Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIOSORBEN
DARI LIMBAH SABUT PINANG (Areca catechu L.)
SKRIPSI
MALIA SABRINA
NIM. TB150993
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
SINTESIS DAN KARAKTERISASI BIOSORBEN
DARI LIMBAH SABUT PINANG (Areca catechu L.)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
DISUSUN OLEH :
MALIA SABRINA
TB.150993
PROGRAM STUDI TADRIS BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2019
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
MOTTO
Yakin adalah kunci jawaban dari segala permasalahan.
Dengan bermodal yakin meupakan obat mujarab penumbuh
semangat hidup.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
ABSTRAK
Nama : Malia Sabrina
Jurusan : Tadris Biologi
Judul : Sintesis dan Karakterisasi Biosorben dari Limbah Sabut Pinang
(Areca catechu L.)
Sintesis dan karakterisasi biosorben dari limbah sabut pinang ( Areca
catechu L.) telah dilakukan menggunakan teknik eksperimen. Tujuan dari
penelitian ini untuk memberikan alternatif sumber bahan dasar biosorben yang
ekonomis dan mudah diperoleh serta mempergunakan limbah sabut pinang yang
tidak diberdayakan dengan baik. Penelitian ini merupakan penelitian murni (sains)
dengan menggunakan metode eksperimen dilakukan dengan pendekatan deskriptif
kuantitatif yaitu melalui uji coba di Laboratorium. Hasil analisis setelah di
lakukan dibandingkan dengan SNI No. 06-3730-1995 tentang Persyaratan Arang
Akif. Biosorben disintesis menggunakan variasi karbonisasi 400ºC, 300ºC, dan
tanpa karbonisasi. Bubuk biosorben dianalisis secara kadar abu, kadar air dan
gugus fungsional (FTIR) untuk hasil analisis kadar abu pada suhu 400º C
(27,02%) suhu 300º C (43,99%) dan tanpa karbonisasi (2,45%) analisis kadar air
pada suhu 400ºC (23,06%) suhu 300º C,(24,74%) dan tanpa karbonisasi (26,48%).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disumpulkan bahwa pada suhu sampel
dengan karbonisasi 400ºC memperlihatkan hasil yang terbaik.
Kata Kunci : Arang Aktif, Limbah Sabut Pinang
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
ABSTRACT
Name : Malia Sabrina
Study Program : Biology Education
Title : Synthesis and characterization of biosobents from Areca
fiber waste (Areca catechu L.)
Synthesis and characterization of biosorbents from areca nut (Areca
catechu L.) waste have been carried out using experimental techniques. The
purpose of this study is to provide an alternative source of biosorbent base
material that is economical and easily obtained as well as using areca nut coir
waste which is not empowered properly. This research is a pure research (science)
using an experimental method carried out with a quantitative descriptive approach
that is through trials in the Laboratory. The results of the analysis after it was
compared with SNI No. 06-3730-1995 concerning the Requirements for Active
Charcoal. Biosorbent is synthesized using carbonization variation of 400ºC,
300ºC, and without carbonization. Biosorbent powder was analyzed by ash
content, water content and functional groups (FTIR) for the analysis of ash
content at 400ºC (27.02%) at 300ºC (43.99%) and without carbonization (2.45%)
content analysis water at 400ºC (23.06%) at 300ºC, (24.74%) and without
carbonization (26.48%). Based on the explanation above, it can be concluded that
at the temperature of the carbonized sample 400ºC shows the best results.
Keywords : Activated charcoal, fiber waste Areca catechu L.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan yang maha ‗Alim
yang kita tidak mengetahui kecuali apa yang diajarannya, atas iradahnya sehingga
proposal ini dapat dirampungkan. Shalawat dan salam atas Nabi SAW pembawa
risalah pencerahan bagi manusia.
Penulisan proposal ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
akademik guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa penyelesain proposal ini tidak banyak melibatkan pihak yang
telah memberikan motivasi baik moril maupun materil, untuk itu melalui kolom
ini Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada :
1. Bapak Dr.H.Hadri Hasan. MA., selaku Rektor Univesitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
2. Ibu Dr. Hj. Armida, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
3. Ibu Reni Safita, M.Pd dan Bapak Ferry Kurniawan, M.Si., selaku Kaprodi
dan Sekprodi.
4. Bapak Dr. H. Syahran Jailani, M.Pd., sebagai dosen Pembimbing I dan Ibu
Wiji Utami, M.Sc., sebagai dosen pembimbing II yang telah meluangkan
waktu dan mencurahkan pemikirannya demi mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan proposal ini.
Akhirnya semoga Allah Swt. berkenan membalas segala kebaikan dan amal
semua pihak yang telah membantu. Semoga proposal ini bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Jambi, Februari 2019
Penulis
Malia Sabrina
TB150993
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanaman pinang (Areca catechu L.) merupakan tergolong pada tanaman
monokotil yang mengandung berbagai zat kimia dengan berbagai manfaat
sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri farmasi. Persebaran
tanaman pinang terdapat di Cina, Taiwan, Florida bagian selatan dan daerah tropis
seperti Indonesia (Zheng dkk., 2008). Provinsi Jambi merupakan salah satu
provinsi penghasil tanaman pinang terbesar di Pulau Sumatera (Sungkono, 2017).
menyatakan bahwa ekspor buah pinang merupakan kelompok Pertanian yang
menyumbang devisa Provinsi Jambi sebesar 95,68% dengan luas usaha
perkebunan 19,969 Ha pada tahun 2015. Angka tersebut dapat dipastikan terus
meningkat dengan seiring perkembangan teknologi negara importir buah pinang.
Pinang (Areca catechu L.) merupakan tanaman famili aracaceae yang
tingginya dapat mencapai 15-20 m dengan diameter batang 25 cm. Daun pinang
mengandung minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai obat radang
tenggorokan. Selanjutnya, pelepah pinang juga dimanfaatkan sebagai pembungkus
makanan, seperti pembungkus gula merah, aren dan tebu. Biji buah pinang yang
diselubungi oleh sabut merupakan bagian dari tanaman pinang yang paling
banyak dimanfaatkan, yaitu dapat diubah menjadi produk sirup pinang, tepung
pinang dan pewarna batik (Sungkono, 2017). Sabut buah pinang dengan tekstur
berserat, dimana sebagian besar mengandung lignin dan selulosa Muslim dkk.
(2015) melaporkan bahwa sabut buah pinang mengandung beberapa komposisi
senyawa kimia yaitu selulosa (63,20%), hemiselulosa (32,98%), lignin (7,20%),
dan lemak (0,64%). Senyawa kimia tersebut merupakan sumber karbon dalam
pembuatan arang aktif atau adsorben (Li dkk., 2010). Berbagai alternatif bahan-
bahan kimia dapat digunakan sebagai bahan baku biosorben yaitu alga, fungi dan
bakteri. Namun penggunaan mikroorganisme tersebut memiliki beberapa kendala
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
diantaranya adalah sangat dipengaruhi oleh kontaminan lain serta adanya
kebutuhan perawatan seperti pemberian nutrisi tambahan (Kurniasari, dkk 2012).
Pinang di Provinsi Jambi merupakan salah satu dari komoditi subsektor
perkebunan yang memiliki prospek cukup baik dalam perkembangannya. Pada
tahun 2012 luas areal tanaman pinang di Provinsi Jambi mencapai 18.637 Ha,
Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2002 yang hanya sebesar 5.421 Ha. Dengan
luas areal tanaman dan volume ekspor yang terus meningkat, pinang menjadi
salah satu komoditi ekspor unggulan untuk subsektor perkebunan di Provinsi
Jambi. Tanjung Jabung Barat merupakan Kabupaten dengan produksi pinang
terbesar di Provinsi Jambi yaitu sebesar 9.776 ton pada tahun 2012. Tingginya
produksi pinang di Kabupaten ini mengakibatkan Tanjung Jabung Barat menjadi
sentra pinang untuk Provinsi Jambi (Asbiliyah dkk, 2014).
