16
PRODUKSI BIOETANOL DARI ALGAE DAN PERKEMBANGANNYA Andi Adam H. 1 , Hamdana P. P. 1 , Yohan Aldi I. 1 , Yulianto A. N. 1 1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia Abstract Depletion of fossil fuel sources such as crude oil causing fuel scarcity in public. In addition, the environmental problems caused by the fossil fuels spurred researchers to looking for alternative energy sources as a substitute for fossil energy. One of these alternative energy sources is bioethanol. Bioethanol is one promising alternative energy environmentally friendly, renewable and can be produced from multiple biomass feedstocks. Sea algae can be used as raw material for bioethanol production. Potential development of sea algae bioethanol larger than the development of bioethanol made from sugar cane. From this review it is known that the biomass of algae is the raw material that is more beneficial than the raw material of Agrobased (agriculture) for bioethanol production because the available abundant in freshwater and marine ecosystems and, more important is renewable energy. Abstrak Menipisnya sumber bahan bakar fosil seperti minyak bumi menyebabkan kelangkaan bahan bakar pada masyarakat. Selain itu, masalah masalah lingkungan yang diakibatkan oleh adanya bahan bakar fosil memicu para peneliti untuk mencari sumber

Sintesis Dan Karakterisasi Bioetanol Dari Alga

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kimia

Citation preview

PRODUKSI BIOETANOL DARI ALGAE DAN PERKEMBANGANNYAAndi Adam H.1, Hamdana P. P.1, Yohan Aldi I.1, Yulianto A. N.11Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas MaretSurakarta, IndonesiaAbstractDepletion of fossil fuel sources such as crude oil causing fuel scarcity in public. In addition, the environmental problems caused by the fossil fuels spurred researchers to looking for alternative energy sources as a substitute for fossil energy. One of these alternative energy sources is bioethanol. Bioethanol is one promising alternative energy environmentally friendly, renewable and can be produced from multiple biomass feedstocks. Sea algae can be used as raw material for bioethanol production. Potential development of sea algae bioethanol larger than the development of bioethanol made from sugar cane. From this review it is known that the biomass of algae is the raw material that is more beneficial than the raw material of Agrobased (agriculture) for bioethanol production because the available abundant in freshwater and marine ecosystems and, more important is renewable energy.

AbstrakMenipisnya sumber bahan bakar fosil seperti minyak bumi menyebabkan kelangkaan bahan bakar pada masyarakat. Selain itu, masalah masalah lingkungan yang diakibatkan oleh adanya bahan bakar fosil memicu para peneliti untuk mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti dari energi fosil yang ada. Salah satu sumber energi alternatif tersebut adalah Bioetanol. Bioetanol merupakan salah satu energi alternatif yang cukup menjanjikan yang ramah lingkungan terbarukan, dapat diproduksi dari beberapa bahan baku biomassa. Alga laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Potensi pengembangan bioetanol alga laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Dari review ini dapat diketahui bahwa biomassa dari alga adalah bahan baku yang lebih menguntungkan dibandingkan bahan baku dari Agrobased (pertanian) untuk produksi bioetanol karena tersedia berlimpah di air tawar maupun ekosistem laut dan yang lebih penting adalah energi terbarukan.

