Upload
lythuan
View
235
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
SIKAP PENGIKUT SALAFI WAHABI DI INDONESIA
DALAM MASALAH KHILĀFĪYAH
Oleh:
Endang Madali NIM: 12.3.00.1.01.01.0011
Promotor:
Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA
Konsentrasi Syariah
Program Doktor Pengkajian Islam SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
iii
بسم الله الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
ين كلو وكفى باهلل شهيدا .الحمد هلل الذى أرسل رسولو بالهدى ودين الحق ليظهره على الد ر ن فوسنا بهدى موالنا نا ويطه ي نا نبيا ي علمنا الكتاب والحكمة وي زك وأشهد أن ال الو اال اهلل ب عث في
.ت بارك وت عالى Al-ḥamdulillāh, dengan rahmat dan pertolongan Allah swt-lah,
akhirnya selesai juga karya penelitian Disertasi ini. Oleh karenanya penulis
selalu bersyukur atas segala limpahan rezeki-Nya; rezeki pemahaman, rezeki
peluang waktu, rezeki materi dan berbagai macam rezeki lainnya. Salawat
dan salam tercurahkan pada panutan umat manusia, yang telah mengajarkan
kepada kita al-Kitāb, al-Ḥikmah, juga yang telah membersihkan hati kita dari
berbagai kesyirikan, yakni melalui ajaran-ajaran yang telah disampaikannya,
baik via hadis/Sunnahnya maupun dalam memberikan stimulan untuk
memperhatikan alam sekitar kita, beliau adalah Rasulullah Muhammad saw.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat, terima
kasih, dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kedua orang-tua
penulis, yaitu H. Abdul Karim dan Hj. Saʻanah, yang mana atas dukungan
dan doa keduanya, baik siang maupun malam, akhirnya penulis bisa belajar
hingga ke jenjang Program Doktor. Sebagai anak, penulis hanya ingin
mendoakan untuk mereka berdua agar selalu bahagia, baik di dunia maupun
di akhirat kelak. Selanjutnya, dalam kelancaran studi penulis ditentukan pula
bantuan dan dukungan dari keluarga, isteri dan keempat putra-putri kami,
guru-guru, sahabat dan tentu saja lembaga tempat penulis belajar.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Periode 2010-2014), dan Prof.
Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Periode 2015-2019).
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Periode 2010-2015), dan Prof. Dr.
Masykuri Abdillah, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (Periode 2015-2019).
3. Prof. Dr. Suwito, MA, selaku Ketua Program Doktor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (Periode 2013-2015), dan Prof. Dr. Didin Saepudin,
MA, selaku Ketua Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Periode 2015-2019).
iv
4. Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, MA dan Prof. Dr. Hj. Huzaimah
Tahido Yanggo, MA, keduanya selaku Pembimbing/Promotor penulis, di
mana dari ide-idenya yang mencerdaskan dan mencerahkan, sehingga
penulis untuk terus bergerak dalam berpikir guna menyelesaikan
penelitian Disertasi ini.
5. Para verifikator dan penguji, baik di Ujian Proposal Disertasi, Work in
Progress (WIP), Ujian Komprehensif, Ujian Pendahuluan Disertasi
maupun Ujian Promosi Doktor. Mereka itu adalah, di antaranya: Prof.
Dr. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA,
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr.
Murodi, MA, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Yunasril Ali,
MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA, Prof. Dr. Ahmad Rodoni,
MM, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Dr.
Yusuf Rahman, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, dan Dr. Muhbib
Abdul Wahab, MA. Dalam hal ini, penulis perlu sampaikan pula secara
khusus kepada Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD, sebagai inspirasi
awal dalam pemberian judul Disertasi, yang memang sebelumnya beliau
merupakan salah satu tim penguji dalam Ujian Masuk Mahasiswa
Program Magister dan Doktor Semester Gasal 2012/2013, pada Juli-
Agustus 2012.
6. Para dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan motivasi, ilmu pengetahuan, dan bimbingan selama
perkuliahan.
7. Dr. KH. Muhammad Idris Abdul Shomad, MA (Sekjen IKADI [Ikatan
Dai Indonesia] dan Wakil Walikota Depok, periode 2010-2015) dan Dr.
KH. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, MA (Ketua Umum MUI [Majelis
Ulama Indonesia] Kota Depok, periode 2003-2008, 2009-2014 & 2014-
2019). Mereka berdua sebagai pemberi Surat Rekomendasi kepada
penulis untuk dapat melanjutkan ke jenjang Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012.
8. Para donatur penulis, baik secara pribadi maupun instansi, mereka itu di
antaranya: Kedua orang-tua dari isteri (mertua), yaitu Ujang Carman dan
Jaenah; Dr. H. Aizirman Djusan, M.Sc.Econ (mantan Kepala Bagian
Penelitian dan Pengembangan [KaBaLitBang] Kementerian Komunikasi
dan Informatika RI dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); Ir. H.
Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si (Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat [DPR] RI, sejak masa Pemerintahan Prof. Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono, 2004-2009 & 2009-2014 hingga sekarang dan Ketua Lajnah
Tanfidziyah KPPSI [Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam]
Sulawesi Selatan); Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Pusat; dan Yayasan
Beasiswa Jakarta (YBJ). Dari mereka dan beberapa instansi tersebut,
sebagai motivasi penulis dalam mengeksplorasi cakrawala ilmu
v
pengetahuan, sekaligus sebagai “penebar kebajikan” dalam menanam
benih-benih arti sebuah kehidupan.
9. Seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana (Graduate School) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan para staf Perpustakaan Riset
Pascasarjana (Graduate Research Library) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
10. Para dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Hidayatullah Depok serta Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Bani
Saleh Bekasi, dari mereka lah, penulis selalu tumbuh dan berkembang,
baik dalam berpikir maupun bersikap.
11. Para sahabat dan penjuru dakwah penulis, baik yang aktif di Cemerlang
Radio 107.2 FM di Kota Depok, Radio Rodja 756 AM di Kabupaten
Bogor, Radio Fajri 99,3 FM di Kota Bogor maupun Radio Rasil 720 AM
di Kota Bekasi. Juga, beberapa sahabat yang sedang mengembangkan
misi dakwah Islam dengan sistem dan metode dakwah yang berbeda-
beda, seperti kalangan intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), para
kader Hidayatullah, tokoh muda Muhammadiyah, pemerhati Persatuan
Islam (Persis), pengurus HASMI (Harakah Sunniyah untuk Masyarakat
Islami), dan para karkun („pegawai Allah‟, bahasa Urdu) Jamāʻah
Tablīgh.
12. Penulis sampaikan pula kepada rekan-rekan kampus Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik yang se-angkatan,
“kakak kelas” maupun “adik kelas”, seperti Umdatul Hasanah, Hery
Purwosusanto, Nasimul Falah, Alwi Saggaf Aljufri, Pinehas Djendjengi,
Raden Siti Fadilah Tohiriyyah, Teguh Slamet, dan Rifqiyatunnisa. Juga,
rekan-rekan yang telah diwisuda oleh Sekolah Pascasarjana ini, seperti
Nurbaiti, Jufri Alkatiri, Muhammad Babul Ulum, Fahruroji, Iffa Nurul
Laili, Sri Wahyuni, dan Siti Suniah. Dari mereka lah sebagai community
of motivation bagi penulis dalam rangka mengimplementasikan
sepenggalan ayat suci Al-Qur‟an, yakni fastabiqū al-khayrāt, berarti
berlomba-lomba lah dalam menuju kebaikan (keilmuan).
13. Wa al-ḥāṣil, semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
penelitian Disertasi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Depok, 07 Shaʻbān 1436 H/
25 Mei 2015 M
Penulis
x
ABSTRAK
Kesimpulan – Penelitian ini membuktikan bahwa sikap Salafi Wahabi
tidak toleran dalam masalah khilāfīyah hingga menimbulkan polemik di kalangan
masyarakat, dari sisi akidah tidak ada toleransi, namun dari sisi ibadah hanya
sebagian saja yang dapat ditoleransi oleh mereka.
Posisi Disertasi – Penelitian ini mendukung beberapa pernyataan dari
tulisan „Alī Jumʻah (Ali Gomma) dalam “al-Mutashaddidūn Manhajuhum wa
Munāqashatu Ahammi Qaḍāyāhum”, Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī dalam
“al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah Mubārakah Lā Madhhab Islāmī” (2001), dan
Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī dalam “Uṣūl al-Sharīʻah” (1983), yang menyatakan
bahwa mengklaim terhadap sebuah mazhab yang baru dengan nama “Salafiyah”
merupakan bentuk dari taʻaṣṣub (fanatisme), tidak masuk dalam kategori ittibāʻ.
Dalam beberapa hal, hukum tradisional harus dibebaskan dari sisi idealis
keagamaan, dan harus dijiwai oleh “prinsip-prinsip umum syariah”. Oleh karenanya
kesempurnaan syariah hanya bisa diraih dengan menyesuaikan pada kondisi sosial
dan kepentingan manusia yang terus-menerus berubah. Penelitian ini pula
memperkuat beberapa pernyataan, seperti Natana J. Delong-Bas dalam “Wahhabi
Islam: From Revival and Reform to Global Jihad” (2004), Abdullahi Ahmed an-
Naʻim dalam “Islam and Secular State: Negotiating the Future of Sharia” (2008),
dan pendapatnya Mazen Hashem dalam “Contemporary Islamic Activism: The
Shades of Praxis”, Sociology of Religion (2006), yang menyatakan bahwa Islam
Wahabi sebagai aliran, mazhab, dan gerakan yang radikal, yaitu mereka selalu
mengajak kepada „ajaran murni‟ yang mereka yakini untuk dapat diaplikasikan oleh
kalangan umat Muslim. Di samping itu, Wahabi memiliki pandangan Islam yang
puritan, yakni bersikap tidak toleran dalam berbagai perbedaan, sehingga
memaksakan adanya keseragaman pemahaman keagamaan di Indonesia. Oleh
karenanya belum ada dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa Salafi Wahabi
bersifat moderat (wasaṭīyah).
Metodologi – Disertasi ini ditulis dengan menggunakan pendekatan
sosiologis antropologis, yaitu suatu pendekatan keagamaan yang dikorelasikan
dengan beberapa pendekatan ilmu sosial lainnya, seperti pendekatan sosio-kultural,
teologi normatif, juga pendekatan sikap dan perilaku religius. Sumber utama
penelitian berasal dari library research (studi pustaka) yang berkaitan dengan
penelitian, yaitu karya-karya Firanda Andirja Abidin, Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
„Alī Jumʻah, Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī, Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī,
Wael B. Hallaq, Abdullahi Ahmed an-Naʻim, Khaled Abou El-Fadl, dan Natana J.
Delong-Bas. Adapun sumber sekundernya, yaitu mencakup karya-karya para tokoh
Wahabi yang dijadikan rujukan oleh pengikut Salafi Wahabi. Juga, yang membahas
atau mengkritisi pemikiran Ibn Taymīyah dan Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb. Di
samping sebagai kajian komprehensif, penelitian ini juga menggunakan studi
dokumentasi, serta wawancara secara intens atau mendalam dengan pihak-pihak
tertentu.
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian
Disertasi ini, adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
Arab Latin Arab Latin
ḍ ض - ا
ṭ ط b ب
ẓ ظ t ت
‘ ع th ث
gh غ j ج
f ف ḥ ح
q ق kh خ
k ك d د
l ل dh ذ
m م r ر
n ن z ز
w و s س
h ه sh ش
ʼ / y ي / ء ṣ ص
xiv
B. Vokal Pendek
__ = a __ = i __ = u
C. Vokal Panjang
ū = و ī = ي ā = ا
D. Diftong
aw = او ay = اي
E. Shaddah
Shaddah/tashdīd (~ __ ) ditransliterasikan dengan huruf yang
sama pada huruf yang ber-shiddah tersebut, contoh:
rabbanā = ربنا
F. Kata Sandang
Kata sandang (ال) dilambangkan dengan (al-), baik yang
mengikutinya huruf shamsīyah maupu qamarīyah, contoh:
.al-qalam = القلن al-shams atau = الشمس
G. Tā Marbūṭah (ة)
Tā marbūṭah yang dipakai dalam penulisan disertasi ini
dimatikan atau diberi harakat sukun, contoh:
al-salafīyah = السلفية
xv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …… iii
TRANSLITERASI …… xiii
DAFTAR ISI …… xv
BAB I PENDAHULUAN …… 1
A. Latar Belakang Masalah …… 1
B. Permasalahan …… 22
1. Identifikasi Masalah …… 22
2. Pembatasan Masalah …… 23
3. Perumusan Masalah …… 24
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan …… 24
D. Tujuan Penelitian …… 30
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian …… 30
F. Metodologi Penelitian …… 30
G. Sistematika Penulisan …… 36
BAB II TOLERANSI DALAM MAZHAB FIKIH …… 37
A. Bermazhab dan Taklid dalam Islam …… 39
B. Toleransi dalam Pandangan Imam Mazhab …… 59
C. Perdebatan Toleransi dalam Bermazhab …… 68
D. Toleransi dalam Praktik …… 77
BAB III SALAFI WAHABI DI INDONESIA DAN PARA TOKOH
PENDIRINYA …… 85
A. Asal Usul Istilah Salafi Wahabi …… 86
B. Awal Sejarah Munculnya Salafi Wahabi di Indonesia …… 94
C. Tokoh Pendiri Salafi Wahabi dan Para Penerusnya …… 103
BAB IV MASALAH KHILĀFĪYAH SALAFI WAHABI …… 119
A. Masalah Akidah …… 120
B. Masalah Ibadah …… 140
C. Seputar Ahl al-Sunnah wa al-Jamāah dan Salafi Wahabi ……
155
BAB V MANHAJ SALAFI WAHABI DAN SIKAP MEREKA
TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT …… 179
A. Karakteristik Manhaj Salafi Wahabi dalam Berdakwah ……
179
B. Tajdīd Ibn Taymīyah dan Konsep Ajaran Muḥammad ibn ‘Abd
al-Wahhāb …… 196
xvi
C. Sikap Salafi Wahabi terhadap Perbedaan Pendapat …… 227
BAB VI PENUTUP …… 235
A. Kesimpulan …… 235
B. Implikasi Penelitian …… 237
DAFTAR PUSTAKA …… 239
GLOSARIUM …… 267
SINGKATAN …… 279
INDEKS …… 281
BIOGRAFI PENULIS …… 299
LAMPIRAN …… 301
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an dan Sunnah berfungsi sebagai dua sumber “standar” agama
Islam (sharīʻah),1 sebagai rujukan segala perbuatan dan keyakinan dalam
Islam. Berkenaan dengan hal ini, maka segala bentuk keyakinan atau
perbuatan dalam agama yang tidak memiliki rujukan langsung dari dua
sumber ini sering kali dipandang tidak islami. Istilah yang paling populer
yang dipakai untuk menunjukkan keyakinan dan perbuatan semacam itu
adalah bidʻah, yang secara harfiah berarti “hal-hal yang baru” (innovation
atau inovasi).2 Dalam sosiologi agama, tuduhan bidʻah ini menjadi polemik
bila dikaitkan dengan tradisi-tradisi lokal yang biasa dilakukan oleh
masyarakat sekitar.
Istilah “bidʻah” selalu diusung oleh kalangan kaum puritan Salafi.