Subsektor perkebunan memiliki peranan penting dalam kegiatan ekspor di
Provinsi Jambi. Pada tahun 2012 ekspor komoditi perkebunan sebesar US $
806,536,854 dari US $ 1,845,235,696 jumlah nilai ekspor keseluruhan Provinsi
Jambi. Dalam perkembangannya, komoditi ekspor ungulan perkebunan provinsi
Jambi yaitu karet olahan, minyak nabati (sawit), pinang dan kopi. Tujuan ekspor
komoditi pinang terbesar Provinsi Jambi yaitu Singapura. Pada tahun 2012,
ekspor komoditi pinang Provinsi Jambi untuk Singapura sebesar 32.707.080 ton
dengan nilai ekspor sebesar US $ 23,883,624 (Asbiliyah dkk, 2014).
Selain itu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki pelabuhan dagang
yaitu Pelabuhan Kuala Tungkal yang menjadi sarana pendukung untuk
memperlancar kegiatan ekspor pinang. Kabupaten Tanjung Jabung Barat juga
memiliki penampung-penampung pinang skala besar yang dapat langsung
mengirim pinang ke negara tujuan ekspor, yaitu PT. Bintang Selamanya, PT.
Budiman Sukses, PT. Sari Nur, PT. Rubi dan PT. Faiza Terang. Pelabuhan Kuala
Tungkal yang dimiliki Kabupaten Tanjung Jabung Barat mempermudah distribusi
dari kegiatan ekspor yang dilakukan (Asbiliyah dkk, 2014).
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Biosorben merupakan metode alternative untuk menghilangkan logam
berat dari limbah perairan karena menggunakan bahan biomaterial yang mudah
didapat dan biayanya relative murah. Biosorben mempunyai kemampuan memikat
logam berat dari dalam larutan melalui langkah-langkah metabolisme atau kimia
fisika. Proses pengolahan ini tidak memerlukan proses pemindahan limbah karena
dapat dilakukan ditempat. Bahan baku yang melimpah, murah, proses pengolahan
yang efesien, serta proses regenerasi merupakan keuntungan lain dalam
pemakaian biosorben (Ashraf, dkk 2010) dalam (Wardani, dkk 2018).
Alternatif bahan biologis lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku
biosorben adalah limbah produk-produk pertanian. Limbah produk pertanian
merupakan limbah organik yang tentunya akan sangat mudah ditemukan dalam
jumlah besar. Pemanfaatan dan penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku
biosorben selain dapat membantu mengurangi volume limbah juga dapat
memberdayakan limbah menjadi suatu produk yang mempunyai nilai jual. Oleh
karena itu, potensi limbah pertanian cukup besar untuk digunakan sebagai bahan
baku biosorben logam berat. Pinang ditanam untuk dimanfaatkan biji dan
batangnya. Saat ini biji pinang telah menjadi komoditi perdagangan, biji pinang
saat ini diekspor dari Indonesia ke beberapa negara di Asia seperti India, Pakistan
dan Nepal. Namun, kulit buah pinang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal,
selama ini kulit buah pinang hanya dibuang oleh petani (Utami, 2017).
Terlihat bahwa sabut buah pinang mengandung selulosa dan lignin sebagai
komposisi terbesar. Lignin mengandung gugus fungsional yang polar seperti
alkohol, aldehid, keton, asam karboksilat, hidroksida fenolik dan eter yang terlibat
dalam terjadinya ikatan kimia. Akibat terdapatnya komponen tersebut pada serat
sabut buah pinang maka material ini akan bersifat polar, sehingga memiliki daya
serap terhadap padatan terlarut seperti logam dan molekul organik yang bersifat
polar. Berdasarkan penjelasan diatas maka sintesis dan karakterisasi biosorben
yang berasal dari limbah sabut pinang (Areca catechu L.) perlu dilakukan agar
dapat meningkatkan daya guna dan mereduksi limbah.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diperoleh, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana proses sintesis limbah sabut pinang (Areca catechu L.) menjadi
biosorben?
2. Bagaimana karakteristik biosorben yang disintesis dari limbah sabut pinang
(Areca catechu L.)?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan alternatif sumber bahan dasar biosorben yang ekonomis dan
mudah diperoleh ;
2. Memperlihatkan hasil biosorben terbaik dari limbah sabut pinang (Areca
catechu L.) yang di sintesis.
D. Manfaat
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah menggali potensi sumber daya
alam Provinsi Jambi, khususnya potensi limbah sabut pinang sebagai biosorben
yang selama ini terabaikan.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tumbuhan Pinang (Areca catechu L.)
Pohon pinang tumbuh tegak dan tinggi, batangnya berbentuk bulat panjang
dan berbuku. Fungsi batang membawa ait dan zat makanan serta unsur hara
dari akar menuju daun dan dapat menyimpan cadangan makanan
(Tjitrosoepomo,1985a). Batang tanaman pinang ini berbuku-buku batangnya
tegak lurus (erectus) berdiameter 10-20 cm, berkayu (Peng, dkk 2015)
berbatang tunggal (Steples & Bevaqua,2006) bulat (teres) memperlihatkan
bekas-bekas daun pada permukaan daun.
Akar merupakan bagian tumbuhan yang sangat penting, akar tumbuhan
pinang berada didalam tanah warnanya keputih-putihan dan terlihat seperti
berwarna kotor. Fungsi akar untuk menyerap unsur hara yang sangat penting
dari dalam tanah dan menyimpan cadangan makanan. Akar tumbuhan pinang
memiliki tipe akar serabut, akar serabut tumbuhan pinag berwarna putih,
bertekstur agak kaku dan keras serta cukup besar seperti tambang
(Tjitrosoepomo,1985a) seperti gambar dibawah ini.
Gambar 2.1. Morfologi tumbuhan pinang (Areca catechu L.) dimana(a)pohon pinang
tumbuh tegak, (b) biji buah pinang keras, dan(c)bagian dalam biji buah
pinang (Sumber : Peng, W., dkk 2015).
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Bunga tumbuhan pinang berwarna kuning, bunga tumbuhan pinang
termasuk dalam kelompok bunga majemuk (Tjitrosoepomo,1985a). Bunga
tanaman pinang bersifat hermafrodit dimana terdapat dua jenis kelamin pada satu
tanaman yaiu bunga jantan dan bunga betina berwarna (Peng, dkk 2015).
Buah atau biji pinang keras berwarna hijau jika masih muda dan berwarna
orange saat matang mengkilap bentuknya lonjong dan memiliki mesocarp yang
tebal (Peng, dkk 2015). Pericarp berserat dan tebal, embrio berbentuk kerucut
serta terletak disadar biji (Steples & Bevaqua,2006). Bentuk daun tumbuhan
pinang menyirip sebagaimana pada pada gambar dibawah.
Gambar 2.2. Daun tumbuhan pinang yang berbentuk majemuk menyirip
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa daun pinang brwara hijau
dengan panjang berkisar 1-1,5 meter berwarna hijau, bertulang daun sejajar yang
biasanya terdapat bangun garis dengan satu tulang besar membujur daun
sedangkan tulang lainnya lebih kecil yang sejajar dengan ibu tulang, mempunyai
tipe daun yang rata, daging daun tipis tapi kaku, berdaun majemuk, lanset,
tersusun secara roset pada batang (Steples & Bevaqua,2006). Daun terdiri dari 20-
30 anak daun pada tiap sisi dan tersusun teratur (Wahyuni, dkk 2016).
Klasifikasi tumbuhan pinang (Areca catechu L.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu L.
(Sastrahidayat, 2016)
2. Potensi Sabut Buah Pinang (Areca catechu L.)
Menurut Utomo,dkk (2013) masalah yang paling mendasar bagi mayoritas
petani Indonesia saat ini adalah ketidakberdayaan dalam melakukan negoisasi
harga produksinya. Posisi tawar petani pada saat ini umumnya lemah, hal ini
merupakan salah satu kendala dalam usaha peningkatan pendapatan petani.
Lemahnya posisi tawar petani pada umumnya disebabkan para petani kurang
mendapatkan akses pasar dan informasi pasar. Petani kesulitan menjual hasil
komoditasnya karena tidak mempunyai jalur pemasaran sendiri, sehingga para
petani akan lebih memilih menjual langsung komoditasnya kepada Pedagang
Pengumpul Desa (PPD), bahkan kepada para tengkulak. Karena peningkatan
produksi komoditas yang dikembangkan oleh petani tidak menjadi jaminan
kesejahteraan para petani yang bergerak di bidang on farm (petani penggarap)
dengan yang bergerak dibidang agribisnis hulu dan hilir, sehingga ada
kesenjangan kesetaraan kepada petani tersebut. Kondisi dilapangan menunjukan
di daerah penelitian yang menjadi kendala petani untuk menjual pinang yaitu
akses jalan yang jauh dari jalan poros desa membuat petani susah untuk
memasarkan pinang (Rahman, 2014).
