ~5 ~0,041 ~ 8 ~ 4 ~0,638
Model Heisenberg 3D (Magnet?) ~(0,345?) ~5 (~0,03?)
αs ~ -0,1 ~1,4 ~0,70
11
II. 2.1 Penyekalan Ukuran Berhingga (FSS)
Percobaan pada sistem nyata dan perhitungan numerik seperti simulasi
monte carlo menggunakan sistem berhingga. Dengan mengamati bagaimana
kuantitas C, M, χ bervariasi untuk ukuran kisi yang berbeda, hal tersebut
dimungkinkan untuk menghitung nilai eksponen kritis13. Fungsi termodinamik
secara umum merupakan besaran extensif yaitu besarnya bergantung pada ukuran
sistem. Sifat ini memungkinkan penentuan temperatur dan eksponen kritis sistem
melalui metoda penyekalaan ukuran berhingga (Finite Size Scaling). Sebagai
contoh, untuk perbandingan korelasi fungsi penyekalaannya adalah sbb10
Q = f (( T-Tc)Lν) 2.1
II. 3 Fenomena Magnetik
Dalam feromagnetisme, medan magnet yang ditimbulkan oleh bahan
disebabkan oleh spin elektron yang tidak berpasangan. Tiap spin tersebut senang
menunjuk pada arah yang sama dengan arah spin tetangganya. Namun,
penyearahan spin-spin tersebut hanya terjadi pada skala kecil (sekitar 10-3 mm3).
Dalam skala makroskopis arah dari spin tersebut berbeda sehingga medan magnet
yang ditimbulkan bahan tersebut nol. Itulah sebabnya mengapa sepotong besi
bukan magnet permanen14.
Pada sistem feromagnetik, ketika suhu diturunkan hingga mencapai
temperatur tertentu yang disebut temperatur kritis maka hal tersebut dapat
12
menghilangkan arah spin yang seragam dan terjadilah magnetisasi spontan. Dalam
temperatur tinggi di atas Tc, bahan magnet cenderung kehilangan sifat magnet.
Pada saat keadaan melewati suhu di atas titik kritis pada temperatur Curie, sifat
feromagnetik bahan akan menjadi paramgnetik. Fenomena magnetisasi spontan
telah teramati sejak dulu dalam sistem magnet, barulah pada tahun 1925
diperkenalkan model yang dapat menjelaskan fenomena magnetisasi spontan dari
sistem feromagnetik5,14.
II.4 Model Magnetik
II.4.1 Model Ising
Model Ising adalah model statistik sederhana interaksi feromagnetik.
Model ini diperkenalkan oleh Wilhelm Lenz pada tahun 1920 dan diselesaikan
oleh Ising pada tahun 1925 untuk kasus pada 1D dimana tidak terjadi perubahan
fase. Dalam kasus 2D, dibutuhkan pemecahan analitik yang lebih rumit dan telah
diselesaikan oleh Larns Onsager pada tahun 1944 dengan metode matriks transfer.
Model ini merupakan model statistik dengan variabel diskrit yang
merepresentasikan momen dipol magnetik yang dapat dinyatakan dalam dua
keadaan (+1 atau -1). Spin ditempatkan dalam kisi yang membolehkan adanya
interaksi antara spin dengan spin tetangganya. Hamiltonian interaksi sistem
tersebut dinyatakan sebagai
= ∑ ⃗ . ⃗ 2.2
13
Dimana si adalah spin ke i yang ditinjau, sj adalah spin tetangga terdekatnya, dan J
adalah reprentasi interaksi antara spin15.
II.4.2 Model Spin Vertices-Icosahedron
Ikosahedron adalah bagian dari simetri polihedral. Model spin ikosahedron
adalah bagian diskrit dari model Heisenberg dengan grup simetri ikosahedron A5 x
C2,.
Tabel 3. Karakteristik Model Simetri Polihedron3
Model Vertices Faces Edges Grup Simetri
Tetrahedron 4 4 6 S4
Oktahedron 6 8 12 Oh = S4 x C2
Kubik 8 6 12 Oh
Ikosahedron 12 20 30 A5 x C2
Dodekahedron 20 12 30 A5 x C2
Gambar 2.3 Ikosahedron16
14
Dalam model ini, vektor spin ditempatkan pada pusat ikosahedron dengan
arah orientasinya berdasarkan model yang dipilih berdasarkan karakteristik
ikosahedron tersebut. Berdasarkan Tabel 3, maka akan didapatkan tiga model
ikosahedron yaitu vertices-icosahedron (12 keadaan), faces-icosahedron (20
keadaan), dan edge-icosahedron (30 keadaan).
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Surungan dan Okabe (2012), yang
telah mengkaji sifat kritis model spin dengan simetri polyhedral pada kisi persegi
(square lattice). Penelitian hanya mempertimbangkan model Icosahedron dan
Dodecahedron sebagai Tetrahdron dan Octahedron yang setara dengan model
umum yaitu Ising dan model Potts 4-state. Pengamatan pada perubahan fase orde
kedua untuk masing-masing model yang bersesuaian dan meng-estimasi eksponen
dan temperatur kritis melalui rasio korelasi. Terjadi penurunan sistem pada
temperatur kritis sebagai meningkatnya keadaan jumlah spin (Tc → 0 untuk q →
∞). Menandakan bahwa Tc = 0 untuk model dengan simetri kontinu, yang
menekankan pentingnya discretness sistem 2 dimensi3.
II.4.3 Panas Jenis dan Magnetisasi
Panas jenis, sebagaimana diketahui adalah besaran fisis yang menyatakan
jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan temperatur. Panas jenis dari
sistem dapat dinyatakan sebagai berikut :
( ) = (⟨ ⟩ ⟨ ⟩ ) 2.3
15
dimana E adalah energi dalam satuan J sedangkan < … > merepresentasikan rata-
rata ensambel. Temperatur dinyatakan dengan J/kB dimana kB adalah konstanta
Boltzmann.
Pada sistem feromagnetik, magnetisasi dinyatakan dengan = |∑ ⃗ .|yang merupakan parameter keteraturan. Dengan mendefenisikan Mk sebagai
momen magnetisasi tingkat k dan ( ) = ∑ ⃗( ) . ⃗( + ) sebagai fungsi
korelasi antara spin pada posisi r dan pada (r+R), maka rasio momen dan korelasi
dinyatakan sebagai
= ⟨ ⟩⟨ ⟩
= ⟨ ( / )⟩⟨ ( / )⟩
dimana jarak R untuk fungsi korelasi g(R) adalah vektor kuantitas dan mengambil
jarak yang lebih tepat dan sederhana yaitu L/2 dan L/4 , masing-masing dalam
arah x dan y.
Keberadaan perubahan fase dapat ditentukan dari plot UL dan QL terhadap
temperatur. Pada temperatur yang sangat rendah dimana sistem mendekati
keadaan dasar, rasio momen dan korelasi bersifat trivial. Namun pada keadaan
exitasi yaitu ketika sejumlah spin tidak searah, keduanya tidak trivial tetapi
bergantung pada temperatur3.