Gerakan Salafi ini dinisbatkan kepada Imam Aḥmad ibn Ḥanbal (164-241
H/780-855 M), kemudian kepada Shaykh al-Islām Taqī al-Dīn ibn Taymīyah
(661-728 H/1263-1328 M), di mana ia dianggap sebagai pendiri madrasah
al-salafīyah.3 Sebagian kaum puritan Wahabi menisbatkan gerakan Salafi ini
kepada pembaru dan pendirinya, Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb (1115-
1206 H/1703-1792 M).
Gerakan Salafi ini tumbuh di Jazirah Arab, yakni bagian Arabia
Tengah yang notabene menjadi pusat bagi kerajaan Saudi dan gerakan
Wahabi.4 Pada tahun 1745 M Ibn Saʻūd, kepala sebuah pemerintahan
kesukuan kecil di Arabia Utara, menjalin hubungan dengan seorang penyebar
1 Pemahaman terhadap sharīʻah berarti jalan yang ditetapkan oleh Allah swt, di
mana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak-Nya. Ia adalah
konsep praktis yang berhubungan dengan tingkah laku pribadi an sich. Namun, sharīʻah
secara luas dapat dipahami sebagai totalitas dari aturan-aturan Allah yang terdiri dari semua
kehidupan agama, politik, sosial, pribadi dan domestik umat Islam, serta aktivitas-aktivitas
dari umat lain yang ditolerir sejauh mereka tidak merusak agama Islam. Lihat, Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, Cet. ke-2 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2000), 1; Lihat,
Fazlur Raḥmān, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung: Pustaka, 2000), 141;
Lihat pula, Encyclopedia of Islam, Cet. ke-4 (t.tp.: t.pt., 1995), term “Syariʻa”. 2 Ahmad Haris, Bidʻah dalam Literatur Islam, Cet. ke-1 (Jakarta: Referensi, 2012),
1. 3 Wā‟il al-Ḥasāwī, Baḥth al-Ḥarakah al-Salafīyah, merupakan diskusi kedua bagi
pembaharuan pemikiran Islam dan masa depan yang diselenggarakan dengan bantuan
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam di Kuwait, dengan judul “al-Fikr al-Ḥarakī wa Subūl
Tajdīduhu”, dilaksanakan pada 16-18 Sha‟bān 1413 H/08-10 Februari 1993 M. 4 Lihat, J. B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers (London: Faber and Faber, 1963),
53, 62; Lihat pula, Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 7.
2
mazhab Ḥanbalī,5 Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb.
6 Dakwah Muḥammad
ibn „Abd al-Wahhāb adalah mengajak orang agar mengamalkan tauhid
dengan murni, menghilangkan segala macam bidʻah dan membuang segala
bentuk khurafat yang dikait-kaitkan dengan Islam.7
Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb (w. 1792 M) konsisten terhadap
pengamalan fikih mazhab Ḥanbalī. Dari sisi pemikiran, beliau mengadopsi
tajdīd (pembaharuan) Ibn Taymīyah (w. 1328 M).8 Beliau banyak
terpengaruh dengan buku-buku Ibn Taymīyah9 dan buku-buku murid darinya,
yakni Shams al-Dīn ibn Qayyim al-Jawzīyah (w. 751 H).10
Dakwah
Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb sebagai pelopor bagi para tokoh modern di
dunia Islam. Banyak sekali tokoh Islam yang muncul setelahnya, seperti
Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Muḥammad ibn al-„Uthaymin, „Abd al-
5 Taqī al-Dīn ibn Taymīyah, Muḥammad ibn Qayyim al-Jawzīyah dan Muḥammad
ibn „Abd al-Wahhāb adalah para pengikut termasyhur dari Aḥmad ibn Ḥanbal. Penganut
mazhab Ḥanbalī terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia
mazhab ini merupakan mazhab resmi dari negara. Di antara keempat mazhab yang ada
sekarang, mazhab Ḥanbalī lah yang kecil penganutnya. Lihat, Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. ke-5 (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2012), 12-13. 6 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (terj.), Cet. ke-1, Bagian Ketiga
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), 189. 7 Muḥammad Saʻīd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terj.
Achmad Faozan, et. al., Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 299. 8 Nama lengkap Ibn Taymīyah adalah Aḥmad Taqī al-Dīn Abū al-„Abbās Aḥmad
Abū al-Ḥalīm ibn al-Imām Majd al-Dīn Abī al-Barakāt „Abd al-Salām ibn Abī Muḥammad
ibn „Abd Allāh Abī al-Qāsim ibn Muḥammad ibn al-Khuḍr ibn „Abd Allāh ibn Taymīyah al-
Ḥarrānī. Lihat, Muḥammad Abū Zahrah, Ibn Taymīyah: Ḥayātuhu wa ‘Aṣruhu, Ārā’uhu wa
Fiqhuhu (Kairo: Dār al-Fikr al-„Arabī, tt.), 17-20; Lihat pula, Muḥammad al-Sayyid al-
Julaynī, al-Imām Ibn Taymīyah wa Mawqifuhu min Qaḍīyah al-Ta’wīl (Kairo: al-Maktab al-
Amīrīyah, 1973), 15. 9 Nurcholish Madjid menyebut Ibn Taymīyah sebagai tokoh besar di dalam sejarah
Islam dan dikenal sebagai seorang mujāhid (pejuang) yang dicatat karena kepahlawanannya
di medan perang. Dia juga seorang mujtahid (ahli ijtihad) dengan sejumlah besar fatwa yang
memiliki kompetensi tinggi. Selain itu, dia dikenal luas sebagai seorang mujaddid
(pembaharu) yang dengan gigih berjuang untuk membebaskan kaum Muslimin pada
zamannya dari sikap taklid agar mereka kembali kepada kemurnian agama Islam. Lihat,
Nurcholish Madjid, Ibn Taymiyyah on Kalam and Falsafa (A Problem of Reason and
Revelation in Islam) (Chicago: University of Chicago, 1984), 55. 10
Di masa mudanya, Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, adalah seorang penganut
Sufi, namun demikian beliau terpengaruh oleh tulisan-tulisan Ibn Taymīyah, yang
penolakannya terhadap pertumbuhan-pertumbuhan takhayyul dan doktrin-doktrin intelektual
Sufi -- khususnya doktrin tentang kesatuan Wujud (wiḥdah al-wujūd) yang dikemukakan
oleh Ibn „Arabī -- dan di atas segalanya, yang kegairahan moral puritanikalnya telah
memberikan pengaruh yang menentukan sikap baginya. Lihat, Fazlur Raḥmān, Islam, 288;
Lihat pula, Ala‟ Bakar, Studi Dasar-dasar Manhaj Salaf, terj. Fuad Riady, Cet. ke-1 (Solo:
Pustaka Barokah, 2002), 57.
3
„Azīz ibn „Abd Allāh ibn Bāz, al-Qāsimī, dan para pembaharu serta para dai
yang lain.11
Dakwah yang diusung oleh Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb adalah
selalu kembali ke sumber utama Islam, yakni Al-Qur‟an, Sunnah, dan ijmak,
sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam dari masa Nabi Muhammad
saw hingga abad ketiga Hijriyah. Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb juga
mengajak orang untuk tidak terikat dengan mazhab tertentu. Oleh karena itu,
setiap hakim dianjurkan untuk mengambil pendapat dari mazhab mana saja
yang dianggap lebih dekat kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Di samping itu, dia
juga mengajak orang Arab untuk memainkan peran yang dominan dalam
menyampaikan dakwah.12
Gerakan dakwah Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb
lebih mengarah kepada pengaruh dakwah yang riil, bukan bersifat
pembahasan ilmiah atau diskusi panjang. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-
tulisan beliau yang bersifat praktis, seperti kitab-kitab yang ditulisnya tidak
terlalu tebal, berjilid-jilid, atau hingga sekian ratus halaman.13
Munculnya istilah “salafī” adalah karena setelah wafatnya Nabi
Muhammad saw. Sebelum beliau wafat, risalah Islam telah disampaikan
secara sempurna, sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur‟an surat al-
Mā‟idah (5) ayat 3, yang artinya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah
Aku ridai Islam sebagai agamamu” (QS. al-Mā‟idah [5]: 3). Dari ayat ini
dapat dipahami, bahwa Islam telah disempurnakan, baik dari sisi halal dan
haram maupun seluruh hukum Islam. Juga, telah Allah sempurnakan terhadap
segala sesuatunya tanpa ada keraguan atau kesamaran serta tidak ada
kekurangan sedikitpun di dalam ajaran Islam.14
Di samping itu, Islam telah
Allah ridai hingga akhir zaman nanti, sebagaimana yang telah ditegaskan
dalam firman-Nya, yang artinya, “Siapa saja yang memilih agama selain
11
Muḥammad Saʻīd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, 299. 12
Muḥammad Saʻīd Mursī, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, 299. 13
Hal ini juga diakui oleh Ḥasan al-Bannā, peletak dasar gerakan Ikhwān al-
Muslimīn di Mesir. Selama hidupnya, beliau tidak menulis banyak buku. Buku beliau rata-
rata praktis, tidak berpanjang-panjang kalām (dialog kajian), tidak bertele-tele dengan
perdebatan. Misalnya Risālah al-Taʻlīm, al-Ma’thūrāt, Daʻwatunā bayna al-Amsi wa al-
Yaumi, al-Mudhakkirāt, dan lain-lain. Menurut pandangan Ḥasan al-Bannā, apabila
mencurahkan diri bergumul (melibatkan diri dengan sesuatu hal) dengan khazanah ilmu yang
sedemikian luas, maka akan banyak menyita waktu dan energi. Menurutnya, dibutuhkan
orang-orang khusus yang akan memfokuskan waktunya untuk mengkaji khazanah ilmu itu.
Lihat, AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental
Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram, Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), 188. 14
Al-Imām Abī al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ ibn Kathīr al-Damshiqī, Tafsīr Al-Qur’ān al-
‘Aẓīm, Jilid II, Cet. ke-1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H/1997 M), 15-17; Lihat, Wahbah al-
Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Sharīʻah wa al-Manhaj, Jilid VI (Damaskus:
Dār al-Fikr, 1991), 85.
4
Islam, Allah tidak akan menerima amalnya. Orang itu di akhirat kelak
termasuk orang-orang yang celaka nasibnya.” (QS. Āli „Imrān [3]: 85).
Kemudian, komitmen dari seorang Muslim adalah mereka berjanji untuk
menyebarkan agama-Nya, menjadi contoh yang baik dan taat bagi yang
lainnya, dan mengajarkan serta memberikan kebajikan dan kebaikan kepada
semua umat.15
Generasi sahabat dipandang generasi terbaik16
dalam menjaga
kemurnian Islam. Menurut Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī (w. 1435
H/2014 M),17
yang menyebabkan mereka dipandang sebagai generasi terbaik
adalah karena memiliki dua keistimewaan, yaitu: Pertama, penguasaan
bahasa Arab yang matang dan murni dari pengaruh masyarakat luar Arab.
Kedua, fitrah agama Islam yang suci yang selalu mengajak kepada ketaatan
dan ketundukan. Menurutnya pula, bahwa kebutuhan untuk menentukan
standar (ukuran) ilmiah di dalam mengelaborasi (menggarap) hukum dari Al-
Qur‟an dan Sunnah adalah hal yang baru karena lemahnya pengetahuan
tentang bahasa Arab. Atau, karena perbedaan yang timbul di antara beberapa
golongan di dalam usaha mereka untuk memahami naṣṣ (teks) dan adanya
perbedaan pendapat yang timbul dari pemahaman itu. Kedua sebab ini tidak
ada pada masa sahabat terutama pada fase-fase awal.
Sesungguhnya sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al-
Qur‟an dan Sunnah adalah sumber rukun iman yang harus dijunjung tinggi
oleh tiap-tiap individu Muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti
mereka jalankan, serta ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati
atau anuti. Oleh karenanya Al-Qur‟an dan Sunnah adalah pedoman bagi umat
Islam dalam mengembangkan hubungan-hubungan, baik individual, sosial,
kultural, maupun emosional.
Dasar pemikiran sebuah wacana Islam adalah bahwa setiap Muslim
bertanggung jawab untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi
kewajiban agama. Salah satu kewajiban seorang Muslim adalah untuk
mendakwahkan Islam kepada orang lain, baik sesama Muslim maupun non-
15
Lihat, Muḥammad al-Ghazālī, Tafsir Tematik dalam Al-Qur’an, terj. M. Qodirun
Nur dan Ahmad Musyafiq, Cet. ke-1 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1425 H/2005 M), 75. 16
Masuk kategori “generasi terbaik” di sini adalah mulai masa Nabi Muhammad
saw hingga abad ketiga Hijriyah, yakni masa sahabat, tābiʻīn, dan atbāʻ al-tābiʻīn. Hal inilah,
menurut kalangan pengikut Wahabi, yang masuk kategori al-Salaf al-Ṣāliḥ, karena masa
setelah itu disebut kaum khalaf, yakni suatu kaum/golongan yang hidup setelah masa atbā’
al-tābiʻīn tersebut. 17
Lihat, Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah
Mubārakah Lā Madhhab Islāmī, Cet. ke-2 (Damaskus: Dār al-Fikr, 2001), 27. Muḥammad
Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī ini merupakan salah seorang pemikir Islam berkebangsaan Suriah,
beliau meninggal dunia saat seusai mengajar majelis taklim di sebuah masjid yang berada di
Suriah, yakni pada tahun 2014.
5
Muslim.18
Terlebih ditujukan sesama Muslim guna memperbaiki sikap,
perilaku, moral hingga keyakinan atas dasar Islam yang konkret. Tidak
terkecuali termasuk golongan Wahabi, di mana mereka mengklaim sebagai
aṣhāb al-daʻwah wa al-dīnīyah (para penggiat dakwah dan keagamaan).19
Keunikan gerakan ini, ia tidak membentuk sistem organisasi dakwah secara
khusus. Dakwah berjalan alami melalui ḥalaqah20
ilmu, majelis taklim,
khutbah, penulisan kitab-kitab,21
pemberian fatwa, amar maʻrūf dan nahī
munkar, bahkan al-jihād fī sabīlillāh.22
18
Dalam berdakwah sesama Muslim justru lebih utama dibanding kepada non-
Muslim, hal ini mengingat bahwa “meng-Islam-kan orang Islam” termasuk kategori jihad.
Jihad merupakan sebuah manifestasi iman seseorang dalam mempertahankan
keyakinanannya. Dengan demikian, ketika seseorang mengajak kepada kebajikan maka ia
pun dituntut untuk melakukan terlebih dahulu, khususnya dari apa yang diajak itu. Lihat,
Endang Madali, Kesalehan Individu dan Sosial dalam Ber-Amar Ma‟rūf dan Nahī Munkar,
Cet. ke-1 (Ciputat: Cinta Buku Media, 2013), 12. 19
Gerakan Wahabi tidak berbeda jauh dengan gerakan Ikhwān al-Muslimīn di
Mesir, Jamāʻah Tablīgh di India, Ḥizbu al-Taḥrīr di Yordania, Jamāʻah Islāmīyah di
Pakistan, Hamas di Palestina, atau Masyumi di Indonesia. Bahkan gerakan Wahabi lebih tua
usianya daripada gerakan-gerakan dakwah lainnya, yaitu sudah muncul sekisar tahun 1750 M
(abad ke-18 M). Penyandingan gerakan dakwah ini merupakan misi tiap-tiap keunikan
mereka dalam menerapkan sistem dan metode dalam berdakwah. Seperti Jamāʻah Tablīgh
merupakan gerakan keagamaan transnasional yang pada mulanya lahir dan berkembang di
India. Gerakan ini didirikan pada tahun 1926 M di Mewat India, tokoh pendirinya adalah
Shaykh Maulānā Muḥammad Ilyās Kandahlawī ibn Maulānā Ismāʻīl al-Kandahlawī (1885-
1944 M). Uniknya, istilah “Jamāʻah Tablīgh” bukanlah berasal dari mereka sendiri, akan
tetapi dari orang luar jamaah yang menjuluki mereka karena melaksanakan aktivitas tabligh
secara berjamaah. Sedangkan bagi komunitas ini menyebut gerakan mereka sebagai gerakan
iman (taḥrīk al-īmān). Lihat, Yusran Razak, Jamaah Tabligh: Ajaran dan Dakwahnya,
Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, 28. 20
Istilah “ḥalaqah” secara bahasa berarti lingkaran, sedangkan menurut istilah,
ḥalaqah dapat didefinisikan sebagai pengajian di mana orang-orang yang ikut di dalamnya
duduk melingkar, biasanya terdiri dari 5-6 orang atau lebih yang dipimpin seorang murabbī
untuk membahas hal-hal yang bersifat ilmiah (keilmuan). Tradisi ḥalaqah sangat umum di
Timur Tengah, terutama di Masjid Makkah al-Mukarramah dan Masjid Madinah al-
Munawwarah. Setiap hari dua masjid ini dipenuhi ḥalaqah-ḥalaqah yang mengkaji tentang
ilmu akidah, fikih, Al-Qur‟an, hadis, dan lain sebagainya. 21
Kitab-kitab/buku-buku berpaham Wahabi ini selalu dijadikan rujukan bagi para
pengikut Salafi Wahabi, seperti yang dikarang oleh Ibn Taymīyah, Ibn Qayyim al-Jawzīyah,
Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, Ibn Kathīr, Shams al-Dīn al-Dhahabī, „Abd al-„Azīz ibn
„Abd Allāh ibn Bāz, Muḥammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Ibn Ṣāliḥ al-„Uthaimin, Ṣāliḥ ibn
Fawzān ibn „Abd Allāh al-Fawzān, Muḥammad ibn Ibrāhīm Ālu al-Shaykh, dan para tokoh
lainnya. 22
Lihat, AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi:.., 245.