Hasil pinang umumnya dikumpulkan secara kecil-kecilan dan tersebar di
pelosok-pelosok desa. Pengumpulan ini dilakukan oleh PPD, dimana PPD
membeli biji pinang kering baik yang bulat maupun yang sudah dibelah kerumah
petani atau petani itu sendiri yang membawanya ke tempat PPD. Kemudian PPD
membawanya ke Ibu Kota Kabupaten dan luar daerah. Hal ini dapat dilihat bahwa
harga yang ditetapkan kepada petani sangat ditentukan oleh PPD. Hal ini
disebabkan karena petani pada umumnya tidak mengetahui informasi pasar,
mereka hanya mengetahui harga pinang yang berlaku di pasar melalui PPD. Oleh
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
karena itu, para petani terpaksa menjual pinang kepada PPD dengn harga pinang
yang sudah ditetapkan mereka. Tinggi rendahnya harga yang diterima petani erat
kaitannya dengan keadaan struktur pasar dan besarnya margin pemasaran,
sehingga untuk meningkatkan pemasaran petani pinang dapat dicapai apabila
struktur pasar dan penyebab tingginya margin pemasaran diketahui. Struktur,
perilaku, dan penampilan pasar yang terjadi sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, menyebabkan pedagang lebih banyak menikmati keuntungan dan
harga yang diterima petani relatif lebih kecil (Rahman, 2014).
Tanaman pinang merupakan komoditas unggulan di Provinsi Jambi di
samping komoditas yang lain, seperti tanaman kelapa sawit, karet dan kelapa.
(Sihombing 2000) mengemukakan bahwa komoditas pinang dapat menjadi
andalan sebagai usaha bergengsi karena memiliki keunggulan sebagai berikut : a)
Mudah memperoleh bibit, b) Jarang diganggu hama dan tanaman penyakit, c)
Mampu berproduksi walaupun hanya di tanam di pekarangan, d) berbuah tanpa
mengenal musim, e) Jarak tanam relatif dekat, f) biaya investasi tidak mutlak
besar (Rahman, 2014)
Pinang merupakan jenis tanaman yang sudah dikenal luas oleh masyarakat
di Indonesia. Tanaman pinang termasuk salah satu jenis palma yang belum
banyak dikembangkan pemanfaatannya dibandingkan tanaman jenis lainnya.
Pinang mudah tumbuh di daerah tropis dan biasa ditanam di pekarangan, taman,
atau dibudidayakan. Pinang banyak dijumpai tumbuh di Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Secara kimia, sabut buah pinang
mengandung flavonoid, alkaloid, hemiselulosa, selulosa , dan pektin (Cyriac dkk.,
2012). Komposisi selulosa yang terdapat dalam sabut buah pinang cukup besar
yakni mencapai 70% (Panjaitan, 2008). Kandungan bahan organik yang tinggi
pada sabut buah pinang ini memungkinkannya digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan karbon aktif yang nilainya lebih tinggi secara ekonomis.
3. Limbah
Limbah merupakan konsep buatan yang konsokuensi dari adanya aktivitas
manusia. Menurut (Armando, 2008) limbah adalah suatu bahan yang terbuang
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum
memiliki nilai ekonomi. limbah telah menjadi masalah lingkungan yang sangat
krusal, terutama di daerah perkotaan. Sumber tumpukan limbah ota yang semakin
meningkat bagi secara kuantitas maupun ragamnya, telah turut memberikan
konstribusi yang signifikan pada kemunduran lingkungan. Kemunduran tersebut
dalam aspek kebersihan lingkungan dan esestika serta perubahan ekologi. Limbah
berdasarkan wujudnya terbagi menjadi limbah padat da limbah cair dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Jenis limbah berdasarkan wujudnya beserta keterangannya
No Limbah Keterangan
1 Limbah Padat Limbah padat adalah limbah yang berupa padat.. Pada
umnya limbah yang dihasilkan masyarkat berupa
limbah padat baik limbah yang dihasilkan rumah
tangga, kegiatan perdagangan, perkantoran,
perternakan, pertanian, serta tempat-tempat umum
beberapa contoh limbah padat yaitu : kertas, kayu,
karet, kuit, sterofome, plastik, logam, dan kaca.
2 Limbah Cair Limbah air adalah sisa dari hasil suatu atau kegiatan
berwujud cair. Contohnya : air cucian, air sabun dan
minyak bekas buangan
3 Limbah Gas Limbah gas adalah partikel kecil yang dilepas ke udara
yang di dalamnya mengandung zat berbahaya tidak
baik untuk kesehatan lingkungan. Contohnya : CO2,
HCl, SO2
Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa limbah berdasarkan wujudnya terbagi
menjadi limbah padat dan limbah cair, adapun limbah padat adalah limbah yang
dihasilkan masyarakat sedangkan limbah cair adalah limbah sisa kegiatan yang
berwujud cair. Limbah bersadarkan bentuknya dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Jenis limbah berdasarkan bentuknya beserta keterangannya
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
No. Limbah Keterangan
1 Limbah organik Limbah organik adalah limbah yang bisa membusuk,
seperti : sisa makanan, sayuran dan daun-daun kering.
2 Limbah anorganik Limbah anorganik adalah limbah yang tidak dapat
terurai atau dengan kata lain limbah yang tidak mudah
membusuk, seperti : wadah pembungkus makanan,
kertas, plastik mainan dan botol minuman air mineral.
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa limbah pinang telah diteliti
sebagai biosorben logam untuk kadmium dan tembaga dari larutan berair karena
ketersediaannya sebagai limbah makanan dan juga untuk matriks selulosiknya
yang kaya akan situs aktif pengikatan logam potensial. Efek berbagai parameter
pada proses adsorpsi seperti kontak waktu, larutan pH, jumlah dan konsentrasi
awal ion logam dipelajari pada suhu kamar untuk mengoptimalkan kondisi
maksimum adsorpsi. Penyerapan logam maksimum ditemukan terjadi pada pH
5,6. Proses adsorpsi mengungkapkan bahwa penyerapan awal berlangsung cepat
dan seimbang didirikan sekitar 1 jam untuk kadmium dan tembaga.
4. Adsorben
Secara umum adsorbsi adalah proses pemisahan komponen tertentu dari
satu fasa fluida (larutan) permukaan zat padat yang menyerap (adsroben).
Pemisahan terjadi karena perbedaan bobot molekul atau porositas, menyebabkan
sebagian molekul terikat lebih kuat pada permukaan dari pada molekul lainnya.
Adapun syarat-syarat untuk berjalannya suatu proses adsorbsi, yaitu terdapat : 1.
Zat yang mengadsorbsi (adsorben), 2. Zat yang teradsorbsi (adsorbat), 3.Waktu
pengocokan sampai adsorbsi berjalan seimbang (Nur, dkk 2012).
Arang aktif merupakan jenis adsorben yang secara luas telah digunakan
untuk menyerap berbagai macam pengotor organik dan anorganik, diantaranya
adalah untuk adsorpsi ion logam Pb(II) atau timbal dalam air. Ion timbal atau
Pb(II) merupakan salah satu ion logam berat yang bersifat mencemari lingkungan.
Timbal dalam jumlah besar dapat membahayakan makhluk hidup karena bersifat
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
racun, antara lain dapat mengganggu sistem syaraf dan mempengaruhi kinerja
ginjal. Namun, saat ini masih sangat sedikit kajian mengenai kegunaan sabut buah
pinang sebagai adsorben, sedangkan sabut buah pinang merupakan limbah padat
dari proses produksi pertanian di negara tropis. Hal ini menjadikan sabut buah
pinang sebagai bahan dasar dalam pembuatan adsorben yang ekonomis (Forster
dkk, 2003).
Gaballah & Kilbertus (1998) menyatakan bahwa komponen lignin lebih
berpengaruh terhadap daya serap suatu adsorben terhadap logam berat
dibandingkan dengan komponen selulosa dan hemiselulosa. Menurut (Argun ,dkk
2008) menyatakan bahwa proses modifikasi terhadap adsorben dapat
meningkatkan komposisi lignin dan menurunkan komposisi selulosa dan
hemiselulosa. Sehingga (Li dkk, 2010) melakukan kajian modifikasi limbah
pinang menggunakan reagen Fenton sebagai adsorben terhadap penyerapan kation
Pb2+
. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses adsorpsi ion Pb2+
menggunakan limbah pinang mengikuti model orde pseudo kedua. Berdasarkan
data penelitian terdahulu maka limbah sabut buah pinang memiliki potensi
sebagai adsorben yang akan diaplikasikan (Asbiliyah dkk, 2014).
