27
Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto Ditinjau Dari Teori Mas Kawin Oleh, Romi Adi Kurnia Bangngu NIM: 712010032 JURNAL Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi Program studi Teologi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015

Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto

Ditinjau Dari Teori Mas Kawin

Oleh,

Romi Adi Kurnia Bangngu

NIM: 712010032

JURNAL

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian

Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi

Program studi Teologi

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2015

Page 2: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto
Page 3: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto
Page 4: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto
Page 5: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto
Page 6: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto

Ditinjau Dari Teori Mas Kawin

Abstrak

GKS Jemaat Kambaniru merupakan gereja yang jemaatnya mayoritas

berasal dari suku Sabu, masyarakat suku Sabu mempunyai salah satu adat

istiadat yang sudah mendarah daging dan harus dilakukan dalam upacara

perkawinan yaitu Kenoto. Kenoto dalam bahasa Sabu, sebenarnya berarti

tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh kaum

pria dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan. Pada dasarnya

perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang

tetap dan setiap unsur memiliki maknanya sendiri. Dalam tradisi Do

Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau harga tidak ada yang

dititik beratkan (beban) kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah

diketahui bersama syarat-syarat dalam pedai kebue (bicara harga) yaitu

harga mahar harus sesuai dengan harga mahar dari ibu mempelai wanita

dan adapun anggapan orang Sabu bahwa seberapa pun harga yang dibawa

oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau

sesuai dengan harga. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh

keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan

hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon

mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Metode penelitian kualitatif

dan dipaparkan hasilnya secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan

bahwa, di GKS Jemaat Kambaniru telah mengalami pergeseran makna

Kenoto, di mana kenyataan yang terjadi saat ini adalah, harga atau nilai

Kenoto menjadi tolak ukur harga diri dan prestise seseorang. Kenoto

bukan hanya bentuk penghargaan akan perempuan semata tetapi untuk

menunjukkan status sosial dan kebanggaan keluarga di dalam kehidupan

bermasyarakat sehingga Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan

perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan

juga bentuk penghargaan terhadap harga diri perempuan.

Kata Kunci : Gereja, Sabu, Kenoto

Page 7: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

1

Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto

Ditinjau Dari Teori Mas Kawin

ROMI ADI KURNIA BANGNGU

712010032

PENDAHULUAN

Kebudayaan adalah “Notre heritage n’est precede d’aucun testamen”‟ atau warisan yang

diturunkan pada kita tanpa surat wasiat (René Char, seorang penyair Prancis).1Kebudayaan

merupakan bagian dari kenyataan hidup manusia, di mana pun mereka hidup. Menurut Ralph

Linton, “kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai

sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan.”2

Indonesia merupakan Negara dengan beragam suku di dalamnya. Setiap suku memiliki

kebudayaan dan ciri khas mereka sendiri, memiliki adat istiadat, bahasa, simbol dan norma

aturan yang mereka pegang secara turun temurun. Semuanya itu membuat suku yang satu akan

terlihat berbeda dengan yang lainnya. Setiap unsur dalam suatu kebudayaan juga disebut

simbol dan ada suatu diantara banyak unsur kebudayaan yang berfungsi sebagai pusat untuk

mengintegrasikan unsur yakni unsur upacara, simbol dimaksud adalah dapat berupa benda,

peristiwa, tingkah laku dan upacara-upacara.3Upacara perkawinan adalah salah satu simbol

budaya yang juga hidup dalam peradaban manusia. Dalam sistem perkawinan selalu ada simbol

pengikat atau „harga‟ tanda sahnya sebuah ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan

perempuan dan hal itu dikenal dengan istilah mahar atau mas kawin. Menurut W.J.S.

1Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2011),19.

2Ralph Linton, dalam Leonard Siregar ‘Antropologi Dan Konsep Kebudayaan’,http://papuaweb.org

(Accessed Agustus 21, 2014; 11:23WIB).

3Clifford Geertz, Kebudayaan Dan Agama (Yogyakarta : Kanisius,1993), 36.

Page 8: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

2

Poerwadarminta dikatakan, bahwa “mahar adalah mas kawin atau pemberian dari mempelai

pria kepada mempelai wanita”.4 Mahar atau mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak

mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari

mempelai perempuan) pada saat pernikahan.

Koentjaraningrat, seorang Antropolog berpendapat bahwa mas kawin mempunyai arti

sebagai berikut :

Mas kawin adalah jumlah harta yang diberikan oleh keluarga pihak pemuda kepada gadis dan

kaum kerabat gadis. Pada mulanya mas kawin itu berarti sebagai ganti rugi yakni dalam suatu

kelompok manusia di mana setiap potensi tenaga yang terdapat dalam kelompok kecil terutama

dalam keluarga kecil sangat penting sebab jika setiap kali dari kelompok itu diambil seorang

gadis maka kelompok ini akan menderita kerugian, oleh sebab itu mas kawin dianggap sebagai

pengganti kerugian. Besar kecilnya mas kawin berbeda-beda pada berbagai suku bangsa,

kadang-kadang besar-kecilnya mas kawin harus ditetapkan secara berunding antara kedua

belah pihak yang bersangkutan.5

Disamping itu, menurut Koentjaraningrat ada beberapa faktor yang umumnya dipakai

dalam menentukan besar kecilnya harga mas kawin, yaitu: kedudukan/status sosial, kepandaian,

kecantikan dan umur. Lalu kemudian muncul pertanyaan, siapa yang berhak menerima harta mas

kawin? Menurut Koentjaraningrat, dalam tradisi masyarakat adat yang berhak menerima harta

mas kawin adalah: pertama mas kawin diberikan kepada kaum kerabat si gadis yang diterima

oleh orang yang sudah ditentukan. Kedua mas kawin diberikan kepada si gadis. Ketiga mas

kawin diberikan kepada si gadis dan kerabatnya.

Pergeseran makna yang terjadi di dalam tradisi Kenoto karena budaya perkawinan di

Sumba memakai Belis sebagai simbol untuk melamar seorang wanita yang sudah diwariskan dari

nenek moyang orang Sumba secara turun-temurun serta Belis menandakan harga manusia.Orang

Sabu yang awalnya tidak mengenal budaya perkawinan orang Sumba yaitu Belis karena hidup

berdampingan dengan orang Sumba maka terjadilah akulturasi (penggabungan duabudaya atau

lebih yang saling mempengaruhi) sehingga ada hal-hal yang ikut terbawa dalam tata hidup orang

4W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995, ),619.

5 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), 94-96.

Page 9: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

3

Sabu diantaranya Kenoto. Sekarang harga Kenoto ditentukan berdasarkan pendidikan, latar

belakang keluarga, pekerjaan si gadis dan lain-lain.Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan

perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan juga bentuk

penghargaan terhadap harga diri perempuan.