6
Salah satu kunci keberhasilan dakwah Wahabi, ialah adanya
dukungan penuh dari institusi negara (Keluarga Kerajaan Ibn Saʻūd).23
Juga,
gerakan Wahabi ini memperoleh kekuasaan karena dianut oleh Muḥammad
ibn Sa‟ūd dari Dir‟īyah, pendiri Kerajaan Saudi Arabia.24
Dakwah Ibn „Abd
al-Wahhāb terinspirasi oleh kondisi masyarakat Muslim di Najd25
yang
banyak menyimpang dari sisi akidah, syariat, dan akhlak. Oleh karenanya
muncul motivasi yang kuat dalam menyebarkan misi-misi dakwah yang
diyakininya.
Reformisme Wahabi mengambil posisi yang ekstrem dalam
penolakan keyakinan dan pemujaan terhadap para wali atau terhadap setiap
manusia sebagai bentuk syirik atau politeisme. Wahabi juga menolak model
teologi Sufi yang bersifat panteistik. Ibn „Abd al-Wahhāb dan para
pengikutnya menegaskan bahwa Al-Qur‟an dan Nabi Muhammad saw
merupakan satu-satunya otoritas Muslim yang paling valid atau absah.
Dengan demikian, kalangan Wahabi selalu mengklaim bahwa golongannya
lah yang termasuk kategori firqah nājiyah (kelompok yang akan selamat).
Hal ini, karena mereka berkeyakinan sudah melaksanakan berbagai perintah
agama (ummah al-ijābah).26
Di Indonesia, nama “salafi” secara khusus mulai populer pada tahun
1995 bersamaan dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani oleh Jaʻfar
„Umar Ṭālib dan kawan-kawannya.27
Nama Salafi ini dinisbatkan kepada
golongan Wahabi yang sudah ada sejak sekitar 287 tahun lalu di Dirʻīyah,
Saudi Arabia, yang ditandai dengan adanya upacara sumpah penetapan Ibn
Saʻūd sebagai amīr dan Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb sebagai imām
urusan agama pada tahun 1744 M oleh mereka berdua, sebagai tonggak awal
perjuangan dakwah Wahabi.28
23
Lihat, J. B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers, 53-54; Lihat pula, Natana J.
Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad, 39. 24
John Obert Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern World, Edisi II
(New York: Syracuse University Press, 1982), 60. 25
Najd sekarang masuk ke dalam kawasan Kota Riyadh, Saudi Arabia. 26
Lihat, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, Cet. ke-1
(Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008), 35-36; Lihat pula, Ala‟ Bakar, Studi Dasar-dasar Manhaj
Salaf, 45. 27
Noorhaidi Hasan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after
Suharto”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol. 1 (2008), 39,
http://www.kitlv-journals.nl/ index.php/jissh/index. 28
Gerakan puritan kaum Wahabi muncul seiring Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb
menyaksikan merajalelanya praktik-praktik takhayul yang menjurus pada perbuatan syirik di
berbagai wilayah di Arab dan sekitarnya, karena itu ia bertekad untuk memberantasnya.
Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 25; Lihat pula, Charles Allen, God’s Terrorists: The
Wahhabi Cult and the Hidden Roots of Modern Jihad (Cambridge: Da Capo Press, 2006),
52; Bandingkan dengan, J. B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers, 62.
7
Kendati demikian, sejak awal tahun 1980-an, terjadi perkembangan
dakwah yang lebih berbeda di Indonesia daripada sebelumnya. Hal itu
disebabkan oleh kedatangan elemen-elemen pergerakan dakwah Islam dari
luar negeri ke Indonesia. Terlebih, pada tahun 1970-an merupakan tahun
“internasionalisasi” bagi jamaah-jamaah dakwah tertentu, sehingga di tahun
1980-an mulai muncul ke permukaan kelompok-kelompok dakwah, seperti
Tarbīyah (Ikhwān al-Muslimīn), Jamāʻah Tablīgh (JT), Ḥizbut Taḥrīr (HT),
Jamāʻah Islāmīyah (JI), dan lain-lain.29
Di Indonesia pula, gejala semakin tumbuhnya komitmen umat Islam
untuk menjalankan agamanya secara baik merupakan bagian dari potret
global kebangkitan agama. Salah satu kebangkitan agama di Indonesia dapat
dilihat lewat krisis modernitas.30
Proses materialisasi kehidupan,
terpinggirnya spiritualitas dan menonjolnya nilai-nilai rasionalitas yang
diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi merupakan bagian dari
kebangkitan agama dalam merespon berbagai problematika kontemporer.31
Terlebih, bila dilihat dari maraknya pengajian-pengajian yang dilakukan oleh
kalangan menengah ke atas. Juga di masjid-masjid kampus, perumahan-
perumahan terlihat kelompok-kelompok kajian keislaman yang kian ramai.
Pengertian dakwah secara literal berarti “panggilan keagamaan” yang
dibebankan pada setiap individu. Tujuan dakwah secara umum mengarah
pada pembentukan pribadi Muslim yang lebih baik. Islam merupakan sebuah
konsep yang melampaui batas-batas geografi dan demografi di belahan dunia
ini.32
Dengan semaraknya kegiatan-kegiatan Islam sebagaimana disebutkan
di atas, sebagai suatu indikasi kebangkitan Islam itu sendiri.
29
Lihat, Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Cet. ke-1
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), ix-x; Lihat pula, Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah
Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama, Cet. ke-20
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), 39. 30
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, 13. 31
Mazen Hashem, “Contemporary Islamic Activism: The Shades of Praxis”,
Sociology of Religion, Vol. 67, No. 1, http://www.jstor.org (Spring, 2006), 26 (diakses pada
02 Juli 2012). 32
Sebagaimana kebanyakan agama lainnya, kontak Indonesia dengan Islam masa
awal dimungkinkan berjalan lewat para pedagang yang mengikuti rute perdagangan yang
sudah ada sebelumnya. Selama kekuasaan „Umar ibn al-Khaṭṭāb (13-23 H/634-643 M)
wilayah Islam, yang disebut sebagai Dār al-Islām, telah menguasai sebagian besar dari
kerajaan Byzantium (Romawi) dan Persia, dan perkembangan berikutnya benar-benar
menunjukkan pertumbuhan yang cepat, baik dari segi wilayah maupun pertumbuhan
masyarakat Islam. Dengan demikian, bisa dipahami kalau ekspansi Islam itu dapat menyebar
ke berbagai arah, tak terkecuali benua Asia, termasuk Asia Tenggara. Lebih lanjut mengenai
pembahasan tentang ekspansi Islam masa awal, dapat dilihat pada W. Wilson Cash, The
Expansion of Islam: An Arab Religion in the Non-Arab World (London: Church Missionary
Society, 1928); H. A. R. Gibb, Mohammedanism: A Historical Survey (London: Oxford, and
New York: Oxford University Press, 1970), 1-15; C. A. O. van Nieuwenhuijze, The Life
Styles of Islam: Recourse to Classicism, Need of Realism (Leiden: E. J. Brill, 1985), 18-36;
8
Beberapa tahun terakhir, tepatnya pasca-jatuhnya Soeharto yang
menyebabkan terjadinya aksi-aksi yang bertolak belakang dengan kelompok
mayoritas Muslim di negeri ini yang lebih dikenal toleran dan moderat di
tengah-tengah masyarakat. Runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru dalam
memunculkan gerakan-gerakan sosial, politik dan keagamaan baru.33
Begitu
peluang kebebasan terbuka, muncul banyak organisasi sebagai wadah bagi
penyuaraan aspirasi. Munculnya gerakan secara masif (besar, kuat) itu
dimungkinkan karena adanya respon sosial politik yang tertunda (delayed
responses) terhadap sistem politik yang otoriter Orde Baru.34
Dengan
demikian, tidak mengherankan bila muncul gerakan-gerakan sosial politik
yang bertolak belakang dengan gerakan-gerakan mono-ideologi yang terjadi
pada masa Orde Baru dengan sistem demokrasi terpimpin oleh Soeharto.
Salah satu tokoh Nasional Nahdlatul Ulama (NU), Said Agil Siraj,35
berpendapat bahwa setiap muslim hendaknya memiliki dasar penghayatan
agama yang ḥanīf (lurus), yaitu meliputi; toleran, moderat, dan akomodatif.
Ketiga sikap ini, setidaknya dapat menyatukan umat Islam dan mewujudkan
masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang. Namun, kondisi ini
dikejutkan oleh kehadiran sekelompok orang dengan ciri-ciri yang khas:
memakai baju koko putih, bersorban atau berpeci, memelihara janggut,
celana warna gelap di atas mata kaki. Satu sisi, dengan menggunakan sorban
dan memelihara janggut merupakan hal yang baik lagi sunnah, di sisi lain
dalam kajian Islam merupakan hal yang bersifat sosial yang hendaknya
diseimbangkan dengan amalan-amalan agama yang selaras dengan sosial
Khalid Yahya Blankinship, The End of the Jihād State: The Kingdom of Hisham ibn ‘Abd al-
Mālik and the Collapse of the Umayyads (Albany: State University of New York Press,
1994), 11-35; Berkenaan ekspansi Islam tersebut di atas telah dikutip oleh Ahmad Haris,
Bidʻah dalam Literatur Islam, 23; Hal ini dapat pula dilihat Fazlur Raḥmān, Islam, 7-24. 33
Salah satu fenomena Islam di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru adalah
menguatnya fundamentalisme Islam (al-uṣūlīyah al-islāmīyah). Fenomena ini bisa dilihat
dari fenomena Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI). Ketiganya memiliki persamaan agenda yang mengklaim tengah berjuang untuk
menegakkan syariat Islam sebagai al-manhaj al-salafī (cara hidup Islam ortodoks [masa
Nabi dan al-Khulafā’ al-Rāshidūn]). Ekspresi gerakan ketiga organisasi ini memang berbeda.
MMI, misalanya, ingin memperjuangkan agenda penerapan syariat Islam lewat cara damai
dalam bingkai sistem politik demokrasi yang diusung Orde Reformasi. Sementara Laskar
Jihad dan Front Pembela Islam (FPI) sering menampilkan tindak kekerasan. Lihat, Sukron
Kamil, Islam & Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI,
Antikorupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Cet. ke-1 (Ciputat: PSIA UIN
Jakarta, 2013), 163. 34
Martin E. Marty dan R. Scott Appleby, Fundamentalisms Observed (Chicago:
The University of Chicago Press, 1991), 9. 35
Said Agil Siraj, “Kata Pengantar”, dalam Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah
Sekte Salafi Wahabi:.., 9. Said Agil Siraj ini mendapat beasiswa dari Saudi Arabia, dan
menempuh ilmu di sana selama 14 tahun, yaitu terhitung sejak 1980 hingga 1994. Lihat, AM.
Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi:.., 67.
9
yang tinggi guna menjaga keharmonisan masyarakat dan ukhuwah Islamiyah
sebagai tolok ukur keberagaman dalam mengamalkan suatu ajaran yang
murni.
Stephen Sulaiman Schwartz, seorang Muslim Amerika yang menjadi
Direktur Eksekutif Center for Islamic Pluralism, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Azyumardi Azra,36
membuat kategorisasi antagonis secara
sosio-kultural dan epistemologis terhadap Islam; Islam moderat dan Islam
fundamental/puritan. Secara sosio-kultural, Islam moderat memiliki wajah
yang ramah, bersahabat, toleran, dan inklusif yang siap berdampingan hidup
dengan para penganut keyakinan yang berbeda. Sementara itu, Islam
fundamental/puritan dikategorisasi sebagai berwajah garang, mudah marah,
tidak toleran, dan eksklusif. Sedangkan secara epistemologis, pihak pertama
dikenali sebagai Islam berwajah kontekstual, mengakui perbedaan dan
keragaman, dan bisa berbagi ruang untuk kebenaran yang berbeda. Adapun
pihak kedua dikenali memiliki wajah tekstual, menginginkan keseragaman,
dan mengklaim hanya kelompoknya yang benar.
Oleh karena itu, hal-hal yang bersifat simbolik tidaklah cukup untuk
mewakili bahwa ia telah mengamalkan suatu ajaran agama secara sempurna.
Terlebih, dalam ajaran Islam tidak bisa diwakili hanya dengan simbol-simbol
belaka. Dalam mengkaji dan memahami beberapa masalah yang berkaitan
dengan sosiologi agama hendaknya kita harus mendeteksi berbagai
gejala/fenomena-fenomena masyarakat secara komprehensif, sebab seluruh
tindakan pada masyarakat juga dapat memengaruhi terhadap perilaku
keagamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.37
Perilaku keagamaan seseorang akan bermakna bila menjunjung tinggi
kebersamaan dan keharmonisan dalam lingkungan hidup seseorang. Terlebih,
Islam sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan rahmat bagi seluruh umat,
sehingga sosiologi keagamaan banyak dipengaruhi oleh adat istiadat atau
budaya hidup masyarakat yang notabene menjadi kebutuhan hidup bersama.
Dengan demikian akan terjadi kristalisasi suatu norma yang baku, sekaligus
merupakan tatanan sosial yang mengandung niai-nilai religius.
Terkadang agama merupakan suatu kekuatan radikal, bukannya
konservatif. Seperti halnya adanya gerakan-gerakan revitalisasi atau
milenarian di seluruh dunia dan sepanjang sejarah manusia.38
Gerakan-
gerakan sosial semacam itu merupakan radikalisasi dalam area religius dan
politik yang berimbas pada perubahan dunia menurut cara pandang yang
36
Azyumardi Azra, “Islam Indonesia; Masalah Tradisi”, dalam Supani, Kontroversi
Bidʻah dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Muslim di Indonesia, Cet. ke-1 (Purwokerto:
STAIN Press, 2013), iii. 37
Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, Cet. ke-1 (Ciputat: Kencana Mas, 2004),
16-17. 38
Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, 14.
10
fundamental seperti gerakan Wahabi,39
Ikhwān al-Muslimīn, Ḥizbut Taḥrīr,
Jamāʻah Islāmīyah, dan lain sebagainya. Islam Indonesia secara mayoritas
dikelompokkan sebagai Islam wasaṭīyah, yang diwakili oleh Nahdlatul
Ulama/NU (berdiri di Surabaya, 1926), Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti
(berdiri di Minangkabau, 1926), al-Jāmiʻah al-Washlīyah (berdiri di
Sumatera Utara, 1930), Mathlaʻul Anwār (berdiri di Menēs Banten, 1916),
Nahdlatul Wathan (berdiri di Lombok, 1934), Muhammadiyah (berdiri di
Yogyakarta, 1912), Persatuan Islam/Persis (berdiri di Bandung, 1920),
Jāmiʻat Khair (berdiri di Jakarta, 1901), Persatuan Umat Islam/PUI (berdiri di
Majalengka, 1917), dan banyak organisasi arus utama lain. Muhammadiyah
dan Persis sebagian pemikirannya, terutama dalam masalah tradisi lokal,
lebih dekat dengan pemikiran Salafi, karena berusaha memerangi bentuk
apapun yang berbau takhayul, khurafat, dan bidʻah.40
Juga, ada organisasi
masyarakat (Ormas) Islam yang relatif baru didirikan di Indonesia, yaitu
HASMI (Ḥarakah Sunnīyah untuk Masyarakat Islami). Salah satu misi
dakwahnya adalah menegakkan tauhid dan melenyapkan berbagai bentuk
syirik.41
39
Meskipun awalnya kaum Wahabi sebagai pengikut Muḥammad ibn „Abd al-
Wahhāb, yang mana ia sendiri telah menyatakan sebagai penerus Ibn Taymīyah, dan Ibn
Taymīyah dikenal sebagai salah seorang ulama Mazhab Ḥanbalī, namun kaum Wahabi
sangat jarang mewarisi tradisi intelektual Ibn Taymīyah dan Aḥmad ibn Ḥanbal. Bahkan,
kecenderungan Wahabi malah menjadi kelompok literalis dan terlalu mudah menyerang
kelompok lain. Serangan tidak hanya berupa tuduhan bidʻah, sesat, dan bahkan syirik.