B. Penelitian Relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh : Trivania Sitanggang, Anis
Shofiyani, dan Intan Syahbanu yang berjudul ―Karakterisasi Adsropsi Pb(II) Pada
Karbon Aktif Dari Sabut Pinang (Areca catechu L.) Teraktivasi H2SO4‖ maka
diperoleh Sabut buah pinang mengandung komposisi flavonoid, alkaloid,
hemiselulosa, selulosa dan pektin. Komposisi selulosa yang terdapat dalam sabut
buah pinang mencapai 70% sehingga berpotensi untuk dijadikan karbon aktif.
Karbon dari sabut buah pinang dibuat dengan cara dikarbonisasi pada suhu 300
selama 1 jam dan diaktivasi dengan H2SO4 pada konsentrasi 0,5M, 1M, 1,5M
selama 24 jam. Karbon aktif yang dihasilkan digunakan untuk mengadsorpsi
Pb(II) dalam larutan dengan mengkaji kondisi pH optimum dan kapasitas adsorpsi
(Sitanggang, 2017).
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh : Lisa Utami dkk, Lazulva
dengan judul ―Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Pinang (Areca chatecu L.)
Sebagai Biosorben Untuk Mengolah Logam Berat Pb (II)‖ maka diperoleh temuan
yaitu Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan limbah kulit Buah
Pinang sebagai biosorben yang berfungsi untuk mengolah Pb (II) dari air yang
terkontaminasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan penyerapan Pb
(II) sangat dipengaruhi oleh keasaman larutan, durasi kontak dan konsentrasi awal
larutan Pb (II). Penyerapan maksimum adalah 92,50% pada pH 6, konsentrasi
awal 50 ppm dalam waktu kontak 75 menit. Data spektral FTIR menunjukkan
adanya gugus amina, alkohol dan karbonil. Isotherm Langmuir berada pada
penyerapan maksimum 0,877 mg /g (Utami,2017).
Berdasarkan penelitian yang dillakukan oleh: Zheng W dkk. (2008) yang
berjudul “Penghapusan adsorpsi kadmium dan tembaga dari larutan berair oleh
pinang — Limbah makanan‖. 157(2-3),490–495. Maka diperoleh temuan yaitu
Limbah pinang telah diteliti sebagai biosorben logam untuk kadmium dan
tembaga dari larutan berair karena ketersediaannya sebagai limbah makanan dan
juga untuk matriks selulosiknya yang kaya akan situs aktif pengikatan logam
potensial. Efek berbagai parameter pada proses adsorpsi seperti kontak waktu,
larutan pH, jumlah dan konsentrasi awal ion logam dipelajari pada suhu kamar
untuk mengoptimalkan kondisi maksimum adsorpsi. Penyerapan logam
maksimum ditemukan terjadi pada pH 5,6 (Zheng,2008)
Tabel 2.3
Perbandingan hasil kajian terlebih dahulu dengan penelitian yang dilakukan
No Peneltian Hasil penelitian Persamaan Perbedaaan
1 Trivania Sitanggang,
Anis Shofiyani, dan
Intan Syahbanu.
Komposisi selulosa yang
terdapat dalam sabut buah
pinang mencapai 70%
sehingga berpotensi untuk
dijadikan karbon aktif.
Menggunakan
limbah sabut
pinang.
Menggunakan
arang aktif
Tidak
melakukan pH
Optimum
2 Lisa Utami, Lazulva Hasil penelitian Menggunakan Tidak
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
menunjukkan bahwa
biosorben berfungsi
mengolah Pb(II) dari air
yang terkontaminasi.
limbah sabut
pinang.
Menggunakan
arang aktif.
menganalisa
menggunakan
AAS.
Tidak melihat
variabel nilai
pH
3 Zheng W, Li X, Wang
F, Yang Q, Deng P &
Zeng G.
Efek berbagai parameter
pada proses adsorpsi untuk
mengoptimalkan kondisi
maksimum.
Menggunakan
limbah sabut pinang
Tidak meneliti
logam untuk
cambium dan
tembaga
C. Kerangka Pikir
Produktivitas buah pinang di Indonesia semakin meningkat setiap
tahunnya. Seiring dengan tinggi nya produktivitas buah pinang maka jumlah
limbah kulit pinang pun ikut meningkat. Saat pasca panen bagian kulit hanya
dibuang tanpa pengolahan lanjut. Limbah kulit pinang yang bertambah setiap hari
nya dalam jumlah besar tidak diimbangi dengan pegolahan limbah kulit pinang.
Limbah ini masih tidak bisa dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, melainkan
hanya sebagai limbah tak berguna. Contohnya masyarakat di daerah Jambi
memproduksi pinang yang hanya membuang kulitnya begitu saja. Hasil observasi
menunjukkan bahwa di temukan kalangan masyarakat kota Jambi mengalami
kesulitan dalam memperdaya limbah sabut pinang, salah satu cara yang dapat
digunakan untuk membatasi masalah adalah dengan menggunakan arang aktif.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
1. Dicuci
2. Dijemur
3. Dipotong 1x1 cm
1. Diblender
2. Di oven dengan suhu 1050 C
Gambar 2.3 kerangka pikir
Sabut pinang
Sabut pinang bersih
Serbuk sabut pinang
Karbonisasi 4000C Tanpa karbonisasi
(Ab)
Diayak 200 mesh Diayak 200 mesh
karakterisasi
Kadar abu
Kadar air FITR
Karbonisasi 3000
C
Diayak 200 mesh
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam Sultan
Thaha Saifuddin Jambi dan Laboratium Fakultas Peternakan Universitas Jambi
yang meliputi prepasi sampel, pengeringan, pembuatan arang aktif dari sabut kulit
pinang dan untuk gugus fungsional dilakukan di Laboratorium Sains Materia
Universitas Riau. Waktu penelitian dari bulan Agustus 2018 sampai dengan bulan
Januari 2019, menunggu hasil identifikasi itu selama 1 bulan. Penelitian ini
merupakan penelitian murni (sains) dengan menggunakan metode eksperimen
dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif yaitu melalui uji coba di
Laboratorium.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer Fourier
Transform InfraRed (FTIR), furnace, oven, ayakan 200 mesh, desikator dan
peralatan gelas lainnya. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sabut
buah pinang yang diperoleh dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi
Jambi.
C. Prosedur Kerja
1. Pengambilan sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kulit pinang tua
yang diperoleh dari pengumpul pinang Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi
Jambi. Sabut buah pinang dipisahkan dari kulit, kemudian dibersihkan
menggunakan air mengalir. Sabut pinang dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm dan
dikeringkan di bawah sinar matahari selama 5 hari dan pengeringan dilanjutkan
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam untuk menghilangkan kandungan air
yang tersisa pada sabut buah pinang (Muslim dkk., 2015).
2. Pembuatan adsorben sabut buah pinang.
Sampel limbah sabut pinang yang telah kering dihaluskan menggunakan
blender, kemudian diayak menggunakan ayakan yaitu ayakan 200 mesh. Sampel
tersebut kemudian disimpan di dalam desikator sebagai adsorben sampel.
Selanjutnya, sampel sabut buah pinang yang tersisa diarangkan menggunakan
furnace pada suhu 400 oC selama 1 jam. Arang sabut buah pinang yang dihasilkan
lalu didinginkan terlebih dahulu kemudian digerus dan diayak menggunakan
sebuah ayakan. Hasil dari proses pengayakan yang diperoleh adalah yang lolos
pada ayakan 200 mesh. Arang limbah sabut pinang disimpan di dalam desikator
(Nabanita dkk, 2012).
Karakterisasi arang aktif sabut buah pinang
Kadar air (SNI 06-3730-1995)
Arang aktif sabut buah pinang yang akan dianalisis ditimbang sebanyak
0,5 g. Arang tersebut dimasukkan ke dalam cawan penguap yang sudah diketahui
bobotnya. Cawan penguap yang berisi arang aktif dipanaskan ke dalam oven pada
suhu 105°C selama 1 jam. Setelah itu, arang aktif didinginkan di dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang.