Namun yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah tentang budaya perkawinan dalam

masyarakat Sabu yang disebut Kenoto dengan fokus pembahasan tentang pelaksanaan budaya

Kenoto dalam kehidupan orang Sabu yang lahir dan hidup menetap di Pulau Sumba, khusunya di

GKS Jemaat Kambaniru, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang adalah mayoritas jemaatnya

yaitu suku Sabu.

Kata Kenotodalam bahasa Sabu, sebenarnya ialah tempat sirih yang terbuat dari daun

lontar dan khusus dipakai oleh kaum pria. Sedangkan tempat sirih pinang yang khusus dipakai

oleh kaum wanita adalah Kepepe. Kedua-duanya terbuat dari daun lontar dan sesekali juga ada

yang dibuat dari daun pandan, yaitu sejenis pohon yang tumbuh di tepi sungai.Pemuda atau

pemudi yang sudah dewasa dan siap nikah disebut Kepai. Pada dasarnya perkawinan adat Sabu

atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang tetap dan setiap unsur memiliki maknanya

sendiri.6

Sebenarnya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau harga

tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama

syarat-syarat dalam pedai kebue (bicara harga) dan seberapa pun harga yang dibawa oleh

keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan harga. Oleh

karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai

itu sendiri melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon

mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah, harga atau

nilai Kenoto menjadi tolak ukur harga diri dan prestise seseorang. Kenoto bukan hanya bentuk

penghargaan akan perempuan semata tetapi untuk menunjukkan status sosial dan kebanggaan

keluarga di dalam kehidupan bermasyarakat.

6Yunita Wadu, Kebudayaan Sabu, http://yunita-wadu.blogspot.com (Accessed Agustus 21, 2014 ;

15:00WIB).

Page 10: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

4

GKS Jemaat Kambaniru, harus lebih teliti dalam melihat budaya Kenoto dalam pergeseran

makna hidup orang Sabu, supaya jemaat tidak hanya mementingkan besarnya harga Kenototetapi

harus melihat pergeseran nilai-nilai di dalamnya. Gereja juga harus mampu membuat jemaat

sadar bahwa tidak hanya melihat besarnya jumlah pemberian dan stratifikasi sosial dari kedua

belah pihak yang akan melakukan suatu proses adat Kenoto. Oleh karena itu gereja harus

meyakinkan jemaat agar jangan melihat Kenoto sebagai sesuatu hal yang materialistis tetapi

menemukan kembali makna Kenoto sebagai suatu simbol ikatan perjanjian adat.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melihat adanya pergeseran nilai harga

mas kawin dalam perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk

meneliti tentang bagaimana pemaknaan orang Sabu yang berdomisili di Kambaniru, Sumba

Timur tentang Kenoto dan bagaimana tanggapan GKS Jemaat Kambaniru tentang Kenoto. Oleh

karena itu, judul penulisan tugas akhir ini adalah “Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap

Makna Tradisi Kenoto” Ditinjau Dari Teori Mas Kawin.

Berdasarkan judul penulisan tugas akhir, maka rumusan masalah ialah apa makna Kenoto

bagi orang Sabu di GKS Jemaat Kambaniru tentang adat Kenoto saat ini? Melalui penelitian ini

diharapkan Orang Sabu dalam hal ini yang juga adalah jemaat GKS Kambaniru menemukan

pemaknaan yang sesungguhnya tentang Kenoto. Pemaknaan yang tidak berpusat pada prestise

tetapi lebih pada menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Kenoto itu sendiri.Bagi GKS Jemaat

Kambaniru, di mana gereja juga berperan sebagai kontrol sosial sehingga diharapkan juga dapat

terus memantau perubahan sosial dalam jemaat dan dapat menuntun jemaat untuk melestarikan

nilai-nilai luhur dari budaya setempat.

Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Metode

penelitian ini bermaksud mendeskripsikan sekaligus menjelaskan sejumlah variabel dan

menganalisa hubungan antar variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang

diteliti.Metode ini memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian

yang bersifat aktual, serta menggambarkan tentang variabel-variabel yang diteliti.7

7Halari H. Nawawi,Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1983) 63

Page 11: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

5

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu jenis penelitian dengan

mengumpulkan bahan-bahan informasi dengan melakukan deskripsi tentang kehidupan

masyarakat dalam bentuk penguraian fenomena yang ada secara detail dan jelas dalam bentuk

kalimat-kalimat serta penelitian akan dilakukan di Waingapu, Sumba Timur khususnya di GKS

Jemaat Kambaniru dengan cara observasi dan interview. Satuan pengamatan adalah bagaimana

kehidupan Orang Sabu yang hidup di Sumba tepatnya di Kambaniru, khususnya dalam

melaksanakan Perkawinan adat Kenoto dan yang menjadi satuan analisa adalah bagaimana sikap

GKS Jemaat Kambaniru terhadap adat Kenoto.

Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data melalui kepustakaan dari

berbagai buku dan jurnal. Kepustakaan ini bermanfaat sebagai landasan teoretis yang akan

menjadi acuan dalam menganalisa data penelitian lapangan, sehingga menjawab rumusan

masalah penelitian. Pengamatan dan (interview) wawancaradilakukan untuk melihat proses

pelaksanaan perkawinan adat Kenoto secara langsung. Sedangkan teknik (interview) wawancara

bertujuan untuk mendapatkan data tentang masalah yang diteliti. (interview) wawancara

memakai media rekaman, audio, dengan responden. Wawancara Bentuk wawancara yang

digunakan ialahuntuk mengumpulkan data-data yang relevan, melalui wawancara terpimpin. Ini,

ditujukan kepada para pemuka adat sebagai wakil dari masyarakat Sabuyang berdomisili di

Kambaniru dan Pemimpin gereja. Wawancara dilakukan penulis terhadap informan kunci atau

orang yang dianggap memiliki kompetensi serta pengetahuan permasalahan tentang objek yang

diteliti.

Setelah membahas tentang latar belakang, tujuan dan metode yang digunakan dalam

penulisan tugas akhir ini, maka selanjutnya penulis akan memaparkan landasan teori tentang

definisi pernikahan, yaitu pernikahan menurut kesepakatan dan sejarah, pernikahan dalam

pemahaman dogma gereja.