Sejarah juga menunjukkan mereka melegalkan serangan fisik. Tidak sedikit sejarawan
menyatakan terjadinya pembantaian. Apalagi ketika mereka berkolaborasi (bekerja sama)
dengan kekuasaan Bani Saʻud di Kerajaan Arab Saudi. Selanjutnya lihat, Marshall G.S.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2 (Chicago: The University of Chicago Press, 1974),
161; Lihat, Khaled Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (terj.) (Jakarta:
Serambi, 2005), 71; Lihat pula, A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan: Menjawab
Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, Cet. ke-1 (Jakarta: Noura Books, 2013), v. 40
Paham keagamaan dapat dikategorikan dua kelompok, yaitu; kelompok Islam
modernis dan kelompok Islam tradisionalis. Lebih lanjut dapat dilihat, Azyumardi Azra,
“Islam Indonesia; Masalah Tradisi”, iii; Lihat juga, Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam:
Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Cet. ke-1 (Jakarta: Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, dan Departemen Agama Republik
Indonesia, 2007), 35. 41
HASMI adalah suatu organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang dilahirkan di
Indonesia dengan tujuan terciptanya masyarakat islami. Ormas ini bergerak dan berupaya
mendakwahkan Islam dengan cara tenang dan santun, membentuk masyarakat Rabbani yang
sesuai dengan syariat Islam. Berdirinya HASMI secara resmi dengan akta notaris baru pada
tahun 2005. Beberapa inti dakwah HASMI, yaitu; tegakkan tauhid, lenyapkan syirik,
terapkan syariat Islam, wujudkan masyarakat islami, hidupkan sunnah, matikan bidʻah, dan
tinggalkan kemaksiatan. Kata “Sunniyah” sendiri menekankan bahwa ḥarakah ini berjalan di
atas Sunnah Rasulullah saw dan menolak seluruh bidʻah. Secara umum, istilah “bidʻah”
digambarkan sebuah keyakinan atau praktik hal-hal yang tercela atau salah. Namun, dari sisi
kebahasaan, bidʻah tidak lebih dari sebuah istilah generik yang berarti inovasi (badaʻa al-
11
Kaum Salafi Wahabi misalnya -- atau mereka yang lebih suka disebut
dengan kaum al-muwaḥḥidūn (orang-orang yang bertauhid), meskipun
sebutan ini juga masih belum tepat -- adalah penerus paham Ibn al-Taymīyah
yang “diadoni” dengan radikalisme dan penyimpangan Muḥammad ibn „Abd
al-Wahhāb.42
Selain sikap kerasnya yang menonjol, golongan ini juga sering
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis Nabi saw secara tekstual (apa
adanya kalimat) dan literal (harfiah), serta menafikan arti majāzī (kiasan) dan
ta’wīl.43
Oleh karena itu, mereka menjasmanikan (tajsīm) dan menyerupakan
(tashbīh) Allah swt secara hakiki dengan makhluk-Nya.44
Golongan mushabbihah mengatakan bahwa Allah itu bertangan,
bermuka, berkaki dan bertubuh seperti halnya manusia -- notabene sebagai
ciptaan Allah swt jua. Golongan ini pula dapat disebut sebagai golongan
mujassimah, yakni kaum yang menubuhkan, karena mereka menubuhkan
Tuhan, mengatakan Tuhan bertubuh yang terdiri dari darah daging, bermuka,
bermata, bertangan, berkaki, dan bahkan ada yang mengatakan bahwa Tuhan
itu berkelamin dan kelaminnya itu adalah laki-laki.45
Mayoritas kaum
mushabbihah atau mujassimah ini berasal dari orang-orang yang menganut
shay’), sesuatu yang ditemukan tanpa ada contoh sebelumnya atau dapat disebut khilāf al-
sunnah. Lihat, Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid I (t.tp.: Dār al-Lisān al-„Arab, 1970), 174;
Aḥmad Riḍā, Muʻjam Matn al-Lughah, Jilid I (Beirut: Dār Maktabah al-Hidāyah, 1958),
254; Muḥammad „Ajjāj al-Khaṭīb, Uṣūl al-Hadīth: ‘Ulūmuhū wa Musṭalaḥuhū (Beirut: Dār
al-Fikr, 1427 H/2006 M), 16; Lihat pula, Ahmad Haris, Bidʻah dalam Literatur Islam, Cet.
ke-1 (Jakarta: Referensi, 2012), 207. 42
Munzir Tamam, “Kata Pengantar”, dalam Syaikh Idahram, Ulama Sejagad
Menggugat Salafi Wahabi, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), 19. 43
Menurut Muḥammad Jawwād Mughnīyah, bahwa kaum Wahabi tetap pada
pendiriannya terhadap penggunaan nas, baik Al-Qur‟an maupun Sunnah, secara tekstual dan
literal dalam memahami sifat-sifat Allah, bahkan, menurut Jawwād, kaum Wahabi
berpendapat bahwa bagi siapa saja yang mentakwilkan suatu ayat dapat dikategorikan kafir,
karena sudah berdusta di sisi Allah dan Rasul-Nya. Lebih lanjut lihat, Muḥammad Jawwād
Mughnīyah, Hādhī Hiya al-Wahhābīyah (t.tp.: t.pt., tt.), 54, 66. 44
Pembahasan tentang mujassimah dan mushabbihah yang dinisbatkan pada Ibn
Taymīyah dapat dilihat pada buku Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jama’ah,
Cet. ke-21 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996), 262-269. KH. Siradjuddin Abbas ini adalah
salah seorang sarjana yang, menurut pengakuannya sendiri, belajar di Makkah selama 7
tahun (1927-1933) dan tetap setia pada prinsip-prinsip tradisionalis, di mana salah satu karya
tulisannya seperti 40 Masalah Agama, secara substansi dari kajian bukunya itu ialah tetap
mempertahankan tradisionalisme dan Syafiʻismenya. Untuk lebih mendalami kajian
Siradjuddin Abbas ini, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Haris dalam bukunya Bidʻah dalam
Literatur Islam, dapat ditelusuri pada Howard M. Federspiel, “The Endurance of Muslim
Traditionalist Scholarship: An Analysis of the Writings of the Indonesian Scholar Sirajuddin
Abbas”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Toward A New Paradigm: Recent Developments in
Indonesian Islamic Thought (Tempe: Arizona State University, 1996), 193-320. 45
Lihat, Ibn Abī al-Ḥadīd, Nahju al-Balāghah, Juz III (Kairo: „Īsā Bābī al-Halabī,
1385 H/1965 M), 225; Lihat pula, Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah,
253.
12
mazhab Ḥanbalī, kendati demikian Imam Aḥmad ibn al-Ḥanbal tidak
berkeyakinan sebagaimana mereka.46
Kaum mushabbihah mengatakan bahwa ayat-ayat seperti, “Dan wajah
Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal” (QS. al-
Raḥmān [55]: 27) atau, “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” (QS.
al-Fatḥ [48]: 10), bahwa Tuhan mempunyai muka dan itulah yang kekal dan
mempunyai tangan yang lebih tinggi dari tangan manusia.47
Dalam hal ini,
kaum mushabbihah mengartikan ayat-ayat tersebut secara lahiriyahnya saja.
Kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʻah menentang pemahaman ini, karena
menurut mereka di sisi lain ada ayat yang menjelaskan tentang tiada yang
dapat menyerupai seseorang atau sesuatu apapun yang dinisbatkan kepada
Tuhan (QS. al-Shūrā [42]: 11). Apabila kaum mushabbihah mengatakan
demikian, maka Tuhan berarti bermuka dan bertangan sebagaimana halnya
ciptaan-Nya sendiri, manusia, tentunya hal ini adalah mustahil bagi Allah
swt. Oleh karenanya kaum Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʻah men-ta’wīl-kan
kata “al-wajh” dengan, “Dan yang kekal adalah Zat-Nya yang qadīm” yang
“mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. Demikian pula pada ayat kedua,
dengan mengatakan, “Kekuasaan Allah di atas dari kekuasaan manusia”.48
Namun, bila kita melihat penjelasan dari Kitab Shaykh al-Islām Ibn
Taymīyah,49
seperti Sharh al-ʻAqīdah al-Wāsiṭīyah li Shaykh al-Islām ibn
Taymīyah -- sebagai inspirator dari Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, tokoh
utama kaum Salafi Wahabi -- dinyatakan bahwa mustahil (tidak mungkin)
bagi Allah dapat diserupakan dengan makhluk-Nya.50
Misalnya orang-orang
yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki
oleh makhluk, memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh
makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki
46
Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah, 253. 47
Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah, 255. 48
Siradjuddin Abbas, Iʻtiqad Ahlussunnah wa al-Jamaʻah, 255-256. 49
Gelar “Shaykh al-Islām” bukan hanya dimiliki oleh Ibn Taymīyah. Dalam sejarah
keilmuan Islam, gelar Shaykh al-Islām juga disandang oleh tujuh orang, yaitu: Ibn Qudāmah
al-Maqdisī, „Izz al-Dīn ibn „Abd al-Salām, al-Imām al-Nawawī, Taqī al-Dīn ibn Daqīq al-„Īd,
Taqī al-Dīn ibn Taymīyah, Taqī al-Dīn al-Subkī, dan Ibn Ḥajar al-Asqalānī. Taqī al-Dīn Ibn
Taymīyah mendapatkan gelar ini, menurut hemat Syaikh Idahram, karena para pengikutnya
selalu mengagung-agungkan dirinya dengan gelar tersebut dan tidak menyebut dirinya
kecuali dengan gelar itu. Di sisi lain, menurut hematnya lagi, pendanaan kelompok yang satu
ini cukup kuat, sehingga penyebaran buku-buku yang memuat nama Ibn Taymīyah dengan
gelar Shaykh al-Islām begitu banyak di masyarakat Muslim. Kondisi ini berimplikasi kepada
intensitas penyebutan nama Shaykh al-Islām cenderung kepadanya. Lihat Syaikh Idahram,
Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, 63. 50
Saʻīd ibn „Alī ibn Wahf al-Qahṭānī, Syarh Aqidah Wasithiyah Syaikh al-Islam
Ibnu Taimiyah, terj. Hawin Murtadha (Solo: At-Tibyan, tt.), 30.
13
oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang mustahil atau batil
bagi Allah swt.51
Ketika Ibn Taymīyah berusaha untuk berlepas diri dari paham tashbīh
atau tajsīm, yakni bahwa anggota-anggota badan yang dinisbatkan kepada
Allah swt, seperti wajah, tangan, kaki dan lain sebagainya tidak boleh
diserupakan dengan anggota-anggota badan makhluk lainnya. Bahkan, harus
dipastikan bahwa Allah tidak dapat diserupai oleh seseorang atau sesuatu apa
pun. Namun harus ditegaskan pula bahwa Dia memiliki anggota-anggota dan
sifat-sifat, seperti bersemayam di atas ʻArsh, tanpa menjelaskan bagaimana
keadaannya (bilā kayf).52
Dorongan Al-Qur‟an yang terus-menerus kepada orang Islam agar
mencintai orang lain dan menyatukan barisan adalah untuk menumbuhkan
rasa cinta pada orang lain, mengutamakan kepentingan orang lain, berbuat
kebaikan pada individu dan masyarakat, memperlemah rasa benci dan marah,
menghilangkan perbuatan zalim dan permusuhan, serta memperlemah
kecenderungan cinta diri dan egois.53
Terlebih, dalam beragama yang
ditekankan adalah terwujudnya ikatan kasih sayang, sifat tolong-menolong,
saling menghargai, toleran satu sama lain, hingga bekerja sama dan
mengusung semangat persaudaraan. Dalam penelitian sosiologi agama,
praktik pengamalan agama bisa saja berbeda dengan apa yang terkandung
dalam doktrin kitab suci. Terlebih, sosiologi agama bukan mengkaji benar
atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama
tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.54
51
Menurut salah seorang pengikut Salafi Wahabi, „Abd al-„Azīz ibn „Abd Allāh ibn
Bāz, selain tamthīl atau tashbīh yang menyerupakan makhluk dengan Pencipta, seperti
orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masīḥ putera Maryam dengan Allah swt dan
orang-orang Yahudi yang menyerupakan „Uzayr dengan Allah pula. Juga, yang
menyerupakan Pencipta dengan makhluk, ada pula tashbīh jenis ketiga, yaitu menyerupakan
Sang Pencipta dengan ma’dūmāt (sesuatu yang tidak ada), yang mustahil, tidak sempurna,
dan benda-benda mati. Menurut Ibn Bāz, inilah tashbīh yang dilakukan oleh orang-orang
yang menganut paham Jahmīyah dan Muʻtazilah. Lihat, Sa‟īd ibn „Alī ibn Wahf al-Qahṭānī,
Syarh Aqidah Wasithiyah Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, 30-31. 52
Berkenaan tashbīh atau tajsīm ini, penulis telah mewawancarai bersama Ahmad
Farhan Hamim, Sekretaris Yayasan Al-Sofwa, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, bahwa ketika
seseorang memahami yad Allāh (tangan Allah) misalnya, tetap dipahami sebagai tangan
Allah, tanpa tamthīl (penyerupaan), tanpa taʻṭīl (peniadaan), juga bilā kayf (tanpa bertanya
bagaimana). Dengan demikian, bagi Ahmad Farhan, pemahaman ini dapat diarahkan tanpa
ta’wīl yang berlebihan. Hasil wawancara bersama Ahmad Farhan Hamim, pada Jumʻat, 10
April 2015. Lihat pula, Muḥammad Abū Zahrah, Ibn Taymīyah: Ḥayātuhū wa ‘Aṣruhū,
Ārā’uhū wa Fiqhuhū (Kairo: Dār al-Fikr al-„Arabī, tt.), 282. 53
Muḥammad „Uthmān Najātī, Psikologi Qur’ani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni,
terj. Hedi Fajar dan Abdullah, Cet. ke-1 (Bandung: Marja, 2010), 257. 54
Dalam kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas memilih, mengganti
dan mengamalkan agamanya sesuai dengan keyakinan (suara hati)-nya, asalkan ia tidak
mengganggu hak orang lain. Selanjutnya lihat, AP. Budiyono HD, Membina Kerukunan
14
Agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci merupakan das sollen,
sesuatu yang seharusnya terjadi. Sedangkan agama yang terdapat dalam
kenyataan adalah das sein, sesuatu yang tampak terjadi di lapangan. Antara
agama yang terdapat pada dataran das sein dengan yang terdapat pada das
sollen bisa saja terjadi kesenjangan. Inilah yang selanjutnya dianggap sebagai
problema yang harus didekati dengan melakukan berbagai kegiatan
pembaharuan melalui jalur pendidikan, dakwah, pembinaan, dan
sebagainya.55
Dari beberapa jalur pembaharuan tersebut diharapkan dapat
menyatukan umat dengan situasi dan kondisi di mana mereka hidup.