II.5 Metode Monte Carlo
Simulasi Monte Carlo adalah metode statistik yang menggunakan bilangan
acak dalam proses pencuplikan. Tujuan utama metode Monte Carlo adalah untuk
2.4
2.5
16
memperoleh nilai dari besaran fisika yang diamati dengan mengambil sampel
pada ruang konfigurasi (microstate) sistem. Konfigurasi sampel dibangkitkan
secara acak melalui proses Markov, yaitu cara pembangkitan konfigurasi baru dari
konfigurasi sebelumnya. Metode Monte Carlo adalah metode standar yang umum
digunakan dalam fisika. Terdapat berbagai jenis algoritma yang digunakan dalam
metode Monte Carlo, masing-masing mempunyai karakteristik sesuai dengan
masalah yang ingin dipecahkan. Algoritma Metropolis adalah salah satu yang
paling populer. Akan tetapi, algoritma ini tidak efisien untuk perhitungan
temperatur yang berifat kontinu (tidak diskret) karena memerlukan proses
pengulangan seluruhnya untuk temperatur lain yang berbeda. Algoritma dituliskan
dalam sub-bagian berikut:
II.5.1 Algoritma Metropolis
Misalkan sebuah kisi berlapis N, yang masing-masing diisi oleh spin Ising,
maka akan ada 2N konfigurasi. Masing-masing konfigurasi berkontribusi pada
sifat makroskopik, misalnya besaran fisis Q. Panas rata-rata pada temperatur T,
untuk kuantitas fisik Q dapat dinyatakan
⟨ ⟩ = ∑
Dimana Qi adalah nilai dari kuantitas pada konfigurasi i, pi adalah probabilitas
Gibbs dari sistem pada konfigurasi i, yang dinyatakan oleh
= exp(− ) ; = ∑ ( ) 2.7
2.6
17
Dimana Ei dan β (1/kT) berturut-turut adalah energi dari konfigurasi i dan
temperatur invers, serta Z adalah fungsi partisi.
Perhitungan persamaan 2.7 membutuhkan memori komputer yang sangat
besar dan waktu yang cukup lama. Untuk menghindari hal ini dibutuhkan cara
yang tepat dalam membangkitkan microstates sehingga hanya diambil microstates
yang bersesuaian dengan temperatur T. Cara pembangkitan mikrostate-mikrostate
tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Metropolis.
Andaikan dipilih sebuah konfigurasi wi dengan probabilitas P(wi) pada M
sampel, rerata majelis <Q> diberikan oleh
⟨ ⟩ = ∑ ( )∑ ( )
Karena P(wi) dinyatakan sebagai Probabilitas Gibbs, perkiraan untuk ⟨ ⟩ secara
sederhana dinyatakan sebagai
⟨ ⟩ = ∑
Proses Markov adalah suatu teknik untuk membangkitkan secara acak konfigurasi
baru dari konfigurasi sebelumnya yang memberikan spesifikasi probabilitas
transisi W(i-j) dari satu microstate ke yang lainnya. Dalam proses ini berlaku
( → ) = ( → )Perumuskan rasio probabilitas transisi yang tergantung pada perubahan energi
sebagai berikut
2.8
2.9
2.10
18
( → )( → ) = = − ( − )
Walaupun W(i-j) pada persamaan 2.12 tidak ditentukan secara khusus, pilihan yang
biasa digunakan adalah
− ( − ) untuk > ( → )
1 otherwise
Yang berarti bahwa perubahan untuk energi yang lebih tinggi diterima dengan
probabilitas exp(-β(Ej-Ei)) sedangkan untuk konfigurasi energi yang lebih rendah
selalu diterima.
Algoritma sederhana untuk menjalankan prosedur ini adalah Algoritma
Metropolis yang melakukan pembaharuan spin tunggal untuk perubahan Ei Ej.
Sebagai metode kanonik, dibutuhkan pengulangan keseluruhan prosedur
untuk menghitung temperatur lain. Konfigurasi spin perlu diekuilibrasi. Oleh
karena itu, kita harus melakukan MCS awal sebelum memulai pengukuran.
Bilangan ekuilibrasi yang biasa digunakan untuk MCS berkisar 104 - 105,
tergantung seberapa cepat sistem mencapai kesetimbangan10.
II.5.2 Algoritma Wolff (Single-Cluster)
Dalam algoritma Wolff, 1 Langkah Monte Carlo (MCS) adalah
mengunjungi (baik berturut-turut atau secara acak) setiap spin pada kisi, dan
melakukan pembaharuan berdasarkan probabilitas yang dipilih. Dengan gagasan
2.11
2.12
19
algoritma wolff, spin planar diproyeksikan ke sumbu acak sehingga prosedur
Kosterlitz-Thouless (KT) pada spin Ising dapat diterapkan. Perubahan fase KT
merupakan perubahan fase orde tinggi dimana energi dalam tetap kontinu hingga
turunan ke-n. Perubahan KT bisa hadir dalam model XY dengan grup simetri
O(2). Gagasan algoritma Wolff membantu dalam menentukan sejumlah spin yang
berorientasi serupa dengan proyeksi spin Ising. Kemudian memperbaharui
orientasi spin yang serupa dengan spin ising berdasarkan temperatur pada
probabilitas P = 1 – exp(2βJ), dimana J adalah interaksi gabungan antar spin.
Ketidakpembaharuan orientasi spin yang berbeda dengan spin Ising akan
diperbaharui pada MCS selanjutnya3,11.
Konfigurasi awal terbagi menjadi satu set klaster yang terurai (konfigurasi
awal dipilih secara acak). Setiap klaster dikelompokkan sebagai unit tunggal
dalam beberapa langkah pembaharuan. Setelah 1 MCS, akan ada konfigurasi spin
baru yang dipeoleh, interaksi dikembalikan pada orientasi semula dan proses
dimulai lagi, dan seterusnya. Pada simulasi yang menggunakan algoritma wolff
perlu dilakukan pengukuran pada beberapa Langkah Monte Carlo (MCS),
misalnya 10 langkah11.
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Satu set komputer dengan sistem operasi Linux Fedora 20
2. Paket aplikasi compiler bahasa C/C++ (GNU Compiler, General
Collection Compiler atau GCC).
3. Komputer untuk menjalankan pemrograman paralel Hugrid UNHAS
(http://www.hugrid.unhas.ac.id)
III.2 Model
Model spin polyhedral yaitu salah satunya icosahedron adalah versi
diskret dari model Heisenberg dengan spin hanya mengarah pada titik sudut
struktur (lihat Gambar 2.3). Model Hamiltonian dinyatakan sebagai berikut:
H = - J ∑ ⃗i . ⃗j
dimana ⃗i adalah spin pada titik kisi ke-i. Penjumlahan dilakukan pada semua
pasangan tetangga terdekat spin pada kisi triangular dengan interaksi
feromagnetik (J > 0). Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.1.a. Dalam
konfigurasi keadaan dasar, energinya akan menjadi -3NJ ketika semua spin
memiliki orientasi umum; dengan N adalah jumlah spin3.
21
(a) (b)
Gambar 3.1. Kisi Segitiga (a) dan Persegi (b)
III.3 Prosedur Simulasi
Dalam penelitian ini digunakan metode simulasi Monte Carlo dengan
algoritma Wolff, lazim disebut Single-Cluster (spin update). Algoritma Wolff
bekerja dengan pedoman memilih suatu spin secara acak dan kemudian
membentuk satu kluster; dengan pengujian ikatan yang berdekatan18. Jumlah
langkah yang diambil MCS (Monte Carlo Step) tergantung pada kecepatan sistem
mencapai keseimbangan. Masing-masing titik data diperoleh dari rerata jumlah
MCS.