PendahuluanKebutuhan energi fosil seperti bensin atau solar kian hari kian meningkat. Data dari departemen ESDM menyebutkan bahwa produksi minyak di Indonesia saat ini pertahunnya sebesar 55 juta ton, dimana produksi ini diperkirakan hanya dapat mencukupi kebutuhan BBM di Indonesia selama 10 tahun ke depan. Oleh karena itu, pemanfaatan energi terbarukan seperti pemakaian biodiesel diharapkan dapat mengurangi atau mensubstitusi sekitar 40% atau 25 juta kilo liter kebutuhan BBM nasional yang sampai saat ini masih harus dipenuhi dengan cara mengimpor. Untuk itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No: 5 Tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar pengganti minyak. Pada tahun 2005 di Jakarta telah dilaksanakan sosialisasi bahan bakar alternatif (B10), namun hingga sekarang pemakaian bahan bakar ini masih sebesar 2% (ESDM, 2004).Hal ini menjelaskan bahwa kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan energi fosil ini padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan (Ruso, 2011). Menipisnya sumber bahan bakar fosil seperti minyak bumi menyebabkan kelangkaan bahan bakar pada masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya solusi untuk menanggulangi masalah tersebut, salah satunya dengan pemakaian sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, dapat diperbarui, efisien dalam penggunaannya, dan berbiaya murah (Hall et al., 2003). Selain itu, masalah masalah lingkungan yang diakibatkan oleh adanya bahan bakar fosil memicu para peneliti untuk mencari sumber energi alternatif sebagai pengganti dari energi fosil yang ada. Salah satu sumber energi alternatif tersebut adalah Bioetanol (John et al. (2011)). Sehingga Bioetanol merupakan salah satu energi alternatif yang cukup menjanjikan di masa yang akan datang.Bioetanol merupakan biofuel cair yang ramah lingkungan terbarukan, dapat diproduksi dari beberapa bahan baku biomassa yang berbeda seperti gula atau pati tanaman (seperti tebu, gula bit, jagung dan gandum). Selain itu, Bioetanol sendiri juga dapat diproduksi dari Alga. Menurut Baliga dan Powers (2010) konsumsi energi dan emisi udara untuk bioetanol dari alga secara substansial lebih rendah dari bioetanol dari kedelai sehingga lebih ramah lingkungan.Alga laut merupakan salah satu sumber energi yang terbarukan. Alga laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Potensi pengembangan bioetanol alga laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Bioetanol dapat digunakan untuk menggantikan oktan enhancer seperti tricarbonyl mangan methylcyclopentadienyl (MMT) dan hidrokarbon aromatik seperti benzena atau oxygenates seperti metil tersier butil eter (MTBE) (Champagne, 2007). Spirogyra adalah salah satu alga yang paling umum dari ganggang hijau berlimpah di musim semi. Hal ini ditemukan mengambang di kolam air tawar, kolam renang, danau dan selokan dan juga sungai mengalir. Pada saat ini studi bioetanol diproduksi dengan proses fermentasi menggunakan alga Spirogyra biomassa, biomassa bubuk diproses dan diperlakukan secara kimia. Fermentasi dilakukan dalam dua stepssaccharification dan fermentasi menggunakan Aspergillus niger MTCC 2196 dan Saccharomyces cerevisiae MTCC 170 (Eshaq, 2010).Chlorococcum adalah ganggang hijau bersel tunggal yang hidup di air tawar, berkembangbiak secara vegetatif dan generatif. Komposisi dari Chloroccum sp.dapat dilihat pada Tabel 1 (Razif, 2011).Tabel 1. Komposisi dari Chloroccum sp

Microalga Chlorella vulgaris sudah dianggap sebagai bahan baku produksi bioetanol yang cukup menjanjikan, hal ini dikarenakan Chlorella vulgaris dapat menghasilkan bioetanol 37% dari berat keringnya. Meskipun begitu tingkat konversi bietanol sendiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat alga tersebut tumbuh. Faktor yang mempengaruhi produksi bioetanol adalah intensitas dari sinar matahari, CO2, suhu, pH, dan nutrisi yang tersedia. (Jasim, 2014).Chlorella pyrenoidosa adalah sebuah micro-algae banyak tersedia dengan beberapa aplikasi komersial untuk makanan dan gizi tujuan. Diketahui pula potensi besar sebagai produsen bioenergi masa depan karena untuk robustness tingginya laju pertumbuhan. Banyak para peneliti telah melaporkan bahwa genus dari chlorella memiliki memiliki kandungan karbohidrat tinggi, terutama spesies Chlorella vulgaris, dengan karbohidrat menjadi 37-55 % yang kering berat karbohidrat dalam ganggang hijau terutama datang dari pati dalam kloroplas dan selulosa dan hemicellulose pada dinding sel. (Dhull, 2014).Ulvafasciata delile terpilih sebagai bahan baku potensial untuk produksi bioetanol melalui hidrolisis enzimatik. Spesies ini selain memiliki kandungan polisakarida tinggi, tumbuh subur dan memiliki distribusi di seluruh dunia tanpa hambatan geografis. Spesies ini juga dianggap sebagai spesies oportunistik dengan potensi untuk membentuk pasang hijau ketika ada ledakan tiba-tiba dari nutrisi dalam aliran air. (Trivedi, 2013).Salah satu alga yang berpotensi sebagai biofuel adalah alga merah (misalnya Gelidium amansii). Alga merah memiliki bentuk struktur yang menguntungkan sebagai sumber biomassa karena memiliki selulosa yang terdefisiensi dalam senyawa fenolik lignin dan mudah terhidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa yang merupakan sumber utama biofuel. Didalam Saccharomyces cerevisiae, glukosa dapat dengan mudah dikonversi menjadi bioetanol melalui glikolisis sedangkan galaktosa dimetabolisme melalui jalur Leloir yang lebih kompleks.Pemanfaatan glukosa dan asimilasi lambat galaktosa setelah penurunan glukosa oleh S. cerevisiae menghasilkan produktivitas etanol berkurang dari campuran galaktosa dan glukosa, dibandingkan dengan yang diamati pada glukosa saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, pendekatan rekayasa metabolik modulasi gen target telah dicoba. Regulator positif berlebih Gal4p atau penghapusan regulator negatif Gal6p, Gal80p, dan Mig1p meningkatkan secara spesifik tingkat penyerapan galaktosa sebesar 20% dan tingkat produksi etanol sebesar 153%. (Lee, 2015).