Dalam perspektif sosiologis yang menjadi konsentrasinya adalah
struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia, dan kebudayaan termasuk
agama.56
Dengan demikian, objek-objek pengetahuan, praktik-praktik, dan
institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiolog dipandang sebagai
produk interaksi manusia dan konstruksi sosial. Agama adalah salah satu
bentuk konstruksi sosial.57
Dalam tatanan sosiologi keagamaan, masyarakat
merupakan suatu bentuk kehidupan sosial, interaksi sosial, yang diiringi
dengan nilai-nilai agama (religiusitas) yang mengkristal, juga dipengaruhi
oleh kultur-kultur sosial yang terjadi dalam komunitas masyarakat tersebut.
Dengan kesadaran bersosial yang tinggi dapat mengarah pada
keharmonisan dalam kehidupan masyarakat, baik komunitas yang terbatas
maupun komunitas yang lebih luas lagi, sehingga akan terbentuk suatu
jaringan sosial yang harmonis terhadap perilaku keagamaan seseorang dalam
kehidupan sehari-harinya.
Pengaruh sosiologi keagamaan secara langsung maupun tidak
langsung akan memengaruhi perilaku individu maupun sosial dalam
kehidupan masyarakat, hal ini karena masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang religius dan pluralis.58
Terlebih, menurut Nurcholish Madjid
(lahir 1939), cendikiawan Muslim Indonesia, kemajemukan atau pluralitas
umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan.59
Hal
ini pula selaras dengan firman Allah dalam surat al-Ḥujurāt (49) ayat 13:
Hidup Antar Umat Beriman 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 218; Lihat pula, Abuddin Nata,
Metodologi Studi Islam, Cet. ke-20 (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 402. 55
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 403. 56
Lihat, Peter Berger, The Social Reality of Religion (Hamondsworth: Penguin,
1993), 1; Lihat pula, Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. ke-28 (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999), 25. 57
Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Cet. ke-
2 (Yogyakarta:LKiS, 2009), 271. 58
Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama, 16. 59
Dalam konsep filsafat Islam, Allah menghendaki adanya pluralitas dalam
kehidupan masyarakat, karena jika Allah menghendaki hanya ada satu umat saja tentu sangat
mudah bagi Allah untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, konflik sosial politik keagamaan
yang sering kali terjadi dengan mengambil bentuk-bentuk kekerasan pada dasarnya terjadi
15
(49 /الحجرات :
13)
Wahai manusia, sungguh Kami ciptakan kalian dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling
memahami. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di
sisi Allah adalah orang yang paling bersih dari syirik. Sungguh
Allah Maha Mengetahui lagi Mahaluas ilmu-Nya. (QS. al-Ḥujurāt
[49]: 13).
Dari Kitab Suci tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia
diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal
dan menghargai. Pada dasarnya manusia diciptakan dari hal yang satu; dari
diri (nafs) yang satu, dari Adam dan Hawa, sehingga mereka sama di
hadapan Allah swt, dan yang membedakan di antara mereka adalah
ketakwaan, yakni menjaga kekerabatan dalam mencapai rida Allah swt dan
membersihkan hati dari hal-hal yang mengotori diri. Terlebih, tidak ada celah
untuk saling sombong atau saling membanggakan diri, hal ini karena
semuanya bersumber dari keturunan yang sama.60
Di samping itu, dalam surat al-Rūm (30) ayat 22, dinyatakan bahwa
dengan adanya perbedaan bagi manusia, baik dari sisi bahasa maupun warna
tidak pada sumber ajaran agamanya, yang pada hakikatnya semua agama bersumber dari
Tuhan yang satu, dan hanya satu Tuhan yang ada, yang menciptakan dan memelihara semua
kehidupan yang ada ini, hanya saja agama-agama itu datang melalui jalan yang berbeda,
sehingga secara historik, kultural dan bahasa agama-agama itu mempunyai wajah dan nuansa
penampakan yang berbeda, sesuai dengan faktor historik, kultural dan bahasa yang ada.
Lebih lanjut lihat, Musa Asyʻari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, Cet. ke-3
(Yogyakarta: LESFI, 2002), 168; Lihat pula, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderenan, Cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1992), xviii. 60
Selanjutnya lihat, al-Imām Abī al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-
‘Aẓīm, Jilid I-IV, Cet. ke-1 (Beirut: Dār al-Fikr, 1418 H/1997 M), 237-238; Lihat pula,
Wahbah Al-Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Sharīʻah wa al-Manhaj, Jilid
XXVI, Cet. ke-2 (Damaskus: Dār al-Fikr, 1991), 259-260.
16
kulit hendaknya dapat dijadikan positif-optimis terhadap kemajemukan,
sehingga akan terwujud keharmonisan dan saling menghormati antara satu
sama lainnya. Hal ini pula dapat dijadikan acuan dalam menghargai
keberagaman berbagai hal, di antaranya sosial, budaya, hingga adat istiadat
yang berkembang di suatu wilayah atau negara.
Berkembangnya kelompok salafisme, merupakan ideologi salaf yang
mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad saw dan
para sahabat. Kelompok salafisme ini mereformulasi (merumuskan) paham
salafnya kepada aspek purifikasi (penyucian, pembersihan) agama, pemikiran
sosio-politik, metode pendidikan, dan metode pemikiran. Purifikasi agama
adalah paham yang menolak taklid yang ditawarkan oleh fikih dan teologi
dalam pemahaman Islam yang tradisional, dan bertujuan mengembalikan
segala permasalahan yang ada kepada sumber Islam yang sejati, yaitu Al-
Qur‟an dan Sunnah.61
Dengan demikian, munculnya Salafi di Indonesia lebih
toleran dibanding Salafi yang ada di negara Arab. Hal ini karena mereka
memahami bahwa di Indonesia masyarakatnya bersifat multi-kultural serta
pluralistik dari sisi perkembangan agama yang ada di negeri ini.62
Meski ada
sebagian salafi lain yang identik bersikap agresif terhadap segala kemunkaran
yang mereka saksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Syariat Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang
dalam fikih menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual,
muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muṭlaqah (teknik
operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur
hubungan antara sesama manusia dalam bentuk muʻāsharah (pergaulan)
maupun muʻāmalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup).
Di samping itu, ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang
dirumuskan dalam komponen munākaḥah. Untuk menata pergaulan yang
menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan
dalam komponen jināyah, jihād, dan qaḍā.63
Pemikiran sosio-politik yang ditawarkan oleh kelompok salaf dapat
dilihat dalam konsep kesempurnaan Islam, yang pada intinya mengajarkan
doktrin bahwa kekuasaan adalah milik Allah semata. Metode pendidikan
61
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, vii. 62
Dalam tinjauan Azyumardi Azra, bahwa puncak dari „teologi kerukunan‟ Islam
Indonesia adalah penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini
karena konteks hubungan antar agama di Indonesia, Pancasila dapat dikatakan sebagai
perwujudan dari panggilan mengembangkan istilah kalimatun sawā’, yakni mewujudkan
perdamaian atau keharmonisan antara satu keyakinan terhadap keyakinan lain. Selanjutnya
lihat, Idris Thaha, “Doktrin dan Sejarah: Memperluas Cakrawala Pemikiran” dalam
Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina,
1999), xii. 63
MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Cet. ke-2 (Yogyakarta: LKiS, 2012),
xxxiii.
17
menekankan pada nilai moral agama, seperti takwa, qanāʻah (menerima
pemberian Allah), syukur, zuhd (bersikap sederhana dalam urusan dunia),
sabar, dan tawakal. Dan terakhir, metode pemikiran mengutamakan dimensi
akidah-akhlak yang selanjutnya menggolongkan manusia menjadi „saudara‟
dan „musuh‟. Metode ini juga menolak realitas kebudayaan non-islami.
Empat hal inilah yang mendasari gerakan salaf di seluruh Dunia Islam.64
Menurut Abdullahi Ahmed an-Naʻim (lahir 1946),65
tidaklah terlalu
tepat menyatakan bahwa Indonesia adalah negeri dengan populasi Muslim
terbanyak di dunia, karena orang Islam di Indonesia memiliki pemahaman
dan praktik keislaman yang berbeda, yang sebagiannya justru tidak akan
dianggap bagian dari tradisi Islam oleh Muslim di belahan dunia lain.
Meskipun demikian, menurut an-Naʻīm, pada saat yang sama, mereka juga
mengidentifikasi diri sebagai Muslim dalam pengertian yang mereka pahami;
yang secara tradisional benar-benar plural dan toleran terhadap perbedaan.
Benar bahwa ada semacam trend (kecenderungan) ke arah pandangan Islam
yang lebih puritan,66
seperti Wahabi yang berusaha untuk menentang sikap
dan praktik toleran dan memaksakan adanya keseragaman pemahaman
keagamaan di negara ini.67
Menurut Muḥammad al-Ghazālī (1917-1996),
ulama besar kenamaan al-Azhar sekaligus teman dekat Yūsuf al-Qaraḍāwī
(lahir 1926)68
yang pernah mengajar di Saudi Arabia, dalam bukunya Humūm
Dāʻīyah (Dai Bermasalah), bahwa golongan Salafi Wahabi tidak
mementingkan persatuan dan kesatuan umat Islam.69
Ketidak ada persatuan
64
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, vii. 65
Abdullahi Ahmed an-Naʻim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, Cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 1428 H/2007 M), 394. 66
Puritan adalah orang saleh yang menganggap bahwa kesenangan dan kemewahan
sebagai dosa. 67
Abdullahi Ahmed an-Naʻim, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, 394-395. 68
Yūsuf „Abd Allāh al-Qaraḍāwī, dikenal dengan sebutan Yūsuf al-Qaraḍāwī, lahir
pada 09 September 1926 di desa Ṣafat Turāb Markaz al-Muḥallah al-Kubrā wilayah Barat
Mesir. Ṣafat Turāb merupakan sebuah desa kecil yang belum, saat itu, dimasuki listrik, air
bersih, jalan raya, dan juga belum ada beberapa fasilitas umum lainnya. Dengan demikian,
wilayah tersebut merupakan salah satu kampung tradisional di kawasan Barat Mesir, yang
mana sahabat terakhir Rasulullah saw dimakamkan, yakni „Abd Allāh ibn al-Ḥārith ibn Juz‟u
al-Zubaydī. Selanjutnya lihat, Tarjamah Mūjazah ‘an al-Shaykh al-Qarḍāwī, Yūsuf al-
Qarḍāwī, Kalimah fī Takrīmihī wa Buḥūth fī Fikrihī wa Fiqhihī (Mesir: Doha, 2002), 21. 69
Muḥammad al-Ghazālī, Humūm Dāʻīyah (t.tp.: Dār al-Qalam, tt.), 44. Di samping
itu, secara empiris dalam konteks ke-Indonesia-an, sebagaimana diutarakan oleh Habib „Alī
ibn „Abd Allāh al-Qadrī, bahwa antara tahun 2007 hingga 2010, Habib Mundhir al-Musāwā,
Pimpinan Majelis Rasulullah, keliling beberapa kota besar di Indonesia, di antaranya Kota
Bali dan Papua, menyatakan bahwa kaum Salafi Wahabi hanya sibuk menyalahkan kaum
Muslimin dari kalangan mereka sendiri tentang kegiatan majelis zikir, tawassul, istighāthah,
atau yang serupa. Justru mereka itu tidak mengajak kepada kalangan non Muslim untuk
mendapatkan hidayah menuju agama Allah, atau mengislamkan orang Muslim agar terus taat
18
dan kesatuan inilah, yang menurut penulis menjadi menarik untuk dibahas.
Dalam hal ini, Islam selalu identik dengan persatuan dan kesatuan umat.
Juga, Muḥammad Sa‟īd Ramaḍān al-Būṭī dalam bukunya al-Salafīyah
Marḥalah Zamanīyah Mubārakah lā Madhhab Islāmī, mengatakan bahwa
Salafi Wahabi ini sebagai pemicu pertikaian dan perdebatan di antara dunia
Islam.70
Khususnya dalam hal khilāfīyah yang menjadi tolok ukur terjadinya
suatu perdebatan, yang terkadang tidak bersifat prinsipil dalam praktik-
praktik Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa, Indonesia adalah negara yang sangat
menjaga toleransi antar umat beragama, karena mayoritas bangsa Indonesia
adalah umat Islam yang agamanya memiliki pilar-pilar toleransi sangat tinggi
dan kokoh.71
Terlebih pada satu agama, satu keyakinan, dan satu bangsa, di
mana toleransi ini sudah terbangun dengan sangat baik dan bersifat positif,
sehingga harus dipertahankan dan ditingkatkan kebersamaan tersebut satu
sama lain.
Satu sisi gelombang gerak ke arah syariat yang lebih murni itu
menjadi semakin besar dengan adanya sebagian kaum Muslim Indonesia
yang berhasil mengadakan kontak dengan para ulama Saudi Arabia dari
aliran pemikiran Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, di tanah suci.72
Di sisi
lain, keberadaan Salafi Wahabi selalu dipertanyakan oleh khalayak ramai,
apakah mereka selalu identik dengan memakai baju koko putih, bersorban
atau berpeci, memelihara janggut, celana warna gelap di atas mata kaki
(celana ngatung), mayoritas menggunakan cadar bagi akhwāt (saudari
perempuan) dan sebagainya. Juga, terkadang mereka menggunakan istilah-
istilah yang terkesan memonopoli kebenaran, seperti “ahl al-sunnah”, “salaf”,
“al-salaf al-ṣāliḥ”, “tauhid”, “ahl al-bidʻah”, “musyrik”, “golongan selamat”
(firqah nājiyah), “sesat”, “penerbit Islam ilmiah terpercaya”, dan yang
semisalnya.
Dalam teori pragmatisme tentang kebenaran (the pragmatist theory of
truth), bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
terhadap agamanya dalam berbuat kebajikan. Hasil wawancara dengan Habib „Alī ibn „Abd
Allāh al-Qadrī, pada Kamis (malam) dalam acara Majelis Shalawat dan Zikir
Syababunnajah, 30 April 2015. 70
Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah
Mubārakah lā Madhhab Islāmī, 231. 71
Meski demikian, Indonesia tidak menganut paham sekular yang membuat Negara
dan pemerintah sama sekali tidak memperdulikan peri kehidupan beragama. Tidak pula
negara agama, yang memihak kepada salah satu agama. Selanjutnya lihat, Habib Rizieq
Syihab, Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah, Cet. ke-1 (Jakarta: Suara Islam
Press, 2013), 88; Lihat pula, B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia
(Netherland: The Hague Martinus Nijhoff, 1971), 38. 72
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan:.., 32.
19
bergantung kepada asas manfaat.73
Kebenaran suatu pernyataan dapat diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional/bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat atau bersifat riil dalam kenyataan sehari-harinya.
Dengan perkataan lain, kebenaran dapat terbukti bila ada kesesuaian antara
pernyataan tentang sesuatu dengan realita yang terjadi.
Berkaitan dalam memahami ilmu Al-Qur‟an misalnya, Ibn Taymīyah
(w. 728 H/1328 M) dalam Majmūʻ Fatāwā-nya menyebutkan bahwa, ashal
ilmu yang harus lebih diprioritaskan daripada ilmu-ilmu pelengkap, seperti
‘ilm al-kalām, dialektika, khilāfīyah, furūʻ (cabang-cabang keagamaan) yang
langka, taqlīd yang tidak diperlukan, hadis-hadis gharīb (asing) yang tidak
thābit (berkekuatan tetap) dan tidak bermanfaat, dan berbagai jenis ilmu pasti
yang tidak ada ḥujjah-nya dengan meninggalkan menghafal Al-Qur‟an yang
tentunya lebih penting dari semua itu.74
Di samping itu, hierarki ilmu
pengetahuan menurut Ibn Taymīyah bahwa, urutan ilmu yang paling pokok
kepada yang berstatus pelengkap adalah: ilmu akidah, ilmu syariat serta
menghafal, memahami, dan mengamalkan Al-Qur‟an, juga ilmu lainnya yang
diperlukan oleh masing-masing individu. Berkenaan dengan yang bersifat
individu ini, menurut Ibn Taymīyah adalah bersifat relatif tergantung pada
keperluan individu tersebut.75
Misalnya bila seseorang menggeluti dunia
dakwah, maka ilmu-ilmu agama harus dikuasainya secara mendalam hingga
mengetahui mana yang uṣūl (pokok-pokok agama) dan mana yang furūʻ
(cabang-cabang agama). Dengan demikian akan tercapai sebuah
kemaslahatan umat terhadap kesatuan dan kebersatuan mereka.