Prosedur simulasi program mengikuti langkah-langkah berikut
1. Menentukan dimensi panjang dan lebar untuk membangun kisi dua
dimensi.
2. Menempatkan spin pada setiap kisi dengan konfigurasi acak.
3. Menetapkan temperatur awal dan perubahan temperatur (to dan Δt).
4. Menghitung energi sistem (sesuai sajian hamiltonian).
5. Memperbaharui orientasi spin pada titik kisi yang dipilih secara acak
berdasarkan probabilitas p = 1 – exp (2βJ), kemudian menghitung energi
setelah diperbaharui.
22
6. Mengulang langkah 5 hingga 20 sampel untuk pengukuran.
7. Menghitung besaran fisis seperti panas jenis (Cv), momen dan korelasi
rasio (UL & QL).
8. Menentukan temperatur kritis.
III.4 Bagan Alir Penelitian
Gambar 3.2 Bagan Alir Penelitian
No
Yes
Mulai
Selesai
Studi Bahasa Pemograman
Membuat Program Simulasi
Menjalankan Program Simulasi
Sesuai
Analisis Data/ Hasil
Revisi Program Simulasi
Membuat Laporan Hasil Penelitian
Studi literatur, konsultasi pembimbing dan penetapan topik
Perolehan Data
23
III.5 Bagan Prosedur Simulasi
Gambar 3.3 Bagan Prosedur Simulasi
= ⟨ ( /2)⟩⟨ ( /4)⟩
Mulai
Input MCS
nx = 12ny = 12
nx = 48ny = 48
nx = 24ny = 24
P= 1 – exp(-2 )
( ) = (⟨ ⟩ ⟨ ⟩ ) = ⟨ ⟩⟨ ⟩
PLOT
SELESAI
H = - J ∑ ⃗i . ⃗j
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, tujuan utama penelitian
ini adalah untuk menentukan temperatur kritis dari perubahan fase antara
paramagnetik dan ferromagnetik. Karakterisasi perubahan fase model magnetik
yang ditinjau dalam studi ini dilakukan dengan menghitung perubahan panas
jenis, rasio momen dan korelasi sebagai fungsi dari temperatur. Dalam bagian
selanjutnya, dibahas hasil perhitungan besaran-besaran berikut.
IV. 1 Panas Jenis (Cv)
Langkah pertama dalam menemukan kemungkinan perubahan fase yaitu
menghitung panas jenis yang telah didefenisikan pada Persamaan 2.3.
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Perubahan Temperatur Terhadap Panas Jenis.
25
Panas jenis model Icosahedron diplot pada Gambar 4.1. Meskipun puncak
pada grafik panas jenis berhubungan langsung dengan fluktuasi energi, hal
tersebut kemungkinan menandakan adanya perubahan fase. Analisis kuantitatif
yang lebih akurat dalam menemukan transisi fase dilakukan melalui perubahan
orde parameter dari temperatur dan eksponen kritis yang dapat diekstraksi
menggunakan prosedur penyekalan ukuran berhingga (FSS)19.
Hasil plot panas jenis seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.1,
menunjukkan bahwa ketika temperatur di bawah temperatur kritis (Tc), panas
jenis akan bertambah seiring dengan kenaikan temperatur. Puncak maksimum
grafik diperoleh pada saat temperatur mencapai titik kritis, dimana T = Tc dan
mengalami penurunan saat temperatur lebih besar dari temperatur kritis ( T > Tc )
yang menandakan adanya perubahan fase. Hasil plot pada Gambar 4.1
memperlihatkan pergeseran puncak dari masing-masing kisi. Untuk kisi dengan
ukuran linear L = 12, 24, dan 48 puncaknya bersesuaian dengan temperatur
berturut-turut yaitu 0,6998 J/k, 0,7002 J/k, dan 0,7003 J/k.
IV.2 Rasio Momen (UL) dan Rasio Korelasi (QL)
Kehadiran transisi fase dapat diamati dari pengaruh temperatur terhadap
UL dan QL. Adanya persilangan tunggal pada tampilan grafik UL dan QL
merupakan indikasi kuat terjadinya perubahan fase. Hasil plot rasio momen untuk
beberapa ukuran linear kisi diperlihatkan pada Gambar 4.2. Grafik UL
menunjukan perubahan rasio momen setiap kenaikan temperatur. Gambaran titik
perpotongan pada setiap kisi mengindikasikan transisi fase. Titik perpotongan
26
untuk model magnetik, terindikasi kuat oleh hasil plot rasio korelasi yang
diperlihatkan oleh Gambar 4.3.
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Perubahan Temperatur Terhadap Rasio Momen.
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Perubahan Temperatur Terhadap Rasio Korelasi
27
IV. 3 Penyekalan Ukuran Hingga (FSS)
Analisis penyekalan ukuran berhingga untuk memperoleh temperatur dan
eksponen kritis, diperlihatkan dalam Gambar 4.4, plot model korelasi.
Gambar 4.4 Plot FSS model rasio korelasi untuk Icosahedron. Estimasi temperatur kritis dan eksponen panjang korelasi v telah ditentukan.
Estimasi nilai Tc didasarkan pada hasil rasio korelasi. Untuk model
Icosahedron, nilai estimasi Tc dan v yaitu masing-masing 0,712 dan 1,51.
Dengan menggunakan rasio korelasi juga dapat diekstrak eksponen
peluruhan η dari fungsi korelasi. Hal ini dilakukan dengan melihat nilai konstanta
rasio korelasi Q untuk ukuran yang berbeda dan kemudian menemukan fungsi
korelasi yang sesuai g (L/2). Fungsi korelasi dalam aturan pangkat bergantung
pada ukuran sistem, g (L/2)~L-η19.
Oleh karena itu, jika diplot
logaritmik, seperti pada Gambar 4.5, nilai
garis grafik terbaik untuk masing
garis hasil plot pada Gambar 4.5. Di sini temperatur kritis dikaitkan dengan
0.959 untuk model Icosahedron
estimasi terbaik.
Gambar 4.5 Plot
Pengkajian model magnetik untuk kisi persegi (
yang dilakukan oleh Aswar Sutiono, memiliki nilai temperatur kritis
jauh berbeda untuk setiap kisinya. T
8, 16, dan 32 yaitu 0,5207
(square lattice) satu lapis memiliki nilai estimasi temperatur lebih rendah
dibandingkan sistem kisi segitiga satu lapis. Semakin banyak jumlah tetangga
Oleh karena itu, jika diplot g (L/2) versus L untuk berbagai Q dalam skala
logaritmik, seperti pada Gambar 4.5, nilai η akan bersesuaian dengan gradien dari
terbaik untuk masing-masing konstanta rasio korelasi. Ada beberapa
garis hasil plot pada Gambar 4.5. Di sini temperatur kritis dikaitkan dengan
Icosahedron (Gambar 4.3), ditetapkan nilai η = 0.1480 sebagai
Gambar 4.5 Plot g(L/2) vs L. Estimasi terbaik untuk nilai η = 0.1480
Pengkajian model magnetik untuk kisi persegi (square lattice) satu lapis
yang dilakukan oleh Aswar Sutiono, memiliki nilai temperatur kritis
jauh berbeda untuk setiap kisinya. Tc untuk masing-masing ukuran linear kisi L =
8, 16, dan 32 yaitu 0,5207 J/k, 0,5313 J/k, dan 0,527 J/k. Sistem kisi segiempat
) satu lapis memiliki nilai estimasi temperatur lebih rendah
ingkan sistem kisi segitiga satu lapis. Semakin banyak jumlah tetangga
28
dalam skala
akan bersesuaian dengan gradien dari
masing konstanta rasio korelasi. Ada beberapa
garis hasil plot pada Gambar 4.5. Di sini temperatur kritis dikaitkan dengan Q ~
= 0.1480 sebagai
= 0.1480.