Kadar air pada arang aktif sabut buah pinang dapat dihitung menggunakan
Persamaan 3.1. Berdasarkan Persamaan 3.1 dapat diketahui bahwa W1 merupakan
bobot kering sampel sebelum pemanasan (g) dan W2 merupakan bobot sampel
setelah pemanasan (g).
Kadar abu (SNI 06-3730-1995)
Crussible yang telah diketahui berat konstannya diisi dengan 0,5 g arang
aktif sabut buah pinang lalu ditutup. Kemudian arang aktif sabut buah pinang
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
tersebut dipanaskan dalam furnace pada suhu 750°C selama 30 menit. Abu yang
terbentuk lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga konstan.
Kadar abu pada arang aktif sabut buah pinang dapat dihitung menggunakan
Persamaan 3.2. Berdasarkan Persamaan 3.2 dapat diketahui bahwa W1 merupakan
bobot kering sampel sebelum pemanasan (g) dan W2 merupakan bobot sampel
setelah pemanasan (g).
Analisis gugus fungsi menggunakan Spektrofotometer FTIR
Arang aktif sabut buah pinang dengan kondisi optimum diambil sebanyak
1 mg dan dicampurkan dengan 100 mg serbuk KBr yang kering. Campuran
ditekan dengan alat penekan hidrolik (KBr pellet die) dengan tekanan 10.000–
15.000 ps, sehingga membentuk suatu lempeng bulat dan tipis yang tembus sinar
inframerah. Selanjutnya, lempeng KBr ini dipasang dalam sel dan ditempatkan
dalam jalan berkas sinar untuk dibuat spektrum inframerahnya.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Prepasi biosorben
Limbah sabut pinang (Areca catechu L.) telah diperoleh dari Kabupaten
Tanjung Jabung Barat sebagai residu padat dari pengolahan biji pinang. Sebelum
dilakukan pembuatan biosorben, limbah sabut kulit pinang dicuci menggunakan
air bersih untuk menghilangkan kotoran seprti pasir dan lumpur. Selanjutnya,
limbah sabut kulit pinang yang telah bersih dikeringkan dibawah sinar matahari
selama 5 hari. Setelah itu, limbah sabut pinang dipotong-potong dengan ukuran
1x1 cm untuk mempercepat reaksi pembuatan biosorben. Limbah sabut pinang
yang bersih kemudian dikeringkan didalam oven pada suhu 110º C selama 2 jam
untuk menghilangkan kandungan air yang tersisa. Variasi yang dilakukan pada
sampel dalam penelitian ini yaitu proses tanpa karbonisasi dan karbonisasi.
Limbah sabut pinang yang telah dikeringkan dibawah sinar matahari selama ± 5
hari dapat dilihat pada Gambar 4.1. Sesuai dengan penelitian sebelumnya, sampel
sabut pinang dicuci bersih kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari hingga
sabut pinang kering. Sampel yang telah kering, ditimbang, dan kemudian
difurnace pada suhu 300º C selama 1 jam. Karbon yang dihasilkan selanjutnya
digiling sampai halus dan kemudian diayak dengan ukuran partikel 100 mesh.
Setelah itu ditanur lagi pada suhu 300º C selama 1 jam. Kemudian dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 100º C dan ditimbang hingga tercapai berat konstan
(Sitanggang, dkk 2017).
Seperti yang diperoleh dari penelitian yang sebelumnya, dimana semakin
tinggi suhu pengovenan terjadi penurunan kadar protein. Hal ini disebabkan
karena pengaruh suhu, dimana semakin tinggi suhu pengovenan maka akan terjadi
denaturasi protein yang mengakibatkan perubahan struktur protein oleh suhu oven
yang berbeda. Menurut Zulfikar (2008) denaturasi protein merupakan suatu
keadaan dimana protein mengalami perubahan atau perusakan struktur sekunder,
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
tersier dan kuartenernya. Sedangkan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
denaturasi protein diantaranya pemanasan, suasana asam atau basa yang ekstrim,
kation logam berat dan penambahan garam jenuh (Novia, dkk 2011) Pada suhu
pengeringan 100º C dan 110º C bilangan iodin terus meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu pengeringan. Namun pada suhu 120º C, bilangan iodin
mengalami penurunan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan.
Pertama, kadar air sebelum penyerapan dilakukan tidak dapat dikontrol dengan
baik. Kedua, pada suhu pengeringan lebih tinggi dari 110º C adsorben mengalami
kerusakan pada struktur dinding porinya sehingga dapat menghambat
pembentukan pori (Setiaty & Budi. W, 2016). Langkah awal karakterisasi
biosorben dari limbah sabut pinang dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 4.1 Limbah sabut pinang yang di ambil dari pengolahan buah pinang
dimana (a) sabut pinang yang baru diambil (b) penjemuran sabut
pinang dibawah sinar matahari (c) limbah sabut pinang yang
berukuran 1x1 (d) limbah sabut pinang yang berbentuk bubuk
(Sumber : Hasil Dokumen Pribadi).
a
a b
c d
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa bubuk yang telah digerus
merupakan biosorben yang dapat langsung digunakan untuk tujuan tertentu seperti
penjernihan air dan diharapkan biosorben ini dapat dipergunakan sebagaimana
semestinya. Kandungan bahan organik yang tinggi pada sabut buah pinang ini
memungkinkannya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan karbon aktif yang
nilainya lebih tinggi secara ekonomis (Sitanggang, dkk 2017). Proses pembuatan
biosorben tanpa karbonisasi dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, dengan cara diayak menggunakan ayakan
200 mesh.
Proses karbonisasi dilakukan di Laboratorium Peternakan Universitas
Jambi pada suhu 300 dan 400 ºC selama 1 jam menggunakan instrumen Furnance.
Tujuan dari proses karbonisasi yaitu untuk membuka pori-pori material,
menjadikan arang aktif, dan menguapkan H2O yang tersisa. Hal tersbut dilakukan
dengan harapan bahwa limbah sabut pinang dapat dikonversi menjadi biosorben
dengan karakteristik yang baik. Setelah proses karbonisasi sampel limbah kulit
pinang diayak menggunakan ayakan 200 mesh. Seluruh sampel yang telah
diperoleh dimasukkan ke dalam desikator. Desikator ini bertujuan untuk menjaga
agar sampel tidak terkontaminasi dengan uap air yang dapat merusak dan
menjenuhkan biosorben yang telah diperoleh.
Hasil karbonisasi adalah berupa arang yang tersusun atas arang dan
berwarna hitam. Prinsip proses karbonisasi adalah pembakaran biomassa tanpa
adanya kehadiran oksigen. Sehingga yang terlepas hanya bagian volatile matter,
sedangkan karbonnya tetap tinggal di dalamnya. Suhu karbonisasi akan sangat
berpengaruh terhadap arang yang dihasilkan sehingga penentuan suhu yang tepat
akan menentukan kualitas arang (Tobing, dkk 2007) dalam (Putro, 2015)
Pada penelitian sebelumnya diperoleh, penyerapan iod ini menunjukan
bahwa pori mikro dan meso dari arang aktif serbuk sekam padi ini masih relatif.
Hal ini dapat dilihat dari penyerapannya. Dari hasil penelitian ini ternyata semakin
tinggi waktu aktivasi dapat meningkatkan daya serap karbon aktif dari serbuk
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
sekam padi ini. Hal ini menunjukan semakin banyaknya pori mikro karbon aktif
yang terbentuk dengan penambahan waktu aktivasi, tetapi mutunya masih relatif
rendah (Rohmah, 2014).gambar sebelum dan sesudah proses karbonisasi serta
pengayakan dapat dilihat dibawah ini.
Gambar 4.2 Limbah sabut pinang sebelum di Furnace (a) limbah sabut pinang
sesudah di Furnace (b) Sumber : Dokumentasi Pribadi
Berdasarkan Gambar 4.2 a dapat dilihat bahwa sampel yang belum
dikarbonisasi menggunakan Furnace masih terlihat seperti bubuk berwarna abu-
abu kekuningan. Sampel tersebut masih banyak mengandung air dan beberapa
pengotor lainnya. Sedangkan, Gambar 4.2 b dapat dilihat bahwa sampel yang
telah dikarbonisasi menggunakan Furnace terlihat seperti bubuk berwarna hitam.