Pada review ini, ditelusur produksi bioethanol dari beberapa jenis alga dan perkembangan dalam produksi bioetanol.

Diskusi

a. Biomassa alga dari Spirogyra sp.Terpilih sebagai substrat untuk produksi bioetanol (etanol) direpresentasikan sebagai substrat yang kaya polisakarida pati dan selulosa. Aspergillus niger digunakan untuk menghidrolisis dan menghasilkan gula sederhana yang dapat langsung dimanfaatkan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol. Biomassa Spirogyra diproses secara pretreated dengan alkali lemah bukan asam. Produksi etanol dilakukan dengan metode fermentasi stasioner. Dengan menggunakan jamur Aspergillus niger, proses sakarifikasi dilakukan dalam kondisi yang optimal. Tingkat sakarifikasi dievaluasi dengan jumlah gula yang dilepas oleh pencairan pati dan selulosa dengan metode Miller, GL (1959). Pada proses Sakarifikasi biomassa spirogyra dengan Aspergilus niger direndam selama 6 hari dengan suhu tetap 300C diamati selama 24 jam untuk jumlah gula yang dihasilkan. Hal yang sama dilakukan pada fermentasi spirogyra dengan Saccharomyces cerevisiae direndam selama 6 hari dengan suhu tetap 300C diamati selama 24 jam untuk alcohol yang dihasilkan. Didapat bahwa biomassa Spirogyra dengan proses pretreated tidak diperlukan. Dalam prakteknya pretreated yang digunakan untuk menghilangkan bahan yang tidak diinginkan yang terdapat dalam selulosa dan pati pada produksi bioetanol. Namun, pretreatment (dengan penambahan NaOH) akan merusak selulosa yang mengarah ke hasil produksi alcohol yang kurang maksimal bila dibandingkan dengan untreated (tanpa penambahan NaOH) pada biomassa Spirogyra (Eshaq, 2010).b. Biomassa alga dari Chlorococcum sp.Menurut Razif, 2011 dari hasil penelitian menunjukkan bahwa metode SHF (Separate Hydrolysis and Fermentation) menunujukkan hasil produksi paling maksimal dari beberapa metode yang lainnya. Untuk SHF, enzimatik hidrolisis yang dilakukan secara terpisah dari fermentasi . Karena pemisahan antara proses hidrolisa dan fermentasi ini, setiap langkah yang bisa dilakukan dengan kondisi optimal. Lebih spesifik lagi, enzim yang memungkinkan untuk bekerja pada optimal kegiatan yang menghasilkan substrates lebih untuk fermentasi ragi. gambar 1. Perbandingan hasil etanol dengan perlakuan yang berbeda.

c. Biomassa alga dari Chlorella vulgarisDari hasil penelitian yang dilakukan oleh Jasim, 2014 menunjukkan bahwa produksi bioetanol dari spesies alga Chlorella vulgaris paling tinggi adalah pada media tanam dengan penambahan nitrogen pada media tanam sebesar 0 g/L dan 4 g/L yaitu sebesar 27.08% dan 24.09% yang dapat dilihat pada gambar 2.gambar 2. Grafik produksi bioethanol terhadap penambahan nitrogen