Pernikahan: Kesepakatan Dan Sejarah

Kesepakatan nikah adalah unsur konstitutif dan tak tergantikan dari perkawinan. Hal ini

sesuai dengan doktrin Katolik bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak atau perjanjian timbal

balik antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk persekutuan seluruh

hidup. Sebagai makhluk rasional dan bebas, yang memiliki hak eksklusif atas penentuan nasib

Page 12: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

6

sendiri, tindakan memberikan diri sendiri (self giving) dalam kesepakatan nikah tidak pernah bisa

ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh kehendak pribadi. Sehingga unsur pembangun satu-

satunya dari perkawinan sebagai perjanjian interpersonal ialah kesepakatan dua pribadi (seorang

laki-laki dan seorang perempuan) yang konkret, riil, dan unik.Jadi, sebelum menjadi objek

pengaturan hukum, kesepakatan nikah dituntut pertama-tama oleh hakikat dan kodrat

perkawinan itu sendiri, dan terkait langsung dengan aspek-aspek internal dari kedua pribadi yang

menikah. Sedangkan kedua unsur atau persyaratan lain, yaitu kapasitas yuridis dan tata

peneguhan kanonik, merupakan penetapan hukum karena alasan-alasan eksternal atau di luar

subjek manusia.8

Kesepakatan nikah berarti berbicara mengenai subjek yang melakukan dan juga objek

kesepakatan nikah itu sendiri. Kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak seorang laki-laki dan

seorang perempuan (subjek) untuk membangun persekutuan suami-istri (objek). Subjek dan

objek saling melengkapi dan saling memberi spesifikasi. Subjek yang membuat kesepakatan

nikah adalah pribadi manusia yang rasional dan bebas. Ia bertindak dengan menggunakan akal

budi dan kehendak bebasnya. Dari sudut subjek, kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak

(human act), yang dilakukan berdasarkan kemampuan spiritual yang diterangi oleh akal budi,

sehingga seseorang memahami dan menghendaki objek tertentu sebagai suatu kebaikan.9

Ada mekanisme psikologis dalam kesepakatan nikah, yang melibatkan unsur intelektif

(akal budi) dan unsur volitif (kehendak) dari subjek.Selanjutnya, subjek pelaku melakukan

kesepakatan nikah secara benar sejauh ia berelasi dengan isi dari kesepakatan nikah itu sendiri,

yakni dengan objeknya. Menyepakati berarti ada sesuatu yang disepakati (objek). Objek

kesepakatan ialah perkawinan itu sendiri sebagai lembaga natural yang diciptakan oleh Allah

sendiri. Apa pun yang diciptakan oleh Allah adalah benar, dan yang benar identik dengan

kebaikan.10

Ada gereja yang menganggap pemberkatan nikah sebagai upacara gerejani yang bersifat

sakramentil, ada yang menganggapnya sebagai kasualia (semi sakramentil) yang kurang bersifat

sakramentil dan ada pula yang menganggapnya sebagai pelayanan yang biasa saja. Banyak

8Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 18.

9 Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 18.

10

Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 19.

Page 13: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

7

gereja di Indonesia yang beranggapan, bahwa tugas gereja bukan saja untuk memberkati nikah

anggota-anggotanya, tetapi juga untuk meneguhkan nikah itu. Berhubungan dengan itu akta

gerejani ini mereka tidak mau sebut „pemberkatan nikah‟, tetapi „peneguhan dan pemberkatan

nikah‟. Perkawinan adalah suatu peraturan dari Allah (Kej 2:24; Mat 19:3), ia berlaku untuk

seumur hidup (Mat 19:6), ia mencerminkan hubungan antara Kristus dan JemaatNya (Ef 5:22-

23), karena itu ia harus dijunjung tinggi oleh anggota-anggota gereja (Ibrani 13:4), dan lain-

lain.11

Perkawinan adalah pertama-tama soal keluarga atau famili : mereka yang mengadakan

perundingan, mereka yang menetapkan „mas kawin‟ pada orang Yahudi „mahar‟, mereka yang

memimpin upacara perkawinan, dan sebagainya. Menurut peraturan-peraturan ini suatu

perkawinan adalah sah, apabila berdasarkan atas persetujuan kedua pihak (pria dan wanita),

dengan atau tanpa upacara. Di samping peraturan-peraturan perkawinan, gereja juga mengambil

alih rupa kebiasaan Romawi, misalnya : pemasukan cincin ke jari manis dari tangan kiri wanita

beberapa waktu sebelum perkawinan berlangsung, pemakaian tudung, pemakaian mahkota dan

pembayaran mas kawin.12

Tanpa peneguhan dan pemberkatan (yang berlangsung dengan penumpangan tangan)

perkawinan anggota-anggota gereja tidak dianggap sah.Dengan jalan demikian lama-kelamaan

upacara gerejani ini berkembang menjadi „misa nikah‟, seperti yang kita temui dalam dokumen-

dokumen liturgia lama. Dalam doa-doa nikah yang terdapat dalam dokumen-dokumen lama itu

bukan saja diminta kepada Tuhan, supaya Ia memimpin, menjaga dan memelihara pengantin

laki-laki dan pengantin perempuan dalam hidup mereka, tetapi juga supaya Ia memberkati

perkawinan mereka dengan „banyak anak‟. 13

Perkawinan bukanlah suatu persetujuan (perjanjian) antara dua orang saja, tetapi antara dua

keluarga. Dalam abad ketigabelas pengaruh itu adalah begitu besar, sehingga gereja dapat

menuntut, bahwa perkawinan anggota-anggotanya harus berlangsung di bawah pimpinan seorang

rohaniawan. Perkembangan ini memberikan kemungkinan untuk menarik perkawinan ke dalam

11 J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 207.

12

J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 208- 109.

13

J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 210.

Page 14: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

8

wewenang gereja dan menggantikan undang-undang penikahan pemerintah dengan undang-

undang pernikahan gerejani. Ahli-ahli teologia mulai menekankan, bahwa perkawinan adalah

suatu „sakramen‟.Mula-mula perkataan itu mereka pakai hanya sebagai indikasi dari perkawinan

yang menghiaskan kesatuan antara Kristus dan jemaatNya, tetapi lama-kelamaan perkawinan

mereka anggap sebagai alat anugerah dan mereka samakan dengan baptisan dan ordinasi

(penahbisan).14

Perkawinan orang-orang Kristen bukan saja adalah suatu persekutuan hidup, tetapi juga

suatu persekutuan percaya. Persekutuan percaya ialah, bahwa suami dan isteri dalam hidup

mereka harus mempunyai penyesuaian paham tentang soal-soal yang prinsipil, seperti: makna

hidup ini, maksud dan tujuan perkawinan, tugas suami dan isteri, tanggung jawab orang tua,

pendidikan anak-anak, dan lain-lain.15

Perkawinan, seperti yang kita katakan di atas, adalah suatu persekutuan hidup: suatu

persekutuan hidup antara suami dan isteri. Artinya: antara duaorang yang pada satupihak berbeda

(sebagai pria dan wanita), tetapi yang pada pihak lain sama (sebagai manusia yang diciptakan

menurut gambar Allah). Keduanya merupakan suatu dwitunggal: suatu dwitunggal yang hidup

bersama dan yang bekerja bersama. Perbedaan mereka sebagai pria dan wanita dikehendaki oleh

Allah.Maksudnya dengan perbedaan itu ialah, supaya mereka saling membantu, saling mengisi

dan saling melengkapi.16

Perkawinan bukan saja dianggap sebagai soal suami dan isteri, tetapi juga sebagai soal

orangtua dan keluarga. Suami dan istri yang kawin langsung atau tidak langsung berhubungan

dengan orangtua dan keluarga mereka. Karena itu soal yang harus mereka bicarakan bersama

ialah: Bagaimanakah hendaknya sikap mereka nanti terhadap orangtua dan keluarga mereka?