Apabila kita ingin memahami sebuah agama maka kita harus
mengidentifikasi lima aspek, yaitu: Konsep ketuhanan, pembawa agama atau
nabi, kitab suci, sejarah agama, dan tokoh-tokoh terkemuka agama tersebut.76
Pada realitas Islam di Indonesia, akan terlihat corak budayanya yang berbeda
antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini karena tiap-tiap wilayah
mempunyai adat yang berbeda-beda. Begitu pula corak Islam yang dianut di
Timur Tengah, akan berbeda dengan yang dianut orang-orang di Jawa
Tengah. Ini terlihat dari tata cara merayakan hari-hari besar Islam di Iran,
akan jauh berbeda dengan tradisi yang telah ada di Indonesia. Tradisi
berlebaran di Indonesia dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri jauh
lebih semarak daripada di Makkah dan Madinah. Atau, tradisi Idul Adha
73
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Cet. ke-12 (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), 118-119. 74
Shaykh al-Islām Taqī al-Dīn Aḥmad ibn Taymīyah, Majmūʻ Fatāwā, Jilid 23
(Riyadh: Dār al-Aʻlām al-Kutub Riyadh, 1412 H), 53-55. 75
Shaykh al-Islām Taqī al-Dīn Aḥmad ibn Taymīyah, Majmūʻ Fatāwā, Jilid 23, 53-
55. 76
H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 37-38.
20
yang dilakukan di Indonesia merayakannya biasa-biasa saja, justru di Saudi
Arabia lebih semarak, dan sebagainya.
H. A. Mukti Ali77
berpandangan bahwa, Muḥammad ibn „Abd al-
Wahhāb dan para pengikutnya melihat bahwa kelemahan umat Islam dan
kejatuhan martabatnya dewasa ini tidak lain disebabkan karena akidahnya.
Pada mulanya akidah Islam bersih dari campuran syirik, dan arti lā ilāha
illallāh (tiada yang patut disembah kecuali Allah) mengangkat diri seseorang
lebih tinggi daripada batu dan patung serta orang yang dianggap besar. Orang
menjadi tidak takut mati dalam menjalankan sesuatu yang hak, dan tidak
takut membenci sesuatu yang munkar dan mengajak sesuatu yang makruf,
sekalipun menghadapi tantangan dan rintangan. Mereka merasa bahwa hidup
ini tidak ada artinya, kecuali harus dipergunakan untuk menegakkan
kebenaran dan menolak kezaliman.
Dalam kenyataannya, “Wahabisme” telah menjadi istilah generik,
yang dapat diterapkan tidak hanya kepada gerakan khusus yang dicetuskan
oleh Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, namun juga pada semua jenis
fenomena yang analog (serupa) di seluruh dunia Islam yang mencanangkan
“pemurnian” agama dari bidʻah-bidʻah yang merendahkan derajat agama.78
Di samping itu, Wahabisme tidak hanya terbatas pada gerakan Wahabi aktual
seperti yang dikenal sejarah, namun juga menjadi suatu istilah “ide Wahabi”
atau terinspirasi dakwah Wahabi, yang meliputi semua fenomena yang serupa
di dunia Islam.79
Ia pun menegaskan untuk kembali monoteisme
(kepercayaan yang mengakui hanya ada satu Tuhan) dan persamaan manusia,
dikomparasikan dengan berbagai tingkat penafsiran kembali warisan positif
aktual tradisi Islam demi terwujudnya kembali masyarakat Islam, yaitu di
bawah pengamalan Al-Qur‟an dan Sunnah.
Agama merupakan satu bentuk pengakuan dari pemeluk agama
terhadap adanya satu Dzat Yang Maha. Jadi, sebuah agama atau aliran
keyakinan berdiri menuju satu kekuatan di luar kekuatan manusia yang
diyakini menciptakan semua hal yang ada di jagat raya. Dia lah yang
menciptakan kehidupan dunia dan kehidupan setelah di dunia. Ada banyak
sebutan untuk Dia, yaitu Allah, Tuhan, Ilah, Sang Hyang Widi, Yahweh, Hu
dan lain-lain.80
Kendati demikian, dari beberapa penyebutan tersebut
hanyalah ditujukan kepada sang al-Khāliq, pencipta alam semesta ini.
77
H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta:
Djambatan, 1995), 48-49. 78
Fazlur Raḥmān, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Cet. ke-4 (Bandung: Pustaka,
2000), 289. 79
Lihat, Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad, 8; Lihat pula, Noorhaidi Hasan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic
Radicalism after Suharto”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 41. 80
Lihat, Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam di Pesantren”, Jurnal Pendidikan
Pesantren (2013), 12.
21
Agama pada dasarnya adalah iman, tidak ada agama tanpa iman, dan
iman dalam pengertian agama, bukan sekadar pengakuan dan pengetahuan
tentang adanya Tuhan saja, tetapi iman itu dibangun dari pengalaman yang
intens berhubungan secara langsung dan pribadi dengan Tuhan.81
Salah satu
cara berhubungan secara pribadi yang dilakukan oleh umat Islam adalah salat
yang dilakukan pada dataran iḥsān, yaitu dalam salatnya ia seakan-akan
melihat Tuhan dan jika tidak, maka ia meyakini bahwa Tuhan melihat
dirinya, sehingga bacaan yang diucapkan dalam salatnya sepenuhnya menjadi
komunikasi dan dialog pribadi dengan Tuhan-nya, juga membekas pada
jiwanya, dan mendorong pribadinya untuk dapat mencegah dan menjauhi
perbuatan keji dan kotor.82
Pengembangan hukum Islam pada masa mendatang akan sangat
dipengaruhi bagaimana hukum Islam dikembangkan dengan kerangka filsafat
ilmu. Hukum Islam sebagai ilmu mempunyai karakteristik keilmuan yang
dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun melalui
asas-asas tertentu, pengetahuan-pengetahuan tersebut terjaring dalam satu
kesatuan sistem, dan mempunyai metode-metode tertentu. Dari karakteristik
hukum Islam sebagai ilmu tersebut memperlihatkan bahwa apapun yang
dihasilkan dari hukum Islam adalah suatu produk penalaran yang berarti pula
menerima konsekuensi-konsekuensinya sebagai ilmu.83
Di samping itu, untuk mengembangkan pemikiran dan studi hukum
Islam dalam kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang, selain studi
normatif selama ini, sudah saatnya dan sangat urgen bagi para pakar hukum
Islam mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka
sosiologi dengan pendekatan sejarah sosial.84
Setelah dijelaskan pendekatan
sejarah sosial dalam studi dan pemikiran hukum Islam, lalu menggunakan
pendekatan sosiologis. Maksud pendekatan sosiologis ini adalah mempelajari
faktor-faktor sosial, politik, dan kultural apa yang melatarbelakangi lahirnya
81
Sebagaimana yang dikutip oleh Musa Asyʻari, bahwa pengalaman spiritual atau
pengalaman mistik dan kadang juga disebut pengalaman agama dapat dikatakan sebagai
esensi dari keberagamaan seseorang. Seluruh doktrin agama selalu menempatkan hal ini
secara eksplisit di dalam teologi atau dogmanya. Kondisi pengalaman spiritual atau
pengalaman keagamaan (religious experience) bisa menjadi salah satu kriteria dari kebenaran
agama, karena sesungguhnya pengalaman transendensi ini merupakan hal yang umum terjadi
di dalam seluruh tradisi-tradisi agama. Lihat Philip C. Almond, Mystical Experience and
Religious Doctrine (Berlin: t.tp., 1982), 5; Fazlur Raḥmān, Islamic Methodology in History
(Karachi: Central Institute is Islamic Research, 1965), lihat khusus pada bagian “Spiritual
Life: Sufism”, 105-117; Lihat pula Musa Asyʻari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam
Berpikir, Cet. ke-3 (Yogyakarta: LESFI, 2002), 169. 82
Musa Asyʻari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir, 169. 83
Yusdani, dalam Ṭāḥā Jābir al-Ulwānī, Metodologi Hukum Islam Kontemporer,
terj. Yusdani, Cet. ke-1 (Yogyakarta: UII Press, 2001), xiii. 84
Yusdani, dalam Ṭāhā Jābir al-Ulwānī, Metodologi Hukum Islam Kontemporer,
xiv.
22
suatu produk pemikiran hukum Islam, dan bagaimana dampak produk
pemikiran hukum Islam itu terhadap masyarakat.85
Untuk mengisi kekurangan tersebut, para yuris (ahli hukum, sarjana
hukum) Muslim telah menggunakan akalnya dan hasilnya adalah produk
pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apa warna atau bagaimana
dinamika produk pemikiran hukum itu akan tergantung kepada keberanian
para pemikir hukum Islam yang ada sekarang.86
Terlebih dalam pandangan
kaum salaf, bahwa Islam hendaknya ditemukan ajaran sejatinya, yaitu
kembali pada ajaran murninya yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah.
Agenda besar salafisme adalah pencarian otentisitas, yang kemudian dapat
dijadikan sebuah konsep murni ajaran Islam, seperti akhlak Islam, syariat
Islam, masyarakat Islam, pandangan hidup Islam, negara Islam, hingga
khilafah Islam. Oleh karenanya akan terbangun ukhuwah islamiyah yang riil
di dalam lingkungan Islam itu sendiri.
Di samping itu, membentuk hubungan spiritual beragama, menjalin
silaturahmi antar sesama, hingga membuat komunitas Muslim yang ideal,
yaitu penuh kasih sayang, hormat-menghormati, mencintai kebaikan,
kebenaran dan keadilan hingga membuat riil bahwa bangsa Indonesia ini
benar-benar mayoritas Muslim yang sekaligus berprinsip, berperilaku dan
berakhlak qur‟ani, dan sesuai dengan ajaran Sunnah Rasulullah saw.
B. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Secara umum pembahasan tentang Salafi Wahabi banyak dikaji oleh
para peneliti, baik berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia. Namun, belum
banyak sarjana keislaman yang mencurahkan perhatiannya pada kajian sikap
pengikut Salafi Wahabi dari sisi khilāfīyah di Indonesia. Hal tersebut
disebabkan penelaahan yang belum komprehensif berkenaan tinjauan apa
saja yang menjadi polemik di kalangan masyarakat antara Islam moderat dan
Islam fundamental/puritan.
Dalam bahasa Arab, ada sebuah buku yang berjudul al-Salafīyah:
Marḥalah Zamanīyah Mubārakah Lā Madhhab Islāmī (Salafi: Sebuah Fase
Sejarah Bukan Mazhab), karya Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī. Ramaḍān
al-Būṭī ini merupakan salah seorang pemikir Islam Timur Tengah Damaskus,
Suriah, kelahiran Turki. Ia menyatakan bahwa Wahabi berganti nama
menjadi “Salafi” atau terkadang Ahl al-Sunnah -- tanpa diikuti dengan kata
wa al-Jamāʻah -- karena mereka merasa risih disebut sebagai Wahabi. Hal ini
disebabkan masa lampau yang buruk yang pernah dilakukan oleh pengikut
Wahabi awal. Dalam buku ini dibahas tentang pernyataan, bahwa mengklaim
85
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 246. 86
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 127.
23
bermazhab salaf adalah bidʻah, juga membahas dampak negatif yang timbul
atas umat Islam akibat dari amalan bidʻah. Oleh karenanya akan terlihat pada
pembahasan sejarah berkenaan asal mula munculnya istilah “mazhab
salafīyah”. Namun belum ditelusuri pembahasan tentang sikap pengikut
Salafi Wahabi dalam kancah pergolakan umat terhadap fenomena sosio-
kultural yang berkembang, khususnya di Indonesia secara spesifik.
Al-Lāmadhhabīyah: Akhṭaru Bidʻah Tuhaddidu al-Sharīʻah al-
Islāmīyah (Paham Anti-Mazhab: Bidʻah yang Paling Berbahaya Mengancam
Syariat Islam), yang mana buku ini merupakan karya kedua dari Muḥammad
Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī. Dalam buku ini merupakan sebuah klarifikasi
munculnya buku yang berjudul “Hal al-Muslim Mulzām bi Ittibāʻ Madhhab
Muʻayyan? (Apakah Seorang Muslim Wajib Mengikuti Mazhab Tertentu?).
Penulismya menggunakan nama “sahabat pena” (samaran), yaitu Shaykh
Muḥammad Sulṭān al-Maʻṣūmī al-Khajnadī, seorang pengajar di Masjid al-
Ḥarām. Al-Būṭī menjawab terhadap buku kecil tersebut (al-kurrās), yaitu
dengan cara memaparkan penyelewengan-penyelewengan di dalamnya,
mengkritik argumen-argumennya, dan menjelaskan bagaimana sebenarnya
tata cara bermazhab yang benar dalam Islam serta pandangan ulama terhadap
sikap perbedaan dalam bermazhab dan bertaklid. Dari kajian kritik tersebut
dapat diantarkan ke arah pemahaman terhadap bagaimana bermazhab dan
bertaklid, karena hal ini dapat dikaitkan pada kajian toleransi dalam
bermazhab dan taklid dalam Islam.
Salah seorang ulama besar (Grand Shaykh) Al-Azhar,87
juga seorang
Mufti Agung Mesir, yaitu „Alī Jumʻah (Ali Gomma), dalam kajian bukunya
al-Mutashaddidūn Manhajuhum wa Munāqashatu Ahammi Qaḍāyāhum, di
mana ia menjelaskan bahwa, mereka (kaum Salafi Wahabi, pen.) telah
mengubah nama “Wahabi” menjadi “Salafi” untuk mengelabui (merancukan)
umat Islam bahwa ajaran Wahabi ini tidak bersumber dari Muḥammad ibn
„Abd al-Wahhāb, melainkan dari Salaf. Juga, agar mereka merasa aman dan
nyaman dari sorotan masyarakat dalam menyebarkan dakwahnya.88
Dalam
kajian tersebut, „Alī Jumʻah berupaya untuk meluruskan akidah dan
pemahaman orang-orang yang keras atau kaku dalam beragama, sehingga
terlihat gerakan dakwah yang cenderung bersifat ekstrem bahkan sangat
meresahkan. Hal ini, tidak terkecuali dakwah tersebut masuk ke Indonesia.
87
Beliau adalah Guru Besar bidang Uṣūl al-Fiqh di Universitas Al-Azhar, Kairo-
Mesir, di antara buah karyanya dalam bidang tersebut, yaitu al-Ijmāʻ ‘inda al-Usūlīyīn dan
Taʻāruḍ al-Aqīsah ‘inda al-Usūlīyīn, masing-masing diterbitkan oleh Dār al-Risālah, Kairo,
pada tahun 2002 dan 2004. 88
Berkenaan hal ini dapat ditelusuri pada http://www.muslim.net/vb/
showthread.php?t = 388005; Juga telusuri, http://aljazeeratalk.net/forum/showthread.php?t =
242583, berjudul: al-Salafīyah wa al-Fikr al-Salafī li Faḍīlah al-Muftī al-Duktūr ‘Alī
Jumʻah.
24
Misalnya, dari pihak mereka selalu mengkampanyekan takfīr (pengafiran),
tashrīk (pemusyrikan), atau tabdīʻ (pembidʻahan) kepada kalangan yang tidak
sepaham dengan mereka. Adapun kajian dalam bukunya tersebut meliputi, di
antaranya: mazhab Asyʻari, hukum memperingati maulid Nabi saw,
menghitung lafal zikir dengan subḥaḥ (tasbih), masjid yang bersambungan
dengan kuburan, tawassul, dan lain-lain.