d. Biomassa alga dari Chlorella pyrenoidosaPada jurnal ini disebutkan bahwa hasil penelitian dari Dhull, 2014, menghasilkan efisiensi konversi karbohidrat memiliki efisiensi hingga 96% pada hari ke 2 setelah penanaman pada media heterotropik. Selain itu pula untuk media tanam yang cocok bagi Chlorella pyrenoidosa adalah pada media tanam mixotropik. e. Biomassa alga dari Ulvafasciata delileAlga hijau Ulva yang berproliferasi cepat dan berlimpah di seluruh dunia dan sering digunakan sebagai bahan baku untuk produksi etanol menggunakan hidrolisis enzimatik. Di antara selulase yang berbeda diselidiki untuk efisiensi sakarifikasi, selulase 22.119 menunjukkan efisiensi konversi biomassa menjadi gula-gula pereduksi yang tertinggi dari Viscozyme L, daripada selulosa 22086 dan 22128. Biomassa dengan Pre-Heat Treatment di media berair pada 120 oC selama 1 jam diikuti dengan inkubasi didalam 2% enzim (v / v) selama 36 jam pada 45 oC memberikan hasil glukosa yang maksimum yaitu 206,82 14,96 mg / g. Fermentasi hidrolisat didapat etanol yield sebanyak 0,45 g / g efisiensi konversi glukosa berkurang 88,2%. Nilai-nilai ini jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan sejauh ini untuk agarophytes dan carrageenophytes. Hal itu juga menegaskan enzim yang dapat digunakan dua kali tanpa mengorbankan pada efisiensi sakarifikasi. Temuan-temuan dari studi ini menunjukkan bahwa Ulva dapat menjadi bahan baku potensial untuk produksi bioetanol. (Trivedi, 2013).

f. Biomassa alga dari Gelidium amansiiDiterapkan teknik evolusi untuk membangun mutan Saccharomyces yang resist terhadap 2-deoksi-D-glukosa dan dengan peningkatan kemampuan produksi bioetanol dari galaktosa, monoglukosa dalam alga merah HJ7-14 cerevisiae. Dalam batch dan fermentasi batch berulang, HJ7-14 menghasilkan galaktosa 5 kali lipat lebih banyak dan etanol yang dihasilkan 2,1 kali lipat lebih cepat dari Tegangan induk D452-2. Analisis transkripsi gen yang terlibat dalam metabolisme galaktosa mengungkapkan bahwa bantuan moderat dari represi yang dimediasi glukosa dari transkripsi gen GAL mungkin mengaktifkan HJ7-14 untuk memetabolisme galaktosa lebih cepat. HJ7-14 diproduksi 7,4 g / L etanol dari hidrolisat alga merah merah, Gelidium amansii dalam waktu 12 jam, yang 1,5 kali lebih cepat daripada yang diamati dengan D452-2. Teknik evolusi adalah metode yang menjanjikan untuk memanipulasi metabolisme galaktosa kompleks dalam S. cerevisiae untuk menghasilkan bioetanol dari alga merah. (Lee, 2015).

Penelitian mengenai pengembangan dalam produksi boetanol adalah sebagai berikut yakni dimana sebuah metode yang lebih efisien akan memanfaatkan limbah panas kelas rendah dari pembangkit listrik untuk mengeringkan ganggang yang terdapat di dalam bejana. Biomassa dipanen dari sistem budaya yang melekat adalah pasta seperti bubur lembek memiliki kandungan air dengan yang pelet sel disentrifugasi dari sistem kultur suspensi. Ini berarti keuntungan besar dari sistem budaya alga yang melekat dalam hal kemudahan panen biomassa. Lipid alga (disebut minyak semu sayur atau PVO) jauh lebih heterogen daripada lemak biji minyak. Oleh karena itu membuat sulit untuk menggambarkan produk bahan bakar ganggang yang diturunkan dan diperlakukan analog dengan minyak sayur. Beberapa spesies alga mikro, termasuk beberapa spesies Chlorella, spesies Dunaliella, Nannochloris sp., Parietochloris Incisa dan Botryococcus braunii, telah dilaporkan memiliki kapasitas mengumpulkan jumlah besar lipid dalam sel di bawah kondisi yang menguntungkan. Kadar lemak juga bervariasi dengan musim sebagai diuji di Chlorella vulgaris, Euglena gracilis dan Chlamydomonas sp. Lipid dapat digunakan sebagai bahan bakar cair dalam mesin diadaptasi sebagai Lurus Vegetable Oil (SVO). Dibandingkan dengan SVO, minyak alga adalah tak jenuh ke tingkat yang lebih besar sehingga kurang sesuai untuk pembakaran langsung dalam mesin sensitif, namun, beberapa anggota kelompok ini alga seperti Chlorella dikenal mengandung asam lemak pendek rantai (16 sampai 18 panjang karbon) yang cocok untuk produksi biodiesel. Neochloris oleoabundans adalah air tawar yang spesies yang menghasilkan hingga 80% trigliserida total lipid yang, dan sebagian besar asam lemak yang jenuh asam lemak dalam kisaran 16-20 karbon. Dari penelitian ditemukan bahwa semakin banyak kandungan lipid yang ada pada alga maka semakin bagus untuk produksi biorthanol melalui proses fermentasi. (Awasthi, 2011).