Pada penelitian sebelum nya terjadi perubahan warna dikarenakan, hasil yang
diperoleh untuk zat warna methyl orange yaitu kemampuan daya adsorpi
mengalami fluktuasi disetiap massa biosorben. Hal ini disebabkan karena
kecepatan putaran menjadi lambat dengan bertambahnya massa biosorben,
sehingga daya adsorpsi menjadi tidak bagus. Hasil yang diperoleh untuk zat warna
methyl violet adalah daya adsorpsi semakin besar seiring bertambahnya massa
biosorben (Mz, Ranita, & Safitri, 2017).
Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air
tersebut dengan menggunakan energi panas. Secara umum keuntungan dari
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
pengawetan ini adalah bahan menjadi awet dengan volume bahan menjadi kecil
sehingga memudahkan dalam pengangkutan. Tujuan dari pengeringan adalah
mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana mikroorganisme dan kegiatan
enzim yang dapat menyebabkan pembusukan akan terhenti, dengan demikian
bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama (A. Riansyah,
2013). Menurut Suharto (1991), pengawetan bahan (pangan) pada dasarnya adalah
berada dalam dua alternatif yaitu yang pertama menghambat pertumbuhan enzim-
enzim dan aktivitas/pertumbuhan microba dengan menurunkan suhunya hingga
dibawah 0ºC dan yang kedua adalah menurunkan kandungan air dari bahan
(pangan) sehingga kurang/tidak memberi kesempatan untuk tumbuh/hidupnya
mikroba dengan pengeringan atau penguapan kandungan air yang ada didalam
maupun dipermukaan bahan/pangan, sehingga mencapai kondisi tertentu (Mardita
& Paramita, 2017).
Pengeringan dengan menggunakan alat cabinet dryer memiliki lebih banyak
keuntungan dibandingkan dengan menggunakan sinar matahari. Hal ini
dikarenakan suhu pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga
pengeringan lebih cepat dan merata serta kebersihan dapat lebih terjaga (Winarno,
1993 dalam Apriani, dkk, 2011).
2. Karakterisasi biosorben
Bubuk biosorben dikarakterisasi untuk mengetahui performa dari material
berpori tersebut sehingga peneliti dapat memastikan kualitas dari material
tersebut. Karakterisasi yang tlah dilakukan yaitu uji kadar air, kadar abu, dan
gugus fungsional. Gugus fungsional dapat diketahui menggunakan instrumen
Fourter Transform Infared (FTIR) di Laboratium Sains Material Universitas Riau.
Hasil karakterisasi dari seluruh sampel biosorben yang diperoleh terdapat pada
tabel dibawah ini.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Tabel 4.1
Hasil karakterisasi bisorben dari limbah sabut pinang (Areca cathecu L.)
Kondisi Sampel (ºC, Jam) Kadar Abu (%) Kadar Air (%)
400,1 27,02 23,06
300, 1 43,99 24,74
Tanpa Karbonisasi 2,45 26,48
A . Kadar Air
Perhitungan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis dari
karbon aktif, dimana umumnya memiliki sifat afinitas yang sangat besar terhadap
air. Sifat yang sangat higroskopis itulah yang menyebabkan karbon akttif
digunakan sebagai adsorben. Temperatur dan waktu lamanya karbonisasi
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kadar air yang bisa
diserap.
Kadai air semakin menurun dengan kenaikan temperatur dan lamanya
karbonisasi (Jamilatun & Setyawan, 2018). Sehingga diharapkan dengan proses
karbonisasi pada temperatur tinggi dapat menurunkan kadar air yang terdapat
pada permukaan dan pori-pori material dan adsorpsi dapat berlangsung dengan
baik.
Semakin rendah kadar air di bawah kadar maksimal yang ditetapkan oleh
SNI 06-3730-1995 tentang Arang Aktif Teknis, maka material biosorben tersebut
akan memiliki performa yang baik dalam proses adsorpsi dalam fasa larutan.
Hilangnya kadar air pada material yang diproses melalui karbonisasi disebabkan
panas yang ada dapat menyebabkan lepasnya molekul air.
B . Kadar Abu
Kadar abu sangat berpengaruh terhadap kualitas arang aktif. Keberadaan
abu yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori karbon
aktif, sehingga luas permukaan karbon aktif menjadi berkurang. Semakin tinggi
suhu karbonisasi, maka kadar abu semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan
oleh kenaikan suhu karbonisasi yang memicu teroksidasinya sebagian besar zat
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
volatil termasuk pula karbon. Sehingga jika suhu dinaikkan lagi akan terbentuk
kristal oksida. Sedangkan abu yang tidak teroksidasi tidak tergolong zat volatil.
Selain itu, semakin meningkatnya kadar abu pada arang aktif dengan
penambahan bahan kimia, menurut Sudrajat (1984), Pari dan Hendra (1999)
disebabkan oleh terjadinya proses oksidasi lebih lanjut terutama dari partikel halus
(Maulinda dkk., 2015). Standar kadar abu yang di teteapkan oleh SNI yaitu 31,84-
48,03%. Pengukuran kadar abu dilakukan untuk mengetahui banyaknya mineral
atau logam yang terukur dalam bentuk oksida logam pada material biosorben yang
terdapat pada Tabel 4.1, selain itu pengukuran kadar abu bertujuan untuk
mengetahui kadar senyawa anorganik. Proses penentuan kadar abu dilakukan
menggunakan metode gravimetri.
C . Gugus Fungsional
Gugus fungsional adalah sebuah atom atau gugus atom-atom yang
memiliki karakterisasi kimia dan sifat fisika dan merupakan molekul yang reaktif.
Analisis gugus fungsional menggunakan instrumen FITR dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui gugus-gugus fungsional ang tedapat pada sampel biosorben.
Selain itu, untuk mengeahui ikatan yang terdapat yang terdapat pada material
tersebut. Gugus fungsional inilah yang diharapkan dapat mereaksi dengan
adsorbat sehingga proses adsorpsi dapat berlangsung maksimal (Ahsan, dkk
2018). Hasil penelitian gugus fungsional pada penelitian ini terdapat pada Tabel
4.2
Tabel 4.2
Parameter FTIR biosorben dari limbah sabut pinang
300 C(cm-1
) 400 C(cm-1
) Tanpa
karbonisasi
Keterangan
877,65 3025,74 675,11 C-H Alkena
1053,18 1034,85 C-O Alkohol, Eter
1197,85 C-N Amina
1353,12 1352,16 C-H Alkana
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
1303,94 1503,58 NO2 Senyawa Nitro
2212,45 C=N Nitro
1560,33 1598,09 C-C Cincin Aromatik
3286,84 O-H Fenol, Monomer
3370,75 N-H Amina, Amida
3580,04 3558,82 O-H Momoner asam
3635,01 O-H Momoner asam
karbotsilat
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
B. Pembahasan
1. Kadar Abu
Penentuan suhu karbonisasi sangat berpengaruh pada karakterisasi karbon
aktif yang dihasilkan seperti kadar abu, kadar air, dan FITR. Data yang diperoleh
dari hasil penelitian pada proses pembuatan karbon aktif dari limbah sabut pinang
dapat dilihat pada Tabel 4.1
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kadar abu material yang
memiliki kandungan terendah dibandingkan material biosorben lainnya yaitu
2,45%. Hasil pada penelitian ini masih memperlihatkan hasil diatas batas
maksimal dari SNI No. 06-3730-1995 yaitu 10 %. Jika kadar abu berkisar 2-10 %
maka performa biosorben tersebut sangat baik. Karena dapat memblokir grup
senyawa kimia sensitif, sehingga dapat meningkatkan kestabilan termal. Hal ini
disebabkan banyaknya kadar mineral yang terdapat pada material biosorben.
Kadar abu merupakan salah kualitas yang harus diperhatikan dalam pembuatan
karbon aktif. Abu adalah zat anorganik yang tidak menguap ketika dipanaskan
(Fernianti, 2013). Setelah dibahas penulis bisa mengungkapkan bahwa karbonisasi
pada suhu 400º C walaupun kadar abu nya tidak sesuai dengan argument memiliki
nilai yaitu 27,025% masih dibawah maksimal, pada suhu 300º C memiliki hasil
yang maksimal yaitu 43,99% hal ini menunjukkan bahwa ada nya uap air yang
terkontaminasi pada suhu 400º C sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dengan
ketatapan yang ditetapkan oleh SNI.