Dan dari suami dan isteri kita harapkan kesadaran, bahwa hubungan dengan orangtua dan

keluarga adalah sesuatu yang penting dan karena itu ia harus diperhatikan dan dibina dengan

baik.

14

J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 211-212. 15

J.L. Ch. Abineno, Perkawinan (persiapan, persoalan-persoalan dan pembinaannya), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 14-15.

16

J.L. Ch. Abineno, Perkawinan (persiapan, persoalan-persoalan dan pembinaannya), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 16.

Page 15: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

9

Nikah adalah suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Nikah adalah tata-tertib suci

yang ditetapkan oleh Tuhan, khalik langit dan bumi; di dalam peraturan suci itu diaturnyalah

hubungan antara pria dan wanita. Sejak pada mulanya Tuhan pun menghendaki supaya seorang

laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan karib dengan isterinya, sehingga mereka menjadi

sedaging (Kejadian 2:24).17

Iman Kristen selalu berpegang teguh pada pewahyuan (Kej 2:18-24) bahwa

perkawinan berasal dari Allah sendiri, yang menghendaki suami-istri pertama sebagai awal

kodrati dari segenap umat manusia. Perkawinan harus meneruskan hidup umat manusia. Sejak

awal, persatuan pria dan wanita mempunyai duaciri pokok, yakni monogami dan langgeng. Hal

itu kemudian dimaklumkan oleh Injil atas wewenang Yesus, yang menegaskan kepada orang

farisi dan para rasul bahwa perkawinan itu dari dirinya sendiri haruslah terbentuk dari dua orang

saja, pria dan wanita, yang membentuk satu daging saja dan ikatan itu atas kehendak Tuhan

sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorang pun yang boleh menceraikannya (Mat 19:5-6).18

Pernikahan:Dogma Gereja

Tentu saja upacara sakramen sangat penting bagi pasutri yang bersangkutan. Tetapi

upacara itu bahkan lebih penting lagi bagi umat beriman. Upacara perkawinan merupakan suatu

tanda dan simbol bagi kita semua di dalam gereja bahwa pasutri ini memperoleh suatu panggilan

yang baru di tengah kita. Perkawinan bukanlah suatu upacara kecil yang diselenggarakan oleh

orang tua yang menyayangi anaknya; perkawinan adalah suatu upacara tahbisan.19

Upacara perkawinan juga sangat penting sebagai pendidikan mengenai makna sakramen

mereka. Upacara itu mengingatkan mereka: “Dengarlah, perkawinan bukanlah urusan kamu

berdua saja. Kami juga terlibat seperti kamu. Kamu harus ingat akan kami dan menjadikan kami

bagian dari cintamu.” “Perkawinan adalah sakramen yang memberikan hidup. Hormatilah

pasutri. Dengarlah mereka dengan setia. Mereka telah dipilih dari tengah kita untuk menjadi

17 J. Verkuyl, Etika Seksuil : Etika Kristen Jilid II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1957), 52.

18

Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 76.

19 FR. Chuck Gallagher, S.J. Pasutri Dua Seuntai, (Ende - Flores: Nusa Indah, 1991), 76.

Page 16: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

10

nabi, yang mewartakan siapakah kita sebagai umat Allah.” Upacara perkawinan mengundang

saudara-saudari seiman untuk memandang dan bersikap kepada pria dan wanita itu secara baru.

Sekarang mereka bukan dua lagi. Kita dipanggil untuk mendengarkan mereka, karena mereka

membangun kebersamaan mereka untuk mempelajari cara hidup kita bersama sebagai gereja.20

Apabila perkawinan di dalam gereja tidak berbeda dengan perkawinan yang kita lihat

disekitar kita, maka akan sangat sulit bagi gereja sebagai keseluruhan untuk menyadari

kekayaannya. Sakramen perkawinan dipanggil untuk mewahyukan gereja itu sendiri; untuk

memberikan gereja jati dirinya yang khas. Jati diri kita tidak berasal dari dunia ini. Maka kalau

perkawinan di dalam gereja berasal dari dunia ini, mengungkapkan nilai-nilai dari dunia ini,

maka tidak usah heran mengapa gereja begitu bersifat duniawi. Dalam masa dan abad kita

sakramen perkawinanlah yang dapat mengoreksi penyimpangan-penyimpangan gereja. Cinta

pasutri satusama lain yang dilaksanakan secara istimewa dan yang akan menghasilkan panggilan

untuk memperbaharui gereja dan untuk mengadakan rekonsiliasi di antara kita.21

Lebih lanjut, setelah memaparkan definisi tentang pernikahan berdasarkan kesepakatan

dan sejarah serta pernikahan dalam pemahaman dogma gereja maka penulis akan menjelaskan

hasil penelitian yaitu gambaran secara umum GKS Jemaat Kambaniru, kenoto dari perspektif

orang Sabu dan dari perspektif GKS Jemaat Kambaniru. Bagian ini bertujuan untuk melakukan

analisa pada tahap selanjutnya tentang tanggapan GKS Jemaat Kambaniru terhadap makna

kenoto. Adapun pemaparan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, sebagai berikut:

Gambaran Umum GKS Jemaat Kambaniru

Kabupaten Sumba Timur memiliki 96 pulau, baik yang berpenghuni maupun yang belum

berpenghuni. Kabupaten Sumba Timur terletak diantara 119°45- 120° bujur Timur dan 9°16-

10°20 Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah yaitu sebelah Timur berbatasan dengan laut

Sabu, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah, sebelah Utara berbatasan

20 FR. Chuck Gallagher, S.J. Pasutri Dua Seuntai, (Ende - Flores: Nusa Indah, 1991), 77.

21

FR. Chuck Gallagher, S.J. Pasutri Dua Seuntai, (Ende - Flores: Nusa Indah, 1991), 90-91.

Page 17: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

11

dengan Selat Sumba dan sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia. Secara geografis,

Kabutan Sumba Timur memiliki wilayah seluas 700,5 Km2 sedangkan wilayah laut seluas

8.373,35 Km2 dengan panjang garis pantai 433,6 Km2.22

GKS Jemaat Kambaniru termasuk dalam kabupaten Sumba Timur, GKS Jemaat

Kambaniru terletak kelurahan Kambaniru, kecamatan Kambera, kabupaten Sumba Timur,

provinsi Nusa Tenggara Timur. GKS Jemaat Kambaniru berdiri pada tanggal, 05 Juni 1916.