) satu lapis
yang tidak
masing ukuran linear kisi L =
. Sistem kisi segiempat
) satu lapis memiliki nilai estimasi temperatur lebih rendah
ingkan sistem kisi segitiga satu lapis. Semakin banyak jumlah tetangga
29
spin, maka interaksi antar spin akan semakin bertambah. Akibatnya sistem akan
semakin stabil karena memiliki bilangan koordinasi sistem yang lebih besar.
Diperlukan energi yang besar untuk merusak kondisi stabil sistem sehingga
temperatur yang dibutuhkan juga harus lebih tinggi. Dengan kata lain, pergeseran
temperatur kritis ke temperatur tinggi ketika jumlah tetangga spin bertambah
menguatkan teori bahwa sistem fisis dengan bilangan koordinasi lebih banyak
akan lebih stabil.
Tabel 4. Perbandingan Tc untuk sistem kisi yang berbeda
Kisi triangular 1 lapis(6 tetangga terdekat)
Kisi square 1 lapis(4 tetangga terdekat)
L Tc L Tc
12 0,6998 8 0,5207
24 0,7002 16 0,5313
48 0,7003 32 0,527
Tabel 4 memperlihat perbedaan sistem kekisi 6 tetangga terdekat dengan kekisi 4
tetangga terdekat dalam mencapai kestabilan. Kekisi 6 tetangga terdekat (kisi
segitiga) lebih stabil bila dibandingkan dengan kekisi 4 tetangga terdekat (kisi
persegi). Kestabilan sistem bisa dilihat dari nilai temperatur kritis yang lebih besar
untuk setiap kisi. Kisi segitiga, dimana setiap titik kisi memiliki 6 tetangga
terdekat memiliki nilai temperatur kritis dengan rerata 0,69(1). Sedangkan untuk
kisi persegi, 4 tetangga terdekat memiliki nilai temperatur kritis dengan rerata
0,52(1). Hal demikian memperjelas bahwa semakin banyak jumlah tetangga spin,
30
maka interaksi antar spin akan semakin bertambah. Akibatnya sistem akan
semakin stabil karena memiliki bilangan koordinasi sistem yang lebih besar.
IV.4 Estimasi Temperatur dan Eksponen Kritis
Temperatur dan eksponen kritis dari setiap ukuran kisi yang berbeda dapat
diperjelas dengan menganalisa grafik panas jenis dan model rasio korelasi. Puncak
pada grafik panas jenis menunjukkan daerah kritis perubahan fase sistem. Artinya,
perkiraan temperatur kritis berada pada rentang tersebut. Estimasi temperatur dan
eksponen kritis untuk setiap sistem kisi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Estimasi temperatur dan eksponen kritis model ikosahedron
Model(q-state) Tc v η
12 0,711(1) 1,511(1) 0,1480(1)
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian sifat kritis model magnetik simetri polyhedral
pada kisi segitiga. Simetri polyhedral merupakan bentuk diskrit dari model
Heisenberg. Penelitian ini mempelajari model spin icosahedron pada kisi segitiga,
seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.1.a, dimana setiap titik kisi memiliki 6
tetangga terdekat. Pengamatan perubahan fase orde kedua untuk model
icosahedron 12-state, diperkirakan temperatur dan eksponen kritis dengan
menggunakan penyekalan ukuran hingga (FSS) model rasio korelasi. Ukuran
linear kisi L diambil bervariasi untuk satu lapis. Masing-masing spin menempati
setiap titik kisi yang jumlahnya N=LxLx1. Dalam penelitian ini nilai L = 12, 24
dan 48.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa:
a. Sistem dengan jumlah N yang lebih besar mempunyai temperatur kritis
yang lebih besar.
Tabel 6. Perbandingan Tc untuk ukuran linear kisi yang berbeda
Kisi triangular 1 lapis(6 tetangga terdekat)
L Tc
12 0,699824 0,700248 0,7003
32
b. Estimasi temperatur dan eksponen kritis model icosahedrons
Tabel 7. Estimasi temperatur dan eksponen kritis model ikosahedron
V.2 Saran
Kelanjutan dari penelitian adalah meninjau model spin dengan simetri
polihedral untuk 20 keadaan, yang bersesuaian dengan struktur dodecahedron.
Selain itu variasi struktur kisi, misalnya struktur kisi segitiga berlapis sehingga
dapat diamati perubahan temperatur kritis sebagai fungsi dari jumlah spin.
Model(q-state) Tc ν η
12 0,711(1) 1,511(1) 0,1480(1)
33
DAFTAR PUSTAKA
1 Lin KY. Spontaneous Magnetization of Ising Model. Chinese Journal of Physics
1992 Jun; 30 (3): 287-319.
2 Sear R. Ising (Diktat Kuliah). United Kingdom: Departement of Physics,
University of Surrey; 2010.
3 Surungan T, Okabe Y. Study of Spin Models with Polyhedral Symmetry on
Square Lattice. Proceeding-International Conference on Physics 2012 Sep
19: 65-69.
4 Binder K, Landau DP. Finite-Size Scaling at First-Order Phase Transition.
Physical Review. 1984 Aug 1; 30(3): 1477-1485.
5 Nishimori H, Ortiz G. Elements of Phase Transition and Critical Phenomena.
New York: Oxford University Press; 2011.
6 Ali L. Pemakaian Simulasi Monte Carlo Pada Model Ising 2D. Makassar:
Skripsi S1 Fisika Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Hasanuddin; 2006.
7 Sumardin L. Studi Perubahan Fase Model Magnetik Spin Ising Pada Kisi Tiga
Dimensi (3D). Makassar: Skripsi S1 Fisika Jurusan Fisika FMIPA,
Universitas Hasanuddin; 2008.
8 Sutiono A. Studi Perubahan Fase Model Magnetik Spin Kubik Pada Struktur
Kisi Berlapis. Makassar: Skripsi S1 Fisika Jurusan Fisika FMIPA,
Universitas Hasanuddin; 2013.
9 Surungan T, Kawashima N, Okabe Y. Critical Properties of Edge-Cubic Spin
Model on Square Lattice. Physical Review. 2013 Feb 25; 1- 20.
10 Surungan T. Fisika Statistik (Diktat Kuliah). Makassar: Jurusan Fisika FMIPA,
Universitas Hasanuddin; 2011.