2. Kadar Air
Kadar air dihitung sebagai persen berat, artinya berapa gram berat contoh
dengan yang selisih berat dari contoh yang belum diuapkan dengan contoh yang
telah (dikeringkan). Jadi kadar air dapat diperoleh dengan menghitung kehilangan
berat contoh yang dipanaskan (Kiwak, dkk 2018).
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar air yang terdapat pada
material biosorben kalsinasi 300 dan 400ºC memiliki hasil yang berbeda yaitu
23,06 % an 24,74 %. Sedangkan untuk bisorben yang tidak mengalami proses
karbonisasi memiliki kandungan air tertinggi yaitu 26,48 %. Kadar air material
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
biosrben sampel kalsinasi 300 dan 400ºC tidak sesuai dengan SNI No. 06-3730-
1995 tentang persyaratan arang aktif yaitu 15 % dikarenakan adanya kontaminasi
uap air dari luar. Kadar air pada material biosorben tanpa karbonisasi memiliki
kadar tertinggi dibandingkan dengan material karbonisasi lainnya. Semakin
rendah kadar air dibawah kadar maksimal yang ditetapkan oleh SNI maka
material biosorben tersebut memiliki performa yang baik dalam proses adsorpsi
dalam fasa larutan. Kadar air pada material yang diproses melalui karbonisasi
disebabkan panas yang ada dapat menyebabkan lepasnya molekul air dari pori dan
permukaan material biosorben tersebut (Fernianti, 2013). Sedangkan untuk
material tanpa karbonisasi hanya dipanaskan pada suhu 110ºC. pada kondisi ini
air yang terlepas hanya air yang terdapat pada permukaan material saja. Air yang
terdapat pada pori-pori material masih cukup tinggi sehingga hal ini dapat
mengurangi peforma adsorptivitas material tersebut.
Kepentingan yang lain adalah bahwa kadar air diperlukan untuk penentuan
mengetahui pengolahan terhadap komposisi kimia yang sering dinyatakan pada
dasar dry matt. Penentuan kadar air yang cepat dan akurat bervariasi tergantung
struktur dan komposisinya. Dari segi analisis pangan, kandungan air dalam
pangan dapat dibagi menjadi tiga macam bentuk. Air bebas adalah air dalam
bentuk sebagai air bebas dalam ruang intergranular dan dalam pori-pori bahan.
Air demikian ini berlaku sebagai agensia pendispersi bahan-bahan koloidal dan
sebagai solven senyawa-senyawa kristalin. Air yang terserap (teradsorpsi) pada
permukaan koloid makromolekular (pati, pektin, cellulosa, protein). Air ini
berkaitan erat dengan makromolekul-makromolekul yang mengadsorpsi dengan
gaya absorpsi, yang diatributkan dengan gaya Van der Waals atau dengan
pembentukan ikatan hidrogen. Air terikat, berkombinasi dengan berbagai
substansi, sebagai air hidrat. Klasifikasi tersebut tidak mutlak. Istilah air bebas,
terabsorpsi, dan terikat itu relatif (Anonim, 2011b) dalam (Cendekiawan, dkk
2015).
Menurut Purnomo (1996), bahwa suhu dan kelembapan tempat
penyimpanan mempengaruhi kenaikan kadar air, karena produk selama
penyimpanan seimbang dengan kelembapan sekitarnya, sehingga pada suhu ruang
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
pasta akan menyerap kandungan air pada kelembapan suhu ruang dan menurut
Emeliza (2017) Lamanya pengeringan membuat pertumbuhan mikroba semakin
turun. Semakin sering pengeringan yang dilakukan maka tingkat pertumbuhan
mikroba semakin rendah (Kiwak, dkk 2018)
Pada penelitian sebelumnya menyatakan, Sihotang (2015) bahwa
perbedaan kadar air terutama disebabkan oleh perbedaaan kondisi iklim selama
panen dan penyimpanan gandum. Faktor lain yang mempengaruhi kadar air
adalah karakterstik gandum yang berbeda. Meskipun gandum diolah dengan
proses yang sama, namun gandum memiliki titik jenuh yang berbeda-beda dalam
menyerap air selama proses conditioning (Laeliocattleya, dkk 2018)
3. Gugus Fungsional
Pada biosorben tanpa karbonisasi muncul puncak dominan pada bilangan
gelombang 1226,78 cm-1
hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yaitu –C-O
stretching (1241 cm-1
) (Chakravarty, Sarma, and Sarma 2010). Selain itu terjadi
pergeseran puncak dari ke 2212,45 cm-1
(300 C) ke 2360,01 cm-1
(400 C) pada
Gambar 1, menandakan adanya gugus fungsi –CH (Ahmad and Haseeb 2017).
Pada biosorben 300 dan 400 C terdapat puncak sekitar daerah 3160, 50 cm-1
dan
3154,71 cm-1
pada puncak tersebut mengindikasi adanya gugus fungsi –OH
(hidroksil) dari alkohol dan fenol yang terdapat pada permukaan material
biosorben. Hal ini menyerupai dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu pada area
puncak 3200-3650 cm-1
(Muslim, Devrina, and Fahmi 2015).
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Gambar 4.3. Spektrum FTIR biosorben dari limbah sabut pinang (Areca
catechu L.) dari karbonisasi 300 dan 400ºC
Pada sampel 300 C muncul 2212 cm-1
yang menandakan adanya gugus
fungsional C-H kuat termasuk ikatan hidrogen dari alkohol, fenol dan asam
karboksilat (Palanichamy and Ariharaputhiran 2013; Babbington 2007). Puncak
1503, cm-1
menandakan adanya gugus fungsi –CH- dari cincin aromatik, hasil ini
mendekati hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya yaitu 968 dan 623 cm-
1 (Fadhil, Ahmed, and Salih 2017). Proses karbonisasi yang dilakukan pada suhu
300 dan 400ºC memberikan pengaruh terhadap pergeseran puncak material
biosorben. Selain itu, adanya kalor pada biosorben dapat menentukan performa
dengan ditandainya perbedaan pada puncak dominan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yaitu pembuatan arang aktif
dari limbah sabut pinang (Areca catechu L.) dengan variabel 300,400ºC dan tanpa
karbonisasi dapat disimpulkan bahwa sampel dengan karbonisasi 400ºC
memperlihatkan hasil yang terbaik.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yaitu pembuatan arang aktif
dari limbah sabut pinang (Areca catechu L.) dengan variabel 300,400ºC
dan tanpa karbonisasi dapat disimpulkan bahwa sampel dengan
karbonisasi 400ºC memperlihatkan hasil yang terbaik.
2. Karakteriasai yang dilakukan pada penelitian ini yaitu kadar air, kadar abu,
dan gugus fungsional. Dimana kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat
higroskopis dari arang aktif, sedangkan kadar abu mempengaruhi terhadap
kualitas arang aktif dan gugus fungsional bertujuan untuk mengetahui
gugus-gugus fungsional yang terdapat pada arang aktif tersebut.
B. Saran
Penulis mengharapkan penelitian selanjutnya dilakukan semaksimal
mungkin agar tidak ada kontaminasi uap air dari luar yang mengakibatkan hasil
yang dicapai tidak sesuai dengan ketetapan SNI.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
DAFTAR PUSTAKA
A. Riansyah. (2013). Pengaruh Perbedaan Suhu Dan Waktu Pengeringan
Terhadap Karakteristik Ikan Asin Sepat Siam (Trichogaster pectoralis)
Dengan Menggunakan Oven, 3, 53–68.
Argun, M. E., & Dursun, S. (2008). A new approach to modification of natural
adsorbent for heavy metal adsorption. Bioresource Technology, 99(7), 2516–
2527. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2007.04.037
Asbiliyah dkk. (2014). ―Analisis Intregasi Pasar Pinang Kabupaten Tanjung
Jabung Barat‖ Asbiliyah1), 17(2), 31–42.
C.F. Forster, D. A. J. Wase, G. W. Garnham, M. M. Urrutia, A. Kapoor, T.
Viraraghavan, M.Tsezos, C. J. Banks, D. A. J. Wase, C. y. s. Ho, R. G. J.
Edyvean, C. J. Williams, G. McKay, S. J. A. (2003). Biosorbents For Metal
Ions. In Taylor & Francis (p. 238).