Sebelum jemaat ini berdiri sendiri, ibadah keluarga telah berlangsung secara bergilir di rumah

tangga warga jemaat. Seorang Zending yang aktif dalam PI pertama di GKS Jemaat

Kambaniruyaitu Pdt. J. J. Van Alphen dari tahun 1889-1893.Setelah beliau kembali diberikan

tugas kepada Simon Lomi Nori. Pada tahun 1894 dilanjutkan oleh Cornelis de Bruyn dan

membimbing GI Thomas Ha‟e Luhi (1902-1940). Disusul oleh Dowe Klass Wielenga (1904-

1907), dan pada tahun 2015 di layani oleh Pdt. Ariyanti Mana, S.Th. Jumlah warga GKS Jemaat

Kambaniru yaitu 5110 jiwa yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2,305 jiwa, sedangkan jumlah

warga jemaat perempuan berjumlah 2,805 jiwa.Jemaat ini pun mempunyai visi dan misi. Visinya

yaitu Kambaniru yang damai sejahtera di mana warga jemaatnya hidup dalam kasih,

kebersamaan, sukacita, mandiri dan terpelihara keutuhan ciptaan Tuhan. Misinya yaitu membina,

memperlengkapi dan memperdayakan pelayanan dan warga jemaat sebagai tubuh Kristus agar

mampu mewujudkan Kambaniru yang damai sejahtera dimana warga jemaatnya hidup dalam

kasih, kebersamaan, sukacita, mandiri dan terpeliharanya keutuhan ciptaan Tuhan.23

Kenoto:Perspektif Orang Sabu

Aturan dan norma yang ada di masyarakat tentu dipengaruhi oleh tradisi yang ada dan

berkembang di masyarakat. Tradisi disebut juga sebagai kebiasaan, dalam pengertian yang

paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari

kehidupan suatu kelompok masyarakat. Begitupun dengan tradisi di masyarakat Sabu yang

berdomisilih di Sumba Timur yang mengenal adanya tradisi Kenoto. Menurut responden pertama

yaitu bapak MR (inisial) Kenoto adalah pernikahan adat suku Sabu. Kenoto bukan sebuah acara

22http://sumbatimurkab.go.id/kondisi-geografi.html, (Accessed Agustus 24, 2015; 19:00WIB).

23

Majelis Jemaat (BPMJ) Statistik Jemaat Gereja GKS Kambaniru, (Waingapu 2015).

Page 18: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

12

seremonial, tapi mengandung pesan filosofi adat, di mana seorang laki-laki dan perempuan sah

membentuk sebuah rumah tangga jika sudah melalui adat Kenoto, masing-masing pihak akan

tahu hak dan kewajiban, serta tahu apa resiko yang harus ditanggung jika melanggar kesepakatan

yang sudah disepakati saat berlangsungnya Kenoto.24

Menurut responden kedua yaitu bapak JU

(inisial), bagi orang Sabu yang memegang teguh adat budaya Kenoto, tentu dia akan tetap

menghalangi pernikahan gereja itu sebelum anaknya di Kenoto. Maka itu sering terjadi ada yang

batal nikah karena belum di Kenoto, sehingga Kenoto merupakan sebuah tradisi yang dianggap

lebih penting dari pada pernikahan gereja.25

Sehingga masyarakat Sabu yang berada di Sumba

Timur yang belum melakukan tradisi Kenoto dianggap sebagai pasangan kumpul kebo dan

mereka akan mendapakan perlakuan yang tidak terhormat.26

Menurut sejarahnya peminangan dilakukan pada hari lodo li (hari bicara) disaat itu

rombongan pihak laki-laki yaitu didalamnya ada mae dan maiki (adik dan kakak dari ayah anak

laki-laki) yang diwakili oleh juru bicara yang disebut mone li mengunjungi rumah perempuan.

Kunjungan ini adalah proses awal sebelum masuk ke acara Kenoto dan disebut dengan

acara „Kedakku Kelae‟ atau yang dikenal dengan „masuk minta‟ (Maho Ami).27

Dalam proses

awal ini pembicaraan yang terjadi hanyalah sekedar menyampaikan maksud dan tujuan

kedatangan rombongan keluarga laki-laki ini adalah untuk meminang anak gadis dan

pembicaraan ini disebut Pedai pe peho’o (bicara saling mengiakan), dalam proses ini utusan

pihak laki-laki hanya membawa rukenana sebagai lambang peminangan.

Sementara itu ayah dari anak perempuan yang akan dipinang (paja wali), didampingi ipar

lelakinya (wui wagi) dan pihak orang tua dari ibu calon mempelai perempuan (pili dida)

bersama-sama berunding menentukan „harga‟calon mempelai perempuan itu. Pedomannya ialah

besar „harga‟ yang dulu telah diserahkan untuk ibu dari calon mempelai perempuan.28

24Hasil wawancara dengan Bapak MR (inisial), 28 Mei 2015 pukul 18.00 WIT.

25

Hasil wawancara dengan Bapak JU (inisial), 26 Mei 2015 pukul 10.00 WIT.

26

Hasil wawancara dengan Bapak DR (inisial), 28 Mei 2015 pukul 16.00 WIT.

27

Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,1983),51.

28

Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu,53.

Page 19: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

13

Jika serah terima telah dilakukan antara mone pedai li (juru bicara dari pihak laki-laki) dan

Mone Uba (Juru bicara dari pihak perempuan), maka akan dilanjutkan pada proses berikut yaitu

Kenoto. Namun biasanya dalam proses maho ami tadi telah dibicarakan dan disepakati tentang

kebue (harga) yang harus disediakan oleh pihak laki-laki bagi pihak perempuan dan pada saat itu

pihak laki-laki hanya boleh mendengarkan dan belum ada proses penawaran.

Tahap Peli kemudian disusuli tahap yang disebut dengan rukenana ae (sirih pinang besar),

yakni pengantaran seekor babi besar oleh pihak lelaki ke rumah mertuanya. Babi ini disebut

wawi rukenana ae, yang kemudian diikuti dengan penyampaian „harga‟ resmi kepada pihak laki-

laki atau yang disebut dengan pepali kebue atau pedae kebue dan pada saat ini kedua calon

mempelai diwakili oleh dara amu (anggota keluarganya).

Kemudian setelah melaporkan niat atau maksud ingin melakukan perkawinan adat kepada

pemerintah setempat atau yang disebut pedelo pa katu, barulah dilakukan pemaho rukenana ae

atau pemaho kenoto (memasukan Kenoto). Pada awalnya „harga‟ atau besaran ihi Kenoto (isi

Kenoto) terdiri dari Kenana Wopaga (sirih yang dikeringkan), Kalla Wohad'a atau Wokoma

(pinang kering yang sudah diiris-iris), Kalla Womuri atau Dowobolo (buah pinang utuh), worara

(uang perak), roro (kalung perak), dan sejumlah uang.29

Termasuk juga doi pa tele (uang di

luar), bada wali atau hewan sembelihan. Ihi Kenoto adalah proses memasukan „harga‟ yang

harus diserahkan oleh pihak calon mempelai laki-laki pada pihak calon mempelai perempuan dan

ihi Kenoto dilakukan di rumah mempelai laki-laki. Setelah semuanya siap baru Kenoto itu

diantar ke rumah mempelai perempuan. Acara penerimaan Kenoto oleh keluarga calon mempelai

perempuan di kediaman perempuan disebut dengan hemata Kenoto dan selanjutnya diikuti

dengan boka Kenoto (pembukaan Kenoto) yang kemudian diikuti dengan pembagian sirih dan

pinang. Kenyataannya tak ada satu pun perkawinan yang dapat memenuhi tuntutan „harga‟ ini

namun tuntutan adat mengharuskan penyebutan besarnya kebue karena dengan demikian

perempuan dinilai tinggi.