Salah satu karya paling akhir, dalam bahasa Inggris, adalah Wahhabi
Islam: From Revival and Reform to Global Jihad, karya Natana J. Delong-
Bas, penerbit Oxford University Press, New York, tahun 2004. Dalam buku
ini, Natana J. Delong-Bas menegaskan bahwa, Muḥammad ibn „Abd al-
Wahhāb adalah seorang ahli hukum dan sarjana yang telah melaksanakan isi
kandungan Al-Qur‟an ke dalam memorinya pada usia sepuluh tahun.89
Dari
berbagai tulisannya sudah dibangun pondasi yang kuat guna mendasari
pandangan dunia Muslimnya. Di samping itu, Natana J. Delong-Bas
menggambarkan juga bahwa Islam Wahabi sebagai aliran pemikiran,
mazhab, dan gerakan yang radikal, di mana mereka selalu mengajak kepada
„ajaran murni‟ yang mereka yakini untuk dapat diaplikasikan oleh kalangan
umat Muslim. Terlebih, otoritas pada Islam Wahabi, sebagaimana
digambarkan oleh Delong-Bas, membuat gerakan ini lebih baik, juga
mengambil sikap bagaimana Wahabisme lebih militan setelah wafatnya
Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb, karena proses keadaan sejarah, di mana
mengakibatkan interpretasi berbeda terhadap ajarannya.90
Dalam penelitian
tersebut, Natana J. Delong-Bas belum menjelaskan secara konkret berkenaan
sikap Salafi Wahabi dalam masalah keagamaan, khususnya dalam bidang
khilāfīyah, sehingga belum tergambar pada hal-hal yang melatarbelakangi
berkembangnya Salafi Wahabi dalam bidang penerapan hukum keagamaan.
Hal tersebut justru yang menjadi polemik dalam lingkungan masyarakat
Muslim secara khusus, dan kalangan masyarakat non-Muslim secara umum.
Ada penulis asal Sudan, Abdullahi Ahmed an-Naʻim, yang dikenal
luas sebagai pakar Islam dan hak asasi manusia (HAM), dalam perspektif
lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-
negeri Islam dan Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan politik. Di
Indonesia, tepatnya pada akhir Juli hingga awal Agustus tahun 2004, ia
pernah keliling ke berbagai kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Aceh, dan Makassar. Hal ini bertepatan dengan peluncuran bukunya yang
berjudul Islam and Secular State: Negotiating the Future of Sharia. Edisi
bahasa Indonesianya berjudul “Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan
89
Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global
Jihad, 17-18. 90
Catatan dari Natana J. Delong-Bas dalam sebuah interview yang ia berikan
melalui the Saudi-American Forum; tersedia di http://www.saudi-american-forum-
org/Newsletters2004/SAF_Item_Of_Interest_WahhabiIslam1.htm.
25
Masa Depan Syariah”. Adapun panitia penyelenggara lokalnya yaitu Center
for the Study of Religion and Culture (CSRC). Dalam penjabaran
penelitiannya, di antaranya ia mengatakan bahwa syariah memiliki masa
depan yang cerah dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan
syariah dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak bangsa untuk hidup
bermasyarakat, membina keluarga dan lembaga, hingga dapat beradaptasi
dalam sosio-kulturalnya. Terlebih, syariah akan terus memainkan peran aktif
dalam membentuk dan mengembangkan, baik norma maupun nilai etika yang
dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui
proses politik yang adil dan berdaulat, yakni secara demokratis. Oleh karena
itu, menurut an-Naʻim, sebagai ajaran suci, syariah hendaknya dilaksanakan
oleh setiap Muslim secara suka rela. Dengan lain perkataan, syariah tidak
boleh diatur oleh negara secara formal dan paksa, sehingga menyebabkan
hilangnya otoritas dan nilai kesuciannya dari prinsip-prinsip syariah tersebut.
Dalam konteks kajian gerakan Wahabi yang pernah terjadi di Jazirah Arab,
bagian Arabia Tengah, telah dikuasai oleh kerajaan Saʻudi hingga seakan ada
pemaksaan dalam penerapan ajaran agama.91
Hal ini tentunya akan
mengurangi identitas syariah dalam aplikasi kehidupan seorang Muslim.
Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī,92
seorang pemikir liberal kelahiran
Mesir, dalam bukunya Uṣūl al-Sharīʻah, membuat kerangka teori dalam
membedakan antara agama sebagai ide murni dan sebagai pemikir untuk
menjabarkan ide murni tersebut. Ia berpendapat bahwa hukum tradisional
harus dibebaskan dari sisi idealis keagamaan, dan harus dijiwai oleh “prinsip-
prinsip umum syariah”. Prinsip-prinsip umum syariah itu meliputi: 1) syariah
merupakan pandangan hidup yang penuh dengan semangat kedermawanan
dan kasih sayang. Dengan semangat ini niscaya syariah akan siap
diaplikasikan secara komprehensif dan sempurna; 2) interpretasi yang benar
terhadap syariah dan diimplementasikan bersama realitas kehidupan manusia;
dan 3) syariah harus siap melayani kepentingan publik (umum), dan
penghilangan terhadap salah satu ayat oleh ayat yang lain (naskh) tidak
memiliki fungsi untuk melayani kepentingan ini, dan 4) diperlukan
penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an untuk membedaan antara ayat yang
menunjukkan arti universal dan ayat yang khusus untuk diri Nabi saw saja.93
Dalam hal ini, bagi al-Ashmāwī bahwa kesempurnaan syariah hanya bisa
91
J.B. Kelly, Eastern Arabian Frontiers, 54-55. 92
Ia menyelesaikan studinya di fakultas hukum, yang mana dapat mengantarkan
dirinya menjadi seorang hakim dan penasihat hukum di dunia peradilan Mesir. Dari sisi
jabatan, ia pernah mengemban amanat menjadi Ketua Mahkamah Pidana dan Mahkamah
Keamanan Negara, yaitu sebuah pengadilan khusus yang menangani kasus-kasus subversif
(bertujuan mengganggu ketertiban) dan perlawanan terhadap negara. Kini, ia menjadi salah
satu anggota Kejaksaan Agung Mesir. 93
Muḥammad Saʻīd al-Ashmāwī, Uṣūl al-Sharīʻah (Beirut: Dār Iqra‟, 1983), 55-59.
26
diraih dengan menyesuaikan pada kondisi sosial dan kepentingan manusia
yang terus-menerus berubah.94
Wael B. Hallaq mengadakan penelitian tentang sejarah teori hukum
Islam, yakni mulai dari masa kebangkitan sampai dengan masa modern
sekarang ini. Di samping itu, ia juga mengadakan sebuah analisis tentang
pembentukan teori hukum Islam yang pertama, yaitu meliputi latar belakang
munculnya teori hukum Islam, argumen-argumen di kalangan para mujtahid,
serta meneliti pertumbuhan sinkronik95
dan diakronik96
yang menyebabkan
timbulnya berbagai macam aliran dan sekte dalam agama. Buku tersebut
berjudul A History of Islamic Legal Theories: In Introduction to Sunni Ushul
Fiqh. Yang lebih menarik lagi dalam penelitian Hallaq ini adalah, ia
menjabarkan suatu teori hukum tentang realitas sosial yang berlaku umum.
Juga, teorinya tersebut memiliki pengaruh yang penting dalam pembentukan
hukum modern. Dari penelitian Hallaq tersebut, penulis dapat
mengkorelasikannya dengan pembentukan maqāṣid al-sharīʻah yang
dijabarkan oleh al-Shāṭibī dalam kitabnya al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-
Sharīʻah,97
di mana kalangan Salafi Wahabi mempraktikkan ijtihad mereka
dalam penerapan hukum Islam.
Demikian pula yang dijabarkan oleh seorang pemikir Islam
kontemporer, Khaled Abou El-Fadl, dalam karyanya The Great Theft:
Wrestling Islam from the Extremists, di mana ia meluruskan pemahaman
jihad dengan makna “berperang”. Menurut El-Fadl, jihad yang tertera dalam
Al-Qur‟an adalah segala komitmen yang berimplikasi pada perjuangan
mendapatkan ilmu pengetahuan, konsentrasi (fokus) terhadap manusia yang
lemah (termasuk manusia yang sakit dan miskin), membela kebenaran dan
keadilan. Jadi, menurut El-Fadl, jihad tidak hanya diartikan dengan
pengertian “perang” saja, sebab term (istilah) “holy war” (perang suci) dalam
bahasa Arab disebut al-ḥarb al-muqaddasah. Adapun Al-Qur‟an
menggunakan istilah al-qitāl untuk makna berperang. Terlebih, Al-Qur‟an
juga memperhatikan tentang proses negosiasi dan resolusi dalam berperang,
yaitu lebih mengutamakan perdamaian (peace) dengan cara memaafkan dan
dilakukan dengan cara lemah lembut, bukan dengan kekerasan.98
Berkenaan
kata jihad tersebut, dalam kontek gerakan Wahabi, ia juga ditunjukkan untuk
94
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: In Introduction to Sunni
Ushul Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 241. 95
Kata “sinkronik” atau sinkronis yaitu berkenaan dengan bahasa, adat-istiadat, dan
sebagainya pada waktu yang tertentu. 96
Kata “diakronik” atau diakronis yaitu bersifat historis dalam hal pendekatan
terhadap bahasa dengan melihat perkembangan zaman. 97
Abū Isḥāq Ibrāhīm ibn Mūsā ibn Muḥammad al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-
Sharīʻah (t.tp.: Dār al-Fikr, tt.). 98
Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists
(New York: Harper San Francisco, 2005), 221-225.
27
memenangkan dakwah, dan memberantas praktik-praktik syirik,99
sehingga
kata jihad dapat dilihat dari berbagai sisi yang melatarbelakangi penunjukan
kata tersebut.
Penelitian terdahulu yang dapat dikorelasikan pada pembahasan sikap
pengikut Salafi Wahabi adalah Kontroversi Bidʻah dalam Tradisi
Keagamaan Masyarakat Muslim di Indonesia yang ditulis oleh Supani,
diterbitkan oleh STAIN Press, Purwokerto, tahun 2013. Salafi Wahabi
banyak menyinggung persoalan tradisi, yang mereka anggap bidʻah, sehingga
pembahasan dalam buku tersebut banyak menitikberatkan pada pembahasan
tawassul, membaca uṣallī, peringatan maulid Nabi, dan lain-lainnya.
Penelitian ini merupakan kajian komparatif antara pemikiran A. Hassan
(1887-1958 M) dan Siradjuddin Abbas (1905-1980 M) berkenaan dengan
masalah-masalah tradisi keagamaan yang dinilai bidʻah. Dari penelitian ini
akan diantarkan pada pembahasan tradisi keagamaan masyarakat Muslim di
Indonesia.100
Ada pembahasan tentang hadis-hadis bidʻah yang ditulis oleh Ahmad
Tanthawi, di mana penelitian ini sebagai hasil karyanya, sekaligus tesis di
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2009. Penelitian ini berjudul “Bidʻah Perspektif „Abd Allāh
ibn Bāz dan Muḥammad ibn „Alawī”. Ada dua substansi dalam penelitian ini,
yaitu mengenai paradigma pemikiran dan metodologi yang digunakan oleh
dua tokoh, „Abd al-„Azīz ibn „Abd Allāh ibn Bāz, salah seorang tokoh Salafi
Wahabi dan Muḥammad ibn al-„Alawī, yaitu interpretasi tentang hadis-hadis
bidʻah.
Ada sebuah penelitian tentang sikap Salafi Wahabi yang ditulis oleh
A. Shihabuddin, yaitu dengan judul Membongkar Kejumudan: Menjawab
Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, yang diterbitkan oleh Noura Books, tahun
2013. Buku ini relatif baru dan komprehensif, karena diuraikan bukan hanya
amalan-amalan yang dianggap bidʻah oleh kalangan Salafi Wahabi, juga
ditulis berkenaan peran kaum „Alawiyyīn di Nusantara101
dan sejarah
99
AM. Waskito, Bersikap Adil kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental
Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram, Cet. ke-1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2011), 217. 100
Yang dimaksud dengan tradisi keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia
adalah praktik-praktik keagamaan yang dijalankan oleh sebagian masyarakat Muslim
Indonesia sebagai hasil perpaduan antara Islam dan budaya lokal. Bentuk dan wadahnya
diambil dari budaya lokal, tetapi substansinya berupa ajaran Islam. Praktik tersebut hingga
sekarang menjadi tradisi sebagian Muslim Indonesia, antara lain; kebiasaan melakukan acara
selamatan kematian, berbagai aktivitas seputar kuburan, peringatan Maulid Nabi, dan
melakukan tawassul. Lihat, Supani, Kontroversi Bidʻah dalam Tradisi Keagamaan
Masyarakat Muslim di Indonesia, Cet. ke-1 (Purwokerto: STAIN Press, 2013), 2. 101
Pemusnahan peran bangsa Arab, khususnya kaum Sayyid „Alawiyyīn, dalam
penyebaran Islam di Indonesia, merupakan agenda utama Pemerintahan Kolonial Hindia
28
Walisongo, yakni seputar para Sayyid (Tuan) Tanah Jawa dan ajaran-
ajarannya. Dalam buku tersebut digambarkan pula bahwa kaum Salafi
Wahabi dikenal sebagai golongan yang memiliki cara berpikir fundamentalis-
literalis, yakni dalam menafsirkan, baik Al-Qur‟an maupun Hadis, secara
tekstual. Dengan demikian, bagi siapa saja yang tidak sependapat dengan
mereka dianggap bidʻah, syirik, bahkan kafir. Terlebih, dalam kajian ini
dipaparkan berkenaan beberapa kekeliruan para ulama Salafi Wahabi dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis, ketidakkonsistenan mereka dalam
mengemukakan dalil, serta sejarah munculnya Salafi Wahabi.
Dari beberapa penelitian tersebut di atas, akan menjadi inspirasi bagi
penulis dalam mengembangkan kajian ilmiah yang mengarah pada sikap
pengikut Salafi Wahabi, lebih khusus berkenaan dengan khilāfīyah (perkara-
perkara cabang) dalam praktik keberagamaan di kalangan masyarakat. Di
samping itu, membahas hal-hal krusial dalam beragama, seperti masalah
akidah yang menjadi benteng kekuatan umat Islam itu sendiri. Namun,
menjadi persoalannya adalah bagaimana mengkomparasikan antara ketentuan
hukum agama yang ketat dengan hukum yang bersifat fleksibel hingga dapat
diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
Oleh karena itu, di satu sisi pembahasan tentang Salafi Wahabi,
gerakan Salafi Wahabi hingga prinsip-prinsip dakwah Salafi Wahabi sudah
banyak dikaji oleh para penulis atau peneliti. Namun, di sisi lain, secara
spesifik pembahasan sikap pengikut Salafi Wahabi, khususnya di Indonesia
masih minim atau bahkan belum rampung secara komprehensif, baik dari
tinjauan akidah maupun ibadah.
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, memiliki beberapa tujuan, yaitu:
a. Memberikan gambaran yang jelas tentang awal sejarah munculnya
Salafi Wahabi di Indonesia.
b. Menelaah secara seksama berkenaan masalah-masalah khilāfīyah
yang menjadi polemik di kalangan umat Islam itu sendiri.
c. Mengetahui sikap Salafi Wahabi, baik dari sisi akidah maupun ibadah,
terhadap pemahaman keagamaan.
D. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat/signifikansi, baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah khazanah ilmu
Belanda. Dengan berbagai cara, Pemerintah Kolonial Belanda menghilangkan peran kaum
„Alawiyyīn (julukan keturunan Nabi saw yang berasal dari Hadramaut/Yaman Selatan)
membumikan Islam di Nusantara. Selanjutnya lihat, A. Shihabuddin, Membongkar
Kejumudan: Menjawab Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, Cet. ke-1 (Jakarta: Noura Books,
2013), 473.