Kesimpulan dan SaranA. KesimpulanDiketahui bahwa beberapa jenis algae seperti: Spirogyra sp Chlorococcum sp Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa Ulvafasciata Delile Gelidium amansii memang terbukti dapat digunakan sebagai bahan untuk produksi bioetanol dengan berbagai spesifitas serta keunggulan-kelemahan masing-masing. Kemampuan alga-alga ini dalam menghasilkan bioethanol tak terlepas dari adanya kandungan lipid didalam alga. Ditemukan bahwa semakin banyak kandungan lipid yang ada pada alga maka semakin bagus untuk produksi bioethanol melalui proses fermentasi.

B. OutlookAkhir-akhir ini banyak ditemukan kasus dimana kelangkaan bahan bakar fosil makin menjadi permasalahan umum. Namun sudah banyak juga penemuan energi alternative sebagai pengganti bahan bakar fosil, missal: Bioetano, Panel Surya, dll. Dari bioethanol sendiri sudah banyak juga sumber biomassa yang dapat menghasilkan etanol dengan berbagai metode. Salah satu sumber bioethanol sendiri adalah alga. Perlu lebih banyak penelitian mengenai perkembangan produksi mengenai bioethanol dari alga.ReferensiAwasthi, M and Singh, Rajiv K. 2011. Development of algae for the production of bioethanol, biomethane, biohydrogen and biodiesel. International Journal of Current Chemistry Vol 1: 14-23.Baliga, Rudras and Powers, Susan E. 2010. Sustainable Algae Biodiesel Production in Cold Climates. International Journal of Chemical Engineering Vol. 10.Caputi A. Veda, M., and Brown, T. (1968). Spectrophotometric determination of ethanol in wine. American Enol Viticul Journal Vol. 19: 160-165.Champagne, P. (2007). Feasibility of producing bioethanol from waste residues: a Canadian perspective feasibility of producing bioethanol from waste residues in Canada. Resource Conservation Recycle Vol. 50:211-230.Dhull, Nisha P., Gupta, K. Soni, and Sanjeev K. 2014. Heterotrophic and mixotrophic cultivation of Chlorella pyrenoidosa and the enzymatic hydrolysis of its biomass for the synthesis of third generation bioethanol. Peer Journal.ESDM, Departemen. 2004. Roadmap Energi Indonesia. Departemen ESDM Republik Indonesia.Eshaq, Fuad S., Ali, Mir N. and Mohd, Mazharuddin K. 2010. Spirogyra biomass a renewable source for biofuel (bioethanol) Production. International Journal of Engineering Science and Technology Vol. 2(12): 7045-7054.Hall, R. O., and J. L. Tank. 2003. Ecosystem metabolism controls nitrogen uptake in streams in Grand Teton National Park, Wyoming. Limnol Oceanography Vol. 48: 11201128.Jasim, M.S., Maysam, A.M.A. 2014. Bioethanol Production from Green Alga Chlorella Vulgaris Under Different Concentrations of Nitrogen. Asian Journal of Natural & Applied Sciences Vol. 3(3).Lee, H-J., et. al. 2015. Evolutionary engineering of Saccharomyces cerevisiae for efficient conversion of red algal biosugars to bioethanol. Bioresource Technology Vol. 191: 445451.Martin, S.R. (1982). The production of fuel ethanol from carbohydrates. Chemical Engineering Vol. 50.Miller, D. L. (1959). Use of Dinitrosaliylic acid as reagent of reducing sugars. Analytical Chemistry Vol. 31: 426-428.Razif, H., Liu,B., and Danquah, Michael K. 2011. Analysis of Process Configurations for Bioethanol Production from Microalgal Biomass. In Technology Open Mind Journal.Rojan, P. John, G. S. Anisha, K. Madhavan N, Ashok P. 2011. Micro and Macroalgal biomass: A renewal source for bioethanol. Bioresource Technology Vol. 102:186-193.Ruso, Sakius. 2011. Pembuatan Bioetanol Dari Batang Rumput Gajah (Pennisetum purpureum schumach) Dengan Sistem Fermentasi Simultan Menggunakan Bakteri Clostridium acetobutylicum. Jurusan Kimia Fakultas MIPA UNHAS.Trivedi, N., et. al. 2013. Enzymatic hydrolysis and production of bioethanol from common macrophytic green alga Ulva fasciata Delile. Bioresource Technology 150: 106112.