Jika ditinjau dari proses dan pola yang terjadi pada masa lalu dan dibandingkan dengan

saat ini adalah masih sama. Namun yang terlihat sedikit beda adalah pada bagian „harga‟ atau

29Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu,53.

Page 20: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

14

maharnya. Pada pelaksanaan Kenoto masa sekarang yang menjadi rukenana atau lambang

pinangan tidak lagi hanya sirih dan pinang saja, tetapi prosesi awal ini disepakati dengan

penyerahan simbol adat, antara lain:30

pertama, Ai atau ei (sarung) yang sesuai udu-kerogo ana

wobanni atau sesuai udu-kerogo mempelai wanita dan dengan berpatokan pada „Hubi Ae atau

Hubi Iki' (motif pada sarung). Kedua, Teru'u (Cincin Tunangan) yang polos tanpa ukiran dan

berat sesuai kemampuan pria. Ketiga, anting, bebas tidak ditentukan (biasa giwang). Keempat,

Keb'ae (kebaya) motif bebas. Kelima,Nalehu (Sapu Tangan) dan semua atribut kewanitaan

(kususnya perangkat dalamnya).

Berdasarkan nilai „harga‟ Kenotoitu sendiri pada masa lalu yang kemudian dibandingkan

dengan nilai „harga‟ pada masa sekarang ini, terdapat perbedaan. Adapun makna dari Mahar saat

ini yaitu:Kenana Wopaga (sirih yang dikeringkan) dengan bentuk seperti di "sate" dan di

upayakan sirih ini berbentuk lingkaran seukuran isi luasnya dalam saku (kantong) tepung terigu

segitiga biru, kira-kira diameter lingkaran 30 cm.Kenana Wo Muri (sirih hijau), 1/8 saku

terigu.Kalla Wohad'a atau Wokoma (pinang kering yang sudah diiris-iris) dengan volume 1/2

saku terigu.Kalla Womuri atau Dowobolo (buah pinang utuh) kira-kira 1/8 saku terigu.Cincin

Emas, polos (tidak boleh bermotif) sesuai kemampuan pihak lelaki tetapi harus ada kalung emas

juga."Daun Sirih", daun sirih ini simbol ihiKenoto yang sebenarnya, berupa Do (uang) yang

disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki dan dalam prosesi hemata Kenoto, nanti akan

dijelaskan berapa lembar yang kalau sekarang dikamuflase dengan hitungan 1 lembar daun sirih

sama dengan Rp.100.000 nilai uang.

Sebenarya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau „harga‟

tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama

syarat-syarat dalam pedae kebue dan seberapa pun „harga‟ yang dibawa oleh keluarga calon

mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan „harga‟. Oleh karena itu yang

mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri

melakukan hanga’do(cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon mempelai wanita

dan seluruh keluarganya.

30Hasil wawancara dengan Bapak AR (inisial), 26 Mei 2015 pukul 16.00 WIT.

Page 21: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

15

Kenoto: Perspektif GKS Jemaat Kambaniru

GKS Jemaat Kambaniru yang mayoritasnya orang Sabu masih tetap mempertahankan

tradisi budaya Kenoto. Prosesi adat ini tetap dijalankan karena mempertahankan atau

menunjukan prinsip-prinsip kasih yang adalah ciri utama kekristenan. Adapun motivasi jemaat

Kambaniru mempertahankan dan tetap melakukan adat Kenoto karena menyangkut harga diri

orang Sabu yang juga secara adat seseorang diikat sah menjadi suami istri Kristen. Karena itu

GKS Jemaat Kambaniru tetap melakukan serta melestarikan tradisi Kenoto yang diwariskan

nenek moyang. Adat dan tradisi budaya Kenoto sudah berlangsung sekian lama dan gereja yang

hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbudaya tetap mendukung dan tidak melarang itu, dan

bukti dukungan gereja yaitu sebelum dan sesudah pelaksanaan Kenoto adanya doa yang

dibawahkan oleh pelayan-pelayan gereja sehingga dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh

orang yang berbudaya serta memegang teguh adat, tetap mengutamakan dan mengandalkan

Tuhan dalam seluruh kegiatan. Tujuan doa ini juga mencangkup ucapan syukur serta mendoakan

kedua mempelai, sehingga mereka pun hidup baik menurut ajaran adat Sabu maupun ajaran

gereja.

Prosesi Kenoto pun GKS Jemaat Kambaniru tetap menjunjung tinggi makna kekristenan

dalam adat istiadat ini, dimana Kenoto bagi jemaat Kambaniru bukan menjadi ajang gengsi tetapi

melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur yang tentunya tidak bertentangan dengan

prinsip kekristenan yaitu kasih, sehingga GKS Jemaat Kambanirupun tidak melarang karena

Kenoto sesuai dengan kontekstualisasi dalam pernikahan Kristen dan ada juga larangan dari adat

istiadat Kenoto yang sesuai dengan nilai kekristenan yaitu seorang laki-laki atau seorang

perempuan tidak boleh selingkuh karena jika kedapatan selinguh akan dikenakan sangsi diusir

dari rumah dengan pakaian di badan, dan masih banyak lagi nilai-nilai kekristenan yang

digunakan oleh pemangku-pemangku adat untuk menasehati mempelai yang hendak menikah

dalam prosesi adat Kenoto.31

Praktek Kenoto juga merupakan perwujudan pengakuan bahwa prinsip pernikahan orang

Sabu adalah monogami bukan poligami ataupun poliandri sebagaimana yang diajarkan dalam

ajaran GKS, karena belum ada praktek Kenoto yang melanggar prinsip pernikahan monogami.

31Hasil wawancara dengan Bapak JU (inisial), 26 Mei 2015 pukul 10.00 WIT.

Page 22: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

16

Tradisi Kenoto tidak boleh menjadi batu sandungan bagi sebuah rumah tangga suku Sabu yang

beragama Kristen (warga GKS) untuk diberkati dihadapan Tuhan dan jemaat-Nya. Sebaliknya

ketika ada ruang yang diberikan gereja dan disepakati oleh pihak keluarga perempuan untuk

berkat gereja maka akan dilaksanakan pemberkatan digereja barulah dilanjutkandengan

Kenoto,tetapi yang harus diingat oleh keluarga laki-laki yaitu tidak boleh melalaikan kewajiban

adat sehingga disebut sebagai orang Sabu yang tidak tahu adat.32

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan dipaparkan, selanjutnya penulis

akan mengkaji hasil penelitian dan landasan teori tentang definisi pernikahan, yaitu pernikahan

menurut kesepakatan dan sejarah, pernikahan dalam pemahaman dogma gereja. Hal ini bertujuan

untuk melihat pergeseran nilai atau harga mas kawin dalam kenoto dan peran GKS Jemaat

Kambaniru dalam adat istiadat kenoto.