29
pengetahuan dan memberikan konstribusi dalam bentuk deskripsi
pergerakan-pergerakan Salafi Wahabi di Indonesia.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau
sumber inspirasi bagi peneliti lebih lanjut. Terlebih di zaman sekarang ini,
mayoritas masyarakat umum lebih mudah terprovokasi dengan isu-isu
keagamaan atau keyakinan, sehingga dapat terhindar dari hal-hal yang
menyebabkan mudarat (tidak berguna) yang lebih besar.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu
menitikberatkan pada kajian kepustakaan (library research) dan akan
menghasilkan data deskriptif hingga memerlukan pendekatan deskriptif
analitis. Deskriptif analitis ini digunakan dalam memaparkan awal
sejarah munculnya Salafi Wahabi dan keberhasilan mereka dalam
pergerakan dakwah. Oleh karenanya penelitian ini juga mengarah pada
metode penelitian historis dengan cara mengumpulkan data dari sisi
pandangan sosial teks dan konteks yang melatari beberapa kasus
tersebut.102
Hal ini perlu dilakukan karena dalam menelusuri suatu
pergerakan hendaknya dicari sebab dan faktor-faktor secara seksama,
sehingga menghasilkan sebuah kajian kritis.
Kajian analisa-kritis tersebut menggunakan sumber-sumber dari
berbagai peristiwa sejarah yang memiliki korelasi terhadap permasalahan
yang dikemukakan di atas. Dengan demikian, informasi yang diperoleh
lalu dikaji secara kritis dan mendalam hingga mengetahui sejauh mana
informasi tersebut memiliki kredibilitas atau tidak, juga mengetahui
apakah dokumen yang memuat tentang informasi sejarah bersifat otentik
atau tidak. Penelitian dengan menggunakan metode sejarah
mengantarkan kepada penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-
keadaan, perkembangan, serta pengalaman di masa lampau dan
menimbang secara cukup detail dan hati-hati tentang bukti validitas dari
sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan
102
Metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan
mendalam, hingga mengajukan sebuah sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk
tertulis atau diaplikasikan dalam sebuah kajian ulang. Di samping itu, metode historis
merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk merekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, dan
mensintesiskan bukti untuk menetapkan fakta-fakta dan mencapai kesimpulan yang lurus/
tegak. Lihat, Stephen Issac dan William B. Michael, Handbook in Research and Evaluation
(California: Robert R. Knapp, Publisher, 1974), 14-17; Lihat, ʻUbaydat, et. al., al-Baḥth al-
‘Ilmī: Mafhūmuhu, Adawātuhu, Asālībuhu (Oman: Dār al-Fikr, 1992), 169; Lihat pula,
Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah (Jogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007), 53-54.
30
tersebut.103
Di samping itu, sejarah merupakan ilmu yang didefinisikan
sebagai ilmu yang membahas peristiwa dengan memperhatikan unsur,
tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut.104
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research)
yang merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata atau tulisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati.105
Oleh karenanya penelitian ini memiliki beberapa ciri
dari sebuah karakteristik penelitian kualitatif, yaitu meliputi: a) natural
setting sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrumen106
kunci; b) bersifat deskriptif; c) lebih mengutamakan hasil daripada
proses; d) analisis data secara induktif; dan e) makna atau meaning
merupakan perhatian utamanya.107
2. Sumber Data
Dalam proses pengumpulan data, peneliti akan menelusuri
tulisan-tulisan pengikut Salafi Wahabi, misalnya buku yang ditulis oleh
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Mulia dengan Manhaj Salafi”, di sana
penulis menggambarkan tentang keutamaan al-Salaf al-Ṣāliḥ disertai
dalil-dalil yang menyatakan bahwa al-manhaj al-salafī sebagai ḥujjah
(dalil) yang wajib diikuti oleh kaum Muslimin. Juga, prinsip-prinsip al-
manhaj al-salafī dalam hal akidah, ibadah, hingga dakwah salafiyah. Di
samping itu, peneliti mendasarkan pula pada telaah naskah atau
dokumen, yaitu untuk mengetahui sebuah tindakan sosial dapat ditelusuri
dari beberapa hal, seperti fatwa-fatwa, khutbah (pidato) atau syair-syair
yang relevan terhadap pokok-pokok bahasan yang dikaji.108
Sumber data
yang dikategorikan primer berkenaan Salafi Wahabi di antaranya adalah
al-Salafīyah: Marḥalah Zamanīyah Mubārakah lā Madhhab Islāmī dan
al-Lāmadhhabīyah: Akhṭaru Bidʻah Tuhaddidu al-Sharīʻah al-Islāmīyah.
Kedua buku tersebut ditulis oleh Muḥammad Saʻīd Ramaḍān al-Būṭī, di
mana ia mengatakan dalam bukunya itu, buku pertama, bahwa metode
103
Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1988),
55. 104
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), 46. 105
Lihat, Robert K. Yin, The Case Study Anthology (California, Thousand Oaks:
Sage, 2004), xix; Lihat pula, Norman K. Denzim & Yvonna S. Lincoln, The Sage Hanbook
of Qualitative Research (California, Thousand Oaks: Sage, 2005), 1. 106
Instrumen berarti sarana penelitian untuk mendapatkan sumber data atau data
yang akan dikaji. 107
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction for
Theory and Methods (London: Allyn and Bacon, Inc., 1982), 27. 108
Lihat, Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta:
Yayasan Alo Indonesia, 2007); Lihat pula, Siti Baroroh Baried, et. al., Pengantar Teori
Filologi (Yogyakarta: BPPF UGM, 1994).
31
pemikiran, manhaj al-tarbīyah hingga tradisi yang dilakukan oleh para
sahabat Nabi saw pada masa Islam awal, merupakan metodologi
komprehensif dalam mengembangkan ajaran Islam secara utuh (kāffah).
Di samping itu, dijelaskan pula tentang dampak negatif yang timbul atas
umat Islam akibat dari amalan bidʻah. Adapun buku yang kedua
menyoroti tentang keniscayaan sebuah taklid, yaitu bagi penulis
bukanlah sebuah larangan dalam bermazhab pada salah satu imam
mazhab. Hal ini disebabkan taklid merupakan legal secara syariah dan
konsisten dalam bermazhab merupakan sesuatu yang tidak dilarang.
Ada pula buku yang dikategorikan primer, yaitu Wahhabi Islam:
From Revival and Reform to Global Jihad, yang ditulis oleh Natana J.
Delong-Bas. Dalam buku tersebut dijabarkan tentang teologi dan
pandangan pemikiran Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb berkenaan
mempraktikkan interpretasi Al-Qur‟an dan Hadis dalam kehidupan
seorang Muslim. Menurut pandangannya bahwa monoteisme (suatu
ajaran yang mempercayai adanya satu Tuhan) merupakan keyakinan
dalam beragama yang bersifat absolut (mutlak). Dengan lain perkataan,
tidak lagi mengakui kekuasaan di atas kekuasaan Tuhan, seperti
pengkultusan terhadap wali, percaya kepada takhayul, bidʻah, dan
churafat/khurafat (TBC), serta praktik-praktik amalan keseharian yang
dinisbatkan pada ajaran agama yang tidak bersandar pada Al-Qur‟an dan
Sunnah. Juga, dijelaskan tentang interpretasi tradisi klasik terhadap jihad
yang dilakukan oleh Muḥammad ibn „Abd al-Wahhāb dalam dakwahnya.
Di samping itu, menyoroti pula tentang peranan wanita dalam era
modern dan hak asasi mereka dalam pergumulan hidup bersosial.
Selanjutnya, ada sebuah penelitian tentang pemahaman Salafi
Wahabi, yaitu yang berjudul Membongkar Kejumudan: Menjawab
Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, karya A. Shihabuddin, tahun 2013.
Dalam penelitian buku tersebut, penulis menelusuri tentang tuduhan-
tuduhan kaum Salafi yang sering mengkritik amalan-amalan kaum
tradisionalis, khususnya amalan-amalan kaum Nahdliyyin di Indonesia.
Di antaranya sejumlah ritual Islam seperti ziarah kubur, yasinan dan
tahlilan di rumah duka, ber-tawassul kepada Nabi saw dan para wali
dalam berdoa, maulidan, pembacaan istighāthah, dan sebagainya.
Alasannya yang sering mereka katakan bahwa amalan-amalan tersebut
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, atau para sahabat Nabi saw.
Lebih jauh, penulis buku mengkaji bahwa meskipun awalnya tuduhan-
tuduhan tersebut merupakan konsekuensi pilihan metodologi
pemahaman agama. Namun, menurut A. Shihabuddin, justru terlihat dari
radikalisme itu tidak semata soal metodologi. Tetapi sudah semacam
„ideologi‟ yang cenderung mengkristal (mengeras, mengakar) dan tidak
bisa diubah. Dengan demikian, tuduhan kufur, musyrik dan bidʻah
32
adalah terminologi yang pada akhirnya dialamatkan kepada mereka yang
tidak segolongan.109
Selain sumber primer di atas, dalam kajian ini juga menggunakan
sumber sekunder guna memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,
sekaligus sebagai kajian interdisipliner.110
Hal ini penting dilakukan,
karena untuk mengkorelasikan antara satu zaman kepada zaman lain
hendaknya disertai pada peninjauan perkembangan sosio-kultural.
Terlebih, interaksi dalam mengembangkan visi dan misi dakwah serta
keyakinan selaras dengan perkembangan pemikiran para generasi
selanjutnya, baik di dunia Islam maupun di Indonesia itu sendiri.
3. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa kajian ini
merupakan penelitian kualitatif, sehingga peneliti itu sendiri sebagai
instrumen kunci, baik dalam pengumpulan datanya maupun analisis
datanya.111
Dalam proses pengumpulan data, selain mengkaji melalui
penelitian kepustakaan (library research), mengadakan observasi, dan
sistem tanya-jawab, juga mendasarkan diri pada telaah naskah atau
dokumentasi.112
Oleh karena itu, di samping menggunakan sumber data
109
Berkenaan tuduhan-tuduhan ini pernah disinggung oleh Nabi saw dalam sebuah
sabdanya, yang artinya: “Barangsiapa yang berkata pada saudaranya „hai kafir‟, kata-kata itu
akan kembali pada salah satu di antara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak
demikian), maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)” (HR. al-
Bukhārī dan Muslim). Selanjutnya lihat, A. Shihabuddin, Membongkar Kejumudan:
Menjawab Tuduhan-tuduhan Salafi Wahhabi, Cet. ke-1 (Jakarta: Noura Books, 2013), viii-x. 110
Kajian interdisipliner di sini mengarah pada kajian secara komprehensif, karena
dalam pemahaman Islam yang otoritatif (authoritative) diperoleh dari metode yang kuat di
dalam memahami sumber-sumber Islam dan bertanggung jawab, misalnya dengan metode
tajrībī, burhānī, bayānī, dan ‘irfānī. Di samping itu, nilai-nilai ajaran Islam mengakomodir
semua disiplin ilmu yang berkembang di dunia, yaitu sejarah, teologi, hukum, sosiologi,
ekonomi, politik, kedokteran, psikologi, ilmu bahasa, tata ruang, lingkungan hidup, dan lain-
lainnya. 111
Ada beberapa kegunaan dari seorang peneliti yang menggunakan penelitian
kualitatif (qualitative research), yaitu di antaranya: a) responsif, di mana seorang peneliti
dapat merasa, mengalami dan merespon; b) adaptif, yaitu seorang peneliti dapat bersifat
fleksibel hingga dapat berfungsi multi-purpose (berbagai macam tujuan) serta dapat
mengumpulkan informasi multi-factors (berbagai macam faktor/unsur) secara serempak/
berbarengan; c) holistic emphasis, yaitu hanya dari seorang peneliti lah sebagai alat yang
dapat memahami secara keseluruhan konteks; d) tidak menutupkemungkinan perluasan
pengetahuan secara langsung; e) memungkinkan sekali pemprosesan data dengan segera
hingga dapat mengemukakan hipotesis di lapangan; f) banyaknya kesempatan untuk
melakukan klarifikasi dan peringkasan data sewaktu masih di lapangan, dan; g) kesempatan
untuk mencari respons yang atipikal. Lihat, Aminuddin (ed.), Pengembangan Penelitian
Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra (Malang: Hiski, 1990), 15-16. 112
Terdapat beberapa keuntungan dalam studi dokumentasi, yaitu di antaranya: a)
untuk subjek penelitian yang sukar atau tidak dapat dijangkau, studi dokumentasi dapat
memberikan solusi untuk melakukan penelitian; b) tidak reaktif, karena studi dokumentasi
33
primer dan sekunder, juga peneliti mengakses internet, baik berbentuk
jurnal, kutipan ataupun artikel yang relevan terhadap pembahasan kajian
ini. Selanjutnya dari data yang diperoleh diolah, dianalisa hingga ada
pembacaan ulang yang interpretatif guna menemukan pemahaman yang
mendalam.
4. Analisis Data
Data yang dikumpulkan akan dianalisa dengan metode kualitatif,
yaitu dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan, baik sumber
primer maupun sekunder. Oleh karenanya akan menghasilkan sebuah
kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten, dan sistematis dalam
penelitian ini. Di samping itu, semua data-data tersebut yang berhasil
dikumpulkan dianalisis dalam kerangka sosiologis dengan menggunakan
metode deskriptif-interpretatif.113
Deskripsi merupakan uraian dalam
bentuk kategori mengenai fenomena sosial tertentu hingga diperoleh ciri-
ciri yang bervariasi. Dalam kaitan ini dilakukan formulasi sosiologis dan
interpretasi fenomenologis hingga diperoleh pemahaman tertentu
mengenai masalah yang menjadi fokus kajian dalam penelitian.114
Metode kualitatif, sebagaimana konsep Bogdan dan Taylor yang
dikutip oleh Moelong, adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati atau bisa dijadikan sumber informasi.
Dengan demikian, dalam penelitian kualitatif penggunaan data dan
analisis deskriptif-interpretatif dipilih untuk menjawab pertanyaan
mengapa dan bagaimana suatu fenomena sosial dalam kehidupan
masyarakat mengalami proses konstruksi (perubahan atau perbuatan
membangun).115
Proses konstruksi menjadi sebuah keniscayaan pada
setiap waktu dan tempat. Selain hal di atas, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan teori fundamentalisme salafi.116
Hal ini,
tidak dilakukan secara langsung dengan orang; c) analisis longitudinal, di mana untuk studi
yang bersifat longitudinal, khususnya yang menjangkau jauh ke masa lalu, maka studi
dokumentasi memberikan cara yang terbaik, dan; d) besar sampel, yaitu dengan adanya
dokumen-dokumen yang tersedia, teknik ini memungkinkan untuk mengambil sampel yang
lebih besar karena biaya yang diperlukan relatif kecil/sedikit. Lihat, Irawan Soehartono,
Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial
Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 71; Lihat pula, Bailey K. D., Methods of
Social Research, Edisi II (New York: The Free Press, 1982). 113
Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: CIRed,
2004), 99-100. 114
Sartono Kartodirjo, Perspektif Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia, 1993), 126. 115
Lihat, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. ke-8 (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997), 3, 6. 116
Teori fundamentalisme salafi ini dapat ditelusuri pada pembahasannya dalam
Sukron Kamil, Islam & Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik,
34
sebagaimana diketahui bahwa paham salafi juga terbagi pada tiga bagian,
yaitu: dakwahisme, politis dan radikalisme. Dengan demikian akan
ditelusuri pada bagian mana suatu gerakan salafi yang dijalankan oleh
tiap-tiap organisasi atau komunitas tertentu.
Oleh karena itu, analisis data dapat dijalani dengan beberapa hal,
di antaranya:
a. Mendeskripsikan secara sosiologis faktor gerakan sebuah keyakinan
hingga munculnya slogan “bidʻah”, atau bahkan “kafir” bagi yang
tidak sepaham terhadap golongan tertentu.
b. Melakukan pemaknaan terhadap kategori-kategori tersebut hingga
melahirkan deskriptif-interpretatif guna menelusuri faktor-faktor
sosio-teologis terhadap sebuah keyakinan.
c. Menghasilkan sebuah penelitian yang bersifat komparatif-tematis
yang dituangkan tiap-tiap bab pembahasan. Dengan demikian dapat
mengetahui ciri-ciri dan ajaran Salafi Wahabi di Indonesia.
HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Cet. ke-1 (Ciputat: Pusat
Studi Indonesia dan Arab UIN Jakarta, 2013), 163-164.