34
11 Surungan T. Cooperative Phenomena of Two-Dimensional Complex Planar
Spin Systems (ThesisPh.D). Tokyo: Departement of Physics; 2004.
12 Stanley HE. Introduction to Phase Transitions and Critical Phenomena.
Oxford University Press; 1971.
13 Cardy J. Scaling and Renormalization in Statistical Physics. Cambridge:
Cambridge University Press; 1996.
14 Griffiths DJ. Magnetic Fields In Matter. In: Alison R, Kim D,editor.
Introduction to Electrodynamics. 3th ed. Prentice Hall.
15 Agarwal I. Numerical Analysis of 2-D Ising Model. Jerman: Physics Report,
University of Bonn; 2011.
16 MacLean KJM. A Geometric Analysis of the Platonic Solids and Other Semi-
Regular Polyhedra. New York: Oxford The Big Pictures Press.; 2007.
17 Wolff U. Collective Monte Carlo Updating for Spin System. Physical Review
Letters 1989 Jan 23; 62 (4): 361-364.
18 Luitjen E. Introduction to Cluster Monte Carlo Algorithms. Urbana (U.S.A):
Department of Materials Science and Engineering, Frederick Seitz
Materials Research Laboratory, University of Illinois; 2006.
19 Tomita Y, Okabe Y. Finite-size Scaling of Correlation Ratio and Generalized
Scheme for the Probability-Changing Cluster Algorithm. Physical Review
2011 Jun 27; 66 (18): 1-4.
35
Lampiran 1
Program Utama
/* icosahedron model Metropolis and Wolff order parameter, energy and specific heat
nla=nx*ny : number of lattice sites fm2 : 2nd moment of order parameter fm22 : 22nd moment of order parameter fm4 : 4th moment of order parameter fg2 : correlation ratio s[x]*s[x+L/2] fg4 : correlation ratio s[x]*s[x+L/4] fe1 : 1st moment of energy fe2 : 2nd moment of energy
programmed by TS 2014/2/10 Mean Field Model and Heisenber Interaction*/
#include <stdio.h>#include <math.h>
void period();void mset();void eset();void rset();void spinset();void sineset();void mc();void metro();void single_clus();
extern void ranset(int, int []);extern void rnd(int [], int, int []);
#define PI M_PI#define nx 12#define ny 12#define nla (nx*ny)
#define iqq 12
#define irbit 2281
36
#define mask 017777777777
//#define update "me"#define update "wolff"
int isp[nla]; int nn[6*nla]; int n2[2*nla],n4[2*nla]; double mx[iqq],my[iqq],mz[iqq]; double rule[iqq][iqq]; int rr[iqq][15]; int nmcs1, nmcs2; double cosx[nx], sinx[nx], cosy[ny], siny[ny]; double beta; double fm[8];
int ir[6*nla], irsd1[irbit];
main(void){ int iri, i, itemp; double fnla2, fnla4, temp; double fm2,fm22,fm4,fg2,fg4,fe1,fe2,cv; double ff,corr;
const double tstart=0.3, tunit=0.02, tnumber=30;// const double tstart=0.534, tunit=0.002, tnumber=21;
fnla2=nla*nla; fnla4=fnla2*fnla2;
scanf("%d %d %d",&nmcs1,&nmcs2,&iri); printf("#%12d %12d %12d\n",nmcs1,nmcs2,iri);
ranset(iri,irsd1); for(i = 0; i<=irbit-1; i++){ irsd1[i] &= mask; }
period(); mset(); eset(); rset(); sineset();
for(itemp=1; itemp<=tnumber; itemp++)
37
{ temp=tstart+tunit*(itemp-1); beta=1/temp; spinset();
mc();
fm2=fm[1]/fnla2; fm22=(fm[1]/fnla2)*(fm[1]/fnla2); fm4=fm[2]/fnla4; fg2=fm[3]/nla; fg4=fm[4]/nla; fe1=fm[5]/nla; fe2=fm[6]/fnla2; cv =beta*beta*(fe2-fe1*fe1)*nla; ff =fm[7]/fnla2; corr=sqrt(fm2/ff-1)/(2*sin(PI/nx)); printf("%13.6e %13.6e %13.6e %13.6e %13.6e %13.6e %13.6e %13.6e %13.6e\n", temp,fm2,fm22,fm4,fg2,fg4,fe1,cv,corr); }}
void period()/* periodic boundary conditions for 2-d system size = nx*ny*/{ int la, ix;
for (la=0; la <= nla-1; la++){ ix=((int)(la/nx))*nx; nn[la] = (la+1)%nx +ix; // jxr nn[la+nla] = (la-1+nx)%nx+ix; // jxl nn[la+2*nla] = (la+nx) % nla; // jyr nn[la+3*nla] = (la-nx+nla)% nla; // jyl nn[la+4*nla] = nn[nn[la+2*nla]+nla]; // jyl nn[la+5*nla] = nn[nn[la+3*nla]]; // jyr n2[la] = (la+nla/2) % nla; // la+nla/2 (y) n4[la] = (la+nla/4) % nla; // la+nla/4 (y) n2[la+nla] = ((la+nx/2) % nx)+ix; // la+nla/2 (x) n4[la+nla] = ((la+nx/4) % nx)+ix; // la+nla/4 (x) }}
38
void mset()/* set magnetization icosahedron*/{ int iq; double phia = acos(2/sqrt(5.0)); double the36 = PI/5.0; /* offset second set 36 degrees */ double the72 = PI*2.0/5.0; /* step 72 degrees */ double the = 0.0;
mx[0]=0.0; my[0]=0.0; mz[0]=1.0; mx[11]=0.0; my[11]=0.0; mz[11]=-1.0;
for(iq=1; iq<6; iq++) { mx[iq]=cos(the)*cos(phia); my[iq]=sin(the)*cos(phia); mz[iq]=sin(phia); the = the+the72; } the=the36; for(iq=6; iq<11; iq++) { mx[iq]=cos(the)*cos(-phia); my[iq]=sin(the)*cos(-phia); mz[iq]=sin(-phia); the = the+the72; }}
void eset()/* rule for energy*/{ int iq1,iq2;
for (iq1=0; iq1 <= iqq-1; iq1++){ for (iq2=0; iq2 <= iqq-1; iq2++){ rule[iq1][iq2] = - (mx[iq1]*mx[iq2] + my[iq1]*my[iq2]
39
+ mz[iq1]*mz[iq2]); } }}
void rset()/* reflection of spins*/{ int iq1, iq2, rchoice; int i1[15],i2[15]; double a, b, c, w, wx, wy, wz; double x1, y1, z1, x2, y2, z2;
i1[0]=0, i2[0]=1; i1[1]=0, i2[1]=2; i1[2]=0, i2[2]=3; i1[3]=0, i2[3]=4; i1[4]=0, i2[4]=5;
i1[5]=1, i2[5]=2; i1[6]=2, i2[6]=3; i1[7]=3, i2[7]=4; i1[8]=4, i2[8]=5; i1[9]=5, i2[9]=1;