Pergeseran Nilai atau Harga Mas Kawin Dalam Kenoto

J.L. Ch. Abineno menyatakan bahwa perkawinan adalah pertama-tama soal keluarga atau

famili : mereka yang mengadakan perundingan, mereka yang menetapkan „mas kawin‟ pada

orang Yahudi „mahar‟, mereka yang memimpin upacara perkawinan, dan sebagainya. Menurut

peraturan-peraturan ini suatu perkawinan adalah sah, kalau ia berdasar atas persetujuan kedua

pihak (pria dan wanita), dengan atau tanpa upacara.33

Sesuai fenomena yang terjadi, GKS Jemaat

Kambaniru juga melakukan hal yang sama, di mana ketika sebelum berlangsung acara adat

Kenoto, terlebih dahulu dilakukan acara adat yaitu hari lodo li (hari bicara) disaat itu rombongan

pihak laki-laki yaitu didalamnya ada mae dan maiki (adik dan kakak dari ayah anak laki-laki)

yang diwakili oleh juru bicara yang disebut mone li mengunjungi rumah perempuan. Kunjungan

ini adalah proses awal sebelum masuk ke acara Kenoto dan disebut dengan acara „Kedakku

Kelae‟ atau yang dikenal dengan „masuk minta‟ (Maho Ami). Dalam proses awal ini

pembicaraan yang terjadi hanyalah sekedar menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan

rombongan keluarga laki-laki ini adalah untuk meminang anak gadis dan pembicaraan ini disebut

Pedai pepeho’o (bicara saling mengiakan), dalam proses ini utusan pihak laki-laki hanya

32Hasil wawancara dengan Bapak AR(inisial), 26 Mei 2015 pukul 16.00 WIT.

33

J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 208- 109.

Page 23: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

17

membawa rukenana sebagai lambang peminangan. Sementara itu ayah dari anak perempuan

yang akan dipinang (paja wali), didampingi ipar lelakinya (wui wagi) dan pihak orang tua dari

ibu calon mempelai perempuan (pili dida) bersama-sama berunding menentukan „harga‟calon

mempelai perempuan itu. Pedomannya ialah besar „harga‟ yang dulu telah diserahkan untuk ibu

dari calon mempelai perempuan.

Alf. Catur Raharso menyatakan bahwa kesepakatan nikah berarti berbicara mengenai

subjek yang melakukan dan juga objek kesepakatan nikah itu sendiri. Kesepakatan nikah adalah

tindakan kehendak seorang laki-laki dan seorang perempuan (subjek) untuk membangun

persekutuan suami-istri (objek). Subjek dan objek saling melengkapi dan saling memberi

spesifikasi. Subjek yang membuat kesepakatan nikah adalah pribadi manusia yang rasional dan

bebas. Ia bertindak dengan menggunakan akal budi dan kehendak bebasnya. Dari sudut subjek,

kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak (human act), yang dilakukan berdasarkan

kemampuan spiritual yang diterangi oleh akal budi, sehingga seseorang memahami dan

menghendaki objek tertentu sebagai suatu kebaikan. Ada juga mekanisme psikologis dalam

kesepakatan nikah, yang melibatkan unsur intelektif (akal budi) dan unsur volitif (kehendak) dari

subjek. Selanjutnya, subjek pelaku melakukan kesepakatan nikah secara benar sejauh ia berelasi

dengan isi dari kesepakatan nikah itu sendiri, yakni dengan objeknya. Menyepakati berarti ada

sesuatu yang disepakati (objek). Objek kesepakatan ialah perkawinan itu sendiri sebagai lembaga

natural yang diciptakan oleh Allah sendiri.Apa pun yang diciptakan oleh Allah adalah benar, dan

yang benar identik dengan kebaikan.34

Sesuai hasil penelitan di GKS Jemaat Kambaniru kesepakatan nikah yang telah dilakukan

oleh kedua belah pihak sebelum berlangsungnya pernikahan yaitu mahar yang harus di bawah

oleh mempelai laki-laki sebenarya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini

mahar atau „harga‟ tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah

diketahui bersama syarat-syarat dalam pedae kebue dan seberapa pun „harga‟ yang dibawa oleh

keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan „harga‟. Oleh

karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai

itu sendiri melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon

34 Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008),

18.

Page 24: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

18

mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Tetapi dimasa sekarang di GKS Jemaat Kambaniru

telah mengalami pergeseran makna dalam hal jumah mahar yang disepakati yaitu jika keluarga

dari mempelai laki-laki tidak bisa mencukupi jumlah mahar yang telah ditentukan oleh pihak

keluarga perempuan maka adat istiadat Kenoto tidak akan berlangsung begitupun dengan jumlah

mahar yang dulunya suku Sabu hanya melihat nominal sesuai dengan jumlah nominal dari

jumlah mahar ibu mempelai wanita sekarang sudah terjadi juga pergeseran di mana nominal

mahar yang harus di lihat dari latar belakang pendidikan mempelai wanita.

Peran GKS Jemaat Kambaniru Dalam Adat Istiadat Kenoto

J.L. Ch. Abineno menyatakan bahwa tanpa peneguhan dan pemberkatan (yang

berlangsung dengan penumpangan tangan) perkawinan anggota-anggota gereja tidak dianggap

sah, dengan jalan demikian lama-kelamaan upacara gerejani ini berkembang menjadi „misa

nikah‟, seperti yang kita temui dalam dokumen-dokumen liturgia lama. Dalam doa-doa nikah

yang terdapat dalam dokumen-dokumen lama itu bukan saja diminta kepada Tuhan, supaya Ia

memimpin, menjaga dan memelihara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dalam hidup

mereka, tetapi juga supaya Ia memberkati perkawinan mereka dengan „banyak anak‟.35

Sesuai

fenomena yang terjadi di GKS Jemaat Kambaniru walaupun pemberkatan nikah sudah dilakukan

di gereja, sedangkan upacara adat Kenoto belum dilakukan maka pernikahan mempelai di gereja

dianggap belum sah karena menurut GKS Jemaat Kambaniru yang masih memegang teguh adat

istiadat Kenoto pernikahan dianggap sah kalau sudah terlebih dahulu melakukan proses adat

Kenoto karena bagi GKS Jemaat Kambaniru Kenoto bukan sebuah acara seremonial, tapi

mengandung pesan filosofi adat, di mana seorang laki-laki dan perempuan sah membentuk

sebuah rumah tangga jika sudah melalui adat Kenoto, masing-masing pihak akan tahu hak dan

kewajiban, serta tahu apa resiko yang harus ditanggung jika melanggar kesepakatan yang sudah

disepakati saat berlangsungnya Kenoto,sehingga tidak dianggap sebagai orang Sabu yang tidak

tau adat. Bagi orang sabu yang memegang teguh adat budaya Kenoto tentu dia akan tetap

menghalangi pernikahan gereja itu sebelum anaknya di Kenoto. Maka itu sering terjadi ada yang

batal nikah karena belum di Kenoto, sehingga Kenoto merupakan sebuah tradisi yang dianggap

35 J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 210.

Page 25: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

19

lebih penting dari pada pernikahan gereja, sehingga masyarakat Sabu yang berada di Sumba

Timur yang belum melakukan tradisi Kenoto dianggap sebagai pasangan kumpul kebo dan

mereka akan mendapakan perlakuan yang tidak terhormat.