Chakravarty, P., Deka, D.C., Sarma, N.S., Sarma, H.P., 2012. Removal of Copper
(II) From Wastewater By Heartwood Powder of Areca catechu : Kinetic and
Equilibrium Studies. Desalin. Water Treat. 40, 194–203.
Cendekiawan, S. N., Penelitian, A. P., Email, P. P., Pengujian, A., Nanas, P. N.,
Selatan, A., Melon, M. (2015). Penelitian pengukuran kadar air buah, 12–27.
Dinas Perindustrian Dan Perdagangan, 2017. Buku Data Base Potensi Komoditi
Industri Agro Jambi Tahun 2017
Fernianti, D. (2013). Analisis kemampuan adsorpsi karbon aktif dari ampas kopi
bubuk yang sudah diseduh, 3(2), 563–572.
Gaballah, I., Kilbertus, G., 1998. Recovery of Heavy Metal Ions Through
Decontamination of Synthetic Solutions and Industrial Effluents Using
Modified Barks. J. Geochem. Explor. 62, 241–286.
Jamilatun, S., & Setyawan, M. (2018). Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung
Kelapa dan Aplikasinya untuk Penjernihan Asap Cair. Spektrum Industri,
12(1), 73. https://doi.org/10.12928/si.v12i1.1651
Kiwak, P. H., Reo, A. R., Montolalu, L. A. D. Y., Pandey, E. V, Kaseger, B. E., &
Makapedua, D. M. (2018). Pengujian TPC , Kadar Air dan pH Pada Ikan
Kayu Cakalang ( Katsuwonus pelamis ) Yang di Simpan Pada Suhu Ruang,
6(3), 264–269.
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Laeliocattleya, R. A., Wijaya, J., Teknologi, J., Pertanian, H., Pertanian, F. T., &
Korespondensi, P. (2018). Pengaruh Variasi Komposisi Grist Gandum (
Triticum asetivum L .) Terhadap Kadar Air Dan Kadar Abu Tepung Terigu,
2(1), 34–39.
Li, X. ming, Zheng, W., Wang, D. B., Yang, Q., Cao, J. B., Yue, X., Zeng, G. M.
(2010). Removal of Pb (II) from aqueous solutions by adsorption onto
modified areca waste: Kinetic and thermodynamic studies. Desalination,
258(1–3), 148–153. https://doi.org/10.1016/j.desal.2010.03.023
Mardita, A., & Paramita, V. (2017). Studi Pengaruh Suhu Dan Ketebalan Irisan
Terhadap Kadar Air , Laju Pengeringan Dan Karakteristik Fisik Ubi Kayu
Dan Ubi Jalar, 13(1), 23–29.
Maulinda, L., Za, N., Sari, D. N., Kimia, J. T., Teknik, F., & Malikussaleh, U.
(2015). Jurnal Teknologi Kimia Unimal Pemanfaatan Kulit Singkong sebagai
Bahan Baku Karbon Aktif, 2(November), 11–19.
Muslim, A., Devrina, E., & Fahmi, H. (2015). Adsorption of Cu(II) From The
Aqueous Solution By Chemical Activated Adsorbent of Areca Catechu Shell.
Journal Od Engineering Science and Technology, 10(12), 1654–1666.
Mz, S., Ranita, L. I., & Safitri, D. (2017). Pembuatan Biosorben Dari Biji Pepaya
( Carica papaya L ) Untuk Penyerapan Zat Warna Biosorben Making From
Seeds Papaya ( Carica papaya L ) FOR ABSORPTION, 6(2), 7–13.
Nabanita, H., & Sarma, H. P. (2012). Removal of Iron from Ground Water by
using Heart Wood Charcoal of Areca catechu. Journal of Environmental
Research And Development, 7(2), 688–693.
Novia, D., Melia, S., & Ayuza, N. Z. (2011). Kajian suhu pengovenan terhadap
kadar protein dan nilai organoleptik telur asin, 8(2), 70–76.
Nur, R., Kimia, P. S., Kimia, J., Matematika, F., Ilmu, D. A. N., Alam, P., &
Papua, U. N. (2012). Pemurnian minyak goreng bekas menggunakan arang
aktif dari sabut kelapa.
Perdaganga, D. P. D. (2017). Buku Data Base Potensi Komoditi Industri Agro.
Putro, S. (2015). Variasi temperatur dan waktu karbonisasi untuk meningkatkan
nilai kalor dan memperbaiki sifat proximate biomassa sebagai bahan
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
pembuat briket yang berkualitas, 282–288.
Rahman, D. (2014). Analisis Tataniaga Pinang ( Areca catechu. L ) Pada Pasar
Produsen di Kecamatan Muara Sabak Timur Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Sosio Ekonomika Bisnis, 17(2), 2014.
Rohmah, P., & S, A. (2014). Pengaruh Waktu Karbonisasi pada Pembuatan
Karbon aktif Berbahan Baku Sekam Padi dengan Aktivator KOH (Putri
Miftakhul Rohmah, Athiek Sri Redjeki ), 3(1), 2252–7311.
Sastrahidayat, I. R. (2016) Penyakit Pada Tumbuhan Obat-obatan Rempah-
Bumbu dan Stimula (cet-1). Malang: UB Press. Diakes dari
https;//booksgoogle.com
Setiaty, P., & Budi. W. (2016). Pemanfaatan Kulit Jengkol Sebagai Adsorben
Dalam Penyerapan Logam Cd ( II ) Pada Limbah Cair Indutri Pelapisan
Logam Utilization Ngapi Nuut Peel As Adsorbent To Remove Cd ( II ), 5(4),
57–63.
SenthilKumar, P., Ramalingam, S., Sathyaselvabala, V., Kirupha, S.D.,
Sivanesan, S., 2011. Removal of Copper(II) Ions From Aqueous Solution By
Adsorption Using Cashew Nut Shell. Desalination 266, 63–71.
Sitanggang, T., Shofiyani, A., & Syahbanu, I. (2017). Karakterisasi Adsorpsi Pb (
II ) Pada Karbon Aktif Dari Sabut Pinang ( Areca catechu L ) Teraktivasi
H2SO4, 6(4).
Tjitrosoepomo, G. (1985a) Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Utami, L. (2017). Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Pinang ( Areca chatecu L . )
Sebagai Biosorben Untuk Mengolah Logam Berat Pb ( II ), 5(Ii), 109–118.
Zheng, W., Li, X. ming, Wang, F., Yang, Q., Deng, P., & Zeng, G. ming. (2008).
Adsorption removal of cadmium and copper from aqueous solution by areca-
A food waste. Journal of Hazardous Materials, 157(2–3), 490–495.
https://doi.org/10.1016/j.jhazmat.2008.01.029
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
LAMPIRAN
Dokumentasi Pengeringan.
Gambar 1.1 Limbah sabut pinang yang telah dicuci bersih
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 2.1 Limbah sabut pinang dikeringkan dibawah sinar matahari ± 5 hari
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3.1 Limbah sabut pinang yang sudah kering dipotong-potong dengan
ukuran 1x1
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Dokumentasi Pemanasan
Gambar 4.1 Limbah sabut pinang yang telah di potong-potong dengan ukuran 1x1
akan di haluskan menggunakan blender ( Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 5.1 Setelah diblender limbah sabut pinang diayak menggunakan ayakan
200 mesh
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Gambar 6.1 Limbah sabut pinang diarangan menggunakan Furnace dengan suhu
300 dan 400ºC
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Gambar 7.1 Limbah sabut pinang yang telah menjadi serbuk akan segera di gerus
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
Gambar 8.1 Setelah digerus limbah sabut pinang yang telah menjadi serbuk
disimpan didalam desikator (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN STS JAMBI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP (CURICULUME VITAE)
Nama : Malia Sabrina
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Kuala Tungkal, 10 Mei 1997
Alamat Asal : Jl. Jend Sudirman No. 159 RT 005 RW 000 Kec.
Tungkal Ilir, Kab.Tanjng Jabung Barat, Provinsi
Jambi
Alamat E-mail : [email protected]
Nomor Kontak : 082375707585
Riwayat Pendidikan Formal :
1. SD/MI, tahun tamat : SD N 3/V Kuala Tungkal, tamat 2009
2. SMP/MTs, tahun tamat : SMP N 2 Kuala Tungkal, tamat 2012
3. SMA/MA. Tahun tamat : SMA N 2 Kuala Tungkal. tamat 2015
4. S1, tamat : Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
tamat 2019