i1[10]=1, i2[10]=6; i1[11]=2, i2[11]=7; i1[12]=3, i2[12]=8; i1[13]=4, i2[13]=9; i1[14]=5, i2[14]=10;
for (rchoice=0; rchoice <= 14; rchoice++){ x1=mx[i1[rchoice]], y1=my[i1[rchoice]], z1=mz[i1[rchoice]]; x2=mx[i2[rchoice]], y2=my[i2[rchoice]], z2=mz[i2[rchoice]];
a=y1*z2-y2*z1; b=z1*x2-z2*x1; c=x1*y2-x2*y1;
for (iq1=0; iq1 <= iqq-1; iq1++){ w = a*mx[iq1]+b*my[iq1]+c*mz[iq1]; if(w>-0.001 && w<0.001){ rr[iq1][rchoice] = iq1;// printf("%d %d %d\n",rchoice,iq1,iq1);
40
} else { for (iq2=0; iq2 <= iqq-1; iq2++){ w = a*(mx[iq1]+mx[iq2])+b*(my[iq1]+my[iq2])+c*(mz[iq1]+mz[iq2]); wx=(mx[iq2]-mx[iq1])*b-(my[iq2]-my[iq1])*a; wy=(my[iq2]-my[iq1])*c-(mz[iq2]-mz[iq1])*b; wz=(mz[iq2]-mz[iq1])*a-(mx[iq2]-mx[iq1])*c; if(wx>-0.001 && wx<0.001 && wy>-0.001 && wy<0.001 && wz>-0.001 && wz<0.001 && w>-0.001 && w<0.001) { rr[iq1][rchoice] = iq2;// printf("%d %d %d\n",rchoice,iq1,iq2); } } } } }
}
void spinset()/* set initial spins*/{ int la;
for (la=0; la <= nla-1; la++){ isp[la]=0; }}
void sineset()/*set sine function*/{ int la;
for (la=0; la <= nx-1; la++){ cosx[la] = cos(2*PI*la/nx); sinx[la] = sin(2*PI*la/nx); }}
void mc()/* monte carlo update*/{
41
int mcs, i, iq; double fmxsum, fmysum, fmzsum, fenergy; double fm2xsum, fm2ysum, fm2zsum, fm4xsum, fm4ysum, fm4zsum; int la, la1, isp1, isp2; double ener, f2order, g2order, g4order; double clxc1, clyc1, clzc1, clxs1, clys1, clzs1; double clxc2, clyc2, clzc2, clxs2, clys2, clzs2; double cl;
/* initialization */
for (mcs=1; mcs <= nmcs1; mcs++){
if(update=="me") { metro(); } if(update=="wolff") { single_clus(); } }
/* measurement */
for(i=1; i<=7; i++){ fm[i] = 0; }
for (mcs=1; mcs <= nmcs2; mcs++){
if(update=="me") { metro(); } if(update=="wolff") { single_clus(); }
/* measurement of order parameter, energy */
fmxsum=0; fmysum=0; fmzsum=0; fm2xsum=0; fm2ysum=0; fm2zsum=0; fm4xsum=0; fm4ysum=0; fm4zsum=0;
for (la=0; la <= nla-1; la++){ isp1=isp[la]; fmxsum += mx[isp1]; fmysum += my[isp1]; fmzsum += mz[isp1]; isp2 = isp[n2[la]];
42
fm2xsum += mx[isp1]*mx[isp2]; fm2ysum += my[isp1]*my[isp2]; fm2zsum += mz[isp1]*mz[isp2]; isp2 = isp[n2[la+nla]]; fm2xsum += mx[isp1]*mx[isp2]; fm2ysum += my[isp1]*my[isp2]; fm2zsum += mz[isp1]*mz[isp2]; isp2 = isp[n4[la]]; fm4xsum += mx[isp1]*mx[isp2]; fm4ysum += my[isp1]*my[isp2]; fm4zsum += mz[isp1]*mz[isp2]; isp2 = isp[n4[la+nla]]; fm4xsum += mx[isp1]*mx[isp2]; fm4ysum += my[isp1]*my[isp2]; fm4zsum += mz[isp1]*mz[isp2]; } f2order=(fmxsum*fmxsum+fmysum*fmysum+fmzsum*fmzsum); g2order=(fm2xsum+fm2ysum+fm2zsum); g4order=(fm4xsum+fm4ysum+fm4zsum);
fm[1] += f2order; fm[2] += f2order*f2order; fm[3] += g2order/2; fm[4] += g4order/2;
fenergy=0; for (la=0; la <= nla-1; la++){ isp1=isp[la]; fenergy += rule[isp1][isp[nn[la]]] + rule[isp1][isp[nn[la+2*nla]]]; } fm[5] += fenergy; fm[6] += fenergy*fenergy;
clxc1 = 0; clyc1 = 0; clzc1 = 0; clxs1 = 0; clys1 = 0; clzs1 = 0; clxc2 = 0; clyc2 = 0; clzc2 = 0; clxs2 = 0; clys2 = 0; clzs2 = 0;
43
for (la=0; la <= nla-1; la++){ isp1 = isp[la]; clxc1 += mx[isp1]*cosx[la%nx]; clyc1 += my[isp1]*cosx[la%nx]; clzc1 += mz[isp1]*cosx[la%nx]; clxs1 += mx[isp1]*sinx[la%nx]; clys1 += my[isp1]*sinx[la%nx]; clzs1 += mz[isp1]*sinx[la%nx]; clxc2 += mx[isp1]*cosx[la/nx]; clyc2 += my[isp1]*cosx[la/nx]; clzc2 += mz[isp1]*cosx[la/nx]; clxs2 += mx[isp1]*sinx[la/nx]; clys2 += my[isp1]*sinx[la/nx]; clzs2 += mz[isp1]*sinx[la/nx]; }
cl = clxc1*clxc1+clyc1*clyc1+clzc1*clzc1 +clxs1*clxs1+clys1*clys1+clzs1*clzs1 +clxc2*clxc2+clyc2*clyc2+clzc2*clzc2 +clxs2*clxs2+clys2*clys2+clzs2*clzs2; cl /= 4;
fm[7] += cl; }
for(i=1; i<=7; i++){ fm[i] /= nmcs2; }}
void metro()/* Metropilis */{ int la, la1, isp1, isp2; double ener1, ener2;
rnd(ir, 5*nla, irsd1); for(la1=0; la1 <= nla-1; la1++){ la=ir[la1]%nla; isp1=isp[la]; ener1 = rule[isp1][isp[nn[la]]] +rule[isp1][isp[nn[la+nla]]] +rule[isp1][isp[nn[la+2*nla]]] +rule[isp1][isp[nn[la+3*nla]]]
44
+rule[isp1][isp[nn[la+4*nla]]] +rule[isp1][isp[nn[la+5*nla]]]; isp2=ir[la1+nla]%iqq; ener2 = rule[isp2][isp[nn[la]]] +rule[isp2][isp[nn[la+nla]]] +rule[isp2][isp[nn[la+2*nla]]] +rule[isp2][isp[nn[la+3*nla]]] +rule[isp2][isp[nn[la+4*nla]]] +rule[isp2][isp[nn[la+5*nla]]]; if(ener2-ener1<0){ isp[la]=isp2; } else { if(exp(-beta*(ener2-ener1))*mask > ir[la1+2*nla]){ isp[la]=isp2; } } }}
void single_clus()/* Wolff */{ int la, la1, i, in, ic, rchoice, isp1; double edif; int mark[nla], next[nla]; double boltz;
rnd(ir,6*nla,irsd1); rchoice = ir[nla]%15;
// clear marked sites of previous cluster
for(la=0; la<=nla-1; la++) { mark[la]=0; next[la]=la; }
// start growing anew cluster around site la, picked at random
la = ir[2*nla]%nla; ic = 0; in = ic; next[in] = la; mark[la] = 1;
45
while(in<=ic) { la = next[in]; // current "boundary" spin isp1 = isp[la]; isp[la] = rr[isp1][rchoice];