Al Purwa Hadiwardoyo menyatakan bahwa iman Kristen selalu berpegang teguh pada

pewahyuan (Kej 2:18-24) bahwa perkawinan berasal dari Allah sendiri, yang menghendaki

suami-istri pertama sebagai awal kodrati dari segenap umat manusia. Perkawinan harus

meneruskan hidup umat manusia. Sejak awal, persatuan pria dan wanita mempunyai dua ciri

pokok, yakni monogami dan langgeng. Hal itu kemudian dimaklumkan oleh Injil atas wewenang

Yesus, yang menegaskan kepada orang farisi dan para rasul bahwa perkawinan itu dari dirinya

sendiri haruslah terbentuk dari duaorang saja, pria dan wanita, yang membentuk satu daging saja

dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorang pun yang

boleh menceraikannya (Mat 19:5-6).36

Sesuai hasil penelitian di GKS Jemaat Kambaniru praktek

Kenoto merupakan perwujudan pengakuan bahwa prinsip pernikahan orang Sabu adalah

monogami dan bukan poligami ataupun poliandri, sebagaiamana yang telah diajarkan oleh ajaran

GKS. Karena selama ini belum adanya praktek Kenoto yang melanggar prinsip pernikahan

monogami. Selain itu GKS Jemaat Kambaniru melibatkan pemimpin-pemimpin gereja dalam

prosesi Kenoto dengan cara adanya doa dalam pembukaan dan penutupan prosesi adat Kenoto di

jemaat Kambaniru.

Setelah membahas teori dan analisa tentang pergeseran nilai atau harga mas kawin dalam

kenoto dan peran GKS Jemaat Kambaniru dalam adat istiadat kenoto, maka selanjutnya akan

disampaikan kesimpulan dan saran dari penulisan ini. Adapun kesimpulan sebagai berikut:

Tradisi Adat Kenoto Yang Telah Terinkulturasi Dengan Budaya Sumba

Indonesia merupakan Negara dengan beragam suku di dalamnya. Setiap suku memiliki

kebudayaan dan ciri khas mereka sendiri, memiliki adat istiadat, bahasa, simbol dan norma

aturan yang mereka pegang secara turun temurun. Begitu pun dengan masyarakat Sabu yang

berada di Sumba Timur, mereka mempunyai salah satu adat istiadat yang sudah mendarah

daging dan harus dilakukan ketika adanya upacara perkawinan yaitu Kenoto. Kenoto dalam

bahasa Sabu, sebenarnya ialah tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh

36 Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 76.

Page 26: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

20

kaum pria dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan. Pada dasarnya perkawinan adat

Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang tetap dan setiap unsur memiliki

maknanya sendiri. Meskipun demikian, sekarang telah terjadi pergeseran makna yang terjadi di

dalam tradisi Kenoto karena budaya perkawinan di Sumba memakai Belis sebagai simbol untuk

melamar seorang wanita yang sudah diwariskan dari nenek moyang orang Sumba secara turun-

temurun serta Belis menandakan harga manusia. Orang Sabu yang awalnya tidak mengenal

budaya perkawinan orang Sumba yaitu Belis karena hidup berdampingan dengan orang Sumba

maka terjadilah akulturasi (penggabungan dua budaya atau lebih yang saling mempengaruhi)

sehingga ada hal-hal yang ikut terbawa dalam tata hidup orang Sabu diantaranya Kenoto.

Sekarang harga Kenoto ditentukan berdasarkan pendidikan, latar belakang keluarga, pekerjaan si

gadis dan lain-lain. Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan perjanjian adat, saat ini telah

berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan juga bentuk penghargaan terhadap harga diri

perempuan. Sebenarya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau

„harga‟ tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui

bersama syarat-syarat dalam pedae kebue dan seberapa pun „harga‟ yang dibawa oleh keluarga

calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan „harga‟. Oleh karena itu

yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri

melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon mempelai wanita

dan seluruh keluarganya.

Lebih lanjut, saran yang dapat diberikan yaitu gereja memiliki tugas memberitakan kabar

baik, tidak menutup kemungkinan gereja hanya memberitakan pada sesama orang Kristen saja,

tetapi gereja juga memberitakan kabar baik untuk semua lapisan masyarakat. Jemaat juga tidak

lepas dari yang namanya lingkungan masyarakat, dan masyarakat terikat dengan budaya. Maka

gereja juga perlu peduli dan memberikan perhatian khusus kepada budaya jemaatnya, dengan

cara membuat ibadah-ibadah dengan memasukan unsur-unsur budaya kedalam ibadah-ibadah

gerejawi. Sehingga dengan cara demikian jemaat tetap terus mengingat dan melestarikan

budayanya.

Page 27: Sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap Makna Tradisi Kenoto

21

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abineno, Ch. L. J. Pemberitaan Firman Pada Hari-Hari Khusus. Jakarta : BPK Gunung Mulia,

1981.

Abineno, Ch. L. J. Perkawinan (Persiapan, Persoalan-Persoalan Dan Pembinaannya). Jakarta :

BPK Gunung Mulia, 1983.

Geertz, Clifford. Kebudayaan Dan Agama. Yogyakarta : Kanisius,1993.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat,

Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju, 2003.

Kana, Nico L. Dunia Orang Sabu. Jakarta: Sinar Harapan,1983.

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1967.

MSF Hadiwardoyo Purwa Al. Perkawinan Dalam Tradisi Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Nawawi,Halari H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press,1983.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1995.

Pr. Raharso Catur Alf. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik. Malang: Dioma,

2008.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius, 2011.

S.J. Gallagher Chuck FR. Pasutri Dua Seuntai, Ende – Flores: Nusa Indah, 1991.

Verkuyl, J. Etika Seksuil, (Etika Kristen). Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1957.

JURNAL

Linton, Ralph. dalam Leonard Siregar „Antropologi Dan Konsep Kebudayaan’,

http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf

WEBSITES

Genggong, Marsia Sumule. Makna Simbol Komunikasi Budaya Dalam Perkawinan Adat Suku

Kulisusu di Kabupaten. Buton Utara,http://komunikasi.unsoed.(Accessed Agustus 21,

2014; 12:00WIB).

Wadu, Yunita. Kebudayaan Sabu, http://yunita-wadu.blogspot.com(Accessed Agustus 21, 2014;

15:00WIB).