for(i=0; i<=5; i++) // test all neighbors { la1 = nn[la+i*nla]; if(mark[la1]!=1){ // already member of a cluster edif = rule[isp[la1]][isp[la]]-rule[isp[la1]][isp1]; if(edif > 0){ // spins anti-parallel boltz = exp(-beta*edif); if(boltz*mask <= ir[la+i*nla]){ //inactive,try next neighbor
// otherwise the bond is active and site la1 is added to the current culster
ic ++; mark[la1] = 1; // active, then new member of cluster next[ic] = la1; // store location of new cluster member } } } // end of loop over neighbors }
// now all neighbors of spin at site la are checked
in ++; } // cluster still contains spins whose // neighbors have not been tested}
46
Lampiran 2
Program pembangkit bilangan acak
#define nbit 32#define p 2281#define q 1029int r = p-q;
void ranset(int init, int irseed[])/* make 32bit random number seed*/{ int i,j,pp,qq,jtp;
int iy[p];
pp = p - 2; qq = p - 2+ q;
for(i=0; i<=p-1; i++){ irseed[i] = 0; }
for(i=0; i<=30; i++){ iy[i] = (init >> i) & 1; }
for(i=31; i<=p-1; i++){ iy[i] = iy[i-31] ^ iy[i-13]; }
for(i=0; i<=p*nbit-1; i++){ pp = (pp+1) % (p-1); qq = (qq+1) % (p-1);
jtp = iy[pp] ^ iy[qq]; iy[pp] = jtp;
}
for(i=0; i<=p-1; i++){ for(j=0; j<=nbit-1; j++){ pp = (pp+1) % (p-1); qq = (qq+1) % (p-1);
47
jtp = iy[pp] ^ iy[qq]; iy[pp] = jtp; irseed[i] = (irseed[i] << 1) | jtp; } }
pp = p - 2; qq = p - 2+ q;
for(i=1; i<=100000; i++){ pp = (pp+1) % (p-1); qq = (qq+1) % (p-1); irseed[pp] = irseed[pp] ^ irseed[qq]; }
}
void rnd(int ir[], int n,int irseed[]){ int iy[r],iz[p];
int i,j,repeat,remain;
repeat = n/r; remain = n - repeat*r; for(j=0; j<=repeat-1; j++){ for(i=0; i<=r-1; i++){ iy[i]=irseed[i] ^ irseed[i+q]; ir[j*r+i]=iy[i]; }
for(i=0; i<=q-1; i++){ irseed[i]=irseed[i+r]; } for(i=0; i<=r-1; i++){ irseed[i+q]=iy[i]; } }
if(remain != 0) { for(i=0; i<=remain-1; i++){ iy[i]=irseed[i] ^ irseed[i+q]; ir[repeat*r+i]=iy[i]; } for(i=0; i<=p-remain-1; i++){ iz[i]=irseed[i+remain];
48
} for(i=0; i<=p-remain-1; i++){ irseed[i]=iz[i]; } for(i=0; i<=remain-1; i++){ irseed[i+p-remain]=iy[i]; } }}
49
Lampiran 3
Data Pengukuran untuk 20 sampel
L = 12
T <M2> <M2>2 <M4> g(L/2) g(L/4) E Cv
0.3 0.99921582 0.99843225 0.99843848 0.99921027 0.99921014 -1.9984379 0.03889566
0.32 0.99867608 0.99735391 0.99736472 0.99866613 0.99866642-
1.99737065 0.05861464
0.34 0.9978059 0.99561664 0.99563464 0.99779004 0.99778945 -1.9956511 0.08577475
0.36 0.99656039 0.99313263 0.99316167 0.99653618 0.99653475 -1.9932215 0.12077152
0.38 0.99490776 0.98984146 0.98988535 0.99487084 0.99486975 -1.9899985 0.1618018
0.4 0.99266044 0.98537475 0.98543973 0.99260265 0.99260553 -1.9856889 0.20948484
0.42 0.98965159 0.97941026 0.97950355 0.98956829 0.9895757-
1.97995215 0.26666304
0.44 0.98576206 0.97172686 0.97186168 0.98564949 0.98565339 -1.9726535 0.33827381
0.46 0.98117224 0.962699 0.96288279 0.98100754 0.98102695 -1.9641294 0.40962246
0.48 0.97500971 0.95064404 0.95090619 0.97478042 0.97481775-
1.95294675 0.50919282
0.5 0.96752522 0.93610522 0.93646399 0.96722165 0.96726614 -1.9396324 0.60752613
0.52 0.95836854 0.9184705 0.9189671 0.95794614 0.95802121-
1.92368655 0.7320181
0.54 0.94701827 0.8968438 0.89752181 0.94641708 0.94659075-
1.90440985 0.86330492
0.56 0.9331491 0.87076759 0.87169786 0.93230673 0.93262499 -1.881653 1.012616
0.58 0.91620063 0.83942431 0.84074488 0.91497189 0.91559747 -1.8551254 1.2029969
0.6 0.89523655 0.80144976 0.80334362 0.89341504 0.89463465 -1.8237517 1.42101995
0.62 0.86852091 0.75433071 0.75706471 0.86570333 0.86816465-
1.78577845 1.65333795
0.64 0.83597861 0.69886282 0.70292844 0.83165118 0.83632624-
1.74286515 1.9668202
0.66 0.79410507 0.63060961 0.63666011 0.78750824 0.79588603-
1.69129555 2.33063425
0.68 0.74273764 0.55166746 0.56010655 0.73264922 0.74717114-
1.63282475 2.63529385
0.7 0.6829768 0.46646415 0.47661813 0.66852332 0.69122817 -1.5677522 2.71645015
0.72 0.62584955 0.39170216 0.40210603 0.60704448 0.63812412-
1.50751005 2.4921303
0.74 0.57416954 0.32968219 0.33940448 0.55162114 0.58983752 -1.4518596 2.1775107
0.76 0.52936959 0.28023895 0.28909333 0.50338719 0.5479681-
1.40233325 1.904175
0.78 0.4944115 0.24444711 0.25270482 0.46598071 0.51485143 -1.3618315 1.69801125
50
T <M2> <M2>2 <M4> g(L/2) g(L/4) E Cv
0.8 0.46074047 0.2122866 0.22018198 0.43004064 0.48287312 -1.3221206 1.56724895
0.82 0.43209011 0.18670493 0.1945627 0.39973663 0.45522378 -1.2864355 1.4984137
0.84 0.40461869 0.16371914 0.17174595 0.37050976 0.42881352 -1.252826 1.4393331
0.86 0.37812968 0.14298498 0.15133199 0.34280886 0.40324368 -1.219364 1.42134745
0.88 0.35265992 0.12437172 0.13299768 0.31573918 0.37836507 -1.1867631 1.3794074
L = 24
T <M2> <M2>2 <M4> g(L/2) g(L/4) E Cv
0.3 0.99932288 0.99864621 0.99864754 0.99932176 0.99932169 -1.99865435 0.03346411
0.32 0.9988155 0.99763238 0.99763477 0.99881342 0.99881339 -1.9976514 0.0516835
0.34 0.99804167 0.99608718 0.99609115 0.99803803 0.99803827 -1.9961309 0.0753668
0.36 0.99693819 0.99388578 0.99389211 0.99693244 0.99693326 -1.99397005 0.10600917
0.38 0.995379 0.99077936 0.99078913 0.99537076 0.99537102 -1.99094375 0.14407146
0.4 0.99322048 0.98648691 0.98650157 0.99320993 0.99320906 -1.98678945 0.19064773
0.42 0.99045444 0.98099999 0.98102149 0.99043881 0.9904391 -1.98153245 0.24669574
0.44 0.98689323 0.97395824 0.97398894 0.9868698 0.98687123 -1.97482855 0.31086276
0.46 0.98224816 0.96481144 0.9648547 0.98221892 0.9822164 -1.96623355 0.3854912
0.48 0.97652444 0.95359998 0.95365999 0.9764814 0.97648415 -1.95581115 0.46929393
0.5 0.96937652 0.93969086 0.93977472 0.96932036 0.9693249 -1.9430543 0.5718398
0.52 0.96054513 0.922647 0.9227627 0.96046687 0.96046896 -1.9276895 0.68687405
0.54 0.94961135 0.90176183 0.90192262 0.94949639 0.94950124 -1.90925235 0.81538827
0.56 0.93620512 0.87648016 0.87670536 0.93604978 0.93605248 -1.8873511 0.97194241
0.58 0.91989531 0.84620758 0.84652812 0.91965097 0.91967084 -1.86188275 1.1439481
0.6 0.89923605 0.80862571 0.80908653 0.89884672 0.89889264 -1.83118335 1.3347683
0.62 0.87340967 0.76284477 0.76355363 0.87277687 0.8729325 -1.79527435 1.60437815
0.64 0.83973306 0.70515283 0.70628728 0.83861658 0.83911726 -1.7522131 1.88747065
51
T <M2> <M2>2 <M4> g(L/2) g(L/4) E Cv
0.66 0.7950754 0.63214602 0.63413509 0.79289025 0.79451338 -1.7011236 2.30169545
0.68 0.73144434 0.53501526 0.53897709 0.72666582 0.73200955 -1.639272 2.8477806
0.7 0.63817784 0.40728083 0.41452455 0.62770055 0.6430499 -1.5635819 3.3812047
0.72 0.53913462 0.2906738 0.29834338 0.52162106 0.55035108 -1.489856 2.9102459
0.74 0.46278219 0.21417251 0.22026347 0.44009799 0.47874643 -1.4304931 2.22716675
0.76 0.40998849 0.16809477 0.17326535 0.38415601 0.42825449 -1.38377405 1.83191455
0.78 0.36771681 0.13521718 0.14011691 0.34002917 0.38747402 -1.3430495 1.6635398
0.8 0.33005229 0.10893631 0.11402274 0.30070966 0.35065047 -1.30480985 1.58422535
0.82 0.29402948 0.0864548 0.09181509 0.2628913 0.31552574 -1.26821115 1.52756685
0.84 0.25858511 0.06686787 0.07254707 0.22580636 0.28077213 -1.2323799 1.5094719
0.86 0.22446514 0.05038791 0.05627922 0.19037912 0.24737784 -1.19757775 1.4990647
0.88 0.19081586 0.03641309 0.04217799 0.15556083 0.21404794 -1.162172 1.49111465
L = 48
T <M2> <M2>2 <M4> g(L/2) g(L/4) E Cv
0.3 0.99938323 0.99876682 0.99876712 0.99938298 0.99938296 -1.99877355 0.03061875
0.32 0.99889943 0.99780008 0.99780062 0.99889892 0.99889896 -1.9978177 0.04810137
0.34 0.99816994 0.99634323 0.99634415 0.99816907 0.9981692 -1.99638115 0.07090271
0.36 0.99709922 0.99420685 0.99420834 0.99709822 0.9970982 -1.9942865 0.10022581
0.38 0.99561658 0.99125239 0.99125467 0.99561487 0.99561526 -1.99140315 0.13619463
0.4 0.99357724 0.98719572 0.98719923 0.99357486 0.99357517 -1.9874749 0.18379791
0.42 0.99088884 0.98186066 0.98186569 0.99088672 0.99088635 -1.98234105 0.23268807
0.44 0.98741995 0.97499814 0.97500542 0.98741687 0.98741648 -1.97580595 0.29747875
0.46 0.98297461 0.96623907 0.96624925 0.98296969 0.98296927 -1.9675467 0.36704221
0.48 0.97740227 0.95531519 0.95532954 0.97739644 0.97739697 -1.95736565 0.45413743
52
0.5 0.97047451 0.94182079 0.94184062 0.97047068 0.97046837 -1.94496645 0.54882672
0.52 0.96195823 0.92536366 0.92539144 0.9619489 0.96194884 -1.9300581 0.66690108
0.54 0.95137268 0.90510998 0.90514825 0.95135812 0.95136062 -1.91206505 0.79080278
0.56 0.93833991 0.88048183 0.8805354 0.93831826 0.93831894 -1.89072765 0.9346485
0.58 0.92224884 0.85054294 0.85061812 0.92221913 0.92221361 -1.8653884 1.0927743
0.6 0.90229875 0.81414308 0.81425429 0.90224079 0.90224134 -1.8355883 1.3091815
0.62 0.87702894 0.76917984 0.76934887 0.87693186 0.87693338 -1.80028385 1.5435487
0.64 0.84409401 0.71249489 0.71277911 0.84390069 0.84389413 -1.7582568 1.8795212
0.66 0.7995907 0.6393457 0.6398586 0.79911123 0.79918434 -1.70783105 2.2499537
0.68 0.73479769 0.53992892 0.5411151 0.73342775 0.73417046 -1.6465334 2.81114075
0.7 0.621773 0.38660633 0.3907986 0.61587124 0.62325911 -1.56878235 3.8433421
0.72 0.45485316 0.20689783 0.2124107 0.43808575 0.46623012 -1.4825069 3.1961495
0.74 0.36111511 0.13040684 0.13395875 0.33895898 0.37715573 -1.42404175 2.12830645
0.76 0.30417947 0.09252627 0.09585829 0.27963248 0.32158078 -1.37937775 1.83061875
0.78 0.25584432 0.06545801 0.06898139 0.22965022 0.2739984 -1.33877815 1.6832235
0.8 0.20851465 0.0434817 0.04735967 0.18051902 0.22754827 -1.2994462 1.6738734
0.82 0.16320023 0.02663575 0.0305018 0.13381901 0.18278926 -1.26168735 1.61154835
0.84 0.12172751 0.01481871 0.01820098 0.09128539 0.14071372 -1.2241617 1.5700371
0.86 0.08879484 0.0078857 0.01040466 0.05855855 0.10588495 -1.1887846 1.4928035
0.88 0.06471247 0.00418873 0.00588345 0.03584699 0.07868605 -1.1546939 1.4041453